CINTA BERNODA DARAH : JILID-22

Kakek ini mengerutkan keningnya, berkata halus, “Kim-siauw-eng, ke mana perginya keteguhan hatimu? Mengapa saat ini kau terserang kelemahan yang sesungguhnya tidak sesuai dengan kegagahanmu? Laki-laki sama sekali pantang untuk turun semangat dan membiarkan hatinya digerogoti perasaan duka. Apakah yang mengganggu pikiranmu, orang muda?”
“Locianpwe, teecu berterima kasih bahwa Locianpwe telah menyelamatkan teecu dari pada bahaya maut. Akan tetapi kesedihan hati teecu lebih besar dari pada rasa syukur telah bebas dari kematian. Mendengar semua orang membenci teecu karena mendiang ibu, tidaklah mengguncangkan perasaan teecu. Akan tetapi mendengar kenyataan bahwa ibu kandung teecu dahulunya begitu keji dan jahat, hal inilah yang menghancurkan hati teecu. Mohon petunjuk Locianpwe.”
Kakek itu menarik napas panjang. “Aku sudah heran tadi mengapa kau hanya menghadapi orang-orang yang mengancam nyawamu dengan Kim-kong-sin-im saja, padahal kalau kau melawan mereka dengan Hong-in-bun-hwat dan dengan ilmu silatmu yang lain, kau takkan terancam bahaya maut. Kiranya kau merasa betapa ibumu berdosa dan kau sengaja hendak mengorbankan diri menebus dosanya! Orang muda, ibumu memang memiliki watak yang keras. Akan tetapi ia hanya seorang manusia biasa saja, seperti manusia-manusia lain ia pun mempunyai kelemahan. Manusia adalah makhluk yang lemah dan karenanya mudah lupa akan kemanusiaan. Tidak ada manusia baik atau jahat di dunia ini, semua sama saja karenanya dengan dasar pikiran ini orang budiman mengasihi semua manusia tanpa pandang perbedaan. Yang suka disebut orang jahat adalah orang yang sedang lupa, dilupakan oleh nafsu ingin senang sendiri, ingin menang sendiri, ingin enak sendiri, tanpa mempedulikan keadaan orang lain, maka perbuatannya yang ditunggangi nafsu-nafsu demikian itu merugikan orang lain. Orang yang dirugikan tentu akan menganggapnya jahat. Sebaliknya, orang yang sedang sadar, bebas nafsu, tentu akan timbul peri-kemanusiaannya dan melakukan perbuatan yang menguntungkan atau menyenangkan orang lain. Orang yang diuntungkan atau disenangkan demikian itu tentu akan menganggapnya baik. Jadi pada umumnya, manusia menilai BAIK atau JAHAT itu didasarkan pada akibat MENGUNTUNGKAN atau MERUGIKAN dirinya yang sebetulnya juga menjadi rangkaian dari pada nafsunya sendiri.”
Suling Emas mengangguk-angguk, “Teecu dapat memahami filsafat yang Locianpwe ajarkan. Mungkin mendiang ibu melakukan semua itu karena lemah dan lupa, ingin mengumbar nafsu sehingga akibatnya merugikan banyak orang dan menimbulkan benci. Sekarang mereka hendak menuntut kepada teecu, bagaimana teecu harus berbuat? Locianpwe, biar pun ibu dikatakan orang jahat, namun ia adalah ibu kandung teecu dan teecu belum pernah melakukan sesuatu kebaktian bagi ibu, belum dapat membalas kesengsaraan ibu ketika ibu mengandung dan melahirkan serta memelihara teecu. Apakah yang teecu harus lakukan?”
“Sudah kukatakan tadi, Kim-siauw-eng, bahwa orang-orang yang merasa dirugikan menjadi marah dan benci. Benci menimbulkan dendam. Dendam menimbulkan perbuatan merugikan pihak lain sehingga timbul dendam-mendendam yang tiada habisnya, rangkaian permainan karma. Orang membenci takkan kehabisan bahan untuk mencela, sebaliknya orang mencinta takkan kehabisan bahan untuk memuji. Karena dasarnya hanya dirugikan atau diuntungkan, maka kedua perasaan itu mudah berubah. Benci berubah cinta setelah yang dibenci mendatangkan untung, baik di bidang benda mau pun perasaan. Sebaliknya cinta bisa berubah benci setelah yang dicinta mendatangkan rugi. Karena itu, jangan kau pusingkan siapa orangnya yang membencimu atau mencintamu. Semua harus kau pandang sama, dengan pandangan kasih sayang antar manusia. Kalau toh kau hendak menebus perbuatan-perbuatan ibumu yang dianggap DOSA, kau lakukanlah sebanyak-banyaknya hal-hal yang menguntungkan dan menyenangkan hati orang lain, atau yang lazim disebut kebaikan. Dengan perbuatan baik berarti kau mengangkat tinggi nama orang tua, termasuk ibumu. Tapi jangan sekali-kali kau lupa akan kewajibanmu sebagai satria, yaitu membela si lemah tertindas, menyadarkan si kuat penindas, baik dengan nasihat mau pun dengan ilmu kepandaianmu. Orang-orang yang lupa dan melakukan hal-hal yang merugikan orang lain, perlu disadarkan, baik dengan jalan halus mau pun kasar. Kau mengerti maksudku, bukan?”
Suling Emas mengangguk. “Terima kasih, Locianpwe.”
“Sekarang mari kau perdalam Kim-kong Sim-im, tadi kudengar latihanmu ada beberapa bagian yang kurang sempurna.”
Kakek itu lalu bersila di depan Suling Emas, menurunkan yang-khim dan mulai mainkan yang-khim-nya. Suling Emas cepat-cepat mengambil sulingnya dan tak lama kemudian di tempat yang sunyi itu kembali terdengar paduan suara yang-khim dan suling, melagukan nyanyian yang amat merdu, akan tetapi yang mengandung pengaruh luar biasa sekali sehingga keadaan di lembah itu amat aneh.
Kadang-kadang paduan suara itu terdengar seperti badai mengamuk sehingga keadaan sekelilingnya menjadi makin sunyi karena binatang-binatang hutan tidak ada yang berani muncul mau pun bersuara. Di lain saat terdengarlah paduan suara yang lembut merayu seperti bisikan-bisikan angin lalu, seperti kicau burung dan gemerciknya air anak sungai yang bening, sehingga burung-burung di hutan itu mulai ikut berkicau, binatang-binatang mulai keluar dari tempat sembunyi mereka dan suasana menjadi tenteram dan penuh damai.
Lebih dua jam mereka berlatih. Akhirnya paduan suara itu menghilang dan dengan senyum puas kakek Bu Kek Siansu meninggalkan Suling Emas yang masih berlutut di atas tanah.
“Tugasmu amat banyak, Suling Emas. Berbahagialah manusia yang masih mempunyai tugas-tugas dalam hidupnya, karena tidak ada yang lebih mulia dalam hidup ini selain menunaikan tugas-tugas hidup, mempergunakan tenaga dan pikirannya yang amat dibutuhkan orang lain.”
“Locianpwe, setelah semua tugas teecu selesai, teecu ingin sekali ikut Locianpwe menuntut ilmu bertapa dan menjauhkan diri dari pada urusan dunia.”
Kakek itu tertawa dan mengelus-elus jenggotnya yang putih. “Lamunan semua orang muda yang sedang diamuk duka nestapa. Tunggu saja kalau kau sudah bertemu dengan jodohmu, ha-ha-ha, mungkin kupaksa ikut pun kau akan menolak! Selamat tinggal!” Maka pergilah kakek itu.
Sepergi kakek sakti Bu Kek Siansu Suling Emas duduk terus bersila sambil termenung. Tunggu kalau dia bertemu jodohnya? Apa arti ucapan kakek sakti itu? Ia maklum bahwa Bu Kek Siansu adalah seorang sakti yang sukar dicari bandingnya pada masa itu, dan bahwa kakek itu selain memiliki kesaktian, juga memiliki ilmu kebatinan yang dalam. Akan tetapi, dalam hal jodoh, tiada manusia di dunia ini lebih berkuasa dari pada Dewa jodoh yang sudah diberi tugas oleh Thian untuk mengurus soal-soal perjodohan manusia di permukaan bumi. Dan oleh Dewa jodoh, pertaliannya dengan satu-satunya wanita yang pernah ia cinta, pertalian kasih sayang yang mendalam, agaknya telah diputuskan. Ataukah ini yang dibilang bahwa wanita itu bukan jodohnya? Akan tetapi dia satu-satunya gadis yang pernah ia cinta, ia sayang, seperti hatinya!
“Ceng Ceng... kekasihku...,” terdengar ia berbisik, merupakan keluhan yang langsung keluar dari hatinya yang terluka.
