SULING EMAS : JILID-19
Ia kaget sekali dan cepat Kim-mo Taisu menghadapi tiga orang
pengeroyoknya yang lihai ini dengan permainan Pat-sian Kiam-hoat dan
Lo-hai-kun. Kalau tadi ia mainkan Cap-jit-seng-kiam, maka permaianannya
itu hanyalah ilmu pedang belaka, ilmu pedang yang luar biasa namun masih
kurang berhasil untuk menghadapi pengeroyokan lawan yang begini
saktinya. Kini ia mainkan kedua ilmu itu yang sebetulnya merupakan ilmu
yang sudah ia rangkai menjadi sepasang, dapat dimainkan berbareng.
Jilid 20»
Pada dasarnya, Pat-sian Kiam-hoat adalah ilmu pedang, penyempurnaan dari
Pat-sian Kiam-hoat atas petunjuk manusia dewa Bu Kek Siansu, sedangkan
Lo-hai-kun aslinya adalah Lo-hai San-hoat, ilmu kipas yang juga telah
mendapat petunjuk Bu Kek Siansu. Jadi kalau menurut semestinya, Kim-mo
Taisu harus bermain pedang dan kipas, barulah ia dapat bersilat secara
sempurna.
Akan tetapi sayang, pendekar ini sudah terlalu tidak memperhatikan diri lagi sehingga ia tidak memiliki pedang mau pun kipas, hanya mengandalkan tangan kaki dan kalau perlu ia mempergunakan cabang sebagai pedang. Tentu saja tidak bisa sehebat pedang tulen, apalagi kalau sedang menghadapi lawan tangguh. Karena tidak ada pedang, kini ia gantikan dengan sebatang kayu, sedangkan tangan kirinya karena tidak bisa mendapatkan kipas, lalu ia robah menjadi ilmu pukulan yang mendatangkan angin.
Betapa pun juga Kim-mo Taisu tetap terdesak. Pada saat ia sibuk mengelak dan menangkis desakan pukulan Ma Thai Kun dan pedang serta tongkat Pouw Kee Lui, tiba-tiba tanpa mengeluarkan suara, cambuk hitam di tangan Ban-pi Lo-cia telah membelit pinggangnya! Kim-mo Taisu terkejut sekali. Dahulu ketika bertanding melawan Ban-pi Lo-cia, pinggangnya juga pernah terbelit dan ia tidak mampu melepaskan diri begitu saja.
Seperti juga dahulu, ia cepat mengerahkan tenaganya, meminjam tenaga tarikan cambuk, tubuhnya melayang ke arah Ban-pi Lo-cia dan cabang di tangannya menusuk dada sedangkan tangan kirinya menampar kepala! Hebat bukan main serangan ini dan Ban-pi Lo-cia tidak menyangka bahwa lawannya akan melakukan perlawanan senekat ini. Terpaksa ia melepaskan cambuknya yang melibat tubuh lawan dan bergulingan ke belakang!
Memang Kim-mo Taisu juga hanya menggunakan siasat agar terlepas dari libatan cambuk, maka ia tidak mengejar karena pada saat itu, pedang di tangan Pouw Kee Lui sudah menyerangnya dengan ganas sekali, disusul pula hantaman tongkatnya. Kim-mo Taisu cepat menangkis pedang dan tongkat. Oleh dorongan hawa sakti dari tubuh mereka, ketiga senjata ini melekat, saling mengisap dan saling membetot.
Pada saat itu Ma Thai Kun menendang, mengenai belakang lutut Kim-mo Taisu, membuat pendekar ini roboh terguling. Namun cabang liu itu masih menempel pada pedang dan tongkat Pouw Kee Lui. Kini dalam keadaan setengah berbaring, Kim-mo Taisu mempertahankan tekanan kedua senjata Pouw Kee Lui yang hendak menindas atau membikin patah cabang itu di tangannya. Adu tenaga dalam terjadi. Kim-mo Taisu di bawah dan Pouw Kee Lui di atas. Namun perlahan-lahan cabang liu itu terangkat ke atas, menjadi bukti bahwa raja pengemis itu kalah kuat.
Ma Thai Kun sudah melangkah maju. Wajahnya merah dan membayangkan kegirangan hatinya. "Sekarang mampus engkau!" katanya lalu mengirim pukulan Cui-beng-ciang ke arah kepala Kim-mo Taisu!
Kagetlah pendekar ini. Karena senjatanya masih saling lekat dengan senjata si Raja Pengemis, maka tak mungkin ia mengelak lagi dalam ke adaan setengah terbaring itu. Terpaksa ia lalu menggerakkan tangan kirinya, mengerahkan tenaga sakti dan menggunakan Ilmu Tangan Kapas Sakti untuk menangkis.
"Plakk!" kembali kedua tangan itu lekat satu kepada yang lain sehingga kini dalam keadaan setengah terbanting itu Kim-mo Taisu harus menahan tekanan kedua orang lawan dengan kedua tangannya! Keadaannya menjadi berbahaya sekali karena Ban-pi Lo-cia sudah tertawa-tawa sambil mengayun cambuknya untuk menghantam lawan yang sudah tak dapat menghadapinya lagi itu.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa terbahak-bahak disusul ucapan nyaring. "Ha-ha-ho-ho! Setelah mendurhakai Beng-kauw, kau masih berani bersekongkol dengan segala macam penjahat? Benar-benar memalukan sekali!" Dan muncullah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang dengan langkah lebar menghampiri tempat pertandingan itu.
Bukan main kagetnya hati Ma Thai Kun melihat datangnya bekas suheng-nya ini. Dalam keadaan tangannya lekat pada tangan Kim-mo Taisu, berbahayalah kalau ia diserang, sedangkan ia maklum akan watak suheng-nya yang keras seperti baja dan tidak mengenal ampun. Maka terpaksa ia menarik kembali tenaganya melompat mundur dan dengan mata beringas ia memandang suheng-nya, lalu memaki. "Lui Gan, di antara kita tidak ada hubungan apa-apa lagi, mengapa kau selalu menentang aku?"
"Cerewet! Sebelum menghajar mampus padamu dengan tangan sendiri, hatiku takkan tenteram karena pada suatu saat tentu kau mampus di tangan orang lain dan hal ini sama sekali tidak kukehendaki!"
"Liu Gan, kau benar-benar terlalu!" Ma Thai Kun membentak dan mengirim pukulan sambil mengeluarkan teriakan garang. Pat-jiu Sin-ong tersenyum dan cepat menangkis. Di lain saat kedua orang yang tadinya menjadi kakak beradik seperguruan ini sudah saling hantam dengan seru.
Biar pun sudah ditinggalkan Ma Thai Kun, keadaan Kim-mo Taisu masih dalam bahaya, karena Ban-pi Lo-cia kini sudah mengayun cambuk menghantam kepalanya, sedangkan ia masih setengah berbaring. Akan tetapi tiba-tiba Ban-pi Lo-cia berseru marah, tubuhnya terhuyung ke belakang dan otomatis serangannya tadi tidak dilanjutkan.
"Setan iblis manakah yang berani main-main dengan Ban-pi Lo-cia?!" bentaknya.
Terdengar jawaban nyaring pula, "Setan iblis akulah yang datang, jahanam Khitan. Tempo hari, karena kecurangan dan pengeroyokan terpaksa aku mundur. Sekarang, kau rasakanlah tanganku!" Dan muncullah seorang kakek tua yang rambutnya riap-riapan dan kumisnya panjang, yang ‘berdiri’ bukan di atas kedua kaki melainkan di atas sepasang tongkat yang dipegangnya. Inilah Kong Lo Sengjin atau bekas Raja Muda Kerajaan Tang yang terkenal dengan julukan Sin-jiu Couw Pa Ong!
"Couw Pa Ong! Kau masih belum mampus?" Ban-pi Lo-cia berseru kaget sekali.
Ketika merobohkan Kerajaan Tang dan Couw Pa Ong mengamuk, dia juga ikut mengeroyok dan melihat dengan mata kepala sendiri betapa dalam perang itu Sin-jiu Couw Pa Ong sudah dipukul roboh dan menderita luka hebat, bahkan kedua kakinya sudah tak dapat digunakan lagi. Bagaimana sekarang kakek itu dapat muncul kembali? Ia tahu betul betapa lihainya kakek ini, maka hatinya menjadi gentar. Apalagi ketika tadi melihat munculnya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, kini hatinya sudah tak bernafsu lagi untuk melanjutkan pertandingan.
Ban-pi Lo-cia yang cerdik sudah cepat membuat perhitungan di dalam hati. Ma Thai Kun tentu sukar dapat mengalahkan bekas suheng-nya. Pouw-kai-ong juga agaknya sukar sekali dapat mengatasi Kim-mo Taisu, sedangkan dia sendiri masih ragu-ragu apakah dia akan dapat menangkan Couw Pa Ong, biar pun kakek itu kini sudah lumpuh kedua kakinya.
Melihat gelagat tidak menguntungkan, Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak sambil berkata. "Couw Pa Ong, sekarang di antara kita tidak ada urusan lagi. Biarlah aku pergi saja!" Ia lalu melesat jauh dan pergi dari tempat itu.
"Monyet dari Khitan, kau hendak lari ke mana?" Kakek lumpuh itu lalu mencelat ke depan dan kedua tongkat yang menggantikan kaki itu dapat bergerak dan berlari cepat sekali mengejar Ban-pi Lo-cia.
Melihat seorang kawannya yang boleh diandalkan lari, hati Pouw Kee Lui menjadi gentar. Ia menggunakan kesempatan selagi Kim-mo Taisu memandang kakek lumpuh dengan mata terheran-heran itu untuk meloncat pula dan lari pergi. Kim-mo Taisu tidak mengejar, karena pendekar ini sedang merasa terheran-heran. Sudah lama ia mendengar nama besar Couw Pa Ong dan baru sekarang ia melihat orangnya. Melihat betapa Ban-pi Lo-cia yang kosen itu lari ketakutan bertemu dengan kakek lumpuh ini, ia dapat menduga betapa kakek lumpuh ini tentulah amat lihai, dan ternyata benar dugaannya karena cara kakek ini lari secepat itu dengan sepasang tongkat saja sudah membuktikan kelihaiannya. Dengan Pouw Kee Lui ia tidak mempunyai urusan yang amat penting, maka ia mendiamkan saja raja pengemis itu lari.
Ma Thai Kun berusaha melawan bekas suheng-nya, namun setelah beberapa kali mereka beradu lengan, maklumlah Ma Thai Kun bahwa ia masih belum dapat menandingi bekas suheng-nya. Maka setelah melihat betapa Ban-pi Lo-cia lari, juga Pouw Kee Lui yang dibantunya lari diam-diam, ia mengutuk kecurangan dan sifat pengecut mereka. Ia mengerahkan tenaga, membentak dan menyerang dengan jurus Cui-beng-ciang yang paling hebat. Pat-jiu Sin-ong tertawa mengejek dan menyambut datangnya pukulan itu dengan kekerasan pula. Dua pasang tangan bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Pat-jiu Sin-ong terpental sampai dua tiga meter ke belakang, akan tetapi Ma Thai Kun terguling-guling muntahkan darah segar, melompat kembali dengan muka pucat lalu melarikan diri.
"Kalau belum mampus hatiku belum tenteram!" Pat-jiu Sin-ong mengejar dan sesaat kemudian Kim-mo Taisu berdiri seorang diri di tempat yang kini menjadi amat sunyi itu.
Ia termenung, menghela napas berulang-ulang. “Tadi hampir saja aku menghadapi bahaya maut yang tak terelakkan lagi. Kalau memang Tuhan belum menghendaki aku mati, akhirnya pertolongan datang juga,” pikirnya.
Ia cukup mengenal Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Mustahil kakek ini sengaja menolongnya. Andai kata seorang di antara para pengeroyok bukan Ma Thai Kun, agaknya kakek Beng-kauw itu sulit diharapkan untuk menjadi penolong dan justru akan menikmati kematiannya dalam pengeroyokan. Ikut campurnya Pat-jiu Sin-ong hanya untuk membunuh Ma Thai Kun yang dianggapnya mendurhakai Beng-kauw.
Ada pun kemunculan kakek Couw Pa Ong itu pun agaknya belum tentu karena kakek yang tak dikenalnya itu akan datang membantunya. Semuanya serba kebetulan, dan memang aneh kalau orang belum ditakdirkan mati. Sebetulnya mati bukan apa-apa bagi Kim-mo Taisu, ia sama sekali tidak gentar. Hanya ia akan merasa sayang sekali kalau dalam pertandingan tadi dia yang mati, karena dengan demikian berarti orang-orang macam Ban-pi Lo-cia dan Pouw kai-ong akan makin merajalela, padahal dua orang itu sama sekali tidak ada artinya hadir di dunia ini karena hanya menimbulkan kesengsaraan bagi orang lain!
"Kwee-koko....!"
Kim-mo Taisu terkejut dan tidak bergerak. Ia justru membelalakkan mata. Gila, pikirnya, mengapa tiba-iba ia bermimpi mendengar suara wanita? Tak mungkin ada wanita memanggilnya Kwee-koko dengan suara semerdu itu.
"Kwee-koko....!"
Dengan jantung berdebar Kim-mo Taisu membalikkan tubuhnya dan wajahnya segera berubah, matanya terbelalak, dan mulutnya ternganga ketika ia melihat seorang wanita cantik jelita berdiri di situ, menggandeng seorang anak perempuan berusia kurang lebih sembilan tahun. Wanita itu memandang kepadanya dengan sepasang mata berlinang air mata, sedangkan anak perempuan itu melongo memandangnya dengan telunjuk kiri di mulut, seperti anak terheran-heran.
"Kwee-koko...!" untuk ketiga kalinya wanita itu memanggilnya, suaranya gemetar penuh perasaan. "Mengapa engkau menjadi begini?" Air matanya membanjir turun membasahi sepasang pipinya.
Kim-mo Taisu menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir bayangan itu, namun sia-sia. Tetap saja wanita cantik itu masih berdiri di depannya, wanita cantik yang bukan lain adalah Ang-siauw-hwa. Tapi ini tak mungkin! Ang-siauw-hwa sudah mati, tewas membunuh diri karena perbuatan Ban-pi Lo-cia! Sekali lagi ia memandang dengan teliti. Wajah itu, cantik manis dengan rambut digelung tinggi-tinggi ke atas, ujungnya terjuntai ke belakang, tubuh yang kecil ramping padat itu. Tak salah lagi, dia inilah Ang-siauw-hwa si Kembang Pelacur di Telaga Barat. Tapi Ang-siauw-hwa sudah mati, hal ini ia yakin benar.
"Nona.... Eh, Nyonya.... Siapakah....?" ia bertanya gagap, suaranya juga gemetar karena jantungnya berdebar keras. Kalau wanita ini bukan Ang-siauw-hwa, dan hal ini sudah pasti, maka ia tidak pernah mengenal wanita ini. Mengapa dia memanggilnya Kwee-koko dengan suara begitu mesra?
Wanita itu menunduk dan air matanya terjatuh ke bawah, lalu ia memandang lagi sambil berkata halus, "Kwee-koko, aku adalah Gin Lin...."
"Ah...!" Kim-mo Taisu menepuk dahinya. "Engkau saudara kembar Ang... eh, Khu Kim Lin...?" Ia cepat menahan sebutan Ang-siauw-hwa, karena nama julukan Ang-siau-hwa (Bunga Kecil Merah) adalah nama Kim Lin sebagai seorang pelacur.
Wanita itu mengangguk. "Betul, mendiang Ang-siau-hwa adalah saudara kembarku."
"Apa...? Engkau sudah tahu bahwa dia... eh, dia... bernama Ang-siauw-hwa dan sudah meninggal dunia?"
"Aku tahu karena engkau sendiri yang menceritakan kepadaku...."
