CINTA BERNODA DARAH : JILID-18


Akan tetapi Lin Lin teringat bahwa iblis ini adalah pembunuh ayah ibu angkatnya. Tidak salah lagi kali ini. Mendiang ibu angkatnya sebelum menghembuskan napas terakhir menyebut-nyebut tentang iblis dalam peti mati yang mengeluarkan suara seperti suling. Ingatan ini sekaligus mengusir semua rasa takut dan ngeri.
“Iblis jahat, kau pembunuh ayah ibuku...!” teriaknya dan Lin Lin bergerak hendak melompat ke luar dari dalam peti.
Akan tetapi iblis itu menggerakkan kedua tangan, menekan pundak Lin Lin dan gadis ini seketika tak dapat menggerakkan lagi kaki tangannya yang seakan-akan menjadi lumpuh.
“Hemmm, bagus sekali. Kau puteri mereka? Kebetulan sekali, kau cantik dan muda. Kau harus menebus hutang ayahmu, kau harus mengawani aku di sini, menghiburku, sampai kau atau aku mampus...,” suara iblis itu berbisik-bisik, mendesis-desis mengerikan dan kini mukanya makin mendekati muka Lin Lin, tangan yang tadinya menekan pundak kini bergerak ke arah leher dan dada.
Saking ngeri dan takutnya, Lin Lin menjerit keras. Suara jeritannya terdengar gemanya dari jauh, agaknya melalui lorong rahasia yang gelap itu. Akan tetapi hanya satu kali Lin Lin dapat menjerit karena di lain detik ibils itu sudah menotoknya, membuat ia selain tak mampu meronta, juga tak dapat mengeluarkan suara lagi. Dalam keadaan setengah pingsan Lin Lin merasa betapa dua buah lengan yang keras karena hanya tulang terbungkus kulit, yang dingin menjijikkan, akan tetapi amat kuat, memondongnya ke luar dari dalam peti.
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Lin Lin itu, tiba-tiba menyambar hawa dingin yang membawa datang bau semerbak harum mewangi, kemudian terdengar suara yang sama dinginnya. “Ma-susiok (Paman Guru Ma), kau hendak berbuat apa?”
Iblis itu yang tadinya sudah melangkah dua tindak, mendadak berhenti, memutar tubuhnya, dan memandang kepada seorang wanita rambut panjang riap-riapan yang tahu-tahu sudah berada di depannya. Wanita yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, akan tetapi yang wajahnya masih cantik jelita, terutama sepasang matanya yang seperti mata burung hong. Rambutnya hitam panjang sekali tidak disanggul, pakaiannya serba hitam sehingga tangan dan lehernya yang tak tertutup kelihatan makin putih.
Sejenak iblis itu tertegun, kemudian tubuhnya menggigil dan kedua tangannya gemetar sehingga tubuh Lin Lin terlepas dari pondongannya, membuat gadis ini jatuh dan bergulingan. Lin Lin terguling agak jauh, akan tetapi mukanya menghadap ke atas sehingga ia dapat menyaksikan pertemuan dua orang aneh itu.
“... Lu... Lu Sian...!” dengan sukar sekali akhirnya iblis itu mengeluarkan suara.
Jantung Lin Lin berdebar keras mendengar disebutnya nama ini dan ia makin memperhatikan wanita itu. Cantik memang, biar pun sudah tua, masih cantik jelita. Lebih cantik dari pada ibu angkatnya, ibu Sian Eng dan Bu Sin. Inikah isteri pertama ayah angkatnya? Inikah ibu sekandung dari Kam Bu Song, kakaknya yang lenyap? Inikah, menurut penuturan bibi gurunya Kui Lan Nikouw, wanita puteri ketua Beng-kauw yang berjuluk Tok-siauw-kwi?
“Hemmm, Ma-susiok, dengan perbuatanmu ini, apakah kau masih ada muka untuk tetap mengaku bahwa kau mencintaku sampai kau mati? Huh, kitanya kau pun sama saja dengan laki-laki lain, berhati palsu, pandai pura-pura, mengobral sumpah!”
“Tidak... tidak... Lu Sian, aku... bertahun-tahun aku menyiksa diri, aku menantimu... aku bersetia padamu... Lu Sian, apakah kedatanganmu ini menjadi tanda tiba saatnya aku mengecap kebahagiaanku, melewatkan hidup yang tak berapa lama lagi ini? Apakah timbul rasa iba di hatimu dan meyakinkan kau bahwa cintaku padamu murni?”
“Huh, tak perlu bermanis bibir, Susiok. Mau kau apakan gadis itu tadi?”
“Eh... aku... terus-terang saja... karena tak tertahankan lagi kesunyian ini... melihat gadis itu tadi... hampir saja... tapi untung kau segera datang, Lu Sian. Terima kasih! Setelah kau di sini, apa artinya gadis ini bagiku? Biar seribu orang bidadari turun, aku tidak pedulikan mereka asal kau....”
“Sudahlah, tak perlu banyak membujuk rayu. Kita bukan orang-orang muda belia. Susiok, di luar terjadi keributan. It-gan Kai-ong mengacau, kalau kau tidak memperlihatkan jasa terhadap Beng-kauw, mana aku percaya bahwa kau betul mencintaiku?”
“Lu Sian, aku tahu, selama ini kepandaianmu sudah hebat sekali, jauh melampaui kemampuanku. Mengapa kau tidak membasmi mereka yang mengacau? Aku... aku malu bertemu dengan orang-orang....”
“Hemmm, tentang permintaanmu mengawani kau di sini, baru akan kupertimbangkan kalau kau mau membuat jasa. Kalau tidak, jangan harap! Malah aku akan mengusir kau dari tempat ini!”
Terdengar iblis itu mengeluh dan diam-diam Lin Lin merasa kasihan sekali. Gadis muda ini telah menyaksikan adegan yang amat mengharukan, adegan tentang cinta kasih yang demikian mendalam. Heran ia mengapa iblis itu biar pun sudah tua, tetap tidak melupakan kasihnya yang demikian mendalam. Dan ia merasa terharu dan kasihan melihat iblis yang hampir saja mencelakakannya itu mengeluh dan melangkah perlahan-lahan ke tempatnya, yaitu peti matinya yang terbuka lebar.
Namun hanya sebentar saja rasa kasihan ini, karena segera ia teringat bahwa iblis itu adalah pembunuh ayah bundanya yang selama ini dicari-carinya. Pembunuh kejam yang harus ia balas, apa lagi tadi telah menghinanya dan hampir saja mencelakainya.
Iblis yang bukan lain adalah Ma Thai Kun, bekas Panglima Nan-cao dan yang sekarang terkenal dengan julukan Cui-beng-kui ini, dengan suara keluhan yang kemudian melengking seperti suara suling memasuki peti matinya, kemudian peti mati itu bergerak-gerak ke arah dinding. Tangannya terjulur keluar peti, menekan di ujung bawah kiri dinding itu dan terdengarlah suara berkerit yang disusul dengan terbukanya sebuah lubang pada dinding itu, lubang bundar dengan garis tengah satu meter.
“Lu Sian, aku mentaati permintaanmu...,” terdengar suara dari dalam peti yang meluncur cepat keluar melalui lubang itu. Lubang rahasia itu segera tertutup kembali dengan sendirinya.
Wanita berambut panjang itu menarik napas panjang, kemudian ia memandang Lin Lin. Tiba-tiba tangannya bergerak dan seketika Lin Lin terbebas dari totokan. Ia cepat meloncat bangun, menyambar pedangnya yang menggeletak di dekat peti mati yang tadi menjadi ‘tempat tidurnya’.
“Bibi, terima kasih atas pertolongan Bibi...,” Lin Lin berkata dengan suara perlahan, karena ia masih ragu-ragu bagaimana ia harus menyebut wanita ini. Kam Si Ek adalah ayah angkatnya. Kalau wanita ini isteri Kam Si Ek, berarti juga ibu angkatnya. Akan tetapi ia tidak berani menyebut ibu, maka lalu menyebut saja bibi.
“Kau anak Kam Si Ek? Ibumu Bwe Hwa?”
“Bukan, Bibi. Kam Si Ek adalah ayah angkatku. Bersama dua orang saudara angkat, aku pergi mencari Kakak Kam Bu Song. Bukankah Bibi ini ibu Kakak Kam Bu Song...?”
Akan tetapi wanita itu tidak menjawab, kelihatan termenung. Tiba-tiba ia bertanya. “Bukankah cintanya amat besar kepadaku? Biar pun sudah menjadi mayat hidup, ia masih mencintaku. Cinta yang murni....” Ia menarik napas lagi.
