SULING EMAS : JILID-29

"Kalian angkat singa-singaan ini dan kembalikan di tempatnya semula!" kata Suma Boan, kemudian sambil menepuk-nepuk telapak tangan menghilangkan debu ia melangkah lebar memasuki taman di samping istana dan lenyap ke dalam pintu berbentuk bulan.
Empat orang penjaga itu saling pandang. "Bagaimana bisa pindah ke sini?" seorang di antara mereka mengomel.
"Baru saja Suma-kongcu mempermainkannya dan melontarkan ke atas seperti sebuah singa kertas saja," Ciu Tang memberi keterangan sambil tertawa.
Empat orang itu menggoyang-goyang kepala dan seorang di antara mereka mengomel perlahan, "Ah, kenapa tidak dikembalikan sekalian ke tempat semula?" Biar pun mengomel, mereka lalu menghampiri singa-singaan batu itu dan berempat mereka mengerahkan tenaga. Singa barong dari batu hanya bergoyang-goyang saja, akan tetapi tidak dapat terangkat oleh mereka!
Ciu Tang meleletkan lidahnya saking kagum. "Empat orang tidak mampu mengangkat patung ini, tapi Suma-kongcu dapat memainkannya dengan sebelah tangan. Benar-benar seperti dewa!"
"Apa anehnya? Beliau memang Lui-kong-sian, tentu saja kami berempat tidak boleh dibandingkan dengan sebelah lengannya! Hayo kita mencari beberapa orang kawan lagi untuk membantu!" Empat orang itu lalu berlarian ke luar.
"Hebat...!" Ciu Tang lalu memasuki kembali ruangan tamu.
Akan tetapi Bu Song sejenak memandang singa-singaan batu. Baginya sukar untuk dipercaya bahwa sebuah benda yang tidak kuat diangkat empat orang, dapat dimainkan dengan sebuah tangan saja. Memang ia sudah terlalu sering menyaksikan kesaktian-kesaktian tinggi seperti gurunya dan juga orang-orang seperti Kong Lo Sengjin. Dibandingkan dengan kesaktian yang diperlihatkan gurunya, permainan Suma-kongcu itu hanyalah permainan kanak-kanak.
Akan tetapi ia tidak percaya kalau kongcu itu benar-benar sedemikian kuatnya. Dengan hati ingin tahu ia lalu menghampiri singa-singaan batu itu, mengulurkan tangan kanan menangkap leher singa-singaan batu lalu menggerakkan tangan sambil mengerahkan tenaga. Singa barong batu itu tergeser dan terlempar sejauh dua meter!
Bu Song tersenyum, lalu ia mengikuti Ciu Toan masuk ke dalam ruangan tamu. Ternyata empat orang penjaga tadi hanya main-main, mungkin untuk menyenangkan hati Suma-kongcu, pikirnya. Kalau para penjaga itu mau, jangankan empat orang, satu orang tentu sanggup mengembalikan singa-singaan itu di tempat asalnya.
Bu Song sama sekali tidak tahu bahwa di dalam dirinya terdapat tenaga yang luar biasa pula, tenaga yang terhimpun oleh latihan-latihan semedhi dan pernapasan. Akan tetapi ia tidak tahu akan hal ini dan tidak pandai mempergunakan tenaga sakti yang terhimpun ini. Hanya kadang-kadang secara kebetulan saja, seperti tadi tenaga sakti itu memperlihatkan diri tanpa ia sengaja.
Ketika ia tadi mengerahkan tenaga, secara kebetulan saja jalan darahnya terbuka sehingga tenaga sakti dapat menerobos dalam lengannya, maka mudah saja baginya untuk melemparkan singa-singaan itu. Andai kata tidak secara kebetulan tenaga sakti itu dapat menerobos ke dalam lengannya, tentu ia tidak akan mampu menggerakkan singa-singaan batu yang beratnya lebih dari limar ratus kati itu!
Pada saat itu, seorang pelayan mucul dan mereka dipanggil menghadap ke ruangan samping di mana Pangeran Suma Kong akan menerima mereka. Mereka mengikuti si pelayan dengan hati berdebar. Masih terdengar oleh Bu Song teriakan-teriakan kaget dari luar, "Eh, kenapa singa-singaan ini sudah pindah lagi lebih jauh? Tadi tidak di sini!"
Ia tersenyum, menganggap para penjaga yang kini datang delapan orang itu seperti badut-badut yang melawak untuk menyenangkan hati majikan, atau seperti anjing yang merunduk-runduk dan menggoyang-goyang ekor di depan majikan.
Bu Song bersikap hormat menghadapi seorang pembesar yang berpakaian serba indah dan bermuka keren. Di antara pelajaran-pelajaran dalam kitab, ada pula tercantum bahwa orang harus menghormat pembesar dan ini merupakan kewajiban seorang bijaksana. Pembesar mewakili pemerintah, maka harus dihormati selayaknya. Maka ia pun ikut berlutut ketika melihat Ciu Tang menjatuhkan diri berlutut ketika pembesar itu muncul diikuti oleh dua orang pengawal.
Agaknya Pangeran Suma Kong juga senang hatinya melihat Bu Song, maka ia lalu mengumumkan bahwa Bu Song diterima bekerja membantunya, sebagai seorang yang mengurus semua surat-surat, membuatkan surat-surat pengumuman, mencatatkan harta yang masuk dan keluar, juga membantu pangeran itu mengurus perpustakaan negara yang menjadi salah satu tugas Pangeran Suma Kong.
Bu Song demikian menarik hati pangeran itu sehingga ia malah diperintahkan tinggal di dalam istana, mendapatkan sebuah kamar di sebelah belakang, yaitu di bagian kamar-kamar pelayan dan pegawai. Bu Song menerima dengan ucapan terima kasih, kemudian ia diperbolehkan mengantar pulang Ciu Tang yang menjadi girang bukan main.
Demikianlah, mulai saat itu Bu Song menjadi pegawai Pangeran Suma Kong. Ia bekerja dengan giat dan rajin sehingga Pangeran Suma Kong merasa suka kepadanya. Setelah pemuda ini membantunya, segala pembukuan dan catatan beres, bahkan ia mulai mendapat pujian dari rekan-rekannya tentang kerapian surat-surat yang terkirim dari Pangeran Suma.
Selain rajin Bu Song juga pandai membawa diri, ke atas tidak menjilat, ke bawah tidak menekan. Semua pelayan suka belaka kepadanya, bahkan Suma-kongcu yang terkenal galak itu pun suka kepada Bu Song dan seringkali di waktu malam kalau Bu Song menganggur, Suma Boan suka mengajaknya mengobrol di taman, bermain catur atau membuat syair. Dalam dua hal ini, Suma Boan boleh berguru kepada Bu Song, akan tetapi Bu Song selalu bersikap merendah, dalam bermain catur sengaja membuat permainan menjadi seru dan banyak ia mengalah. Hal ini ia lakukan bukan sekali-kali untuk menjilat, melainkan untuk mencegah putera majikan itu menjadi tak senang hati.
Agaknya masa depan Bu Song sudah dapat dipastikan baik dan sesuai dengan cita-cita gurunya kalau saja tidak terjadi beberapa hal yang tak terduga-duga. Setelah hampir dua tahun Bu Song bekerja di situ, dengan hati kecut ia mendapat kenyataan betapa pangeran itu seorang yang amat korup. Mengumpulkan harta kekayaan untuk diri sendiri dengan cara yang amat tercela.
Tidak hanya dengan cara menerima sogokan dalam ujian, namun ia masih menggelapkan uang yang seharusnya masuk ke istana raja. Belum lagi sogokan-sogokan dari para pembesar rendahan jika menghendaki sesuatu yang memerlukan kewibawaan dan kekuasaan Pangeran Suma. Ini semua masih ditambah pajak-pajak paksa yang dipungut dari petani-petani di luar kota raja, yaitu mereka yang mengerjakan sawah pangeran itu yang luasnya sukar diukur!
Malam itu terang bulan. Bulan purnama terapung di langit biru yang bersih dari awan. Indah sekali sinar menyinari jagad, dan lebih indah lagi di taman bunga di istana Pangeran Suma Kong. Suasana seperti ini amat romantis dan tentu akan mendatangkan rasa gembira dalam hati semua orang, terutama orang muda. Akan tetapi tidak demikian dengan Bu Song. Semenjak tadi ia duduk termenung di dalam taman bunga yang sunyi.
