SULING EMAS : JILID-06

Menghadapi pedang Bayisan yang tak boleh dipandang ringan ini, terpaksa Kwee Seng mengeluarkan kipasnya. Dengan kipas di tangan kiri barulah ia bisa menghalau semua ancaman bahaya dari pedang itu.
Sebaliknya Bayisan kaget sekali. Gurunya pernah bercerita bahwa di dunia kang-ouw muncul jago muda bernama Kwee Seng yang berjuluk Kim-mo-eng, akan tetapi gurunya tidak bicara tentang kehebatan pemuda itu. Maka sungguh kagetlah ia ketika melihat betapa pemuda itu hanya dengan kipas di tangan mampu menghadapi pedangnya, malah kini semua jalan pedangnya serasa buntu, lubang untuk menyerang tertutup sama sekali!
“Celaka!” pikirnya.
Walau pun ia amat meragukan, namun andai kata pun ia dapat menangkan sastrawan muda itu, tentu akan makan waktu lama sekali. Pertandingan melawan sastrawan ini tidak penting baginya, lebih penting lagi diri Lai Kui Lan yang ia tinggalkan dalam kamar hotel. Pengaruh totokannya tidak akan tahan lama, apalagi gadis itu memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah. Kalau ia terus melayani sastrawan ini dan Lai Kui Lan dapat membebaskan diri dari totokan, tentu akan terlepas dan lari. Kalau sudah lari kembali ke benteng, sukarlah untuk menangkapnya lagi. Ia akan menderita rugi dua kali, pertama kehilangan calon korban yang begitu menggiurkan, dan yang kedua, rencananya menarik Jenderal Kam Si Ek sebagai sekutu Khitan akan gagal sama sekali.
Berpikir demikian, pemuda Khitan yang cerdik ini lalu mengeluarkan seruan keras dan tinggi, hampir merupakan suara lengking yang memekakkan telinga. Pedangnya kemudian bergerak menusuk-nusuk seperti datangnya belasan batang anak panah.
Kwee Seng terkejut. Lengking tadi hampir mencapai tingkat yang dapat membahayakan lawan. Kalau pemuda Khitan ini tekun berlatih dan menerima bimbingan orang pandai, tentu akan berhasil memiliki ilmu pekik semacam Sai-cu-ho-kang (Auman Singa) yang dapat melumpuhkan lawan hanya dengan pengerahan suara saja! Apalagi lengking itu disusul serangan pedang sehebat itu. Benar-benar pemuda Khitan ini mengagumkan dan berbahaya.
Kwee Seng cepat memutar kipasnya. Karena khawatir kipasnya akan rusak menghadapi hujan tusukan itu, ia mengalah dan meloncat ke belakang. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh Bayisan untuk menggerakan tangan kirinya. Benda-benda hitam menyambar dan Kwee Seng mencium bau yang amat tidak enak ketika ia mengelak hingga jarum-jarum hitam itu lewat di depan mukanya. Jarum-jarum beracun yang lebih jahat dari pada jarum beracun milik Liu Lu Sian! Untuk menghilangkan bau tidak enak, ia meneguk araknya.
Melihat kesempatan yang terbuka itu Bayisan meloncat pergi sambil berkata, "Jembel busuk, Tuanmu tidak ada waktu lagi untuk...." Hanya sampai di sini kata-kata Bayisan karena tiba-tiba ia terguling roboh dan tubuhnya lemas!
Kiranya secepat kilat Kwee Seng tadi telah menyemburkan arak dari mulutnya dan menyusulkan sebuah totokan dengan ujung kipasnya. Gerakannya melompat seperti kilat menyambar sehingga tidak terduga-duga oleh Bayisan yang lebih dulu sudah tersembur arak pada punggungnya. Robohlah tokoh Khitan itu, terguling telentang. Ia berusaha bangkit, namun tak berhasil dan roboh lagi. Di lain saat Kwee Seng sudah berdiri di dekatnya dan menudingkan gagang kipas pada dadanya.
Kini suara Kwee Seng kereng berpengaruh. "Bayisan? Kau terhitung apa dengan Kalisani?"
Bayisan orangnya cerdik sekali. Kalau perlu ia sanggup bersikap pengecut untuk menyelamatkan diri. Seketika ia mengerti bahwa nyawanya tergantung pada jawabannya ini. Tanpa ragu-ragu ia berkata, "Dia kakak misanku, tunggu saja kau akan pembalasannya karena kau berani menghinaku!"
Kwee Seng tertawa bergelak dan melangkah mundur. "Ho-ho-ha-ha! Kau hendak menggunakan nama Kalisani untuk menakut-nakuti aku? Aha, lucu! Justru karena engkau saudara misannya, justru karena memandang mukanya, aku mengampuni jiwamu yang kotor, bukan sekali-kali karena aku takut kepadanya. Huh, manusia rendah yang mencemarkan nama besar orang-orang gagah Khitan!" Kwee Seng meludah, mengenai muka Bayisan, lalu pemuda ini meninggalkan Bayisan, berlari cepat ke dusun.
Ketika memasuki kamar lewat jendela, ia melihat Lai Kui Lan masih telentang di atas pembaringan. Air matanya bercucuran, akan tetapi kini gadis itu sudah mulai dapat bergerak-gerak lemah. Kwee Seng cepat menggunakan ujung kipasnya menotok jalan darah dan terbebaslah Kui Lan.
Gadis ini meloncat bangun, mukanya membayangkan kemarahan besar. Ia bersikap seperti orang hendak bertempur, kedua tangannya yang kecil mengepal, matanya berapi-api memandang ke sana ke mari, mencari-cari. "Mana dia? Mana jahanam terkutuk itu? Aku hendak mengadu nyawa dengan jahanam itu!"
"Tenanglah, Nona. Bayisan sudah pergi. Aku pancing dia keluar dusun dan sekarang dia terbaring di sana, tertotok gagang kipasku. Untung bahaya sudah lewat, Nona, dan kiranya tak baik menimbulkan gaduh di hotel ini sehingga memancing banyak orang datang dan akan timbul pertanyaan-pertanyaan yang amat tak baik bagi nama Nona...."
Tiba-tiba Lai Kui Lan memandang Kwee Seng dan menjatuhkan diri di depan pemuda itu sambil menangis.
Kwee Seng kebingungan dan menyentuh pundak gadis itu dengan halus. "Ah, apa-apaan ini, Nona? Mari bangkit dan duduklah. Kalau hendak bicara, lakukanlah dengan baik, jangan berlutut seperti ini."
Lai Kui Lan menahan isaknya, lalu bangkit dan duduk di atas kursi. Kwee Seng tetap berdiri dan menenggak araknya yang tidak habis-habis itu.
"Kwee-taihiap, kau telah menolong jiwaku...."
"Ah, kau tidak terancam bahaya maut, bagaimana bisa bilang aku menolong jiwamu?"
"Kwee-taihiap, bagaimana bisa bilang begitu? Bahaya yang mengancamku di tangan jahanam itu lebih hebat dari pada maut...." Gadis itu menangis lagi, kemudian cepat menghapus air matanya dengan sapu-tangan. "Sampai mati aku Lai Kui Lan tidak dapat melupakan budi Taihiap..." Tiba-tiba sepasang pipinya menjadi merah dan sinar matanya menatap wajah Kwee Seng penuh rasa terima kasih.
Melihat sinar mata itu, Kwee Seng membuang muka dan menenggak araknya lagi. "Lupakanlah saja, Nona, dan berterima kasihlah kepada Tuhan bahwa kejahatan pasti selalu akan hancur."
"Ah, di mana dia? Aku harus membunuhnya! Dia tertotok di luar dusun?" Setelah berkata demikian, gadis itu cepat ke luar dan berlari di dalam gelap.
Kwee Seng menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang Bayisan patut di bunuh, akan tetapi ia merasa tidak enak kepada Kalisani, tokoh Khitan yang dikagumi semua orang dunia kang-ouw. Maka ia tidak menghendaki nona itu membunuh Bayisan, dan diam-diam ia mengikuti Lai Kui Lan dari jauh. Akan tetapi hatinya lega ketika ia melihat bahwa ketika Lai Kui Lan tiba di luar dusun, Bayisan sudah tak tampak lagi bayangannya. Kembali ia merasa kagum. Pemuda Khitan itu benar-benar luar biasa, dapat membebaskan diri dari totokan sedemikian cepatnya.
Ketika dengan hati kecewa Kui Lan kembali ke kamar itu, ia tidak lagi melihat Kwee Seng, hanya melihat sehelai kertas bertulis di atas meja. Ia memungutnya dan membaca tulisan yang rapi dan bagus.
Para pelayan telah melihat nona datang bersama dia, tidak baik bagi nona tinggal lebih lama di tempat ini, lebih baik cepat kembali.
