MUTIARA HITAM : JILID-02


Maka secara diam-diam ia sendiri melakukan penyelidikan dan mencari, namun sia-sia belaka. Anak perempuan itu lenyap tak meninggalkan bekas sama sekali, bahkan di seluruh Khitan tidak terdapat seorang anak bayi perempuan yang baru dilahirkan. Jelas bahwa anak itu dibawa oleh pembunuh nenek dukun, dibawa ke luar dari Khitan atau dibawa sembunyi di tempat rahasia. Akan tetapi siapakah pembawanya?
Hal ini menjadi rahasia dan teka-teki yang tak terpecahkan. Dan tentu saja hal ini menambah kesengsaraan hati Ratu Yalina. Memang agak terhibur hatinya melihat Talibu, yaitu putera kandungnya yang menjadi putera Panglima Kayabu. Ketika Talibu berusia lima tahun, secara resmi ia diangkat anak oleh Ratu Yalina! Upacara pengangkatan ini dilakukan secara resmi dan dirayakan oleh semua orang Khitan.
Gembiralah hati bangsa Khitan yang tadinya merasa prlhatin melihat ratu mereka yang terkasih itu tidak mau menikah. Akan tetapi setelah melihat Sang Ratu itu mengangkat putera, dan putera itu pun bukan anak orang biasa melainkan putera Panglima Besar Kayabu, legalah hati mereka. Kini mereka telah mempunyai seorang Pangeran Mahkota! Tentu saja tak seorang pun di antara mereka tahu betapa hati Sang Ratu itu jauh lebih lega dan bahagia dari pada mereka. Diam-diam hati Ratu Yalina bahagia sekali karena pengangkatan Talibu sebagai puteranya itu merupakan pesta pertemuan dan berkumpulnya kembali secara resmi antara seorang ibu dan anak kandungnya!
Pada waktu itu Panglima Kayabu sendiri telah mempunyai seorang anak perempuan yang terlahir ketika Talibu berusia dua tahun. Anak perempuan yang cantik ini bernama Puteri Mimi yang menjadi ‘adik kandung’ dan teman bermain Pangeran Talibu sejak kecil. Kalau melihat keadaan puteranya yang kini benar-benar telah menjadi puteranya, bahkan menjadi Putera Mahkota, bahagialah hati Ratu Yalina. Akan tetapi makin besar anak itu, makin gelisah dan prihatin hatinya.
Bagaimana ia tidak akan merasa gelisah dan prihatin kalau mengingat bahwa puteranya ini telah kehilangan saudara kembarnya, telah kehilangan calon ‘jodohnya’? Bagaimana takkan gelisah dan bingung hatinya karena menurut kepercayaan bangsanya, anak kembar laki perempuan kalau tidak dijodohkan, tentu akan hidup menderita dan mengalami malapetaka? Kalau teringat akan hal ini, Ratu Yalina menjadi sedih sekali dan teringat kekasihnya, Suling Emas, ayah dari pada kedua orang anaknya itu!
Kekhawatiran akan hilangnya anak perempuannya itulah yang membuat Ratu Yalina akhirnya berkeras memberi perintah kepada Panglima Kayabu untuk berusaha mencari dan memanggil Suling Emas ke Khitan. Apa pun yang terjadi, ayah dari anak-anaknya itulah yang harus mengambil keputusan! Ayah kandung anak anak itu sendiri yang harus menentukan nasib sepasang anak kembar yang terpisah secara ajaib itu.
Dan Panglima Kayabu hanya mentaati perintah, mengirim pasukan dan pembantu-pembantunya yang cukup pandai untuk mencari dan memanggil Suling Emas. Bahkan setelah bertahun-tahun gagal menjumpai Suling Emas dan Pangeran Talibu sudah makin besar, Ratu Yalina menulis segulung surat untuk diberikan kepada Suling Emas kalau orang-orangnya berhasil menjumpai pendekar itu.
Sementara itu, Pangeran Talibu makin besar makin gagah dan tampan. Semua rakyat mencinta pangeran ini. Selain tampan, juga Putera Mahkota ini digembleng ilmu surat dan ilmu silat. Tidak hanya Panglima Kayabu yang menurunkan kepandaiannya kepada Putera Mahkota, juga Sang Ratu Yalina sendiri menurunkan ilmu silat saktinya, yaitu Khong-in-ban-kin dan Khong-in-liu-san. Ada pun ilmu silat ajaib Cap-sha-sin-kun ia ajarkan pula secara hati hati dan perlahan-lahan karena ilmu ini bukan ilmu sembarangan dan kalau belum matang keadaan seorang ahli silat, tak mungkin dapat mempelaiarinya dengan sempurna.
********************
Sebelum kita melanjutkan cerita ini, lebih baik kita menengok keadaan anak perempuan yang lenyap tanpa bekas itu. Ke manakah menghilangnya anak perempuan, adik kembar Pangeran Talibu itu? Dan apakah yang terjadi lewat tengah malam itu di belakang istana Ratu Yalina?
Ketika itu nenek dukun beranak memondong bayi perempuan yang dibungkusnya dengan selimut. Ia bergegas keluar dari pintu rahasia yang membawanya ke luar dari istana dan muncul di luar taman bunga. Nenek ini tersenyum-senyum girang. Peristiwa aneh yang ia alami di dalam istana ini tak dapat tidak akan mendatangkan untung besar kepadanya. Betapa tidak? Rahasia Sang Ratu berada di tangannya. Yang dibungkus selimut ini merupakan sebagian rahasia besar itu. Sebagai orang yang mengetahui rahasia itu tentu hidupnya terjamin. Dan juga keponakannya akan hidup mewah dan mulia kelak, sebagai pengasuh dan pemelihara puteri Sang Ratu! Nenek ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada bayangan berkelebat mengikutinya.
Tiba tiba nenek itu berhenti melangkah, kaget memandang ke depan. Di depannya telah berdiri sesosok bayangan orang. Malam itu bulan sepotong menyinarkan cahayanya yang suram, akan tetapi cukup untuk membuat ia dapat melihat orang yang seperti setan tiba-tiba saja berdiri di depannya.
Seorang perempuan! Seorang perempuan berpakaian serba putih! Tubuhnya ramping padat, dengan lekuk-lengkung mencolok. Pendeknya tubuh seorang wanita muda yang montok, tubuh yang sedang mekar dalam usia muda. Akan tetapi muka dan kepala wanita muda ini tertutup anyaman benang sutera hitam Membuat wajahnya hanya nampak bayangannya saja, bayangan seram sekali karena sepasang matanya mengeluarkan sinar seperti bukan mata manusia! Lebih tepat kalau mata itu dimiliki iblis, atau setidaknya sepasang mata harimau liar!
“Apa... eh, siapa...?” nenek ini tergagap dan ketakutan.
“Hi hik!” Wanita aneh itu terkekeh dan sekali tangannya merenggut, anak dalam buntalan selimut itu telah berada di tangannya.
Nenek dukun beranak terkejut. Kemarahannya mengatasi takutnya, kedua tangannya diulur hendak merampas kembali anak itu.
“Huh, macam engkau mana ada harga merawat anak Lin Lin?” Tangan kiri wanita itu menyambar ke depan.
“Krekkk!” terdengar bunyi dan tubuh nenek itu terguling tak bernyawa lagi!
Sambil tertawa-tawa yang mengatasi tangis anak perempuan itu, wanita aneh itu sekali berkelebat lenyap ke dalam gelap. Suara ketawanya yang nyaring melengking amat menyeramkan, memecah kesunyian malam dan pasti akan membuat hati orang yang bagaimana tabahnya pun pasti tergetar.
Siapakah wanita aneh yang menyeramkan ini? Melihat gerak geriknya ia seorang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa hebatnya. Larinya amat cepat, seperti terbang saja sehingga ketika fajar menyingsing keesokan harinya, ia sudah berada di tempat yang ratusan li jauhnya dari kota raja Khitan. Ketika itu ia masih berlari terus memasuki sebuah hutan lebat, jauh di sebelah selatan. Orang tentu akan heran sekali melihat bahwa dia adalah seorang wanita yang masih muda, belum tiga puluh tahun usianya!
