CINTA BERNODA DARAH : JILID-23


“Tar-tar-tar!” terdengar suara keras di udara dan sepasang bola baja kecil menyambar kepala Siang-mou Sin-ni. Iblis betina ini kaget sekali, merenggutkan mukanya dari leher Bu Sin, menoleh.
“Siang-mou Sin-ni iblis jahanam! Keji sungguh kau!” terdengar bentakan wanita yang marah sekali. “Bu Sin Koko, jangan takut, aku datang!”
Kembali sepasang bola baja yang berada di ujung cambuk itu menyambar, mengarah jalan darah di punggung Siang-mou Sin-ni. Serangan pertama ke arah kepala tadi tidak dilanjutkan karena agaknya Liu Hwee, gadis yang baru datang itu, takut kalau-kalau membahayakan kepala Bu Sin.
Melihat datangnya serangan yang amat berbahaya ini, Siang-mou Sin-ni tidak berani memandang rendah. Dari sambaran sepasang bola baja itu ia cukup maklum bahwa gadis aneh ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Apa lagi diingat bahwa gadis ini adalah puteri ketua Beng-kauw, tentu saja lihai. Siang-mou Sin-ni marah sekali, memekik liar dan tiba-tiba rambutnya yang tadi membelit-belit tubuh Bu Sin melepaskan pemuda itu menyambar ke belakang, sebagian menangkis senjata lawan, sebagian lagi menyambar ke arah jalan darah membalas serangan!
Ada pun Bu Sin yang dilepas oleh libatan rambut-rambut itu, berdiri terhuyung-huyung. Akan tetapi hanya sebentar, karena ia segera dapat memulihkan tenaganya. Tangannya meraba leher dan ternyata lehernya berdarah sedikit. Untung Liu Hwee datang, kalau tidak...!
“Adik Liu Hwee, mari kita basmi siluman betina jahat ini!” bentaknya.
Pada saat itu, Liu Hwee sudah memutar senjatanya merupakan bentuk payung hitam yang menangkis semua serangan rambut Siang-mou Sin-ni. Begitu bertemu dengan gulungan sinar senjata berupa payung ini, rambut Siang-mou Sin-ni kena dikebut bertebaran sehingga iblis itu terkejut sekali. Hebat juga puteri Beng-kauw ini!
“Bu Sin Koko, kau pakailah ini!” Liu Hwee melompat ke arah Bu Sin dan menyerahkan sebatang pedang.
Tentu saja Bu Sin girang bukan main. Dalam menerima pedang itu, jari-jari tangannya bersentuhan dengan jari-jari tangan Liu Hwee. Keduanya saling pandang sejenak, dan dalam waktu beberapa detik ini saja, pandang mata mereka sudah penuh dengan pernyataan hati masing-masing. Pandang mata mesra, dan dalam pandang mata ini tersimpul semua perasaan hati dan terjadi janji dan sepakat bahwa mereka akan sehidup semati menghadapi Siang-mou Sin-ni yang lihai.
“Terima kasih, Moi-moi. Mari kita gempur dia!”
Siang-mou Sin-ni berdiri memandang. Ia dapat melihat dan dapat merasakan apa yang terkandung dalam sikap kegembiraan mereka dan pandang mata yang mesra itu. Kemarahannya memuncak dan ia begitu terserang panas hati sehingga ia hanya berdiri tegak, seakan-akan lupa bahwa ia berhadapan dengan dua orang lawan yang harus segera ia terjang.
“Kalian... ah, keparat. Bocah she Liu kau... kau mencinta Bu Sin...?!”
Seketika wajah Liu Hwee menjadi merah, matanya berkilat menyambar.
“Siang-mou Sin-ni, kami pihak Beng-kauw tidak ada permusuhan pribadi dengan dirimu! Dan mengingat bahwa kau pernah menjadi murid mendiang enci Lu Sian, biarlah kumaafkan kata-katamu. Harap kau suka pergi meninggalkan kami!” Biar pun Liu Hwee baru berusia sembilan belas tahun, akan tetapi sebagai puteri tunggal ketua Beng-kauw ia mempunyai sikap agung dan berwibawa.
Akan tetapi Siang-mou Sin-ni tidak memperhatikan dia, melainkan memandang ke arah Bu Sin sambil membentak. “Dan kau... kau manusia tak kenal budi, kau... kau mencinta bocah Beng-kauw ini!”
Seperti juga Liu Hwee, wajah Bu Sin menjadi merah seketika dan jantungnya berdebar-debar. Sudah dua kali ada orang mengatakan bahwa ia dan Liu Hwee saling mencinta. Pertama adalah wanita iblis yang lebih dahsyat dari pada Siang-mou Sin-ni yang berkata demikian, yaitu mendiang Tok-siauw-kui Liu Lu Sian ibu Suling Emas. Kedua kalinya adalah si iblis wanita ini!
“Siluman jahat, kami saling mencinta tidak ada sangkut-pautnya dengan kau, dan kau tidak ada harganya untuk menyebut-nyebut hal itu!” bentak Bu Sin marah.
Siang-mou Sin-ni menjerit keras, jeritan melengking tinggi dan hampir saja Bu Sin tak kuat mempertahankan karena isi dadanya berguncang hebat. Cepat-cepat ia mengerahkan sinkang yang ia latih dari kakek sakti, dan sebentar saja pengaruh jeritan itu lenyap.
“Kalian harus mampus, akan kuhancurkan tubuh kalian. Hi-hi-hik, kalian saling mencintai, ya? Memang betul, kalian akan menjadi satu, akan tetapi setelah menjadi daging hancur, hi-hik!” Wanita itu kini mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu yang-khim yang dulu ia rampas dari tangan Bu Kek Siansu. Sambil memekik keras ia menerjang maju, rambut kepalanya menyambar-nyambar, diseling senjata khim yang digerakkan secara dahsyat sekali.
“Bu Sin Koko, hati-hati...!” Liu Hwee berseru dengan suara pilu karena diam-diam gadis ini merasa gelisah dan ragu-ragu apakah mereka berdua akan mampu melawan iblis ini yang luar biasa saktinya.
Sebagai puteri tunggal ketua Beng-kauw, tentu saja ilmu kepandaian Liu Hwee sudah hebat. Ginkang-nya tinggi, gerakannya cepat sekali, tenaga dalamnya juga sudah mencapai tingkat tinggi sehingga senjatanya yang berupa cambuk yang kedua ujungnya dipasang bola baja itu digerakkan dengan kecepatan yang sukar dilawan. Senjata macam ini merupakan senjata yang paling sukar dipelajari, akan tetapi apa bila sudah matang gerakannya, senjata ini bergerak otomatis seakan-akan menjadi satu dengan kedua tangan, dan karena itu amat berbahaya.
Betapa pun juga, dibandingkan dengan Siang-mou Sin-ni, ia masih kalah beberapa tingkat. Siang-mou Sin-ni adalah seorang di antara Enam Iblis, kepandaiannya aneh dan tinggi. Selain itu iblis betina ini telah hampir berhasil dalam menciptakan ilmunya yang mukjijat dan keji, yaitu Ilmu Tok-hiat-hoat-lek (Ilmu Gaib Darah Beracun) yang diciptakan dengan cara menyedot habis darah seorang korban. Entah sudah berapa puluh orang korban yang disedot habis darahnya oleh iblis wanita ini! Selain memiliki ilmu setan yang hampir selesai dipelajarinya ini, ia pun memiliki ilmu menggunakan rambut panjang yang ampuhnya melebihi segala macam senjata. Di samping ini, ia berhasil merampas yang-khim dari tangan Bu Kek Siansu dan senjata aneh ini merupakan tambahan kesaktian baginya.
Karena perbedaan tingkat kepandaian ini, dalam pertempuran itu Liu Hwee selalu tertindih dan terdesak. Sepasang bola bajanya yang menyambar-nyambar itu selalu terbentur kembali, bahkan kini yang-khim dan rambut lawan mulai mengurung dan mendesaknya. Bantuan Bu Sin tidak ada artinya bagi Liu Hwee. Pemuda ini memang benar memiliki tenaga sakti yang murni, hasil latihan kakek sakti, akan tetapi tenaga itu hanya dapat dipergunakan untuk menjaga diri. Dalam menyerang, karena ilmu silat yang dimiliki Bu Sin adalah ilmu silat biasa saja, maka serangan-serangannya tidak diacuhkan oleh Siang-mou Sin-ni, selalu terbentur dan gagal oleh rambut yang hitam panjang.
