SULING EMAS : JILID-27
Sebaliknya binatang itu adalah binatang yang mengandalkan hidupnya
dengan kekerasan dan perkelahian. Maklum ia tidak dapat melepaskan diri
dari jepitan yang amat kuat dan maklum pula bahwa lawannya ingin
merampas wanita dalam panggulannya, ia sengaja melepaskan tubuh Eng Eng.
Bu Song terkejut karena tiba-tiba tubuh Eng Eng dapat ia tarik sehingga
hampir terbanting jatuh. Terpaksa ia melepaskan jepitan pada leher dan
menerima tubuh Eng Eng. Siapa kira monyet itu cerdik dan cepat sekali.
Begitu lehernya dilepaskan, monyet itu membalik dan tiba-tiba Bu Song
terpelanting karena perutnya dihantam sekerasnya dan di lain saat ketika
tubuhnya terpelanting, Eng Eng telah berhasil diserobot kembali dan
dipanggul terus dibawa lari.
"Binatang jahat, hendak lari ke mana kau?" Bu Song sudah bangkit lagi dan mengejar.
Monyet itu ketakutan. Agaknya ia tahu bahwa lawannya amat kuat, dihantam sedemikian kerasnya tidak mampus bahkan mengejar lagi. Cepat monyet itu melompat-lompat dari batu ke batu naik ke puncak. Puncak Api yang menakutkan. Sebagai seorang manusia, Bu Song yang tidak terlatih tentu saja payah mengejar seekor monyet yang mengambil jalan pendakian yang amat sukar itu. Namun Bu Song tidak gentar dan terus mengejar, walau pun ia mulai tertinggal jauh.
Bukan main sukarnya perjalanan ke puncak, amat curam dan sekali saja kaki terpeleset, tentu tubuhnya akan melayang ke bawah ratusan meter dalamnya dan akan terbanting hancur di atas batu-batu karang di sebelah bawah. Kalau saja ia tidak sedang marah dan gelisah memikirkan nasib Eng Eng, agaknya biar Bu Song seorang pemberani pun akan ngeri kalau melihat ke bawah. Ia mengejar terus dan hanya beberapa belas meter lagi monyet itu tentu akan mencapai puncak.
"Binatang jahat, lepaskan dia...!" berkali-kali Bu Song berseru marah dan mempercepat pengejarannya.
Tiba-tiba terdengar kelepak sayap dan tampaklah tubuh burung rajawali hitam yang besar itu menyambar turun. Melihat burung itu, Bu Song cepat berseru, "Hek-tiauw-ko (Saudara Rajawali Hitam), tolonglah Eng Eng. Hajar monyet busuk itu!"
Aneh sekali. burung itu agaknya mengenal Bu Song yang telah menolong anaknya dan agaknya mengerti pula bahwa monyet itu musuh Bu Song. Ia menyambar ke bawah dan dengan kuku-kuku yang runcing mengerikan ia mencengkeram ke arah kepala monyet yang memanggul tubuh Eng Eng! Namun monyet itu pun bukan binatang sembarangan. Dengan geram marah monyet itu menggerakkan tangan kanannya menghantam. Burung rajawali menggerakkan sayapnya dan tubuhnya mumbul sedikit, mengelak hantaman monyet, kemudian mencengkeram lengan kanan monyet itu.
"Ceppp... kraakkkk!" sekali kedua kaki rajawali bergerak, lengan monyet itu hancur, daging kulitnya robek-robek, tulangnya patah-patah!
Monyet itu memekik keras. Karena ia menggunakan tangan kirinya untuk menghadapi lawan yang kuat itu, tanpa terasa lagi ia melemparkan tubuh Eng Eng dari pundaknya. Untung Bu Song sudah tiba di situ dan cepat pemuda ini menubruk Eng Eng dan mencegah tubuh gadis itu terguling ke dalam jurang. Karena tempat di situ amat berbahaya dan satu-satunya tempat yang agaknya dapat dipakai merawat Eng Eng yang masih pingsan hanya di puncak yang tinggal beberapa meter lagi, Bu Song memanggul tubuh Eng Eng dan merayap naik sambil jalan memutar, menjauhi tempat pertempuran.
Agaknya pekik monyet tadi telah menarik datang kawan-kawannya karena dari atas puncak itu berloncatan banyak sekali monyet besar-besar seperti yang menculik Eng Eng. Namun monyet pertama begitu memekik, kepalanya sudah hancur dicengkeram rajawali hitam, dan begitu monyet-monyet itu datang menyerbu, terjadilah pertandingan yang amat hebat dan menarik. Monyet-monyet itu liar dan ganas. Andai kata rajawali hitam tidak pandai terbang, tentu ia takkan sanggup menghadapi monyet yang puluhan banyaknya itu.
Namun rajawali hitam adalah seekor burung raksasa, dikeroyok puluhan ekor monyet itu ia sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan kelihatan gembira sekali. Sambil mengeluarkan suara menantang-nantang, burung itu terbang mengitari tempat itu dan sekali-kali menyambar ke bawah merobohkan seekor monyet. Monyet-monyet itu memekik-mekik marah, berjingkrakan dan ada pula yang menyambitnya dengan batu. Hiruk-pikuk di bawah puncak itu, ramai sekali pertandingan antara rajawali hitam yang dikeroyok banyak monyet.
Sementara itu, Bu Song mencapai puncak. Bukan main indahnya pemandangan di puncak itu. Puncak penuh dengan hutan pohon yang besar-besar dan berdaun merah. Inilah agaknya yang menjadi sebab mengapa puncak ini tampak kemerahan seperti api yang menyala dari jauh. Namun pada saat itu perhatian Bu Song seluruhnya ditujukan kepada Eng Eng sehingga ia tidak mempedulikan keindahan pemandangan, melainkan cepat-cepat ia menurunkan tubuh Eng Eng di atas tanah.
"Eng-moi... Eng-moi...," Bu Song mengguncang-guncang pundak Eng Eng dan merasa gelisah sekali melihat gadis itu meramkan mata dengan muka pucat.
Eng Eng merintih lirih, menggerakkan kepala ke kanan kiri dan membuka matanya perlahan. Pemandangan pertama ketika ia membuka mata adalah hutan kemerah-merahan di depannya. Gadis ini kaget, bangkit dan merangkul Bu Song, kemudian berkata, "Song-ko... apakah kita berada di sorga?"
Bu Song mendekap kepala itu, memeluknya dengan hati sebesar bukit. Ia mencium rambut di kepala itu dan berbisik, "Tidak, Moi-moi. Kita masih hidup, kita diselamatkan burung hek-tiauw yang kini masih bertanding dikeroyok banyak monyet jahat. Bagaimana, Moi-moi? Kau tidak apa-apakah? Tidak sakit-sakit tubuhmu?"
Mendengar suara penuh getaran ini terharulah hati Eng Eng. Perasaan wanitanya dapat menangkap rasa kasih sayang yang amat besar dari pemuda ini kepadanya. Ia mengangkat muka, menggelengnya kemudian merangkul leher Bu Song. Baru saja terlepas dari bahaya maut membuat hati kedua orang muda ini makin dekat dan saling menyayang. Kali ini Eng Eng tidak marah ketika Bu Song menciumnya penuh kasih sayang, ciuman yang dilakukan saking girangnya hati melihat kekasihnya selamat. Eng Eng tidak marah, malah tanpa sengaja ia mempererat rangkulannya.
Tiba-tiba Bu Song mendorong tubuh Eng Eng ke samping sambil berkata kaget, "Moi-moi, awas...!!" Matanya terbelalak memandang ke depan.
Eng Eng terkejut sekali, cepat memutar tubuh sambil melompat berdiri di samping Bu Song yang sudah berdiri pula. Dan ia pun terbelalak kaget ketika melihat bahwa di depan mereka telah berdiri seekor monyet berbulu merah yang besar sekali, lebih besar dari manusia! Bulu monyet ini halus dan merah, matanya juga merah. Taringnya yang putih mengkilat tampak jelas karena monyet ini meringis dan matanya memandang penuh ancaman.
Mengingat bahwa kekasihnya tidak pandai silat, Eng Eng segera maju dan berkata perlahan, "Koko, kau sembunyilah!"
Kemudian gadis ini dengan gerakan gesit sekali menerjang maju, mengirim pukulan ke arah dada binatang itu, sedangkan kakinya membuat gerakan menyapu kaki. Cepat sekali gerakan ini, namun monyet merah itu ternyata tidak kalah gesitnya. Anehnya, gerakan monyet itu seperti gerakan orang bersilat pula ketika ia melangkah mundur dan meloncat menghindarkan diri dari pada sapuan kaki Eng Eng, bahkan sebelum kakinya turun ke tanah, monyet itu sudah membalas dengan cengkeraman tangan yang berkuku panjang meruncing ke arah pundak Eng Eng.
Gadis ini cepat miringkan tubuhnya dan dari samping ia menendang. Puteri Kim-mo Taisu tentu saja memiliki ilmu kepandaian yang lumayan sungguh pun ayahnya diam-diam mengakui bahwa puterinya ini tidak begitu besar bakatnya. Tendangannya menyamping cepat sekali dan sebelum binatang yang amat gesit itu sempat mengelak, kaki gadis itu sudah mengenai lambungnya.
"Bukkk!!"
Eng Eng mengeluarkan seruan kaget. Tendangannya tadi dilakukan dengan pengerahan tenaga cukup keras, akan tetapi ia merasa seakan-akan menendang sebuah batu besar, kakinya membalik dan terasa sakit sekali. Akan tetapi monyet besar itu pun agaknya kesakitan karena ia memekik dan menjadi makin marah. Dengan gerakan cepat dan dahsyat ia menubruk dengan kedua tangan dan kakinya seperti seekor harimau menerkam. Kembali Eng Eng mengelak dengan menggulingkan tubuh ke atas tanah. Tubrukan luput, akan tetapi binatang itu sudah dapat berjungkir balik dan kini menyerang dan menerjang lagi.
Tiba-tiba gerakan binatang itu terhenti. Bu Song yang tidak tega melihat begitu saja kekasihnya berkelahi melawan binatang liar ini sudah melompat maju. Karena si Monyet membelakanginya, ia telah menerkam pundak dan leher binatang itu, terus menggumulnya dan menjepit leher binatang dengan lengan kanannya, sedangkan lengan kirinya menjepit perut.
Binatang itu kaget dan meronta-ronta, menggereng dan kedua tangannya menangkap lengan Bu Song, namun ia tidak dapat melepaskan diri dari jepitan tangan Bu Song yang amat kuat. Binatang itu menggulingkan diri, mereka bergumul, namun seperti seekor lintah menempel di kaki kerbau, Bu Song tidak dapat dilepaskan oleh monyet raksasa yang memekik-mekik marah.
Celaka bagi Bu Song adalah kuku-kuku panjang dari tangan monyet itu yang mencengkeram lengannya. Biar pun Bu Song amat kuat, namun ia terlambat mengerahkan tenaga dalam yang di luar pengetahuannya telah memenuhi tubuhnya itu ke arah lengan. Masih baik baginya begitu kuku-kuku itu menancap lengan, ia mengerahkan tenaga sehingga lengannya tidak sampai terobek. Kuat sekali monyet itu, tenaganya liar dan ganas, mereka bergulingan mendekati jurang!
"Koko, lepaskan dia...!" Eng Eng berteriak penuh kengerian melihat betapa kekasihnya bersama monyet itu bergulingan dekat jurang yang curam.
Gadis ini loncat mendekat dan mengerahkan tenaga memukul kepala monyet raksasa. Namun kembali ia terkejut karena kepalan tangannya tidak sanggup meremukkan kepala, bahkan terasa sakit. Namun bukan tidak ada pengaruhnya pukulan ini karena si Monyet kembali memekik kesakitan dan kedua tangannya yang mencengkeram lengan Bu Song terlepas. Pemuda ini maklum pula akan bahayanya bergumul dekat jurang, maka ia melepaskan jepitannya dan mendorong punggung monyet itu sambil melompat ke belakang.
Monyet itu marah sekali kepada Eng Eng yang dua kali telah memukulnya. Kini ia meloncat dan menerjang Eng Eng dengan pukulan-pukulan dan cengkeraman dahsyat, gerakannya tidak berbeda dengan ahli silat tinggi yang ahli dalam ilmu jiauw-kang (ilmu mencengkeram). Eng Eng berusaha mengelak, akan tetapi malang baginya, rambutnya yang tadi terlepas dan terurai panjang itu dapat tertangkap oleh tangan monyet yang terus menarik dan mengayunnya. Tubuh Eng Eng terbawa oleh ayunan ini. Monyet itu memekik dan mengerahkan tenaga melontarkan dan... tubuh Eng Eng tanpa dapat dicegah lagi melayang ke arah jurang yang amat curam!
"Eng-moi...!!" Bu Song menjerit penuh kengerian dan kegelisahan melihat tubuh kekasihnya melayang masuk jurang.
Ia lari ke pinggir jurang dan ketika monyet itu menerkamnya, sekali menggerakkan tangan kirinya Bu Song berhasil membuat monyet itu terlempar! Dalam keadaan gelisah ini, secara tidak sadar Bu Song telah mempergunakan sinkang yang sudah mengeram dalam tubuhnya sehingga sekali sampok tangan kirinya sanggup melemparkan monyet yang begitu kuat. Tanpa ingat akan bahaya lagi Bu Song lalu ikut meloncat ke dalam jurang dengan tangan diulurkan untuk menolong Eng Eng. Tentu saja tubuhnya ikut pula melayang turun dengan kecepatan seperti burung terbang.
"Eng-moi...!" Ia berseru keras sekali, seluruh perhatiannya tercekam oleh kekhawatiran akan keselamatan Eng Eng, seujung rambut pun ia tidak ingat bahwa dia sendiri melayang-layang turun menghadapi maut yang mengerikan.
"Koko...!" Eng Eng berteriak, merupakan jeritan lemah karena gadis yang sadar akan maut yang mengancam ini telah pingsan!
Barulah kini Bu Song sadar pula akan keadaan mereka. Namun seluruh hasratnya hanya tercurah untuk menolong dan menyelamatkan nyawa kekasihnya, maka ia lalu berteriak keras sekali, sekuat paru-parunya mengeluarkan suara itu.
"Hek-tiauw-ko...! Tolonggg...!!"
Karena tubuh Bu Song jauh lebih berat dari pada tubuh Eng Eng, maka dalam luncuran ke bawah ini ia lebih cepat menyusul tubuh Eng Eng. Dengan kemauan keras, Bu Song mengulur tangan dan berhasil memegang lengan Eng Eng. Akan tetapi kini karena kedua tubuh mereka menjadi satu maka berat badan menjadi bertambah dan mereka meluncur ke bawah dengan kecepatan yang mengerikan. Melihat ke bawah Bu Song merasa seakan-akan bukan mereka yang meluncur ke bawah, melainkan batu-batu karang di bawah yang melayang ke atas menuju mereka!
"Hek-tiauw-ko...!" Ia menjerit lagi. Terdengarlah bunyi kelepak sayap ketika burung rajawali hitam yang besar itu menyambar ke arah mereka. Karena burung ini hanya mengenal Bu Song, maka agaknya hanya kepada pemuda inilah ia mau menolong. Cepat sekali kakinya sudah menyambar pundak Bu Song.
Pemuda itu merasa pundaknya tertusuk kuku, akan tetapi maklum bahwa hanya burung ini yang akan mampu menolong mereka berdua. Ia cepat menggunakan tangan kirinya merangkul ke atas dan berhasil memeluk leher burung rajawali hitam, sedangkan tangan kanannya tetap memegang lengan Eng Eng.
Berat tubuh mereka berdua terlalu berat bagi burung rajawali yang sudah lelah dan terluka karena dikeroyok monyet-monyet tadi. Maka betapa pun ia menggerakkan sayapnya, ia tidak kuasa menahan luncuran ke bawah dan melayang-layanglah mereka bertiga. Biar pun tidak begitu pesat seperti tadi karena tertahan gerakan sayap burung yang berusaha mengangkat mereka, namun mereka masih terus meluncur tanpa tertahankan lagi! Burung itu mengeluarkan suara seperti orang merintih ketika mereka telah dekat sekali dengan dasar jurang, lalu burung itu mengerahkan kaki mengangkat tubuh Bu Song ke atas sambil membalikkan tubuh sehingga tubuhnyalah yang berada di bawah.
