SULING EMAS : JILID-20
Ketika menerjang, Lu Sian disambut dengan hawa pukulan jarak jauh yang luar biasa kuatnya, yang menolak setiap gerakannya sehingga ia tidak dapat mendekati lawannya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Lu Sian. Sebaliknya, kedua tangan lawan yang digerakkan berputar-putar membentuk lingkaran-lingkaran seperti roda itu membingungkan hatinya. Baru belasan jurus, Lu Sian sudah main mundur.
"Hua-hah-ho-ho-ho-hoh!" Bu Tek Lojin tertawa bergelak-gelak menyaksikan
betapa muridnya dapat mendesak lawan. "Kalisani, jangan sungkan. Hantam
dia sampai babak belur! Comot hidungnya, jewer telinganya, cubit
pantatnya, ha-ha-ha!"
Dapat dibayangkan betapa marahnya Lu Sian mendengar ejekan-ejekan ini. “Kakek tua bangka mau mampus,” pikirnya marah.
Pada saat ia meloncat jauh ke belakang, tiba-tiba kedua tangannya bergerak dan dari kedua tangannya itu menyambar sinar-sinar kemerahan ke arah Kalisani dan Bu Tek Lo Jin! Kakek cebol ini masih tertawa-tawa, akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya berhenti dan terkejutlah ia melihat sinar merah menyambar. Namun dengan mudah saja ia mengebutkan lengan baju dan semua jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum) yang dilepaskan Lu Sian runtuh ke tanah.
Kalisani sebaliknya kaget sekali. Tahu bahwa dari depan menyambar senjata rahasia berbahaya, ia membanting tubuh ke belakang dan bergulingan, sehingga ia terbebas dari pada ancaman jarum maut. Akan tetapi Lu Sian tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dalam kemendongkolannya, Lu Sian sudah mencabut pedang Toa-hong-kiam dan kini ia memutar pedang menerjang Kalisani dengan Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-hoat yang gerakannya seperti angin badai mengamuk. Kasihanlah Kalisani. Ia berloncatan ke sana ke mari menghindar dari gulungan sinar pedang, gerakannya benar-benar seperti monyet berjoget.
"Wah, bocah jahat!"
Tiba-tiba pedang di tangan Lu Sian berhenti di udara, dan ketika Lu Sian menoleh, kiranya pedangnya itu ujungnya sudah dijepit dua buah jari tangan Bu Tek Lojin. Lu Sian marah sekali. Cepat ia mengerahkan tenaga menarik pedang untuk membikin buntung jari tangan orang. Namun sia-sia, sedikit pun pedangnya tidak bergeming, masih tetap terjepit dua buah jari tangan.
"Lepaskan pedangku!"
"Heh-heh-hoh!"
"Bu Tek Lojin, lepaskan pedangku!"
"Kalau tidak kulepaskan, kau mau apa? Mau panggil ayahmu? Panggillah dia, Aku tidak takut!"
"Ayah tidak berada di sini. Akan tetapi akan kupanggil Bu Kek Siansu!"
Tangan yang menjepit pedang itu tiba-tiba gemetar dan Lu Sian mempergunakan kesempatan ini untuk menarik pedangnya dan meloncat mundur.
"Kau bohong! Dia... dia... eh, tidak berada di sini...," biar pun mulut berkata demikian, namun kakek itu jelalatan memandang ke sana ke mari.
"Hemm, kau tidak percaya? Baru tadi aku bertemu dengan beliau, dan aku mendengar beliau mengancam hendak menghajar kepalamu sampai peyok dan gepeng!"
"Oh... ah... tidak... bisa....!"
"Kau tidak percaya? Biar kupanggil beliau. Beliau paling benci melihat kau mengganggu orang muda. Siansu...! Siansu...! Silakan datang ke sini, Bu Tek Lojin menantang Siansu...!!"
"Ohhh... jangan...! Jangan... aku... aku hanya main-main tadi... Eh, murid tolol, hayo pergi!" Kakek aneh itu menyambar lengan muridnya dan sekali berkelebat mereka lenyap dari tempat itu.
Lu Sian berdiri termenung. Untuk ke sekian kalinya ia mendapatkan orang-orang yang jauh lebih lihai dari padanya! Ah, selamanya ia tentu akan menemui kekecewaan dan penghinaan saja kalau ia tidak berhasil memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi di dunia ini. Ia teringat akan ayahnya. Betapa pun juga, tingkat kepandaian ayahnya sudah amat tinggi dan ia ingat bahwa ayahnya menyimpan kitab-kitab ilmu yang tinggi dan dirahasiakan. Ia harus menemui ayahnya, menceritakan perceraiannya dengan Kam Si Ek, kemudian minta kepada ayahnya untuk menurunkan ilmu-ilmu silat yang tinggi kepadanya.
Dengan pikiran ini, Liu Lu Sian lalu berangkat ke selatan, melakukan perjalanan cepat menuju ke Nan-cao, ke rumah ayahnya. Akan tetapi kembali ia kecewa. Ketika ayahnya mendengar bahwa ia meninggalkan Kam Si Ek, ayahnya marah-marah dan memaki-makinya.
"Isteri dan anak macam apa engkau ini?!" antara lain kata-kata Pat-jiu Sin-ong ketika marah-marah memakinya. "Seorang isteri dan ibu meninggalkan suami dan anak begitu saja?! Sungguh celaka!!"
"Kam Si Ek terlalu kukuh dan cinta kepada tugasnya, Ayah. Asal kuajak pindah dan meninggalkan pekerjaannya, dia marah-marah. Aku bosan dan merasa dijadikan bujang dalam rumah!"
"Huh! Sudah menjadi kewajiban seorang isteri untuk mengurus rumah tangga, melayani suami dan memelihara anak. Ke mana pun si suami pergi, si isteri harus mengikutinya. Sebelum menikah denganmu, Kam SI Ek memang sudah terkenal sebagai seorang patriot, mana ia sudi menuruti kehendakmu meninggalkan tugasnya? Sayang dia menjadi orang Shan-si. Kalau dia menjadi penduduk sini dan membantu negara kita, alangkah baiknya. Dan kau meninggalkannya begitu saja? Anak durhaka! Perbuatanmu ini akan mengotori pula namaku sebagai ayahmu. Tahu?!"
Lu Sian tidak tahan mendengar maki-makian ayahnya dan ia lari ke kamarnya dengan muka merah, menutup diri dalam kamar tidak mau keluar lagi. Ia memeras otak. Agaknya tinggal di rumah ayahnya pun tidak akan menyenangkan, pikirnya. Pula, setelah ayahnya marah-marah agaknya tidak mungkin tercapai pengharapannya, yaitu menerima ilmu-ilmu tinggi dari ayahnya. Oleh karena inilah, maka pada malam hari itu juga ia menyelinap masuk ke dalam kamar pusaka ayahnya, mengambil tiga kitab rahasia simpanan ayahnya yang oleh ayahnya disebut Sam-po Cin-keng (Kitab Tiga Pusaka), lalu malam itu juga ia meninggalkan ayahnya!
Tiga buah kitab itu adalah pusaka yang amat dirahasiakan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Sebuah merupakan kitab pelajaran inti Ilmu Khi-kang Coan-im-I-hun-to (Suara Merampas Semangat Orang). Ada pun kitab kedua merupakan inti Ilmu Pukulan Beng-kong-tong-te (Sinar Terang Menggetarkan Bumi) dan kitab ke tiga adalah inti pelajaran Ilmu Silat Beng-kauw-kun (Ilmu Silat Beng-kauw) yang merupakan ciptaan baru dengan maksud untuk dijadikan pegangan bagi para pimpinan Beng-kauw. Ilmu silat ini adalah gabungan dari pada semua ilmu silat yang pernah diajarkan ayahnya kepada Lu Sian, yaitu Pat-mo-kun, Sin-coa-kun, dan Toa-hong-kun.
Dengan semangat besar Lu Sian mempelajari ilmu-ilmu ini. Beng-kauw-kun dapat ia pelajari dengan mudah. Karena ia sudah mengenal tiga macam ilmu silat itu, maka tentu saja lebih mudah baginya untuk menghafal dan melatih diri dengan ilmu silat gabungan yang amat hebat ini. Akan tetapi bukanlah pekerjaan mudah untuk melatih kedua ilmu perampas semangat melalui suara dan pandang mata. Untuk itu ia harus memperkuat sinkang dan khi-kangnya lebih dahulu. Maka setiap kali ada kesempatan, ia lalu bersemedhi dan melatih tenaga dalam menurut petunjuk kitab-kitab itu.
Di samping melatih diri dengan kitab-kitab yang ia curi dari ayahnya, juga Liu Lu Sian mulai mencari keterangan perihal suling emas seperti yang ia dengar dari Bu Tek Lojin. Kakek ini amat sakti, dan kalau kakek itu sendiri menginginkan suling emas yang katanya menjadi rahasia akan ilmu silat yang paling tinggi, tentu suling emas itu merupakan benda keramat yang tak ternilai harganya. Akan tetapi tak seorang pun di antara orang-orang kang-ouw yang ia tanyai tahu akan benda keramat itu.
Ia merantau terus ke timur dan masuklah ia di daerah yang termasuk wilayah Kerajaan Min (Hok-kian sekarang). Pada suatu hari menjelang senja ia tiba di kota Kim-peng yang ramai dengan perdagangan dan banyak dikunjungi orang luar kota. Lu Sian masuk ke dalam sebuah rumah penginapan An-hoa, tidak mempedulikan pandang mata banyak laki-laki yang berada di ruangan depan. Seorang pelayan terbongkok-bongkok datang menyambutnya, dan langsung bersikap hormat ketika melihat pedang di pinggang Liu Lu Sian.
"Bung Pelayan, sediakan sebuah kamar yang bersih untukku!" kata Lu Sian lantang.
"Maaf, Lihiap (Pendekar Wanita), maaf... semua kamar telah penuh. Dan agaknya di seluruh rumah penginapan dalam kota ini tidak ada lagi kamar kosong karena kota Kim-peng kita kebanjiran tamu yang hendak menyaksikan perayaan besar di kuil Siauw-lim-si."
Mendongkol sekali rasa hati Lu Sian. Sudah biasa baginya tidur di atas pohon atau di dalam goa kalau ia kemalaman di hutan, akan tetapi kalau ia berada di kota seperti sekarang ini, tentu saja ia ingin bermalam dalam sebuah kamar rumah penginapan.
"Ah, tidak bisakah kau mencarikan sebuah kamar untukku?" tanyanya, suaranya bernada kecewa dan menyesal.
"Sungguh mati, saya merasa menyesal sekali, Nona. Kami akan senang sekali dapat melayani Nona, akan tetapi apa hendak dikata, banyak sekali tamu berkunjung. Sebelum Nona datang, sudah banyak pula tamu yang terpaksa kami tolak karena sudah kehabisan kamar."
Lu Sian menghela napas panjang. Menurutkan kemendongkolan hatinya, ingin ia memaksa dan menggunakan kekerasan. Akan tetapi ia tekan perasaan ini dan ia sudah membalikkan tubuh hendak meninggalkan rumah penginapan An-hoa tu ketika tiba-tiba terdengar orang berkata.
"Nona, mencari ke mana pun tidak akan ada gunanya. Lebih baik kau bermalam di kamarku, semalam atau selamanya pun boleh!"
Lu Sian memandang. Laki-laki itu usianya sudah tiga puluh tahun lebih, wajahnya bundar gemuk seperti bola, basah oleh peluh. Baju di dadanya terbuka, agaknya karena hawa yang panas sehingga tampak dadanya yang gemuk berdaging. Matanya sipit, mulutnya menyeringai, sikapnya kurang ajar. Dia ini duduk menghadapi meja bersama tiga orang laki-laki lain yang tersenyum-senyum menahan ketawa.
Hati Lu Sian yang sudah mendongkol itu kini mendidih, akan tetapi hanya dugaannya saja laki-laki ini main-main dengannya, kenyataannya belum terbukti. Maka ia lalu berkata, "Terima kasih atas kebaikan tuan memberikan kamar tuan kepada saya. Akan tetapi tuan sendiri lalu hendak tidur di mana?"
Laki-laki gendut itu tertawa menyeringai memandang kepada tiga orang kawannya yang juga tertawa gembira. Kemudian dia bangkit berdiri dan melangkah maju mendekati Lu Sian sambil berkata, "Aiihhh, Nona, mengapa repot-repot? Kamar yang kusewa itu selain bersih, juga cukup lebar sehingga cukup untuk kita berdua. Kalau sudah pulas aku tidak banyak bergerak!"
"Ha-ha-ha-ha! Heh-heh-heh!" Tiga orang kawannya terpingkal-pingkal. "Memang tidak banyak bergerak akan tetapi kalau sudah pulas! Ha-ha!" si Gendut berkata lagi.
Meledak rasanya hati Lu Sian saking marahnya. Pada saat itu muncul seorang pemuda dari kiri, seorang pemuda yang sejak tadi duduk di meja sudut, berpakaian serba kuning. Cepat ia melangkah maju dan menjura kepada Lu Sian sambil berkata, "Nona, harap jangan melayani mereka. Kau pakailah kamarku, aku dapat tidur bersama dua orang suhengku di kamar belakang...."
Akan tetapi Lu Sian sudah tidak sudi mendengarkan omongan orang lain lagi karena matanya sudah memancarkan cahaya berapi ditujukan kepada si laki-laki gendut. Tiba-tiba tubuhnya bergerak ke depan, saking cepatnya sukar diikuti pandang mata, dan....
"Plak-plak-plak-plak!"
Muka dan tubuh laki-laki gendut itu dihajar habis-habisan oleh kedua tangan Lu Sian, tanpa sedikit pun memberi kesempatan pada si Gendut untuk mengelak, membalas, bahkan bernapas. Tubuh si Gendut itu seperti di sambar petir, tersentak ke kanan kiri, ke belakang, terhuyung-huyung dan akhirnya roboh menabrak kursi. Kulit mukanya hancur mandi darah, kedua matanya menonjol ke luar, hidungnya remuk, telinga kirinya hilang dan napasnya empas-empis mau putus!
"Hayo, mana kawan-kawannya? Maju semua, biar kuhabiskan nyawanya! Bedebah! Keparat bermulut kotor! Hayo kalian bertiga kawannya, bukan? Kalian tadi menertawai aku? Maju semua! Pengecut, anjing bernyali tikus kalian kalau tidak berani maju!" Lu Sian dengan kemarahan meluap-luap menantang dan memaki.
Pemuda pakaian kuning itu agaknya terkejut menyaksikan sepak terjang Lu Sian yang demikian ganas, juga amat kaget mendapat kenyataan bahwa Lu Sian memiliki kepandaian sehebat itu, terbukti dari gerakan tubuhnya yang ringan tangkas sekali.
Si Gendut dan tiga orang kawannya adalah sebangsa buaya darat yang biasa mencari perkara dan mencari keuntungan di tempat-tempat ramai. Tiga orang buaya darat itu menjadi kaget dan marah melihat kawannya dihajar setengah mati. Tadi mereka hanya melongo karena sedemikian cepatnya Lu Sian bergerak sehingga mereka tak sempat menolong kawan. Kini mereka bangkit serentak dan....
"Sratt-sratt-sratt!" tangan mereka telah mencabut golok.
"Awas...! Lari...!!" pemuda baju kuning berteriak kaget kepada tiga orang itu.