Siang-mou Sin-ni adalah seorang wanita yang berwatak kejam. Wataknya ini mungkin hampir sama dengan watak seekor kucing yang suka sekali mempermainkan dan menyiksa tikus sebelum memakannya, atau seekor laba-laba yang suka menikmati korbannya yang meronta-ronta hendak membebaskan diri dengan sia-sia. Demikian pula, dalam menghadapi Liu Hwee dan Bu Sin. Wanita iblis itu mempermainkan mereka, mengejek dan tidak segera merobohkan mereka, karena dalam mengejek dan mempermainkan ini ia mengalami kenikmatan dan kesenangan yang luar biasa.
“Kalian saling mencinta, ya? Hu-huh, ingin menjadi suami isteri dan membangun rumah tangga bahagia, memiliki banyak putera-puteri? Hi-hik, takkan tercapai maksud kalian!”
“Keparat, tutup mulutmu yang kotor!” Liu Hwee membentak, sepasang bolanya menyambar.
Siang-mou Sin-ni tertawa, rambutnya bergerak dan hampir saja senjata cambuk itu kena dilibat rambut. Terpaksa Liu Hwee menarik senjatanya dan kini mendadak ia memukulkan tangannya ke depan dengan pengerahan tenaga sakti. Inilah pukulan jarak jauh yang hanya dimiliki oleh kaum Beng-kauw.
“Wuuuuuttttt!” Angin pukulan dahsyat ini menyambar ke arah dada Siang-mou Sin-ni, tepat mengenai sasaran.
“Uuugghhh!” dari mulut iblis betina itu tersembur darah segar yang langsung menyambar ke arah muka Liu Hwee!
Tadinya Liu Hwee girang, mengira bahwa pukulannya mengenai lawan, siapa kira darah yang tersembur ke luar itu malah merupakan serangan balasan yang hebat sekali. Ia sudah berusaha mengelak, namun tiba-tiba ia menjadi pening. Biar pun darah itu tidak tepat mengenai mukanya, hanya lewat di pinggir kepala, namun cukup membuat gadis ini terhuyung-huyung, pandang matanya gelap. Ia tidak tahu bahwa itulah Ilmu Tok-hiat-hoat-lek yang belum sempurna! Yang tidak tahu mengira bahwa Siang-mou Sin-ni terkena pukulan sampai muntah darah, padahal ilmu mukjijat ini selain dipergunakan untuk menahan pukulan, juga sekaligus dipergunakan untuk menyerang lawan dengan darah yang langsung keluar dari dalam mulut, darah yang mengandung racun berbahaya!
“Ibils keji!” Bu Sin menerjang maju menusukkan pedangnya.
Kembali Siang-mou Sin-ni mencoba ilmu barunya. Ia menerima tusukan pedang itu dengan perutnya!
“Cappppp!” Bu Sin girang karena mengira bahwa pedangnya menembus perut wanita yang dibencinya.
Akan tetapi mendadak wanita itu terkekeh, rambutnya bergerak menangkap tubuh Bu Sin, diangkat ke atas lalu dibantingnya tubuh itu menimpa diri Liu Hwee yang sedang terhuyung-huyung. Tak dapat dicegah lagi, kedua orang muda itu terbanting dan roboh tumpang tindih!
“Eh... maaf... Moi-moi...,” Bu Sin mengeluh.
“Tidak apa, Koko... siluman ini memang lihai....”
Bu Sin sudah kehilangan pedang yang ‘menancap’ di perut Siang-mou Sin-ni. Namun ia menjadi nekat. Bersama dengan Liu Hwee ia melompat bangun, siap menerjang dengan tangan kosong. Akan tetapi tiba-tiba Siang-mou Sin-ni terbatuk keras dan... pedang yang dikira menancap di perutnya itu melayang bagaikan anak panah cepatnya menuju dada Bu Sin!
“Koko, awas...!” Liu Hwee mendorong Bu Sin dari samping.
Terdengar kain terobek dan pedang itu ternyata telah merobek baju Bu Sin di bagian lambungnya. Kurang cepat sedikit saja Liu Hwee mendorong, bukan baju yang akan terobek, melainkan dada atau lambung!
“Iblis keji...!” Dengan wajah pucat Liu Hwee memaki marah, kemudian ia menyerang lagi dengan sepasang bola bajanya. Ada pun Bu Sin cepat lari dan mencabut pedangnya yang menancap pada sebatang pohon. Kemudian ia menghampiri tempat pertempuran dan membantu Liu Hwee lagi dengan mati-matian.
“Hi-hik, saling mencinta berarti bodoh, boleh mati bersama!”
Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan tahu-tahu sepasang bola baja Liu Hwee telah lekat dengan kawat-kawat alat musik yang-khim. Betapa pun Liu Hwee coba membetotnya, namun hasilnya sia-sia saja karena dengan tenaga ‘menyedot’ Siang-mou Sin-ni telah membuat bola-bola itu melibat-libat kawat, kemudian rambutnya bergerak seperti puluhan cambuk ke depan!
Bu Sin berusaha menolong temannya. Pedangnya diputar menahan datangnya rambut-rambut itu dengan maksud membabatnya sambil mengerahkan tenaga sakti. Namun Siang-mou Sin-ni sekarang telah tahu bahwa pemuda ini entah bagaimana caranya telah memiliki tenaga sakti yang hebat, maka ia tidak melawan keras dengan keras karena khawatir kalau-kalau rambutnya akan terbabat putus. Ia menggunakan tenaga lemas, rambutnya bertemu pedang terus membelit, bahkan membelit juga pergelangan tangan Bu Sin.
Pemuda ini berseru keras karena merasa betapa pergelangan tangannya seakan-akan hendak patah. Pedangnya terlepas dari pegangan dan di lain saat ia telah dilucuti, seperti halnya Liu Hwee. Mereka kini berdiri tanpa senjata, menghadapi lawan yang terkekeh dan menggerak-gerakkan kepala sehingga rambutnya menyambar-nyambar mengerikan.
“Hi-hik, kalian saling mencinta, ya? Hi-hik, sehidup semati, senasib sependeritaan!” Siang-mou Sin-ni terus mengejek dengan suaranya yang nyaring diselingi kekehnya yang menyeramkan.
Kini rambut kepalanya menyambar-nyambar, melecut-lecut dan mencambuki dua orang itu. Kasihan sekali Liu Hwee dan Bu Sin. Mereka tak mungkin dapat mengelak dari hujan serangan ini karena rambut kepala yang hitam panjang dan gemuk itu berubah menjadi puluhan batang cambuk yang kuat. Mereka dapat mengerahkan sinkang untuk menjaga diri, namun mereka tak mungkin dapat menjaga pakaian mereka yang mulai robek-robek! Liu Hwee maklum bahwa ia akan terhina kalau sampai pakaiannya robek semua dan membuatnya menjadi telanjang bulat, maka dengan nekat ia berusaha untuk menyambar rambut-rambut itu. Akhirnya ia berhasil mencengkeram segenggam rambut, mengerahkan tenaganya dan menarik sekuatnya.
Siang-mou Sin-ni menjerit karena segenggam rambutnya telah jebol dari kulit kepala. Ia seperti setan sekarang. Rasa nyeri membuatnya marah sekali dan di lain saat kedua tangan Liu Hwee telah dibelit rambut sampai tak dapat bergerak lagi, lalu cambuk-cambuk rambut itu melecut-lecut tubuhnya dari segenap penjuru! Gadis ini hanya dapat meramkan mata agar mata itu tidak terkena hantaman rambut, akan tetapi pakaiannya mulai robek-robek tidak karuan.
Betapa hancur hati Bu Sin menyaksikan gadis yang merampas kasih sayangnya itu mengalami siksaan itu. Namun apa dayanya? Ia sendiri juga tidak terlepas dari pada siksaan cambuk-cambuk rambut yang halus dan harum itu, tetapi yang melecut dengan tajamnya, yang merobek pakaiannya dan sedikit saja ia mengurangi pengerahan sinkang, kulitnya tentu akan robek-robek pula.
