CINTA BERNODA DARAH : JILID-16


Akhirnya daun pintu bergerak perlahan. Liu Hwee memberi isyarat kepada Bu Sin dan sekarang keduanya bertempur sungguh-sungguh! Begitu bertanding, kagetlah Bu Sin karena dara jelita itu benar-benar hebat kepandaiannya. Pertemuan lengan membuat tubuhnya kesemutan, dan gerakan-gerakan Liu Hwee selain aneh juga amat cepatnya. Maklumlah ia bahwa dalam pertandingan sungguh-sungguh, ia bukan lawan gadis perkasa ini.
“Jahanam, berani kau mengganggu puteri Beng-kauwcu?” Liu Hwee berseru nyaring sambil memperhebat terjangannya.
“Nona manis, kalau tidak mau menyerah kepadaku lebih baik kau mampus!” teriak Bu Sin dengan kata-kata dibuat kurang ajar.
Daun pintu terbuka makin lebar dan kini tampak muka yang bopeng mengintai ke dalam. Kiranya itu adalah muka pengemis bopeng tadi. Agaknya mereka yang berada di luar masih menaruh curiga, maka si bopeng tidak segera membuka pintu melainkan mengintai ke dalam. Melihat itu, Bu Sin berseru keras dan melancarkan pukulan dengan jurus yang berbahaya, sambil mengerahkan sinkang yang ia pelajari dari kakek sakti. Ayunan tangannya mendatangkan siutan angin.
Liu Hwee mengeluarkan seruan kaget dan mengelak ke belakang sambil miringkan tubuh dan terhuyung-huyung karena kakinya tertumbuk batu. Saat itu dipergunakan oleh Bu Sin untuk mendesak maju dan pukulan tangan kirinya dengan tepat menghantam punggung kanan gadis jelita itu. Ia memukul dengan keras akan tetapi menyimpan tenaga lweekang, hanya mempergunakan gwakang atau tenaga kasar, yaitu tenaga gerakan otot.
“Bukkkkk...!” kepalannya mengenai sasaran yang lunak dan halus sehingga hatinya serasa ditusuk.
“Aduhhhh...!” Liu Hwee mengeluh, tubuhnya terlempar melayang ke belakang, menumbuk dinding batu dan terjungkal roboh.
Bu Sin sampai menjadi pucat mukanya. Masa pukulannya yang hanya dilakukan dengan kasar itu dapat membuat Liu Hwee terlempar sampai begitu hebat? Ia lupa akan permainan sandiwaranya, dengan hati penuh kegelisahan ia meloncat ke dekat Liu Hwee, menjatuhkan diri berlutut dan memeluk gadis itu, merangkulnya untuk memeriksa keadaannya.
“Setan kurang ajar, kau sudah bosan hidup!” teriak si muka bopeng yang sekarang membuka daun pintu dan menerjang masuk, diikuti si mata juling dan si kepala besar. Mereka bertiga menerjang Bu Sin dengan senjata mereka.
Akan tetapi Bu Sin sudah siap, cepat ia mengelak dengan gerakan gesit ke kiri dan bagaikan kilat menyambar kakinya sudah melayang, tepat memasuki rongga perut si juling.
“Ngekkk!” demikian si juling mengeluarkan suara tertahan, napasnya terengah-engah, matanya yang juling itu berputaran sebelum ia roboh pingsan.
Akan tetapi keadaan Bu Sin bukan tidak berbahaya karena ketika ia menendang tadi, dua orang lawan lagi menerjangnya dari kanan kiri. Kepandaian si bopeng dan si kepala besar itu cukup lihai. Golok si bopeng itu melayang ke arah leher kiri sehingga Tiat-kak-coa si kepala besar menusukkan tongkatnya ke arah iga kanan! Bu Sin terpaksa menggulingkan diri ke atas tanah, akan tetapi kedua orang lawannya mengejar terus. Dengan gerakan lincah Bu Sin sudah berhasil menyambar pedang yang tadi terjatuh dari tangan si juling. Pedang ini ia ayun menangkis golok, akan tetapi dalam keadaan masih telentang itu ia terancam tongkat Tiat-kak-coa.
“Blukkk! Aduhhhh...!” tiba-tiba Tiat-kak-coa terjungkal, dari kepalanya sebelah belakang mengucur kecap. Ia berkelojotan tak dapat bangkit lagi karena kepalanya sudah retak, disambar batu yang dilontarkan oleh Liu Hwee!
Dalam keadaan kaget dan khawatir, si bopeng tak sanggup menahan terjangan pedang di tangan Bu Sin dan pedang itu berhasil menusuk tembus bahu kanannya. Si bopeng berteriak kesakitan, goloknya terpental dan ia pun roboh mandi darah.
“Cepat, ikut aku!” Liu Hwee berbisik.
Dengan pedang rampasan di tangan, Bu Sin mengikuti gadis itu. Girang hatinya bahwa gadis itu ternyata tidak apa-apa. Mereka berlari-larian melalui lorong sempit dan tiba-tiba Liu Hwee berhenti.
“Ssttt, di depan pintu lorong penuh penjaga. Tak mungkin kita keluar dari situ.”
“Kita terjang saja, membuka jalan darah!” kata Bu Sin gagah.
“Sia-sia, apa lagi mungkin It-gan Kai-ong berada di sana. Aku tahu jalan rahasia. Mari...!” Gadis itu menyambar tangan kiri Bu Sin, ditariknya pemuda itu berlari memasuki cabang lorong yang sempit lagi gelap.
Berdebar jantung Bu Sin ketika tangannya merasai telapak tangan yang berkulit halus dan lunak. Tak terasa lagi ia menggenggam tangan kecil itu erat-erat dan serasa ada getaran di antara jari-jari mereka.
Kembali Liu Hwee berhenti tiba-tiba di bagian yang gelap, kemudian melepaskan tangannya dan berbisik. “Sin-ko, kau pegang batu yang kiri, aku yang kanan. Setelah kutekan alat rahasianya yang menghilangkan ganjal di belakangnya, kita tarik batu ke kanan kiri. Itu, batu yang menonjol, kau raba karena agak gelap.”
“Ah, inikah? Sudah siap, Moi-moi.”
Liu Hwee memasukkan lengannya yang kecil ke sebuah lubang yang terdapat dalam celah antara dua batu, mengerahkan tenaganya dan begitu ia menekan, terdengar suara berkeretakan di sebelah sana di balik dinding batu, “Nah mari mulai menarik. Geser batu itu ke kiri, Koko!”
Mereka menarik, seorang ke kiri, seorang lagi ke kanan. Setelah mengerahkan sinkang, barulah kedua batu itu bergerak menggelinding perlahan, membuka sebuah pintu!
“Cukup, lekas masuk!” Liu Hwee berbisik sambil menarik tangan Bu Sin.
Pintu itu hanya dapat dimasuki Bu Sin dengan tubuh miring. Setelah mereka masuk, Liu Hwee mendorong alat rahasia dan kedua batu besar itu menggelinding secara otomatis menutup pintu rahasia. Kiranya mereka berada di terowongan lain yang tiga kali lebih lebar, juga tidak gelap seperti tadi karena ada cabaya masuk ke dalamnya.
“Selamat!” bisik Liu Hwee sambil tersenyum. “Kau pandai sekali mainkan sandiwara kita, Sin-koko.”
Muka Bu Sin menjadi merah. “Ah, jangan mengejek, Moi-moi. Justru aku tadi telah membuka rahasia kita karena lupa diri melihat kau terlempar dan menumbuk batu. Kukira kau betul-betul terluka hebat, maka aku menjadi lupa dan hendak menolongmu....”
Wajah gadis itu berseri-seri. “Ah, begitukah? Kukira kau bersandiwara, karena sikapmu itu tepat sekali. Mungkin itu yang membuat mereka tadi percaya penuh bahwa kau betul-betul hendak... berbuat kurang ajar kepadaku. Kiranya kau tadi tidak bersandiwara... ah, kau baik sekali, Koko.”
“Sudahlah Moi-moi, pujian-pujianmu yang berlebihan bisa-bisa menerbangkan aku ke langit! Sekarang bagaimana kita dapat keluar?”
“Mari ikut aku. Pesanku, kalau kau melihat apa saja yang luar biasa, harap kau jangan mengeluarkan suara, biarkan aku yang bicara. Ini penting sekali, Koko, karena sekali kau salah bicara, nyawamu terancam maut dan aku sendiri tidak akan mampu berbuat apa-apa untuk menolongmu.”
