CINTA BERNODA DARAH : JILID-06


Jengkel juga Kim-lun Seng-jin melihat para penjaga itu terus-menerus meronda pagar tembok yang dipilihnya untuk melompat masuk. Pagar tembok itu amat tinggi, tidak kurang dari tujuh meter tingginya. Akan tetapi yang ia pilih itu adalah tempat di mana tumbuh sebatang pohon tidak jauh dari tembok, hanya dua meter jaraknya dari cabang terdekat dengan tembok. Kalau saja ia tidak pergi bersama Lin Lin, tentu saja ia bisa memilih tembok yang mana saja.
Diambilnya sebuah batu dan disambitnya ke arah kiri. Terdengar suara orang mengaduh di sebelah kiri. Ternyata seorang penjaga yang sedang berdiri tegak di dekat pintu gerbang terkena sambitan batu itu, tepat pada tulang keringnya di kaki, membuat ia meloncat-loncat dan mengaduh-aduh sambil memegangi tulang kering yang dicium batu. Teman-temannya segera lari menghampiri, termasuk mereka yang meronda.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Kim-lun Seng-jin. Ia memberi isyarat kepada Lin Lin untuk melompat dan mengikutinya. Mula-mula kakek itu melompat ke atas cabang pohon terdekat dengan tembok, baru kemudian ia melompat ke atas tembok. Lin Lin agak ngeri juga melihat ke arah tempat yang tinggi itu.
Akan tetapi ia mengeraskan hati dan melompat bagaikan seekor walet. Ia heran mendapat kenyataan bahwa lompatannya amat ringan dan mudah. Mengertilah ia sekarang bahwa ini adalah hasil latihan Ilmu Khong-in-ban-kin, maka diam-diam ia amat berterima kasih kepada kakek itu.
Dengan mudah mereka melompat ke sebelah dalam dari atas tembok dan tibalah mereka di daerah istana. “Siapa tahu di sini kita akan bertemu dengan Suling Emas, Kek,” kata Lin Lin, mengagumi bangunan-bangunan besar yang dihias lampu-lampu beraneka warna.
“Boleh jadi, boleh jadi...,” kakek itu mengangguk-angguk. “Orang macam dia itu bisa berada di mana pun juga.”
“Apa dia itu hebat sekali, Kek? Apakah kau pernah bertempur dengan dia?”
Kakek itu menggeleng kepala. “Belum pernah, bertemu pun belum. Akan tetapi dalam beberapa tahun ini, ia telah membuat nama besar, jauh melebihi aku yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia kang-ouw. Aku... aku tidak suka membuat nama besar, bikin repot saja. Nah, itu di sana dapurnya, mari!”
Kim-lun Seng-jin memegang tangan Lin Lin dan keduanya melompat naik ke atas genteng. Tanpa mengeluarkan suara, seperti dua ekor kucing saja kakek dan dara remaja itu berloncatan di atas genteng. Kakek itu mengajak berhenti di atas genteng yang agak rendah, membuka genteng, mematahkan kayu penyangga genteng, lalu menyusup ke dalam, diikuti oleh Lin Lin. Mereka telah berada di atas langit-langit dapur. Dengan gerakan perlahan, Kim-lun Seng-jin membuka langit-langit di pojok yang agaknya memang sudah lama terbuka.
“Ini pintu rahasiaku, kubuat belasan tahun yang lalu,” bisiknya sambil tersenyum lebar.
Lin Lin menjadi geli juga hatinya. Kakek ini benar-benar seperti seekor kucing hendak mencari daging, pikirnya. Dari lubang itu mereka mengintip ke bawah dan bau yang sedap masuk melalui lubang itu menyambut hidung mereka.
“Ehhhmmmm, waaahhhhh, sedapnya...!” Kim-lun Seng-jin menyedot-nyedot dengan hidungnya. Juga Lin Lin merasa amat lapar sekarang. “Di bawah tidak ada orang, sisa-sisa hidangan Kaisar sudah dipanaskan lagi, mari!” Ia membuka lubang itu dan melayang ke bawah, diikuti oleh Lin Lin.
Dapur itu tidak menyerupai dapur bagi Lin Lin. Terlalu bersih, terlalu mewah. Lebih bersih dari pada kamar tidurnya di rumah orang tuanya sana. Yang begini disebut dapur? Lantainya mengkilap, dindingnya dari batu marmer putih, lemari-lemarinya yang indah berdiri berjajar di sudut, penuh dengan panci-panci dan mangkok-mangkok besar. Tempat perapian untuk masak berada di sebelah kiri. Betul kata kakek itu, panci dan mangkok-mangkok itu masih nampak mengebulkan uap, tanda bahwa isinya masih panas.
Kakek itu sudah tidak mau memperhatikan atau mempedulikan Lin Lin lagi karena ia sudah sibuk membuka dan memeriksa isi panci dan mangkok. Di tangannya sudah terdapat sepasang sumpit gading yang ia ambil dari sebuah lemari. Sekarang tangan yang memegang sumpit ini kewalahan melayani mulutnya yang melahap dan cepat menghabiskan segala yang dimasukkannya. Nyumpit sana, nyumpit sini, lari ke lemari sana, kemudian ke lemari sini, kakek itu benar-benar berpesta-pora! Tangan kirinya menyambar guci arak yang berada di atas lemari terciumlah bau arak wangi ketika ia mendorong makanan di mulutnya itu dengan arak. Mulutnya mengeluarkan bunyi seperti babi makan ketika mengunyah makanan, bibirnya mengecap-ngecap penuh nikmat.
Lin Lin juga ikut berpesta-pora sungguh pun tidak selahap kakek itu. Namun ia pun gembira bukan main karena banyak sekali macamnya masakan yang luar biasa di situ. Karena ia tidak mengenal masakan-masakan itu, ia menyumpit masakan yang disebut oleh kakek itu sebagai masakan istimewa.
“Ini sop sarang burung, ini tim lidah harimau, ini sop hiu masak kecap, dan ini... wah, ini panggang ikan lele!” Tiada hentinya ia menyebut nama-nama masakan dan Lin Lin harus akui bahwa yang disebut oleh kakek itu memang benar nikmat dan lezat.
Saking gembiranya, Lin Lin juga ikut-ikutan minum arak merah yang tidak begitu keras, namun hangat di perut. Tanpa mereka sadari perut mereka menjadi penuh dan sang perut yang tak sanggup mengikuti selera lidah. Lin Lin yang minta ampun lebih dulu duduk terhenyak di atas kursi, terengah kekenyangan. Dasar dara remaja yang masih kekanakan, tanpa malu-malu ia membelakangi kakek itu untuk mengendurkan tali pinggang dalam dan luar!
“Heh-heh-heh, puas sekali ini. Wah, Kaisar amat royal hari ini, ada apa gerangan? Dasar rejekimu besar, Lin Lin!”
Kakek itu pun tak mampu lagi mengisi perutnya. Agaknya makanan sudah memenuhi perutnya sampai ke leher sehingga tiada ruangan kosong lagi untuk menampung masakan. Ia menjatuhkan diri di lantai, bersandar dinding dan minum arak keras sedikit demi sedikit sambil mengecap-ngecapkan bibirnya.
Terdengar suara orang bicara dan langkah kaki mendatangi. Cepat bagaikan maling konangan (ketahuan orang) Lin Lin sudah melompat dan menerobos ke dalam lubang di atas langit-langit. Kakek itu mengikutinya sambil terkekeh dan seraya mengintai dari atas ia berbisik, “Ihhh, kenapa kau begini penakut?”
Lin Lin tidak menjawab, mukanya merah. Bukan takut, tapi siapa tidak menjadi malu kalau mencuri makanan ketahuan pemiliknya? Hatinya berdebar-debar gelisah. Selama hidupnya, baru kali ini ia melakukan pencurian. Menjadi maling makanan, alangkah rendahnya dan memalukan! Dengan muka masih merah ia ikut mengintai, hendak melihat siapakah mereka yang memasuki dapur itu. Apakah kaisar sendiri? Ataukah permaisuri? Makin berdebar jantungnya.
Tiga orang memasuki dapur istana itu. Melihat pakaian mereka, kiranya hanyalah tukang-tukang dapur saja. Begitu memasuki dapur ketiganya berhenti bicara dan memandang ke arah lemari dengan mata terbelalak. Seorang di antara mereka lari mendekati lemari dan terdengarlah ia berseru kaget.
“Celaka, masakan-masakannya ada yang curi! Ada yang makan, lihat nih, ada yang tumpah di lantai!”
“Wah-wah, celaka, tentu ada yang mencuri masuk!”
