CINTA BERNODA DARAH : JILID-15

Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang kini berubah menjadi seorang Puteri Khitan yang berpengaruh itu untuk menengok keadaan Kam Bu Sin yang sudah terlalu lama kita tinggalkan. Kenapa Siang-mou Sin-ni muncul di Nan-cao seorang diri saja? Bukankah tadinya Bu Sin berada di dalam cengkeramannya dan pemuda itu menjadi seperti boneka hidup dan barang permainan Siang-mou Sin-ni setelah diminumi racun perampas semangat?
Memang demikianlah, Siang-mou Sin-ni yang merasa sayang akan ketampanan dan kegagahan Bu Sin tidak membunuh pemuda ini seperti yang biasa ia lakukan, melainkan mengambil pemuda itu sebagai teman dan kekasihnya. Tadinya ia bermaksud membawa Bu Sin ikut dengannya ke Nan-cao dan di sana akan ia pergunakan sebagai bukti kelihaiannya bahwa ia telah dapat menundukkan putera dari Jenderal Kam yang terkenal. Akan tetapi pada suatu hari ketika ia bersama Bu Sin berjalan melalui sebuah hutan di lereng Gunung Burung Dara, tiba-tiba ia mendengar suara alat musik khim. Ia kaget dan heran sekali, apa lagi ketika mendadak Bu Sin roboh pingsan dan ia sendiri merasa dadanya tergetar hebat.
Cepat Siang-mou Sin-ni mengeluarkan sebuah alat musik khim yang dulu ia rampas dari tangan Bu Kek Siansu, kemudian ia duduk bersila dan mainkan alat musik yang diletakkan di depannya. Terdengar bunyi nyaring suara kawat-kawat khim itu dan terjadilah ‘perang’ antara suara khim pertama dan suara khim yang dimainkan Siang-mou Sin-ni.
Iblis wanita rambut panjang ini ternyata dahulu tidak sia-sia belaka merampas khim dari Bu Kek Siansu. Karena ia seorang berilmu tinggi dan memiliki kecerdasan luar biasa, ia telah mempelajari alat musik ini dan menggabungkan kesaktiannya ke dalam permainannya sehingga alat yang sebetulnya merupakan alat kesenian untuk menghibur hati duka lara ini dapat ia pergunakan sebagai senjata yang ampuh sekali.
Banyak sudah lawan-lawan lihai roboh oleh bunyi khimnya yang dapat dimainkan sedemikian rupa sehingga merupakan ‘jurus-jurus’ yang dapat merusak semangat, membikin putus urat syaraf mengaduk berantakan isi perut dan menghancurkan isi dada lawan! Betullah kata-kata para budiman bahwasanya apa pun alat kebaikan atau pun kejahatan, tergantung dari pada si pemakai.
Akan tetapi alangkah kaget hati Siang-mou Sin-ni ketika semua jurus suara khimnya yang menerjang dan menyerang ganas itu mental kembali oleh suara khim yang halus lembut penuh damai dan yang suaranya mendatangkan ketenangan itu. Ia mengerahkan semangat dan sinkang, menyentil kawat-kawat khimnya lebih tekun dan lebih keras. Akan tetapi tiba-tiba....
“Cringgg!” sebatang kawat khimnya putus!
“Keparat...!” Siang-mou Sin-ni melompat dan bagaikan kilat menyambar tubuhnya melesat ke arah suara khim, rambutnya berkibar tertiup angin, siap untuk mencekik dan mencambuk lawan.
Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti, tertegun berdiri dan mukanya berubah pucat. Kiranya yang duduk bersila di bawah pohon besar yang mainkan khim dengan tenang sambil menundukkan kepala adalah Bu Kek Siansu! Bagaimanakah kakek yang dulu sudah terjerumus ke jurang itu dapat berada di sini? Siang-mou Sin-ni adalah seorang tokoh sakti, seorang yang dijuluki iblis wanita, akan tetapi sekarang ia menjadi pucat ketakutan.
“Kau... kau... setan...!” teriaknya, membalikkan tubuh dan... lari meninggalkan kakek itu, kembali menuju ke tempatnya tadi. Tangan kirinya menyambar alat khimnya yang putus sehelai kawatnya, tangan kanan menyambar tubuh Bu Sin yang masih menggeletak pingsan.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara khim yang melengking tinggi dan... Siang-mou Sin-ni terjungkal seperti didorong tenaga mukjijat dari samping. Ia berteriak marah, menyimpan khim-nya, kemudian menubruk maju lagi untuk memondong tubuh Bu Sin. Untuk kedua kalinya terdengar suara khim melengking dan kembali ia roboh terjengkang.
“Kurang ajar...!” Siang-mou Sin-ni berteriak lagi dengan marah, kini ia meloncat bangun, rambutnya bergerak menyambar ke arah tubuh Bu Sin yang sudah bergerak-gerak siuman dari pingsannya.
Kembali terdengar suara khim dan kini amat nyaring. Rambut panjang yang sudah menyambar ke depan untuk merenggut tubuh Bu Sin itu tiba-tiba seperti tertiup angin keras, berkibar dan membalik menyerang muka Siang-mou Sin-ni sendiri. Wanita ini menjerit kaget, cepat meloncat ke belakang berjungkir balik beberapa kali, kemudian sambil mengeluarkan suara melengking setengah tertawa setengah menangis seperti kuntilanak kesiangan, ia lari meninggalkan tempat itu!
Suara khim berhenti dan tubuh kakek tua renta Bu Kek Siansu nampak mendatangi, kedua kakinya melangkah perlahan menghampiri Bu Sin. Sebuah alat musik khim yang amat sederhana dan tua tersembul ke luar dari balik punggungnya yang agak bongkok. Kemudian ia berdiri di dekat Bu Sin, memandang pemuda itu yang bergerak perlahan dan mulai bangkit. “Kasihan...,” bibir itu berbisik, “anak baik, putera seorang patriot ternama, begini nasibnya....”
Bu Sin menengok, sepasang matanya yang sayu memandang, tidak mengenal kakek itu. “Mana... mana dia...?” bibirnya yang agak pucat bertanya, suaranya agak gemetar, mengandung takut dan mesra.
Bu Kek Siansu menggeleng-geleng kepala. Sekali pandang saja kakek sakti ini maklum sudah apa yang telah menimpa diri pemuda ini. Tangannya bergerak menyentuh tengkuk Bu Sin, menekan sebentar lalu berbisik lagi. “Belum terlambat... anak baik, kau ikutilah aku....”
Seperti linglung Bu Sin bangkit berdiri. Biar pun ia telah menjadi korban racun perampas semangat, namun sikap hormatnya terhadap seorang tua yang patut dihormat tetap ada padanya. Ia segera mengangkat tangan dan membungkuk sambil bertanya, “Bolehkah saya bertanya siapakah Locianpwe yang mulia? Dan saya berada di mana, apa yang telah terjadi?” Ia mengerutkan keningnya, mengingat-ingat namun ia masih lupa segala. Sentuhan pada tengkuknya oleh Bu Kek Siansu tadi sudah banyak menolong, namun belum mampu menyembuhkannya sama sekali.
“Kau menjadi korban Siang-mou Sin-ni. Telanlah ini, kau akan dapat mengingat kembali.” Kakek itu mengeluarkan sebutir obat bulat sebesar kacang tanah berwarna kuning.
Bu Sin menerimanya dan menelannya, terasa amat pahit, akan tetapi ia tetap menelannya. Tiba-tiba kepalanya menjadi pening, perutnya terasa panas seperti terbakar dan pemuda ini terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk. Kepalanya terasa berputaran sehingga ia menggunakan kedua tangan memegangi kepalanya, bibirnya mengeluh. Entah berapa lamanya ia dalam keadaan seperti ini ia sendiri tidak tahu. Tiba-tiba ia melompat bangun dan berseru.
“Iblis betina, boleh kau bunuh aku, jangan harap aku sudi tunduk kepadamu!”
Akan tetapi terpaksa Bu Sin harus meramkan matanya karena kembali ia merasa pusing. Ketika ia membuka kedua matanya, ia melihat seorang kakek tua renta di depannya yang memandang dengan senyum penuh kesabaran. Teringatlah ia sekarang. Kakek ini telah memberi obat kepadanya, dan dia... dia tadinya menjadi tawanan Siang-mou Sin-ni, disiksa hampir mati. Serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut, dapat menduga bahwa tentu kakek ini yang telah menolongnya dari tangan Siang-mou Sin-ni, sungguh pun ia tidak tahu bagaimana caranya.
“Locianpwe tentu telah membebaskan teecu dari tangan Siang-mou Sin-ni. Teecu menghaturkan terima kasih....” Ia berhenti dan mengerang. Tubuhnya serasa lemas dan dadanya agak sakit.