Terbayanglah wajah seorang wanita yang ayu, yang lemah lembut dan yang sikapnya agung. Wajah jelita gadis pujaan hatinya, Suma Ceng. Terbayanglah dengan amat jelasnya di dalam ingatan, sepuluh tahun yang lalu. Ia masih menjadi seorang pegawai muda yang dipercaya oleh Pangeran Suma Kong di kota raja, bahkan diberi tempat tinggal di sebuah bangunan samping gedung pangeran itu.
Masih jelas terbayang pertemuan pertama kali dengan Suma Ceng, puteri pangeran itu. Bulan bersinar indah dan penuh pada malam itu. Ia duduk di dalam taman bunga Pangeran Suma yang luas, duduk di depan pondok taman sambil meniup suling, permainan yang digemarinya semenjak ia kecil. Kemudian, bagaikan Sang Dewi Malam atau Dewi Purnama sendiri turun ke dunia, puteri jelita itu muncul, tertarik oleh suara sulingnya.
“Ceng Ceng...,” kembali Suling Emas menarik napas panjang dalam lamunannya.
Teringat dan terbayanglah semua itu. Betapa mesra pertemuan itu. Betapa sinar mata mereka yang bicara dalam seribu bahasa, mewakili bibir yang tak pandai berkata-kata. Kemudian betapa mimpi muluk itu menjadi hancur berantakan oleh kenyataan yang tak dapat dibantah lagi. Ia hanya seorang pelajar yang tak pernah lulus ujian, Suma Ceng puteri seorang pangeran, bahkan pangeran yang menjadi majikannya!
Namun betapa cinta kasih membikin ia buta akan kenyataan ini, membuat Suma Ceng juga buta bahkan ia tak mungkin berjodoh dengan seorang pegawai biasa. Mereka bagaikan mabuk asmara, asyik dan masyuk, dibuai gelora cinta kasih yang mendalam. Hubungan dilanjutkan, hanya bulan dan kadang-kadang malam gelap yang menjadi saksi akan pertalian cinta kasih di antara mereka yang makin mendalam.
Akhirnya, semua mimpi muluk berakhir. Dalam lamunannya, Suling Emas mengeluh. Pertemuannya dengan kekasihnya ketahuan.
Ia seorang pemuda lemah ketika itu. Ia dihajar, dihukum, hampir dibunuh, akhirnya ia tertolong oleh Kim-mo Taisu yang kemudian menjadi gurunya (baca cerita Suling Emas yang amat menarik).
“Ceng Ceng...!” Suling Emas mengusir ingatan tentang kesengsaraan yang dideritanya semejak hubungannya dengan Suma Ceng ketahuan.
Ia kembali memaksa ingatannya membayangkan wajah kekasihnya yang jelita. Wajah yang mirip dengan wajah Lin Lin, yang kemudian dalam lamunannya berubah perlahan-lahan menjadi wajah Lin Lin! Ia mengerutkan kening, lalu menggoyang-goyang kepalanya keras-keras sehingga bayangan itu lenyap dari pandang matanya.
Suling Emas bangkit berdiri, sikapnya tenang, wajahnya biasa, akan tetapi jantung di dalam dadanya seakan-akan menjeritkan nama itu berkali-kali, “Ceng Ceng... Ceng Ceng...!” Jeritan yang membuat ia makin lama makin rindu kepada yang punya nama ini.
Makin dipikirkan, makin perih hatinya. Selama hidup di dunia ini, hanya ada dua orang saja yang selalu berada di hatinya. Orang pertama adalah ibu kandungnya, orang kedua adalah Suma Ceng. Akan tetapi ibunya yang semenjak kecil ia rindukan, ia harap-harapkan perjumpaan dengan ibunya, ternyata begitu bertemu lalu meninggal dunia dan meninggalkan nama yang dibenci oleh dunia kang-ouw, yang dianggap jahat.
Ada pun Suma Ceng, gadis yang dicinta dan mencintainya, telah direnggut orang dari pelukannya, kini telah menjadi isteri orang lain! Apa lagi yang diharapkan di dunia ini? Untuk apa lagi ia hidup? Sudah sepatutnya kalau ia ikut dengan kakek Bu Kek Siansu, bertapa dan mengasingkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi kakek sakti itu bilang bahwa kalau ia bertemu dengan jodohnya, diajak bertapa pun ia takkan mau?
Semua renungan ini membuat ia merasa makin rindu kepada Ceng Ceng yang masih hidup. Andai kata ibu kandungnya masih hidup, tentu ia akan mendekati ibunya dan berusaha melupakan Suma Ceng yang sudah menjadi isteri orang lain. Bahkan andai kata ayahnya masih hidup, ia tentu akan mendekati ayahnya yang selama ini ia benci karena berpisah dari ibunya. Akan tetapi kedua orang tuanya sudah meninggal, hanya Suma Ceng yang masih hidup.
“Ceng Ceng... aku harus menemuimu... sekali lagi...!”
Tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Tujuannya adalah kota raja di mana Suma Ceng berada! Ada memang ingatan akan tugas-tugasnya berkelebat di benaknya, namun ia sengaja mengesampingkan dulu tugas-tugas ini. Setelah bertemu dengan Suma Ceng, baru ia akan melaksanakan tugas-tugas itu. Merampas kembali tongkat Beng-kauw, mewakili ibu kandungnya ke puncak Thai-san untuk menghadapi tokoh-tokoh Thian-te Liok-koai. Merampas kembali Lin Lin dari tangan orang-orang Khitan dan menyuruh tiga orang adik-adiknya kembali ke Cin-ling-san. Mengurus perjodohan, apa bila mungkin, antara Bu Sin dengan Liu Hwee, dan tugasnya yang terakhir, seperti dipesankan oleh Bu Kek Siansu, yaitu memupuk perbuatan-perbuatan bermanfaat dan baik bagi orang lain untuk mengangkat kembali nama ibu kandungnya. Dengan ilmu lari cepatnya yang luar biasa, sebentar saja tubuh Suling Emas tampak jauh, hanya sebesar titik hitam yang dalam beberapa detik berikutnya lenyap sudah.
********************
Seperti sudah menjadi sifat orang-orang kaya mau pun pembesar-pembesar yang berkuasa, mereka adalah orang-orang malas, yang enggan bekerja berat namun ingin mendapatkan hasil yang sebanyak mungkin, tentu saja ada kecualinya yaitu mereka yang tidak mabuk akan harta dan kedudukan. Mereka bangun siang, tidur malam-malam karena tiada hentinya mengejar kesenangan, malas dan ingin menang sendiri, ingin berkuasa saja dan enggan dikalahkan.
Karena inilah agaknya, bangunan di sekitar istana yang dihuni oleh kaisar, para pangeran dan pembesar istana, amat sunyi di waktu pagi, dan baru nampak ramai dan hidup kalau matahari sudah naik tinggi. Kalau orang boleh melongok ke dalam kamar-kamar para manusia yang kebetulan dinasibkan menjadi pembesar dan penguasa itu, akan tampaklah orang-orang ini masih tidur mendengkur, bertilam kasur empuk bersutera kembang, berselimut tebal dan lunak. Para pelayan tidak ada yang berani mengeluarkan suara keras, berjalan pun berjingkat agar tidak menimbulkan gaduh.
Namun pada pagi hari itu, seperti biasa pula, dalam sebuah taman bunga yang indah di belakang dan samping kiri sebuah bangunan mungil, termasuk sebuah di antara gedung-gedung dalam lingkungan istana, terdengarlah suara suling. Suling ini bunyinya cukup nyaring, akan tetapi pendek-pendek dan tidak dapat dibilang merdu, bahkan ada tanda-tanda bahwa yang meniupnya adalah seorang anak-anak. Lagunya adalah lagu kanak-kanak yang sederhana.
“Liong-ji (Anak Liong), suka sekalikah kau meniup suling?” terdengar suara halus seorang wanita.
Suara suling berhenti. Kiranya di dalam taman bunga yang indah itu, pagi-pagi sekali sewaktu penghuni gedung-gedung yang lain masih mendengkur, terdapat seorang wanita muda yang menilik pakaian dan gerak-geriknya pasti adalah seorang nyonya bangsawan. Usianya masih muda, paling banyak dua puluh tujuh tahun, wajahnya cantik sekali dan wajahnya itu membayangkan kehalusan budi dan keagungan. Ia memondong seorang anak laki-laki yang berusia kurang lebih satu tahun. Seorang anak laki-laki lain berusia empat tahun berlari-lari ke sana ke mari sambil tertawa-tawa, se­akan-akan ia hendak mengejar burung-burung kecil yang beterbangan sambil berkicau gembira di pagi hari itu.
Anak yang menyuling adalah seorang anak laki-laki pula, usianya sembilan sepuluh tahun. Anak ini duduk di atas sebuah bangku dan asyik memegang sebatang suling bambu yang tadi ditiupnya. Mendengar pertanyaan wanita tadi, ia berhenti meniup dan menjawab, “Aku suka sekali, Ibu.”