Tiga orang itu mencari sana-sini, memandang ke seluruh penjuru, lalu berdongak ke atas. Lin Lin makin berdebar jantungnya, merasa seakan-akan tiga orang itu telah mengetahui tempat persembunyiannya.
“Agaknya kucing! Kalau orang, mana berani main gila di dapur istana?”
“Masa kucing bisa mengganyang habis begini banyak masakan?”
“Siapa tahu kucing siluman?”
Ribut-ribut tiga orang tukang masak itu. “Lekas laporkan kepada penjaga, eh... ke komandan jaga saja, biar dikerahkan semua pengawal menangkap kucing laknat. Kalau yang makan masakan-masakan ini tidak tertangkap, celakalah kita, tentu mendapat hukuman dari Sri Baginda!”
Seorang di antara mereka lari keluar, agaknya hendak melapor. Lin Lin makin gelisah, akan tetapi ia lihat Kim-lun Seng-jin malah tidur mendengkur perlahan di bawah genteng! Agaknya kakek ini kekenyangan dan tertidur, sama sekali tidak tahu akan keributan di dalam dapur.
“Tentu kucing, entah berapa ekor yang masuk dan mencuri masakan,” kata lagi tukang masak yang gendut perutnya. “Hemmm, kalau tertangkap, akan kusembelih dia, kutarik keluar jantungnya, kumasak dengan jahe dan tape ketan. Baik untuk menguatkan jantung dan menambah darah.”
Pucat muka Lin Lin mendengar ancaman ini. Saking gelisahnya, ketika menggeser lebih dekat ke arah lubang untuk mengintai lebih jelas, kepalanya terantuk genteng mengeluarkan bunyi. Dua tukang masak di bawah mendengar ini dan mereka berdongak memandang penuh curiga.
“Wah, kucingnya di atas sana!” seorang menuding.
“Mana bisa? Tidak ada lubang, dari mana dia masuk?”
“Siapa tahu kucing siluman?”
Si gendut menudingkan telunjuknya ke atas, tepat ke arah Lin Lin, lalu membentak, “He! Siapa di atas sana? Kucing atau manusia, atau setan?”
Tidak ada jawaban.
“Agaknya pencuri!” kata temannya.
“Lebih baik panggil para pengawal, biar ditangkap dan dihujani anak panah.”
“Nanti dulu, siapa tahu kalau hanya tikus atau kucing.” Kembali ia memandang ke arah Lin Lin sambil berseru, “Heee! Siapa sembunyi di atas langit-langit? Kalau setan atau manusia, jangan jawab. Kalau kucing, jawablah!”
Lin Lin mendengarkan penuh perhatian, dengan seluruh perasaan, menegang dan jantung berdebar. Mendengar pertanyaan ini otomatis mulutnya menjawab, “Kucing... eh, meeooonggg...!” Ia gugup sekali sehingga jawabannya kacau-balau.
“Lho! Kucing bisa bicara! Wah, celaka... setan...!” Dua orang tukang masak itu lari tunggang-langgang dan di ambang pintu mereka bertabrakan sampai jatuh bangun.
“Heh-heh-heh!” Kim-lun Seng-jin tertawa dan menarik tangan Lin Lin, diajak melompat naik ke atas genteng. “Kau lucu sekali, masa kucing bisa berkata seperti manusia!”
Merah muka Lin Lin, mulutnya cemberut. “Aku tidak sengaja. Habis, aku bingung, kau enak-enak ngorok sih, Kek!”
“Mari kita ke gudang pusaka!”
Gudang pusaka dijaga kuat. Memang gudang ini selalu dijaga siang malam karena di dalamnya terdapat simpanan senjata-senjata pusaka dan bendera-bendera milik istana. “Kau yang masuk, biar aku merobohkan lima orang penjaga itu, dan sementara kau di dalam, aku yang menjaga di luar. Lekas pilih pedang yang kau sukai, tapi hati-hati, banyak jebakan di sana. Aku percaya kau mampu menjaga diri.”
Lin Lin mengangguk dan bagaikan dua ekor burung walet, kakek dan dara remaja itu melayang turun. Lima orang penjaga serentak melongo ketika tiba-tiba di depan mereka berdiri seorang kakek gundul yang berjenggot panjang bersama seorang wanita muda secantik bidadari. Sedetik mereka mengira bahwa mereka dikunjungi sebangsa iblis dan peri, akan tetapi pada detik lain mereka sudah bergerak hendak menangkap. Namun mereka kalah cepat. Kedua tangan kakek itu bergerak dan lima orang itu roboh tertotok tak berkutik lagi. Dengan dorongan tangannya, Kim-lun Seng-jin berhasil membuka daun pintu yang terkunci.
Lin Lin cepat melompat masuk, akan tetapi baru saja kakinya menginjak lantai di sebelah dalam gedung itu, dari kanan kiri menyambar dua batang anak panah. Baiknya dara ini sudah melatih Khong-in-ban-kin secara tekun sehingga ginkang-nya sudah jauh lebih tinggi dari pada dahulu, sudah lipat entah berapa kali. Anak-anak panah itu cepat sambarannya, namun ia lebih cepat lagi. Dengan gerakan gesit ia telah melompat maju di antara sambaran anak panah, terus ke depan sehingga anak-anak panah dari kanan kiri itu meluncur lewat di belakang punggungnya!
Tanpa menghiraukan lagi anak-anak panah itu, kini Lin Lin berdiri kagum memandang senjata-senjata yang dipasang berderet-deret di sepanjang dinding. Bukan main indahnya senjata-senjata itu. Tombak-tombaknya, ruyung, golok, pedang, toya dan banyak sekali macamnya, rata-rata merupakan senjata pilihan, kuno dan terbuat dari pada besi aji yang mempunyai cahaya dan hawa yang ampuh.
Akan tetapi pandang mata Lin Lin lekat pada sebatang pedang tipis yang tergantung di dinding sebelah kiri. Pedang ini kecil dan tipis, sarungnya dari kulit harimau, gagangnya kecil dan dihias ronce-ronce merah. Seperti dalam mimpi, kedua kakinya bergerak menghampiri dinding sebelah kiri, kemudian ia mengulur tangan kanan, merenggut pedang yang tergantung pada dinding itu. Ringan sekali pedang ini, akan tetapi begitu ia tarik dari dinding, tiba-tiba dari atas melayang turun sebuah benda besar dan berat, meluncur cepat akan menghantam dirinya!
Karena benda itu cepat sekali datangnya, Lin Lin yang sudah memegang pedang di tangan kanan, tak sempat mengelak lagi. Terpaksa ia mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin, tangan kirinya menangkis dan... terdengar suara keras, batu besar yang meluncur turun itu pecah oleh tangkisan Lin Lin yang disertai tenaga Khong-in-ban-kin! Saking kagetnya karena pecahnya batu itu menerbitkan suara keras dan berisik, Lin Lin cepat melompat keluar lagi dari gudang itu dan di lain detik ia sudah tiba di luar kamar.
“Kek, aku pilih pedang ini...” katanya terengah-engah.
Kim-lun Seng-jin membelalakan kedua matanya. “Tepat! Kau tahu pedang ini? Inilah Pedang Besi Kuning, pedang rampasan dari bangsa Khitan ratusan tahun yang lalu! Wah-wah, kalau ini tidak ajaib namanya, tak tahu lagi aku harus disebut bagaimana.”
Pada saat itu terdengar suara gembreng dipukuli gencar tanda bahaya!
“Hayo kita pergi!” Kim-lun Seng-jin maklum akan adanya bahaya kalau para jagoan istana ke luar, maka ia tidak mau main-main lagi. Tangannya menyambar pergelangan tangan Lin Lin dan mereka melesat lari secepat terbang menuju ke pagar tembok, melompati pagar tembok dan melayang ke luar. Kiranya di luar sudah berkumpul para penjaga yang melakukan pengepungan. Namun beberapa kali kakek itu menggerakkan tangan, banyak penjaga roboh dan mereka dapat lari menghilang dalam gelap. Beberapa menit kemudian mereka sudah berada di dalam kuil kuno kembali.
Mereka duduk dekat api unggun. Kakek itu menghunus pedang dan tampak sinar kuning menyilaukan mata. Dan mendadak tampak sepasang mata kakek itu berlinang air mata, kemudian ia mencium mata pedang itu. Lin Lin memandang dengan heran.
“Kek, kau pernah mengatakan bahwa aku seperti seorang gadis Khitan. Kau sendiri bilang bahwa aku mempunyai gigi dan hidung bangsa Khitan. Kemudian pedang ini kau katakan dahulu berasal dari bangsa Khitan. Kakek yang baik, apakah artinya ini semua? Bangsa apakah Khitan itu? Apakah kau mengenal pedang ini?”