"Hehh...?!" Kim-mo Taisu memandang tajam, keningnya berkerut, apalagi melihat wanita itu menyembunyikan senyum manis, senyum membayangkan kegelian hati. Aneh, pikirnya. Jangan-jangan saudara kembar Ang-siauw-hwa ini seorang yang tidak beres otaknya. Tadi menangis sekarang tersenyum, dan menyebut dia kanda Kwee. "Nona, maaf. Mengapa menyebutku Kwee-koko? Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku she Kwee?"
Naik sedu-sedan dari dada wanita itu ketika ia menarik napas panjang. "Kwee-koko, apakah kau tidak mengenal suaraku?"
"Suaramu seperti... seperti suara Ang-siauw-hwa...."
"Ah, alangkah bodohnya kadang-kadang lelaki yang paling pintar di dunia ini! Agaknya tanpa bukti kau takkan mengerti selamanya. Kwee-koko, kau kenalilah aku?"
Wanita itu dengan gerakan cepat mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya, menutupi muka dengan benda itu dan ketika ia menurunkan kedua tangannya, Kim-mo Taisu melompat ke belakang sampai dua meter lebih, berdiri terbelalak dengan muka pucat. Ternyata bahwa nenek penghuni Neraka Buni yang kini berdiri di depannya!
"Kau...?! Kau...?!" ia berkata, suaranya menggigil dan kakinya melangkah maju.
Gin Lin melepas kedoknya dan melemparnya jauh-jauh. "Kwee-koko, apakah kau sekarang mengenalku?" katanya sambil mengembangkan kedua lengannya. "Ah, Kwee-koko, betapa rinduku kepadamu...!"
Kim-mo Taisu berdongak dan tertawa bergelak-gelak, "Kau rindu....? Ah, dan aku.... aku... ah, sampai gila aku memikirkan kau....!"
Bagaikan didorong tenaga mukjijat, keduanya saling tubruk dan saling peluk, lalu berdekapan mesra. Gin Lin menangis terisak-isak sedangkan Kim-mo Taisu masih tertawa-tawa, akan tetapi kedua matanya bercucuran air mata ketika mereka berpelukan dan berciuman. Kemudian kim-mo Taisu mengangkat tubuh Gin Lin dan ia menari-nari sambil berputar-putar memondong tubuh ‘nenek’ itu.
"Ha-ha-ha-ha! Dan aku menjadi seperti gila menyesali perbuatanku!"
Gin Lin mengusap-ngusap rambut yang terurai itu. "Kwee-koko, kenapa kau sampai menjadi begini?"
"Apa? Seperti jembel ini? Ha-ha-ha, agar tepat dengan keadaanmu sebagai seorang nenek-nenek keriputan. Hanya seorang jembel gila yang begitu buta beristerikan seorang nenek. Kau isteriku, ha-ha-ha! Engkau isteriku tercinta!"
Gin Lin memeluk dan mendekap kepala suaminya dengan terharu sambil menangis, sedangkan suaminya masih memondongnya dan berjingkrak-jingkrak kegirangan, juga dengan pipi basah air mata. Mereka lupa diri, lupa segala sehingga tidak ingat bahwa anak perempuan tadi memandang mereka dengan bengong, dan anak itu menangis pula menyaksikan mereka mengucurkan air mata.
"Ibu... Ibu....!" Anak itu memanggil.
Kim-mo Taisu tersentak kaget seperti terpukul dadanya. Ia menurunkan Gin Lin dan terhuyung-huyung mundur dengan wajah pucat. "Kau.. kau... sudah menjadi isteri orang lain...?"
Gin Lin tersenyum dengan air mata masih bercucuran, lalu menggandeng tangan anak itu. "Eng Eng, dia ini ayahmu, Nak. Kwee-koko, setelah kau pergi, aku... aku melahirkan anak ini. Hanya karena dialah maka aku merobah tekadku untuk mati di Neraka Bumi. Aku membawanya ke luar mencarimu. Dia ini anakmu, Kwee-koko."
Terdengar rintihan isak di tenggorokkan Kim-mo Taisu. Ia berlutut, memegang kedua tangan anaknya, memandang wajah yang mungil itu, kemudian ia memondongnya sambil tertawa. Tangan kirinya juga menyambar dan memondong tubuh isterinya. Berganti-ganti ia memandang dan menciumi isteri dan anaknya dengan kebahagiaan hati yang sukar dilukiskan. Ia merasa seakan-akan menerima anugerah yang paling besar dan belum pernah selama hidupnya ia mengalami kebahagiaan seperti saat ini.
"Isteriku...! Anakku...! Ah, Kwee Seng... Kwee Seng... agaknya Thian masih menaruh kasihan kepadamu...!" katanya, suaranya menggetar penuh keharuan.
"Ayah... sudah lama sekali aku mencari-carimu. Ibu seringkali menangis, katanya kau tidak mau menjadi ayah Eng Eng. Sekarang Ayah sudah di sini, mengapa ibu masih menangis? Apa Ayah betul-betul tidak suka kepada Eng Eng?"
Ucapan yang keluar dari bibir mungil itu seperti pisau mengiris jantung Kim-mo Taisu. Terasa olehnya betapa ia telah melakukan dosa besar terhadap Gin Lin yang selain telah menolong nyawanya di Neraka Bumi, ternyata masih menaruh cinta kasih yang amat besar kepadanya. Sungguh ia telah berdosa. Andai kata Gin Lin benar-benar seorang nenek sekali pun, ia tidak semestinya meninggalkan seorang yang begitu mencintanya.
"Eng Eng. Alangkah manis namamu. Ayah amat cinta dan sayang kepadamu, anakku!" Ia menciumi pipi anaknya.
"Tapi Ayah mengapa menangis? Ibu juga? Mengapa susah?"
"Ayah tidak susah. Lihat, sekarang aku tertawa, dan Ibumu juga!" Anak itu memandang ayah dan ibunya, benar saja mereka tersenyum dengan air mata membasahi pipi.
"Suhu...!"
Kwee Seng memandang dan ternyata Bu Song sudah muncul di situ.
"Teecu menghaturkan selamat bahwa Suhu telah dapat berkumpul dengan Subo (Ibu Guru) dan... dan adik puteri Suhu," kata Bu Song dengan pandang mata sejujurnya dan muka ikut bergembira.
Kim-mo Taisu menurunkan tubuh isterinya perlahan. Sambil memondong Eng Eng ia menghadapi muridnya berkata, "Bu Song, kenapa kau pergi meninggalkan aku tanpa pamit?"
Mendengar suara ayahnya seperti marah dan melihat Bu Song menundukkan kepala, Eng Eng segera menjawab ayahnya. "Ayah, jangan marah kepadanya. Dialah yang membawa Ibu dan aku ke sini menemui Ayah. Bu Song tidak nakal, dia baik, Ayah!"
"Ehh...??" Kim-mo Taisu memandang isterinya yang tersenyum dan mengangguk, bahkan isterinya lalu memberi penjelasan.
"Muridmu ini bekerja pada kami, mengambil air dari puncak. Ketika mengangsu air untuk kali terakhir, ia melihat kau berhadapan dengan musuh jahat. Maka setibanya di rumah kami ia bertemu denganku dan mengatakan bahwa gurunya Kim-mo Taisu, menghadapi bahaya maka ia harus cepat-cepat pergi dari rumah kami, tanpa mau kutahan lagi. Aku memang ada dugaan bahwa Kim-mo Taisu adalah engkau, maka aku lalu mengajak Eng Eng dan bersama Bu Song pergi menyusulmu ke sini. Kiranya benar-benar kau berhadapan dengan musuh yang tangguh. Baiknya ada Pamanku Couw Pa Ong yang membantumu."
"Couw Pa Ong...? Dia itu... Pamanmu...?"
"Mari kita pulang dulu, nanti kita bicara sampai jelas."
"Pulang?" terharu hati Kim-mo Taisu, karena sesungguhnya, entah sudah berapa lamanya ia tidak mengenal arti kata ‘pulang’ lagi. Sambil menggandeng tangan isterinya dan memondong Eng Eng, Kim-mo Taisu mengangguk dan menjawab, "Marilah!"
"Bu Song, kau ikut dengan kami," kata Khu Gin Lin dengan suara halus, akan tetapi Bu Song masih berdiri dengan kepala menunduk.
"Bu Song, hayo ikut, nanti kita main-main di rumah!" Eng Eng juga berkata, akan tetapi tetap saja Bu Song tidak bergerak dan tidak pula mengangkat muka.
Anak itu sedang dilanda kedukaan hebat. Ia memang ikut bergirang menyaksikan kebahagiaan suhunya yang telah berkumpul kembali dengan isteri dan anaknya, akan tetapi sekaligus peristiwa ini pun mengingatkan ia akan keadaannya sendiri yang jauh ayah jauh ibu, seorang anak yang tidak dapat mengecap kebahagiaan seperti Eng Eng karena ayah bundanya cerai berai. Pula agaknya suhunya marah kepadanya. Kalau suhunya sendiri diam saja, bagaimana ia bisa ikut mereka?
Melihat Bu Song diam saja tidak menjawab, Eng Eng lalu melorot turun dari pondongan ayahnya, lari menghampiri Bu Song dan menarik tangannya. "Hayo, kau ikut! Eh, kau... kau menangis? Kenapa??"
Mendengar ini, kagetlah Kim-mo Taisu. Ia sudah mengenal betul perangai Bu Song, seorang anak yang amat keras hatinya, yang tidak pernah sudi menangis, tabah dan berani luar biasa. Kalau sekarang menangis, benar-benar aneh! Tadinya, perjumpaannya dengan anak isterinya membuat Kim-mo Taisu sejenak melupakan Bu Song, apalagi karena muridnya itu telah meninggalkannya tanpa pamit. Ia menganggap muridnya sudah tidak suka lagi ikut dengannya, maka ia pun tadi tidak mengacuhkannya lagi. Akan tetapi sekarang mendengar bahwa muridnya menangis, ia segera membalikkan tubuh menghampiri Bu Song.
"Bu Song, kau lihat aku!"
Bu Song mengangkat mukanya. Anak ini menggigit bibir menahan air mata dan memandang suhunya dengan mata tajam.
"Ketika aku bicara dengan Beng-kauwcu, kenapa kau lalu pergi meninggalkan aku tanpa pamit? Apakah kau sudah bosan ikut gurumu?"
Bu Song menggeleng kepalanya. "Teecu tidak bosan, akan tetapi teecu tidak mau bertemu dengan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan."
"Hehh...?? Kau tahu nama Beng-kauwcu? Mengapa kau tidak mau bertemu dengannya?" Kim-mo Taisu benar-benar tertarik dan merasa heran.
"Karena... karena... dia adalah Kong-kong (kakek) teecu...."
"Apa kau bilang?!" Kim-mo Taisu melangkah maju mendekati muridnya, lalu berjongkok agar dapat memandang wajah muridnya baik-baik. "Dia itu kakekmu? Bu Song, katakanlah siapa nama ayahmu?"
"Ayah teecu Kam Si Ek, akan tetapi teecu tidak mau pulang..., juga teecu tidak mau ikut Kong-kong, teecu hendak mencari ibu...."
Jantung Kim-mo Taisu bedebar-debar keras, lalu ia memeluk Bu Song. "Ah, mengapa ada peristiwa begini kebetulan? Bu Song... jadi kau anak Lu Sian dan Kam Si Ek...??"
Bu Song meronta dari pelukan suhunya, memandang dengan mata tebelalak. "Suhu mengenal Ayah dan Ibu?"
"Anak baik, tentu saja aku mengenal mereka!"
"Kalau begitu maaf, teecu tidak dapat ikut Suhu lagi." Anak ini lalu membalikkan tubuhnya dan lari.
Akan tetapi dengan tiga kali lompatan saja Kim-mo Taisu sudah menangkap tangannya. "Kenapa?"
"Teecu tidak mau Suhu kembalikan teecu ke rumah Ayah atau Kong-kong. Teecu hendak mencari ibu."
Kim-mo Taisu mengangguk-angguk. "Baiklah, Bu Song. Aku tidak akan mengantarmu kepada ayah dan kakekmu. Kau ikut saja dengan kami dan kelak kubantu kau mencari Ibumu."
Kembali ia menghela napas karena teringat akan cerita Pat-jiu Sin-ong Liu Gan bahwa Liu Lu Sian telah meninggalkan suami dan putera, malah telah melakukan hal-hal yang luar biasa di dunia kang-ouw, telah mencuri kitab-kitab dari Beng-kauw sendiri. Sungguh aneh, mengapa secara kebetulan sekali putera Liu Lu Sian menjadi muridnya? Pantas saja begitu berjumpa dengan anak ini, timbul rasa sayang di hatinya. Kiranya anak ini darah daging Lu Sian! Diam-diam ia menjadi girang sekali dan berjanji kepada diri sendiri untuk mengimbangi Bu Song seperti puteranya sendiri.
Maka turunlah mereka berempat dari puncak dengan wajah bahagia. Tangan Kim-mo Taisu tak pernah dilepaskan oleh isterinya, yang kadang-kadang mengucurkan air mata sambil tersenyum-senyum memandangi wajah suaminya yang dirindukannya selama bertahun-tahun. Mereka bergandeng tangan sambil bercakap-cakap menceritakan pengalaman masing-masing selama berpisah. Eng Eng yang sifatnya lincah itu pun menggandeng tangan Bu Song diajak balapan lari atau diajak memetik bunga dan mengejar kupu-kupu di sepanjang jalan, tentu saja sambil tertawa-tawa.
Secara singkat Kim-mo Taisu menceritakan pengalamannya sejak keluar dari Neraka Bumi, pengalaman yang penuh kesengsaraan dan kepahitan sehingga membuat isterinya makin sayang kepadanya. Khu Gin Lin ikut mengucurkan air mata mendengar betapa suaminya menyesali diri sendiri sampai menjadi seperti seorang jembel gila.
Kemudian tiba gilirannya untuk bercerita. Seperti telah diceritakan oleh mendiang Ang-siauw-hwa atau Khu Kim Lin kepada Kwee Seng, Gin Lin dan Kim Lin adalah anak kembar dari seorang pangeran bernama Khu Si Cai, seorang Pangeran Kerajaan Tang. Khu Si Cai ini adalah adik ipar Raja Muda Couw Pa Ong yang terkenal. Ketika terjadi perang yang mengakibatkan tumbangnya Kerajaan Tang, keluarga Kaisar dan para bangsawan menjadi korban. Tak terkecuali keluarga Pangeran Khu yang ikut terbasmi.
Sepasang bocah kembar yang baru berusia lima tahun itu dapat diselamatkan oleh seorang pelayan, dibawa lari ke luar pada saat istana pangeran itu diserbu musuh dan dibakar. Dalam pelarian ini mereka bertemu keributan perang sehingga akhirnya Khu Gin Lin terlepas dari gandengan tangan pelayannya membuat ia terpisah dari saudara kembarnya. Anak ini menangis sambil lari ke sana kemari, jatuh bangun ditabrak orang-orang yang sedang melarikan diri dari perang.
Akhirnya ia jatuh pingsan di tengah jalan hampir saja diinjak-injak orang yang sedang panik itu kalau saja tidak ditolong oleh seorang tosu (pendeta To) yang kebetulan lewat. Tosu ini sudah tua sekali, mukanya pucat dan melihat seorang anak perempuan menggeletak di jalan, hampir terinjak-injak, cepat ia menyambarnya dan membawanya pergi cepat-cepat.
"Tosu itu adalah Kwan Cin Cun, seorang tokoh Thian-san-pai yang terkenal sebagai seorang patriot pembela Kerajaan Tang, sahabat baik dari Paman Sin-jiu Couw Pa Ong," demikian Gin Lin melanjutkan ceritanya. "Dia tidak tahu bahwa aku adalah keponakan Couw Pa Ong. Seperti juga Pamanku itu yang terluka hebat, dan malah menjadi lumpuh kedua kakinya, Suhu Kwan Cin Cu juga terluka parah di sebelah dalam dadanya, luka yang tak mungkin dapat disembuhkan lagi karena ia telah terkena pukulan beracun yang hebat. Dia membawaku ke Neraka Bumi dan kebetulan sekali saat itu musim kering sehingga lebih mudah memasuki Neraka Bumi. Neraka Bumi sebetulnya adalah tempat bertapa kakek gurunya, yaitu sucouw (kakek guru) dari Thian-san-pai, tempat rahasia yang hanya diketahui oleh Suhu Kwan Cin Cu. Aku dibawa ke tempat itu, lalu ia melatihku membaca kitab dan juga dasar-dasar ilmu silat. Sayang sekali, ketika aku berusia dua belas tahun, Kwan Suhu meninggal dunia karena lukanya yang memang hebat sekali."