Sejenak wajah cantik itu termenung, kemudian memaksa keluar sebuah senyum sambil berkata, “Aku akan suruh mencarikan seorang guru suling untuk mengajarmu, Liong-ji. Maukah kau belajar meniup suling?”
Anak itu mengangguk-angguk gembira, lalu meniup lagi sejadi-jadinya. Ibunya memandang dengan penuh perhatian, jantungnya serasa tertikam yang membuatnya terharu, komat-kamit mengeluarkan kalimat yang hanya ia dengar sendiri. “... serupa benar....”
Akan tetapi ia segera dapat menguasai hatinya lagi sambil tersenyum-senyum geli melihat puteranya yang kedua berusaha mengejar burung-burung di udara dan membuat gerakan menangkap.
“Sun-ji (Anak Sun), hati-hati jangan lari-lari, nanti jatuh!”
“Bu, aku ingin bisa terbang seperti burung!” anak kedua itu berseru gembira dengan suara pelo dan lucu, kemudian membuat gerakan dengan kedua lengannya digerakkan seperti sepasang sayap burung, mulutnya menirukan bunyi burung bercuat-cuit.
Si ibu gembira melihat anak-anaknya sehat-sehat, lalu diciumnya muka puteranya yang ketiga, yang tertawa-tawa gembira.
Pagi yang gembira, sehat dan menyegarkan jiwa raga, akan tetapi yang juga membangkitkan kenang-kenangan lama. Hal ini dapat dilihat dari wajah cantik ibu muda ini, sebentar ia bergembira terpengaruh oleh tiga orang anaknya, sebentar lagi ia termenung seperti ingat akan sesuatu yang membangkitkan kenang-kenangan yang berkesan. Anak yang dipanggil Liong itu sudah bersuling lagi, dengan amat tekun dan sungguh-sungguh ia meniup dan berganti-ganti menutupi lubang-lubang suling dengan jari-jari tangannya yang kecil.
“... Ceng Ceng...!” Suara ini tertahan dan tersendat, seakan-akan sukar keluar dari mulut yang punya suara.
Wanita itu tersentak kaget dan serentak bangkit berdiri dari bangkunya sambil memondong anaknya yang paling kecil. Suara itu! Seketika wajahnya berubah pucat. Hanya ada satu orang saja di dunia ini yang memanggil namanya dengan suara seperti itu! Kedua kakinya menggigil dan ia tidak mau menggerakkan tubuh, tidak mau memutar tubuh menengok ke belakang ke arah suara, karena ia khawatir kalau-kalau suara tadi hanya suara dari kenangannya sehingga kalau ia menengok dan tidak melihat sesuatu, ia akan kecewa. Ia meramkan mata, diam-diam ingin menikmati kenangan lama yang sedemikian mendalam dan menggores kalbunya sehingga di pagi hari yang indah ini ia sampai-sampai mendengar suara orang yang menjadi sebab lamunannya.
“Ceng Ceng...!”
Wanita itu mengeluarkan seruan tertahan, setengah isak. Kemudian dengan tiba-tiba dan cepat sekali, seakan-akan takut kalau orang yang bersuara itu sudah pergi lagi, ia memutar tubuh memandang.
“Bu Song Koko (Kanda Bu Song)...! Kau... kaukah ini...? Kau di sini...?” Ia melangkah maju dua tindak, kemudian pandang matanya yang tadi melekat pada wajah laki-laki itu kini menurun, berhenti pada dada di mana terdapat gambar sebatang suling dari benang emas.
“Koko... kau... kau Suling Emas...?”
Dua pasang mata bertemu pandang, dua sinar mata saling belit, saling dekap, saling cumbu dan saling menampakkan rasa rindu birahi yang ditahan-tahan selama sepuluh tahun. Wanita itu memandang dengan mulut agak terbuka, terengah-engah dan dari sepasang matanya yang bening itu bertitik butiran-butiran air mata seperti mutiara.
Keduanya mempunyai hasrat yang sama, ingin lari maju dan saling rangkul, namun keduanya menahan gelora hati ini sekuat tenaga. Akhirnya, melihat butiran-butiran air mata itu, laki-laki yang bukan lain adalah Suling Emas ini, secepat kilat membalikkan tubuhnya, wajahnya pucat sekali dan ia berdongak ke atas, meramkan kedua matanya, bibirnya agak menyeringai tanda betapa perihnya hati, seperti ditusuk-tusuk pedang rasanya. Kemudian ia membuka pelupuk mata, mengejap-ngejapkannya untuk menahan agar jangan sampai kedua matanya yang terasa panas dan gemetar itu menitikkan air mata.
Kebetulan sekali ketika ia membalikkan tubuh, ia melihat bocah yang memegang suling kini sudah berdiri di dekatnya. Melihat anak ini, Suling Emas menggerakkan tangan kiri dan mengelus-elus kepala yang gundul itu. Bocah ini dapat ia pergunakan untuk landasan kuat bagi perasaannya, untuk menolak gelora cinta dan keharuan yang seakan-akan hendak menjebol bendungan hatinya.
“Kau... kau pandai bersuling, Nak?” ia bertanya, suaranya serak, tanda bahwa hatinya penuh gelora dan haru, dan bahwa hampir saja pendekar sakti ini tadi terisak menangis.
Bocah itu tertawa dan mengangguk.
“Cobalah kau menyuling untukku. Kau mau diajar meniup suling?”
“Mau...! Mau saja... Ibu tadi bilang hendak memanggil guru suling. Apakah kau ini gurunya, Paman?”
Suling Emas tersenyum dan mengangguk. Anak itu lalu meniup lagi sulingnya. Suling Emas mendengar isak tertahan di belakangnya, lalu disusul suara yang pilu dan gemetar, penuh perasaan.
“Kau... kau datang... apakah kehendakmu, Koko...?”
Suling Emas menarik napas panjang, masih membelakangi wanita itu dan tangan kirinya masih meraba-raba kepala bocah yang menyuling.
“Tadinya aku sudah bersumpah pada diri sendiri takkan mengganggumu, Ceng Ceng, takkan menemuimu selama hidupku agar lukaku tidak semakin parah....” Ia berhenti dan tidak melanjutkan kata-katanya yang tertelan oleh isak.
“Song-koko, aku pun sama sekali tidak mengira akan dapat bertemu lagi denganmu. Sama sekali aku tidak menyangka bahwa Suling Emas pendekar sakti yang selama ini disohorkan setiap orang itu kaulah orangnya! Ahhh... siapa kira....” Dalam kalimat terakhir ini terdengar keluhan dari hati yang merasa amat menyesal.
Suling Emas memutar tubuhnya. Kembali mereka berpandangan, akan tetapi kali ini mereka sudah kuat menahan. Untuk sejenak keduanya memandang penuh selidik, untuk mengetahui keadaan masing-masing, memandang sinar mata, memandang keadaan tubuh, kurus gemuknya, dan keduanya makin menduga-duga. Beruntungkah ia tanpa aku? Demikian agaknya pertanyaan yang terkandung di hati masing-masing.
“Song-koko, aku mendengar bahwa Suling Emas belum berumah tangga... apakah... betulkah ini? Apakah kau belum juga menikah? Song-koko... mengapa begitu? Apakah kau belum juga dapat melupakan aku...?”
“Melupakan engkau? Ah... Ceng Ceng, aku melupakan engkau? Bagaimana mungkin itu! Sudah kucoba-coba, sudah kupaksa-paksa hati ini, namun buktinya sekarang aku berada di sini!” Agak keras dan kasar kata-kata ini dan sepasang mata pendekar itu memandang tajam, bagaikan menusuk-nusuk, membuat nyonya muda itu tertunduk.
“Dunia serasa makin sempit bagiku, Ceng Ceng. Tadinya masih ada harapanku sembuh oleh ibuku, akan tetapi ibu meninggal. Aku meraba-raba bagaikan orang buta dalam gelap, tak tahu harus ke mana... betapa aku tak dapat melupakan engkau, Ceng Ceng...! Karena itulah aku datang... untuk melihat wajahmu lagi, aku... tak tahan aku akan rindu....”
“Song-koko...!” Wanita itu yang bernama Suma Ceng dan kini adalah nyonya seorang pangeran, yaitu Pangeran Kiang, menjerit kecil. “Jangan begitu, Koko... aku... aku sudah menjadi ibu dari tiga orang anak! Kau lihat mereka ini...!” Suma Ceng cepat-cepat mempergunakan anak-anaknya untuk perisai diri atau lebih tepat untuk pengendalian hatinya sendiri yang seakan-akan terbetot dan hendak dihanyutkan oleh bekas kekasihnya. Ia maklum kalau tidak cepat-cepat ia berpegang kepada tiga orang puteranya, bisa-bisa ia terbawa hanyut, karena sesungguhnya, sampai mati sekali pun ia takkan mungkin dapat melupakan Bu Song.
