CINTA BERNODA DARAH : JILID-05


Ternyata Kim-lun Seng-jin amat luas pengetahuannya dalam dunia kang-ouw. Ia mengenal semua tokoh, malah ia mengenal pula ayah Lin Lin. Beberapa kali Lin Lin bertanya tentang ayahnya, dan baru pada saat Lin Lin memanggang daging kelinci yang amat gurih baunya, kakek itu memenuhi jawaban pertanyaan ini.
“Kam-goanswe? Heh, Ayah angkatmu itu seorang yang keras hati, seorang prajurit sejati yang jujur dan setia. Kejujuran dan kesetiaannya ditambah kekerasan hatinya itulah yang membuat ia dipandang orang, kepandaiannya sih tidak ada artinya. Akan tetapi ia pernah menggemparkan dunia kang-ouw ketika ia dahulu berhasil mencuri hati Liu Lu Sian, seorang gadis sakti yang berjuluk Tok-siauw-kwi (Setan Cantik Beracun).”
“Lalu bagaimana, Kek?” tanya Lin Lin yang dapat menduga bahwa Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian ini tentulah ibu Bu Song yang oleh Kui Lan Nikouw disebut wanita dari golongan hitam dan telah bercerai dari ayah angkatnya.
“Entah bagaimana selanjutnya aku tidak dengar lagi. Akan tetapi perkawinan mereka menggemparkan. Setan cantik itu adalah anak seorang Kepala Agama Beng-kauw yang amat sakti, seorang berpengaruh besar sekali dan masih ada hubungan keluarga dengan raja-raja di Nan-cao (Yu-nan Barat). Liu Gan, seorang sakti ini, tidak setuju puterinya menikah dengan Ayah angkatmu, akan tetapi kerena Liu Lu Sian amat keras hati dan nekat, orang tua itu pun tak dapat berbuat apa-apa. Akan tetapi kudengar hubungan antara ayah dan puterinya ini menjadi putus. Selanjutnya entah.”
Lin Lin tahu selanjutnya. Liu Lu Sian melahirkan seorang putera, yaitu yang bernama Kam Bu Song dan yang sekarang sedang ia cari, dan Liu Lu Sian telah bercerai dari ayah angkatnya.
“Di mana sekarang adanya Liu Lu Sian dan ayahnya yang bernama Liu Gan itu, Kek?”
“Heh, mana aku tahu? Bukankah Liu Lu Sian itu Ibu angkatmu?”
“Bukan. Dia sudah bercerai lama sekali, meninggalkan seorang putera yang sekarang pergi pula entah ke mana. Kalau ada orang yang amat benci Ayah, agaknya Liu Gan itu, Kek. Di mana dia sekarang?”
“Mana aku tahu? Dia orang yang amat tinggi kedudukannya. Kemudian ia menghilang, tidak ada kabarnya lagi. Pula aku tidak ada hubungan dengannya, aku pun tidak sudi menyelidiki. Dia orang... hemmm, orang golongan hitam, aku takut kedua tanganku menjadi hitam juga kalau berhubungan dengannya.”
Daging itu sudah matang. Kim-lun Seng-jin menelan air liurnya dan dengan lahap ia menyambar daging paha kelinci yang diangsurkan Lin Lin terus diganyang panas-panas.
“Wah, kau hebat! Heran aku, kenapa kalau aku yang memanggang tidak bisa begini sedap dan gurih? Tanganmu memang luar biasa!” katanya sambil menikmati daging panas.
Lin Lin tersenyum. Bukan tangannya yang membikin daging itu menjadi sedap dan gurih, melainkan garam dan bumbu, terutama daun harum dan kayu manis yang ia dapatkan di hutan itu, yang ia pergunakan sebagai bumbu. Agaknya kakek yang pandai makan ini tidak pandai masak, buta akan rahasia bumbu masak.
“Aku sudah masak seenak-enaknya untukmu, tapi apa balasanmu?”
“Ihhh, bukankah aku setiap hari melatihmu dengan ilmu-ilmu itu?”
“Segala Ilmu Khong-in (Awan Kosong), agaknya juga kosong gunanya. Apa artinya kalau dipakai menghadapi musuh besarku, si Suling Emas?”
Kakek itu mencak-mencak, tapi masih menggerogoti daging, “Kau pandang rendah sekali, ya? Hendak kulihat, kalau Suling Emas mampu menangkapmu, aku berani mempertaruhkan kedua mataku! Jangan kau main-main, bocah nakal. Dengan Khong-in-ban-kin sudah terlatih sempurna, biar It-gan Kai-ong takkan mampu mengejarmu, tahu?”
“Jadi, aku hanya akan mampu melarikan diri saja? Kau melatihku untuk berlari-lari menyelamatkan diri kalau bertemu orang sakti?”
“Heh, apa kau kira hal itu tidak perlu? Itulah yang paling penting, menyelamatkan diri lebih dulu. Apa artinya pandai memukul orang kalau akhirnya kita pun kena pukul mampus? Ilmu pukulan Khong-in-liu-san itu, jangan kau pandang ringan. Dengan mempelajari ini, sekarang kepandaianmu sudah lipat menjadi sepuluh kali dari pada yang sudah-sudah, kau tahu?”
Tentu saja Lin Lin tidak percaya akan hal ini, akan tetapi diam-diam ia girang juga. “Apa kau kira sekarang aku sudah dapat melawan Suling Emas?”
Kim-lun Seng-jin membelalakkan kedua matanya dengan alis diangkat. “Enak saja bicara! Melawan segala macam penjahat masih boleh, tapi menghadapi dia? Kau kira orang macam apa Suling Emas itu?”
“Orang apa sih dia? Bagaimana kepandaiannya?”
“Dia sih orang biasa saja, tapi ilmu kepandaiannya hebat. Sukar dipegang ekornya. Dia orang yang seperti juga aku, tidak mau berdekatan dengan keramaian. Selalu bekerja dengan diam-diam secara rahasia. Aku sendiri pun hanya mengetahuinya sebagai Suling Emas, orang muda yang amat lihai, tapi siapa dia sebetulnya tidak ada orang tahu. Entah dari mana datangnya, hanya dunia kang-ouw mengenalnya selama tujuh delapan tahun ini.”
“Kenapa kau mengira bahwa mungkin dia yang membunuh orang tua angkatku, Kek?”
“Orang macam dia itu bisa berbuat apa saja. Pendeknya, tidak ada yang mengherankan andai kata mendengar pada suatu hari bahwa Suling Emas membunuh Kaisar, atau membunuh ketua Kun-lun-pai. Sepak terjangnya tidak dapat diikuti orang. Mungkin orang tuamu dibunuhnya karena ada kesalahan terhadapnya, mungkin juga karena sikap Ayahmu terhadap kerajaan, atau pun karena urusan lain, siapa bisa tahu?”
“Kek apakah dia benar-benar lihai?”
“Dia hebat.”
“Kau takut terhadap Suling Emas?”
Kakek itu mencak-mencak lagi, tulang kelinci yang sudah tak berdaging lagi digigit pecah dan disedot sumsum­nya. “Takut apa? Kim-lun Seng-jin tidak pernah mengenal takut.”
“Kalau begitu kau berani melawannya? Kau dan dia siapa lebih lihai, Kek? Apa kau bisa menangkan dia?”
Kakek itu duduk kembali, menarik napas. “Jangan kau kira bisa mengadu aku dengan Suling Emas. Tentu saja kalau dia mengganggumu, aku akan turun tangan. Akan tetapi aku tidak bisa memastikan apakah aku akan menang. Betapa pun juga saat ini ingin aku mencoba kepandaiannya.”
Girang hati Lin lin. “Kalau begitu, mari cepat kita mencarinya di kota raja, Kek. Kau bilang dia berada di sana, bukan?”
“Kira-kira begitulah. Akan tetapi orang macam dia memang sukar diikuti bayangannya. Kita lihat saja nanti, di kota raja kita dapat mencari keterangan tentang dia. Sebaiknya kau melatih lagi ilmu pukulan itu.”