“Cinta bernoda darah!” Lin Lin berkata suaranya berubah dingin.
“Apa kau bilang...?” Wanita itu agaknya heran.
“Cintanya bernoda darah! Ia telah membunuh ayah dan ibu angkatku!”
“Hemmm, bocah, kau tahu apa? Itu karena cemburu yang ditahan-tahan di samping cinta kasihnya yang mendalam. Mana ada cinta tanpa cemburu? Ia tidak mengganggu selembar rambut Kam Si Ek selama masih menjadi suamiku, selama masih mencintaku. Akan tetapi setelah mendengar Kam Si Ek berpisah dariku, malah mengawini seorang wanita lain, nah, timbullah dendamnya dan dibunuhnya mereka.”
“Betapa pun juga, dia musuh besarku, harus kubalas dendam ini!”
Wanita itu mengeluarkan suara ketawa halus. “Kau...? Membalas padanya? Hik-hik, lucu sekali. Sesukamulah!” Tiba-tiba saja wanita rambut panjang itu berkelebat dan lenyap dari depan Lin Lin, meninggalkan bau harum yang menyengat hidung.
Lin Lin tidak mempedulikan hal itu lagi, ia cepat menghampiri dinding dan mencari alat rahasianya. Baiknya ia tadi melihat tangan Cui-beng-kui menekan ujung kiri bawah dinding, maka sekarang ia dapat melihat sebuah benda bundar sebesar ibu jari kaki terpasang di sudut itu. Cepat benda ini didorongnya sambil mengerahkan tenaga dan... terdengarlah suara berkerit seperti tadi dan dinding itu berlubang.
Lin Lin menerobos masuk dengan pedang di depan dada, siap menghadapi segala ancaman dari depan. Kiranya lubang itu merupakan lorong sempit. Ia merangkak terus dan setelah lewat dua puluh meter, ia melompat keluar dari terowongan ini ke dalam sebuah ruangan di mana terdapat sebuah pintu besar yang menembus ke ruangan sembahyang!
Demikianlah, pada saat Cui-beng-kui sedang berbantah dengan It-gan Kai-ong, secara tiba-tiba Lin Lin muncul dan serta merta gadis ini menghadapi Cui-beng-kui dan memaki-makinya sebagai pembunuh ayah ibu angkatnya. Cui-beng-kui adalah seorang iblis yang berkepandaian tinggi. Selain terkenal sebagai seorang di antara Enam Iblis juga ia bekas panglima tertinggi Kerajaan Nan-cao.
Tentu saja ia menjadi marah sekali ketika seorang gadis remaja berani memaki-makinya di depan orang banyak, apa lagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa gadis ini adalah gadis yang membuat ia tadi kesalahan terhadap kekasihnya, Liu Lu Sian. “Betul aku yang membunuh jahanam Kam Si Ek dan isterinya. Kau mau apa? Bocah lancang, kau punya kepandaian apa berani berlagak di depanku?”
“Cui-beng-kui! Biar akan melayang nyawaku, aku pertaruhkan untuk membalas kematian ayah ibu angkatku!” bentak Lin Lin dan pedangnya menyambar.
“Cringgg!”
Lin Lin terhuyung ke belakang dan matanya memandang terbelalak. Kalau ia tidak mengalami sendiri, mana ia dapat percaya? Pedangnya yang menyambar leher tadi telah ditangkis oleh kuku-kuku jari tangan mayat hidup itu! Betapa mungkin kuku jari dapat membuat pedangnya terpental dan ia terhuyung?
“Lin-moi, jangan lepaskan dia!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan seorang gadis lain berkelebat ke dalam kalangan pertempuran dengan pedang di tangan.
“Enci Eng, hati-hati, dia lihai sekali!” Lin Lin girang melihat Sian Eng muncul dan membantunya, akan tetapi juga khawatir akan keselamatan Sian Eng karena ia maklum bahwa kepandaian enci-nya itu masih jauh terlalu rendah untuk ikut menghadapi iblis yang sakti ini.
“Eng-moi! Lin-moi! Jangan takut, aku datang!” Bu Sin melompat dengan pedang di tangan pula. Pemuda ini sejak munculnya Lin Lin tadi, sudah ingin sekali membantu adiknya, akan tetapi Liu Hwee memegang lengannya dan mencegahnya sambil mengatakan bahwa Cui-beng-kui bukanlah lawannya. Akan tetapi melihat kedua orang adiknya sudah berada di sana menghadapi pembunuh orang tuanya, tentu saja Bu Sin tak dapat tinggal diam lagi. Ia memaksa diri dan meloncat ke kalangan pertempuran menemani kedua orang adiknya.
“Heh, bagus sekali! Kalian ini anak-anak Kam Si Ek si keparat? Mari kuantar kalian menyusul orang tuamu!” Setelah berkata demikian, Cui-beng-kui mengeluarkan suara melengking nyaring tinggi seperti suara suling, disusul tubuhnya yang bergerak ke depan dengan kedua lengan menampar ke arah Bu Sin bertiga.
Pukulan ini mengandung hawa pukulan jarak jauh yang dahsyat sampai terdengar angin bersiutan menyambar-nyambar. Bu Sin cepat mengerahkan sinkang-nya namun ia tetap terhuyung-huyung sampai tiga langkah ke belakang. Lin Lin cepat mengerahkan Khong-in-ban-kin dan berhasil mengelak. Akan tetapi Sian Eng biar pun sudah mengerahkan sinkang, tetap saja ia terguling roboh!
“Keparat, rasakan pedangku!” Lin Lin yang berhasil mengelak tadi kini cepat menggerak-gerakkan pedang menerjang sambil mainkan ilmunya Khong-in-liu-san. Pedangnya menjadi segulung sinar bundar yang cemerlang, bagaikan bola api melayang ke arah Cui-beng-kui.
“Kiam-hoat (ilmu pedang) bagus!” Cui-beng-kui memuji.
Pujian ini sudah membuktikan bahwa ilmu yang ia warisi dari Kim-lun Seng-jin itu memang bukan ilmu rendah. Sayang bagi Lin Lin bahwa ia kurang matang dalam latihan dan tentu saja, dibandingkan dengan Cui-beng-kui, ia kalah beberapa tingkat. Ketika pedangnya menyambar leher, kembali kuku jari tangan iblis itu menangkis pedang dan sekaligus tangan kanan yang berkuku runcing itu mencengkeram ke arah perutnya!
Lin Lin terkejut bukan main. Pedangnya yang tertahan kuku itu seakan-akan menempel. Ia tidak dapat menangkis, juga tidak dapat mengelak, sedangkan jari-jari tangan kanan yang berkuku runcing mengerikan itu mengancam perutnya yang tak terlindungi lagi! Pada saat itu, dalam keadaan terancam bahaya maut, Lin Lin menoleh ke arah Suling Emas, mengharapkan bantuan pendekar sakti ini. Ia melihat Suling Emas menggerakkan tangan kanan dan... Cui-beng-kui meloncat mundur dua langkah, terpaksa melepaskan Lin Lin yang juga cepat membanting diri ke belakang dan bergulingan.
“Keparat, siapa main gila...?!” Cui-beng-kui mendengus marah, memandang ke arah kiri dari mana datangnya batu kecil yang demikian kuat melayang dan mengancam urat nadi pergelangan tangannya tadi.
Akan tetapi pada saat itu telah berloncatan masuk enam orang Khitan yang langsung menyerbunya dengan senjata di tangan. Seorang di antara mereka berseru. “Keparat, berani kau menyerang Tuan Puteri kami yang mulia?”
Cui-beng-kui tercengang, akan tetapi juga timbul kemarahannya. Golok dan pedang yang menerjangnya bagaikan hujan itu ia sambut dengan kedua tangannya.
“Trang-tring-trang-tring...!” terdengar bunyi nyaring ketika senjata-senjata tajam itu beterbangan, kemudian disusul teriakan mengerikan ketika Cui-beng-kui berhasil mencengkeram tubuh dua orang Khitan.
Terdengar suara mengerikan dari daging robek dan dua orang ini roboh mandi darah, dada dan perut mereka robek, isinya berantakan keluar semua! Biar pun senjata mereka sudah terpental, menyaksikan dua orang kawannya tewas, empat orang Khitan yang lain dengan nekat menyerbu. Orang-orang Khitan terkenal gagah berani dan setia kawan, hal yang membuat suku bangsa ini menjadi kuat.