Di sudut taman itu, di bagian yang sunyi dan jauh terdapat sebuah pondok yang disebut Pondok Merah karena dicat merah. Sebuah pondok kecil di bawah lambaian daun-daun pohon berbunga. Di tempat inilah ia termenung dengan hati duka. Ia mulai merasa bosan dengan kehidupan di istana Pangeran Suma. Apalagi kalau ia ingat akan semua keadaan di situ, akan sifat dari majikan yang amat korup.
Tak dapat disangkal bahwa ia amat disayang oleh majikannya, disayang sebagai seorang pegawai yang cakap, disuka oleh para pelayan sebagai seorang teman kerja yang rendah hati dan peramah. Akan tetapi keadaan itu sungguh berlawanan dengan hatinya. Biar pun bukan dia yang makan semua uang tidak halal itu, akan tetapi ia merasa seakan-akan membantu orang berbuat jahat. Andai kata Pangeran Suma seorang perampok atau maling, maka dialah menjadi anak buah atau kaki tangannya! Alangkah rendahnya! Dan semua itu ia lakukan hanya untuk makan enak dan pakaian bagus! Atau untuk hari depan yang gemilang?
Dalam duka Bu Song teringat kepada Eng Eng. Tak terasa lagi dua butir air mata menitik turun dari sepasang matanya yang terasa panas. Kalau Eng Eng tidak mati, tentu ia pulang kepada Eng Eng. Lebih baik hidup sebagai petani di gunung di samping Eng Eng tersayang. Dan kenangannya berlarut-larut sehingga ia lupa keadaan. Diambilnya sebuah suling yang belum lama ini dibuatnya, suling bambu yang jarang ia tiup. Karena malam itu sudah larut dan suasana di istana pangeran sudah amat sunyi, ia mulai meniup sulingnya.

Getaran suara suling keluar dari getaran hatinya. Teringat ia akan Eng Eng, maka otomatis ia lalu meniup suling itu mainkan lagu kesukaan Eng Eng. Lagu yang iramanya merayu-rayu kalbu. Lagu tentang keluh-kesah dan tangis setangkai kembang yang kekeringan, mengeluh dan meratap menanti datangnya hujan yang tak kunjung tiba, menanti tetesnya air embun yang akan memberi air kehidupan padanya. Berkali-kali lagu ini ia mainkan dan suasana malam indah itu berubah mengharukan.
Suara jengkerik di bawah rumput dan katak di empang seketika berhenti, seakan-akan mereka ini pun terpesona oleh suara suling yang merayu-rayu. Bulan purnama seakan-akan bergoyang-goyang di angkasa, seakan-akan ikut merana dan rindu kekasih, mencari dan mulai bergerak mengejar kekasihnya yang tak kunjug tiba, kadang-kadang menangis menyembunyikan muka di balik segumpal awan hitam.
Sambil bersuling itu Bu Song menatap bulan yang bergerak di antara awan, dan menjelang berakhirnya lagu, ia mendengar suara berkeresek di depan, maka ia mengalihkan pandang ke depan. Suara sulingnya perlahan-lahan melambat dan akhirnya terhenti, matanya bengong memandang ke depan, serasa mimpi. Mimpikah dia? Ataukah benar-benar Eng Eng yang datang itu, turun melalui sinar bulan purnama, berpakaian seperti seorang dewi kahyangan?
Wanita yang kini melangkah demikian ringan, demikian lembut seakan-akan tidak menginjak tanah, seakan-akan melayang dibawa sinar bulan mendekatinya, memiliki wajah lembut seperti Eng Eng. Matanya yang lebar bersinar lembut, hidungnya yang kecil mancung di atas mulut yang kecil mungil, muka yang manis dengan dagu meruncing. Itulah wajah Eng Eng! Akan tetapi pakaian itu? Begitu indah, begitu mewah. Hanya seorang dewi kahyangan saja berpakaian seperti itu, atau seorang puteri istana. Lihat rambutnya! Alangkah indahnya sanggul rambut itu, dihias dengan hiasan rambut emas permata yang berkilauan terkena sinar bulan. Puteri istana!
Berdebar jantung Bu Song dan teringat akan ini cepat-cepat ia bangkit berdiri. Tak salah lagi. Tentu dia itu puteri majikannya. Sudah hampir dua tahun dia bekerja di situ, dan sudah terlalu sering ia mendengar dari para pelayan bahwa Pangeran Suma Kong mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah Suma Boan yang selama ini bersikap cukup baik kepadanya, bahkan seperti menjadi sahabatnya sungguh pun di dalam hati ia tidak suka kepada pemuda bangsawan itu karena ia cukup mendengar tentang sepak-terjangnya yang memuakkan, yaitu mengganggu anak bini orang!
Ada pun anak ke dua Pangeran Suma adalah seorang gadis yang menurut para pelayan cantik seperti bidadari, terpelajar dan halus budi pekertinya, dihormati dan dikasihi semua pelayan. Seorang gadis yang sopan santun dan karenanya tak pernah melanggar peraturan dan belum pernah pula selama itu berjumpa dengan dia. Seorang gadis yang katanya bernama Suma Ceng. Agaknya tidak salah lagi. Inilah gadis itu! Raut wajahnya memang mirip Eng Eng, akan tetapi Eng Eng sudah mati, tak mungkin hidup kembali.
Dengan langkah lemah gemulai, sikap tenang sekali dan mata selalu tertuju kepada Bu Song, gadis itu kini menaiki tangga pondok dan menghampiri Bu Song yang sudah duduk kembali dengan tubuh lemas dan dada berdebar. "Kau... yang bernama Liu Bu Song, pegawai ayah yang baru...?"
Suara itu! Merdu dan bening seperti suara Eng Eng pula! Bu Song menjadi panik dan ia memaksa kedua kakinya yang lemas untuk berdiri lagi, menghadapi gadis itu lalu menjura dengan hormat. Akan tetapi mulutnya tak mampu mengeluarkan kata-kata, hanya matanya yang menatap tajam. Dua pasang mata bertemu pandang, saling mengikat dan saling menjenguk isi hati masing-masing. Lama sekali mereka hanya berdiri berhadapan dan bengong saling pandang, disaksikan dan ditertawai oleh bulan purnama yang geli melihat kecanggungan kedua orang muda itu. Sinar bulan purnama memang penuh racun asmara dan begitu pandang mata kedua orang muda ini bersilang, bertautlah kedua hati mereka yang membuat keduanya berdebar jantungnya, gemetar tubuhnya dan menggigil kakinya.
"Maaf... maafkan saya, Siocia (Nona)... memang betul saya Liu Bu Song seorang pegawai rendah biasa saja...."
Bagaikan baru sadar dari mimpi gadis itu tersenyum. Gigi putih tersinar bulan berkilat menyambar jantung Bu Song membuat pemuda ini sedetik memejamkan matanya, tak kuat menyaksikan segala keindahan ini. Gadis itu memang benar Suma Ceng. Seperti juga Bu Song, sudah lama ia mendengar tentang diri Bu Song yang selalu dipuji-puji oleh para pelayan. Dipuji ketampanannya, dipuji keramahan dan kelembutannya, dipuji kepandaiannya. Dan tadi, mendengar tiupan suling, membuat ia seperti mimpi, lalu turun dan keluar dari kamarnya, memasuki taman dan memaksa kedua kakinya melangkah ke arah suara suling. Hikmat sang bulan dan sang malam indah membuat ia seperti mabok.
"Benar sekali cerita mereka...."
"Apa maksud Siocia...?"
Akan tetapi Suma Ceng menoleh ke arah bulan sehingga mukanya tersinar penuh, dan gadis ini berbisik seperti kepada bulan, "Benar sekali... sopan, halus, rendah hati..."
"Maaf, Siocia. Bolehkah saya mengetahui...."
"Aku adalah Suma Ceng atau... Ayah, Ibu dan Kakakku menyebutku Ceng Ceng begitu saja. Liu Bu Song Twako, hebat benar kepandaianmu menyuling. Seperti lagu dari sorga...."
Akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang berdiri di depannya adalah puteri majikannya, Bu Song sudah menjura dengan dalam dan berkata, "Kiranya Suma-siocia. Maafkan kalau saya berlaku kurang hormat dan berani mengganggu Siocia dengan suara sulingku yang buruk...."