Wajahnya cantik jelita, tubuhnya ramping padat, pakaiannya serba putih terbuat dari sutera halus yang membungkus ketat tubuhnya, membayangkan lekuk lengkung tubuhnya yang menggairahkan. Anehnya muka dan kepalanya tersembunyi di belakang kain penutup atau ‘tirai’ sulaman benang sutera hitam sehingga garis-garis mukanya yang cantik hanya nampak remang-remang. Akan tetapi, sepasang mata di balik tirai itu jelas tampak berkilat-kilat menakutkan, mata yang jeli dan indah, namun dengan sinar mata yang liar dan mengerikan.
Wanita ini sesungguhnya bukan orang asing bagi Ratu Yalina. Dia ini adalah kakak angkatnya sendiri, puteri ayah angkatnya. Mendiang ayah angkat Ratu Yalina yang bernama Jenderal Kam Si Ek, seorang jenderal dari Hou-han yang perkasa dan pandai, mula-mula menikah dengan puteri Beng-kauwcu yang bernama Liu Lu Sian yang berjuluk Tok-siauw-kwi (Iblis Cilik Beracun) dan berputera Suling Emas!
Kemudian Jenderal Kam bercerai dari Liu Lu Sian, menikah lagi dan mempunyai dua orang anak. Pertama adalah Kam Bu Sin yang kini menjadi mantu dari ketua Beng-kauw yang baru dan bersama istrinya tinggal di selatan. Ada pun yang kedua adalah Kam Sian Eng, seorang anak perempuan yang cantik. Sayang sekali bahwa, seperti juga halnya Ratu Yalina, Kam Sian Eng ini gagal dalam asmara dan mengalami penderitaan batin yang lebih parah lagi.
Gadis yang bernasib malang ini telah menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang laki-laki yang jahat, putera pangeran dan bernama Suma Boan. Dapat dibayangkan betapa hancur hatinya ketika Kam Sian Eng akhirnya mendapat kenyataan betapa laki-laki yang dicintainya itu membalasnya dengan kekejian, bahkan memperkosanya. Kehancuran cinta kasih yang diinjak-injak oleh kekasihnya ini membuat
Kam Sian Eng menjadi tertekan batinnya yang membuatnya seperti gila!
Secara kebetulan Kam Sian Eng menemukan kitab-kitab pusaka peninggalan Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian (Ibu kandung Suling Emas) dalam istana bawah tanah. Dalam keadaan setengah gila ia mempelajari semua kitab-kitab itu setelah berhasil membunuh Suma Boan bekas kekasihnya itu. Ia menyembunyikan diri dan tekun mempelajari kitab-kitab pusaka, yaitu kitab-kitab pusaka yang dahulu dicuri dari partai-partai persilatan besar oleh Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian.
Tentu saja Kam Sian Eng yang memang tadinya sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi, makin lama menjadi makin hebat kepandaiannya sehingga sukar untuk di bayangkan lagi. Hebat dan juga mengerikan karena pikirannya yang setengah gila itu membuat ia kadang-kadang mempelajari ilmu kesaktian secara keliru yang akibatnya membuatnya menciptakan ilmu-ilmu yang dahsyat seperti ilmu iblis!
Wanita aneh yang muncul di Khitan dan menculik anak perempuan Ratu Yalina itu bukan lain adalah Kam Sian Eng! Tadinya, selagi pikirannya waras dan ia terkenang kepada adik angkatnya di Khitan, Kam Sian Eng bermaksud mengunjungi adiknya yang kini menjadi ratu itu. Secara kebetulan sekali ia tiba di Khitan pada malam hari dan dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi ia memasuki istana. Alangkah herannya ketika ia melihat betapa dalam kamar rahasia itu adik angkatnya yang menjadi Ratu Khitan sedang melahirkan!
Bagaikan disambar petir rasa hati Kam Sian Eng. Dengan air mata bercucuran ia melihat keadaan adik angkatnya dari tempat sembunyinya di atas genteng. Terbayanglah ia akan pengalamannya sendiri. Seperti adik angkatnya ini, ia pun pernah melahirkan anak tanpa ayah! Perbuatan Suma Boan terhadap dirinya telah membuatnya mengandung. Inilah sebetulnya yang membuat batinnya tertekan, membuat ia menjadi makin gila, membuat ia menyembunyikan diri dari dunia ramai, seorang diri di dalam istana bawah tanah. Di situ pula ia seorang diri melahirkan seorang anak laki-laki!
Hal itu telah terjadi setahun yang lalu. Dan untuk merawat anaknya terpaksa ia pergi menculik seorang wanita yang mempunyai anak kecil dan memaksa wanita itu untuk selamanya tinggal di dalam istana bawah tanah untuk menyusui dan merawat anaknya! Sukarlah untuk diceritakan betapa sedih hati ibu muda yang diculik itu. Ia dipaksa iblis betina itu bercerai dari anaknya yang baru berusia dua bulan, untuk dikeram dan hidup di bawah tanah! Akan tetapi Kam Sian Eng bersikap baik kepadanya dan anak kecil yang mungil itu pun sedikit banyak menghibur hatinya, menjadi pengganti anaknya sendiri, seorang anak laki-laki yang entah kapan dapat ia lihat kembali.
Kenangan yang pahit itu membuat penyakit gila Sian Eng kambuh pada saat ia mengintai di kamar Ratu Yalina. Ia mendengarkan semua percakapan, kemudian membatalkan pertemuannya dengan Ratu Yalina dan mengikuti nenek dukun beranak, membunuhnya dan menculik anak perempuan adik angkatnya! Ia sama sekali tidak peduli bahwa perbuatannya ini tentu akan menghancurkan hati Yalina yang kehilangan seorang di antara anak kembarnya!
Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati ibu muda yang merawat anak Kam Sian Eng ketika pada hari itu wanita yang dianggapnya iblis betina, amat ditakuti akan tetapi diam-diam juga amat dikasihinya itu tiba tiba pulang membawa seorang anak perempuan yang masih merah kulitnya!
“Ya Tuhan! Kouwnio (Nona), apa pula yang kau lakukan ini? Anak siapa ini? Mana ibunya...?” wanita itu berseru sambil membelalakkan matanya. Bahkan Suma Kiat, anak laki laki berusia setahun yang digendongnya juga memandang dengan mata terbelalak kepada bayi yang dipondong ibunya.
Kam Sian Eng tertawa. Berhadapan dengan orang luar, wanita ini tidak pernah tertawa, akan tetapi terhadap wanita yang diculik dan dipaksanya merawat anaknya itu ia bersikap seperti saudara. Hal ini tidak mengherankan oleh karena memang hanya Phang Bi Li, ibu muda inilah yang menjadi temannya di dalam tempat rahasia di bawah tanah.
“Hi-hik! Enci Bi Li, kau kubawakan seorang keponakan baru, seorang bayi perempuan yang mungil untuk menjadi teman bermain Kiat-ji (Anak Kiat) kelak. Kau lihat, lucu dan mungil, bukan? Namanya... hemm, coba kucarikan yang baik... Kwi Lan, ya... Kwi Lan. Kam Kwi Lan. Hi-hi-hik!”
Wanita itu segera menerima anak perempuan tadi dari tangan Sian Eng. Memang benar, anak itu mungil dan cantik sekali. Phang Bi Li menahan isak teringat akan anaknya sendiri yang ditinggalkan dalam usia dua bulan! Segera Kwi Lan, anak itu merampas hatinya dan dirawatnya penuh cinta kasih seperti anaknya sendiri. Juga Kam Sian Eng biar pun kadang-kadang kumat gilanya, tak pernah lupa akan segala keperluan Kwi Lan sehingga karena Bi Li sudah tidak menyusui Kiat-ji lagi, wanita aneh itu lalu merampas lembu betina, dibawa masuk ke dalam istana bawah tanah dan dipelihara untuk diambil air susunya.
Karena tempat persembunyian itu merupakan gudang pusaka-pusaka berupa kitab pelajaran pelbagai ilmu silat yang tinggi dan aneh-aneh, maka kedua anak itu, Kiat-ji dan Kwi Lan, semenjak kecil digembleng oleh Kam Sian Eng. Bahkan Bi Li, wanita dusun yang tadinya hanya seorang wanita muda yang lemah, karena setiap hari berkumpul dengan Sian Eng, mulai pula memperhatikan dan belajar ilmu silat!