Namun terlambat! Sinar merah menyambar dari tangan Lu Sian, tidak hanya ke arah tiga orang buaya darat itu, akan tetapi juga ada yang menyambar ke arah pemuda baju kuning. Pemuda itu dengan gerakan tangkas miringkan tubuh dan tangannya menyambar sebatang jarum Siang-tok-ciam sambil melompat mundur. Akan tetapi tiga orang buaya darat itu sudah terjengkang dan merintih-rintih karena dada mereka sudah tertusuk jarum-jarum berbisa yang dilepas oleh Lu Sian tadi!
"Ah, jarum beracun yang hebat!" pemuda baju kuning itu berseru kaget sambil meneliti jarum merah di tangannya. Kemudian ia melangkah maju mendekati Lu Sian, menjura sambil berkata. "Nona, kumohon dengan hormat sudilah kiranya Nona mengampuni mereka ini dan memberi obat penyembuh racun."
Lu Sian melirik dengan pandang mata dingin. "Hemm, kau memiliki kepandaian juga!" katanya, hatinya panas karena jarumnya dapat ditangkap oleh pemuda itu. "Apakah kau kawan mereka dan hendak membela mereka?" Ucapan terakhir ini dikeluarkan dengan nada suara mengancam.
Pemuda itu tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Sama sekali bukan, Nona. Sebodoh-bodohnya orang macam Yap Kwan Bi ini, masih belum begitu tersesat untuk bersahabat dengan segala macam buaya darat."
Lu Sian merasa heran sekali mengapa hatinya menjadi lega mendegar bahwa pemuda yang tampan sekali ini bukan sahabat penjahat-penjahat itu. Pemuda ini amat tampan, mukanya halus seperti muka wanita, matanya lebar dan memandang dunia dengan jujur dan berani. Senyumnya manis dan dagunya mempunyai belahan yang membayangkan sifat jantan, alisnya seperti golok dan amat hitam.
"Kalau bukan sahabat, mengapa kau mintakan ampun?" tanyanya, masih mengagumi wajah yang amat tampan dan bentuk tubuh yang tegap dan padat.
"Nona, aku tahu bahwa kau adalah seorang pendekar wanita yang lihai dan orang-orang ini mencari mampus berani mengeluarkan ucapan menghina dan kurang ajar terhadapmu. Akan tetapi, nyawa manusia bukanlah nyawa ayam yang mudah dicabut begitu saja. Pula, dengan melayani segala cacing kecil macam mereka ini, bukankah berarti merendahkan kepandaian sendiri? Mereka sudah cukup mendapat pengajaran, maka sepatutnya kalau mereka diampuni dan diberi obat penawar racun. Alangkah tidak baiknya kalau kota yang tenteram ini dikotori oleh pembunuhan yang disebabkan hal-hal kecil! Aku Yap Kwan Bi yang bodoh mengharapkan kebijaksanaan Nona."
Pemuda itu bicara dengan teratur dan sopan, halus dan mengesankan. Seketika lenyap kemarahan di hati Lu Sian, seperti awan tipis tertiup angin. Ia mencibirkan bibirnya dan pemuda itu memejamkan matanya karena jantungnya sudah jungkir balik di dalam dada. Bukan main wanita ini, pikirnya. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan wanita secantik ini. Dan ketika bibir yang kecil mungil dan merah membasah itu mencibir, memuncaklah daya tariknya sehingga ia hampir jatuh berlutut.
Ketika pemuda itu membuka matanya, Lu Sian telah mengeluarkan obat bubuk berwarna kuning, memberikan tiga bungkus kepada tiga orang buaya darat itu sambil berkata, "Cabut jarum-jarum itu dan bersihkan, lalu berikan kepadaku!"
Tiga orang itu dengan tubuh menggigil menahan sakit membuka baju dan mencabut jarum-jarum yang menancap di dada mereka, dua batang seorang. Setelah membersihkan jarum-jarum itu dengan baju, mereka menyodorkannya kepada Lu Sian yang menerima dan menyimpannya.
"Sekarang minum obat ini seorang sebungkus dengan arak!"
Tergesa-gesa mereka membuka bungkusan obat, meminumnya dengan arak dan seketika rasa gatal-gatal dan panas pada tubuh mereka lenyap. Mereka segera menjatuhkan diri, mengangguk-anggukkan kepala sampai dahi mereka membentur lantai di depan Lu Sian.
"Kalian bertiga tidak lekas pergi membawa teman kalian yang sial ini, apakah menanti hajaran lagi?" Yap Kwan Bi berseru, muak menyaksikan sikap mereka itu.
Tanpa banyak bicara lagi tiga orang itu lalu menyeret tubuh teman mereka yang mukanya dirusak oleh Lu Sian tadi, meninggalkan rumah penginapan. Karena semua orang memandangnya dengan mata kagum dan takut, Lu Sian membuang muka dan hendak berjalan keluar meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi Yap Kwan Bi cepat berkata, "Nona, aku tidak main-main ketika menawarkan kamarku. Percayalah, tidak ada niat buruk di hatiku. Pakailah kamarku dan aku akan tidur bersama kedua suhengku yang belum datang. Kami bertiga memakai kamar besar."
Tak enak hati Lu Sian untuk menampik terus. Memang ia membutuhkan kamar dan pemuda ini amat sopan, amat tampan, amat menarik. Ia segera menjura untuk membalas penghormatan pemuda itu. "Terima kasih. Kau baik sekali, Saudara Yap. Karena aku harus membalas setiap kebaikan atau keburukan orang terhadapku, maka aku persilakan kau suka menerima undanganku untuk makan dan minum bersamaku sore hari ini."
Yap Kwan Bi adalah seorang pemuda yang belum pernah bergaul dengan wanita. Penawaran ini mendebarkan jantungnya dan membuat kedua pipinya kemerahan. Masa seorang wanita yang datang sendirian mengajak makan minum seorang pemuda? Akan tetapi ia teringat bahwa wanita ini bukanlah gadis sembarangan, melainkan seorang perantauan di dunia kang-ouw, maka hal itu tidaklah amat janggal. Ia cepat-cepat menjura menghaturkan terima kasih. "Kau baik sekali, Nona. Mari kuantar Nona ke kamar Nona," katanya hormat.
Lu Sian mengangguk dan memanggil pelayan. "Pesankan semeja makanan dan minuman untuk dua orang, pilih masakan yang terbaik dan antarkan cepat ke kamarku."
"Baik, Lihiap, baik...," pelayan itu mengangguk-angguk dan pergi cepat-cepat untuk melakukan perintah orang.
Lu Sian bersama pemuda itu memasuki ruangan dalam, diikuti pandang mata banyak orang yang tadi menyaksikan peristiwa hebat itu. Kamar itu tidak besar, namun cukup bersih. Pemuda itu mengambil bungkusan pakaiannya untuk dipindahkan ke kamar lain dan Lu Sian melihat gagang pedang tersembul ke luar dari dalam bungkusan pakaian. Ia tersenyum. Gerak gerik pemuda ini benar-benar sopan, dan ia demikian tampan, ia demikian tangkas.
"Saudara Yap mari kita duduk bercakap-cakap sambil menanti datangnya hidangan. Silakan."
Mereka duduk menghadapi meja satu-satunya di dalam kamar. Mulut belum berkata apa-apa, mata sudah saling pandang. Sesaat pandang mata mereka bertaut, sukar dilepaskan, lalu muka pemuda itu menjadi merah sekali. Ia menjadi bingung dan gugup sehingga Lu Sian tak dapat menahan senyumnya.
Melihat seorang pemuda terpesona oleh kecantikannya adalah hal yang lumrah, tidak aneh baginya. Akan tetapi biasanya laki-laki yang terpesona oleh kecantikannya itu memperlihatkan sikap kurang ajar, sedangkan pemuda ini sebaliknya malah menjadi malu-malu dan panik! Ia tahu bahwa kalau ia diamkan saja, pemuda itu akan menjadi makin panik, maka ia segera berkata dengan senyum manis menghias bibir. "Saudara Yap memiliki kepandaian yang tinggi, sungguh membuat orang kagum sekali."
Pemuda itu tersenyum dan cepat-cepat menjawab. "Ah, Nona terlalu memuji. Apakah artinya kebodohanku ini dibandingkan dengan kelihaianmu? Justru Nonalah yang membuat semua orang, terutama aku sendiri, menjadi amat kagum."
Pada saat itu pelayan datang mengantar hidangan dan arak yang ia atur di atas meja depan sepasang orang muda itu.
Setelah pelayan pergi, Lu Sian menuangkan arak di atas cawan, lalu berkata sambil tersenyum, "Dalam pertemuan ini kita saling cocok dan menjadi sahabat, akan tetapi janggal sekali sebutan yang masing-masing kita gunakan. Saudara Yap, namaku Lu Sian dan kalau kau suka memberi tahu berapa usiamu, kita dapat mengatur tentang sebutan."
Melihat wanita itu demikian terbuka dan jujur sikapnya, Kwan Bi merasa girang. "Tahun ini usiaku dua puluh satu tahun."
"Kalau begitu biarlah aku menyebutmu Adik dan kau menyebutku Cici!"
Pemuda itu dengan muka gembira bangkit berdiri dan menjura. "Lu-cici (Kakak Lu)!"
Lu Sian juga bangkit berdiri, tertawa gembira mengingat betapa pemuda ini menyangka dia she Lu bernama Sian. Ia pun menjura dan berkata dengan senyum melebar dan kerling mata menyambar, "Yap-te yang baik...!"
Mereka duduk kembali dan Lu Sian mengangkat cawan arak mengajak minum, menawarkan makan dengan sikap lincah manis sehingga lenyaplah rasa malu-malu dan kikuk di pihak pemuda itu. Mereka makan dan sinar mata mereka saling sambar dan saling lekat di kala sumpit-sumpit mereka tanpa sengaja bertemu dan beradu ketika dalam waktu bersamaan mengambil masakan yang sama. Tadinya memang tidak disengaja, akan tetapi lama kelamaan ada unsur kesengajaan!
Ketika hawa arak mulai membikin sepasang pipi Lu Sian menjadi kemerahan, ujung bibirnya bergerak-gerak manis dan sinar matanya memancarkan kehangatan. Ia berkata, "Adik Yap baru berusia dua puluh satu tahun sudah memiliki kepandaian hebat. Bolehkah aku tahu dari perguruan manakah?"
"Lu-cici terlalu memuji. Kepandaianku amat jelek dan masih rendah, boleh dibilang paling rendah di antara murid-murid Siauw-lim-pai."
"Ahh! Kiranya murid Siauw-lim-pai?" Lu Sian menepuk kedua tangannya dengan pandang mata kagum, lalu ia tertawa dan berdiri sambil memberi hormat. "Maafkan tadi aku berlaku kurang hormat kepada seorang pendekar besar dari Siauw-lim!"
"Lu-cici jangan mentertawakan Siauw-te!" Pemuda itu pun berdiri dan tertawa. "Kau membikin aku menjadi kikuk saja! Marilah kita duduk kembali dan jangan terlalu mengadakan pujian kosong terhadap diriku yang bodoh."
Mereka tertawa-tawa gembira dan duduk kembali. Pengaruh arak telah membuat keduanya bicara makin bebas dan gembira, diseling tawa dan senyum serta lirikan mata yang mulai memancarkan dendam birahi.
"Yap-te, siapakah yang belum mendengar tentang kehebatan dan kebesaran Siauw-lim-pai? Ilmu silat dari Siauw-lim-pai adalah warisan langsung dari Tat Mo Couwsu, terkenal sebagai rajanya ilmu silat. Sudah lama aku mendengar akan kebesaran Siauw-lim-pai, dan sejak kecil aku sudah bermimpi-mimpi ingin sekali mendapat kesempatan mengunjungi dan melihat-lihat keadaan dalam kelenteng yang menjadi pusat Siauw-lim-pai!"
"Ah, aku akan merasa bangga dan bahagia sekali andai kata dapat mengantar Lu-cici melihat-lihat ke sana! Sayang, sungguh menyesal hatiku bahwa hal itu tak mungkin karena ada larangan keras wanita memasuki ruangan dalam perguruan kami. Maaf, Lu-cici."
Lu Sian menarik napas panjang. "Sayang sekali, Yap-te. Akan tetapi kalau kau mau menceritakan tentang keadaan sebelah dalam, aku pun bisa membayangkan dan bukankah itu sama dengan melihat sendiri? Aku bisa melihat-lihat dengan meminjam sepasang matamu yang awas." Lu Sian tertawa dan pemuda itu pun tertawa.
Maka sambil makan minum berceritalah Yap Kwan Bi tentang keadaan sebelah dalam kuil Siauw-lim-si yang luas, tentang patung-patung besar, tentang ruangan-ruangan latihan, ruangan ujian dan kemudian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Lu Sian, pemuda ini bercerita tentang kamar kitab.
"Kamar kitab ini merupakan satu di antara kamar-kamar yang tidak boleh dimasuki murid, kecuali kalau masuk bersama Suhu, Susiok (Paman Guru) atau mendapat perkenan langsung dari Sukong (Kakek Guru) ketua Siauw-lim-pai sendiri."
"Adik yang gagah, kau sebagai murid terkasih tentu pernah masuk, bukan?"
Yap Kwan Bi mengangguk. "Sudah belasan kali ketika Suhu menyuruh aku memperdalam Ilmu I-kin-keng untuk membersihkan dan memperkuat otot-otot dalam tubuh dan tentang ilmu semedhi melatih napas."
"Wah, kalau begitu lengkap sekali perpustakaan Siauw-lim-pai! Ah, betapa inginku menjenguk ke sana sebentar. Adikku yang baik, tidak dapatkah kau mengantar Cici-mu ini masuk sebentar saja ke sana?"
Pemuda itu bergidik. "Mana bisa, Lu-cici? Percayalah, kalau ke tempat lain, biar mempertaruhkan nyawa, akan kuantarkan. Akan tetapi ke ruangan dalam Siauw-lim-si? Ah, hukumannya berat, hukuman mati. Dan di sana sama sekali tidak boleh dibuat main-main. Para Suhu amat keras dan lihai."
Lu Sian menghela napas penuh kecewa, akan tetapi dalam benaknya telah tergambar keadaan ruangan-ruangan sebelah dalam Siauw-lim-si seperti yang diceritakan Yap Kwan Bi tadi. "Berapa banyakkah kitab-kitab di dalam kamar kitab itu?"
Ia terus menghujani Kwan Bi dengan pertanyaan-pertanyaan sehingga beberapa saat kemudian Lu Sian sudah tahu betul akan letak dan rahasia kamar ini, betapa kitab tentang semedhi berada di rak terbawah, kemudian Ilmu Silat Lo-han-kun di rak kedua sebelah kiri, ilmu ini di rak itu, ilmu tentang itu di rak ini.
Akan tetapi yang menarik perhatian Lu Sian adalah kitab tentang ilmu menotok jalan darah dari Siauw-lim-pai, yang bernama Im-yang-tiam-hoat. Ilmu ini pernah ia dengar dari ayahnya yang menyatakan bahwa ilmu menotok jalan darah Siauw-lim-pai ini adalah paling hebat, paling kuat dan merupakan dasar pelajaran segala macam ilmu menotok jalan darah. Maka hatinya berdebar ketika ia bertanya kepada Kwan Bi dan mendengar bahwa kitab Im-yang-tiam-hoat itu berada di rak paling atas di ujung kiri.
"Yap-te, aku merasa girang sekali bertemu denganmu dan dapat menjadi sahabat. Kau menyenangkan sekali!"
"Ah, Lu-cici, kaulah yang luar biasa. Kau baik sekali kepadaku dan... aku berhutang budi kepadamu. Entah bagaimana aku dapat membalas kebaikanmu ini, Lu-cici."