"Ah, jangan terlalu merendah. Selama hidupku belum pernah aku mendengar suara suling seperti tadi. Twako, maukah kau memainkan lagu tadi lagi untukku...?"
"Siocia..., mana saya berani...? Siocia, tidak pantas bagi saya berada di sini... saya... saya..."
"Tidak mengapa. Siapa yang akan menyalahkanmu? Aku yang datang karena tertarik oleh suara sulingmu. Liu-twako, lagu apakah yang kau mainkan tadi?"
"Lagu.... Setangkai Kembang Kekeringan..."
"Ahhhh...! Pantas begitu mengharukan. Twako, mengapa kau berduka dan menyanyikan lagu seperti itu? Tadi aku sampai meruntuhkan air mata mendengarnya..."
"Siocia...."
Mereka kembali berpandangan, keduanya tak dapat mengeluarkan kata-kata dan kembali dalam pandang mata itu mereka seakan-akan sudah mengenal masing-masing. Seakan-akan dalam pandang mata itu mereka sudah mengikrarkan janji, saling bertukar hati, bertukar kasih. Suma Ceng menundukkan muka lebih dulu. Mukanya menjadi merah sekali, giginya yang kecil-kecil menggigit bibir bawah, ujung matanya yang tajam meruncing itu melempar kerling ke arah Bu Song, lalu naik sedu-sedan setengah tawa dari kerongkongannya dan gadis itu membalikkan tubuh, terus berlari kecil meninggalkan pondok, berlari-lari cepat sekali kini dan sebentar saja lenyap di balik pintu bulan.
Bu Song bengong. Peristiwa tadi seperti mimpi. Ia menjambak-jambak rambutnya dan diam-diam menyumpahi hatinya. Mengapa hatinya begitu tertarik? Mengapa hatinya begitu penuh cinta birahi? Gadis itu adalah puteri majikannya! Dan dia hanyalah seorang juru tulis, seorang pegawai biasa! Dan gadis itu selain cantik jelita, puteri bangsawan yang kaya raya, pandai, dan juga melihat caranya berlari cepat itu tentulah seorang gadis yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi! Seperti seekor kumbang merindukan bulan!
Dengan langkah lemas Bu Song lalu menyeret kedua kakinya, kembali ke kamarnya yang berada jauh dari pondok kecil taman bunga itu. Semalam suntuk ia tidak dapat tidur, gelisah dan resah, rindu dan risau sehingga pada keesokan harinya ia bekerja dengan muka pucat dan baru pada hari itu ia merasa betapa pekerjaannya berat dan tidak lancar.
Semenjak terjadi pertemuan di malam itu, dua orang muda itu merasa tersiksa hidupnya. Bu Song mengerahkan kekuatan batinnya dan menonjolkan akal sehatnya, memaksa hati mengakui bahwa tak mungkin dia mencinta seorang gadis seperti Suma Ceng. Persamaan wajah gadis itu dengan Eng Eng sama sekali bukanlah alasan untuk ia membuta. Kenyataan memisahkan mereka jauh, sejauh bumi dan langit.
Suma Ceng adalah puteri seorang pembesar tinggi yang tinggal dalam istana, berkedudukan tinggi dan seorang bangsawan terhormat, masih keluarga raja! Dan dia? Dahulu memang ayahnya jenderal. Akan tetapi sekarang? Dia hanya seorang yang hidup sebatang kara, seorang pelajar yang tidak lulus, seorang yang menerima budi Pangeran Suma Kong seperti seorang pengemis kelaparan menerima sumbangan seorang kaya. Seorang pegawai rendahan, seorang pegawai biasa. Tidak mungkin terjadi! Andai kata gadis bangsawan itu tertarik oleh suara sulingnya, tak mungkin sudi merendahkan diri bergaul dengan seorang pegawai rendah seperti dia. Belum lagi kalau ketahuan Sang Pangeran, tentu dia akan dihukum berat.
Juga Suma Ceng semalam itu dan malam-malam berikutnya tak dapat tidur nyenyak. Wajah pemuda bersuling itu terbayang terus. Suaranya yang halus dan sopan itu mengiang terus di telinganya. Sepasang mata lebar tajam yang terhias alis berbentuk golok itu seakan-akan terus membayanginya. Namun gadis ini pun mengerti bahwa tak mungkin ia dapat membiarkan dirinya bergaul dengan seorang pegawai ayahnya! Tak mungkin berjodoh dengan seorang pekerja biasa. Ayahnya tentu akan marah sekali, juga kakaknya. Kadang-kadang Suma Ceng menangis kalau teringat akan hal ini, kalau teringat betapa kelak ia tentu akan dijodohkan dengan seorang laki-laki bangsawan yang belum tentu dicintanya, bahkan yang mungkin dibencinya.
Namun cinta adalah perasaan yang aneh, yang amat besar pengaruh dan kekuasaannya. Cinta kasih mengalahkan segala macam perasaan lain, bahkan mengalahkan akal budi dan kesadaran, membuat orang seakan menjadi buta dan nekat, siap untuk menyerbu lautan api. Cinta merupakan api yang menyala indah, menari-nari dan meliuk-liuk menimbulkan warna yang cerah dan indah, membelai-belai dan melambai-lambaikan tangan kepada orang-orang yang sudah terkena hikmatnya sehingga mereka itu melangkahkan kaki makin mendekati tanpa menyadari bahwa bahaya mengancam mereka. Baru akan terbuka mata mereka, baru akan sadar pesona mereka, setelah terlambat dan hanya penyesalan yang tinggal, penyesalan dan luka setelah hangus terbakar.
Akan tetapi, seperti juga api, cinta dapat mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan hidup, mendatangkan kehangatan dan mendorong semangat, menimbulkan keindahan dan kenikmatan hidup. Asal orang pandai menggunakannya. Asal orang dapat menguasainya. Cinta itu indah. Cinta itu nikmat. Cinta itu anugerah. Bagi mereka yang dapat menguasainya. Akan tetapi cinta itu pangkal mala-petaka. Cinta itu pangkal sengsara dan pangkal derita. Bagi mereka yang mabok dan lemah, yang menjadi permainan cinta. Cinta antara pria dan wanita memang memiliki dua sifat yang bertentangan seperti juga segala benda di dunia ini.
Namun manusia tetap lebih kuat, asal pandai membawa diri, pandai dan kuat menguasai nafsu liar ganas seperti kuda hutan. Bahagialah orang muda yang pandai menguasainya, sebaliknya kasihanlah mereka yang menjadi permainannya. Asal ingat saja bahwa CINTA KASIH dan NAFSU BIRAHI adalah dua sifat yang jauh berbeda akan tetapi bermuka kembar! Bermuka sama sehingga sukar bagi orang muda untuk memperbedakannya. Karena keliru mengenal inilah yang suka membawa mala-petaka. Nafsu birahi disangka cinta, maka terseretlah ia ke jurang kehancuran
. Demikianlah pula dengan Bu Song dan Suma Ceng. Keduanya mabok oleh gelora cinta sehingga semua pengertian tentang perbedaan tempat mereka, pengertian tentang tidak adanya kemungkinan bagi mereka untuk berjodoh, hancur lebur dan terlupa sama sekali. Hanya tujuh hari mereka dapat bertahan. Malam ke delapan, lewat tengah malam, Bu Song tak dapat menahan dirinya dan ia sudah berada di dalam pondok kecil di ujung taman, meniup sulingnya.
Seakan-akan suara suling itu dapat menembusi kamarnya yang amat rapat, Suma Ceng yang juga tidak dapat menahan dirinya lagi sudah menyelinap ke luar dan berlari-lari memasuki taman, terus menuju ke ujung taman, ke pondok dari mana kini terdengar jelas alunan suara suling. Terengah-engah Suma Ceng tiba di depan pondok, bukan karena lari tadi, melainkan karena debar jantung yang menggelora. Suara suling terhenti karena Bu Song sudah mendengar kedatangannya. Pemuda itu berlari ke luar, mereka berhadapan dan seperti tak kuat menghadapi daya tarik besi sembrani yang memancar dari keduanya, mereka saling tubruk dan saling rangkul!
"Aku tahu kau akan datang..."
"Aku pun tahu kau menanti di sini..."