Kakek itu mengusap dua butir air matanya, lalu memasukkan pedang tipis tadi ke dalam sarung, menyerahkannya kepada Lin Lin. “Kau simpan baik-baik pedang ini dan sembunyikan di balik jubahmu. Sekarang kau dengarkan ceritaku. Bangsa Khitan adalah bangsa yang gagah perkasa, bangsa yang selalu merantau karena ingin menikmati kebebasan alam, tidak mau terikat oleh apa pun juga. Mereka adalah bangsa besar, hidup bahagia dan tidak mau diperbudak oleh harta dunia dan kemuliaan duniawi. Akan tetapi sayang, betapa pun juga masih saja nafsu setan menguasai hati dan timbullah perebutan kekuasaan, yang kuat ingin menjadi pemimpin. Dahulu, puteri kepala suku bangsa Khitan adalah muridku. Tayami, ah, dia anak baik, gagah perkasa dan aku tidak kecewa mempunyai murid seperti dia. Dia itu puteri tunggal raja kami yang bijaksana, gagah dan adil, tidak mau tunduk kepada raja-raja lain, memimpin suku bangsanya dengan penuh kasih sayang, membawanya ke daerah-daerah yang subur. Akan tetapi, dia mempunyai banyak saudara, dan para saudaranya inilah yang menaruh iri hati, ingin merebut kekuasaan sehingga selalu terjadi perebutan kekuasaan. Aku sendiri tidak sudi terlibat, tidak suka aku akan pengumbaran nafsu hendak menjadi penguasa dan mencari kemuliaan kedudukan. Pernah kuanjurkan raja yang menjadi ayah muridku itu untuk mengalah saja, memberikan kedudukan pemimpin kepada adiknya yang amat ingin menjadi raja. Akan tetapi, dia tidak mau, malah mencurigaiku.” Sampai di sini kakek itu menarik napas panjang.
“Lalu bagaimana, Kek?”
“Aku masih terhitung paman luarnya, aku tersinggung lalu aku pergi meninggalkan suku bangsaku, merantau seorang diri tidak mau meributkan persoalan dunia ramai lagi. Betapa besar kedukaanku mendengar bahwa bangsaku masih saling gasak sehingga pertumpahan darah sering kali terjadi antara para penguasa. Akhirnya terjadi perang antara suku bangsa Khitan dengan Kerajaan Sung. Perang besar terjadi di Shan-si. Agaknya adik raja berkhianat, bersekutu dengan musuh dan raja kami gugur, juga puterinya, Tayami, muridku yang tersayang. Kasihan dia, suaminya, seorang prajurit pilihan Khitan yang gagah juga gugur. Kabarnya Tayami ikut pula bertempur dengan gagah perkasa, sambil memondong puterinya yang masih kecil. Aku menyesal sekali mengapa kutinggalkan dia, sehingga tahu-tahu aku mendengar dia gugur dan puterinya itu hilang.” Kakek itu memandang wajah Lin Lin dengan sepasang mata tajam penuh selidik.
Meremang bulu tengkuk Lin Lin. Belum pernah kakek itu memandangnya secara begini. “Ada apa, Kek?”
“Kau...! Kaulah puteri Tayami, tak salah lagi. Wajahmu, suaramu, watakmu, serupa benar dengan muridku. Kau cucu raja kami, kau keturunan langsung.”
Lin Lin meloncat berdiri. “Tak mungkin, Kek!”
“Siapa bilang tidak mungkin? Kau anak pungut Jenderal Kam, dan pada waktu terjadi perang, justeru Jenderal Kam Si Ek yang menjadi jago dan komandan di Shan-si, yang melakukan perlawanan hebat dan mengalahkan bangsa Khitan. Dia seorang laki-laki yang perkasa pula, siapa tahu dia melihat kau dalam gendongan Ibumu yang berjuang dengan gigih, merasa tertarik, kagum dan kemudian mengambilmu sebagai puterinya. Tak salah lagi, kaulah Yalina, puteri Tayami. Namamu juga Lin Lin, dan wajahmu serupa dia. Juga pedang itu... bukanlah terlalu kebetulan kalau di antara sekian banyaknya pusaka, kau justeru memilih pusaka Khitan? Lin Lin, tidak salah lagi, kau adalah puteri Tayami yang hilang, yang sampai sekarang dicari-cari oleh para pengikut setia dari Kakekmu, mendiang raja Kulukan.”
“Dicari-cari? Untuk apa, Kek?”
Kim-lun Seng-jin tertawa dan menggelengkan kepalanya. “Memang aneh mereka itu terlalu kukuh. Karena kekukuhan mereka, terjadilah hal-hal yang menyedihkan, perebutan kursi, saling mendukung pilihan mereka. Itulah sebabnya mengapa aku menjauhkan diri. Lin Lin, kau dicari oleh mereka yang tidak suka kepada raja sekarang, untuk mengangkatmu sebagai ratu dan melawan raja yang sekarang berkuasa, yaitu pamanmu, Kubakan, Raja Khitan yang sekarang.”
“Apa...?” Lin Lin terbelalak memandang Kim-lun Seng-jin, kemudian ia membantah, “Aku masih tidak percaya, Kek. Tak mungkin aku seorang puteri bangsa Khitan karena sepatah kata pun bahasa Khitan tidak kumengerti. Ah, kau hanya mengkhayal, Kek. Hal ini harus ada buktinya. Ahhhhh... satu-satunya orang yang akan dapat memberi keterangan tentu dia!”
“Dia siapa?”
“Putera sulung Ayah angkatku, Kam Bu Song. Kek, kau bantulah aku mencari Kakak Kam Bu Song, tidak saja hal ini untuk memenuhi pesan terakhir Ayah angkatku, juga kalau dapat bertemu dengan dia kiranya dia akan dapat bercerita, anak siapa sebenarnya aku ini.”
Lin Lin lalu menceritakan pesan terakhir dari Jenderal Kam. Kim-lun Seng-jin mengangguk-angguk. “Mungkin Kam Bu Song itu dapat bercerita. Akan tetapi Lin Lin, jangan kau kira bahwa andai kata kau benar Puteri Khitan seperti persangkaanku, aku menghendaki kau benar-benar menjadi ratu dan memerangi pamanmu sendiri. Aku lebih senang melihat kau bebas seperti sekarang ini, menikmati kebahagiaan hidup tanpa ikatan sesuatu yang hanya akan menimbulkan pertumpahan darah di antara saudara dan bangsa sendiri.”
“Kalau aku betul keturunan Raja Khitan, tentu saja akan kujungkalkan pengkhianat yang telah merampas tahta Kerajaan Khitan, Kek!”
Jawaban tiba-tiba ini mengejutkan Kim-lun Seng-jin sehingga ia duduk melongo memandang Lin Lin. Akan tetapi Lin Lin segera tertawa. “Jangan kau gelisah, Kek. Aku bukanlah puteri raja, aku orang biasa. Setelah mencari Suling Emas tidak bertemu, aku akan mencari Kakak Kam Bu Song sambil menanti datangnya kedua orang kakakku, Sin-ko dan Enci Eng.”
Mendadak kakek itu meloncat dan menyambar tangan Lin Lin. “Hayo kita lari ke luar kota raja. Berbahaya di sini!”
Lin Lin kaget dan hendak membantah. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan-bayangan yang amat gesit, lalu terdengar bentakan, “Maling keparat, kembalikan pedang pusaka!”
Mendengar ini, maklumlah Lin Lin bahwa mereka telah dikejar pengawal-pengawal istana yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi mengapa harus melarikan diri?
“Kek, kita lawan saja...!” serunya sambil berusaha melepaskan tangannya.
Akan tetapi Kim-lun Seng-jin malah menariknya untuk diajak lari cepat sekali menuju ke pinggir kota raja. Lin Lin tidak dapat melepaskan diri. Dengan gerakan yang luar biasa, Kim-lun Seng-jin sudah membawa Lin Lin melompati dinding tembok yang mengelilingi kota raja sehingga para pengejar tadi makin tertinggal jauh.
“Kek, kenapa kita mesti lari-lari seperti dua ekor tikus dikejar kucing? Memalukan sekali!” Lin Lin mencela ketika mereka sudah turun di luar tembok kota raja dan tangannya dilepaskan oleh Kim-lun Seng-jin.
Kakek itu tertawa. “Bukan takut, melainkan aku tidak mau menyeretmu ke dalam kesulitan. Kau masih muda, Lin Lin, dan kau keturunan Raja Khitan. Kalau mereka mengetahui akan hal ini, kau akan dikejar-kejar terus dan selanjutnya kau takkan dapat hidup dengan tenteram. Pergilah, lanjutkan usahamu mencari kakakmu. Kita berpisah di sini. Latih baik-baik Khong-in-ban-kin dan Khong-in-liu-san, dan kau takkan kecewa kelak. Tentang Suling Emas jangan khawatir. Kalau aku kebetulan bertemu dengannya, akan kutanyai dia apakah betul dia membunuh orang tua angkatmu. Kalau betul, percayalah, dia akan kuajak bertempur sampai sepuluh ribu jurus! Sekarang cepat kau pergi, mereka sudah datang!”
