CINTA BERNODA DARAH : JILID-19


“Ibu, tidak boleh kau bilang begitu...!” Suling Emas berseru dengan suara penuh kesedihan.
“Eh, apa kau bilang?” Liu Lu Sian membentak sambil memandang dengan matanya yang bening tajam.
Ketika bertemu pandang dengan ibunya, diam-diam Suling Emas terkejut dan berduka. Sinar mata ibunya itu, sinar mata yang keluar dari sepasang mata yang amat bening dan indah, bukanlah sinar mata manusia yang sehat jiwanya!
“Ibu, harap kau jangan mengganggu kedudukan Kakek Liu Mo. Dan aku... aku tidak mau menjadi kaisar. Sri Baginda yang sekarang menjadi kaisar sudah cukup bijaksana dan tepat....”
“Apa? Jangan kau ikut-ikut! Kau anak kecil tahu apa? Hayo minggir!” Wanita itu membuat gerakan mengancam, seakan-akan seorang ibu mengancam dan menakut-nakuti anaknya yang masih kecil. Suling Emas menarik napas panjang dan melangkah minggir dengan muka merah. Ia merasa malu dan sedih. Terasa ada orang menyentuh tangannya dan ketika ia menengok, ia melihat Bu Sin memandangnya dengan pandang mata penuh iba. Ia menarik kembali tangannya dan membuang muka, lalu meramkan kedua matanya.
Bu Sin tidak berani lagi mengganggu. Pemuda ini tadi telah terlepas dari bahaya maut bersama Liu Hwee dan cepat mereka sudah mengundurkan diri. Luka pukulan segumpal rambut pada punggungnya tidak berat dan ia bersyukur bahwa Suling Emas tadi keburu datang menolong, kalau tidak, dia dan Liu Hwee tentu akan tewas di tangan wanita iblis itu.
Kini semua mata memandang ke tengah lapangan. Kauw Bian Cinjin sudah melangkah maju dengan pecut di tangannya. Langkahnya lebar dan lambat, sikapnya tenang berwibawa, namun tarikan dagu mengeras dan sinar mata tajam berkilat membayangkan kemarahannya. Setelah berhadapan dengan Liu Lu Sian, kakek ini berkata, suaranya lantang berpengaruh.
“Liu Lu Sian, ingatlah siapa kau dan siapa kami! Urusan di antara orang sendiri apa perlunya dipertontonkan orang lain? Tunggu sampai semua tamu pulang, baru kita bereskan urusan pribadi kita!”
Liu Lu Sian memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia tersenyum, masih manis seperti dahulu senyumnya sehingga diam-diam Kauw Bian Cinjin terharu juga. Teringat ia betapa dahulu di waktu Liu Lu Sian masih kecil dan ia sendiri masih muda, gadis cilik itu sering kali ia ajak bermain-main dan kalau menangis ia gendong!
“Hi-hik, kau Susiok (Paman Guru) Kauw Bian Cinjin. Kau orang baik dan Ayah amat sayang kepadamu. Memang kau pintar dan tenagamu amat berguna. Kau akan tetap menjadi pengurus utama di Beng-kauw kalau aku sudah menjadi Kauwcu. Hanya pakaianmu ini harus diganti yang baik, jangan seperti pakaian penggembala begitu! Eh, Susiok, kalau aku sudah menjadi kauwcu dan puteraku menjadi kaisar, dengan kau sebagai pembantu utama, hi-hik, apa sih sukarnya menundukkan kerajaan-kerajaan gurem seperti Wu-yue, Hou-han, dan lain-lain? Malah kita akan menyerbu dan menundukkan Kerajaan Sung Utara, dan terus merampas Khitan!”
“Lu Sian!” Kauw Bian Cinjin membentak, disusul cambuknya meledak di udara.
“Tar-tar-tar!”
Sesaat ia tak mampu mengeluarkan kata-kata saking marahnya, kemudian ia berkata, “Lepaskan semua niatmu yang tidak sehat itu. Lekas kau berlutut dan minta ampun kepada Suheng, kepada Beng-kauwcu kita. Kalau tidak, aku sebagai paman gurumu terpaksa akan memberi hajaran kepadamu.”
Sejenak Liu Lu Sian melebarkan matanya seperti orang terheran-heran. Kemudian wajahnya menjadi muram dan ia berkata, “Susiok, biar kau sendiri, kalau hendak menghalangi niatku, terpaksa akan kubunuh.”
“Aaahhhhh...!” Kaow Bian Cinjin lalu lari ke depan peti mati Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, berlutut dan sampai lama ia berdiam diri, bibirnya berkemak-kemik. Kemudian ia menambah kayu wangi pada pedupaan sehingga asap wangi mengebul tebal dan tinggi, bergulung-gulung di sekitar peti mati. “Twa-suheng, mohon ampun, hari ini siauwte terpaksa melawan puterimu!”
Setelah berkata demikian, sekali lagi ia menjura, kemudian dengan langkah lebar dan tenang ia kembali menghampiri Liu Lu Sian yang melihat semua perbuatannya tadi sambil tersenyum-senyum.
Suasana menjadi tegang kembali ketika dua orang itu saling berhadapan. Yang paling tegang dan bingung adalah Suling Emas sendiri. Ingin ia mencegah pertempuran ini, akan tetapi apa dayanya? Tak sampai hati ia kalau harus menjadi musuh ibu kandungnya yang puluhan tahun dirindukannya. Sebaliknya, tak mungkin ia membantu ibunya yang dalam hal ini terang telah melakukan perbuatan yang sesat. Saking bingungnya, ia hanya berdiri dengan muka pucat.
“Liu Lu Sian, biar pun kau merupakan puteri tunggal mendiang Twa-suheng Liu Gan yang kuhormati, akan tetapi saat ini kau merupakan orang yang akan merusak kerajaan dan perkumpulan agama yang kami cintai. Oleh karena itu, aku berdiri di hadapanmu sebagai penentang dan siap melawanmu. Arwah mendiang Twa-suheng pasti akan membenarkan sikapku ini.”
“Orang tua keras kepala! Kau kira akan dapat memenangkan aku? Hi-hik, aku bukanlah Tok-siauw-kwi (Setan Cilik Beracun) tiga puluh tahun yang lalu!”
“Kalah menang bukan soal, yang penting aku harus membela Nan-cao dan Beng-kauw dengan taruhan nyawa!” jawab Kauw Bian Cinjin gagah sambil melintangkan cambuknya di depan dada.
Liu Lu Sian tiba-tiba mengeluarkan suara melengking tinggi. Suara ini luar biasa sekali pengaruhnya. Kalau saja Kam Bian Cinjin yang ‘diserang’ suara ini bukan tokoh besar Beng-kauw, kiranya ia akan roboh tanpa disentuh lagi. Cepat Kauw Bian Cinjin berseru keras dan memutar cambuknya sehingga terdengar angin bersuitan yang melawan pengaruh suara lengking itu.
“Serahkan nyawamu!” bentak Liu Lu Sian dan tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan yang cepat sekali, didahului gulungan sinar hitam dari rambutnya yang mengurung tubuh Kauw Bian Cin­jin.