“Anak baik, mari kau ikut denganku agar kesehatanmu pulih kembali.” Kakek itu mengulurkan tangan dan di lain saat tubuh Bu Sin sudah ia bawa pergi dari situ.
Bu Sin hanya merasa betapa tubuhnya seperti melayang cepat sekali. Kedua telinganya mendengar suara angin dan matanya pedas, tak dapat dibuka, hidungnya sukar bernapas karena angin sehingga ia meramkan mata dan membalikkan muka agar dapat membelakangi angin.
“Kita sudah sampai!” Suara halus kakek itu menyadarkannya.
Bu Sin merasa seperti baru bangun tidur dari mimpi. Ia membuka matanya dan kiranya ia sudah berdiri di depan air terjun yang amat bening dan air yang terjun itu seperti perak, putih berkilauan tertimpa sinar matahari. Kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu yang kini ia tahu tentulah seorang tua yang memiliki kesaktian luar biasa.
“Locianpwe, teecu mengerti bahwa Locianpwe menolong teecu. Teecu sendiri tidak mengerti mengapa tubuh teecu terasa sakit-sakit dan lemas, dan mengapa pula Locianpwe membawa teecu ke tempat ini? Mohon petunjuk...”
“Orang muda, kau telah menjadi korban keganasan Siang-mou Sin-ni, kau diberi minum racun perampas semangat dan selama beberapa pekan kau menjadi barang permainannya. Baiknya di dalam sanubarimu sebelum kau minum racun kau telah mempunyai perasaan tidak suka dan membencinya, dan hatimu tidak dikotori nafsu, maka masih dapat tertolong. Hanya sinkang di dalam tubuh yang menjadi lemah. Orang muda, sekarang katakan, apakah cita-cita yang terkandung dalam hatimu?”
Bu Sin diam-diam terkejut sekali mendengar bahwa dia telah menjadi korban Siang-mou Sin-ni. Ia dapat menduga apa artinya ‘menjadi permainannya’ dan ia merasa malu, juga gemas terhadap iblis wanita itu. “Locianpwe, mohon Locianpwe sudi menolong teecu. Teecu telah terpisah dari dua orang adik teecu yang masih belum teecu ketahui bagaimana nasibnya. Teecu masih belum dapat menemukan musuh besar yang telah membunuh ayah bunda teecu. Teecu juga masih belum berhasil mencari kakak teecu untuk memenuhi pesan Ayah. Sekarang ditambah lagi dengan perbuatan Siang-mou Sin-ni si iblis betina yang harus teecu balas! Akan tetapi teecu yang begini lemah dan bodoh, bagaimana akan dapat memenuhi tugas itu semua? Mohon Locianpwe sudi menolong.”
Kakek itu menarik napas panjang. “Aku akan lebih suka kalau kau melepaskan semua itu dan ikut dengan aku ke puncak untuk menjadi seorang pertapa. Akan tetapi hal demikian tak dapat dipaksa, harus keluar dari dalam sanubari sendiri. Orang muda, aku bersedia membantumu, akan tetapi berhasil atau tidak seluruhnya tergantung kepadamu sendiri. Kalau hatimu cukup kuat, kalau kemauanmu cukup keras, kalau kau tahan menderita dan tidak takut menghadapi maut dalam mengejar cita-cita, agaknya Tuhan pasti akan mengabulkannya. Nah, kau duduklah di atas batu itu, biarkan air terjun itu menimpa di atas kepalamu, duduk bersila dan curahkan perhatianmu kepada apa yang akan kuajarkan kepadamu. Mulailah!”
Bu Sin sudah membulatkan tekadnya. Ia maklum bahwa kakek ini bukan manusia biasa dan hanya dengan pertolongan kakek ini ia dapat mengharapkan semua cita-citanya tercapai. Hanya ada dua jalan terbuka baginya. Berhasil atau mati. Bukankah ia baru saja terbebas dari pada kematian yang amat hebat di tangan Siang-mou Sin-ni? Apa artinya lagi kematian baginya? Tanpa ragu-ragu ia lalu melompat ke atas batu besar yang tengahnya menjadi berlobang karena terus menerus ditimpa air terjun. Lalu ia duduk bersila, menyatukan panca indera dan membuka telinganya untuk mendengarkan.
Akan tetapi, air yang menimpa kepalanya mendatangkan suara bergemuruh yang memekakkan kedua telinganya di samping mendatangkan rasa dingin yang menyusup ke tulang sumsum. Mula-mula memang terasa segar dan enak, akan tetapi lambat-laun rasa dingin hampir tak tertahankan lagi, kepalanya terasa sakit seperti ditimpa palu godam ratusan kati beratnya. Bu Sin meramkan matanya. Wajahnya pucat sekali dan hampir ia tidak kuat menahan, tubuhnya sudah bergoncang.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ia mendengar suara kakek tadi, dekat sekali suara itu, berbisik-bisik di dekat telinganya, “Orang muda, kerahkan sisa tenaga dari pusar, biarkan berkumpul dan desak ke atas melalui dada, terus salurkan ke jalan darah tiong-cu-hiat.”
Otomatis Bu Sin melakukan perintah ini. Akan tetapi karena ia merasa amat lemah, sukar baginya untuk menyalurkan tenaga dalam ke arah jalan tiong-cu-hiat di belakang leher. Mendadak belakang lehernya itu seperti disentuh sesuatu dan aneh, dengan mudah kini tenaga dalamnya menjalar ke tiong-cu-hiat! Girang hatinya karena kakek sakti itu membantunya.
“Lindungi tiong-cu-hiat dengan sisa sinkang itu agar kuat menahan serangan air. Kini mulailah mengatur pernapasan menurut aturan Im Yang, sedot masuk berikut hawa pukulan air, kumpul di dada, tekan ke pusar sambil keluarkan napas,” dengan kata-kata yang halus berbisik-bisik dan seperti diucapkan dekat kedua telinga Bu Sin, kakek itu mulai menurunkan ilmunya kepada Bu Sin yang mendengarkan dengan amat tekun.
Seluruh perhatiannya tercurah kepada semua kata-kata ini sehingga ia lupa akan segala hal lainnya, bahkan ia tidak tahu lagi di mana ia berada, apa yang terjadi dengannya, dan dia tidak lagi merasakan pukulan air yang menimpa di atas kepalanya.
Begitu tekun Bu Sin mendengarkan wejangan kakek tua renta itu yang dengan sabar sekali mengulangi ajaran-ajarannya. Pemuda ini sampai tidak tahu lagi keadaan sekelilingnya, tidak tahu bahwa siang telah berganti malam dan malam berganti siang lagi. Tidak tahu bahwa kakek itu sudah tidak membisikkan pelajaran-pelajaran lagi, akan tetapi bahwa yang didengarnya sekarang hanyalah gema suara kakek itu yang seakan-akan masih terus berbisik-bisik di dekat telinganya mengulang pelajaran gaib tentang siulan dan membentuk sinkang di tubuh, pelajaran yang sudah dihafalnya benar-benar.
Setelah suara itu makin menghilang, barulah perlahan-lahan ia sadar bahwa kakek itu tidak berbisik lagi dan mulailah ia sadar akan keadaan di sekelilingnya, akan keadaan dirinya. Akan tetapi, begitu panca inderanya buyar, hampir ia terjungkal karena kepalanya serasa pecah dan air yang menimpa kepalanya serasa bukan air lagi melainkan ratusan ribu batang jarum-jarum yang runcing!
Cepat ia mengerahkan hawa dalam tubuh seperti tadi sebelum buyar dan lenyaplah rasa sakit di kepalanya. Akan tetapi kini rasa dingin yang amat hebat menyusup ke dalam tubuhnya. Ia menggigil kedinginan, giginya sampai berbunyi, perutnya serasa kaku dan mengkal. Cepat ia mengingat isi pelajarannya itu, karena itu ia berhasil mengatasi serangan hawa dingin. Akan tetapi karena ia belum pandai benar menjalankan ilmu itu, hawa dingin segera terganti hawa panas yang amat luar biasa. Dadanya serasa sesak, sukar bernapas, perutnya seperti dibakar api neraka, telinganya terngiang-ngiang dan kepalanya serasa hampir meledak. Kembali dengan mengingat pelajaran tadi ia berhasil menundukkan rasa panas ini.
Bu Sin dengan kebulatan tekad yang luar biasa, terus melatih diri dengan ilmu yang ia terima dari kakek sakti. Entah berapa kali cuaca di balik pelupuk matanya menjadi gelap pekat dan terang kembali, ia tidak ingat lagi, juga tidak memperhatikan. Makin lama ia merasa tubuhnya makin nyaman dan ringan, ingatannya menjadi terang, dadanya lapang dan ia merasa bahwa tenaga di dalam tubuhnya pulih kembali, malah kini lebih kuat dari pada biasa. Yang terasa olehnya hanya kelemahan karena terlalu lama tidak mengisi perutnya, kelemahan yang wajar.