Surat itu tak bertanda tangan, akan tetapi Kui Lan maklum siapa orangnya yang menulisnya. Dengan helaan napas panjang, ia lalu meloncat ke luar lagi dan berlari-lari menuju benteng sute-nya. Gadis ini tidak tahu bahwa diam-diam dari jauh Kwee Seng mengikutinya untuk menjaga kalau-kalau gadis ini bertemu lagi dengan Bayisan. Setelah gadis itu memasuki benteng, barulah ia berjalan perlahan kembali ke hotelnya, memasuki kamar lalu tidur dengan nyenyak.
Pada keesokan malamnya Kwee Seng berjalan perlahan mendaki bukit Liong-kui-san. Baiknya malam hari itu angkasa tidak terhalang mendung sehingga bulan yang masih besar bersinar terang, menerangi jalan setapak yang amat sukar dilalui. Diam-diam pemuda ini kagum akan keadaan gunung yang tak dikenalnya ini, bergidik menyaksikan jurang-jurang yang amat dalam, dan merasa menyesal mengapa ia kemarin minta supaya Lu Sian datang ke tempat seperti ini. Kalau ia tahu gunung ini begini berbahaya, tentu ia memilih tempat lain. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan ia maklum pula bahwa Lu Sian cukup pandai untuk untuk dapat mendaki gunung ini, ia melanjutkan pendakiannya.
Tepat pada tengah malam ia tiba di puncak bukit. Puncak ini merupakan tempat datar yang luasnya lima belas meter persegi, ditumbuhi rumput tebal, dan di sebelah selatan dan barat merupakan tempat pendakian yang sukar. Ada pun di sebelah utara dan timur tampak jurang menganga, jurang yang tak dapat dibayangkan betapa dalamya karena yang tampak hanya warna hitam gelap mengerikan. Jauh sebelah bawah, agaknya di jurang sebelah timur, terdengar suara air gemericik, akan tetapi tidak tampak airnya.
Ketika tiba di tempat itu, Kwee Seng menengok ke belakang dan menarik napas panjang. Sejak tadi ia tahu bahwa ada orang mengikutinya, dan tahu pula bahwa orang itu bukan lain adalah Lai Kui Lan. Ketika tiba di bagian yang sukar dan banyak batunya tadi, diam-diam ia menyelinap dan mengambil jalan lain turun lagi, maka ia melihat bahwa orang yang membayanginya tadi itu adalah Lai Kui Lan.
Ia diam saja dan tidak menegur, lalu melanjutkan perjalanannya, malah menjaga agar ia tidak mengambil jalan terlalu sukar agar nona yang membayanginya itu dapat mengikutinya dengan aman. Ia menduga-duga apa maksud nona itu dan akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa nona itu tentu ingin pula melihat kelanjutan dari pada urusannya dengan Lu Sian.
Tiba-tiba ia teringat, Lu Sian seorang yang aneh wataknya. Kalau diketahui bahwa ada orang ketiga hadir, tentu akan marah, bukan tak mungkin timbul keganasannya dan menyerang Kui Lan. Oleh karena inilah maka Kwee Seng tidak jadi naik. Cepat ia berlari turun lagi menyongsong Kui Lan.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kui Lan ketika melihat Kwee Seng secara tiba-tiba berdiri di depannya, tak jauh dari puncak. Mereka berdiri berhadapan saling pandang, dan Kui Lan menjadi makin gugup. "Eh... ah... Kwee-taihiap... aku... aku ingin bercerita kepadamu tentang... tentang mengapa aku sampai datang bersama... jahanam itu. Karena aku tidak bisa menjumpai Taihiap di sana, aku... aku lalu datang ke sini karena aku tahu bahwa malam ini Taihiap tentu akan datang di sini." Kata-kata ini diucapkan tergesa-gesa dan tergagap sehingga Kwee Seng merasa kasihan, tidak mau menggodanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendesak.
"Kau aneh sekali, Nona Lai. Mengapakah kau hendak menceritakan hal itu? Akan tetapi biarlah, karena kulihat bahwa orang yang hendak kujumpai di sini belum datang di puncak, baiklah kau bercerita. Nah, sekarang aku bertanya, bagaimana kau bisa bertemu dan tertawan oleh Bayisan? Duduklah biar enak kita bicara."
Lai Kui Lan bernapas lega, lalu ia duduk di atas sebuah batu, berhadapan dengan Kwee Seng yang duduk di atas tanah.
"Kemarin, setelah Taihiap meninggalkan aku di hutan itu...." Ia mulai bicara, suaranya menggetar. "Aku tak dapat menahan hatiku yang merasa kasihan dan kagum kepada Taihiap. Aku kecewa Taihiap tidak sudi menerima undanganku, karena sesungguhnya kami membutuhkan petunjuk-petunjuk orang sakti seperti Taihiap. Aku tidak putus asa dan berusaha mengejar Tahiap yang menunggang kuda...." Ia berhenti sebentar untuk melihat dan menunggu reaksi dari Kwee Seng, akan tetapi pemuda ini diam saja, maka ia melanjutkan ceritanya.
"Setelah keluar dari hutan itu, tiba-tiba muncul Bayisan. Dia menyatakan kehendaknya, yaitu bermaksud untuk membujuk sute untuk bersekutu dengan orang-orang Khitan. Tentu saja aku menjadi marah dan memaki. Kami lalu bertempur dengan kesudahan aku kalah dan tertawan. Dia lihai bukan main, orang Khitan keparat itu. Demikianlah, dalam keadaan tak berdaya aku dibawa ke rumah penginapan itu. Untung Tuhan melindungi diriku sehingga dapat bertemu dengan Taihiap. Kwee-taihiap, kuulangi lagi permohonanku, sudilah kiranya Taihiap berkunjung ke benteng, berkenalan dengan Sute-ku dan kami mohon petunjuk-petunjuk dari Tahiap dalam suasana yang kacau balau ini. Kami seakan-akan hampir kehilangan pegangan, Taihiap, demikian banyaknya muncul raja-raja yang membangun kerajaan-kerajaan kecil sehingga sukar bagi kami untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk."
Di dalam hatinya Kwee Seng memuji. Nona ini, seperti juga Kam Si Ek, adalah seorang yang amat cinta kepada negara, orang-orang berjiwa patriot yang akan rela mengorbankan jiwa raga demi negara dan bangsa. Tak enaklah kalau menolak terus.
"Baiklah, Nona Lai. Setelah selesai urusanku di sini, aku akan singgah di benteng Jenderal Kam."
"Terima kasih, Taihiap, terima kasih...!" Dengan suara penuh kegembiraan Kui Lan menjura, berkali-kali.
"Ssttt, ada orang di puncak. Nona Lai, karena kau sudah terlanjur berada di sini, aku ingin berpesan, kau bersembunyilah dan jangan sekali-kali kau keluar, jangan sekali-kali memperlihatkan diri, apa pun juga yang terjadi. Maukah kau memenuhi permintaanku ini?"
Lai Kui Lan dapat mengerti isi hati Kwee Seng, dengan muka sedih ia mengangguk. Akan tetapi karena muka itu tertutup bayangan, Kwee Seng tidak melihat kesedihan ini. Kwee Seng lalu bangkit dan meninggalkan Kui Lan, mendaki puncak. Benar saja dugaannya, ketika ia tiba di puncak, di sana telah berdiri Liu Lu Sian. Bukan main jelitanya gadis ini. Di bawah sinar bulan yang tak terhalang sesuatu, gadis ini seperti seorang dewi dari khayangan. Sinar bulan membungkus dirinya, rambutnya mengeluarkan cahaya, matanya seperti bintang.
"Kiranya kau tidak lupa akan janjimu. Kwee Seng, aku sudah berada di sini, siap menerima ilmu seperti yang kau janjikan dahulu," kata Liu Lu Sian, akan tetapi suaranya amat tidak menyenangkan hati karena terdengar dingin, alangkah jauh bedanya dengan pribadinya yang seakan-akan menciptakan kehangatan dan kemesraan.
Kwee Seng tahu bahwa gadis itu selain tidak membalas cinta kasihnya, juga mendendam kepadanya. Karena itu, ia pun tidak mau menggunakan sebutan moi-moi (adinda), karena khawatir kalau-kalau hal itu akan menambah kemarahan si gadis dan akan menimbulkan cemoohan terhadap dirinya yang sudah terang tergila-gila kepada Lu Sian.
"Lu Sian, sebetulnya ilmu yang kupergunakan untuk menandingimu dahulu itu hanyalah Ilmu Silat Pat-sian-kun biasa saja."
"Tak perlu banyak alasan, Kwee Seng. Kalau ada ilmu yang hendak kau turunkan kepadaku seperti janjimu, lekas beri ajaran!"