Bu Sin kaget dan mengangguk-angguk. Sudah terlalu banyak ia mengalami hal-hal aneh mengerikan, dan tempat yang seram seperti ini tentu saja mempunyai rahasia-rahasia yang menyeramkan pula. Akan tetapi hatinya besar, apa lagi setelah ia merasakan kembali kehangatan, kehalusan dan kelunakan telapak tangan Liu Hwee yang menggandengnya. Lorong itu makin lama makin lebar, akan tetapi makin gelap dan akhirnya mereka tiba di bagian yang gelap sekali. Dari tekanan tangan Liu Hwee, Bu Sin dapat menduga bahwa mereka berada di tempat berbahaya.
Tiba-tiba tercium bau yang amat harum dan Liu Hwee menghentikan langkahnya, tangannya mencengkeram tangan Bu Sin erat-erat sehingga pemuda itu hampir saja berteriak kalau ia tidak segera ingat akan pesan gadis itu. Anehnya, Liu Hwee segera menariknya dan mengajaknya berlutut di atas tanah yang ternyata becek dan basah!
“Cici yang mulia, adikmu lancang mengganggu, mohon ampun!” kata Liu Hwee dengan suara aneh.
Hening sejenak, bau harum makin keras dan terdengarlah suara dari sudut yang gelap. “Siauw-moi, apa Ayahmu juga melarang kau main-main dengan pemuda tampan sehingga kau membawanya ke sini?”
Bu Sin diam-diam bergidik. Bau harum ini mengingatkan ia akan Siang-mou Sin-ni, serupa benar. Dan suara itu! Halus lembut dan merdu, akan tetapi mengandung sesuatu yang mengerikan, apa lagi kata-katanya begitu tak tahu malu!
“Tidak, Cici. Dia ini seorang tamu kita. Kami berdua ditawan It-gan Kai-ong di dalam terowongan sebelah. Untuk menyelamatkan diri, terpaksa aku mempergunakan pintu rahasia dan dengan lancang lewat di sini.”
“Hemmm, kau tahu siapa pun dia yang berani menggangguku di sini harus mati. Untukmu, aku masih bisa mengampuni, tapi dia ini!”
“Ampunkan dia, Cici. Bukan kehendaknya lewat di sini, melainkan aku yang mengajaknya karena dia telah menolongku dari tangan anak buah It-gan Kai-ong. Orang-orang seperti kita tidak bisa hidup senang sebelum membalas budi orang, bukan? Dia menolong nyawaku satu kali, aku pun harus menolongnya kembali dua kali. Kalau kau membunuhnya, lebih baik bunuh aku lebih dulu, Cici.”
Terdengar suara ketawa lembut, tapi yang membuat bulu tengkuk Bu Sin meremang. Hanya suaranya kalau berkata-kata yang berbeda, akan tetapi harumnya dan ketawanya serupa benar dengan Siang-mou Sin-ni!
“Aku tidak bisa melihatnya jelas, tapi dia terang tampan dan muda. Tak bisa aku mengambil keputusan sebelum memeriksa dia orang apa!” Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan bau harum menyengat hidung.
Bu Sin kaget setengah mati ketika merasa betapa pipi dan dagunya diraba tangan yang halus sekali, juga leher dan kedua pundaknya disentuh orang yang tidak tampak! Hatinya lega bukan main ketika tangan yang meraba-raba itu lenyap kembali dan terdengar suara yang tadi.
“Tampan dan muda, juga gagah. Tapi sayang, dia lemah. Tak patut menjadi mantu Beng-kauwcu!”
“Cici...!” Liu Hwee memprotes.
“Cerewet! Aku tidak buta, aku tahu kau mencinta pemuda ini, Siauw-moi! Tapi dia tidak patut menjadi mantu Beng-kauwcu, kecuali kalau dia ini anak kaisar atau anak ketua partai persilatan yang besar. Dia orang apa, Siauw-moi?”
Bukan main mendongkolnya hati Bu Sin. Ia merasa bahwa siapa pun juga adanya wanita iblis itu, bicaranya keterlaluan dan amat menghina Liu Hwee. Sudah gatal-gatal mulut dan lidahnya untuk mendamprat, dan hal ini pasti telah ia lakukan kalau saja ia tidak merasa betapa jari-jari tangan Liu Hwee mencengkeram tangannya dengan erat.
“Dia orang biasa saja, Cici.”
“Hemmm, adikku mencinta laki-laki biasa? Cih, mana bisa?”
“Cici yang mulia, cinta tidak mengenal kedudukan, tidak mengenal derajat mau pun tingkat, tidak mengenal kaya miskin, bahkan ada kalanya tidak mengenal usia. Cici sendiri sudah mengalaminya, mana ada aturan melarang orang lain?”
“Sudah, sudah...! Kau cerewet seperti Ibumu! Kau hendak menyerang dengan senjataku sendiri, ya? Cerewet! Pergi! Bawa kekasihmu ini pergi sebelum aku membikin bolong-bolong yang bagus di kepalanya!”
“Terima kasih, Cici, selamat tinggal,” kata Liu Hwee yang cepat bangkit, menarik tangan Bu Sin dan setengah menyeret pemuda itu pergi dari situ melalui lorong gelap tanpa mengeluarkan suara.
Ada seperempat jam mereka lari dan akhirnya mereka muncul keluar dari sebuah goa yang tertutup rapat oleh alang-alang di sebuah hutan kecil! Setelah melompat ke luar, barulah Liu Hwee melepaskan tangan Bu Sin dan... ia menjatuhkan diri ke atas rumput sambil menangis, menutupi mukanya dengan kedua tangan, terisak-isak dan pundaknya bergoyang-goyang!
Kagetlah Bu Sin. Cepat ia berlutut di dekat Liu Hwee, “Moi-moi, ada apakah? Mengapa kau menangis?”
Dengan megap-megap gadis itu berkata di antara sedu-sedan, “Aku malu... aku malu setengah mati....”
Perlahan Bu Sin bangkit berdiri. “Memang kurang ajar dia! Menghinamu sesuka hatinya. Biar kuhajar dia, Moi-moi!” Cepat Bu Sin melompat memasuki goa itu.
“Sin-koko, jangan...!” Liu Hwee kaget, berteriak dan melompat bangun.
Akan tetapi ia terlambat mencegah. Tiba-tiba terdengar suara gaduh, tubuh Bu Sin melayang ke luar dari dalam goa. Jatuh berdebuk di depan kaki Liu Hwee bersama pedang rampasannya yang kini sudah patah menjadi tiga potong!
“Hi-hi-hik, sedikitnya kekasihmu bernyali juga. Selamat, Siauw-moi!” suara ini halus sekali, sekejap tecium bau harum akan tetapi segera lenyap lagi.
“Sin-ko...” Liu Hwee berlutut dan merangkul pundak Bu Sin yang merintih perlahan, “Cici! Kalau kau bunuh dia, aku akan mengadu nyawa denganmu!” teriaknya nyaring, akan tetapi tidak ada jawaban kecuali rintihan Bu Sin.
Tak lama kemudian pemuda itu membuka mata dan Liu Hwee merasa lega ketika memeriksa ternyata pemuda itu tidak terluka berat, hanya pingsan karena terbanting keras. Bu Sin membuka mata, melihat betapa Liu Hwee merangkulnya, pipinya menjadi merah sekali dan cepat ia bangkit.
“Waaahhhhh... bukan main... aku menusuknya, pedangku malah patah-patah dan sekali ia mendorong aku terlempar melayang ke luar goa dan tidak ingat apa-apa lagi. Sakti luar biasa dia. Siapakah dia itu Moi-moi? Kau menyebutnya Cici...,” tiba-tiba Bu Sin berhenti bicara dan mukanya pucat. “Dia kau sebut Cici... kalau begitu... dia itu....” Ia tidak melanjutkan kata-katanya, akan tetapi pandang matanya bicara banyak dan dapat dimengerti oleh Liu Hwee yang mengangguk-angguk.
“Betul. Sin-koko, dia adalah Enci Liu Sian ibu kakakmu Bu Song....”
“Dia Tok-siauw-kui (Setan Racun Cilik)... ibu tiriku....”