“Dan tinggalkan kau seorang diri menghadapi anjing-anjing dari istana itu, Kek? Tidak nanti!” Lin Lin berdiri tegak, malah segera mencabut pedangnya.
“Wah, keras kepala, seperti Tayami!” Kakek itu bersungut-sungut, lalu tiba-tiba tangannya bergerak dan tahu-tahu ia telah menotok pundak kiri Lin Lin.
Karena dara ini sama sekali tidak pernah menduga bahwa kakek itu akan menyerangnya tentu saja ia tidak dapat menghindarkan diri dan seketika ia merasa tubuhnya lemas sekali. Kakek itu tertawa bergelak, lalu tubuhnya melesat ke depan, menyambut datangnya para pengejar. Lin Lin tidak berdaya. Ingin ia lari membantu tapi tubuhnya lemas dan ia maklum, kalau bertempur dalam keadaan seperti ini, baru sejurus saja melawan orang biasa tentu ia akan roboh. Karena itu, ia hanya berdiri diam saja dan mendengar betapa kakek itu dikepung dan dikeroyok oleh para musuh yang berteriak-teriak.
Agaknya kakek itu sengaja mempermainkan mereka, karena ia berlari-lari membiarkan dirinya dikejar-kejar dan akhirnya Lin Lin tidak mendengar suara apa-apa lagi. Sunyi di sekelilingnya. Kakek itu sengaja memancing para musuhnya untuk mengejarnya, menjauhi Lin Lin. Dara itu maklum akan hal ini dan ia menarik napas panjang. Baru sekarang ia merasa betapa baiknya Kim-lun Seng-jin terhadapnya. Kalau dekat dengan kakek itu, mereka sering kali cekcok dan berbantahan akan tetapi setelah berpisah, tak dapat Lin Lin menahan dua air matanya menitik turun.
Tak sampai seperempat jam, totokan pada pundaknya itu buyar dengan sendirinya. Lin Lin lalu menggerakkan pedang curian, mainkan ilmu silat Khong-in-liu-san. Pedang itu mengeluarkan suara bercuitan dan sinar kuning bergulung-gulung di malam buta. Ia merasa puas sekali karena pedang yang tipis dan kecil ringan itu terasa amat enak dimainkan. Amat cocok dengan ilmu pedang yang ia warisi dari Kim-lun Seng-jin. Ia baru berhenti bermain silat setelah fajar berada di ambang pintu langit timur. Kegelapan malam sudah terusir, terganti cuaca remang-remang berkabut, berwarna kelabu, ia memandang pedangnya. Pedang yang amat indah, terbuat dari pada logam yang kekuning-kuningan, akan tetapi bukan emas.
“Hemmm, Pedang Besi Kuning, pusaka Khitan?” Lin Lin berpikir sambil memandangi pedangnya. “Dan aku Puteri Khitan? Seperti dongeng saja!”
Melihat bahwa yang aneh pada pedang itu hanyalah ronce-ronce merah yang panjang itu, Lin Lin segera melepas kedua ronce merah itu dan menyimpannya dalam saku jubahnya. Betapa pun juga, pedang ini adalah pedang curian, pikirnya. Kalau terlalu menyolok mata dan dilihat orang, tentu sepanjang jalan hanya akan menimbulkan keributan belaka.
Dengan hati bungah (senang) ia lalu berjalan menjauhi kota raja. Ia ingin menanti munculnya kedua orang kakaknya, yang tentu akan menuju ke kota raja pula. Untuk kembali ke kota raja sekarang terlalu berbahaya. Memang tidak ada seorang pun yang melihat dia memasuki istana, akan tetapi keadaan di kota raja tentu sedang kacau, penjagaan diperkuat dan orang-orang yang datang dari luar tentu dicurigai. Jangan-jangan pedangnya akan dikenal dan ia akan mengalami kesukaran kalau masuk kota raja. Lebih baik menanti munculnya kedua orang kakaknya itu di luar kota.
Di sebelah barat kota raja terdapat sebuah hutan yang kecil tapi amat indah. Pohon-pohon di situ tampak subur dan seakan-akan teratur. Memang hutan ini adalah hutan tempat para anggota istana menghibur diri kalau keluar kota. Lin Lin tidak tahu akan hal ini dan girang hatinya ketika memasuki hutan ini. Ia berjalan seenaknya memasuki hutan, mendengarkan kicau burung yang menyambut datangnya pagi.
Lin Lin memang memiliki watak periang. Kegembiraannya timbul melihat suasana indah dan mendengar kicau burung yang berloncatan di cabang-cabang dan ranting-ranting pohon. Kadang-kadang ia terkekeh ketawa melihat seekor kelinci muncul dari belukar, menggerak-gerakkan sepasang telinga yang panjang dan mainkan bola mata yang bening lebar. Ada kalanya ia berloncatan gembira meniru burung kecil yang berloncatan di daun-daun sambil berkicau.
Tiba-tiba Lin Lin terkejut mendengar suara orang tertawa. Karena ia amat gembira dan memperhatikan burung-burung di atas pohon, tidak diketahuinya bahwa sejak tadi ada dua orang laki-laki memperhatikannya. Dua orang laki-laki itu kini menghadang di depannya sambil tertawa. Ketika Lin Lin memandang, kiranya mereka adalah dua orang pendeta yang berkepala gundul. Dua orang hwesio yang masih muda, pakaian pendetanya bersih, gundul kepalanya kurang bersih, karena sudah mulai ditumbuhi rambut baru, sikap mereka riang dan wajah mereka berseri gembira, sama sekali tidak patut menjadi wajah pendeta yang biasanya serius dan alim. Lin Lin tersenyum melihat bahwa yang tertawa adalah dua orang pendeta. Pendeta-pendeta tidak perlu ditakuti, dan kegembiraannya timbul kembali.
“Selamat pagi, Ji-wi Suhu (Bapak Pendeta Berdua)!” serunya riang. “Pagi yang indah sekali, bukan?”
Dua orang hwesio itu saling pandang, dan tertawa lebar. Seorang di antara mereka, yang alis matanya tebal, maju selangkah. “Selamat pagi. Memang pagi yang indah sekali, agaknya karena ada Nona yang cantik manis maka suasana begini menyenangkan. Siapakah nama Nona? Kami berdua senang sekali dapat berkenalan dengan Nona cantik jelita. Bukankah begitu, Suheng (Kakak Seperguruan)?”
Hwesio kedua mengangguk-angguk dan mulutnya menyeringai, memperlihatkan gigi besar-besar berwarna kuning. “Memang betul, dan hari ini kita tidak perlu tergesa-gesa kembali ke kelenteng, lebih senang main-main dengan Nona ini di sini.”
Seketika keriangan Lin Lin lenyap, terganti oleh kemarahan yang membuat kedua pipinya menjadi merah. Sepasang matanya yang bening seakan-akan mengeluarkan sinar berapi. “Ihhh, kalian ini dua orang bajingan yang menyamar sebagai pendeta, ataukah pendeta-pendeta yang kemasukan iblis? Bagaimana dua orang gundul berpakaian pendeta begini kurang ajar? Minggir, biarkan aku lewat, aku tidak sudi bicara dengan kalian lagi!”
“Ho-ho-hooo, nanti dulu, Manis!” Si Alis Tebal cepat membentangkan kedua lengannya menghadang di tengah jalan. “Bukan kebetulan kita saling bertemu di sini, agaknya memang antara kita bertiga sudah ada jodoh! Kalau tergesa-gesa mau pergi juga, harus memberi ciuman dulu kepada kami, seorang tiga kali. Bukankah begitu, Suheng?”
“Ya-ya, betul itu! Di tempat sunyi begini, tak usah malu-malu, Nona!” kata Si Gigi Kuning.
“Jahanam bermulut busuk!” Lin Lin membentak. Tubuhnya berkelebat dan sekali kedua tangannya mendorong dengan jurus dari ilmu silatnya Khong-in-liu-san, dua orang hwesio itu terjengkang roboh ke kanan kiri. Kini Lin Lin yang mendapat giliran tertawa nyaring bernada penuh ejekan. “Hi-hik, kiranya kalian hanyalah dua ekor monyet gundul yang hanya pandai pentang mulut menghina wanita!”