Kwee Seng menggigit bibirnya, lalau berkata, "Kau lihatlah baik-baik. Inilah ilmu silat itu."
Ia lalu bersilat dengan gerakan lambat dan memang ia mainkan Ilmu Silat Pat-sian-kun-hoat dengan tangan kosong, akan tetapi jelas bahwa gerakan-gerakan ini diperuntukkan senjata pedang. Sebetulnya ilmu silat ini ada enam puluh jurus banyaknya. Akan tetapi ketika Kwee Seng menerima petunjuk dari Bu Kek Siansu si Manusia Dewa, ia hanya meringkasnya menjadi seperempatnya saja, jadi hanya enam belas jurus inti yang sudah meliputi seluruhnya dan mencakup semua gerak kembang atau gerak pancingan, gerak serangan atau gerak pertahanan.
Setelah mainkan enam belas jurus itu, Kwee Seng berhenti dan memandang kepada Lu Sian sambil berkata, "Nah, inilah ilmu silatku yang hendak kuajarkan kepadamu, Lu Sian, Sudahkah kau memperhatikan gerakannya? Harap kau coba latih, mana yang kurang jelas akan kuberi penjelasan."
"Ah, kau membohongi aku!" Lu Sian berseru marah. "Ilmu silat macam itu saja, dilihat dari gerakannya jauh kalah lihai dari pada Pat-mo Kiam-hoat ciptaan Ayah! Mana bisa kau kalahkan aku dengan ilmu itu? Kwee Seng, aku tahu, setelah kau tidak bisa mendapatkan cintaku, kau hendak membalasnya dengan menyuguhkan ilmu silat pasaran untuk menghinaku!"
Gemas hati Kwee Seng dan perih perasaannya. Gadis ini terlalu kejam kepada orang yang tidak menjadi pilihan hatinya. "Lu Sian, siapa membohongimu? Ketika aku menghadapimu dahulu, aku tidak menggunakan ilmu lain kecuali ini!"
"Aku tidak percaya! Coba kau sekarang jatuhkan aku dengan ilmu itu!"
"Baiklah. Biar kugunakan ini sebagai pedang." Kwee Seng mengambil sebuah ranting pohon yang berada di tempat itu. "Kau mulailah dan lihat baik-baik, aku hanya akan menggunakan Pat-sian-kun!"
Lu Sian mencabut pedangnya, lalu menerjang dengan gerakan kilat, mainkan jurus berbahaya dari ilmu pedang ciptaan ayahnya, yaitu Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) yang memang diciptakan untuk menghadapi Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa).
Melihat pedang nona itu berkelebat menusuk ke arah dadanya dengan kecepatan luar biasa, Kwee Seng menggeser kakinya ke kiri lalu ranting di tangan kanannya melayang dari samping menempel pedang dari atas dan menekan pedang lawan itu ke bawah disertai tenaga sinkang. Pedang Lu Sian tertekan dan tertempel seakan-akan berakar pada ranting itu! Betapa pun Lu Sian berusaha melepaskan pedang, sia-sia belaka.
"Nah, tangkisan ini dari jurus keempat yaitu Pat-sian-khat-bun (Delapan Dewa Buka Pintu) dan dapat dilanjutkan dengan serangan jurus ke delapan Pat-sian-hian-hwa (Delapan Dewa Serahkan Bunga). Pedang menyambar sesuka hati, boleh memilih sasaran, akan tetapi untuk contoh aku hanya menyerang bahu."
Tiba-tiba ranting yang tadinya menekan pedang itu lenyap tenaga tekannya dan selagi pedang Lu Sian yang telepas dari tekanan ini meluncur ke atas, ranting cepat melesat dan menyabet bahu kanan Lu Sian!
Lu Sian meringis. Tidak sakit, akan tetapi membuatnya amat penasaran. "Coba hadapi ini!" teriaknya dan pedangnya membuat lingkaran-lingkaran lebar. Dari dalam lingkaran itu ujung pedang menyambar-nyambar laksana burung garuda mencari mangsa, mengancam tubuh bagian atas dari lawan.
"Seranganmu ini kuhadapi dengan jurus ke lima yang disebut Pat-sian-hut-san (Delapan Dewa Kebut Kipas) untuk melindungi diri," kata Kwee Seng dan tiba-tiba ranting di tangannya berputar cepat merupakan segunduk sinar bulat melindungi tubuh atasnya. “Dan dilanjutkan dengan serangan jurus ke empat belas yang disebut Delapan Dewa Menari Payung!" tiba-tiba gulungan sinar bulat itu berubah lebar seperti payung dan tahu-tahu dari sebelah bawah, ranting telah meluncur dan menyabet paha Lu Sian sehingga mengeluarkan suara keras. Kalau saja ranting itu merupakan pedang, tentu putus paha gadis itu!
"Aduh...!" Lu Sian menjerit karena pahanya yang disabet terasa pedas dan sakit. "Kwee Seng, kau kurang ajar...!"
"Maaf, bukan maksudku menyakitimu. Sudah percayakah kau sekarang?"
"Tidak! Kau akali aku! Aku minta kau ajarkan ilmu-ilmu silatmu yang terkenal, seperti Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Menaklukan Lautan), atau Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang), atau Ilmu Pukulan Bian-sin-kun (Tangan Sakti Kapas)!"
Kwee Seng terkejut. Bagaimana nona ini bisa tahu akan ilmu-ilmu silat rahasia simpanannya itu? Ia menjadi curiga. Kalau Pat-jiu Sin-ong mungkin tahu, akan tetapi nona ini? Suaranya kereng berwibawa ketika ia menjawab. "Liu Lu Sian, harap kau jangan minta yang bukan-bukan. Aku hanya hendak mengajarkan kau Pat-sian-kun, dan kau harus menerima apa yang hendak kuberikan kepadamu."
"Kau hendak melanggar janji??"
"Sama sekali tidak. Aku berjanji kepada ayahmu hendak mengajarkan ilmu yang dapat mengalahkan ilmu pedangmu itu, dan kurasa Pat-sian-kun yang dapat menjadi Pat-sian Kiam-hoat dapat mengalahkan ilmu pedangmu Pat-mo Kiam-hoat!"
"Hoa-ha-ha-ha! Kau menggunakan akal untuk menipu anak kecil, Kwee-hiante. Sungguh keterlaluan sekali!"
Kwee Seng kaget dan cepat menengok. Kiranya Pat-jiu Sin-ong sudah berdiri di situ, tinggi besar dan bertolak pinggang sambil tertawa. Cepat Kwee Seng memberi hormat sambil berkata, "Ah, kiranya Beng-kauwcu telah berada di sini!"
Akan tetapi di dalam hatinya ia tidak senang dan tahulah ia sekarang mengapa Lu Sian mengenal semua ilmu simpanannya, tentu sebelumnya telah diberi tahu oleh orang tua ini yang hendak mempergunakan puterinya untuk menjajaki kepandaiannya dan kalau mungkin mempelajari ilmu simpanannya.
"Beng-kauwcu, apa maksudmu dengan mengatakan bahwa aku menggunakan akal untuk menipu puterimu?"
"Ha-ha-ha! Kau bilang tadi bahwa Pat-sian-kun dapat menangkan Pat-mo Kiam-hoat! Tentu saja kau dapat menangkan Lu Sian karena memang tingkat kepandaianmu agak lebih tinggi dari pada tingkatnya." Dengan ucapan ‘agak lebih tinggi’ ini terang orang tua itu memandang rendah kepada Kwee Seng, akan tetapi pemuda itu mendengarkan dengan tenang dan sabar. "Andai kata aku yang mainkan Pat-mo Kiam-hoat, apakah kau juga masih berani bilang dapat mengalahkannya dengan Pat-sian-kun?"
"Orang tua yang baik, mana aku yang muda berani main-main denganmu? Kita sama-sama tahu bahwa ilmu silat sama sekali bukan merupakan syarat mutlak untuk memenangkan pertandingan, melainkan tergantung dari pada kemahiran seseorang. Betapa indah dan sulitnya sebuah ilmu, kalau si pemainnya kurang menguasai ilmu itu dapat saja kalah oleh seorang ahli yang mainkan sebuah ilmu biasa saja dengan mahir. Puterimu dahulu kuhadapi dengan Pat-sian-kun, hal ini kau sendiri tahu. Aku berjanji hendak menurunkan ilmu yang kupakai mengalahkan dia, malam ini kuturunkan Pat-sian-kun kepadanya, apalagi yang harus diperbincangkan?"
"Orang muda she Kwee! Dua kali kau menghina kami keluarga Liu!" si ketua Beng-kauw membentak. Suaranya mengguntur sehingga bergema di seluruh puncak, membikin kaget burung-burung yang tadinya mengaso di pohon. Dari jauh terdengar auman binatang-binatang buas yang merasa kaget pula mendengar suara aneh ini.
