SULING EMAS : JILID-07

Ketika merasa pundaknya sakit dan saat diliriknya ia melihat pundaknya sudah dibalut, dan tidak ada rasa kaku mau pun gatal tanda bahwa pengaruh racun sudah lenyap, tahulah Kwee Seng bahwa nenek ini merupakan penolongnya. Cepat ia turun dari pembaringan, mengeluh karena hampir saja ia terjungkal saking lemahnya tubuh, kemudian ia terpaksa berlutut karena nenek itu tetap duduk bersila.
"Lo-cianpwe (Orang Tua Yang Mulia) telah sudi memberi pertolongan kepada saya orang muda yang menderita, saya Kwee Seng takkan melupakan budi kebaikan ini."
Nenek itu tertawa dan menggunakan punggung tangan kanan menutupi mulutnya, gerakan khas wanita sopan yang tak pernah mau tertawa secara terbuka di depan siapa pun juga. Kemudian terdengar pula suaranya yang halus dengan gaya bahasa yang biasa dipergunakan oleh para bangsawan, "Saling tolong tidak mengenal tua dan muda, dan aku pun tidak bermaksud menolongmu, melainkan kaulah yang datang dan membutuhkan pertolonganku. Air itu disebut Arus Maut, makhluk berjiwa apa pun juga yang terseret ke dalam Neraka Bumi ini, tentu telah tak bernyawa lagi. Akan tetapi engkau terseret masuk dalam keadaan bernyawa. Ahhh, entah setan yang mana mengirim engkau datang kepadaku untuk menemaniku!"
"Maaf, Lo-cianpwe, saya kira bukan setan yang Lo-cianpwe maksudkan. Tentu Tuhan yang telah melindungi saya...."
"Sudah terlalu lama dahulu aku menggantungkan nasibku kepada Tuhan, terlalu banyak hati ini memohon, terlalu sering mulut ini menyebut, akan tetapi buktinya.... Ah, kalau toh ada, Tuhan itu sama sekali tidak peduli kepada diriku...." Bukan main pahitnya suara dalam kata-kata ini.
Kwee Seng dapat menduga bahwa nenek ini tentu telah mengalami penderitaan hidup yang amat luar biasa sehingga hatinya seakan-akan menjadi beku dan penuh penyesalan mengapa hidupnya selalu menderita seakan-akan Tuhan tidak mempedulikannya. Karena menghadapi seorang nenek yang agaknya sakti dan malah menjadi penolongnya, ia tidak mau membantah lagi walau pun ia merasa penasaran dan terheran-heran, mengapa seorang nenek tua yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi begitu dangkal pandangannya tentang kebesaran dan keadilan Tuhan.
"Bolehkah saya mengetahui nama Lo-cianpwe yang mulia?" akhirnya ia bertanya.
"Ah, aku sendiri tidak tahu siapa namaku, akan tetapi karena kau sudah berada di sini menemaniku, biarlah kelak kau yang memilihkan nama untukku. Siapa saja terserah kepadamu." Kembali nenek itu menutupi mulut menahan suara tawanya, kemudian ia bangkit berdiri, gerakannya ringan dan cekatan. "Ah, sampai lupa aku. Kau tentu lapar. Untung pada musim seperti ini, daun kelabang di bawah Goa Seratus Golok tumbuh dengan suburnya. Daun kelabang merupakan sayur yang selain enak juga dapat mempercepat kembalinya kesehatanmu, dan dimasak dengan ikan ekor putih, bukan main lezatnya." Setelah berkata demikian, nenek itu pergi meninggalkannya.
Kwee Seng memandang dengan melongo. Tadi ia berlutut di depan nenek itu yang duduk bersila, mereka berhadapan dalam jarak satu meter sehingga jelas ia dapat mencium keharuman dari tubuh nenek itu. Hal ini tentu saja amat janggal. Seorang nenek berbau harum? Apakah memakai minyak bunga? Dan mata nenek itu. Bukan main!
Diam-diam meremang bulu tengkuk Kwee Seng, bergidiklah dia. Tak mungkin nenek itu manusia. Ah, masih hidupkah dia? Ataukah sebetulnya sudah mati dan inikah keadaan neraka di mana ia dihukum dan diharuskan tinggal bersama seorang iblis betina? Nenek tadi menyebut air itu Arus Maut dan tempat ini disebutnya Neraka Bumi! Gerak-geriknya memang seperti manusia yang berilmu, akan tetapi suaranya begitu halus, matanya seperti mata... ah, sukar mencari perbandingan, pendeknya begitu jernih, begitu tajam, bagian putihnya tiada cacat, bagian hitamnya berkilau seakan menyinarkan api. Serasa ia mengenal mata ini! Ah, tak mungkin!
Tiba-tiba nenek itu membalikkan tubuh dan dari jauh ia berkata, suaranya bergema di seluruh ruangan, "Oya, di ruangan paling kiri terdapat kamar kitab, kalau kau suka kau boleh membaca kitab yang mana saja. Kitab-kitab tua yang sukar sekali dibaca, aku sendiri ogah membacanya!"
Suara ini menyadarkan Kwee Seng dari pada lamunannya. Mengapa ia harus merasa ngeri? Manusia mau pun setan, nenek itu telah membuktikan niat baik terhadap dirinya. Telah menolongnya, mengangkatnya dari sungai, merawat lukanya sampai sembuh, dan kini malah bersiap menyediakan makanan untuknya. Kitab-kitab kuno? Lebih baik melihat-lihat dari pada duduk menanti orang memasak, karena teringat akan masakan, perutnya yang perih akan makin terasa.
Ia bangkit berdiri, menahan napas dan mengumpulkan kembali kekuatannya. Kwee Seng merasa betapa lemahnya tubuh, seakan-akan habis semua tenaganya. Hemm, untung nenek itu berniat baik, kalau mengandung niat jahat terhadapnya, dalam keadaan seperti ini, tentu ia takkan mampu mengadakan perlawanan sama sekali. Dengan terhuyung-huyung ia menyeret kedua kakinya menuju ke kiri melalui jalan terowongan mencari kamar kitab-kitab itu.
Ketika memasuki kamar dalam tanah paling kiri, ia berseru heran dan kagum. Dinding kamar itu merupakan rak buku dan di situ berdiri banyak sekali kitab yang berjajar rapi. Sekilas pandang ia menaksir bahwa di situ terdapat tidak kurang dari seratus buah kitab yang tebal!
Sebelum menjadi ahli silat, Kwee Seng adalah seorang kutu buku (penggemar bacaan), apalagi kitab-kitab kuno yang mengandung filsafat-filsafat berat. Kini melihat kitab kuno berderet-deret rapi, ia seperti seorang kelaparan melihat daging segar. Lupa ia akan semua kelemahan tubuhnya. Setengah meloncat ia mendekati rak buku batu itu dan jari-jari tangannya gemetar ketika ia memeriksa judul-judul buku.
Ternyata kitab-kitab itu adalah kitab-kitab mengenai Agama To, sebagian pula merupakan kitab dongeng-dongeng raja-raja jaman dahulu, kitab berisi syair-syair para pujangga kuno. Sampai bingung Kwee Seng akan melihat bacaan mana yang akan ia dahulukan. Karena ingin sekali tahu semua kitab itu, ia tidak mau mengambil sebuah di antaranya, melainkan ia membuka lembaran pertama dari semua kitab untuk mengetahui judulnya. Dua buah kitab amat menarik hatinya, yaitu kitab Siulian (Meditasi) dan yang sebuah lagi kitab tentang rahasia letak dan gerakan bintang-bintang.
Yang mula-mula ia buka dan baca adalah kitab tentang semedhi itu. Alangkah girang hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kitab kuno itu benar-benar merupakan kitab rahasia yang amat berharga, di mana dijelaskan tentang pelbagai ilmu semedhi, cara-caranya dan segala yang berhubungan dengan semedhi, mengenai peredaran jalan darah, pernapasan dan lain-lain. Ia pernah melatih diri bersemedhi untuk melatih lweekang dan memperkuat sinkang-nya, akan tetapi pelajaran yang ia dapat dahulu amatlah dangkal dan tak berarti kalau dibandingkan dengan isi kitab ini.
Bagaikan seorang miskin menemukan sebuah batu permata yang tak ternilai harganya, Kwee Seng membawa kitab Semedhi dan Perbintangan itu keluar dari kamar kitab dan kembali ke ruangan tadi. Betapa pun juga, ia harus minta ijin dulu dari si pemilik kitab. Mengingat ini, ia tercengang. Ternyata wanita itu bukan sembarang orang! Dengan memiliki kitab-kitab seperti ini, jelas bahwa nenek itu adalah seorang yang memiliki ilmu yang amat tinggi! Heran ia memikirkan, siapa gerangan nenek itu yang mengaku tidak punya nama, bahkan minta ia kelak yang memilihkan nama untuknya!