“Sssttttt, sudahlah. Aku pesan padamu, pertemuan ini tidak sekali-kali boleh kau ceritakan kepada siapa pun juga. Ingat, sekali kau melanggar, nyawa kita berdua sukar diselamatkan lagi. Mari kita pergi ke kota raja. Entah apa yang terjadi di sana!”
********************
Memang banyak hal luar biasa terjadi di kota raja Nan-cao. Pesta yang dirayakan selama tiga hari itu ternyata diisi dengan kejadian hebat dan seakan-akan pesta perayaan Beng-kauw itu menjadi pusat pertentangan dan adu ilmu.
Apa lagi dengan munculnya bahaya baru yang mengancam ketenangan pesta itu, yaitu Lin Lin. Gadis ini sekarang telah berubah menjadi seorang Puteri Kerajaan Khitan yang berpengaruh dan ditaati perintahnya oleh orang-orang pandai. Dan menurutkan wataknya yang aneh di samping kecerdikannya mencari alasan agar ia jangan dibawa secara paksa ke Khitan, Lin Lin bisa menjadi seorang gadis yang akan menimbulkan geger di Nan-cao!
Telah dituturkan di bagian depan betapa Lin Lin dengan Pedang Besi Kuning telah berhasil menundukkan Pak-sin-tung si kakek buntung yang lihai, sute dari Hek-giam-lo. Dara cerdik itu kini bersama Pak-sin-tung kembali ke dalam kota raja, diiringkan dua puluh empat orang-orang pilihan dari Khitan secara sembunyi. Hari sudah mulai gelap ketika ia memasuki kota dan ia tidak membuang waktu lagi, terus mengajak Pak-sin-tung mencari tempat kediaman Suma Boan. Cepat sekali tempat ini dapat dicari atas bantuan kedua puluh empat orang yang dapat bekerja cepat itu.
Pada saat itu, Suma Boan sedang berada di dalam kamar pondoknya, pondok darurat yang cukup mewah. Sebagai seorang putera pangeran, apa lagi seorang putera pangeran Kerajaan Sung, pemuda ini mendapatkan tempat terhormat dan sebuah pondok berkamar satu untuk dirinya sendiri. Ia masih merasa mendongkol karena siang tadi ia telah dibikin malu oleh Gan-lopek. Awas kakek gila itu, pikirnya, berani membikin malu kepadanya di depan tuan rumah dan para tamu. Besok diadakan upacara sembahyang mendiang ketua Beng-kauwcu, dia akan mencari akal untuk membalas penghinaan itu. Sampai sekarang, semua rencananya berjalan dengan baik.
Biar pun ia seorang pemuda bangsawan, akan tetapi tidak seperti putera-putera bangsawan lain, Suma Boan tak pernah diikuti oleh pelayan-pelayan atau pengawal-pengawal. Hal ini adalah karena biar pun seorang bangsawan, dia adalah seorang pemuda ahli silat yang sering kali merantau di dunia kang-ouw, malah boleh dibilang seorang tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi, maka ia tidak suka akan segala ikatan dan pelayanan orang-orang lemah. Kali ini pun ia berada di pondok seorang diri, sama sekali tidak ada penjagaan di sekeliling pondoknya.
Ia mempunyai banyak pembantu dan kaki tangan, akan tetapi pada saat itu mereka semua telah pergi menjalankan tugas masing-masing atas perintah Suma-kongcu.
“Tok-tok-tok...!”
“Siapa...?” tanya Suma Boan, terkejut dan heran karena semua anak buahnya tidak akan berani mengetuk pintu depan seperti itu.
“Suma-kongcu, aku datang mau bicara penting!” terdengar suara halus seorang wanita.
Suma-kongcu adalah seorang pemuda mata keranjang dan dalam keadaan biasa suara panggilan seorang wanita yang demikian merdu dan halus tentu akan mendebarkan jantungnya serta menimbulkan gairahnya. Akan tetapi di samping kelemahannya ini, ia pun seorang yang amat cerdik. Ia maklum bahwa pada saat itu dan di tempat itu banyak terdapat musuh berkumpul di Nan-cao, maka ia selalu siap waspada dan curiga.
“Siapa di luar? Aku tidak bisa menemui orang yang tidak kukenal,” jawabnya dan diam-diam ia telah menyiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
“Suma-kongcu, aku... Lin Lin, aku datang membawa pesan enci-ku Sian Eng!” Dari enci-nya, Lin Lin mendengar bahwa Suma-kongcu dapat mencarikan kakaknya, Kam Bu Song, maka sengaja sekarang Lin Lin menggunakan nama enci-nya itu yang ia duga mempunyai hubungan yang lebih baik dengan kongcu ini dari pada dia.
Benar saja dugaan Lin Lin, mendengar disebutnya nama Sian Eng, hilang keraguan Suma Boan, apa lagi ia sekarang mengenal suara Lin Lin gadis galak itu. Biar pun yang sudah-sudah gadis ini memusuhinya, namun ia tidak takut kalau hanya menghadapi gadis cantik itu.
“Wah, mungkin nasib baik menghampiriku, ada nona manis yang hendak mengusir kesunyianku malam ini,” pikirnya sambil tersenyum, lalu membuka pintu.
Benar saja, gadis jelita itu berdiri di depan pondok. Biar pun keadaan remang-remang, Suma Boan masih dapat mengenal Lin Lin. Akan tetapi di belakang gadis itu tampak seorang kakek yang berdiri di atas sepasang tongkat, seorang kakek yang buntung kedua belah kakinya! Ia tidak mengenal kakek ini, akan tetapi kehadirannya mendatangkan rasa kecewa.
“Silakan masuk, Nona,” katanya menahan rasa kecewanya.
Lin Lin tersenyum dan menoleh kepada Pak-sin-tung. “Mari kita masuk, tuan rumah mengundang kita.”
“Maaf, Nona.” kata Suma Boan cepat. “Aku tidak mengenal kakek itu. Siapakah dia?”
“Dia? Dia pengawalku,” jawab Lin Lin bangga.
“Ah, aku hanya mengundang Nona, bukan dia. Eh, aku... ngeri melihat kakinya. Silakan kau masuk, Nona.”
Lin Lin sudah timbul marahnya, akan tetapi ia menindas perasaannya dan melangkah masuk. Setelah duduk Lin Lin melihat betapa kongcu itu memandangnya dengan mata berminyak. Cepat-cepat ia berkata, “Suma-kongcu, kedatanganku ini untuk bertanya kepadamu, di mana adanya Kakak Kam Bu Song seperti yang kau janjikan kepada Enci Sian Eng?”
Dengan pandang mata yang penuh gairah dan kagum kepada wajah jelita dan tubuh padat ramping itu, Suma Boan tersenyum-senyum lalu bertanya, “Siapa yang mengutusmu ke sini?”
“Enci Sian Eng.”
Suma Boan mempermainkan matanya, melirik ke kanan kiri dengan menjual mahal! Ia cukup maklum betapa Sian Eng jatuh hati kepadanya, biar pun gadis itu tetap mempertahankan diri dan tidak sudi melayani kehendaknya yang tidak patut. “Kalau dia ingin bertanya, kenapa tidak datang sendiri? Suruh ia datang sendiri ke sini baru aku mau bicara.”
“Dia tidak mau datang, dia menyuruh aku mewakilinya,” kata Lin Lin, menahan hatinya yang makin marah.
Senyum Suma Boan melebar, matanya berkedip-kedip penuh arti. “Betulkah begitu? Ahai, adik manis, kau betul-betul mau mewakilinya? Kalau dia datang, aku minta dia bermalam di sini semalam baru besok kuberi tahu tentang Kam Bu Song, apakah kau mau mewakili enci-mu tidur di sini semalam bersamaku...?”
Suma Boan cepat melompat ke belakang ketika meja yang berdiri di antara dia dan Lin Lin tiba-tiba melayang ke arahnya karena ditendang oleh Lin Lin. Gadis ini tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan pedangnya sudah berada di tangan, kedua pipinya merah, matanya bersinar-sinar.
“Wahai, jangan marah, Nona manis. Bukan aku yang menyuruh kau datang ke sini, melainkan atas kehendakmu sendiri, bukan?” Akan tetapi kembali Suma Boan harus cepat mengelak karena kini sinar emas dari pedang di tangan Lin Lin sudah menerjangnya dengan hebat.