"Brukkkk...!!"
Mereka terhempas ke bawah dan dunia menjadi gelap gulita bagi Bu Song yang roboh pingsan oleh bantingan yang hebat itu. Lama sekali Bu Song pingsan. Tubuh kedua manusia dan seekor burung itu tak bergerak sama sekali. Hanya bulu burung yang kehitaman, ujung pakaian Bu Song dan rambut Eng Eng saja yang bergerak-gerak tertiup angin.
Ketika akhirnya Bu Song membuka matanya, ia nanar dan tidak ingat apa yang telah terjadi. Tubuhnya tak dapat bergerak. Akan tetapi perlahan-lahan ingatannya kembali dan ia bergidik. Kiranya yang membuat ia tak dapat bergerak adalah tubuh Eng Eng yang melintang di atas dadanya. Perlahan ia bangkit duduk, mengeluh karena seluruh tubuhnya sakit-sakit. Akan tetapi ia tidak mempedulikan dirinya, cepat ia mengangkat tubuh atas Eng Eng. Gadis itu tidak kelihatan terluka di luar, akan tetapi mulut, hidung dan telinganya mengucurkan darah!
"Eng-moi...!" Bu Song berseru lemah dan mengusap darah dari muka gadis itu. Diguncangnya perlahan pundak Eng Eng, namun tubuh itu lemas dan mata itu tidak terbuka.
"Moi-moi..., Eng-moi...!" Bu Song memanggil-manggil dan mengguncang-guncang, namun sia-sia. Eng Eng tetap tidak bergerak dan tidak membuka matanya.
“Dia pingsan,” pikir Bu Song.
Harapannya timbul. Dada gadis itu yang menempel di dadanya masih berdetak biar pun lemah, dahinya yang ia ciumi masih hangat. Eng Eng tidak mati, hanya pingsan. Tidak bisa dia mati! Ia ingat bahwa paling baik adalah mencari air untuk mencuci darah dan untuk membasahi muka dan kepala Eng Eng agar sadar kembali. Perlahan dan hati-hati ia meletakkan tubuh yang dipangkunya itu.
Kembali ia bangkit berdiri, terhuyung-huyung akan jatuh. Akan tetapi ia menguatkan diri dan tiba-tiba tampaklah olehnya tubuh rajawali hitam menggeletak. Kepala burung itu pecah, otaknya berhamburan dan binatang itu tidak bernyawa lagi! Kiranya ketika jatuh tadi, burung itu sengaja memasang tubuhnya di bawah dan malang baginya, kepalanya terbanting pada batu sehingga hancur seketika. Bu Song berlutut dan mengelus-ngelus burung itu, dan titik air mata membasahi pipi.
Kemudian ia teringat kepada Eng Eng, terus berdiri lagi dan mencari air. Kebetulan tak jauh dari situ terdapat air mancur dari lubang dalam batu karang. Segera ia menuju ke air dan karena tidak ada tempat untuk mengambil air, ia hanya menggunakan kedua tangannya, lalu cepat-cepat berjalan menghampiri Eng Eng dengan hanya sedikit sisa air di mangkuk tangannya.
Setelah muka yang pucat itu terkena air, Eng Eng bergerak lemah. Dengan mata masih meram, bibir gadis ini bergerak membisikkan kata-kata yang cukup jelas bagi Bu Song, "Song-koko..., Koko... aku cinta padamu..."
Bu Song merasa seakan-akan jantungnya diremas. Ia mendekap kepala gadis itu dan berbisik di telinganya. "Eng Eng... aku berada di sini...., mati hidup aku bersamamu, Eng-moi..." Ia melihat mulut itu tersenyum, akan tetapi matanya tetap tidak terbuka.
"Eng-moi... Eng-moi...."
Namun gadis itu tidak menjawab dan Bu Song berlari lagi menuju ke air mancur. Kali ini ia mendapatkan beberapa helai daun yang ia jadikan satu dan dengan daun-daun ini ia dapat membawa air di dalamnya. Gadis itu menelan air dan mengeluh perlahan, lalu membuka mata. Mereka saling pandang, mata yang sayu dari Eng Eng bertemu pandang mata penuh harap-harap cemas dari Bu Song.
"Song-ko...," Eng Eng berkata lemah, berusaha untuk tersenyum. Bu Song segera memangku gadis itu dan gerakan ini membuat Eng Eng merintih kesakitan.
"Bagaimana, Moi-moi? Apamu yang sakit? Kau tidak apa-apa, bukan?" pertanyaan penuh kecemasan dilontarkan bertubi-tubi.
Eng Eng meramkan mata, keningnya berkerut-kerut. Jelas bahwa ia menderita nyeri hebat yang ditahan-tahannya. Ia membuka matanya lagi, dan kini bulu matanya basah. "Koko... tiada harapan lagi...."
Seakan-akan terhenti detik jantung Bu Song dan ia mereka-reka arti yang lain untuk kalimat itu. "...apa... apa maksudmu...?"
Kembali Eng Eng meramkan mata, dan ketika membukanya lagi kini beberapa butir air mata mengalir turun. Ia menggeleng kepala. "Sakit semua rasa tubuhku... Song-ko. Kepalaku... ah, serasa dipukul-pukul dari dalam... dadaku... serasa terbakar dan akan pecah... oh...."
"Eng-moi...!" Bu Song mendekap kepala itu, mengelus-elusnya seakan-akan ia hendak mengusir rasa nyeri di kepala dengan usapan dan hendak mengoper rasa panas di dadanya sendiri. "Eng-moi, kau tentu akan selamat. Jangan khawatir, Moi-moi... aku akan membawamu pulang, aku akan...."
"Ssttt, diamlah... jangan bergerak, Koko... biarkan aku menikmati pelukanmu seperti ini untuk terakhir kali...! Song-koko, kau... kau... girangkah dijodohkan dengan aku...?"
Makin perih hati Bu Song, seakan-akan kini ditusuk-tusuk jarum. Ia menahan air mata yang hendak runtuh, lalu menundukkan muka menempelkan pipinya pada pipi Eng Eng, berbisik di telinganya, "Tentu saja, kekasihku, tentu saja aku girang sekali..., karena itu kau harus sembuh, kau harus sembuh, kau harus selamat, kelak kita... menikah..."
Naik sedu sedan di dada Eng Eng, dan hal ini agaknya amat menimbulkan nyeri sehingga ia meramkan matanya kembali. Ketika ia membuka matanya, air matanya makin deras mengalir akan tetapi mulutnya tersenyum. "Song-ko..." tangannya diangkat lemah, meraba-raba dan membelai dagu Bu Song yang agak berlekuk, "...mengapa kau... girang berjodoh denganku? Apakah kau... cinta padaku...?"
"Eng-moi...!" Bu Song teringat akan bisikan gadis itu ketika dalam keadaan setengah sadar tadi, bisikan pengakuan cinta. "Kau masih bertanya lagi? Aku cinta kepadamu, Eng-moi. Aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku..."
"Koko..., kasihan kau...," Eng Eng merangkul leher itu dan mereka bertangisan.
Bu Song tak dapat menahan diri lagi. Air matanya bercucuran, bercampur dengan air mata Eng Eng di pipi gadis itu yang coba ia keringkan dengan ciumannya. Air mata yang bercampur dengan darah yang masih mengalir ke luar dari hidung. Bu Song tidak peduli, ia menghisap air mata dan darah itu.
"Kasihan kau, Koko..., karena aku... aku tidak akan hidup lagi...."
"Eng-moi...! Jangan berkata begitu.... Moi-moi, kau tidak... kau tidak akan... ah, kau akan hidup bersamaku...."
Jari-jari tangan Eng Eng menjelajahi muka pemuda itu, mengelus rambutnya seakan-akan ia hendak menggunakan saat terakhir untuk mengenal lebih dekat wajah pemuda yang sejak dahulu telah menguasai rasa kasihnya, yang dahulu hanya dapat ia pandang dan kenang saja. "Aku tahu, Koko... aku terluka dalam hebat sekali... dalam dada... darah mengalir di dadaku, juga di kepalaku... tiada guna..., aku akan mati... dalam pelukanmu."
"Moi-moi!" Kini Bu Song menangis tersedu-sedu sambil mendekap gadis itu. "Kau tidak akan mati! Kalau kau mati, aku pun ingin mati di sampingmu!"
Eng Eng tersenyum mendengar ini dan kini air mata Bu Song yang membanjir turun itu memasuki bibirnya yang terbuka, menimbulkan rasa segar pada kerongkongannya yang serasa panas terbakar. Tiba-tiba Eng Eng mendapatkan tenaganya kembali dan ia menolak muka Bu Song, lalu ia bangkit duduk.
Bu Song tentu saja menjadi girang sekali. "Moi-moi, kau sembuh! Kuambilkan air, ya? Biar kumasak air agar air hangat-hangat dapat menyegarkan tubuhmu. Lalu kita mencari jalan naik, jangan khawatir, aku masih sanggup menggendongmu ke atas. Kita pulang!"
Eng Eng tersenyum akan tetapi menggeleng kepalanya, lalu tangannya menepuk tanah di dekatnya memberi isyarat kepada Bu Song untuk duduk di dekatnya.
"Kau.. kau sanggulkan rambutku...," katanya. Biar pun kelihatannya gadis ini bertenaga kembali, namun suaranya tersendat-sendat dan sukar keluarnya.
Bu Song cepat melakukan perintah ini. Jari-jari tangannya menggetarkan kasih sayang mesra ketika ia berusaha menyanggul rambut panjang halus itu sedapat mungkin. Akan tetapi pekerjaan ini sukar sekali ia laksanakan. Jari-jari tangannya menggigil. Tubuhnya sendiri terasa sakit-sakit, ditambah rasa haru dan khawatir membuat air matanya bercucuran. Matanya menjadi kabur dan beberapa kali ia mendekap dan menciumi gadis itu dengan hati hancur.
Eng Eng balas memeluk dan bahkan gadis inilah yang mengeluarkan kata-kata hiburan, kata-kata lemah yang berbisik-bisik hampir tak terdengar. "Diamlah... Koko, diamlah... kau sanggulkan rambutku... biar rapi..."
Bu Song berusaha membesarkan hatinya, akan tetapi bagaimana ia dapat menahan isak tangisnya ketika ia menyanggul rambut itu melihat betapa kepala Eng Eng penuh darah yang mulai membeku? Namun akhirnya berhasil juga ia menyanggul rambut gadis itu.
"Koko... aku... aku ingin...." Ia berhenti, sukar sekali melanjutkan kata-katanya.
Bu Song menempelkan telinga di dekat bibir yang sudah pucat itu. "Apa, Moi-moi? Kau ingin apa?"
"Ah, aku... aku malu... hik..."
Bu Song memeluknya. "Katakanlah, kau mau apa, Moi-moi...?"
"...hemmm...? ...aku ...aku ingin... sekarang menikah denganmu." Lalu disambungnya perlahan sekali, "aku ingin... mati sebagai istrimu...."
"Eng-moi...!" Bu Song tak kuat menahan tangisnya.
"Koko, jangan menangis. Maukah kau...? Maukah kau...?"
Bu Song tak dapat menjawab, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan air matanya bercucuran membasahi mukanya. Hampir pemuda ini pingsan saking perih dan sakit rasa hatinya.
"Mari kita bersumpah, Koko, marilah...."
Terpaksa Bu Song menuruti permintaan Eng Eng. Dengan susah payah ia menggandeng gadis itu, diajak berlutut sambil berpegang tangan, berlutut seperti sepasang pengantin bersembahyang! Untuk menyenangkan hati gadis itu Bu Song berkata keras-keras, "Langit dan bumi menjadi saksi! Saat ini kami, Kam Bu Song dan Kwee Eng, menjadi suami isteri, sehidup semati...!"
Eng Eng tertawa, tertawa malu-malu. Ketika Bu Song menoleh kepadanya, gadis itu merangkulnya dengan wajah penuh bahagia. Eng Eng menyembunyikan mukanya di dada Bu Song, akan tetapi pada saat itu pula nyawanya telah melayang meninggalkan raganya! Tadinya Bu Song tidak tahu, baru setelah ia merasa betapa tubuh gadis itu lemas sekali, ia mengangkat dan tahu bahwa kekasihnya itu tak bernyawa lagi.
"Eng-moi...!!" Ia menjerit, mendekap dan roboh pingsan sambil memeluk Eng Eng....
********************
Pukulan batin yang diderita Kim-mo Taisu ketika ia mendapatkan muridnya pingsan di samping puterinya, membuat pendekar ini seketika menjadi seorang yang seperti hilang semangat. Rambutnya seketika menjadi putih semua, wajahnya kerut-merut dan pandang matanya sayu seperti lampu kehabisan minyak. Ketika ia mendengar cerita Bu Song tentang kecelakaan yang menyebabkan tewasnya Eng Eng, wajah pendekar itu menjadi beringas, kemudian ia lari dan mengamuk.
Sehari itu terdengar suara Kim-mo Taisu memekik-mekik dan melengking-lengking di seluruh bukit dan akibatnya amatlah mengerikan. Tak seekor pun binatang monyet tinggal hidup lagi di situ. Ratusan bahkan mungkin ribuan ekor monyet berikut yang masih kecil-kecil semua terbunuh oleh Kim-mo Taisu dan pekerjaan pembunuhan besar-besaran ini baru selesai setelah hari mulai gelap.
Setelah mengubur jenazah puterinya di dekat kuburan isterinya, Kim-mo Taisu memandang Bu Song dengan pandang mata layu, kemudian bertanya. "Bu Song, semua bahan kepandaian yang ada padaku telah kau miliki, namun agaknya engkau tidak merasakan hal itu. Biarlah, agaknya memang lebih baik begitu. Kepandaian silat ternyata hanya mendatangkan mala-petaka dan kau berangkatlah ke Kerajaan Cou Muda. Di sana mulai diadakan ujian tiap tahun untuk memilih tenaga-tenaga muda yang pandai. Setelah sampai di kota raja, kau carilah seorang sahabatku bernama Ciu Tang yang bekerja sebagai pengurus rumah gadai, tinggalnya di sebelah kiri rumah penginapan Lok-an. Kau berikan suratku ini dan selanjutnya dialah yang akan mengatur agar kau dapat mengikuti ujian."
Dengan muka pucat dan mata merah Bu Song mendengarkan pesan gurunya, kemudian tak tahan lagi ia menubruk kaki gurunya dan menangis. "Ah, Suhu... mala-petaka telah menimpa kehidupan Suhu... teecu sama sekali belum mampu membalas kebaikan Suhu akan tetapi Suhu selalu memperhatikan keadaan teecu...."
Kim-mo Taisu menghela napas panjang. "Jalan hidupmu dan jalan hidupku bersimpang jauh. Kau tidak menyukai ilmu silat, mudah-mudahan hidupmu lebih berbahagia dari pada hidupku. Mungkin engkau lebih benar, Bu Song."
Dengan hati terharu dan penuh duka pemuda itu lalu mempersiapkan barang-barang yang hendak dibawanya. Ia makin terharu kalau teringat bahwa semua pakaiannya itu adalah pemberian suhunya. Maka ia lalu teringatlah akan miliknya sendiri, yaitu obat sarang burung rajawali yang diambilnya dari puncak. Segera diambilnya obat itu dan diberikannya kepada Kim-mo Taisu sambil berkata. "Teecu tidak dapat berbuat sesuatu untuk membalas kebaikan Suhu, juga tidak memiliki sesuatu untuk diberikan. Sarang rajawali hitam ini mungkin sekali berguna bagi Suhu, harap Suhu sudi menerimanya."
Terbelalak kakek itu memandang benda ini. "Bagaimana kau bisa mendapatkan ini?" tanyanya penuh keheranan.
Bu Song lalu menceritakan pengalamannya ketika ia menolong anak rajawali yang jatuh kemudian ia melihat benda ini yang segera diambilnya.
Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepala dan berkata, "Benar-benar kehendak Thian! Sungguh aneh dan luar biasa! Seluruh orang kang-ouw akan mengilar melihat benda ini, Bu Song. Biar pun aku sendiri diberi waktu seribu tahun, belum tentu aku bisa mendapatkan benda ini. Ah, sungguh lucu kalau nasib mau mempermainkan orang. Kau memiliki semua bakat dan dasar, akan tetapi kau tidak suka ilmu silat, akan tetapi kau mendapatkan mustika rajawali hitam ini! Sungguh lucu! Kau simpan ini baik-baik, dan setiap kali kau merasa lapar, kau boleh masak ini dan makan. Obat ini akan menguatkan tubuhmu dan mencegah segala macam racun mengganggumu."
"Teecu serahkan kepada Suhu..."
"Ah, aku sudah tua dan sudah kebal. Untuk apa segala macam obat? Kau simpanlah dan turut nasehatku, kau makan semua sampai habis!"
Perpisahan ini amat menyedihkan. Bu Song tidak mau pergi meninggalkan suhunya sebelum orang tua itu pergi lebih dulu. Akhirnya, tiga hari kemudian, berangkatlah Kim-mo Taisu turun dari puncak, diikuti pandang mata muridnya yang berlutut di depan pondok ke arah gurunya pergi. Setelah Kim-mo Taisu tidak tampak lagi, baru Bu Song menggendong buntalannya, lalu ia menghampiri kuburan isteri gurunya dan Eng Eng. Ia berlutut dan memberi hormat di depan kuburan ibu gurunya, kemudian dengan kepalan tangannya ia menghapus air mata, bangkit berdiri dan dengan langkah lebar ia meninggalkan puncak.
Pada waktu itu, Bu Song sudah berusia dua puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan tegap, wajahnya tampan, alisnya berbentuk golok dan dipandang sepintas lalu ia patut menjadi seorang pendekar. Akan tetapi wajahnya suram muram, sepasang matanya yang tajam itu kehilangan kegembiraan hidup sedangkan dagunya mengeras tanda bahwa semuda itu ia sudah mengalami banyak kekecewaan hidup. Ia sudah kehilangan orang-orang yang ia sayang. Akan tetapi, ia harus mentaati perintah suhunya, ia tidak boleh mengecewakan harapan suhunya. Ia akan mengikuti ujian dengan penuh semangat sehingga berhasil. Dengan demikian berarti ia menjujung tinggi nama suhunya dan hanya inilah agaknya satu-satunya pembalasan budi yang akan dapat ia lakukan terhadap suhunya.
********************
Sementara itu, setelah jauh dari puncak yang selama ini menjadi tempat tinggalnya, Kim-mo Taisu lalu mengerahkan kepandaiannya dan berlari cepat sekali menuju ke selatan. Teringat akan semua yang baru saja ia alami, Kim-mo Taisu berkali-kali menghela napas....
Nasib mempertemukan dia dengan Liu Lu Sian, bahkan melibatkan dia dengan urusan bekas kekasihnya itu yang kini menjadi tokoh iblis betina yang dimusuhi semua orang kang-ouw. Nasib membuat dia terpaksa membela Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian sehingga ia melakukan pembunuhan terhadap orang kang-ouw yang mengeroyok Lu Sian. Teringat betapa ia terluka hebat, dibawa lari oleh bekas kekasihnya itu dan dirawat di dalam pondok dalam hutan, dirawat penuh kesabaran dan kemesraan. Lu Sian mencintanya! Dan ia masih mencinta Lu Sian! Hal ini tak dapat mereka sangkal pula.
"Lu Sian, tidak baik begini," katanya ketika wanita itu merawatnya dengan kasih sayang besar. "Kita sudah tua dan jalan hidup kita bersimpang jauh."
"Mengapa tidak baik, Kwee Seng?" Lu Sian menjawab. "Memang jalan hidup kita tadinya bersimpang jauh, akan tetapi Thian mempertemukan kita dan terbukalah sekarang mataku bahwa sesungguhnya hanya engkaulah laki-laki yang patut kutemani selamanya. Aku dahulu bodoh, Kwee Seng, akan tetapi setelah kini sadar, tak maukah engkau memperbaiki kesalahan yang sudah lewat?"
Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak bisa, Lu Sian. Tidak mungkin lagi...."
Lu Sian menahan isak. "Kwee Seng, di mana-mana aku dikurung musuh. Tidak sanggup rasanya aku harus menghadapi semua itu seorang diri. Aku sudah bosan, Kwee Seng. Aku sudah rindu hidup tenteram di samping orang yang kucinta!" Lu Sian kini benar-benar menangis, menelungkup di atas dada Kim-mo Taisu yang terlentang di atas dipan bambu.
"Sudah terlambat, Lu Sian. Dan lagi, apakah kau hendak menghancurkan kebahagiaan puteramu sendiri?"
"Apa...?" Lu Sian meloncat mundur dan memandang wajah Kim-mo Taisu dengan mata terbelalak.
Kim-mo Taisu tersenyum. Dadanya tidak terasa sakit lagi setelah semalam diobati oleh Lu Sian yang mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk memulihkan kesehatan bekas kekasihnya. Juga ramuan obat simpanan Lu Sian amat manjur untuk menyembuhkan luka di dalam tubuh.
"Lu Sian, kau tidak tahu bahwa bertahun-tahun puteramu, Kam Bu Song, telah ikut denganku dan menjadi muridku. Malah kini ia akan menjadi mantuku."
Lu Sian terbelalak, mulutnya ternganga dan tak terasa lagi air matanya bertitik-titik turun membasahi pipinya. Rasa girang, haru, dan duka menyesak di dadanya. "Ceritakan..." dia berbisik, "Ceritakan tentang dia...."
Dengan singkat Kim-mo Taisu lalu menceritakan pertemuannya dengan Bu Song dan betapa Bu Song menjadi muridnya, kemudian betapa ia menjodohkan Bu Song dengan Eng Eng.
"Anakmu itu aneh dan bijaksana, tidak seperti kita, Lu Sian. Dia benci akan ilmu silat dan sama sekali tidak mau belajar ilmu silat, malah ia menganggap ilmu silat sebagai suatu ilmu yang amat jahat."
"Hee...? Mengapa begitu? Kalau begitu, dia menjadi muridmu... belajar apakah?"
"Belajar ilmu membaca dan menulis, menggambar dan menulis indah. Belajar sastera. Malah sekarang ia hendak kusuruh menempuh ujian di kota raja, setelah lulus ujian barulah pernikahan dilangsungkan. Lu Sian, demi kebahagiaan puteramu, kau tentu setuju, bukan?"
Lu Sian menundukkan mukanya. "Kalau begitu... dia... dia tentu membenciku...."
"Dia tidak membenci siapa pun juga. Hanya, tentu saja dia tidak tahu bahwa ibunya adalah Tok-siauw-kwi..."
"Aahhh...!" Lu Sian terisak menangis. Akan tetapi kekerasan hatinya segera menguasai hati dan pikirannya. Ia meloncat berdiri. "Tidak peduli! Biar dia menjadi putera ayahnya, menjadi orang baik-baik, menjadi pembesar! Aku Tok-siauw-kwi!” Liu Lu Sian lalu meloncat pergi dan meninggalkan Kim-mo Taisu.
"Lu Sian...!" Kim-mo Taisu memanggil, akan tetapi wanita itu tidak kembali lagi.
Diam-diam ia menarik napas panjang. Amat kasihan melihat nasib bekas kekasihnya itu. Ia maklum bahwa ceritanya tentang Bu Song tadi menghancurkan hati Lu Sian dan mendatangkan tekanan batin yang hebat sekali kepada wanita yang merasa kehilangan segala-galanya itu. Betapa tidak harus dikasihani kalau seorang wanita seperti Lu Sian itu, oleh perbuatannya sendiri di waktu muda, setelah tua kini dimusuhi semua orang, bahkan tidak dikehendaki oleh puteranya sendiri?
Kim-mo Taisu sendiri sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa nasibnya sendiri juga amat buruk. Ia menyedihkan keadaan Lu Sian, menaruh kasihan kepada Lu Sian, akan tetapi sama sekali ia tidak tahu bahwa pada saat itu keluarganya tertimpa bencana hebat. Kwee Eng, puteri tunggalnya, satu-satunya orang yang menjadi keluarganya di dunia ini telah direnggut maut nyawanya dalam keadaan yang amat menyedihkan....
Memang banyak sekali hal-hal terjadi di dunia ini yang amat menyedihkan dan membingungkan manusia. Banyak terjadi hal-hal yang kelihatannya tidak adil. Namun sesungguhnya tidaklah demikian adanya. Semua peristiwa yang terjadi sudah menjadi kehendak Tuhan yang mengatur dengan sesempurna-sempurnanya. Hanya karena semua itu menjadi rahasia besar, maka manusia tidak dapat menyelaminya dengan akal dan pikiran, sehingga bagi manusia kadang-kadang kelihatannya aneh dan janggal serta tidak adil.
Bagi pendapat umum, agaknya sudahlah sepatutnya kalau orang seperti Liu Lu Sian setelah tua hidup menderita oleh karena ia memetik buah dari pada semua perbuatannya sendiri di waktu ia masih muda. Masih muda menjadi hamba nafsu, setelah tua timbul sesal dan duka. Akan tetapi bagaimanakah dengan Kim-mo Taisu? Mengapa ia selalu hidup merana dan sengsara? Bukankah dia seorang pendekar besar, seorang yang berbudi baik? Mengapa ia pun mengalami hidup menderita di waktu tua?
Memang sudah semestinya begitulah! Dunia ini berputar oleh dua sifat yang bertentangan dan saling dorong, saling menghidupkan. Ada terang ada gelap, ada panas ada dingin! Sudah semestinya begitu. Yang menderita karena gelap, yang menderita karena panas atau dingin! Bahagialah mereka yang tidak menderita karena terang atau gelap, karena panas atau dingin. Mereka inilah sesungguhnya manusia yang sudah sadar dan dapat menyesuaikan diri dengan segala peristiwa yang menimpa dirinya karena maklum bahwa semua itu adalah kehendak Tuhan!
Segala peristiwa yang sudah semestinya terjadi di dunia ini, terjadilah sesuai dengan rencana-Nya dan kehendak-Nya. Tiada kekuasaan lain di dunia yang mampu mengubahnya. Peristiwa pun terjadilah. Tidak ada susah atau senang. Susah atau senang merupakan hasil tanggapan si manusia yang menghadapinya. Manusia bijaksana dan sadar akan menerima penuh kesadaran dan kesenangan, baik peristiwa itu menguntungkan mau pun merugikan dirinya. Sebaliknya, orang yang belum sadar akan menerimanya dengan sorak-sorai kesenangan atau tangis keluh kedukaan. Penerimaan macam inilah yang akan membentuk akibat-akibat dan perbuatan-perbuatan yang tiada berkeputusan, membentuk lingkaran-lingkaran. Karma yang makin kuat membelenggu manusia
. Kim-mo Taisu bukanlah seorang bodoh, akan tetapi ia seorang yang lemah. Peristiwa-peristiwa yang menimpa dirinya diterimanya dengan perasaan hancur dan menyebabkan ia menanam bibit kebencian dan dendam yang mendalam terhadap musuh-musuh keluarga isterinya. Kematian isterinya dan puterinya membuat pendekar ini hanya mempunyai satu cita-cita di dalam hatinya, yaitu membalas dendam dan membasmi musuh-musuh keluarga isterinya.
Mulailah ia merantau dan mulai saat itu, nama Kim-mo Taisu menjadi terkenal sebagai seorang yang sepak terjangnya menakutkan. Para tokoh yang merasa pernah bermusuhan dengan Kerajaan Tang, yang pernah bermusuhan dengan Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong diam-diam menyembunyikan diri, takut bertemu dengan Kim-mo Taisu yang amat hebat ilmu kepandaiannya itu.
Bu Song juga terpukul hatinya oleh peristiwa kematian Eng Eng. Akan tetapi ia seorang muda yang kuat menderita. Agaknya karena banyak menderita semenjak kecil, membuat hatinya menjadi kuat dan kebal. Tidak mudah ia runtuh semangat. Agaknya karena tubuh sehat batin kuat inilah yang membuat Bu Song dapat melakukan perjalanan cepat dengan penuh gairah hidup. Matanya yang tadinya redup sayu mulai bersinar-sinar lagi, kedua kakinya melangkah lebar.
Berhari-hari ia melakukan perjalanan naik turun gunung. Ia mentaati pesan gurunya dan mulailah ia makan sarang burung rajawali hitam. Enak rasanya, gurih dan harum. Juga setiap kali makan perutnya terasa kenyang dan tahan sampai sehari tidak makan. Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa benda yang dimakannya adalah obat kuat yang amat langka didapat, obat yang membuat darahnya menjadi bersih dan tulang-tulangnya menjadi kuat. Setelah melakukan perjalanan lima belas hari, habislah bekal sarang burung itu dan mulailah ia mencari buah-buahan di sepanjang jalan dan ada kalanya ia membeli masakan di warung sebuah dusun yang dilaluinya. Bekal yang diberikan gurunya cukup banyak.
Pada suatu hari ketika ia melalui sebuah lereng gunung yang terjal, ia mendengar suara orang bertempur. Suara itu datangnya dari bawah lereng dan yang membikin Bu Song tertarik dan kaget adalah suara melengking tinggi yang aneh, seperti orang tertawa akan tetapi juga seperti suara wanita menangis. Ia lalu mempercepat langkahnya menuju ke arah suara itu.
Benar saja, di sebuah tikungan, ia melihat seorang wanita cantik sedang bertanding melayani dua orang laki-laki tua. Akan tetapi pertandingan itu amat aneh. Si wanita duduk bersila di bawah pohon, sedangkan dua orang laki-laki itu berdiri di depannya. Yang seorang adalah kakek berkepala gundul bersenjata toya sedangkan yang ke dua seorang kakek tinggi kurus berambut panjang dan berpedang yang berkilauan cahayanya.
Anehnya, kedua orang kakek itu hanya mengancam dengan senjata mereka sedangkan si Wanita hanya tertawa-tawa mengejek, sama sekali tidak bergerak dari tempat ia bersila. Pada saat Bu Song tiba di tempat itu dan mengintai dari balik sebuah batu besar, wanita itu berkata, suaranya merdu akan tetapi dingin menyeramkan.
"Sekali lagi kuperingatkan kalian. Jangan ganggu aku dan pergilah. Aku tidak memusuhi Siauw-lim-pai, juga tidak memusuhi Kong-thong-pai. Adalah partai kalian yang selalu memusuhi aku. Aku sudah bosan bertempur, bosan membunuh. Pergilah dan jangan ganggu aku!"
"Siluman betina, dendam di antara kita sedalam lautan. Harus ditebus dengan nyawa!" seru kakek itu sambil menggerakkan pedangnya membacok.
"Omitohud, Tok-siauw-kwi, pinceng juga bukan tukang berkelahi, akan tetapi dosamu terhadap Siauw-lim-pai sudah terlalu banyak. Kewajiban pinceng untuk menghukummu!" kata si Hwesio pula sambil melangkah maju.
Tiba-tiba wanita itu mengeluarkan suara lengking tinggi dan rambutnya yang panjang itu bergerak ke depan, berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyambar dahsyat. Dua orang kakek itu terkejut sekali. Sia-sia saja mereka menggerakkan senjata untuk membebaskan diri karena senjata mereka itu tahu-tahu telah terlibat rambut dan tanpa dapat mereka cegah lagi, senjata toya dan pedang itu sudah terbang pergi dari tangan mereka dan terlempar ke dalam jurang!
"Kalian bukan lawanku. Pergilah, aku beri ampun kalian!" Wanita itu berkata lagi, tetap masih duduk bersila, bahkan kini meramkan mata seperti orang hendak semedhi.
Akan tetapi dua orang kakek itu kelihatan menjadi makin marah. "Tok-siauw-kwi siluman jahat! Kami tidak takut mati. Engkau atau kami yang harus mati saat ini juga!"