Enam orang yang menyerbu Cui-beng-kui ini adalah enam orang di antara dua puluh empat orang pengikut Pak-sin-tung yang terbagi menjadi empat kelompok, masing-masing terdiri dari enam orang. Sekelompok sudah tewas semua ketika membela Pak-sin-tung, kini kelompok kedua membela Lin Lin. Akan tetapi mereka pun sama sekali bukan tandingan Cui-beng-kui. Berturut-turut terdengar suara mengerikan dan empat orang Khitan yang mengeroyok iblis itu roboh pula dengan isi perut berantakan.
Mendadak dua belas orang Khitan yang lain datang menyerbu, akan tetapi bukan untuk menyerang Cui-beng-kui. Mereka mengeluarkan suara teriakan-teriakan aneh, berlari ke sana ke mari seperti orang melakukan tarian yang membingungkan. Teriakan-teriakan mereka seperti orang-orang menangis, melolong panjang dan tubuh mereka berloncat-loncatan mengitari sekeliling tempat itu.
Cui-beng-kui sendiri dan para tamu merasa terheran-heran karena belum pernah mereka menyaksikan ‘upacara’ macam ini. Tiba-tiba dua belas orang Khitan yang tadinya bersimpang-siur tanpa pernah saling bertabrakan itu, berubah menjadi barisan memanjang dan lari ke luar dari tempat itu sambil berteriak-teriak pula. Setelah mereka pergi, barulah semua orang terheran-heran, karena kepergian mereka ternyata tanpa disangka-sangka, telah membawa pergi pula mayat enam orang Khitan tadi, termasuk Lin Lin!
Mula-mula tidak ada yang menyangka bahwa gadis itu pun ikut pergi, karena dalam keadaan kacau-balau itu tidak terlihat Lin Lin ikut pergi. Akan tetapi ketika Bu Sin dan Sian Eng mencari adik mereka ini, ternyata Lin Lin tidak berada di situ dan barulah mereka menduga bahwa tentu Lin Lin ikut pergi dengan rombongan orang Khitan itu sebagai tuan puteri mereka! Selagi mereka kebingungan dan hendak nekat menerjang Cui-beng-kui pembunuh orang tua mereka, tiba-tiba Suling Emas sudah berada di belakang mereka dan berkata perlahan.
“Bu Sin, Sian Eng, mundurlah. Dia bukan lawanmu.”
“Twako, dia... dia pembunuh ayah ibu...!” Bu Sin membantah.
Sian Eng terharu mendengar kakaknya menyebut ‘twako’ kepada Suling Emas. Kini semua keraguannya lenyap. Jelas bahwa Suling Emas adalah kakaknya, Kam Bu Song yang selama ini mereka cari-cari, dan Bu Sin sudah mengetahuinya pula. Dengan terharu dan air mata berlinang ia memegang lengan Suling Emas, berkata perlahan. “Kau... kau Kakak Bu Song?”
Suling Emas tunduk memandang wajah cantik itu, lalu merangkul pundaknya dan mengelus rambut kepalanya. “Sian Eng, adikku, apakah baru sekarang kau tahu? Kalian berdua jangan melawannya, dia amat lihai, bukan lawan kalian.”
“Song-koko, kau majulah, balaskan kematian ayah kita...!” Sian Eng berkata.
Suling Emas tersenyum duka, lalu menggerakkan mukanya memandang ke arah depan. “Tenanglah dan lihat, dia bertemu tanding.”
Ketika mereka memandang, kiranya sambil tertawa-tawa It-gan Kai-ong sudah maju lagi berhadapan dengan Cui-beng-kui. Di belakangnya sekarang berdiri Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong!
“Hemmm, jembel busuk. Apakah kau hendak mengeroyok? Aku tidak takut, biar dua orang liar ini maju membantumu!” kata Cui-bengkui, nadanya mengejek.
“Ho-ho-heh-heh, aku tidak marah lagi padamu, Cui-beng-kui! Cara kau membereskan lawan-lawanmu benar-benar menyenangkan, cocok sekali kau menjadi seorang di antara Enam Iblis! Tak boleh kita saling basmi. Enam iblis harus tetap utuh. Tentang penentuan siapa paling unggul, nanti bulan lima malam kelima belas kita main-main di puncak Thai-san, Thian-te Liok-koai (Enam Iblis Dunia) akan bertemu dan saling menguji kepandaian di sana.”
“Hemmm, kau masih berani memaki Liu Lu Sian?”
“Ho-ho-ho, aku tidak memakinya lagi. Musuhmu bukan aku, melainkan keluarga she Kam. Kita Thian-te Liok-koai semua memusuhi Kerajaan Sung yang sombong. Sayang hanya Nan-cao yang tidak mau tahu, terlalu tenggelam dalam keangkuhan sendiri. Tanpa persatuan kerajaan-kerajaan kecil, mana dapat melawan? Mereka yang keenakan tenggelam, tentu kelak akan tahu rasa kalau Kerajaan Sung sudah menyerbu dan merampas kerajaan-kerajaannya. Cui-beng-kui orang Nan-cao, Siang-mou Sin-ni orang Hou-han, Hek-giam-lo orang Khitan, aku sendiri dari Wu-yueh, sedangkan Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong dari pulau kosong di Lam-hai. Kenapa kita saling bertentangan? Lebih baik Thian-te Liok-koai bersatu untuk menumbangkan pemerintah Sung. Hal ini selain akan mengangkat tinggi-tinggi nama Thian-te Liok-koai, juga akan membebaskan kerajaan-kerajaan kecil dari pada ancaman Sung Utara!”
Ucapan It-gan Kai-ong ini bergema di tengah-tengah kesunyian para tamu yang mendengarnya. Kata-kata itu agaknya termakan betul di hati mereka. Hanya utusan Kerajaan Sung yang menjadi pucat lalu merah mukanya, tanda bahwa mereka terkejut dan marah. Selama ini, mereka menganggap It-gan Kai-ong se­bagai tokoh sakti yang tidak memusuhi Sung, karena semua tahu belaka bahwa kakek ini adalah guru dari Suma Boan, seorang putera Pangeran Sung. Siapa kira di tempat ini, disaksikan oleh para utusan dari semua pelosok, kakek pengemis ini mengeluarkan kata-kata seperti itu!
Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu disambung berkelebatnya bayangan yang gesit sekali. Sukar diikuti pandang mata gerakan ini dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita berambut panjang, cantik jelita, rambutnya riap-riapan. Siapa lagi kalau bukan Siang-mou Sin-ni! Dari rambutnya yang panjang terurai ini tersebar bau harum semerbak.
“Aku setuju dengan ucapan It-gan Kai-ong! Hi-hik, baru kali ini selamanya aku cocok dengan pendapat kakek jembel busuk ini! Kerajaan Hou-han selalu menyambut setiap uluran menghadapi Sung!”
Makin tegang keadaan di situ, terutama di antara para utusan Sung. Mereka ini diam-diam memperhatikan wajah para tamu, dan tentu saja mereka mengharapkan agar tidak banyak yang menyetujui ucapan permusuhan yang dicetuskan oleh It-gan Kai-ong terhadap Sung itu.
“Ho-ho-heh-heh! Bagus sekali, dewi cantik Siang-mou Sin-ni juga telah setuju! Nah, Cui-beng-kui, mau tunggu apa lagi kau? Di antara Thian-te Liok-koai, sudah ada empat tokoh yang setuju. Aku yakin yang kelima, yaitu Hek-giam-lo, tentu akan setuju pula. Orang-orang Khitan selamanya tidak menaruh hati suka terhadap Sung Utara!”
Hati Ouwyang Swan, Panglima Sung yang menjadi utusan kerajaannya, makin gelisah. Bukan gelisah karena nasib dia dan rombongannya, melainkan sebagai seorang panglima dan patriot sejati, ia gelisah akan nasib negaranya. Kalau cetusan permusuhan terhadap Sung ini berhasil, negaranya akan dikeroyok dari segenap penjuru. Ia tahu bahwa kalau Enam Iblis itu membantu pihak lawan, akan berbahaya sekali. Otomatis pandang matanya mencari-cari Suling Emas. Ia tahu bahwa pendekar sakti ini amat baik hubungannya dengan Kerajaan Sung.
“It-gan Kai-ong, jangan membuka mulut kotor di sini!” tiba-tiba Suling Emas berkata dengan suara nyaring. “Nan-cao dengan Beng-kauw mengadakan peringatan dan mengundang semua tamu tanpa memandang perbedaan, tidak nanti para pimpinan Beng-kauw yang bijaksana mendengar ocehanmu yang berbisa!”