Karena khawatir kalau-kalau kelemahan ini akan membuatnya tidak kuat menahan, beberapa kali Bu Sin membuka mulutnya dan menerima percikan air memasuki mulutnya untuk diminum. Akan tetapi kebutuhan jasmaninya tidak dapat hanya ditutup oleh air tawar itu. Akhirnya ia membuka mata. Dari balik air yang muncrat setelah menyiram kepalanya, ia memandang. Tidak tampak bayangan kakek tua. Hati-hati ia membuka lipatan tangan dan kakinya. Kini tubuhnya gemetar, bukan main lemah dan lunglai tubuhnya akibat perut kosong berhari-hari. Baru kini terasa hebatnya badan menanggung kelaparan. Hampir saja ia dibuai oleh kelemahannya dan kalau ia tidak cepat-cepat membuang diri ke kanan lalu merangkak turun dari atas batu, kiranya ada bahayanya ia terjungkal ke kiri atau ke depan, ke dalam air!
Bu Sin bangkit berdiri dengan kedua kaki gemetar. Ia mengingat-ingat, memandang ke arah air terjun yang kini kembali menimpa batu yang tadi menjadi tempat duduknya. Mimpikah ia? Di mana adanya kakek itu? Tidak, ia tidak mimpi, pikirannya terang sekali. Ia ingat semuanya. Ingat bahwa ia tadinya menjadi tawanan Siang-mou Sin-ni, dan menurut kakek sakti itu, ia minum racun perampas semangat dan dijadikan permainan oleh si iblis betina. Untung ada kakek sakti itu yang menolongnya, kemudian kakek sakti itu yang menurunkan ilmu siulian yang ajaib sehingga ia tahan bersemedhi di bawah air terjun sampai berhari-hari lamanya. Entah berapa hari, ia tidak dapat menghitungnya karena ia tekun dalam bersemedhi sambil mencurahkan segala daya ingatannya untuk menghafal dan melatih diri dengan ilmu itu.
Tak perlu bersusah payah mencari kakek itu, pasti tidak akan dapat bertemu. Sayang ia tidak tahu nama kakek itu. Yang perlu sekarang mencari adik-adiknya. Ia sendiri tidak tahu di mana ia berada. Harus ia selidiki hal ini dan sekarang yang paling perlu adalah mencari pengisi perut atau kalau terlambat ia akan mati kelaparan. Hutan di depan itu penuh pohon, tentu ada bahan pengisi perut, buah-buahan, binatang hutan, atau setidaknya tentu ada daun-daun muda!
Tak lama kemudian, dengan hati lapang Bu Sin sudah menggerogoti buah-buah yang segar dan manis dan perutnya menerima dengan lahapnya, seakan-akan tidak mengenal kenyang. Agaknya akan berbahaya bagi Bu Sin kalau ia melanjutkan makannya, mengisi sepenuhnya perut yang sudah terlalu lama dikosongkan itu. Baiknya sebelum terlalu banyak ia makan, tiba-tiba ia mendengar auman yang menggetarkan hutan, disusul pekik kesakitan seorang manusia.
Cepat reaksi Bu Sin. Buah di tangannya yang belum sempat digigit ia buang dan tubuhnya sudah berlari cepat sekali ke arah utara. Untung tidak terlalu jauh tempat itu, atau mungkin karena lari cepat Bu Sin kini memperoleh kemajuan secara menakjubkan dan tidak disadari oleh orangnya sendiri.
Ia melihat seorang laki-laki berpakaian ringkas seperti seorang pemburu sedang bergulat mati-matian melawan seekor harimau. Bukan bergulat dalam perkelahian lagi namanya, melainkan bergulat untuk memperpanjang hidupnya atau lebih tepat, untuk menahan mulut yang penuh taring meruncing itu merobek tubuhnya. Darah sudah memenuhi sekitar dada, pundak dan kedua lengan, namun pemburu itu dengan kedua tangannya mati-matian mendorong moncong harimau. Perlawanan yang sia-sia. Melihat sebatang tombak masih menancap di perut harimau, tahulah Bu Sin bahwa pemburu itu kurang tepat menombak harimau sehingga binatang itu tidak roboh, sebaliknya sempat menubruk dan agaknya si pemburulah yang akan tewas terlebih dahulu kalau ia tidak segera turun tangan.
Bu Sin lompat mendekat, tangannya diayun dan....
“Krakkk!” tubuh harimau terguling, kepalanya pecah.
Laki-laki itu merangkak ke luar dari bawah perut harimau, terbelalak keheranan. Juga Bu Sin berdiri terbelalak keheranan. Bagaimana mungkin dengan sekali pukul saja ia berhasil membunuh seekor harimau besar? Bukan hanya membunuh, lebih tak masuk di akal lagi, memecahkan kepalanya! Tiba-tiba pemuda ini menjatuhkan diri berlutut, menumbuk-numbukkan dahinya pada tanah sambil berkata berulang-ulang. “Locianpwe, beribu terima kasih atas kurnia Locianpwe....”
Si pemburu yang sudah bangkit duduk makin melebarkan mata dan mulutnya. Akhirnya ia mengeluh dan roboh pingsan. Ia banyak kehilangan darah, lalu melihat munculnya seorang pemuda yang sekali pukul memecahkan kepala harimau, ditambah lagi melihat pemuda penolongnya itu tiba-tiba berlutut dan seakan-akan menghaturkan terima kasih kepadanya, atau kepada bangkai harimau. Hal ini terlalu banyak baginya, terlalu hebat, tak tertahankan sehingga ia roboh pingsan!
Bu Sin baru sadar akan terluapnya kegembiraan dan rasa syukurnya ketika mendengar pemburu itu mengeluh dan melihatnya roboh pingsan. Cepat ia bangkit dan menghampiri. Tidak hebat luka-luka itu, hanya di pundak kanan yang agak besar, akan tetapi darah keluar terlalu banyak. Bu Sin cepat merobek baju pemburu itu untuk membalut luka di pundak dan menotok jalan darah. Kemudian mencari air menyiram muka pemburu itu yang segera siuman kembali, menggosok-gosok mata sambil bangkit duduk. Saat pandang matanya bertemu dengan bangkai harimau, ia bergidik dan menoleh memandang Bu Sin, matanya terbelalak dan agaknya ia akan roboh pingsan lagi kalau saja Bu Sin tidak segera memegang pundaknya dan berkata.
“Tidak ada bahaya lagi, sahabat. Tenanglah, harimau itu sudah mati.”
“Kau... kau... manusiakah kau...?”
Mau tidak mau Bu Sin tersenyum dan mengangguk-angguk. “Kau gagah sekali sobat. Sudah berada di ambang maut masih melakukan perlawanan hebat. Kau seorang pemburu, bukan? Kebetulan aku lewat dan sempat membantumu,” kata Bu Sin merendah karena ia maklum betapa orang ini kagum kepadanya.
Pemburu itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Sin yang segera mengangkatnya bangun. “Tak perlu segala kekosongan ini!” katanya. “Marilah kita bicara secara sewajarnya. Aku tidak akan lama mengganggumu, hanya ingin bertanya, tempat apakah ini? Hutan mana dan berada di daerah mana? Aku... aku tersesat jalan, harap kau sudi memberi petunjuk.”
Orang itu kelihatan tertegun. “Taihiap (Pendekar Besar) tentu hendak berkunjung ke kota raja untuk menghadiri pesta perayaan Beng-kauw, bukan? Wah, kalau tidak cepat-cepat, Taihiap bisa terlambat. Pesta dimulai esok hari dan, dari sini ke kota raja Nan-cao masih jauh, dua hari perjalanan!”
Kaget hati Bu Sin. Ia sudah berada di dekat kota raja Nan-cao di selatan? Hebat! Kiranya iblis betina itu membawanya ke Nan-cao! Tentu ada maksud tertentu. Lebih baik ia teruskan kunjungan ke Nan-cao. Ia mengangguk dan berkata, “Betul, aku hendak ke Nan-cao. Masih dua hari perjalanan? Tolong kau tunjukan jalannya agar aku tidak tersesat lagi.” Pemburu itu lalu memberi petunjuk, menggurat-gurat tanda gunung dan sungai di atas tanah.
“Terima kasih, sekarang juga aku akan berangkat agar tidak terlambat.” Ia bangkit berdiri.
“Nanti dulu, Taihiap. Kau telah menolong nyawaku, bolehkah saya mengetahui nama besar Taihiap? Saya seorang pemburu, Lai Teng nama saya, dan....,” akan tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya karena pemuda di depannya sudah berkelebat pergi dan sebentar saja sudah amat jauh. Ia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak kagum sampai bayangan Bu Sin lenyap di antara pohon-pohon.