Keadaan pemuda itu sudah mulai mabok. Tidak biasa ia minum arak sampai banyak, akan tetapi menghadapi seorang wanita cantik jelita seperti Lu Sian, ia menjadi lupa diri dan minum terus setiap kali si Jelita mengisi cawan araknya. Lenyaplah kekakuan sikap Yap Kwan Bi.
Ketika Lu Sian mengulur tangan kirinya di atas meja, dekat dengan tangan kanannya, jari-jarinya merayap mendekati dan menyentuh kulit tangan halus lunak itu. Biar pun yang bersentuhan hanyalah ujung jari dengan punggung tangan, namun seakan-akan ada aliran listrik memasuki tubuh melalui tempat persentuhan sebagai pusat pembangkit tenaga, langsung menyerang jantung yang menjadi berdebar-debar keras. Karena tidak ada reaksi apa-apa dari pihak Lu Sian, tangan pemuda itu makin berani dan di lain saat sepuluh buah jari tangan mereka sudah saling cengkeram!
"Lu-cici... alangkah janggalnya aku menyebutmu Cici. Kau... kau begini cantik jelita dan tentu lebih muda dari padaku. Kau paling banyak delapan belas tahun...," pemuda itu berkata agak sukar karena cengkeraman jari tangan itu membuat napasnya sesak dan kepalanya pusing!
Lu Sian tersenyum manis dan perlahan-lahan melepaskan jari-jari tangannya, lalu menarik kembali lengannya. Kedua pipinya merah dan kedua matanya terselaput air, bibirnya tersenyum-senyum aneh dan matanya memandang pemuda itu setengah terpejam. Sejenak ia menahan napas untuk menekan desakan nafsu yang menggelora. Dia wanita lemah, mudah dibakar nafsu, akan tetapi dia pun kuat menguasai nafsu yang datang membakar.
"Yap-te, aku memang lebih tua dari padamu."
"Ah, kau ini seperti Bibi Guruku saja, Lu-cici. Dia sudah berusia lima puluh tahun, akan tetapi semua orang tentu tidak percaya karena ia kelihatan masih muda. Ah, agaknya biar pun Bibi Guru tidak mewarisi kelihaian ilmu silat Siauw-lim-pai, namun ia telah mewarisi Ilmu I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Suci Sumsum) dengan sempurna sehingga ia dapat mengalahkan usia tua dan menjadi tetap muda!"
Serentak perhatian Lu Sian terbangkit. "Siapakah Bibi Gurumu yang hebat itu? Apakah aku bisa berkenalan dengannya?"
"Tentu saja bisa, Lu-cici. Dia dahulu bernama Su Pek Hong, dan kini setelah menjadi pendeta wanita disebut Su-nikouw. Ia menjadi ketua kuil wanita di sebelah barat kota. Kau ingin bertemu dengannya, Cici? Mari kuantar!"
"Ah, kau baik sekali! Akan tetapi, aku akan mandi dulu...."
"Mandi? Air persediaan di rumah penginapan ini hanya sedikit, itu pun tidak terlalu bersih, Lu-cici. Di sebelah barat terdapat telaga kecil di sebuah hutan, tidak jauh dari kuil Kwan-im-bio tempat tinggal Bibi Guru Su-nikouw. Airnya jernih sekali dan aku sendiri selalu mandi di sana."
Lu Sian serentak bangkit berdiri, wajahnya berseri. "Kalau begitu menanti apa lagi? Mari kita ke sana, mandi, lalu mengunjungi Bibi Gurumu Su-nikouw!"
Setelah membereskan perhitungan makanan, mereka berdua keluar dari rumah penginapan. Malam telah tiba ketika mereka berada di luar rumah penginapan. Yap Kwan Bi yang mengenal jalan, tanpa ragu-ragu lagi menggandeng tangan Lu Sian, diajak berjalan cepat melalui lorong-lorong gelap. Mereka setengah berlari menuju ke sebelah barat kota, bahkan setelah keluar dari pintu gerbang sebelah barat, mereka berlari cepat sambil tertawa-tawa seperti dua orang kanak-kanak bergembira. Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah hutan yang sunyi dan gelap karena sinar bulan tertutup daun-daun pohon. Jalan yang mereka lalui semakin licin setelah makin dekat dengan telaga kecil yang berada di tengah hutan.
"Hati-hati, jalannya licin..," baru saja Kwan Bi berkata demikian, Lu Sian terpeleset dan tentu jatuh kalau Kwan Bi tidak cepat memeluknya.
"Eh, hampir jatuh aku...," Lu Sian tertawa. Akan tetapi pemuda itu tidak melepaskan pelukannya. "Heee, Yap-te, mengapa kau ini....?" tegurnya pura-pura marah.
Dengan dada turun naik dan napas tersendat-sendat, Kwan Bi mempererat dekapannya dan berbisik di dekat telinga Lu Sian, suaranya menggetar, tubuhnya agak menggigil. "Ah... aku telah gila... aku... aku cinta padamu, Lu-cici!"
Lu Sian tertawa dan mencubit dagu yang halus tak ditumbuhi rambut itu sambil melepaskan diri dari pelukan. "Aihhh, kiranya kau nakal!" kemudian sambil tertawa-tawa ia lari menuju ke telaga.
Kini pohon-pohon tidak begitu banyak lagi dan sinar bulan tampak indah sekali menyinari permukaan air telaga dan membuat keadaan sekeliling yang sunyi itu menjadi amat romantis. Sejenak Yap Kwan Bi tertegun, kemudian ia pun tertawa dan mengejar ke telaga. Cinta memang aneh dan luar biasa pengaruhnya. Seorang muda yang sedang dicengkeram cinta, seakan-akan menjadi buta dan linglung. Demikian pula dengan Kwan Bi. Andai kata dia tidak dibikin mabok dan buta oleh perasaan ini, tentu dia akan menjadi curiga dan heran mengapa seorang wanita sedemikian tinggi ilmu kepandaiannya seperti Lu Sian begitu mudah terpeleset hampir jatuh! Mungkin hal ini terjadi bukan hanya karena ia menjadi buta oleh nafsu cinta, melainkan terutama sekali oleh kekurangan pengalamannya.
"Yap-te, mari kita mandi!" seru Lu Sian dengan suara gembira
Yap Kwan Bi berdiri seperti terpaku di atas tanah, tak kuasa bergerak mau pun membuka suara. Matanya memandang ke arah Lu Sian seperti orang terkena pesona, hanya kalamenjingnya yang bergerak perlahan ketika ia menelan ludah. Pemandangan yang tampak olehnya benar-benar merupakan pemandangan yang belum pernah ia saksikan selamanya, pemandangan indah dan menggairahkan hati mudanya. Betapa tidak? Wanita yang cantik jelita seperti bidadari itu dengan gerakan indah seperti dewi menari, menanggalkan pakaian luarnya begitu bebas, seakan-akan dia tidak berada di situ. Setelah menanggalkan pakaian luar dan kaus serta sepatu, wanita itu kemudian melepaskan sanggulnya, menoleh kepadanya sambil tersenyum lebar lalu meloncat ke dalam air!
Suara air muncrat menyadarkan Kwan Bi, dan ia pun lari mendekati telaga dengan hati berdebar-debar. Cepat ia menanggalkan pula pakaiannya dan melompat ke dalam air, berenang menghampiri Lu Sian yang tertawa-tawa dan bermain-main dengan air yang jernih di tengah telaga. Setelah dekat, Kwan Bi menangkap lengan tangan Lu Sian sambil berkata, "Lu-cici, kau... tidak marah kepadaku?"
"Marah? Kenapa mesti marah?" kata Lu Sian tertawa dan memercikkan air.
"Kau tidak marah mendengar aku mencintaimu?"
"Hi-hik, kenapa marah? Kau baik sekali, akan tetapi harus kau buktikan dulu cintamu!" jawab Lu Sian manja, dan ia kelihatan cantik luar biasa di bawah sinar bulan. Benar-benar seperti seorang dewi dari langit yang turun dan mandi di telaga ini.
"Oh, Lu-cici... aku mencintaimu... aku berani bersumpah, dan kau minta bukti? Ini buktinya...!" Kwan Bi memeluk, merangkul dan mencium.
"Eiiihhh... ini bukan bukti namanya. Belum apa-apa kau sudah mau enaknya saja!" Lu Sian merenggutkan diri terlepas dari pelukan, lalu tertawa-tawa menggoda, membuat pemuda itu makin gemas, makin bergelora gairahnya. "Adikku yang tampan, sebelum itu kau harus membuktikan bahwa kau benar-benar mencintaku dan suka menolongku."
"Pertolongan apakah? Katakanlah, kasihku, katakan. Biar dengan taruhan nyawa sekali pun, aku pasti akan memenuhi permintaanmu, membuktikan cinta kasihku kepadamu," kata Kwan Bi dengan suara gemetar dan tubuh menggigil saking hebatnya golombang nafsu membakarnya.
"Yap Kwan Bi, aku ingin sekali melihat kamar penyimpanan kitab di Siauw-lim-si, memilih sebuah kitab dan meminjamnya. Maukah kau menolongku?"
Bukan main kagetnya hati Yap Kwan Bi. "Ah... ini... ini... agaknya sukar sekali Lu-cici!"
Bibir yang melebihi madu manisnya itu berjebi dan cuping hidung yang bangir itu bergerak-gerak mengejek, "Huhh! Dan kau bilang mencintaku? Berani bersumpah?" Lu Sian berenang ke pinggir telaga dan mendarat, duduk di atas rumput.
Setelah wanita itu keluar dari dalam air, tubuh yang bentuknya ramping padat itu hanya tertutup pakaian dalam yang basah kuyup oleh air pula. Kwan Bi seperti dicabut semangatnya. Sejenak ia menatap pemandangan luar biasa itu, pandang matanya menelan lekuk-lengkung tubuh yang demikian menantang, maka maboklah pemuda ini. Ia lupa segala, tidak peduli akan segala apa di dunia ini, yang teringat olehnya hanyalah wajah jelita dan tubuh menggairahkan. Setiap titik darahnya, setiap hembusan napasnya, seakan-akan berteriak-teriak dalam kerinduan membutuhkan si jelita!
"Lu-cici..., tunggu dulu!" serunya sambil mengejar, berenang ke darat.
Diam-diam Lu Sian tersenyum. Pemuda itu amat tampan, amat menyenangkan dan hatinya memang sudah tergerak. Tanpa adanya harapan melihat kitab pusaka Siauw-lim-pai sekali pun ia akan merasa senang bersahabat dengan Yap Kwan Bi, si muda remaja yang tampan ini. Apalagi kalau mendapatkan kitab!
"Mengapa lagi? Kau tidak mau menolongku, berarti kau tidak suka kepadaku," Lu Sian pura-pura marah dan membuang muka dengan gerakan sedemikian rupa sehingga tubuhnya tampak dari samping dan makin menonjol keindahannya.
Yap Kwan Bi menelan ludah beberapa kali, matanya seperti lekat pada lekuk lekung di depannya. "Lu-cici... aku tadi bukan bilang tidak mau menolong, hanya menyatakan sukar sekali."
"Jadi kau mau menolongku?" tiba-tiba Lu Sian membalik dan memegang lengan pemuda itu. Tentu saja begitu tubuhnya mendekat, dari rambut serta tubuhnya terpancar semerbak bau harum dan wangi yang khas! Menggigil tubuh Kwan Bi dan hampir saja ia menitikkan air mata saking dikuasai haru, kasih dan nafsu.
"Tentu, Lu-cici. Biar pun hal itu merupakan perbuatan yang amat murtad. Kalau ketahuan, tentu akan dihukum mati oleh para Suhu. Namun, demi cintaku kepadamu, Cici, biarlah akan kulakukan juga. Mati untukmu merupakan kebahagiaan bagiku," suaranya menggetar dan terharulah hati Lu Sian.
Agaknya dalam soal cinta, pemuda yang lebih muda dari padanya ini tidaklah kalah oleh bekas suaminya, Kam Si Ek, dan bekas kekasihnya, Tan Hui. Saking terharunya, ia lalu merangkul leher pemuda itu dan memberi ciuman mesra dengan bibirnya.
"Kau baik sekali, Yap-te, dan aku beruntung mendapatkan sahabat seperti engkau." Kemudian ia menjauhkan diri ketika melihat betapa pemuda itu terangsang oleh ciumannya dan hendak mendekapnya. "Nanti dulu, Adikku, bersabarlah. Kau ceritakan, bagaimana kita akan dapat memasuki kamar kitab di Siauw-lim-si? Padahal di sana tentu terjaga kuat oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang lihai."
"Kau betul, Cici. Akan tetapi, kebetulan sekali besok lusa diadakan sembahyang besar di Siauw-lim-si. Agaknya Thian memang akan menolong dan melindungi cinta kasih kita. Dalam upacara sembahyang besar itu, semua murid Siauw-lim-si berikut pimpinannya yang telah menjadi hwesio dan nikouw, melakukan upacara sembahyang beramai-ramai dan berbareng. Tidak ada seorang pun hwesio yang tidak ikut dalam upacara itu. Nah, pada saat itulah, selama upacara sembahyang dilakukan, semua tempat dalam lingkungan Siauw-lim-si tidak terjaga. Ada pun penjagaan hanya dilakukan oleh murid-murid bukan pendeta, itu pun yang dijaga hanya sekeliling tembok yang mengurung Siauw-lim-si. Aku pun ikut menjadi penjaga, penjaga pintu gerbang dan tembok bagian selatan. Kalau aku yang menjaga di sana, apakah sukarnya bagimu untuk masuk? Dan selagi para hwesio melakukan upacara sembahyang, kau dapat dengan leluasa memasuki kamar kitab, bukan?"
Girang sekali hati Lu Sian. "Ah, bagus kalau begitu! Masih dua hari lagi? Ah, masih banyak waktu bagi kita untuk...." Lu Sian mengerling tajam.
"...untuk bersenang-senang bersama bukan?" Yap Kwan Bi langsung menyambar kata-kata yang sengaja tidak diselesaikan Lu Sian.
Lu Sian tersenyum. "Ketika kau menawarkan kamarmu untukku, bukankah di sudut hatimu sudah ada maksud itu?"
Wajah yang tampan itu menjadi merah, akan tetapi pemuda ini menggeleng kepala dan berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Tidak, Lu-cici. Ketika itu aku hanya berniat menolong, karena memang sifat pendekar harus selalu dilaksanakan oleh para murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi... ah, entah mengapa, aku tergila-gila kepadamu, dan aku cinta kepadamu! Tak baik kalau kita kembali ke sana bersama, Lu-cici. Orang-orang tentu akan menaruh curiga. Di sinilah tempat kita, bukankah enak dan nyaman sekali di sini?" Yap Kwan Bi memeluknya lagi dan kali ini Lu Sian mendiamkannya saja.
Tiba-tiba wanita ini bangkit berdiri dan menarik tangan Kwan Bi. "Eh, bocah pelupa! Bukankah kau hendak memperkenalkan aku kepada Bibi Gurumu Su-nikouw?"
Yap Kwan Bi tertawa, agak kecewa karena tidak ada keinginan lain di dunia ini baginya kecuali berdua-dua dan bersenda gurau bermain cinta dengan Lu Sian, jauh dari urusan dan orang lain. Akan tetapi ia tidak berani menolak. Setelah mengenakan pakaian luar, mereka berdua bergandeng tangan dan berlari menuju ke Kuil Kwan-im-bio.