Suling Emas menarik napas panjang, menekan gelora hatinya, kemudian ia menjadi sadar kembali ketika anak yang meniup suling itu tiba-tiba menarik tangannya dan bertanya, “Paman Guru, bagaimana dengan kepandaianku meniup suling?”
Suara yang lantang dari bocah ini menariknya turun dari sorga lamunan, dan membuatnya kaget karena hampir saja tadi ia melakukan sesuatu yang tidak patut. Melihat wajah Suma Ceng kembali, berhadapan muka dengan wanita ini, benar-benar bisa membuatnya lupa akan segala.
“Kau sudah pandai, tapi harus belajar lagu-lagu yang indah!” katanya sambil meraba kepala anak itu.
Tiba-tiba wajahnya berubah dan jari-jari tangan kirinya tetap meraba-raba kepala yang gundul itu. Aneh! Ajaib! Kepala anak ini sama benar dengan kepalanya! Tak salah lagi! Jarang di dunia ini ada kepala seperti ini, kepala yang dahulu membuat mendiang gurunya, Kim-mo Taisu, tidak ragu-ragu menolongnya dan mengambilnya sebagai murid. Inilah ‘kepala pendekar’ seperti yang dulu disebut-sebut Kim-mo Taisu. Bagaimana potongan dan bentuk kepala anak ini bisa sama dengan kepalanya?
“Ceng Ceng...” suaranya gemetar ketika ia menoleh dan memandang wajah ayu itu.
Suma Ceng tidak menjawab, hanya menjawab dengan pandang mata penuh pertanyaan.
“Anak ini... dia putera sulungmukah?”
Suma Ceng mengangguk dan gerakan ini membuat dua titik air mata yang tadi bergantung pada bulu matanya runtuh ke bawah, menimpa pipinya.
“Dia... dia ini...!” Tiba-tiba Suling Emas berjongkok di depan anak itu, menatap wajah anak itu penuh perhatian, meraba kepala, meraba alis mata anak itu yang hitam tebal, seperti alis matanya.
Hidung dan mata anak itu seperti hidung dan mata Suma Ceng, akan tetapi mulut itu, alis itu, kepala itu! Serentak ia bangkit berdiri lagi, malah kini melangkah maju sehingga ia hanya berdiri dalam jarak tiga langkah dari Suma Ceng.
“Dia... dia itu...?” suaranya serak dan lirih, “dia itu...?” tak kuasa ia melanjutkan kata-katanya, tercekik di lehernya.
Kini Suma Ceng menangis. Air matanya bercucuran dan ia mengangguk-angguk. Melihat ibunya menangis, anak kecil yang dipondongnya juga ikut menangis. Cepat-cepat hal ini menahan air mata Suma Ceng dan ia mendekap anaknya, mengusapkan mukanya yang basah air mata pada pipi dan baju anak itu. Anaknya terdiam dan agaknya gangguan ini malah meredakan gelora hatinya.
“Betul, Song-koko, dia... dia anak kita....”
“Ya Tuhan...! Dan kau... kau diam saja...?”
“Aku tidak tahu akan hal itu sebelum aku menikah dengan suamiku. Andai kata aku tahu sekali pun, apa yang dapat kulakukan, Song-koko? Kau sendiri pun tak berdaya apa-apa.” Ucapan ini penuh sesal. “Andai kata kau dulu selihai sekarang... ah, untuk apa kita melamunkan yang bukan-bukan? Andai kata aku tahu bahwa pertemuan di malam terakhir itu... ah, andai kata aku tahu kau meninggalkan anak ini padaku, apakah yang akan dapat kulakukan? Menolak kehendak ayah dan kakak tak mungkin, paling-paling aku hanya dapat membunuh diri....”
“Ceng Ceng, kau maafkan aku. Memang kau tak bersalah. Akan tetapi... ah, anak ini dia anakku! Dia harus ikut denganku!”
“Tidak Song-koko. Apakah kau ingin menyiksa anak itu dan menyiksa diriku pula? Kurang hebatkah penderitaan batinku selama ini? Song-koko, demi kebaikan kita berdua, lebih baik kalau kau melupakan aku. Anggap saja kekasihmu Ceng Ceng ini sudah mati, dan kau... kau kawinlah dengan gadis lain, berbahagialah, aku memuji siang malam, Koko....”
“Ceng Ceng... Ceng Ceng..., kau tetap berbudi, kau tetap jelita, kau tetap pujaan hatiku....” Hampir tak kuat Suling Emas, ingin ia memeluk wanita itu, ingin memondongnya, ingin menghiburnya. Namun pandang mata wanita itu kini tidaklah seperti dahulu. Memang, ada perubahan pada diri Ceng Ceng-nya, kekasihnya.
“Heee, siapakah di situ?” Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan seorang laki-laki yang berpakaian indah berlari-lari mendatangi dengan pedang terhunus di tangan. Ia ini bukan lain adalah Pangeran Kiang! Ketika ia melihat Suling Emas, wajahnya berubah, pandang matanya dingin dan sikapnya mengancam ketika ia menghampiri Suma Ceng.
“Hemmm... jadi tidak salah omongan Kakak Suma Boan! Ternyata isteriku yang setia ini diam-diam bermain gila dengan laki-laki bekas kekasihnya dahulu! Perempuan tak tahu malu! Sudah punya tiga orang anak masih hendak main gila, berjinah dengan laki-laki lain? Keparat!”
“Ooohhh... tidak..., tidak!” Suma Ceng menjerit tertahan. Tuduhan ini benar-benar merupakan ujung pedang yang menusuk ulu hatinya, “Aku dan dia... kami tidak berbuat apa-apa yang melanggar kesopanan, jangan kau menuduh yang bukan-bukan!”
“Bagus, ya? Kau masih hendak membelanya? Perempuan hina... kupukul mukamu yang tak tahu malu...!” Pangeran itu melangkah lebar menghampiri Suma Ceng dan tangan kirinya melayang, menampar ke arah pipi. Isterinya hanya tunduk dan menangis tersedu-sedu, tidak mempedulikan datangnya tangan yang menampar.
Akan tetapi tangan yang menampar itu terhenti di tengah jalan. Pangeran itu berseru kaget dan heran, juga penasaran. Ketika ia menggerakkan tangannya ke belakang, tidak apa-apa, akan tetapi begitu ia menampar ke depan, tangan itu tiba-tiba berhenti seakan-akan tertahan oleh dinding yang tidak tampak!
“Keparat, hayo mengaku bahwa kau telah berjinah dengan... dengan bangsat ini!” Ia berteriak memaki untuk mengatasi kemarahan dan rasa penasarannya.
“Sesungguhnya, kami tidak berbuat apa-apa... suamiku dengarlah... memang betul dia dahulu adalah seorang kenalanku, sebelum aku kawin denganmu, tapi... tapi... semenjak itu... baru ini kami saling bertemu, dan kami tidak berbuat apa-apa yang melanggar susila. Percayalah...!”
“Perempuan rendah! Siapa tidak tahu bahwa dahulu kau berjinah dengan kekasihmu? Aku masih berlaku murah dan sabar, akan tetapi siapa kira sekarang kau mengadakan pertemuan gelap! Terkutuk...!” Kali ini si pangeran menggerakkan pedangnya menyerang isterinya sendiri.
Dua orang anak kecil, yang satu dipondong Suma Ceng, yang seorang memegangi gaunnya dari belakang, menjerit-jerit ketakutan menyaksikan adegan yang tidak mereka mengerti, akan tetapi yang mendatangkan rasa takut pada mereka itu. Hanya anak yang sulung tidak menangis, memandang dengan mata terbelalak sambil memegangi sulingnya. Adegan ini berkesan amat mendalam di hatinya, akan tetapi tentu saja ia pun tidak mengerti apa artinya semua ini.
Biar pun pedang itu mengancam nyawanya, Suma Ceng tidak bergerak, siap menerima tusukan pedang. Baginya hidup ini penuh penderitaan batin, dan ia memaafkan kemarahan suaminya yang pada hakekatnya tidaklah menuduh yang bukan-bukan! Memang ia merasa berdosa terhadap suaminya yang sebetulnya amat mencintanya. Kalau ia mau, tentu saja ia dapat mengelak bahkan melawan, karena adik dari Suma Boan ini pun memiliki ilmu kepandaian silat yang lumayan namun jauh lebih tinggi dari pada kepandaian suaminya.
Akan tetapi, seperti juga tadi, pedangnya yang meluncur ke depan itu tiba-tiba terhenti di tengah jalan, malah mendadak ia merasa tangan kanannya seperti lumpuh dan pedangnya itu tak dapat ditahannya lagi, runtuh terlepas dari tangannya menimbulkan suara berkerontangan. Cepat sang pangeran ini membalikkan tubuh memandang. Tak salah dugaannya. Kiranya laki-laki berpakaian serba hitam yang pernah ia dengar namanya sebagai Suling Emas, pendekar yang menggemparkan itu, berdiri tegak dan menggerak-gerakkan tangannya mengirim pukulan atau dorongan jarak jauh yang tadi menahan pukulan-pukulannya dan tusukan pedangnya.