Bu Sin benar-benar merasa girang sekali ketika ia mendapat kenyataan bahwa keadaan dirinya jauh berbeda dari pada dahulu. Kalau saja tadi ia tidak memukul kepala harimau, agaknya ia tidak atau belum dapat mengetahui perubahan ini. Sekarang ia dapat berlari cepat, demikian ringan tubuhnya. Sebagai seorang yang cerdik dan memiliki darah pendekar, tentu saja ia tahu bahwa semua ini adalah hasil dari pada ilmu siulian ajaib yang ia terima dari kakek tua renta tak bernama itu.
Dengan melakukan perjalanan cepat tanpa pernah mengaso, pada keesokan harinya menjelang senja sampailah ia di perbatasan Nan-cao. Ia tidak mengenal jalan, maka tanpa sadar ia telah memasuki tanah kuburan yang amat luas, dengan kuburan yang angker dan indah-indah bangunan nisannya, malah ada yang dihias lukisan atau ukiran pada batu-batu nisan. Inilah tanah pekuburan para pembesar dan keluarga raja di Nan-cao.
Tiba-tiba Bu Sin menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah kuburan besar yang letaknya di pinggir jalan. Dari depan ia melihat tiga orang laki-laki berjalan cepat sekali, kemudian setelah sampai di daerah kuburan, mereka memperlambat jalan dan bercakap-cakap. Seorang di antara mereka, yang kumisnya tipis panjang dan matanya juling, menggendong sebuah karung hitam di punggungnya, memegangi mulut karung yang diikat dengan kedua tangan, tampaknya berat isi karungnya itu. Yang dua orang lagi adalah orang-orang setengah tua yang wajahnya membayangkan kekejaman, apa lagi orang ketiga yang mukanya cacat, bolong-bolong oleh penyakit cacar. Orang kedua kepalanya besar dan ada jendolan daging di atas dahinya. Yang menyolok adalah bahwa ketiga orang laki-laki ini semua berpakaian pengemis.
“Ha, di sinilah tempatnya. Pangcu (Ketua) berpesan agar kita menanti di sini sampai datang Suma-kongcu. Ihhh, memilih tempat saja di tanah kuburan. Ngeri juga!” kata orang bermata juling sambil menurunkan karung hitam dari punggung, kemudian meletakkannya di atas tanah. Karung itu terguling akan tetapi isinya tidak keluar karena mulut karung diikat. Mereka lalu berjongkok dan menghapus peluh, agaknya mereka tadi telah berlari-lari cepat. Apa lagi si penggendong karung, peluhnya membasahi leher dan mukanya.
“Loheng (Kakak), tak enak menanti di tempat angker begini, tanpa ada pemandangan yang elok. Kita buka saja karung itu, agar mata kita dapat menikmati pemandangan yang menyegarkan semangat, heh-heh!” kata pengemis bermuka bopeng, yang paling muda di antara mereka.
“Sam-te, jangan main-main kau!” cela si kepala besar, “Kau tentu maklum apa maunya Suma-kongcu menculik si cantik ini. Kalau kau mengganggunya dan hendak mendahului Suma-kongu, apakah kau tidak takut kepalamu akan terpisah dari leher?”
“Wah, Suheng (Kakak Seperguruan), aku bukan seorang tolol. Mana aku berani mengganggunya? Dia hidangan orang-orang seperti Suma-kongcu, mana cocok untukku? Paling-paling orang seperti kita ini mendapat sisanya. Hi-hi, pernah dulu aku diberi sisa oleh Suma-kongcu, anak dari Kiang-si itu. Wah... berabe, baru tiga hari dia bunuh diri!” kata lagi si bopeng.
“Ha-ha, agaknya takut melihat bopengmu!” kata si juling.
“Loheng, kau sendiri apa mengira dirimu bagus? Matamu juling, mukamu pucat, kumismu seperti kumis monyet...!”
“Tapi tidak bolong-bolong seperti kulit mukamu yang dimakan rayap...!”
“Sttt, sudahlah!” tegur si kepala besar. “Kalian ini kalau ada perempuan cantik, selalu berebut tampan dan saling memburukkan. Sam-te, memang tidak baik membuka karung, biar pun aku sendiri tadi kagum menyaksikan nona yang begini jelita, akan tetapi jangan lupa bahwa dia pun lihai bukan main. Kalau tidak ada Pangcu, kurasa belum tentu kongcu mampu menawannya.”
“Takut apa, Loheng? Biar pun dia lihai, akan tetapi ia sudah tertotok dan kaki tangannya terikat. Aku pun tidak hendak mengganggunya, hanya ingin melihatnya agar pemandangan buruk di kuburan ini agak kurang mengerikan. Biarlah kalau ada apa-apa, aku yang tanggung,” sambil berkata demikian, si bopeng menggerakkan tangan membuka tali pengikat mulut karung. “Pula, sudah terlalu lama ia dimasukkan karung, kalau ia tahu-tahu mati bagaimana? Kan malah celaka kita, mendapat marah dari Kongcu!” ketika mendengar ucapan terakhir ini, kedua temannya yang tadinya hendak melarangnya saling pandang, kemudian mengangguk-angguk tanda setuju. Malah mereka membantu si bopeng mengeluarkan isi karung itu.
Apakah isinya? Bu Sin yang sudah dapat menduga-duga, tidak terkejut melihat mereka menarik ke luar tubuh seorang gadis muda yang luar biasa cantiknya, gadis yang meramkan kedua matanya, agaknya pingsan. Muka yang putih halus dan kemerahan, rambut yang tebal hitam awut-awutan karena ikat kepalanya hampir terlepas, sebagian menutupi pipi kiri.
Pakaian gadis ini agak aneh, terbuat dari kain sutera yang halus, akan tetapi warnanya lucu. Lengan kiri hitam lengan kanan putih, kaki celana kanan hitam dan yang kiri putih, demikian pula sepatunya. Akan tetapi keanehan pakaian ini tidak begitu menarik perhatian Bu Sin karena perhatiannya tercurah ke arah wajah yang ayu dan bentuk tubuh yang padat molek.
“Coba lihat, alangkah manisnya!” kata si juling.
“Hebat, memang patut menjadi puteri Beng-kauwcu,” sambung si kepala besar.
“Suheng, suheng..., a... aku... kan boleh ya aku... menciumnya satu kali saja?” kata si bopeng, berkali-kali menelan ludah dan sepasang matanya bersinar-sinar menatap wajah yang cantik itu.
“Sam-te, jangan gila kau!” seru si kepala besar.
Si juling tertawa menyeringai. “Mencium sih tidak ada halangannya, biar pun kita bertiga melakukannya juga. Kongcu tidak akan tahu, dia ini pun tidak akan tahu. Kan dia belum sadar?”
Bu Sin tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia melompat ke luar dari tempat sembunyinya sambil membentak. “Buaya-buaya kaki dua! Di siang bolong menculik gadis, benar-benar sudah bosan hidup!”
Tiga orang itu kaget sekali dan dengan gerakan ahli mereka sudah melompat berdiri. Akan tetapi si mata juling kurang cepat bergerak dan pundaknya terkena tendangan kaki kiri Bu Sin! Ia roboh dan bergulingan. Ketika dapat merangkak bangun, matanya menjadi makin juling karena menahan rasa nyeri, napasnya sesak dan ia terbatuk-batuk.
Akan tetapi dua orang pengemis lain dapat menghindarkan diri dari terjangan Bu Sin dan sekarang mereka berdiri menghadapi pemuda itu. Si kepala besar sudah menyambar tongkatnya, sedangkan si bopeng sudah mengeluarkan sebatang golok.
“Bocah jahanam, siapakah kau berani main gila di depan Tiat-kak-coa (Ular Tanduk Besi)?” seru si kepala besar yang mempunyai ‘tanduk’ daging di jidatnya.
“Tak perlu tahu aku siapa! Lekas kalian minggat dan tinggalkan nona ini sebelum kuantar kalian ke neraka!” bentak Bu Sin, hampir tidak kuat menahan kemarahannya.
Si kepala besar yang berjuluk Tiat-kak-coa itu mendengus marah, lalu berkata kepada temannya yang bermuka bopeng. “Sam-te, kau masukkan lagi dia ke dalam karung agar leluasa kita memberi hajaran kepada bocah lancang ini.” Setelah berkata demikian ia sendiri lalu menggerakkan tongkatnya, diputar cepat seperti kitiran helikopter menerjang Bu Sin yang segera mengelak.
Mendengar perintah ini, si muka bopeng yang sudah mencabut goloknya dan siap mengeroyok, mengayunkan goloknya lagi dan dengan mata berminyak dan mulut menyeringai ia menghampiri tubuh gadis yang masih pingsan, “Heh-heh... pipimu begini halus...!” Ia pikir tidak ada salahnya melakukan niatnya tadi selagi ada kesempatan begini baik, maka ia menjulurkan leher mendekatkan mukanya pada muka gadis itu untuk memberi ciuman kurang ajar.