Demikianlah, sambil melakukan perjalanan mencari Suling Emas, Lin Lin terus dilatih ilmu silat oleh Kim-lun Seng-jin dan tanpa disadarinya sendiri kepandaian Lin Lin meningkat dengan cepat. Gadis ini sama sekali tidak sadar bahwa Kim-lun Seng-jin sengaja mengambil jalan memutar, melalui gunung-gunung dan hutan-hutan sehingga waktu yang mereka pergunakan untuk sampai di kota raja menjadi lima kali lebih panjang, perjalanan menjadi amat jauh dan sukar. Kakek ini sengaja berbuat demikian karena ia ingin melihat Lin Lin dapat melatih diri sampai matang dalam ilmu silat itu sehingga keselamatan Lin Lin dapat terjaga. Sering kali, di waktu mereka tidur dalam hutan, kakek itu duduk dan memandang wajah Lin Lin sampai berjam-jam. Kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. “Serupa benar... serupa benar...”
********************
Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang melakukan perjalanan bersama Kim-lun Seng-jin dan mari kita menengok keadaan Bu Sin dan Sian Eng. Kakak beradik ini juga cepat meninggalkan An-sui, menuju ke kota raja untuk mencari kakak mereka yang selamanya belum pernah mereka lihat, seorang yang bernama Kam Bu Song.
Dua orang ini melakukan perjalanan dengan cepat, akan tetapi sekarang jauh berkuranglah kegembiraan mereka di perjalanan setelah Lin Lin tidak berada di dekat mereka. Malah keduanya agak muram wajahnya, karena biar pun Lin Lin hanya seorang adik angkat, namun mereka amat mengasihinya. Terutama sekali Bu Sin selalu berkerut keningnya.
Dia adalah saudara tertua dan dialah yang merasa bertanggung jawab atas keselamatan Lin Lin. Sekarang gadis itu pergi tanpa diketahuinya ke mana. Kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak baik, bukankah dia yang bertanggung jawab dan pula dia yang kelak disalahkan, baik oleh kakak tirinya, Kam Bu Song, mau pun oleh bibi gurunya yaitu Kui Lan Nikouw. Akan tetapi teringat akan bunyi surat yang ditinggalkan Lin Lin di kamar penginapan, dan mengingat akan pesan suami isteri Hou-han itu yang menyatakan bahwa Kim-lun Seng-jin adalah seorang sakti, hatinya menjadi agak lega.
Kota raja Kerajaan Sung tidak jauh lagi dan dengan melakukan perjalanan cepat, dalam waktu sepekan saja Bu Sin dan Sian Eng sudah memasuki kota raja. Ketika masih tinggal bersama ayahnya di Pegunungan Cin-ling-san di dusun Ting-chun sebelum ayahnya tewas, bekas Jenderal Kam sering kali mendongeng kepada tiga orang anaknya tentang keadaan kota raja yang amat ramai dan indah. Memang dahulu, Jenderal Kam Si Ek biar pun bertugas di Shan-si, namun ia adalah seorang pejabat pemerintah Kerajaan Sung karena pada masa itu Kerajaan Hou-han belum bangkit dan wilayah Shan-si masih termasuk wilayah Sung.
Oleh karena pernah mendengar tentang kota raja ini, ketika memasuki kota raja Bu Sin dan adiknya merasa gembira dan kagum, akan tetapi tidak terheran-heran seperti orang-orang desa yang baru pertama kali selama hidupnya memasuki kota raja yang besar. Mereka berdua mencari rumah penginapan, kemudian mulailah mereka dengan penyelidikan mereka, bertanya ke sana ke mari tentang diri seorang pemuda bernama Bu Song, she Liu. Bu Sin dan adiknya masih teringat akan penuturan bibi guru mereka betapa Bu Song pernah menempuh ujian di kota raja ini dengan menggunakan she Liu, yaitu she ibunya.
Orang pertama yang mereka tanyai adalah seorang guru sastra yang membuka sekolah bagi calon-calon pengikut ujian, seorang laki-laki yang sudah berusia enam puluh tahun lebih. Memang Bu Sin selalu berhati-hati dan ia amat cerdik dan pandai mencari keterangan. Tidak ada orang yang lebih tepat dimintai keterangan tentang seorang penempuh ujian belasan tahun yang lalu di kota raja selain seorang guru sastra yang sudah tua.
Akan tetapi guru sastra itu menggeleng kepalanya dan mengerutkan kening. “Sungguh menyesal aku tidak ingat lagi akan semua nama-nama itu. Ada ratusan orang banyaknya she Liu, dan semenjak empat belas tahun sampai sekarang, entah sudah ada berapa ribu orang pelajar yang menempuh ujian.”
Bu Sin dan Sian Eng kelihatan kecewa dan menyesal sekali. Malah Sian Eng hampir menangis kalau ia ingat betapa perjalanan mereka selain sia-sia belaka, juga mereka malah kehilangan Lin Lin. Mencari seorang kakak belum dapat di­temukan, sekarang malah kehilangan seorang adik. Mendengar jawaban guru tua ini, agaknya memang tak mungkin mencari seorang yang berada di kota raja ini dan menjadi penempuh ujian pada empat belas tahun yang lalu!
Pada saat mereka hampir putus asa itu, kakek guru tua tadi berkata menghiburnya, “Masih ada satu jalan untuk mencari orang itu. Pada empat belas tahun yang lalu, yang menjabat sebagai kepala ujian adalah Pangeran Suma Kong yang sekarang tinggal di kota An-sui. Kalian coba saja menghadap beliau dan mohon pertolongannya, karena kurasa pangeran itu mempunyai catatan tentang para pengikut ujian dan siapa tahu beliau akan dapat memberi keterangan di mana adanya Liu Bu Song itu.”
Wajah kakak beradik itu berubah dan mereka saling lirik ketika mendengar kata-kata ini. Pangeran Suma di An-sui? Itulah keluarga yang gedungnya mereka datangi, dan di sana pula Lin Lin lenyap. Di sana malah terdapat It-gan Kai-ong dan pemuda lihai yang mereka dengar disebut Suma-kongcu. Karena pikiran ini membuat mereka merasa bingung dan tegang, Bu Sin segera menghaturkan terima kasih dan minta diri.
Setelah keluar dari rumah kakek guru itu, Bu Sin menarik napas panjang. “Apakah kita harus pergi ke rumah itu? Tempat yang amat berbahaya itu, bagaimana kalau mereka yang berada di sana, terutama It-gan Kai-ong, mengenal kita? Bukankah itu sama halnya dengan memasuki goa naga dan harimau?”
“Sin-ko, dengan mereka kita tidak mempunyai permusuhan. Kalau Pangeran Suma orang satu-satunya yang dapat menolong kita, mengapa kita meragu? Lebih baik kita mencoba, siapa tahu pangeran tua itu mengerti di mana ada­nya Kakak Bu Song. Kalau bukan bertanya dia, siapa lagi? Kakek guru itu saja tidak dapat menolong kita, apa lagi orang lain?”
“Dengan keluarga Pangeran Suma memang kita tidak ada permusuhan, akan tetapi kau harus ingat It-gan Kai-ong yang berada di sana. Kita pernah ribut dengan para pengemis.”
“Bukankah dia sudah memaafkan kita setelah diberi uang perak oleh Lin Lin? Kalau memang dia berniat jahat, kiranya dia sudah turun tangan sejak dulu.”
Akhirnya Bu Sin mengambil keputusan dan berkata, “Baiklah, kita ke An-sui, bertanya dan minta tolong kepada Pangeran Suma Kong. Apa pun yang akan terjadi, harus kita hadapi karena ini menjadi kewajiban kita memenuhi pesan terakhir dari Ayah untuk mencari Kakak Bu Song. Mari, Eng-moi, kita kembali ke An-sui.”
Hanya semalam mereka di kota raja dan pada keesokan harinya, kembali mereka melakukan perjalanan ke An-sui dengan cepat. Begitu tiba di An-sui beberapa hari kemudian di waktu siang, mereka berdua langsung menuju ke rumah gedung yang pernah mereka kenal di suatu malam itu, memasuki halaman rumah yang luas. Hati mereka berdebar tegang ketika pelayan yang mereka mintai tolong untuk melaporkan kepada Pangeran Suma bahwa mereka berdua mohon menghadap, memasuki pintu depan yang besar.
Akhirnya pintu terbuka dan alangkah kaget dan tegang hati mereka. Yang muncul keluar bukanlah seorang pangeran tua, melainkan seorang pemuda tinggi tegap dan tampan berhidung bengkok bermata tajam seperti burung hantu. Ini adalah pemuda yang mereka lihat malam itu, Suma-kongcu atau Suma Boan! Lebih-lebih Sian Eng tergetar hatinya ketika melihat sepasang mata pemuda itu memandangmya seakan-akan hendak menelannya bulat-bulat dan mulut yang membayangkan kelicikan itu tersenyum-senyum.