"Hemm, seorang sakti seperti dia, mengapa menyembunyikan diri dan tidak mau keluar lagi?" Kim-mo Taisu mencela.
"Dia sudah putus harapan. Katanya kepadaku, dari pada keluar dari Neraka Bumi melihat negeri dijajah orang, lebih baik ia bersembunyi dan bertapa sampai mati. Selama mendidikku, ia menanamkan kesan betapa buruknya dunia, betapa jahatnya manusia, betapa berbahayanya hidup seorang gadis muda. Oleh karena itulah maka aku lalu membuat kedok nenek-nenek dan tak pernah mau keluar dari Neraka Bumi, sampai... sampai.... Thian membawamu masuk ke sana dan... dan... lahirnya Eng Eng." Jari-jari tangan Gin Lin mencengkeram jari-jari tangan suaminya dan keluarlah getaran-getaran kasih dari jari tangan mereka.
Ketika mereka berempat tiba di rumah kediamannya Couw Pa Ong, ternyata kakek lumpuh itu telah berada di situ, bahkan berdiri menanti di depan pintu. Bu Song memandang dengan kagum dan juga serem kepada kakek sakti itu. Ada pun Kim-mo Taisu segera maju dan memberi hormat dengan kikuk. Sebagai tokoh kang-ouw, ia enggan memberi hormat berlebihan, akan tetapi mengingat bahwa orang ini paman isterinya, tidak enak pula kalau tidak memberi hormat.
Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong tertawa bergelak, kelihatannya girang sekali. "Sudahlah, tidak perlu banyak sungkan, kita orang sendiri. Ha-ha-ha! Alangkah girang hatiku mendapat kenyataan bahwa suami keponakanku adalah Kim-mo Taisu! Sungguh menyenangkan, ini berarti bahwa Dinasti Kerajaan Tang masih belum saatnya lenyap dari permukaan bumi! Kim-mo Taisu, dengan adanya engkau sebagai keluarga kami, maka kekuatan untuk memulihkan kekuasaan Kerajaan Tang menjadi makin besar.”
"Maaf, Ong-ya, eh... Paman, akan tetapi saya sama sekali tidak ada minat untuk memikirkan soal kerajaan, saya tidak akan ikut-ikut...."
"Ha-ha-ha, coba saja kita sama-sama lihat! Aku Kong Lo Sengjin adalah seorang buronan, dicap sebagai musuh kerajaan yang sekarang berkuasa. Juga isterimu dianggap sebagai anggota pemberontak, keluarga bekas Kerajaan Tang. Kalau isterimu dimusuhi, apakah kau sebagai suaminya tidak?"
Kim-mo Taisu mengerutkan keningnya. "Kalau begitu, saya akan ajak isteri, anak dan murid saya untuk menjauhkan diri, mengungsi di tempat sunyi, hidup mengasingkan diri di tempat aman tenteram."
Keng Lo Sengjin membanting-banting tongkatnya ke atas tanah. "Gin Lin! Kau dengar kata-kata suamimu? Apa kau sudah lupa lagi akan keluarga Ayah Bundamu yang terbasmi?"
"Paman, harap bersabar. Aku akan mengikuti suamiku ke mana pun juga ia pergi. Tentang sakit hati keluarga, sampai mati pun keponakanmu ini tidak akan lupa."
"Haaahhh, pergilah...!" Mulutnya bilang begitu akan tetapi kakek ini sendirilah yang pergi jauh dari rumah itu, dengan gerakan cepat sekali, berloncat-loncatan menggunakan kedua ‘kakinya’ yang berupa sepasang tongkat.
Gin Lin lalu berbenah, dibantu oleh tiga orang pembantu rumah tangga yaitu A-kwi, A-liong, dan Sam-hwa yang ternyata bukanlah pembantu rumah tangga sembarangan, karena ketiga orang ini adalah bekas-bekas panglima pembantu Kong Lo Sengjin ketika kakek ini masih menjadi Raja Muda Sin-jiu Couw Pa Ong! Setelah selesai, dengan terharu Gin Lin berpamit dari tiga orang pembantu ini. Mereka pun kelihatan terharu, apalagi Sam-hwa yang menangisi kepergian Eng Eng yang ia anggap sebagai cucunya.
"Harap kalian bertiga jangan terlalu sedih," akhirnya Gin Lin berkata. "Betapa pun juga, waktu akan membawa kita berkumpul dalam perjuangan yang sama," kata-kata ini agaknya menyadarkan mereka dan berserilah wajah mereka, malah mereka mengantar keluarga itu sampai jauh ke luar hutan.
Setelah mereka berpisah, Kim-mo Taisu bertanya apa artinya ucapan isterinya ketika berpisah tadi.
Gin Lin menarik napas panjang. "Mereka itu adalah bekas panglima dan pejuang pembela Kerajaan Tang. Seperti juga Paman dan aku sendiri, kita kehilangan keluarga, menyaksikan betapa keluarga terbasmi habis, betapa kerajaan runtuh diobrak-abrik dan dirampok, diperkosa, dihina oleh musuh. Anehkah kalau di lubuk hati kita masing-masing terpendam perasaan dendam yang tak dapat dipadamkan sebelum Kerajaan Tang bangkit kembali? Kakek sudah berusaha keras, dan dengan kawan-kawan seperjuangan telah berhasil menjatuhkan Kerajaan Tang Muda, akan tetapi hanya berhasil mempertahankan selama tiga belas tahun saja, dan Kerajaan Tang Muda kembali jatuh di tangan musuh yang mendirikan Kerajaan Cin Muda. Ah, sebelum Kerajaan Tang bangkit kembali seperti dahulu, agaknya hati kita masih akan tetap mengandung dendam."
Kim-mo Taisu mengangguk-angguk, akan tetapi tidak menjawab apa-apa. Baginya, perasaan dendam itu tidak ada dan tak dapat ia merasakan atau mengerti apa yang diutarakan isterinya itu, karena ia sendiri tidak pernah melibatkan diri dengan urusan negara.
"Yang terpenting kita mendidik Eng Eng dan Bu Song," akhirnya ia berkata. "Dan kalau kita terlibat urusan perang, bagaimana kita mampu mendidik anak-anak itu? Mari kita pergi ke tempat yang tenteram dan jauh dari pada keributan."
"Ke manakah? Asal jangan ke Neraka Bumi!" Gin Lin berkata dan meremang bulu tengkuknya kalau ia membayangkan betapa puterinya harus hidup di neraka itu!
"Tempat yang baik dan berjasa," Kim-mo Taisu berkata sambil melamun.
"Ihhh, neraka itu kau anggap baik?"
Suaminya tersenyum dan memegang tangan si Isteri. "Kalau tidak ada Neraka Bumi, bagaimana kita bisa saling berjumpa?"
Gin Lin menjadi merah sekali mukanya, ia membuang senyum dan berkata, "Sudahlah, ke mana kita sekarang pergi?"
"Ke Min-san!"
Selama tinggal di Neraka Bumi dan ditinggal mati Kwan Cin Cu, Gin Lin membaca kitab-kitab dan banyak tahu akan teori ilmu silat sambil melatih diri sedapatnya. Biar pun kurang sempurna karena kurang bimbingan, namun dia telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi juga, maka dalam perjalanan jauh itu mereka tidak mengalami banyak kesulitan. Apabila mereka melalui jalan yang sukar, Gin Lin menggendong puterinya sedangkan Kim-mo Taisu menggandeng tangan Bu Song atau kadang-kadang juga memondongnya.
Setelah melakukan perjalanan beberapa bulan lamanya, akhirnya mereka sampai juga ke Puncak Min-san di mana Kim-mo Taisu lalu membangun sebuah pondok sederhana untuk tempat tinggal mereka, jauh dari pada dunia keramaian. Mulai saat itu, Bu Song dan Eng Eng menerima gemblengan dari Kim-mo Taisu dan isterinya. Akan tetapi oleh karena Bu Song masih saja kukuh tidak mau mempelajari ilmu silat, maka hanya Eng Eng saja yang menerima latihan ilmu silat, sedangkan Bu Song mendapat pelajaran ilmu sastra.
Seperti kita ketahui, Kim-mo Taisu Kwee Seng ini dahulu adalah seorang mahasiswa yang tak pernah lulus dalam ujian. Biar pun ia lebih gemar ilmu silat, namun sesungguhnya ia bukanlah seorang yang bodoh dalam ilmu sastra. Tidak, bahkan ia amat pandai. Hanya pada masa itu, untuk dapat lulus dalam ujian tidaklah mudah. Nafsu korupsi sudah menjadi penyakit wabah yang menyerang seluruh pembesar yang berhak memeriksa ujian. Jangan harap seorang mahasiswa akan dapat lulus dalam ujian bila tanpa memberikan uang sogokan. Kim-mo Taisu Kwee Seng adalah seorang yang berjiwa pendekar, tentu saja ia tidak sudi untuk melakukan penyuapan. Tidak mau ia lulus ujian dengan cara menyogok, inilah yang membuat ia gagal terus dalam ujian.
Karena memang pandai dalam ilmu sastra, tentu saja ia dapat mengajarkan ilmu itu kepada Bu Song. Akan tetapi, di samping ilmu menulis dan membaca sajak ini, diam-diam Kim-mo Taisu menurunkan pelajaran dasar-dasar ilmu silat yang secara cerdik ia masukkan ke dalam pelajaran yang ia sebut ilmu kesehatan dan ilmu pengobatan. Dalam diri Bu Song memang terdapat bakat istimewa, maka segala macam pelajaran dapat ia terima dengan mudah. Bahkan dalam latihan semedhi dan peraturan napas penyaluran jalan darah, ia jauh lebih maju dari pada Eng Eng.
Bertahun-tahun keluarga ini hidup bersunyi, hanya bertetangga penduduk gunung yang tinggal di lereng Min-san. Hanya sepekan sekali keluarga ini dapat bertemu orang, karena penduduk tidak ada yang berani naik ke puncak yang sukar itu. Namun mereka hidup penuh ketenteraman dan kebahagiaan.
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Liu Lu Sian, maka agar jalan ceritera dapat lancar, marilah kita mengikuti perjalanan tokoh wanita kita ini. Di dalam jilid dua telah dituturkan betapa dalam kemarahannya, Lu Sian membunuh kekasihnya sendiri, yaitu Hui-kiam-eng Tan Hui, lalu membunuhi pula atau setidaknya membikin luka berat sembilan orang piauwsu yang ia anggap sebagai gara-gara pertengkarannya dengan Tan Hui.
Setelah ikatan asmara yang mesra dengan Tan Hui selama kurang lebih dua bulan, kini kembali Lu Sian bebas seperti burung liar yang terbang melayang di udara. Agak menyesal hatinya bahwa ia terpaksa harus membunuh Tan Hui, laki-laki yang cukup menyenangkan hatinya. Akan tetapi di samping kekecewaan dan penyesalannya itu, terselip rasa bangga dan girang bahwa ia kini telah mewarisi ilmu ginkang dari kekasihnya itu, yaitu Ilmu Coan-in-hui (Terbang Menerjang Mega). Ginkang ini jauh lebih hebat dari pada ginkang yang pernah ia pelajari. Dengan hati gembira, lupa lagi akan kematian kekasihnya, Lu Sian berlari-lari secepat terbang menggunakan Coan-in-hui.
Selagi ia berlompatan melalui perjalanan yang amat sukar di lereng bukit, tiba-tiba ia melihat sebuah benda bergerak-gerak jauh di depannya. Lu Sian kaget seketika melihat bahwa benda itu bukan lain adalah sebuah bantal atau karung yang dapat berlompatan cepat sekali. Ia mengenal benda ajaib ini karena di dalam rumah Raja Pengemis, benda ini telah menolongnya ketika ia berada dalam bahaya. Maka ia lalu mengerahkan tenaga dan cepat mengejar. Karena kini ginkang-nya memang sudah mulai mahir, gerakannya seperti burung walet menyambar-nyambar dan biar pun gerakan benda ajaib itu juga amat cepat, namun setengah jam kemudian ia berhasil memperdekat jarak di antara mereka.
Akan tetapi benda itu terus berloncatan, seakan-akan melarikan diri, melompati jurang dan mendaki bukit itu. Lu Sian merasa heran. Tak salah lagi, pastilah benda itu terisi orang, akan tetapi mengapa begitu kecil? Apakah seorang anak kecil? Tidak mungkin rasanya. Masa seorang anak kecil memiliki kepandaian sehebat itu? Orang tua pun akan sukar bergerak sedemikian cepatnya kalau bersembunyi di dalam karung.
"Lo-cianpwe, tunggu! Aku mau bicara!" serunya. Namun bantal itu malah makin cepat bergerak maju berloncatan.
Lu Sian menjadi gemas. “Biar pun kau hendak lari ke langit, masa aku tidak mampu mengejarmu?” demikian pikirnya dan ia mengejar terus.
Akhirnya benda itu tiba di puncak sebuah bukit kecil dan Lu Sian telah dapat menyusulnya. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam benda itu, "Waduh, waduh..., habis napasku...! Terlalu sekali, mengejar orang terus-terusan. Aku terima kalah!"
Setelah terdengar suara ini, bantal itu pecah dan muncullah seorang kakek yang pendek kecil berjenggot panjang berkepala besar. Tubuhnya pendek seperti kanak-kanak berusia sepuluh tahun, akan tetapi melihat kepala yang besar dan penuh kumis dan jenggot itu, jelas dia seorang kakek yang sudah tua sekali! Napasnya mengkas-mengkis (terengah-engah), dan begitu keluar dari dalam karung, ia seperti tidak melihat Lu Sian, melainkan memandang ke kanan kiri dengan wajah ketakutan, seperti mencari sesuatu.
Lu Sian menahan senyumnya, lalu menjura dan berkata, "Kakek lucu, mengapa kau bersembunyi dalam bantal dan mengapa pula lari terbirit-birit?"
Dengan napas masih tersengal-sengal kakek itu menyusut peluh di dahinya, lalu berkata cemberut, "Kenapa kau mengejar-ngejarku terus? Huh, tentu saja aku kalah napas. Coba aku masih muda, ilmu ginkang Coan-in-hui itu mana mampu mengejarku?"
"Kakek yang baik, harap jangan marah. Aku mengejarmu untuk menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu di rumah Kai-ong."
"Sudahlah, apa kau melihat Bu Kek Siansu?" tiba-tiba kakek itu bertanya dan kembali matanya jelalatan ke kanan kiri, pada wajahnya tersirat ketakutan.
Lu Sian adalah seorang wanita yang cerdik sekali. Melihat lagak kakek ini ia dapat menduga, bahwa biar pun kakek ini seorang sakti, namun ada yang ditakuti. Dan agaknya Bu Kek Siansu yang amat ditakuti. Tentu saja ia pernah mendengar nama Bu Kek Siansu. Siapa pun orangnya yang berkecimpung dalam dunia kang-ouw, pasti pernah mendengar nama itu, biar pun jarang sekali yang dapat bertemu muka dengan manusia dewa yang sakti itu. Maka ia tidak menjawab, melainkan berkata, "Sekarang tidak melihatnya, akan tetapi siapa tahu gerak-gerik manusia dewa itu? Eh, Kakek, siapakah kau dan mengapa bertanya tentang Bu Kek Siansu?"