Setelah dua orang anak itu mulai besar, berusia sepuluh tahun, Phang Bi Li menyatakan kekhawatirannya. “Sian-kouwnio, aku tidak peduli kalau kau akan mengeram dirimu selama hidup dalam gedung kuburan ini! Juga aku tidak memikirkan lagi diriku sendiri yang sudah kau paksa tinggal bersamamu di sini. Aku anggap diriku sudah mati seperti engkau sendiri mati dari dunia luar. Akan tetapi, engkau harus ingat kepada puteramu! Juga harus ingat kepada Kwi Lan. Dua orang anak itu, anak-anak yang tidak punya dosa, yang tidak tahu apa-apa, mengapa hendak kau kubur hidup-hidup di tempat ini? Mereka berhak menikmati hidup di atas tanah di dunia ramai seperti semua anak lain di dunia ini !”
“Hik-hik, engkau salah besar, Enci Bi Li! Tempat ini aman tentram, penuh damai dan di sini kita tidak usah mengkhawatirkan apa-apa. Sekali kita muncul di atas tanah dan bertemu dengan orang, akan timbullah keributan dan malapetaka. Bergaul dengan manusia di dunia ramai berarti terjun ke dalam jurang penuh keributan dan penderitaan!” Setelah berkata demikian, tiba tiba Sian Eng menangis tersedu-sedu dan tidak mau bicara lagi kepada Bi Li!
Akan tetapi, berbulan-bulan lamanya Bi Li tidak pernah bosan untuk membujuk dan membujuk lagi. Apa yang keluar dari mulut wanita ini memang sesungguhnya suara yang keluar dari hatinya. Ia sudah putus asa untuk dirinya sendiri. Ia sudah tidak ingin bertemu dengan keluarganya, karena oleh suami dan keluarganya tentu ia dianggap seorang wanita durjana yang meninggalkan anak yang masih kecil. Selain itu ia pun, amat mencintai Kwi Lan yang dianggapnya anak sendiri. Ia tidak suka kepada Suma Kiat sungguh pun ketika masih kecil anak itu menyusu padanya. Anak ini amat nakal.
“Tidak! Aku tidak sudi hidup di atas tanah bergaul dengan dunia ramai yang palsu dan keji!” Sian Eng berkali-kali menjerit marah kalau dibujuk oleh Bi Li.
“Kalau kau tidak mau aku pun tidak memaksa atau menyuruhmu keluar dari kuburan ini Sian kouwnio. Aku hanya menuntut untuk dua orang anak itu. Kenapa engkau begini angkuh? Kalau kita membuat bangunan sederhana di atas kuburan ini, dan membiarkan dua orang anak ini hidup di udara bebas, dan engkau sendiri sembunyi di sini, bukankah bagimu sama juga? Kalau kau ingin bertemu dengan kami bertiga tinggal panggil saja dan kami tentu sewaktu-waktu akan turun ke sini. Sian-kouwnio, biar pun engkau tidak pernah bercerita aku tahu bahwa engkau adalah seorang wanita sakti keturunan orang gagah yang berkedudukan tinggi. Aku dapat menduga bahwa dahulu kau telah mengalami tekanan batin dan menderita patah hati. Akan tetapi, mengapa karena itu engkau lalu hendak menghukum puteramu sendiri dan Kwi Lan yang tidak dosa?”
Akhirnya dibujuk oleh Bi Li yang diperkuat oleh kedua anak itu yang selalu rewel minta diperbolehkan melihat keadaan di luar, terpaksa Sian Eng mengalah.
“Akan tetapi aku pesan, tidak boleh kalian meninggalkan hutan di atas istana ini. Kalau melanggar aku takkan mengampuni nyawa kalian. Biar Kiat Ji sendiri akan kubunuh mampus kalau berani melanggar!” ancamnya dengan suara bengis dan mata bersinar ganas.
Akan tetapi ancaman yang akan membuat orang lain merasa ngeri ini seperti tidak didengar oleh Phang Bi Li, Suma Kiat dan Kwi Lan. Mereka bertiga sudah menjadi girang sekali. Segera mereka dibantu pula oleh Sian Eng yang masih terus mengomel sepanjang hari keluar dari pintu rahasia dan mulai membangun sebuah pondok sederhana di dalam hutan di atas istana bawah tanah itu.
Cara Kam Sian Eng menggembleng ilmu silat kepada dua orang anak itu amat luar biasa. Mula-mula ia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat di samping mengajar ilmu membaca. Setelah kedua orang anak itu berusia sepuluh tahun dan pandai membaca, ia menyuruh mereka membaca kitab-kitab pusaka yang berisi ilmu-ilmu silat tinggi peninggalan Tok-siauw-kwi. Kitab-kitab ini adalah kitab-kitab rahasia yang berisi dan mengandung pelajaran pelik dan gawat, bukan ilmu silat biasa.
Tentu saja kedua orang anak itu, terutama sekali Suma Kiat yang otaknya tidak begitu cerdas, amat sukar menyelami isinya. Dan celakanya, ketika mereka bertanya kepada Sian Eng, mereka mendapat penjelasan yang sebenarnya menyimpang dari pada pelajaran sesungguhnya. Sian Eng sendiri melatih diri dengan ilmu-ilmu silat tinggi secara keliru sehingga ilmu silat tinggi yang diciptakan orang orang sakti itu berubah menjadi ilmu dahsyat seperti ilmu ciptaan iblis sendiri!
Dengan bekal ilmu pengetahuan yang amat kurang ditambah sukar dan tingginya isi kitab-kitab pusaka, kemudian digembleng oleh seorang yang sudah sesat ilmunya seperti Kam Sian Eng, tentu saja kedua orang anak itu pun menjadi pelajar-pelajar ilmu sesat. Namun karena mereka memang berbakat, mereka berhasil memiliki ilmu-ilmu yang amat hebat dan mengerikan.
Diam-diam Kam Sian Eng merasa kagum kepada Kwi Lan. Anak ini amat cerdas, jauh lebih cerdas dari pada puteranya sendiri. Kwi Lan mempunyai watak haus akan pelajaran, tidak takut akan kesukaran sehingga di antara kitab-kitab pusaka itu, Kwi Lan memilih yang sukar-sukar. Justru sifat kitab-kitab pusaka itu, makin sukar dimengerti, makin sukar dipelajari, makin tinggilah mutunya! Juga Kwi Lan amat tekun berlatih sehingga Suma Kiat yang usianya setahun lebih tua itu tertinggal olehnya.
Semenjak Kwi Lan pandai bicara, Sian Eng menyuruh anak itu menyebut bibi kepadanya. Karena kurang pergaulan dengan anak-anak lain, ketika masih kecil Kwi Lan tidak dapat membedakan mengapa Suma Kiat yang ia sebut suheng (kakak seperguruan) itu menyebut ibu sedangkan ia sendiri menyebut bibi kepada wanita yang ia anggap sebagai orang paling baik di dunia ini setelah Bibi Bi Li. Memang Phang Bi Li amat kasih kepada Kwi Lan, menganggap anak itu anak kandungnya sendiri. Akan tetapi Sian Eng juga amat baik terhadapnya. Biar pun wataknya kadang-kadang aneh, namun terhadap Kwi Lan ia tidak pernah marah-marah.
Ketika Kwi Lan berusia dua belas tahun dan sudah dua tahun lamanya tinggal di pondok di atas tanah, mulailah Kwi Lan melihat perbedaan-perbedaan. Mulailah ia bertanya-tanya kepada Bi Li tentang perbedaan-perbedaan itu.
“Bibi, kenapa Kiat-suheng menyebut Ibu kepada Bibi Sian?” demikian tanyanya pada suatu sore ketika mereka berdua pergi memetik bunga dalam hutan. Ketika itu Suma Kiat turun ke bawah karena dipanggil ibunya.
“Kenapa? Ah, Lan Lan, alangkah anehnya pertanyaanmu ini. Tentu saja karena Kiat-ji memang anaknya!” Karena tidak kuasa menyelami hati dan pikiran Kwi Lan, maka Bi Li menganggap pertanyaan itu wajar-wajar saja tetapi bodoh.
Kwi Lan masih tetap membantu Bi Li memilih dan memetik bunga.