Di belakang pemuda ini keluar pula belasan orang laki-laki tinggi besar dan sekali lihat saja dapat menduga bahwa mereka adalah prajurit-prajurit pengawal karena pakaian mereka seragam. Suma-kongcu memberi isyarat dan belasan orang pengawal itu masuk kembali ke dalam, kemudian pemuda itu membalas penghormatan kedua orang tamunya dengan menjura dan berkata.
“Menurut laporan pelayan, Nona dan saudara hendak menghadap Pangeran Suma. Kebetulan sekali Ayah sedang tidur siang, akan tetapi kalau ada urusan, boleh Ji-wi (Kalian) bicarakan dengan saya, karena semua urusan Ayah telah diwakilkan kepada saya. Apakah keperlu­an Ji-wi datang menghadap Ayah?”
Karena bagi Bu Sin sama saja, baik Pangeran Suma mau pun puteranya asal dapat memberi keterangan tentang kakaknya, maka ia segera berkata dengan hormat. “Maafkan kalau kami mengganggu waktu yang berharga, Suma-kongcu. Kedatangan kami mohon menghadap Pangeran Suma adalah dengan maksud mohon pertolongan, karena untuk urusan kami ini, kiranya hanya Pangeran Suma yang dapat menolong.”
Wajah Suma Boan berubah ramah, tapi pandang matanya penuh selidik dan seperti tadi, sekilas ia memandang ke arah pedang yang tergantung di pinggang dan punggung kedua orang muda itu. “Heran sekali, kami tidak pernah mengenal Ji-wi, pertolongan apakah yang dapat kami lakukan?”
“Begini, Kongcu. Kami mencari seorang pengikut ujian yang berada di kota raja dan mengikuti ujian empat belas tahun yang lalu. Karena pada waktu itu kami mendapat keterangan bahwa Pangeran Suma yang menjabat kepala penguji, maka kiranya sudi memberi keterangan kepada kami, apakah beliau mengetahui di mana adanya pelajar itu sekarang.”
“Siapakah namanya pelajar itu? Empat belas tahun yang lalu? Hemmm, agaknya dapat dilihat dalam buku catatan tentang pelajar.”
“Pada waktu itu, ia memasukkan namanya sebagai Liu Bu Song...”
“Bu Song...?” Suma-kongcu kelihatan kaget bukan main dan wajahnya seketika berubah merah, matanya terbelalak lebar. “Apamukah dia itu?” pertanyaannya kini tidak halus lagi.
Bu Sin dan Sian Eng kaget melihat perubahan ini, akan tetapi karena tidak dapat menduga apa yang menyebabkan Suma-kongcu berubah demikian, Bu Sin menjawab sejujurnya, “Dia adalah kakak kami...”
“Bagus!” Suma-kongcu melompat bangun lalu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Bu Song! Kau telah mengirim dua orang adikmu, bagus! Adik laki-laki boleh menggantikan hukumanmu, adik perempuan hemmm... cukup cantik membayar penghinaanmu. Ha-ha-ha!” Suma-kongcu bertepuk tangan dan belasan orang pengawal muncul dengan cepat sekali. “Tangkap mereka!”
Bukan main kagetnya Bu Sin dan Sian Eng melihat sikap Suma-kongcu dan mendengar perintah ini. Tanpa menanti lebih lama lagi mereka segera meloncat mundur sambil mencabut pedang. Namun gerakan Suma Boan bukan main cepatnya. Bagaikan seekor burung elang menyambar ia telah menerjang Bu Sin dan Sian Eng, kedua tangannya bergerak melakukan serangan.
Bu Sin dan Sian Eng belum sempat menarik pedang, terpaksa mereka menangkis karena serangan ini cepat dan berbahaya sekali. Kedua tangan Suma Boan bertemu dengan tangkisan tangan Bu Sin dan Sian Eng. Akibatnya, Bu Sin terhuyung mundur dan Sian Eng terguling! Kaget sekali kakak beradik ini. Sian Eng cepat hendak meloncat bangun, namun sebuah totokan dengan dua jari tangan Suma Boan telah mengenai jalan darahnya dengan cepat, membuat ia tidak mampu berkutik lagi! Sambil tertawa-tawa Suma Boan menyambar tubuh Sian Eng dan memondongnya.
“Lepaskan adikku!” Bu Sin membentak, pedangnya yang sekarang sudah ia cabut menyambar ke arah Suma Boan. Permainan pedang Bu Sin bukanlah lemah. Pedang itu meluncur cepat dan Suma Boan terpaksa menghindarkan diri sambil melompat ke samping. Akan tetapi pedang Bu Sin mengejar terus.
Pada saat itu para pengawal sudah mengepung Bu Sin sehingga pemuda ini tidak mampu lagi menolong adiknya. Terpaksa dengan kemarahan meluap-luap ia memutar pedangnya melayani belasan orang pengawal itu. Menghadapi para pengawal ini, biar pun dikeroyok, baru tampak kelihaian ilmu pedang Bu Sin. Sebentar saja tiga orang pengawal roboh terluka. Pengawal-pengawal lainnya menjadi gentar juga. Tak mereka sangka ilmu pedang pemuda ini demikian hebat. Kini mereka tidak berani mendekat rapat. Melihat ini, Suma Boan menjadi habis sabar. Ia merebahkan tubuh Sian Eng ke atas dipan di sudut ruangan, kemudian ia melompat ke medan pertandingan sambil membentak.
“Mundur kalian, orang-orang tiada guna dan lihat bagaimana aku menangkap cacing ini!”
Para pengawal menjadi lega hati mereka. Cepat mereka mundur sambil menolong tiga orang kawan mereka yang terluka. Ada pun Bu Sin ketika melihat Suma Boan, segera membentak nyaring dan menerjang maju. Ia bermaksud merobohkan kongcu itu untuk dapat menolong adiknya yang ia lihat masih rebah di atas dipan, tak dapat bergerak.
“Orang jahat she Suma! Apa kesalahan kami maka kau melakukan penangkapan?”
“Ha-ha-ha, Bu Song, kakakmu itu musuh besarku. Menyerahlah!”
“Sebelum mati takkan menyerah. Lihat pedang.”
Suma Boan tetap tertawa sambil mengelak dari sambaran pedang. Di lain saat kedua tangannya sudah bergerak menyodok dan menotok sebagai penyerangan balasan. Putera pangeran ini menghadapi Bu Sin dengan tangan kosong saja. Memang dia seorang ciang-hoat (silat tangan kosong) yang amat lihat, mewarisi ilmu silat tinggi dari It-gan Kai-ong, Bu Sin bukanlah lawannya, karena dibandingkan dengan putera pangeran ini, ilmu kepandaian Bu Sin masih amat rendah, kalah beberapa tingkat!
Tidaklah mengherankan apa bila dalam beberapa belas jurus saja, pergelangan tangan kanan Bu Sin kena disabet dengan tangan miring sehingga pedangnya terpental jauh, kemudian sebelum Bu Sin sempat menyelamatkan diri, ia telah tertotok roboh dan segera ditubruk dan diringkus oleh para pengawal. Beberapa orang pengawal yang marah karena pemuda ini sudah melukai tiga orang kawan mereka, menghujankan pukulan-pukulan. Bu Sin tentu akan tewas kalau saja Suma Boan tidak menghardik orang-orangnya.
“Jangan sentuh dia! Aku sendiri yang akan menghukumnya. Hemm, orang-orang tiada guna, kalau kalian memukuli sampai mati, nyawa kalian gantinya!” Akan tetapi Bu Sin tidak mati, hanya pingsan saja.
Suma Boan menengok ke arah dipan dan alangkah kagetnya ketika melihat dipan itu kosong. Sian Eng si cantik manis yang tadi telah tertotok dan tak mampu bergerak, rebah di atas dipan, kini tidak tampak lagi, lenyap dari tempat itu tanpa bekas!
“Keparat, di mana dia...?” Suma Boan dengan sekali lompat sudah tiba di dekat dipan dan sepasang matanya melotot. Mukanya pucat ketika ia melihat sebuah benda tertancap di atas dipan sebagai ganti gadis cantik itu. Benda yang menancap pada dipan ini adalah sebuah bendera kecil, gagangnya dari kayu hitam, benderanya berbentuk segi tiga berdasar hitam dengan gambar Hek-giam-lo si malaikat maut yang memegang sabit, tersulam dengan benang warna kuning emas!