Hanya itu ucapan mereka sebagai pengganti pernyatan bahwa masing-masing tahu hati masing-masing, tahu bahwa mereka saling mencinta. Sambil bergandeng tangan mereka memasuki pondok merah, duduk di atas bangku di mana tadi Bu Song termenung dan menyuling.
Bu Song merasa seakan-akan Eng Eng hidup kembali. Ia takut akan kehilangan lagi, seperti seorang kanak-kanak yang pernah kehilangan benda mainan tersayang, kini didekapnya erat-erat takut kalau yang telah ketemu akan hilang lagi. Suma Ceng sebaliknya juga masih sadar bahwa sekali waktu ia akan kehilangan pemuda yang telah merampas hatinya ini, pemuda yang sudah merenggut kasih sayangnya. Kesadaran inilah yang membuat gadis itu nekat, menyerahkan diri dengan tulus ikhlas kepada pemuda yang takkan mungkin menjadi miliknya ini.
Keduanya mabok asmara hingga lupa diri, dan tanpa mereka sadari mereka menyerahkan diri kepada nafsu birahi. Nafsu birahi seperti pusingan air yang amat kuat. Sekali orang terseret, akan dibawa berpusing dan tenggelam, makin lama makin dalam dan takkan timbul kembali, sebelum.... mati!
Hanya bulan dan kadang-kadang malam gelap sunyi yang mengetahui. Hanya pondok merah di ujung taman menjadi saksi bisu akan pertemuan-pertemuan dua orang muda yang mabok nafsu dibuai gelora cinta kasih. Nafsu adalah saudara loba, makin dituruti makin menjadi, diberi sedikit ingin banyak, dituruti sehasta ingin sedepa. Pertemuan dan hubungan dilanjutkan. Mesra.....
Akhirnya tiba saatnya yang membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidaklah kekal adanya. Bahwa kesenangan di dunia ini tiada lain hanyalah keindahan-keindahan yang dibentuk sekelompok awan di angkasa raya. Sewaktu-waktu akan buyar kehilangan bentuk oleh tiupan angin. Bahkan banyak kalanya buyar dan berubah menjadi awan menghitam yang buruk menakutkan!
Malam itulah terjadinya. Malam yang takkan terlupa oleh Bu Song mau pun oleh Suma Ceng. Malam yang gelap tiada bulan tiada bintang, atau lebih tepat, malam yang terselimut awan. Malam yang dingin. Namun di dalam pondok merah itu yang ada hanyalah terang di dalam dua hati yang berpadu kasih, yang ada hanyalah panas di dalam dua tubuh yang dicekam nafsu birahi!
Sesosok bayangan berkelebat di depan pondok. Gerakannya cepat dan gesit sekali. Bayangan itu mendekam di ujung pondok, menanti. Seperti biasa, Bu Song menggandeng tangan kekasihnya dan berdua mereka bergandengan tangan menuju ke pintu bulan. Sampai di situlah Bu Song mengantar kekasihnya, kemudian sejenak saling rangkul, saling cium sebagai salam perpisahan malam itu.
Tiba-tiba bayangan yang sejak tadi mengikuti mereka, meloncat dan memukul muka Bu Song. Bu Song terhuyung dan roboh, Suma Ceng menjerit tertahan. Suma Boan sudah berdiri di depan mereka dengan mata melotot!
"Lekas kembali ke kamarmu!" bentak Suma Boan kepada adiknya yang berlari sambil terisak menangis.
Bu Song merangkak bangun, akan tetapi ia roboh kembali ketika kaki Suma Boan menendang dadanya. Kemudian putera pangeran itu mencengkeram rambutnya dan menyeretnya ke belakang istana, seperti seorang jagal menyeret seekor domba yang dibawa ke penjagalan.
"Bedebah! Anjing tak kenal budi!" Suma Boan memaki bekas sahabatnya.
Bu Song diam saja. Pikirannya mengakui kesalahannya, akan tetapi hatinya memberontak. Hatinya tidak mau mengakui salah. Ia dan Ceng Ceng saling mencinta. Apa salahnya?
Di belakang istana, Suma Boan memanggil seorang pengawal. Ia mendorong tubuh Bu Song sampai terkapar di atas tanah. "Ikat dia pada pohon itu!" perintahnya.
Pelayan itu menyeringai. Ia mengenal Bu Song dan ia tidak tahu mengapa majikannya marah-marah kepada pegawai muda ini. Akan tetapi Bu Song bukanlah sahabat para pengawal. Pengawal-pengawal adalah orang-orang yang mengutamakan kekerasan dan kekuatan. Seorang pemuda lemah tukang pegang pena dan kertas tentu saja bukan golongan mereka dan mereka menganggapnya rendah.
Dengan kasar ia menarik lengan Bu Song, menelikungnya ke belakang lalu medorong pemuda itu ke arah pohon. Kemudian ia mengikat kedua tangan Bu Song ke belakang pohon itu dengan sehelai tambang yang besar dan kuat. Hampir patah rasanya tulang lengan Bu Song. Ia merasa betapa sambungan tulang pundaknya sakit-sakit dan hampir terlepas. Namun sedikit pun tidak pernah terdengar keluhan dari mulutnya. Dia seorang pemuda yang tahan derita, daya tahannya luar biasa berkat gemblengan dari suhu-nya yang tak diketahui olehnya sendiri.
"Hayo, sekarang kau mau bicara apa? Keparat kurang ajar!" Suma Boan melangkah maju dan....
"Plak-plak-plak!" kedua pipi Bu Song ditampar sekerasnya sampai kepala Bu Song bergoyang-goyang ke kanan kiri.
"Suma-kongcu, bicara apa lagi? Aku dan dia saling mencinta. Kalau itu kau anggap bersalah, bunuhlah, aku tidak takut mati."
"Setan...!" Suma Boan marah sekali, tangan kanannya memukul dada dan tangan kiri menghantam ke arah perut.
Bu Song maklum akan hebatnya pukulan yang melayang datang. Ia tidak takut mati, akan tetapi ngeri juga membayangkan rasa nyeri dipukul, maka otomatis hawa sakti di tubuhnya berkumpul ke arah dada dan perut.
"Dukk! Duukk!" dua pukulan hebat itu tentu akan menghabiskan nyawa orang. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya hati Suma Boan ketika pukulannya bertemu dengan kulit yang keras sehingga pukulan-pukulan itu membalik. Namun Bu Song menjadi sesak napasnya dan terengah-engah.
"Jaga dia di sini sampai pagi. Kalau banyak cakap boleh pukul mukanya, tapi jangan dibunuh!" akhirnya Suma Boan meludahi muka Bu Song dan pergi dari tempat itu. Pengawal itu tertawa ha-ha-hi-hi lalu duduk bersandar batu karang hiasan di belakang istana.
Kiranya Suma Boan melaporkan kepada ayahnya tentang peristiwa semalam. Tentu saja Pangeran Suma Kong menjadi kaget bukan main dan marah sekali. "Keparat, anak setan tidak mengenal budi orang! Bunuh saja dia! Siksa biar tahu rasa!" Kemudian pangeran ini melangkah lebar menuju ke kamar anaknya, Suma Ceng.
Waktu itu matahari telah bersinar terang. Suma Boan menuju ke belakang istana dan makin gemas hatinya melihat Bu Song terikat di pohon itu. Alangkah tenang wajah pemuda itu, pikirnya. Sedikit pun tidak memperlihatkan ketakutan. Si Pengawal cepat bangkit berdiri ketika melihat majikannya muncul.
"A Piauw, urusan dengan bedebah ini adalah urusan antara dia dan aku. Hanya engkau yang menjadi saksi. Tak perlu kau bicarakan dengan orang lain. Kalau ada yang tanya, bilang saja bahwa kau tidak tahu. Mengerti?"
"Baik, Kongcu."
Bu Song mengangkat mukanya memandang Suma Boan, lalu berkata, "Suma-kongcu, kau benar, urusan ini adalah urusan antara engkau dan aku. Seperti kukatakan malam tadi, kalau kau menganggap aku telah melakukan sesuatu yang salah dan kau akan menghukumku, lakukanlah. Aku bersedia kau bunuh, akan tetapi jangan kau salahkan dia."
"Tutup mulut!" bentak Suma Boan yang mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari saku bajunya. "A Piauw, kau ambil secawan arak!"