“Kalau aku, kenapa aku harus menyebut Bibi Sian kepadanya?”
Masih tidak sadar akan nada suara aneh dalam pertanyaan ini, Bi Li menjawab, “Anak bodoh, tentu saja engkau menyebut Bibi karena engkau bukan anaknya.”
Kwi Lan menggigit bibirnya yang tiba-tiba gemetar. Setelah menekan hatinya, ia berkata lagi. “Bibi Bi Li, kau dulu pernah bilang, ketika Kiat-suheng bertanya padamu tentang ayahnya, dia boleh bertanya sendiri kepada Bibi Sian. Tapi Bibi Sian marah-marah ketika ditanya dan memaki-maki, bilang bahwa ayah Kiat-suheng sudah mampus. Kemudian Bibi Sian menangis menggerung-gerung. Semenjak itu, Kiat-suheng tidak berani bertanya-tanya lagi tentang ayahnya. Bibi, benarkah bahwa ayah Kiat-suheng telah mati?”
Bi Li mengerutkan keningnya, lalu berkata sambil menarik napas panjang, “Bibi Sian-mu itu memang aneh. Aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi kalau dia bilang demikian, agaknya memang benar bahwa ayah Kiat-ji telah meninggal dunia.”
Hening sejenak dan mereka melanjutkan pekerjaan memetik bunga.
“Bibi Bi Li... kalau... Ayah dan Ibuku... siapakah mereka? Di mana mereka...?”
Bi Li tersentak kaget bagaikan disengat lebah. Cepat ia menoleh dan melihat betapa wajah Kwi Lan menjadi pucat, sepasang matanya memandang tajam kepadanya, bibirnya yang pucat menggigil dan anak itu hampir menangis! Barulah tahu Bi Li bahwa sejak tadi, terjadi hal hal yang hebat dalam hati dan pikiran anak yang amat disayangnya itu. Baru terbuka matanya bahwa anak ini mulai mengerti dan mencari ayah bundanya. Ia menjadi terharu, mengeluh perlahan lalu merangkul Kwi Lan. Tak tertahan lagi air matanya menetes-netes ketika ia mencium pipi Kwi Lan dan menariknya duduk di atas rumput.
“Lan Lan, Anakku sayang... kau... kau... adalah anakku, Lan Lan.”
Kwi Lan balas pelukan dan ciuman wanita yang semenjak ia kecil telah merawatnya penuh kasih sayang itu. Kemudian ia berkata, ada suaranya mendesak. “Bibi Bi Li, kalau engkau ibuku, mengapa selama ini aku dibohongi? Dan kalau benar aku anak kandungmu, mengapa aku tidak menyebut Ibu, melainkan Bibi kepadamu? Bibi Bi Li, harap jangan membohongi aku lagi, aku sudah besar dan dapat membedakan kebohongan atau bukan. Bibi, katakanlah, siapakah ayah bundaku dan di mana mereka sekarang? Mengapa aku bisa terpisah dari mereka dan berada di sini?”
Tiba tiba Bi Li menangis sedih. Teringat ia akan keadaannya sendiri. Dia sendiri dipaksa berpisah dari suaminya dan dari anaknya yang baru berusia dua bulan! Sedangkan Kwi Lan ini dibawa datang oleh Sian Eng sejak masih bayi, agaknya dipaksa berpisah dari ibu kandungnya!
“Aku tidak tahu, Anakku... Aku sendiri sama sekali tidak tahu tentang dirimu sedangkan aku sendiri pun dipaksa berpisah dari suami dan anak....”
Kwi Lan tercengang. Ia merangkul wanita itu dan bertanya “Apa yang terjadi, Bibi?”
Setelah mengeringkan air mata dan berkali-kali menghela napas, Bi Li lalu bercerita. “Suamiku seorang penebang pohon dan kami hidup bahagia di dalam dusun. Ketika itu baru dua bulan aku melahirkan seorang anak laki-laki. Pagi hari itu, selagi suamiku pergi menebang pohon datang Sian-kouwnio menangkap dan membawaku pergi meninggalkan anakku dibawa ke sini... sampai sekarang....”
“Apa...?” Kwi Lan membelalakkan matanya yang jeli. “Mengapa...?”
Bi Li tersenyum pahit. “Untuk merawat dan menyusui Kiat-ji.”
“Anak kandungnya sendiri? Mengapa? Mengapa harus engkau yang menyusuinya, Bibi?”
Bi Li menggeleng-geleng kepalanya. “Entahlah. Selamanya Bibimu Sian itu seorang aneh luar biasa. Klat-ji memang anak kandungnya, akan tetapi ia menyuruh aku menyusui dan merawatnya. Ahhh, nasibku sama dengan si Belang....“
Kwi Lan makin heran. Si Belang adalah nama lembu betina yang dipelihara di bawah tanah dan sekarang sudah sangat tua.
“Apa maksudmu, Bibi Bi Li?”
Dengan senyum pahit di bibir, Bi Li menjawab, “Aku dipaksa ke sini untuk menyusui Kiat-ji, sedangkan si Belang dipaksa ke sini untuk menyusui engkau, Kwi Lan. Setahun setelah aku berada di sini, si Belang didatangkan oleh Sian-kouwnio untuk diambil air susunya untukmu.”
“Dan... aku... dari manakah aku, Bibi...?” Wajah Kwi Lan pucat dan suaranya mengandung isak.
“Aku tidak tahu, Anakku. Aku tidak tahu apa-apa.”
Tiba tiba Kwi Lan menjatuhkan semua kembang yang dipegangnya. Kini wajahnya menjadi merah, matanya mengeluarkan kilat dan kedua tangannya yang kecil dikepal. Wajahnya yang cantik mungil itu kini nampak beringas mengancam.
“Kalau begitu Bibi Sian jahat sekali! Kau dipaksa berpisah dari suami dan anak, sedangkan aku dipaksa berpisah dari Ayah dan Ibu! Sekarang juga aku akan bertanya kepadanya, Bibi. Dia harus memberi keterangan sejelasnya!”
“Ssttt, anak bodoh, apa yang hendak kau lakukan ini?” Bi Li memeluknya erat-erat dengan wajah penuh kekhawatiran. “Apakah engkau masih belum melihat betapa Bibimu Sian itu seorang yang amat luar biasa wataknya? Kau tidak boleh bertanya apa-apa kepadanya, tidak boleh membikin susah atau marah kepadanya.”
“Mengapa tidak boleh, Bibi?” Kwi Lan bertanya kecewa, akan tetapi mulai membayang pula di hatinya kini rasa takut dan jeri terhadap bibinya yang selalu bersembunyi di bawah tanah itu.
“Kwi Lan, apa pun juga yang telah terjadi dengan kita, namun engkau sendiri tentu telah merasa betapa baiknya sikap Sian-kouwnio terhadap kita. Segala kebutuhan kita dicukupi, bahkan engkau dianggap seperti anak sendiri, dirawat dan dididik tiada bedanya dengan Kiat-ji, putera kandungnya. Aku pun telah mendapat perlakuan yang amat baik sehingga harus kuakui bahwa keadaan hidupku di sini jauh lebih baik dari pada ketika masih tinggal di dusun yang kadang-kadang menderita kurang makan. Makan pakaian cukup, aku pun diberi kebebasan, dan bahkan dilatih ilmu silat. Karena kebaikannya yang ia limpahkan kepada kita inilah maka sekali kali kita tidak boleh membikin susah hatinya. Aku tahu, dibalik keadaannya yang serba aneh luar biasa itu, tersembunyi penderitaan batin yang amat hebat pada diri Sian-kouwnio. Ia patut dikasihani. Agaknya ia menculik kita berdua bukan karena jahat, melainkan terpaksa. Ia menculikku karena ia membutuhkan air susuku untuk memelihara puteranya. Kemudian ia menculikmu karena... agaknya, dia ingin puteranya mendapatkan teman bermain-main.”
“Tapi ia tidak peduli betapa anak kandungmu sendiri kehilangan Ibu, dan betapa ayah bundaku kehilangan anak!” Kwi Lan membantah.