Kakek ini kembali berseru keras dan memutar cambuk, maka terjadilah pertempuran yang amat hebat. Lebih hebat dari pada pertempuran-pertempuran tadi karena sekarang yang bertempur adalah dua orang tokoh Beng-kauw. Betapa pun juga, masing-masing sudah mengenal gerakan lawan sehingga dapat menandinginya. Ilmu cambuk di tangan Kauw Bian Cinjin amat lihai sehingga di waktu mudanya ia mendapat julukan Cambuk Halilintar. Memang, melihat kakek ini memainkan cambuk, membuat orang yang kurang tinggi kepandaiannya menjadi ngeri dan jeri. Cambuk itu berubah menjadi gulungan sinar yang melingkar-lingkar, bersiutan anginnya dan meledak-ledak di udara disusul sinar memanjang menyambar-nyambar. Hebatnya, tiap lecutan ujung cambuk ini sudah cukup kuat untuk merenggut nyawa lawan!
Betapa pun juga ilmu cambuk Kauw Bian Cinjin ini tentu saja satu sumber dengan ilmu kepandaian mendiang Pat-jiu Sin-ong dan tentu saja Liu Lu Sian mengenal sari ilmu cambuk ini. Apa lagi sekarang wanita itu telah memperdalam ilmunya secara hebat, yaitu semenjak ia minggat dari ayahnya sambil membawa pergi kitab-kitab pusaka. Selama puluhan tahun ini secara sembunyi Liu Lu Sian telah memperdalam ilmunya, malah ia telah berhasil menguasai ilmu gaib Coan-im-i-hun-to dan penggunaan rambut kepalanya merupakan permainan ‘ilmu cambuk’ yang mukjijat karena rambut itu dapat dipakai menjadi puluhan batang cambuk yang bergerak secara berbareng dari jurusan-jurusan yang berlawanan.
Kauw Bian Cinjin dapat menduga akan hal ini. Ketika tadi ia melihat sepak terjang Liu Lu Sian dalam menghadapi It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni, lalu melihat tapak tangan merah yang membunuh Cui-beng-kui, ia sudah menduga bahwa puteri suheng-nya ini telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Ia pun maklum tidak akan mampu menandinginya, akan tetapi ia menjadi nekat untuk membela Beng-kauw yang terang-terangan hendak dikacau oleh Liu Lu Sian. Apa lagi kalau diingat bahwa suheng-nya, Liu Mo bersikap mengalah terhadap Liu Lu Sian. Hanya dia seorang yang dapat mencegah Lu Sian merampas kedudukan Beng-kauwcu, karena kalau ia biarkan dan suheng-nya memberikan kedudukan itu kepada Liu Lu Sian, tentu Beng-kauw akan dibawa masuk jurang kehancuran. Keponakannya ini seperti orang yang tidak waras otaknya, yang sakit jiwanya.
Setelah saling serang dengan hebat sampai puluhan jurus lamanya, tiba-tiba terdengar lengking tinggi dari mulut Liu Lu Sian, disusul gerengan marah Kauw Bian Cinjin. Mereka secara tiba-tiba tidak bergerak lagi. Tadi semua mata menjadi kabur dan silau oleh gerakan-gerakan cepat. Setelah kini keduanya tidak bergerak, semua mata dapat memandang, ternyata cambuk di tangan Kauw Bian Cinjin sudah saling libat sampai menjadi seperti benang ruwet dengan rambut Liu Lu Sian! Hebatnya, tidak hanya cambuk itu yang terlibat, melainkan juga lengan kanan, pundak dan leher kakek Beng­kauw itu.
“Kauw Bian Cinjin, mengingat hubungan perguruan, aku ampunkan kau asal kau mau menyerah dan menjadi pembantuku!” terdengar suara Liu Lu Sian, ramah dan halus.
“Liu Lu Sian, kau sadarlah dan jangan lanjutkan niatmu mengacau Beng-kauw, dan kau menjadi murid keponakanku yang baik dan akan menerima berkah dan doaku...,” jawab Kauw Bian Cinjin, suaranya tetap lantang berwibawa.
“Tua bangka keras kepala! Dibunuh sayang, tidak dibunuh menjengkelkan! Kau perlu dihajar...!” Tiba-tiba tubuh Kauw Bian Cinjin terangkat naik dan di lain saat tubuhnya telah terbanting ke atas tanah setelah Liu Lu Sian menggerakkan tangan kanannya. Kakek itu terbanting dan pingsan, pipi kanannya terdapat tanda tapak tangan merah!
“Liu Lu Sian, tak perlu kau berlaku kejam terhadap keluarga Beng-kauw sendiri!” Tiba-tiba terdengar Liu Mo berkata sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Hemmm, Paman Liu Mo, apakah kau juga hendak menghalangi aku? Ingat, karena kau yang merampas kedudukan Kauwcu, aku tidak akan berlaku lunak seperti terhadap Kauw Bian Cinjin kepadamu!”
Wajah Liu Mo tetap terang dan bibirnya tersenyum. “Keponakanku yang baik, aku sama sekali tidak hendak menghalangimu dan aku sama sekali tidak merampas kedudukan Kauwcu, karena sesungguhnya ayahmu sendiri yang memberikan kepadaku. Oleh karena ayahmu yang menyerahkan kedudukan Kauwcu, kalau kau hendak memintanya, kau harus minta ijin ayahmu lebih dulu!” berkata demikian, Liu Mo menoleh ke arah peti mati Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
“Kalau aku sudah minta ijin kepada ayah, kau suka menyerahkan kedudukan Kauwcu kepadaku?”
“Tentu saja, kalau Suheng mengijinkan!”
Ucapan ini tentu saja membikin semua orang yang hadir menjadi tercengang. Mana bisa orang mati memberi ijin? Akan tetapi Liu Lu Sian segera menghampiri peti mati ayahnya, lalu membungkuk sebagai penghormatan. Hal ini saja sudah membuat para tokoh yang hadir di situ mengerutkan kening. Penghormatan terhadap orang tua merupakan hal yang amat penting, karena hal ini menjadi tanda akan kebaktian seseorang dan karenanya menjadi dasar untuk mengetahui watak seseorang. Liu Lu Sian tidak berlutut, hanya menjura, hal ini tentu saja tidak sepatutnya dan dapat dinilai betapa kasar dan berandalannya watak wanita itu.
“Ayah, aku minta ijin padamu untuk menggantikan kedudukan kauwcu dari agama kita Beng-kauw, dan puteraku menjadi kaisar di Nan-cao!” Suara ini lantang dan terdengar semua orang yang hadir.
Suasana menjadi sunyi sekali setelah Liu Lu Sian mengucapkan permintaannya ini. Tak seorang pun berani mengeluarkan suara, bahkan banyak yang menahan napas untuk menyaksikan apa selanjutnya yang akan terjadi. Apakah Beng-kauw yang sudah demikian tersohor itu akan berganti kauwcu (kepala agama) secara demikian sederhana dan juga kasar? Apakah Kaisar Nan-cao akan ‘di­copot’ dan diganti begitu saja di depan banyak tamu dari seluruh pelosok dunia? Apakah Nan-cao dan Beng-kauw akan diserahkan kepada seorang wanita berwatak iblis seperti Tok-siauw-kui (Iblis Cilik Beracun) yang kini lebih patut di­sebut Tok-kui-bo (Biang Iblis Beracun) itu? Kalau hal ini terjadi, akan gegerlah dunia, karena tadi wanita itu sudah berjanji akan memerangi dan menundukkan semua kerajaan! Dan dengan ilmu kepandaiannya yang demikian hebatnya, hal itu benar-benar merupakan bahaya besar.
Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara ledakan keras dan semua orang menjadi pucat, mulut ternganga dan mata terbelalak memandang ke arah peti mati yang mendadak meledak keras itu. Tutup peti mati pecah berantakan dan... sesosok tubuh yang tinggi besar bangkit dari dalam peti mati, langsung berdiri tegak. Tubuh tinggi besar berpakaian serba putih, bermuka pucat tapi tetap dapat dikenal sebagai muka Pat-jiu Sin-ong Liu Gan! Mata yang terbelalak lebar hampir keluar dari pelupuknya itu seperti bukan mata manusia, dan suaranya terdengar berkumandang seperti suara dari dunia lain ketika mulutnya yang tertarik keras itu bergerak.
“Tiga tahun aku menanti datangnya saat ini... Lu Sian... aku dapat menduga akan hal ini setelah kau mencuri Sam-po-cin-keng (Kitab Tiga Pusaka) dan minggat... hanya aku yang dapat menahanmu. Mari kau ikut aku meninggalkan dunia yang banyak penderitaan ini...!”
Sejenak Liu Lu Slan terhenyak kaget, mundur dua langkah dan mukanya berubah pucat. Akan tetapi beberapa detik kemudian ia agaknya dapat menahan gelora hatinya yang terkejut, karena ia melangkah maju lagi tiga langkah dengan gerakan tenang. Kemudian suaranya terdengar lantang, juga mengandung kumandang seperti terdengar dari dunia lain karena ia juga mempergunakan ilmu mukjijat Coan-im-i-hun-to seperti yang dipergunakan ayahnya tadi.
“Tidak, Ayah. Aku masih ingin hidup, ingin menguasai dunia, ingin mengembangkan Beng-kauw sehingga seluruh manusia di permukaan bumi ini menjadi penganut Beng-kauw semua!”
“Bodoh! Agama yang dipaksakan dengan kekerasan akan hancur sendiri karena para penganutnya akan menjadi penganut palsu. Mari, ikut dengan aku!”
“Ayah, kenapa kau tidak mati sendiri? Aku tidak mau ikut!”
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang disangka telah mati selama tiga tahun lebih itu tertawa, suara ketawanya bergelombang dan kumandangnya datang susul menyusul. Lebih separuh jumlah tamu jatuh bergulingan, tidak kuat menahan getaran suara ketawa bergelombang ini yang seakan-akan membetot semangat mereka sehingga mereka roboh pingsan! Hanya tokoh-tokoh besar saja yang sanggup menahan sehingga tidak roboh terguling, akan tetapi mereka tetap saja harus mengerahkan sinkang dan tergoyang-goyang di atas tempat duduk masing-masing.
“Kau hendak memaksa, Ayah? Aku melawan!” bentak Liu Lu Sian dan tubuhnya bergerak ke depan, melancarkan pukulan dengan kedua tangannya, dibantu rambut kepalanya. Karena maklum bahwa di dunia ini agaknya hanya ayahnya yang merupakan lawan terberat, maka sekaligus Liu Lu Sian mengeluarkan seluruh tenaganya untuk merobohkan ayahnya yang disangkanya telah mati itu.
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan masih tertawa keras ketika ia mengulur kedua tangannya ke depan. Dua pasang tangan bertemu di udara, sepasang mata Liu Gan makin melotot keluar dan ia tampak kaget sekali, mulutnya mengeluarkan suara....
“Uhhhhh!” dan darah segar tersembur keluar dari mulutnya.
Akan tetapi dari mulut Liu Lu Sian keluar jerit mengerikan, lalu terdengar suara gaduh ketika tubuh dua orang itu roboh menabrak dan menggulingkan peti mati berikut meja sembahyang. Keduanya roboh miring dengan sepasang tangan masih saling menempel, akan tetapi ketika Beng-kauwcu Liu Mo dan yang lain-lain mendekati, mereka mendapat kenyataan bahwa kedua orang ayah dan anak ini telah putus napasnya! Pat-jiu Sin-ong Liu Gan telah memenuhi kehendaknya, yaitu mengajak puterinya bersama-sama meninggalkan dunia.
Sebetulnya hanya Liu Mo seorang yang tahu bahwa suheng-nya itu tiga tahun yang lalu belum mati, melainkan minta supaya dimasukkan peti dan dianggap mati karena sesungguhnya, suheng-nya itu bermaksud menyembunyikan diri dan bertapa, menanti munculnya Liu Lu Sian karena kakek ini sudah dapat membayangkan bahwa puterinya yang binal itu setelah
berhasil mencuri Sam-po-cin-keng, di kemudian hari pasti akan menggegerkan dunia.
Suling Emas sudah berlutut di dekat jenazah ibunya, wajahnya muram dan sedih, akan tetapi hatinya lega. Ia pikir lebih baik begini dari pada melihat ibunya hidup membuat kekacauan di dunia. Liu Hwee juga berlutut di situ dan menangis. Tubuh Kauw Bian Cinjin yang terluka hebat, akan tetapi tidak membahayakan nyawanya, telah diangkut ke dalam untuk dirawat. Para anggota Beng-kauw nampak berkabung dan berduka, juga masih tegang oleh peristiwa hebat tadi. Tak seorang pun di antara mereka berani bersuara.
Beng-kauwcu Liu Mo lalu berdiri dan menghadapi para tamunya yang masih tegang, apa lagi mereka yang tadi pingsan dan sudah siuman kembali. “Cu-wi sekalian yang terhormat. Harap Cu-wi maafkan akan segala peristiwa yang tidak kami sengaja ini. Cu-wi maklum bahwa peristiwa ini adalah urusan pribadi Beng-kauw, maka kami harap Cu-wi sekalian sudi memaklumi dan tidak salah faham. Agar ucapan keponakan kami tadi tidak dianggap sebagai sikap Beng-kauw. Kami sebagai ketua Beng-kauw di sini menyatakan dengan tegas bahwa Beng-kauw tidak bermaksud memaksa orang menjadi pemeluknya, dan bahwa Nan-cao sama sekali tidak bermaksud untuk mengganggu negara tetangga, akan tetapi kami pun pantang diganggu. Kemudian, mengingat akan keadaan yang menimpa kami, maka kami persilakan Cu-wi sekalian kembali ke tempat masing-masing, diikuti ucapan selamat jalan dan terima kasih serta permintaan maaf bahwa kami tidak sempat mengantar.”
Maka bubarlah para tamu. Setelah mereka memberi hormat, berduyun-duyun mereka keluar dari kota raja Nan-cao. Di sepanjang jalan mereka itu ramai membicarakan peristiwa mengerikan yang terjadi di Nan-cao dan mereka merasa puas bahwa mereka mendapat kesempatan menyaksikan hal-hal luar biasa, ketegangan yang mengerikan dan pertempuran-pertempuran tingkat tinggi yang tak mungkin mereka saksikan lagi.
Suling Emas ikut membantu pemakaman ibu dan kakeknya, juga penguburan Cui-beng-kui. Kemudian ia berlutut di depan Beng-kauwcu Liu Mo dan berkata dengan suara sedih. “Saya mintakan maaf atas sepak terjang mendiang Ibu yang telah mengacau Beng-kauw.”
Liu Mo menarik napas panjang dan mengulur tangan mengelus kepala Suling Emas, “Tidak apa, anak baik. Memang Ibumu sejak dahulu begitu, keras hati dan aneh wataknya. Untung bahwa kau agaknya mewarisi watak Ayahmu. Mendiang Ayahmu, Jenderal Kam Si Ek adalah seorang laki-laki sejati, seorang pendekar perkasa yang mengagumkan. Karena itu pula, melihat gelagat adikmu Bu Sin dan anakku Hwee-ji (Anak Hwee), aku akan merasa bahagia sekali kalau mereka dapat terangkap jodoh. Aku serahkan urusan ini kepadamu.”