Pengawal itu tadinya bingung. Untuk menghukum seorang lawan, mengapa harus mengambil secawan arak? Akan tetapi ia tidak berani membantah, segera berlari cepat meninggalkan tempat itu dan kembali lagi membawa sebuah cawan yang terisi arak setengah lebih. Suma Boan membuka bungkusannya, menuangkan sedikit bubuk hitam ke dalam cawan. Arak yang tadinya berwarna merah itu lalu berubah menjadi hitam dan mengeluarkan uap! Tahulah si Pengawal bahwa arak itu diberi racun. Ia menyeringai heran. Untuk membunuh lawan, mengapa tidak sekali pukul atau bacok saja dengan senjata? Mengapa harus menggunakan arak beracun?
"Bu Song, alangkah inginku menggunakan tanganku sendiri untuk memukulimu sampai pecah kepala dan dadamu, atau menggunakan sebatang golok mencincang hancur tubuhmu. Akan tetapi mengingat bahwa engkau pernah melayani aku, pernah menjadi seorang yang kuanggap orangku dan sahabatku, biarlah kau menebus dosamu dengan minum racun. Akan tetapi jangan kira bahwa kau akan cepat terbebas dari racun ini. Tidak! Racun ini akan menggerogoti ususmu sedikit demi sedikit, dan kau akan mati dalam keadaan menderita, biar kau mendapat kesempatan untuk menyesali dosa-dosamu! A Piauw, minumkan arak itu padanya!"
A Piauw yang ingin menyenangkan hati majikannya, mengejek, "Heh-heh, orang muda. Silakan minum anggur pengantin...."
"A Piauw tutup mulutmu! Apa kau minta kupecahkan kepalamu?!"
A Piauw kaget sekali, tidak mengerti mengapa majikannya begitu marah.
Ada pun Bu Song tersenyum pahit mendengar ejekan itu, ejekan yang amat tepat. Ia tidak minum anggur pengantin bersama Suma Ceng, melainkan minum arak beracun untuk menemui maut! Ia menengadah dan membuka mulutnya. Akan tetapi A Piauw yang mendongkol oleh bentakan majikannya, menjambak rambut Bu Song dengan tangan kiri, menarik kepala itu ke belakang, lalu dengan tangan kanan ia menuangkan arak beracun itu ke dalam mulut Bu Song.
Bu Song merasa kerongkongannya seperti dibakar dan kepalanya pening karena bau arak itu menyengat hidung. Akan tetapi tanpa takut ia menelan arak itu ke dalam perutnya. Kemudian dengan menundukkan mukanya ia menanti datangnya rasa nyeri yang akan mengerogoti ususnya seperti yang dikatakan Suma Boan tadi. Aneh, sama sekali tidak ada rasa nyeri itu sungguh pun di dalam perutnya mulai bergerak-gerak seperti banyak hawa di situ dan terdengar suara tiada hentinya seperti air mendidih.
Suma Boan yang merasa amat benci mengingat perbuatan Bu Song dengan adiknya, menanti pemuda itu menderita nyeri yang luar biasa. Akan tetapi ia heran. Bu Song sama sekali tidak mengeluh, sama sekali tidak menahan nyeri yang hebat, bahkan kelihatan tenang-tenang saja. Pangkal lengannya yang di telikung ke belakang dan semalam terasa nyeri seakan-akan terlepas sambungannya, kini malah sudah
membaal dan tidak terasa apa-apa lagi.
Suma Boan menanti sampai lama, sampai matahari naik tinggi. Bu Song kelihatan lemah oleh lelah, lapar dan haus. Namun sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa racun itu bekerja dan mengamuk di dalam perut Bu Song. Suma Boan merasa penasaran dan menyuruh pembantunya menelanjangi tubuh atas Bu Song agar pemuda itu tersiksa oleh terik panas matahari. Memang niatnya ini berhasil dan Bu Song menggeliat-geliat disengat sinar matahari. Namun pemuda itu tetap saja membungkam, tak pernah mengeluh, tak pernah minta ampun dan tidak pernah minta minum.
Menurut perhitungan Suma Boan, orang yang minum racun tadi tentu umurnya takkan lewat setengah hari. Namun sampai matahari condong ke barat, Bu Song masih segar bugar biar pun amat menderita. Hal ini membuat Suma Boan menjadi penasaran dan marah sekali. Ia mengeluarkan sebatang cambuk dan mulailah ia mencambuki tubuh atas yang tak berbaju itu. Dada, leher, dan muka Bu Song sampai penuh jalur-jalur merah dan biru dan darah mulai bercucuran ke luar. Namun tetap saja Suma Boan sendiri yang kehabisan tenaga saking lelahnya. Ia telah mencambuki sampai seratus kali dan kini Bu Song tampak menggantung pada pohon itu, agaknya pingsan.
"Kau jaga dia malam ini. Hendak kulihat apakah besok pagi dia masih dapat bertahan hidup. Kalau malam nanti dia mampus, tetap jaga dia. Besok pagi bawa pergi mayatnya," kata Suma Boan kepada pembantunya.
Setelah melepaskan pandang untuk terakhir kalinya dengan senyum mengejek, Suma Boan lalu memasuki istana ayahnya. Kebetulan sekali seorang pengawal mencarinya karena ayahnya memanggil. Setelah ayah dan anak ini bertemu, mereka berunding.
"Aku sudah matangkan perjodohan adikmu dengan Perwira Muda Kiang. Sekarang baiknya perjodohan itu dipercepat. Besok kau pergilah kepada keluarga Kiang dan menyampaikan surat desakanku agar pernikahan dapat dilangsungkan dalam bulan ini atau selambatnya bulan depan. Aahhh, sungguh menggelisahkan hati benar anak perempuan itu! Kalau tidak ingat bahwa hanya dia seorang anakku perempuan, lebih baik melihat dia mati di depanku!"
"Ayah, sudah ada jalan terbaik mengapa berpikir demikian? Moi-moi masih terlalu muda dan harus diakui bahwa Bu Song memang tampan dan sikapnya menarik hati. Yang berdosa besar adalah Bu Song. Tentu dia yang memikat Moi-moi sehingga terjerumus...."
"Bagaimana dia? Bagaimana keparat jahanam itu? Sudah kau bikin mampus?"
Suma Boan mengangguk. "Malam nanti tentu dia mati. Aku membiarkan dia mati dalam keadaan menderita untuk menebus dosanya!"
Malam itu gelap gulita. Apa lagi di bagian belakang istana, karena malam itu semua pelayan atau pengawal dilarang memasuki kebun itu. Keluarga Suma tentu saja ingin menyimpan peristiwa itu, tidak ingin membiarkan orang luar tahu akan hubungan yang terjadi antara puteri Suma dengan seorang pegawai rendahan!
A Piauw si pengawal itu makan dan minum arak di bawah pohon, makanan dan arak yang dikirim oleh seorang pengawal lain atas perintah Suma Boan. Sambil minum arak A Piauw memandang ke arah tubuh yang masih lemas tergantung pada batang pohon. Diam-diam ia merasa amat kagum pada pemuda lemah itu. Seorang pemuda sastrawan yang tentu saja bertubuh lemah, akan tetapi sedikit pun tidak mengeluarkan rintihan atau keluhan, padahal ia telah diberi minum racun yang merusak usus dan dicambuki sampai seratus kali oleh Suma-kongcu yang terkenal mempunyai tangan yang kuat sekali! A Piauw menggeleng-geleng kepala. Kalau tidak melihat dengan mata kepala sendiri, tentu ia tidak akan sudi percaya. Mana ada seorang pemuda lemah dapat menahan segala derita tanpa mengeluh satu kali pun?
Angin malam bertiup dan daun-daun pohon bergoyang. A Piauw menarik leher bajunya ke atas. Entah mengapa, ia merasa bergidik. Sudah matikah pemuda itu? Berpikir demikian, ia bangkit berdiri dan menghampiri tubuh Bu Song. Muka itu masih tunduk, akan tetapi ketika ia mendekat, Bu Song mengangkat muka. Sepasang matanya masih bersinar tajam. A Piauw mundur lagi dan makin merasa seram. Pemuda ini bukan orang sembarangan, pikirnya. Bagaimana kalau sampai besok pagi belum mati? Ah, terserah Kongcu saja pikirnya. Tugasnya hanya menjaga dan apa sukarnya menjaga seorang yang sudah setengah mati dan terikat pada pohon?
