SULING EMAS : JILID-28

Ia bengong memandang kakek itu yang jelas mulai tampak terkena akibat pukulannya. Kulit kakek itu dari pundak terus sampai ke leher dan mukanya berubah hitam sekali, penuh hawa beracun dari pukulannya tadi. Akan tetapi mulut itu masih tersenyum dan kini sepasang mata yang bening seperti mata kanak-kanak memandangnya penuh perasaan iba! Kemudian terdengarlah nyanyian kakek itu diiringi suara yang-khim.
Kejahatan yang dilakukan terhadap seorang tak berdosa,
akan berbalik menimpa si dungu yang melakukannya.
Bagaikan menebarkan debu melawan arah angin,
yang akan menimpa dirinya sendiri!

Lu Sian masih berdiri bengong memandang kakek itu dan mengira bahwa sebentar lagi kakek itu tentu akan roboh dan tewas akibat hawa pukulannya. Akan tetapi anehnya, kakek itu masih tersenyum dan warna menghitam itu bahkan perlahan-lahan lenyap dari kulit muka dan lehernya. Bagaikan dalam mimpi Lu Sian jatuh terduduk dan mendengarkan nyanyian wejangan kakek itu yang serasa meremas-remas jantungnya.
Engkau bagaikan setangkai daun yang mengering layu,
urusan kematian telah mendekatimu.
Engkau berdiri di ambang pintu kematian,
apakah persiapanmu untuk bekal di perjalanan?
Buatlah pulau perlindungan bagimu,
berjuanglah segera penuh bijaksana.
Apabila engkau bersih dari noda dan bebas dari dosa,
engkau akan mencapai sorga, alam para Aria!
Berapa lama hidup ini?
Tanpa terasa engkau sudah menghampiri Raja Kematian.
Tiada akan ada tempat untuk istirahat di perjalanan,
dan engkau belum menyiapkan suatu perbekalan!

Suara itu merayu dan seperti menghimpit perasaan Lu Sian. Tidak kuat ia menahan lebih lama lagi, maka sambil berlutut di depan kakek itu ia berteriak. "Orang tua... aku mengaku kalah. Kau bunuhlah aku, tak perlu menyiksaku dengan kata-kata....!"
Lu Sian lalu menangis tersedu-sedu. Nyanyian kakek itu seakan-akan mendengungkan semua teguran dan peringatan yang keluar dari mulut puteranya tadi dan karenanya membuat hatinya makin hancur. Teringatlah ia akan kesesatan hidupnya dan sadarlah betapa dirinya rindu akan kehidupan yang wajar sebagai manusia biasa dalam sebuah keluarga bahagia selama ini.
Suara yang-khim terhenti. Dengan gerakan tenang kakek itu menyandangkan alat musiknya di pundak lalu berkata, "Terasa tersiksa karena sadar akan dosa-dosanya adalah baik. Yang sudah lalu sudahlah, biarlah perbuatan jahat tidak diulangi lagi. Biasakan diri tidak menyenangi perbuatan jahat. Penderitaan dalam hidup adalah buah dari pada perbuatan jahat yang menjadi pohon tanaman kita sendiri. Orang yang bersengsara, bukankah engkau yang disebut Tok-siauw-kwi? Tiada permusuhan di antara kita, mengapa kau datang-datang menyerangku dan kini minta kubunuh?"
Lu Sian mengangkat muka memandang, akan tetapi tidak kuat ia menentang pandang mata kakek itu lama-lama, maka ia menunduk lagi dan tetap berlutut. "Semua orang di dunia kang-ouw memusuhiku, mengapa kau tidak? Sudahlah, tak perlu bermain-main denganku, orang tua. Kau terlalu sakti bagiku, aku mengaku kalah. Lekas kau turunkan tangan maut menghabisi riwayatku, aku pun sudah bosan hidup!"
Akan tetapi kakek itu tertawa perlahan. "Mengatasi kemarahan dengan kesabaran, mengatasi kebencian dengan kasih sayang, mengatasi kesombongan dengan kerendahan hati, mengatasi kebohongan dengan kebenaran, mengatasi kejahatan dengan kebajikan. Ah, Tok-siauw-kwi, penyesalan menyesak dadamu, itu tandanya kesadaran sudah mulai muncul. Tumpahkanlah penyesalanmu dalam pengakuan agar tidak menyesak dada dan menjadi lapang untuk kau bertobat."