“Manusia berhati binatang!” Pangeran Kiang melompat maju menghadapi Suling Emas. “Orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku tidak takut! Orang lain boleh menyebutmu pendekar, akan tetapi bagiku kau hanyalah seorang laki-laki buaya yang mengganggu isteri orang! Kau seorang laki-laki rendah berjinah dengan perempuan ini yang juga hanya seorang isteri berwatak pelacur...!”
“Plakkk!” Pangeran itu terguling dan bibirnya pecah-pecah berdarah oleh tamparan tangan Suling Emas yang menjadi marah sekali. Muka pendekar ini menjadi agak pucat, matanya memancarkan cahaya berkilat.
“Mulutmu busuk! Kau boleh memaki aku, akan tetapi kau terlalu menghina Ceng Ceng! Biar pun dia sudah menjadi isterimu, namun ia tetap seorang wanita yang agung, yang bersih, yang suci.”
“Dia perempuan jalang, pelacur tak tahu malu...!” Pangeran itu dalam marahnya melompat bangun dan memaki lagi.
“Bukkk!” Sebuah dorongan membuat ia terjengkang ke belakang, berdebuk keras dan sambil meringis kesakitan pangeran ini merangkak bangun lagi.
“Huh, pendekar macam apa ini? Menjinahi isteri orang, menggunakan kepandaian untuk menghina orang dan merampas isterinya! Cih, yang begini mengaku pendekar? Kau boleh bunuh aku, akan tetapi namamu akan membusuk sampai akhir jaman! Mari kita mengadu nyawa...!”
“Jangan...! Suamiku, jangan... kau takkan menang...! Bu Song, kau pergilah...!”
Akan tetapi Suling Emas tidak mau pergi, ia maklum bahwa kalau ia pergi begitu saja, tentu Suma Ceng akan celaka, disiksa mungkin dibunuh suaminya.
“Pangeran yang tolol, kau dengarlah. Aku sama sekali tidak melakukan perbuatan yang bukan-bukan dengan isterimu. Dia terlampau suci untuk mengkhianatimu! Memang dulu aku mencintainya, akan tetapi dia sudah menjadi isterimu sekarang.” Ia menarik napas panjang. “Jangan kau memfitnah yang bukan-bukan.”
“Siapa bilang fitnah? Kau datang menjumpainya, sikap kalian... dan perempuan hina ini membelamu... hemmm, siapa tidak tahu bahwa kalian masih saling mencinta? Keparat, terkutuk, benar-benar menghina sekali. Hayo kau bunuh aku lebih dulu, baru kau bisa merampas isteriku, keparat!” Dengan kemarahan meluap karena rasa cemburu, pangeran itu menubruk maju dan memukul. Pukulannya tepat mengenai dada Suling Emas, akan tetapi bukan yang dipukul yang roboh, melainkan pangeran itu sendiri yang terpelanting dan lengan kanannya yang memukul patah tulangnya!
“Kau ingin mati? Apa sukarnya membunuhmu? Hemmm, Ceng Ceng, kalau manusia ini begini menghina kita, mengapa kau lebih senang tinggal menjadi isterinya? Biar pun kau sudah menjadi ibu dari tiga orang anak. Hemmm... aku masih sanggup melindungimu selamanya dan membunuh tikus busuk bermulut kotor ini!”
Pada saat itu Pangeran Kiang sudah berdiri lagi dan menyerang dengan tangan kiri. Biar pun rasa nyeri hampir membuat ia pingsan, namun panasnya hati membuat ia sanggup menahan dan terus menerjang lagi. Kaki Suling Emas bergerak dan sebuah tendangan membuat pangeran itu terlempar sampai empat meter jauhnya. Namun kembali ia merangkak bangun untuk menjadi roboh kembali di lain detik oleh tamparan tangan Suling Emas yang kelihatannya sudah marah sekali.
“Kau ingin mampus, ya? Nih, terima! Dan ini! Kalau kau tak mau berlutut minta ampun kepada isterimu, mencabut semua kata-katamu yang kotor, demi Tuhan, kubunuh benar-benar engkau!” Suling Emas menghajar terus sampai pangeran itu babak-belur, mukanya berdarah dan bengkak-bengkak.
“Tahan! Suling Emas, kau berani memukuli suamiku seperti ini? Laki-laki kejam! Kau boleh bunuh dia melalui mayatku!” Tiba-tiba Suma Ceng yang sudah menurunkan anaknya dari pondongan dan telah memungut pedang suaminya, menerjang maju bagaikan seekor harimau betina. Pedangnya menusuk ke arah dada Suling Emas.
“Ceng Ceng...!” Suling Emas terbelalak heran dan kaget.
“Ceppp!” Ujung pedang itu menusuk dadanya.
Untung ia dapat mengatasi heran dan kagetnya, lalu cepat mengerahkan tenaga sehingga pedang yang sudah menancap itu tidak maju terus, menancap dan meleset ke atas sehingga pedang itu menancap dan menembus daging dan kulit dada dan pundak, akan tetapi tidak memasuki rongga dada. Karena pengerahan sinkang dari Suling Emas hebat dan kuat sekali, Suma Ceng merasakan telapak tangannya panas dan lumpuh sehingga pedang itu dilepasnya dan masih menancap pada dada Suling Emas.
“Berani kau hendak membunuh suamiku? Ahhh... dia suamiku, ayah anak-anakku, aku akan membelanya dengan nyawa!” Suma Ceng berseru lagi dan kembali menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat.
“Ceng Ceng... aahhhh...!” dengan jantung serasa ditarik-tarik Suling Emas berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
Suma Ceng menubruk suaminya, merangkul dan menangis. Pangeran Kiang yang mukanya bengkak-bengkak itu tersenyum. “Isteriku... akhirnya aku mendapat bukti nyata, kau memang mencinta aku seorang! Ha-ha-ha, tidak sia-sia pengorbananku, tidak sia-sia pembelaanku..., kau isteriku yang setia... maafkan semua tuduhanku tadi.”
“Diamlah... diamlah... kau terluka. Tentu saja aku isterimu dan setia kepadamu....”
Suma Ceng mengusap air matanya dan mengerling ke arah perginya Suling Emas, hatinya mengeluh penuh rasa nelangsa. Memang sebaiknya begini, pikirnya. Hanya itulah jalan satu-satunya untuk mengusir Suling Emas, untuk mencegah suaminya cemburu dan mungkin sekali untuk mengobati hati kekasihnya yang terluka. Kalau melihat dia bersedia bersetia dan mencinta suaminya, mungkin Suling Emas akan lebih mudah untuk melupakannya. Dengan muka pucat ia lalu membantu suaminya meninggalkan taman, sedangkan anak-anaknya segera dipondong oleh pelayan-pelayan yang datang dengan muka ketakutan.
Ada pun Suling Emas melarikan diri dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga tubuhnya tak tampak, hanya bayangannya saja berkelebatan dan dalam waktu sebentar saja ia sudah keluar dari kota raja, terus ia berlari seperti orang gila, masuk keluar hutan. Menjelang tengah hari, setelah berlari-larian berjam-jam lamanya, akhirnya ia menjatuhkan dirinya di bawah sebatang pohon besar dalam sebuah hutan. Ia jatuh tertelungkup di atas rumput, tak bergerak, kedua tangannya menutupi mukanya. Hanya terdengar ia mengeluh dan mengerang perlahan seperti orang menderita nyeri yang amat sangat. Darah masih membasahi bajunya, darah yang keluar dari luka di dada dan pundaknya.
Pedang yang tadi menancap kini tidak tampak lagi. Luka-luka inikah yang membuat dia mengerang? Tak mungkin. Luka itu hanyalah luka daging dan kulit belaka, dan bagi seorang pendekar sakti seperti Suling Emas, luka macam itu tidaklah ada artinya. Namun luka yang berada di dalam rongga dadanya, luka pada hatinya itulah yang amat sakit rasanya. Jantungnya serasa perih seperti disayat-sayat. Ceng Ceng tidak cinta lagi padanya. Ceng Ceng mencinta suaminya, dan bahkan membenci dia yang dibuktikan dengan tusukan pedang tadi!
Suling Emas mengeluh dan ketika ia bergerak dan bangun duduk di atas tanah berumput, wajahnya nampak pucat bukan main. Warna bulat kuning pada bajunya yang hitam, yaitu bagian dada, telah menjadi merah karena darahnya. Paduan warna hitam baju dan merah darah itu membuat mukanya kelihatan lebih pucat lagi. Agaknya peristiwa yang hanya beberapa jam lamanya itu membuat kerut-merut di antara kedua matanya makin mendalam, dan membuat sinar sepasang matanya menjadi redup sayu.