“Benar, akan tetapi memang demikianlah watak sebagian besar manusia. Kepentingan sendiri selalu menutupi kepentingan lain orang.” Bi Li menarik napas panjang. “Kita pun tidak boleh membikin marah kepadanya, karena dia seorang aneh luar biasa, kalau sekali ia marah, agaknya ia tidak akan segan-segan untuk sekali turun tangan membunuh kita berdua!” Bi Li bergidik ngeri.
Akan tetapi Kwi Lan sama sekali tidak merasa takut, bahkan bertanya dengan suara menuntut. “Bibi, kalau kau melarang aku membikin susah dan membikin marah Bibi Sian, habis apakah aku harus tinggal diam saja dipaksa berpisah dari Ayah Bunda kandungku?” Kini Kwi Lan tidak menangis lagi karena kemarahan memenuhi hatinya.
Bi Li memeluknya dan mengelus-elus rambutnya. “Anakku yang baik, sama sekali bukan begitu maksudku. Kau harus bersabar, Anakku. Kau tahu bahwa yang tahu akan rahasia dirimu hanyalah Sian-kouwnio seorang. Hanya dari dialah engkau akan dapat mengetahui siapa ayah bundamu. Karena itu, engkau harus bersabar. Kalau sekarang kau tanyakan hal itu kepadanya dan dia tidak mau mengaku malah marah, engkau akan bisa berbuat apakah? Jangan-jangan engkau malah akan dibunuhnya! Lebih baik engkau tekun belajar, memperdalam kepandaianmu karena kepandaian silat itu merupakan bekalmu kelak kalau Sian-kouwnio tidak mau mengaku, untuk kau pakai mencari sendiri orang tuamu.”
Terbukanya rahasia tentang keadaan dirinya inilah yang membuat Kwi Lan, makin tekun dan giat belajar. Dia seorang gadis yang keras hati, yang tahan menderita. Biar pun setiap saat pertanyaan tentang ayah ibunya sudah berada di ujung lidah, namun ia dapat selalu menekan dan menelannya kembali, tidak mau bertanya akan hal itu kepada Sian Eng yang makin lama menjadi makin kagum saja akan keadaan keponakan dan muridnya ini.
Semua kitab simpanan ‘dilalap’ habis oleh Kwi Lan, bahkan kitab-kitab yang oleh Sian Eng sendiri kurang dimengerti. oleh Kwi Lan dihafal di luar kepala! Memang seolah-olah tidak ada gunanya baginya, karena tidak ada yang menerangkan artinya, juga Sian Eng tidak mengerti. namun Kwi Lan menghafalnya di luar kepala dengan keyakinan bahwa kelak tentu ada gunanya. Dalam hal kemajuan ilmu silat, Suma Kiat tertinggal jauh oleh Kwi Lan sehingga kadang kadang Sian Eng merenung seorang diri.
“Tidak aneh! Kwi Lan keturunan seorang sakti seperti Suling Emas, sedangkan Kiat-ji anak bajingan macam Suma Boan!” Lalu ia menangis seorang diri, menangisi kematian Suma Boan, putera pangeran yang amat dikasihinya, juga amat dibencinya sehingga kedua tangannya sendirilah yang membunuh Suma Boan.
Dua tahun kemudian, ketika Kwi Lan telah berusia empat belas tahun, pada suatu pagi gadis cilik ini bersama Phang Bi Li mencari kembang seperti dua tahun yang lalu di dalam hutan, tidak jauh dari pondok mereka.
“Bagaimana kalau sekarang aku bertanya kepada Bibi Sian tentang orang tuaku, Bibi Bi Li?”
Bi Li menggeleng kepala. “Belum waktunya, Kwi Lan. Sedikitnya lima tahun lagi, kalau engkau sudah betul-betul kuat, baru kau boleh bertanya.”
Selagi Kwi Lan hendak bicara lagi, tiba tiba Bi Li memandangnya dan menaruh telunjuk di bibir. “Ssshh, tidakkah kau mendengar sesuatu?”
Kwi Lan mendengarkan penuh perhatian. “Ada orang bertempur...!” akhirnya ia berkata.
Bi Li mengangguk. “Agaknya tidak jauh dari sini. Mari kita lihat, akan tetapi kita harus bersembunyi.”
Berlari-larianlah mereka ke arah suara beradunya senjata tajam. Tak lama kemudian sampailah mereka ke tempat bertempur tadi, di pinggir hutan. Mereka bersembunyi di balik pohon-pohon sambil mengintai.
Kiranya yang bertanding itu adalah seorang laki laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian penuh tambalan dan amat butut seperti seorang jembel yang miskin sekali. Laki-laki ini sedang melawan pengeroyokan empat orang lain yang pakaiannya juga penuh tambalan. Hanya bedanya, kalau orang pertama yang dikeroyok itu pakaiannya butut dan kotor, adalah pakaian empat orang yang mengeroyok ini, biar pun penuh tambalan, namun amat bersih dan tambalannya juga berkembang-kembang.
Ilmu kepandaian pengemis butut itu lumayan, demikian pikir Kwi Lan yang menonton. Senjatanya hanya sebatang tongkat, akan tetapi gerakannya gesit dan tenaganya besar. Betapa pun juga, menghadapi pengeroyokan empat orang pengemis bersih ia nampak repot.
Empat orang lawannya itu memegang tongkat yang lebih besar dan panjang. Biar pun gerakan mereka tidak secepat gerakan si Pengemis butut, namun ilmu silat mereka lihai dan tenaga mereka tidak kalah besarnya. Selain ini, tempat pertandingan itu dikurung oleh belasan orang pengemis baju bersih yang bersorak menjagoi empat orang kawan mereka dan mengejek si Pengemis baju butut.
Agaknya pertandingan itu sudah berlangsung cukup lama dan tampak betapa pengemis berpakaian butut itu sudah payah. Tubuhnya penuh luka-luka, napasnya sudah terengah-engah dan wajahnya pucat. Namun masih terus melawan penuh semangat.
“Aiihhh...!”
Seruan ini mengagetkan hati Kwi Lan. Ketika menoleh ke kiri, ia melihat betapa Bi Li memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali ke arah pertempuran. Kemudian nyonya itu meloncat ke depan bagaikan seekor harimau betina, langsung menerjang tempat pertandingan dan begitu kaki tangannya bergerak, empat orang pengeroyok itu terlempar ke empat jurusan. Phang Bi Li cepat menghadapi pengemis baju butut itu sambil berseru, suaranya gugup.
“Kau... kau... bukankah engkau Tang Sun...?”
Pengemis baju butut itu terhuyung-huyung saking lelahnya, mengeluh panjang ketika memandang Bi Li, kemudian berkata lemah. “Bi Li...! Kau... Bi Li...? Ah, tidak mungkin...”
Sepasang mata Bi Li sudah bercucuran air mata. “Aku betul Bi Li isterimu!”
Pengemis itu terbelalak memandang, napasnya serasa terhenti. “Bi Li...? Aduh... Hauw Lam... Hauw Lam... di manakah engkau...? Ini Ibumu, Nak...!” Pengemis bernama Tang Sun itu terguling dan roboh pingsan!
Untung Bi Li cepat meloncat dan menubruknya sehingga ia tidak sampai terbanting. Akan tetapi alangkah kaget hati Bi Li ketika melihat dia ternyata telah terluka hebat, bahkan tulang iganya ada yang patah-patah. Kiranya laki-laki yang ternyata adalah suaminya ini tadi melakukan perlawanan mati-matian dan nekat dalam keadaan terluka parah mendekati mati! Cepat ia merebahkan suaminya, memanggil-manggil namanya dan menangis.
Sementara itu, sejenak para pengemis baju bersih yang belasan orang jumlahnya tercengang menyaksikan betapa sekali bergerak, wanita setengah tua itu telah membuat empat orang kawan mereka terlempar dan jatuh terbanting tidak mampu bangkit lagi, hanya mengaduh-aduh karena tulang lengan dan kaki mereka patah-patah! Kini melihat betapa pengemis baju butut roboh pingsan dan wanita itu berlutut menangis, timbul kegarangan mereka.
“Perempuan liar dari mana berani mengganggu kami?” bentak seorang di antara mereka yang bermuka bopeng koban penyakit cacar. “Hayo hajar dia!” perintah Si Muka Bopeng ini dengan suara keras.