Ia sedang tekun membalik-balik lembaran kitab Semedhi ketika nenek itu muncul membawa mangkok-mangkok batu dengan masakan yang masih mengebul dan menyiarkan bau yang sedap-sedap aneh. Cepat Kwee Seng menutup kitabnya dan berlutut lagi sambil berkata, "Mohon maaf sebanyaknya bahwa saya berani lancang mengganggu Lo-cianpwe yang budiman, berani pula memasuki kamar kitab yang terahasia mengambil dua buah kitab ini. Apabila Lo-cianpwe memperkenankan, saya mohon pinjam dua ini untuk saya baca."
Nenek itu tak bergerak kulit mukanya, menaruh mangkok-mangkok masakan di atas meja batu, lalu menghadapi Kwee Seng, memandang ke arah dua kitab itu, "Hemm, bangkitlah. Tak enak melihat kau sedikit-sedikit berlutut seperti itu. Kita berdua seakan-akan hidup di dunia tersendiri, terpisah dari dunia ramai, mengapa harus memakai banyak tata cara yang palsu? Kwee Seng, duduklah dan mari kita makan. Kau memilih kitab-kitab itu? Hemm, kitab tentang Semedhi dan kitab Perbintangan? Ah, justru dua kitab itu yang aku sendiri paling tidak doyan (tidak suka)! Terlalu ruwet dan kalimat-kalimatnya amat kuno, pengertianku tentang sastra tidak sampai di situ. Kau bacalah, dan boleh memiliki dua kitab itu."
Bukan main girangnya hati Kwee Seng. "Lo-cianpwe amat mulia, terima kasih atas pemberian...."
"Siapa memberi? Kitab-kitab itu sudah berada di sini sebelum aku lahir! Mari kita makan, perutmu kosong dan kita lanjutkan bicara nanti saja."
Untuk menghormati ajakan orang yang demikian manis budi, Kwee Seng tidak banyak cakap lagi, lalu menghadapi hidangan. Ternyata masakan itu adalah masakan ikan yang gemuk bersama sayur-sayuran yang berwarna hitam. Kelihatannya sayur itu menjijikkan, namun terasa gurih dan sedap. Tanpa malu-malu lagi Kwee Seng makan dengan lahapnya dan mendapat kenyataan bahwa perutnya menjadi hangat dan badannya terasa segar setelah makan hidangan aneh itu.
Sehabis makan Kwee Seng hendak membantu si Nenek mencuci mangkok batu, akan tetapi cepat-cepat si Nenek mencegahnya, "Mencuci mangkok adalah pekerjaan wanita. Kalau kau membantu dan canggung sampai membikin pecah mangkok batu, aku harus bersusah payah membuat lagi." Nenek itu lalu pergi lagi.
Ketika Kwee Seng mengikutinya, ternyata Neraka Bumi ini merupakan tempat tinggal yang lengkap juga. Ada air mancur yang jernih, dan di satu sudut tumbuh bermacam sayuran aneh yang daun-daunnya berwarna hitam kehijauan, ada yang kemerahan. Di situ tidak kekurangan kayu bakar, agaknya dari kayu-kayu dan ranting-ranting yang terbawa aliran Arus Maut, ditampung dan dikeringkan di tempat itu, di mana terdapat sinar matahari menyinar masuk melalui tebing yang tak dapat diperkirakan tingginya.
Jalan lain untuk keluar dari Neraka Bumi ini tidak ada sama sekali! Mereka telah terkurung hidup-hidup dan agaknya hanya melalui terowongan air itu saja jalan keluar masuk neraka ini! Untuk memasukinya saja mempertaruhkan nyawa, apalagi keluarnya harus melawan arus yang begitu deras, agaknya tidak mungkin lagi. Mendapat kenyataan ini, Kwee Seng langsung lesu dan berduka. Akan tetapi kalau ia teringat akan derita hidup karena putus cinta, dan kasihnya ditolak oleh Liu Lu Sian, ia justru tidak ingin lagi kembali ke dunia ramai.
Tempat itu biar pun menyeramkan dan sederhana, namun cukup enak untuk menjadi tempat tinggal. Makanan cukup, air cukup, sinar matahari pun tidak kurang, dan di situ terdapat seorang nenek yang merawatnya begitu teliti, penuh perhatian seperti seorang nenek merawat cucunya sendiri. Masih terdapat ratusan lebih kitab kuno tebal-tebal yang agaknya tak mungkin dapat habis biar pun ia baca setiap hari sampai selama ia hidup. Mau apa lagi?
Namun ternyata kitab Semedhi itu amat menarik perhatian Kwee Seng. Makin dibaca makin menarik, makin di pelajari makin sulit. Akan tetapi, setiap kali ia mencoba bersemedhi menurut petunjuk-petunjuk isi kitab, Kwee Seng mendapat kenyataan bahwa hasilnya luar biasa. Tenaga dalamnya cepat pulih kembali, bhkan ia merasa betapa dengan latihan menurut kitab itu, tenaganya menjadi makin kuat, pikirannya makin jernih dan tubuhnya terasa nyaman selalu. Makin tekunlah ia mempelajari isi kitab dan kadang-kadang saja ia membaca kitab ke dua tentang perbintangan. Kitab ini pun menarik hatinya karena setelah membaca tentang pergerakan bintang-bintang ia mendapat pandangan yang luas tentang ilmu silat, apalagi tentang ilmu pedangnya Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang)!
Nenek itu jarang sekali bicara, namun dalam sikap diamnya, nenek itu kelihatan amat memperhatikan segala keperluannya. Bahkan pakaiannya yang robek-robek itu telah ditambal oleh si Nenek. Seringkali Kwee Seng memutar otak untuk menerka siapa gerangan nenek ini yang tak pernah mau mengaku namanya mau pun riwayatnya. Ketika Kwee Seng mencoba untuk mendesak, nenek itu bersungut-sungut dan menjawab dengan suara kesal. "Sudahlah, kau sebut saja aku nenek, habis perkara. Aku tidak suka kau sebut-sebut lo-cianpwe segala. Orang macam aku ini ada kepandaian apa sih?"
Kadang-kadang Kwee Seng tertegun menyaksikan sikap nenek ini. Begitu mudah ngambek dan marah, kadang-kadang diam termenung seperti orang menyedihkan sesuatu. Untuk menyenangkan hatinya terpaksa ia menghilangkan panggilan lo-cianpwe dan memanggilnya Nenek. Anehnya kadang nenek itu tertawa menutupi mulutnya mendengar sebutan ini. Dan yang amat membingungkan hati Kwee Seng, setiap kali nenek itu memandangnya dengan mata bening jernih memancarkan semangat bernyala-nyala dan amat tajam, ia merasa seakan-akan pernah melihat mata macam ini. Akan tetapi entah kapan dan di mana, ia tidak dapat ingat lagi karena memang rasanya baru pertama kali ini ia bertemu dengan seorang nenek yang begini aneh.
Dengan mendapat hiburan kitab semedhi itu, waktu tidak terasa lagi oleh Kwee Seng. Saking tekunnya ia melatih diri dalam semedhi dan memperdalam ilmu silatnya dari kitab Perbintangan, tak terasa lagi ia telah terkurung di dalam Neraka Bumi itu selama hampir seribu hari! Tiga tahun lewat tanpa terasa oleh Kwee Seng yang semakin girang menyaksikan kemajuan ilmu silatnya.
Tenaga sinkang-nya hebat sekali sehingga ketika ia mencoba kedua tangannya, hawa pukulannya sanggup menahan aliran air yang deras untuk beberapa detik! Dengan latihan-latihan berdasarkan ilmu perbintangan, ia dapat menggunakan dua buah ranting untuk ‘mendaki’ naik sepanjang dinding tebing yang licin dan keras dengan cara menancap-nancapkan dua ranting itu secara bergantian, merayap seperti seekor kelabang!
Hubungannya dengan nenek itu makin akrab dan selama itu si Nenek memperlihatkan sikap yang penuh kasih sayang, benar-benar ia merasa seperti dekat dengan seorang nenek sendiri, atau bahkan dengan ibu sendiri! Tidaklah mengherankan ketika pada suatu hari Kwee Seng menyatakan keinginannya untuk mencari jalan keluar, nenek itu menangis tersedu-sedu!