"Aku... aku jijik bertemu dengannya!" jawabnya dan kakek itu mengangkat muka dan membusungkan dadanya yang tipis. "Mau tahu siapa aku? Bocah, dengar baik-baik supaya jangan terjungkal karena kaget. Akulah Bu Tek Lojin!"
Belum pernah Lu Sian mendengar nama ini. Ia menganggap orang ini selain lucu juga agak sombong. Baru namanya saja Bu Tek (tidak terlawan)! "Biar kau tidak terlawan, akan tetapi lariku lebih cepat dari pada larimu."
"Huh, bocah masih bau air susu! Kau sombong. Apakah ayahmu, si gila Pat-jiu Sin-ong Liu Gan itu datang bersamamu?"
"Kalau aku panggil dia, tentu ayah datang!" jawab Lu Sian, sengaja mempergunakan nama ayahnya untuk menakuti orang. Ia percaya bahwa nama ayahnya cukup disegani kawan ditakuti lawan, buktinya Si Raja Pengemis yang lihai itu pun kuncup hatinya mendengar bahwa ia puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
"Ho-ho-ho-hoh! Lekas panggil ayahmu datang. Dia ditambah kau ditambah seorang lawan lagi, akan kupermainkan seperti... seperti... seperti...."
"Seperti apa?" Lu Sian sudah marah, mendongkol hatinya mendengar dia dan ayahnya dipandang ringan.
"Seperti ini!" Kakek itu lalu menggunakan ujung kakinya mencongkel sebuah batu dan... batu itu mencelat terbang ke atas, padahal batu itu besar dan amat berat. "Nah, ini engkau. Dan ini Ayahmu!" ia mencongkel sebuah batu lain yang lebih besar ke atas seperti tadi. "Dan yang ke tiga ini kawan ayahmu!" Batu ke tiga mencelat ke atas dan kini tiga buah batu besar itu melayang turun berturut-turut akan menimpa kepala si Kakek Cebol.
Akan tetapi kakek itu menggerakkan kedua tangannya dengan telapak menghadap ke atas dan... tiga buah batu itu bermain-main di udara, bergerak ke atas dan ke bawah, tak pernah menyentuh telapak tangan kakek itu, seakan-akan ada hawa yang berkekuatan luar biasa menahan dan mempermainkan tiga buah batu itu.
Lu Sian melongo. Ia maklum bahwa itu adalah permainan tenaga sinkang. Akan tetapi untuk dapat mempermainkan tiga batu besar seperti itu, benar-benar membutuhkan tenaga sinkang yang hebat luar biasa. Kakek ini sakti sekali dan ternyata kesombongannya bukan kosong belaka.
"Nah, kalian bertiga bisa apa terhadapku?" Ia lalu membuat gerakan dengan tangannya lalu membentak, "Turun!"
Heran sekali. Tiga buah batu itu bertumpang-tindih bersusun tiga, lalu perlahan-lahan turun ke atas tanah seperti dipegang tangan yang kuat, turunnya pun perlahan-lahan dan tidak menimbulkan debu. Akan tetapi begitu kakek itu melompat mundur, tiga buah batu yang tersusun itu hancur berantakan!
Lu Sian menelan ludah. Hebat bukan main. Timbul keinginannya memperoleh ilmu dari kakek sakti ini, maka ia cepat menjura sambil memuji. "Wah, hebat sekali kepandaian Lo-cianpwe!"
Kakek itu kelihatan girang dan bangga, lalu bertolak pinggang membusungkan dada. Matanya mengedip-ngedip dan hidungnya bergerak-gerak dengan ujung hidung yang mekar! "Nah, maka kau jangan main-main dengan Bu Tek Lojin! Aku pesan kepadamu, dan temannya-temanmu, apabila suling emas terjatuh ke dalam tangan seorang di antara kalian, harus cepat-cepat serahkan kepada Bu Tek Lojin. Mengerti?"
"Tidak, tidak mengerti." Lu Sian menggeleng kepala.
Kakek itu marah-marah dan mengepal tinjunya, mengamang-amangkan kedua tinjunya di depan hidung Lu Sian. "Kau lihat ini?" bentaknya.
Lu Sian benar-benar merasa ngeri dan takut, dan saking gugupnya ia menjawab sambil mengangguk-angguk. "Aku lihat, dan baunya busuk!" Lu Sian kaget mendengar ucapannya sendiri. Celaka, sifat lincah dan liarnya kumat sehingga ia bicara tanpa dipikir. Ia sudah siap-siap menanti serangan, karena kakek aneh ini tentu marah.
Akan tetapi Bu Tek Lojin malah membawa kedua tangannya ke depan hidungnya sendiri, mencium-cium. Hidungnya dikernyitkan dan ia berkata. "Benar bau tak enak! Habis belum dicuci, berhari-hari bersembunyi dalam karung! Eh, bocah, biar tanganku bau, akan tetapi apakah badanmu lebih keras dari pada batu tadi?"
"Maaf Kek, aku benar-benar tidak mengerti. Apa sih yang kau maksudkan dengan suling emas?"
"Wah, ketanggor (melanggar batu) aku sekali ini! Kau benar bocah hijau tak tahu apa-apa. Pat-jiu Sin-ong Liu Gan agaknya tidak pernah memberi pengertian kepada bocah ini! Suling Emas adalah pusaka pemberian Bu Kek Siansu kepada Sastrawan Ciu Bun. Sekarang Sastrawan Ciu Bun lenyap, entah mampus atau belum, akan tetapi suling emas itu lenyap, menjadi perebutan orang-orang di dunia. Nah, aku perlu suling itu. Kalau seorang di antara kalian menemukannya, harus diberikan kepadaku. Harus, mengerti?!"
"Tidak, tidak mengerti."
"Tolol! Kau menantang?"
"Tidak, Bu Tek Lojin. Kumaksudkan, aku tidak mengerti mengapa hanya sebuah suling emas saja dijadikan rebutan. Berapa sih harganya suling emas? Agaknya orang-orang kang-ouw sekarang sudah menjadi mata duitan semua!"
Kakek itu tertawa bergelak-gelak, perutnya sampai menjadi keras. Ia memegangi perutnya, tubuhnya ditekuk menjadi lebih pendek lagi. "Ho-ho-ho-hah-hah! Goblok! Sekali goblok tetap tolol. Kau tahu apa? Suling itu menjadi kunci rahasia ilmu kesaktian hebat. Selain itu, emasnya mengandung logam murni yang berasal dari bintang, siapa memegangnya, berarti memegang sebuah senjata yang paling ampuh di dunia ini."
"Ah, begitukah? Baik, nanti kusampaikan kepada ayah dan kawan-kawan lain," kata Lu Sian, akan tetapi di dalam hatinya sudah timbul keinginan untuk memiliki sendiri suling emas itu.
Kakek itu kaget. Biar pun sakti, agaknya ia mudah kaget. "Bocah gendeng, bikin kaget saja, kukira Bu... eh!" Ia menghentikan ucapannya, lalu berseru keras. "Muridku! Kau naik ke sini!"
Karena tidak ingin berurusan dengan kakek itu, Lu Sian berkata, "Bu Tek Lojin, sudahlah, aku minta diri, hendak melanjutkan perjalananku."
"Eh, nanti dulu, kau jumpai muridku yang baik!"
“Hemm, segala murid anak kecil disuruh menjumpai,” pikir Lu Sian. Akan tetapi tidak enak kalau membantah dan membuat marahnya kakek sakti ini, maka ia berdiri menanti.
"Bocah tolol, tidak lekas-lekas naik? Kalau habis sabarku, kujewer telingamu sampai copot!" teriak kakek itu marah-marah.
Diam-diam Lu Sian merasa kasihan kepada bocah murid kakek yang demikian galak ini.
"Teecu datang, Suhu!" terdengar teriakan dari jauh, akan tetapi mendadak berkelebat bayangan dan tahu-tahu di situ berdiri seorang laki-laki yang tubuhnya juga agak cebol gemuk, kepalanya botak dan jenggotnya juga panjang!
Hampir Lu Sian tak dapat menahan ketawanya. Yang disebut bocah dan ia sangka kanak-kanak ini tidak tahunya juga seorang laki-laki yang sudah tua, malah panjang jenggotnya, laki-laki yang seperti juga gurunya, berpakaian tidak karuan dan bertelanjang kaki. Orang botak itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.
"Kalisani, hayo kau lawan perempuan ini untuk ujian. Dia puteri Pat-jiu Sin-ong, cukup untuk kau pakai berlatih!"
Kalisani, murid Bu Tek Lojin yang kita kenal sebagai bekas Panglima Khitan itu segera bangkit berdiri memandang Lu Sian, lalu menjura. "Nona, Suhu sudah memerintah kepadaku, terpaksa kuharap Nona suka melayaniku barang sepuluh jurus!"
Setelah berkata demikian, ia memasang kuda-kuda seperti orang hendak membuang air, karena ia berjongkok sampai rendah sekali dan mukanya menahan napas sampai merah seperti orang sakit perut! Kuda-kuda ini lucu sekali.
Seandainya Lu Sian belum menduga bahwa lawan aneh ini seorang yang tak boleh dipandang ringan, tentu ia tidak dapat menahan ketawanya. Lu Sian sendiri memiliki watak aneh, keras hati dan tidak mau kalah. Sekarang ia ditantang terang-terangan. Biar pun ia tahu bahwa kepandaian Bu Tek Lojin jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya, namun ia tidak takut. Apa pun yang akan terjadi ia harus memperlihatkan kepandaiannya. Oleh karena itu, melihat Kalisani sudah memasang kuda-kuda, ia berseru keras, "Orang hutan, jaga seranganku!"
Tubuhnya bergerak cepat sekali dan ia menerjang maju, langsung mengirim tendangan dengan ujung sepatunya ke arah leher orang yang berjongkok di depannya. Ketika lawannya melompat ke belakang sambil mengulur tangan dengan maksud menangkap kakinya yang menendang, Lu Sian menarik kakinya dan tubuhnya condong ke depan, langsung tangan kanannya menghantam dada sedangkan tangan kiri dengan dua jari tangan menusuk ke arah mata. Inilah jurus dari Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ular Sakti) yang amat berbahaya dan ganas.
Akan tetapi Kalisani bukanlah seorang yang masih hijau. Sebelum menjadi murid Bu Tek Lojin, ia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan menjadi panglima tua di Khitan. Tentu saja ia tidak dapat dikalahkan dengan mudah, dan jurus yang berbahaya ini dengan amat mudahnya dapat ia hindarkan dengan cara melompat ke kanan. Malah ia segera membalas serangan lawan dengan pukulan keras dari kanan.
Melihat lawannya juga dapat bergerak dengan gesit sekali, Lu Sian makin bersemangat. Ia mengelak dari pukulan itu dan balas menerjang ganas sambil mengerahkan ginkang-nya dan terus mainkan Ilmu Silat Ular Sakti yang memiliki jurus-jurus ganas dan berbahaya. Berkat ginkang Coan-in-hui yang ia pelajari dari Tan Hui, kini permainan Ilmu Silat Tangan Kosong Ular Sakti menjadi berlipat ganda lebih lihai dari pada sebelum ia memiliki ginkang itu.
Diam-diam Kalisani terkejut sekali. Sedikit pun juga ia tidak mengira bahwa lawannya begini hebat. Tadi ketika ia disuruh suhunya menandingi Lu Sian, ia merasa ragu-ragu dan tidak enak hati. Dia seorang yang sudah tua dan berpengalaman banyak, pula memiliki ilmu silat tinggi. Bagaimana harus melawan seorang wanita muda? Akan tetapi karena suhunya yang memberi perintah, tentu saja ia tidak berani membantah. Ia tadinya hendak berjaga diri saja dan sedapat mungkin mengalahkan wanita ini dengan lunak, karena Kalisani bukanlah seorang pria yang suka menghina atau menyakiti hati wanita.
Siapa kira, kini menghadapi desakan Lu Sian, ia menjadi bingung dan pandang matanya kabur. Demikian cepatnya wanita ini bergerak! Maka ia lalu tidak sungkan-sungkan lagi, cepat ia pun mainkan ilmu silatnya dan mengerahkan tenaga dalam pada kedua lengannya, mempercepat gerakannya. Alangkah herannya ketika beberapa kali lengan mereka saling bertemu, wanita itu tidak roboh atau mencelat, bahkan dia sendiri merasa betapa hawa pukulan yang amat kuat menggetarkan lengannya! Maklumlah ia kini bahwa biar pun masih muda wanita yang pantas menjadi lawannya ini lihai sekali. Pantas saja suhunya mengatakan bahwa wanita ini cukup tangguh untuk diajak berlatih ilmu silat!
Dengan ilmu ginkang Coan-in-hui, Lu Sian benar-benar dapat menguasai lawannya. Ia menang cepat dan sudah tiga kali tangannya berhasil menyerempet tubuh lawan, malah satu kali ia berhasil memukul pundak Kalisani. Akan tetapi tubuh lawannya kebal dan pukulan itu hanya membuat Kalisani terhuyung-huyung sebentar, maka ia berlaku amat hati-hati dan mencari kesempatan untuk dapat memukul tepat. Lu Sian sengaja mempermainkan lawan dengan kecepatannya untuk mengacaukan pertahanannya.
"Bocah tolol! Segala macam ilmu cakar bebek dari Khitan itu mana mampu menghadapi Sin-coa-kun dari Beng-kauw? Tolol! Kau muridku, mengapa tidak menggunakan pelajaran dariku?" Bu Tek Lojin marah-marah, mencak-mencak dan memaki-maki.
Kalisani memang tidak mau mempergunakan ilmu simpanannya yang ia pelajari dari Bu Tek Lojin. Ilmu itu ada tiga macam, yaitu Ilmu Khong-in-ban-kin (Awan Kosong Selaksa Kati) yang merupakan penghimpunan tenaga sinkang yang luar biasa, ke dua adalah Khong-in-liu-san yang merupakan ilmu serangan yang luar biasa hebatnya, dan ke tiga adalah Ilmu Silat Kim-lun-sin-hoat (Ilmu Sakti Roda Emas), semacam ilmu silat yang dapat dimainkan dengan tangan kosong, akan tetapi lebih tepat dengan gelang atau roda emas yang ia terima sebagai tanda mata dari Tayami!
Ilmu-ilmu ini ia tahu amat hebat, maka ia tidak tega untuk mempergunakannya terhadap Lu Sian yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak ada permusuhan dengannya. Kini mendengar seruan gurunya, baru ia ingat. Akan tetapi terlambat. Sebelum ia sempat mempergunakan ilmu itu, sebuah hantaman Lu Sian mengenai lehernya, membuat Kalisani terlempar dan bergulingan, kemudian terbentur pohon dan rebah telentang dengan mata mendelik. Pingsan!
"Uuhhh, tolol, mencari mampus!" Bu Tek Lojin marah dan mendongkol sekali melihat ‘jagonya’ keok. Ia lompat mendekat, dan dua kali menotok leher dan punggung, muridnya sudah merangkak bangun lagi. "Hayo maju lagi, kalau kau tidak bisa menang kulemparkan kau ke dalam jurang!" bentaknya. Memang kakek ini memiliki watak yang luar biasa sekali, sama sekali ia tidak pernah mau mengaku kalah terhadap siapa pun juga.
"Bu Tek Lojin, aku tidak hendak bermusuh!" kata Lu Sian, mendongkol juga karena sudah jelas ia menang, mengapa kakek ini nekat menyuruh muridnya maju lagi? "Aku tadi melayani hanya untuk membuktikan bahwa bukan muridmu saja yang memiliki kepandaian di kolong jagad ini. Sekarang aku tidak ada waktu lagi."
"E-e-eh, nanti dulu! Siapa bilang muridku kalah? Tadi ia sengaja mengalah, kau tahu? Kalisani, hayo maju lagi!"
Lu Sian gemas. Orang tua ini harus diberi rasa, pikirnya. Kali ini aku akan memukul mampus muridnya, lihat dia hendak berlagak bagaimana lagi? Maka ia cepat berseru keras dan mendahului Kalisani, menerjang dengan cepat.