Dua orang hwesio muda itu kaget sekali, sama sekali tidak pernah mengira bahwa dara remaja itu dapat melakukan penyerangan yang sedemikian dahsyat dan tiba-tiba. Mereka marah sekali dan lenyaplah keinginan hati mereka untuk mempermainkan Lin Lin. Kini dengan mata merah mereka meloncat bangun, penuh nafsu menyakiti gadis ini. Gerakan mereka cepat dan tahu-tahu mereka telah melolos sebatang cambuk dari ikat pinggang. Cambuk hitam yang panjang dan melihat gerakan cambuk di tangan, dapat diduga bahwa mereka adalah ahli-ahli bermain cambuk yang mahir sekali.
“Bocah setan, berani kau main gila terhadap pinceng (aku)?” seru si Alis Tebal.
“Sute, kita cambuki pakaiannya sampai ia telanjang bulat!” kata si Gigi Kuning dengan nada gemas.
“Tar-tar-tar-tar!” dari depan dan belakang dua batang cambuk itu mengeluarkan bunyi dan menyambar-nyambar di atas kepala Lin Lin. Namun seujung rambut pun gadis ini tidak menjadi gentar. Malah kemarahannya memuncak.
“Hemmm, monyet-monyet gundul tak tahu diri. Hajaran tadi masih belum cukup bagi kalian, ya? Manusia-manusia berwatak kotor macam kalian kalau tidak dibasmi, hanya akan mengotorkan dunia dan mengganggu wanita saja!” Setelah berkata demikian Lin Lin menggerakkan tangan kanan dan....
“Srattt!” tampak sinar kuning menyilaukan mata karena Pedang Besi Kuning sudah berada di tangannya.
“Bagus, kau berani melawan? Rasakan cambukan ini!”
Cambuk dari depan menyambar, disusul cambuk dari belakang dan di lain saat tubuh Lin Lin sudah terkurung dua batang cambuk yang menyambar-nyambar bagaikan dua ekor ular hidup. Kiranya dua orang hwesio muda itu tidak terlalu menyombong. Permainan cambuk mereka memang hebat, cepat dan kuat sekali.
Namun kali ini mereka bertemu dengan Lin Lin yang baru saja mewarisi Ilmu Khong-in-ban-kin, ilmu yang membuat ia dapat mengerahkan ginkang yang hebat sehingga tubuhnya berubah ringan dan cepat laksana gerakan seekor burung walet. Betapa pun cepatnya dua batang cambuk itu melecut dan menyambar, tubuh Lin Lin lebih cepat lagi bergerak, berkelebat di antara sambaran cambuk diselimuti gulungan sinar kuning dari pedangnya.
Memang hebat sekali Lin Lin setelah ia mewarisi ilmu dari Kim-lun Seng-jin. Apa lagi di tangannya sekarang ada sebatang pedang pusaka terbuat dari pada besi aji yang amat ampuh. Dengan sinar yang menyilaukan mata pedangnya berkelebat dan... dua orang hwesio muda itu berteriak kesakitan ketika cambuk-cambuk di tangan mereka itu putus semua berikut ujung lengan baju dan sebagian dari kulit dan daging lengan mereka, semua terbabat oleh sinar pedang yang menyilaukan dan berhawa dingin itu! Tentu saja mereka terkejut dan ketakutan, lalu melarikan diri sambil memegangi kepala seakan-akan merasa khawatir kalau-kalau kepala mereka pun akan terbabat putus!
“Bagus sekali. Benar-benar kiam-hoat (ilmu pedang) yang amat indah dan lihai!”
Lin Lin cepat menengok. Kiranya tak jauh dari tempat pertempuran itu tampak seorang laki-laki muda duduk di atas punggung kudanya. Pemuda ini berusia dua puluh tahun lebih, bermuka bundar dengan jidat lebar. Sepasang matanya lebar dan menyinarkan kejujuran, alisnya tebal, hidungnya agak pesek, mulutnya membayangkan keramahan.
Biar pun bukan wajah yang dapat disebut tampan, namun ia tidak buruk rupa, bahkan wajahya yang sederhana ini menyenangkan hati orang. Pakaiannya pun sederhana dan bersih, rambutnya digelung ke atas dan dibungkus sutera berkembang. Gagang sebuah pedang yang tampak menandakan bahwa ia pun seorang yang tidak asing akan senjata tajam. Juga bentuk tubuhnya yang kekar membayangkan tenaga besar.
Lin Lin masih marah. Sehabis bertemu dengan dua orang hwesio muda yang bermulut kotor dan lancang tadi, ia mempunyai prasangka buruk terhadap pemuda ini. Kalau laki-laki yang sudah menjadi hwesio-hwesio saja seperti tadi kurang ajarnya, apa lagi yang masih muda seperti ini! Dengan muka merah dan mulut cemberut ia membalikkan tubuh menghadapi pemuda itu, lalu menghardik. “Memang kiam-hoatku indah dan lihai, juga pedangku ini cukup tajam untuk memenggal leher setiap orang laki-laki ceriwis dan kurang ajar! Kau mau apa ikut campur?”
Ada semenit pemuda itu melongo. Matanya yang lebar itu makin melebar ketika ia memandang Lin Lin. Pada matanya terbayang kekaguman luar biasa dan sesungguhnya. Ia memang kagum sekali setelah dara ini sekarang menghadapinya. Wajah Lin Lin seakan-akan menyihirnya, membuat jantungnya jungkir balik dan kepalanya puyeng, matanya berkunang-kunang. Belum pernah selama hidupnya ia melihat seorang dara seperti ini, dan belum pernah ia mengalami guncangan seperti ini pula menghadapi seorang gadis.
Lin Lin makin tidak sabar. Agaknya laki-laki ini kurang ajar pula, duduk di atas punggung kuda dan memandangnya tanpa berkata apa-apa, memandangnya tanpa berkedip. Ia membanting kaki dan memaki, “Apa kau kira aku ini barang tontonan maka matamu melotot terus memandangku?”
Pemuda itu tersenyum. “Bukan barang tontonan, Nona, akan tetapi tidak ada tontonan yang lebih indah, lebih mempesona, lebih....”
“Kau lebih kurang ajar lagi!” bentak Lin Lin dan tubuhnya sudah melesat ke depan sambil mengirim serangan dengan pedangnya.
“Uiiihhhhh, ganas...!” pemuda itu cepat sekali membuang diri dari atas punggung kuda, berjumpalitan beberapa kali dan ketika kedua kakinya sudah berdiri di atas tanah, ternyata ia telah mencabut pedangnya yang berkilauan seperti perak. “Baiklah, Nona. Kalau kau ingin mencoba kepandaian, mari kulayani. Agaknya kau murid orang pandai dan patut menjadi lawanku bertanding pedang.” Ia melambaikan tangan kiri menantang.
Gerakan pemuda tadi amat mengagumkan hati Lin Lin. Gadis ini pun maklum bahwa lawannya kali ini bukanlah seorang sembarangan, bukan macam dua orang hwesio tadi. Akan tetapi ia tidak takut! Dan perasaannya ini ia keluarkan melalui bibirnya yang merah, “Biar ada sepuluh orang macam engkau, aku tidak gentar!”
“Ha-ha-ha, ada satu saja orang macam aku sudah terlalu repot bagimu, apa lagi ada sepuluh orang!” pemuda itu berkelakar, akan tetapi ia harus cepat-cepat menggerakkan pedangnya menangkis karena gadis itu sudah menerjangnya dengan gerakan seperti seekor burung walet.
“Trang-trang-tranggggg...!” tiga kali pedang mereka saling beradu, menimbulkan bunga api yang muncrat ke sana-sini.
Keduanya cepat menarik pedang masing-masing dan lega hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa pedang mereka tidak rusak oleh pertemuan keras lawan keras tadi. Masing-masing kagum dan juga kaget. Apa lagi Lin Lin. Tadi ia sudah mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin, dan ia maklum bahwa tenaga yang terdapat dalam ilmu ini luar biasa besarnya. Tadi ia gunakan sedikit saja untuk menghadapi dua orang hwesio, sekali babat saja cambuk-cambuk itu putus semua. Sekarang ia pergunakan tenaga ilmu ini dalam mengadu pedang, sedangkan di tangannya adalah pedang pusaka pula, mengapa pedang lawannya tidak menjadi rusak dan tidak terpental?
Ini hanya menjadi bukti bahwa pemuda pesek ini selain memiliki pedang yang ampuh juga memiliki kepandaian tinggi, dapat melawan terjangan tenaga Khong-in-ban-kin. Apakah kakek gundul pelontos Kim-lun Seng-jin yang membohonginya dan membual tentang kelihaian Khong-in-ban-kin? Kakek itu bilang bahwa jarang ada lawan yang akan dapat mengimbangi kecepatan dan kekuatan tenaga dalamnya kalau ia mengerahkan Khong-in-ban-kin. Akan tetapi sekarang, baru saja bertemu dengan seorang pemuda pesek, ilmunya itu seakan-akan tiada artinya lagi.