“Plakk! Ngekkk...!” si muka bopeng memekik lemah dan roboh terguling pada saat gadis itu meronta dan melompat ke samping.
Kiranya gadis yang mulai sadar dari pingsannya itu telah menggerakkan tangan menyodok ulu hati dan mengenjot leher sehingga si bopeng yang roboh kini berkelojotan tanpa dapat mengeluarkan suara. Agaknya genjotan pada leher merusak alat suaranya!
“Siluman betina, berani kau memukuli temanku?” teriak si mata juling yang sekarang sudah mencabut sebatang pedang dan langsung menusukkan senjatanya ke arah dada si gadis.
Dengan gerakan masih lemah dan terhuyung-huyung, gadis itu menghindarkan diri. Namun ia didesak terus oleh lawannya yang ternyata cukup lihai ilmu pedangnya. Gadis ini masih pening, masih lemah, dan sedapat mungkin ia mengelak sambil mencari kesempatan untuk membalas. Untung baginya bahwa si muka bopeng belum dapat mengeroyok biar pun si bopeng itu kini tidak berkelojotan lagi dan sudah bangkit duduk. Tapi orang ini belum dapat berdiri, masih menekan ulu hati dan meraba lehernya sambil mengeluarkan suara ngorok seperti ayam diserang penyakit ayan!
Sementara itu Bu Sin yang bertangan kosong pula menghadapi serangan Tiat-kak-coa dengan gerakan lincah sekali. Pemuda ini maklum bahwa si kepala besar ini tidak hanya besar kepala dan lebar mulut, akan tetapi juga memiliki kepandaian yang tinggi. Ilmu tongkatnya ganas sekali, menyambar-nyambar amat cepatnya lagi kuat. Namun dengan ilmunya yang baru ia dapat menyalurkan hawa sakti di tubuhnya sedemikian rupa sehingga sekaligus ginkang-nya juga mengalami kemajuan pesat dan gerakannya menjadi amat ringan karenanya.
Dengan gesit bagaikan seekor burung walet Bu Sin dapat berkelebatan di antara sinar tongkat. Hatinya girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa gadis jelita itu ternyata telah siuman dan sama sekali di luar dugaannya, gadis itu kiranya seorang yang berkepandaian tinggi pula. Hal ini menambah semangatnya dan dengan gerakan indah Bu Sin menyelinap di bawah sambaran tongkat, tangan kirinya menyambar ke atas, sedangkan tangan kanannya mengirim pukulan sambil melangkah lebar ke depan, kepalanya meluncur ke arah pusar lawan.
Melihat datangnya pukulan yang amat dahsyat ini, Tiat-kak-coa kaget dan cepat ia menggeser kaki ke kanan belakang. Akan tetapi kiranya pukulan dahsyat itu tidak dilanjutkan dan ternyata tangan kiri pemuda itulah yang betul-betul bekerja, yaitu pada saat Tiat-kak-coa sibuk menghindarkan diri dari pukulan tadi, cepat tangan kiri Bu Sin sudah mencengkeram tongkat lawan.
Tiat-kak-coa cepat menggerakkan tenaga membetot untuk merampas kembali tongkatnya, akan tetapi Bu Sin melangkah maju setindak dan mengirim tendangan maut ke bawah pusar. Tiada jalan lain bagi Tiat-kak-coa untuk menyelamatkan diri kecuali meloncat mundur dan untuk me­lakukan hal ini terpaksa ia melepaskan tongkatnya yang kini pindah ke tangan Bu Sin!
Akan tetapi pada saat itu tampak bayangan hitam menyambar turun dari angkasa seperti seekor naga hitam yang amat dahsyat, didahului oleh kesiur angin keras. Bu Sin kaget bukan main, sedetik mengira bahwa benda itu betul-betul seekor naga atau ular besar. Cepat ia menangkis atau menyabet dengan tongkat rampasannya.
“Dukkk!” pemuda ini melompat mundur, kaget setengah mati karena tongkat di tangannya hancur, tangannya pedas dan panas sekali. Sebelum ia tahu apa yang terjadi, dua jalan darahnya telah tertotok dan ia roboh tak dapat berkutik lagi. Kekagetannya bertambah ketika ia mengenal wajah kakek berambut riap-riapan yang mukanya mengerikan dengan mata buta sebelah, bukan lain It-gan Kai-ong!
Gadis jelita itu masih terdesak hebat oleh lawannya, namun ia selalu dapat mengelak sambaran pedang.
“Bocah tiada guna, minggir!” tiba-tiba terdengar seruan dan si juling itu terlempar seperti seekor kucing ditendang saja.
Gadis itu melihat bayangan orang berkelebat. Ia dapat melihat jelas dan kalau saja ia tidak sedang pening dan lemas agaknya ia akan dapat menghindarkan diri dengan ilmunya yang tinggi. Namun lawannya kini adalah seorang tokoh besar yang sakti, maka dalam sekejap mata saja gadis yang masih pening ini pun bernasib seperti Bu Sin, roboh oleh totokan tongkat kakek yang luar biasa.
“Huh, kalian ini tiga orang gentong kosong sungguh memalukan saja. Hayo bawa mereka dan ikuti aku!” kata It-gan Kai-ong.
Tiga orang pengemis itu dengan muka ketakutan cepat-cepat mengangkat tubuh Bu Sin dan gadis itu yang sudah tak dapat bergerak lagi, lalu mengikuti It-gan Kai-ong. Kakek pengemis mata satu yang sakti ini berjalan dengan terbungkuk-bungkuk menghampiri tengah tanah pekuburan itu, berhenti di depan sebuah kuburan kuno. Tongkatnya menotok pinggir batu nisan dan... tiba-tiba batu nisan itu terbuka.
It-gan Kai-ong memasuki lubang kuburan, diikuti tiga orang anak buahnya atau murid-muridnya yang agaknya baru pertama kali memasuki tempat menyeramkan ini sehingga mereka saling pandang dan kelihatan ngeri. Setelah mereka semua memasuki lubang terowongan di bawah tanah, batu nisan itu tertutup kembali dari dalam. Kuburan itu menjadi sunyi kembali dan tak seorang pun manusia akan dapat menyangka bahwa kuburan kuno ini merupakan pintu terowongan jalan rahasia di bawah tanah.
Bu Sin dan gadis itu merasa terheran-heran akan tetapi juga ngeri. Terowongan di bawah tanah itu kiranya menembus di daerah pegunungan yang banyak terdapat gua-gua besar dan mereka akhirnya dibawa ke sebuah ruangan bawah tanah yang luasnya lebih dari lima meter persegi, Bu Sin dilempar ke sudut dan gadis itu tentu saja mendapat perlakukan yang lebih halus, diletakkan di atas lantai ruangan kosong itu. Di pinggir kiri, menempel dinding, terdapat sebuah meja besar yang penuh dengan panci berisi roti kering dan beberapa guci terisi arak dan air.
“Kalian jaga baik-baik di luar, jangan biarkan seorang pun memasuki ruangan ini. Awasi nona ini, sekali-kali tidak boleh diganggu. Tahu?” Terdengar It-gan Kai-ong meninggalkan pesan kepada anak buahnya ketika mereka meninggalkan ruangan itu.
Sunyi di ruangan bawah tanah. Bu Sin melihat gadis cantik itu masih terlentang di tengah ruangan, sedangkan dia rebah miring di sudut. Cepat ia mengatur pernapasan seperti yang ia pelajari dari kakek tua. Hawa murni mengalir di dalam tubuhnya dan setelah mencoba-coba, akhirnya hawa Im-kang dapat mengusir pengaruh totokan yang berdasarkan hawa panas. Perlahan-lahan jalan darahnya mengalir kembali. Ia segera bangkit duduk bersila dan melanjutkan usahanya memulihkan tenaga. Akan tetapi ketika ia membuka mata dan melompat berdiri, ia melihat gadis jelita itu pun sudah duduk bersiulian. Kagumlah ia, maklum bahwa gadis itu pun seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Gerakannya terdengar oleh gadis itu yang segera bangkit pula. Mereka berpandangan, gadis itu tersenyum manis dan dengan suara ramah dan halus ia berkata, “Terima kasih atas pertolonganmu....”
“Ah, tak perlu dibicarakan, Nona. Buktinya aku tidak dapat menolongmu, malah kita berdua sekarang pun entah bagaimana agar dapat membebaskan diri.”
“Yang kunilai bukanlah hasilnya, melainkan sifat dari pada perbuatan. Kau telah menolongku dan karenanya, berhasil mau pun tidak, aku amat berterima kasih kepadamu. Bolehkah aku mengetahui siapa nama dan julukan saudara dan saudara ini seorang tamu dari golongan mana?”
Bu Sin tidak menjawab karena dia sedang bengong melihat wajah jelita, terutama bibir manis yang bergerak-gerak, seakan-akan ia bergantung kepada bibir itu.