Kalisani sudah bersiap sedia. Ia sudah merasakan kehebatan kepandaian lawan, maka sekarang ia cepat merobah gerakannya dan mainkan ilmu silat Kim-lun-sin-hoat dan mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin. Tulang-tulangnya berbunyi berkerotokan, ini tanda bahwa sinkang di tubuhnya telah terhimpun. Sebenarnya, ia belum matang dalam latihan Khong-in-ban-kin, maka tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi. Kalau ia sudah berhasil menghimpun tenaga tanpa tulang-tulangnya berbunyi, barulah ilmunya itu sempurna.....
Akan tetapi sayang, pendekar ini sudah terlalu tidak memperhatikan diri lagi sehingga ia tidak memiliki pedang mau pun kipas, hanya mengandalkan tangan kaki dan kalau perlu ia mempergunakan cabang sebagai pedang. Tentu saja tidak bisa sehebat pedang tulen, apalagi kalau sedang menghadapi lawan tangguh. Karena tidak ada pedang, kini ia gantikan dengan sebatang kayu, sedangkan tangan kirinya karena tidak bisa mendapatkan kipas, lalu ia robah menjadi ilmu pukulan yang mendatangkan angin.
Betapa pun juga Kim-mo Taisu tetap terdesak. Pada saat ia sibuk mengelak dan menangkis desakan pukulan Ma Thai Kun dan pedang serta tongkat Pouw Kee Lui, tiba-tiba tanpa mengeluarkan suara, cambuk hitam di tangan Ban-pi Lo-cia telah membelit pinggangnya! Kim-mo Taisu terkejut sekali. Dahulu ketika bertanding melawan Ban-pi Lo-cia, pinggangnya juga pernah terbelit dan ia tidak mampu melepaskan diri begitu saja.
Seperti juga dahulu, ia cepat mengerahkan tenaganya, meminjam tenaga tarikan cambuk, tubuhnya melayang ke arah Ban-pi Lo-cia dan cabang di tangannya menusuk dada sedangkan tangan kirinya menampar kepala! Hebat bukan main serangan ini dan Ban-pi Lo-cia tidak menyangka bahwa lawannya akan melakukan perlawanan senekat ini. Terpaksa ia melepaskan cambuknya yang melibat tubuh lawan dan bergulingan ke belakang!
Memang Kim-mo Taisu juga hanya menggunakan siasat agar terlepas dari libatan cambuk, maka ia tidak mengejar karena pada saat itu, pedang di tangan Pouw Kee Lui sudah menyerangnya dengan ganas sekali, disusul pula hantaman tongkatnya. Kim-mo Taisu cepat menangkis pedang dan tongkat. Oleh dorongan hawa sakti dari tubuh mereka, ketiga senjata ini melekat, saling mengisap dan saling membetot.
Pada saat itu Ma Thai Kun menendang, mengenai belakang lutut Kim-mo Taisu, membuat pendekar ini roboh terguling. Namun cabang liu itu masih menempel pada pedang dan tongkat Pouw Kee Lui. Kini dalam keadaan setengah berbaring, Kim-mo Taisu mempertahankan tekanan kedua senjata Pouw Kee Lui yang hendak menindas atau membikin patah cabang itu di tangannya. Adu tenaga dalam terjadi. Kim-mo Taisu di bawah dan Pouw Kee Lui di atas. Namun perlahan-lahan cabang liu itu terangkat ke atas, menjadi bukti bahwa raja pengemis itu kalah kuat.
Ma Thai Kun sudah melangkah maju. Wajahnya merah dan membayangkan kegirangan hatinya. "Sekarang mampus engkau!" katanya lalu mengirim pukulan Cui-beng-ciang ke arah kepala Kim-mo Taisu!
Kagetlah pendekar ini. Karena senjatanya masih saling lekat dengan senjata si Raja Pengemis, maka tak mungkin ia mengelak lagi dalam ke adaan setengah terbaring itu. Terpaksa ia lalu menggerakkan tangan kirinya, mengerahkan tenaga sakti dan menggunakan Ilmu Tangan Kapas Sakti untuk menangkis.
"Plakk!" kembali kedua tangan itu lekat satu kepada yang lain sehingga kini dalam keadaan setengah terbanting itu Kim-mo Taisu harus menahan tekanan kedua orang lawan dengan kedua tangannya! Keadaannya menjadi berbahaya sekali karena Ban-pi Lo-cia sudah tertawa-tawa sambil mengayun cambuknya untuk menghantam lawan yang sudah tak dapat menghadapinya lagi itu.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa terbahak-bahak disusul ucapan nyaring. "Ha-ha-ho-ho! Setelah mendurhakai Beng-kauw, kau masih berani bersekongkol dengan segala macam penjahat? Benar-benar memalukan sekali!" Dan muncullah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang dengan langkah lebar menghampiri tempat pertandingan itu.
Bukan main kagetnya hati Ma Thai Kun melihat datangnya bekas suheng-nya ini. Dalam keadaan tangannya lekat pada tangan Kim-mo Taisu, berbahayalah kalau ia diserang, sedangkan ia maklum akan watak suheng-nya yang keras seperti baja dan tidak mengenal ampun. Maka terpaksa ia menarik kembali tenaganya melompat mundur dan dengan mata beringas ia memandang suheng-nya, lalu memaki. "Lui Gan, di antara kita tidak ada hubungan apa-apa lagi, mengapa kau selalu menentang aku?"
"Cerewet! Sebelum menghajar mampus padamu dengan tangan sendiri, hatiku takkan tenteram karena pada suatu saat tentu kau mampus di tangan orang lain dan hal ini sama sekali tidak kukehendaki!"
"Liu Gan, kau benar-benar terlalu!" Ma Thai Kun membentak dan mengirim pukulan sambil mengeluarkan teriakan garang. Pat-jiu Sin-ong tersenyum dan cepat menangkis. Di lain saat kedua orang yang tadinya menjadi kakak beradik seperguruan ini sudah saling hantam dengan seru.
Biar pun sudah ditinggalkan Ma Thai Kun, keadaan Kim-mo Taisu masih dalam bahaya, karena Ban-pi Lo-cia kini sudah mengayun cambuk menghantam kepalanya, sedangkan ia masih setengah berbaring. Akan tetapi tiba-tiba Ban-pi Lo-cia berseru marah, tubuhnya terhuyung ke belakang dan otomatis serangannya tadi tidak dilanjutkan.
"Setan iblis manakah yang berani main-main dengan Ban-pi Lo-cia?!" bentaknya.
Terdengar jawaban nyaring pula, "Setan iblis akulah yang datang, jahanam Khitan. Tempo hari, karena kecurangan dan pengeroyokan terpaksa aku mundur. Sekarang, kau rasakanlah tanganku!" Dan muncullah seorang kakek tua yang rambutnya riap-riapan dan kumisnya panjang, yang ‘berdiri’ bukan di atas kedua kaki melainkan di atas sepasang tongkat yang dipegangnya. Inilah Kong Lo Sengjin atau bekas Raja Muda Kerajaan Tang yang terkenal dengan julukan Sin-jiu Couw Pa Ong!
"Couw Pa Ong! Kau masih belum mampus?" Ban-pi Lo-cia berseru kaget sekali.
Ketika merobohkan Kerajaan Tang dan Couw Pa Ong mengamuk, dia juga ikut mengeroyok dan melihat dengan mata kepala sendiri betapa dalam perang itu Sin-jiu Couw Pa Ong sudah dipukul roboh dan menderita luka hebat, bahkan kedua kakinya sudah tak dapat digunakan lagi. Bagaimana sekarang kakek itu dapat muncul kembali? Ia tahu betul betapa lihainya kakek ini, maka hatinya menjadi gentar. Apalagi ketika tadi melihat munculnya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, kini hatinya sudah tak bernafsu lagi untuk melanjutkan pertandingan.
Ban-pi Lo-cia yang cerdik sudah cepat membuat perhitungan di dalam hati. Ma Thai Kun tentu sukar dapat mengalahkan bekas suheng-nya. Pouw-kai-ong juga agaknya sukar sekali dapat mengatasi Kim-mo Taisu, sedangkan dia sendiri masih ragu-ragu apakah dia akan dapat menangkan Couw Pa Ong, biar pun kakek itu kini sudah lumpuh kedua kakinya.
Melihat gelagat tidak menguntungkan, Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak sambil berkata. "Couw Pa Ong, sekarang di antara kita tidak ada urusan lagi. Biarlah aku pergi saja!" Ia lalu melesat jauh dan pergi dari tempat itu.
"Monyet dari Khitan, kau hendak lari ke mana?" Kakek lumpuh itu lalu mencelat ke depan dan kedua tongkat yang menggantikan kaki itu dapat bergerak dan berlari cepat sekali mengejar Ban-pi Lo-cia.
Melihat seorang kawannya yang boleh diandalkan lari, hati Pouw Kee Lui menjadi gentar. Ia menggunakan kesempatan selagi Kim-mo Taisu memandang kakek lumpuh dengan mata terheran-heran itu untuk meloncat pula dan lari pergi. Kim-mo Taisu tidak mengejar, karena pendekar ini sedang merasa terheran-heran. Sudah lama ia mendengar nama besar Couw Pa Ong dan baru sekarang ia melihat orangnya. Melihat betapa Ban-pi Lo-cia yang kosen itu lari ketakutan bertemu dengan kakek lumpuh ini, ia dapat menduga betapa kakek lumpuh ini tentulah amat lihai, dan ternyata benar dugaannya karena cara kakek ini lari secepat itu dengan sepasang tongkat saja sudah membuktikan kelihaiannya. Dengan Pouw Kee Lui ia tidak mempunyai urusan yang amat penting, maka ia mendiamkan saja raja pengemis itu lari.
Ma Thai Kun berusaha melawan bekas suheng-nya, namun setelah beberapa kali mereka beradu lengan, maklumlah Ma Thai Kun bahwa ia masih belum dapat menandingi bekas suheng-nya. Maka setelah melihat betapa Ban-pi Lo-cia lari, juga Pouw Kee Lui yang dibantunya lari diam-diam, ia mengutuk kecurangan dan sifat pengecut mereka. Ia mengerahkan tenaga, membentak dan menyerang dengan jurus Cui-beng-ciang yang paling hebat. Pat-jiu Sin-ong tertawa mengejek dan menyambut datangnya pukulan itu dengan kekerasan pula. Dua pasang tangan bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Pat-jiu Sin-ong terpental sampai dua tiga meter ke belakang, akan tetapi Ma Thai Kun terguling-guling muntahkan darah segar, melompat kembali dengan muka pucat lalu melarikan diri.
"Kalau belum mampus hatiku belum tenteram!" Pat-jiu Sin-ong mengejar dan sesaat kemudian Kim-mo Taisu berdiri seorang diri di tempat yang kini menjadi amat sunyi itu.
Ia termenung, menghela napas berulang-ulang. “Tadi hampir saja aku menghadapi bahaya maut yang tak terelakkan lagi. Kalau memang Tuhan belum menghendaki aku mati, akhirnya pertolongan datang juga,” pikirnya.
Ia cukup mengenal Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Mustahil kakek ini sengaja menolongnya. Andai kata seorang di antara para pengeroyok bukan Ma Thai Kun, agaknya kakek Beng-kauw itu sulit diharapkan untuk menjadi penolong dan justru akan menikmati kematiannya dalam pengeroyokan. Ikut campurnya Pat-jiu Sin-ong hanya untuk membunuh Ma Thai Kun yang dianggapnya mendurhakai Beng-kauw.
Ada pun kemunculan kakek Couw Pa Ong itu pun agaknya belum tentu karena kakek yang tak dikenalnya itu akan datang membantunya. Semuanya serba kebetulan, dan memang aneh kalau orang belum ditakdirkan mati. Sebetulnya mati bukan apa-apa bagi Kim-mo Taisu, ia sama sekali tidak gentar. Hanya ia akan merasa sayang sekali kalau dalam pertandingan tadi dia yang mati, karena dengan demikian berarti orang-orang macam Ban-pi Lo-cia dan Pouw kai-ong akan makin merajalela, padahal dua orang itu sama sekali tidak ada artinya hadir di dunia ini karena hanya menimbulkan kesengsaraan bagi orang lain!
"Kwee-koko....!"
Kim-mo Taisu terkejut dan tidak bergerak. Ia justru membelalakkan mata. Gila, pikirnya, mengapa tiba-iba ia bermimpi mendengar suara wanita? Tak mungkin ada wanita memanggilnya Kwee-koko dengan suara semerdu itu.
"Kwee-koko....!"
Dengan jantung berdebar Kim-mo Taisu membalikkan tubuhnya dan wajahnya segera berubah, matanya terbelalak, dan mulutnya ternganga ketika ia melihat seorang wanita cantik jelita berdiri di situ, menggandeng seorang anak perempuan berusia kurang lebih sembilan tahun. Wanita itu memandang kepadanya dengan sepasang mata berlinang air mata, sedangkan anak perempuan itu melongo memandangnya dengan telunjuk kiri di mulut, seperti anak terheran-heran.
"Kwee-koko...!" untuk ketiga kalinya wanita itu memanggilnya, suaranya gemetar penuh perasaan. "Mengapa engkau menjadi begini?" Air matanya membanjir turun membasahi sepasang pipinya.
Kim-mo Taisu menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir bayangan itu, namun sia-sia. Tetap saja wanita cantik itu masih berdiri di depannya, wanita cantik yang bukan lain adalah Ang-siauw-hwa. Tapi ini tak mungkin! Ang-siauw-hwa sudah mati, tewas membunuh diri karena perbuatan Ban-pi Lo-cia! Sekali lagi ia memandang dengan teliti. Wajah itu, cantik manis dengan rambut digelung tinggi-tinggi ke atas, ujungnya terjuntai ke belakang, tubuh yang kecil ramping padat itu. Tak salah lagi, dia inilah Ang-siauw-hwa si Kembang Pelacur di Telaga Barat. Tapi Ang-siauw-hwa sudah mati, hal ini ia yakin benar.
"Nona.... Eh, Nyonya.... Siapakah....?" ia bertanya gagap, suaranya juga gemetar karena jantungnya berdebar keras. Kalau wanita ini bukan Ang-siauw-hwa, dan hal ini sudah pasti, maka ia tidak pernah mengenal wanita ini. Mengapa dia memanggilnya Kwee-koko dengan suara begitu mesra?
Wanita itu menunduk dan air matanya terjatuh ke bawah, lalu ia memandang lagi sambil berkata halus, "Kwee-koko, aku adalah Gin Lin...."
"Ah...!" Kim-mo Taisu menepuk dahinya. "Engkau saudara kembar Ang... eh, Khu Kim Lin...?" Ia cepat menahan sebutan Ang-siauw-hwa, karena nama julukan Ang-siau-hwa (Bunga Kecil Merah) adalah nama Kim Lin sebagai seorang pelacur.
Wanita itu mengangguk. "Betul, mendiang Ang-siau-hwa adalah saudara kembarku."
"Apa...? Engkau sudah tahu bahwa dia... eh, dia... bernama Ang-siauw-hwa dan sudah meninggal dunia?"
"Aku tahu karena engkau sendiri yang menceritakan kepadaku...."
"Hehh...?!" Kim-mo Taisu memandang tajam, keningnya berkerut, apalagi melihat wanita itu menyembunyikan senyum manis, senyum membayangkan kegelian hati. Aneh, pikirnya. Jangan-jangan saudara kembar Ang-siauw-hwa ini seorang yang tidak beres otaknya. Tadi menangis sekarang tersenyum, dan menyebut dia kanda Kwee. "Nona, maaf. Mengapa menyebutku Kwee-koko? Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku she Kwee?"
Naik sedu-sedan dari dada wanita itu ketika ia menarik napas panjang. "Kwee-koko, apakah kau tidak mengenal suaraku?"
"Suaramu seperti... seperti suara Ang-siauw-hwa...."