Di lain pihak, si Pemuda juga kaget dan tercengang di samping kekagumannya yang menjadi-jadi. Tadinya ia mengira bahwa dara lincah itu hanya memiliki gerakan yang amat cepat dan ilmu pedang yang tinggi saja, maka dengan mudah dapat mengalahkan dua orang hwe­sio kurang ajar tadi. Siapa kira dalam pertemuan pedang tadi ia mendapat kenyataan bahwa dalam hal tenaga gadis itu tidak usah mengaku kalah terhadapnya, juga pedang di tangannya itu adalah pedang ampuh yang dapat menahan pusakanya sendiri. Padahal pusakanya ini adalah pedang Goat-kong-kiam (Pedang Sinar Bulan) yang jarang bandingannya, pedang pusaka pemberian suhunya.
“Wah karena pedangmu ampuh kau jadi sombong, ya? Awas lehermu!” Lin Lin membentak dan segera gadis ini mainkan Khong-in-liu-san untuk menerjang lawannya. Hebat terjangannya ini, pedangnya berubah menjadi sinar kuning bergulung-gulung, makin lama makin tebal merupakan segunduk awan bergerak perlahan mengurung diri pemuda itu dari segala jurusan.
Pemuda itu mengeluarkan seruan tertahan. Benar-benar tak disangkanya gadis ini sedemikian lihainya. Ia pun lalu bersilat dengan pedangnya, ilmu silat yang aneh, gerakan-gerakannya lucu dengan tubuh megal-megol seperti seorang pelawak beraksi di atas panggung wayang. Hampir saja Lin Lin tak dapat menahan ketawanya menyaksikan gerakan aneh dan lucu ini. Akan tetapi ia pun terheran-heran karena ke mana pun juga pedangnya menyambar, selalu dapat dielakkan atau ditangkis oleh pemuda yang gerak-geriknya aneh ini. Ia sama sekali tidak tahu bahwa pemuda itu banyak mengalah, hanya mempertahankan diri dari pada serangan-serangannya yang dahsyat, tidak berusaha membalas sungguh-sungguh. Memang pemuda itu tidak ingin merobohkan Lin Lin, kekagumannya terhadap gadis itu membuat ia mengalah dan hanya ingin menguji kepandaian orang.
“Hebat..., hebat... kiam-hoat yang luar biasa!” berkali-kali pemuda itu memuji.
Akan tetapi, makin dipuji makin marahlah Lin Lin karena pujian itu ia anggap sebagai ejekan. Mana bisa ilmu pedangnya dipuji kalau sama sekali tidak mampu mendesak lawan? “Balaslah! Seranglah! Kau kira aku takut? Kalau kau bisa mengalahkan aku, baru kau laki-laki sejati!” Ia menantang. Ia berbesar hati karena ia memiliki ilmu Khong-in-ban-kin dan dengan ilmu ini ia dapat menggunakan ginkang yang sempurna sehingga ia tidak khawatir akan termakan pedang lawan.
Seperempat jam sudah mereka bertanding. Kuda tunggangan pemuda itu menjadi gelisah, berkali-kali meringkik ketakutan. Pemuda itu gemas juga. Gadis ini amat menarik hatinya, dan ia tidak tega untuk merobohkan atau mengalahkannya. Akan tetapi kalau tidak ‘diberi rasa’, tentu tidak tahu akan kelihaiannya, demikian ia pikir. Bangkit harga dirinya sebagai seorang laki-laki.
“Baiklah, Nona, lihat pedangku!” Ia memutar pedangnya cepat sekali dan mengerahkan tenaga untuk mendesak dan menindih gulungan sinar pedang lawan.
Memang hebat pemuda ini. Amat kuat tenaga desakan hawa dan sinar pedangnya, mengejutkan hati Lin Lin. Namun cepat gadis ini menggunakan Khong-in-ban-kin. Tubuhnya bergerak begitu cepat seakan-akan serupa sebuah bayangan, dengan lincahnya ia menyelinap di antara sinar pedang. Sungguh pun harus ia akui bahwa semua serangannya sekarang gagal dan buyar, tidak ada kesempatan lagi, namun ia tetap dapat mempertahankan diri dari pada desakan lawan. Makin keras pemuda itu menekan, makin lincah gerakan Lin Lin sehingga pemuda itu selain kaget juga heran dan bingung. Tahulah ia sekarang bahwa dara lincah ini adalah murid seorang sakti, karena hanya beberapa orang saja di dunia kang-ouw, boleh dihitung dengan jari jumlahnya, yang akan dapat menghindarkan diri dari tekanan pedangnya seperti ini.
Pada saat itu, terdengar bentakan keras, “Susiok (Paman Guru), inilah iblis betina liar itu!”
“Hemmm, hemmm, agaknya mengandalkan kecantikannya. Lihat pinceng menangkapnya!”
“Mari kita berlomba, Sute, aku pun timbul kegembiraan hendak menangkap gadis liar ini!” sambung suara kedua.
“Hee, Sicu (Orang Gagah), harap mundur. Biarkan pinceng berdua main-main dengan budak ini!”
Biar pun masih saling gempur, pemuda itu dan Lin Lin kini otomatis mengendurkan gerakan dan melirik. Kiranya yang datang adalah dua orang hwesio muda yang tadi, yang berdiri agak jauh. Akan tetapi kini mereka datang bersama dua orang hwesio setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan keduanya memegang sebatang tongkat hwesio yang panjang dan terbuat dari pada baja. Kedua orang hwesio ini sombong sekali lagaknya dan agaknya mereka memandang rendah kepada pemuda itu dan Lin Lin.
Tanpa memberi kesempatan lagi, dua orang hwesio setengah tua itu menerjang maju dari kanan kiri mengeroyok Lin Lin! Benar-benar tak tahu malu, pikir Lin Lin. Suaranya saja hendak berlomba untuk menangkapnya, kiranya mereka itu hanya ingin mengeroyok mengandalkan senjata yang panjang dan berat. Mana ada orang yang hendak ‘menangkap’ menggunakan tongkat yang begitu panjang dan berat?
Akan tetapi ketika ia mengayun pedang dengan putaran lebar, sekaligus menangkis dua batang tongkat itu, terdengar suara keras, bunga api berpijar dan Lin Lin merasa betapa telapak tangannya tergetar. Ia kaget dan diam-diam ia mengeluh. Kiranya di samping kesombongan mereka, dua orang hwesio ini memiliki tenaga lweekang yang hebat! Cepat ia menggerakkan tubuh dan dengan mengandalkan kelincahannya, kini ia menghadapi dua orang pengeroyoknya, lupa bahwa lawan lamanya, pemuda itu, kini berdiri menonton dan tidak menyerangnya lagi.
“Tahan senjata! Melihat gerakan, Ji-wi Suhu adalah hwesio-hwesio Siauw-lim. Betulkah?”
Dua orang hwesio setengah tua itu melompat mundur, menahan tongkat mereka lalu memandang pemuda itu. Lin Lin tidak peduli, akan tetapi ia pun tidak sudi menyerang orang yang menarik senjatanya, maka dengan pedang melintang di depan dada, ia hanya memandang, sikapnya gagah.
“Kami memang betul hwesio-hwesio Siauw-lim. Kau siapakah, Sicu, dan apa yang hendak kau katakan kepada kami?”
Pemuda itu mengerutkan keningnya. “Siauw-lim-pai adalah partai persilatan yang selalu menjunjung kebenaran dan keadilan, yang selalu bersih dan terkenal sebagai pusat orang-orang beribadat yang berilmu tinggi. Akan tetapi mengapa Ji-wi Suhu datang-datang menyerang seorang wanita?”
“Gadis liar ini menghina murid-murid keponakan kami!”
“Hemmm, pemutar-balikan fakta yang menjijikkan! Adalah dua orang hwesio itulah yang kurang ajar, mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan terhadap wanita terhormat. Dari pada menyerang orang yang tidak berdosa, Ji-wi Suhu justru akan membersihkan nama partai kalau sekarang juga memberi hukuman kepada murid-murid sendiri.”
“Orang muda, kau siapakah berani bicara lancang memberi kuliah kepada kami?”
Pemuda itu tersenyum. “Aku she Lie bernama Bok Liong, orang biasa saja. Akan tetapi aku mengenal baik Cheng Han Lo-suhu, dan pedangku Goat-kong-kiam ini selalu menghendaki kebenaran dibela oleh orang-orang gagah.”