Suling Emas mengangguk-angguk, “Baiklah. Dan sebagai penebus dosa Ibu, saya akan menyusul Hek-giam-lo ke Khitan untuk minta kembali tongkat Beng-kauw yang dirampasnya.”
Setelah berpamit, Suling Emas mengajak kedua orang adiknya, Bu Sin dan Sian Eng, pergi dari Nan-cao untuk mencari dan menolong Lin Lin, sekalian untuk merampas kembali tongkat Beng-kauw dan untuk mewakili Ibunya menghadapi lima orang Thian-te Liok-koai di puncak Thai-san! Perpisahan yang sederhana, akan tetapi mendatangkan kedukaan dan kesepian di hati Bu Sin dan Liu Hwee. Hanya pandang mata mereka saja saling menyatakan perasaan hati yang mewakili seribu bahasa. Terpisahnya dua hati yang saling mencinta.
********************
Mari kita ikuti pengalaman Lin Lin yang sudah lama kita tinggalkan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, sekeluarnya dari terowongan rahasia dan melihat Cui-beng-kui, Lin Lin lupa akan segalanya saking marahnya melihat pembunuh ayah bunda angkatnya. Maka ia lalu menerjang dan menyerang Cui-beng-kui, malah dibantu oleh Bu Sin dan Sian Eng. Akan tetapi tentu saja mereka bukan lawan Cui-beng-kui yang sakti.
Sebagaimana telah kita ketahui, Lin Lin kemudian ditolong oleh orang-orang Khitan yang secara aneh sekali berhasil membawa pergi Lin Lin berikut pedangnya dan mayat orang-orang Khitan yang tewas di situ. Kiranya orang-orang Khitan itu melakukan gerakan ilmu barisan yang mereka sebut ‘mengacau atau mengail ikan’, berhasil membikin bingung orang-orang yang berada di situ dan dalam kehebohan itu dapat membawa pergi Lin Lin. Memang, orang-orang Khitan ini yang semenjak dahulu merupakan bangsa perantau, pandai sekali berperang gerilya sehingga hanya dua belas orang saja telah berhasil ‘mencuri’ Lin Lin dari depan banyak orang.
Lin Lin sendiri yang ketika itu hampir celaka di tangan Cui-beng-kui kalau saja secara sembunyi tidak ditolong oleh Suling Emas. Hanya ketika melihat orang-orang Khitan itu berlari-lari di sekelilingnya, membuat Lin Lin pening dan entah bagaimana, akhirnya ia ikut berlari-lari dan tahu-tahu ia sudah berlari jauh meninggalkan Nan-cao, tapi selalu berada di dalam kurungan orang-orang Khitan!
Rombongan orang Khitan itu tiada henti-hentinya berlari. Menjelang senja mereka baru berhenti, saat telah tiba jauh di daerah perbatasan kota raja. Lin Lin terengah-engah dan barulah gadis ini sadar sepenuhnya bahwa ia tadi ikut berlari-lari bersama rombongan itu keluar dari kota raja.
“He, kalian ini membawaku ke mana? Antarkan aku kembali ke kota raja Nan-cao. Aku harus bunuh Cui-beng-kui iblis jahat itu!”
Seorang di antara dua belas prajurit Khitan itu, yang paling tua, menjura dengan hormat di depan Lin Lin lalu berkata, “Tuan puteri, susah payah hamba berhasil menyelamatkan Paduka dari bahaya maut. Hamba hanya melakukan perintah. Kalau Paduka kembali ke sana, berarti hanya akan mengorbankan nyawa secara sia-sia.”
“Huh, tidak gampang Cui-beng-kui dapat membunuhku. Suling Emas takkan membiarkan dia membunuhku. Tadi pun Suling Emas membantuku. Hayo antar aku kembali ke sana!”
“Tuan puteri, hamba sekalian tidak berani. Hamba yang membantu mendiang Pak-sin-tung-lociangkun, selain kehilangan beliau, juga kehilangan dua belas orang saudara. Hamba semua hanya melaksanakan perintah Hek-lo-ciangkun, sebaiknya Paduka bicara dengan beliau....”
“Siapa Hek-lo-ciangkun (Panglima Tua Hitam)?” tanya Lin Lin.
“Paduka sendiri yang memerintahkan beliau merampas tongkat...”
“Ohhh, kau maksudkan Hek-giam-lo? Mana dia sekarang? Dia harus membantuku membunuh Cui-beng-kui! Mana dia? Suruh dia ke sini!” Lin Lin membentak-bentak mereka dengan sikap yang agung seakan-akan memang semenjak kecil dia sudah biasa memerintah orang-orang Khitan.
“Hek-lo-ciangkun sudah lama menanti Paduka, Tuan Puteri. Marilah, tidak jauh lagi. Setelah bertemu dengan Hek-lo-ciangkun, Paduka dapat berunding dengannya.”
Lin Lin menganggap omongan ini tepat. “Baik, hayo kita berangkat menemui Hek-giam-lo!”
Maka berangkatiah mereka, sekarang tidak berlarian seperti tadi lagi, melainkan berjalan kaki. Lin Lin di depan bersama pemimpin rombongan, diiringkan oleh yang lain dari belakang. Rombongan itu berjalan dengan langkah tegap, wajah mereka berseri, sama sekali tidak kelihatan berduka walau pun baru saja kehilangan seorang panglima dan dua belas orang kawan. Semangat mereka tinggi dan dalam melangkahkan kaki secara berirama mereka lalu bernyanyi dengan suara lantang dan gagah!
Mula-mula Lin Lin merasa betapa lucu kelakuan mereka ini, akan tetapi lambat laun ia merasa tertarik sekali dan kagum. Agaknya panggilan darahnya membuat ia merasa dekat dengan orang-orang ini, malah sebentar kemudian ia ikut pula mengatur langkah membarengi mereka dan karena lagu itu pendek dan diulang-ulang, beberapa menit kemudian Lin Lin ikut pula bernyanyi bersama mereka! Kata-katanya asing baginya, namun dasar ia cerdas, sebentar saja ia hafal tanpa dapat mengerti maksud kata-katanya. Ikut sertanya Lin Lin dalam barisan ini sambil bernyanyi menambah semangat orang-orang Khitan itu dan suara nyanyian mereka makin keras dan makin bersemangat.
Tak lama kemudian sampailah mereka di tepi sebuah sungai. Inilah Sungai Kan-kiang, sungai yang mengalir menuju ke utara dan menjadi anak sungai atau cabang dari sungai besar Yang-ce-kiang. Pemimpin rombongan mengeluarkan sebuah tanduk, agaknya tanduk rusa yang besar. Ketika ia meniup tanduk itu terdengar bunyi suara yang aneh seperti suara binatang, tidak keras akan tetapi suara itu membawa getaran yang kuat.
Sepuluh menit kemudian, terdengarlah lengking seperti suling dan tampaklah sebuah perahu besar meluncur datang. Di kepala perahu berdiri sesosok tubuh yang berselubung pakaian hitam dengan muka tertutup kedok tengkorak. Hek-giam-lo!