“Bocah she Liu, bersiaplah untuk mampus!” tiba-tiba Siang-mou Sin-ni berseru keras.
“Siang-mou Sin-ni, aku tidak takut mampus! Akan tetapi, sekali kau berani mengganggu kami, ayah pasti akan mencarimu dan mencabuti semua urat dari dalam tubuhmu!”
“Hi-hi-hik, siapa takut terhadap Beng-kauwcu? Tua bangka itu boleh saja datang, kubikin mampus sekalian!”
Gugup sekali hati Bu Sin sehingga lecutan rambut itu kini mulai merobek kulitnya karena saking gugup dan bingung melihat gadis yang dicintanya terancam, pengerahan tenaganya mengendur. “Siang-mou Sin-ni, kalau kau berani mengganggu dia, kakakku Suling Emas tentu akan menghancurkan kepalamu!”
Siang-mou Sin-ni mendengus, “Huh, siapa takut Suling Emas? Dia mau apa? Lihat, kubunuh sekarang juga bocah she Liu kekasihmu ini, Suling Emas bisa berbuat apa?” Iblis betina itu mengangkat tangan kirinya, siap menghantam kepala Liu Hwee.
Akan tetapi tiba-tiba ia menjerit, tubuhnya terangkat ke atas dan sebelum iblis betina ini tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah tergantung di atas pohon. Kiranya ada orang yang tadi menariknya ke atas dengan cara mencengkeram rambut-rambutnya, dan kini orang telah mengikatkan ujung rambutnya pada batang pohon yang tinggi di atasnya! Ketika ia melirik ke atas dengan heran, ternyata yang melakukan perbuatan ini bukan lain adalah... Suling Emas! Dengan kaget Siang-mou Sin-ni hendak melepaskan diri, akan tetapi tiba-tiba berkelebat sinar kuning dan punggungnya telah tertotok ujung suling sehingga ia tidak mampu bergerak lagi!
“Siang-mou Sin-ni, dimana-mana kau hanya membikin onar!” seru Suling Emas dengan suara dingin dan marah ketika ia melirik ke arah Liu Hwee yang kini berlutut di tanah dengan muka merah sambil berusaha menutupi tubuhnya yang setengah telanjang, dan Bu Sin yang juga robek-robek pakaiannya, bahkan mandi darah oleh lecutan-lecutan tadi.
“Twako...!” seru Bu Sin dengan girang sekali.
Suling Emas tidak dapat menjawab karena pada saat itu Siang-mou Sin-ni sudah memaki-makinya. “Suling Emas, kau pengecut hina-dina! Kau menyerangku dengan cara pengecut! Hayo lepaskan aku dan kita bertanding sampai selaksa jurus! Cih, kau laki-laki apa? Pengecut tak tahu malu!”
Akan tetapi Suling Emas tidak melayaninya, bahkan tangannya meraih dan... seketika pakaian luar Siang-mou Sin-ni terlepas dari tubuhnya, membuat iblis betina ini menjadi setengah telanjang karena yang menutupi tubuhnya kini hanyalah pakaian dalam!
“Heee, setan neraka! Mau apa kau dengan pakaianku?” Kemudian suaranya berubah, halus dan ragu-ragu, “Suling Emas... kalau kau... suka kepadaku, kenapa tidak menanti sampai kita berdua saja...? Mau apa kau melepaskan pakaianku!”
“Huh, perempuan hina!” Suling Emas mendengus marah, lalu melompat dari atas pohon, menyerahkan pakaian itu kepada Bu Sin sambil berkata, “Kau berikan ini kepada Bibi Kecil Liu Hwee, kemudian kau bersama dia kembalilah ke Nan-cao.”
Bu Sin menerima pakaian itu lalu menghampiri Liu Hwee. Sebagai seorang laki-laki gagah yang memegang kesopanan, ia membuang muka tidak mau memandang Liu Hwee yang setengah telanjang itu, hanya menyodorkan pakaian sambil berkata, “Hwee-moi, cepat pakailah ini!”
Dengan cepat dan lega hati Liu Hwee lalu menyambar pakaian itu dan sebentar saja ia sudah memakai pakaian Siang-mou Sin-ni yang serba hitam. Untung baginya, bentuk tubuh iblis betina itu ramping dan sama dengan tubuhnya sehingga pakaian itu pas betul.
“Bu Song, kau bunuh saja perempuan jahat itu!” Liu Hwee berkata sambil menghampiri Suling Emas.
“Hi-hik, kau yang pengecut tak tahu malu!” Siang-mou Sin-ni memaki. “Lepaskan aku dan kalian akan kubunuh mampus semua!”
“Bibi Kecil Liu Hwee, harap kau dan Sin-te (Adik Sin) suka cepat kembali ke Nan-cao. Iblis ini biar aku yang menghadapinya. Setelah aku dapat menolong Lin Lin, tentu aku akan kembali ke Nan-cao pula. Eh, Bu Sin, di mana adanya Sian Eng? Kenapa tidak bersamamu?”
Dengan kening berkerut Bu Sin menceritakan pengalamannya di dalam terowongan rahasia, betapa mereka menjadi tawanan Hek-giam-lo, kemudian betapa Siang Eng dibawa lari oleh Suma Boan dan dia sendiri diculik Siang-mou Sin-ni.
“Hemmm, sudahlah. Agaknya kali ini aku takkan bisa mengampunkannya lagi!” kata Suling Emas dengan suara gemas. “Kalian lekas kembali ke Nan-cao dan menanti aku di sana. Terlalu banyak orang jahat memusuhi kita dan tak mungkin dapat membagi diri untuk mengamati kalian. Aku pasti akan dapat mencari Sian Eng, Lin Lin, dan membawa kembali tongkat Beng-kauw.”
“Paman Guru Kauw Bian Cinjin juga sudah keluar pintu untuk membantumu merampas kembali tongkat pusaka,” kata Liu Hwee menerangkan.
Suling Emas mengangguk-angguk, “Bagus, tenaga Paman Kauw Bian Cinjin dapat diandalkan. Sekarang kalian lekaslah kembali ke Nan-cao.”
Liu Hwee dan Bu Sin tidak membantah lagi, segera mereka berlari cepat meninggalkan tempat itu. Akan tetapi setelah berlari kurang lebih dua jam lamanya, Liu Hwee berhenti dan berkata.
“Bu Sin Koko, cukup jauh kita berlari. Mari sekarang kita kembali.”
Bu Sin memandang heran. “Hwee-moi, apa maksudmu?”
Gadis itu tersenyum dan dunia ini serasa lebih cemerlang dan indah bagi Bu Sin. Semenjak jaman purba sampai jaman sekarang, senyum seorang gadis selalu mendatangkan keajaiban bagi pria yang mencintanya, keajaiban yang indah, seindah bunga mekar tersiram embun di waktu pagi, atau matahari mengintai di ufuk timur mengusir kemuraman subuh. Untuk senyum inilah seorang yang mabuk cinta siap sedia mengorbankan apa saja!
“Koko, betulkah hatimu rela begitu saja kalau kita berdua kembali ke Nan-cao sedangkan tugas sedemikian banyaknya yang harus diurus oleh kakakmu? Kedua orang adikmu terancam bahaya, tongkat pusaka terampas musuh, bagaimana mungkin kita pulang begitu saja tanpa memberi bantuan sedikit pun juga?”
“Cocok dengan isi hatiku, Moi-moi. Aku pun merasa tidak enak sekali kalau harus pergi begitu saja berpeluk tangan, bukanlah sikap seorang yang menjunjung tinggi kegagahan. Akan tetapi Song-twako yang memerintah, bagaimana aku dapat membantah?”
Kembali Liu Hwee tersenyum. “Kakakmu itu memang lihai sekali, agaknya dengan orang seperti dia turun tangan, semua urusan pasti akan beres. Akan tetapi aku sama sekali tidak setuju kalau harus tinggal diam saja. Tadi pun aku hendak membantahnya, akan tetapi tidak baik di depan iblis betina itu kalau kita saling bantah. Karena itu aku tadi diam saja. Sekarang mari kita kembali dan mengambil jalan kita sendiri, mencari kedua orang adikmu. Biarlah kita berlomba dengan Suling Emas!”