Su-nikouw atau Su Pek Hong adalah seorang nikouw yang ramah tamah wataknya. Ia menjadi ketua Kwan-im-bio yang kecil namun bersih dan rapi, hanya diurus oleh tujuh orang nikouw. Ketika Su-nikouw menyambut kedatangan murid keponakannya, Lu Sian memandang dengan heran dan kagum. Nikouw itu tidak cantik, wajahnya biasa saja dan tubuhnya terlalu kurus. Akan tetapi harus diakui bahwa melihat wajah dan tangannya, wanita ini tentu tidak akan lebih dari tiga puluh tahun usianya. Padahal menurut penuturan Kwan Bi, nikouw ini usianya sudah lima puluh tahun lebih! Benar-benar hebat sekali. Timbullah keinginan di hati Lu Sian untuk mendapatkan ilmu awet muda ini.
"Eh, Kwan Bi, kaukah ini? Dari mana kau dan siapakah Nona ini? Apakah kau tidak ikut membuat persiapan di Siauw-lim-si?"
Yap Kwan Bi sudah memberi hormat, lalu menjawab, "Bibi Guru, kedatangan teecu (murid) adalah untuk mengantar Lu-lihiap (Pendekar Wanita Lu) ini, yang ingin berjumpa dan berkenalan dengan Bibi. Teecu menanti kedatangan Sam-suheng dan Ngo-suheng (Kakak Seperguruan Ke Tiga dan Ke Lima) untuk bersama-sama merencanakan tugas jaga besok lusa." Ia lalu memperkenalkan Lu Sian dan menceritakan betapa Lu Sian memberi hajaran kepada para buaya darat di Kim-peng yang hendak mengganggu.
"Aih kiranya Nona seorang pendekar yang lihai!" Nikouw itu mengangkat kedua tangan di depan dada.
Lu Sian cepat-cepat membalas, menjura dan berkata, "Sudah lama mendengar nama besar Suthai dan setelah bertemu muka, ternyata membuat aku yang muda kagum dan heran luar biasa."
"Omitohud...! Pinni hanya seorang nikouw yang lemah, kepandaian apa sih yang patut dikagumi? Dahulu pinni terlalu malas berlatih silat sehingga dari ilmu silat Siauw-lim-pai yang maha hebat itu, tidak ada seperseratus bagian yang dapat pinni miliki."
"Berhasil melawan usia tua merupakan kepandaian yang paling hebat di dunia ini, yang akan menjadi kebanggaan kaum wanita," kata Lu Sian.
"Aihh, agaknya si bocah nakal Kwan Bi ini yang membocorkan rahasia, ya? Ah, Nona apa sih artinya awet muda bagi seorang pendeta macam pinni? Pinni memang mempelajari ilmu dan pengobatan untuk melawan usia tua, akan tetapi sekali-kali bukan menghendaki awet mudanya, melainkan menghendaki kesegarannya agar jangan terlalu mudah diganggu penyakit!"
Setelah bercakap-cakap sebentar, Lu Sian minta diri, lalu pergi bersama Yap Kwan Bi. Ke manakah mereka pergi? Kembali ke rumah penginapan? Sama sekali tidak. Dua orang muda hamba nafsu ini menyerah bulat-bulat kepada nafsu mereka sendiri, dan semalaman itu mereka bersenang-senang, bersenda gurau dan bermabok-mabokan dibuai nafsu, di dekat telaga dalam hutan.
Yap Kwan Bi adalah seorang pemuda yang sama sekali belum ada pengalaman. Tentu saja dia benar-benar jatuh ketika bertemu seorang wanita seperti Lu Sian. Kwan Bi dimabok nafsunya sendiri yang baginya sama sekali bukan merupakan nafsu, melainkan berubah menjadi cinta kasih murni, cinta kasih yang tidak hanya terbatas pada darah daging, melainkan menjiwa. Cinta kasih suci murni! Sama sekali ia tidak tahu bahwa ia menjadi permainan nafsu belaka, tidak tahu bahwa perbuatannya itu sudah termasuk perbuatan maksiat, perjinahan yang sama sekali tidak patut dilakukan oleh seorang yang menghargai tata susila dan kesopanan, lebih tidak patut dilakukan oleh seorang pendekar atau satria.
Bagi Lu Sian, dia memang sudah tidak peduli lagi! Kalau ia menyukai seorang pria, siapa pun juga dia, harus dia dapatkan. Bukan untuk dicinta selamanya, melainkan untuk menghibur hatinya, dan untuk kemudian dipermainkan atau dipatahkan cintanya! Lu Sian tidak percaya lagi kepada cinta kasih murni, ia hanya mau tunduk kepada cinta nafsu, hanya cinta untuk sementara waktu saja. Ia tidak mau lagi ditundukkan cinta, sebaliknya ialah yang akan mempermainkan cinta kasih orang!
Dua hari kemudian, tepat seperti yang diceritakan oleh Kwan Bi kepada Lu Sian, di Siauw-lim-si yang besar diadakan upacara sembahyangan. Para tamu yang datang dari segenap penjuru di sekitar wilayah itu terdiri dari bermacam golongan. Nama Siauw-lim-pai sudah amat terkenal sehingga banyak tokoh kang-ouw memerlukan datang pula. Sembahyangan itu diadakan untuk merayakan hari lahir ketua Siauw-lim-pai yang keseratus tahun!
Kian Hi Hosiang, ketua Siauw Lim Pai, kini sudah amat tua dan pikun, namun masih dihormat dan dicinta oleh semua anak muridnya. Memang jasanya amat besar ketika ia masih kuat. Berkat keuletannya dan disiplin keras yang ia jalankan di Siauw-lim-si, maka partai persilatan ini menelurkan banyak murid-murid pandai dan pendekar-pendekar yang terkenal sebagai penumpas kejahatan. Nama Siauw-lim-pai makin harum, disegani kawan ditakuti lawan.
Sekarang Kian Hi Hosiang sudah terlalu tua, sudah pikun, sehingga kerjanya hanya bersemedhi saja. Sementara urusan Siauw-lim-pai diserahkan kepada muridnya yang paling dipercaya, yaitu murid pertama Cheng Han Hwesio, dan murid kedua Cheng Hie Hwesio. Cheng Han Hwesio tepat memang menjadi calon ketua karena ia berwatak tekun, jujur, keras hati, berdisiplin, dan sebagai seorang hwesio (Pendeta Buddha) ia sudah menjauhkan diri dari pada urusan duniawi.
Ada pun Cheng Hie Hwesio, yang usianya juga sudah lima puluh tahun lebih ini biar pun dalam hal disiplin sama dengan Cheng Han Hwesio, namun sikapnya halus dan ramah-tamah. Cheng Hie Hwesio inilah yang terkenal sebagai hwesio pengawas para murid Siauw-lim-pai. Kalau ada seorang murid Siauw-lim-pai melakukan penyelewengan sehingga menodai nama baik Siauw-lim-pai, biar pun murid murtad itu berada di tempat sejauh seribu lie, dia takkan dapat terbebas dari jangkauan tangan besi Cheng Hie Hwesio yang pasti akan datang menangkapnya dan menghukumnya sesuai dengan peraturan perguruan Siauw-lim-pai!
Para tamu disambut oleh hwesio-hwesio Siauw-lim-si dan dipersilakan duduk di ruangan depan yang amat luas. Setelah terdengar bunyi genta yang keras dan nyaring, semua hwesio berkumpul di ruangan dalam untuk mulai upacara sembahyangan. Asap hio dan nyala lilin membuat suasana menjadi seram. Di barisan belakang para hwesio nampak pula murid-murid bukan hwesio yang terdiri dari laki-laki dan wanita, semua bersikap gagah bersemangat.
Mereka ini adalah murid-murid Siauw-lim-pai bukan pendeta, baik yang masih belajar ilmu silat di kuil besar itu mau pun yang sudah bekerja di luar, yang memepergunakan kesempatan itu untuk ikut memberi hormat dan selamat kepada sukong mereka serta ikut melakukan sembahyang. Hanya beberapa orang murid, kesemuanya murid-murid Kian Hi Hosiang, yang diwajibkan melakukan penjagaan dan perondaan di sekeliling tembok yang memagari Siauw-lim-si.
Seperti telah diceritakan oleh Yap Kwan Bi kepada Lu Sian, pemuda ini termasuk seorang di antara murid-murid yang ditugaskan menjaga. Dia murid termuda Kian Hi Hosiang, murid tersayang, biar pun usianya masih amat muda. Pada saat di ruangan depan kuil Siauw-lim-si penuh tamu dan di ruangan tengah diadakan upacara sembahyangan, maka di bagian belakang bangunan kuil yang besar dan luas itu sunyi senyap, tak terdapat seorang manusia pun.
Akan tetapi pada saat itu kesunyian bagian belakang kuil itu terganggu oleh berkelebatnya bayang-bayang orang yang gerakannya ringan bagaikan burung. Bayangan ini bukan lain adalah Lu Sian. Dengan mudah saja ia tadi muncul dari tembok bagian selatan. Setelah mendapat ‘tanda aman’ dari Yap Kwan Bi yang berjaga di situ, Lu Sian lari melompati tembok selatan dan dengan ringan tubuhnya melayang turun ke pekarangan belakang, terus menyelinap dan berindap-indap masuk melalui bangunan-bangunan kecil di sebelah belakang kuil Siauw-lim-si.
Ia menjadi kagum sekali. Baiknya malam tadi, di antara cumbu rayu, ia telah mendapat gambaran dan keterangan yang amat jelas tentang keadaan Siauw-lim-si ini dari Kwan Bi. Andai kata tidak mendapat keterangan yang jelas lebih dulu, kiranya akan sukar baginya untuk mencari tempat yang dimaksudkan, yaitu kamar kitab. Bukan main luasnya kuil ini, banyak bangunan-bangunan kecil yang sama bentuknya. Akan tetapi ia telah mendapat keterangan jelas, maka ia mulai menghitung dari kiri ke kanan. Bangunan yang ke tujuh belas dari kiri, itulah kamar kitab!
Dengan jantung berdebar Lu Sian mendorong daun pintu. Matanya menjadi silau dan kepalanya pening ketika ia lihat deretan kitab di atas rak buku. Bukan main banyaknya. Kitab-kitab tebal dan sebagian sudah hampir lapuk! Bau di kamar itu amat tidak enak, bau kertas membusuk. Namun ia sudah mendapat keterangan pula di deretan mana letak kitab yang ia kehendaki, maka terus saja ia menghampiri rak dan memeriksa di rak paling atas di ujung kiri.
Wajahnya berseri setelah membuka dua tiga buah kitab. Sebuah kitab yang amat kecil, hanya sebesar telapak tangannya, bersampul kuning. Inilah kitab yang ia kehendaki. Kitab pelajaran Im-yang-tiam-hoat, ilmu menotok jalan darah yang amat terkenal dari Siauw-lim-pai! Cepat ia membuka kancing bajunya sehingga tampak baju dalamnya yang berwarna merah muda. Kitab kecil itu ia masukkan di balik baju dalam, menyelinap di antara buah dadanya. Tempat aman! Dikancingkannya lagi baju luarnya, dan dengan hati girang ia berlompatan menuju ke belakang. Matanya bersinar-sinar dan ia berjanji dalam hati akan menghadiahi Yap Kwan Bi dengan cinta mesra sebagai upahnya!
Bibirnya sudah bergerak hendak memberi tanda dengan suara mendesis seperti yang sudah mereka janjikan ketika ia melihat bayangan tubuh Yap Kwan Bi di atas tembok. Akan tetapi tiba-tiba berobah wajahnya dan ia cepat menyelinap di balik sebuah arca penjaga taman. Orang yang berdiri di atas tembok itu sama sekali bukan Kwan Bi kekasihnya! Melainkan seorang laki-laki lain yang berdiri dengan pedang telanjang di tangan dan matanya menyapu ke arah dalam pekarangan!
Dari luar tembok melayang naik seorang laki-laki lain yang usianya tiga puluh tahun lebih. Dengan gerakan ringan ia berdiri di atas, di sebelah laki-laki pertama, lalu berkata perlahan, "Belum kelihatan?"
"Belum, akan tetapi dia tentu akan keluar melalui sini. Mana Liok-sute?"
"Dia menjaga di tembok timur."
"Dan Yap-sute?"
"Sudah dibawa menghadap ke depan. Ah, siapa kira Yap-sute akan sampai hati berlaku khianat terhadap perguruan kita. Sayang sekali, kasihan dia yang masih amat muda..."
Wajah dua orang laki-laki itu nampak muram dan berkali-kali menarik napas panjang. Dari balik arca itu, Lu Sian menjadi kaget setengah mati. Mendengar percakapan mereka, agaknya perbuatan Yap Kwan Bi menyelundupkannya masuk telah diketahui dan kini Yap Kwan Bi telah ditawan oleh saudaranya sendiri! Tentu saja Lu Sian tidak takut. Ia sudah ingin menerjang naik ke atas mempergunakan kekerasan melawan para penghadangnya.
Akan tetapi ia segera teringat akan Yap Kwan Bi. Pemuda itu dihadapkan di depan, tentu dihadapkan pada para hwesio pimpinan. Tak mungkin ia mendiamkan saja. Ia harus menolong kekasihnya yang tertawan karena dia! Dengan pikiran ini, Lu Sian lalu menyelinap di antara bangunan-bangunan itu menuju ke sebelah dalam, menuju ke depan! Karena maklum bahwa ia berada di tempat berbahaya sekali, ia bersiap-siap dan waspada.
Akan tetapi, di ruangan belakang kuil besar yang menjadi bangunan utama itu tetap sunyi sekali. Setelah ia mendekati ruangan tengah, barulah mulai terdengar suara berisik dari para hwesio yang berdoa. Asap hio menyambutnya ketika Lu Sian memasuki lorong yang menghubungkan ruangan belakang dengan ruangan tengah yang menjadi tempat sembahyang. Dari dalam lorong sudah tampak punggung sebuah arca Buddha yang amat besar. Berdebar jantung Lu Sian. Betapa pun tabahnya, ia merasa ngeri juga kalau memikirkan bahwa ia akan berhadapan dengan para tokoh Siauw-lim-pai yang merupakan tokoh-tokoh nomor satu dalam dunia persilatan!
Hampir saja ia kembali lagi dan nekat menerjang ke luar melalui tembok belakang yang hanya terjaga oleh murid-murid Siauw-lim-pai yang bukan pendeta. Akan tetapi kalau mengingat akan nasib Yap Kwan Bi, ia membatalkan niat ini dan melanjutkan langkahnya berindap-indap menuju ke depan. Ia terlindung dan tertutup oleh arca besar itu, tidak tampak oleh para hwesio yang berlutut di depan arca dan berdoa beramai-ramai.
Lu Sian mencabut pedangnya sambil bersembunyi, agak gelap. Lu Sian memegang pedang dan mengintai dengan hati-hati sekali. Tidak kurang dari lima puluh orang hwesio berlutut dan berdoa. Paling depan tampak seorang hwesio yang amat tua, dengan wajah tekun berlutut dan berdoa, matanya dipejamkan. Melihat usianya, Lu Sian dapat menduga bahwa kakek ini tentulah ketua Siauw-lim-pai, yaitu Kian Hi Hosiang. Di sebelah belakang kakek ini berlutut dua orang hwesio berusia lima puluh tahun lebih. Yang sebelah kanan berwajah keras dan berwibawa, dia menduga tentu Cheng Han Hwesio. Sebelah kiri di belakang kakek itu tentulah Cheng Hie Hwesio yang wajahnya halus tanpa kumis jenggot.