Hwesio itu menyambar sepotong ranting pohon dan mempergunakannya sebagai tombak yang ia lontarkan sepenuh tenaga ke arah wanita itu. Ada pun kakek dari Kong-thong-pai itu pun mengeluarkan batang senjata piauw yang ia sambitkan sekuat tenaga ke arah tiga bagian tubuh yang berbahaya. Melihat ini diam-diam Bu Song merasa ngeri.
Jarak antara kedua orang itu dan si Wanita cantik yang duduk bersila meramkan mata di bawah pohon tidaklah jauh, sedangkan serangan itu luar biasa cepat dan kuatnya. Ia membayangkan betapa wanita itu akan tewas dalam keadaan mengerikan dan ada juga rasa penasaran di dalam hatinya yang menganggap perbuatan dua orang laki-laki itu sama sekali tidak dapat dipuji. Jelas bahwa wanita itu sudah mengalah, akan tetapi dua orang itu nekat saja, bahkan melakukan penyerangan yang amat curang.
Akan tetapi tiba-tiba mata Bu Song menjadi silau melihat cahaya terang keluar dari kedua tangan wanita itu. Entah apa yang terjadi ia tidak dapat mengikuti dengan jelas, akan tetapi tahu-tahu kedua orang kakek itu menjerit keras dan... dada si Hwesio sudah tertusuk ranting yang ia lontarkan tadi, ada pun si Kakek mendekap dadanya yang dimakan oleh tiga batang piauwnya sendiri. Hebat sekali luka mereka, dengan mata terbelalak mereka berputaran, lalu roboh berkelojotan dan tak lama kemudian tewaslah kedua orang itu.
Wanita itu mengeluarkan suara melengking keras seperti orang menangis. Ketika Bu Song memandang lagi, ternyata wanita itu sudah lenyap, tidak ada lagi di tempat tadi. Berdebar jantung Bu Song. Peristiwa yang amat hebat dan mengerikan terjadi di depan matanya. Peristiwa pembunuhan, lagi-lagi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilmu tinggi. Ia keluar dari tempat sembunyinya, melangkah lebar menghampiri dua orang yang sudah menjadi mayat itu, lalu menarik napas panjang. Dengan hati rasa penasaran ia berdongak dan berkata dengan suara keras.
"Dendam! Pembunuhan! Bunuh-membunuh! Apakah hanya untuk ini manusia dilahirkan di dunia?"
Kemudian Bu Song turun tangan, menggulung lengan baju dan membongkar batu-batu di bawah pohon, menggali lubang yang cukup lebar untuk mengubur dua jenazah kakek yang tidak dikenalnya itu. Sambil mengerjakan ini, wajah wanita itu terbayang di depan matanya dan berulang kali Bu Song menarik napas panjang. Wanita yang patut dikasihani, pikirnya. Hidup bergelimang dalam gelombang permusuhan yang tak dapat disingkirkan dan yang agaknya mengejar-ngejarnya terus. Kali ini ia menang, apakah lain kali akan dapat menang terus? Kepandaian tidak ada batasnya dan sekali waktu tentu wanita itu yang menjadi korban, tewas mengerikan seperti keadaan dua orang kakek ini. Masih baik kedua orang kakek ini tewas di depannya sehingga masih ada yang mengubur jenazah mereka!
Setelah selesai mengubur dua mayat itu, Bu Song mengebut-ngebutkan pakaiannya dari debu, menyandangkan bungkusan pakaian yang tadi ia turunkan, lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Matahari sudah condong ke barat dan dengan ujung lengan bajunya Bu Song menghapus peluhnya.
Tiba-tiba ia berhenti dan memandang penuh perhatian ke depan. Tadi ia melihat bayangan berkelebat dan kini tahu-tahu didepannya telah berdiri si Wanita cantik berambut panjang yang tadi membunuh dua orang kakek itu! Bu Song memandang jantungnya berdebar. Dilihat sepintas lalu, wanita ini tidak menakutkan sama sekali. Bahkan amat menarik dan cantik, akan tetapi pandang matanya dingin dan kerut pada mulutnya membayangkan sesuatu yang mengerikan.
"Mengapa engkau mengubur mereka?" Wanita itu bertanya, matanya tajam memandang penuh selidik.
Bu Song menengok ke belakang, ke arah kuburan kedua orang kakek itu, lalu ia balas memandang dan menarik napas panjang. Sedikit pun ia tidak takut kepada wanita ini dan teguran wanita itu bahkan mendatangkan rasa penasaran di dalam hatinya. Ia maklum bahwa wanita ini menderita batinnya dan berusaha menutupi penderitaan batinnya dengan sikap yang dingin dan keras.
"Bibi, pertanyaanmu itu tidak pada tempatnya. Sepatutnya akulah yang bertanya, mengapa Bibi membunuh mereka?"
Wanita itu tercengang, agaknya sama sekali tidak menduga akan mendapat jawaban begini. "He, orang muda, jawab pertanyaanku. Jangan engkau main-main. Mengapa engkau mengubur mereka? Apamukah mereka itu?"
"Bukan apa-apa, hanya sesama manusia. Melihat dua orang manusia terbunuh dan menjadi mayat di jalan, sudah menjadi kewajibanku untuk mengubur mereka. Aku dan juga Bibi sendiri pun kelak kalau mati membutuhkan bantuan orang lain untuk mengubur mayat kita."
"Apa kau bilang? Orang muda, jaga baik-baik mulutmu. Tahukah kau bahwa sekali aku turun tangan kau takkan hidup lagi?"
Alangkah herannya hati wanita yang ditakuti di dunia kang-ouw itu ketika melihat si Pemuda tertawa geli mendengar ucapannya. "Bibi hanya membikin lelucon yang tidak lucu!"
"Apa... apa maksudmu?" tanyanya, saking herannya sampai memandang dengan mata terbelalak.
"Bibi ini siapakah sampai dapat menguasai hidup matinya orang lain? Bibi tidak merasa memberi hidup kepadaku, bagaimana Bibi dapat menguasai hidup dan matiku?"
"Apa? Kau menantang?" Tok-siauw-kwi lebih heran dari pada marah. "Tidak ada yang menantang. Aku hanya mau katakan bahwa kalau DIA yang memberiku hidup menghendaki aku mati, tanpa Bibi turun tangan pun aku akan mati. Akan tetapi kalau DIA tidak menghendaki aku mati, biar ada seribu orang seperti Bibi turun tangan, aku tidak akan mati! Mati hidup berada di tangan Tuhan. Bibi ini siapakah hendak mengalahkan kekuasaan Tuhan? Padahal mati hidup Bibi sendiri berada di tangan-Nya! Dapatkah Bibi melawan maut apabila Tuhan menghendaki nyawa Bibi kembali ke asalnya?"
Seketika pucat wajah Tok-siauw-kwi. matanya terbelalak dan ia meraba pipinya tanpa ia sadari. "Aku... aku tidak akan mati...!"
Bu Song menggeleng-geleng kepalanya, lalu ia melangkahkan kaki pergi dari situ sambil berkata, "Bibi seorang yang patut dikasihani...!"
Angin menyambar keras tahu-tahu wanita itu sudah berdiri menghadang di depannya. "Eh, bocah lancang. Kau bilang apa tadi?"
"Aku bilang kau patut dikasihani sampai-sampai tidak mau mengakui kekuasaan Tuhan, dan mengingkari kenyataan bahwa semua manusia mesti mati. Bibi takut mati, itu berarti Bibi kehilangan pegangan dalam hidup, bahwa Bibi kehilangan keperibadian, bahwa Bibi menganggap hidup ini dapat kau pegang dan kau kuasai. Itulah sebabnya Bibi terlalu mudah membunuh orang, mengira bahwa nyawa Bibi berada di tangan orang lain yang memusuhi Bibi. Ah, betapa sengsara hidup seperti Bibi ini."
Makin pucat muka wanita itu. "Kau bohong! Aku tidak takut siapa pun juga! Kau lihat sendiri tadi. Mereka berdua memusuhiku akan tetapi tidak dapat melawanku. Siapa memusuhiku akan mati!"
"Betulkah itu, Bibi? Mengalahkan orang lain bukan hal aneh, mengalahkan nafsu pribadi barulah perbuatan mulia! Makin banyak Bibi membunuh orang, makin banyak pula menanam bibit permusuhan dan makin sengsaralah hidup. Manusia hidup untuk saling bantu, saling tolong, bukan saling bermusuhan dan saling bunuh."
"Habis, kalau dua orang keparat tadi memaksaku, apakah aku harus menyerahkan diri dibunuh begitu saja?"
"Ah, Bibi kurang akal. Bibi sakti, apa sukarnya menjauhkan diri dari mereka yang memusuhi Bibi? Akan tetapi Bibi memang haus darah, suka membunuh, sungguh keji...!"
Wanita itu marah sekali. Ia mengeluarkan lengking tinggi dan tangannya sudah diangkat ke atas. Dari tangan kanan itu keluar hawa yang amat panas, sedangkan bunyi melengking hebat itu sudah hampir merobohkan Bu Song yang tiba-tiba merasa dadanya seperti ditusuk-tusuk. "Keparat bermulut lancang! Siapa kau? Aku takkan membunuh orang tak bernama!"
Bu Song tenang-tenang saja. Memang ia sendiri memandang hidup ini hampa dan penuh derita kecewa setelah kematian Eng Eng. Sama sekali ia tidak takut akan kematian yang mengancamnya. "Kalau Tuhan menghendaki aku mati dan Bibi berhasil membunuhku, berarti Bibi hanya membebaskan aku dari pada belenggu hidup. Aku tidak akan rugi apa-apa, akan tetapi kau sendiri yang menambahi mata rantai yang membelenggu kehidupanmu, Bibi. Namaku Bu Song."
"Bu Song...??" Mata itu terbelalak lebar dan muka yang cantik itu makin pucat. "Kau... kau... murid Kim-mo Taisu...?"
"Beliau adalah guruku, akan tetapi aku tidak akan menggunakan nama guruku untuk perisai nyawaku. Guruku sendiri tidak menguasai nyawaku, hanya Tuhan yang berhak akan mati hidupku!"
"Plakkk!"
Tangan itu menampar turun, akan tetapi yang ditampar bukan muka Bu Song, melainkan mukanya sendiri! Wanita itu jatuh terguling, lalu menangis dan akhirnya melompat pergi cepat sekali. Hanya lengking tangisnya masih terdengar oleh Bu Song yang berdiri bengong, lalu menggeleng-geleng kepalanya.
“Kasihan,” pikirnya. “Wanita itu terlalu banyak dosa, terlalu banyak membunuh orang sehingga pikirannya tidak waras lagi!” Ia lalu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya menuruni lereng itu dengan langkah lebar.
Tentu saja Bu Song sama sekali tidak pernah menduga bahwa wanita itu bukan lain adalah ibu kandungnya sendiri! Wanita itu adalah Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian! Sikap pemuda lemah yang begitu berani menasehati dan menegurnya sudah membuat wanita ini terheran-heran, kemudian menimbulkan kemarahannya yang luar biasa. Akan tetapi begitu ia mendengar bahwa pemuda itu adalah Bu Song, putera kandungnya sendiri, ia merasa seakan-akan mukanya ditampar oleh tangannya sendiri. Hampir saja ia tadi membunuh anak kandungnya sendiri!
Anaknya begitu tampan dan gagah. Ingin ia memeluknya, mendekap kepala itu di dadanya. Akan tetapi betapa ia dapat melakukan hal itu setelah anaknya mengubur dua orang yang dibunuhnya? Ibu yang tersesat, seorang manusia iblis yang oleh anak itu sendiri disebut haus darah, suka membunuh dan keji! Alangkah akan jijik dan bencinya anak itu kepadanya!
Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian menangis sambil berlari cepat seperti terbang meninggalkan tempat itu. Kemudian ia menjatuhkan diri di bawah pohon besar dalam sebuah hutan yang tak jauh dari tempat ia bertemu anaknya tadi. Ia menangis menjambak-jambak rambutnya, membentur-benturkan kepalanya pada batang pohon di depannya. Lu Sian menjadi seperti gila dan pada saat itu ia hanya ingin mati!
Tangisnya menjadi-jadi kalau ia teringat kepada Kwee Seng yang sudah memberi tahu bahwa puteranya itu selain menjadi muridnya juga akan menjadi mantunya. Bagaimana ia sebagai seorang ibu kandung dapat membiarkan putera tunggalnya menikah tanpa memberi restu dan tanpa menyaksikannya? Akan tetapi setelah pertemuan ini, betapa ia dapat menjumpai pemuda itu dan mengaku sebagai ibunya?
Tiba-tiba Lu Sian berhenti menangis dan dengan kaget ia mengangkat muka mendengarkan. Suara yang-khim yang amat merdu bergema di dalam hutan itu. Sejenak ia tertegun, timbul kemarahannya. Siapakah berani mengganggu keasyikannya berduka? Dia sedang berduka, sedang menangis, eh, orang itu berani membunyikan musik. Bukankah suara yang-khim tanda orang bersuka dan seakan-akan mengejeknya yang sedang berduka? Sama artinya dengan mentertawakan orang sedang menangis? Tok-siauw-kwi menjadi beringas dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah melesat ke arah suara itu, cepat laksana burung terbang.
Pemain yang-khim itu seorang kakek tua renta yang rambutnya sudah putih semua. Kakek itu duduk bersila memangku sebuah alat musik yang-khim, jari-jari kedua tangannya bergerak-gerak perlahan memainkan tali-tali yang-khim, mulutnya tersenyum dan pandang matanya melayang jauh ke depan dan agaknya seperti hendak menjenguk rahasia di balik awan.
Melihat cara kakek ini mainkan yang-khim, Lu Sian dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang berilmu tinggi dan tak salah lagi tentulah seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw yang selama ini mengejar-ngejar dan memusuhinya. Lebih baik turun tangan lebih dulu sebelum kakek itu sempat menyerangnya, ia pikir. Karena ingin sekali pukul beres, Lu Sian sudah mengeluarkan jarum-jarum merah Sian-tok-ciam dan dengan pengerahan tenaga sinkang ia melemparkan jarum-jarum itu ke arah kakek tua renta yang masih enak-enak main yang-khim.
Dengan jelas Lu Sian melihat betapa tujuh batang jarum-jarumnya mengenai sasaran dengan tepat dan lenyap memasuki tubuh kakek itu melalui jalan darah yang diarahnya. Akan tetapi ia terbelalak heran melihat betapa kakek itu masih saja enak-enak mainkan yang-khim, hanya kedua matanya kini dipejamkan dan napasnya tertahan. Tak lama kemudian, uap putih mengepul dari ubun-ubun kepalanya yang sudah berambut putih, disusul dengan uap putih yang keluar dari mulut dan hidungnya ketika kakek itu membuang napas dan... dari dalam mulut kakek itu keluarlah tujuh batang jarum merahnya, runtuh dan jatuh berhamburan di dekat yang-khim!
Lu Sian tak pernah dapat percaya kalau tidak menyaksikan sendiri hal aneh ini. Ilmu apakah yang dimiliki kakek itu? Tadi ia melihat jelas betapa jarum-jarumnya mengenai sasaran dengan tepat! Lu Sian menjadi kaget dan juga gelisah. Kalau kakek ini seorang musuh, berarti ia kini bertemu dengan seorang yang memiliki kesaktian luar biasa! Dan teringatlah ia akan peringatan yang keluar dari mulut puteranya tadi! Agaknya kali ini ia takkan menang, dan benarkah maut akan menjemput nyawanya melalui tangan kakek yang bermain yang-khim ini? Tidak, ia tidak boleh menerima kalah begitu saja!
Dengan penuh kegeraman hati Lu Sian lompat mendekat dan kini ia menggunakan kedua tangannya berbareng melakukan pukulan maut ke arah kedua pundak kakek tua renta itu. Pukulan ini akan menghanguskan jantung dan menghancurkan isi dada dan untuk melakukan ini, kedua tangan Lu Sian mengeluarkan asap hitam dan seakan-akan membara saking panasnya.