“Agaknya harus kurobek-robek kulit tubuhmu dengan pedang, baru kau mau bicara baik-baik!” bentak Lin Lin dan terus melanjutkan serangannya.
Namun biar pun Lin Lin berpedang mustika dan mainkan ilmu pedang yang didasari gerak dan tenaga sakti Khong-in-ban-kin, namun tingkat ilmu kepandaian Suma Boan masih lebih tinggi dari padanya, juga latihan pemuda bangsawan ini lebih masak. Biar pun ia bertangan kosong, namun pukulan-pukulan balasan Suma Boan mendatangkan angin pukulan yang kuat, membuat Lin Lin beberapa kali berputar-putar untuk menghindarinya.
Pada saat itu tampak sinar hitam yang panjang berkelebat menerjang ke arah leher Suma Boan, disusul sinar hitam mengurung pinggangnya. Pemuda ini kaget sekali, cepat ia menggunakan le­ngan baju menangkis.
“Plak-plak!” Ia terhuyung dan ujung lengan bajunya pecah-pecah! Ketika ia melompat ke belakang sambil berjungkir balik, kiranya yang menerjangnya adalah kakek yang buntung kedua kakinya tadi. Gentarlah hati Suma Boan. Ia tidak mengenal kakek ini dan tadi ia memandang rendah mendengar kakek ini pengawal Lin Lin. Kiranya kakek buntung ini memiliki ilmu yang dahsyat!
Pedang di tangan Lin Lin tidak memberi ampun, mendesaknya hebat. Suma Boan mencari kesempatan untuk melompat ke luar dari pondok dan memanggil teman-temannya, akan tetapi agaknya kakek buntung itu selain lihai ilmunya, juga amat cerdik. Sepasang tongkat pengganti kaki itu kiranya dimainkan seperti sepasang toya yang menghalangi jalan ke luar. Ketika pedang bersinar emas itu menusuk dadanya, Suma Boan cepat miringkan tubuh dan bermaksud merampas pedang, akan tetapi tiba-tiba pundaknya kena dihantam tongkat si buntung. Keras sekali pukulan ini sehingga kulit daging pundaknya pecah dan mengeluarkan darah. Suma Boan terhuyung-huyung, masih berhasil mengelak dari sambaran pedang Lin Lin, akan tetapi totokan ujung tongkat membuatnya roboh, tak dapat menggerakkan kaki tangan lagi.
Lin Lin segera menodongkan pedangnya ke depan dada Suma Boan. “Hayo lekas mengaku di mana adanya Kakak Bu Song, kalau kau mau hidup!”
Suma Boan tersenyum mengejek. Keringat membasahi dahinya, darah dipundaknya membasahi bajunya, akan tetapi ia tidak kelihatan gentar. “Nona manis, mati di tanganmu amatlah menyenangkan. Biar kau membunuhku, aku Suma Boan bukanlah manusia yang tunduk akan ancaman maut. Aku hanya mau bicara dalam keadaan yang lebih baik dan manis, atau kalau enci-mu sendiri datang ke sini.”
Bukan main gemasnya hati Lin Lin. Ia memang benci kepada laki-laki ini, apa lagi bicaranya begitu kurang ajar. “Kalau begitu kau mampus saja....”
“Tok-tok-tok...!” Lin Lin kaget dan cepat melangkah mundur, memberi tanda supaya Pak-sin-tung siap.
Suma Boan tersenyum lebar. Lucu benar keadaannya, siapa pula tamu yang datang kali ini? “Siapa di luar?” tanyanya tanpa niat minta tolong, karena maklum bahwa orang datang mengetuk pintu seperti itu pasti bukan teman atau anak buahnya.
“Aku...! Suma-kongcu, keluarlah aku mau bicara...!”
Berubah wajah Lin Lin. Itulah suara Sian Eng, enci-nya! Cepat ia memberi tanda kepada Pak-sin-tung dan kakek buntung ini segera mengikuti Lin Lin, menyelinap ke bagian belakang rumah untuk bersembunyi.
“Ha, kebetulan sekali, Eng-moi. Kau masuklah, aku... aku tak dapat bergerak....”
Hening sejenak di luar. Kemudian terdengar daun pintu dibuka dari luar. Sian Eng muncul, kelihatan ragu-ragu, curiga, juga cemas. Ketika pandang matanya melayang ke arah Suma Boan yang menggeletak terlentang di atas lantai, bajunya mandi darah, ia berseru kaget. Sejenak ia ragu-ragu, kemudian ia lari dan berlutut dekat Suma Boan.
“Suma... Koko! Kau kenapakah? Kau terluka... parah...?”
Suma Boan tersenyum dan napasnya makin terengah-engah disengaja, mulutnya merintih-rintih menahan sakit. “Aku diserang penjahat, Eng-moi, tolong kau­ bebaskan totokan pada jalan darah thian-hu-hiat....”
Sian Eng membungkuk, lalu membuka jalan darah itu dengan totokan dan tekanan. Akhirnya Suma Boan dapat bergerak, bangkit duduk dan mengeluh lagi, mengaduh-aduh sambil memegangi pundak kirinya yang terluka.
“Bagaimana? Sakit sekalikah? Biar kuperiksa, harus segera dibalut...,” kata Sian Eng yang timbul kasih dan ibanya menyaksikan orang yang dikasihinya itu menderita luka.
Dengan bantuan Sian Eng, Suma Boan berdiri dan jalan terhuyung-huyung ke arah bangku. Matanya mencari-cari dan mulutnya tersenyum ketika mendapat kenyataan bahwa Lin Lin dan kakek buntung sudah tidak berada di situ lagi. Dengan sikap manja ia merintih-rintih, membuat hati Sian Eng makin tak tega. Gadis ini lalu mencuci luka dan membalutnya.
“Penjahat siapakah yang melukaimu, Koko? Dan kenapa?”
“Tidak tahu, aku tidak mengenalnya. Kebetulan kau datang, Eng-moi. Kau baik sekali, tapi... tapi kenapa malam hari dahulu itu kau lari dariku? Kenapa, Eng­moi? Apakah kau tidak dapat memaafkan kesalahanku? Aku menyesal Eng-moi, dan aku siap mohon maaf kepadamu....” Setelah berkata demikian, Suma Boan menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu!
Sian Eng terisak menangis, mengangkat bangun Suma Boan. “Sudahlah, aku datang ini sebetulnya hendak bertanya kepadamu di mana aku bisa bertemu dengan Kakak Kam Bu Song. Kau bilang dia pasti berada di sini. Ketika tadi aku melihatmu, aku menjadi bingung dan ingin sekali aku menemuimu untuk menanyakan hal ini....”
Suma Boan mengerutkan keningnya. “Eng-moi, apakah kau pernah menyuruh adikmu Lin Lin menanyakan hal ini kepadaku?”
Sian Eng menggeleng kepala. “Tidak pernah. Malah aku sendiri tidak tahu ke mana perginya anak itu, sampai sekarang aku tidak melihat dia. Aku khawatir sekali, adikku itu biar pun anak perempuan akan tetapi suka berandalan dan terlalu berani!”
Suma Boan mengangguk-angguk. “Aku percaya... dia... dia gadis yang aneh dan gagah. Eng-moi, terus terang saja, Kam Bu Song adalah bekas sahabatku, dan kekasih adik perempuanku seperti pernah kuceritakan kepadamu. Akan tetapi semenjak... semenjak ia menghilang, aku tidak pernah bertemu dengan dia lagi. Aku hanya mempunyai dugaan keras bahwa dia tentu berada di Nan-cao, karena aku mendengar bahwa dia masih mempunyai hubungan dengan Beng-kauw. Kalau saja kau mau bertanya kepada orang Beng-kauw, kiraku akan dapat membuka rahasianya.”
Sian Eng mengangguk. “Aku pun pikir begitu. Aku pun mengerti bahwa ibu tiriku, ibu kandung Kakak Bu Song adalah Tok-siauw-kwi Liu Sian, puteri mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan ketua Beng-kauw yang diperingati hari kematiannya sekarang....”
“Apa...?” Suma Boan melompat kaget dari tempat duduknya. “Kalau begitu... dia... dia... Suling Emas! Sudah kuduga, ada persamaan... tapi Suling Emas jarang memperlihatkan diri lama-lama dan... dan Bu Song seorang lemah sebaliknya Suling Emas demikian sakti...!”