Kini Lu Sian memandang penuh perhatian kepada kakek itu dan naiklah sedu sedan di kerongkongannya ketika timbul dugaan hatinya. "Kau... kau... Bu Kek Siansu...?"
Kakek itu tersenyum dan mengangguk. "Kau tahu bahwa aku bukan musuhmu, bukan musuh siapa pun juga. Anak baik, bersediakah kau kembali ke jalan terang?"
Suara ini demikian tenang dan penuh rasa kasih sayang, seakan-akan suara seorang ayah sendiri yang penuh perasaan iba. Lu Sian menjadi terharu, lalu menubruk kaki orang tua itu dan menangis.
Kemudian berceritalah Lu Sian, menceritakan semua pengalamannya yang membuat ia dimusuhi semua orang kang-ouw, semua perbuatannya dalam mengabdi kepada nafsu-nafsunya. Tanpa malu-malu dan secara terang-terangan ia bukakan semua isi hatinya kepada kakek ini. Ia bercerita tentang Kwee Seng, tentang Tan Hui, dan tentang partai-partai persilatan besar yang pernah ia datangi. Ia mengaku telah mencuri kitab-kitab di Siauw-lim-pai, di Go-bi-pai, mencuri pedang di Hoa-san-pai.
Lu Sian bercerita penuh perasaan sesal sambil menangis, dan pada akhir ceritanya ia muntah darah dan roboh pingsan di depan kaki Bu Kek Siansu yang mendengarkan penuh kesabaran dan pengertian. Kemudian Lu Sian merasa seakan-akan ia dituntun ke tempat terang, keluar dari tempat yang amat gelap. Dalam keadaan seperti mimpi ia merasa seperti terbang di antara awan yang menyelubunginya, dan terngianglah di telinganya suara Bu Kek Siansu yang tenang dan sabar.
"Jauhi segala permusuhan. Jangan layani mereka yang memusuhimu. Bertobat berarti menghentikan semua perbuatan yang keliru. Kampung halaman merupakan tempat yang paling aman."
Ketika Lu Sian sadar kembali, ia mendapatkan dirinya di tempat tadi, akan tetapi Bu Kek Siansu sudah tidak ada di situ. Hanya suara kakek itu masih terus bergema di telinganya. Teringat akan ayahnya, akan Beng-kauw dan kota raja Nan-cao, teringat ketika ia masih kecil ikut ayahnya merantau. Terbayanglah ia akan istana di bawah tanah yang menjadi tempat rahasia Beng-kauw. Tempat itukah yang disindirkan oleh Bu Kek Siansu dalam nasehatnya? Lu Sian bangkit berdiri, tubuhnya terasa lemah dan dengan terhuyung-huyung wanita yang selama bertahun-tahun ini menimbulkan banyak geger di dunia kang-ouw, kini pergi dengan hati perih dan pikiran hampa.
********************
Bu Song melakukan perjalanan cepat menuju ke kota raja Cou. Hari telah siang ketika ia tiba di wilayah kota raja, di luar pintu gerbang sebelah barat kota raja. Hari amat panas, dan di sepanjang jalan raya yang menuju ke pintu gerbang terlihat sunyi.
Tiba-tiba di sebuah tikungan jalan yang membelok karena terhalang sebuah batu gunung besar, Bu Song melihat seorang kakek berjalan terhuyung-huyung di atas jalan yang panas berdebu. Kakek itu pakaiannya seperti seorang sastrawan, akan tetapi pakaiannya itu sudah tua dan kusut dan jenggotnya jarang-jarang. Tangan kirinya memegang sebuah kitab kecil dan sambil berjalan terhuyung-huyung kakek itu menyanyi. Bu Song mengenal kata-kata yang dinyanyikan itu sebagai sebuah sajak dari pujangga Li Po.
Meneguk secawan anggur merah,
di antara bunga-bunga di taman indah.
tiada kawan, hanya bulan.