Dua pukulan yang dahsyat itu tepat mengenai sasarannya, di kedua pundak dekat leher kakek tua renta. Akan tetapi kakek itu masih tetap enak-enak duduk mainkan yang-khim sedangkan Lu Sian terhuyung-huyung ke belakang seperti orang mabok. Kedua tangannya tadi jelas mengenai sasaran, akan tetapi semua tenaganya seperti disedot ke dalam samudra yang tak berdasar, membuat ia kehilangan keseimbangan, bahkan akibatnya ia merasa dirinya kosong sama sekali.....
"Binatang jahat, hendak lari ke mana kau?" Bu Song sudah bangkit lagi dan mengejar.
Monyet itu ketakutan. Agaknya ia tahu bahwa lawannya amat kuat, dihantam sedemikian kerasnya tidak mampus bahkan mengejar lagi. Cepat monyet itu melompat-lompat dari batu ke batu naik ke puncak. Puncak Api yang menakutkan. Sebagai seorang manusia, Bu Song yang tidak terlatih tentu saja payah mengejar seekor monyet yang mengambil jalan pendakian yang amat sukar itu. Namun Bu Song tidak gentar dan terus mengejar, walau pun ia mulai tertinggal jauh.
Bukan main sukarnya perjalanan ke puncak, amat curam dan sekali saja kaki terpeleset, tentu tubuhnya akan melayang ke bawah ratusan meter dalamnya dan akan terbanting hancur di atas batu-batu karang di sebelah bawah. Kalau saja ia tidak sedang marah dan gelisah memikirkan nasib Eng Eng, agaknya biar Bu Song seorang pemberani pun akan ngeri kalau melihat ke bawah. Ia mengejar terus dan hanya beberapa belas meter lagi monyet itu tentu akan mencapai puncak.
"Binatang jahat, lepaskan dia...!" berkali-kali Bu Song berseru marah dan mempercepat pengejarannya.
Tiba-tiba terdengar kelepak sayap dan tampaklah tubuh burung rajawali hitam yang besar itu menyambar turun. Melihat burung itu, Bu Song cepat berseru, "Hek-tiauw-ko (Saudara Rajawali Hitam), tolonglah Eng Eng. Hajar monyet busuk itu!"
Aneh sekali. burung itu agaknya mengenal Bu Song yang telah menolong anaknya dan agaknya mengerti pula bahwa monyet itu musuh Bu Song. Ia menyambar ke bawah dan dengan kuku-kuku yang runcing mengerikan ia mencengkeram ke arah kepala monyet yang memanggul tubuh Eng Eng! Namun monyet itu pun bukan binatang sembarangan. Dengan geram marah monyet itu menggerakkan tangan kanannya menghantam. Burung rajawali menggerakkan sayapnya dan tubuhnya mumbul sedikit, mengelak hantaman monyet, kemudian mencengkeram lengan kanan monyet itu.
"Ceppp... kraakkkk!" sekali kedua kaki rajawali bergerak, lengan monyet itu hancur, daging kulitnya robek-robek, tulangnya patah-patah!
Monyet itu memekik keras. Karena ia menggunakan tangan kirinya untuk menghadapi lawan yang kuat itu, tanpa terasa lagi ia melemparkan tubuh Eng Eng dari pundaknya. Untung Bu Song sudah tiba di situ dan cepat pemuda ini menubruk Eng Eng dan mencegah tubuh gadis itu terguling ke dalam jurang. Karena tempat di situ amat berbahaya dan satu-satunya tempat yang agaknya dapat dipakai merawat Eng Eng yang masih pingsan hanya di puncak yang tinggal beberapa meter lagi, Bu Song memanggul tubuh Eng Eng dan merayap naik sambil jalan memutar, menjauhi tempat pertempuran.
Agaknya pekik monyet tadi telah menarik datang kawan-kawannya karena dari atas puncak itu berloncatan banyak sekali monyet besar-besar seperti yang menculik Eng Eng. Namun monyet pertama begitu memekik, kepalanya sudah hancur dicengkeram rajawali hitam, dan begitu monyet-monyet itu datang menyerbu, terjadilah pertandingan yang amat hebat dan menarik. Monyet-monyet itu liar dan ganas. Andai kata rajawali hitam tidak pandai terbang, tentu ia takkan sanggup menghadapi monyet yang puluhan banyaknya itu.
Namun rajawali hitam adalah seekor burung raksasa, dikeroyok puluhan ekor monyet itu ia sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan kelihatan gembira sekali. Sambil mengeluarkan suara menantang-nantang, burung itu terbang mengitari tempat itu dan sekali-kali menyambar ke bawah merobohkan seekor monyet. Monyet-monyet itu memekik-mekik marah, berjingkrakan dan ada pula yang menyambitnya dengan batu. Hiruk-pikuk di bawah puncak itu, ramai sekali pertandingan antara rajawali hitam yang dikeroyok banyak monyet.
Sementara itu, Bu Song mencapai puncak. Bukan main indahnya pemandangan di puncak itu. Puncak penuh dengan hutan pohon yang besar-besar dan berdaun merah. Inilah agaknya yang menjadi sebab mengapa puncak ini tampak kemerahan seperti api yang menyala dari jauh. Namun pada saat itu perhatian Bu Song seluruhnya ditujukan kepada Eng Eng sehingga ia tidak mempedulikan keindahan pemandangan, melainkan cepat-cepat ia menurunkan tubuh Eng Eng di atas tanah.
"Eng-moi... Eng-moi...," Bu Song mengguncang-guncang pundak Eng Eng dan merasa gelisah sekali melihat gadis itu meramkan mata dengan muka pucat.
Eng Eng merintih lirih, menggerakkan kepala ke kanan kiri dan membuka matanya perlahan. Pemandangan pertama ketika ia membuka mata adalah hutan kemerah-merahan di depannya. Gadis ini kaget, bangkit dan merangkul Bu Song, kemudian berkata, "Song-ko... apakah kita berada di sorga?"
Bu Song mendekap kepala itu, memeluknya dengan hati sebesar bukit. Ia mencium rambut di kepala itu dan berbisik, "Tidak, Moi-moi. Kita masih hidup, kita diselamatkan burung hek-tiauw yang kini masih bertanding dikeroyok banyak monyet jahat. Bagaimana, Moi-moi? Kau tidak apa-apakah? Tidak sakit-sakit tubuhmu?"
Mendengar suara penuh getaran ini terharulah hati Eng Eng. Perasaan wanitanya dapat menangkap rasa kasih sayang yang amat besar dari pemuda ini kepadanya. Ia mengangkat muka, menggelengnya kemudian merangkul leher Bu Song. Baru saja terlepas dari bahaya maut membuat hati kedua orang muda ini makin dekat dan saling menyayang. Kali ini Eng Eng tidak marah ketika Bu Song menciumnya penuh kasih sayang, ciuman yang dilakukan saking girangnya hati melihat kekasihnya selamat. Eng Eng tidak marah, malah tanpa sengaja ia mempererat rangkulannya.
Tiba-tiba Bu Song mendorong tubuh Eng Eng ke samping sambil berkata kaget, "Moi-moi, awas...!!" Matanya terbelalak memandang ke depan.
Eng Eng terkejut sekali, cepat memutar tubuh sambil melompat berdiri di samping Bu Song yang sudah berdiri pula. Dan ia pun terbelalak kaget ketika melihat bahwa di depan mereka telah berdiri seekor monyet berbulu merah yang besar sekali, lebih besar dari manusia! Bulu monyet ini halus dan merah, matanya juga merah. Taringnya yang putih mengkilat tampak jelas karena monyet ini meringis dan matanya memandang penuh ancaman.
Mengingat bahwa kekasihnya tidak pandai silat, Eng Eng segera maju dan berkata perlahan, "Koko, kau sembunyilah!"
Kemudian gadis ini dengan gerakan gesit sekali menerjang maju, mengirim pukulan ke arah dada binatang itu, sedangkan kakinya membuat gerakan menyapu kaki. Cepat sekali gerakan ini, namun monyet merah itu ternyata tidak kalah gesitnya. Anehnya, gerakan monyet itu seperti gerakan orang bersilat pula ketika ia melangkah mundur dan meloncat menghindarkan diri dari pada sapuan kaki Eng Eng, bahkan sebelum kakinya turun ke tanah, monyet itu sudah membalas dengan cengkeraman tangan yang berkuku panjang meruncing ke arah pundak Eng Eng.
Gadis ini cepat miringkan tubuhnya dan dari samping ia menendang. Puteri Kim-mo Taisu tentu saja memiliki ilmu kepandaian yang lumayan sungguh pun ayahnya diam-diam mengakui bahwa puterinya ini tidak begitu besar bakatnya. Tendangannya menyamping cepat sekali dan sebelum binatang yang amat gesit itu sempat mengelak, kaki gadis itu sudah mengenai lambungnya.
"Bukkk!!"
Eng Eng mengeluarkan seruan kaget. Tendangannya tadi dilakukan dengan pengerahan tenaga cukup keras, akan tetapi ia merasa seakan-akan menendang sebuah batu besar, kakinya membalik dan terasa sakit sekali. Akan tetapi monyet besar itu pun agaknya kesakitan karena ia memekik dan menjadi makin marah. Dengan gerakan cepat dan dahsyat ia menubruk dengan kedua tangan dan kakinya seperti seekor harimau menerkam. Kembali Eng Eng mengelak dengan menggulingkan tubuh ke atas tanah. Tubrukan luput, akan tetapi binatang itu sudah dapat berjungkir balik dan kini menyerang dan menerjang lagi.
Tiba-tiba gerakan binatang itu terhenti. Bu Song yang tidak tega melihat begitu saja kekasihnya berkelahi melawan binatang liar ini sudah melompat maju. Karena si Monyet membelakanginya, ia telah menerkam pundak dan leher binatang itu, terus menggumulnya dan menjepit leher binatang dengan lengan kanannya, sedangkan lengan kirinya menjepit perut.
Binatang itu kaget dan meronta-ronta, menggereng dan kedua tangannya menangkap lengan Bu Song, namun ia tidak dapat melepaskan diri dari jepitan tangan Bu Song yang amat kuat. Binatang itu menggulingkan diri, mereka bergumul, namun seperti seekor lintah menempel di kaki kerbau, Bu Song tidak dapat dilepaskan oleh monyet raksasa yang memekik-mekik marah.
Celaka bagi Bu Song adalah kuku-kuku panjang dari tangan monyet itu yang mencengkeram lengannya. Biar pun Bu Song amat kuat, namun ia terlambat mengerahkan tenaga dalam yang di luar pengetahuannya telah memenuhi tubuhnya itu ke arah lengan. Masih baik baginya begitu kuku-kuku itu menancap lengan, ia mengerahkan tenaga sehingga lengannya tidak sampai terobek. Kuat sekali monyet itu, tenaganya liar dan ganas, mereka bergulingan mendekati jurang!
"Koko, lepaskan dia...!" Eng Eng berteriak penuh kengerian melihat betapa kekasihnya bersama monyet itu bergulingan dekat jurang yang curam.
Gadis ini loncat mendekat dan mengerahkan tenaga memukul kepala monyet raksasa. Namun kembali ia terkejut karena kepalan tangannya tidak sanggup meremukkan kepala, bahkan terasa sakit. Namun bukan tidak ada pengaruhnya pukulan ini karena si Monyet kembali memekik kesakitan dan kedua tangannya yang mencengkeram lengan Bu Song terlepas. Pemuda ini maklum pula akan bahayanya bergumul dekat jurang, maka ia melepaskan jepitannya dan mendorong punggung monyet itu sambil melompat ke belakang.
Monyet itu marah sekali kepada Eng Eng yang dua kali telah memukulnya. Kini ia meloncat dan menerjang Eng Eng dengan pukulan-pukulan dan cengkeraman dahsyat, gerakannya tidak berbeda dengan ahli silat tinggi yang ahli dalam ilmu jiauw-kang (ilmu mencengkeram). Eng Eng berusaha mengelak, akan tetapi malang baginya, rambutnya yang tadi terlepas dan terurai panjang itu dapat tertangkap oleh tangan monyet yang terus menarik dan mengayunnya. Tubuh Eng Eng terbawa oleh ayunan ini. Monyet itu memekik dan mengerahkan tenaga melontarkan dan... tubuh Eng Eng tanpa dapat dicegah lagi melayang ke arah jurang yang amat curam!
"Eng-moi...!!" Bu Song menjerit penuh kengerian dan kegelisahan melihat tubuh kekasihnya melayang masuk jurang.
Ia lari ke pinggir jurang dan ketika monyet itu menerkamnya, sekali menggerakkan tangan kirinya Bu Song berhasil membuat monyet itu terlempar! Dalam keadaan gelisah ini, secara tidak sadar Bu Song telah mempergunakan sinkang yang sudah mengeram dalam tubuhnya sehingga sekali sampok tangan kirinya sanggup melemparkan monyet yang begitu kuat. Tanpa ingat akan bahaya lagi Bu Song lalu ikut meloncat ke dalam jurang dengan tangan diulurkan untuk menolong Eng Eng. Tentu saja tubuhnya ikut pula melayang turun dengan kecepatan seperti burung terbang.
"Eng-moi...!" Ia berseru keras sekali, seluruh perhatiannya tercekam oleh kekhawatiran akan keselamatan Eng Eng, seujung rambut pun ia tidak ingat bahwa dia sendiri melayang-layang turun menghadapi maut yang mengerikan.
"Koko...!" Eng Eng berteriak, merupakan jeritan lemah karena gadis yang sadar akan maut yang mengancam ini telah pingsan!
Barulah kini Bu Song sadar pula akan keadaan mereka. Namun seluruh hasratnya hanya tercurah untuk menolong dan menyelamatkan nyawa kekasihnya, maka ia lalu berteriak keras sekali, sekuat paru-parunya mengeluarkan suara itu.
"Hek-tiauw-ko...! Tolonggg...!!"
Karena tubuh Bu Song jauh lebih berat dari pada tubuh Eng Eng, maka dalam luncuran ke bawah ini ia lebih cepat menyusul tubuh Eng Eng. Dengan kemauan keras, Bu Song mengulur tangan dan berhasil memegang lengan Eng Eng. Akan tetapi kini karena kedua tubuh mereka menjadi satu maka berat badan menjadi bertambah dan mereka meluncur ke bawah dengan kecepatan yang mengerikan. Melihat ke bawah Bu Song merasa seakan-akan bukan mereka yang meluncur ke bawah, melainkan batu-batu karang di bawah yang melayang ke atas menuju mereka!
"Hek-tiauw-ko...!" Ia menjerit lagi. Terdengarlah bunyi kelepak sayap ketika burung rajawali hitam yang besar itu menyambar ke arah mereka. Karena burung ini hanya mengenal Bu Song, maka agaknya hanya kepada pemuda inilah ia mau menolong. Cepat sekali kakinya sudah menyambar pundak Bu Song.
Pemuda itu merasa pundaknya tertusuk kuku, akan tetapi maklum bahwa hanya burung ini yang akan mampu menolong mereka berdua. Ia cepat menggunakan tangan kirinya merangkul ke atas dan berhasil memeluk leher burung rajawali hitam, sedangkan tangan kanannya tetap memegang lengan Eng Eng.
Berat tubuh mereka berdua terlalu berat bagi burung rajawali yang sudah lelah dan terluka karena dikeroyok monyet-monyet tadi. Maka betapa pun ia menggerakkan sayapnya, ia tidak kuasa menahan luncuran ke bawah dan melayang-layanglah mereka bertiga. Biar pun tidak begitu pesat seperti tadi karena tertahan gerakan sayap burung yang berusaha mengangkat mereka, namun mereka masih terus meluncur tanpa tertahankan lagi! Burung itu mengeluarkan suara seperti orang merintih ketika mereka telah dekat sekali dengan dasar jurang, lalu burung itu mengerahkan kaki mengangkat tubuh Bu Song ke atas sambil membalikkan tubuh sehingga tubuhnyalah yang berada di bawah.
"Brukkkk...!!"