Kemudian pendekar ini menghadapi Cui-beng-kui dan dengan suara hormat ia berkata, “Locianpwe, harap jangan mendengarkan obrolan mulut berbisa It-gan Kai-ong. Semua itu adalah rencana jembel busuk itu dengan muridnya, Suma Boan yang mempunyai rencana memukul Kerajaan Sung dari dalam dan merampas kekuasaan. Hanya orang-orang bodoh saja yang dapat diperalat oleh It-gan Kai-ong dengan rencana busuknya. Locianpwe sebagai bekas panglima ketua dapat memaklumi rencana busuk seperti itu.”
Hening sejenak mengikuti ucapan Suling Emas yang lantang ini. Kemudian terdengar It-gan Kai-ong terkekeh. “Ho-ho-heh-heh, Cui-beng-kui tokoh besar Thian-te Liok-koai, mana bisa dibujuk seorang bocah dengan lidah tak bertulang? Cui-beng-kui, kau tentu tahu siapa dia? Dialah yang disebut Suling Emas, bocah sombong yang mengandalkan kepandaian beberapa ilmu yang diwarisinya dari Kim-mo Tai-su. Tapi, kau tentu tidak menduga bahwa dia ini sebetulnya bernama Kam Bu Song, keturunan satu-satunya dari bekas kekasihmu Liu Lu Sian dan Kam Si Ek. Heh-heh, dia ini anak musuh besarmu, dialah buah dari pada percintaan antara kekasihmu dan jenderal itu.”
Mendadak Cui-beng-kui mengeluarkan suara melengking tinggi dan serta-merta ia menubruk Suling Emas dengan serangan maut dari kuku-kuku jari tangannya! Suling Emas sendiri kaget setengah mati mendengar betapa It-gan Kai-ong membuka rahasianya. Ia tidak tahu bahwa kakek itu mendengar rahasia ini dari Suma Boan yang bersama Sian Eng telah dapat mengetahui rahasia Suling Emas. Kini hal itu dijadikan senjata oleh It-gan Kai-ong untuk membakar hati Cui-beng-kui dan berhasillah usahanya. Cui-beng-kui yang merasa amat sakit hati terhadap mendiang Kam Si Ek yang merampas kekasihnya, kini marah sekali mendengar bahwa Suling Emas adalah anak jenderal itu bersama kekasihnya, Liu Lu Sian.
Namun Suling Emas bukanlah seorang lemah. Jauh dari pada itu, ia malah seorang sakti yang memiliki ilmu tinggi, menghadapi serangan mendadak yang amat dahsyat itu ia berlaku tenang. Cepat kakinya menendang bumi dan tubuhnya melayang ke belakang menghindari terjangan hebat.
“Locianpwe, sabarlah. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Pertama karena....” Terpaksa ia menghentikan kata-katanya karena pada saat itu Cui-beng-kui sudah menubruk dengan tangan kanan memukul ke arah dada sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala! Hebatnya bukan kepalang serangan ini, apa lagi dibarengi bentakan yang demikian nyaringnya sehingga banyak tamu yang kurang kuat roboh lemas!
Suling Emas terkejut. Ia sendiri merasa betapa jantungnya tergetar oleh bentakan ini dan maklumlah ia bahwa mungkin selama puluhan tahun bersembunyi di dalam peti mati telah mendatangkan semacam tenaga gaib yang amat mukjijat dalam bentakan mayat hidup itu. Ia maklum bahwa kalau ia mengadu tenaga menangkis, tenaga sinkang-nya akan berkurang oleh suara bentakan yang melengking tinggi mengerikan itu. Kembali ia meloncat ke samping menghindarkan diri sambil mencabut sulingnya.
Begitu ia menggerakkan sulingnya, terdengarlah suara melengking kedua yang jauh bedanya. Kalau suara melengking yang keluar dari kerongkongan Cui-beng-kui terdengar kasar seakan-akan hendak mencopot jantung memecahkan anak telinga, adalah lengking yang keluar dari suling Suling Emas terdengar lemah gemulai, halus lembut dan merdu, namun juga mengandung tenaga mukjijat yang seakan-akan mencopoti semua urat syaraf dalam tubuh. Kembali banyak tamu terguling roboh, merintih-rintih, merasa seluruh tubuh seperti ditusuk-tusuk jarum.
“... karena kau adalah tokoh Nan-cao,” suara Suling Emas terdengar jelas mengatasi dua suara melengking. “Kedua, karena kesetiaanmu terhadap ibuku sehingga kau rela hidup menderita....”
Kembali ia menghentikan kata-katanya karena serangan Cui-beng-kui makin dahsyat. Gerakan kedua lengan tangan Ciu-beng-kui merupakan lingkaran-lingkaran yang mematikan semua jalan ke luar, tak mungkin kali ini Suling Emas mengelak lagi. Terpaksa pendekar sakti ini mengerahkan tenaga, menangkis dengan sulingnya sedangkan tangan kirinya dengan jari terbuka didorongkan ke depan menyambut pukulan tangan kanan lawan.
Lengking suara Cui-beng-kui berubah menjadi pekik kemarahan dan kesakitan ketika tangan kirinya terpukul suling dari samping. Agaknya ia merasa sakit, maka dengan kemarahan besar ia memusatkan tenaganya pada tangan kanan yang disambut tangan kiri Suling Emas.
“Desssss...!” telapak tangan Suling Emas bertemu dengan tangan Cui-beng-kui.
Pertemuan dua tenaga raksasa yang tidak kelihatan ini akibatnya luar biasa. Sejenak keduanya seakan-akan tertahan dan tangan mereka saling tempel melekat, akan tetapi beberapa detik kemudian, keduanya terhuyung ke belakang. Suling Emas tak dapat menahan dirinya, terjungkal dengan muka pucat, sedangkan Cui-beng-kui terhuyung-huyung dan berdiri dengan napas terengah-engah, tubuhnya menggigil.
Bu Sin dan Sian Eng cepat menghampiri kakak mereka itu, membantunya bangun. Suling Emas meramkan mata sebentar, kemudian tersenyum, membuka mata dan menggoyang-goyangkan kepalanya. “Mundurlah kalian... aku tidak apa-apa...,” katanya, siap untuk menghadapi Cui-beng-kui yang ganas.
Dengan wajah penuh kekhawatiran, Bu Sin dan Sian Eng mundur. Suling Emas sudah berdiri dan kini dia merasa penasaran. Mayat hidup itu tidak tahu diri, pikirnya. Tidak tahu bahwa ia sebagai orang muda sudah mengalah banyak. Ia berlaku sungkan karena mengingat akan ibunya, ingat bahwa orang ini adalah seorang yang sengsara hidupnya karena cinta kasihnya terhadap ibunya. Inilah sebabnya mengapa ia masih berlaku sabar sungguh pun ia tahu bahwa orang ini adalah pembunuh ayahnya.
Ia sudah banyak mengalah. Siapa kira, Cui-beng-kui malah menggunakan kesempatan selagi ia mengalah itu untuk mencelakainya, dengan melontarkan pukulan tadi. Ia dapat menduga, itulah pukulan maut yang kata orang disebut Cui-beng-ciang (Pukulan Pengejar Roh), yang selalu menjadi buah percakapan para tokoh tingkat tinggi dengan hati kagum karena selama ini belum pernah ada yang sanggup mengatasi pukulan maut itu! Dengan pukulan ini pula Cui-beng-kui mengangkat namanya menjadi seorang di antara Enam Iblis. Dan sekarang iblis itu telah menggunakan pukulan ini terhadapnya!
“Iblis tua, kau tidak tahu dihormat orang muda!” katanya perlahan dan timbul niat untuk memberi hajaran kepada Cui-beng-kui.
Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti dan memandang tajam. Tidak hanya Suling Emas yang tertegun heran, juga para tokoh besar yang hadir di situ tertegun karena telinga mereka yang terlatih mendengar suara yang terlampau tinggi untuk dapat ditangkap telinga biasa. Suara ini makin lama makin kuat dan sudah tampak banyak orang di kalangan tamu yang roboh pingsan! Tidak hanya yang berkepandaian rendah, bahkan yang cukup pandai pun tidak kuat menahan getaran yang tiba-tiba menguasai seluruh tubuh mereka itu. Sebentar saja, puluhan orang tamu menggeletak pingsan. Hal ini mengejutkan semua orang sakti yang berada di situ.