“Hek-giam-lo...!” bibir Suma Boan berbisik, lalu ia menggertak gigi. “Lagi-lagi Hek-giam-lo mengganggu, keparat...!”
Akan tetapi ia maklum bahwa tak mungkin ia dapat mengejar setan itu yang telah menculik tawanannya. Kemarahannya ia tumpahkan kepada Bu Sin. “Seret ia ke dalam kebun belakang!”
Para pengawal menyeret tubuh Bu Sin yang sudah siuman dari pingsannya tapi tidak berdaya lagi itu ke belakang. Atas perintah Suma Boan, mereka mendirikan dua batang balok yang dipasang menyilang, kemudian mengikat tubuh Bu Sin di atas balok bersilang itu.
Bu Sin sudah siuman, maklum akan bahaya maut yang mengancam nyawanya. Namun ia seorang pemuda gagah perkasa, sedikit pun tidak takut. Dengan pandang mata tajam ia menatap Suma Boan yang berdiri di depannya dan di kanan kiri berdiri para pengawal.
“Orang she Suma!” Kata Bu Sin dengan suara ketus dan nyaring. “Antara kau dan aku tidak ada permusuhan, akan tetapi kau katakan bahwa kakakku Bu Song adalah musuh besarmu. Baik, aku sebagai adiknya siap menerima hukuman apa saja. Sayang kepandaianku terlalu rendah, kalau tidak tentu aku akan mewakili kakakku itu memberi hajaran kepadamu, manusia rendah.”
“Ha-ha, kematian sudah di depan mata dan masih berlagak!” dengus Suma Boan. Sekali merogoh saku, ia telah mengeluarkan enam batang anak panah. “Sebentar lagi kau mampus.”
“Siapa takut mati? Seorang gagah sekali-kali tidak berkedip menghadapi kematian, asal saja ia mati dalam kebenaran! Akan tetapi, ceritakan mengapa kakakku memusuhi orang macam kau, agar aku tahu untuk apa aku mati.”
“Bu Song seorang jahanam besar. Ia telah ditolong oleh Ayah, ujiannya diberi angka baik agar ia lulus, kemudian karena tertarik oleh kepintarannya Ayah telah memberinya kedudukan baik sebagai pembantu pribadi. Siapa kira, kakakmu manusia rendah itu tidak tahu akan kedudukannya sebagai hamba, berani main gila dengan adik perempuanku. Dia sudah kuikat seperti kau sekarang ini, mengalami cambukan seratus kali, tapi agaknya tubuhnya yang sudah hampir menjadi bangkai itu dibawa setan, atau mungkin juga dimakan setan sampai habis. Ha-ha-ha, dan sekarang kau adiknya datang untuk melanjutkan hukumannya. Tidak puas hatiku ketika itu, sekarang barulah aku puas. Penghinaan atas diri adikku akan kubalas impas. Hemmm... kalau saja perempuan itu tidak lenyap....”
“Di mana adikku, Sian Eng? Suma-kongcu, kita sama-sama lelaki, kau mau membalas, silakan, aku akan menerima dengan mata melek. Akan tetapi, kau bebaskan adikku. Dia wanita, tidak bertanggung jawab akan perbuatan kakakku.”
“Ha-ha-ha, adikmu akan kurusak, kemudian kuserahkan kepada para pengawal, penghinaan ini harus dibayar sampai habis, berikut bunganya.”
Pucat wajah Bu Sin, akan tetapi ia tidak mau membuka mulut. Ia tahu bahwa percuma saja membujuk orang macam ini, malah akan mendapat penghinaan yang menyakitkan hati. Apa pun yang akan dialami oleh Sian Eng, paling hebat tentu kematian dan ia percaya bahwa Sian Eng tentu akan mempergunakan setiap kesempatan untuk meloloskan diri atau untuk membunuh diri dari pada dijamah tangan-tangan kotor itu.
“Pengecut, siapa takut ancamanmu? Mau bunuh lekas buhuh!” bentaknya.
Tangan kiri Suma Boan bergerak dan meluncurlah sebatang anak panah, menancap ke paha kiri Bu Sin. Terasa nyeri dan perih, namun Bu Sin tetap memandang dengan mata marah, pemuda perkasa ini berkedip pun tidak.
“Kalian lihat, semua anak panah ini akan mengenai sasaran tanpa membunuh korbannya. Dan hati-hati, dia harus dibiarkan tersiksa sampai mati kehabisan darah, semua harus bergiliran menjaga malam ini. Aku tidak mau kehilangan dia seperti belasan tahun yang lalu. Besok pagi akan kulihat bangkainya tetap tergantung di sini.”
“Baik, Kongcu. Hamba sekalian akan menjaganya, harap Kongcu jangan khawatir.” Serempak para pengawal menjawab sambil memberi hormat.
Dengan senyum keji dan mata berapi, Suma Boan lalu berturut-turut melepaskan anak panah dengan kedua tangannya. Cepat anak-anak panah itu meluncur dan dengan tepat menancap di paha kanan, kedua lengan dan di kedua pundak. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Bu Sin. Rasa nyeri pada kaki tangan dan pundaknya masih dapat ia pertahankan dengan menggigit bibir, sedikit pun keluhan tidak ada yang keluar dari mulutnya. Namun penghinaan ini benar-benar amat menyakitkan hatinya, hampir ia tidak kuat menahan hati untuk memaki-maki dan berteriak-teriak. Kalau ia terus dibunuh, itu masih tidak mengapa. Akan tetapi dijadikan sasaran anak panah lalu dibiarkan terpanggang di situ menjadi tontonan, benar-benar menyakitkan hati sekali.
Suma Boan tertawa-tawa mengejek, lalu meludahi muka Bu Sin sebelum pergi meninggalkan tempat itu. Bu Sin hanya membuang muka ke samping, akan tetapi tak dapat mencegah pipi kirinya terkena sambaran ludah. Ia merasa pipi itu panas dan sakit sehingga diam-diam ia harus mengakui kehebatan putera pangeran ini yang memiliki lweekang amat kuatnya. Namun sakit di hatinya lebih hebat.
“Jaga baik-baik! Awas, jangan sampai ada yang mencuri calon mayat ini,” pesan Suma Boan kepada anak buahnya. Mereka memberi hormat lagi dengan sikap menjilat-jilat, menyatakan kesanggupan mereka.
Setelah kongcu itu pergi, para pengawal yang dua belas orang banyaknya itu duduk mengelilingi balok bersilang di mana tubuh Bu Sin tergantung. Mereka bercakap-cakap dan merasa yakin bahwa penjagaan mereka amat kuat. Pedang dan golok mereka terletak di atas tanah, dekat tangan, siap untuk dipergunakan sewaktu-waktu.
Bu Sin merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit. Bagian yang tertusuk anak panah terasa panas dan kejang. Akan tetapi ia segera melupakan rasa nyeri ini, malah ia tidak mendengarkan percakapan para penjaga. Pikirannya sibuk memikirkan kakaknya. Tahulah ia sekarang mengapa kakaknya lenyap dari kota raja tak dapat ditemukan ayahnya.
Kiranya kakaknya itu tadinya diangkat oleh Pangeran Suma menjadi pembantunya, kemudian kakaknya agaknya bermain cinta dengan puteri pangeran, ketahuan dan ditangkap lalu disiksa seperti yang ia alami sekarang. Akan tetapi kakaknya lenyap pada malam hari. Ke mana? Benarkah sudah mati? Ah, masa dimakan setan? Ditolong setan juga tak mungkin. Siapakah yang mau menolong kakaknya? Seperti juga dia sendiri sekarang ini, siapa yang mau menolongnya?
Tiba-tiba matanya terbelalak kaget. Ia berusaha mengikuti sinar berkelebatan dengan matanya, namun tetap saja matanya silau dan tak dapat melihat apa yang berkelebatan itu. Tahu-tahu para penjaga yang tadinya duduk bercakap-cakap sudah rebah malang-melintang tak bergerak lagi, entah mati entah masih hidup. Dan tahu-tahu, seperti main sulap saja, bayangan berkelebat di dekatnya dan dalam sedetik ikatan kaki tangannya terlepas, kemudian anak-anak panah yang enam buah banyaknya itu tercabut. Darah bercucuran keluar dan Bu Sin tidak ingat lagi. Ia pingsan dan tidak tahu apa yang telah terjadi atas dirinya.