"Kalau kau pergi... aku... aku mati saja...," si Nenek berkata dalam tangisnya.
"Nenek, mengapa begitu?" Kwee Seng menghibur. "Percayalah, kalau aku bisa mendapatkan jalan ke luar, tentu kau akan kuajak keluar dari neraka ini dan...."
"Tidak...! Tidak...! Mau apa aku mencari derita di dunia ramai? Aku mau mati di sini!"
Kwee Seng terharu. Ia melangkah maju dan menyentuh pundak nenek itu. "Harap kau jangan berpendirian begitu, Nek...!"
"Jangan sentuh aku!" tiba-tiba nenek itu menggerakkan pundaknya dan Kwee Seng merasa betapa dari pundak itu keluar tenaga dorongan yang cukup hebat.
Ia merasa heran. Memang hebat tenaga dorongan pundak yang hanya digerakkan begitu saja, akan tetapi ia harus akui bahwa tenaga itu tidaklah sehebat yang ia sangka. Tenaga murni dari sinkang nenek ini agaknya tidak akan melebihi tenaga sinkang-nya sendiri. Hal ini amatlah mengherankan.
"Nenek yang baik. Aku harus mengaku bahwa aku telah menerima budimu bertumpuk-tumpuk, sampai mati pun aku takkan mampu membalas budimu. Oleh karena itu, perkenankanlah aku mencari jalan ke luar dan membawamu di dunia ramai, dan aku bersumpah akan menganggap kau sebagai nenek atau ibu sendiri, dan aku akan berbakti kepadamu, merawatmu, menjagamu untuk membalas budi...."
"Cukup! Aku tak mau dengar lagi!" Nenek itu lalu meninggalkannya dengan sikap marah.
Kwee Seng duduk terlongong, terheran-heran. Akan tetapi sikap nenek itu tentu saja tidak memadamkan niatnya untuk mencari jalan ke luar. Betapa pun besar ia berhutang budi, masa ia yang masih muda mengubur diri sampai mati di tempat itu?
Tiba-tiba terdengar suara berkerosokan hebat di sebelah atas, dan keadaan menjadi gelap. Cepat-cepat Kwee Seng menyalakan lampu dari minyak yang dikumpulkan dari ikan sehingga keadaan di situ menjadi remang-remang. Nenek itu datang berjalan perlahan.
"Suara apakah itu, Nek?"
"Hujan! Agaknya akan datang musim hujan besar. Dulu pernah sampai tiga puluh hari lebih tidak ada cahaya matahari, amat gelap di sini dan Arus Maut mengalir deras mengamuk, membabi buta."
"Wah, celaka! Tentu di sini terendam air, Nek?"
"Jangan khawatir. Air itu membanjir ke depan, terus keluar melalui terowongan. Tak pernah banjir di sini, akan tetapi sukar menangkap ikan. Maka sebelum banjir besar dan gelap datang, kita harus banyak mengumpulkan ikan untuk bahan makan, juga mengumpulkan sayur."
Tiga hari mereka kerja keras, setiap saat menangkap ikan dan mengumpulkan kayu bakar, sayur-sayur. Kemudian tibalah musim gelap dan hujan yang dikhawatirkan. Air yang mengalir ke dalam terowongan itu menjadi liar dan besar, batu-batu diterjangnya hanyut, suaranya memenuhi ruangan itu, bergema menakutkan. Lubang di atas melalui tebing-tebing tinggi itu tidak dijenguk matahari lagi. Gelap pekat, hanya diterangi lampu minyak yang hanya kadang-kadang kalau perlu saja dinyalakan. Untuk menghemat minyaknya lampu itu harus seringkali dipadamkan, apalagi di waktu mereka tidur. Si Nenek tidak marah-marah lagi. Dalam keadaan terancam itu mereka seringkali duduk bercakap-cakap.
Pada hari ke empat, di dalam gelap pekat karena lampu sudah dipadamkan, nenek itu bertanya dengan suara halus menggetar penuh perasaan, "Kwee Seng, apakah masih ada niat hatimu untuk keluar dari sini?"
Kwee Seng terharu. Suara itu menggetar, jelas bahwa nenek itu amat khawatir ditinggalkan. "Sesungguhnya, Nek. Aku yang masih muda tak mungkin harus mengubur di sini terus selamanya. Aku akan keluar dan tentu saja besar harapanku untuk mengajakmu keluar. Kau memiliki kepandaian, tentu dapat pula keluar bersamaku."
Hening sejenak. Ingin sekali Kwee Seng dapat melihat wajah nenek itu atau lebih tepat melihat matanya. Wajah nenek yang keriputan itu tidak pernah membayangkan isi hatinya, akan tetapi matanya dapat membayangkan. Namun di dalam gelap itu ia hanya menanti, tanpa dapat melihat apa-apa.
"Kwee Seng...," kata-kata si Nenek tertahan lagi.
"Ya, Nek? Ada apa?"
"Kau bilang hendak merawatku selama aku hidup. Akan tetapi aku tidak tahu orang macam apa kau ini, dari mana asalmu dan bagaimana kau sampai dapat tiba di tempat ini. Belum pernah kau bercerita tentang dirimu."
Kwee Seng tersenyum di dalam gelap. Memang tak pernah ia bercerita. Bukankah nenek itu pun tak pernah menanyakan dan tak pernah pula menceritakan tentang dirinya? Pertanyaan nenek itu merupakan harapan. Agaknya si Nenek hendak menimbang-nimbang untuk ia ajak keluar ke dunia ramai!
"Aku seorang yatim piatu, Nek. Orang tuaku meninggal sejak aku masih kecil. Aku hidup mengabdi kepada orang-orang, menjadi buruh tani, menggembala kerbau. Di dunia ini tidak ada seorang pun keluargaku. Aku seorang mahasiswa gagal, kepalang tanggung. Siucai (lulusan mahasiswa) bukan, buta huruf pun tidak. Aku lebih senang ilmu silat, itu pun serba tanggung-tanggung."
"Ilmu silatmu hebat, kepandaianmu luar biasa, ini aku tahu," bantah si Nenek.
"Ah, agaknya aku mendapat sedikit kemajuan berkat dua buah kitab yang kau pinjamkan, Nek."
Kemudian Kwee Seng menceritakan semua pengalamannya, karena makin banyak ia bicara, makin terlepas lidahnya. Ia menganggap seakan-akan ia berhadapan dengan neneknya atau ibunya sendiri. Segala dendam dan sakit hati ia keluarkan, ia tumpahkan karena justru selama ini ia membutuhkan seorang yang dapat ia ceritakan untuk menumpahkan semua dendam dan sakit hati. Ia bercerita tentang Ang-siauw-hwa, kembangnya pelacur di See-ouw yang bernama Khu Kim Lin itu, ia bercerita pula tentang Liu Lu Sian yang menampik cinta kasihnya. Ia menuturkan pertempurannya melawan Pat-jiu Sin-ong yang mengakibatkan ia terjungkal ke dalam Arus Maut dan yang menyeretnya ke dalam Neraka Bumi itu.
"Nah, begitulah riwayatku, Nek. Nek, apakah kau tertidur?" Kwee Seng mendongkol dan bertanya agak keras. Ia bercerita dua jam lebih, mulutnya sampai lelah, akan tetapi nenek itu diam saja, agaknya sudah tertidur pulas!
Akan tetapi ternyata tidak. Ia mendengar suara nenek itu menjawab, suara yang serak seperti orang menangis.
"Nek, mengapa kau menangis?"
"Aku... aku kasihan kepadamu, Kwee Seng. Orang macam Liu Lu Sian itu mana pantas kau cinta? Agaknya... agaknya lebih patut kau mencinta Ang-siauw-hwa."
"Hemm, memang agaknya begitu. Dan terus terang saja, aku mengalami kebahagiaan yang takkan terlupa olehku selamanya bersama Ang-siauw-hwa, walau pun hanya satu malam. Ah, siapa sangka, ia meninggal dunia dalam usia muda..."
"Kurasa lebih baik begitu. Dia sudah menjadi pelacur, apakah baiknya? Hina sekali itu! Lebih baik mati! Akan tetapi, apakah... kau dapat mencintanya andai kata ia tidak mati?"
"Hemm, kurasa... hal itu mungkin. Dia wanita yang hebat! Dan wataknya... ah, jauh lebih menyenangkan dari pada Liu Lu Sian...."