"Ah, alangkah bodohnya kadang-kadang lelaki yang paling pintar di dunia ini! Agaknya tanpa bukti kau takkan mengerti selamanya. Kwee-koko, kau kenalilah aku?"
Wanita itu dengan gerakan cepat mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya, menutupi muka dengan benda itu dan ketika ia menurunkan kedua tangannya, Kim-mo Taisu melompat ke belakang sampai dua meter lebih, berdiri terbelalak dengan muka pucat. Ternyata bahwa nenek penghuni Neraka Buni yang kini berdiri di depannya!
"Kau...?! Kau...?!" ia berkata, suaranya menggigil dan kakinya melangkah maju.
Gin Lin melepas kedoknya dan melemparnya jauh-jauh. "Kwee-koko, apakah kau sekarang mengenalku?" katanya sambil mengembangkan kedua lengannya. "Ah, Kwee-koko, betapa rinduku kepadamu...!"
Kim-mo Taisu berdongak dan tertawa bergelak-gelak, "Kau rindu....? Ah, dan aku.... aku... ah, sampai gila aku memikirkan kau....!"
Bagaikan didorong tenaga mukjijat, keduanya saling tubruk dan saling peluk, lalu berdekapan mesra. Gin Lin menangis terisak-isak sedangkan Kim-mo Taisu masih tertawa-tawa, akan tetapi kedua matanya bercucuran air mata ketika mereka berpelukan dan berciuman. Kemudian kim-mo Taisu mengangkat tubuh Gin Lin dan ia menari-nari sambil berputar-putar memondong tubuh ‘nenek’ itu.
"Ha-ha-ha-ha! Dan aku menjadi seperti gila menyesali perbuatanku!"
Gin Lin mengusap-ngusap rambut yang terurai itu. "Kwee-koko, kenapa kau sampai menjadi begini?"
"Apa? Seperti jembel ini? Ha-ha-ha, agar tepat dengan keadaanmu sebagai seorang nenek-nenek keriputan. Hanya seorang jembel gila yang begitu buta beristerikan seorang nenek. Kau isteriku, ha-ha-ha! Engkau isteriku tercinta!"
Gin Lin memeluk dan mendekap kepala suaminya dengan terharu sambil menangis, sedangkan suaminya masih memondongnya dan berjingkrak-jingkrak kegirangan, juga dengan pipi basah air mata. Mereka lupa diri, lupa segala sehingga tidak ingat bahwa anak perempuan tadi memandang mereka dengan bengong, dan anak itu menangis pula menyaksikan mereka mengucurkan air mata.
"Ibu... Ibu....!" Anak itu memanggil.
Kim-mo Taisu tersentak kaget seperti terpukul dadanya. Ia menurunkan Gin Lin dan terhuyung-huyung mundur dengan wajah pucat. "Kau.. kau... sudah menjadi isteri orang lain...?"
Gin Lin tersenyum dengan air mata masih bercucuran, lalu menggandeng tangan anak itu. "Eng Eng, dia ini ayahmu, Nak. Kwee-koko, setelah kau pergi, aku... aku melahirkan anak ini. Hanya karena dialah maka aku merobah tekadku untuk mati di Neraka Bumi. Aku membawanya ke luar mencarimu. Dia ini anakmu, Kwee-koko."
Terdengar rintihan isak di tenggorokkan Kim-mo Taisu. Ia berlutut, memegang kedua tangan anaknya, memandang wajah yang mungil itu, kemudian ia memondongnya sambil tertawa. Tangan kirinya juga menyambar dan memondong tubuh isterinya. Berganti-ganti ia memandang dan menciumi isteri dan anaknya dengan kebahagiaan hati yang sukar dilukiskan. Ia merasa seakan-akan menerima anugerah yang paling besar dan belum pernah selama hidupnya ia mengalami kebahagiaan seperti saat ini.
"Isteriku...! Anakku...! Ah, Kwee Seng... Kwee Seng... agaknya Thian masih menaruh kasihan kepadamu...!" katanya, suaranya menggetar penuh keharuan.
"Ayah... sudah lama sekali aku mencari-carimu. Ibu seringkali menangis, katanya kau tidak mau menjadi ayah Eng Eng. Sekarang Ayah sudah di sini, mengapa ibu masih menangis? Apa Ayah betul-betul tidak suka kepada Eng Eng?"
Ucapan yang keluar dari bibir mungil itu seperti pisau mengiris jantung Kim-mo Taisu. Terasa olehnya betapa ia telah melakukan dosa besar terhadap Gin Lin yang selain telah menolong nyawanya di Neraka Bumi, ternyata masih menaruh cinta kasih yang amat besar kepadanya. Sungguh ia telah berdosa. Andai kata Gin Lin benar-benar seorang nenek sekali pun, ia tidak semestinya meninggalkan seorang yang begitu mencintanya.
"Eng Eng. Alangkah manis namamu. Ayah amat cinta dan sayang kepadamu, anakku!" Ia menciumi pipi anaknya.
"Tapi Ayah mengapa menangis? Ibu juga? Mengapa susah?"
"Ayah tidak susah. Lihat, sekarang aku tertawa, dan Ibumu juga!" Anak itu memandang ayah dan ibunya, benar saja mereka tersenyum dengan air mata membasahi pipi.
"Suhu...!"
Kwee Seng memandang dan ternyata Bu Song sudah muncul di situ.
"Teecu menghaturkan selamat bahwa Suhu telah dapat berkumpul dengan Subo (Ibu Guru) dan... dan adik puteri Suhu," kata Bu Song dengan pandang mata sejujurnya dan muka ikut bergembira.
Kim-mo Taisu menurunkan tubuh isterinya perlahan. Sambil memondong Eng Eng ia menghadapi muridnya berkata, "Bu Song, kenapa kau pergi meninggalkan aku tanpa pamit?"
Mendengar suara ayahnya seperti marah dan melihat Bu Song menundukkan kepala, Eng Eng segera menjawab ayahnya. "Ayah, jangan marah kepadanya. Dialah yang membawa Ibu dan aku ke sini menemui Ayah. Bu Song tidak nakal, dia baik, Ayah!"
"Ehh...??" Kim-mo Taisu memandang isterinya yang tersenyum dan mengangguk, bahkan isterinya lalu memberi penjelasan.
"Muridmu ini bekerja pada kami, mengambil air dari puncak. Ketika mengangsu air untuk kali terakhir, ia melihat kau berhadapan dengan musuh jahat. Maka setibanya di rumah kami ia bertemu denganku dan mengatakan bahwa gurunya Kim-mo Taisu, menghadapi bahaya maka ia harus cepat-cepat pergi dari rumah kami, tanpa mau kutahan lagi. Aku memang ada dugaan bahwa Kim-mo Taisu adalah engkau, maka aku lalu mengajak Eng Eng dan bersama Bu Song pergi menyusulmu ke sini. Kiranya benar-benar kau berhadapan dengan musuh yang tangguh. Baiknya ada Pamanku Couw Pa Ong yang membantumu."
"Couw Pa Ong...? Dia itu... Pamanmu...?"
"Mari kita pulang dulu, nanti kita bicara sampai jelas."
"Pulang?" terharu hati Kim-mo Taisu, karena sesungguhnya, entah sudah berapa lamanya ia tidak mengenal arti kata ‘pulang’ lagi. Sambil menggandeng tangan isterinya dan memondong Eng Eng, Kim-mo Taisu mengangguk dan menjawab, "Marilah!"
"Bu Song, kau ikut dengan kami," kata Khu Gin Lin dengan suara halus, akan tetapi Bu Song masih berdiri dengan kepala menunduk.
"Bu Song, hayo ikut, nanti kita main-main di rumah!" Eng Eng juga berkata, akan tetapi tetap saja Bu Song tidak bergerak dan tidak pula mengangkat muka.
Anak itu sedang dilanda kedukaan hebat. Ia memang ikut bergirang menyaksikan kebahagiaan suhunya yang telah berkumpul kembali dengan isteri dan anaknya, akan tetapi sekaligus peristiwa ini pun mengingatkan ia akan keadaannya sendiri yang jauh ayah jauh ibu, seorang anak yang tidak dapat mengecap kebahagiaan seperti Eng Eng karena ayah bundanya cerai berai. Pula agaknya suhunya marah kepadanya. Kalau suhunya sendiri diam saja, bagaimana ia bisa ikut mereka?
Melihat Bu Song diam saja tidak menjawab, Eng Eng lalu melorot turun dari pondongan ayahnya, lari menghampiri Bu Song dan menarik tangannya. "Hayo, kau ikut! Eh, kau... kau menangis? Kenapa??"
Mendengar ini, kagetlah Kim-mo Taisu. Ia sudah mengenal betul perangai Bu Song, seorang anak yang amat keras hatinya, yang tidak pernah sudi menangis, tabah dan berani luar biasa. Kalau sekarang menangis, benar-benar aneh! Tadinya, perjumpaannya dengan anak isterinya membuat Kim-mo Taisu sejenak melupakan Bu Song, apalagi karena muridnya itu telah meninggalkannya tanpa pamit. Ia menganggap muridnya sudah tidak suka lagi ikut dengannya, maka ia pun tadi tidak mengacuhkannya lagi. Akan tetapi sekarang mendengar bahwa muridnya menangis, ia segera membalikkan tubuh menghampiri Bu Song.
"Bu Song, kau lihat aku!"
Bu Song mengangkat mukanya. Anak ini menggigit bibir menahan air mata dan memandang suhunya dengan mata tajam.
"Ketika aku bicara dengan Beng-kauwcu, kenapa kau lalu pergi meninggalkan aku tanpa pamit? Apakah kau sudah bosan ikut gurumu?"
Bu Song menggeleng kepalanya. "Teecu tidak bosan, akan tetapi teecu tidak mau bertemu dengan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan."
"Hehh...?? Kau tahu nama Beng-kauwcu? Mengapa kau tidak mau bertemu dengannya?" Kim-mo Taisu benar-benar tertarik dan merasa heran.
"Karena... karena... dia adalah Kong-kong (kakek) teecu...."
"Apa kau bilang?!" Kim-mo Taisu melangkah maju mendekati muridnya, lalu berjongkok agar dapat memandang wajah muridnya baik-baik. "Dia itu kakekmu? Bu Song, katakanlah siapa nama ayahmu?"
"Ayah teecu Kam Si Ek, akan tetapi teecu tidak mau pulang..., juga teecu tidak mau ikut Kong-kong, teecu hendak mencari ibu...."
Jantung Kim-mo Taisu bedebar-debar keras, lalu ia memeluk Bu Song. "Ah, mengapa ada peristiwa begini kebetulan? Bu Song... jadi kau anak Lu Sian dan Kam Si Ek...??"
Bu Song meronta dari pelukan suhunya, memandang dengan mata tebelalak. "Suhu mengenal Ayah dan Ibu?"
"Anak baik, tentu saja aku mengenal mereka!"
"Kalau begitu maaf, teecu tidak dapat ikut Suhu lagi." Anak ini lalu membalikkan tubuhnya dan lari.
Akan tetapi dengan tiga kali lompatan saja Kim-mo Taisu sudah menangkap tangannya. "Kenapa?"
"Teecu tidak mau Suhu kembalikan teecu ke rumah Ayah atau Kong-kong. Teecu hendak mencari ibu."
Kim-mo Taisu mengangguk-angguk. "Baiklah, Bu Song. Aku tidak akan mengantarmu kepada ayah dan kakekmu. Kau ikut saja dengan kami dan kelak kubantu kau mencari Ibumu."
Kembali ia menghela napas karena teringat akan cerita Pat-jiu Sin-ong Liu Gan bahwa Liu Lu Sian telah meninggalkan suami dan putera, malah telah melakukan hal-hal yang luar biasa di dunia kang-ouw, telah mencuri kitab-kitab dari Beng-kauw sendiri. Sungguh aneh, mengapa secara kebetulan sekali putera Liu Lu Sian menjadi muridnya? Pantas saja begitu berjumpa dengan anak ini, timbul rasa sayang di hatinya. Kiranya anak ini darah daging Lu Sian! Diam-diam ia menjadi girang sekali dan berjanji kepada diri sendiri untuk mengimbangi Bu Song seperti puteranya sendiri.
Maka turunlah mereka berempat dari puncak dengan wajah bahagia. Tangan Kim-mo Taisu tak pernah dilepaskan oleh isterinya, yang kadang-kadang mengucurkan air mata sambil tersenyum-senyum memandangi wajah suaminya yang dirindukannya selama bertahun-tahun. Mereka bergandeng tangan sambil bercakap-cakap menceritakan pengalaman masing-masing selama berpisah. Eng Eng yang sifatnya lincah itu pun menggandeng tangan Bu Song diajak balapan lari atau diajak memetik bunga dan mengejar kupu-kupu di sepanjang jalan, tentu saja sambil tertawa-tawa.
Secara singkat Kim-mo Taisu menceritakan pengalamannya sejak keluar dari Neraka Bumi, pengalaman yang penuh kesengsaraan dan kepahitan sehingga membuat isterinya makin sayang kepadanya. Khu Gin Lin ikut mengucurkan air mata mendengar betapa suaminya menyesali diri sendiri sampai menjadi seperti seorang jembel gila.
Kemudian tiba gilirannya untuk bercerita. Seperti telah diceritakan oleh mendiang Ang-siauw-hwa atau Khu Kim Lin kepada Kwee Seng, Gin Lin dan Kim Lin adalah anak kembar dari seorang pangeran bernama Khu Si Cai, seorang Pangeran Kerajaan Tang. Khu Si Cai ini adalah adik ipar Raja Muda Couw Pa Ong yang terkenal. Ketika terjadi perang yang mengakibatkan tumbangnya Kerajaan Tang, keluarga Kaisar dan para bangsawan menjadi korban. Tak terkecuali keluarga Pangeran Khu yang ikut terbasmi.
Sepasang bocah kembar yang baru berusia lima tahun itu dapat diselamatkan oleh seorang pelayan, dibawa lari ke luar pada saat istana pangeran itu diserbu musuh dan dibakar. Dalam pelarian ini mereka bertemu keributan perang sehingga akhirnya Khu Gin Lin terlepas dari gandengan tangan pelayannya membuat ia terpisah dari saudara kembarnya. Anak ini menangis sambil lari ke sana kemari, jatuh bangun ditabrak orang-orang yang sedang melarikan diri dari perang.
Akhirnya ia jatuh pingsan di tengah jalan hampir saja diinjak-injak orang yang sedang panik itu kalau saja tidak ditolong oleh seorang tosu (pendeta To) yang kebetulan lewat. Tosu ini sudah tua sekali, mukanya pucat dan melihat seorang anak perempuan menggeletak di jalan, hampir terinjak-injak, cepat ia menyambarnya dan membawanya pergi cepat-cepat.
"Tosu itu adalah Kwan Cin Cun, seorang tokoh Thian-san-pai yang terkenal sebagai seorang patriot pembela Kerajaan Tang, sahabat baik dari Paman Sin-jiu Couw Pa Ong," demikian Gin Lin melanjutkan ceritanya. "Dia tidak tahu bahwa aku adalah keponakan Couw Pa Ong. Seperti juga Pamanku itu yang terluka hebat, dan malah menjadi lumpuh kedua kakinya, Suhu Kwan Cin Cu juga terluka parah di sebelah dalam dadanya, luka yang tak mungkin dapat disembuhkan lagi karena ia telah terkena pukulan beracun yang hebat. Dia membawaku ke Neraka Bumi dan kebetulan sekali saat itu musim kering sehingga lebih mudah memasuki Neraka Bumi. Neraka Bumi sebetulnya adalah tempat bertapa kakek gurunya, yaitu sucouw (kakek guru) dari Thian-san-pai, tempat rahasia yang hanya diketahui oleh Suhu Kwan Cin Cu. Aku dibawa ke tempat itu, lalu ia melatihku membaca kitab dan juga dasar-dasar ilmu silat. Sayang sekali, ketika aku berusia dua belas tahun, Kwan Suhu meninggal dunia karena lukanya yang memang hebat sekali."