Sejenak Lu Sian meragu. Sulit untuk menerobos ke luar melalui pintu depan tanpa diketahui. Ia sangsi apakah ia akan mampu menerobos di antara sekian banyak tokoh hwesio Siauw-lim-pai yang tersohor sakti. Kemudian ia teringat akan cerita ayahnya tentang para hwesio Siauw-lim-si. Selain terkenal sakti, juga para hwesio Siauw-lim-si adalah pendeta-pendeta yang tekun dalam agama. Maka ia lalu mengambil keputusan. Dengan menekan debaran jantungnya, ia menyarungkan pedangnya, kemudian muncul ke luar dari balik arca dan berjalan dengan langkah tenang, dada dibusungkan, menuju ke luar.....
Dapat dibayangkan betapa marahnya Lu Sian mendengar ejekan-ejekan ini. “Kakek tua bangka mau mampus,” pikirnya marah.
Pada saat ia meloncat jauh ke belakang, tiba-tiba kedua tangannya bergerak dan dari kedua tangannya itu menyambar sinar-sinar kemerahan ke arah Kalisani dan Bu Tek Lo Jin! Kakek cebol ini masih tertawa-tawa, akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya berhenti dan terkejutlah ia melihat sinar merah menyambar. Namun dengan mudah saja ia mengebutkan lengan baju dan semua jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum) yang dilepaskan Lu Sian runtuh ke tanah.
Kalisani sebaliknya kaget sekali. Tahu bahwa dari depan menyambar senjata rahasia berbahaya, ia membanting tubuh ke belakang dan bergulingan, sehingga ia terbebas dari pada ancaman jarum maut. Akan tetapi Lu Sian tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dalam kemendongkolannya, Lu Sian sudah mencabut pedang Toa-hong-kiam dan kini ia memutar pedang menerjang Kalisani dengan Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-hoat yang gerakannya seperti angin badai mengamuk. Kasihanlah Kalisani. Ia berloncatan ke sana ke mari menghindar dari gulungan sinar pedang, gerakannya benar-benar seperti monyet berjoget.
"Wah, bocah jahat!"
Tiba-tiba pedang di tangan Lu Sian berhenti di udara, dan ketika Lu Sian menoleh, kiranya pedangnya itu ujungnya sudah dijepit dua buah jari tangan Bu Tek Lojin. Lu Sian marah sekali. Cepat ia mengerahkan tenaga menarik pedang untuk membikin buntung jari tangan orang. Namun sia-sia, sedikit pun pedangnya tidak bergeming, masih tetap terjepit dua buah jari tangan.
"Lepaskan pedangku!"
"Heh-heh-hoh!"
"Bu Tek Lojin, lepaskan pedangku!"
"Kalau tidak kulepaskan, kau mau apa? Mau panggil ayahmu? Panggillah dia, Aku tidak takut!"
"Ayah tidak berada di sini. Akan tetapi akan kupanggil Bu Kek Siansu!"
Tangan yang menjepit pedang itu tiba-tiba gemetar dan Lu Sian mempergunakan kesempatan ini untuk menarik pedangnya dan meloncat mundur.
"Kau bohong! Dia... dia... eh, tidak berada di sini...," biar pun mulut berkata demikian, namun kakek itu jelalatan memandang ke sana ke mari.
"Hemm, kau tidak percaya? Baru tadi aku bertemu dengan beliau, dan aku mendengar beliau mengancam hendak menghajar kepalamu sampai peyok dan gepeng!"
"Oh... ah... tidak... bisa....!"
"Kau tidak percaya? Biar kupanggil beliau. Beliau paling benci melihat kau mengganggu orang muda. Siansu...! Siansu...! Silakan datang ke sini, Bu Tek Lojin menantang Siansu...!!"
"Ohhh... jangan...! Jangan... aku... aku hanya main-main tadi... Eh, murid tolol, hayo pergi!" Kakek aneh itu menyambar lengan muridnya dan sekali berkelebat mereka lenyap dari tempat itu.
Lu Sian berdiri termenung. Untuk ke sekian kalinya ia mendapatkan orang-orang yang jauh lebih lihai dari padanya! Ah, selamanya ia tentu akan menemui kekecewaan dan penghinaan saja kalau ia tidak berhasil memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi di dunia ini. Ia teringat akan ayahnya. Betapa pun juga, tingkat kepandaian ayahnya sudah amat tinggi dan ia ingat bahwa ayahnya menyimpan kitab-kitab ilmu yang tinggi dan dirahasiakan. Ia harus menemui ayahnya, menceritakan perceraiannya dengan Kam Si Ek, kemudian minta kepada ayahnya untuk menurunkan ilmu-ilmu silat yang tinggi kepadanya.
Dengan pikiran ini, Liu Lu Sian lalu berangkat ke selatan, melakukan perjalanan cepat menuju ke Nan-cao, ke rumah ayahnya. Akan tetapi kembali ia kecewa. Ketika ayahnya mendengar bahwa ia meninggalkan Kam Si Ek, ayahnya marah-marah dan memaki-makinya.
"Isteri dan anak macam apa engkau ini?!" antara lain kata-kata Pat-jiu Sin-ong ketika marah-marah memakinya. "Seorang isteri dan ibu meninggalkan suami dan anak begitu saja?! Sungguh celaka!!"
"Kam Si Ek terlalu kukuh dan cinta kepada tugasnya, Ayah. Asal kuajak pindah dan meninggalkan pekerjaannya, dia marah-marah. Aku bosan dan merasa dijadikan bujang dalam rumah!"
"Huh! Sudah menjadi kewajiban seorang isteri untuk mengurus rumah tangga, melayani suami dan memelihara anak. Ke mana pun si suami pergi, si isteri harus mengikutinya. Sebelum menikah denganmu, Kam SI Ek memang sudah terkenal sebagai seorang patriot, mana ia sudi menuruti kehendakmu meninggalkan tugasnya? Sayang dia menjadi orang Shan-si. Kalau dia menjadi penduduk sini dan membantu negara kita, alangkah baiknya. Dan kau meninggalkannya begitu saja? Anak durhaka! Perbuatanmu ini akan mengotori pula namaku sebagai ayahmu. Tahu?!"
Lu Sian tidak tahan mendengar maki-makian ayahnya dan ia lari ke kamarnya dengan muka merah, menutup diri dalam kamar tidak mau keluar lagi. Ia memeras otak. Agaknya tinggal di rumah ayahnya pun tidak akan menyenangkan, pikirnya. Pula, setelah ayahnya marah-marah agaknya tidak mungkin tercapai pengharapannya, yaitu menerima ilmu-ilmu tinggi dari ayahnya. Oleh karena inilah, maka pada malam hari itu juga ia menyelinap masuk ke dalam kamar pusaka ayahnya, mengambil tiga kitab rahasia simpanan ayahnya yang oleh ayahnya disebut Sam-po Cin-keng (Kitab Tiga Pusaka), lalu malam itu juga ia meninggalkan ayahnya!
Tiga buah kitab itu adalah pusaka yang amat dirahasiakan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Sebuah merupakan kitab pelajaran inti Ilmu Khi-kang Coan-im-I-hun-to (Suara Merampas Semangat Orang). Ada pun kitab kedua merupakan inti Ilmu Pukulan Beng-kong-tong-te (Sinar Terang Menggetarkan Bumi) dan kitab ke tiga adalah inti pelajaran Ilmu Silat Beng-kauw-kun (Ilmu Silat Beng-kauw) yang merupakan ciptaan baru dengan maksud untuk dijadikan pegangan bagi para pimpinan Beng-kauw. Ilmu silat ini adalah gabungan dari pada semua ilmu silat yang pernah diajarkan ayahnya kepada Lu Sian, yaitu Pat-mo-kun, Sin-coa-kun, dan Toa-hong-kun.
Dengan semangat besar Lu Sian mempelajari ilmu-ilmu ini. Beng-kauw-kun dapat ia pelajari dengan mudah. Karena ia sudah mengenal tiga macam ilmu silat itu, maka tentu saja lebih mudah baginya untuk menghafal dan melatih diri dengan ilmu silat gabungan yang amat hebat ini. Akan tetapi bukanlah pekerjaan mudah untuk melatih kedua ilmu perampas semangat melalui suara dan pandang mata. Untuk itu ia harus memperkuat sinkang dan khi-kangnya lebih dahulu. Maka setiap kali ada kesempatan, ia lalu bersemedhi dan melatih tenaga dalam menurut petunjuk kitab-kitab itu.
Di samping melatih diri dengan kitab-kitab yang ia curi dari ayahnya, juga Liu Lu Sian mulai mencari keterangan perihal suling emas seperti yang ia dengar dari Bu Tek Lojin. Kakek ini amat sakti, dan kalau kakek itu sendiri menginginkan suling emas yang katanya menjadi rahasia akan ilmu silat yang paling tinggi, tentu suling emas itu merupakan benda keramat yang tak ternilai harganya. Akan tetapi tak seorang pun di antara orang-orang kang-ouw yang ia tanyai tahu akan benda keramat itu.
Ia merantau terus ke timur dan masuklah ia di daerah yang termasuk wilayah Kerajaan Min (Hok-kian sekarang). Pada suatu hari menjelang senja ia tiba di kota Kim-peng yang ramai dengan perdagangan dan banyak dikunjungi orang luar kota. Lu Sian masuk ke dalam sebuah rumah penginapan An-hoa, tidak mempedulikan pandang mata banyak laki-laki yang berada di ruangan depan. Seorang pelayan terbongkok-bongkok datang menyambutnya, dan langsung bersikap hormat ketika melihat pedang di pinggang Liu Lu Sian.
"Bung Pelayan, sediakan sebuah kamar yang bersih untukku!" kata Lu Sian lantang.
"Maaf, Lihiap (Pendekar Wanita), maaf... semua kamar telah penuh. Dan agaknya di seluruh rumah penginapan dalam kota ini tidak ada lagi kamar kosong karena kota Kim-peng kita kebanjiran tamu yang hendak menyaksikan perayaan besar di kuil Siauw-lim-si."
Mendongkol sekali rasa hati Lu Sian. Sudah biasa baginya tidur di atas pohon atau di dalam goa kalau ia kemalaman di hutan, akan tetapi kalau ia berada di kota seperti sekarang ini, tentu saja ia ingin bermalam dalam sebuah kamar rumah penginapan.
"Ah, tidak bisakah kau mencarikan sebuah kamar untukku?" tanyanya, suaranya bernada kecewa dan menyesal.
"Sungguh mati, saya merasa menyesal sekali, Nona. Kami akan senang sekali dapat melayani Nona, akan tetapi apa hendak dikata, banyak sekali tamu berkunjung. Sebelum Nona datang, sudah banyak pula tamu yang terpaksa kami tolak karena sudah kehabisan kamar."
Lu Sian menghela napas panjang. Menurutkan kemendongkolan hatinya, ingin ia memaksa dan menggunakan kekerasan. Akan tetapi ia tekan perasaan ini dan ia sudah membalikkan tubuh hendak meninggalkan rumah penginapan An-hoa tu ketika tiba-tiba terdengar orang berkata.
"Nona, mencari ke mana pun tidak akan ada gunanya. Lebih baik kau bermalam di kamarku, semalam atau selamanya pun boleh!"
Lu Sian memandang. Laki-laki itu usianya sudah tiga puluh tahun lebih, wajahnya bundar gemuk seperti bola, basah oleh peluh. Baju di dadanya terbuka, agaknya karena hawa yang panas sehingga tampak dadanya yang gemuk berdaging. Matanya sipit, mulutnya menyeringai, sikapnya kurang ajar. Dia ini duduk menghadapi meja bersama tiga orang laki-laki lain yang tersenyum-senyum menahan ketawa.
Hati Lu Sian yang sudah mendongkol itu kini mendidih, akan tetapi hanya dugaannya saja laki-laki ini main-main dengannya, kenyataannya belum terbukti. Maka ia lalu berkata, "Terima kasih atas kebaikan tuan memberikan kamar tuan kepada saya. Akan tetapi tuan sendiri lalu hendak tidur di mana?"
Laki-laki gendut itu tertawa menyeringai memandang kepada tiga orang kawannya yang juga tertawa gembira. Kemudian dia bangkit berdiri dan melangkah maju mendekati Lu Sian sambil berkata, "Aiihhh, Nona, mengapa repot-repot? Kamar yang kusewa itu selain bersih, juga cukup lebar sehingga cukup untuk kita berdua. Kalau sudah pulas aku tidak banyak bergerak!"
"Ha-ha-ha-ha! Heh-heh-heh!" Tiga orang kawannya terpingkal-pingkal. "Memang tidak banyak bergerak akan tetapi kalau sudah pulas! Ha-ha!" si Gendut berkata lagi.
Meledak rasanya hati Lu Sian saking marahnya. Pada saat itu muncul seorang pemuda dari kiri, seorang pemuda yang sejak tadi duduk di meja sudut, berpakaian serba kuning. Cepat ia melangkah maju dan menjura kepada Lu Sian sambil berkata, "Nona, harap jangan melayani mereka. Kau pakailah kamarku, aku dapat tidur bersama dua orang suhengku di kamar belakang...."
Akan tetapi Lu Sian sudah tidak sudi mendengarkan omongan orang lain lagi karena matanya sudah memancarkan cahaya berapi ditujukan kepada si laki-laki gendut. Tiba-tiba tubuhnya bergerak ke depan, saking cepatnya sukar diikuti pandang mata, dan....
"Plak-plak-plak-plak!"
Muka dan tubuh laki-laki gendut itu dihajar habis-habisan oleh kedua tangan Lu Sian, tanpa sedikit pun memberi kesempatan pada si Gendut untuk mengelak, membalas, bahkan bernapas. Tubuh si Gendut itu seperti di sambar petir, tersentak ke kanan kiri, ke belakang, terhuyung-huyung dan akhirnya roboh menabrak kursi. Kulit mukanya hancur mandi darah, kedua matanya menonjol ke luar, hidungnya remuk, telinga kirinya hilang dan napasnya empas-empis mau putus!
"Hayo, mana kawan-kawannya? Maju semua, biar kuhabiskan nyawanya! Bedebah! Keparat bermulut kotor! Hayo kalian bertiga kawannya, bukan? Kalian tadi menertawai aku? Maju semua! Pengecut, anjing bernyali tikus kalian kalau tidak berani maju!" Lu Sian dengan kemarahan meluap-luap menantang dan memaki.
Pemuda pakaian kuning itu agaknya terkejut menyaksikan sepak terjang Lu Sian yang demikian ganas, juga amat kaget mendapat kenyataan bahwa Lu Sian memiliki kepandaian sehebat itu, terbukti dari gerakan tubuhnya yang ringan tangkas sekali.
Si Gendut dan tiga orang kawannya adalah sebangsa buaya darat yang biasa mencari perkara dan mencari keuntungan di tempat-tempat ramai. Tiga orang buaya darat itu menjadi kaget dan marah melihat kawannya dihajar setengah mati. Tadi mereka hanya melongo karena sedemikian cepatnya Lu Sian bergerak sehingga mereka tak sempat menolong kawan. Kini mereka bangkit serentak dan....
"Sratt-sratt-sratt!" tangan mereka telah mencabut golok.
"Awas...! Lari...!!" pemuda baju kuning berteriak kaget kepada tiga orang itu.
Namun terlambat! Sinar merah menyambar dari tangan Lu Sian, tidak hanya ke arah tiga orang buaya darat itu, akan tetapi juga ada yang menyambar ke arah pemuda baju kuning. Pemuda itu dengan gerakan tangkas miringkan tubuh dan tangannya menyambar sebatang jarum Siang-tok-ciam sambil melompat mundur. Akan tetapi tiga orang buaya darat itu sudah terjengkang dan merintih-rintih karena dada mereka sudah tertusuk jarum-jarum berbisa yang dilepas oleh Lu Sian tadi!