Ketua Beng-kauw sendiri tampak duduk tak bergerak mengerutkan keningnya, kelihatan mengerahkan tenaga batin untuk menolak pengaruh seperti pembawaan iblis ini. Namun diam-diam ia bertukar pandang dengan sutenya, Kauw Bian Cinjin, karena timbul dugaan di dalam hatinya. Nyata dari pandang matanya, kiranya Kauw Bian Cinjin juga merasakan hal yang sama dan mempunyai dugaan sama pula.
Mereka itu sebagai tokoh-tokoh tertinggi Beng-kauw hanya pernah mendengar mendiang Pat-jiu Sin-ong, suheng mereka, mendongeng tentang guru besar Beng-kauw yang memiliki kesaktian sebagai dewa-dewa di langit! Di antara kesaktian-kesaktian itu, kata Pat-jiu Sin-ong, yang pernah dilihat oleh ketua Beng-kauw pertama itu adalah ilmu yang disebut Coan-im-i-hun-to, yaitu ilmu mengirim suara gaib merampas semangat.
Ilmu ini merupakan cabang dari pada ilmu Sin-gan-i-hun-to, semacam ilmu merampas semangat melalui pandang mata (Hypnotism?), hanya bedanya, yang pertama menggunakan khikang yang disalurkan melalui getaran suara dalam untuk mempengaruhi orang lain, sedangkan yang kedua lebih menggantungkan kepada kekuatan yang disalurkan melalui pandang mata. Menurut dongeng yang diceritakan mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, guru besar Beng-kauw dapat mempergunakan Coan-im-i-hun-to sedemikian hebatnya sehingga dengan suara itu dapat meruntuhkan burung-burung yang sedang terbang dan dapat menundukkan dan memanggil datang semua binatang buas di dalam hutan.
Kini mereka mendengar suara bernada begitu tinggi dengan getaran aneh yang amat kuat, tentu saja timbul dugaan, apakah ini gerangan yang disebut Coan-im-i-hun-to? Kalau benar demikian, siapakah orangnya yang sanggup menggunakannya? Mendiang Pat-jiu Sin-ong sendiri menurut pengakuannya hanya dapat menggunakan sepersepuluh bagian saja. Suara yang dikeluarkannya masih didengar telinga biasa dan daya serangnya pun tidak begitu kuat. Akan tetapi yang sekarang menggunakan ilmu itu sekaligus dapat membikin puluhan orang tamu yang semua ahli silat belaka, roboh pingsan!
Kalau dua orang tokoh Beng-kauw itu menduga-duga, maka tokoh-tokoh lain, termasuk orang-orang sakti seperti It-gan Kai-ong, Toat-beng Koai-jin, Tok-sim Lo-tong, Siang-mou Sin-ni, Suling Emas dan lain-lain, menjadi terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi tentu saja dengan sinkang yang amat kuat, mereka tidak terpengaruh terlalu hebat oleh getaran suara itu.
Tiba-tiba terdengar suara merdu halus, mengambang di atas getaran tadi. “Ma-susiok (Paman Guru Ma), berani kau mengganggu anakku?”
Suling Emas sedang sibuk mengurut dan menotok jalan darah di belakang pundak dan tengkuk Sian Eng yang juga roboh pingsan oleh suara tadi, sedangkan Bu Sin di dekat Sian Eng duduk bersila meramkan mata mengerahkan tenaga dalam seperti yang ia pelajari dari kakek sakti sehingga ia terbebas dari pada pengaruh Coan-im-i-hun-to. Ketika mendengar suara ini, Suling Emas menjadi pucat mukanya. Cepat ia melompat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan... kedua kaki pendekar ini menggigil!
Kini semua mata tertuju ke arah pintu dalam ruangan sembahyang karena dari dalam pintu itu keluarlah seorang wanita, langkahnya perlahan dan ringan seakan-akan tidak menginjak lantai. Munculnya wanita ini mengakhiri suara dan getaran tadi. Langkahnya ringan, sikapnya agung dan pribadinya mendatangkan kesan yang bermacam-macam. Ia sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya, namun masih cantik jelita mengagumkan. Bentuk mukanya yang manis berkulit putih, memerah dadu di kedua pipinya, hidungnya kecil mancung, mulutnya kecil dengan bibir merah dan indah bentuknya, seperti gendewa terpentang. Sepasang matanya menyaingi mata burung hong yang sedang birahi, dihias bulu mata panjang hitam melentik, dilindungi sepasang alis kecil panjang menjungat ke atas di bagian ujungnya, dagunya meruncing dan sedikit pun tidak tampak tanda-tanda keriput. Hanya pada rambutnya terdapat tanda usia tua. Rambutnya tebal dan panjang terurai sampai ke lutut, menutupi seluruh tubuh bagian belakang, akan tetapi rambut itu sudah tampak berwarna dua karena banyaknya rambut putih terselip di sana-sini.
Hanya tiga orang saja di seluruh ruangan itu yang mengetahui dengan pasti siapa wanita ini. Pertama adalah Beng-kauwcu Liu Mo, karena kakek ini memang tahu bahwa keponakannya yang selama puluhan tahun lenyap dari dunia ramai, beberapa tahun yang lalu ini telah kembali dan bersembunyi di lorong-lorong rahasia yang merupakan terowongan di bawah tanah. Juga Liu Hwee, puteri ketua Beng-kauw, tahu akan hal ini dan seperti pernah diceritakan di bagian depan ketika melarikan diri bersama Bu Sin, Liu Hwee mengajak Bu Sin melalui bagian di mana bersembunyi wanita itu. Orang ketiga yang tahu akan wanita ini adalah Cui-beng-kui, karena wanita ini adalah kekasihnya dan merupakan satu-satunya orang yang paling ia cinta, ia segani dan ia takuti di seluruh dunia ini.
Masih ada seorang lagi yang hanya menduga-duga dengan ragu-ragu dan dengan jantung berdebar keras serta kedua kaki menggigil, yaitu Suling Emas sendiri. Inikah ibu kandungnya? Ia memeras ingatannya. Ketika ia berusia kurang lebih sembilan tahun, ibunya pergi meninggalkan ia dan ayahnya. Pergi tanpa pamit dan tidak ada yang tahu ke mana perginya, malah semenjak itu sampai saat ini belum pernah ia bertemu muka. Ia ingat bahwa dahulu ibunya seorang wanita cantik jelita. Ketika pada saat itu tercium olehnya bau harum semerbak yang juga tercium oleh semua orang pada saat wanita itu muncul, teringatiah Suling Emas.
Tak salah lagi, inilah ibu kandungnya. Bau wangi seperti ini pula yang tak pernah ia lupakan, bau ibunya dulu.
Akan tetapi ia menahan perasaannya sehingga lidahnya yang sudah bergerak, bibirnya yang sudah gemetar hendak meneriakkan panggilan itu ia tahan. Matanya memandang sayu, penuh keharuan, penuh kedukaan, dan penuh kehausan kasih sayang ibu.
Wanita itu memang bukan lain adalah
Tok-siauw-kui Lu Lu Sian, yang pada tiga puluhan tahun yang lalu menggemparkan dunia kang-ouw dengan sepak terjangnya yang ganas, dengan ilmu silatnya yang tinggi, dan dengan kecantikannya yang luar biasa. Selama berpisah atau bercerai dari Kam Si Ek, dunia kang-ouw tidak mendengar lagi namanya, namun bagi mereka yang berurusan dengannya, tentu saja tidak akan dapat melupakan wanita hebat ini.
Kini semua orang memandangnya. Yang sudah mengenalnya terkejut, yang belum mengenalnya menduga-duga siapa gerangan wanita yang dapat menggunakan ilmunya sedemikian hebat sehingga dengan suaranya saja dapat membikin pingsan puluhan orang. Liu Lu Sian melangkah maju terus, langkahnya lambat akan tetapi ada sesuatu yang amat mengerikan tersembunyi di balik kecantikannya, di balik langkah yang lemah gemulai, di balik sikap yang agung. Sepasang matanya menyapu para tamu dengan tak acuh, dan kedua kakinya terus melangkah menghampiri Cui-beng-kui.
Iblis yang biasanya menyeramkan hati setiap orang itu kini berdiri dengan kedua kaki menggigil, sinar matanya mengandung takut yang amat hebat, punggungnya membungkuk-bungkuk dan dari bibir mayatnya itu keluar ucapan lemah tersendat-sendat, “Tidak... tidak... Lu Sian... jangan kau benci padaku... ah, ampunkanlah aku... jangan benci....”
“Berani kau menggunakan Cui-beng-ciang mencoba membunuhnya?” kembali Liu Lu Sian berkata lirih, terus melangkah mendekati.