Gembira sekali hati Bu Sin, kegembiraan bertumpuk-tumpuk karena tidak saja ia gembira dapat membantu untuk menolong kedua orang adiknya, juga ia senang sekali dapat melakukan perjalanan ini bersama Liu Hwee, dapat sama-sama menempuh bahaya!
“Bagus! Mari kita berangkat, Moi-moi!”
Mereka kini berlari ke arah timur, akan tetapi belum lama mereka berlari kembali Liu Hwee berhenti.
“Perempuan tadi, dia... dia agaknya amat mencintamu, Koko!”
“Huh, iblis betina itu!” Bu Sin mendengus, mukanya berubah merah sekali.
“Tapi... tapi dia cantik sekali, Sin-ko, dan di dunia ini, entah berapa banyaknya pria yang tergila-gila dan jatuh hati kepadanya.”
“Uhhh, kecantikan iblis seperti keindahan warna kulit seekor ular beracun. Sudahlah, kita tak perlu bicara tentang dia, aku jijik kalau mengingat dia!” kata Bu Sin.
Liu Hwee tersenyum. “Syukurlah kalau begitu. Aku sudah khawatir sekali. Sin-ko, di dunia ini hanya ada dua orang wanita yang benar-benar hebat dan sukar dapat dilawan oleh laki-laki yang bagaimana gagah pun. Pertama adalah mendiang enci Lu Sian, kedua adalah Coa Kim Bwee atau Siang-mou Sin-ni itulah. Senjata mereka yang paling mengerikan adalah kecantikan mereka.”
“Kurasa terdapat perbedaan besar antara enci-mu yang menjadi ibu kandung Bu Song Twako itu dengan iblis betina Siang-mou Sin-ni. Hwee-moi, mari kita lanjutkan perjalanan dan kalau boleh, aku ingin sekali mendengar penuturanmu tentang riwayat hidup mendiang Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang hebat itu.”
Liu Hwee tersenyum lalu menggerakkan kaki, dan mereka berdua kini melanjutkan perjalanan biasa. Liu Hwee mulai menuturkan riwayat mendiang Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang luar biasa dan hebat, akan tetapi yang hanya diketahui sebagian saja oleh Liu Hwee (riwayat ini dituturkan dengan jelas dalam cerita SULING EMAS).
Sementara itu, setelah kedua orang muda itu pergi, Suling Emas lalu menggunakan sulingnya membebaskan totokannya pada tubuh Siang-mou Sin-ni. Setelah jalan darahnya bebas, dengan mudah saja wanita itu dapat melepaskan diri dari atas cabang pohon di mana rambutnya yang panjang tadi diikatkan oleh Suling Emas.
Dapat dibayangkan betapa hebat kemarahan wanita ini yang sekarang berdiri di depan Suling Emas hanya dengan pakaian dalam yang serba ringkas, pendek, dan terbuat dari pada sutera merah! Kalau saja sepasang matanya tidak menyala-nyala liar, mukanya tidak membayangkan kemarahan yang tak dapat dikendalikannya lagi, agaknya Siang-mou Sin-ni akan kelihatan amat menggairahkan dalam pakaian seperti itu. Masih untung baginya, rambut yang hitam panjang riap-riapan membantu pakaian dalam yang kurang cukup menutupi bagian-bagian tubuhnya itu.
“Keparat...! Jahanam...! Kau... kau... terlalu menghinaku... kau harus mampus...!” Kata-katanya sukar sekali keluar di antara dengus napasnya yang panas, kedua kakinya bergerak maju perlahan-lahan, kedua tangannya berkembang, jari-jari tangannya seperti kuku harimau hendak mencengkeram, ujung rambutnya yang terlalu panjang terseret di atas tanah.
Suling Emas mengerutkan keningnya dan melangkah mundur. “Siang-mou Sin-ni, ingat! Kini belum waktunya kita mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Tunggu nanti tiba saatnya di puncak Thai-san, aku akan mewakili mendiang ibu kandungku. Kita lihat siapa yang lebih kuat.”
“Tidak peduli! Kau harus mampus sekarang juga. Kau terlalu menghinaku!”
“Hemmm, kau sombong. Dengan apa kau hendak membunuhku? Dengan rambutmu? Ataukah dengan alat khim yang kau curi dari Bu Kek Siansu? Ah, tidak akan ada gunanya, Siang-mou Sin-ni. Lebih baik kau bertapa lagi memperdalam ilmumu agar kelak di puncak Thai-san kau dapat melayaniku sedikitnya seratus jurus!”
“Suling Emas, kaulah yang sombong! Kau kira aku tidak memiliki ilmu untuk membunuhmu? Nah, kau terimalah ini!”
Tiba-tiba sekali wanita itu membuka mulutnya dan sinar merah yang panjang kecil bagaikan seekor ular merah menyambar dari dalam mulut itu ke arah Suling Emas. Pendekar ini terkejut juga, tidak mengira bahwa wanita iblis ini memiliki kepandaian seaneh ini yang selamanya belum pernah ia lihat atau dengar. Cepat ia miringkan kepala, tidak berani menyambut benda yang menyambar ke arah mukanya itu.
Benda itu menyambar lewat kepalanya, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba pandang matanya berkunang dan napasnya menjadi sesak. Kiranya benda berupa sinar merah itu adalah darah. Darah hidup! Darah yang mempunyai pengaruh hebat sekali, yang membuatnya tiba-tiba menjadi pening. Sebelum Suling Emas dapat mengusir kepeningannya, tiba-tiba angin bertiup dari depan, alat musik khim sudah menghantam ke arah kepalanya dibarengi suara kekeh tertawa yang seram.
“Aiiihhhhh...!” Suling Emas mengumpulkan semangat, menjatuhkan diri ke kiri sehingga sambaran alat khim itu tidak mengenai dirinya. Akan tetapi pada saat itu, selagi ia masih nanar, tahu-tahu tubuhnya sudah terlibat oleh rambut yang amat kuat, yang melibat kaki tangan dan lehernya bagaikan puluhan ekor ular yang mengeroyoknya!
Suling Emas maklum bahwa nyawanya berada dalam bahaya maut. Cepat ia mengerahkan seluruh sinkang di tubuhnya dan seketika lenyaplah kepeningan kepalanya. Dengan gerakan menggoyang tubuh sambil mengembangkan tangan dan kaki, terdengar Siang-mou Sin-ni memekik penuh kekecewaan melihat calon korbannya dapat terlepas begitu cepatnya. Di lain saat Suling Emas sudah memegang suling dan kipasnya.
“Iblis betina, kiranya kau mempunyai ilmu setan yang jahat. Akan tetapi jangan harap kau dapat mengakali aku lagi. Hayo majulah!”
Dengan sikap tenang penuh wibawa Suling Emas berdiri tegak dengan sepasang senjatanya yang amat terkenal itu di kedua tangan, matanya menatap tajam. Siang-mou Sin-ni ragu-ragu, maklum bahwa ilmunya Tok-hiat-hoat-lek masih belum cukup kuat untuk merobohkan Suling Emas. Tetapi ia merasa gembira sekali karena biar pun ilmunya belum matang betul, namun ia tadi sudah hampir dapat mengalahkan Suling Emas. Andai kata ilmunya sudah matang, tentu tidak semudah itu Suling Emas menyadarkan diri dan tentu sudah mampus di tangannya. Ia tertawa dan sekali berkelebat tubuhnya mencelat jauh pergi dari tempat itu. Suara ketawanya masih terdengar jelas seperti suara kuntilanak, disusul kata-katanya mengejek, “Suling Emas, kau tunggu saja, di puncak Thai-san aku takkan gagal lagi seperti tadi!”
Sejenak Suling Emas termenung. Ia teringat betapa dahsyat ilmu yang dipergunakan Siang-mou Sin-ni tadi. Hampir saja ia menjadi korban. Kalau tadi ia tidak lekas-lekas dapat menguasai dirinya dan melenyapkan kepeningannya, tentu ia sudah menjadi korban. Diam-diam ia bergidik. Ilmu semburan darah segar tadi benar-benar mengerikan dan kelak ia harus berlaku hati-hati sekali apa bila berhadapan dengan iblis betina itu.