"Hemm, seorang sakti seperti dia, mengapa menyembunyikan diri dan tidak mau keluar lagi?" Kim-mo Taisu mencela.
"Dia sudah putus harapan. Katanya kepadaku, dari pada keluar dari Neraka Bumi melihat negeri dijajah orang, lebih baik ia bersembunyi dan bertapa sampai mati. Selama mendidikku, ia menanamkan kesan betapa buruknya dunia, betapa jahatnya manusia, betapa berbahayanya hidup seorang gadis muda. Oleh karena itulah maka aku lalu membuat kedok nenek-nenek dan tak pernah mau keluar dari Neraka Bumi, sampai... sampai.... Thian membawamu masuk ke sana dan... dan... lahirnya Eng Eng." Jari-jari tangan Gin Lin mencengkeram jari-jari tangan suaminya dan keluarlah getaran-getaran kasih dari jari tangan mereka.
Ketika mereka berempat tiba di rumah kediamannya Couw Pa Ong, ternyata kakek lumpuh itu telah berada di situ, bahkan berdiri menanti di depan pintu. Bu Song memandang dengan kagum dan juga serem kepada kakek sakti itu. Ada pun Kim-mo Taisu segera maju dan memberi hormat dengan kikuk. Sebagai tokoh kang-ouw, ia enggan memberi hormat berlebihan, akan tetapi mengingat bahwa orang ini paman isterinya, tidak enak pula kalau tidak memberi hormat.
Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong tertawa bergelak, kelihatannya girang sekali. "Sudahlah, tidak perlu banyak sungkan, kita orang sendiri. Ha-ha-ha! Alangkah girang hatiku mendapat kenyataan bahwa suami keponakanku adalah Kim-mo Taisu! Sungguh menyenangkan, ini berarti bahwa Dinasti Kerajaan Tang masih belum saatnya lenyap dari permukaan bumi! Kim-mo Taisu, dengan adanya engkau sebagai keluarga kami, maka kekuatan untuk memulihkan kekuasaan Kerajaan Tang menjadi makin besar.”
"Maaf, Ong-ya, eh... Paman, akan tetapi saya sama sekali tidak ada minat untuk memikirkan soal kerajaan, saya tidak akan ikut-ikut...."
"Ha-ha-ha, coba saja kita sama-sama lihat! Aku Kong Lo Sengjin adalah seorang buronan, dicap sebagai musuh kerajaan yang sekarang berkuasa. Juga isterimu dianggap sebagai anggota pemberontak, keluarga bekas Kerajaan Tang. Kalau isterimu dimusuhi, apakah kau sebagai suaminya tidak?"
Kim-mo Taisu mengerutkan keningnya. "Kalau begitu, saya akan ajak isteri, anak dan murid saya untuk menjauhkan diri, mengungsi di tempat sunyi, hidup mengasingkan diri di tempat aman tenteram."
Keng Lo Sengjin membanting-banting tongkatnya ke atas tanah. "Gin Lin! Kau dengar kata-kata suamimu? Apa kau sudah lupa lagi akan keluarga Ayah Bundamu yang terbasmi?"
"Paman, harap bersabar. Aku akan mengikuti suamiku ke mana pun juga ia pergi. Tentang sakit hati keluarga, sampai mati pun keponakanmu ini tidak akan lupa."
"Haaahhh, pergilah...!" Mulutnya bilang begitu akan tetapi kakek ini sendirilah yang pergi jauh dari rumah itu, dengan gerakan cepat sekali, berloncat-loncatan menggunakan kedua ‘kakinya’ yang berupa sepasang tongkat.
Gin Lin lalu berbenah, dibantu oleh tiga orang pembantu rumah tangga yaitu A-kwi, A-liong, dan Sam-hwa yang ternyata bukanlah pembantu rumah tangga sembarangan, karena ketiga orang ini adalah bekas-bekas panglima pembantu Kong Lo Sengjin ketika kakek ini masih menjadi Raja Muda Sin-jiu Couw Pa Ong! Setelah selesai, dengan terharu Gin Lin berpamit dari tiga orang pembantu ini. Mereka pun kelihatan terharu, apalagi Sam-hwa yang menangisi kepergian Eng Eng yang ia anggap sebagai cucunya.
"Harap kalian bertiga jangan terlalu sedih," akhirnya Gin Lin berkata. "Betapa pun juga, waktu akan membawa kita berkumpul dalam perjuangan yang sama," kata-kata ini agaknya menyadarkan mereka dan berserilah wajah mereka, malah mereka mengantar keluarga itu sampai jauh ke luar hutan.
Setelah mereka berpisah, Kim-mo Taisu bertanya apa artinya ucapan isterinya ketika berpisah tadi.
Gin Lin menarik napas panjang. "Mereka itu adalah bekas panglima dan pejuang pembela Kerajaan Tang. Seperti juga Paman dan aku sendiri, kita kehilangan keluarga, menyaksikan betapa keluarga terbasmi habis, betapa kerajaan runtuh diobrak-abrik dan dirampok, diperkosa, dihina oleh musuh. Anehkah kalau di lubuk hati kita masing-masing terpendam perasaan dendam yang tak dapat dipadamkan sebelum Kerajaan Tang bangkit kembali? Kakek sudah berusaha keras, dan dengan kawan-kawan seperjuangan telah berhasil menjatuhkan Kerajaan Tang Muda, akan tetapi hanya berhasil mempertahankan selama tiga belas tahun saja, dan Kerajaan Tang Muda kembali jatuh di tangan musuh yang mendirikan Kerajaan Cin Muda. Ah, sebelum Kerajaan Tang bangkit kembali seperti dahulu, agaknya hati kita masih akan tetap mengandung dendam."
Kim-mo Taisu mengangguk-angguk, akan tetapi tidak menjawab apa-apa. Baginya, perasaan dendam itu tidak ada dan tak dapat ia merasakan atau mengerti apa yang diutarakan isterinya itu, karena ia sendiri tidak pernah melibatkan diri dengan urusan negara.
"Yang terpenting kita mendidik Eng Eng dan Bu Song," akhirnya ia berkata. "Dan kalau kita terlibat urusan perang, bagaimana kita mampu mendidik anak-anak itu? Mari kita pergi ke tempat yang tenteram dan jauh dari pada keributan."
"Ke manakah? Asal jangan ke Neraka Bumi!" Gin Lin berkata dan meremang bulu tengkuknya kalau ia membayangkan betapa puterinya harus hidup di neraka itu!
"Tempat yang baik dan berjasa," Kim-mo Taisu berkata sambil melamun.
"Ihhh, neraka itu kau anggap baik?"
Suaminya tersenyum dan memegang tangan si Isteri. "Kalau tidak ada Neraka Bumi, bagaimana kita bisa saling berjumpa?"
Gin Lin menjadi merah sekali mukanya, ia membuang senyum dan berkata, "Sudahlah, ke mana kita sekarang pergi?"
"Ke Min-san!"
Selama tinggal di Neraka Bumi dan ditinggal mati Kwan Cin Cu, Gin Lin membaca kitab-kitab dan banyak tahu akan teori ilmu silat sambil melatih diri sedapatnya. Biar pun kurang sempurna karena kurang bimbingan, namun dia telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi juga, maka dalam perjalanan jauh itu mereka tidak mengalami banyak kesulitan. Apabila mereka melalui jalan yang sukar, Gin Lin menggendong puterinya sedangkan Kim-mo Taisu menggandeng tangan Bu Song atau kadang-kadang juga memondongnya.
Setelah melakukan perjalanan beberapa bulan lamanya, akhirnya mereka sampai juga ke Puncak Min-san di mana Kim-mo Taisu lalu membangun sebuah pondok sederhana untuk tempat tinggal mereka, jauh dari pada dunia keramaian. Mulai saat itu, Bu Song dan Eng Eng menerima gemblengan dari Kim-mo Taisu dan isterinya. Akan tetapi oleh karena Bu Song masih saja kukuh tidak mau mempelajari ilmu silat, maka hanya Eng Eng saja yang menerima latihan ilmu silat, sedangkan Bu Song mendapat pelajaran ilmu sastra.
Seperti kita ketahui, Kim-mo Taisu Kwee Seng ini dahulu adalah seorang mahasiswa yang tak pernah lulus dalam ujian. Biar pun ia lebih gemar ilmu silat, namun sesungguhnya ia bukanlah seorang yang bodoh dalam ilmu sastra. Tidak, bahkan ia amat pandai. Hanya pada masa itu, untuk dapat lulus dalam ujian tidaklah mudah. Nafsu korupsi sudah menjadi penyakit wabah yang menyerang seluruh pembesar yang berhak memeriksa ujian. Jangan harap seorang mahasiswa akan dapat lulus dalam ujian bila tanpa memberikan uang sogokan. Kim-mo Taisu Kwee Seng adalah seorang yang berjiwa pendekar, tentu saja ia tidak sudi untuk melakukan penyuapan. Tidak mau ia lulus ujian dengan cara menyogok, inilah yang membuat ia gagal terus dalam ujian.
Karena memang pandai dalam ilmu sastra, tentu saja ia dapat mengajarkan ilmu itu kepada Bu Song. Akan tetapi, di samping ilmu menulis dan membaca sajak ini, diam-diam Kim-mo Taisu menurunkan pelajaran dasar-dasar ilmu silat yang secara cerdik ia masukkan ke dalam pelajaran yang ia sebut ilmu kesehatan dan ilmu pengobatan. Dalam diri Bu Song memang terdapat bakat istimewa, maka segala macam pelajaran dapat ia terima dengan mudah. Bahkan dalam latihan semedhi dan peraturan napas penyaluran jalan darah, ia jauh lebih maju dari pada Eng Eng.
Bertahun-tahun keluarga ini hidup bersunyi, hanya bertetangga penduduk gunung yang tinggal di lereng Min-san. Hanya sepekan sekali keluarga ini dapat bertemu orang, karena penduduk tidak ada yang berani naik ke puncak yang sukar itu. Namun mereka hidup penuh ketenteraman dan kebahagiaan.
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Liu Lu Sian, maka agar jalan ceritera dapat lancar, marilah kita mengikuti perjalanan tokoh wanita kita ini. Di dalam jilid dua telah dituturkan betapa dalam kemarahannya, Lu Sian membunuh kekasihnya sendiri, yaitu Hui-kiam-eng Tan Hui, lalu membunuhi pula atau setidaknya membikin luka berat sembilan orang piauwsu yang ia anggap sebagai gara-gara pertengkarannya dengan Tan Hui.
Setelah ikatan asmara yang mesra dengan Tan Hui selama kurang lebih dua bulan, kini kembali Lu Sian bebas seperti burung liar yang terbang melayang di udara. Agak menyesal hatinya bahwa ia terpaksa harus membunuh Tan Hui, laki-laki yang cukup menyenangkan hatinya. Akan tetapi di samping kekecewaan dan penyesalannya itu, terselip rasa bangga dan girang bahwa ia kini telah mewarisi ilmu ginkang dari kekasihnya itu, yaitu Ilmu Coan-in-hui (Terbang Menerjang Mega). Ginkang ini jauh lebih hebat dari pada ginkang yang pernah ia pelajari. Dengan hati gembira, lupa lagi akan kematian kekasihnya, Lu Sian berlari-lari secepat terbang menggunakan Coan-in-hui.
Selagi ia berlompatan melalui perjalanan yang amat sukar di lereng bukit, tiba-tiba ia melihat sebuah benda bergerak-gerak jauh di depannya. Lu Sian kaget seketika melihat bahwa benda itu bukan lain adalah sebuah bantal atau karung yang dapat berlompatan cepat sekali. Ia mengenal benda ajaib ini karena di dalam rumah Raja Pengemis, benda ini telah menolongnya ketika ia berada dalam bahaya. Maka ia lalu mengerahkan tenaga dan cepat mengejar. Karena kini ginkang-nya memang sudah mulai mahir, gerakannya seperti burung walet menyambar-nyambar dan biar pun gerakan benda ajaib itu juga amat cepat, namun setengah jam kemudian ia berhasil memperdekat jarak di antara mereka.
Akan tetapi benda itu terus berloncatan, seakan-akan melarikan diri, melompati jurang dan mendaki bukit itu. Lu Sian merasa heran. Tak salah lagi, pastilah benda itu terisi orang, akan tetapi mengapa begitu kecil? Apakah seorang anak kecil? Tidak mungkin rasanya. Masa seorang anak kecil memiliki kepandaian sehebat itu? Orang tua pun akan sukar bergerak sedemikian cepatnya kalau bersembunyi di dalam karung.
"Lo-cianpwe, tunggu! Aku mau bicara!" serunya. Namun bantal itu malah makin cepat bergerak maju berloncatan.
Lu Sian menjadi gemas. “Biar pun kau hendak lari ke langit, masa aku tidak mampu mengejarmu?” demikian pikirnya dan ia mengejar terus.
Akhirnya benda itu tiba di puncak sebuah bukit kecil dan Lu Sian telah dapat menyusulnya. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam benda itu, "Waduh, waduh..., habis napasku...! Terlalu sekali, mengejar orang terus-terusan. Aku terima kalah!"
Setelah terdengar suara ini, bantal itu pecah dan muncullah seorang kakek yang pendek kecil berjenggot panjang berkepala besar. Tubuhnya pendek seperti kanak-kanak berusia sepuluh tahun, akan tetapi melihat kepala yang besar dan penuh kumis dan jenggot itu, jelas dia seorang kakek yang sudah tua sekali! Napasnya mengkas-mengkis (terengah-engah), dan begitu keluar dari dalam karung, ia seperti tidak melihat Lu Sian, melainkan memandang ke kanan kiri dengan wajah ketakutan, seperti mencari sesuatu.
Lu Sian menahan senyumnya, lalu menjura dan berkata, "Kakek lucu, mengapa kau bersembunyi dalam bantal dan mengapa pula lari terbirit-birit?"
Dengan napas masih tersengal-sengal kakek itu menyusut peluh di dahinya, lalu berkata cemberut, "Kenapa kau mengejar-ngejarku terus? Huh, tentu saja aku kalah napas. Coba aku masih muda, ilmu ginkang Coan-in-hui itu mana mampu mengejarku?"
"Kakek yang baik, harap jangan marah. Aku mengejarmu untuk menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu di rumah Kai-ong."
"Sudahlah, apa kau melihat Bu Kek Siansu?" tiba-tiba kakek itu bertanya dan kembali matanya jelalatan ke kanan kiri, pada wajahnya tersirat ketakutan.
Lu Sian adalah seorang wanita yang cerdik sekali. Melihat lagak kakek ini ia dapat menduga, bahwa biar pun kakek ini seorang sakti, namun ada yang ditakuti. Dan agaknya Bu Kek Siansu yang amat ditakuti. Tentu saja ia pernah mendengar nama Bu Kek Siansu. Siapa pun orangnya yang berkecimpung dalam dunia kang-ouw, pasti pernah mendengar nama itu, biar pun jarang sekali yang dapat bertemu muka dengan manusia dewa yang sakti itu. Maka ia tidak menjawab, melainkan berkata, "Sekarang tidak melihatnya, akan tetapi siapa tahu gerak-gerik manusia dewa itu? Eh, Kakek, siapakah kau dan mengapa bertanya tentang Bu Kek Siansu?"
"Aku... aku jijik bertemu dengannya!" jawabnya dan kakek itu mengangkat muka dan membusungkan dadanya yang tipis. "Mau tahu siapa aku? Bocah, dengar baik-baik supaya jangan terjungkal karena kaget. Akulah Bu Tek Lojin!"
Belum pernah Lu Sian mendengar nama ini. Ia menganggap orang ini selain lucu juga agak sombong. Baru namanya saja Bu Tek (tidak terlawan)! "Biar kau tidak terlawan, akan tetapi lariku lebih cepat dari pada larimu."
"Huh, bocah masih bau air susu! Kau sombong. Apakah ayahmu, si gila Pat-jiu Sin-ong Liu Gan itu datang bersamamu?"