Wahai bulan, mari minum temani aku.
Kita bertiga, aku, bayanganku, dan engkau!

Kakek itu terbatuk-batuk, berhenti terhuyung memegangi dada, kemudian ia berdongak ke atas sambil mengeluh, "Sayang, suling emas tiada padaku... kalau ada tentu dapat kutiup lagu merdu...!"
Tiba-tiba kakek itu terhuyung-huyung ke depan dan tentu jatuh kalau saja Bu Song tidak cepat melompat dan memeluk pundaknya.
"Orang tua, hati-hatilah. Kau bisa jatuh!" Kakek itu memandang Bu Song dengan sepasang mata mabok, lalu tertawa dan berkata sambil kepalanya bergoyang-goyang, "Heh-heh, jatuh ke bawah tidak apa! Celakalah mereka yang jatuh ke atas, hah-hah-hah!"
Setelah berkata demikian, kakek itu jatuh benar-benar dan untung Bu Song cepat memegangnya sehingga kakek itu tidak terbanting, melainkan jatuh terduduk di tengah jalan. Pada saat itu terdengar banyak derap kaki kuda dan Bu Song yang menengok ke belakang melihat beberapa orang penunggang kuda yang berpakaian seragam mendatangi dengan cepat.
"Hayo kita ke pinggir, Kek. Itu banyak kuda membalap datang!"
"Huh, biarlah... setiap hari puluhan ribu orang rakyat sudah diinjak-injak, ditambah aku seorang lagi apa artinya?"
Bu Song tidak mau melayani bicara kakek ini yang agaknya sedang mabuk keras, maka ia lalu menarik tubuh kakek itu secara paksa, dibawanya ke pinggir jalan agar jangan berada di tengah jalan dan terancam bahaya diterjang barisan kuda.
Rombongan kuda itu terdiri dari tujuh orang dan yang paling depan adalah seorang komandan yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Komandan itu sekejap melihat Bu Song dan kakek itu di pinggir jalan, lalu mendadak timbul amarahnya karena si Kakek tertawa-tawa dan telunjuknya menuding-nuding ke arahnya. Segera cambuknya meledak, menyambar ke arah muka si Kakek mabok.
Bu Song cepat memasang dirinya di depan kakek itu sehingga bukan muka si Kakek yang terhantam cambuk, melainkan punggung Bu Song! Hantaman itu keras sekali dan baju Bu Song di bagian punggung sampai robek. Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak merasa terlalu sakit, apalagi terluka. Hanya terasa agak panas saja.
Komandan itu tertawa dan rombongan berkuda lewat cepat meninggalkan debu mengepul tinggi. Kakek itu masih tertawa-tawa hingga Bu Song merasa mendongkol juga. Ia melepaskan kakek itu rebah di atas tanah, lalu ia berkata, "Kakek, kenapa kau begitu nekat? Kalau tidak kutarik ke pinggir tentu mereka akan menubruk dan menginjak-injak tubuhmu dengan kaki kuda."
"Ha-ha, apa salahnya? Paling-paling mati! Lebih celaka mereka itu yang menjadi anjing-anjing yang tidak dapat menguasai diri sendiri. Mereka itu anak buah orang-orang yang sudah jatuh ke atas. Merekalah yang lebih celaka!"
Bu Song tertarik. Cara kakek ini bicara seperti orang mabok, akan tetapi kata-katanya teratur dalam kalimat yang amat baik. Ia lalu duduk di depan kakek itu yang juga sudah bangun duduk.
Mereka duduk berhadapan, saling pandang, dan kakek itu bertanya, "Kau ini seorang pemuda yang baik, hendak ke mana?"
Bu Song lalu memberi hormat dan berkata, "Nama saya Bu Song she... Liu dan saya bermaksud untuk mengikuti ujian di kota raja!"
Kakek itu memandang bengong lalu menggeleng-geleng kepalanya sambil menarik napas panjang. "Mengikuti ujian? Apa engkau mempunyai bekal banyak emas dan perak murni?"
"Untuk apa, Kek? Aku hanya membawa bekal alat tulis dan ilmu kesusasteraan!"