"Pat-jiu Sin-ong, aku tidak mengerti maksudmu," jawab Kwee Seng tetap tenang.
"Dengan setulus hati aku menjatuhkan pilihanku kepadamu, aku akan girang sekali kalau kau menjadi suami anakku. Akan tetapi kau pura-pura menolak ketika berada di sana. Ini penghinaan pertama. Kemudian kau mengadakan perjalanan dengan puteriku, kuberi kebebasan karena memang aku senang mempunyai mantu engkau. Dalam perjalanan ini kau jatuh cinta kepada Lu Sian, sikapmu menjemukan seperti seorang pemuda lemah. Ini masih kumaafkan karena memang kukehendaki kau mencintainya dan menjadi suaminya. Akan tetapi Lu Sian melihat kelemahanmu dan tidak mau membalas cintamu, melainkan mengharapkan ilmumu. Dan sekarang, kau yang katanya mencintainya mati-matian, ternyata hanya hendak menipunya. Kalau betul mencinta, mengapa tidak rela mewariskan ilmu simpananmu? Inilah penghinaan ke dua!"
Panas hati Kwee Seng. Terang sudah sekarang bahwa orang tua ini secara diam-diam mengawasi gerak-geriknya. Ia menjadi malu sekali mengingat akan kebodohan dan kelemahannya. Akan tetapi orang tua ini terang berlaku curang dan tak tahu malu.
"Pat-jiu Sin-ong! Sama kepala lain otak, sama dada lain hati! Kau menganggap aku menipu, aku menganggap kau dan puterimu yang hendak mendesakku dan bahkan kau hendak menggunakan rasa hatiku yang murni terhadap puterimu untuk memuaskan nafsu tamakmu akan ilmu silat. Tidak, Beng-kauwcu aku tetap dengan pendirianku, karena Pat-sian-kun yang mengalahkan Pat-mo-kun yang dipergunakan puterimu, maka sekarang aku hanya dapat menurunkan Pat-sian-kun saja."
"Singgg!!!" Tanpa diduga kilat menyambar.
Kiranya kilat itu keluar dari pedang di tangan Pat-jiu Sin-ong yang telah dihunusnya secara cepat sekali sehingga seperti main sulap saja, tahu-tahu di tangannya sudah ada sebatang pedang yang kemilau. Inilah Beng-kong-kiam (Pedang Sinar Terang) yang sudah puluhan tahun menemani tokoh ini merantau sampai jauh ke barat, pedang yang minum entah berapa banyaknya darah manusia.
"Kalau begitu, kau cobalah hadapi Pat-mo-kiam dengan Pat-sian-kiam!" teriaknya.
Terkejutlah Kwee Seng. Menghadapi seorang tokoh seperti Pat-jiu Sin-ong, bukanlah hal main-main, karena berarti merupakan pertempuran hidup mati yang makan waktu panjang. Pat-jiu Sin-ong pernah bertanding selama dua hari dua malam melawan Ban-pi Lo-cia dan berkesudahan seri, tiada yang kalah atau menang. Ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya kepandaian kakek ini. Dan sekarang kakek ini mengajak ia bertanding pedang!
Kwee Seng tidak mempunyai pedang. Biasanya ia menggunakan suling sebagai pengganti pedang, akan tetapi sulingnya tidak ada lagi! Namun Kwee Seng adalah seorang pemuda gemblengan yang telah memiliki batin yang kuat sekali. Kalau baru-baru ini batinnya tergoncang dan lemah oleh asmara, hal ini tidaklah aneh karena ia masih muda, tentu saja menghadapi Dewi Asmara ia tidak akan kuat bertahan!
Dengan sikap tenang Kwee Seng mengambil ranting yang tadi ia lepaskan di atas tanah, lalu menghadapi kakek itu sambil berkata, "Pat-jiu Sin-ong, aku tidak mempunyai senjata lainnya selain ini. Kalau kau bertekad hendak memaksaku, silakan."
"Ha-ha-ha-ha, Kwee Seng. Coba kau keluarkan Pat-sian-kun yang kau agung-agungkan itu menghadapi Pat-mo-kun! Lu Sian, mundur kau jauh-jauh dan jangan sekali-kali campur tangan!"
Lu Sian meloncat mundur, menonton dari pinggir jurang.
Pat-jiu Sin-ong memutar-mutar pedangnya di atas kepala sambil tertawa bergelak. Hebat sekali kakek ini. Pedangnya yang diputar di atas kepala itu berdesingan mengaung-ngaung seperti suara sirene dan lenyaplah bentuk pedang, berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang terangnya melebihi sinar bulan.
"Kwee Seng, inilah jurus ke tiga dari Pat-mo-kun, sambutlah!" teriak Pat-jiu Sin-ong, disusul dengan menyambarnya sinar terang ke arah Kwee Seng.
Karena Pat-mo Kiam-hoat ini sengaja diciptakan untuk menghadapi Pat-sian Kiam-hoat, maka tentu saja gerakannya ada persamaannya. Kwee Seng mengenal baik gaya serangan ini, akan tetapi ia maklum bahwa jurus ini kalau dimainkan oleh Pat-jiu Sin-ong amatlah jauh bedanya dengan permainan Lu Sian. Jurus apa saja kalau diperagakan oleh tangan kakek ketua Beng-kauw ini merupakan jurus maut yang amat hebat dan berbahaya.
Sekali pandang ia tahu bahwa jurus lawannya ini harus ia hadapi dengan Pat-sian-kun jurus ke sebelas. Setiap jurus Pat-sian-kun yang sudah ia ringkas itu dapat menghadapi empat macam jurus lawan. Sambil mengerahkan tenaganya ia menggerakkan ranting di tangan kanannya, memutar-mutar ranting itu seperti gerakan seekor ular berenang. Dengan tepat rantingnya berhasil menangkis pedang.
"Krakkk!" ranting itu patah menjadi dua.
Pat-jiu Sin-ong menarik pedangnya sambil tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, kau sungguh tak memandang mata kepadaku, Kim-mo-eng! Apa kau kira dapat mempermainkan aku hanya dengan sepotong ranting saja seperti yang kau lakukan kepada Lu Sian?"
"Kau tahu bahwa aku tidak memiliki senjata pedang, Pat-jiu Sin-ong," jawab Kwee Seng dengan sikap tenang, akan tetapi diam-diam ia senang juga. Ternyata ketua Beng-kauw ini biar pun wataknya aneh dan kadang-kadang kejam ganas, namun masih memiliki kegagahan seorang tokoh besar sehingga tadi menarik kembali pedangnya ketika senjata lawannya yang tak berimbang kekuatannya itu patah.
"Lu Sian, kau pinjamkan pedangmu kepadanya, biar dia mencoba membuktikan omongannya bahwa Pat-sian-kun dapat mengalahkan Pat-mo-kun kita."
Lu Sian mengeluarkan suara ketawa mengejek, mencabut pedangnya dan melontarkannya ke arah Kwee Seng. Jangan dipandang ringan lontaran ini, karena pedang itu bagaikan anak panah terlepas dari busurnya terbang ke arah Kwee Seng. Ahli silat biasa saja tentu akan ‘termakan’ oleh pedang terbang ini. Akan tetapi dengan tenang Kwee Seng mengulur tangan dan tahu-tahu ia telah menangkap pedang itu dari samping tepat pada gagangnya.
"Ha-ha-ha, sekarang kau sudah bersenjata pedang. Kalau kalah jangan mencari alasan lain. Awas, sambut ini jurus ke tujuh Pat-mo-kun!" kata Pat-jiu Sin-ong sambil menggerakkan pedangnya membabat ke arah iga kiri Kwee Seng dilanjutkan dengan putaran pedang membalik ke atas menusuk mata kanan.
Diam-diam Kwee Seng mendongkol. Terang bahwa Ketua Beng-kauw ini sengaja mengejek dan memandang rendah kepadanya sehingga setiap menyerang menyebut urutan nomor jurus Pat-mo-kun. Kalau ia tidak memperlihatkan kelihaiannya, kakek yang sombong ini akan menjadi semakin sombong, pikirnya. Maka ia cepat memutar pedang pinjamannya itu, pedang yang amat ringan dan enak di pakai.
Tahu bahwa pedang Toa-hong-kiam ini merupakan pedang pusaka yang ampuh juga, hatinya besar dan cepat ia mainkan Pat-sian Kiam-sut dengan pengerahan tenaga sinkang-nya. Dua kali serangan lawan dapat ia tangkis, dengan meminjam tenaga lawan kemudian pedangnya terpental seperti terlepas dari tangannya, padahal sebetulnya terpentalnya pedang itu terkendali sepenuhnya oleh tenaga sinkang-nya, maka dapat ia atur sehingga pedang itu terpental dengan ujungnya mengarah tenggorokan lawan yang sama sekali tidak menyangkanya.