Mereka terhempas ke bawah dan dunia menjadi gelap gulita bagi Bu Song yang roboh pingsan oleh bantingan yang hebat itu. Lama sekali Bu Song pingsan. Tubuh kedua manusia dan seekor burung itu tak bergerak sama sekali. Hanya bulu burung yang kehitaman, ujung pakaian Bu Song dan rambut Eng Eng saja yang bergerak-gerak tertiup angin.
Ketika akhirnya Bu Song membuka matanya, ia nanar dan tidak ingat apa yang telah terjadi. Tubuhnya tak dapat bergerak. Akan tetapi perlahan-lahan ingatannya kembali dan ia bergidik. Kiranya yang membuat ia tak dapat bergerak adalah tubuh Eng Eng yang melintang di atas dadanya. Perlahan ia bangkit duduk, mengeluh karena seluruh tubuhnya sakit-sakit. Akan tetapi ia tidak mempedulikan dirinya, cepat ia mengangkat tubuh atas Eng Eng. Gadis itu tidak kelihatan terluka di luar, akan tetapi mulut, hidung dan telinganya mengucurkan darah!
"Eng-moi...!" Bu Song berseru lemah dan mengusap darah dari muka gadis itu. Diguncangnya perlahan pundak Eng Eng, namun tubuh itu lemas dan mata itu tidak terbuka.
"Moi-moi..., Eng-moi...!" Bu Song memanggil-manggil dan mengguncang-guncang, namun sia-sia. Eng Eng tetap tidak bergerak dan tidak membuka matanya.
“Dia pingsan,” pikir Bu Song.
Harapannya timbul. Dada gadis itu yang menempel di dadanya masih berdetak biar pun lemah, dahinya yang ia ciumi masih hangat. Eng Eng tidak mati, hanya pingsan. Tidak bisa dia mati! Ia ingat bahwa paling baik adalah mencari air untuk mencuci darah dan untuk membasahi muka dan kepala Eng Eng agar sadar kembali. Perlahan dan hati-hati ia meletakkan tubuh yang dipangkunya itu.
Kembali ia bangkit berdiri, terhuyung-huyung akan jatuh. Akan tetapi ia menguatkan diri dan tiba-tiba tampaklah olehnya tubuh rajawali hitam menggeletak. Kepala burung itu pecah, otaknya berhamburan dan binatang itu tidak bernyawa lagi! Kiranya ketika jatuh tadi, burung itu sengaja memasang tubuhnya di bawah dan malang baginya, kepalanya terbanting pada batu sehingga hancur seketika. Bu Song berlutut dan mengelus-ngelus burung itu, dan titik air mata membasahi pipi.
Kemudian ia teringat kepada Eng Eng, terus berdiri lagi dan mencari air. Kebetulan tak jauh dari situ terdapat air mancur dari lubang dalam batu karang. Segera ia menuju ke air dan karena tidak ada tempat untuk mengambil air, ia hanya menggunakan kedua tangannya, lalu cepat-cepat berjalan menghampiri Eng Eng dengan hanya sedikit sisa air di mangkuk tangannya.
Setelah muka yang pucat itu terkena air, Eng Eng bergerak lemah. Dengan mata masih meram, bibir gadis ini bergerak membisikkan kata-kata yang cukup jelas bagi Bu Song, "Song-koko..., Koko... aku cinta padamu..."
Bu Song merasa seakan-akan jantungnya diremas. Ia mendekap kepala gadis itu dan berbisik di telinganya. "Eng Eng... aku berada di sini...., mati hidup aku bersamamu, Eng-moi..." Ia melihat mulut itu tersenyum, akan tetapi matanya tetap tidak terbuka.
"Eng-moi... Eng-moi...."
Namun gadis itu tidak menjawab dan Bu Song berlari lagi menuju ke air mancur. Kali ini ia mendapatkan beberapa helai daun yang ia jadikan satu dan dengan daun-daun ini ia dapat membawa air di dalamnya. Gadis itu menelan air dan mengeluh perlahan, lalu membuka mata. Mereka saling pandang, mata yang sayu dari Eng Eng bertemu pandang mata penuh harap-harap cemas dari Bu Song.
"Song-ko...," Eng Eng berkata lemah, berusaha untuk tersenyum. Bu Song segera memangku gadis itu dan gerakan ini membuat Eng Eng merintih kesakitan.
"Bagaimana, Moi-moi? Apamu yang sakit? Kau tidak apa-apa, bukan?" pertanyaan penuh kecemasan dilontarkan bertubi-tubi.
Eng Eng meramkan mata, keningnya berkerut-kerut. Jelas bahwa ia menderita nyeri hebat yang ditahan-tahannya. Ia membuka matanya lagi, dan kini bulu matanya basah. "Koko... tiada harapan lagi...."
Seakan-akan terhenti detik jantung Bu Song dan ia mereka-reka arti yang lain untuk kalimat itu. "...apa... apa maksudmu...?"
Kembali Eng Eng meramkan mata, dan ketika membukanya lagi kini beberapa butir air mata mengalir turun. Ia menggeleng kepala. "Sakit semua rasa tubuhku... Song-ko. Kepalaku... ah, serasa dipukul-pukul dari dalam... dadaku... serasa terbakar dan akan pecah... oh...."
"Eng-moi...!" Bu Song mendekap kepala itu, mengelus-elusnya seakan-akan ia hendak mengusir rasa nyeri di kepala dengan usapan dan hendak mengoper rasa panas di dadanya sendiri. "Eng-moi, kau tentu akan selamat. Jangan khawatir, Moi-moi... aku akan membawamu pulang, aku akan...."
"Ssttt, diamlah... jangan bergerak, Koko... biarkan aku menikmati pelukanmu seperti ini untuk terakhir kali...! Song-koko, kau... kau... girangkah dijodohkan dengan aku...?"
Makin perih hati Bu Song, seakan-akan kini ditusuk-tusuk jarum. Ia menahan air mata yang hendak runtuh, lalu menundukkan muka menempelkan pipinya pada pipi Eng Eng, berbisik di telinganya, "Tentu saja, kekasihku, tentu saja aku girang sekali..., karena itu kau harus sembuh, kau harus sembuh, kau harus selamat, kelak kita... menikah..."
Naik sedu sedan di dada Eng Eng, dan hal ini agaknya amat menimbulkan nyeri sehingga ia meramkan matanya kembali. Ketika ia membuka matanya, air matanya makin deras mengalir akan tetapi mulutnya tersenyum. "Song-ko..." tangannya diangkat lemah, meraba-raba dan membelai dagu Bu Song yang agak berlekuk, "...mengapa kau... girang berjodoh denganku? Apakah kau... cinta padaku...?"
"Eng-moi...!" Bu Song teringat akan bisikan gadis itu ketika dalam keadaan setengah sadar tadi, bisikan pengakuan cinta. "Kau masih bertanya lagi? Aku cinta kepadamu, Eng-moi. Aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku..."
"Koko..., kasihan kau...," Eng Eng merangkul leher itu dan mereka bertangisan.
Bu Song tak dapat menahan diri lagi. Air matanya bercucuran, bercampur dengan air mata Eng Eng di pipi gadis itu yang coba ia keringkan dengan ciumannya. Air mata yang bercampur dengan darah yang masih mengalir ke luar dari hidung. Bu Song tidak peduli, ia menghisap air mata dan darah itu.
"Kasihan kau, Koko..., karena aku... aku tidak akan hidup lagi...."
"Eng-moi...! Jangan berkata begitu.... Moi-moi, kau tidak... kau tidak akan... ah, kau akan hidup bersamaku...."
Jari-jari tangan Eng Eng menjelajahi muka pemuda itu, mengelus rambutnya seakan-akan ia hendak menggunakan saat terakhir untuk mengenal lebih dekat wajah pemuda yang sejak dahulu telah menguasai rasa kasihnya, yang dahulu hanya dapat ia pandang dan kenang saja. "Aku tahu, Koko... aku terluka dalam hebat sekali... dalam dada... darah mengalir di dadaku, juga di kepalaku... tiada guna..., aku akan mati... dalam pelukanmu."
"Moi-moi!" Kini Bu Song menangis tersedu-sedu sambil mendekap gadis itu. "Kau tidak akan mati! Kalau kau mati, aku pun ingin mati di sampingmu!"
Eng Eng tersenyum mendengar ini dan kini air mata Bu Song yang membanjir turun itu memasuki bibirnya yang terbuka, menimbulkan rasa segar pada kerongkongannya yang serasa panas terbakar. Tiba-tiba Eng Eng mendapatkan tenaganya kembali dan ia menolak muka Bu Song, lalu ia bangkit duduk.
Bu Song tentu saja menjadi girang sekali. "Moi-moi, kau sembuh! Kuambilkan air, ya? Biar kumasak air agar air hangat-hangat dapat menyegarkan tubuhmu. Lalu kita mencari jalan naik, jangan khawatir, aku masih sanggup menggendongmu ke atas. Kita pulang!"
Eng Eng tersenyum akan tetapi menggeleng kepalanya, lalu tangannya menepuk tanah di dekatnya memberi isyarat kepada Bu Song untuk duduk di dekatnya.
"Kau.. kau sanggulkan rambutku...," katanya. Biar pun kelihatannya gadis ini bertenaga kembali, namun suaranya tersendat-sendat dan sukar keluarnya.
Bu Song cepat melakukan perintah ini. Jari-jari tangannya menggetarkan kasih sayang mesra ketika ia berusaha menyanggul rambut panjang halus itu sedapat mungkin. Akan tetapi pekerjaan ini sukar sekali ia laksanakan. Jari-jari tangannya menggigil. Tubuhnya sendiri terasa sakit-sakit, ditambah rasa haru dan khawatir membuat air matanya bercucuran. Matanya menjadi kabur dan beberapa kali ia mendekap dan menciumi gadis itu dengan hati hancur.
Eng Eng balas memeluk dan bahkan gadis inilah yang mengeluarkan kata-kata hiburan, kata-kata lemah yang berbisik-bisik hampir tak terdengar. "Diamlah... Koko, diamlah... kau sanggulkan rambutku... biar rapi..."
Bu Song berusaha membesarkan hatinya, akan tetapi bagaimana ia dapat menahan isak tangisnya ketika ia menyanggul rambut itu melihat betapa kepala Eng Eng penuh darah yang mulai membeku? Namun akhirnya berhasil juga ia menyanggul rambut gadis itu.
"Koko... aku... aku ingin...." Ia berhenti, sukar sekali melanjutkan kata-katanya.
Bu Song menempelkan telinga di dekat bibir yang sudah pucat itu. "Apa, Moi-moi? Kau ingin apa?"
"Ah, aku... aku malu... hik..."
Bu Song memeluknya. "Katakanlah, kau mau apa, Moi-moi...?"
"...hemmm...? ...aku ...aku ingin... sekarang menikah denganmu." Lalu disambungnya perlahan sekali, "aku ingin... mati sebagai istrimu...."
"Eng-moi...!" Bu Song tak kuat menahan tangisnya.
"Koko, jangan menangis. Maukah kau...? Maukah kau...?"
Bu Song tak dapat menjawab, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan air matanya bercucuran membasahi mukanya. Hampir pemuda ini pingsan saking perih dan sakit rasa hatinya.
"Mari kita bersumpah, Koko, marilah...."
Terpaksa Bu Song menuruti permintaan Eng Eng. Dengan susah payah ia menggandeng gadis itu, diajak berlutut sambil berpegang tangan, berlutut seperti sepasang pengantin bersembahyang! Untuk menyenangkan hati gadis itu Bu Song berkata keras-keras, "Langit dan bumi menjadi saksi! Saat ini kami, Kam Bu Song dan Kwee Eng, menjadi suami isteri, sehidup semati...!"
Eng Eng tertawa, tertawa malu-malu. Ketika Bu Song menoleh kepadanya, gadis itu merangkulnya dengan wajah penuh bahagia. Eng Eng menyembunyikan mukanya di dada Bu Song, akan tetapi pada saat itu pula nyawanya telah melayang meninggalkan raganya! Tadinya Bu Song tidak tahu, baru setelah ia merasa betapa tubuh gadis itu lemas sekali, ia mengangkat dan tahu bahwa kekasihnya itu tak bernyawa lagi.
"Eng-moi...!!" Ia menjerit, mendekap dan roboh pingsan sambil memeluk Eng Eng....
********************
Pukulan batin yang diderita Kim-mo Taisu ketika ia mendapatkan muridnya pingsan di samping puterinya, membuat pendekar ini seketika menjadi seorang yang seperti hilang semangat. Rambutnya seketika menjadi putih semua, wajahnya kerut-merut dan pandang matanya sayu seperti lampu kehabisan minyak. Ketika ia mendengar cerita Bu Song tentang kecelakaan yang menyebabkan tewasnya Eng Eng, wajah pendekar itu menjadi beringas, kemudian ia lari dan mengamuk.
Sehari itu terdengar suara Kim-mo Taisu memekik-mekik dan melengking-lengking di seluruh bukit dan akibatnya amatlah mengerikan. Tak seekor pun binatang monyet tinggal hidup lagi di situ. Ratusan bahkan mungkin ribuan ekor monyet berikut yang masih kecil-kecil semua terbunuh oleh Kim-mo Taisu dan pekerjaan pembunuhan besar-besaran ini baru selesai setelah hari mulai gelap.
Setelah mengubur jenazah puterinya di dekat kuburan isterinya, Kim-mo Taisu memandang Bu Song dengan pandang mata layu, kemudian bertanya. "Bu Song, semua bahan kepandaian yang ada padaku telah kau miliki, namun agaknya engkau tidak merasakan hal itu. Biarlah, agaknya memang lebih baik begitu. Kepandaian silat ternyata hanya mendatangkan mala-petaka dan kau berangkatlah ke Kerajaan Cou Muda. Di sana mulai diadakan ujian tiap tahun untuk memilih tenaga-tenaga muda yang pandai. Setelah sampai di kota raja, kau carilah seorang sahabatku bernama Ciu Tang yang bekerja sebagai pengurus rumah gadai, tinggalnya di sebelah kiri rumah penginapan Lok-an. Kau berikan suratku ini dan selanjutnya dialah yang akan mengatur agar kau dapat mengikuti ujian."
Dengan muka pucat dan mata merah Bu Song mendengarkan pesan gurunya, kemudian tak tahan lagi ia menubruk kaki gurunya dan menangis. "Ah, Suhu... mala-petaka telah menimpa kehidupan Suhu... teecu sama sekali belum mampu membalas kebaikan Suhu akan tetapi Suhu selalu memperhatikan keadaan teecu...."
Kim-mo Taisu menghela napas panjang. "Jalan hidupmu dan jalan hidupku bersimpang jauh. Kau tidak menyukai ilmu silat, mudah-mudahan hidupmu lebih berbahagia dari pada hidupku. Mungkin engkau lebih benar, Bu Song."
Dengan hati terharu dan penuh duka pemuda itu lalu mempersiapkan barang-barang yang hendak dibawanya. Ia makin terharu kalau teringat bahwa semua pakaiannya itu adalah pemberian suhunya. Maka ia lalu teringatlah akan miliknya sendiri, yaitu obat sarang burung rajawali yang diambilnya dari puncak. Segera diambilnya obat itu dan diberikannya kepada Kim-mo Taisu sambil berkata. "Teecu tidak dapat berbuat sesuatu untuk membalas kebaikan Suhu, juga tidak memiliki sesuatu untuk diberikan. Sarang rajawali hitam ini mungkin sekali berguna bagi Suhu, harap Suhu sudi menerimanya."
Terbelalak kakek itu memandang benda ini. "Bagaimana kau bisa mendapatkan ini?" tanyanya penuh keheranan.
Bu Song lalu menceritakan pengalamannya ketika ia menolong anak rajawali yang jatuh kemudian ia melihat benda ini yang segera diambilnya.
Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepala dan berkata, "Benar-benar kehendak Thian! Sungguh aneh dan luar biasa! Seluruh orang kang-ouw akan mengilar melihat benda ini, Bu Song. Biar pun aku sendiri diberi waktu seribu tahun, belum tentu aku bisa mendapatkan benda ini. Ah, sungguh lucu kalau nasib mau mempermainkan orang. Kau memiliki semua bakat dan dasar, akan tetapi kau tidak suka ilmu silat, akan tetapi kau mendapatkan mustika rajawali hitam ini! Sungguh lucu! Kau simpan ini baik-baik, dan setiap kali kau merasa lapar, kau boleh masak ini dan makan. Obat ini akan menguatkan tubuhmu dan mencegah segala macam racun mengganggumu."