Enam orang pengemis yang tubuhnya tinggi besar dan agaknya menjadi jagoan mereka di samping empat orang pengeroyok yang sudah roboh oleh Bi Li, kini menerjang maju dengan senjata mereka yang sama, yaitu tongkat sebesar lengan setinggi orang.
Saat itulah Kwi Lan turun tangan. Sekali menggerakkan kakinya, ia telah melompat dan bukan main kagetnya enam orang pengemis tinggi besar melihat bayangan berkelebat seperti seekor burung terbang dan tahu-tahu seorang gadis remaja yang cantik jelita telah berdiri di depan mereka sambil bertolak pinggang! Akan tetapi setelah melihat bahwa yang muncul menghadang hanyalah seorang gadis cilik belum dewasa dan bertangan kosong pula, mereka memandang rendah dan tertawa.
“Ho-ho-ha-ha! Cucuku yang mungil. Minggirlah, Engkong-mu (Kakekmu) tidak ada waktu untuk melayanimu,” teriak seorang di antara mereka yang kepalanya gundul.
“Eh, Nona cilik yang manis. Apakah engkau menantang berpacaran? Minggirlah lebih dulu, tunggu kalau aku selesai membikin mampus anjing betina tua itu, baru aku layani kau, heh-heh-heh!” kata seorang pengemis tinggi bermuka hitam.
Kwi Lan semenjak kecil berwatak riang gembira, jenaka dan pandai bicara. Hal ini diketahui baik oleh Phang Bi Li, apa lagi oleh Suma Kiat yang selalu kalah berdebat. Dan hanya di depan Sian Eng saja gadis ini tunduk dan berubah pendiam. Kini menghadapi orang-orang yang menimbulkan kemarahan di hatinya itu, muncul pula sikapnya yang ugal-ugalan. Sambil tersenyum mengejek ia berkata.
“Wah, kalian ini sekumpulan monyet tua tidak tahu malu, berhati palsu, curang dan selayaknya dihajar! Melihat pakaian kalian, jelas bukan orang miskin, akan tetapi sengaja ditambal-tambal biar dianggap pengemis. Ini tandanya kalian bukan pengemis karena keadaan melainkan orang-orang berjiwa pengemis! Lalu mengandalkan jumlah banyak mengeroyok orang malah menghina wanita, ini tandanya kalian berwatak rendah, hina, dan curang! Paling akhir, pandang mata dan ucapan-ucapan kalian tadi menandakan bahwa kalian bersifat kurang ajar, tak tahu sopan santun, maka kalian sudah sepatutnya diberi hajaran biar kapok!”
“Mengapa melayani mulut seorang anak nakal? Tangkap dulu dia, kita bawa pulang!” teriak si Muka Bopeng yang tertarik melihat kelucuan dan kecantikan Kwi Lan, juga berbareng mendongkol karena enam orang anak buahnya dijadikan bahan mainan gadis cilik itu.
Serentak enam orang pengemis tinggi besar itu menerjang Kwi Lan. Mereka seperti berlomba, hampir berbareng tangan mereka diulur dan menubruk untuk menangkap Kwi Lan. Karena perintah kepala mereka bukan membunuh melainkan menangkap, pula karena mereka sendiri pun tidak ingin membunuh gadis cilik yang cantik ini, maka mereka tidak menggunakan tongkat untuk menerjang. Hal ini amatlah menguntungkan, bukan bagi Kwi Lan melainkan bagi enam orang pengemis itu sendiri! Karena sedangkan penyerangan dengan tangan kosong mereka itu saja sudah mendatangkan akibat yang hebat, apa lagi kalau mereka menggunakan senjata, tak terbayangkan betapa hebat akibatnya.
Penyerangan itu bertubi-tubi datangnya, saling susul. Akan tetapi, begitu ada tangan menjangkau ke arahnya, Kwi Lan hanya bergerak sedikit, menyambut dengan tangannya sendiri yang kecil dan....
“Plaakk!” tangan yang besar ini membalik dan menghantam muka si Penyerang sendiri.
“Plakk...! Aduhh...!” terdengar suara susul-menyusul dan enam orang itu sudah terhuyung-huyung dan ada pula yang roboh.
Mereka semua mengerang kesakitan karena yang paling ringan di antara mereka sudah remuk hidungnya, terkena hantaman tangan sendiri yang secara aneh telah membalik. Lebih hebat adalah si Muka Hitam, karena tangannya tadi terbuka jari-jarinya hendak mencengkeram dada si Gadis Cilik, ketika membalik masih dalam keadaan mencengkeram dan tak dapat dicegah lagi, mata kirinya tertusuk jari tangannya sehingga biji matanya tercongkel ke luar! Ada pun si Kepala Gundul, tepat kena hantaman kepalanya oleh tangannya sendiri sehingga di kepalanya tumbuh tanduk dan ia roboh pingsan, agaknya mengalami gegar otak! Yang lain lain, sebagian besar kehilangan hidung, atau setidaknya yang hidungnya agak mancung menjadi pesek karena ujungnya telah remuk berikut tulang muda batang hidungnya!
Semua pengemis baju bersih tertegun, apa lagi ketika mendengar gadis cilik itu berkata mengejek, “Baru bisa mainkan sedikit ilmu silat Kong-thong-pai yang digerakkan secara ngawur saja kalian sudah sombong! Benar benar tak tahu malu!”
Si Muka Bopeng cepat melompat maju dengan tongkat melintang. Wajahnya yang bopeng menjadi merah sekali dan diam-diam ia pun merasa heran. Tidak dapat disangkal lagi, ilmu silat yang dipelajari anak buahnya memang ilmu silat Kong-thong-pai, karena dia adalah seorang murid pelarian dari Kong-thong-pai. Akan tetapi ilmu tongkat dan ilmu silatnya sudah terkenal, sukar dicari bandingnya dan karena itu pula ia dipercaya oleh para pimpinan pengemis baju bersih untuk memimpin pasukan pengemis di daerah itu, mengepalai pasukan pengemis lima puluh orang banyaknya. Sekarang bocah ini telah mengenal ilmu silat anak buahnya, tidak hanya mengenal, malah mengejek!
“Eh, bocah bermulut lancang dan sombong! Kau tahu apa tentang Ilmu silat Kong-thong-pai?”
“Mengapa tidak tahu? Apa kau kira ilmu silat Kong-thong-pai yang paling hebat di muka bumi ini? Huh, ilmu silat Kong-thong-pai tidak banyak ragamnya, tidak menang banyak dengan jumlah bopeng di mukamu.”
Saking marahnya, si Muka Bopeng mencak mencak dan membanting tongkatnya sampai menancap setengahnya di atas tanah. “Keparat aku murid Kong-thong-pai yang jagoan, tahu?”
Kwi Lan memang nakal. Ia membusungkan dada dan menghampiri tongkat itu. “Membanting tongkat seperti itu apa susahnya? Aku pun bisa. Lihat!” Ia menggunakan tangan kanan menangkap sisa tongkat yang tampak di atas tanah, diam-diam mengerahkan tenaga sakti, lalu mengangkat terus membanting.
“Krakk... cappp!” Tongkat itu ketika ia cabut telah patah di tengah-tengahnya, tepat di permukaan tanah, kemudian ketika tongkat sepotong itu ia tancapkan, benda itu amblas ke dalam tanah tak tampak lagi!
Si Muka Bopeng melongo, juga anak buahnya berseru kaget. Hal ini membuat si Muka Bopeng marah sekali. Sambil berseru keras ia menerjang dengan pukulan Serbu Masuk Goa Harimau. Pukulan ini keras sekali dan mengarah dada Kwi Lan. Sebuah serangan keterlaluan bagi seorang laki-laki berusia empat puluh tahun terhadap seorang gadis berusia empat belas tahun. Selain serangan maut, juga tidak sopan.
Akan tetapi Kwi Lan berseru sambil mengejek. “Wah, Cim-jip-houw-hiat (Serbu Masuk Goa Harimau) yang buruk sekali!”