Pat-jiu Sin-ong diam-diam kaget juga karena ia tidak mengira bahwa serangan pertamanya itu seakan-akan malah dijadikan batu loncatan oleh Kwee Seng sehingga bukan merupakan serangan lagi melainkan merupakan tenaga bantuan bagi lawan untuk balas menyerang dengan tenaga sedikit namun dapat mematikan! Ketika Pat-jiu Sin-ong menarik kembali pedangnya dan menangkis sambil menggetarkan pedangnya untuk membuka kesempatan serangan balasan, kembali pedang Kwee Seng yang tertangkis itu terpental dan langsung membabat leher!
Kaget sekali hati Pat-jiu Sin-ong. Bukan kaget menghadapi serangan ini, sebab baginya mudah saja menghindari diri dari pada babatan. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya adalah menyaksikan perubahan jurus-jurus Ilmu Silat Pat-sian-kun ini. Ia mengenal bahwa semua gerakan Kwee Seng adalah benar-benar Pat-sian-kun. Namun dimainkan seperti ini sehingga menjadi ilmu silat yang lihai sekali, benar-benar ia melihat bahwa kalau ia melanjutkan serangan-serangan dengan Pat-mo-kun, ia selalu akan terserang oleh Kwee Seng karena setiap kali ia menangkis dengan jurus Pat-mo-kun, pedang di tangan Kwee Seng yang tertangkis itu terpental dan langsung menjadi jurus lain yang melanjutkan serangan!
Pat-jiu Sin-ong mengeluarkan seruan keras, lengking suaranya hebat sekali, seakan-akan menggetarkan bumi yang berada di telapak kaki. Gemanya sampai panjang susul-menyusul di kanan kiri puncak. Kwee Seng cepat mengerahkan sinkang-nya karena jantungnya berguncang mendengar lengking tinggi ini. Diam-diam ia makin kagum. Kakek ini bukan main hebatnya, dan lengking tadi tak salah lagi tentulah Ilmu Coan-im-I-hun-to (Ilmu Kirim Suara Pengaruhi Semangat Lawan) yang terkenal sekali dari ketua Beng-kauw.
Kalau saja sinkang-nya tidak sudah amat kuat, tentu ia akan menjadi setengah lumpuh mendengar seruan ini. Bahkan ia percaya, mereka yang tidak memiliki ilmu tinggi, mendengar lengking ini jantungnya bisa tergetar dan tewas seketika! Ia dapat melindungi jantung dan perasaannya dari pada pengaruh lengking tadi, sedangkan permainan pedangnya tetap tenang dan selalu menggunakan kesempatan melanjutkan serangan-serangan yang terus ia dasarkan pada Ilmu Silat Pat-sian-kun. Betapa pun juga, Kwee Seng adalah seorang satria perkasa, sekali berjanji hendak menggunakan Pat-sian-kun, ia akan terus menggunakan ini, biar andai kata ia terancam bahaya maut sekali pun!
Setelah gema suara lengking itu mereda, sambil menusukkan pedangnya ke arah pusar lawan dengan jurus Pat-sian-lauw-goat (Delapan Dewa Mencari Bulan), Kwee Seng berkata, "Orang tua, apakah begitu perlu Pat-mo-kun harus kau bantu dengan Coan-im-kang (Tenaga Mengirim Suara) untuk mengalahkan Pat-sian-kun?"
Merah wajah Pat-jiu Sin-ong. Ia mengerahkan tenaga menangkis tusukan ke arah pusar sambil menjawab, "Pat-mo Kiam-sut belum kalah, jangan kau banyak tingkah dan menjadi sombong!"
Akan tetapi, ketika pedang Kwee Seng tertangkis, pedang itu kembali sudah terpental dan membentuk jurus Pat-sian-ci-lou (Delapan Dewa Menunjuk Jalan) yang menusuk ke arah leher. Gerakan Kwee Seng begitu cepat dan susulan serangannya secara otomatis sehingga lawannya tiada kesempatan untuk membalas. Karena jelas bahwa Pat-mo-kun selalu ‘tertindih’ oleh Pat-sian-kun, makin lama makin panaslah hati Pat-jiu Sin-ong, yang membuat dadanya serasa akan meledak!
Pat-jiu Sin-ong menggereng, dan kini Pat-mo Kiam-sut ia mainkan cepat sekali dalam usahanya untuk mendobrak dan membobol garis kurungan Pat-sian-kun. Pedangnya bergulung-gulung merupakan sinar terang, berubah-ubah bentuknya, kadang-kadang merupakan sinar bergulung-gulung membentuk lingkaran-lingkaran. Hebat sekali memang Pat-mo Kiam-sut yang diciptakan oleh kakek sakti itu.
Namun Kwee Seng sudah mengetahui rahasia Pat-mo-kun, karena sesungguhnya Pat-mo-kun diciptakan dengan dasar Pat-sian-kun dan Kwee Seng adalah seorang ahli Pat-sian-kun. Maka pemuda sakti ini dapat menggerakkan pedangnya yang selalu mengatasi gerakan lawan, selalu mengurung dan selalu menindih, sebagian besar dia yang menyerang. Lingkaran-lingkaran yang dibentuk oleh gulungan sinar pedangnya lebih luas dan lebih lebar, seakan-akan ‘menggulung’ lingkaran sinar Pat-jiu Sin-ong!
Dua jam lebih mereka bertanding. Selama ini Pat-jiu Sin-ong selalu mainkan Pat-mo-kun sedangkan di lain pihak Kwee Seng mainkan Pat-sian-kun. Biar pun Kwee Seng juga tidak pernah dapat menyentuh lawan dengan pedangnya, namun dalam pertandingan selama dua jam ini, jelas bahwa Pat-sian-kun lebih unggul karena delapan puluh prosen Kwee Seng menyerang sedangkan lawannya selalu harus mempertahankan diri dengan sekali waktu membalas serangan yang tiada artinya.
Makin lama Pat-jiu Sin-ong makin marah. Bukan marah kepada Kwee Seng melainkan panas perutnya karena benar-benar Pat-mo Kiam-sut tidak dapat mengatasi Pat-sian-kun. Memang watak ketua Beng-kauw ini aneh sekali, tidak mau ia dikalahkan. Ia sebenarnya amat suka kepada Kwee Seng, bahkan ia akan merasa gembira sekali kalau puteri tunggalnya dapat menjadi isteri Kwee Seng yang ia kagumi ini. Akan tetapi kalau ia harus kalah, nanti dulu! Watak ini pula agaknya yang menurun kepada Lu Sian.
"Kwee Seng! Kalau Pat-mo-kun tidak dapat mengatasi Pat-sian-kun, itu pun belum cukup menjadi alasan untukmu menurunkannya kepada anakku! Apa artinya Pat-sian-kun yang biar pun sedikit lebih unggul dari pada Pat-mo-kun? Jika Pat-sian-kun dapat mengalahkan ilmuku yang lain, bukan hanya Lu Sian, aku sendiri akan membuang semua ilmu silatku dan hanya mempelajari satu macam ilmu saja, yaitu Pat-sian-kun!"
Setelah berkata demikian, kakek itu kini memutar pedangnya sedemikian hebatnya sehingga gulungan sinarnya bergelombang datang hendak menelan Kwee Seng! Di samping gelombang gulungan sinar pedang itu, masih terdengar angin menderu menyambar ketika tangan kiri kakek itu ikut menerjang dengan dorongan-dorongan jarak jauh yang mengandung angin pukulan kuat sekali!
"Hei... hei...! Orang tua, apakah kepalamu kebakaran? Hati boleh panas, kepala harus tetap dingin!" Kwee Seng sibuk sekali memutar pedangnya untuk melindungi diri sambil mengucapkan kata-kata memperingatkan.
"Ha-ha-ha, orang muda, kau mulai takut?"
Kata-kata takut adalah pantangan bagi semua orang gagah, tak terkecuali Kwee Seng. Mendengar ia disangka takut, hatinya panas sekali. "Siapa takut?!" bentaknya dan pandangnya berkelebat-kelebat dalam usaha membalas serangan.
Namun, Pat-sian Kiam-sut kurang lengkap kalau harus melayani gelombang serangan ilmu pedang itu, apalagi masih dibantu dengan sambaran angin pukulan tangan kiri yang demikian ampuhnya. Kwee Seng masih terus mempertahankan dengan permainan Pat-sian Kiam-hoat. Biar pun ia mampu membendung gelombang serangan, namun ia terdesak dan harus mundur-mundur ke arah jurang hitam!