"Ah, jarum beracun yang hebat!" pemuda baju kuning itu berseru kaget sambil meneliti jarum merah di tangannya. Kemudian ia melangkah maju mendekati Lu Sian, menjura sambil berkata. "Nona, kumohon dengan hormat sudilah kiranya Nona mengampuni mereka ini dan memberi obat penyembuh racun."
Lu Sian melirik dengan pandang mata dingin. "Hemm, kau memiliki kepandaian juga!" katanya, hatinya panas karena jarumnya dapat ditangkap oleh pemuda itu. "Apakah kau kawan mereka dan hendak membela mereka?" Ucapan terakhir ini dikeluarkan dengan nada suara mengancam.
Pemuda itu tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Sama sekali bukan, Nona. Sebodoh-bodohnya orang macam Yap Kwan Bi ini, masih belum begitu tersesat untuk bersahabat dengan segala macam buaya darat."
Lu Sian merasa heran sekali mengapa hatinya menjadi lega mendegar bahwa pemuda yang tampan sekali ini bukan sahabat penjahat-penjahat itu. Pemuda ini amat tampan, mukanya halus seperti muka wanita, matanya lebar dan memandang dunia dengan jujur dan berani. Senyumnya manis dan dagunya mempunyai belahan yang membayangkan sifat jantan, alisnya seperti golok dan amat hitam.
"Kalau bukan sahabat, mengapa kau mintakan ampun?" tanyanya, masih mengagumi wajah yang amat tampan dan bentuk tubuh yang tegap dan padat.
"Nona, aku tahu bahwa kau adalah seorang pendekar wanita yang lihai dan orang-orang ini mencari mampus berani mengeluarkan ucapan menghina dan kurang ajar terhadapmu. Akan tetapi, nyawa manusia bukanlah nyawa ayam yang mudah dicabut begitu saja. Pula, dengan melayani segala cacing kecil macam mereka ini, bukankah berarti merendahkan kepandaian sendiri? Mereka sudah cukup mendapat pengajaran, maka sepatutnya kalau mereka diampuni dan diberi obat penawar racun. Alangkah tidak baiknya kalau kota yang tenteram ini dikotori oleh pembunuhan yang disebabkan hal-hal kecil! Aku Yap Kwan Bi yang bodoh mengharapkan kebijaksanaan Nona."
Pemuda itu bicara dengan teratur dan sopan, halus dan mengesankan. Seketika lenyap kemarahan di hati Lu Sian, seperti awan tipis tertiup angin. Ia mencibirkan bibirnya dan pemuda itu memejamkan matanya karena jantungnya sudah jungkir balik di dalam dada. Bukan main wanita ini, pikirnya. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan wanita secantik ini. Dan ketika bibir yang kecil mungil dan merah membasah itu mencibir, memuncaklah daya tariknya sehingga ia hampir jatuh berlutut.
Ketika pemuda itu membuka matanya, Lu Sian telah mengeluarkan obat bubuk berwarna kuning, memberikan tiga bungkus kepada tiga orang buaya darat itu sambil berkata, "Cabut jarum-jarum itu dan bersihkan, lalu berikan kepadaku!"
Tiga orang itu dengan tubuh menggigil menahan sakit membuka baju dan mencabut jarum-jarum yang menancap di dada mereka, dua batang seorang. Setelah membersihkan jarum-jarum itu dengan baju, mereka menyodorkannya kepada Lu Sian yang menerima dan menyimpannya.
"Sekarang minum obat ini seorang sebungkus dengan arak!"
Tergesa-gesa mereka membuka bungkusan obat, meminumnya dengan arak dan seketika rasa gatal-gatal dan panas pada tubuh mereka lenyap. Mereka segera menjatuhkan diri, mengangguk-anggukkan kepala sampai dahi mereka membentur lantai di depan Lu Sian.
"Kalian bertiga tidak lekas pergi membawa teman kalian yang sial ini, apakah menanti hajaran lagi?" Yap Kwan Bi berseru, muak menyaksikan sikap mereka itu.
Tanpa banyak bicara lagi tiga orang itu lalu menyeret tubuh teman mereka yang mukanya dirusak oleh Lu Sian tadi, meninggalkan rumah penginapan. Karena semua orang memandangnya dengan mata kagum dan takut, Lu Sian membuang muka dan hendak berjalan keluar meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi Yap Kwan Bi cepat berkata, "Nona, aku tidak main-main ketika menawarkan kamarku. Percayalah, tidak ada niat buruk di hatiku. Pakailah kamarku dan aku akan tidur bersama kedua suhengku yang belum datang. Kami bertiga memakai kamar besar."
Tak enak hati Lu Sian untuk menampik terus. Memang ia membutuhkan kamar dan pemuda ini amat sopan, amat tampan, amat menarik. Ia segera menjura untuk membalas penghormatan pemuda itu. "Terima kasih. Kau baik sekali, Saudara Yap. Karena aku harus membalas setiap kebaikan atau keburukan orang terhadapku, maka aku persilakan kau suka menerima undanganku untuk makan dan minum bersamaku sore hari ini."
Yap Kwan Bi adalah seorang pemuda yang belum pernah bergaul dengan wanita. Penawaran ini mendebarkan jantungnya dan membuat kedua pipinya kemerahan. Masa seorang wanita yang datang sendirian mengajak makan minum seorang pemuda? Akan tetapi ia teringat bahwa wanita ini bukanlah gadis sembarangan, melainkan seorang perantauan di dunia kang-ouw, maka hal itu tidaklah amat janggal. Ia cepat-cepat menjura menghaturkan terima kasih. "Kau baik sekali, Nona. Mari kuantar Nona ke kamar Nona," katanya hormat.
Lu Sian mengangguk dan memanggil pelayan. "Pesankan semeja makanan dan minuman untuk dua orang, pilih masakan yang terbaik dan antarkan cepat ke kamarku."
"Baik, Lihiap, baik...," pelayan itu mengangguk-angguk dan pergi cepat-cepat untuk melakukan perintah orang.
Lu Sian bersama pemuda itu memasuki ruangan dalam, diikuti pandang mata banyak orang yang tadi menyaksikan peristiwa hebat itu. Kamar itu tidak besar, namun cukup bersih. Pemuda itu mengambil bungkusan pakaiannya untuk dipindahkan ke kamar lain dan Lu Sian melihat gagang pedang tersembul ke luar dari dalam bungkusan pakaian. Ia tersenyum. Gerak gerik pemuda ini benar-benar sopan, dan ia demikian tampan, ia demikian tangkas.
"Saudara Yap mari kita duduk bercakap-cakap sambil menanti datangnya hidangan. Silakan."
Mereka duduk menghadapi meja satu-satunya di dalam kamar. Mulut belum berkata apa-apa, mata sudah saling pandang. Sesaat pandang mata mereka bertaut, sukar dilepaskan, lalu muka pemuda itu menjadi merah sekali. Ia menjadi bingung dan gugup sehingga Lu Sian tak dapat menahan senyumnya.
Melihat seorang pemuda terpesona oleh kecantikannya adalah hal yang lumrah, tidak aneh baginya. Akan tetapi biasanya laki-laki yang terpesona oleh kecantikannya itu memperlihatkan sikap kurang ajar, sedangkan pemuda ini sebaliknya malah menjadi malu-malu dan panik! Ia tahu bahwa kalau ia diamkan saja, pemuda itu akan menjadi makin panik, maka ia segera berkata dengan senyum manis menghias bibir. "Saudara Yap memiliki kepandaian yang tinggi, sungguh membuat orang kagum sekali."
Pemuda itu tersenyum dan cepat-cepat menjawab. "Ah, Nona terlalu memuji. Apakah artinya kebodohanku ini dibandingkan dengan kelihaianmu? Justru Nonalah yang membuat semua orang, terutama aku sendiri, menjadi amat kagum."
Pada saat itu pelayan datang mengantar hidangan dan arak yang ia atur di atas meja depan sepasang orang muda itu.
Setelah pelayan pergi, Lu Sian menuangkan arak di atas cawan, lalu berkata sambil tersenyum, "Dalam pertemuan ini kita saling cocok dan menjadi sahabat, akan tetapi janggal sekali sebutan yang masing-masing kita gunakan. Saudara Yap, namaku Lu Sian dan kalau kau suka memberi tahu berapa usiamu, kita dapat mengatur tentang sebutan."
Melihat wanita itu demikian terbuka dan jujur sikapnya, Kwan Bi merasa girang. "Tahun ini usiaku dua puluh satu tahun."
"Kalau begitu biarlah aku menyebutmu Adik dan kau menyebutku Cici!"
Pemuda itu dengan muka gembira bangkit berdiri dan menjura. "Lu-cici (Kakak Lu)!"
Lu Sian juga bangkit berdiri, tertawa gembira mengingat betapa pemuda ini menyangka dia she Lu bernama Sian. Ia pun menjura dan berkata dengan senyum melebar dan kerling mata menyambar, "Yap-te yang baik...!"
Mereka duduk kembali dan Lu Sian mengangkat cawan arak mengajak minum, menawarkan makan dengan sikap lincah manis sehingga lenyaplah rasa malu-malu dan kikuk di pihak pemuda itu. Mereka makan dan sinar mata mereka saling sambar dan saling lekat di kala sumpit-sumpit mereka tanpa sengaja bertemu dan beradu ketika dalam waktu bersamaan mengambil masakan yang sama. Tadinya memang tidak disengaja, akan tetapi lama kelamaan ada unsur kesengajaan!
Ketika hawa arak mulai membikin sepasang pipi Lu Sian menjadi kemerahan, ujung bibirnya bergerak-gerak manis dan sinar matanya memancarkan kehangatan. Ia berkata, "Adik Yap baru berusia dua puluh satu tahun sudah memiliki kepandaian hebat. Bolehkah aku tahu dari perguruan manakah?"
"Lu-cici terlalu memuji. Kepandaianku amat jelek dan masih rendah, boleh dibilang paling rendah di antara murid-murid Siauw-lim-pai."
"Ahh! Kiranya murid Siauw-lim-pai?" Lu Sian menepuk kedua tangannya dengan pandang mata kagum, lalu ia tertawa dan berdiri sambil memberi hormat. "Maafkan tadi aku berlaku kurang hormat kepada seorang pendekar besar dari Siauw-lim!"
"Lu-cici jangan mentertawakan Siauw-te!" Pemuda itu pun berdiri dan tertawa. "Kau membikin aku menjadi kikuk saja! Marilah kita duduk kembali dan jangan terlalu mengadakan pujian kosong terhadap diriku yang bodoh."
Mereka tertawa-tawa gembira dan duduk kembali. Pengaruh arak telah membuat keduanya bicara makin bebas dan gembira, diseling tawa dan senyum serta lirikan mata yang mulai memancarkan dendam birahi.
"Yap-te, siapakah yang belum mendengar tentang kehebatan dan kebesaran Siauw-lim-pai? Ilmu silat dari Siauw-lim-pai adalah warisan langsung dari Tat Mo Couwsu, terkenal sebagai rajanya ilmu silat. Sudah lama aku mendengar akan kebesaran Siauw-lim-pai, dan sejak kecil aku sudah bermimpi-mimpi ingin sekali mendapat kesempatan mengunjungi dan melihat-lihat keadaan dalam kelenteng yang menjadi pusat Siauw-lim-pai!"
"Ah, aku akan merasa bangga dan bahagia sekali andai kata dapat mengantar Lu-cici melihat-lihat ke sana! Sayang, sungguh menyesal hatiku bahwa hal itu tak mungkin karena ada larangan keras wanita memasuki ruangan dalam perguruan kami. Maaf, Lu-cici."
Lu Sian menarik napas panjang. "Sayang sekali, Yap-te. Akan tetapi kalau kau mau menceritakan tentang keadaan sebelah dalam, aku pun bisa membayangkan dan bukankah itu sama dengan melihat sendiri? Aku bisa melihat-lihat dengan meminjam sepasang matamu yang awas." Lu Sian tertawa dan pemuda itu pun tertawa.
Maka sambil makan minum berceritalah Yap Kwan Bi tentang keadaan sebelah dalam kuil Siauw-lim-si yang luas, tentang patung-patung besar, tentang ruangan-ruangan latihan, ruangan ujian dan kemudian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Lu Sian, pemuda ini bercerita tentang kamar kitab.
"Kamar kitab ini merupakan satu di antara kamar-kamar yang tidak boleh dimasuki murid, kecuali kalau masuk bersama Suhu, Susiok (Paman Guru) atau mendapat perkenan langsung dari Sukong (Kakek Guru) ketua Siauw-lim-pai sendiri."
"Adik yang gagah, kau sebagai murid terkasih tentu pernah masuk, bukan?"
Yap Kwan Bi mengangguk. "Sudah belasan kali ketika Suhu menyuruh aku memperdalam Ilmu I-kin-keng untuk membersihkan dan memperkuat otot-otot dalam tubuh dan tentang ilmu semedhi melatih napas."
"Wah, kalau begitu lengkap sekali perpustakaan Siauw-lim-pai! Ah, betapa inginku menjenguk ke sana sebentar. Adikku yang baik, tidak dapatkah kau mengantar Cici-mu ini masuk sebentar saja ke sana?"
Pemuda itu bergidik. "Mana bisa, Lu-cici? Percayalah, kalau ke tempat lain, biar mempertaruhkan nyawa, akan kuantarkan. Akan tetapi ke ruangan dalam Siauw-lim-si? Ah, hukumannya berat, hukuman mati. Dan di sana sama sekali tidak boleh dibuat main-main. Para Suhu amat keras dan lihai."
Lu Sian menghela napas penuh kecewa, akan tetapi dalam benaknya telah tergambar keadaan ruangan-ruangan sebelah dalam Siauw-lim-si seperti yang diceritakan Yap Kwan Bi tadi. "Berapa banyakkah kitab-kitab di dalam kamar kitab itu?"
Ia terus menghujani Kwan Bi dengan pertanyaan-pertanyaan sehingga beberapa saat kemudian Lu Sian sudah tahu betul akan letak dan rahasia kamar ini, betapa kitab tentang semedhi berada di rak terbawah, kemudian Ilmu Silat Lo-han-kun di rak kedua sebelah kiri, ilmu ini di rak itu, ilmu tentang itu di rak ini.
Akan tetapi yang menarik perhatian Lu Sian adalah kitab tentang ilmu menotok jalan darah dari Siauw-lim-pai, yang bernama Im-yang-tiam-hoat. Ilmu ini pernah ia dengar dari ayahnya yang menyatakan bahwa ilmu menotok jalan darah Siauw-lim-pai ini adalah paling hebat, paling kuat dan merupakan dasar pelajaran segala macam ilmu menotok jalan darah. Maka hatinya berdebar ketika ia bertanya kepada Kwan Bi dan mendengar bahwa kitab Im-yang-tiam-hoat itu berada di rak paling atas di ujung kiri.
"Yap-te, aku merasa girang sekali bertemu denganmu dan dapat menjadi sahabat. Kau menyenangkan sekali!"
"Ah, Lu-cici, kaulah yang luar biasa. Kau baik sekali kepadaku dan... aku berhutang budi kepadamu. Entah bagaimana aku dapat membalas kebaikanmu ini, Lu-cici."
Keadaan pemuda itu sudah mulai mabok. Tidak biasa ia minum arak sampai banyak, akan tetapi menghadapi seorang wanita cantik jelita seperti Lu Sian, ia menjadi lupa diri dan minum terus setiap kali si Jelita mengisi cawan araknya. Lenyaplah kekakuan sikap Yap Kwan Bi.