"Teecu serahkan kepada Suhu..."
"Ah, aku sudah tua dan sudah kebal. Untuk apa segala macam obat? Kau simpanlah dan turut nasehatku, kau makan semua sampai habis!"
Perpisahan ini amat menyedihkan. Bu Song tidak mau pergi meninggalkan suhunya sebelum orang tua itu pergi lebih dulu. Akhirnya, tiga hari kemudian, berangkatlah Kim-mo Taisu turun dari puncak, diikuti pandang mata muridnya yang berlutut di depan pondok ke arah gurunya pergi. Setelah Kim-mo Taisu tidak tampak lagi, baru Bu Song menggendong buntalannya, lalu ia menghampiri kuburan isteri gurunya dan Eng Eng. Ia berlutut dan memberi hormat di depan kuburan ibu gurunya, kemudian dengan kepalan tangannya ia menghapus air mata, bangkit berdiri dan dengan langkah lebar ia meninggalkan puncak.
Pada waktu itu, Bu Song sudah berusia dua puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan tegap, wajahnya tampan, alisnya berbentuk golok dan dipandang sepintas lalu ia patut menjadi seorang pendekar. Akan tetapi wajahnya suram muram, sepasang matanya yang tajam itu kehilangan kegembiraan hidup sedangkan dagunya mengeras tanda bahwa semuda itu ia sudah mengalami banyak kekecewaan hidup. Ia sudah kehilangan orang-orang yang ia sayang. Akan tetapi, ia harus mentaati perintah suhunya, ia tidak boleh mengecewakan harapan suhunya. Ia akan mengikuti ujian dengan penuh semangat sehingga berhasil. Dengan demikian berarti ia menjujung tinggi nama suhunya dan hanya inilah agaknya satu-satunya pembalasan budi yang akan dapat ia lakukan terhadap suhunya.
********************
Sementara itu, setelah jauh dari puncak yang selama ini menjadi tempat tinggalnya, Kim-mo Taisu lalu mengerahkan kepandaiannya dan berlari cepat sekali menuju ke selatan. Teringat akan semua yang baru saja ia alami, Kim-mo Taisu berkali-kali menghela napas....
Nasib mempertemukan dia dengan Liu Lu Sian, bahkan melibatkan dia dengan urusan bekas kekasihnya itu yang kini menjadi tokoh iblis betina yang dimusuhi semua orang kang-ouw. Nasib membuat dia terpaksa membela Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian sehingga ia melakukan pembunuhan terhadap orang kang-ouw yang mengeroyok Lu Sian. Teringat betapa ia terluka hebat, dibawa lari oleh bekas kekasihnya itu dan dirawat di dalam pondok dalam hutan, dirawat penuh kesabaran dan kemesraan. Lu Sian mencintanya! Dan ia masih mencinta Lu Sian! Hal ini tak dapat mereka sangkal pula.
"Lu Sian, tidak baik begini," katanya ketika wanita itu merawatnya dengan kasih sayang besar. "Kita sudah tua dan jalan hidup kita bersimpang jauh."
"Mengapa tidak baik, Kwee Seng?" Lu Sian menjawab. "Memang jalan hidup kita tadinya bersimpang jauh, akan tetapi Thian mempertemukan kita dan terbukalah sekarang mataku bahwa sesungguhnya hanya engkaulah laki-laki yang patut kutemani selamanya. Aku dahulu bodoh, Kwee Seng, akan tetapi setelah kini sadar, tak maukah engkau memperbaiki kesalahan yang sudah lewat?"
Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak bisa, Lu Sian. Tidak mungkin lagi...."
Lu Sian menahan isak. "Kwee Seng, di mana-mana aku dikurung musuh. Tidak sanggup rasanya aku harus menghadapi semua itu seorang diri. Aku sudah bosan, Kwee Seng. Aku sudah rindu hidup tenteram di samping orang yang kucinta!" Lu Sian kini benar-benar menangis, menelungkup di atas dada Kim-mo Taisu yang terlentang di atas dipan bambu.
"Sudah terlambat, Lu Sian. Dan lagi, apakah kau hendak menghancurkan kebahagiaan puteramu sendiri?"
"Apa...?" Lu Sian meloncat mundur dan memandang wajah Kim-mo Taisu dengan mata terbelalak.
Kim-mo Taisu tersenyum. Dadanya tidak terasa sakit lagi setelah semalam diobati oleh Lu Sian yang mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk memulihkan kesehatan bekas kekasihnya. Juga ramuan obat simpanan Lu Sian amat manjur untuk menyembuhkan luka di dalam tubuh.
"Lu Sian, kau tidak tahu bahwa bertahun-tahun puteramu, Kam Bu Song, telah ikut denganku dan menjadi muridku. Malah kini ia akan menjadi mantuku."
Lu Sian terbelalak, mulutnya ternganga dan tak terasa lagi air matanya bertitik-titik turun membasahi pipinya. Rasa girang, haru, dan duka menyesak di dadanya. "Ceritakan..." dia berbisik, "Ceritakan tentang dia...."
Dengan singkat Kim-mo Taisu lalu menceritakan pertemuannya dengan Bu Song dan betapa Bu Song menjadi muridnya, kemudian betapa ia menjodohkan Bu Song dengan Eng Eng.
"Anakmu itu aneh dan bijaksana, tidak seperti kita, Lu Sian. Dia benci akan ilmu silat dan sama sekali tidak mau belajar ilmu silat, malah ia menganggap ilmu silat sebagai suatu ilmu yang amat jahat."
"Hee...? Mengapa begitu? Kalau begitu, dia menjadi muridmu... belajar apakah?"
"Belajar ilmu membaca dan menulis, menggambar dan menulis indah. Belajar sastera. Malah sekarang ia hendak kusuruh menempuh ujian di kota raja, setelah lulus ujian barulah pernikahan dilangsungkan. Lu Sian, demi kebahagiaan puteramu, kau tentu setuju, bukan?"
Lu Sian menundukkan mukanya. "Kalau begitu... dia... dia tentu membenciku...."
"Dia tidak membenci siapa pun juga. Hanya, tentu saja dia tidak tahu bahwa ibunya adalah Tok-siauw-kwi..."
"Aahhh...!" Lu Sian terisak menangis. Akan tetapi kekerasan hatinya segera menguasai hati dan pikirannya. Ia meloncat berdiri. "Tidak peduli! Biar dia menjadi putera ayahnya, menjadi orang baik-baik, menjadi pembesar! Aku Tok-siauw-kwi!” Liu Lu Sian lalu meloncat pergi dan meninggalkan Kim-mo Taisu.
"Lu Sian...!" Kim-mo Taisu memanggil, akan tetapi wanita itu tidak kembali lagi.
Diam-diam ia menarik napas panjang. Amat kasihan melihat nasib bekas kekasihnya itu. Ia maklum bahwa ceritanya tentang Bu Song tadi menghancurkan hati Lu Sian dan mendatangkan tekanan batin yang hebat sekali kepada wanita yang merasa kehilangan segala-galanya itu. Betapa tidak harus dikasihani kalau seorang wanita seperti Lu Sian itu, oleh perbuatannya sendiri di waktu muda, setelah tua kini dimusuhi semua orang, bahkan tidak dikehendaki oleh puteranya sendiri?
Kim-mo Taisu sendiri sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa nasibnya sendiri juga amat buruk. Ia menyedihkan keadaan Lu Sian, menaruh kasihan kepada Lu Sian, akan tetapi sama sekali ia tidak tahu bahwa pada saat itu keluarganya tertimpa bencana hebat. Kwee Eng, puteri tunggalnya, satu-satunya orang yang menjadi keluarganya di dunia ini telah direnggut maut nyawanya dalam keadaan yang amat menyedihkan....
Memang banyak sekali hal-hal terjadi di dunia ini yang amat menyedihkan dan membingungkan manusia. Banyak terjadi hal-hal yang kelihatannya tidak adil. Namun sesungguhnya tidaklah demikian adanya. Semua peristiwa yang terjadi sudah menjadi kehendak Tuhan yang mengatur dengan sesempurna-sempurnanya. Hanya karena semua itu menjadi rahasia besar, maka manusia tidak dapat menyelaminya dengan akal dan pikiran, sehingga bagi manusia kadang-kadang kelihatannya aneh dan janggal serta tidak adil.
Bagi pendapat umum, agaknya sudahlah sepatutnya kalau orang seperti Liu Lu Sian setelah tua hidup menderita oleh karena ia memetik buah dari pada semua perbuatannya sendiri di waktu ia masih muda. Masih muda menjadi hamba nafsu, setelah tua timbul sesal dan duka. Akan tetapi bagaimanakah dengan Kim-mo Taisu? Mengapa ia selalu hidup merana dan sengsara? Bukankah dia seorang pendekar besar, seorang yang berbudi baik? Mengapa ia pun mengalami hidup menderita di waktu tua?
Memang sudah semestinya begitulah! Dunia ini berputar oleh dua sifat yang bertentangan dan saling dorong, saling menghidupkan. Ada terang ada gelap, ada panas ada dingin! Sudah semestinya begitu. Yang menderita karena gelap, yang menderita karena panas atau dingin! Bahagialah mereka yang tidak menderita karena terang atau gelap, karena panas atau dingin. Mereka inilah sesungguhnya manusia yang sudah sadar dan dapat menyesuaikan diri dengan segala peristiwa yang menimpa dirinya karena maklum bahwa semua itu adalah kehendak Tuhan!
Segala peristiwa yang sudah semestinya terjadi di dunia ini, terjadilah sesuai dengan rencana-Nya dan kehendak-Nya. Tiada kekuasaan lain di dunia yang mampu mengubahnya. Peristiwa pun terjadilah. Tidak ada susah atau senang. Susah atau senang merupakan hasil tanggapan si manusia yang menghadapinya. Manusia bijaksana dan sadar akan menerima penuh kesadaran dan kesenangan, baik peristiwa itu menguntungkan mau pun merugikan dirinya. Sebaliknya, orang yang belum sadar akan menerimanya dengan sorak-sorai kesenangan atau tangis keluh kedukaan. Penerimaan macam inilah yang akan membentuk akibat-akibat dan perbuatan-perbuatan yang tiada berkeputusan, membentuk lingkaran-lingkaran. Karma yang makin kuat membelenggu manusia
. Kim-mo Taisu bukanlah seorang bodoh, akan tetapi ia seorang yang lemah. Peristiwa-peristiwa yang menimpa dirinya diterimanya dengan perasaan hancur dan menyebabkan ia menanam bibit kebencian dan dendam yang mendalam terhadap musuh-musuh keluarga isterinya. Kematian isterinya dan puterinya membuat pendekar ini hanya mempunyai satu cita-cita di dalam hatinya, yaitu membalas dendam dan membasmi musuh-musuh keluarga isterinya.
Mulailah ia merantau dan mulai saat itu, nama Kim-mo Taisu menjadi terkenal sebagai seorang yang sepak terjangnya menakutkan. Para tokoh yang merasa pernah bermusuhan dengan Kerajaan Tang, yang pernah bermusuhan dengan Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong diam-diam menyembunyikan diri, takut bertemu dengan Kim-mo Taisu yang amat hebat ilmu kepandaiannya itu.
Bu Song juga terpukul hatinya oleh peristiwa kematian Eng Eng. Akan tetapi ia seorang muda yang kuat menderita. Agaknya karena banyak menderita semenjak kecil, membuat hatinya menjadi kuat dan kebal. Tidak mudah ia runtuh semangat. Agaknya karena tubuh sehat batin kuat inilah yang membuat Bu Song dapat melakukan perjalanan cepat dengan penuh gairah hidup. Matanya yang tadinya redup sayu mulai bersinar-sinar lagi, kedua kakinya melangkah lebar.
Berhari-hari ia melakukan perjalanan naik turun gunung. Ia mentaati pesan gurunya dan mulailah ia makan sarang burung rajawali hitam. Enak rasanya, gurih dan harum. Juga setiap kali makan perutnya terasa kenyang dan tahan sampai sehari tidak makan. Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa benda yang dimakannya adalah obat kuat yang amat langka didapat, obat yang membuat darahnya menjadi bersih dan tulang-tulangnya menjadi kuat. Setelah melakukan perjalanan lima belas hari, habislah bekal sarang burung itu dan mulailah ia mencari buah-buahan di sepanjang jalan dan ada kalanya ia membeli masakan di warung sebuah dusun yang dilaluinya. Bekal yang diberikan gurunya cukup banyak.
Pada suatu hari ketika ia melalui sebuah lereng gunung yang terjal, ia mendengar suara orang bertempur. Suara itu datangnya dari bawah lereng dan yang membikin Bu Song tertarik dan kaget adalah suara melengking tinggi yang aneh, seperti orang tertawa akan tetapi juga seperti suara wanita menangis. Ia lalu mempercepat langkahnya menuju ke arah suara itu.
Benar saja, di sebuah tikungan, ia melihat seorang wanita cantik sedang bertanding melayani dua orang laki-laki tua. Akan tetapi pertandingan itu amat aneh. Si wanita duduk bersila di bawah pohon, sedangkan dua orang laki-laki itu berdiri di depannya. Yang seorang adalah kakek berkepala gundul bersenjata toya sedangkan yang ke dua seorang kakek tinggi kurus berambut panjang dan berpedang yang berkilauan cahayanya.
Anehnya, kedua orang kakek itu hanya mengancam dengan senjata mereka sedangkan si Wanita hanya tertawa-tawa mengejek, sama sekali tidak bergerak dari tempat ia bersila. Pada saat Bu Song tiba di tempat itu dan mengintai dari balik sebuah batu besar, wanita itu berkata, suaranya merdu akan tetapi dingin menyeramkan.
"Sekali lagi kuperingatkan kalian. Jangan ganggu aku dan pergilah. Aku tidak memusuhi Siauw-lim-pai, juga tidak memusuhi Kong-thong-pai. Adalah partai kalian yang selalu memusuhi aku. Aku sudah bosan bertempur, bosan membunuh. Pergilah dan jangan ganggu aku!"
"Siluman betina, dendam di antara kita sedalam lautan. Harus ditebus dengan nyawa!" seru kakek itu sambil menggerakkan pedangnya membacok.
"Omitohud, Tok-siauw-kwi, pinceng juga bukan tukang berkelahi, akan tetapi dosamu terhadap Siauw-lim-pai sudah terlalu banyak. Kewajiban pinceng untuk menghukummu!" kata si Hwesio pula sambil melangkah maju.
Tiba-tiba wanita itu mengeluarkan suara lengking tinggi dan rambutnya yang panjang itu bergerak ke depan, berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyambar dahsyat. Dua orang kakek itu terkejut sekali. Sia-sia saja mereka menggerakkan senjata untuk membebaskan diri karena senjata mereka itu tahu-tahu telah terlibat rambut dan tanpa dapat mereka cegah lagi, senjata toya dan pedang itu sudah terbang pergi dari tangan mereka dan terlempar ke dalam jurang!
"Kalian bukan lawanku. Pergilah, aku beri ampun kalian!" Wanita itu berkata lagi, tetap masih duduk bersila, bahkan kini meramkan mata seperti orang hendak semedhi.
Akan tetapi dua orang kakek itu kelihatan menjadi makin marah. "Tok-siauw-kwi siluman jahat! Kami tidak takut mati. Engkau atau kami yang harus mati saat ini juga!"
Hwesio itu menyambar sepotong ranting pohon dan mempergunakannya sebagai tombak yang ia lontarkan sepenuh tenaga ke arah wanita itu. Ada pun kakek dari Kong-thong-pai itu pun mengeluarkan batang senjata piauw yang ia sambitkan sekuat tenaga ke arah tiga bagian tubuh yang berbahaya. Melihat ini diam-diam Bu Song merasa ngeri.