Ia pun cepat melakukan gerakan yang sama. Akan tetapi jurus yang sama ini ia lakukan dengan cara yang jauh berlainan, hanya gayanya saja yang sama akan tetapi dasar dan isinya sudah berbeda jauh. Akan tetapi hebat akibatnya, karena ketika kepalan tangan si Muka Bopeng itu bertemu dengan telapak tangan Kwi Lan, mendadak si Muka Bopeng itu merasa betapa tenaga tangannya membalik dan kepalan tangannya seakan-akan sudah tak dapat ia kuasai lagi dan menyambar ke arah dadanya sendiri! Persis seperti yang dialami oleh enam orang anak buahnya tadi.
Akan tetapi ia cukup lihai. Secepat kilat ia menggunakan tangan kirinya menangkis tangan kanannya sendiri sampai terdengar suara karena beradunya kedua lengan. Ia meringis kesakitan, wajahnya makin merah. Jelas tadi ia melihat gadis cilik itu bergerak dalam jurus yang sama, akan tetapi mengapa amat berbeda?
Memang tidak aneh sebetulnya. Seperti kita ketahui dari cerita SULING EMAS, mendiang Tok siaw kwi Liu Lu Sian telah berhasil mencuri banyak sekali kitab-kitab ilmu silat dari pelbagai perguruan silat dan partai-partai besar. Di antaranya ia telah mencuri pusaka Kong-thong-pai. Kemudian semua kitab pusakanya terjatuh ke tangan Kam Sian Eng. Maka sebagai muridnya yang amat rajin, tentu saja Kwi Lan telah mempelajari pula ilmu silat dari kitab Kong-thong-pai ini. Seperti juga dengan ilmu-ilmu silat lain, penjelasan Sian Eng menyeleweng dari pada ilmunya yang benar, maka menjadi berbeda, bahkan ada yang terbalik sama sekali!
Mengapa ilmu yang dipelajari terbalik dan menyeleweng ini malah mengatasi ilmu yang asli, yang telah dipelajari oleh si Muka Bopeng? Hal itu pun tidak aneh. Biar pun telah mewarisi bermacam-macam ilmu yang dipelajari secara menyeleweng, namun Sian Eng telah berhasil memiliki dan mencipta ilmu-ilmu yang tinggi dan aneh sehingga menyerupai ilmu ciptaan iblis sendiri.
Muridnya Kwi Lan, memperoleh kepandaiannya dari Sian Eng, tentu saja juga mendapatkan pelajaran ilmu menghimpun hawa sakti yang mujijat. Hanya ketika sudah membaca kitab dan belajar sendiri kitab-kitab itu, penafsirannya berbeda dengan penafsiran gurunya sehingga dalam ilmu-ilmu yang tinggi terdapat perbedaan aneh di antara Kwi Lan, Suma Kiat, dan Sian Eng sendiri. Akan tetapi karena dasar dasar pelajaran lweekang, khikang dan sinkang diperoleh dari Sian Eng, maka dalam hal ini mereka bertiga memiliki dasar yang sama. Dibandingkan dengan si Muka Bopeng, Kwi Lan jauh lebih menang tenaga dalamnya, maka biar pun jurus yang ia mainkan itu tidak asli, namun jauh lebih ampuh!
Si Muka Bopeng kini telah menerjang lagi dengan kedua tangan terbuka jari-jarinya, karena ia bermaksud menangkap gadis cilik ini untuk ditawan dan kelak dipaksa mengaku dari mana mempelajari ilmu silat Kong-thong-pai yang berubah aneh itu dan pula, biar pun gadis itu masih terlalu muda setengah kanak-kanak, namun sudah kelihatan cantik manis sehingga hati si Muka Bopeng jadi tertarik.
Bagi Kwi Lan, serangan lawan yang kasar ini bukan apa-apa dan sama sekali ia tidak menjadi gentar, malah tertawa mengejek. “Hi-hik, kau gunakan jurus Hek-houw-phok-sai (Macan Hitam Menubruk Tahi)? Busuk dan bau sekali!” Gadis cilik yang nakal ini sengaja merobah nama jurus itu yang sebetulnya adalah Hek-houw-phok-thouw (Macan Hitam Menubruk Kelinci).
Si Muka Bopeng mengeluarkan gerengan marah sambil menubruk, seperti seekor harimau tulen. Kwi Lan sama sekali tidak mengelak, malah membarengi gerakan lawan dengan jurus yang sama, akan tetapi diam diam ia menyalurkan hawa sakti ke arah kedua telapak tangannya dan terciumlah ganda wangi karena gadis cilik ini telah mempergunakan Ilmu Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi).
Ilmu ini adalah ciptaan Sian Eng sendiri yang mempergunakan sari kembang beracun yang amat wangi dan ketika berlatih ilmu ini, kedua telapak tangan digosok-gosok racun kembang ini sehingga hawa beracun yang berbau harum masuk ke dalam kedua telapak tangan. Jika dalam keadaan biasa, kedua telapak tangan tidak berbau harum dan racunnya juga tidak keluar, akan tetapi apa bila dipakai untuk bertanding dan dari dalam dikerahkan lweekang ke arah kedua tangan, maka hawa yang wangi beracun itu akan keluar dari telapak tangan.
Si Muka Bopeng menjadi girang melihat gadis cilik itu menyambut serangannya dengan jurus yang sama dan memapaki kedua tangannya yang menubruk. Diam-diam ia mengerahkan tenaganya dan mukanya menyeringai. Gadis cilik sombong ini tentu akan mudah ditawan kalau kedua tangannya dapat ia tangkap. Bau wangi yang menyambar hidungnya tidak membuat si Muka Bopeng sadar, bahkan makin girang mendapat kenyataan bahwa gadis cilik itu demikian wangi!
“Plak plak!” kedua pasang tangan bertemu dan beradu telapak tangan.
Si Muka Bopeng mengeluarkan pekik aneh dan tubuhnya terlempar ke belakang, terbanting roboh telentang dan tidak bergerak lagi. Kedua lengannya masih berkembang seperti akan menubruk, akan tetapi lengan itu kaku dan telapak tangannya terdapat warna merah dan kebiruan, matanya mendelik napasnya putus!
Sisa para pengemis baju bersih menjadi kaget dan jeri. Wanita setengah tua yang kini menangisi pengemis baju butut tadi sudah hebat, kiranya gadis cilik ini lebih hebat lagi, dalam segebrakan mampu menewaskan pimpinan rombongan mereka! Dengan ketakutan sembilan orang pengemis itu cepat menyeret teman-teman mereka yang luka dan mengangkut mayat si Muka Bopeng, lalu melarikan diri dari tempat itu sambil sebentar-sebentar menoleh ketakutan melihat ke arah Kwi Lan yang tertawa-tawa sambil bertolak pinggang!
Setelah semua pengemis pergi, Kwi Lan baru sadar akan suara Bi Li yang menangis terisak-isak. Ia cepat membalikkan tubuh. Melihat Bi Li berlutut di depan pengemis baju butut yang dikeroyok tadi, ia cepat menghampiri. Kini pengemis itu sudah bangkit duduk, bersandar pada batang pohon. Napasnya terengah-engah, kedua lengannya memeluk pundak Bi Li yang berlutut di depannya.
Melihat keadaan mereka, Kwi Lan menjadi heran bukan main, akan tetapi ia tidak mau bertanya karena merasa jengah. Kenapa Bibi Bi Li mau dipeluk laki laki jembel itu? Sebagai seorang gadis cilik yang belum pernah menyaksikan orang berpelukan, ia tidak tahan untuk melihat lebih lama lagi, maka ia lalu membalikkan tubuhnya membelakangi mereka. Akan tetapi ia mendengar suara mereka ketika mereka bicara.
“Suamiku... mana dia? Mana Hauw Lam anak kita...?” terdengar Bi Li berkata menahan isak.
Mendengar ini, Kwi Lan makin kaget. Suami? Jembel itu suami Bibi Bi Li? Rasa heran dan kaget membuat ia kembali membalik dan memandang pengemis itu lebih teliti. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, pakaiannya lapuk dan kotor, pakaian seorang jembel. Akan tetapi mukanya bersih terpelihara, muka yang pucat karena menderita luka parah, namun masih membayangkan ketampanan laki-laki.
“Bi Li... isteriku, kenapa engkau meninggalkan aku? Kenapa engkau tega pergi meninggalkan kami, suamimu dan anak kita? Apakah kesalahanku kepadamu sehingga engkau begitu kejam?” Suaranya ini penuh pertanyaan, penuh tuntutan dan tangis Bi Li makin tersedu-sedu.