Tanpa disadarinya, tangannya meraih ke pinggang dan di lain saat ia telah meniup sulingnya. Suara yang keluar dari sulingnya melengking tinggi, mengalun panjang dan menyuarakan lagu sedih yang penuh kepiluan hati. Bagi orang yang mendengar suara suling ini, tentu akan menyatakan bahwa suara itu memilukan dan menyedihkan.
Namun sesungguhnya Suling Emas telah mempergunakan ilmunya Kim-kong Sin-im yang belum lama ini ia latih bersama Bu Kek Siansu. Dengan ilmu ini, perlahan-lahan kesedihannya lenyap dan setelah suara suling berhenti, wajahnya tidak sepucat tadi. Namun ia masih duduk melamun dan sengaja mempergunakan kesempatan ini untuk mengolah semua peristiwa yang menimpa dirinya. Seperti biasa ia hendak memetik buah bermanfaat, menarik pelajaran dari setiap pengalaman hidupnya.
Kini pikirannya dapat bekerja baik, tidak lagi diselimuti perasaan hati yang pilu dan sayu. Suma Ceng telah mencinta suaminya dan membencinya. Hal ini sama artinya dengan kematian kekasihnya itu. Bukan orangnya yang mati, melainkan cinta kasih terhadap dirinya. Tidak ada lagi manusia yang boleh diharapkan di dunia ini. Ibu kandungnya telah meninggal, juga Ceng Ceng telah mati!
Mengapa ia harus merasa berduka? Mengapa hatinya begini sakit? Mengapa ia membenci Pangeran Kiang? Suling Emas mengumpulkan ingatannya dan terngiang kembali di telinganya segala petuah, pelajaran dan nasihat yang pernah ia dengar dari mendiang gurunya, Kim­mo Taisu, dan si kakek sakti Bu Kek Siansu. Apakah artinya cinta? Pernah mendiang gurunya menguraikan tentang cinta ini.
Cinta yang paling murni di antara manusia adalah cinta yang tidak dikotori oleh nafsu menyenangkan diri sendiri, yakni cinta yang tulus ikhlas dan rela, yang berlandaskan pengorbanan demi untuk kesenangan dan kebaikan dia yang dicinta. Contohnya kasih sayang seorang ibu terhadap anak kandungnya ikhlas dan rela, satu-satunya idaman hati seorang ibu hanyalah melihat anaknya senang, rela berkorban, rela bersusah payah, tanpa mengharapkan upah karena melihat anak itu senang merupakan upah yang paling berharga.
Sebaliknya cinta kasih yang berlandaskan nafsu, selalu meng­hendaki agar orang yang dicinta itu hidup berbahagia BERSAMA DIA SENDIRI. Menghendaki agar orang yang dicinta itu menjadi miliknya yang mutlak, selama hidup berada di sampingnya untuk dipuja, untuk dicinta, untuk pelepas dahaga, cinta ini penuh dengan harapan, penuh dengan pamrih dan karenanya penuh dengan racun yang dapat duka nestapa dan sengsara mendatangi
. Suling Emas termenung. Dia manusia biasa. Tentu saja cintanya termasuk golongan kedua itulah. Ia mencinta Ceng Ceng karena wanita itu jelita, karena halusan budinya, karena keramahannya, karena kecocokan hatinya dan karena... agaknya lebih dari pada itu karena dahulu membalas cintanya! Sekarang wanita itu sudah menjadi isteri orang lain, sudah mengalihkan cinta kasihnya kepada suaminya itu, mengapa ia harus bersikeras melanjutkan cinta kasihnya? Bukankah itu akan sia-sia belaka? Menyiksa diri sendiri dan menyiksa Ceng Ceng, merusak pula hati Pangeran Kiang? Ia harus melupakan Ceng Ceng! Tapi anak laki-laki itu, putera sulung Suma Ceng adalah anaknya!
Kembali Suling Emas merenung, gelisah dan bingung. Tentu saja mudah baginya, menggunakan kepandaiannya untuk merampas bocah itu. Akan tetapi apa artinya? Apa gunanya? Bocah itu belum tentu berbahagia bersamanya dan Ceng Ceng tentu akan hancur hatinya. Pangeran Kiang yang agaknya tidak menduga akan hal itu tentu akan sakit hati kepadanya. Ah, akibatnya hanya merugikan semua pihak.
“Aku harus melupakan dia! Harus...! Mengapa aku begini lemah? Heeee, Bu Song, apakah kau bukan laki-laki?!”
Tiba-tiba Suling Emas melompat bangun, tertawa bergelak. Suara ketawa ini bergema di dalam hutan, mengagetkan burung-burung. Kemudian pendekar ini mainkan sulingnya sedemikian cepatnya sehingga terdengar angin menderu-deru dan yang tampak hanyalah sinar bergulung-gulung yang kadang-kadang mengeluarkan kilatan cahaya kuning emas! Ketika beberapa menit kemudian pendekar ini berkelebat pergi dari situ, keadaan sunyi di situ, yang tampak hanyalah rumput yang kini penuh dengan daun-daun pohon yang telah menjadi gundul, rontok semua daunnya karena sambaran hawa pukulan yang berkelebatan dari suling emas tadi!
********************
Bu Sin dan adiknya, Sian Eng, tak dapat berkutik di atas tanah lembab dalam ruangan bawah tanah. Mereka tiada hentinya berusaha untuk membebaskan diri dari pada totokan, namun totokan Hek-giam-lo ternyata dari aliran lain dan amat luar biasa. Biar pun Bu Sin sudah mengerahkan tenaga saktinya, tetap saja ia tidak mampu membebaskan diri. Apa lagi Sian Eng yang tingkat tenaganya jauh lebih lemah. Setelah berusaha dengan sia-sia selama beberapa jam, akhirnya mereka menerima nasib. Satu-satunya harapan mereka adalah kakak mereka, Bu Song atau Suling Emas. Hanya Suling Emas yang akan dapat menolong mereka.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar ruangan dalam tanah itu, disusul suara langkah orang berlari-lari. Langkah ini sebetulnya ringan sekali dan andai kata Bu Sin dan Sian Eng tidak sedang rebah miring dengan telinga menempel pada tanah, kiranya jejak kaki ini takkan terdengar mereka.
Sian Eng menjadi girang sekali dan hampir saja ia berteriak memanggil nama kakaknya, karena siapa lagi orang yang memasuki tempat ini selain Suling Emas yang hendak menolong mereka? Akan tetapi segera ditahan niatnya berteriak memanggil demi dilihatnya wajah Bu Sin yang kelihatan kaget dan gelisah. Apa lagi pada saat itu terdengar suara yang parau menyakitkan telinga.
“Sin-ni, tak boleh kau mendahului aku, ho-ho-hah!”
“Kai-ong jembel menjemukan!” balas suara seorang wanita yang nyaring.
Bu Sin dan Sian Eng tentu saja menjadi amat kaget karena mengenal suara ini. Suara It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni! Dua orang iblis yang sama jahatnya atau mungkin lebih mengerikan dari pada Hek-giam-lo sendiri. Gema suara mereka belum lenyap, akan tetapi bayangan hitam yang bertubuh ramping telah berkelebat ke dalam ruangan itu, dikejar oleh bayangan kakek bertongkat yang agak bongkok. Dalam sekejap mata dua bayangan ini sudah lenyap memasuki terowongan, agaknya mereka itu sedang berlomba mencari sesuatu.
Selenyapnya dua bayangan orang sakti itu, berkelebat bayangan ketiga dan ternyata orang ini adalah Suma Boan. Sejenak pemuda bangsawan ini mencari-cari dengan pandang matanya. Ia terkejut sekali ketika melihat Bu Sin dan Sian Eng rebah di bawah.
“Dinda Sian Eng... kau di sini...? Ah, kau tertotok! Jangan khawatir, aku akan menolongmu....” Cepat pemuda itu meraih tubuh Sian Eng dan dipondongnya.
Biar pun kaki tangannya lumpuh, namun Sian Eng masih dapat bicara. Suaranya lemah berbisik, “... harap kau... tolong pula Sin-ko keluar dari sini....”
“Ah, tak mungkin aku menolong dua orang sekaligus, Moi-moi. Terowongan terlalu sempit dan... dan di sini berbahaya sekali. Kalau tidak bersama Suhu, aku sendiri tidak berani. Mari kita cepat keluar, biar nanti kakakmu ditolong Suhu.” Setelah berkata demikian, Suma Boan yang memondong tubuh Sian Eng itu berlari keluar dari tempat itu dengan gerak kaki cepat. Ia memang merasa ngeri karena tahu bahwa tempat ini adalah tempat rahasia persembunyian Hek-giam-lo, apa lagi tadi gurunya mengejar Siang-mou Sin-ni dan dengan adanya wanita iblis itu di sini, maka tempat ini menjadi lebih berbahaya lagi.