Sebentar kemudian perahu itu minggir dan Lin Lin meloncat ke atas perahu, diikuti oleh dua belas orang pengikutnya. Perahu itu diikatkan pada sebatang pohon. Setelah berada di atas perahu, dua belas orang itu sibuk bekerja, dan agaknya mereka sudah biasa dengan pekerjaan di perahu. Kini anak buah perahu yang tadinya hanya tiga orang, menjadi lima belas orang.
Lin Lin cepat menghampiri Hek-giam-lo. “Bagaimana Hek-giam-lo? Apakah perintahku sudah kau lakukan? Mana tongkat Beng-kauw itu?” berkata Lin Lin dengan sikap memerintah.
Hek-giam-lo membungkuk sedikit, lalu terdengar suaranya dari balik kedok tengkorak. “Berkat bintang Paduka yang terang, tongkat Beng-kauw sudah berhasil hamba rampas, sekarang berada di dalam bilik perahu. Harap Paduka sudi masuk bilik dan beristirahat, sebentar lagi kita berangkat.”
“Berangkat?” Lin Lin terkejut. “Ke mana?”
“Ke mana lagi kalau bukan ke Khitan? Kita pulang, Tuan Puteri.”
“Tidak! Aku perintahkan, tidak pulang ke Khitan sekarang! Hek-giam-lo, kau harus membantuku, kembali ke Nan-cao untuk menghadapi Cui-beng-kui!”
Sejenak tengkorak hitam itu diam saja, bergerak pun tidak, seakan-akan ia termenung. Sukar untuk mengatakan bagaimana perasaannya di saat itu karena wajahnya yang asli tidak nampak. Akan tetapi setelah ia bicara, ternyata bahwa ia menahan kemarahannya.
“Tuan Puteri Yalin, sudah banyak kita kehilangan orang, bahkan sute Pak-sin-tung sampai tewas, semua gara-gara permintaan Paduka yang bukan-bukan! Sekarang hamba tidak dapat memenuhi permintaan Paduka lagi. Kita harus berangkat kembali ke Khitan di mana Sri Baginda sudah menanti-nanti kedatangan Paduka.”
“Tidak! Kau harus menurut perintahku, Hek-giam-lo!”
Si Tengkorak Hitam menggeleng-geleng kepalanya dan mendengus tak acuh.
“Kau lihat apa ini? Kau harus tunduk kepadaku!” Lin Lin mencabut keluar Pedang Besi Kuning dan menodongkannya ke arah Hek-giam-lo. Melihat ini, para anak buah perahu serta-merta menjatuhkan diri berlutut.
Akan tetapi Hek-giam-lo mendengus aneh dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah menyergap maju dan tiba-tiba Lin Lin merasa tubuhnya menjadi kaku dan pedang itu telah terampas oleh Hek-giam-lo! Tengkorak Hitam itu mengeluarkan suara perintah dalam bahasa Khitan dan lima orang yang berlutut di belakang Lin Lin, tiba-tiba melompat dan menerkam gadis itu, menelikung kedua lengannya ke belakang dan mengikatnya dengan sehelai sabuk sutera yang kuat. Di lain saat, ketika mereka melepaskan Lin Lin, gadis itu sudah terbelenggu kedua tangannya di belakang tubuh.
Lin Lin terkejut, sama sekali tidak mengira bahwa orang-orang itu, termasuk Hek-giam-lo akan berani melawannya. Akan tetapi ia tidak takut, malah ia lalu memaki-maki. “Keparat kau, Hek-giam-lo! Awas kau, sesampainya di Khitan, akan kuberi tahu kepada Sri Baginda tentang perlakukanmu yang kurang ajar agar kau mendapat hukuman penggal leher!”
Hek-giam-lo mendengus, kemudian memberi perintah dalam bahasa Khitan. Agaknya ia menyuruh pergi para anak buahnya karena mereka itu seorang demi seorang lalu menghilang ke dalam dan ke balik bilik perahu. Kemudian Hek-giam-lo menghadapi Lin Lin yang berdiri dengan tegak walau pun kedua tangannya terbelenggu.
“Yalin, ucapanmu ini mengingatkan aku akan Ibumu. Dahulu Ibumu juga hendak memenggal leherku, malah ia telah menyiram mukaku dengan racun. Kau tahu aku siapa? Nah, tengoklah baik-baik!” Cepat sekali Hek-giam-lo merenggut kedoknya dan....
Lin Lin menjadi pucat, memandang terbelalak pada wajah seorang laki-laki yang bentuknya tampan gagah, akan tetapi wajah itu mengerikan karena... tidak berkulit lagi! Daging muka itu, atau lebih tepat tulang-tulangnya terbungkus kulit tipis licin, hidung dan bibirnya yang masih bagus bentuknya itu pun menjadi mengerikan dengan kulit tipis berkerut dan putih seakan-akan tidak berdarah. Matanya tidak berbulu lagi, alisnya pun hilang, kepalanya tidak berambut. Benar-benar wajah yang mengerikan, jauh lebih mengerikan dari pada wajah Cui-beng-kui!
“Kau... kau siapa...?” Dengan suara lirih dan penuh kengerian Lin Lin bertanya.
Secepat tadi ketika merenggutkan kedoknya, Hek-giam-lo sudah memasangnya kembali. Kedok tengkorak itu agaknya tidak mengerikan lagi dibandingkan dengan muka yang bersembunyi di balik kedok.
“Hemmm, kau telah melihat wajahku? Wajah yang dahulunya tampan gagah. Karena aku berdosa mencinta Ibumu, aku mendapat perlakuan begini kejam. Ibumu menolak aku, kakaknya sendiri seayah lain ibu, dan dia memilih seorang prajurit biasa menjadi suaminya, yaitu Ayahmu!” Hek-giam-lo diam sejenak, agaknya menahan kemarahannya.
Lin Lin teringat akan cerita Kim-lun Seng-jin tentang Puteri Mahkota Khitan yang bernama Tayami, yang menurut Kim-lun Seng-jin adalah ibunya. Teringat ia betapa kakek itu bercerita bahwa Puteri Tayami bersama suaminya, seorang prajurit gagah perkasa dan pilihan, gugur dalam perang melawan musuh karena ada saudara-saudara ibunya yang berkhianat. Mengingat ini, serta-merta naik darah panas ke kepalanya dan mulutnya menyerang dengan ejekan.
“Jadi kaukah orangnya yang berkhianat, bersekutu dengan Kerajaan Sung sehingga bangsaku dipukul hancur di Shan-si, dan ibu serta ayahku gugur?” Enak saja mulut Lin Lin menyebut ‘bangsaku’ dan ‘ayah ibuku’, karena memang ia sudah tidak ragu-ragu lagi. Inilah musuh besarnya yang sesungguhnya, orang yang menjadi biang keladi kematian ayah bundanya yang gugur sebagai pejuang bangsa yang gagah perkasa.
“Heh-heh, kau pandai menduga, ya? Memang betul begitulah. Akan tetapi pembalasanku ini tidak berlebihan, kau sudah melihat mukaku yang disiram air beracun oleh Ibumu.”
“Aku tidak percaya! Aku tidak percaya Ibu seganas itu! Kecuali kalau kau melakukan hal yang jahat, untuk membela diri mungkin Ibu terpaksa harus menggunakan racun.”
“Hemmm, kau memang pandai menduga, agaknya arwah Ibumu yang berbisik di dalam hatimu. Aku tidak bersalah, dosaku tidak berarti. Ibumu cantik jelita, seperti engkau begini, dan aku dahulu seorang pria yang tampan dan muda, penuh semangat dan nafsu. Aku hanya memasuki kamar Ibumu, hendak mencumbu rayu, sudah sewajarnya antara pria dan wanita. Tapi dia... dia... ah, semenjak itu aku benci kepadanya!”