Hening pula sejenak, akan tetapi Kwee Seng masih mendengar nenek itu terisak-isak menangis. Ia mendiamkannya saja, mengira bahwa nenek itu masih terharu mendengar riwayat hidupnya yang memang tidak menyenangkan. Ia pun menjadi terharu. Nenek ini sudah amat mencintainya, seperti kepada anak sendiri, atau cucu sendiri sehingga mendengar semua penderitaannya, nenek ini menjadi amat berduka! Akan tetapi setelah lewat satu jam nenek itu masih saja terisak-isak, Kwee Seng menjadi khawatir juga.
"Nek, apa kau menangis? Sudahlah, harap jangan menangis, menyedihkan hati, Nek."
Akan tetapi nenek itu tetap menangis. Kwee Seng curiga dan khawatir. Jangan-jangan nenek yang sudah tua renta ini jatuh sakit karena kesedihannya. Ia mencetuskan batu api dan membakar daun kering, menyalakan pelita. Akan tetapi begitu lampu menyala, menyambarlah angin yang kecil akan tetapi keras dan api itu pun padam. Kiranya si Nenek meniupnya dari jauh, memadamkan api.
Kwee Seng mengangkat pundak. "Nek, kau mengkhawatirkan hatiku karena menangis sejak tadi. Diamlah, Nek. Apakah kau sakit?"
Tidak ada jawaban pula, akan tetapi suara isak itu mengendur dan mereda, akhirnya terdiam. Lega hati Kwee Seng dan ia sudah merebahkan diri telentang, bermaksud untuk beristirahat dan tidur. Akan tetapi beberapa menit kemudian terdengar suara si Nenek, agak jauh dari tempat ia berbaring.
"Kwee Seng..."
"Ya, Nek. Ada apa?"
"Kalau kau keluar dari sini...," kata-kata itu terhenti seakan sukar dilanjutkan.
"Ya....?" Kwee Seng mendesak.
"Aku tidak akan ikut. Tapi aku hanya mempunyai sebuah permintaan...."
"Ya...? Permintaan apa, Nek? Tentu aku siap untuk melaksanakan semua permintaanmu."
"Kwee Seng, bukankah kau bilang bahwa kau berhutang budi kepadaku dan sanggup untuk membalas budi dengan merawatku selamanya?"
"Betul, Nek, betul. Karena itu kau harus ikut...."
"Tak perlu kau lakukan hal itu. Tak perlu bersusah payah merawatku selama hidup. Sebagai gantinya, aku hanya minta sedikit...."
"Apa, Nek? Katakanlah."
Hening kembali sampai lama, menegangkan hati Kwee Seng yang makin tidak mengerti akan keanehan nenek itu.
"Ya, Nek? Bagaimana kehendakmu?"
"Kwee Seng, keadaan hujan dan gelap ini akan makan waktu sedikitnya lima belas hari lagi."
"Ya, betul agaknya. Lalu?"
"Selama itu kau tidak boleh mencoba ke luar...."
Kwee Seng tertawa. Hanya inikah permintaannya? Gila benar. Mengapa bersusah-susah mengucapkannya? "Ha-ha-ha! Tentu saja, Nek. Tidak usah kau meminta pun, bagaimana aku dapat keluar kalau Arus Maut begitu hebat mengamuk?"
"Selama gelap dan hujan kau tinggal di sini dan...."
"Ya...??" Kwee Seng mulai tidak sabar.
"....dan... kita menjadi suami isteri sampai hujan berhenti!"
"Apa??!" Kini Kwee Seng terloncat ke atas dan jatuh berdebuk di atas tanah. Saking kagetnya, begitu saja ia terguling dari atas pembaringan batu. Ia terhenyak di atas lantai, terlongong keheranan, seketika menjadi bisu tak dapat mengeluarkan suara. Setelah lidahnya tidak kaku lagi, suara yang dapat keluar dari mulutnya hanya, "apa...?? ah... bagaimana...?" Ia tidak percaya kepada telinganya sendiri.
Suara nenek itu penuh kegetiran, terdengar lirih mengandung rasa malu. "Hanya itu permintaanku. Kita menjadi suami isteri sampai pada saat kau berhasil keluar dari sini, yaitu setelah hujan berhenti."
Kwee Seng meloncat berdiri, mengepal tinjunya, mengerutkan keningnya. "Apa?? Gila ini! Tak mungkin!!"
Sunyi sejenak, lalu terdengar nenek itu tersedu-sedu menangis, ditahan-tahan sehingga suara tangisnya tertutup, agaknya kedua tangan nenek yang kecil itu menutupi mulut dan hidung agar sedu sedannya tidak terlalu keras. Kemudian, di antara tangisnya terdengar suara nenek itu makin jauh dari situ, "Ah, aku tahu... kau tentu menolak...."
Kwee Seng terduduk di atas pembaringan batu. Ada sejam lebih tak bergerak-gerak, seakan-akan ia sudah pula berubah menjadi batu. Suara sedu-sedan nenek itu seakan-akan pisau menusuk-nusuk jantungnya. Apakah nenek itu sudah menjadi gila? Nenek-nenek yang melihat keriput di mukanya tentu berusia enam puluh tahun kurang lebih, bagaimana ingin menjadi isterinya? Mana ia sudi melayani kehendak nenek yang gila-gilaan ini? Menjemukan sekali! Sialan! Kwee Seng mengumpat diri sendiri. Ada wanita yang mencintanya, seorang nenek-nenek hampir mati! Mana mungkin ia membalas cinta seorang nenek-nenek yang buruk rupa? Teringat ia akan Ang-siauw-hwa. Teringat pula Liu Lu Sian.
Gadis puteri Beng-kauw itu pun menolak cintanya. Padahal ia tergila-gila kepada nona itu. Penolakan cinta yang menyakitkan hati. Kwee Seng terkejut teringat akan hal ini. Nenek itu pun mencintanya, mencinta dengan suci, sudah dibuktikan dengan perawatan dan pelayanan yang demikian sungguh-sungguh penuh kasih sayang selama seribu hari! Dan dia menolak cinta nenek itu. Menolak begitu saja! Padahal nenek itu pun hanya menghendaki pembalasan cinta hanya untuk beberapa hari lamanya!
Ah, dapat ia membayangkannya, betapa sakit hati nenek itu. Ia menjadi seorang yang tak kenal budi! Mungkin nenek itu pun hanya ingin diakui sebagai isteri saja, hanya ingin ia dekati dan ia sebut isteri, tak lebih dari pada itu. Mungkin nenek itu, ingin menjadikan pengalaman manis ini sebagai kenang-kenangan manis untuk dibawa mati! Nenek ini semenjak kecil berada di sini, demikian pengakuannya beberapa hari yang lalu secara pendek ketika ia tanya. Berarti bahwa nenek ini tak pernah mengalami dewasa di dunia ramai! Sebagai wanita yang selamanya tak pernah menjadi isteri orang, tentu timbul keinginan untuk menerima perlakuan manis dari seorang pria yang mengaku sebagai suaminya!
Ah, betapa bodohnya! Apa sih artinya pengorbanan sekecil ini? Hanya bermain sandiwara, menyebut nenek itu sebagai isteri, bicara manis dan menghibur dengan kata-kata penuh sayang. Kiranya cukup bagi si Nenek yang tak mungkin menghendaki lebih dari pada itu.
Berjam-jam Kwee Seng duduk termenung. Terjadi perang di dalam hatinya sendiri, sedangkan suara sedu-sedan nenek itu tetap terdengar olehnya, makin lama makin menusuk jantung. Teringat ia akan pengalamannya bersama Ang-siauw-hwa. Selama ia hidup, baru sekali itu ia bercinta kasih dengan seorang wanita. Mencinta dan dibalas cinta. Merasai kemesraan seorang kekasih yang mencinta sepenuh hatinya. Mendengar bisikan halus yang menyatakan cinta kasih Ang-siauw-hwa, melihat mata indah dari dekat, mata yang memandang kepadanya penuh bayangan kasih sayang, mata yang....!
Kwee Seng tersentak kaget. Mata itu! Mata nenek itu! Itulah mata Ang-siauw-hwa! Tak salah lagi. Mata Ang-siauw-hwa si Kembang Pelacur Telaga Barat. Sama jernihnya, sama lebarnya, sama tajamnya dan lirikannya pun sama. Mata Ang-siauw-hwa! Pantas ia merasa seperti pernah mengenal mata itu apabila si Nenek memandangnya.
"Ahhh...!" terdengar Kwee Seng berseru melalui kerongkongannya.