Hati Bu Sin tidak enak sekali melihat adiknya dipondong Suma Boan. Ia tidak suka dan tidak percaya kepada putera pangeran itu. Akan tetapi apa yang dapat dilakukan? Kaki tangannya masih dalam keadaan lumpuh tertotok, dan ia tidak dapat mencegah perbuatan Suma Boan itu, karena betapa pun juga, pemuda putera pangeran itu bermaksud menolong Sian Eng. Keadaan Sian Eng dan dia berdua memang berbahaya sekali, nyawa mereka terancam bahaya.
Setidaknya Suma Boan membebaskan Sian Eng dari pada ancaman iblis-iblis jahat yang memasuki terowongan tadi. Dan... dan agaknya di antara adiknya dan putera pangeran itu terdapat hubungan cinta kasih, sungguh pun ia tidak suka mempunyai seorang adik ipar macam Suma Boan, namun jelas bahwa pemuda itu takkan mengganggu Sian Eng kalau memang mencintanya. Dan jauh lebih baik seorang di antara mereka tertolong dari pada keduanya harus mati konyol di tempat mengerikan ini.
Mendadak terdengar angin bertiup dan dua sosok bayangan sudah berkelebat memasuki ruangan itu lagi. Kini dua bayangan itu sudah berdiri berhadapan, dan memang mereka adalah Siang-mou Sin-ni dan It-gan Kai-ong, keduanya saling pandang dengan mata penuh kemarahan.
“Kai-ong jembel busuk, kau mengganggu saja kepadaku!”
“Heh-heh, siapa mengganggu? Kita bersama mempunyai tujuan yang sama, mencari barang pusaka Hek-giam-lo, akan tetapi ternyata kita tak berhasil. Tidak ada apa-apa di sini kecuali bocah menjemukan ini!”
“It-gan Kai-ong, kau benar-benar menjengkelkan. Kalau tidak ada kau yang mengganggu, barangkali aku akan berhasil. Kau benar-benar sialan!” Sambil berkata demikian, Siang-mou Sin-ni me­nerjang maju dengan kaki tangan dan rambutnya, menyerang dengan hebat. Namun It-gan Kai-ong menggerakkan tongkatnya. Segera mereka bertanding di ruangan itu dengan hebat, ditonton oleh Bu Sin yang masih rebah di atas tanah lembab.
“Tua bangka bosah hidup, lihat ini!”
“Aiiihhhhh... hebat! Inikah hasilmu dari Bu Kek Siansu?” teriak It-gan Kai-ong karena ia memang terdesak hebat ketika Siang-mou Sin-ni mainkan sebuah alat musik khim yang dulu ia rampas dari Bu Kek Siansu.
Hebat sekali senjata istimewa berupa khim ini. Ketika ia menggerakkannya, terdengar suara mengaung dan sejenak It-gan Kai-ong terhuyung ke belakang karena suara yang keluar dari khim itu mengacaukan pemusatan tenaganya. Hampir saja ia kena disabet sambaran rambut lawannya yang menotok tujuh tempat jalan darah yang dapat membawa maut. Siang-mou Sin-ni tertawa-tawa nyaring ketika melihat hasil terjangan senjatanya ini, dan ia melompat maju mendesak lebih hebat.
Akan tetapi tiba-tiba gerakan tongkat It-gan Kai-ong berubah. Kini tongkat itu membentuk lingkaran-lingkaran aneh yang mengeluarkan bunyi pula, bunyi menggereng seperti auman singa. Ketika khim bertemu tongkat, keduanya terlempar ke belakang dan terhuyung-huyung.
“Setan alas! Ilmu iblis apa yang kau mainkan tadi?” bentak Siang-mou Sin-ni.
“Sayang hanya setengahnya kudapat...!” It­gan Kai-ong terkekeh. “Kalau keseluruhannya kumiliki, kau tentu akan mampus di tanganku kali ini, Sin-ni!”
Siang-mou Sin-ni berdiri diam, berpikir. Kiranya ilmu hebat itu adalah hasil dari pada perampasan kitab dari tangan Bu Kek Siansu dahulu. It-gan Kai-ong hanya berhasil mendapatkan setengah kitab, yang setengah lagi dirampas Hek-giam-lo. Kalau saja ia bisa memiliki kedua potongan kitab itu!
“Kai-ong, sekarang bukan waktunya kita menguji kepandaian. Nanti di puncak Thai-san kita boleh bertempur sampai puas. Kita tunda dulu, bagaimana pendapatmu? Ataukah kau hendak melanjutkan? Aku pun tidak takut kalau kau hendak melanjutkan sampai seorang di antara kita mampus!”
“Heh-heh-heh, Siang-mou Sin-ni iblis betina. Apa artinya dapat menangkan kau dan mengemplang remuk kepalamu yang penuh tipu-tipu muslihat itu kalau tidak ada yang menyaksikannya? Kelak di Thai-san tentu kau roboh di tanganku. Heh-heh, ditunda juga tidak apa.”
Siang-mou Sin-ni menoleh ke arah Bu Sin, suaranya terdengar mengejek ketika ia berkata, “Bu Sin Koko yang tampan, kau nakal sekali, berani dulu kau melarikan diri dari padaku. Hemmm, agaknya memang kau tidak bisa lama-lama berpisah dariku, maka sekarang bertemu kembali di sini.”
“Heh-heh, agaknya sudah jodoh, Sin-ni! Hisap saja darahnya sampai habis, tunggu apa lagi? Ataukah kau sudah bosan? Biar kucoba dia dengan ludahku!” It-gan Kai-ong meludah ke arah Bu Sin.
Andai kata tidak ada yang menghalangi, ludah itu tentu akan membuat kepala Bu Sin berlubang dan sekaligus akan mencabut nyawa pemuda itu. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni mendengus, rambutnya bergerak dan air ludah itu terpukul ujung rambut, menyambar kembali ke arah It-gan Kai-ong yang miringkan kepala, membiarkan air ludahnya sendiri menyambar lewat dan lenyap ke dalam batu karang di belakangnya!
“Jembel busuk, jangan main-main! Dia ini punyaku, tak boleh kau ganggu dia. Nyawanya berada di tanganku, dia mau mati atau hidup, aku yang menentukan!”
“Ho-ho-hah! Enak kau bicara, Siang-mou Sin-ni. Kau mau borong dia, mau memiliki dia sampai kalian mampus, aku peduli apa? Akan tetapi sebelum ia kau bawa pergi, ia harus menceritakan lebih dulu ke mana perginya Hek-giam-lo. Kalau tidak, mana aku mau sudah begitu saja? Jangan kau kira aku begitu goblok, membiarkan kau sendiri saja mendengar keterangan dari mulutnya tentang Hek-giam-lo!”
“Keparat tua bangka! Aku mau bawa dia pergi atau tidak, kau mau apa?”
Kembali kedua orang sakti itu sudah saling melotot, siap untuk saling gempur lagi. Bu Sin yang mendengarkan percakapan dan melihat sikap mereka merasa khawatir. Kalau dua orang sakti yang berwatak aneh seperti orang gila ini bertempur karena dia, sembilan puluh prosen ia akan mati.
“Kalian tidak perlu ribut-ribut di sini. Baru saja Hek-giam-lo pergi keluar membawa robekan kitab.” Baru saja Bu Sin bicara sampai di sini, It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni sudah berkelebat lenyap dari tempat itu!
Akan tetapi kegembiraan hati Bu Sin melihat ini hanya sebentar karena tahu-tahu Siang-mou Sin-ni sudah berada di tempat itu lagi dan berdiri dekat dengannya sehingga ia dapat mencium bau harum yang sudah amat dikenalnya dan yang selalu membuat ia merasa ngeri dan seram kalau mengingatnya. Tak salah dugaannya bahwa yang datang kembali adalah wanita yang amat ditakuti karena terdengar wanita itu tertawa genit lalu berkata.
“Anak manis, apakah sekarang kau akan dapat melarikan diri dariku lagi?” sambil berkata demikian ia meraih dan memondong tubuh Bu Sin, kemudian dibawanya lari ke luar dari terowongan itu.
“Perempuan busuk! Perempuan hina! Kau lepaskan aku!” Bentak Bu Sin dengan marah. Hatinya masih sakit sekali kalau ia teringat akan apa yang dilakukan Siang-mou Sin-ni kepadanya dahulu.
Akan tetapi Siang-mou Sin-ni hanya tertawa sambil mengejek, “Jembel picak itu benar juga, kalau aku haus, darahmu akan segar juga, hi-hik!”