Kembali angin membuat daun-daun pohon bergoyang. Akan tetapi pohon di mana Bu Song terikat, terlampau keras goyangnya. Keadaan amat gelap dan lampu gantung yang berada di atas kepala A Piauw tergantung pada batu karang. A Piauw menjadi curiga dan mendekati Bu Song. Akan tetapi matanya terbelalak ketika melihat Bu Song sudah terlepas dari ikatan, dan seorang kakek merangkul pundaknya.
"Heee...! Apa... siapa...."
Hanya sekian saja A Piauw mampu mengeluarkan kata-kata karena tubuhnya seolah-olah menjadi lumpuh seketika dan ia roboh seperti kain basah jatuh dari
sampiran. Ia tak mampu bergerak mau pun mengeluarkan suara, hanya matanya melotot menyaksikan betapa kakek itu berkelebat pergi sambil mengempit tubuh Bu Song.
Penolong Bu Song itu bukan lain adalah Kim-mo Taisu. Kakek ini bermaksud mencari dan mengunjungi muridnya. Siang tadi ia mendengar dari Ciu Tiang akan nasib baik Bu Song yang di terima menjadi pegawai Pangeran Suma Kong. Diam-diam Kim-mo Taisu menjadi tidak senang hatinya. Ia sudah mendengar siapa adanya Pangeran Suma Kong, seorang bangsawan tinggi tukang korup. Ia khawatir kalau-kalau Bu Song akan menjadi rusak setelah menjadi kaki tangan pembesar koruptor itu. Maka sengaja malam itu ia pergi menyelidiki dan memasuki kompleks istana Pangeran Suma Kong melalui tembok belakang. Dan kebetulan sekali ia melihat betapa muridnya terikat pada pohon dengan tubuh bekas siksaan, maka ia cepat menolongnya dan membawanya pergi ke luar dari tembok kebun istana.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Ciu Tang ketika Kim-mo Taisu datang lagi membawa tubuh Bu Song yang lemah dan masih pingsan. Cepat ia membantu, dan setelah tubuh pemuda itu dibaringkan, Kim-mo Taisu segera memeriksanya. Lega hati kakek ini ketika mendapat kenyataan bahwa muridnya tidak menderita luka hebat, hanya luka di kulit saja. Akan tetapi melihat keadaannya, hatinya menjadi panas. Siksaan itu keterlaluan sekali dan kalau saja muridnya tidak memiliki hawa sakti dalam tubuh dan memiliki daya tahan yang luar biasa, tentu Bu Song sudah mati. Kakek ini sama sekali tidak tahu bahwa Bu Song malah telah diberi minum racun hebat yang untung sekali tidak membunuhnya karena tubuh Bu Song sudah kebal setelah pemuda ini menghabiskan obat sarang burung rajawali hitam.
Setelah diberi minum obat penguat, dalam waktu satu jam saja Bu Song sudah siuman. Ia membuka matanya dan memang tadi ketika tertolong, ia dalam keadaan sadar. Cepat ia turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kim-mo Taisu yang menjaganya di situ. Kakek ini memberi isyarat kepada Ciu Tang untuk keluar dari kamar, kemudian ia menutup daun pintu dan menyuruh muridnya duduk kembali di pembaringan.
"Ceritakan apa yang terjadi padamu," kata guru ini dengan pandang mata tajam.
Bu Song menjadi rikuh sekali, merasa malu dan tidak enak hati. Gurunya ini juga bekas calon mertuanya. Bagaimana hatinya akan merasa enak kalau bercerita bahwa dia mengadakan hubungan dengan puteri Pangeran Suma, ketahuan dan dihajar seperti itu? Bukankah gurunya akan menganggapnya seorang laki-laki hina dan rendah, bahkan mungkin dianggapnya dia seorang pemuda hidung belang atau mata keranjang? Akan tetapi, untuk berbohong terhadap suhunya ia tidak mau, maka sambil menundukkan mukanya ia berkata.
"Suhu, murid selayaknya menerima kematian. Agaknya Suhu telah membuang tenaga sia-sia dengan menolong murid yang murtad dan berdosa. Teecu (murid) akan menceritakan segalanya secara terus terang dan andai kata Suhu menjadi marah dan lalu menghukum atau membunuh teecu, teecu akan menerima dengan hati rela." Kemudian ia menceritakan semua pengalamannya, semenjak ia turun gunung pergi ke kota raja, tentang pertemuannya dengan Kakek Kong Lo Sengjin, tentang ujian dan kemudian tentang peristiwa antara dia dan Suma Ceng.
"Suhu, teecu telah berdosa. Teecu telah kehilangan kekuatan batin, tidak kuasa menghindarkan diri dari perbudakan nafsu seperti yang diajarkan Suhu. Teecu tidak berdaya, bertemu dengan Suma Ceng membuat teecu ingat kepada Eng Eng dan segala sesuatu tidak dapat teecu hindarkan lagi. Teecu menerima salah dan terserah kepada hukuman Suhu." Bu Song menutup ceritanya sambil menundukkan muka.
Kim-mo Taisu mendengarkan semua penuturan muridnya dengan termenung. Terbayanglah segala pengalamannya dengan wanita. Dia pun banyak mengalami mala-petaka dan penderitaan karena cinta. Dalam cinta kasih, ia selalu mengalami kegagalan dan kesialan! Mengapa hal yang buruk itu agaknya menurun kepada muridnya?
Akan tetapi ada hal yang membuat ia penasaran dan marah sekali ketika mendengar cerita muridnya. Yaitu tentang Kong Lo Sengjin, tentang percakapan antara Kong Lo Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang. Kiranya yang menyuruh bunuh isterinya adalah Kong Lo Sengjin, paman isterinya sendiri! Kiranya pamannya yang terlalu besar nafsunya akan kedudukan dan kemuliaan dunia itu telah sengaja membangkitkan amarah dalam hatinya dengan jalan menyuruh bunuh isterinya dan melakukan fitnah bahwa yang menyuruh bunuh adalah musuh-musuhnya!
"Bu Song, setelah engkau mengalami banyak penghinaan dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat, apakah engkau masih menganggap bahwa ilmu silat adalah rendah dan tidak patut dipelajari oleh orang budiman?"
Bu Song diam saja, tidak dapat menjawab. Memang banyak sudah kenyataan menimpa dirinya hanya karena ia seorang lemah.
"Andai kata engkau dahulu belajar ilmu silat dariku, apa kau kira Suma Boan berani menyiksamu? Bahkan mungkin Suma Ceng dapat menjadi jodohmu karena tidak ada orang berani melarangmu! Ilmu adalah ilmu, baik itu ilmu silat (bu) ataukah ilmu surat (bun). Ilmu tetap ilmu, titik. Tidak bisa dibilang baik mau pun buruk. Semua benda di dunia ini tidak punya sifat baik atau pun buruk. Yang ada hanya wajar, sudah semestinya begitu, tidak baik tidak buruk. Baik buruknya tergantung kepada si manusia yang memanfaatkannya. Karena sesungguhnya, istilah baik dan buruk adalah ciptaan manusia sendiri. Baik buruknya tergantung dari manusia, kalau dipergunakan untuk kebaikan maka itulah ilmu yang baik. Kalau dipergunakan untuk kejahatan, maka buruklah ilmu itu! Seperti halnya semua anggota tubuh, misalnya mulut. Mulut tetap mulut, tidak baik tidak buruk. Kalau dipergunakannya hanya untuk menjadi jalan masuknya makan minum yang enak-enak dan menjadi jalan ke luarnya maki-makian, ucapan kurang ajar, fitnah dan tipu, maka buruklah mulut itu! Akan tetapi kalau dipergunakan menjadi jalan masuk minum yang sehat dan jalan ke luar omongan yang baik-baik bagi manusia lain, maka baiklah mulut itu!"
Kim-mo Taisu bicara penuh semangat dan Bu Song mendengarkan sambil menundukkan mukanya, namun dengan penuh perhatian.