Lin Lin dapat membayangkan semua itu, biar pun ia tidak mendapat cerita yang jelas, namun ia dapat menduga
apa yang telah terjadi pada masa sebelum ia terlahir di dunia itu.
“Hek-giam-lo, kalau begitu sikapmu tunduk kepadaku hanya pura-pura. Kau menawanku mau apa?”
Secara tidak terduga, Hek-giam-lo kembali menjura dengan penuh penghormatan!
“Ih, tak perlu membadut dan berpura-pura lagi!” bentak Lin Lin.
“Tuan Puteri Yalin, hamba tidak berpura-pura. Hamba Hek-giam-lo hanya mentaati perintah Sri Baginda atau kakak hamba sendiri. Paduka harus hamba bawa ke Khitan dan di sana Paduka akan dikaruniai anugerah sebagai permaisuri menjadi ratu di sisi Sri Baginda kakak hamba.”
“Apa...?” Lin Lin menjerit. “Kalau dia itu kakakmu, dan kau kakak seayah ibuku, berarti kau dan dia itu masih pamanku. Dia paman tua, dia uwakku, masa dia hendak memperisteriku? Gila kau!”
“Heh-heh, tidak ada yang gila, Tuan Puteri. Banyak laki-laki beristerikan wanita muda lagi cantik. Ibu Paduka memang seayah dengan hamba dan Sri Baginda, akan tetapi berlainan ibu, jadi di antara kita sudah bukan apa-apa. Paduka akan menjadi ratu di Khitan, menjadi junjungan di samping Sri Baginda, karena itulah hamba juga menjadi hamba Paduka. Hanya karena Paduka tidak mau suka rela pergi ke Khitan, terpaksa hamba membelenggu Paduka.”
“Gila...! Kau dan semua orang Khitan yang gila ataukah aku yang berubah gila? Raja Khitan, kakakmu itu selamanya belum pernah melihat aku, kenapa dia bersikeras hendak menawanku dan mengambilku sebagai permaisuri? Di dunia ini, mana ada peristiwa yang lebih gila dari pada ini?”
“Paduka akan menyesal mengeluarkan caci maki seperti itu, Tuan Puteri. Kakak hamba Sri Baginda mengambil keputusan ini berdasarkan kebijaksanaan yang luar biasa. Mengingat bahwa Paduka masih keturunan langsung dari kaisar tua, dan banyak panglima tua yang mengharapkan Paduka duduk menjadi yang dipertuan di Khitan, kebijaksanaan yang paling tepat adalah mengangkat Paduka menjadi permaisuri. Sudahlah, harap Paduka sudi mengaso.”
“Tidak! Aku tidak sudi, tidak mau...! Aku tidak sudi pergi ke Khitan!”
Pada saat itu, sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu Lie Bok Liong sudah ada di belakang Lin Lin. Tangan kirinya berusaha merenggut putus sabuk sutera yang mengikat tangan gadis itu, sedangkan tangan kanannya menodongkan pedangnya ke dada Hek-giam-lo!
“Jangan takut, Lin-moi, aku membelamu,” bisik pemuda itu sambil mengerahkan tenaga tangan kirinya untuk melepaskan ikatan kedua tangan Lin Lin.
Gadis itu terkejut sekali. Andai kata Suling Emas yang menolongnya pada saat itu, tentu ia akan merasa bahagia dan girang sekali. Akan tetapi Lie Bok Liong? Ia cukup mengenal sahabat ini dan tahu sampai di mana tingkat kepandaiannya. Tidak jauh selisihnya dengan kepandaiannya sendiri. Mana bisa menang menghadapi Hek-giam-lo yang berdiri dengan tegak dan tak bergerak itu? Tidak saja akan sia-sia usaha pertolongan Bok Liong, malah sebaliknya selain ia sendiri tidak akan tertolong, pemuda ini malah akan menghadapi bahaya pula.
Para anak buah perahu bermunculan, akan tetapi mereka hanya berdiri tertegun, tidak berani turun tangan sebelum menerima perintah Hek-giam-lo yang tampak tenang-tenang itu. Agaknya iblis tengkorak ini sengaja membiarkan Bok Liong melepaskan belenggu Lin Lin, buktinya ia diam saja, hanya berdiri bertolak pinggang seakan-akan ia gentar karena ditodong pedang oleh Lie Bok Liong.
Akhirnya terlepas juga ikatan tangan Lin Lin dan pemuda itu segera menarik tubuh Lin Lin supaya berada di belakangnya, sedangkan ia sendiri memasang kuda-kuda, siap menghadapi lawan. Sikapnya gagah sekali dan pemuda yang tegap ini sudah siap sedia mengorbankan nyawanya untuk membela gadis yang telah merampas hatinya.
Tiba-tiba Lin Lin teringat akan sesuatu dan wajahnya berseri, timbul harapan di hatinya. Tentu, pikirnya, tentu guru pemuda ini ikut datang, kalau tidak, masa Bok Liong akan seberani ini menghadapi Hek-giam-lo?
“Liong-koko, mana gurumu?” bisik Lin Lin penuh harap.
Bok Liong tidak menjawab, matanya bergerak-gerak memandang Hek-giam-lo dan para anak buah Khitan yang bermunculan dan mengurungnya di atas perahu yang lebar itu. Perahu mulai bergoyang sedikit karena pergerakan mereka. Ia tidak dapat menjawab karena memang ia datang tidak bersama suhu-nya. Pemuda ini merasa khawatir sekali ketika melihat Lin Lin lenyap secara aneh bersama orang-orang Khitan. Hatinya sudah terampas oleh senyum dan sinar mata Lin Lin.
Lie Bok Liong pemuda perkasa murid Gan-lopek itu telah jatuh cinta kepada Lin Lin. Karena itu, tanpa mempedulikan lagi peristiwa yang amat aneh dan menyeramkan yang terjadi di ruangan sembahyang Beng-kauw, ia menyelinap pergi dan secepat kilat ia lari menyusul rombongan orang Khitan. Ia terus membayangi mereka sampai mereka tiba di pinggir sungai dan melihat kekasih hatinya itu dihadapkan Hek-giam-lo dan dirampas pedangnya lalu diikat tangannya, Lie Bok Liong lupa segala, menjadi nekat dan cepat ia bertindak untuk menolong Lin Lin. Tentu saja ia cukup maklum betapa lihainya Hek-giamlo, akan tetapi untuk membela Lin Lin yang dipuja di dalam hatinya, jangankan hanya menghadapi seorang Hek-giam-lo, biar di situ ada sepuluh orang Hek-giam-lo sekali pun, ia tidak akan mundur selangkah dan siap mengorbankan nyawanya untuk membela Lin Lin!
Melihat cara Bok Liong menodongkan pedang dengan tubuh agak bergoyang-goyang, Hek-giam-lo mengeluarkan suara mendengus, “Huh, orang muda, mana gurumu Gan-lopek si badut gila itu? Suruh dia yang keluar menghadapi aku!”
Diam-diam Bok Liong terkejut. Dengan melihat cara ia memasang kuda-kuda saja iblis ini sudah mengenal ilmu silatnya, terang bahwa sekarang ia bertemu lawan yang seimbang gurunya. Akan tetapi ia tidak gentar dan tidak menjawab ucapan Hek-giam-lo, melainkan menjawab pertanyaan Lin Lin tadi.