Ketika Bu Sin sadar kembali, ia mendapatkan dirinya sudah berada di sebuah hutan, dibaringkan di bawah sebatang pohon besar. Di dekatnya ada sebuah api unggun yang masih bernyala, akan tetapi tidak seorang pun manusia di situ. Bu Sin cepat bangkit duduk, memeriksa luka-lukanya. Kiranya enam buah luka di tubuhnya sudah diobati orang dan dibalut dengan kain putih dan bersih, rasanya nyaman tidak nyeri lagi. Cepat ia melompat berdiri, dilihatnya pedangnya terletak di dekat api, segera dipungutnya. Ketika memungut pedang inilah pandang matanya bertemu dengan tanah yang di­coret-coret merupakan huruf-huruf.
ADIKMU DIBAWA HEK-GIAM-LO, AKU BERUSAHA MENGEJARNYA.
Bu Sin terduduk kembali. Agaknya orang yang menolongnya ini sejak tadi menjaganya di situ dan melihat ia siuman, baru orang itu pergi sambil meninggalkan tulisan di dekat api dan pedang. Siapa gerangan orang itu? Kepandaiannya hebat, tidak seperti manusia. Setankah dia? Tiba-tiba ia teringat akan penuturan Suma-kongcu. Apakah setan ini pula yang belasan tahun yang lalu telah menolong kakaknya, Bu Song? Ia merasa menyesal sekali, mengapa penolongnya itu melakukan ini secara bersembunyi sehingga ia sama sekali tidak dapat menduga-duga siapa gerangan penolongnya. Lebih khawatir lagi hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa Sian Eng dibawa lari Hek-giam-lo. Ia tidak tahu siapa itu Hek-giam-lo.
Tiba-tiba ia teringat. Pernah ia mendengar nama ini disebut orang. Ia mengingat-ingat, lalu terbayang dalam benaknya pengalamannya bersama Lin Lin dan Sian Eng ketika mereka bertiga bersembunyi di dalam hutan, di atas pohon besar kemudian mereka terancam oleh It-gan Kai-ong. Betapa kemudian terdengar suara melengking tinggi yang membuat It-gan Kai-ong agaknya lari ketakutan, kemudian orang yang mengeluarkan lengking tinggi tampak punggungnya dan menyebut-nyebut nama Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni, dan Bu Kek Siansu. Dan sekarang Hek-giam-lo yang disebut-sebut itu telah membawa lari Sian Eng! Siapa dan apa itu Hek-giam-lo ia tidak tahu, akan tetapi melihat namanya, Hek-giam-lo berarti Iblis Maut Hitam!
Bu Sin termenung, bingung karena tidak tahu harus berbuat apa. Lin Lin dibawa lari seorang sakti yang bernama Kim-lun Seng-jin, sekarang Sian Eng dibawa lari Hek-giam-lo. Kedua orang adiknya tidak ia ketahui bagaimana nasibnya dan berada di mana sekarang. Mencari kakaknya belum juga bertemu, hanya mendengar nasibnya yang buruk, disiksa hampir mati dan lenyap. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Dengan pikiran bingung dan gelisah sekali Bu Sin terpaksa meninggalkan tempat itu, menyusup-nyusup hutan karena ia maklum bahwa ia tentu dikejar oleh Suma-kongcu dan sekali lagi terjatuh di tangannya berarti akan hilang nyawanya.....
********************
Ke mana lenyapnya Sian Eng yang tadinya berada dalam keadaan tertotok jalan darahnya, tak dapat bergerak terbaring di atas dipan? Gadis ini biar pun sudah tak dapat bergerak karena jalan darah thian-hu-hiat tertotok membuatnya lemas kehilangan tenaga, namun ingatannya masih berjalan baik dan panca inderanya tidak terpengaruh. Ia berusaha sedapat mungkin untuk mengumpulkan tenaga lweekang untuk membebaskan diri dari totokan, namun usahanya belum juga berhasil. Hatinya gelisah bukan main melihat kakaknya dikeroyok itu.
Tiba-tiba sesosok bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu ia merasa dirinya diterbangkan dari tempat itu. Demikian cepatnya gerakan bayangan hitam yang menolongnya sehingga ia tidak dapat melihat orang ataukah setan penolongnya itu. Ia dipondong masih dalam keadaan tertotok, karena itu ia tidak dapat menggerakkan kepala untuk memandang pemondongnya. Pakaian orang ini dari sutera hitam dan ia mengingat-ingat.
Tiba-tiba jantungnya berdebar keras. Orang yang dahulu melengking tinggi mengejar It-gan Kai-ong, yang hanya terlihat punggungnya, juga berpakaian hitam. Orang yang membawa suling dan yang mereka duga adalah Suling Emas, dan juga pembunuh orang tua mereka! Celaka, pikirnya, kalau pembunuh orang tuanya, musuh besar ini yang sekarang menculiknya pergi, tentu tidak bermaksud baik. Ia tidak tahu dibawa ke jurusan mana, tapi larinya cepat sekali seperti terbang saja. Menjelang senja mereka tiba di lereng gunung.
Sian Eng sekarang sudah mampu menggerakkan kepala karena urat lehernya sudah mulai terbebas dari totokan, jalan darahnya sudah mulai mengalir kembali. Akan tetapi biar pun ia menengok dan memutar leher, tetap saja ia tidak dapat memandang muka pemondongnya yang berjubah hitam, karena kepalanya berada di punggung orang itu. Ketika ia memandang ke sekitarnya melalui kedua pundak pemondongnya, ia terkejut dan merasa ngeri.
Kiranya mereka telah berada di sebuah tempat kuburan kuno yang amat luas. Agaknya kuburan orang besar, karena selain luas juga amat indah. Bongpai (batu nisan) besar-besar dan megah berdiri di sana, di dalam lingkungan pagar tembok dan di sana sini berdiri patung-patung yang terukir indah. Jalan menuju ke batu nisan itu menanjak. Agaknya penolongnya hendak membawanya ke batu nisan itu. Akan tetapi ternyata tidak. Ia dibawa memasuki sebuah terowongan melalui sebuah pintu rahasia di balik batu nisan. Terowongan yang gelap sekali.
Tak lama kemudian sampailah mereka di sebuah ruangan bawah tanah yang cukup luas dan tidak gelap, agaknya sinar matahari dapat masuk ke ruangan ini. Sian Eng dilempar ke atas sebuah bangku panjang, akan tetapi ia tidak terbanting, melainkan jatuh terduduk. Ini kembali membuktikan bahwa penolong atau penculiknya itu adalah seorang yang amat tinggi kepandaiannya.
Sian Eng yang sudah dapat bergerak lagi cepat menoleh dan... gadis itu hampir saja menjerit kalau tidak lekas-lekas menutupi mulut dengan kedua tangannya. Ia hanya duduk dengan mata terbelalak lebar memandang ke depan, kepada orang yang memondongnya tadi. Sehelai demi sehelai bulu di tubuhnya berdiri, dan gadis ini hampir pingsan karena kaget, takut, dan ngeri. Ternyata yang memondongnya tadi bukanlah manusia! Tengkorak hidup! Jubah hitam itu menutup sampai kepalanya, yang tampak hanya muka tengkorak dengan kedua lubang mata yang lebar, lubang hidung yang kecil dan bekas mulut yang amat lebar, masih bergigi. Mengerikan! Di tempat seperti itu, yakni di bawah tanah kuburan bertemu dengan makhluk seperti ini, benar-berar membutuhkan syaraf membaja untuk tidak menjerit-jerit ketakutan.
Kemudian makhluk yang berdiri tak bergerak seperti patung itu, mengeluarkan suaranya yang terdengar bergema namun seperti datang dari jauh, suara yang tidak pantas menjadi suara manusia hidup, “Nona datang dari Ting-chun di kaki gunung Cin-ling-san, puteri Jenderal Kam Si Ek?”
Karena masih dicekam kengerian, Sian Eng belum mampu mengeluarkan suara, hanya mengangguk dan sepasang matanya yang bening itu terbelalak lebar. Beberapa kali ia menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak menjadi kering sekali.
Mendadak terjadi hal yang aneh dalam pandangan Sian Eng. Makhluk itu, yang kini dapat diduganya tentulah seorang manusia yang memakai topeng tengkorak, tiba-tiba menjatuhkan dirinya berlutut di depan bangku itu, di mana Sian Eng sudah bangkit berdiri!