“Eh, bagaimana ini? Harap kau jawab pertanyaanku.”
“Ehhhhh... ap... apa...?” Bu Sin tergagap, mukanya menjadi merah sekali karena ia sadar akan sikapnya yang linglung.
Gadis itu tersenyum lebar. Deretan gigi yang putih bagaimana butir-butir mutiara tersusun rapi berkilau menyambarnya, menyilaukan mata menggetarkan hati, sepasang mata yang bersinar-sinar dan lincah menambah kencang degup jantung, tak kuasa lagi Bu Sin menyentuh dadanya yang dirasa seperti hendak meletup.
“Kau pelamun benar. Aku bertanya, siapakah saudara ini, siapa nama dan julukan yang mulia dan termasuk tamu dari golongan terhormat yang mana?”
“Oh... aku... namaku Kam Bu Sin, aku... seperti yang Nona lihat sendiri, aku bukan tamu, aku... aku masuk ke sini bukan atas kehendakku, aku tawanan bukan tamu dan tentang julukan dan golongan, aku tidak punya julukan, juga tidak mempunyai teman-teman seperjalanan kalau itu yang Nona maksudkan....”
Bu Sin berhenti bicara karena melihat betapa wajah yang manis itu kini menatapnya dengan mata bintang terbelalak dan mulut mungil agak terpentang. Aduh, bukan main manisnya, bisik hati Bu Sin.
“Kau... namamu Kam Bu Sin? Putera mendiang Jenderal Kam Si Ek?”
Kini giliran Bu Sin yang melengak kaget dan heran. “Nona, bagaimana kau bisa tahu? Kenalkah kau dengan mendiang Ayah?”
Gadis itu tersenyum lagi dan kini wajahnya berubah girang. “Wah, kalau begitu, kita bukanlah orang lain! Kita masih ada hubungan... eh, pertalian keluarga, biar pun amat jauh. Kau masih terhitung... keponakanku!” Begitu terbuka dan jujur sikap gadis itu, mendatangkan rasa segar nyaman dalam hati Bu Sin yang tanpa disadarinya telah tertikam panah asmara yang berbisa!
“Ah, tidak mungkin!” tanpa disengaja Bu Sin meneriakkan sangkalan karena tiba-tiba ia merasa kecewa mendengar bahwa ia adalah keponakan dara jelita ini! “Maaf, Nona, mana mungkin kau menjadi... bibiku sedangkan usiamu paling banyak tentu baru dua puluh tahun?”
“Sembilan belas!” dara itu menjawab cepat, seakan-akan khawatir kalau dugaan tentang usia itu akan cepat membuatnya menjadi tua.
“Nah, sembilan belas malah! Aku yang sudah berusia dua puluh satu tahun, mana bisa menjadi keponakanmu?”
Dara itu tertawa kecil sambil menutupi mulut dengan tangan kiri, geli hatinya menyaksikan sikap terheran-heran dan bersitegang, dari pemuda itu. “Keponakanku yang baik, dengarlah penjelasan bibimu. Aku mempunyai seorang keponakan, dan Ayahmu adalah ayah keponakanku itu, sedangkan ibu dari keponakanku itu adalah anak dari kakak Ayahku. Nah, kau yang tingkat susunan keluarganya sama dengan keponakanku, bukankah kau ini juga keponakanku dan aku bibimu?”
Pening kepala Bu Sin mendengar penjelasan yang tidak jelas itu. “Mana bisa? Kalau Ayahku juga menjadi ayah keponakanmu, tentu keponakanmu itu Eng-moi atau...” Tiba-tiba wajah Bu Sin berubah dan ia menatap tajam. “Nona, apakah keponakanmu itu bernama Kam Bu Song?”
Nona itu mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Siapa lagi kalau bukan dia?”
Dapat dibayangkan betapa kaget, heran dan girangnya hati Bu Sin mendengar ucapan ini. Sudah berbulan-bulan lamanya ia mencari-cari kakaknya ini, dan karena mencari kakak tirinya itulah, di samping menyelidiki tentang musuh besar yang membunuh orang tuanya, ia sampai di tempat ini, bersama kedua orang adiknya mengalami suka duka dan terancam maut dan malapetaka, bahkan sampai saat itu pun ia berpisah dari kedua orang adiknya. Maka dapat dibayangkan betapa gembiranya mendengar itu. Diluapkan oleh rasa gembira yang meledak di dalam hatinya, ia melangkah maju, memegang kedua pundak nona itu, mengguncang-guncangnya perlahan sambil berkata penuh gairah.
“Di mana dia? Di mana kakakku itu? Mana Kakak Kam Bu Song?”
Mula-mula gadis itu mengerutkan alisnya melihat perbuatan ini, tubuhnya terguncang-guncang, wajahnya, terutama di kedua pipinya, menjadi merah sekali. Akan tetapi dengan pandang mata maklum dan bibir manis tersenyum ia berkata, malah setengah menggoda. “Kau perintah siapa? Mohon kepada bibimu ini dengan hormat, baru aku mau bicara!”
Mendengar ini Bu Sin sadar dan cepat-cepat ia melepaskan kedua tangannya, wajahnya juga menjadi merah dan ia cepat-cepat memberi hormat. “Maaf... maklumlah, selamanya aku belum pernah bertemu dengan Kakak Kam Bu Song dan justru kepergianku dari kampung halaman adalah untuk mencarinya. Maka, mendengar bahwa dia itu keponakanmu... aku mengharapkan dapat bertemu dengannya.”
“Sebut dulu bibi, dia itu keponakanku dan kau yang menjadi adik tirinya berarti keponakanku juga.”
Bu Sin maklum bahwa gadis ini tidak mengejek atau menghina, hanya menggodanya, maka ia tidak marah. “Nona, kau lebih muda dariku. Biar pun Kakak Bu Song adalah keponakanmu, akan tetapi karena yang menjadi keluargamu adalah ibunya sedangkan aku bukan apa-apa, maka tak berani aku menganggap kau sebagai bibi. Karena kau lebih muda, kusebut kau adik saja, bagaimana?” Ia tersenyum dan memandang tajam.
Gadis itu pun memandang, dua pasang mata bertemu pandang dan keduanya merasa jengah di samping jantung berdebar tidak karuan, “Kalau begitu, aku akan menyebutmu koko, Bu Sin Koko.”
Bu Sin tertawa. “Adikku yang manis, enak saja kau ini, menyebut-nyebut namaku sedangkan aku sama sekali belum mengetahui namamu.”
“Aku she Liu, namaku Hwee. Ayahku adalah ketua Beng-kauw....”
“Ah, benar-benar aku lancang dan kurang ajar! Maaf kalau aku berlaku kurang hormat karena tidak tahu, kiranya Nona adalah puteri Beng-kauwcu yang terhormat dan....”
“Hishhh, apa-apaan ini? Bu Sin Koko, kau tadi menyebut adik sekarang tiada hujan tiada angin berbalik menjadi nona-nonaan dan bicara sungkan-sungkanan. Apakah kau tidak suka bersahabat denganku?”
“Ti... tidak begitu, tapi kau...”
“Sudahlah. Mari kita duduk dan bicara yang enak. Agaknya It-gan Kai-ong si Iblis jembel itu cukup menghormat kita sehingga di sini tersedia makan minum dan bangku untuk duduk.”
Keduanya duduk dan sekarang Bu Sin tidak heran mengapa gadis begini muda sudah amat lihai dan sikapnya demikian tabah dan tidak pemalu. Kiranya puteri ketua Beng­kauw! Mengertilah pula ia mengapa dara ini menyebut kakaknya sebagai keponakan. Ia sudah mendengar bahwa ketua Beng-kauw yang sekarang adalah adik dari mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, kakek dari kakak tirinya itu.
“Hwee-moi, aku mendengar bahwa Beng-kauw mengadakan perayaan. Bagaimanakah kau sebagai puteri Beng-kauw malah berada di sini dan menjadi tawanan It-gan Kai-ong? Kita sekarang ini berada di mana?”
“Bagus, Bu Sin Koko, Ini barulah namanya sikap jantan, tidak seperti tadi kau ribut tentang kakak tirimu, sama sekali tidak mempedulikan keadaanku atau keadaanmu sendiri yang menjadi tawanan orang! Ketahuiah bahwa kita berada di wilayah Nan-cao, dan tempat ini adalah teworongan rahasia di bawah tanah kuburan keluarga kami....”
“Tapi, bagaimana It-gan Kai-ong....”
“Sabar dan dengarlah penuturanku. Dia itu menjadi tamu kami juga. Memang terjadi hal-hal aneh dalam perayaan di kota raja dan agaknya ada komplotan gelap di antara para tamu untuk melakukan pengacauan, mungkin juga untuk mengadu domba antara para tokoh yang hadir sebagai tamu. Aku dan keponakanku...”