“Ti... tidak... Lu Sian... aku benci karena dia... dia putera Si Ek. Jangan... jangan pandang aku seperti itu... Lu Sian... kau ampunkan aku... kau bunuhlah aku... tapi jangan benci...!”
Semua orang melongo. Benar-benar sebuah adegan yang aneh, lucu, juga mengharukan. Kiranya iblis itu bukan takut akan keselamatannya, melainkan takut kalau-kalau wanita yang dicintanya itu membencinya! Dari adegan itu sudah dapat dibayangkan betapa besar dan mendalam cinta kasih iblis itu terhadap Liu Lu Sian!
Cui-beng-kui mundur-mundur, terus diikuti Liu Lu Sian dan akhirnya mereka berdiri berhadapan, saling menentang pandang. Wanita itu tersenyum dan semua orang tersirap darahnya. Senyum itu masih manis luar biasa karena semua giginya masih utuh. Akan tetapi entah bagaimana, di balik senyum ini terbayang sesuatu yang tidak semestinya, yang membikin orang bergidik, yang meremangkan bulu roma, seperti senyum seorang siluman!
“Tidak, Ma Thai Kun, betapa aku dapat membencimu? Dahulu aku memang benci padamu karena kau mendesak-desakku dengan cinta kasihmu yang membikin aku gemas dan benci karena rupamu buruk. Aku lebih baik memilih Kam Si Ek yang tampan dan gagah, dan memilih pria-pria lain yang tampan. Akan tetapi cinta kasih mereka itu semua palsu belaka, hanya cinta kasihmu yang murni, Ma Thai Kun. Kalau dahulu aku memilihmu, tidak akan terjadi seperti sekarang ini, hidupku penuh pahit getir dan kekecewaan. Ma Thai Kun, biarlah orang-orang tiada guna ini semua menyaksikan bahwa sekarang aku menerima cintamu, aku menerima cinta kasihmu yang suci murni!”
Semua orang melongo. Benar-benar adegan yang luar biasa di mana seorang wanita tua menyatakan cinta kasih kepada kakek yang seperti iblis. Adegan roman yang tidak romantis, bahkan lucu dan menyeramkan. Ingin mereka itu tertawa, namun tidak ada yang berani membuka mulut. Mereka tetap melongo dan mulut mereka terbuka makin lebar ketika melihat betapa Cui-beng-kui menangis!
Iblis itu menangis, melangkah maju dan merangkul Liu Lu Sian. Di antara tangisnya terdengar ia berkata, “Terima kasih... terima kasih Lu Sian, aku cinta padamu....”
Wanita cantik jelita itu kemudian menyambut muka mayat hidup itu dengan sebuah ciuman mesra, terdengar kata-katanya, “Aku menciummu sebagai tanda penerimaan cinta kasihmu, akan tetapi aku harus membunuhmu karena kau telah mengganggu anakku....” Ucapan ini disusul ciuman, akan tetapi ciuman ini merupakan ciuman maut bagi Cui-beng-kui karena tiba-tiba tubuhnya berkelojotan kaku.
Ketika wanita itu melepaskan rangkulannya, ia roboh terguling miring dengan mata melotot. Darah keluar dari semua lubang di tubuhnya, yang tampak mengerikan keluar dari lubang hidung, mulut, dan kedua telinganya. Di punggungnya, di mana tadi kedua tangan Liu Lu Sian memeluknya, tampak tanda tapak tangan dengan sepuluh jari, jelas sekali bekas jari-jari itu terbenam di punggung, meninggalkan cap tangan seperti baru saja punggung itu dicap dengan gambar tangan besi dibakar merah!
“Wah, Thian-te Liok-koai kurang seorang!” terdengar It-gan Kai-ong mengeluh dan membanting ujung tongkatnya di atas tanah. “Tok-siauw-kui, kau boleh menggantikan kedudukannya. Heh-heh, dengan tingkat kepandaianmu, kau cukup berharga menjadi Iblis Dunia dan kehadiranmu menggantikan Cui-beng-kui membuat Thian-te Liok-koai lengkap kembali. Ho-ho-he!”
Memang seorang tokoh sakti seperti It-gan Kai-ong ini memiliki watak yang aneh juga cerdik. Ia maklum bahwa baru saja Tok-siauw-kui Liu Lu Sian memamerkan kepandaiannya sehingga semua orang menjadi kagum. Hal ini akan merendahkan nama besar Thian-te Liok-koai, apa lagi setelah seorang di antara Liok-koai terbunuh oleh wanita itu. Oleh karena inilah maka ia sengaja mengeluarkan ucapan itu sehingga timbul kesan bahwa bagi It-gan Kai-ong dan anggota Liok-koai lainnya, kepandaian Tok-siau-kui itu hanya setingkat dengan kepandaian mereka!
“Tikus busuk, jangan menjual lagak di sini. Pergi!” Liu Lu Sian berkata sambil menggerakkan kaki melayang ke depan dan tangan kanannya bergerak mendorong. Gerakannya kelihatan lambat saja, akan tetapi entah bagaimana, tak dapat diikuti oleh pandangan mereka, tahu-tahu ia telah berada di sebelah atas pundak kanan It-gan Kai-ong dan kedua tangannya dengan jari tangan terbuka menghantam kepala dan punggung!
Hebat bukan main serangan ini. It­gan Kai-ong merasa seakan-akan diserang gelombang ombak dari belakang dan depan. Namun sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan, tentu saja ia tidak mau menyerah mentah-mentah. Tongkatnya sudah berkelebat ke atas menangkis kedua tangan lawan. Ia berhasil menangkis tangan yang menghantam kepala, akan tetapi tangan yang menampar pundak, biar pun dapat ia elakkan sehingga tidak tepat mengenai tempat berbahaya, namun masih saja menyerempetnya.
“Plakkk... brettt!!”
Keduanya melompat mundur. Dalam segebrakan saja sudah tampak kesudahannya yang mengerikan. Untung keduanya memiliki ilmu tinggi, kalau tidak tentu keduanya sudah roboh dan tewas. Lengan kiri Liu Lu Sian tampak berjalur merah akibat tangkisan tongkat, akan tetapi kakek pengemis itu lebih hebat penderitaannya. Baju pada pundaknya bolong besar seperti terbakar dan kulit pundaknya melepuh! Untung sinkang-nya amat kuat sehingga ia berhasil menolak hawa pukulan maut tadi sehingga hanya terluka pada kulitnya saja. Kalau kurang kuat, tentu di pundaknya sudah terdapat ‘cap’ lima jari merah terbakar dan nyawanya melayang!
Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong sudah melangkah maju, sikap mereka jelas hendak membantu It-gan Kai-ong. Akan tetapi kakek pengemis itu menggunakan kedua lengannya mencegah mereka, lalu menghadapi Liu Lu Sian sambil berkata.
“Bagus, kau memang patut menjadi seorang di antara Thian-te Liok-koai. Akan tetapi adu kepandaian di antara Liok-koai bukan di sini tempatnya. Untuk menentukan siapa lebih unggul, kau diharapkan ikut datang pada bulan lima malam kelima belas di puncak Thai­san. Yang tidak datang dianggap kalah dan diberi tingkat paling rendah. Ho-ho-heh-heh!”
“Kai-ong, apakah dia tidak diberi hajaran sedikit agar jangan sombong terhadap kita?” Tok-sim Lo-tong berkata sambil ‘sentrap-sentrup’ menyedot isi hidungnya yang mau keluar saja.
“Jangan, Lo-tong. Dia masih terhitung orang dalam dari Beng-kauw, tidak enak kita sebagai tamu membikin ribut. Nah, Beng-kauwcu, selamat tinggal! Tok-siauw-kwi, kalau nanti go-gwe-cap-go (bulan lima tanggal lima belas) kau tidak datang, berarti kau menjadi Liok-koai yang paling bawah tingkatnya!” Setelah berkata demikian, It-gan Kai-ong menggapai muridnya, Suma Boan, diajak pergi dari tempat itu, diikuti oleh Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong. Berturut-turut para wakil dari Kerajaan Wu-yueh juga berpamitan, karena setelah kakek pengemis yang mereka andalkan itu pergi, otomatis mereka merasa kedudukan mereka amat lemah dan tidak ada perlunya berada di situ lebih lama lagi.
Bu Sin merasa heran dan kaget, juga gemas ketika melihat Suma Boan mendekati tempat mereka dan berkata kepada Sian Eng, “Eng-moi-moi, kau tunggulah, aku pasti akan pergi mengunjungi Kui Lan Nikouw di Cin-ling-san.”