Sian Eng menjadi pucat mukanya. Ia pun berdiri dan melongo. “Suling Emas...? Kakakku... Kam Bu Song... Suling Emas...?” bibirnya menyerukan kata-kata ini berkali-kali seakan-akan ia tidak mau percaya, akan tetapi sekarang terbayanglah semua peristiwa ketika Suling Emas menolongnya, terulang kembali gema kata-kata pendekar itu dan maklumlah bahwa dia adalah adik tirinya! Pantas saja Suling Emas selalu menolong adik-adiknya secara diam-diam. Namun ia masih belum percaya benar.
“Suma-koko, bagaimana kau menduga bahwa Kakak Bu Song adalah Suling Emas?”
Suma Boan dengan gerakan halus dan sopan memegang tangan Sian Eng, ditariknya ke dekat meja. “Adikku, mari kita duduk dan bicara baik-baik. Aku tidak ragu-ragu lagi sekarang. Pasti Suling Emas itulah penjelmaan dari Bu Song. Hanya beberapa kali aku melihat Suling Emas, itu pun hanya sekelebatan saja, akan tetapi bentuk tubuhnya dan wajahnya, sudah kuduga. Akan tetapi mana aku bisa percaya? Bu Song seorang pelajar yang lemah, sama sekali tidak tahu ilmu silat, sedangkan Suling Emas...! Akan tetapi setelah mendengar darimu bahwa kakakmu Bu Song itu putera dari puteri mendiang Pat-jiu Sin-ong, keraguanku lenyap karena cucu tunggal dari mendiang Pat-jiu Sin-ong adalah... Suling Emas! Kalau begitu, tidak bisa lain, Bu Song adalah Suling Emas sendiri!”
“Wah... dan kami telah menyangka sebagai pembunuh ayah bundaku!”
“Memang dia orang aneh, bisa melakukan apa saja. Sudahlah, Eng-moi, mari kita bicara tentang diri kita....”
Sian Eng mengangkat muka, memandang tajam penuh selidik. “Bicara tentang diri kita? Apa yang hendak kau bicarakan?” Kedua pipinya mendadak berubah merah.
Suma Boan memegang tangannya, karena caranya sopan dan halus, Sian Eng tidak menarik lepas, hanya menundukkan muka dengan jantung berdebar.
“Moi-moi, kita saling mencinta... tapi aku... aku yang canggung ini takut kalau-kalau kau marah lagi. Moi-moi, apakah yang harus kulakukan untuk menyatakan cinta kasihku, dan bagaimana kau dapat selalu berada di sampingku?”
Tubuh Sian Eng panas dingin, tangannya gemetar, lalu perlahan ia berkata, “Aku adalah seorang gadis terhormat, tentu saja aku hanya menghendaki penghormatan selayaknya. Aku tidak mau dipermainkan, dan... dan kalau memang kau suka kepadaku, Koko, kuharap kau suka dengan resmi meminangku. Karena ayah bundaku sudah meninggal, maka kau bisa kirim utusan meminangku kepada bibi guruku Kui Lan Nikouw di Kwan-im-bio yang berada di lereng puncak Cin-ling-san,” suara Sian Eng makin lirih, agaknya ia bicara dengan malu-malu.
Di luar pondok makin gelap, dan dari luar hanya bisik-bisik saja yang terdengar, bisik-bisik mesra sepasang orang muda yang sedang diayun gelombang asmara.
********************
“Tuanku puteri, mengapa kita harus lari? Gadis yang masuk itu seorang biasa saja, tak usah kita takut, kalau perlu dia boleh hamba robohkan sekali!” Pak-sin-tung memprotes ketika Lin Lin mengajaknya lari pergi meninggalkan pondok Suma Boan setelah ia mendengar munculnya Sian Eng. Akan tetapi Lin Lin menggelengkan kepala dan terus lari sehingga terpaksa kakek buntung itu mengikutinya sambil bersungut-sungut. Akhirnya Lin Lin berhenti di tempat sunyi dan kembali Pak-sin-tung memprotes.
“Tuanku puteri, belum pernah hamba Pak-sin-tung melarikan diri seperti ini! Gadis itu tidak lebih pandai dari pada Suma-kongcu, ia hanya seorang di antara banyak kekasih kongcu hidung belang itu takut apa?”
“Diam kau!” Lin Lin membentak, betul-betul marah karena hatinya sudah mengkal menyaksikan peristiwa yang tidak ia duga-duga, yaitu bahwa cicinya itu ternyata bermain cinta dengan Suma Boan, hal yang benar-benar tak tersangka dan mendatangkan perasaan mendongkol. Ucapan kakek buntung itu menambah kemarahannya. “Aku bukannya takut kepada gadis itu, aku... aku... hanya mengubah niatku. Sekarang kita mencari Suling Emas!”
Pak-sin-tung kini kelihatan ragu-ragu. “Tuan Puteri... hal ini... hamba rasa kita membutuhkan bantuan Suheng Hek-giam-lo....”
Diam-diam Lin Lin tertawa di dalam hatinya melihat kakek buntung yang lihai ini ketakutan. Memang ia sengaja hendak mencari Suling Emas, tentu saja bukan untuk menawannya, melainkan untuk mencegah orang-orang Khitan ini memaksanya ke Khitan. Kalau sudah bertemu dengan Suling Emas, ia akan minta tolong pendekar itu membantunya melawan orang-orang Khitan yang berani memaksanya pergi! Akan tetapi pada lahirnya ia pura-pura marah dan membanting kaki.
“Pak-sin-tung! Belum apa-apa kau sudah dua kali membantah kehendakku! Kelak di Khitan kalau kulaporkan kebandelanmu ini kepada Paman Kubukan, hemmm... ingin kulihat ke mana kau hendak menyembunyikan kepalamu?!”
Wajah kakek buntung itu menjadi pucat. “Maaf, Tuan Puteri... bukan maksud hamba membangkang...”
“Cukup! Kau takut kepada Suling Emas, ya? Huh, jago macam apa ini! Jago Khitan tidak takut terhadap siapa pun juga. Kalau kau takut, aku tidak takut! Hayo, kau mau bantu atau tidak?”
“Baiklah, Tuan Puteri, baiklah...!” Si buntung kaki ini mengeluarkan bunyi melengking di kerongkongannya dan dari tempat gelap bermunculan dua puluh empat orang pembantunya. Ia memberi tugas dalam bahasa Khitan yang tidak dimengerti Lin Lin. Beberapa menit kemudian dua puluh empat orang itu lenyap lagi seperti bayangan-bayangan setan di dalam gelap.
“Hamba telah siap,” kata si buntung.
“Mari kita mencarinya. Kulihat tadi dia duduk dekat ketua Beng-kauw, agaknya ada hubungan baik sekali, maka malam ini kiranya dia pun akan ikut berjaga di ruangan sembahyang untuk persiapan upacara besok pagi. Mari kita mencari ke sana.”
Ruangan sembahyang itu amat lebar dan berada di ujung kiri yang sunyi dan jauh dari tempat pemondokan para tamu. Anehnya, di tengah-tengah ruangan itu terdapat sebuah peti mati yang besar dan panjang. Apakah jenazah Pat-jiu Sin-ong masih berada di dalam peti mati itu? Memang betul demikianlah. Menurut kehendak Pat-jiu Sin-ong sendiri ketika mau mati, ia minta agar supaya jenazahnya dimasukkan di dalam peti mati yang berlapis baja di sebelah dalam dan yang rapat sekali, kemudian petinya supaya dimasukkan ke dalam kamar semedhinya. Sebelum sepuluh tahun petinya tidak boleh dikubur!
Permintaan yang amat aneh, akan tetapi karena Pat-jiu Sin-ong sewaktu hidupnya memang amat aneh lagi sakti, tidak ada yang berani membantah permintaannya. Demikianlah, tiap setahun sekali peti mati yang besar dan berat itu diangkat ke ruangan sembahyang untuk disembahyangi dan kali ini, tiga tahun kemudian bertepatan dengan hari ulang tahun Beng-kauw, peti mati itu disembahyangi secara besar-besaran.
Ketika mengintai dari jauh dan melihat betapa di ruangan itu duduk banyak tokoh pandai, di antaranya ketua Beng-kauw sendiri dan Suling Emas, Pak-sin-tung menjadi pucat dan jelas sekali ia kelihatan gelisah. “Dia di sana, akan tetapi harap Paduka sabar dan menunggu kesempatan. Terlalu banyak orang lihai di ruangan itu.”