"Ha-ha-ha, Kim-mo-eng! Begini sajakah kepandaianmu? Apakah kau hanya mengandalkan Pat-sian-kun untuk menjagoi dan mengangkat nama sebagai seorang pendekar sakti? Ha-ha-ha, sungguh lucu!" Pat-jiu Sin-ong tertawa bergelak.
Kwee Seng biar pun sudah menerima gemblengan semenjak kecil, namun ia tetap masih seorang pemuda yang kalau dibandingkan dengan Pat-jiu Sin-ong, tentu saja kalah pengalaman dan kalah cerdik. Ia tidak mengira sama sekali bahwa kakek itu memang sengaja menyerangnya dengan ilmu silat pilihan untuk mendesaknya dan sengaja pula memanaskan hatinya agar ia suka menggunakan ilmu simpanannya. Kakek yang haus akan ilmu silat itu menggunakan semua ini untuk memancing keluar ilmu-ilmu simpanannya!
Kwee Seng tidak menduga akan hal ini, maka mendengar ejekan itu ia lalu berseru keras dan tiba-tiba muncul angin yang mengeluarkan suara bersiutan menyambar dari tangan kirinya yang sudah mengeluarkan kipasnya! Kini ia merasa dirinya lengkap! Tangan kanan memegang pedang mainkan Pat-sian Kiam-hoat sedangkan tangan kiri memegang kipas mainkan Ilmu Kipas Lo-hai San-hoat! Bukan main hebatnya.
Namun pasangan ilmu pedang dan ilmu kipas yang selama ini mengangkat namanya sehingga ia dijuluki Kim-mo-eng hanya dapat membendung gelombang penyerangan Pat-jiu Sin-ong saja, tanpa dapat banyak membalas. Karena ia tidak ingin terdesak terus ke pinggir jurang yang hanya tinggal tiga meter di belakangnya, terpaksa Kwee Seng merobah gerakan pedangnya. Kini pedangnya mulai mainkan Ilmu pedang Cap-jit-seng-kiam yang jarang ia keluarkan karena ilmu pedang ini merupakan ilmu pedang rahasia yang menjadi inti sari dari pada ilmu pedang simpanannya.
Melihat pemuda itu mengeluarkan ilmu pedang simpanannya, diam-diam hati Pat-jiu Sin-ong menjadi girang sekali. Ia tahu bahwa mengalahkan pemuda ini bukan merupakan hal mudah, dan memang tiada maksudnya untuk dapat mengalahkannya cepat-cepat sebelum menguras dan mempelajari ilmu-ilmu pemuda ini yang benar-benar merupakan ilmu pilihan.
Hebat pertandingan itu dan diam-diam Kwee Seng harus mengakui bahwa selama hidupnya, baru kali ini ia menemui tanding yang luar biasa kuatnya. Bahkan harus ia akui bahwa kalau dibandingkan dengan Ban-pi Lo-cia, ketua Beng-kauw ini lebih kuat sedikit. Biar pun ia telah mengerahkan kepandaian dan tenaganya, tetap saja ia tidak mampu mendesak ke tengah. Apalagi ketika tiba-tiba ia teringat akan watak gila kakek ini yang ingin mengumpulkan semua ilmu hebat di dunia sehingga Kwee Seng yang sadar bahwa ia sedang dipancing, cepat-cepat mengacaukan gerakan Cap-jit-seng-kiam itu dengan ilmu silat lainnya.
Melihat perubahan ini, hati Pat-jiu Sin-ong yang tadinya kegirangan menjadi kecewa. Timbullah kemarahannya sehingga ia memperhebat permainannya untuk mendesak dan menekan Kwee Seng agar pemuda itu terpaksa mengandalkan Cap-jit-seng-kiam lagi. Sekarang waktu sudah berjalan tiga jam lebih dan subuh mulai membayang.
Pada saat Kwee Seng terdesak hebat, tiba-tiba pemuda ini berseru keras dan terhuyung-huyung ke belakang. Tadi ketika ia sedang sibuk mempertahankan diri menghadapi gelombang serangan, tiba-tiba telinganya menangkap bunyi mendesir dari arah kiri. Ia terkejut sekali, maklum bahwa ada senjata rahasia yang amat halus menghujaninya, cepat ia mengebutkan kipasnya dan berhasil menyampok banyak sekali jarum-jarum halus, akan tetapi sebatang jarum masih berhasil memasuki pundaknya, mendatangkan rasa sakit sekali.
Pundaknya seketika menjadi kaku dan setengah lumpuh, juga timbul rasa gatal yang membuktikan bahwa jarum itu mengandung racun jahat. Kwee Seng terhuyung ke belakang dan terpaksa melepaskan pedang di tangan kanannya yang sudah menjadi lumpuh. Pada saat itu kembali ia dihujani jarum yang lebih banyak lagi. Dalam keadaan terhuyung ini, Kwee Seng yang maklum bahwa jarum-jarum itu amat berbahaya, menyampok dengan kipasnya sambil melompat mundur, akan tetapi ia lupa bahwa ketika ia terhuyung-huyung ke belakang tadi ia telah mendekati jurang sehingga jarak satu meter. Maka ketika ia melompat ke belakang sambil menyampok kipasnya, memang ia dapat membebaskan diri dari pada penyerangan jarum-jarum rahasia, namun tak dapat dicegah lagi tubuhnya terjerumus ke dalam jurang dan melayang-layang ke bawah tanpa dapat ditahannya! Terdengar jerit mengerikan dari belakang semak-semak dan muncullah Lai Kui Lan yang lari ke tepi jurang sambil menangis.
"Pengecut keparat!" bentak Pat-jiu Sin-ong sambil lari dan menghantamkan pedangnya ke arah bayangan hitam yang tadi menyerang dengan jarum-jarum rahasianya ke arah Kwee Seng.
"Lo-cianpwe, saya membantumu..." Bayangan itu yang bukan lain adalah Bayisan si Orang Khitan, mengelak sambil memprotes.
Akan tetapi Pat-jiu Sin-ong Liu Gan tidak mempedulikan protes ini. "Siapa butuh bantuanmu? Kau pengecut curang patut mampus!"
Pedangnya menyambar lagi akan tetapi alangkah herannya ketika bayangan hitam itu kembali dapat mengelak. Dua kali serangannya dapat dielakkan! Ini tandanya bahwa orang muda ini bukanlah orang sembarangan.
"Siapa kau?" bentaknya, menahan serangannya karena gerakan pemuda itu menarik perhatiannya, membuatnya ingin tahu siapa gerangan pemuda yang dapat mengelak sampai dua kali ini.
"Saya bernama Bayisan dari Khitan musuh besar Kwee Seng...."
"Keparat orang Khitan! Kau telah bersikap pengecut!"
Kembali Pat-jiu Sin-ong menyerang, kali ini lebih hebat. Bayisan gelagapan dan maklum bahwa ia tidak boleh main-main menghadapi kakek ini, maka ia cepat melompat ke belakang dan melarikan diri dalam gelap. Pat-jiu Sin-ong mengejar sambil memaki-maki.
Sementara itu, Liu Lu Sian yang pucat mukanya menyaksikan Kwee Seng terjerumus ke dalam jurang hitam yang hanya dapat berarti maut, merasa heran melihat seorang gadis pakaian putih lari ke tepi jurang sambil menangis. Ketika ia mendekat, ia tekejut mengenal wanita itu sebagai wanita pakaian putih yang ia hadapi di atas genteng gedung dalam benteng Jenderal Kam Si Ek, gadis yang menjadi suci (kakak seperguruan) Kam Si Ek!
Pada saat itu, Lai Kui Lan membalikkan tubuhnya. Dengan pipi basah oleh air mata, ia mendamprat Lu Sian. “Gara-gara kau, dia celaka!”
Lu Sian yang ingat bahwa gadis itu adalah kakak seperguruan Kam Si Ek yang di kaguminya, menjawab halus, "Cici yang baik, kalau memang sejak tadi kau mengintai, tentu kau maklum bahwa bukan aku mau pun ayahku yang membuat Kwee Seng terjerumus ke dalam jurang, melainkan seorang yang mengaku bernama Bayisan dan yang sekarang dikejar-kejar ayah. Akan tetapi, engkau, bagaimana kau mengenal Kwee Seng dan mengapa pula kau menangisinya?"
Tiba-tiba wajah Kui Lan menjadi merah sekali. Dia seorang gadis yang jujur, maka dengan menabahkan hati ia berkata, "Kwee-taihiap telah menolongku dari si laknat Bayisan. Aku berhutang budi, berhutang nyawa dan kehormatan kepada Kwee-taihiap! Biar pun kau telah menyia-nyiakan cinta kasihnya, berlaku kejam kepadanya, namun aku... aku... ah...." Ia menangis lagi.