Cheng Han Hwesio adalah ketua Siauw-lim-pai, maka mendengar disebutnya nama ini, kedua orang hwesio itu menjadi kaget sekali. Mereka khawatir kalau-kalau pemuda ini akan mengadu. Memang akhir-akhir ini banyak sekali anak buah para hwesio yang tersesat, mabuk oleh kesenangan duniawi dan mempergunakan kesempatan selagi negara kacau dan ketua dari pusat tidak sempat melakukan pengawasan, mereka mengumbar nafsu jahatnya.
Keadaan memalukan dan buruk ini terutama sekali ditimbulkan oleh para penjahat dan pelarian yang menyembunyikan diri dengan jalan mencukur rambutnya dan memakai jubah pendeta, tinggal bersembunyi di kelenteng-kelenteng. Merekalah yang menjadi ‘guru’ dan menyeret para hwesio muda yang belum teguh batinnya dan masih lemah imannya ke jalan sesat. Dua orang hwesio ini hanya merupakan kepala dari sebuah kelenteng kecil, sudah terlalu lama berkecimpung di dalam keduniaan, maka hanya pada lahirnya saja seperti pendeta, namun batinnya sudah menjadi penjahat-penjahat hamba nafsu buruk.
“Keparat, kau benar-benar kurang ajar! Kau kira kami takut padamu? Sute, kau hajar dia ini, biar pinceng menangkap Nona liar. Kalau tidak diberi hajaran, tidak akan kapok orang-orang muda kepala batu ini!”
Dua orang hwesio Siauw-lim-pai itu terlalu memandang rendah orang muda. Mereka mengandalkan kepandaian yang tinggi dan senjata tongkat yang berat, pula, memang ilmu tongkat atau ilmu toya dari Siauw-lim-pai amat terkenal kuat. Namun pemuda itu adalah murid orang sakti, juga Lin Lin telah menerima gemblengan dari seorang sakti yang tingkatnya sejajar dengan ketua Siauw-lim-pai pusat sendiri! Maka kalau mau dibuat perbandingan, tingkat dua orang hwesio itu masih jauh di bawah.
“Aku tidak ingin kau bantu!” seru Lin Lin sambil menggerakkan pedang menghadapi serangan seorang hwesio.
“Siapa membantumu, Nona? Aku pun diserang oleh hwesio palsu ini!” jawab pemuda yang bernama Lie Bok Liong itu sambil menggerakkan pedang pula menandingi lawannya.
Pertempuran seru terjadi, terpecah menjadi dua. “Nona, adu ilmu antara kita boleh ditentukan sekarang. Siapa yang lebih dulu mengalahkan lawan, dia yang lebih unggul antara kita!” pemuda itu berseru.
“Baik, seorang laki-laki tidak melanggar janjinya!” seru Lin Lin girang.
Gadis ini sebentar saja dapat melihat kelemahan lawan dan ia yakin akan dapat merobohkannya dalam waktu cepat, maka usul pemuda itu diterimanya dengan girang. Melihat tongkat itu menyodok ke arah dadanya, Lin Lin sengaja berlaku lambat, membiarkan lawan lengah dan kegirangan. Beberapa senti meter sebelum ujung tongkat mengenai dadanya, tiba-tiba ia miringkan tubuhnya, menggunakan jurus Pek-wan-hian-ko (Lutung Putih Berikan Buah) dari ilmu silat ayahnya, tangan kirinya menangkis dengan jari-jari terbuka, dan pedangnya bergerak cepat ke depan. Inilah gerakan susulan dari Khong-in-liu-san yang tidak terduga dan amat cepat datangnya. Hwesio lawannya itu menjerit kesakitan, tongkatnya terlepas dan pangkal lengannya terobek pedang sampai kelihatan tulangnya.
Sambil tersenyum manis tapi penuh ejekan, Lin Lin membalikkan tubuh memandang ke arah pemuda pesek itu, siap untuk mengejek dan berbangga akan kemenangannya. Akan tetapi tiba-tiba wajahnya berubah merah sekali. Apa yang dilihatnya? Pemuda itu ternyata sudah lebih dulu merobohkan lawannya, hwesio lawan pemuda itu sudah rebah dengan pundak berdarah!
Akan tetapi pemuda itu berkata, “Nona, kita berhasil dalam waktu yang sama. Hayo kita berlomba merobohkan dua orang hwesio ceriwis itu!”
Lin Lin melihat betapa hwesio muda yang dua orang tadi telah melarikan diri tunggang-langgang melihat betapa kedua orang paman guru mereka telah roboh! Karena dua orang hwesio muda itu yang menjadi biang keladi pertempuran, dan dua orang hwesio itu yang sebenarnya amat kurang ajar, Lin Lin menjadi marah sekali dan tubuhnya berkelebat melakukan pengejaran. Ia melihat sesosok bayangan dengan cepat juga berkelebat di sampingnya.
Tahu bahwa pemuda pesek itu tidak mau kalah, Lin Lin mengerahkan ginkang-nya dan di lain saat ia sudah tiba di belakang dua orang hwesio itu. Pedangnya menyambar dan dua orang hwesio itu menjerit, roboh terguling. Dua orang hwesio muda itu terluka pahanya. Karena menganggap bahwa dua orang hwesio itu jahat sekali, Lin Lin kembali menggerakkan pedang hendak membunuh mereka.
“Tranggg!” bunga api berpijar ketika pedangnya bertemu dengan pedang di tangan Lie Bok Liong.
“Nona, harap jangan bunuh mereka. Mereka adalah hwesio-hwesio Siauw-lim!”
“Hwesio Siauw-lim atau hwesio-hwesio langit, siapa takut? Mereka ini jahat, kalau hwesio-hwesio tua Siauw-lim-pai membela mereka, berarti mereka pun jahat!”
“Omitohud... kasar akan tetapi harus diakui kebenarannya...,” terdengar seruan suara halus dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang hwesio tua yang putih semua jenggotnya, akan tetapi mukanya masih segar kemerahan seperti seorang muda. Hwesio ini berjubah kuning, memegang sebuah tongkat pendeta dan sinar matanya berpengaruh penuh wibawa. Melihat hwesio ini, Lie Bok Liong segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat.
“Cheng Hie Lo-suhu! Kebetulan sekali Lo-suhu datang. Kami dua orang muda telah berselisih faham dengan beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai, harap Lo-suhu memberi kebijaksanaan.”
Hwesio tua itu tertawa perlahan. “Lie-sicu tak perlu bersikap sungkan. Pinceng (aku) yang tua sudah melihat dan mendengar semua. Memang sudah pinceng dengar kenakalan empat orang anak murid ini, akan tetapi baru sekarang pinceng melihat buktinya.” Kemudian ia mengalihkan pandang mata kepada Lin Lin dan berkata, “Nona, kepandaianmu hebat bagi seorang semuda Nona. Memang pantas sekali Pedang Besi Kuning berada di tanganmu! Dua orang anak murid Siauw-lim-pai yang durhaka ini telah melakukan kesalahan kepadamu, harap Nona sudi memberi maaf, biar pinceng nanti yang akan menghukum mereka.”
Lin Lin kaget bukan main. Hwesio tua ini dapat mengetahui segalanya, bahkan tahu pula tentang pedangnya, pedang curian dari gudang istana. Tentu seorang yang berilmu tinggi, pikirnya. Ia memang marah kepada dua orang hwesio yang kurang ajar itu, akan tetapi sekarang hatinya puas karena sudah ada pentolan Siauw-lim-pai yang mengurus dan hendak menghukum.
“Terserah kepada Lo-suhu. Aku percaya Lo-suhu akan benar-benar memberi hukuman berat, kalau tidak, berarti Lo­suhu membantu orang jahat!”
Muka hwesio tua itu berubah agak pucat, akan tetapi ia hanya tertawa dan menjura. Lie Bok Liong lalu mengajak Lin Lin pergi, “Marilah, setelah ada Cheng Hie Lo-suhu, tentu mereka akan mendapat bagian mereka. Cheng Hie Lo-suhu terkenal sebagai pengawal tindak-tanduk dan sepak terjang para anak mu­rid Siauw-lim-pai dan dunia kang-ouw mengenal belaka kebijaksanaan dan keadilannya. Lo-suhu, perkenankan kami pergi.”
Cheng Hie Hwesio menggerakkan tangannya, mengangguk-angguk. “Pergilah... pergilah dengan hati-hati, orang-orang muda. Doa restu dan berkahku mengiringi kalian berdua...”
Lin Lin tercengang, hendak marah kepada pemuda pesek itu. Enak saja, pikirnya, ajak-ajak seakan-akan dia itu memang teman seperjalanan. Kenal pun tidak! Akan tetapi melihat sikap hwesio yang amat halus dan baik itu, tak enak hatinya menimbulkan ribut di depannya. Ia pun mengangguk dan berjalan pergi bersama Lie Bok Liong yang menuntun kudanya.