Ketika Lu Sian mengulur tangan kirinya di atas meja, dekat dengan tangan kanannya, jari-jarinya merayap mendekati dan menyentuh kulit tangan halus lunak itu. Biar pun yang bersentuhan hanyalah ujung jari dengan punggung tangan, namun seakan-akan ada aliran listrik memasuki tubuh melalui tempat persentuhan sebagai pusat pembangkit tenaga, langsung menyerang jantung yang menjadi berdebar-debar keras. Karena tidak ada reaksi apa-apa dari pihak Lu Sian, tangan pemuda itu makin berani dan di lain saat sepuluh buah jari tangan mereka sudah saling cengkeram!
"Lu-cici... alangkah janggalnya aku menyebutmu Cici. Kau... kau begini cantik jelita dan tentu lebih muda dari padaku. Kau paling banyak delapan belas tahun...," pemuda itu berkata agak sukar karena cengkeraman jari tangan itu membuat napasnya sesak dan kepalanya pusing!
Lu Sian tersenyum manis dan perlahan-lahan melepaskan jari-jari tangannya, lalu menarik kembali lengannya. Kedua pipinya merah dan kedua matanya terselaput air, bibirnya tersenyum-senyum aneh dan matanya memandang pemuda itu setengah terpejam. Sejenak ia menahan napas untuk menekan desakan nafsu yang menggelora. Dia wanita lemah, mudah dibakar nafsu, akan tetapi dia pun kuat menguasai nafsu yang datang membakar.
"Yap-te, aku memang lebih tua dari padamu."
"Ah, kau ini seperti Bibi Guruku saja, Lu-cici. Dia sudah berusia lima puluh tahun, akan tetapi semua orang tentu tidak percaya karena ia kelihatan masih muda. Ah, agaknya biar pun Bibi Guru tidak mewarisi kelihaian ilmu silat Siauw-lim-pai, namun ia telah mewarisi Ilmu I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Suci Sumsum) dengan sempurna sehingga ia dapat mengalahkan usia tua dan menjadi tetap muda!"
Serentak perhatian Lu Sian terbangkit. "Siapakah Bibi Gurumu yang hebat itu? Apakah aku bisa berkenalan dengannya?"
"Tentu saja bisa, Lu-cici. Dia dahulu bernama Su Pek Hong, dan kini setelah menjadi pendeta wanita disebut Su-nikouw. Ia menjadi ketua kuil wanita di sebelah barat kota. Kau ingin bertemu dengannya, Cici? Mari kuantar!"
"Ah, kau baik sekali! Akan tetapi, aku akan mandi dulu...."
"Mandi? Air persediaan di rumah penginapan ini hanya sedikit, itu pun tidak terlalu bersih, Lu-cici. Di sebelah barat terdapat telaga kecil di sebuah hutan, tidak jauh dari kuil Kwan-im-bio tempat tinggal Bibi Guru Su-nikouw. Airnya jernih sekali dan aku sendiri selalu mandi di sana."
Lu Sian serentak bangkit berdiri, wajahnya berseri. "Kalau begitu menanti apa lagi? Mari kita ke sana, mandi, lalu mengunjungi Bibi Gurumu Su-nikouw!"
Setelah membereskan perhitungan makanan, mereka berdua keluar dari rumah penginapan. Malam telah tiba ketika mereka berada di luar rumah penginapan. Yap Kwan Bi yang mengenal jalan, tanpa ragu-ragu lagi menggandeng tangan Lu Sian, diajak berjalan cepat melalui lorong-lorong gelap. Mereka setengah berlari menuju ke sebelah barat kota, bahkan setelah keluar dari pintu gerbang sebelah barat, mereka berlari cepat sambil tertawa-tawa seperti dua orang kanak-kanak bergembira. Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah hutan yang sunyi dan gelap karena sinar bulan tertutup daun-daun pohon. Jalan yang mereka lalui semakin licin setelah makin dekat dengan telaga kecil yang berada di tengah hutan.
"Hati-hati, jalannya licin..," baru saja Kwan Bi berkata demikian, Lu Sian terpeleset dan tentu jatuh kalau Kwan Bi tidak cepat memeluknya.
"Eh, hampir jatuh aku...," Lu Sian tertawa. Akan tetapi pemuda itu tidak melepaskan pelukannya. "Heee, Yap-te, mengapa kau ini....?" tegurnya pura-pura marah.
Dengan dada turun naik dan napas tersendat-sendat, Kwan Bi mempererat dekapannya dan berbisik di dekat telinga Lu Sian, suaranya menggetar, tubuhnya agak menggigil. "Ah... aku telah gila... aku... aku cinta padamu, Lu-cici!"
Lu Sian tertawa dan mencubit dagu yang halus tak ditumbuhi rambut itu sambil melepaskan diri dari pelukan. "Aihhh, kiranya kau nakal!" kemudian sambil tertawa-tawa ia lari menuju ke telaga.
Kini pohon-pohon tidak begitu banyak lagi dan sinar bulan tampak indah sekali menyinari permukaan air telaga dan membuat keadaan sekeliling yang sunyi itu menjadi amat romantis. Sejenak Yap Kwan Bi tertegun, kemudian ia pun tertawa dan mengejar ke telaga. Cinta memang aneh dan luar biasa pengaruhnya. Seorang muda yang sedang dicengkeram cinta, seakan-akan menjadi buta dan linglung. Demikian pula dengan Kwan Bi. Andai kata dia tidak dibikin mabok dan buta oleh perasaan ini, tentu dia akan menjadi curiga dan heran mengapa seorang wanita sedemikian tinggi ilmu kepandaiannya seperti Lu Sian begitu mudah terpeleset hampir jatuh! Mungkin hal ini terjadi bukan hanya karena ia menjadi buta oleh nafsu cinta, melainkan terutama sekali oleh kekurangan pengalamannya.
"Yap-te, mari kita mandi!" seru Lu Sian dengan suara gembira
Yap Kwan Bi berdiri seperti terpaku di atas tanah, tak kuasa bergerak mau pun membuka suara. Matanya memandang ke arah Lu Sian seperti orang terkena pesona, hanya kalamenjingnya yang bergerak perlahan ketika ia menelan ludah. Pemandangan yang tampak olehnya benar-benar merupakan pemandangan yang belum pernah ia saksikan selamanya, pemandangan indah dan menggairahkan hati mudanya. Betapa tidak? Wanita yang cantik jelita seperti bidadari itu dengan gerakan indah seperti dewi menari, menanggalkan pakaian luarnya begitu bebas, seakan-akan dia tidak berada di situ. Setelah menanggalkan pakaian luar dan kaus serta sepatu, wanita itu kemudian melepaskan sanggulnya, menoleh kepadanya sambil tersenyum lebar lalu meloncat ke dalam air!
Suara air muncrat menyadarkan Kwan Bi, dan ia pun lari mendekati telaga dengan hati berdebar-debar. Cepat ia menanggalkan pula pakaiannya dan melompat ke dalam air, berenang menghampiri Lu Sian yang tertawa-tawa dan bermain-main dengan air yang jernih di tengah telaga. Setelah dekat, Kwan Bi menangkap lengan tangan Lu Sian sambil berkata, "Lu-cici, kau... tidak marah kepadaku?"
"Marah? Kenapa mesti marah?" kata Lu Sian tertawa dan memercikkan air.
"Kau tidak marah mendengar aku mencintaimu?"
"Hi-hik, kenapa marah? Kau baik sekali, akan tetapi harus kau buktikan dulu cintamu!" jawab Lu Sian manja, dan ia kelihatan cantik luar biasa di bawah sinar bulan. Benar-benar seperti seorang dewi dari langit yang turun dan mandi di telaga ini.
"Oh, Lu-cici... aku mencintaimu... aku berani bersumpah, dan kau minta bukti? Ini buktinya...!" Kwan Bi memeluk, merangkul dan mencium.
"Eiiihhh... ini bukan bukti namanya. Belum apa-apa kau sudah mau enaknya saja!" Lu Sian merenggutkan diri terlepas dari pelukan, lalu tertawa-tawa menggoda, membuat pemuda itu makin gemas, makin bergelora gairahnya. "Adikku yang tampan, sebelum itu kau harus membuktikan bahwa kau benar-benar mencintaku dan suka menolongku."
"Pertolongan apakah? Katakanlah, kasihku, katakan. Biar dengan taruhan nyawa sekali pun, aku pasti akan memenuhi permintaanmu, membuktikan cinta kasihku kepadamu," kata Kwan Bi dengan suara gemetar dan tubuh menggigil saking hebatnya golombang nafsu membakarnya.
"Yap Kwan Bi, aku ingin sekali melihat kamar penyimpanan kitab di Siauw-lim-si, memilih sebuah kitab dan meminjamnya. Maukah kau menolongku?"
Bukan main kagetnya hati Yap Kwan Bi. "Ah... ini... ini... agaknya sukar sekali Lu-cici!"
Bibir yang melebihi madu manisnya itu berjebi dan cuping hidung yang bangir itu bergerak-gerak mengejek, "Huhh! Dan kau bilang mencintaku? Berani bersumpah?" Lu Sian berenang ke pinggir telaga dan mendarat, duduk di atas rumput.
Setelah wanita itu keluar dari dalam air, tubuh yang bentuknya ramping padat itu hanya tertutup pakaian dalam yang basah kuyup oleh air pula. Kwan Bi seperti dicabut semangatnya. Sejenak ia menatap pemandangan luar biasa itu, pandang matanya menelan lekuk-lengkung tubuh yang demikian menantang, maka maboklah pemuda ini. Ia lupa segala, tidak peduli akan segala apa di dunia ini, yang teringat olehnya hanyalah wajah jelita dan tubuh menggairahkan. Setiap titik darahnya, setiap hembusan napasnya, seakan-akan berteriak-teriak dalam kerinduan membutuhkan si jelita!
"Lu-cici..., tunggu dulu!" serunya sambil mengejar, berenang ke darat.
Diam-diam Lu Sian tersenyum. Pemuda itu amat tampan, amat menyenangkan dan hatinya memang sudah tergerak. Tanpa adanya harapan melihat kitab pusaka Siauw-lim-pai sekali pun ia akan merasa senang bersahabat dengan Yap Kwan Bi, si muda remaja yang tampan ini. Apalagi kalau mendapatkan kitab!
"Mengapa lagi? Kau tidak mau menolongku, berarti kau tidak suka kepadaku," Lu Sian pura-pura marah dan membuang muka dengan gerakan sedemikian rupa sehingga tubuhnya tampak dari samping dan makin menonjol keindahannya.
Yap Kwan Bi menelan ludah beberapa kali, matanya seperti lekat pada lekuk lekung di depannya. "Lu-cici... aku tadi bukan bilang tidak mau menolong, hanya menyatakan sukar sekali."
"Jadi kau mau menolongku?" tiba-tiba Lu Sian membalik dan memegang lengan pemuda itu. Tentu saja begitu tubuhnya mendekat, dari rambut serta tubuhnya terpancar semerbak bau harum dan wangi yang khas! Menggigil tubuh Kwan Bi dan hampir saja ia menitikkan air mata saking dikuasai haru, kasih dan nafsu.
"Tentu, Lu-cici. Biar pun hal itu merupakan perbuatan yang amat murtad. Kalau ketahuan, tentu akan dihukum mati oleh para Suhu. Namun, demi cintaku kepadamu, Cici, biarlah akan kulakukan juga. Mati untukmu merupakan kebahagiaan bagiku," suaranya menggetar dan terharulah hati Lu Sian.
Agaknya dalam soal cinta, pemuda yang lebih muda dari padanya ini tidaklah kalah oleh bekas suaminya, Kam Si Ek, dan bekas kekasihnya, Tan Hui. Saking terharunya, ia lalu merangkul leher pemuda itu dan memberi ciuman mesra dengan bibirnya.
"Kau baik sekali, Yap-te, dan aku beruntung mendapatkan sahabat seperti engkau." Kemudian ia menjauhkan diri ketika melihat betapa pemuda itu terangsang oleh ciumannya dan hendak mendekapnya. "Nanti dulu, Adikku, bersabarlah. Kau ceritakan, bagaimana kita akan dapat memasuki kamar kitab di Siauw-lim-si? Padahal di sana tentu terjaga kuat oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang lihai."
"Kau betul, Cici. Akan tetapi, kebetulan sekali besok lusa diadakan sembahyang besar di Siauw-lim-si. Agaknya Thian memang akan menolong dan melindungi cinta kasih kita. Dalam upacara sembahyang besar itu, semua murid Siauw-lim-si berikut pimpinannya yang telah menjadi hwesio dan nikouw, melakukan upacara sembahyang beramai-ramai dan berbareng. Tidak ada seorang pun hwesio yang tidak ikut dalam upacara itu. Nah, pada saat itulah, selama upacara sembahyang dilakukan, semua tempat dalam lingkungan Siauw-lim-si tidak terjaga. Ada pun penjagaan hanya dilakukan oleh murid-murid bukan pendeta, itu pun yang dijaga hanya sekeliling tembok yang mengurung Siauw-lim-si. Aku pun ikut menjadi penjaga, penjaga pintu gerbang dan tembok bagian selatan. Kalau aku yang menjaga di sana, apakah sukarnya bagimu untuk masuk? Dan selagi para hwesio melakukan upacara sembahyang, kau dapat dengan leluasa memasuki kamar kitab, bukan?"
Girang sekali hati Lu Sian. "Ah, bagus kalau begitu! Masih dua hari lagi? Ah, masih banyak waktu bagi kita untuk...." Lu Sian mengerling tajam.
"...untuk bersenang-senang bersama bukan?" Yap Kwan Bi langsung menyambar kata-kata yang sengaja tidak diselesaikan Lu Sian.
Lu Sian tersenyum. "Ketika kau menawarkan kamarmu untukku, bukankah di sudut hatimu sudah ada maksud itu?"
Wajah yang tampan itu menjadi merah, akan tetapi pemuda ini menggeleng kepala dan berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Tidak, Lu-cici. Ketika itu aku hanya berniat menolong, karena memang sifat pendekar harus selalu dilaksanakan oleh para murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi... ah, entah mengapa, aku tergila-gila kepadamu, dan aku cinta kepadamu! Tak baik kalau kita kembali ke sana bersama, Lu-cici. Orang-orang tentu akan menaruh curiga. Di sinilah tempat kita, bukankah enak dan nyaman sekali di sini?" Yap Kwan Bi memeluknya lagi dan kali ini Lu Sian mendiamkannya saja.
Tiba-tiba wanita ini bangkit berdiri dan menarik tangan Kwan Bi. "Eh, bocah pelupa! Bukankah kau hendak memperkenalkan aku kepada Bibi Gurumu Su-nikouw?"
Yap Kwan Bi tertawa, agak kecewa karena tidak ada keinginan lain di dunia ini baginya kecuali berdua-dua dan bersenda gurau bermain cinta dengan Lu Sian, jauh dari urusan dan orang lain. Akan tetapi ia tidak berani menolak. Setelah mengenakan pakaian luar, mereka berdua bergandeng tangan dan berlari menuju ke Kuil Kwan-im-bio.
Su-nikouw atau Su Pek Hong adalah seorang nikouw yang ramah tamah wataknya. Ia menjadi ketua Kwan-im-bio yang kecil namun bersih dan rapi, hanya diurus oleh tujuh orang nikouw. Ketika Su-nikouw menyambut kedatangan murid keponakannya, Lu Sian memandang dengan heran dan kagum. Nikouw itu tidak cantik, wajahnya biasa saja dan tubuhnya terlalu kurus. Akan tetapi harus diakui bahwa melihat wajah dan tangannya, wanita ini tentu tidak akan lebih dari tiga puluh tahun usianya. Padahal menurut penuturan Kwan Bi, nikouw ini usianya sudah lima puluh tahun lebih! Benar-benar hebat sekali. Timbullah keinginan di hati Lu Sian untuk mendapatkan ilmu awet muda ini.