Akan tetapi Ang-siauw-hwa sudah mati. Hanya persamaan yang kebetulan saja. Banyak mata wanita yang cantik-cantik hampir serupa dan agaknya nenek ini dahulu pun seorang wanita cantik. Seorang wanita terpelajar dan cantik jelita. Kecantikan hanya sebatas kulit. Kalau orang sudah mencinta, apa artinya usia? Apa artinya keburukan rupa?
Nenek itu masih menangis terus. Dari suara tangisnya, Kwee Seng tahu bahwa nenek itu tentu pergi menyendiri di kamar kitab. Memang seringkali nenek itu tidur di sana, di tempat yang sunyi, tempat istirahat yang paling jauh dalam ‘rumah tinggal’ itu. Kalau ia menangis terus sampai jatuh sakit dan mati, maka akulah pembunuhnya! Aku membalas budinya dengan menghancurkan hatinya. Ah, betapa rendah perbuatan ini!
Kwee Seng berdiri, meraba-raba dalam gelap, membawa pelita dan batu api, akan tetapi tidak berani menyalakannya. Pertama, karena ia takut kalau-kalau nenek itu marah melihat ia menyalakan pelita. Ke dua, karena untuk melakukan ‘sandiwara’ yang bertentangan dengan hatinya ini, lebih baik di dalam gelap, tanpa melihat wajah si Nenek! Ia meraba-raba, dan akhirnya kedua kakinya yang sudah hafal keadaan di situ membawanya ke depan pintu kamar kitab. Nenek itu masih terisak-isak perlahan.
"Nek... aku datang...."
"...pergi! Mau apa lagi kau datang? Kalau kau mengejekku, mau menghinaku..., demi setan... akan kubunuh kau!"
"Tidak, aku berhutang budi kepadamu, berhutang nyawa, bagaimana aku sampai hati melukai hatimu? Aku datang kepadamu untuk... untuk memenuhi permintaanmu...."
Tiba-tiba isak tangis itu berhenti dan sejenak keadaan menjadi sunyi sekali. Tak terdengar sesuatu oleh Kwee Seng, seakan-akan nenek itu tidak hanya berhenti menangis tapi juga berhenti bernapas! Kemudian terdengar gerakan nenek itu mendekat, terdengar suaranya menggetar berbisik.
"Apa...? Kau... kau tidak menipuku...? Kau... kau mau menerimaku sebagai... sebagai isterimu...?"
"Ya!" jawab Kwee Seng dengan suara penuh keyakinan. "Karena inilah cara terbaik untuk menyenangkan hatimu, untuk membalas budimu. Aku menerima permintaanmu dengan kesungguhan hati, walau pun kita sama tahu bahwa aku tidak mencintamu." Hal inilah yang mengganggu perasaan hati Kwee Seng tadi, maka kini ia terpaksa mengucapkannya agar ia tidak merasa seperti seorang penipu.
"Ah, terimakasih...!" Nenek itu tahu-tahu sudah merangkulnya dan menangis, mendekapkan muka pada dadanya, berbisik-bisik, "Terimakasih... Kwee-koko (Kanda Kwee)... sekarang mati pun aku tidak akan penasaran lagi...."
Girang rasa hati Kwee Seng. Ternyata dugaannya cocok. Nenek ini ingin mendapatkan kenang-kenangan manis untuk dibawa mati. Biarlah ia memenuhi hasrat hati ini, bukan menipu, melainkan bersandiwara, karena bukankah tadi ia sudah menyatakan sejujurnya bahwa ia memenuhi permintaan ini hanya untuk membalas budi, sama sekali bukan karena cinta? Betapa pun juga, meremang bulu tengkuknya mendengar suara halus nenek itu menyebutnya ‘kakanda’!
"Niocu...," katanya perlahan sambil mengelus rambut di kepala yang bersandar di dadanya.
Menggigil tubuh yang bersandar dan merapat padanya itu ketika mendengar sebutan ‘niocu’. "Karena keadaan tidak mengijinkan, maka kita menikah tanpa upacara. Biarlah Tuhan yang menyaksikan pernikahan kita yang tanpa upacara ini, menyaksikan bahwa pada saat ini aku, Kwee Seng menyatakan dirimu sebagai isteriku."
"Dan aku, Nenek Neraka Bumi, pada saat ini menyatakan bahwa kau menjadi suamiku... ah, Koko, betapa rindu hatiku selama tiga tahun ini! Hampir gila aku dibuatnya, melihat engkau sama sekali tidak pernah pedulikan aku...!" Nenek itu memeluknya makin erat.
Biar pun keadaan di situ amat gelap, Kwee Seng masih meramkan matanya! Akan tetapi hidungnya kembang-kempis, bau harum yang selalu ia rasakan apabila nenek itu mendekatinya, kini makin menghebat. Sedap harum mengusir rasa muak dan jijik yang tadinya mulai menggerogoti hatinya. Dan lengan yang merangkulnya begitu halus! Begitu halus dan hangat. Dan ia teringat betapa sepasang mata nenek ini amat indahnya.
Di dalam gelap itu, terbayanglah oleh Kwee Seng akan semua kemesraan yang baru pertama kali dialaminya selama hidupnya, yaitu ketika ia berjumpa dengan Ang-siauw-hwa. Hatinya tergerak dan tanpa ia sadari, ia balas memeluk dan ia menundukkan mukanya. Tanpa ia ketahui, nenek itu pun sedang menghadapkan muka kepadanya, sehingga muka mereka bertemu.
Kwee Seng tersentak kaget. Muka itu halus kulitnya seperti muka Ang-siauw-hwa ketika dahulu ia menciumnya. Ah, Kwee Seng, kau sudah menjadi gila, ia mengumpat diri. Ini nenek, tua bangka bermuka keriputan, hampir mati! Pikirannya dan perasaannya membantah, namun kenyataannya, ia bukan seorang nenek yang sudah tua, melainkan dalam perasannya ia memeluk Ang-siauw-hwa! Beberapa kali ia menciumi muka wanita dalam pelukannya ini, tangannya meraba-raba membelai muka, rambut dan leher. Ia yakin, ini Ang-siauw-hwa! Akan tetapi Ang-siauw-hwa sudah meninggal dunia! Mana mungkin?
"Kwee-koko... ah, betapa cintaku kepadamu...," nenek itu berbisik-bisik dan terisak penuh kebahagiaan dan haru. Suaranya pun suara Ang-siauw-hwa! "Kwee-koko, betapa rindunya aku kepadamu...."
Kwee Seng teringat akan batu api dan pelita yang ia letakkan di atas lantai. Tangannya meraba-raba dan lain saat ia telah mencetuskan batu api sehingga bunga api berpijar-pijar memberi penerangan sekilatan saja. Namun sinar terang sekilat itu cukuplah sudah. Tangannya menggigil. Dalam kilatan sinar bunga api itu ia melihat muka yang halus, cantik jelita, hidung mancung, bibir merah dan mata indah. Muka Ang-siauw-hwa!
"Koko, jangan nyalakan pelita, aku... malu...."
Dalam gelap Kwee Seng terbelalak. Akan tetapi ia segera memeluk wanita itu, penuh kasih sayang, penuh kerinduan yang selama ini ditekan-tekannya.
"Kekasihku..., kau.. kau Kim Lin... Ang-siauw-hwa... alangkah rinduku kepadamu!"
Kwee Seng menjadi seperti gila. Ia menumpahkan seluruh rasa rindu dan cintanya, bahkan cinta kasihnya yang pernah ia kandung terhadap diri Liu Lu Sian, ia tumpahkan kepada nenek itu! Kesadarannya kadang-kadang memperingatkannya bahwa yang berada dalam pelukannya adalah seorang nenek, akan tetapi ia tidak mau menerima peringatan ini, karena menurut perasaannya ia berkasih-kasihan mesra dengan seorang wanita muda yang dalam anggapannya kadang-kadang seperti Ang-siauw-hwa dan kadang-kadang seperti Liu Lu Sian!
Memang di dunia, tiada yang sempurna kecuali Tuhan. Apalagi manusia, makhluk yang banyak sekali melakukan penyelewengan-penyelewengan, makhluk yang selemah-lemahnya. Setiap orang manusia tentu ada saja kelemahannya di samping kebaikan-kebaikannya.
Pemuda ini dahulunya tidak suka minum arak, mencium arak pun menimbulkan rasa muak. Akan tetapi setelah ia terguncang batinnya oleh Lu Sian di dalam pesta Beng-kauw, ia menjadi pemabok, minum tanpa batas lagi, tenggelam ke dalam nafsunya, seperti orang mabok, lupa daratan lupa segalanya. Lupa bahwa ia barkasih-kasihan dengan seorang nenek? Dalam anggapannya, ia memperisteri seorang wanita yang muda dan cantik jelita! Inilah kelemahan Kwee Seng, pendekar muda yang sakti itu. Perasaannya terlalu halus, terlalu lemah, mudah terpengaruh.