Lin Lin merengut. “Ah, kalau tahu kau tidak becus seperti ini, tentu aku lebih suka mengajak Hek-giam-lo... eh, tongkatnya masih ada. Celaka, Hek-giam-lo rupa-rupanya juga belum berhasil. Benar-benar memalukan sekali jagoan-jagoan Khitan! Pak-sin-tung, kau tunggu saja di sini, biar aku menyelundup ke dalam melalui bangunan belakang. Kau lihat dan biar mereka melihat bahwa puteri Khitan lebih berani dari pada jago-jago Khitan! Kalau kalian yang memalukan nama besar Khitan, akulah yang akan mengangkatnya!”
“Tuan Puteri... ini berbahaya...!” Pak-sin-tung hendak mencegah akan tetapi Lin Lin sudah mencabut Pedang Besi Kuning dan mengacungkannya ke atas.
Terpaksa Pak-sin-tung melangkah mundur dengan sikap menghormat, dan ketika ia mengangkat muka memandang, gadis itu sudah menyelinap di antara bangunan di belakang ruangan sembahyang, lalu lenyap di sebuah bagian yang kecil.
“Celaka... dia memasuki bagian terlarang... kabarnya di situ tersimpan peti-peti mati keluarga kaisar dan ketua Beng-kauw, juga pusaka-pusaka Beng-kauw...!” Pak-sin-tung berdiri dengan muka pucat, bingung tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Maka ia hanya bersembunyi dan mengintai ke arah ruang sembahyang, ke arah Suling Emas dengan tekad di hati kalau muncul puteri junjungannya itu, apa pun yang terjadi, ia akan membantunya sampai titik darah penghabisan!
Dengan hati tabah Lin Lin menyelinap masuk ke dalam sebuah pintu yang tak berdaun pintu, lagi amat gelap. Ia tidak melihat betapa di kanan kiri pintu itu terdapat tempat hio yang terisi hio (dupa) masih mengebulkan asap, dan tidak melihat pula betapa di atas lantai di ambang pintu dan di atas pintu itu terdapat tulisan-tulisan yang melarang siapa pun juga memasuki pintu ini dengan ancaman hukuman mati!
Sebetulnya, tentu saja bukan sekali-kali maksud hati Lin Lin untuk mengacau dan menangkap Suling Emas, walau pun di lubuk hatinya ada pula keinginan ini, yaitu untuk melihat Suling Emas menjadi tawanannya dan dia sebagai Puteri Khitan. Namun sekarang hal itu ia jadikan siasat untuk membebaskan diri dari pada pengawasan Pak-sin-tung dan ia tahu, menghadapi orang-orang sakti dari Khitan, hanya Suling Emas yang akan mampu menolongnya. Maka begitu melihat bahwa Suling Emas duduk di antara orang-orang sakti di ruangan sembahyang ia berlaku nekat, pura-pura hendak menyerbu dan menyelinap masuk ke pintu kecil yang gelap itu.
Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang memasuki tempat terlarang tanpa ia sadari dan kita meninjau ke tempat para tamu karena di sana pun terjadi hal-hal yang amat hebat. Peristiwa yang menggemparkan terjadi di tempat kediaman para utusan Kerajaan Hou-han. Mereka ini adalah tokoh-tokoh Kerajaan Hou-han, terdiri dari tiga orang panglima perang bernama Lu Bin, Giam Siong, dan Gak Houw.
Seperti kita ketahui, secara tidak resmi, Siang-mou Sin-ni juga mengawal barang sumbangan Kerajaan Hou-han yang berupa sebuah kendaraan emas! Resminya, ketiga panglima ini berikut belasan orang anak buahnya yang mengawal, akan tetapi sebetulnya Siang-mou Sin-ni yang bertanggung jawab dan yang diandalkan oleh tiga orang panglima ini. Tentu saja tiga orang panglima ini pun bukan orang-orang sembarangan. Ilmu kepandaian mereka tinggi dan mereka merupakan orang-orang pilihan di Hou-han.
Malam hari itu, tiga orang panglima yang menjadi utusan Hou-han itu sedang menghadapi meja, menjamu makan pada orang lain yang mukanya seperti monyet, dahinya lebar dan sikapnya gagah serta lincah. Rombongan Hou-han mendapatkan tempat tersendiri, sebuah bangunan yang cukup besar karena mereka terdiri dari belasan orang. Tentu saja Siang-mou Sin-ni berada di tempat terpisah, tempat ‘terhormat’.
“Sam-wi (Tuan Bertiga) boleh rundingkan hal ini dengan Sin-ni,” terdengar suara si muka monyet itu berkata sambil minum araknya. “Jalan satu-satunya untuk menggerakkan hati para tokoh Nan-cao hanya dengan cara itulah. Kalau diminta bersekutu secara baik-baik, takkan mungkin berhasil. Siauwte (aku yang muda) tahu betapa keras hati Beng-kauwcu, tidak goyah oleh sodoran emas permata mau pun kedudukan mulia. Satu-satunya jalan hanya membakar kayu basah agar menjadi kering dan dapat termakan api.” Kalimat terakhir ini berarti membakar hati seseorang yang sukar ditundukkan agar orang itu menjadi marah dan mengubah pendiriannya yang kukuh.
“Akan tetapi menurut Sin-ni, Raja Nan-cao lebih mudah dibawa berunding,” bantah Gak Houw yang paling muda di antara tiga panglima itu. “Rasanya tidak enak kalau kita harus mengambil jalan fitnah. Kami orang-orang dari Hou-han tidak biasa melakukan hal-hal yang tidak sewajarnya.”
“Ucapan Gak-enghiong memang patut diperhatikan,” jawab si muka monyet, “akan tetapi hendaknya maklum bahwa siauwte berdua dengan suheng menerima anjuran ini sendiri dari Sri Baginda di Nan-cao. Harap Sam-wi ketahui bahwa biar pun Sri Baginda yang menjadi raja di sini, namun kekuasaan mutlak berada di tangan Beng-kauwcu dan ketahuilah bahwa watak Beng-kauwcu amat keras dan percaya akan kekuatan sendiri, tidak suka bersekutu dengan kerajaan mana pun, tidak berniat memusuhi kerajaan mana juga, akan tetapi juga tidak takut menghadapi musuh dari mana pun.”
Gak Houw mengangguk-angguk dan Lu Bin mengelus jenggotnya yang pendek sambil berkata. “Saudara Su Ban Ki betul, biarlah hal ini akan kami sampaikan kepada Sin-ni. Agar jelas usul saudara saya ulangi, yaitu kita harus membakar hati Beng-kauwcu dengan melakukan pengrusakan kepada kendaraan emas sumbangan kami, kemudian mencuri bagian penting kendaraan itu yang harus dapat kita selundupkan ke dalam pondok penginapan orang-orang Sung. Akan tetapi, apakah hal ini dapat dilakukan dengan mudah?”
“Sukar bagi orang luar, akan tetapi tidak bagi kami,” jawab si muka monyet yang bernama Su Ban Ki. “Suhengku Ciu Kang sekarang pun sedang bertugas menjaga barang-barang sumbangan, mudah saja baginya untuk....”
“Braaakkkk!” tiba-tiba terdengar suara genteng di atas rumah itu pecah-pecah dan dari atas menerobos turun sebuah benda hitam besar.
Mereka berempat kaget sekali, apa lagi setelah menyaksikan betapa jebolnya genteng itu disusul meluncurnya benda hitam yang ternyata adalah sebuah peti mati! Tepat sekali peti mati ini jatuh ke atas meja, di bagian tengahnya terikat tambang yang panjang, membuktikan bahwa peti mati ini diturunkan orang dari atas genteng.
“Keparat, siapa berani main gila?!” Cepat sekali Lu Bin, Giam Siong, dan Gak Houw tiga orang jagoan Hou-han itu mencabut pedang sambil melompat ke luar, terus melayang ke atas genteng.
Akan tetapi sunyi di atas genteng tidak tampak bayangan seorang pun manusia. Para anak buah rombongan pengawal dari Hou-han juga sudah berserabutan keluar dan belasan orang ini mencari-cari di sekitar tempat penginapan mereka, namun sia-sia hasilnya, tidak ada seorang pun manusia yang tampak kecuali kawan-kawan mereka sendiri.