********************
Dengan amat tekun dan rajin Lin Lin menghafalkan ilmu yang tertulis pada tiga belas helai kertas tipis yang ia dapatkan di dalam tongkat pusaka Beng-kauw itu. Memang segala sesuatu sudah menjadi takdir Tuhan. Ketika masih hidup, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sengaja menciptakan tiga belas jurus ilmu silat sakti ini yang merupakan inti sari dari pada isi tiga buah kitab pusaka Sam-po-cin-keng, bahkan dipilih jurus-jurus yang dapat mengatasi isi kitab itu karena ketika menciptakan ilmu ini, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan memang bermaksud untuk menurunkannya kepada ketua Beng-kauw untuk menghadapi puterinya yang murtad. Dengan demikian, ilmu ini ia tinggalkan untuk Beng-kauw. Akan tetapi, biar pun sudah lama tongkat pusaka yang dijadikan tempat penyimpanan wasiat ini berada di tangan Liu Mo ketua Beng-kauw yang baru, namun belum pernah dapat ditemukan oleh Liu Mo atau tokoh Beng-kauw yang lain. Sekarang, tanpa disengaja sama sekali, Lin Lin dapat menemukan wasiat ini dan mempelajarinya. Bukankah ini jodoh namanya?
Karena ia termasuk seorang anak yang cerdas, Lin Lin segera dapat menghafal wasiat ini di luar kepala, dan ia dapat menduga bahwa ilmu mukjijat ini tak boleh sekali-kali diketahui orang lain. Maka setelah ia hafal benar, yaitu selama lima belas hari di atas perahu, ia segera merobek-robek tiga belas helai kertas tipis itu dan menebarkan sobekan-sobekan kecil ke sungai.
“He, apakah itu?” bentak Hek-giam-lo dan tubuhnya tahu-tahu sudah berada dekat Lin Lin. Betapa pun juga, iblis hitam ini merasa curiga karena selama setengah bulan ini, Lin Lin tak pernah keluar, juga tidak pernah memperdengarkan protes atau memperlihatkan sikap rewel. Kini tiba-tiba gadis itu keluar dan menebarkan potongan-potongan kertas banyak sekali ke sungai.
Akan tetapi ia terlambat mencegah atau memeriksa karena potongan-potongan kertas yang amat kecil-kecil itu sudah melayang-layang ke permukaan sungai, seperti kupu-kupu terbang melayang lalu hinggap di atas air. Hek-giam-lo merasa penasaran, tubuhnya berkelebat dan bagaikan seekor kelelawar besar, tubuhnya melayang ke permukaan air, tangannya menyambar dan dengan gerakan kedua kakinya, tubuh itu membalik kembali ke atas perahu. Beberapa potongan kertas berada di tangannya.
Diam-diam Lin Lin kagum bukan main. Benar-benar sakti Hek-giam-lo ini dan merupakan lawan yang berat sekali. Ia harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono, biar pun sudah memiliki hafalan ilmu mukjijat yang ia dapatkan dari dalam tongkat pusaka Beng-kauw. Dengan sepasang mata bersinar penuh ejekan ia memandang Hek-giam-lo yang sudah melihat potongan-potongan kertas itu.
Lin Lin tadi sudah berlaku hati-hati sekali sehingga kertas yang dirobek-robek itu hanya merupakan potongan sebesar ibu jari. Memang ada satu dua huruf di tiap potongan kertas, akan tetapi apa artinya? Dan untuk dapat mengumpulkan potongan-potongan kertas itu serta memasangnya kembali seperti semula, tak mungkin dapat dilakukan orang!
“Apa ini...?” Hek-giam-lo meneliti potongan-potongan kertas itu, menoleh ke arah Lin Lin dengan perasaan ingin tahu sekali.
“Kenapa kau tidak mau menduga-duga? Coba terka. Hek-giam-lo, kau yang terkenal sebagai seorang di antara Enam Iblis, sakti dan cerdik, masa tidak bisa menduga apa adanya surat yang kurobek-robek menjadi potongan-potongan kecil itu?” Suara Lin Lin mengejek dan mempermainkan karena setelah ia menguasai ilmu itu, timbul kembali kejenakaan dan kelincahannya.
“Tuan Puteri, harap jangan main-main! Hamba telah diberi tugas oleh kaisar untuk menjaga Tuan Puteri dan membawa Paduka sampai ke Khitan dengan selamat. Sebagai calon ratu, Tuan Puteri harus hamba jaga secara teliti dan tidak boleh sama sekali ada rahasia. Surat apakah tadi?”
Lin Lin tersenyum, matanya mengerling penuh ejekan. “Kiranya Hek-giam-lo yang terkenal cerdik itu tidak dapat menduga? Hemmm, kalau kau memang amat ingin mengetahui, bolehlah kuberi tahu. Surat yang kurobek-robek tadi adalah surat dari... kekasihku. Nah, puaskah kau? Jangan kau ingin tahu apa isinya. Rahasia dong!” Lin Lin bersikap nakal dan mempermainkan sehingga diam-diam Hek-giam-lo mendongkol juga.
“Paduka maksudkan surat dari Lie Bok Liong pemuda tolol itu?”
Lin Lin menghela napas panjang dan seketika ia menghampiri pinggir perahu dan pandang matanya mencari-cari ke tepi pantai. Disebutnya nama pemuda itu mengingatkan ia akan penderitaan Bok Liong yang mati-matian membelanya.
“Bukan, bukan dia. Liong-twako adalah seorang yang amat baik, gagah perkasa dan ia amat mencintaku. Akan tetapi bukan dia....” Mulutnya tidak melanjutkan kata-katanya, akan tetapi hatinya berbisik, “Bukan dia orang yang merampas hatiku, bukan dia orang yang kucinta....”
“Kau mencari dia?” kini suara Hek-giam-lo yang penuh ejekan sehingga Lin Lin terkejut sekali. Selama setengah bulan ia bersembunyi di dalam perahu saja. Bagaimana jadinya dengan Bok Liong? Jangan-jangan pemuda yang nekat itu menyerbu lagi dan dibunuh oleh Hek-giam-lo.
“Di mana dia? Kau apakan Lie Bok Liong Twako?” bentaknya dengan mata terbuka lebar.
“Paduka cukup cerdik, mengapa tidak menduga sendiri?” Kini Hek-giam-lo yang mengejeknya.
Lin Lin membanting-banting kakinya. “Hek-giam-lo, aku tahu kau seorang iblis yang tidak segan-segan melakukan segala macam kejahatan di dunia ini, akan tetapi aku pun tahu bahwa kau terlalu sombong untuk bersikap pengecut dan membohong terhadap seorang gadis cilik macam aku! Nah, apakah kau telah membunuh Lie Bok Liong?”
Hek-giam-lo menggeleng kepalanya. “Orang macam dia, perlu apa kubunuh? Dia sudah mau mampus dan sekarang tentu sudah mampus kalau saja gurunya, pelukis sinting itu tidak datang dan membawanya pergi.”
Berseri wajah Lin Lin. “Apa kau bilang? Empek Gan datang? Tentu kau telah dipukulnya? Mengapa dia tidak membunuhmu?”
Hek-giam-lo mendengus marah. “Badut tolol itu mana berani? Dia datang membawa pergi muridnya, tergesa-gesa dan ketakutan.”
“Kau bohong, aku tidak percaya!”
Hek-giam-lo hanya mengangkat bahu, lalu membalikkan tubuh meninggalkan Lin Lin ke kepala perahu. Lin Lin menoleh ke sana ke mari, akan tetapi pandang mata para anak buah perahu yang mentertawakannya membuat ia gemas dan dengan marah ia kembali memasuki bilik perahu. Hatinya panas dan ingin ia memberontak dan pergi dari perahu. Akan tetapi ia tidak bodoh. Ilmu baru yang didapatnya belum terlatih masak-masak, pula di atas perahu tidak berani ia sembarangan bergerak. Sekali perahu digulingkan sehingga ia terjatuh ke dalam air, ia takkan dapat melawan pula. Ia harus bersabar dan menanti kesempatan baik.
Dengan makin tekun Lin Lin mulai melatih diri, siang malam ia melatih diri. Bukan main girang hatinya ketika pada setiap gerakan pukulan terasa ada angin pukulan yang antep dan dahsyat menyambar keluar dari tangannya yang terbuka. Dinding bilik perahu sampai berguncang dan hal inilah yang membuat Hek-giam-lo menjadi curiga sekali.