Kakek itu tertawa terbahak-bahak, dari mulutnya bertiup bau arak. "Ha-ha, kau lebih mabok lagi. Ujian tanpa modal emas dan perak mana bisa berhasil? Semua pengurusnya adalah orang-orang yang sudah jatuh ke atas."
"Kek, apa maksudmu dengan jatuh ke atas?"
"Mereka itu orang-orang yang telah naik menempati kedudukan, akan tetapi makin tinggi kedudukan mereka, makin jahatlah sepak terjang mereka. Yang kuat mempergunakan kekuatannya untuk menindas yang lemah. Yang pintar mempergunakan kepintarannya untuk menipu yang bodoh. Yang bodoh dan lemah memang jatuh ke bawah, akan tetapi yang kuat dan pintar itu bukankah berarti jatuh ke atas? Ada dua macam kejahatan, akan tetapi secelaka-celakanya jatuh ke bawah, lebih sialan lagi yang jatuh ke atas, ha-ha-ha!"
Bu Song sejak kecil dijejali filsafat, maka ia dapat menangkap arti kata-kata sulit kakek itu. "Kek, jadi menurut keyakinanmu, tidak perlu kita menempuh ujian dan menduduki pangkat?"
"Kalau kau ikut-ikut jatuh ke atas...."
"Kau keliru sama sekali, Kek. Kalau semua orang terpelajar pendiriannya seperti engkau ini, hanya mengeluh dan menangis, menyanyikan sajak-sajak kosong, meratapi nasib rakyat dan memaki-maki kelaliman para pembesar, apakah akan jadinya? Keadaan takkan berubah baik, bahkan makin memburuk. Kita harus bergerak. Kita harus bekerja dan berusaha memberantas semua yang buruk, mempergunakan kekuasaan dan kebisaan kita masing-masing! Bahkan dengan kepandaian kita, kita harus dapat menempati kedudukan yang memungkinkan kita menggunakan kekuasaan kita merubah segala hal yang tidak patut. Kek, apakah artinya menghafal sepuluh ribu ujar-ujar baik tanpa melakukannya dalam hidup? Lebih baik mengetahui satu saja akan tetapi betul-betul dijalankan dalam hidup."
Tiba-tiba kakek itu memandang dengan mata terbelalak. Maboknya seperti hilang seketika dan ia memegang pundak Bu Song sambil bertanya, "Kau... kau siapa...?"
"Sudah kukatakan tadi, Kek, namaku Liu Bu Song." Pemuda ini tidak mau menggunakan she ayahnya, karena nama Kam Si Ek terlampau terkenal di kota raja, maka ia sengaja menggunakan she ibunya.
"Kau... lain dari pada yang lain. Kau masih muda, semangatmu besar. Kau... murid siapakah?"
"Guruku yang terhormat, yang memberi bimbingan kepada saya sejak kecil adalah Kim-mo Taisu."
"Ahhh...! Kiranya dia gurumu! Kalau begitu pantas saja kau bicara besar, kiranya kau seorang ahli silat pula yang dapat mengandalkan kepandaian kasar itu untuk mencari kedudukan!"
"Harap kau orang tua jangan salah duga. Suhu hanya mengajarkan ilmu sastera kepadaku, sama sekali aku tidak pernah mempelajari ilmu silat. Aku benci ilmu itu yang hanya dipergunakan untuk saling bunuh."
Sejenak kakek itu memandang penuh keheranan, kemudian ia merangkul pundak Bu Song. "Bagus! Kalau begitu kaulah orangnya yang patut mewarisi suling emas!"
"Apa, Kek? Apa maksudmu?"
"Orang muda, pernahkah kau mendengar nama sastrawan Ciu Bun?"
Bu Song menggeleng kepala.
"Kalau nama kakakku Ciu Bun yang amat terkenal saja kau tidak pernah dengar apalagi namaku. Aku adalah Ciu Gwan Liong, adiknya. Akan tetapi biar pun nama kami berdua kau tak pernah dengar, tentu kau sudah mendengar nama besar Bu Kek Siansu."