Jarak antara kedua orang itu dan si Wanita cantik yang duduk bersila meramkan mata di bawah pohon tidaklah jauh, sedangkan serangan itu luar biasa cepat dan kuatnya. Ia membayangkan betapa wanita itu akan tewas dalam keadaan mengerikan dan ada juga rasa penasaran di dalam hatinya yang menganggap perbuatan dua orang laki-laki itu sama sekali tidak dapat dipuji. Jelas bahwa wanita itu sudah mengalah, akan tetapi dua orang itu nekat saja, bahkan melakukan penyerangan yang amat curang.
Akan tetapi tiba-tiba mata Bu Song menjadi silau melihat cahaya terang keluar dari kedua tangan wanita itu. Entah apa yang terjadi ia tidak dapat mengikuti dengan jelas, akan tetapi tahu-tahu kedua orang kakek itu menjerit keras dan... dada si Hwesio sudah tertusuk ranting yang ia lontarkan tadi, ada pun si Kakek mendekap dadanya yang dimakan oleh tiga batang piauwnya sendiri. Hebat sekali luka mereka, dengan mata terbelalak mereka berputaran, lalu roboh berkelojotan dan tak lama kemudian tewaslah kedua orang itu.
Wanita itu mengeluarkan suara melengking keras seperti orang menangis. Ketika Bu Song memandang lagi, ternyata wanita itu sudah lenyap, tidak ada lagi di tempat tadi. Berdebar jantung Bu Song. Peristiwa yang amat hebat dan mengerikan terjadi di depan matanya. Peristiwa pembunuhan, lagi-lagi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilmu tinggi. Ia keluar dari tempat sembunyinya, melangkah lebar menghampiri dua orang yang sudah menjadi mayat itu, lalu menarik napas panjang. Dengan hati rasa penasaran ia berdongak dan berkata dengan suara keras.
"Dendam! Pembunuhan! Bunuh-membunuh! Apakah hanya untuk ini manusia dilahirkan di dunia?"
Kemudian Bu Song turun tangan, menggulung lengan baju dan membongkar batu-batu di bawah pohon, menggali lubang yang cukup lebar untuk mengubur dua jenazah kakek yang tidak dikenalnya itu. Sambil mengerjakan ini, wajah wanita itu terbayang di depan matanya dan berulang kali Bu Song menarik napas panjang. Wanita yang patut dikasihani, pikirnya. Hidup bergelimang dalam gelombang permusuhan yang tak dapat disingkirkan dan yang agaknya mengejar-ngejarnya terus. Kali ini ia menang, apakah lain kali akan dapat menang terus? Kepandaian tidak ada batasnya dan sekali waktu tentu wanita itu yang menjadi korban, tewas mengerikan seperti keadaan dua orang kakek ini. Masih baik kedua orang kakek ini tewas di depannya sehingga masih ada yang mengubur jenazah mereka!
Setelah selesai mengubur dua mayat itu, Bu Song mengebut-ngebutkan pakaiannya dari debu, menyandangkan bungkusan pakaian yang tadi ia turunkan, lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Matahari sudah condong ke barat dan dengan ujung lengan bajunya Bu Song menghapus peluhnya.
Tiba-tiba ia berhenti dan memandang penuh perhatian ke depan. Tadi ia melihat bayangan berkelebat dan kini tahu-tahu didepannya telah berdiri si Wanita cantik berambut panjang yang tadi membunuh dua orang kakek itu! Bu Song memandang jantungnya berdebar. Dilihat sepintas lalu, wanita ini tidak menakutkan sama sekali. Bahkan amat menarik dan cantik, akan tetapi pandang matanya dingin dan kerut pada mulutnya membayangkan sesuatu yang mengerikan.
"Mengapa engkau mengubur mereka?" Wanita itu bertanya, matanya tajam memandang penuh selidik.
Bu Song menengok ke belakang, ke arah kuburan kedua orang kakek itu, lalu ia balas memandang dan menarik napas panjang. Sedikit pun ia tidak takut kepada wanita ini dan teguran wanita itu bahkan mendatangkan rasa penasaran di dalam hatinya. Ia maklum bahwa wanita ini menderita batinnya dan berusaha menutupi penderitaan batinnya dengan sikap yang dingin dan keras.
"Bibi, pertanyaanmu itu tidak pada tempatnya. Sepatutnya akulah yang bertanya, mengapa Bibi membunuh mereka?"
Wanita itu tercengang, agaknya sama sekali tidak menduga akan mendapat jawaban begini. "He, orang muda, jawab pertanyaanku. Jangan engkau main-main. Mengapa engkau mengubur mereka? Apamukah mereka itu?"
"Bukan apa-apa, hanya sesama manusia. Melihat dua orang manusia terbunuh dan menjadi mayat di jalan, sudah menjadi kewajibanku untuk mengubur mereka. Aku dan juga Bibi sendiri pun kelak kalau mati membutuhkan bantuan orang lain untuk mengubur mayat kita."
"Apa kau bilang? Orang muda, jaga baik-baik mulutmu. Tahukah kau bahwa sekali aku turun tangan kau takkan hidup lagi?"
Alangkah herannya hati wanita yang ditakuti di dunia kang-ouw itu ketika melihat si Pemuda tertawa geli mendengar ucapannya. "Bibi hanya membikin lelucon yang tidak lucu!"
"Apa... apa maksudmu?" tanyanya, saking herannya sampai memandang dengan mata terbelalak.
"Bibi ini siapakah sampai dapat menguasai hidup matinya orang lain? Bibi tidak merasa memberi hidup kepadaku, bagaimana Bibi dapat menguasai hidup dan matiku?"
"Apa? Kau menantang?" Tok-siauw-kwi lebih heran dari pada marah. "Tidak ada yang menantang. Aku hanya mau katakan bahwa kalau DIA yang memberiku hidup menghendaki aku mati, tanpa Bibi turun tangan pun aku akan mati. Akan tetapi kalau DIA tidak menghendaki aku mati, biar ada seribu orang seperti Bibi turun tangan, aku tidak akan mati! Mati hidup berada di tangan Tuhan. Bibi ini siapakah hendak mengalahkan kekuasaan Tuhan? Padahal mati hidup Bibi sendiri berada di tangan-Nya! Dapatkah Bibi melawan maut apabila Tuhan menghendaki nyawa Bibi kembali ke asalnya?"
Seketika pucat wajah Tok-siauw-kwi. matanya terbelalak dan ia meraba pipinya tanpa ia sadari. "Aku... aku tidak akan mati...!"
Bu Song menggeleng-geleng kepalanya, lalu ia melangkahkan kaki pergi dari situ sambil berkata, "Bibi seorang yang patut dikasihani...!"
Angin menyambar keras tahu-tahu wanita itu sudah berdiri menghadang di depannya. "Eh, bocah lancang. Kau bilang apa tadi?"
"Aku bilang kau patut dikasihani sampai-sampai tidak mau mengakui kekuasaan Tuhan, dan mengingkari kenyataan bahwa semua manusia mesti mati. Bibi takut mati, itu berarti Bibi kehilangan pegangan dalam hidup, bahwa Bibi kehilangan keperibadian, bahwa Bibi menganggap hidup ini dapat kau pegang dan kau kuasai. Itulah sebabnya Bibi terlalu mudah membunuh orang, mengira bahwa nyawa Bibi berada di tangan orang lain yang memusuhi Bibi. Ah, betapa sengsara hidup seperti Bibi ini."
Makin pucat muka wanita itu. "Kau bohong! Aku tidak takut siapa pun juga! Kau lihat sendiri tadi. Mereka berdua memusuhiku akan tetapi tidak dapat melawanku. Siapa memusuhiku akan mati!"
"Betulkah itu, Bibi? Mengalahkan orang lain bukan hal aneh, mengalahkan nafsu pribadi barulah perbuatan mulia! Makin banyak Bibi membunuh orang, makin banyak pula menanam bibit permusuhan dan makin sengsaralah hidup. Manusia hidup untuk saling bantu, saling tolong, bukan saling bermusuhan dan saling bunuh."
"Habis, kalau dua orang keparat tadi memaksaku, apakah aku harus menyerahkan diri dibunuh begitu saja?"
"Ah, Bibi kurang akal. Bibi sakti, apa sukarnya menjauhkan diri dari mereka yang memusuhi Bibi? Akan tetapi Bibi memang haus darah, suka membunuh, sungguh keji...!"
Wanita itu marah sekali. Ia mengeluarkan lengking tinggi dan tangannya sudah diangkat ke atas. Dari tangan kanan itu keluar hawa yang amat panas, sedangkan bunyi melengking hebat itu sudah hampir merobohkan Bu Song yang tiba-tiba merasa dadanya seperti ditusuk-tusuk. "Keparat bermulut lancang! Siapa kau? Aku takkan membunuh orang tak bernama!"
Bu Song tenang-tenang saja. Memang ia sendiri memandang hidup ini hampa dan penuh derita kecewa setelah kematian Eng Eng. Sama sekali ia tidak takut akan kematian yang mengancamnya. "Kalau Tuhan menghendaki aku mati dan Bibi berhasil membunuhku, berarti Bibi hanya membebaskan aku dari pada belenggu hidup. Aku tidak akan rugi apa-apa, akan tetapi kau sendiri yang menambahi mata rantai yang membelenggu kehidupanmu, Bibi. Namaku Bu Song."
"Bu Song...??" Mata itu terbelalak lebar dan muka yang cantik itu makin pucat. "Kau... kau... murid Kim-mo Taisu...?"
"Beliau adalah guruku, akan tetapi aku tidak akan menggunakan nama guruku untuk perisai nyawaku. Guruku sendiri tidak menguasai nyawaku, hanya Tuhan yang berhak akan mati hidupku!"
"Plakkk!"
Tangan itu menampar turun, akan tetapi yang ditampar bukan muka Bu Song, melainkan mukanya sendiri! Wanita itu jatuh terguling, lalu menangis dan akhirnya melompat pergi cepat sekali. Hanya lengking tangisnya masih terdengar oleh Bu Song yang berdiri bengong, lalu menggeleng-geleng kepalanya.
“Kasihan,” pikirnya. “Wanita itu terlalu banyak dosa, terlalu banyak membunuh orang sehingga pikirannya tidak waras lagi!” Ia lalu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya menuruni lereng itu dengan langkah lebar.
Tentu saja Bu Song sama sekali tidak pernah menduga bahwa wanita itu bukan lain adalah ibu kandungnya sendiri! Wanita itu adalah Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian! Sikap pemuda lemah yang begitu berani menasehati dan menegurnya sudah membuat wanita ini terheran-heran, kemudian menimbulkan kemarahannya yang luar biasa. Akan tetapi begitu ia mendengar bahwa pemuda itu adalah Bu Song, putera kandungnya sendiri, ia merasa seakan-akan mukanya ditampar oleh tangannya sendiri. Hampir saja ia tadi membunuh anak kandungnya sendiri!
Anaknya begitu tampan dan gagah. Ingin ia memeluknya, mendekap kepala itu di dadanya. Akan tetapi betapa ia dapat melakukan hal itu setelah anaknya mengubur dua orang yang dibunuhnya? Ibu yang tersesat, seorang manusia iblis yang oleh anak itu sendiri disebut haus darah, suka membunuh dan keji! Alangkah akan jijik dan bencinya anak itu kepadanya!
Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian menangis sambil berlari cepat seperti terbang meninggalkan tempat itu. Kemudian ia menjatuhkan diri di bawah pohon besar dalam sebuah hutan yang tak jauh dari tempat ia bertemu anaknya tadi. Ia menangis menjambak-jambak rambutnya, membentur-benturkan kepalanya pada batang pohon di depannya. Lu Sian menjadi seperti gila dan pada saat itu ia hanya ingin mati!
Tangisnya menjadi-jadi kalau ia teringat kepada Kwee Seng yang sudah memberi tahu bahwa puteranya itu selain menjadi muridnya juga akan menjadi mantunya. Bagaimana ia sebagai seorang ibu kandung dapat membiarkan putera tunggalnya menikah tanpa memberi restu dan tanpa menyaksikannya? Akan tetapi setelah pertemuan ini, betapa ia dapat menjumpai pemuda itu dan mengaku sebagai ibunya?
Tiba-tiba Lu Sian berhenti menangis dan dengan kaget ia mengangkat muka mendengarkan. Suara yang-khim yang amat merdu bergema di dalam hutan itu. Sejenak ia tertegun, timbul kemarahannya. Siapakah berani mengganggu keasyikannya berduka? Dia sedang berduka, sedang menangis, eh, orang itu berani membunyikan musik. Bukankah suara yang-khim tanda orang bersuka dan seakan-akan mengejeknya yang sedang berduka? Sama artinya dengan mentertawakan orang sedang menangis? Tok-siauw-kwi menjadi beringas dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah melesat ke arah suara itu, cepat laksana burung terbang.
Pemain yang-khim itu seorang kakek tua renta yang rambutnya sudah putih semua. Kakek itu duduk bersila memangku sebuah alat musik yang-khim, jari-jari kedua tangannya bergerak-gerak perlahan memainkan tali-tali yang-khim, mulutnya tersenyum dan pandang matanya melayang jauh ke depan dan agaknya seperti hendak menjenguk rahasia di balik awan.
Melihat cara kakek ini mainkan yang-khim, Lu Sian dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang berilmu tinggi dan tak salah lagi tentulah seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw yang selama ini mengejar-ngejar dan memusuhinya. Lebih baik turun tangan lebih dulu sebelum kakek itu sempat menyerangnya, ia pikir. Karena ingin sekali pukul beres, Lu Sian sudah mengeluarkan jarum-jarum merah Sian-tok-ciam dan dengan pengerahan tenaga sinkang ia melemparkan jarum-jarum itu ke arah kakek tua renta yang masih enak-enak main yang-khim.
Dengan jelas Lu Sian melihat betapa tujuh batang jarum-jarumnya mengenai sasaran dengan tepat dan lenyap memasuki tubuh kakek itu melalui jalan darah yang diarahnya. Akan tetapi ia terbelalak heran melihat betapa kakek itu masih saja enak-enak mainkan yang-khim, hanya kedua matanya kini dipejamkan dan napasnya tertahan. Tak lama kemudian, uap putih mengepul dari ubun-ubun kepalanya yang sudah berambut putih, disusul dengan uap putih yang keluar dari mulut dan hidungnya ketika kakek itu membuang napas dan... dari dalam mulut kakek itu keluarlah tujuh batang jarum merahnya, runtuh dan jatuh berhamburan di dekat yang-khim!
Lu Sian tak pernah dapat percaya kalau tidak menyaksikan sendiri hal aneh ini. Ilmu apakah yang dimiliki kakek itu? Tadi ia melihat jelas betapa jarum-jarumnya mengenai sasaran dengan tepat! Lu Sian menjadi kaget dan juga gelisah. Kalau kakek ini seorang musuh, berarti ia kini bertemu dengan seorang yang memiliki kesaktian luar biasa! Dan teringatlah ia akan peringatan yang keluar dari mulut puteranya tadi! Agaknya kali ini ia takkan menang, dan benarkah maut akan menjemput nyawanya melalui tangan kakek yang bermain yang-khim ini? Tidak, ia tidak boleh menerima kalah begitu saja!
Dengan penuh kegeraman hati Lu Sian lompat mendekat dan kini ia menggunakan kedua tangannya berbareng melakukan pukulan maut ke arah kedua pundak kakek tua renta itu. Pukulan ini akan menghanguskan jantung dan menghancurkan isi dada dan untuk melakukan ini, kedua tangan Lu Sian mengeluarkan asap hitam dan seakan-akan membara saking panasnya.
Dua pukulan yang dahsyat itu tepat mengenai sasarannya, di kedua pundak dekat leher kakek tua renta. Akan tetapi kakek itu masih tetap enak-enak duduk mainkan yang-khim sedangkan Lu Sian terhuyung-huyung ke belakang seperti orang mabok. Kedua tangannya tadi jelas mengenai sasaran, akan tetapi semua tenaganya seperti disedot ke dalam samudra yang tak berdasar, membuat ia kehilangan keseimbangan, bahkan akibatnya ia merasa dirinya kosong sama sekali.....
Komentar
Posting Komentar