Sampai lama mereka jalan berendeng, diam saja tidak berkata-kata, juga saling lirik saja tidak. Seakan-akan mereka saling tidak ingat lagi bahwa di sebelah mereka berjalan seorang lain. Tentu saja tidak demikian hal yang sebetulnya. Bok Liong sekaligus terbetot semangatnya oleh gadis lincah ini, dan ia berjalan sambil merenung, terheran-heran atas perubahan di dalam hatinya sendiri. Mengapa ia merasakan hal yang aneh ini, hal yang selama ia hidup belum pernah ia rasakan? Ada pun Lin Lin, ia sedang mengumpul-ngumpulkan kata-kata untuk menyerang pemuda pesek lancang ini nanti setelah mereka jauh dari hwesio tua tadi.
Setelah mereka keluar dari dalam hutan dan berada di jalan yang sunyi sekali, tiba-tiba Lin Lin berhenti dan berkata ketus, “Nah, sekarang tidak ada siapa-siapa yang akan menghalangi kita membuat perhitungan!”
Pemuda itu seakan-akan baru sadar dari alam mimpi. Ia menengok dan memandang dengan kaget. “Perhitungan? Perhitungan apa, Nona?”
“Perhitungan apa? Pura-pura tanya lagi. Kau tadi mengajak adu cepat berlomba merobohkan dua orang hwesio ceriwis. Siapa yang menang? Aku! Lalu hwesio tua Siauw-lim-pai tadi memuji-muji dan minta maaf. Memuji siapa dan minta maaf kepada siapa? Aku! Tapi kau memerintah aku ikut denganmu! Sombong!”
Bok Liong cepat menjura, sikapnya sungguh-sungguh. “Nona, harap kau tidak main-main lagi. Maafkanlah kalau sikap dan kata-kataku pernah menyinggungmu. Aku Lie Bok Liong adalah seorang laki-laki sejati, dan kulihat sepak terjangmu membuktikan bahwa kau seorang pendekar wanita yang mengagumkan. Oleh karena itu terimalah hormatku, Nona, dan sampai mati aku tidak nanti berani mengangkat senjata terhadapmu lagi. Aku mengaku kalah dan menyerah.”
Watak Lin Lin memang aneh. Dalam segala hal ia selalu tidak mau kalah. Kalau orang bersikap keras terhadapnya, ia tidak mau kalah keras, kalau orang galak, ia akan lebih galak lagi. Kini Bok Liong bersikap merendah dan mengalah dengan suara sungguh-sungguh dan wajah serius, ia pun tidak mau kalah!
“Nah, kau sih yang sombong tadinya. Padahal aku juga tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan orang seperti kau ini. Aku tahu kau bukan orang jahat, tapi kalau aku tidak bersikap keras, orang takkan mengetahui kelihaianku. Nah, kau pun kuminta maklum saja kalau tadi aku bersikap kaku. Betapa pun juga, kau telah membantuku menghadapi hwesio-hwesio kotor tadi.”
Jantung Bok Liong berdebar-debar. Alangkah girangnya melihat bahwa nona yang lincah galak ini kiranya dapat juga bicara dengan baik. Ia menahan senyumnya dan berkata lagi. “Nona, terima kasih atas pengertianmu. Kita menjadi sahabat, hal yang amat kuinginkan semenjak aku melihat kau menghajar hwesio-hwesio ceriwis di hutan itu. Sekali lagi, namaku Lie Bok Liong, biar pun bukan seorang tokoh besar di dunia kang-ouw, akan tetapi aku mengenal hampir semua tokoh kang-ouw, kecuali tokoh-tokoh besar yang masih muda seperti kau. Bolehkah aku mengetahui nama dan julukanmu? Terus terang saja, aku yang banyak mengenal ilmu silat, tahu akan dasar-dasar gerakan ilmu silat dari Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai dan banyak partai persilatan lain lagi, tapi sama sekali buta akan ilmu silatmu yang luar biasa tadi, Nona.”
Lin Lin merasa diayun-ayun di atas awan saking bangga dan girangnya mendengar kata-kata pujian yang keluar sejujurnya dari mulut pemuda itu. Setelah ia pandang-pandang, pemuda berhidung pesek ini wajahnya menarik dan menyenangkan hati juga, sikapnya jujur dan sopan tapi tidak bermuka-muka atau menjilat, sikap sewajarnya dari seorang yang memasang isi hati pada wajahnya.
Timbul rasa suka di hatinya disertai kepercayaan besar. Apa lagi tadi ia mendengar bahwa Bok Liong ini mengenal hampir semua tokoh kang-ouw. Siapa tahu pemuda ini bisa memberitahu kepadanya tentang Suling Emas, atau mungkin juga tentang kakaknya, Bu Song. Wajahnya seketika berseri, matanya bersinar-sinar, bibirnya yang manis itu tersenyum sehingga pemuda itu merasa betapa tiba-tiba kedua lutut kakinya lemas dan gemetar!
Memang hebat daya pengaruh asmara yang mulai menggerogoti jantung seorang pemuda. Hanya si pemuda yang bersangkutan sendiri yang dapat merasakannya. Kalau seorang pemuda sedang bercinta, terutama sekali kalau mulai jatuh cinta, segala sesuatu pada diri dara yang dicintainya tampak hebat luar biasa. Kerling mata yang tajam melebihi pedang pusaka langsung menusuk dada menembus punggung! Senyum sepasang bibir merah membasah bagaikan seribu manis dari madu yang memabukkan dan membuat kepalanya pening tujuh keliling dengan mata berkunang-kunang! Kilauan gigi putih berderet rapi yang hanya tampak sekilas di balik sepasang bibir segar, lebih ampuh dari pada sinar petir yang langsung menyambar kepala memasuki tubuh menyelusup ke seluruh tulang sum­sum! Tidaklah terlalu mengherankan apa­bila Bok Lieng berdiri dengan kedua lutut gemetar ketika ia menghadapi wajah Lin Lin yang berseri-seri itu.
“Kau kira aku seorang yang buta?” demikian Lin Lin mulai kata-katanya yang kini terdengar manis, hilang sama sekali ketusnya. “Aku pun sekali bertemu saja tahu bahwa kau bukan orang jahat, akan tetapi aku harus yakin dulu. Twako... ya, lebih baik kusebut kau Twako (Kakak), karena kau tentu lebih tua dari pada Sin-ko (Kakak Sin). Eh, berapa sih usiamu?”
Mau tak mau Bok Liong tersenyum. Setelah gadis ini bersikap jenaka seperti ini, ia merasa betapa sinar matahari menjadi lebih terang dari pada tadi. “Usiaku hampir dua puluh dua tahun.”
“Nah, betul dugaanku. Sin-ko baru dua puluh tahun, aku sendiri baru tujuh belas. Sampai di mana aku tadi? Oya, tentang nama. Namaku Lin Lin, she... Kam.”
“Kam Lin Lin... indah benar namamu, Nona.”
“Wah, kalau kau masih menyebut nona-nonaan segala, aku pun akan menyebutmu dengan tuan-tuanan. Bagaimana pendapatmu, Tuan Besar?”
Bok Liong tertawa bergelak, kemudian terheran. Seingatnya baru kali inilah ia dapat tertawa sampai begitu keras sampai basah kedua matanya. Benar-benar mengherankan. Apa yang terjadi dengan dirinya?
“Habis, aku harus menyebut bagaimana? Ah, kau betul. Kau menyebutku Twako, kalau begitu kau adikku, Moi-moi.”
“Nah, begitu baru enak bicara. Terhadap seorang tuan mana aku sudi mengobrol begini? Lain lagi kalau terhadap seorang kakak....”
“Maksudmu, terhadap seorang sahabat baik seperti kakak sendiri,” potong Bok Liong.
“Sama saja, apa bedanya? Twako, kulihat tadi ilmu silatmu juga hebat sekali. Siapakah gurumu?”
Kalau orang lain yang menanyakan hal ini, tentu Bok Liong takkan mau menerangkannya. Selama ia berkecimpung di dunia kang-ouw, hanya beberapa orang tokoh besar saja yang tahu murid siapa pemuda lihai ini. Akan tetapi terhadap Lin Lin yang sekaligus sudah merobohkan jantung menawan hatinya, ia tidak berani berbohong, apa lagi tidak menjawab. Ia takut kalau-kalau gadis yang sekarang sudah ‘jinak’ dan baik kepadanya ini akan mengamuk lagi dan memusuhinya. Tidak ada malapetaka baginya di saat itu yang akan lebih besar dan hebat dari pada dimusuhi Lin Lin.....
Lanjut ke jilid 7

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)