“Kau maksudkan Kakak Bu Song...?”
Liu Hwee mengangguk. “Aku dan dia dapat menduga hal buruk itu, maka kami berdua menyelidiki dan membagi tugas. Untuk mengawasi tokoh-tokoh iblis yang mau mengacau, tiada yang lebih tepat kecuali dia....”
“Wah, dia hadir juga dan dia... dia juga lihai seperti kau, Hwee-moi?”
Liu Hwee membelalakkan matanya lalu tertawa merdu. “Hi-hik. Pertanyaan aneh sekali ini. Dia selihai aku? Tentu saja tidak! Maksudku... aku tidak selihai dia! Nah, kami berdua lalu melakukan penyelidikan atas terjadinya beberapa hal yang aneh dan mencurigakan.”
“Hal apakah yang terjadi dalam pesta perayaan itu?”
“Hal-hal yang memanaskan hati dan yang besar sekali bahayanya bagi persatuan antara kerajaan. Kau tahu, banyak kami menerima sumbangan-sumbangan yang amat berharga dari kerajaan-kerajaan lain. Dari Kerajaan Sung di utara saja kami menerima sepeti penuh emas permata yang dibawa oleh seorang panglima tua istana. Belum dari kerajaan-kerajaan lain. Akan tetapi, ketika secara iseng-iseng aku memeriksa isi peti, kiranya emas dan permata hanya sebagai lapisan di atas saja, sedangkan di bawahnya hanya batu-batu sungai yang tidak berharga!”
“Wah, alangkah menghinanya Kaisar Sung!”
“Bukan demikian. Isi peti itu memang diganti orang, dan panglima tua itu sendiri pun tidak tahu sama sekali. Hanya orang sakti yang mampu melakukan hal itu dan agaknya jelas maksudnya yaitu selain mengambil barang berharga, juga memancing keributan dan permusuhan antara Nan-cao dan Kerajaan Sung.”
“Hemmm, dan para tamu tahu akan hal itu?”
“Tidak. Memang Ayah menghendaki supaya hal itu dirahasiakan, lalu diam-diam kami mengadakan penyelidikan untuk menangkap pencurinya. Akan tetapi, hal itu tidaklah mudah. Banyak tokoh yang hadir. Tiga diantara Thian-te Liok-koai hadir, yaitu It-gan Kai-ong, Siang-mou Sin-ni..., eh kau kenapa?”
Tentu saja Liu Hwee kaget melihat perubahan muka pemuda itu. Muka yang tampan itu tiba-tiba menjadi pucat, matanya bersinar dan kelihatannya marah sekali. Memang Bu Sin amat marah mendengar disebutnya Siang-mou Sin-ni, akan tetapi cepat ia dapat mengendalikan perasaannya.
“Tidak apa-apa, hanya aku mendengar mereka itu orang-orang jahat sekali...”
“Memang jahat seperti iblis, maka disebut Enam Iblis. Seorang lagi adalah Tok-sim Lo-tong yang menjijikkan. Tiga tokoh iblis yang lain tidak hadir, akan tetapi kami tahu bahwa Hek-giam-lo secara sembunyi juga datang dan belum muncul, juga Toat-beng Koai-jin, mereka berdua hadir secara sembunyi. Tentang tokoh-tokoh yang lima itu, tak seorang pun boleh dipercaya, tapi....”
“Bagaimana dengan tokoh ke enam? Aku pernah mendengar julukannya Cui-beng-kui (Setan Pengejar Roh), apakah dia hadir pula?”
Lim Hwee termenung sejenak. “Tentang dia... mungkin dia hadir pula, tapi tentu saja keadaannya tidak mengijinkan ia muncul di depan orang banyak. Kukatakan tadi, di antara lima tokoh iblis itu, tak ada yang dapat dipercaya dan mungkin saja seorang di antara mereka yang melakukan perbuatan itu. Aku mendengar bahwa Siang-mou Sin-ni bekerja untuk Kerajaan Hou-han. Hek-giam-lo terang adalah orang Khitan, sedangkan It-gan Kai-ong itu kalau tidak salah diam-diam bekerja untuk Kerajaan Wu-yue, maka kalau seorang di antara mereka bertiga ini yang melakukannya, tentu mempunyai dasar politik mengadu domba antara kami dengan Kerajaan Sung. Akan tetapi kalau tokoh lain, entahlah. Yang membikin bingung, di sana hadir pula tokoh-tokoh aneh seperti Gan-lopek, juga menurut kakak tirimu, Kim-lun Seng-jin yang biasanya tak pernah turun gunung itu pun datang pula. Kami curiga bahwa agaknya pertemuan dalam pesta kami itu akan mereka pergunakan untuk berlomba mencari keunggulan dalam kedudukan di dunia persilatan, karena kabarnya di antara mereka ada yang telah mewarisi ilmu dari kakek sakti Bu Kek Siansu. Bu Sin Koko, apakah kau bingung dan jemu mendengarkan penuturanku?”
“Ah, tidak... tidak, aku tertarik sekali. Tokoh-tokoh sakti dalam dunia persilatan itu pernah aku mendengarnya. Aku pernah mendengar bahwa masih ada seorang tokoh sakti lagi yang tak kalah ternamanya, yaitu yang berjuluk Suling Emas....”
“Wah, Koko! Kau ini apakah hendak main-main?” Dara itu melirik ke atas dan bersungut-sungut seorang diri. “... hemmm, dia bilang pernah mendengar nama Suling Emas... apakah tidak gila ini...?”
“Hwee-moi, apa maksudmu? Aku tidak main-main. Apakah kau belum pernah mendengar nama Suling Emas? Kurasa dia akan hadir pula kalau memang orang-orang sakti dari semua penjuru hadir dan....”
“Sin-koko, benar-benarkah kau tidak tahu? Wah, tak tahu lagi aku apa yang lebih aneh dan lucu dari pada ini....”
“Maksudmu?”
“Keponakanku itu, kakak tirimu Kam Bu Song itu kebetulan mempunyai julukan Suling Emas...!”
Bu Sin melompat dari tempat duduknya, matanya terbelalak lebar, keheranan memenuhi dada dan kepalanya. “Kau bilang Kakak Bu Song itu Suling Emas? Jadi dia itu kakak kami sendiri...? Wah, pantas, pantas... dia selalu menolong kami! Ah, memang patut ditampar kepalaku, Hwee-moi, wah, aku benar-benar goblok. Ha-ha-ha-ha!” Bu Sin tertawa-tawa girang, bergelak sambil menampari kepalanya sendiri. “Ha-ha-ha, benar! Dia selalu berpakaian sebagai seorang pelajar! Wah, kakakku demikian gagah perkasa... ah, alangkah akan girangnya hati Ayah kalau mengetahul hal itu... sayang, Ayah... takkan pernah tahu...” Dengan kepalan tangannya, pemuda yang ditusuk rasa haru ini menghapus dua titik air mata dari pelupuk matanya.
Sadar akan keadaannya yang tidak sewajarnya itu, Bu Sin memandang kepada Liu Hwee sambil tersenyum malu. “Maaf Hwee-moi, aku telah memperlihatkan sikap lemah sekali. Kau harus tahu, selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan kakakku itu, dan yang lebih hebat lagi, dahulu kami bertiga kakak beradik malah menyangka bahwa Suling Emas adalah pembunuh ayah bunda kami. Karena hendak mencari Kakak Bu Song dan mencari musuh besar kami, maka hari ini aku bisa berada di sini. Siapa tahu dan siapa sangka, orang yang kami sangka membunuh orang tua kami itu malah kakak sulung kami!”
Liu Hwee menarik napas paniang. “Kau tidak lemah, Sin-koko. Memang kehidupan Suling Emas semenjak kecilnya telah diselubungi banyak rahasia yang kadang-kadang membingungkan. Bahkan aku sendiri tidak tahu sejelasnya, juga Ayahku tidak tahu. Kau tahu, ibunya, yaitu Cici Liu Sian, sampai kini pun tidak ada orang tahu, hanya dapat men­duga-duga, namun tak pernah aku atau Ayah dapat menjumpainya. Aneh, memang aneh sekali enci misanku itu, juga puteranya aneh.”
“Pertemuanku denganmu benar-benar mendatangkan rasa bahagia karena rahasia kakakku telah dapat kuketahui, Adik Liu Hwee. Sayang bahwa kebahagiaan itu kiranya takkan dapat berlangsung terus. Bagaimana aku akan dapat bertemu dengan kakakku itu kalau sekarang kita berada dalam tahanan di bawah tanah dan tidak ada jalan ke luar? Ah, dasar aku yang tidak becus, tidak berhasil menyelamatkanmu, malah aku sendiri tertawan. Hwee-moi, kau yang berkepandaian tinggi, bagaimana kau sampai dapat ditawan pengemis-pengemis itu dan dimasukkan dalam karung dalam keadaan pingsan?”