Belasan hari lamanya dalam gelap gulita itu ia berkasih-kasihan dengan nenek Neraka Bumi yang dianggapnya seorang gadis jelita setengah Ang-siauw-hwa setengah Liu Lu Sian! Tak pernah nenek itu membolehkan dia menyalakan pelita. Tak pernah Kwee Seng meninggalkan kamar kitab, selalu dilayani nenek itu yang bergerak cepat menyediakan segala kebutuhan makan mereka, semua dilakukan di dalam gelap. Akan tetapi Kwee Seng merasa bahagia, tak pernah teringat pula olehnya tentang diri nenek tua renta yang berkeriputan kedua pipinya.
Dua pekan lewat dengan cepatnya bagi dua orang makhluk yang berkasih-kasihan itu. Malam itu Kwee Seng tidur dengan nyenyaknya, tidur dengan senyum menghias bibirnya, dengan bayangan kepuasan batin menyelimuti wajahnya. Ia mimpi tentang rumah gedung seperti istana, di mana ia tidur dalam sebuah kamar yang terhias indah, di atas pembaringan dari kayu cendana berukir, di samping isterinya, seorang puteri yang cantik jelita!
Hawa udara amat dingin, menyusup ke tulang sumsum, membuatnya setengah sadar. Ketika membuka matanya sedikit, ia melihat keadaan remang-remang. Teringat ia akan isteri dalam mimpi, tangannya meraba-raba dan menyentuh rambut halus di dekatnya, ia membalik dan memeluk isterinya puteri cantik jelita, menarik napas panjang penuh kebahagiaan.
Tiba-tiba Kwee Seng teringat dan kaget. Ia tidak mimpi! Ia berada dalam kamar kitab bersama isterinya. Dan mengapa keadaan tidak gelap lagi? Ada cahaya memasuki kamar. Ah, musim gelap dan banjir sudah berhenti! Ia dapat melihat tangannya, dapat melihat rambut hitam halus yang melibat-libat tangan dan lehernya, dapat melihat kepala yang ia dekap di dadanya. Kegelapan yang mengerikan telah pergi!
Ia melompat bangun, bukan main gembiranya. Saking gembiranya, ia hendak memeluk isterinya, hendak memberi tahu bahwa kegelapan sudah pergi. Ia membungkuk dan... tiba-tiba ia terbelalak dan tubuhnya mencelat mundur seakan-akan dipagut ular berbisa. Yang tidur melingkar karena hawa dingin, tidur pulas dengan napas panjang, rambut hitam gemuk terurai kacau, pakaian tambalan, ternyata sama sekali bukan gadis jelita seperti yang ia anggap selama belasan hari ini, melainkan seorang nenek tua bermuka penuh keriput!
Teringatlah Kwee Seng akan segala hal yang selama ini tertutup oleh gelora nafsunya sendiri. Sadarlah ia bahwa selama belasan hari ini ia berkasih-kasihan dengan seorang nenek-nenek! Bukan lagi mengorbankan diri untuk menyenangkan hati nenek-nenek itu, bukan lagi mengorbankan diri untuk membalas budi, sama sekali bukan, karena selama belasan hari ini dialah yang memperlihatkan kasih sayang yang mesra! Dialah yang seakan-akan tergila-gila, dan ternyata ia telah tergila-gila kepada seorang nenek-nenek!
Mendadak Kwee Seng tertawa dan kedua tangannya menampari mukanya sendiri.
"Plak-plak-plak-plak!" begitu terus menerus berkali-kali sampai kedua pipinya menjadi merah biru dan bengkak-bengkak, kemudian ia lari keluar dari kamar itu sambil masih terus tertawa-tawa.
Cepat sekali ia lari seperti dikejar setan. Memang ia dikejar setan. Setan bayangan pikirannya sendiri. Kesadaran yang telah membuka matanya kini berubah menjadi setan yang mengejar-ngejarnya, yang mengejeknya, sehingga ia malu! Malu dan ia harus pergi dari situ cepat-cepat. Begitu cepat larinya sehingga ia tidak mendengar lagi seruan jauh di belakangnya, seruan suara halus memanggil-manggilnya. Begitu tiba di tepi sungai di dalam terowongan, yaitu Arus Maut yang sudah mulai menurun airnya dan tidak begitu ganas lagi, tanpa berpikir panjang Kwee Seng yang lari ketakutan terhadap kejaran setan itu segera meloncat ke tengah.
"Byuuur!" air muncrat tinggi.
Akan tetapi biar pun ia sudah terjun ke dalam air dan menyelam di dalam air dingin, tetap saja bayangan itu mengejar-ngejarnya dan mengejeknya, Kwee Seng meramkan mata, menggerakkan kaki tangannya melawan arus air sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya.
Ia tidak tahu betapa di pinggir sungai itu, seorang wanita berlutut dan menangis, memanggil-manggil namanya dengan suara mengharukan, seorang wanita yang rambutnya riap-riapan; rambut yang hitam halus dan panjang, seorang wanita yang pakaiannya tambal-tambalan, yang mukanya basah air mata, muka yang cantik jelita. Kedua pipinya kemerahan, hidungnya mancung, bibirnya merah, matanya jernih, muka yang muda dan jelita. Kwee Seng tidak sempat melihat betapa wanita muda yang cantik ini menangis, di tangan kanannya tergenggam gagang kipasnya yang dahulu rusak ketika ia terseret arus dan tinggal gagangnya saja, tidak sempat melihat betapa tangan kiri wanita jelita itu tergenggam sebuah topeng dari pada kulit yang amat halus buatannya, topeng seorang nenek-nenek tua renta.....!
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Liu Lu Sian yang sesungguhnya merupakan tokoh penting dalam cerita ini, kalau tidak yang terpenting. Sebelum kita melupakan gadis perkasa yang sudah mendatangkan banyak gara-gara karena kecantikan dan kegagahannya ini, marilah kita mengikuti perjalanan dan pengalamannya yang amat menarik.
Seperti yang telah diceritakan di bagian depan, Liu Lu Sian tidak mau ikut pulang dengan ayahnya, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, yang memberi waktu satu tahun kepadanya untuk merantau dan ‘memilih suami’.
Gadis itu masih berdiri termangu-mangu di atas puncak bukit, memandang ke arah jurang dimana Kwee Seng terjungkal dan lenyap. Betapa pun juga, ia merasa kasihan kepada Kwee Seng yang ia tahu amat mencintanya. Untuk penghabisan kali ia menjenguk ke jurang hitam itu dan berkata lirih. "Salahmu dan bodohmu sendiri, mudah saja menjatuhkan hati terhadap setiap gadis cantik."
Kemudian ia menyimpan pedangnya dan berlari menuruni puncak bukit. Ia kembali menuju ke benteng, akan tetapi tidak langsung ke sana, melainkan berkuda memasuki sebuah dusun yang masih ramai karena penduduknya mengandalkan keamanan dusun mereka dengan benteng yang letaknya tidak jauh dari situ.
Lu Sian makan dalam sebuah warung untuk sekalian beristirahat menentramkan pikirannya yang terguncang. Sambil makan ia mengenangkan keadaan Jenderal Kam Si Ek yang amat menarik hatinya. Pada saat itulah ia mendengar derap kaki banyak kuda memasuki dusun. Pelayan warung kelihatan gugup sekali dan di luar terdengar orang berteriak-teriak. Tadinya Lu Sian tidak mempedulikan keadaan ini, akan tetapi ketika derap kaki kuda mendekat, ia kaget sekali mendengar gemuruh kaki kuda, menandakan bahwa yang datang adalah pasukan yang banyak jumlahnya. Dan ketika ia menengok ke jalan, orang-orang sudah lari cerai-berai bersembunyi.
"Ada apakah, Lopek?" tanyanya kepada tukang warung yang juga kelihatan takut.
"Nona, tidak ada waktu lagi bicara panjang. Aku harus segera bersembunyi dan kalau nona sayang keselamatanmu, sebaiknya ikut bersembunyi pula."
"Ada apakah? Barisan apa yang datang itu?"
"Entah barisan apa. Akan tetapi terang bahwa ada pasukan berkuda yang banyak sekali melewati kampung ini. Pada saat seperti sekarang ini, semua pasukan merupakan perampok-perampok yang jahat, apalagi kalau melihat wanita cantik." Setelah berkata demikian, tukang warung itu tanpa menanti Lu Sian lagi sudah lari melalui pintu belakang!