"Kau dahulu menganggap silat itu ilmu kasar untuk berkelahi dan membunuh orang atau melukainya, maka kau membencinya. Apakah ilmunya yang berkelahi, melukai atau membunuh orang? Bukan! Melainkan orangnya! Biar pun tak pandai silat, apakah tak dapat berkelahi atau membunuh orang? Sebaliknya kalau dipergunakan baik, maka ilmu silat amat berguna. Misalnya, untuk menjaga diri dari pada hinaan orang-orang yang merasa dapat berbuat semaunya karena kekuatannya, untuk menolong orang-orang yang mengalami penindasan dari orang-orang jahat, dan masih banyak sekali hal-hal baik yang hanya dapat dilakukan dengan sempurna oleh orang-orang yang pandai ilmu silat. Sekarang kita meninjau ilmu bun (sastra). Kau melihat sendiri keadaan di kota raja. Siapakah yang duduk di istana, menjadi pembesar-pembesar yang berkekuasaan dan berpengaruh besar? Mereka ini tergolong orang pandai sastra, orang-orang pintar dan terpelajar. Akan tetapi, apakah mereka menggunakan kepandaiannya itu untuk kebaikan? Memang ada, akan tetapi hanya beberapa gelintir manusia saja! Yang terbanyak, kepandaiannya itu hanya untuk melakukan kejahatan yang lebih kejam dari pada membunuh orang dengan bacokan pedang! Kepintarannya dipergunakan untuk ‘memintari’ orang lain yang bodoh. Kau lihat, kalau ilmu bun dipergunakan untuk kejahatan, apakah boleh kau sebut bahwa ilmu bun itu jahat dan buruk?"
Bu Song mengangguk-angguk. "Dahulu pun teecu sudah pernah Suhu beri wejangan seperti sekarang ini sehingga di dalam lubuk hati teecu sudah ada pengertian seperti itu. Namun teecu tidak percaya oleh karena tadinya teecu mengira bahwa orang terpelajar yang mempelajari filsafat hidup dari kitab-kitab kuno tentulah menjalani hidup menurut jejak seorang kuncu (bijaksana/budiman). Maka teecu lebih condong mempelajari bun dari pada bu. Akan tetapi siapa kira, setelah teecu berada di sini, teecu muak! Semua kata-kata Suhu benar belaka."
"Jadi, sekarang kau mau menjadi muridku, murid ilmu silat?"
Bu Song menjatuhkan diri berlutut. "Kalau Suhu masih percaya kepada teecu, kalau Suhu mau memberi pelajaran ilmu silat, berarti teecu menerima anugerah yang tiada bandingannya. Tentu saja teecu akan merasa berterima kasih sekali."
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Baru kali ini semenjak bertahun-tahun Kim-mo Taisu dapat tertawa lagi. "Alangkah lucunya! Padahal di dalam dirimu telah terkumpul segala dasar ilmu silat yang hebat! Berlatih setahun kau akan memperoleh hasil sepuluh tahun, berlatih dua tahun akan memperoleh hasil dua puluh tahun! Sekarang mari kita berangkat ke istana Pangeran Suma. Kalau mereka memandang rendah kepadamu, kita bawa kekasihmu itu dengan kekerasan dan kalau perlu, kita bunuh Suma Kong dan puteranya, Suma Boan yang sudah menyiksamu! Pembesar-pembesar korup yang seperti lintah darat, yang telah menghisap darah rakyat sampai perutnya gendut, sudah sepatutnya dibunuh!"
Bu Song menubruk kaki suhunya. "Tidak... jangan, Suhu... ampunkan teecu, jangan Suhu lakukan hal itu...!"
"Hemm...!" Suara Kim-mo Taisu menjadi dingin sekali. "Kalau kau masih selemah ini, mana patut menjadi pendekar? Seorang pendekar harus berani mengambil tindakan, harus berani berbuat apa saja, kalau perlu kekerasan, asal semua tindakannya itu beralaskan kebenaran dan keadilan!"
"Bukan sekali-kali teecu berlemah hati. Tidak, Suhu. Hanya... teecu menghormat dan menghargai rasa cinta kasih teecu dan Ceng Ceng. Tidak mau teecu memaksakan cinta secara itu, apalagi membawa lari seorang gadis, puteri pangeran pula. Akan ke mana larinya nama baik Suma Ceng? Teecu amat mencintanya, tak mungkin teecu berani melakukan hal itu, mencemarkan nama baiknya selama hidup. Juga tentang ayah dan kakaknya, kalau kita membunuh mereka, bagaimana jadinya dengan nasibnya? Teecu teringat kepada Subo...."
Lemaslah seluruh tubuh Kim-mo Taisu mendengar ini. Muridnya mengingatkan ia akan nasib Khu Gin Lin, puteri bangsawan yang menjadi isterinya. Seperti juga kekasih muridnya ini, mendiang isterinya itu adalah puteri pangeran yang sekeluarganya terbasmi dan terbunuh. Ia menarik napas panjang.
"Sesukamulah. Agaknya kau seperti aku, siap menderita karena cinta..."
"Teecu bersumpah takkan menjatuhkan hati cinta kepada wanita lagi, Suhu."
"Ha-ha-ha-ha! Patah hati? Begitu pula aku dahulu, tapi nyatanya..."
"Tidak, teecu betul-betul bersumpah, selama hidup teecu tidak akan mencin...."
"Hushhh! Tak perlu bersumpah. Tidak ada yang melarang manusia untuk bercinta, muridku. Bahkan Tuhan sendiri pun tidak. Cinta itu anugerah, bahkan hidup ini baru berarti kalau diisi dengan cinta. Akan tetapi, bukan cinta yang digelapkan oleh nafsu. Kelak engkau akan mengerti sendiri!"
Kakek itu menarik napas panjang karena teringat akan pengalamannya sendiri di waktu muda. Sampai kini pun ia merasa bahwa cinta kasihnya yang sejati adalah pada diri Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian, ibu muridnya ini. Mungkin karena inilah maka ia menganggap Bu Song seperti puteranya sendiri, dan ada perasaan sayang amat besar dalam hatinya terhadap pemuda ini.
Mereka tidak lama berada di rumah Ciu Tang. Malam itu juga, menjelang fajar, Kim-mo Taisu mengajak muridnya pergi dan keluar dari kota raja. Kim-mo Taisu maklum bahwa kalau terlalu lama mereka berada di situ, sudah tentu Ciu Tang akan ikut menderita celaka.
Semenjak saat itu mulailah Bu Song diajar ilmu silat. Seperti ketika ia mempelajari ilmu surat, pemuda ini amat tekun dan penuh perhatian. Dan baru terbukalah matanya bahwa sesungguhnya di dalam dirinya selama ini ia telah memiliki tenaga sakti yang hebat! Beberapa hari kemudian di dalam sebuah hutan, ia duduk bersila di depan suhunya yang juga duduk bersila. Ia disuruh mengatur napas dan mengumpulkan semangat seperti yang ia latih sejak kecil. Dan seperti biasa, kalau sudah begitu ia akan merasa ada hawa panas berkumpul di pusar.
"Tarik napas dalam-dalam dan tekan hawa panas itu agar naik ke dadamu," terdengar suara gurunya.
Bu Song yang memejamkan mata menuruti kata-kata gurunya ini, namun hawa panas yang berkumpul di sekitar bawah pusar itu sukar sekali ditekan naik. Tiba-tiba ia merasa betapa tangan suhunya menempel pada pusarnya dan dari telapak tangan suhunya itu keluar getaran hawa yang luar biasa kuatnya. Meminjam tenaga ini ia berusaha lagi dan kali ini berhasil. Hawa panas yang merupakan segumpal tenaga itu bergerak naik ke dada, membuat dadanya sesak dan ia terengah-engah hendak muntah.
"Bernapas perlahan-lahan, akan tetapi gunakan perhatian agar hawa jangan turun kembali. Setelah itu dorong hawa itu ke arah pundak kanan."
Demikianlah, sedikit demi sedikit Kim-mo Taisu melatih muridnya sehingga akhirnya, dalam waktu beberapa hari saja, Bu Song sudah berhasil menggunakan kekuatan untuk mendorong hawa panas itu mengitari tubuhnya, ke mana pun ia kehendaki. Dengan totokan-totokan yang tepat Kim-mo Taisu ‘membuka’ jalan darah tubuh muridnya, kemudian mulailah ia mengajarkan langkah, kuda-kuda, dan pukulan.