Betapa herannya hati Bu Sin melihat adiknya itu mengangguk dengan muka merah. Setelah Suma Boan pergi, Bu Sin memegang tangan adiknya dan bertanya lirih, setengah berbisik, akan tetapi suaranya mengandung tuntutan keterangan, “Eng-moi, apa artinya ini? Apa hubunganmu dengan keparat itu dan mau apa ia mengunjungi Sukouw (Bibi Guru)?”
Merah sekali muka Sian Eng. Lama ia tidak mampu menjawab, hanya menundukkan muka. Akhirnya ia berkata juga, “Dia... dia hendak melamarku....”
Bu Sin meloncat kaget seperti disengat lebah. “Apa...?!” Wajahnya jelas membayangkan tidak percaya.
“Mengapa kau kaget, Koko? Bukankah itu hal yang biasa saja?”
“Kau bilang biasa? Ah, Moi-moi, mana akalmu yang sehat? Apakah... agaknya kau telah menyetujuinya...?”
“Sudahlah, Koko. Ini bukan urusan kita, terserah keputusan Sukouw saja....”
“Tidak! Kau tidak boleh berjodoh dengan keparat itu! Dia jahat, dia... dia... ah, Eng-moi, bagaimana kau...?”
“Sssttttt, Koko. Kita menjadi perhatian orang. Lihat itu, ada keributan lagi...,” Sian Eng mencegah, merasa bahwa bukan pada tempatnya kalau ia membicarakan soal hubungannya dengan Suma Boan di tempat itu.
Bu Sin menengok dan benar saja. Semua tamu yang tadinya agak kacau oleh keberangkatan beberapa rombongan, kini tenang kembali dan memandang ke arah rombongan tuan rumah karena di situ terjadi hal yang menarik sekali.
“Kita akan bicara tentang ini nanti...,” kata Sian Eng perlahan dan Bu Sin dengan muka keruh terpaksa mengalihkan perhatiannya.
Apakah yang terjadi? Kiranya Liu Lu Sian tadi menoleh ke arah Siang-mou Sin-ni dan berkata ketus. “Kau masih di sini dan tidak lekas angkat kaki?”
Siang-mou Sin-ni melesat dari tempat duduknya dan kini ia berhadapan dengan Liu Lu Sian. Amat menarik melihat dua orang wanita ini berdiri saling berhadapan. Keduanya sama cantiknya, biar pun Siang-mou Sin-ni tentu saja lebih muda dari pada Liu Lu Sian. Keduanya memiliki rambut yang sama panjangnya dan keduanya mengurai rambut di belakang tubuh. Heranlah semua orang ketika dengan sikap amat menghormat, Siang-mou Sin-ni menjura di depan Liu Lu Sian dan berkata.
“Beruntung sekali dapat berjumpa dengan Suthai di sini setelah bertahun-tahun saling berpisah. Semoga Suthai dalam keadaan baik saja.” Tentu saja semua orang terheran. Sebutan suthai (ibu guru) biasanya hanya ditujukan kepada seorang pendeta wanita atau kepada seorang guru.
Bagaimanakah iblis wanita Siang-mou Sin-ni menyebut suthai kepada Liu Lu Sian?.
“Kim Bwee, sejak kapan aku menjadi gurumu? Apakah karena satu dua ilmu yang kuberikan kepadamu itu kau lalu boleh menganggap aku sebagai guru? Tidak! Jangan kira kau akan dapat membujukku, mengangkat menjadi gurumu lalu kau ingin aku membantu cita-citamu menguasai Hou-han? Huh, perempuan tak tahu malu. Pergi kau!”
Muka Siang-mou Sin-ni menjadi merah sekali, dan rambutnya yang halus itu tiba-tiba menjadi kaku. Tiba-tiba sikapnya yang menghormat itu lenyap, terganti sikap menantang. Ia mengangkat kedua tangan ke pinggangnya, dengan tangan kanan bertolak pinggang dan tangan kiri menudingkan telunjuk, ia berkata, “Karena menerima ilmu darimu, aku selamanya mengurai rambut dan berterima kasih, menghormatmu sebagai guru. Akan tetapi kau memandang rendah kepadaku. Hemmm, benar-benar kau orang tua yang tidak ingin dihormat!”
Liu Lu Sian tersenyum, lalu melangkah maju sampai dekat sekali dengan Siang-mou Sin-ni. “Bocah! Sekali menggerakkan tangan, aku mampu melempar nyawamu ke neraka! Akan tetapi mengingat beberapa orang di Hou-han, aku masih mengampunimu. Nah, kau mau apa? Mau menyerangku dengan rambutmu? Boleh, lakukanlah!” Tantangan yang menghina sekali.
“Wanita tak kenal budi! Di Hou-han kami memperlakukan kau sebagai orang mulia, menyuguhkan pria-pria yang paling tampan, jejaka-jejaka paling gagah untukmu. Tapi kau membalas dengan penghinaan! Jangan kira Siang-mou Sin-ni masih seperti sepuluh tahun yang lalu. Terimalah ini!”
Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni menggerakkan kepalanya dan rambutnya yang gemuk hitam dan panjang itu menyambar, merupakan puluhan pecut yang luar biasa kuat dan lihainya. Setiap pecut yang terbuat dari puluhan sampai ratusan helai rambut itu mengarah jalan darah mematikan di tubuh Liu Lu Sian!
Perlu diketahui bahwa meski pun Siang-mou Sin-ni memang sejak kecil melatih diri dengan ilmu silat tinggi, namun ilmu menggunakan rambut ini ia dapat dari Liu Lu Sian. Tentu saja ilmu ini biar pun amat berbahaya bagi orang lain, namun bagi Liu Lu Sian bukan apa-apa lagi. Wanita ini tiba-tiba merendahkan tubuhnya, dari mulutnya keluar lengking tinggi mengerikan, kedua tangannya bergerak-gerak ke depan dan... pecut-pecut rambut itu berkibar-kibar membalik dan menghantam Siang-mou Sin-ni sendiri!
“Ayaaaaa!” Siang-mou Sin-ni kaget dan cepat ia melompat ke atas dan berjungkir balik beberapa kali untuk melenyapkan daya serangan membalik tadi. Ketika ia turun di atas tanah, ternyata sebagian rambutnya yang panjang telah bodol dan berhamburan di atas tanah. Wajahnya berubah pucat, giginya berkerut, dan matanya mendelik.
“Liu Lu Sian! Kau besar hati karena berada di tempat sendiri. Andai kata aku dapat mengalahkanmu, tentu aku akan menghadapi perlawanan anakmu si Suling Emas dan orang-orang Beng-kauw. Aku tunggu nanti Go-gwe Cap-go di puncak Thai-san!” Setelah berkata demikian, Siang-mou Sin-ni berkelebat cepat menghilang dari situ. Tentu saja para utusan Hou-han menjadi sibuk, cepat meninggalkan tempat itu pula tanpa sempat berpamit lagi.
“Bu Song! Ke sini kau...!” Liu Lu Sian kini menoleh kepada Suling Emas dan memanggil dengan suara halus lembut.
Suling Emas berdiri terkesima. Sejak tadi pelbagai perasaan mengaduk hatinya dan teringatlah ia akan masa dahulu di waktu ia masih kecil. Sering kali ayah ibunya saling cekcok. Ketika ibunya pergi, diam-diam ia merasa sedih sekali, karena betapa pun juga, ia lebih cinta ibunya dari pada ayahnya. Oleh karena itulah ketika ayahnya menikah lagi timbul rasa bencinya kepada ayahnya dan rasa sayangnya terhadap ibunya makin menghebat. Di dalam hatinya timbul perasaan bahwa antara ibu dan ayahnya, ayahnyalah yang salah.
Oleh karena itu ia minggat meninggalkan ayahnya yang telah menikah lagi.
Pada waktu ibunya pergi meninggalkan ayahnya, ia masih terlalu kecil untuk dapat mengerti sebab-sebabnya. Sekarang setelah iblis wanita yang mengerikan dan mengaku ibunya itu muncul, ia menjadi kecewa dan duka bukan main. Beginikah wanita yang menjadi ibu kandungnya? Kejam, aneh, mengerikan, dan tidak tahu malu? Apa lagi kalau ia teringat akan ucapan Siang-mou Sin-ni tadi di depan ibunya. Ibunya di Hou-han diperlakukan sebagai orang mulia, disuguhi pria-pria paling tampan, jejaka-jejaka paling gagah? Memuakkan! Dan ucapan itu oleh Siang-mou Sin-ni diucapkan dengan lantang di depan demikian banyak orang tokoh kang-ouw! Dan ibunya tidak membantahnya!