“Aduhai Sang Puteri... bertahun-tahun hambamu seluruh rakyat menanti kehadiran Paduka Puteri, bertahun-tahun hamba yang hina mencari dengan susah payah. Akhirnya hamba mendapatkan jejak Jenderal Kam di Ting-chun, akan tetapi Paduka sudah pergi... ah, siapa duga hamba dapat bertemu dengan Paduka di sini. Rakyat telah menanti untuk menjemput Paduka sebagai ratu....” Sampai di sini si kedok tengkorak itu lalu menangis sesenggukan.
Dapat dibayangkan betapa Sian Eng melongo keheranan, bulu tengkuknya berdiri kaku karena ia menganggap bahwa kedok iblis ini tentulah seorang yang miring otaknya! Akan tetapi suara tangisan kedok iblis itu demikian mengharukan hati sehingga dalam takutnya Sian Eng ikut terharu dan tak dapat menahan lagi membanjirnya air matanya. Ia ikut pula menangis!
Kedok iblis itu segera membentur-benturkan jidat tengkoraknya ke atas lantai sambil berkata, “Wahai, Paduka Puteri junjungan hamba..., betapa bahagianya hati hamba, betapa bahagianya rakyat kita setelah bertahun-tahun dikuasai raja yang tak berhak. Kini Paduka telah muncul, bagaikan sang matahari muncul untuk mengusir awan hitam yang gelap. Jangan Paduka khawatir, ada hamba Hek-giam-lo yang akan membantu Paduka merampas kembali mahkota dan singgasana yang memang menjadi hak Paduka....”
Tentu saja Sian Eng makin tidak mengerti dan menganggap orang yang miring otaknya ini sedang kambuh gilanya, maka bicaranya makin tidak karuan. Pada saat itu terdengar suara mirip tangisan yang melengking tinggi menembus sampai ke ruangan di bawah tanah itu. Lapat-lapat terdengar suara memanggil nama Hek-giam-lo disusul maki-makian.
Hek-giam-lo mengangguk-anggukkan kepala tengkoraknya di depan kaki Sian Eng, lalu berkata halus, “Mohon perkenan Paduka untuk menghalau pengacau yang berada di luar istana.”
Mau tak mau Sian Eng menggigil. Tempat kuburan mengerikan seperti ini dianggap istana dan ia hendak dijadikan ratunya. Celaka! Akan tetapi untuk membantah, ia tidak berani karena maklum bahwa orang gila yang menyeramkan ini memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya. Ia hanya mengangguk, dan agar orang gila itu tidak kecewa dan marah ia berkata lirih, “Pergilah...”
Tampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu Hek-giam-lo telah lenyap dari depannya. Sian Eng menggosok-gosok kedua mata dengan punggung tangan. Mimpikah ia? Ataukah semua itu tadi peristiwa yang benar terjadi? Kalau begitu, agaknya si kedok tadi bukan manusia, jangan-jangan memang benar tengkorak hidup. Kalau manusia, masa pandai menghilang seperti itu?
Di sebelah atas, depan bongpai (batu nisan) yag besar dan megah itu, berdiri seorang wanita yang rambutnya panjang riap-riapan sampai ke kaki. Seorang wanita cantik sekali, rambutnya hitam halus dan mengeluarkan keharuman yang mewakili taman bunga, baju luarnya putih bersih dari sutera halus. Seorang wanita cantik namun menyeramkan. Sukar mengira-ngira usianya. Melihat wajah halus, mata jeli dan bibir merah itu orang akan mengira ia masih amat muda, akan tetapi sikap, gerak-gerik dan pandang matanya membayangkan kematangan lahir batin di samping watak yang mendirikan bulu roma. Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Rambut Harum)! Telah kita kenal wataknya yang aneh dan kekejamannya yang melewati batas pada permulaan cerita ini. Ia sekarang berdiri di depan batu nisan besar sambil memaki-maki dengan suara nyaring, diseling lengking tinggi seperti orang menangis.
“Hek-giam-lo, tengkorak busuk bau bangkai! Keluarlah jangan sembunyi seperti cacing tanah! Kalau kau tidak lekas keluar, lihat saja kau! Batu nisan yang bagus-bagus ini kubikin remuk. Hendak kulihat apakah kau masih tidak akan muncul!”
Tentu saja ucapan ini membikin marah Hek-giam-lo yang tepat muncul dari sebuah lubang di depan batu nisan setelah membuka penutup lubang itu dari bawah. Orang biasa tentu akan kaget setengah mati dan lari terkencing-kencing ketakutan kalau melihat makhluk seperti Hek-giam-lo tiba-tiba muncul dari lubang di depan batu nisan itu. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni bukanlah orang biasa. Ia segera menyambut munculnya Hek-giam-lo dengan makian sambil menudingkan telunjuk kirinya yang runcing dan tangan kanan bertolak pinggang.
“Hek-giam-lo tengkorak busuk! Hayo lekas kau serahkan padaku surat yang kau curi dari gerombolan It-gan Kai-ong si jembel tua bangka!”
Hek-giam-lo tidak menjawab akan tetapi segera melompat ke luar dan menghadapi Siang-mou Sin-ni dengan marah. “Sin-ni, antara kita sudah terdapat saling pengertian, karena jalan hidup kita tidak bersimpangan. Kau tahu bahwa aku harus membela negaraku, surat itu amat penting bagi negaraku. Kerajaan Sung selalu memusuhi Khitan, dan sekarang, setelah aku menemukan kembali Puteri Mahkota calon ratu, surat itu terlebih penting. Dengan memperlihatkannya kepada Kerajaan Sung, tentu mempererat hubungan antara Khitan dan Sung. Mau apa kau pinta surat itu?”
“Tengkorak busuk! Kau kira hanya kau seorang yang mau mengambil peran sebagai patriot pembela bangsa dan negara? Cih, bangsa Khitan, perantau tak tentu tanah airnya, berlagak patriot segala! Surat itu adalah surat persekutuan antara Nan-cao dan Hou-han. Apa sangkut-pautnya dengan Khitan? Dan kau harus tahu bahwa aku adalah pembela Hou-han. Surat itu harus kudapatkan kembali dan kuserahkan kembali kepada yang berhak, yaitu Kerajaan Hou-han atau Nan-cao yang wajib menerimanya. Biar pun untuk itu aku harus mengadu ilmu dengan patriot-patriot Khitan, aku tidak akan undur setapak pun!”
“Hemmm, kau perempuan mau main politik segala? Siang-mou Sin-ni, namamu cukup terkenal sebagai seorang di antara Thian-te Liok-koai. Lebih baik kau pertahankan nama itu dan jangan mencampuri urusan negara. Urusan ini adalah bagian laki-laki.”
“Cerewet! Kau ini selamanya pakai kedok tengkorak, siapa tahu kau perempuan atau laki-laki? Hayo kembalikan!” Siang-mou Sin-ni menggertak dan rambut-rambut hitam panjang di kepalanya itu sudah bergoyang-goyang.
Rambutnya merupakan senjatanya yang paling ampuh dan memang rambutnya itulah yang amat ditakuti di dunia kang-ouw. Bagi wanita biasa, agaknya rambut yang hitam, panjang, halus dan harum itu akan menjadi kebanggaan dan akan disukai banyak orang, terutama kaum pria. Akan tetapi rambut Siang-mou Sin-ni yang harum ini merupakan cengkeraman-cengkeraman maut yang entah sudah menewaskan nyawa berapa banyak orang!
“Sin-ni, kau tahu aturan antara kita. Surat ini kudapatkan dengan jalan menggunakan kepandaian, tentu saja tidak mungkin kuberikan kepadamu begini saja.” Sambil berkata demikian, Hek-giam-lo sudah mengeluarkan sabitnya, juga tangan kirinya mengeluarkan sehelai surat yang ia rampas dari tangan Suma Boan tanpa diketahui orangnya.
Melihat surat itu di tangan Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni mengeluarkan lengking tangis yang menggetarkan kalbu. Rambutnya seakan-akan hidup menyambar untuk merampas surat, sedangkan sebagian rambutnya yang lain lagi menyambar ke arah jalan darah di dada, leher, pangkal lengan dan pergelangan yang maksudnya selain merobohkan lawan juga merampas sabit!
“Uhhh!” Hek-giam-lo membentak. Surat itu sudah lenyap di saku bajunya lagi dan sabitnya hilang, berubah menjadi sinar putih yang menyilaukan mata, tubuhnya menjadi bayangan hitam yang bergulung-gulung dengan sinar sabitnya.