Memang betul apa yang diucapkan Kim-mo Taisu. Dalam diri Bu Song sudah terdapat tenaga sinkang yang amat kuat serta semua dasar ilmu silat tinggi memang sudah ia pelajari melalui huruf-huruf yang membentuk sajak-sajak dan ujar-ujar yang sengaja dahulu diselip-selipkan oleh Kim-mo Taisu dalam pelajaran ilmu sastra. Kini setelah dilatih prakteknya, tentu saja Bu Song cepat sekali dapat menangkap serta didorong bakatnya yang luar biasa, sebentar saja ia dapat menguasai setiap gerakan yang betapa sulit pun.
Dalam waktu setahun saja, dengan petunjuk suhunya, ia mampu sekali dorong merobohkan sebatang pohon sebesar manusia! Dalam waktu enam bulan, ginkang-nya sudah sedemikian hebat sehingga ia mampu mengikuti suhunya berloncatan di atas pohon seperti seekor tupai, dan merobohkan pohon sebesar manusia dapat ia lakukan dari jarak satu meter tanpa menyentuhnya! Guru dan murid ini tidak pernah berhenti berlatih silat. Siang dan malam berlatih terus dan beristirahat pun merupakan latihan semedhi mengumpulkan tenaga sakti. Kadang-kadang di waktu malam gelap, mereka berdua sudah berlatih saling serang bagaikan dua setan hutan yang berkelebatan di antara pohon-pohon. Kim-mo Taisu menggembleng muridnya dan menurunkan seluruh ilmu-ilmunya, tidak ada yang ia sisakan.
********************
Pada waktu itu yang memegang kekuasaan adalah Kerajaan Cou, kerajaan terakhir dari jaman Lima Kerajaan. Seperti kerajaan-kerajaan yang terdahulu, juga Kerajaan Cou ini tidak lama menguasai pemerintahan (951-960). Setelah sembilan tahun berdiri, pada tahun 959, raja Cou jatuh sakit berat. Kekuasaannya ia serahkan kepada putera mahkota yang pada waktu itu baru berusia sebelas tahun! Sebagai walinya tentu saja adalah ibu ratu. Semenjak inilah maka Kerajaan Cou menjadi lemah, karena para panglimanya banyak yang merasa tak senang melihat bahwa yang mereka bela hanyalah seorang anak yang manja serta seorang ibu yang ingin berkuasa saja.
Kerajaan Cou mempunyai seorang panglima tinggi yang amat dipercaya dan disayangi oleh Raja Cou. Panglima ini bernama
Cao Kuang Yin, seorang ahli perang yang memang keturunan orang-orang terkenal. Nenek moyangnya adalah orang-orang yang menduduki jabatan tinggi, menjadi panglima semenjak jaman Kerajaan Tang dan berturut-turut dalam jaman Lima Kerajaan itu, nenek moyang Cao selalu menjadi orang-orang penting dalam pemerintahan, terutama dalam ketentaraan.
Seperti juga para panglima dan bangsawan lainnya, diam-diam Cao Kuang Yin tidak senang akan penggantian raja dengan seorang kanak-kanak didampingi ibunya yang tamak itu. Bahkan ketika raja kecil atas desakan ibu suri menjatuhkan hukuman kepada seorang pejabat tinggi yang membantah peraturan baru tentang pemungutan pajak yang diperberat, Panglima Cao sendiri menghadap ke istana dan dengan sejujurnya menyampaikan protes!
Peristiwa ini diikuti dengan hati tegang oleh para pembesar. Perbuatan Cao ini dapat dianggap sebagai sikap memberontak dan sekali raja kecil yang dipengaruhi ibunya itu menjatuhkan hukuman mati, panglima itu tentu takkan tertolong lagi. Namun agaknya ibu suri juga dapat melihat bahwa panglima besar ini tidak boleh dipandang ringan. Di belakangnya banyak terdapat pasukan besar yang mencintanya. Maka untuk meredakan ketegangan, ibu suri menerima protes itu dan membebaskan kembali petugas atau pejabat tinggi yang terkenal setia itu.
Namun perisitwa itu tidak berhenti sampai di situ saja. Pada waktu itu, musuh utama Kerajaan Cou, yaitu bangsa Khitan, selalu membuat kacau di daerah utara dan seringkali menyerbu kota-kota di utara. Dengan alasan menindas kerusuhan yang dilakukan oleh musuh itu, raja kecil atas desakan ibu suri lalu menjatuhkan surat perintah kepada Panglima Cao Kuang Yin untuk memimpin barisannya ke utara dan memerangi bangsa Khitan.
Sebagai seorang panglima perang yang setia, tentu saja Panglima Cao tidak dapat membantah perintah rajanya untuk menyerbu musuh. Apa pun alasannya, kalau ia tidak mentaati perintah ini, tentu dia akan menjadi bahan tertawaan orang sedunia sebagai seorang panglima yang takut perang! Terpaksa Panglima Cao memimpin barisannya bergerak ke utara, sungguh pun ia maklum bahwa bahaya yang mengancam kerajaan bukan hanya dari bangsa Khitan dan penjagaan tidak boleh dipusatkan di utara saja.
Para panglima muda, para perwira sampai para anggota barisan sebagian besar merasa tidak puas dan tidak senang dengan tugas ini. Bukan saja perjalanan dan tugas di utara itu amat berat, namun juga mereka dapat menduga bahwa perintah ini merupakan ‘pembalasan’ dari ibu suri sehingga tak mungkin kelak mereka akan menerima jasa dalam tugas yang mempertaruhkan nyawa ini. Di luar tahu Panglima Cao, diam-diam para panglima muda dan perwira mengadakan permufakatan dan persekutuan.
Pada malam hari itu, ketika barisan berhenti dan beristirahat setelah melakukan perjalanan beberapa hari dari kota raja, tujuh orang panglima muda dan sebelas orang perwira berkumpul dalam tenda besar. Mereka bermufakat untuk memaksa Panglima Besar Cao Kuang Yin dengan kekerasan agar suka memimpin barisan kembali ke kota raja dan menggempurnya serta mengambil alih kekuasaan. Pendeknya mereka hendak memaksa Coa Kuang Yin untuk memberontak terhadap raja kecil dan ibu suri!
Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang kakek aneh telah berdiri di sudut tenda. Kakek ini sudah tua sekali, kedua kakinya ditekuk bersila, tergantung di antara dua batang tongkat yang menggantikan kakinya. Tentu saja delapan belas orang komandan itu cepat bangkit dan kaget serta terheran-heran. Bagaimana tenda yang dijaga sekelilingnya oleh pasukan penjaga dapat kemasukan orang luar tanpa ada yang tahu? Karena mereka sedang merundingkan urusan rahasia yang gawat, tentu saja kehadiran seorang luar seperti kakek ini amat mengejutkan. Serentak mereka sudah mencabut pedang dan golok masing-masing.
"Ha-ha-ha-ha! Cu-wi Ciangkun (Para Perwira), harap jangan kaget dan curiga! Aku datang untuk membantu kalian melaksanakan maksud hati kalian yang amat baik ini. Kerajaan Cou yang lapuk harus diruntuhkan!"
Karena yang mengucapkan kata-kata ini seorang luar yang tak dikenal, tentu saja para panglima itu makin kaget dan khawatir. Dua orang di antara para perwira yang terkenal hebat kepandaiannya dalam ilmu memanah, telah menggerakkan tangan dan....
"Serrr! serrr!" dua batang anak panah dengan kecepatan kilat telah menyambar leher dan perut kakek itu!
Kakek itu sama sekali tidak mengelak atau kelihatan bergerak, agaknya ia tidak melihat bahwa dua batang anak panah seperti dua tangan maut menjangkau hendak mencabut nyawanya. Ia masih enak-enak berkata, "Biarlah aku yang akan mengajukan alasan kepada Cao-goanswe (Jenderal Cao), dan kalau terjadi kegagalan sehingga kalian terpaksa melawannya, aku akan membantu kalian!"
Delapan belas orang ahli perang itu berdiri dengan mata terbelalak kagum dan keget. Kakek itu masih bicara dan sementara itu, dua batang anak panah seakan-akan telah mengenai dada dan leher, akan tetapi karena kakek itu bicara sambil menggerakkan kedua tangan, mereka tidak melihat bagaimana sekarang tahu-tahu kedua batang anak panah itu telah terjepit di antara jari-jari tangan kakek itu!
Jilid 30»

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)