"Eh, Kwan Bi, kaukah ini? Dari mana kau dan siapakah Nona ini? Apakah kau tidak ikut membuat persiapan di Siauw-lim-si?"
Yap Kwan Bi sudah memberi hormat, lalu menjawab, "Bibi Guru, kedatangan teecu (murid) adalah untuk mengantar Lu-lihiap (Pendekar Wanita Lu) ini, yang ingin berjumpa dan berkenalan dengan Bibi. Teecu menanti kedatangan Sam-suheng dan Ngo-suheng (Kakak Seperguruan Ke Tiga dan Ke Lima) untuk bersama-sama merencanakan tugas jaga besok lusa." Ia lalu memperkenalkan Lu Sian dan menceritakan betapa Lu Sian memberi hajaran kepada para buaya darat di Kim-peng yang hendak mengganggu.
"Aih kiranya Nona seorang pendekar yang lihai!" Nikouw itu mengangkat kedua tangan di depan dada.
Lu Sian cepat-cepat membalas, menjura dan berkata, "Sudah lama mendengar nama besar Suthai dan setelah bertemu muka, ternyata membuat aku yang muda kagum dan heran luar biasa."
"Omitohud...! Pinni hanya seorang nikouw yang lemah, kepandaian apa sih yang patut dikagumi? Dahulu pinni terlalu malas berlatih silat sehingga dari ilmu silat Siauw-lim-pai yang maha hebat itu, tidak ada seperseratus bagian yang dapat pinni miliki."
"Berhasil melawan usia tua merupakan kepandaian yang paling hebat di dunia ini, yang akan menjadi kebanggaan kaum wanita," kata Lu Sian.
"Aihh, agaknya si bocah nakal Kwan Bi ini yang membocorkan rahasia, ya? Ah, Nona apa sih artinya awet muda bagi seorang pendeta macam pinni? Pinni memang mempelajari ilmu dan pengobatan untuk melawan usia tua, akan tetapi sekali-kali bukan menghendaki awet mudanya, melainkan menghendaki kesegarannya agar jangan terlalu mudah diganggu penyakit!"
Setelah bercakap-cakap sebentar, Lu Sian minta diri, lalu pergi bersama Yap Kwan Bi. Ke manakah mereka pergi? Kembali ke rumah penginapan? Sama sekali tidak. Dua orang muda hamba nafsu ini menyerah bulat-bulat kepada nafsu mereka sendiri, dan semalaman itu mereka bersenang-senang, bersenda gurau dan bermabok-mabokan dibuai nafsu, di dekat telaga dalam hutan.
Yap Kwan Bi adalah seorang pemuda yang sama sekali belum ada pengalaman. Tentu saja dia benar-benar jatuh ketika bertemu seorang wanita seperti Lu Sian. Kwan Bi dimabok nafsunya sendiri yang baginya sama sekali bukan merupakan nafsu, melainkan berubah menjadi cinta kasih murni, cinta kasih yang tidak hanya terbatas pada darah daging, melainkan menjiwa. Cinta kasih suci murni! Sama sekali ia tidak tahu bahwa ia menjadi permainan nafsu belaka, tidak tahu bahwa perbuatannya itu sudah termasuk perbuatan maksiat, perjinahan yang sama sekali tidak patut dilakukan oleh seorang yang menghargai tata susila dan kesopanan, lebih tidak patut dilakukan oleh seorang pendekar atau satria.
Bagi Lu Sian, dia memang sudah tidak peduli lagi! Kalau ia menyukai seorang pria, siapa pun juga dia, harus dia dapatkan. Bukan untuk dicinta selamanya, melainkan untuk menghibur hatinya, dan untuk kemudian dipermainkan atau dipatahkan cintanya! Lu Sian tidak percaya lagi kepada cinta kasih murni, ia hanya mau tunduk kepada cinta nafsu, hanya cinta untuk sementara waktu saja. Ia tidak mau lagi ditundukkan cinta, sebaliknya ialah yang akan mempermainkan cinta kasih orang!
Dua hari kemudian, tepat seperti yang diceritakan oleh Kwan Bi kepada Lu Sian, di Siauw-lim-si yang besar diadakan upacara sembahyangan. Para tamu yang datang dari segenap penjuru di sekitar wilayah itu terdiri dari bermacam golongan. Nama Siauw-lim-pai sudah amat terkenal sehingga banyak tokoh kang-ouw memerlukan datang pula. Sembahyangan itu diadakan untuk merayakan hari lahir ketua Siauw-lim-pai yang keseratus tahun!
Kian Hi Hosiang, ketua Siauw Lim Pai, kini sudah amat tua dan pikun, namun masih dihormat dan dicinta oleh semua anak muridnya. Memang jasanya amat besar ketika ia masih kuat. Berkat keuletannya dan disiplin keras yang ia jalankan di Siauw-lim-si, maka partai persilatan ini menelurkan banyak murid-murid pandai dan pendekar-pendekar yang terkenal sebagai penumpas kejahatan. Nama Siauw-lim-pai makin harum, disegani kawan ditakuti lawan.
Sekarang Kian Hi Hosiang sudah terlalu tua, sudah pikun, sehingga kerjanya hanya bersemedhi saja. Sementara urusan Siauw-lim-pai diserahkan kepada muridnya yang paling dipercaya, yaitu murid pertama Cheng Han Hwesio, dan murid kedua Cheng Hie Hwesio. Cheng Han Hwesio tepat memang menjadi calon ketua karena ia berwatak tekun, jujur, keras hati, berdisiplin, dan sebagai seorang hwesio (Pendeta Buddha) ia sudah menjauhkan diri dari pada urusan duniawi.
Ada pun Cheng Hie Hwesio, yang usianya juga sudah lima puluh tahun lebih ini biar pun dalam hal disiplin sama dengan Cheng Han Hwesio, namun sikapnya halus dan ramah-tamah. Cheng Hie Hwesio inilah yang terkenal sebagai hwesio pengawas para murid Siauw-lim-pai. Kalau ada seorang murid Siauw-lim-pai melakukan penyelewengan sehingga menodai nama baik Siauw-lim-pai, biar pun murid murtad itu berada di tempat sejauh seribu lie, dia takkan dapat terbebas dari jangkauan tangan besi Cheng Hie Hwesio yang pasti akan datang menangkapnya dan menghukumnya sesuai dengan peraturan perguruan Siauw-lim-pai!
Para tamu disambut oleh hwesio-hwesio Siauw-lim-si dan dipersilakan duduk di ruangan depan yang amat luas. Setelah terdengar bunyi genta yang keras dan nyaring, semua hwesio berkumpul di ruangan dalam untuk mulai upacara sembahyangan. Asap hio dan nyala lilin membuat suasana menjadi seram. Di barisan belakang para hwesio nampak pula murid-murid bukan hwesio yang terdiri dari laki-laki dan wanita, semua bersikap gagah bersemangat.
Mereka ini adalah murid-murid Siauw-lim-pai bukan pendeta, baik yang masih belajar ilmu silat di kuil besar itu mau pun yang sudah bekerja di luar, yang memepergunakan kesempatan itu untuk ikut memberi hormat dan selamat kepada sukong mereka serta ikut melakukan sembahyang. Hanya beberapa orang murid, kesemuanya murid-murid Kian Hi Hosiang, yang diwajibkan melakukan penjagaan dan perondaan di sekeliling tembok yang memagari Siauw-lim-si.
Seperti telah diceritakan oleh Yap Kwan Bi kepada Lu Sian, pemuda ini termasuk seorang di antara murid-murid yang ditugaskan menjaga. Dia murid termuda Kian Hi Hosiang, murid tersayang, biar pun usianya masih amat muda. Pada saat di ruangan depan kuil Siauw-lim-si penuh tamu dan di ruangan tengah diadakan upacara sembahyangan, maka di bagian belakang bangunan kuil yang besar dan luas itu sunyi senyap, tak terdapat seorang manusia pun.
Akan tetapi pada saat itu kesunyian bagian belakang kuil itu terganggu oleh berkelebatnya bayang-bayang orang yang gerakannya ringan bagaikan burung. Bayangan ini bukan lain adalah Lu Sian. Dengan mudah saja ia tadi muncul dari tembok bagian selatan. Setelah mendapat ‘tanda aman’ dari Yap Kwan Bi yang berjaga di situ, Lu Sian lari melompati tembok selatan dan dengan ringan tubuhnya melayang turun ke pekarangan belakang, terus menyelinap dan berindap-indap masuk melalui bangunan-bangunan kecil di sebelah belakang kuil Siauw-lim-si.
Ia menjadi kagum sekali. Baiknya malam tadi, di antara cumbu rayu, ia telah mendapat gambaran dan keterangan yang amat jelas tentang keadaan Siauw-lim-si ini dari Kwan Bi. Andai kata tidak mendapat keterangan yang jelas lebih dulu, kiranya akan sukar baginya untuk mencari tempat yang dimaksudkan, yaitu kamar kitab. Bukan main luasnya kuil ini, banyak bangunan-bangunan kecil yang sama bentuknya. Akan tetapi ia telah mendapat keterangan jelas, maka ia mulai menghitung dari kiri ke kanan. Bangunan yang ke tujuh belas dari kiri, itulah kamar kitab!
Dengan jantung berdebar Lu Sian mendorong daun pintu. Matanya menjadi silau dan kepalanya pening ketika ia lihat deretan kitab di atas rak buku. Bukan main banyaknya. Kitab-kitab tebal dan sebagian sudah hampir lapuk! Bau di kamar itu amat tidak enak, bau kertas membusuk. Namun ia sudah mendapat keterangan pula di deretan mana letak kitab yang ia kehendaki, maka terus saja ia menghampiri rak dan memeriksa di rak paling atas di ujung kiri.
Wajahnya berseri setelah membuka dua tiga buah kitab. Sebuah kitab yang amat kecil, hanya sebesar telapak tangannya, bersampul kuning. Inilah kitab yang ia kehendaki. Kitab pelajaran Im-yang-tiam-hoat, ilmu menotok jalan darah yang amat terkenal dari Siauw-lim-pai! Cepat ia membuka kancing bajunya sehingga tampak baju dalamnya yang berwarna merah muda. Kitab kecil itu ia masukkan di balik baju dalam, menyelinap di antara buah dadanya. Tempat aman! Dikancingkannya lagi baju luarnya, dan dengan hati girang ia berlompatan menuju ke belakang. Matanya bersinar-sinar dan ia berjanji dalam hati akan menghadiahi Yap Kwan Bi dengan cinta mesra sebagai upahnya!
Bibirnya sudah bergerak hendak memberi tanda dengan suara mendesis seperti yang sudah mereka janjikan ketika ia melihat bayangan tubuh Yap Kwan Bi di atas tembok. Akan tetapi tiba-tiba berobah wajahnya dan ia cepat menyelinap di balik sebuah arca penjaga taman. Orang yang berdiri di atas tembok itu sama sekali bukan Kwan Bi kekasihnya! Melainkan seorang laki-laki lain yang berdiri dengan pedang telanjang di tangan dan matanya menyapu ke arah dalam pekarangan!
Dari luar tembok melayang naik seorang laki-laki lain yang usianya tiga puluh tahun lebih. Dengan gerakan ringan ia berdiri di atas, di sebelah laki-laki pertama, lalu berkata perlahan, "Belum kelihatan?"
"Belum, akan tetapi dia tentu akan keluar melalui sini. Mana Liok-sute?"
"Dia menjaga di tembok timur."
"Dan Yap-sute?"
"Sudah dibawa menghadap ke depan. Ah, siapa kira Yap-sute akan sampai hati berlaku khianat terhadap perguruan kita. Sayang sekali, kasihan dia yang masih amat muda..."
Wajah dua orang laki-laki itu nampak muram dan berkali-kali menarik napas panjang. Dari balik arca itu, Lu Sian menjadi kaget setengah mati. Mendengar percakapan mereka, agaknya perbuatan Yap Kwan Bi menyelundupkannya masuk telah diketahui dan kini Yap Kwan Bi telah ditawan oleh saudaranya sendiri! Tentu saja Lu Sian tidak takut. Ia sudah ingin menerjang naik ke atas mempergunakan kekerasan melawan para penghadangnya.
Akan tetapi ia segera teringat akan Yap Kwan Bi. Pemuda itu dihadapkan di depan, tentu dihadapkan pada para hwesio pimpinan. Tak mungkin ia mendiamkan saja. Ia harus menolong kekasihnya yang tertawan karena dia! Dengan pikiran ini, Lu Sian lalu menyelinap di antara bangunan-bangunan itu menuju ke sebelah dalam, menuju ke depan! Karena maklum bahwa ia berada di tempat berbahaya sekali, ia bersiap-siap dan waspada.
Akan tetapi, di ruangan belakang kuil besar yang menjadi bangunan utama itu tetap sunyi sekali. Setelah ia mendekati ruangan tengah, barulah mulai terdengar suara berisik dari para hwesio yang berdoa. Asap hio menyambutnya ketika Lu Sian memasuki lorong yang menghubungkan ruangan belakang dengan ruangan tengah yang menjadi tempat sembahyang. Dari dalam lorong sudah tampak punggung sebuah arca Buddha yang amat besar. Berdebar jantung Lu Sian. Betapa pun tabahnya, ia merasa ngeri juga kalau memikirkan bahwa ia akan berhadapan dengan para tokoh Siauw-lim-pai yang merupakan tokoh-tokoh nomor satu dalam dunia persilatan!
Hampir saja ia kembali lagi dan nekat menerjang ke luar melalui tembok belakang yang hanya terjaga oleh murid-murid Siauw-lim-pai yang bukan pendeta. Akan tetapi kalau mengingat akan nasib Yap Kwan Bi, ia membatalkan niat ini dan melanjutkan langkahnya berindap-indap menuju ke depan. Ia terlindung dan tertutup oleh arca besar itu, tidak tampak oleh para hwesio yang berlutut di depan arca dan berdoa beramai-ramai.
Lu Sian mencabut pedangnya sambil bersembunyi, agak gelap. Lu Sian memegang pedang dan mengintai dengan hati-hati sekali. Tidak kurang dari lima puluh orang hwesio berlutut dan berdoa. Paling depan tampak seorang hwesio yang amat tua, dengan wajah tekun berlutut dan berdoa, matanya dipejamkan. Melihat usianya, Lu Sian dapat menduga bahwa kakek ini tentulah ketua Siauw-lim-pai, yaitu Kian Hi Hosiang. Di sebelah belakang kakek ini berlutut dua orang hwesio berusia lima puluh tahun lebih. Yang sebelah kanan berwajah keras dan berwibawa, dia menduga tentu Cheng Han Hwesio. Sebelah kiri di belakang kakek itu tentulah Cheng Hie Hwesio yang wajahnya halus tanpa kumis jenggot.
Sejenak Lu Sian meragu. Sulit untuk menerobos ke luar melalui pintu depan tanpa diketahui. Ia sangsi apakah ia akan mampu menerobos di antara sekian banyak tokoh hwesio Siauw-lim-pai yang tersohor sakti. Kemudian ia teringat akan cerita ayahnya tentang para hwesio Siauw-lim-si. Selain terkenal sakti, juga para hwesio Siauw-lim-si adalah pendeta-pendeta yang tekun dalam agama. Maka ia lalu mengambil keputusan. Dengan menekan debaran jantungnya, ia menyarungkan pedangnya, kemudian muncul ke luar dari balik arca dan berjalan dengan langkah tenang, dada dibusungkan, menuju ke luar.....
Komentar
Posting Komentar