Ketiga orang jago Hou-han ini kembali ke dalam ruangan dan mereka melihat Su Ban Ki berdiri dengan muka pucat di dekat meja sambil memandang peti mati itu dengan mata terbelalak. Ketika tiga orang itu masuk, Su Ban Ki memandang mereka, menudingkan telunjuknya ke arah peti mati, mulutnya komat-kamit akan tetapi tidak dapat mengeluarkan suara.
Tiga orang jago Hou-han itu adalah orang-orang gagah sejati. Tentu saja mereka merasa muak juga menyaksikan sikap dan wajah ketakutan ini sehingga pandangan mereka terhadap Su Ban Ki berubah. Heran mereka mengapa Raja Nan-cao menaruh kepercayaan kepada orang yang jiwanya pengecut seperti ini.
“Saudara Su Ban Ki, tenanglah dan ceritakan kepada kami, apa artinya semua ini?” tanya Lu Bin, suaranya kereng.
Su Ban Ki membasahi bibir dengan lidah, mencoba menelan ludah yang kering. “Ini... ini... peti mati... istana... entah apa artinya...” Ia tergagap.
Gak Houw maju ke depan, membuka tambang yang mengikat peti lalu menggunakan kedua lengannya yang kuat membuka tutup peti.
“Krrriittt!” tutup itu berbunyi dan tampaklah isinya. Sesosok tubuh seorang laki-laki sudah menjadi mayat.
“Suheng...!” Su Ban Ki berseru kaget, tubuhnya menggigil, “Celaka... suheng dibunuh... tentu rahasia bocor atau... ah, ini alamat buruk. Selamat tinggal, aku harus segera pergi, lari keluar kota....” Ia menyambar jenazah itu, mengeluarkannya dari dalam peti lalu memanggul jenazah dan lari dengan cepat sekali. Akan tetapi segera terdengar suara jeritannya di luar rumah dan terdengar orang jatuh.
Tiga orang jagoan Hou-han cepat melompat ke luar dan di dalam gelap mereka masih sempat melihat Su Ban Ki roboh terlentang tak bergerak di dekat mayat suhengnya dan yang membuat tiga orang ini melongo adalah ketika mereka melihat sebuah peti mati bergerak-gerak pergi, kadang-kadang bergulingan, kadang-kadang berloncatan. Saking kaget dan ngeri hati, mereka tidak mengejar. Akan tetapi Lu Bin cepat meloncat ke dalam rumah dan melihat bahwa peti mati yang tadi masih menggeletak di atas meja, terbuka dan kosong. Dengan demikian, berarti bahwa peti mati di luar yang ‘hidup’ itu adalah peti mati lain, walau pun bentuk dan modelnya sama, yaitu di bagian kepala terdapat ukir-ukiran kepala siluman seperti naga atau harimau.
Ia cepat melompat ke luar lagi. “Kejar...!” serunya sambil lari cepat diikuti kedua orang sutenya.
Akan tetapi dalam sekejap mata saja peti mati ‘hidup’ itu sudah lenyap! Dengan penuh keheranan dan penasaran, tiga orang jago Hou-han ini kembali dan alangkah kaget dan herannya hati mereka ketika mereka tiba di depan pondok, mereka tidak melihat lagi mayat Su Ban Ki dan suhengnya.
Ketika mereka memasuki rumah, anak buah mereka masih berdiri saling pandang dengan muka pucat, memandang peti mati yang masih terbuka kosong di atas meja!
“Hemmm, apa artinya ini semua?” Gak Houw berseru marah. “Orang sakti mempermainkan kita. Sayang tidak ada Sin-ni, kalau ada jangan harap dia dapat bermain gila seperti ini!”
Lu Bin mengelus jenggotnya. “Betapa pun juga, dia masih merasa sungkan dan tidak mengganggu kita. Siapa lagi yang dapat mengirim mayat dalam peti mati istana kalau bukan orang sini juga? Su Ban Ki dan suhengnya telah dihukum, mungkin dianggap sebagai pengkhianat, lenyapnya mayat mereka menjadi bukti bahwa pembunuhnya tentulah orang Beng-kauw sendiri yang tidak mau melihat anak buah mereka menggeletak di luar. Juga agaknya mereka itu hendak memperingatkan kita.” Memang Lu Bin se­orang yang berpemandangan luas dan sudah berpengalaman dalam dunia kang-ouw yang serba aneh.
“Habis, bagaimana baiknya?” kata Giam Song. “Apakah kita harus melaporkan hal ini kepada Sin-ni?”
“Tidak perlu,” kata Lu Bin. “Kita tidak mempunyai maksud buruk, tugas kita hanya untuk menghubungi Nan-cao dan untuk mengadakan persekutuan guna memperkuat pertahanan bersama. Soal-soal yang busuk tadi datangnya dari pihak Nan-cao sendiri sebagai usul, bukan hasil pemikiran kita. Dan inilah sebabnya kita tidak diganggu. Hebat benar orang sakti itu, dan sudah sepatutnya kita mengucap syukur bahwa kita tidak mempunyai maksud-maksud kotor. Peti mati itu pun harus kita kembalikan.”
“Kembalikan? Ke mana?” Gak Houw berseru kaget.
Lu Bin tertawa. “Datangnya dari atas genteng, tentu saja harus kita kembalikan ke atas genteng pula!” Sambil berkata demikian, ia menghampiri meja, mengempit peti mati itu dengan lengan kiri, membawanya ke luar kemudian sekali menggerakkan tangan, peti mati itu melayang naik ke atas genteng, jatuh di atas genteng tanpa membikin pecah genteng dan terletak di situ seperti diletakkan perlahan-lahan oleh tangan yang amat hati-hati. Ini membuktikan betapa lweekang dari orang she Lu ini sudah cukup kuat.
Lu Bin lalu mengajak teman­temannya masuk ke dalam pondok dan memesan anak buahnya agar supaya jangan lengah, biar pun berada di dalam kamar masing-masing agar supaya malam itu jangan tidur, melainkan berjaga-jaga.
Tidak hanya di tempat penginapan orang-orang Hou-han yang terjadi peristiwa aneh. Juga di tempat lain terjadi keributan. Pada keesokan harinya, di ruangan tempat kediaman para utusan Kerajaan Sung, juga terjadi hal yang bikin geger. Pada waktu itu, rombongan utusan Kerajaan Sung Utara sedang sarapan. Di kepala meja duduklah ketua rombongan, yaitu wakil Kerajaan Sung, seorang panglima tua bernama Ouwyang Swan yang pada saat itu mengenakan pakaian biasa. Ia semeja dengan tiga orang panglima lain yang lebih muda. Tentu saja dalam percakapan mereka bicara tentang peristiwa dalam perjamuan kemarin, dan membicarakan Gan-lopek dan Suma Boan. Mereka tertawa-tawa geli. Sebagian besar panglima yang setia kepada Kerajaan Sung, tidak senang belaka kepada Suma Boan, putera dari Pangeran Suma yang korup.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar dan ketika mereka menengok, dengan heran mereka melihat seorang kakek tua yang telanjang bulat memegangi sehelai kain berlari-lari ke arah mereka sambil berteriak-teriak.
“Waduhhh... walaaahhh... ular... hiiiii... ular, ular...!”
Sambil berteriak-teriak dengan mata terbelalak ketakutan, kakek itu berlari memasuki ruangan dan terus saja meloncat ke atas meja di depan Panglima Ouwyang Swan, kakinya yang juga telanjang itu menginjak-injak hidangan dan menendang cawan-cawan arak sehingga hidangan dan minuman itu hancur berhamburan dan tumpah semua. Ia terus berloncat-loncatan dari meja ke meja dan menghancurkan semua hidangan.
Tentu saja para panglima dan rombongan Sung menjadi kaget, heran, dan juga marah sekali. Apa lagi ketika mereka melihat seorang kakek lain yang muncul dengan seekor ular besar membelit-belit tubuhnya, kakek yang bukan lain adalah Tok-sim Lo-tong, seorang di antara keenam Thian-te Liok-koai, kakek yang hanya bercawat saja dan tubuhnya tinggi kurus kering seperti tiang lampu! Melihat munculnya iblis ini, barulah panglima Ouwyang Swan teringat dan kini ia memandang kepada kakek pendek telanjang bulat yang masih menari-nari di atas meja, menginjak-injak semua hidangan sambil berteriak, “Ular... ular!”.