Pada detik-detik berikutnya, Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni sudah saling terjang dengan ganas sehingga terjadilah perkelahian yang luar biasa. Kalau kebetulan ada orang melihat pertempuran ini, tentu mengira bahwa iblis-iblis kuburanlah yang sedang bertanding ini. Kadang-kadang mereka bertanding di atas lantai depan batu bisa, kadang-kadang dengan gerakan ringan dan cepat keduanya berlompatan dan berkejaran di atas bongpai (batu nisan), melayang di antara pohon-pohon untuk kembali ke lantai lagi, melanjutkan pertandingan yang amat hebatnya.
Namun keduanya sama kuat. Pertahanan masing-masing terlampau kokoh dan rapat sehingga sukar bagi mereka untuk mencari lubang dan memasukkan serangan mematikan.
“Hi-hik, tengkorak busuk. Mana pelajaranmu dari Bu Kek Siansu? Untuk apa kau rampas setengah kitabnya? Hayo keluarkan, kulihat jurus-jurusmu adalah yang dulu-dulu juga, sudah lapuk dan kuno!” ejek Siang-mou Sin-ni.
Hek-giam-lo mendengus dan memutar sabitnya. “Kau merampas alat tetabuhan khim untuk apa pula? Tidak perlu cerewet, rampaslah suratmu kalau kau memang becus!”
“Keparat, hari ini Hek-giam-lo mampus di tanganku!” Siang-mou Sin-ni memperhebat gerakannya dan kini mereka bertanding lebih seru lagi, berusaha mencari kemenangan dengan mengeluarkan jurus-jurus mematikan.
Sementara itu, keberanian Sian Eng segera timbul ketika melihat dirinya ditinggalkan sendirian oleh Hek-giam-lo. Kesempatan baik sekali untuk melarikan diri. Cepat ia melompat turun dari atas bangku panjang, menyambar pedangnya yang agaknya tadi dibawa pula oleh Hek-giam-lo, dan berjalanlah ia melalui lorong di bawah tanah yang gelap.
Beberapa kali ia salah jalan. Kiranya lorong itu mempunyai banyak jalan simpangan yang menyesatkan. Setelah meraba sana, merayap ke sini, akhirnya Sian Eng berhasil melihat sinar matahari melalui sebuah lubang. Pengharapannya menebal dan cepat ia merayap ke arah sinar itu yang ternyata masuk dari sebuah lubang yang cukup besar. Ia mengerahkan ginkang dan melompat ke luar dari lubang.
Sejenak kedua matanya silau dan terpaksa ia berdiri sambil memejamkan mata. Baru saja keluar dari tempat gelap ke tempat terang memang amat menyilaukan mata, hampir ia tak dapat percaya apa yang dilihatnya. Ternyata ia telah berada di depan batu-batu nisan besar dan di situ berkelebatan dua orang yang sedang bertanding dengan hebat dan aneh. Yang seorang adalah Hek-giam-lo yang mempergunakan sebuah sabit yang mengerikan. Orang kedua adalah seorang wanita cantik sekali, akan tetapi cara bertempur wanita itu aneh karena wanita itu selalu menggunakan rambutnya yang panjang dan gemuk hitam sebagai senjata!
Sian Eng tidak tahu apa yang harus dilakukannya menghadapi pertandingan itu. Hek-giam-lo dianggapnya seorang miring otak yang menganggap dia sebagai seorang Puteri calon ratu, akan tetapi ia masih tidak tahu apakah iblis hitam itu mengandung niat baik ataukah buruk terhadap dirinya. Ada pun wanita cantik yang bertempur melawan Hek-giam-lo itu pun ia tidak kenal, tidak tahu pula mengapa bertempur melawan Hek-giam-lo. Oleh karena ini Sian Eng tidak mempedulikan pertempuran itu dan mendapatkan kesempatan baik ini ia segera melarikan diri.
Akan tetapi Sian Eng benar-benar keliru kalau dia mengira bahwa dua orang itu tidak melihatnya dan tidak tahu bahwa ia melarikan diri. Dua orang itu adalah orang-orang sakti yang tentu saja melihat dia keluar dari lubang tadi. Belum jauh Sian Eng melarikan diri, Hek-giam-lo mendengus.
“Sin-ni, lain waktu kita lanjutkan. Aku harus mengejar dia.”
“Hik-hik, tinggalkan dulu surat itu, baru aku memberi ampun padamu!”
Sabit di tangan Hek-giam-lo menyambar sepenuh tenaga, namun dengan mudah Siang-mou Sin-ni mengelak dan membalas dengan sambaran rambutnya.
“Keparat kau! Aku perlu sekali dengan gadis itu!” kembali Hek-giam-lo berkata, minta pertandingan dihentikan.
“Aku pun perlu sekali dengan surat itu. Sebelum kau serahkan kepadaku, jangan harap kau bisa mendapatkan gadis itu. Hi-hik.”
Kewalahan Hek-giam-lo menghadapi lawannya yang selain pandai bertempur, juga amat pandai berdebat ini. “Nah, kau makanlah suratmu!” Hek-giam-lo sudah mengeluarkan surat itu dan melemparkannya ke arah Siang-mou Sin-ni, kemudian melompat jauh untuk mengejar Sian Eng.
Ada pun Siang-mou Sin-ni melihat menyambarnya benda putih, segera ditangkapnya dan ia terkekeh girang melihat bahwa benda itu memang benar merupakan surat persekutuan antara Pemerintah Nan-cao dan Pemerintah Hou-han. Sambil tersenyum manis ia memasukkan surat itu ke dalam saku jubahnya, kemudian bersenandung lirih dan membalikkan tubuh hendak pergi dari tempat itu. Akan tetapi ketika ia membalikkan tubuh, matanya memandang ke arah sebuah di antara jajaran patung yang kebetulan berada di depannya. Sebuah patung sebesar patung seorang sastrawan kuno. Wajah patung itu amat halus buatannya, seperti manusia hidup saja.
“Ih, tampan juga kau!” Siang-mou Sin-ni tersenyum. “Sayang kau hanya batu, tidak punya darah dan daging. Ih, matamu terlalu tajam, lebih baik lehermu kupatahkan sebelum aku pergi.” Siang-mou Sin-ni menggerakkan kepalanya, segumpal rambut panjang menyambar ke arah leher patung.
“Plakkk!” rambut itu terpental kembali dan leher patung tidak apa-apa. Jangankan patah, gempil pun tidak.
Sepasang mata jeli bening itu terbelalak. Biasanya, hantaman rambutnya akan mampu memecahkan batu hitam, masa sekarang mematahkan leher patung saja tidak kuat? Sekali lagi ia menggerakkan kepala, kini setengah rambutnya semua menyambar, merupakan gumpalan yang cukup besar.
“Plakkk!” kali ini tubuh Siang-mou Sin-ni tergetar karena kekuatan yang ia pergunakan tadi lebih besar sehingga ketika terpental, terasa lebih hebat pula olehnya.
Wanita ini berubah wajahnya. Matanya melirik ke arah patung itu, lalu kepada patung-patung lain yang berjajar di situ. Kalau semua patung itu sekuat ini, agaknya memiliki kesaktian, hiiiiih! Siang-mou Sin-ni merasa bulu tengkuknya bangun dan ia cepat-cepat meninggalkan tempat itu! Seorang wanita yang terkenal ganas seperti iblis sekarang lari ketakutan, mengira bahwa patung-patung itu sudah menjadi iblis. Mungkin menghadapi sesama manusia, iblis wanita rambut panjang itu tidak akan gentar seujung rambut pun, akan tetapi menghadapi patung batu yang dapat tahan menghadapi dua kali hantaman rambutnya, benar-benar melewati batas ketabahannya.
Kalau saja Siang-mou Sin-ni tahu betapa sepeninggalnya patung yang dihantamnya tadi dapat bergerak-gerak, tentu ia tidak akan lari, malah patung itu akan diserang mati-matian! Setelah iblis wanita rambut panjang itu pergi, ‘patung’ itu menarik napas panjang, melemparkan selubung kain putih dan tampaklah seorang pemuda tinggi besar berpakaian seperti sastrawan, pakaian berwarna hitam. Suling Emas! Seperti juga Siang-mou Sin-ni, Suling Emas yang menyamar sebagai patung itu berkelebat lenyap ke arah perginya Hek-giam-lo.
Sian Eng sudah girang hatinya dapat terbebas. Ia lari sekuat tenaga dan memasuki hutan besar. Napasnya terengah-engah dan setelah masuk di bagian hutan yang gelap, merasa dirinya aman, gadis ini memperlambat langkahnya untuk mengaso dan mengatur napas. Akan tetapi dapat dibayangkannya betapa kagetnya, sampai mukanya menjadi pucat tak berdarah lagi, ketika ia menoleh di depannya berdiri... Hek-giam-lo!