Malam itu, menjelang subuh, mendadak Hek-giam-lo membuka pintu bilik dan menerobos masuk. Baiknya ketika itu Lin Lin sudah melatih jurus yang ke sembilan. Jurus ini dilakukan dengan duduk, merupakan pukulan jarak jauh yang dilakukan sambil duduk. Pukulan kedua tangan itu merupakan gerakan lingkaran sehingga angin pukulannya memutari tubuhnya dapat menghantam lawan yang berada di mana pun juga tanpa mengubah kedudukan tubuh yang duduk. Untuk melatih jurus ini, Lin Lin duduk di atas pembaringannya. Maka ketika tiba-tiba pintu biliknya terbuka, ia tidak menjadi gugup, melainkan menghentikan pukulan-pukulannya dan bersikap seperti orang bersemedhi, sikap yang sudah lajim dilakukan oleh ahli-ahli silat tinggi, apa lagi waktu menjelang subuh adalah waktu terbaik untuk bersemedhi.
Melihat ‘tuan puteri’ itu duduk bersemedhi, sama sekali tidak bergerak, Hek-giam-lo tidak berani mengganggu. Akan tetapi getaran-getaran pada dinding bilik sekarang berhenti. Makin curigalah iblis itu. Ia menutup pintu bilik dan melompat ke luar, menyelidik di sekeliling perahu, bahkan ia menyelidiki ke darat. Akan tetapi ia tidak menemukan sesuatu.
Kecurigaan Hek-giam-lo ini yang mengganggu latihan Lin Lin. Pada keesokan harinya, secara mendadak Hek-giam-lo menghentikan perahu, lalu mengambil keputusan untuk melakukan perjalanan ke utara melalui darat! Hek-giam-lo sudah timbul curiga, tidak hanya pada diri Lin Lin, melainkan curiga kalau-kalau ada orang pandai yang hendak merampas Lin Lin dan tongkat pusaka Beng-kauw dari padanya. Hal ini mungkin saja, apa lagi setelah muncul Gan-lopek yang membawa pergi muridnya dari pantai.
“Aku tidak mau melakukan perjalanan di darat!” Lin Lin membentak marah. “Lebih enak melalui air, tidak lelah dan dapat tidur nyenyak!”
“Tidak bisa, Tuan Puteri. Air sungai ini akan membawa kita ke laut, sedangkan Khitan letaknya bukan di laut. Kita harus mendarat sekarang juga. Jangan khawatir, untuk Paduka hamba akan menyediakan seekor kuda yang baik.”
Tentu saja keberatan yang diajukan oleh Lin Lin ini hanya pura-pura belaka. Sesungguhnya ia ingin melakukan perjalanan dengan perahu agar ia leluasa melatih ilmunya. Dengan perjalanan melalui darat, ia akan kelihatan terus, di bawah pengawasan Hek-giam-lo dan tentu saja tidak akan ada kesempatan untuk berlatih.
Namun Lin Lin cukup cerdik untuk membantah terus karena hal ini tentu akan menimbulkan kecurigaan. Selain itu, biar pun ia kini tak mungkin dapat berlatih lagi, namun terbukalah kesempatan baginya untuk melarikan diri, sungguh pun ia takkan sembrono melakukan hal ini kalau tidak mendapatkan kesempatan yang baik.
Kesempatan ini tak pernah ia dapatkan karena Hek-giam-lo selalu mengawalnya sendiri dengan hati-hati dan teliti sekali. Ia diberi seekor kuda pilihan yang baik sedangkan Hek-giam-lo berjalan cepat di belakangnya. Lin Lin cukup maklum bahwa melarikan kudanya itu akan percuma, tidak saja di situ terdapat banyak kuda-kuda yang cepat, akan tetapi juga orang sakti macam Hek-giam-lo tak mungkin dapat ditinggal lari di atas kuda. Untuk nekat melarikan diri dan melawan, akan sia-sia belaka dan akibatnya hanya membuat perlakuan mereka terhadapnya kurang baik. Kini biar pun ia merupakan seorang setengah tawanan, namun mereka, bahkan Hek-giam-lo sendiri, selalu bersikap menghormat. Ia selalu diberi hidangan yang lezat dan selalu diperhatikan keperluannya.
Beberapa pekan kemudian, pada suatu sore, tibalah mereka di perbatasan yang menjadi wilayah bangsa Khitan. Suku bangsa Khitan adalah bangsa perantauan di sebelah utara, sering kali berpindah wilayah sesuai dengan keadaan dan musim. Mereka terkenal sebagai bangsa yang gagah berani dan pandai menunggang kuda, pandai melakukan perang.
Hek-giam-lo menghentikan rombongannya dan menyuruh orang-orangnya mendirikan kemah di tempat itu, yaitu di sebuah padang rumput yang luas. Ia sendiri lalu menunggang kuda untuk mengabarkan kepada rajanya tentang kedatangan Puteri Yalin! Pada waktu itu, karena tekun mempelajari bahasa bangsanya, sedikit-sedikit Lin Lin sudah pandai berbahasa Khitan. Karena memang ada hubungan darah, maka bahasa ini baginya amat mudah dipelajari. Maka ia mengerti akan perintah Hek-giam-lo dan terbukalah kesempatan baik baginya. Hek-giam-lo pergi meninggaikan rombongan itu!
Akan tetapi pada saat Hek-giam-lo pergi, datanglah serombongan wanita cantik yang ternyata adalah dayang-dayang yang serta-merta melayaninya. Mereka ini terdiri dari selosin orang wanita muda yang cantik, mereka datang membawa makanan asing yang enak, membawa pakaian-pakaian indah dan perhiasan untuk Sang Puteri Yalin, calon permaisuri!
Memang watak Lin Lin nakal dan ingin sekali ia mencoba pakaian itu. Maka ia hanya menurut saja ketika didandani. Akhirnya ia tertawa cekikikan sendiri ketika melihat bayangannya di cermin. Ternyata ia telah menjadi seorang puteri asing yang pakaiannya aneh beraneka warna, bahkan kepalanya ditutup perhiasan terbuat dari pada emas penuh batu permata!
“Pantaskah aku memakai ini?” tanyanya dalam bahasa Khitan kepada para dayang yang tertawa-tawa gembira melihat puteri itu cekikikan di depan cermin.
Mereka serentak menjatuhkan diri berlutut dan menghujani Lin Lin dengan pelbagai pujian. Lin Lin merasa bangga sekali. Alangkah senangnya menjadi ratu, pikirnya. Dilayani, dihormati, dan menjadi orang terpenting di antara bangsa yang mempunyai laki-laki gagah dan wanita cantik ini. Akan tetapi ketika ia teringat bahwa ia akan dijadikan permaisuri oleh paman tirinya sendiri yang bernama Kubakan dan kini menjadi Raja Khitan, ia bergidik dan cepat-cepat ia melepaskan pakaian asing itu, mengenakan pakaian sendiri. Ia tidak mempedulikan protes para dayang itu, bahkan lalu meloncat ke luar dari perkemahan dengan maksud hendak lari.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika selosin orang dayang yang muda-muda dan cantik itu tiba-tiba mengejar dan mengurungnya dengan pedang di tangan. Mereka ternyata bukanlah dayang biasa, melainkan gadis-gadis yang terlatih baik dan kini mereka membentuk barisan pedang yang mengurung Lin Lin dengan gerakan yang cekatan dan sigap.
“Harap Tuan Puteri jangan pergi meninggalkan perkemahan ini. Hamba semua telah menerima perintah Sri Baginda untuk menjaga Paduka, Lo-ciangkun (Panglima Tua) tadi memesan bahwa kalau perlu hamba semua harus mempergunakan kekerasan mencegah Paduka pergi,” kata seorang di antara mereka.
“Perempuan rendah! Bukankah aku ini ratumu? Berani kau menghalangi kehendakku?” gertak Lin Lin dengan marah.
“Ampun, Tuan Puteri. Paduka adalah calon ratu dan hamba sekalian tentu saja mentaati semua perintah Paduka. Akan tetapi lebih dulu hamba harus mentaati Sri Baginda, kemudian Lo-ciangkun, baru Paduka.”