Lu Sian tersenyum mengejek dan melanjutkan makannya. Apa yang perlu ia takutkan? Pasukan itu boleh jadi ganas dan menggangu orang baik-baik, akan tetapi terhadap dia, mereka akan bisa apakah? Boleh coba-coba ganggu kalau hendak berkenalan dengan pedangnya! Akan tetapi ketika mendengar derap kaki kuda itu sudah dekat, ia tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk ke luar warung menonton.
Kiranya pasukan yang cukup besar, lebih dari lima puluh orang pasukan berkuda dengan kuda yang bagus-bagus, dipimpin oleh seorang komandan muda yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam. Pada saat Lu Sian keluar, ia melihat seorang menyimpangkan kudanya ke pinggir jalan di mana terdapat seorang wanita muda sedang membetot-betot tangan puteranya yang berusia tiga tahun. Anak ini agaknya senang melihat begitu banyaknya orang berkuda dan menangis tidak mau ikut ibunya. Wanita itu masih muda, usianya takkan lebih dua puluh lima tahun. Wajahnya lumayan kulitnya kuning bersih.
"Aihh, manis kau tinggalkan saja anak nakal itu dan mari ikut denganku, malam ini bersenang-senang denganku. Ha-ha-ha!" Penunggang kuda itu membungkukkan tubuhnya ke kiri dan tangannya yang berlengan panjang itu sudah diayun hendak menyambar pinggang wanita muda yang menjerit ketakutan.
"Tar-tar!" dua kali cambukan mengenai lengan tentara yang hendak berbuat tidak sopan itu, disusul bentakan nyaring, "Mundur kau! Masuk barisan kembali! Di wilayah Kam-goanswe, apakah kau berani hendak mencemarkan namaku? Orang tolol!" Kiranya yang mencambuk dan membentak itu adalah Si Opsir Muda.
Wanita itu cepat-cepat menggendong anaknya yang menangis dan lenyap ke belakang sebuah rumah.
Akan tetapi mata opsir hitam tinggi besar itu kini mengerling ke arah Lu Sian, jelas bayangan matanya penuh kekaguman dan kekurang-ajaran. Akan tetapi agaknya si opsir menahan napsunya dan melanjutkan kudanya, memimpin barisannya menuju ke benteng. Hanya sekali lagi ia menengok dan tersenyum kepada Lu Sian. Juga hampir semua anggota barisan menengok ke arahnya, tersenyum-senyum menyeringai. Muak rasa hati Lu Sian dan ia masuk kembali ke dalam warung. Akan tetapi kejadian itu membuat ia duduk termenung, lenyap nafsu makannya.
Kam Si Ek agaknya amat disegani oleh para tentara pikirnya. Benar-benar seorang muda yang mengagumkan. Akan tetapi mengapa pemuda seperti itu suka menjadi seorang jenderal, padahal sebagian besar anak buahnya terdiri dari orang-orang yang suka mempergunakan kedudukan dan kekuasaan serta kekuatan menindas si lemah? Ia harus menguji kepandaiannya.
Setelah rombongan tentara itu lenyap, berangsur-angsur penduduk kembali ke rumah masing-masing. Jalan penuh lagi oleh orang-orang yang hilir mudik. Pemilik warung juga datang kembali dan ia terheran-heran melihat Lu Sian masih duduk di situ.
"Eh, kau masih berada di sini, Nona? Hebat, benar-benar Nona memiliki ketabahan yang luar biasa. Untung bahwa dusun ini dekat dengan benteng Kam-goanswe, kalau tidak, tentu sudah rusak binasa dusun ini sejak lama seperti dusun-dusun lain yang dilewati rombongan seperti itu."
"Lopek (Paman Tua), apakah semua tentara selalu berbuat kejahatan seperti itu terhadap rakyat?"
"Boleh dibilang semua. Tergantung kepada komandannya. Kalau si komandan baik, anak buahnya pun baik. Ah, kalau saja semua perwira seperti Jenderal Kam, tentu hidup ini akan lebih aman dan tenteram. Semoga orang seperti Kam-goanswe diberi panjang umur!"
Lu Sian termenung. Orang muda seperti Kam Si Ek memang sukar dicari keduanya. Dalam hal ilmu silat, tentu saja tidak mungkin dapat mengalahkan Kwee Seng. Akan tetapi dalam hal-hal lain Kam Si Ek jauh menang kalau dibandingkan dengan Kwee Seng. Dengan penuh kekaguman ia teringat betapa Kam Si Ek menghadapi rayuan tiga orang wanita cantik. Dan ia merasa jantungnya berdebar ketika ia teringat ucapan Kam Si Ek sebulan lebih yang lalu ketika panglima muda itu naik ke panggung di pesta Beng-kauw untuk menolong seorang pemuda yang kalah.
Masih terngiang di telinganya kata-kata Kam Si Ek ketika itu, "Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya hatiku menjadi pemenang... Akan tetapi... Bukan beginilah caranya. Maafkan, Nona, biarlah aku mengaku kalah terhadapmu." Itulah kata-katanya, kata-kata yang jelas merupakan pengakuan bahwa pemuda ganteng itu juga ‘ada hati’ terhadapnya.
Malam hari itu, dengan mengenakan pakaian ringkas akan tetapi setelah menghias diri serapi-rapinya, Lu Sian membawa pedangnya, berlari cepat menuju ke benteng Kam Si Ek. Ia menjadi heran dan juga lega melihat bahwa penjagaan di sekitar benteng sekarang sama sekali tidaklah sekuat kemarin, bahkan beberapa orang penjaga yang berada di pintu benteng kelihatan sedang bermain kartu di bawah sinar pelita. Dengan mudah Lu Sian lalu melompati tembok benteng melalui sebatang pohon, dan beberapa detik kemudian ia telah berloncatan di atas genteng.
Akan tetapi, ketika ia berada di atas genteng gedung tempat tinggal Kam Si Ek yang berada di tengah-tengah kumpulan bangunan itu, ia mendengar suara orang berkata-kata dengan keras, seperti orang bertengkar. Cepat ia berindap dan dengan hati-hati melayang ke bawah memasuki gedung dari belakang, dan di lain saat ia sudah mengintai dari sebuah jendela ke dalam ruangan di mana terjadi pertengkaran.
Ia melihat seorang wanita berpakaian serba putih yang bukan lain adalah Lai Kui Lan kakak seperguruan Kam Si Ek. Kui Lan berdiri di tengah ruangan sambil bertolak pinggang, mukanya kemerahan dan matanya berapi-api marah sekali. Di hadapannya duduk tiga orang perwira dengan muka tertawa-tawa mengejek. Seorang di antaranya, yang duduk di tengah bukan lain adalah komandan pasukan yang tadi dilihat Lu Sian ketika pasukan lewat di dusun.
"Lai-lihiap, sebagai bekas pembantu Sute-mu, saya harap Lihiap (Nona Yang Gagah) suka ingat bahwa urusan mengenai ketentaraan adalah urusan kami, Lihiap tidak berhak mencampurinya," kata perwira yang duduk di kiri.
"Betul, sudah cukup lama kami terpaksa bersabar dan tak berkutik di bawah kekerasan Kam-goanswe. Sekarang Phang-ciangkun (Panglima Phang) yang memegang komando di benteng ini, Lai-lihiap tidak berhak mencampuri urusan kami!" kata perwira ke dua yang duduk di sebelah kanan.
"Sudah terlalu banyak Lihiap mencampuri urusan ketenteraan, sewenang-wenang menghukum anak buah kami padahal biar pun Lihiap adalah kakak seperguruan Kam-goanswe namun Lihiap tetap seorang biasa, bukan anggota ketentaraan."
Makin marahlah Lai Kui Lan. Ia menudingkan telunjuknya ke arah dua orang bekas pembantu adik seperguruannya itu. "Kalian manusia-manusia yang pada dasarnya sesat! Sute-ku menjalankan disiplin keras, menghukum tentara menyeleweng, itu sudah semestinya! Dan aku membantu Sute-ku menegakkan nama baik benteng ini, mencegah anak buah melakukan penganiayaan kepada rakyat. Apa yang kulakukan juga sudah merupakan kewajiban setiap orang gagah. Di depan Sute, kalian berpura-pura baik, sekarang, baru setengah hari Sute pergi memenuhi panggilan gubernur untuk menghadapi bahaya serangan bangsa Khitan, kalian sudah memperlihatkan sifat asli kalian yang buruk! Membiarkan anak buah kalian menculik wanita, merampas harta benda rakyat. Orang-orang macam kalian ini mana patut memimpin tentara? Pantasnya dikirim ke neraka!"