Bu Sin mengkirik kengerian, akan tetapi apa dayanya? Tak lama kemudian ia melihat sinar terang dan ternyata mereka telah tiba di luar terowongan. Setelah berlari untuk beberapa lamanya, mereka tiba di sebuah hutan dan Siang-mou Sin-ni membebaskan totokan Bu Sin. Pemuda ini merasa betapa darahnya mengalir kembali seperti biasa, akan tetapi ia belum mampu bergerak. Karena itu, terpaksa ia hanya meramkan mata saja ketika Siang-mou Sin-ni yang tak tahu malu itu membelainya, bahkan menciumnya.
“Kau masih tampan, aku masih sayang kepadamu. Sayang kalau kau kubunuh.” Ia mengusap muka pemuda itu, “Hi-hik, kau mengingatkan aku akan Suling Emas. Bu Sin, kalau kau menuruti semua kehendakku, aku bisa membikin kau menjadi seorang laki-laki gagah perkasa seperti Suling Emas. Aku akan menurunkan kepandaianku kepadamu. Senang kan?”
“Perempuan hina! Pergi!” Mendadak Bu Sin yang kini jalan darahnya sudah pulih kembali, menghantam sekuatnya.
“Blukkk!” Siang-mou Sin-ni terlempar dan mengeluarkan seruan kaget.
Tadi ketika ia melihat pemuda itu memukulnya, ia menerima dengan senyum di bibir karena ia mengira bahwa Bu Sin masih seperti dulu kepandaiannya sehingga pukulannya tidak berbahaya sama sekali. Sama sekali ia tidak tahu bahwa semenjak menerima latihan kakek sakti, tenaga sakti di dalam tubuh Bu Sin sudah meningkat beberapa kali lipat kuatnya. Maka kali ini pukulan Bu Sin membuatnya terlempar, sungguh pun tidak mengakibatkan luka dalam karena Siang-mou Sin-ni sudah menjaga diri dengan lweekang-nya.
“Eh-eh... dari mana kau mendapatkan tenaga besar itu?” tanyanya, masih setengah heran dan terkejut.
Namun Bu Sin sudah melompat bangun dan menerjangnya dengan sengit sambil memaki-maki. Ia mengerahkan tenaga sinkang dan mainkan ilmu silatnya yang paling ampuh. Ketika ia sudah berada dekat, kepalan tangan kirinya memukul ke arah kerongkongan wanita itu sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah perut. Dua serangan yang mengandung cengkeraman maut!
“Hayaaaaa! Bu Sin, kau benar-benar tak bisa menerima cinta kasih orang! Baiklah kalau kau sudah bosan hidup!” Dengan gerakan lincah dan mudah saja wanita ini mengelak dari pada dua pukulan Bu Sin itu, kemudian ia berseru keras dan tubuhnya tahu-tahu sudah mencelat ke belakang sampai lima meter jauhnya.
Bu Sin yang menjadi penasaran. Ia mengejar dan kembali menerjang, akan tetapi iblis betina itu menggoyang kepalanya dan Bu Sin merasa pandang matanya gelap ketika rambut yang hitam panjang itu melayang cepat merupakan selimut menghitam yang harum sekali baunya. Pemuda ini berusaha untuk menghindarkan diri dengan melompat ke samping, namun tiba-tiba gerakannya tertahan dan sama sekali ia tak mampu berkutik oleh karena bagaikan ular-ular hidup, rambut-rambut itu telah melibat kaki tangan dan lehernya! Ia merasa seakan-akan ia diringkus oleh banyak tangan yang halus dan harum, dan betapa pun ia mengerahkan tenaganya, ia tetap saja tak mampu bergerak!
“Hi-hi-hi! Orang bagus berhati baja! Kau mau bilang apa sekarang?” Wanita itu berdiri di depan Bu Sin, kurang lebih satu meter dekatnya, matanya berkilat-kilat, bibirnya yang merah menyeringai memperlihatkan deretan gigi putih berkilauan dan kecil-kecil.
“Siang-mou Sin-ni iblis betina! Mau bilang apa lagi? Aku sudah kalah, mau bunuh boleh lekas bunuh, siapa takut mampus?” bentak Bu Sin.
“Tentu kubunuh... wah, aku memang haus dan darahmu tentu enak sekali, darah seorang keturunan jenderal gagah perkasa dan satria utama! Mendekatlah manis, serahkan lehermu kepadaku, biar kupilih jalan darahmu untuk kuhisap...!”
Bu Sin tetap hendak mempertahankan diri terhadap tarikan rambut-rambut itu, namun ia seperti seekor lalat terlibat dalam sarang laba-laba. Ia bisa meronta namun tak dapat melepaskan diri. Tarikan rambut-rambut itu makin kuat, dan tenaganya sendiri makin lemah sehingga sedikit demi sedikit ia mulai tergeser maju mendekati bibir merah dan gigi putih berkilau itu. Sementara itu wanita iblis itu terkekeh senang, agaknya senang sekali dengan pergulatan dan perlawanan Bu Sin.
“Hi-hik, cobalah, berontaklah kalau mampu lolos, hi-hik. Hayo kerahkan tenagamu, baik sekali... darahmu menjadi kencang jalannya!”
Bu Sin meronta-ronta dan memaki-maki, namun sia-sia belaka. Kini ia sudah dekat sekali dengan Siang-mou Sin-ni, dan ketika wanita itu mendekatkan mulut pada lehernya, diam-diam Bu Sin merasa ngeri sekali. Napas yang panas dan halus terasa pada lehernya, kemudian bibir yang lunak basah dan panas itu menempel kulit leher. Bu Sin hanya dapat meramkan kedua matanya, siap untuk menerima maut karena ia maklum bahwa terhadap wanita ini ia sama sekali tidak dapat melawan. Tiba-tiba bibir yang menempel lehernya itu merenggang dan... Siang-mou Sin-ni terisak!
“Tidak... tidak... aku tidak bisa membunuhmu! Aku terlalu cinta padamu. Ah, Bu Sin, mengapa kau tidak mau membalas cintaku? Aku sayang padamu. Belum pernah aku mencinta laki-laki seperti kepadamu! Bu Sin, kau balaslah cintaku dan aku akan menjadi isterimu, akan melayanimu, akan menurunkan kepandaian kepadamu.”
“Iblis! Bunuhlah aku, tak perlu kau merayu dengan kata-katamu yang berbisa!”
Siang-mou Sin-ni memeluknya, menciumnya. Bu Sin hanya meramkan mata. Ngeri dan jijik hatinya. Perasaannya seperti seorang yang dibelit dan dibelai seekor ular!
“Dengar, Bu Sin. Kalau kau menjadi suamiku, aku akan membawamu ke Hou-han, aku akan merampas kedudukan kaisar untukmu. Dengar ini! Kau akan kujadikan kaisar!”
Bu Sin terkejut dan sejenak pikirannya melayang-layang. Sebagai putera seorang bekas jenderal, tentu saja ia bukan seorang pemuda yang tidak bercita-cita muluk. Menjadi kaisar merupakan tawaran yang mendebarkan jantungnya dan hampir melemahkan pertahanan hatinya. Alangkah akan mulia dan senang hatinya. Menjadi kaisar, disembah dan ditaati orang senegara, nama ayahnya akan terjunjung tinggi!
Akan tetapi segera ia ingat akan wanita iblis di sampingnya, dan kegembiraannya lenyap. Biar pun ia menjadi kaisar, kalau wanita ini mendampinginya, ia tentu akan menjadi kaisar yang hanya akan mencelakakan rakyat. Wanita ini bukan manusia, melainkan iblis bertubuh manusia. Teringat ia akan dongeng tentang Kaisar Tiu Ong yang biar pun tadinya merupakan kaisar baik, akhirnya menjadi seorang kaisar lalim karena godaan Tiat Ki, seorang wanita cantik yang kemasukan iblis, seekor siluman rase yang menjelma menjadi wanita cantik jelita yang keji dan ganas. Bu Sin mengkirik saking jijiknya dan semua lamunan tadi lenyap, kemarahannya memuncak.
“Siluman hina! Bunuh saja aku!” bentaknya.
Tangis Siang-mou Sin-ni terhenti. Wajahnya merah sekali, tanda bahwa ia juga marah. “Tentu kau akan kubunuh,” katanya dengan suara dingin, “akan tetapi kubunuh perlahan-lahan, biar kau tahu rasa! Aku akan membunuhmu sekerat demi sekarat, akan kusiksa kau sampai kau merasa menyesal mengapa kau pernah dilahirkan ibumu! Darahmu kuhisap sedikit demi sedikit!” Dengan suara makin kejam wanita ini kembali mendekatkan mukanya.
Kilauan gigi putih tampak oleh Bu Sin. Kembali lehernya merasakan sentuhan bibir lunak basah dan panas, kemudian terasa leher itu dikecup, terasa nyeri ketika gigi-gigi kecil meruncing itu menggigit dan.....
Lanjut ke jilid 23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)