"Cici! Kau cinta padanya?" Perasaan Lu Sian tersinggung dan ia merasa kasihan juga pada gadis ini.
"Ya! Aku cinta padanya! Aku... aku... takkan sudi berjodoh dengan orang lain! Sekarang ia telah tewas.... Ah, apa lagi yang kuharapkan di dunia ini? Aku... aku akan berdoa selamanya untuk arwahnya...." Sambil terisak Kui Lan lalu membalikkan tubuh dan lari menuruni puncak dengan cepat sekali.
Lu Sian menarik napas panjang, diam-diam ia menyesal pula akan kesudahan pertandingan antara ayahnya dan Kwee Seng. Ia tidak membalas cinta kasih Kwee Seng karena hatinya sendiri sudah tercuri oleh kegagahan dan kejantanan Kam Si Ek, akan tetapi ia pun tidak bisa membenci Kwee Seng, tidak menghendaki pendekar itu mati secara begitu menyedihkan.
Ayahnya muncul setelah malam mulai berganti fajar. Lu Sian cepat menyongsong ayahnya dengan penuh harapan ayahnya dapat menangkap dan membunuh Bayisan yang mencurangi Kwee Seng. Akan tetapi wajah ayahnya muram dan terdengar ayahnya berkata marah. "Iblis jahanam Bayisan itu! Kepandaiannya boleh juga, ilmu lari cepatnya hebat dan ia menggunakan kegelapan malam menghilang dari kejaranku. Lu Sian, kau seorang gadis yang goblok sekali!"
Lu Sian membelalakkan matanya, terheran-heran mendengar teguran ayahnya. Akan tetapi, kalau ayahnya sedang marah, gadis ini tak berani banyak bicara, maklum bahwa kalau ayahnya marah sukar untuk dikendalikan.
"Kau menolak Kwee Seng sama dengan membuang mutiara ke dalam laut. Apakah kau hendak memilih batu kali? Di mana di dunia ini ada calon suami yang lebih baik dan gagah dari pada Kwee Seng? Siapa pun juga yang kau pilih, aku tentu tidak akan merasa cocok setelah kau menolak Kwee Seng."
"Ayah, dalam soal perjodohan, aku ingin memilih sendiri. Aku tidak cinta kepada Kwee Seng, betapa pun gagah dan pandainya dia!"
"Huh! Kau keras kepala dan sombong! Tidak akan ada Kwee Seng kedua di dunia ini."
"Tidak ada Kwee Seng kedua memang, akan tetapi pasti ada yang melebihi dia!"
"Tak mungkin! Sudah, mari kita pulang saja. Kejadian ini benar-benar membikin hatiku penuh kekecewaan dan penyesalan."
"Ayah, kau menyesal karena kau tidak dapat menguras kepandaian simpanan Kwee Seng. Kau tidak peduli tentang perjodohanku, asal kau dapat menambah ilmu-ilmu yang kau kumpulkan!"
Karena rahasianya ditebak tepat oleh puterinya, Pat-jiu Sin-ong menjdi marah. "Kau anak kecil tahu apa? Betapa pun sukaku mengumpulkan ilmu, namun aku masih memikirkan calon suamimu. Kalau kau berjodoh dengan Kwee Seng, berarti sekali panah mendapatkan dua ekor harimau. Pertama, kau mendapat jodoh pemuda paling hebat di dunia, ke dua, setelah ia menjadi suamimu, berarti ia menjadi keluarga kita dan ilmu-ilmunya juga menjadi ilmu keluarga kita yang akan membikin Beng-kauw makin bersinar. Tolol kau. Hayo pulang!"
"Tidak, Ayah. Aku belum ingin pulang. Aku ingin berkelana," bantah Lu Sian yang sebenarnya ingin mendekati Kam Si Ek pujaan hatinya.
Pat-jiu Sin-ong melotot, akan tetapi hatinya sudah terlalu kecewa untuk memusingkan urusan ini. Sudah terlalu sering puterinya ini berkelana seorang diri dan ia pun tidak khawatir karena puterinya memiliki kepandaian yang lebih dari pada cukup untuk menjaga diri.
"Sesukamulah, anak bandel. Akan tetapi kalau dalam waktu setahun kau tidak pulang membawa jodohmu yang setimpal, kau akan kucari dan kuseret pulang, kukurung dalam kamar sampai lima tahun tak boleh keluar. Sebaliknya kalau kau pulang membawa jodoh yang menyebalkan, akan kubunuh laki-laki itu dan kau akan kujodohkan dengan seorang anggota Beng-kauw pilihanku sendiri. Nah, kau dengar baik-baik pesanku itu!" Setelah berkata demikian, kakek itu mendengus dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.
Sejenak Liu Lu Sian tertegun. Betapa pun besar rasa sayang ayahnya terhadap dirinya, namun ayahnya berwatak keras dan ucapannya tadi tentu akan dipegang teguh. Bagaimana kalau kelak ayahnya tidak menyetujui pilihannya? Ah, bagaimana nanti sajalah, demikian ia menghibur hati. Lalu ia memungut pedangnya yang tadi dilepaskan oleh Kwee Seng. Sejenak ia berdiri di tepi jurang melongok ke bawah, bergidik melihat jurang yang hitam tak berdasar dan mendengar suara berkericiknya air jatuh di bawah, lalu ia menarik napas panjang dan berjalan pergi meninggalkan puncak itu.
Ketika tubuhnya melayang ke bawah dengan kelajuan yang menyesakkan napas, Kwee Seng maklum bahwa nyawanya terancam maut yang ia sendiri tak mungkin dapat menolong. Ia terjatuh di tempat yang tak ia ketahui berapa dalamnya, yang gelap pekat tak tampak sesuatu di sekelilingnya. Oleh karena itu ia tidak berani menggerakkan tubuh dan menyerahkan nasibnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Suatu sikap yang baik sekali dan patut dicontoh. Memang, sepandai-pandainya manusia, sekali-kali ia akan mengalami hal yang membuat ia sama sekali tidak mampu berdaya. Ketika ikhtiar dan usaha sudah tiada gunanya lagi, memang jalan terbaik adalah menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa keraguan lagi, sebulat-bulatnya.
Tepatlah kata para bijaksana bahwa segala sesuatu di dunia ini, kesudahannya berada dalam kekuasaan Tuhan. Apabila Tuhan menghendaki seseorang mati, biar pun si orang bersembunyi di lubang semut, maut pasti akan tetap akan datang menjemput. Sebaliknya, apabila Tuhan menghendaki seseorang tetap hidup, biar pun seribu bahaya datang mengurung, pasti ada jalan orang itu akan tertolong
. Kwee Seng sudah hampir pingsan karena napasnya sesak, kepalanya pening dan semangatnya serasa melayang-layang. Betapa pun tabahnya, namun mala-petaka yang dihadapinya ini membuatnya merasa ngeri, membayangkan apa yang akan menyambut tubuhnya yang pasti akan terbanting hancur luluh pada dasar jurang. Terlalu lama rasanya ia menanti, terlalu lama rasanya maut mempermainkan dirinya, tidak segera datang menjangkau. Ya Tuhan, bisiknya, mengapa sebelum mati hamba-Mu ini harus mengalami siksaan begini mengerikan? Tiba-tiba.....
"Byuuurr!!" tubuhnya terhempas ke dalam air yang amat dingin.
Sebagai seorang ahli silat yang ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi, tubuh Kwee Seng segera membuat reaksi, bergerak membalik mengurangi tamparan air. Namun tetap saja ia merasa betapa kulit punggungnya seperti pecah-pecah, nyeri, perih dan panas rasanya. Untung baginya air itu cukup dalam sehingga ketika tubuhnya tenggelam, ia cepat menendang ke bawah dan tubuhnya muncul lagi ke permukaan air.
Masih gelap pekat di situ, dan tiba-tiba Kwee Seng merasa seram dan terkejut karena tubuhnya terseret arus air yang bukan main kuatnya. Kembali ia menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Sekali tadi Tuhan telah menyelamatkannya, ini alamat baik, pikirnya. Ia hanya menggerakkan kaki tangan agar tubuhnya jangan tenggelam. Arus air itu kuat bukan main, tubuhnya dibawa berputar-putar sampai kepalanya menjadi pening. Kembali rasa takut mencekam hatinya. Ia berputaran, hal ini berarti bahwa ia terbawa oleh pusaran air yang kuat. Benar dugaannya, makin lama makin cepat ia berputaran dan tiba-tiba tubuhnya disedot ke dalam air tanpa dapat ia pertahankan lagi!