“Bu Song, anakku, ke sinilah. Aku Ibumu, aku rindu kepadamu!”
Ucapan ini mengagetkan hatinya, menyeret ia turun dari lamunannya. Hatinya seperti diawut-awut, kecewa, sedih, terharu. Bagaikan seorang terkena pesona, kedua kakinya melangkah maju di luar kehendak hatinya, maju menghampiri wanita tua cantik jelita yang bertahun-tahun menjadi lamunannya ini, menjadi bayangan yang dirindukannya.
Liu Lu Sian memeluk pundaknya yang lebar. “Bu Song anakku... ah, kau sudah begini gagah perkasa! Hi-hi, kau pria paling gagah di seluruh Nan-cao, di seluruh dunia. Kaulah yang patut memimpin Beng-kauw. Dengan kau sebagai kaisar di Nan-cao, dan aku yang akan memimpin Beng-kauw. Dengan kau sebagai kaisar dan aku sebagai Beng-kauwcu, Nan-cao akan menjadi negara terkuat di dunia.”
“Ahhhhh...!” Suling Emas terkejut sekali dan tanpa disengaja ia merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan ibunya, memandang terbelalak.
Liu Lu Sian menyambar lengan Suling Emas, ditariknya mendekat lalu ia menciumi pipi pemuda itu dengan hidung dan mulutnya sampai mengeluarkan suara berkecupan. Suling Emas menjadi bingung dan sedih, karena perbuatan ibunya itu disaksikan oleh sekian banyak orang dan tampak tidak patut sekali, akan tetapi keharuan hatinya yang amat besar membuat ia tak mampu bergerak dan di hati kecilnya ada perasaan bahagia melihat kasih sayang ibunya yang demikian besar terhadap dirinya.
“Hi-hik, anakku yang gagah perkasa, yang tampan, kepandaianmu hebat juga. Kau patut menjadi Kaisar Nan-cao.” Tiba-tiba ia melepaskan puteranya dan melangkah lebar menghadap Beng-kauwcu dan Kaisar Nan-cao yang duduk dengan muka berubah dan kedua tangan memegangi lengan kursi masing-masing dengan hati tegang.
“Paman Liu Mo, kursi yang kau duduki itu adalah kursiku! Kau orang tua benar-benar keterlaluan dan tak tahu malu sekali. Kapankah ayah mewariskan kedudukan Beng-kauwcu kepadamu? Akulah yang berhak mewarisi kedudukan ketua Beng-kauw, bukan kau! Kau telah merampas hal lain orang!”
Muka Beng-kauwcu Liu Mo sebentar merah sebentar pucat, kedua tangannya yang terletak di atas lengan kursi tampak menggetar. Akan tetapi setelah menarik napas panjang tiga kali, ia berhasil menekan perasaannya dan dengan suara tenang penuh kesabaran ia berkata.
“Lu Sian, tidak ada yang merampas kedudukan Beng-kauwcu. Kedudukan itu tidak pernah dijadikan perebutan di antara kita. Dahulu kau pergi meninggalkan kami, betapa pun kami mencarimu, tidak juga berhasil. Ayahmu meninggal dunia dan kau tidak berada di sini. Hanya aku yang berada di sini dan aku dipilih menggantikan kedudukan Kauwcu, sama sekali bukan merampas. Kalau sekarang kau menghendakinya, aku pun tidak akan kukuh mempertahankan kursi kedudukan itu, Lu Sian.”
Liu Lu Sian tertawa. “Hi-hi-hik, tentu saja harus kau berikan kepadaku, suka mau pun tidak. Andai kata tidak kau berikan, apa sih sukarnya merampas kembali dari tangan kau orang tua? Aku harus menjadi Kauwcu dan dengan kekuasaanku, aku mengangkat puteraku Bu Song menjadi kaisar di Nan-cao!”
“Enci Lu Sian, kau terlalu menghina Ayah!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Liu Hwee sudah melompat ke depan Liu Lu Sian sambil menyerangnya dengan senjatanya yang luar biasa, yaitu sepasang cambuk lemas yang ujungnya diberi bola kecil.
“Hi-hik, bocah ingusan mau kurang ajar? Satu kali aku beri ampun di terowongan ketika kau bermain gila dengan laki-laki, sekarang aku tidak mau memberi ampun!” teriak Liu Lu Sian.
Tubuhnya berkelebatan dan di lain saat ia telah berhasil menjambret sebuah di antara sepasang cambuk itu dan sekali renggut cambuk itu pindah tangan! Dengan sikap mengejek ia melempar cambuk ke samping, kemudian melihat cambuk kedua menyambarnya, ia menangkap ujungnya lagi dan menarik.
Liu Hwee mempertahankan, akan tetapi ia tidak kuat dan tubuhnya terhuyung-huyung. Sambil tertawa-tawa Liu Lu Sian menarik-narik cambuk itu ke sana ke mari, dan ke mana pun juga ia menarik, tubuh Liu Hwee terbawa, terhuyung-huyung. Terlambat gadis ini ketika hendak melepaskan cambuknya karena entah bagaimana cambuk itu sudah melibat pergelangan tangannya dan ia terpaksa terseret ke sana ke mari ketika cambuknya ditarik-tarik.
“Lepaskan dia, wanita jahat!” terdengar bentakan dan Bu Sin sudah menerjang dengan pukulan kedua tangannya yang diarahkan punggung Liu Lu Sian. Pemuda ini tidak dapat menahan kemarahannya ketika melihat betapa Liu Hwee, gadis yang telah merampas hatinya itu dibuat permainan oleh Liu Lu Sian, malah agaknya keselamatannya terancam bahaya.
“Hi-hik, laki-laki ini sudah tergila-gila kepadamu, Liu Hwee!” Wanita berambut panjang itu terkekeh dan tangannya bergerak hendak menangkap lengan Bu Sin.
“Ihhhh...!” Liu Lu Sian berseru kaget ketika tangannya tergetar dan terpental tak berhasil menangkap lengan Bu Sin. Ini adalah karena pemuda itu mempergunakan tenaga sakti yang ia pelajari dari kakek di air terjun.
Namun hanya segebrakan saja tenaga saktinya dapat mengagetkan Liu Lu Sian, karena di lain saat, segumpal rambut menyambar dan memukul pinggangnya. Bu Sin merasa seakan-akan terpukul sebatang toya yang terbuat dari pada baja. Pinggangnya sakit dan ia terpelanting roboh.
“Kau kejam!” Liu Hwee berseru, menyerang lagi dengan cambuknya yang tadi dilepaskan Liu Lu Siang. Namun kembali rambut kepala wanita tua itu bergerak dan robohlah Liu Hwee terjungkal di dekat Bu Sin.
“Hi-hi-hik, bocah-bocah cilik sudah main cinta-cintaan, biarlah kalian mati bersama agar menjadi dewa-dewi di kahyangan!”
Akan tetapi pada saat itu tampak bayangan hitam berkelebat dan rambut kepala yang sudah menyambar ke arah tubuh Bu Sin dan Liu Hwee itu buyar seperti tertiup angin keras. Liu Lu Sian kaget, akan tetapi ketika melihat bahwa yang berdiri di depannya adalah Suling Emas, wajahnya berseri-seri dan tertawa kagum. “Bagus! Kau hebat sekali, anakku!”
“Ibu,” kata Suling Emas dengan suara berat. Memang dalam keadaan seperti itu, mulutnya serasa berat menyebut ibu kepada wanita ini, “Harap jangan turun tangan membunuhi orang.”
“Ha-ha-hi-hi-hik! Paman Liu Mo, kau dengar ucapan anakku itu? Begitu gagah perkasa dia, begitu tampan, dan begitu bijaksana. Dia patut menjadi kaisar di Nan-cao, dan aku ketua Beng-kauw. Kau akan kuangkat menjadi penasihat, dan kaisar boneka ini biarlah menjadi perdana menteri anakku!”
Hebat ucapan ini dan semua orang menjadi tegang. Para tamu diam-diam merasa tegang dan gembira karena mengharapkan menyaksikan peristiwa yang hebat. Akan tetapi para anggota Beng-kauw memandang bingung. Mereka merasa serba susah. Betapa pun juga, wanita itu adalah puteri tunggal mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, pendiri dan tokoh utama Beng-kauw.....
Lanjut ke jilid 19

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)