Bu Song mengangguk. "Aku pernah mendengar Suhu menyebut-nyebut nama kakek sakti itu."
"Tentu saja. Gurumu mana bisa menjadi begitu lihai kalau tidak bertemu dengan Bu Kek Siansu? Ketika itu di puncak Thai-san, secara kebetulan gurumu dan kami berdua menerima anugerah dari Bu Kek Siuansu. Gurumu menerima petunjuk ilmu silat, sedangkan kami orang-orang sastrawan yang lemah, menerima kitab sajak ini dan suling emas. Kitabnya diberikan kepadaku ini dan suling emasnya berada di tangan kakakku Ciu Bun. Akan tetapi terpaksa kami berdua pisah. Kerajaan jatuh bangun, para sastrawan tidak mendapat penghargaan sama sekali. Selain itu juga ternyata suling emas dan kitab ini tidak hanya berguna bagi para sastrawan menghibur diri dan menenangkan hati, malah dijadikan perebutan para tokoh kang-ouw! Kami dikejar-kejar terutama sekali kakakku sehingga terpaksa kakak Ciu bun melarikan diri dan bersembunyi di pulau kosong di Lam-hai. Kami berdua sudah bersepakat untuk mempertahankan kitab dan suling, dan telah bersepakat pula kelak memberikan kepada orang yang kami pandang tepat. Nah, pilihanku jatuh kepadamu, orang muda. Tidak salah lagi, apalagi engkau murid Kim-mo Taisu. Ah, Thian agaknya sengaja mengirim kau ke sini untuk membebaskan aku dari pada tugas menyimpan kitab ini. Kau simpanlah kitab ini baik-baik, dan kelak kau carilah kakakku di Pek-coa-to di Lam-hai. Kau perlihatkan kitab ini, tentu suling emasnya akan diberikan kepadamu. Kau minta petunjuk dari padanya, kedua benda pusaka itu kelak amat berguna bagimu. Lekas simpanlah...!"
Kakek itu cepat-cepat memasukkan kitab kecil di tangannya ke dalam saku baju Bu Song sebelah dalam. "Lindungi kitab ini dengan taruhan nyawamu...!" tergesa-gesa kakek itu memberi pesan ini.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Kiranya tujuh orang berkuda tadi sudah kembali lagi dan kini mereka meloncat turun dari atas kuda, lalu langsung menghampiri sastrawan tua Ciu Gwan Liong dan Bu Song. Sastrawan itu masih duduk bersila akan tetapi Bu Song sudah bangkit berdiri melihat tujuh orang itu datang dengan sikap mengancam. Si Komandan bermuka hitam lalu langsung menyerbu Ciu Gwan Liong dan menangkap leher bajunya, ditariknya ke atas dengan amat mudah sehingga tubuh kakek sastrawan itu tergantung.
"Ah, kiranya kau tua bangka pengemis inilah sastrawan Ciu Gwan Liong! Hayo mengakulah, bukankah kau Ciu Gwan Liong?"
"Aku benar she Ciu bernama Gwan Liong," jawab kakek itu dengan suara angkuh biar pun keadannya amat terhina seperti itu. "Kalian ini anjing-anjing peliharaan yang hanya mengandalkan sisa makanan pembesar negeri, mengapa bersikap begini kasar dan tidak sopan terhadap orang tak bersalah?"
"Wah, mulut besar! Hayo ikut kami menghadap Taijin!" Si Muka Hitam lalu melemparkan tubuh kakek itu kepada anak buahnya yang menerima tubuh kakek itu sambil tertawa-tawa. Di lain saat tubuh kakek itu sudah direbahkan tertelungkup melintang di atas punggung kuda seperti segulung tikar.
"Mana ada aturan begini?" Bu Song melangkah maju menegur si Muka Hitam. "Dengan alasan apakah kalian menangkap orang secara sewenang-wenang?"
"Hushh! Kau pemuda tolol jangan ikut campur! Tidak tahu bahwa kami adalah alat negara?" bentak si Muka Hitam marah sekali.
Bu Song sama sekali tidak takut, ia malah melangkah maju dan berkata dengan suara keras, "Justru

Jilid 29»

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)