Kwee Seng sudah siap. Ia mengambil napas cukup banyak dan ketika ia berada di bawah air ia menggerakkan kaki tangannya kuat-kuat sehingga ia berhasil bebas dari pusaran air di bawah yang tidak sekuat di atas. Kini tubuhnya hanyut oleh arus dan ketika ia menggerakkan kakinya muncul kembali di permukaan air, hatinya girang melihat bahwa kini ia terbawa oleh air sungai yang sempit dan kuat arusnya, akan tetapi yang tidak begitu gelap lagi sehingga ia dapat melihat. Kanan kiri merupakan tebing tinggi, mungkin ada lima ratus meter tingginya, tebing batu gunung yang hijau berkilau dan licin rata. Akan tetapi sungai kecil itu ternyata cukup dalam, kalau tidak, arus yang kuat itu pasti akan menghantamkannya pada batu-batu.
Karena tidak ada tempat untuk mendarat, diapit-apit tebing tinggi, terpaksa Kwee Seng membiarkan dirinya hanyut. Ada seperempat jam ia hanyut dan tiba-tiba ia mengeluarkan seruan kaget, wajahnya pucat dan hatinya ngeri.
Betapa tidak akan ngeri hatinya melihat bahwa tak jauh di depannya, air itu tertumbuk pada tebing lain yang juga tinggi dan kiranya air itu memasuki terowongan di dalam tebing! Bagaimana akalnya? Untuk mendarat tidak mungkin, kanan kiri tebing tinggi dan licin, di depan pun tebing yang sama, menahan arus air tak mungkin!
“Celaka,” pikirnya. “Kali ini aku akan dibanting hancur oleh arus air kepada tebing di depan!”
Akan tetapi ia tidak mau menyerah kepada maut begitu saja selama ia masih dapat berikhtiar. Ia cepat mengambil napas sampai memenuhi rongga dadanya, kemudian ia menyelam sedalam mungkin. Ikhtiarnya ini menyelamatkannya dari cengkeraman maut. Arus air pecah-pecah bagian atasnya menghantam tebing, akan tetapi di bagian bawah dengan kecepatan luar biasa menerobos ke dalam sebuah lubang yang lebar garis tengahnya kurang lebih dua meter. Kalau saja terowongan di dalam perut gunung ini terlalu panjang, tentu Kwee Seng takkan tertolong lagi nyawanya.
Kwee Seng terseret arus yang amat cepat. Ia hanya menahan napas dan meramkan mata, sedapat mungkin mengerahkan sinkang di tubuhnya karena tubuhnya mulai terbentur-bentur batu. Kalau ia bukan seorang gemblengan, tentu sudah remuk tulang-tulangnya. Akan tetapi siksaan alam ini terlalu hebat dan ia sudah hampir pingsan ketika tiba-tiba ia melihat cahaya terang di atas. Cepat ia menggerakkan kedua kakinya yang terasa sakit-sakit itu dan tubuhnya mumbul ke atas.
Ia masih berada dalam terowongan yang amat besar, merupakan goa panjang yang amat menyeramkan. Air mengalir di tengah terowongan, kini air makin melebar dan makin dangkal. Di atas bergantungan batu-batu yang meruncing seperti tombak besar, dinding yang hijau berkilauan terkena cahaya matahari yang entah menembus dari mana. Karena air amat dangkal akhirnya tubuhnya yang lemas itu tersangkut pada batu.
Kwee Seng mengeluh. Kepalanya puyeng, tubuhnya sakit-sakit semua, lemas, dan tangan kanannya kaku, lumpuh akibat racun jarum yang masih menancap di dalam pundak kanannya. Rambutnya awut-awutan menutupi muka, pakaiannya yang basah kuyup itu tidak karuan macamnya, robek di sana-sini. Ia mengerahkan tenaganya untuk bangkit berdiri. Kiranya air hanya tinggal sepaha dalamnya.
Ketika ia merangkak minggir, air makin dangkal akan tetapi beberapa kali ia terjatuh dan kakinya tersangkut batu. Air yang amat jernih, akan tetapi pandang mata Kwee Seng amat gelap, pikirannya amat keruh. Ia tidak tahu bahwa tak jauh dari situ berdiri seorang wanita tua, seorang nenek-nenek yang memandang ke arahnya penuh perhatian. Nenek ini tubuhnya kecil kurus, mukanya amat tua penuh keriput, pakaiannya bersih, akan tetapi penuh tambalan. Mata nenek ini terang jernih bersinar-sinar.
"Sungguh aneh seorang manusia terbawa arus maut bisa sampai ke sini dalam keadaan masih hidup!" Nenek itu berkata penuh keheranan, akan tetapi ia segera melangkah, gerakannya cepat dan cekatan sekali ketika ia melihat Kwee Seng mengeluh panjang dan terguling roboh di tepi sungai, tak bergerak lagi karena sudah pingsan.
Amatlah mengherankan dan mengagumkan betapa nenek-nenek tua renta yang kurus itu setelah memeriksa nadi tangan Kwee Seng, lalu mengangkat tubuh Kwee Seng bagaikan mengangkat tubuh seorang bayi saja, begitu mudah dan ringan. Nenek itu lalu membawa tubuh Kwee Seng ke sebuah ruangan di bawah tanah yang tak jauh dari sungai itu, melalui terowongan yang berliku-liku. Dengan hati-hati nenek itu merebahkan tubuh Kwee Seng di atas pembaringan batu, kemudian sekali lagi memeriksa tubuhnya. Ia mengeluarkan suara kaget ketika melihat betapa pundak kanan Kwee Seng berwarna hitam.
"Aihhh, kejamnya orang yang menggunakan jarum beracun!" serunya.
Cepat-cepat ia mengambil obat dari pojok di mana terdapat meja dan lemari batu, kemudian ia menggunakan sebatang pisau merobek kulit pundak Kwee Seng, mengeluarkan jarum hitam yang bersarang di situ. Dengan beberapa kali pijatan di sekitar pundak ia mengeluarkan darah hitam dan menempelkan sebuah batu yang warnanya putih dan ringan sekali, besarnya sekepalan tangan.
Aneh bukan main, batu putih ringan itu dalam sekejap mata menjadi berubah hitam dan berat, dan kiranya darah yang berada di sekitar luka telah disedot oleh batu itu! Setelah mencuci batu dan mengeringkannya kembali di atas api, nenek itu kembali menggunakan batu mukjijat untuk menyedot darah. Sampai lima kali hal ini dilakukan, setelah batu itu warnanya berubah merah, barulah ia berhenti, menggunakan obat bubuk yang dituangkan ke dalam luka dan membalut luka itu dengan sehelai kain sutera yang agaknya adalah sebuah ikat pinggang.
Tekanan batin dan penderitaan lahir yang dialami Kwee Seng agaknya memang hebat sehingga ia seakan-akan keluar kembali dari lubang kubur, terlepas dari cengkeraman maut yang mengerikan, sehingga ketika ia roboh pingsan itu, selama tiga hari tiga malam ia tetap dalam keadaan tidak sadar. Ia tidak tahu betapa luka-lukanya dirawat secara tekun oleh seorang nenek tua, tidak tahu betapa setiap hari nenek itu menjaga dan merawatnya siang malam, bahkan tidur sambil duduk bersila di dekat pembaringan batu.
Pada hari keempat, pagi-pagi sekali, Kwee Seng siuman dari pingsannya. Ia merasa tubuhnya sakit-sakit dan lemah. Ketika membuka matanya, ia melihat langit-langit batu yang kasar. Pandang matanya terus menjalari dinding batu itu yang penuh dengan tulisan, lebih tepat ukiran karena dinding itu penuh tulisan huruf yang agaknya diukir. Huruf-hurufnya halus dan indah, jelas membayangkan tulisan tangan wanita, dan sekilas pandang tahulah ia bahwa tulisan-tulisan itu merupakan syair-syair yang amat indah pula walau pun mengandung peluapan hati berduka. Ketika mendapat kenyataan bahwa ia rebah di atas pembaringan batu di dalam sebuah ‘kamar’ batu seperti goa, teringatlah Kwee Seng. Cepat ia bangkit duduk. Pada saat itu ia melihat seorang nenek duduk bersila di atas lantai, dekat pembaringan batu.
"Tubuhmu masih lemah, engkau masih perlu beristirahat lebih lama lagi. Berbaringlah, aku akan masak ikan dan sayur untukmu." Suara itu halus sekali, teratur dan sopan-santun.
Kwee Seng terbelalak kaget. Nenek ini bukan orang sembarangan, itu sudah jelas. Akan tetapi, di samping ini, nenek itu membayangkan sifat seorang terpelajar tinggi, seorang yang tahu akan tata susila dan sopan santun, sama sekali berbeda dengan sikap orang-orang kang-ouw. Pantasnya seorang nenek yang biasa hidup di dalam istana raja-raja!
Jilid 7>>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)