“Lin-moi, jangan takut. Untuk menolongmu dari para iblis ini, tidak usah Suhu yang maju, cukup dengan aku saja.” Kemudian ia menghadap Hek-giam-lo dan berkata lantang.
“Hek-giam-lo, kau seorang Locianpwe yang berilmu tinggi. Tidak seharusnya kau memaksa Nona ini yang tidak mau ikut ke Khitan. Harap kau orang tua suka memandang muka Suhu-ku dan membebaskannya, biarkan dia pergi bersamaku ke mana ia suka. Kelak kalau aku atau Suhu lewat Khitan, tentu tidak lupa singgah untuk menyampaikan terima kasih dan hormat.” Ucapan Bok Liong ini adalah ucapan gagah seorang tokoh kang-ouw terhadap tokoh kang-ouw lain, dan biasanya orang-orang kang-ouw tunduk akan ‘sopan santun’ kang-ouw seperti ini.
Akan tetapi Hek-giam-lo mendengus dan berkata singkat, “Bocah gila, melihat muka tolol gurumu, aku mau ampunkan kau. Hayo lekas kau minggat dari sini dan jangan mengganggu urusan kami. Tuan Puteri Yalina akan ikut bersama kami, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Pergi!” Berbareng dengan ucapan ini, Hek-giam-lo menggerakkan lengan bajunya yang berubah menjadi sinar hitam menyambar ke arah dada Lie Bok Liong.
Tenaga sakti yang dahsyat merupakan angin yang kuat sekali menyambar ke depan. Bok Liong sudah siap sedia, cepat ia lompat menghindar ke samping. Tubuhnya bergoyang-goyang, pinggulnya megal-megol akan tetapi tahu-tahu pedangnya sudah menyelinap di antara sambaran angin, mengirim tusukan balasan ke arah lambung si iblis tengkorak. Diam-diam Hek-giam-lo kaget dan kagum. Jarang sekali terdapat di dunia kang-ouw seorang muda yang dapat menghindarkan serangannya dan seketika dapat balas menyerang. Maklumlah ia bahwa pemuda murid Gan-lopek ini sudah lumayan kepandaiannya. Tentu saja dengan mudah ia dapat menangkis tusukan pedang itu dengan kibasan lengan bajunya.
Ketika pedangnya terkena kibasan ujung lengan baju, hampir saja pedang itu terlepas dari tangannya. Bok Liong kaget bukan main, namun ia tetap melanjutkan serangannya, kini pedangnya membuat tiga lingkaran lebar yang makin lama makin sempit lalu menjurus ke arah dada lawan. Hebat serangan ini, dan kuat sekali.
Namun dengan mudah pula Hek-giam-lo menghindar, lalu dari samping pukulan jarak jauh dengan ujung lengan baju membuat Bok Liong terhuyung-huyung, hampir menabrak seorang anak buah Khitan. Anehnya, orang Khitan ini sama sekali tidak bergerak atau menyerang, dan ini merupakan bukti betapa teguh mereka memegang disiplin. Tanpa perintah kepala mereka, orang-orang Khitan ini tidak berani sembarangan bergerak. Dan mereka memang betul, karena andai kata ada yang bergerak, hal itu berarti membantu Hek-giam-lo tanpa diperintah dan ini berarti pula menghina tokoh besar itu yang mungkin hukumannya adalah maut!
Lin Lin menjadi kagum melihat perlawanan gigih dari Bok Liong terhadap Hek-giam-lo. Tiba-tiba ia lari menerobos memasuki bilik perahu. Juga orang-orang Khitan mendiamkannya saja, apa lagi gadis itu adalah ‘tuan puteri’ bagi mereka, tanpa ada perintah Hek-giam-lo mereka tidak akan berani mengganggunya sedikit pun juga. Tak lama kemudian Lin Lin sudah berlari ke luar lagi, di tangannya memegang tongkat Beng-kauw yang kepalanya dihias permata ya-beng-cu! Kiranya gadis ini memasuki bilik untuk mencari senjata karena pedangnya sudah terampas oleh Hek-giam-lo. Setelah tiba di luar, ia melihat Bok Liong terkurung sinar hitam yang dibuat oleh lengan baju Hek-giam-lo, maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan tongkat Beng-kauw mengemplang dari belakang ke arah kepala Hek-giam-lo!
“Werrrrr!” Tongkat itu lewat dekat kepala ketika Hek-giam-lo menghindar, kemudian sekali lompat iblis tengkorak ini sudah tiba dekat Bok Liong. Lengan baju kiri digerakkan melibat pedang Bok Liong, tangan kanan mengirim pukulan dari atas ke bawah yang kalau mengenai kepala Bok Liong tentu akan pecah seketika.
“Hayaaaaa...!” Bok Liong menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan, pukulan itu menyambar lewat dan....
“Brakkk!” papan perahu terkena pukulan tangan Hek-giam-lo menjadi amblong berlubang besar!
Biar pun Bok Liong sudah terhindar dari pada bahaya maut, namun pedangnya, pedang pusaka Goat-kong-kiam, kini sudah terampas dan berada di tangan si iblis tengkorak! Hek-giam-lo mengeluarkan suara seperti orang tertawa, tangan kanannya bergerak dan pedang rampasan meluncur ke belakang menangkis tongkat Beng-kauw yang sudah menyambarnya lagi.
“Traaanggggg!” Biar pun pedang itu disambitkan untuk menangkis, namun tenaga sambitannya membuat Lin Lin mengaduh karena telapak tangannya terasa panas dan perih, baiknya tongkatnya tidak terlepas. Pedang itu terbentur dan meluncur seperti anak panah ke arah kaki Bok Liong! Pemuda ini cepat melompat menghindar agar jangan sampai kakinya terbabat pedangnya sendiri.
“Cappp!” pedang Goat-kong-kiam menancap sampai setengah lebih di atas papan perahu.
“Bocah gila, lekas minggat. Sekali lagi aku tidak memberi ampun!” kata Hek-giam-lo sambil menggerakkan tangan kiri menyambut tongkat yang kembali telah dipukulkan oleh Lin Lin ke arah kepalanya. Kali ini Hek-giam-lo menerima tongkat itu, menarik lalu mendorong kuat sekali. Lin Lin menjerit dan tubuhnya terlempar... keluar perahu!
“Byurrrrr...!” tubuhnya menimpa air yang muncrat tinggi.
“Tolong... auppp...!” Lin Lin kaget sekali karena tubuhnya kaku, kaki tangannya lumpuh tak dapat digerakkan untuk berenang, maka dengan panik ia minta tolong.
Sesosok bayangan melompat ke air. Dia adalah Bok Liong yang cepat menyelam dan menyambar tubuh Lin Lin yang sudah tenggelam itu, kemudian memeluknya dan membawanya berenang ke pinggir perahu. Tongkat Beng-kauw masih berada di tangan gadis itu yang tidak mau melepaskannya. Dengan agak sukar Bok Liong menyambar pinggiran perahu, lalu menaikkan tubuh Lin Lin, yang masih kaku karena tadi terkena totokan lihai Hek-giam-lo. Ia sendiri meloncat ke atas perahu dan kembali mencabut pedangnya.
“Hek-giam-lo, kau bukan lawanku. Sekali lagi, memandang muka Suhu, harap kau suka membebaskan Lin-moi dan aku. Kalau kau mau berkelahi, lawanlah Suhu, baru sebanding. Akan tetapi kalau kau tidak mau membebaskan Lin-moi, terpaksa aku mengadu nyawa denganmu!”