“Kalian berani? Hemmm, agaknya sudah bosan hidup. Majulah!” tantang Lin Lin, akan tetapi selosin dayang itu tidak bergerak, hanya tetap mengurung.
“Mana hamba berani menyerang Paduka? Hanya kalau Paduka hendak melarikan diri, terpaksa hamba sekalian harus mencegah.”
“Oh, begitukah? Nah, aku mau pergi, hendak kulihat kalian bisa berbuat apa!” Sambil berkata demikian Lin Lin meloncat ke kiri, menerjang dua orang dayang yang menjaga di situ.
Akan tetapi dengan gerakan cepat sekali mereka menggerakkan pedang, merupakan dinding pedang yang menghalangi perginya. Gerakan mereka jelas membuktikan bahwa dua belas orang dayang ini merupakan tenaga-tenaga yang terlatih baik dan agaknya mereka betul-betul akan menyerangnya kalau ia bersikeras melarikan diri dari tempat itu. Dan pada saat itu sudah datang pula para orang Khitan berlari-lari, jumlah mereka lebih dari dua puluh orang!
Bangkit kemarahan di hati Lin Lin. Sebetulnya ia tidak mempunyai rasa benci kepada orang-orang Khitan karena setelah ia menjadi tawanan Hek-giam-lo beberapa lamanya, ia mendapat kesan yang amat baik terhadap orang-orang Khitan. Mereka adalah orang-orang yang berani, jujur, dan amat setia. Mereka hanya melakukan perintah atasan mereka dan semua tugas mereka jalankan dengan taruhan nyawa.
“He, dengarlah kalian semua!” serunya sambil mencabut pedang dengan tangan kanan sedangkan tongkat Beng-kauw berada di tangan kirinya. “Aku Puteri Yalina amat suka kepada bangsaku, akan tetapi aku benci kepada paman tiriku Kubakan yang menjadi raja lalim dan hendak memperisteri aku, keponakannya sendiri! Aku juga benci kepada Lo-ciangkun Hek-giam-lo yang kejam! Dengarlah, aku bersedia menjadi ratu kalian kalau kedua orang itu sudah tidak ada. Demi arwah ibuku, Puteri Tayami yang gagah perkasa, dan demi arwah kakekku, Raja Kulukan yang bijaksana, aku suka menjadi Ratu Khitan asalkan kedua orang jahat itu sudah tewas! Sekarang terserah kepada kalian, adakah yang masih hendak menangkap aku? Boleh maju!”
Beberapa orang dayang dan beberapa orang penjaga ketika menyaksikan Lin Lin berdiri sambil mengucapkan kata-kata ini penuh wibawa, serta-merta menjatuhkan diri berlutut. Bahkan disebutnya nama-nama mendiang Kulukan dan Tayami membuat beberapa orang dayang menangis.
“Hamba setia kepada Puteri Yalin!” teriakan-teriakan ini terdengar riuh-rendah.
Akan tetapi tidak semua dayang dan tidak semua penjaga berlutut dan menyatakan setianya, bahkan sebagian besar merasa lebih taat kepada Raja Kubakan dan lebih takut kepada Hek-giam-lo. Jumlah mereka yang menentang Lin Lin ini ada dua pertiga bagian dan kini sembilan orang dayang menerjang maju dengan pedang-pedang mereka menyerang Lin Lin!
“Trang-cring-trangggg...!” terdengar jerit kesakitan dan pedang-pedang beterbangan ketika Lin Lin menggerakkan pedang dan tongkat Beng-kauw, diputar untuk menangkis disertai pengerahan tenaga sinkang.
Tidak hanya pedang sembilan orang dayang itu runtuh beterbangan, juga sebagian ada yang terguling roboh karena hebatnya tenaga tangkisan Lin Lin, sebagian sisanya meloncat mundur dengan muka pucat. Lin Lin sendiri terheran-heran. Bagaimana tangkisannya bisa begitu hebat? Sama sekali ia tidak menduga bahwa semua ini adalah berkat ilmu baru yang didapatkannya, yaitu ilmu dari lembaran-lembaran rahasia di dalam tongkat Beng-kauw.
Namun seperti juga para petugas lain, sembilan orang dayang itu amat setia kepada tugasnya. Biar pun pedang mereka sudah hilang dan mereka semua maklum bahwa tuan puteri yang harus mereka cegah perginya ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada mereka. Mereka tidak mundur dan kini dengan tangan kosong mereka menubruk maju dengan maksud menangkap Lin Lin.
Lin Lin tidak tega untuk menggunakan senjata menghadapi mereka, maka ia cepat menyimpan pedangnya yang tadi membuat banyak orang Khitan berlutut karena pedang itu adalah Pedang Besi Kuning yang dahulu menjadi pusaka keramat Kerajaan Khitan, kemudian dengan dorongan tangan kanannya ia menerima serangan para dayang itu.
“Wuuuttttt...!” Dari tangan kanan Lin Lin menyambar angin pukulan dahsyat karena gadis ini sudah menggunakan tenaga dari ilmunya yang baru, yang pernah dilatihnya dalam perahu, dan yang angin pukulannya menggetarkan dinding sehingga pernah membuat Hek-giam-lo menjadi curiga.
Hebat akibatnya. Sembilan orang dayang itu seperti daun-daun kering tertiup angin, mereka terlempar dan menjerit kesakitan. Ketika mereka terbanting roboh, hanya enam orang saja yang mampu merangkak bangun dengan muka pucat dan lemah, sedangkan yang tiga orang lagi, yang paling depan, tak dapat bangun lagi karena mereka telah tewas dengan mulut, hidung dan telinga mengeluarkan darah!
Alangkah kagetnya hati Lin Lin. Ia sampai berdiri melongo dan tercengang, hatinya dipenuhi rasa menyesal dan rasa girang. Ia menyesal karena tanpa ia sengaja ia telah melukai para dayang, bahkan membunuh tiga orang di antara mereka, akan tetapi juga girang karena mendapat kenyataan bahwa ilmu mukjijat yang ia dapat dari dalam tongkat Beng-kauw itu ternyata merupakan ilmu yang ampuh! Hatinya menjadi besar sekali dan ia kini menghadapi para penjaga yang belasan orang banyaknya itu dengan bentakan nyaring.
“Yang berani kurang ajar terhadapku sudah terhukum! Mundur kalian semua, kalau tidak, calon ratumu akan turunkan tangan besi. Aku sayang kepada mereka yang taat, akan tetapi aku harus membasmi mereka yang mencoba menahan kepergianku!”
Sejenak para prajurit Khitan itu tertegun. Mereka terheran-heran melihat betapa gadis yang biar pun tadinya cukup lihai namun masih dapat mereka atasi ini, kini mendadak memiliki ilmu pukulan yang demikian dahsyatnya. Sebagai ahli-ahli silat yang mengerti akan ilmu silat tinggi, belasan orang Khitan itu mengenal ilmu pukulan dahsyat.
Diam-diam mereka menyesal sekali mengapa Hek-giam-lo sudah pergi dari situ. Biar pun mereka dapat mengandalkan tenaga banyak teman, namun dengan ilmu pukulan sakti seperti itu, agaknya sukar mencegah gadis ini melarikan diri. Mereka tidak takut terhadap Lin Lin biar pun gadis itu memiliki ilmu dahsyat, mereka jauh lebih takut dan ngeri kalau sampai gadis ini lenyap, takut akan kemarahan dan hukuman yang akan dijatuh­kan Hek-giam-lo terhadap mereka!
“Tuan Puteri, hamba sekalian harus mencegah kepergian Paduka dengan taruhan nyawa!” teriak seorang penjaga dan mereka lalu maju mengurung Lin Lin, merupakan pagar manusia yang tak dapat dilalui begitu saja tanpa membuka jalan berdarah!
Lin Lin menarik napas panjang. “Kalian keras kepala!”
Setelah berkata demikian Lin Lin kembali mengayun tangan kanannya mengirim pukulan jarak jauh. Kali ini dua orang laki-laki terguling roboh dan beberapa orang lagi terhuyung-huyung. Akan tetapi dari kanan, kiri dan belakang mereka mendesak maju, siap untuk merobohkan Lin Lin atau kalau mungkin menangkapnya. Kembali Lin Lin mengirim pukulan, kini malah tongkat Beng-kauw di tangan kiri ia pergunakan untuk menyapu kaki mereka. Ada beberapa orang lagi roboh, dan dua orang malah patah tulang kaki mereka terbabat tongkat pusaka Beng-kauw.