“Paduka hendak ke mana, Sang Puteri? Harap hati-hati, tanpa hamba yang melindungi, sebaiknya Paduka jangan pergi ke mana-mana. Banyak berkeliaran musuh-musuh kita,” terdengar Hek-giam-lo berkata dengan suaranya yang menyeramkan.
“Tidak... tidak... biarkan aku pergi sendiri. Jangan ganggu aku!” teriak Sian Eng yang ketakutan, dan ia hendak lari.
Akan tetapi iblis itu sekali berkelebat telah berada di depannya. Sian Eng menjadi nekat dan menggunakan pedangnya membacok. Akan tetapi entah bagaimana pedangnya seperti bertemu benda keras dan terpental jauh kemudian tubuhnya terangkat dan ia sudah dibawa lari seperti terbang cepatnya tanpa dapat meronta sedikit pun. Sian Eng menggigil ketakutan dan pingsan dalam pondongan Hek-giam-lo.
********************
Lin Lin membanting-banting kedua kakinya seperti anak kecil yang permintaannya tidak dituruti. “Kek, kau membohongi aku! Kau bilang dia berada di kota raja, mana dia sekarang? Hayo katakan, mana dia? Sudah sepekan kita berada di sini, setiap malam berkeliaran semalam suntuk, kalau siang tidur di kuil tua, persis seperti kelelawar, malam berkeliaran siang tidur. Dan Suling Emas belum juga tampak batang hidungnya!”
Kim-lun Seng-jin, kakek gundul pelontos itu duduk di atas lantai kuil tua yang kotor, bersandar dinding yang sudah retak-retak dan tertawa lebar memperlihatkan giginya yang putih dan mengkilap tertimpa sinar api unggun yang dibuatnya sehingga keadaan dalam kuil yang gelap itu menjadi terang.
“Heh-heh-heh, Lin Lin, sudah kukatakan kepadamu bahwa orang macam Suling Emas itu sukar dipegang buntutnya.”
“Apa dia bukan manusia, Kek?”
“Heh? Manusia tapi seperti iblis. Ya, dia manusia seperti kita.”
Melihat dara remaja itu mengajukan pertanyaan dengan muka sungguh-sungguh, meledak ketawa Kim-lun Seng-jin. “Uuhh, kau benar-benar masih hijau. Masa tidak mengerti apa yang kumaksudkan? Sukar dipegang buntutnya berarti sukar diikuti ke mana perginya.”
“Wah, kalau begitu, sia-sia saja kita berkeliaran di kota raja ini, Kek.” Lin Lin kembali timbul marahnya dan membanting kaki.
“Tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Semuanya berguna dan ada manfaatnya asal saja kita tahu bagaimana mempergunakannya dan memetik manfaatnya. Kita sudah berada di kota raja, bukalah matamu baik-baik. Bukankah kau menemui keadaan yang baru bagimu? Tidakkah kau ingin melihat istana raja dari dalam? Aku selalu singgah di istana kalau datang ke sini dan tak pernah lupa menjenguk dapurnya. Heh-heh, sudah lama tidak kunikmati masakan istana.”
Seketika kemurungan hati Lin Lin lenyap. Wajahnya yang jelita berseri, matanya berkilat dan seketika itu juga perutnya mendadak menjadi lapar sekali. “Wah, mari kita ke sana, Kek. Ada masakan apa saja di sana? Aduh perutku lapar sekali!”
Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal, agaknya senang sekali melihat watak yang mudah berubah dan aneh dari gadis remaja itu. “Heh-heh-heh, serupa benar kau, serupa benar....”
“Serupa siapa, Kek?”
“Serupa dengan orang yang sudah tidak ada. Lin Lin. Kau boleh ikut aku ke istana dan menikmati masakan dapur yang selama hidupmu belum pernah kau makan atau lihat. Akan tetapi amat berbahaya, banyak penjaganya yang pandai.”
“Aku tidak takut!”
“Bukan soal berani atau takut, melainkan kepandaianmu yang kuragukan.”
“Eh, eh, kau mencela aku sama dengan mencela dirimu sendiri, Kek. Bukankah kau sudah memberi pelajaran serba kosong itu?” cela Lin Lin.
Kakek itu tersenyum masam. Cara gadis itu menyebut ilmu yang ia ajarkan benar-benar amat memandang rendah. Disebutnya ‘serba kosong’, memang nama ilmu yang ia turunkan adalah Khong-in (Mega Kosong).
“Biar pun kau sudah menerima pelajaran dariku, akan tetapi aku belum yakin apakah kau sudah berlatih sampai matang betul.”
Marah Lin Lin. Kepalanya dikedikkan, dadanya dibusungkan. “Pagi siang sore malam kau suruh aku berlatih, tak pernah membiarkan aku mengaso, sampai lupa makan lupa tidur lupa tempat, masih kau bilang aku belum berlatih matang, Kek? Kau benar-benar seorang yang kurang terima sekali. Wah, celaka, dapat seorang teman satu kali saja begini tak ingat budi dan jerih payah orang!”
“Huah-ha-ha-ha!” Kakek itu terpingkal-pingkal. Benar-benar gila. Dia yang mengajar ilmu kesaktian, eh, bocah ini malah memarahinya dan seakan-akan bocah ini yang memberi sesuatu kepadanya karena sudah rajin berlatih. Benar-benar pintar memutar-balikkan kenyataan. “Ya sudahlah, aku setuju kau berlatih keras selama ini. Akan tetapi, untuk dapat menyelinap masuk ke dapur istana, harus benar-benar mahir Khong-in-ban-kin. Coba kau perlihatkan padaku sekali lagi ilmu Khong-in-liu-san yang kau pelajari sambil mengerahkan tenaga dan ginkang. Kalau kurasa sudah cukup, sekarang juga kita pergi ke istana, makan besar, pesta-pora tanpa bayar!”
Lin Lin girang sekali, lalu mencabut pedangnya dan besilat penuh semangat. Akan tetapi pada jurus ke tujuh, ia terlalu keras menggunakan tenaga sinkang dan....
“Krakkk!” pedang yang diayunnya patah menjadi tiga potong!
Gadis itu terkejut dan berdiri tertegun, kecewa dan menyesal melihat tangan kanannya hanya memegang gagang pedang sedangkan pedangnya sudah runtuh ke bawah. Akan tetapi Kim-lun Seng-jin bersorak dan bertepuk tangan sambil menari-nari kegirangan. Lin Lin mengerutkan kening, mulutnya cemberut, matanya merah, mengira bahwa kakek itu mengejeknya.
“Bagus, bagus...! Kau lihat sendiri, cucuku. Dengan tenaga Khong-in-ban-kin, pedangmu yang buruk itu patah menjadi tiga potong. Ha-ha-ha, sudah hebat tenagamu, hanya belum mampu kau mengendalikan sehingga membikin rusak senjata sendiri. Cukup dan marilah ikut ke istana, tidak hanya pesta besar kita, juga kau akan bisa memilih sendiri sebatang pedang pusaka dalam kamar pusaka.”
Seketika lenyap kemarahan Lin Lin seperti awan tipis disapu angin. Ia meloncat dekat kakek itu, kemudian merangkul pundaknya. “Betulkah, Kek? Hayo, lekas kita berangkat kalau begitu!”
Sambil tertawa riang keduanya lalu berkelebat lenyap dalam kegelapan malam. Kim-lun Seng-jin tidak membual ketika ia menyatakan bahwa setiap kali datang ke kota raja ia pasti mampir ke istana dan memasuki dapur istana. Memang kesukaan kakek ini hanya makan, makan enak, apa lagi masakan-masakan lezat mahal di dapur istana yang dapat dipilihnya tanpa bayar!
Kakek itu membuktikan omongannya dengan pengetahuannya yang luas tentang seluk-beluk istana. Hafal betul ia akan jalan menuju ke istana, malah ia dapat memilih dinding pagar mana yang tidak begitu keras penjagaannya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa ia memang sudah menjadi ‘langganan’ tempat terlarang itu. Dari sebelah selatan, tembok yang mengurung kompleks istana memang amat sunyi. Pintu gerbang sudah tertutup dan beberapa orang penjaga bercakap-cakap di dalam gubuk penjagaan. Ada pula yang meronda di pagar tembok, membawa tombak dan pedang.....
Lanjut ke jilid 6

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)