"Kalau aku panggil dia, tentu ayah datang!" jawab Lu Sian, sengaja mempergunakan nama ayahnya untuk menakuti orang. Ia percaya bahwa nama ayahnya cukup disegani kawan ditakuti lawan, buktinya Si Raja Pengemis yang lihai itu pun kuncup hatinya mendengar bahwa ia puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
"Ho-ho-ho-hoh! Lekas panggil ayahmu datang. Dia ditambah kau ditambah seorang lawan lagi, akan kupermainkan seperti... seperti... seperti...."
"Seperti apa?" Lu Sian sudah marah, mendongkol hatinya mendengar dia dan ayahnya dipandang ringan.
"Seperti ini!" Kakek itu lalu menggunakan ujung kakinya mencongkel sebuah batu dan... batu itu mencelat terbang ke atas, padahal batu itu besar dan amat berat. "Nah, ini engkau. Dan ini Ayahmu!" ia mencongkel sebuah batu lain yang lebih besar ke atas seperti tadi. "Dan yang ke tiga ini kawan ayahmu!" Batu ke tiga mencelat ke atas dan kini tiga buah batu besar itu melayang turun berturut-turut akan menimpa kepala si Kakek Cebol.
Akan tetapi kakek itu menggerakkan kedua tangannya dengan telapak menghadap ke atas dan... tiga buah batu itu bermain-main di udara, bergerak ke atas dan ke bawah, tak pernah menyentuh telapak tangan kakek itu, seakan-akan ada hawa yang berkekuatan luar biasa menahan dan mempermainkan tiga buah batu itu.
Lu Sian melongo. Ia maklum bahwa itu adalah permainan tenaga sinkang. Akan tetapi untuk dapat mempermainkan tiga batu besar seperti itu, benar-benar membutuhkan tenaga sinkang yang hebat luar biasa. Kakek ini sakti sekali dan ternyata kesombongannya bukan kosong belaka.
"Nah, kalian bertiga bisa apa terhadapku?" Ia lalu membuat gerakan dengan tangannya lalu membentak, "Turun!"
Heran sekali. Tiga buah batu itu bertumpang-tindih bersusun tiga, lalu perlahan-lahan turun ke atas tanah seperti dipegang tangan yang kuat, turunnya pun perlahan-lahan dan tidak menimbulkan debu. Akan tetapi begitu kakek itu melompat mundur, tiga buah batu yang tersusun itu hancur berantakan!
Lu Sian menelan ludah. Hebat bukan main. Timbul keinginannya memperoleh ilmu dari kakek sakti ini, maka ia cepat menjura sambil memuji. "Wah, hebat sekali kepandaian Lo-cianpwe!"
Kakek itu kelihatan girang dan bangga, lalu bertolak pinggang membusungkan dada. Matanya mengedip-ngedip dan hidungnya bergerak-gerak dengan ujung hidung yang mekar! "Nah, maka kau jangan main-main dengan Bu Tek Lojin! Aku pesan kepadamu, dan temannya-temanmu, apabila suling emas terjatuh ke dalam tangan seorang di antara kalian, harus cepat-cepat serahkan kepada Bu Tek Lojin. Mengerti?"
"Tidak, tidak mengerti." Lu Sian menggeleng kepala.
Kakek itu marah-marah dan mengepal tinjunya, mengamang-amangkan kedua tinjunya di depan hidung Lu Sian. "Kau lihat ini?" bentaknya.
Lu Sian benar-benar merasa ngeri dan takut, dan saking gugupnya ia menjawab sambil mengangguk-angguk. "Aku lihat, dan baunya busuk!" Lu Sian kaget mendengar ucapannya sendiri. Celaka, sifat lincah dan liarnya kumat sehingga ia bicara tanpa dipikir. Ia sudah siap-siap menanti serangan, karena kakek aneh ini tentu marah.
Akan tetapi Bu Tek Lojin malah membawa kedua tangannya ke depan hidungnya sendiri, mencium-cium. Hidungnya dikernyitkan dan ia berkata. "Benar bau tak enak! Habis belum dicuci, berhari-hari bersembunyi dalam karung! Eh, bocah, biar tanganku bau, akan tetapi apakah badanmu lebih keras dari pada batu tadi?"
"Maaf Kek, aku benar-benar tidak mengerti. Apa sih yang kau maksudkan dengan suling emas?"
"Wah, ketanggor (melanggar batu) aku sekali ini! Kau benar bocah hijau tak tahu apa-apa. Pat-jiu Sin-ong Liu Gan agaknya tidak pernah memberi pengertian kepada bocah ini! Suling Emas adalah pusaka pemberian Bu Kek Siansu kepada Sastrawan Ciu Bun. Sekarang Sastrawan Ciu Bun lenyap, entah mampus atau belum, akan tetapi suling emas itu lenyap, menjadi perebutan orang-orang di dunia. Nah, aku perlu suling itu. Kalau seorang di antara kalian menemukannya, harus diberikan kepadaku. Harus, mengerti?!"
"Tidak, tidak mengerti."
"Tolol! Kau menantang?"
"Tidak, Bu Tek Lojin. Kumaksudkan, aku tidak mengerti mengapa hanya sebuah suling emas saja dijadikan rebutan. Berapa sih harganya suling emas? Agaknya orang-orang kang-ouw sekarang sudah menjadi mata duitan semua!"
Kakek itu tertawa bergelak-gelak, perutnya sampai menjadi keras. Ia memegangi perutnya, tubuhnya ditekuk menjadi lebih pendek lagi. "Ho-ho-ho-hah-hah! Goblok! Sekali goblok tetap tolol. Kau tahu apa? Suling itu menjadi kunci rahasia ilmu kesaktian hebat. Selain itu, emasnya mengandung logam murni yang berasal dari bintang, siapa memegangnya, berarti memegang sebuah senjata yang paling ampuh di dunia ini."
"Ah, begitukah? Baik, nanti kusampaikan kepada ayah dan kawan-kawan lain," kata Lu Sian, akan tetapi di dalam hatinya sudah timbul keinginan untuk memiliki sendiri suling emas itu.
Kakek itu kaget. Biar pun sakti, agaknya ia mudah kaget. "Bocah gendeng, bikin kaget saja, kukira Bu... eh!" Ia menghentikan ucapannya, lalu berseru keras. "Muridku! Kau naik ke sini!"
Karena tidak ingin berurusan dengan kakek itu, Lu Sian berkata, "Bu Tek Lojin, sudahlah, aku minta diri, hendak melanjutkan perjalananku."
"Eh, nanti dulu, kau jumpai muridku yang baik!"
“Hemm, segala murid anak kecil disuruh menjumpai,” pikir Lu Sian. Akan tetapi tidak enak kalau membantah dan membuat marahnya kakek sakti ini, maka ia berdiri menanti.
"Bocah tolol, tidak lekas-lekas naik? Kalau habis sabarku, kujewer telingamu sampai copot!" teriak kakek itu marah-marah.
Diam-diam Lu Sian merasa kasihan kepada bocah murid kakek yang demikian galak ini.
"Teecu datang, Suhu!" terdengar teriakan dari jauh, akan tetapi mendadak berkelebat bayangan dan tahu-tahu di situ berdiri seorang laki-laki yang tubuhnya juga agak cebol gemuk, kepalanya botak dan jenggotnya juga panjang!
Hampir Lu Sian tak dapat menahan ketawanya. Yang disebut bocah dan ia sangka kanak-kanak ini tidak tahunya juga seorang laki-laki yang sudah tua, malah panjang jenggotnya, laki-laki yang seperti juga gurunya, berpakaian tidak karuan dan bertelanjang kaki. Orang botak itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.
"Kalisani, hayo kau lawan perempuan ini untuk ujian. Dia puteri Pat-jiu Sin-ong, cukup untuk kau pakai berlatih!"
Kalisani, murid Bu Tek Lojin yang kita kenal sebagai bekas Panglima Khitan itu segera bangkit berdiri memandang Lu Sian, lalu menjura. "Nona, Suhu sudah memerintah kepadaku, terpaksa kuharap Nona suka melayaniku barang sepuluh jurus!"
Setelah berkata demikian, ia memasang kuda-kuda seperti orang hendak membuang air, karena ia berjongkok sampai rendah sekali dan mukanya menahan napas sampai merah seperti orang sakit perut! Kuda-kuda ini lucu sekali.
Seandainya Lu Sian belum menduga bahwa lawan aneh ini seorang yang tak boleh dipandang ringan, tentu ia tidak dapat menahan ketawanya. Lu Sian sendiri memiliki watak aneh, keras hati dan tidak mau kalah. Sekarang ia ditantang terang-terangan. Biar pun ia tahu bahwa kepandaian Bu Tek Lojin jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya, namun ia tidak takut. Apa pun yang akan terjadi ia harus memperlihatkan kepandaiannya. Oleh karena itu, melihat Kalisani sudah memasang kuda-kuda, ia berseru keras, "Orang hutan, jaga seranganku!"
Tubuhnya bergerak cepat sekali dan ia menerjang maju, langsung mengirim tendangan dengan ujung sepatunya ke arah leher orang yang berjongkok di depannya. Ketika lawannya melompat ke belakang sambil mengulur tangan dengan maksud menangkap kakinya yang menendang, Lu Sian menarik kakinya dan tubuhnya condong ke depan, langsung tangan kanannya menghantam dada sedangkan tangan kiri dengan dua jari tangan menusuk ke arah mata. Inilah jurus dari Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ular Sakti) yang amat berbahaya dan ganas.
Akan tetapi Kalisani bukanlah seorang yang masih hijau. Sebelum menjadi murid Bu Tek Lojin, ia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan menjadi panglima tua di Khitan. Tentu saja ia tidak dapat dikalahkan dengan mudah, dan jurus yang berbahaya ini dengan amat mudahnya dapat ia hindarkan dengan cara melompat ke kanan. Malah ia segera membalas serangan lawan dengan pukulan keras dari kanan.
Melihat lawannya juga dapat bergerak dengan gesit sekali, Lu Sian makin bersemangat. Ia mengelak dari pukulan itu dan balas menerjang ganas sambil mengerahkan ginkang-nya dan terus mainkan Ilmu Silat Ular Sakti yang memiliki jurus-jurus ganas dan berbahaya. Berkat ginkang Coan-in-hui yang ia pelajari dari Tan Hui, kini permainan Ilmu Silat Tangan Kosong Ular Sakti menjadi berlipat ganda lebih lihai dari pada sebelum ia memiliki ginkang itu.
Diam-diam Kalisani terkejut sekali. Sedikit pun juga ia tidak mengira bahwa lawannya begini hebat. Tadi ketika ia disuruh suhunya menandingi Lu Sian, ia merasa ragu-ragu dan tidak enak hati. Dia seorang yang sudah tua dan berpengalaman banyak, pula memiliki ilmu silat tinggi. Bagaimana harus melawan seorang wanita muda? Akan tetapi karena suhunya yang memberi perintah, tentu saja ia tidak berani membantah. Ia tadinya hendak berjaga diri saja dan sedapat mungkin mengalahkan wanita ini dengan lunak, karena Kalisani bukanlah seorang pria yang suka menghina atau menyakiti hati wanita.
Siapa kira, kini menghadapi desakan Lu Sian, ia menjadi bingung dan pandang matanya kabur. Demikian cepatnya wanita ini bergerak! Maka ia lalu tidak sungkan-sungkan lagi, cepat ia pun mainkan ilmu silatnya dan mengerahkan tenaga dalam pada kedua lengannya, mempercepat gerakannya. Alangkah herannya ketika beberapa kali lengan mereka saling bertemu, wanita itu tidak roboh atau mencelat, bahkan dia sendiri merasa betapa hawa pukulan yang amat kuat menggetarkan lengannya! Maklumlah ia kini bahwa biar pun masih muda wanita yang pantas menjadi lawannya ini lihai sekali. Pantas saja suhunya mengatakan bahwa wanita ini cukup tangguh untuk diajak berlatih ilmu silat!
Dengan ilmu ginkang Coan-in-hui, Lu Sian benar-benar dapat menguasai lawannya. Ia menang cepat dan sudah tiga kali tangannya berhasil menyerempet tubuh lawan, malah satu kali ia berhasil memukul pundak Kalisani. Akan tetapi tubuh lawannya kebal dan pukulan itu hanya membuat Kalisani terhuyung-huyung sebentar, maka ia berlaku amat hati-hati dan mencari kesempatan untuk dapat memukul tepat. Lu Sian sengaja mempermainkan lawan dengan kecepatannya untuk mengacaukan pertahanannya.
"Bocah tolol! Segala macam ilmu cakar bebek dari Khitan itu mana mampu menghadapi Sin-coa-kun dari Beng-kauw? Tolol! Kau muridku, mengapa tidak menggunakan pelajaran dariku?" Bu Tek Lojin marah-marah, mencak-mencak dan memaki-maki.
Kalisani memang tidak mau mempergunakan ilmu simpanannya yang ia pelajari dari Bu Tek Lojin. Ilmu itu ada tiga macam, yaitu Ilmu Khong-in-ban-kin (Awan Kosong Selaksa Kati) yang merupakan penghimpunan tenaga sinkang yang luar biasa, ke dua adalah Khong-in-liu-san yang merupakan ilmu serangan yang luar biasa hebatnya, dan ke tiga adalah Ilmu Silat Kim-lun-sin-hoat (Ilmu Sakti Roda Emas), semacam ilmu silat yang dapat dimainkan dengan tangan kosong, akan tetapi lebih tepat dengan gelang atau roda emas yang ia terima sebagai tanda mata dari Tayami!
Ilmu-ilmu ini ia tahu amat hebat, maka ia tidak tega untuk mempergunakannya terhadap Lu Sian yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak ada permusuhan dengannya. Kini mendengar seruan gurunya, baru ia ingat. Akan tetapi terlambat. Sebelum ia sempat mempergunakan ilmu itu, sebuah hantaman Lu Sian mengenai lehernya, membuat Kalisani terlempar dan bergulingan, kemudian terbentur pohon dan rebah telentang dengan mata mendelik. Pingsan!
"Uuhhh, tolol, mencari mampus!" Bu Tek Lojin marah dan mendongkol sekali melihat ‘jagonya’ keok. Ia lompat mendekat, dan dua kali menotok leher dan punggung, muridnya sudah merangkak bangun lagi. "Hayo maju lagi, kalau kau tidak bisa menang kulemparkan kau ke dalam jurang!" bentaknya. Memang kakek ini memiliki watak yang luar biasa sekali, sama sekali ia tidak pernah mau mengaku kalah terhadap siapa pun juga.
"Bu Tek Lojin, aku tidak hendak bermusuh!" kata Lu Sian, mendongkol juga karena sudah jelas ia menang, mengapa kakek ini nekat menyuruh muridnya maju lagi? "Aku tadi melayani hanya untuk membuktikan bahwa bukan muridmu saja yang memiliki kepandaian di kolong jagad ini. Sekarang aku tidak ada waktu lagi."
"E-e-eh, nanti dulu! Siapa bilang muridku kalah? Tadi ia sengaja mengalah, kau tahu? Kalisani, hayo maju lagi!"
Lu Sian gemas. Orang tua ini harus diberi rasa, pikirnya. Kali ini aku akan memukul mampus muridnya, lihat dia hendak berlagak bagaimana lagi? Maka ia cepat berseru keras dan mendahului Kalisani, menerjang dengan cepat.
Kalisani sudah bersiap sedia. Ia sudah merasakan kehebatan kepandaian lawan, maka sekarang ia cepat merobah gerakannya dan mainkan ilmu silat Kim-lun-sin-hoat dan mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin. Tulang-tulangnya berbunyi berkerotokan, ini tanda bahwa sinkang di tubuhnya telah terhimpun. Sebenarnya, ia belum matang dalam latihan Khong-in-ban-kin, maka tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi. Kalau ia sudah berhasil menghimpun tenaga tanpa tulang-tulangnya berbunyi, barulah ilmunya itu sempurna.....
Komentar
Posting Komentar