“Mundur kalian! Hemmm, apakah kalian sudah bosan hidup?” bentak Lin Lin karena mereka demikian nekat sudah menyerbu lagi sehingga ia tidak melihat jalan ke luar. Kembali beberapa orang ia robohkan dan ia sudah menggerakkan kaki meloncat keluar dari kepungan melalui tempat mereka yang sudah roboh ketika tiba-tiba para pengeroyoknya terpelanting dan terdengar suara orang mendengus marah.
Lin Lin berdiri tegak dan memandang kepada Hek-giam-lo yang sudah berdiri di depannya! Berdebar jantung gadis ini, akan tetapi ia sama sekali tidak takut, malah ia menentang pandang mata Hek-giam-lo dengan pandangan menantang.
“Tuan Puteri, Sri Baginda sudah mengirim joli untuk menjemput Paduka, kenapa Paduka membikin ribut di sini? Apa yang Paduka kehendaki?” Kini suara Hek-giam-lo malah lebih hormat dari pada yang sudah-sudah, agaknya hal ini karena mereka sudah dekat dengan Raja Khitan, akan tetapi di dalam suara ini pun terkandung kemarahan tertahan.
“Aku mau pergi dari sini! Aku tidak sudi dijadikan isteri paman tiriku! Tua bangka tak tahu malu dia. Dan kau tidak tahu diri, hendak memaksa aku menjadi isteri seorang kakek. Hemmm, andai kata kakekku masih hidup, atau ibuku, kau tentu akan dihajar, Hek-giam-lo!”
Kembali iblis hitam itu mendengus. “Tangkap dia!” bentaknya kepada para pembantunya.
Karena Hek-giam-lo sudah hadir di situ, orang-orang itu menjadi lega hatinya. Kalau sebelum iblis itu datang Lin Lin sampai terlepas dari tangan mereka, pasti mereka akan mengalami hukuman siksa sampai mati yang amat mengerikan, akan tetapi sekarang Hek-giam-lo berada di situ, berarti iblis itulah yang bertanggung jawab sepenuhnya. Pula, kehadiran iblis ini membesarkan hati mereka, membuat mereka tidak takut akan kelihaian sang puteri. Serentak mereka maju mendesak hendak menangkap Lin Lin.
Lin Lin kembali mengayun tangannya, kini ia tidak hendak menyembunyikan lagi ilmunya. Terdengar Hek-giam-lo mendengus keras dan iblis ini pun menggerakkan tangannya sehingga angin pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Lin Lin, bertemu dengan angin pukulan Lin Lin. Akibatnya, Lin Lin terdorong dan terjengkang ke belakang, akan tetapi Hek-giam-lo juga terhuyung-huyung.
Hal ini membuat Hek-giam-lo kaget setengah mati. Dari mana tiba-tiba gadis itu memiliki sinkang yang sedemikian hebatnya? Ia berseru keras dan melompat maju. Ketika itu Lin Lin juga sudah bangkit kembali dan memutar kedua senjatanya, yaitu Pedang Besi Kuning dan tongkat Beng-kauw.
“Semua mundur, biarkan aku menghadapinya!” Hek-giam-lo membentak ketika tiga orang pembantunya dalam sekejap mata saja roboh oleh kedua senjata Lin Lin.
Kini Hek-giam-lo sendiri yang maju dan berhadapan dengan Lin Lin yang memandangnya penuh ketabahan. Lin Lin sama sekali tidak jeri. Kalau sebelum ia mendapatkan ilmu mukjijat saja ia sama sekali tidak takut, apa lagi sekarang. Ilmu itu membuat ia laksana seekor harimau betina mendapat sayap.
“Hek-giam-lo, kau kira aku takut kepadamu?” katanya dan kini ia menggerakkan kedua senjatanya dengan gerakan ilmu silat yang ia pelajari dari dalam gulungan-gulungan kertas.
Dua sinar berkilauan menyambar, bergulung-gulung dan mengeluarkan bunyi bersuitan. Hek-giam-lo terkejut dan melompat mundur, kedua lengan bajunya bergerak ke depan untuk menangkis.
“Heh, dari mana kau mendapatkan ilmu ini?” bentaknya.
Lin Lin tidak menjawab, hanya tertawa mengejek sambil menerjang maju lagi. Sayang sekali bahwa dia kurang latihan sehingga biar pun kedua senjatanya mengeluarkan hawa pukulan yang berdesir-desir, namun ia belum mampu mengerahkan tenaga sepenuhnya dan gerakan-gerakannya masih kaku. Namun tak dapat disangkal lagi bahwa terjangannya ini dahsyat sekali sehingga diam-diam Hek-giam-lo menjadi kaget dan kagum. Tokoh sakti ini pun mengerti bahwa jika ilmu gadis ini terlatih baik, tentu gadis ini akan merupakan lawan yang berat dan sedikitnya setingkat dengan kepandaiannya!
Hek-giam-lo adalah seorang yang cerdik. Ia dapat menduga bahwa ilmu aneh ini tentu didapatkan oleh Lin Lin selama menjadi tawanan di dalam perahu dan ia teringat akan desir angin pukulan pada tengah malam itu di perahu. Kini ia mengerti bahwa pada waktu itu, tentu Lin Lin yang sedang berlatih. Dari mana gadis ini mendapatkan ilmu itu? Gadis itu tidak bertemu siapa pun juga, tidak pernah meninggalkan perahu. Tongkat itu? Tongkat pusaka Beng-kauw! Tentu di situlah rahasia ilmu itu.
Dengan gembira karena ingin sekali mendapatkan ilmu aneh ini yang pasti akan dapat menambah kelihaiannya, Hek-giam-lo mempergunakan ginkang-nya menyelinap di antara sambaran sinar senjata, lalu mengeluarkan senjatanya yang menyeramkan, yaitu sabit bergagang panjang yang amat tajam.
“Serahkan tongkat pusaka Beng-kauw!” bentaknya sambil menyerang dengan sabitnya.
Gerakannya hebat, tenaganya mukjijat sekali sehingga Lin Lin terpaksa meloncat mundur karena silau menyaksikan kelebatan sinar senjata lawan. Namun ia berhasil menangkis senjata lawan dengan senjatanya sendiri yang membuatnya kembali terhuyung-huyung dan telapak tangannya terasa sakit sekali. Namun hal ini saja sudah membuat Hek-giam-lo terheran-heran. Hanya ahli silat kelas tinggi saja yang mampu mempertahankan terjangannya tadi dengan akibat hanya terhuyung-huyung. Tadinya ia memperhitungkan bahwa sedikitnya gadis itu akan melepaskan sepasang senjatanya!
Karena penasaran, kembali ia menerjang dengan sabitnya. Dalam pertandingan, apa lagi kalau menemui lawan tangguh, Hek-giam-lo lupa segala. Karena Lin Lin dapat menangkis terjangannya tadi membuat ia lupa dan bersemangat sehingga kini ia menerjang dengan serangan maut tanpa mempedulikan apakah gadis calon ratu, calon permaisuri rajanya itu akan mampu menangkisnya.
“Tranggg...!” Lin Lin kembali berhasil menangkis dengan pedangnya, dibantu pula dengan tongkat, namun kini ia terguling.
Alangkah heran hati Hek-giam-lo karena begitu terguling gadis itu sudah meloncat lagi, malah kini membalas dengan serangan-serangan yang tak kalah ganasnya. Ia sampai memekik kaget dan memutar senjatanya untuk menangkis. Ada pun Lin Lin yang bangkit semangatnya karena hawa sinkang-nya kini ternyata mampu bertahan terhadap kekuatan lawan yang tersalur dalam setiap serangannya, kini menerjang dengan tabah dan penuh tenaga.
Namun betapa pun juga, karena ilmu barunya itu baru ia kuasai beberapa bagian saja, sama sekali belum terlatih, mana ia mampu mengimbangi seorang jago kawakan seperti Hek-giam-lo yang menjadi seorang di antara Enam Iblis Dunia? Sebentar saja ia sudah sibuk sekali, hanya mampu menangkis ke sana ke mari tanpa mampu membalas kembali.....
Lanjut ke jilid 24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)