“Heh, bocah edan! Nona ini adalah Tuan Puteri kami, dia adalah calon Permaisuri Khitan! Kau ini bocah gila berani jatuh hati kepadanya?”
Marahlah Bok Liong. Ia melompat maju dengan serangan pedangnya. Kali ini Hek-giam-lo melibat ujung pedang lawan dengan lengan bajunya, menggerakkan ke bawah dan... tubuh Bok Liong terbanting ke atas papan perahu. Seketika tubuh Bok Liong amblas sampai sepinggang karena kebetulan sekali ia terbanting pada papan yang telah bolong terkena pukulan Hek-giam-lo tadi. Kasihan pemuda itu, ia berusaha melepaskan diri, namun sia-sia karena pinggangnya terjepit sehingga ia seperti seekor tikus masuk perangkap. Namun ia masih memaki-maki, “Hek-giam-lo, kau bunuhlah aku, tapi bebaskan Lin-moi!”
“Tidak dibunuh buat apa?” berkata demikian, Hek-giam-lo menghampiri tubuh Bok Liong yang masih terjepit papan perahu.
Pemuda ini biar pun sudah tidak berdaya, namun pedangnya masih berada di tangan dan ia dengan sikap menantang siap untuk melakukan serangan terakhir dengan senjatanya sebelum tewas, sedikit pun tidak terbayang rasa takut di wajahnya.
“Hek-giam-lo, jangan bunuh dia!” tiba-tiba Lin Lin berseru keras.
Hek-giam-lo menengok ke arah gadis itu yang kini sudah berdiri dengan muka pucat. Iblis itu mendengus, lalu menggumam, “Tidak dibunuh buat apa? Dia kurang ajar, berani mencintai Tuan Puteri, harus dibunuh mati untuk menebus dosanya...!” Setelah berkata demikian Hek-giam-lo melangkah lagi menghampiri Bok Liong.
“Hek-giam-lo, kalau kau membunuhnya, aku tidak sudi ikut ke Khitan!” Kembali Lin Lin berseru.
Tanpa menoleh Hek-giam-lo menjawab dengan suara mengejek, “Hamba dapat memaksa Paduka!”
Karena Hek-giam-lo membacokkan pedangnya dengan sekuat tenaga. Tubuhnya yang terjepit membuat ia tidak dapat menyerang secara baik, hanya asal membacok saja. Hek-giam-lo mendengus dan tahu-tahu pedang itu sudah terlibat oleh ujung lengan baju sebelah kiri, sedangkan tangan kanan iblis itu sudah bergerak mencengkeram ke arah kepala Bok Liong. Pemuda ini hanya dapat memandang dengan mata
mendelik dan dengan sikap gagah menanti detangnya maut dengan mata terpentang lebar.
“Hek-giam-lo, kalau kau bunuh dia, aku akan bunuh diri!” teriak Lin Lin yang sudah kebingungan sekali melihat Bok Liong terancam bahaya maut. Pemuda itu datang untuk menolongnya, tak mungkin sekarang ia diam saja menyaksikan penolongnya terancam kematian yang mengerikan.
Cengkeramen ke arah kepala itu mendadak berubah dan kini yang dicengkeram adalah baju pada punggung Bok Liong. Sekali sentak tubuh pemuda itu sudah keluar dari jepitan papan dan sekali mengayun tangan Hek-giam-lo melemparkan tubuh Bok Liong keluar dari perahu dan....
“Byuuurrrrr...!” untuk kedua kalinya air muncrat tinggi ketika tertimpa tubuh pemuda itu.
Hanya sebentar Bok Liong tenggelam. Segera ia muncul lagi, terengah-engah dan menyemburkan air dari dalam mulutnya. Pedang Goat-kong-kiam masih di tangan kanannya dan dengan mata mendelik marah ia berenang ke arah perahu sambil memaki.
“Hek-giam-lo iblis tukang menakuti anak-anak! Kalau kau tidak membebaskan Lin-moi, aku akan mengadu jiwa denganmu!”
Melihat kenekatan pemuda yang keras kepala ini, Lin Lin bingung dan kaget sekali. Cepat ia berlari ke pinggir perahu dan berseru, “Liong-twako, jangan ke sini lagi! Kau pergilah, sia-sia melawan dia!”
“Lin-moi, tidak bisa aku meninggalkan kau tertawan iblis itu. Kalau perlu aku akan mengadu jiwa, apa artinya kematian? Hidup pun tidak akan berguna bagiku kalau kau mengalami bencana!” Penuh semangat pemuda ini menjawab. Jawaban yang sekaligus menyatakan cinta kasihnya terhadap gadis itu!
Merah seketika wajah Lin Lin dan sejenak ia terharu. Pemuda ini benar-benar hebat, gagah perkasa dan cinta kasihnya terhadap dirinya sudah cukup teruji. Berkali-kali pemuda ini menolongnya dari bencana tanpa mempedulikan keselamatan dirinya sendiri.
“Jangan, Twako,” katanya, suaranya agak gemetar. “Kau pergilah, aku tidak apa-apa, percayalah. Kelak kita dapat bertemu kembali. Aku minta dengan sangat, jangan kau kembali ke perahu!”
Bok Liong meragu, akan tetapi mendengar suara yang gemetar itu dan melihat wajah Lin Lin yang ketakutan mengkhawatirkan keadaan dan keselamatan dirinya, diam-diam ia merasa bahagia sekali. “Baiklah, Lin-moi, asal kau selamat, aku menurut segala kehendakmu. Tapi, aku akan selalu membayangimu. Awas mereka yang berani mengganggu, aku pasti akan menjungkir-balikkan bumi langit untuk mengadu jiwa!” Setelah berkata demikian, pemuda itu berenang kepinggir.
Setelah mendarat, barulah ia merasa betapa tubuhnya sakit-sakit semua dan ia menggigil kedinginan. Akan tetapi melihat perahu itu meluncur maju menurutkan aliran sungai, ia pun cepat-cepat mengikuti dari tepi sungai. Pemuda ini sudah mengambil keputusan untuk terus mengikuti jejak Lin Lin yang menjadi tawanan orang-orang Khitan. Ia bersikeras untuk membayangi terus, biar pun ia harus berjalan sampai ke Khitan, atau kalau perlu, ia akan terus membayangi sampai ke neraka!
Dapat dibayangkan betapa sengsaranya perjalanan ini. Yang dibayangi naik perahu, karena perahu itu menurutkan aliran air, maka tidak pernah berhenti. Bok Liong harus mengikuti terus siang malam, dan ia harus menyaksikan dengan tubuh letih betapa para penumpang perahu enak-enakan duduk melengggut, atau harus menyaksikan dengan perut lapar betapa para penumpang perahu makan minum di atas dek. Adapun Lin Lin selalu berada di dalam bilik perahu. Hanya kadang-kadang saja gadis itu keluar dan dengan hati pedih melihat bayangan Bok Liong bergerak di tepi sungai. Hatinya makin terharu dan kasihan melihat pemuda itu, bukan hanya karena kesetiaan dan cinta kasih pemuda itu, melainkan terutama sekali kasihan karena hatinya sendiri tidak akan dapat membalas cinta kasih Bok Liong. Hatinya sendiri, sudah tersangkut oleh... sebuah suling yang terbuat dari pada emas.....
********************
Lanjut ke jilid 20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)