Dua orang perwira itu marah dan bangkit berdiri sambil mencabut golok mereka, sedangkan Kui Lan masih berdiri tegak tanpa mencabut senjata, memandang dengan senyum mengejek karena ia sudah maklum sampai di mana kepandaian kedua orang bekas pembantu sute-nya itu. Akan tetapi komandan baru benteng itu, Phang-ciangkun yang tinggi besar dan berkulit hitam itu segera berdiri, tertawa dan menjura kepada Kui Lan.
"Nona, betapa pun juga, kedua orang saudara ini berkata benar, bahwa semenjak saat berangkatnya Sute-mu tadi, secara sah akulah yang menjadi komandan di sini dan bertanggung jawab terhadap semua peristiwa. Nona, sebagai seorang yang sudah lama hidup di dalam benteng, tentu Nona tahu akan peraturan-peraturan di sini, tahu bahwa segala apa yang terjadi adalah tanggung jawab sepenuhnya dari pada komandan benteng. Mengapa Nona sekarang hendak turun tangan sendiri? Bukankah ini berarti Nona melakukan pemberontakan dan sama sekali tidak memandang mata kepada komandan barunya? Nona, harap nona suka bersabar dan dari pada kita bertengkar yang hanya akan menimbulkan hal-hal tidak baik dan memalukan kalau terdengar anak buah, lebih baik mari kita bergembira, makan minum bersama dan bersenang-senang!" Setelah demikian, komandan muda itu memandang kepada Kui Lan dengan sinar mata bercahaya, muka berseri-seri mulut tersenyum, jelas membayangkan maksud hati yang kurang ajar.
Hampir meledak rasa dada Kui Lan saking marahnya. Akan tetapi ia tahu bahwa sute-nya sendiri akan marah kalau ia menimbulkan keributan di dalam kekuasaan komandannya. Maka ia segera berkata keras, "Aku akan menyusul Sute, akan kuceritakan semua dan awaslah kalian kalau dia kembali!" Setelah berkata demikian, ia membalikkan tubuhnya dan meloncat ke luar dari dalam rumah itu.
Tiga orang perwira itu tertawa-tawa bergelak. "Ha-ha-ha, perempuan galak itu pergi! Baik sekali! Dia memang akan mendatangkan kesulitan saja kalau tetap tinggal di sini. Dia hendak menyusul Kam Si Ek? Ha-ha-ha!" kata seorang yang duduk di kiri.
Temannya, yang duduk di kanan berkata pula sambil tertawa, "Begitu datang ke kota, Kam Si Ek akan terjeblos ke dalam perangkap. Suci-nya menyusul, biarlah ditangkap sekali. Phang-ciangkun, mari kita bersenang-senang, makan minum sepuasnya, dan anak buah kami tadi berhasil menangkap beberapa ekor anak ayam, kau boleh pilih yang paling mungil, ha-ha-ha!"
Mereka bertiga tertawa-tawa gembira, akan tetapi hanya sebentar karena secara tiba-tiba saja mereka berhenti tertawa, berdiri dan mencabut senjata. Di depan mereka telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa. Gadis yang bertubuh ramping padat, berpakaian indah tapi ringkas sehingga mencetak bentuk tubuhnya. Rambutnya yang hitam gemuk digelung ke atas, diikat dengan pita sutera kuning, wajahnya jelita sekali dengan sepasang mata bintang, hidung mancung dan bibir merah. Begitu dia muncul, ruangan itu penuh bau yang harum semerbak. Di tangannya tampak sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, gagang pedang berupa kepala naga.
Tiga orang perwira itu berdiri ternganga, tidak hanya kaget melihat tadi ada sinar berkelebat dan ternyata berubah menjadi seorang gadis, akan tetapi juga terpesona, kagum menyaksikan kecantikan yang tiada taranya ini. Phang-ciangkun agaknya teringat akan gadis ini, gadis yang siang tadi keluar dari sebuah rumah makan. Ia adalah seorang yang sudah banyak mengalami pertempuran, seorang yang sudah mengeras oleh tempaan pengalaman, maka cepat ia dapat menenteramkan hatinya, malah segera tertawa dan berkata.
"Ah, Nona yang cantik seperti bidadari! Kau sudah menyusul datang? Apakah hendak menemaniku makan minum?"
Akan tetapi tiba-tiba ia berteriak kaget karena tahu-tahu meja di depannya telah melayang ke arahnya. Tidak tampak siapa yang melakukan ini, hanya kelihatan gadis jelita itu sedikit menggerakkan kaki. Dengan goloknya, Phang-ciangkun menangkis dan membacok meja yang pecah menjadi dua, sedangkan dia sendiri melompat ke pinggir, akan tetapi tetap saja ada kuah sayur asin yang menyambar ke mukanya, membuat matanya pedas sekali. Dua orang temannya berseru marah dan meloncat maju dengan golok di tangan, menerjang Lu Sian.
"Tahan!" teriak Phang-ciangkun, yang betapa pun juga, merasa sayang kepada gadis yang luar biasa cantiknya ini. Ia tidak ingin melihat gadis itu terbunuh dan ingin menawannya hidup-hidup. Dua orang temannya menahan golok dan meloncat mundur.
"Nona, kau siapakah? Dan apa sebabnya kau datang mengamuk? Tidak ada permusuhan di antara kita!"
Dengan telunjuknya yang kecil runcing Lu Sian menuding ke arah muka hitam itu. "Ihh, manusia keparat! Kau masih bisa bilang tidak ada permusuhan? Kau menipu Kam Si Ek, kemudian merampas kedudukannya, menghina suci-nya. Dan kau masih bilang tidak ada apa-apa?"
"Eh, kau apanya Kam Si Ek?"
"Tak usah kau tahu!" jawab Lu Sian dan tahu-tahu pedangnya berkelebat menjadi sinar berkilauan yang bergulung-gulung dan menyambar ke arah Phang-ciangkun.
Perwira ini kaget bukan main. Itulah sinar pedang yang luar biasa, tanda bahwa pemainnya adalah seorang kiam-hiap (pendekar pedang) yang mahir. Ia cepat memutar golok besarnya, dan dua orang perwira pembantunya juga meloncat dari kanan kiri membantunya. Akan tetapi mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang pandai memerintah anak buah, menggunakan kekuasaan dan kekasaran untuk bertindak sewenang-wenang, yang hanya berani dan sombong karena mengandalkan anak buah banyak. Mana bisa mereka menghadapi pedang Toa-hong-kiam di tangan Liu Lu Sian, dara perkasa yang telah digembleng secara luar biasa sejak kecil oleh ayahnya?
Tak sampai sepuluh jurus, Phang-ciangkun sudah terjungkal dengan leher terputus, dan dua orang perwira pun terjungkal, seorang tertembus dadanya oleh pedang, yang seorang lagi sengaja dirobohkan dengan sebuah totokan pada lambungnya. Sebelum roboh tiga orang itu sempat berteriak-teriak memanggil bala bantuan, akan tetapi ketika penjaga di luar gedung menyerbu ke dalam, mereka hanya melihat Pang-ciangkun dan seorang perwira pembantunya menggeletak tak bernyawa lagi, sedangkan perwira pembantu lainnya telah lenyap.
Para penjaga berserabutan lari mencari dan mengejar, ada yang melaui jendela yang terbuka, ada yang melalui pintu depan dan belakang. Kentong dan gebreng dipukul bertalu-talu karena tadinya mereka itu semua bersenang-senang karena mereka terbebas dari pada tindakan disiplin keras dari Kam Si Ek.
Dengan cepat sekali Liu Lu Sian melarikan diri dari benteng sambil mengempit tubuh perwira yang dirobohkan dengan totokan tadi. Setelah tiba di dalam hutan yang sunyi dan gelap, ia membanting perwira itu ke atas tanah sambil membebaskan totokannya dengan ujung sepatu yang menendang. Perwira itu mengerang kesakitan dan ia segera berlutut minta-minta ampun. Memang sebenarnyalah, hanya seorang pengecut yang biasa bertindak sewenang-wenang apabila kebetulan kekuasaan berada di tangannya, akan tetapi begitu kekuasaannya lenyap dan ia terancam bahaya, ia tidak akan merasa malu-malu untuk memperlihatkan sifat pengecutnya.

Jilid 8>>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)