Kini ia mengenal kakek telanjang itu, bukan lain adalah Gan-lopek si kakek badut yang sakti dan yang sejak pagi tadi menjadi bahan percakapan mereka.
Kagetlah hati Ouwyang Swan. Pagi-pagi muncul dua orang sakti dalam keadaan begitu aneh, benar-benar hal yang luar biasa sekali. Para anak buahnya banyak yang marah sekali, akan tetapi sebagai anak buah yang taat, mereka belum berani bergerak sebelum mendapat komando dari Ouwyang Swan sendiri.
“Tikus busuk she Gan, jangan lari, hayo ke sini lawan aku!” suara kecil dan berbunyi ngik-ngik seperti orang sakit napas itu menantang.
“Memang aku tikus, paling takut melihat ular!” Empek Gan menggigil. “Tapi engkau bocah cacingan kurang ajar! Engkau cacing busuk. Kalau mengajak berkelahi, pakailah aturan. Masa orang lagi enak-enak mandi kau ganggu dan takut-takuti dengan ular? Aku paling jijik melihat ular yang kotor!”
Orang-orang yang tadinya sarapan kini sudah berdiri semua, ada yang menahan ketawa, ada yang memandang tegang. Peristiwa itu tampaknya saja lucu, melihat seorang kakek yang disohorkan sakti terbirit-birit ketakutan melihat ular sampai lari bertelanjang, akan tetapi sebetulnya amatlah menengangkan karena kakek sakti ini kini berhadapan dengan seorang di antara Enam Iblis.
“Orang she Gan, mari... mari... kita main-main sejenak...!” kembali Tok-sim Lo-tong menantang sambil berdiri dengan kaki terpentang lebar di luar pondok.
Akan tetapi Empek Gan tidak mempedulikan dia lagi. Entah dari mana dapatnya, tahu-tahu kakek ini sudah mengeluarkan puluhan butir obat bundar sebesar kelingking. Kain yang tadi dibawanya sudah ia libatkan menutupi tubuhnya, dan sambil tertawa lebar ia berkata.
“Kalian ini jagoan-jagoan dari Kerajaan Sung mengapa begini goblok?”
Ouwyang Swan mengerutkan alisnya. Dia seorang panglima tua yang namanya sudah terkenal, ilmu kepandaiannya tinggi dan kedudukannya tinggi pula di Kota Raja Sung. Biar pun ia maklum akan kesaktian Gan-lopek, namun ia merasa bahwa orang sakti ini keterlaluan, sama sekali tidak memandang mata kepadanya.
“Gan-locianpwe, kami mengerti bahwa kau adalah seorang yang sakti dan kami adalah orang-orang bodoh saja, akan tetapi tidak ada alasan bagimu untuk memaki-maki karena di antara kita tidak ada....”
“Aduhhh...!” Dua orang anak buahnya terguling dan merintih-rintih, mukanya pucat dan mereka memegangi perut yang terasa amat sakit.
Ouwyang Swan kaget sekali, mengira bahwa kakek sakti itu turun tangan jahat, akan tetapi tiba-tiba tiga orang temannya yang menjadi pembantu-pembantunya juga mengerang kesakitan dan menekan-nekan perut.
Empek Gan tertawa bergelak. “Salahkah kalau aku bilang kalian goblok? Begitu gobloknya sehingga tahi busuk dimakannya! Sekarang setelah keracunan, masih berlagak lagi! Nih, telanlah seorang satu sebelum nyawa melayang. Kalau masih ada yang rakus, mau makan sisa makanan yang sudah kuinjak-injak, silakan dan aku tidak bisa menolong lagi!” Setelah melempar puluhan butir obat itu ke atas meja, ia berlari-lari ke luar.
“Eh, kau masih di sini? Tok-sim Lo-tong, bocah baik, jangan menakut-nakuti orang tua dengan ular, ya? Lebih baik kau main tari-tarian ular biar nanti kuberi hadiah!”
“Hadiah kepalamu!” Tok-sim Lo-tong menerjang maju, ular itu telah ia pegang perutnya dan kini binatang ini ia pergunakan sebagai senjata, menyambar ke arah kepala Gan-lopek.
“Hiiiii... jijik aku...!” Dengan amat mudahnya Gan-lopek mengelak, kelihatannya tidak mengelak hanya menggerakkan pantat megal-megol, tapi serangan-serangan Tok-sim Lo-tong mengenai tempat kosong melulu! Ketika iblis itu marah dan mendesak, Gan-lopek sudah lari pergi sambil berteriak-teriak ketakutan. Tok-sim Lo-tong juga lari mengejar.
Ada pun Ouwyang Swan cepat membagi-bagi obat. Dia lebih dulu menelan obat itu karena tiba-tiba perutnya juga terasa panas dan sakit. Ajaib. Begitu ditelan, rasa panas dan sakit lenyap seketika. Anak buahnya juga mengalami hal serupa.
“Hemmm, ada yang menaruh racun pada makanan kita...!” Ouwyang Swan berkata marah. “Heran sekali, apakah pemerintah Nan-cao mau berlaku serendah ini, meracuni tamu-tamunya yang datang memberi selamat dan mengantarkan sumbangan sebagai tanda persahabatan?”
“Tuan rumah memperlihatkan sikap bermusuhan, tak perlu kita tinggal lebih lama di sini, Ouwyang-twako!” kata Tan Hun, panglima lainnya yang menjadi pembantunya.
“Memang, hendak kulaporkan hal ini kepada Beng-kauwcu sendiri sambil berpamit.” Cepat Ouwyang Swan memasuki kamar hendak berganti pakaian dinas, akan tetapi pada saat itu terdengar pekik kesakitan di sebelah belakang rumah.
Mereka cepat berlari-lari ke belakang dan melihat dua orang berpakaian pelayan menggeletak tak bernyawa lagi dan di situ berdiri seorang laki-laki tua yang bersikap gagah, berpakaian sederhana, kepalanya tertutup topi lebar, tangannya memegang senjata pecut. Dialah Kauw Bian Cinjin, sute dari Beng-kauw yang bertugas menyambut tamu!
“Maaf, Cu-wi enghiong dari Kerajaan Sung tentu mengalami banyak kaget karena gara-gara pengkhianat dua orang pelayan ini. Syukur ada Gan-lopek yang datang lebih dulu menyampaikan obat penawar. Lohu (aku yang tua) atas nama Beng-kauw menghaturkan maaf atas keteledoran ini.” Ia menjura dengan hormat kepada Ouwyang Swan.
Panglima tua ini cepat balas menghormat. “Kiranya ada pengkhianatan, akan tetapi sebetulnya apakah yang terjadi? Siapakah yang menaruh racun dalam makanan untuk kami, Cinjin?”
Kakek Beng-kauw itu tersenyum sabar dan menggeleng kepala. “Banyak terjadi hal aneh, Ciangkun (Panglima), yang agaknya ditujukan untuk mengotori nama Beng-kauw. Kami sedang melakukan penyelidikan, karena itu hal ini masih menjadi rahasia. Akan tetapi percayalah, semua ketidak-wajaran yang terjadi, pasti bukan dari kami datangnya dan kalau ada anak buah kami yang terbawa-bawa, kami tidak ragu-ragu untuk memberi hukuman seperti yang kulakukan kepada dua orang pelayan ini. Nah, selamat pagi dan sekali lagi maaf!” Setelah berkata demikian, Kauw Bian Cinjin membunyikan cambuknya satu kali.
“Tarrr!” maka muncullah dua orang anak buah Beng-kauw yang segera mengangkat dua jenazah itu dan pergi tanpa mengeluarkan kata-kata. Kauw Bian Cinjin menjura kepada para tamu dan berjalan pergi.
Ouwyang Seng dan anak buahnya saling pandang, lalu kembali ke ruangan, tiada hentinya membicarakan hal yang aneh itu. Tak lama kemudian dua orang pelayan baru datang untuk membersihkan tempat itu dan menggantinya dengan makanan baru. Panglima Sung itu dan teman-temannya lalu melanjutkan makan pagi untuk kemudian bersiap-siap pergi ke tempat sembahyangan guna memberi hormat kepada arwah mendiang ketua Beng-kauwcu yang tersohor, yaitu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.....
******************
Lanjut ke jilid 17

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)