“Belum kuceritakan hal itu kepadamu. Tadi telah kuceritakan bahwa aku dan Suling Emas melakukan penyelidikan. Tentu saja kami berpencar dan Suling Emas bertugas menyelidiki para tamu yang termasuk tokoh-tokoh tinggi, sedangkan aku menyelidiki ke tempat para tamu yang rendahan. Ketika aku tiba di ujung tempat-tempat pemondokan para tamu rombongan dari Kerajaan Sung, aku melihat dua orang pengemis yang mengempit tubuh dua orang pula sedang melarikan diri. Aku tertarik sekali, mengira bahwa mereka tentu melakukan kejahatan. Karena mereka berada di negeriku, aku harus mencegah orang berbuat kejahatan, maka aku lalu mengejar mereka. Setelah tiba di dalam sebuah hutan, tiba-tiba dua orang itu melepaskan orang-orang yang dikempitnya dan... ternyata dua orang yang dikempit tadi tidak apa-apa, malah juga berpakaian pengemis dan tertawa-tawa, lalu empat orang itu mengeroyokku! Mereka tidak menjawab pertanyaan-pertanyaanku, dan melihat betapa serangan-serangan mereka tidak ditujukan untuk membunuh, aku lalu menduga bahwa mereka bermaksud menculikku. Akan tetapi dengan cambukku di tangan, dengan mudah aku mendesak mereka bertiga, malah berhasil merobohkan seorang di antara mereka. Pada saat aku sudah mendesak hebat dan takkan lama lagi mereka tentu akan roboh seorang demi seorang, muncullah It-gan Kai-ong! Aku melawan sampai seratus jurus lebih, akan tetapi dia bukan tandinganku, terlampau kuat. Akhirnya aku roboh pingsan dan selanjutnya kau menolongku.”
“Agaknya mereka itu memang hendak menculikmu, Hwee-moi. Apakah kehendak mereka?”
“Mungkin karena kecurigaanku, atau mungkin juga karena It-gan Kai-ong hendak mempergunakan aku sebagai jaminan. Akan tetapi dia tidak mungkin berani menggangguku, karena sekali dia berani membunuhku, dia akan berhadapan dengan Ayah dan seluruh warga Beng-kauw. Kalau terjadi demikian, biar di dunia ini ada seratus It-gan Kai-ong, mereka akan dibasmi semua!”
“Atau dia mempunyai rencana yang amat jahat! Ah, Moi-moi, kalau saja kita bisa keluar dari sini dan mendapat bantuan Kakak Bu Song....” Bu Sin lalu berjalan memeriksa ruangan itu. Akan tetapi segera ia mendapat kenyataan bahwa tak mungkin keluar dari tempat itu. Ruangan ini tertutup semua oleh dinding batu karang yang amat kuat, ada pun pintu satu-satunya adalah pintu terbuat dari pada besi yang agaknya dipalang dari luar sehingga tak mungkin dibuka dari sebelah dalam.
“Sin-koko, tak usah dicari jalan ke luar, tempat ini memang dahulu dipergunakan untuk tempat tahanan tawanan penting dan rahasia. Hanya ada satu cara....”
“Bagaimana caranya? Adik Liu Hwee yang baik, lekas katakan dan mari kita segera keluar dari sini!”
“Kita makan dan minum dulu sampai kenyang. Perutku lapar dan kita perlu memulihkan tenaga untuk menghadapi terjangan ke luar.” Gadis itu lalu meraih panci dan memilih roti, menawarkannya kepada Bu Sin yang ragu-ragu untuk makan roti itu. Akan tetapi ia melihat Liu Hwee menggigit roti dengan enaknya dan mendengar gadis itu kemudian berkata, “Tak usah khawatir, roti dan arak serta air ini tidak beracun.”
Bu Sin tersenyum dan ia pun segera makan roti itu. Karena selama ini ia hanya makan buah-buah saja, maka roti sederhana itu terasa enak sekali. “Bagaimana kau bisa begitu yakin bahwa makanan dan minuman ini tidak beracun?”
“Mudah saja. Kalau lawan hendak membunuh kita, apa sukarnya? Masa harus bersusah payah menaruh racun pada makanan atau minuman yang belum tentu kita sentuh?”
Bu Sin mengangguk-angguk dan diam-diam ia memuji kecerdikan dan ketenangan dara muda itu. Setelah mereka kenyang mengisi perut, Bu Sin yang sudah tidak sabar bertanya. “Bagaimana caranya supaya kita dapat keluar dari neraka ini?”
Liu Hwee tersenyum. “Neraka? Aku sama sekali tidak merasa berada di dalam neraka, Sin-ko. Senang malah di sini seperti ini.”
Tiba-tiba jantung Bu Sin berdegupan keras. Gadis jelita ini senang berada di situ bersama dia? Tentu karena ada dia, masa kalau sendiri merasa senang di tempat seperti itu? Tak mungkin.
“Adikku yang baik. Aku pun merasa senang sekali karena ada engkau bersamaku di sini, akan tetapi alangkah lebih menyenangkan sekali kalau kita berada di luar tempat tahanan.”
Liu Hwee mengangkat muka memandang tajam. Kembali mereka saling berpandangan. Biar pun mulut mereka tidak mengeluarkan suara di saat itu, namun pancaran kasih terbawa sinar mata tampak nyata dan terasa oleh kedua pihak sehingga kembali kulit pipi menjadi merah sendiri dan keduanya untuk sejenak merenggut pandang mata yang saling peluk.
“Ruangan ini tidak mempunyai jalan ke luar lain kecuali pintu itu. Pintu terkunci dan di luar pintu tentu dijaga. Kita tidak bersenjata, akan tetapi kalau tidak ada It-gan Kai-ong di situ, kita tidak perlu khawatir. Kalau sudah keluar dari ruangan ini, aku mengenal jalan-jalan rahasia di dalam terowongan ini yang belum tentu dikenal pula oleh mereka.”
“Kalau begitu, bagaimana kita bisa keluar dari ruangan ini?”
“Kau seranglah aku dan kita bertempur mati-matian, saling serang, akan tetapi jangan ragu-ragu untuk memukul dan merobohkan aku....”
“Apa kau bilang? Mana bisa... apa artinya itu, Moi-moi?”
Melihat kebingungan pemuda itu, Liu Hwee merasa geli, juga besar hati karena pemuda yang telah membetot rasa kasihnya ini tentu saja bingung dan menolak untuk memukulnya roboh! “Hanya ada satu cara untuk memancing mereka membuka pintu ini, Koko. Kau tadi dengar sendiri betapa It-gan Kai-ong memesan supaya mereka tidak mengganggu aku, ini hanya berarti bahwa It-gan Kai-ong tidak menghendaki aku mengalami malapetaka atau terganggu di sini karena dia tidak berani menghadapi kemarahan Ayah dan Beng-kauw. Maka kalau mereka tahu kita bertempur, tentu mereka merasa khawatir kalau-kalau aku sampai celaka, apa lagi kalau mereka membuka pintu melihat kau memukul aku sampai roboh, tentu mereka menyerbu masuk untuk menghalangi maksudmu, atau untuk menolongku. Nah, saat itulah kita pergunakan untuk menerjang ke luar. Mengertikah engkau?”
Bu Sin mengangguk-angguk, tapi alisnya berkerut. “Tapi... Moi-moi, aku hanya akan memukul secara pura-pura saja dan kau lalu menggulingkan diri roboh. Mana bisa aku memukulmu sungguh-sungguh?”
Kembali Liu Hwee tersenyum senang. “Sin-koko, mereka itu bukanlah anak-anak atau orang-orang bodoh yang mudah kita bohongi atau kita tipu. Mereka itu adalah ahli-ahli sitat yang akan dapat melihat pukulan palsu atau tulen. Kau pukullah sungguh-sungguh, biar keras asal jangan kau pergunakan lweekang. Percayalah, hanya dengan cara itu usaha kita akan berhasil. Kau boleh pukul punggung kananku, akan kuberi lowongan sambil miringkan tubuh. Begitu pintu dibuka, kau desak aku dan aku mengelak sambil miringkan tubuh begini, dan... kau pukullah punggung kanan ini sampai aku terjungkal....” Sambil berkata demikian Liu Hwee memperlihatkan gerakannya. Bu Sin mengangguk-angguk tanda mengerti biar pun hatinya merasa tidak enak sekali.
Setelah mendengarkan petunjuk-petunjuk Liu Hwee, sepasang orang muda ini mulai berteriak-teriak, membuat gaduh dengan menyambitkan pecahan batu pada pintu, membentak dan berseru nyaring, pendeknya mereka membuat suara gaduh orang sedang bertempur hebat. Sampai lama mereka melakukan hal ini dan beberapa kali mereka menendang daun pintu.....
Lanjut ke jilid 16

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)