Di antara isak tangis, istri yang malang ini lalu bercerita dengan singkat betapa ia diculik dan dipaksa pergi oleh Kam Sian Eng untuk menyusui dan merawat anaknya yang baru terlahir, menceritakan betapa Kam Sian Eng adalah seorang yang berilmu tinggi dan betapa dia tidak berdaya.
“Demikianlah, Suamiku. Kuharap engkau suka mengampunkan aku, akan tetapi... sungguh aku tidak berdaya... sampai sekarang pun aku tidak mungkin bisa pergi meninggalkan Sian-kouwnio...”
Laki-laki itu makin pucat, jelas ia menahan sakit sambil menggigit bibir. “Ah, engkau terluka hebat... mari kubawa ke pondok kami, biar kuminta Kouwnio memberi obat kepadamu....“
“Tidak perlu lagi!” Laki-laki yang bernama Tang Sun itu, suami dari Phang Bi Li, mencegah sambil mengangkat tangan, kemudian karena tidak tahan bersandar dan duduk, ia lalu merebahkan diri lagi, dibantu isterinya. “Lukaku amat parah, kurasa ada perdarahan di dalam dadaku, sakit sekali... ougghh... tak mungkin dapat diobati. Akan tetapi, terima kasih kepada Thian... mati pun aku tidak penasaran, sudah dapat bertemu denganmu... tapi sayang... Hauw Lam... di mana engkau, Anakku...?”
Mendengar disebutnya nama anaknya, Bi Li lupa akan penderitaan suaminya yang sudah menghadapi maut. Sambil memegang lengan suaminya ia berseru keras, “Dimana Hauw Lam? Dimana dia?”
Suara Tang Sun makin lemah, bahkan agak menggigil dan pelo, akan tetapi lancar dan tidak terputus-putus lagi. Perubahan ini tidak diketahui Bi Li yang amat ingin mendengar cerita tentang puteranya.
“Sepeninggalmu, kubawa dia pergi mencarimu dan hidup menderita. Ketika dia berusia lima tahun, kuserahkan dia kepada ketua kelenteng di puncak gunung Kim-liong-san yang kutahu seorang berilmu tinggi. Aku sendiri lalu melanjutkan perjalanan mencarimu, Bi Li, menempuh seribu satu macam kesukaran!”
Cerita ini terputus sebentar oleh tangis Bi Li penuh keharuan sambil memeluk leher suaminya. Kwi Lan yang berdiri tak jauh dari situ merasa betapa jantungnya seperti disayat-sayat saking terharu, namun ia dapat menekannya dan tidak sebutir pun air mata menetes turun. Di dalam hatinya ia makin menyesalkan perbuatan Kam Sian Eng yang telah memisahkan suami isteri ini dan menimbulkan kesengsaraan dalam kehidupan dua orang, bahkan mungkin tiga orang dengan anak mereka yang agaknya tidak diketahui pula di mana adanya.
“Akan tetapi sekarang aku tidak menyalahkan engkau, isteriku, setelah aku tahu betapa engkau pun menderita dan tidak berdaya. Aku lalu hidup sebagai pengemis dan akhirnya aku tertarik akan sepak terjang Khong-sim Kai-pang yang adil dan gagah, maka aku masuk menjadi anggota Khong-sim Kai-pang. Khong-sim Kai-pang termasuk perkumpulan pengemis golongan bersih yang ditandai dengan pakaian kotor, dan pada waktu ini golongan bersih sedang berusaha membasmi pengemis-pengemis golongan kotor yang ditandai dengan pakaian bersih. Setelah menjadi anggota Khong-sim Kai-pang, banyak teman temanku membantuku mencarimu. Dan beberapa hari yang lalu, seorang temanku melihat engkau di depan pondok. Karena dia tidak mengenalmu akan tetapi merasa heran melihat seorang wanita dan dua orang anak tanggung tinggal bersunyi diri didalam hutan, ia lalu menceritakannya kepadaku. Nah, hari ini aku datang ke sini menyelidik, siapa kira, di sini aku bertemu dengan belasan orang pengemis golongan hitam yang mengeroyokku...”
“Dan Hauw Lam, Anakku... dia bagaimana... ?” Bi Li mendesak, tidak sadar bahwa kini wajah suaminya yang pucat itu sudah mulai agak kebiruan.
“Dia... dia...,“ kini napas Tang Sun mulai tersendat-sendat. “Dia... kini tentu sudah dewasa... hampir lima belas tahun... Akan tetapi ketika aku datang menjenguk ke sana... hwesio tua itu telah meninggal dunia dan... dan Hauw Lam... dia...” Sukar sekali ia melanjutkan kata-katanya.
Barulah Bi Li sadar akan keadaan suaminya. Ia menjerit dan memeluk. Melihat suaminya meramkan matanya, ia menciuminya dan memanggil-manggil namanya, kini tidak peduli lagi akan anaknya. Kwi Lan yang berdiri termangu-mangu cepat menggunakan punggung tangan kirinya menghapus dua butir air mata yang tak tertahankan lagi menetes turun ke atas pipinya.
Tang Sun membuka matanya, lalu tersenyum dan membelai rambut isterinya. Wajahnya membayangkan kepuasan, akan tetapi kembali keningnya berkerut ketika ia berkata, “...Hauw Lam... dia... pergi dari sana... tak seorang pun tahu ke mana. Isteriku, kau... kau carilah dia...” Tangan yang membelai rambut itu lemas dan terkulai.
Bi Li menjerit dan roboh pingsan sambil memeluk mayat Tang Sun yang masih hangat!
“Bibi Bi Li...! Bibi Bi Li...!” Kwi Lan memanggil manggil sambil mengguncang-guncang tubuh Bi Li.
Wanita itu akhirnya siuman dan dengan muka merah mata berapi-api ia meloncat bangun, membalikkan tubuhnya dan mencabut pedang yang tergantung di pinggang. Bi Li memang memiliki kepandaian yang khusus ia pelajari dari Sian Eng, yaitu bermain pedang, bahkan ia menerima hadiah sebatang pedang indah dari Sian Eng. Kini dengan pedang di tangan, matanya terbelalak memandang kanan kiri, mulutnya menantang-nantang.
“Pengemis-pengemis busuk, jembel-jembel terkutuk! Hayo majulah semua, akan kubunuh kalian sampai habis!”
Kwi Lan maklum bahwa bibinya ini amat marah dan sakit hati karena kematian suaminya. Suami yang terpisah darinya selama belasan tahun, dan yang kini begitu berjumpa terus meninggal dunia!
“Perempuan setan, berani kau membunuh saudara kami?” tiba tiba terdengar bentakan nyaring dan muncullah tiga orang kakek berpakaian pengemis. Mereka adalah tiga orang kakek tinggi kurus yang memegang tongkat butut, sebutut pakaian mereka.
Begitu melihat tiga orang kakek pengemis ini, sambil berseru marah Bi Li maju menerjang dengan pedangnya. Gerakannya secepat kilat, pedangnya berkelebat seperti halilintar menyambar.
“Tranggg...!” pedang itu terpental dan hampir terlepas dari pegangan Bi Li ketika tertangkis sebatang tongkat butut yang dipegang oleh kakek pengemis yang bertahi lalat besar di bawah hidungnya.
Bi Li makin marah. Kakek pengemis ini kiranya lihai sekali, tidak boleh disamakan dengan para pengemis yang tadi mengeroyok suaminya. Maka ia lalu mengeluarkan seruan keras sambil memutar pedangnya dan mengerahkan tenaga, menerjang dengan cepat sekali. Menghadapi serangan yang begitu dahsyat, kakek pengemis itu terkejut dan cepat memutar tongkat melindungi tubuhnya. Kemudian terjadilah pertandingan hebat di antara Bi Li dan kakek pengemis.
Dua orang kakek pengemis lain segera melangkah maju mendekati mayat Tang Sun. Melihat ini, Kwi Lan menjadi curiga dan membentak, “Jembel-jembel busuk, mundurlah kalian!” Gadis cilik ini menerjang maju dengan pukulan kedua tangannya yang mendorong.
Karena melihat bahwa yang menerjang mereka hanyalah seorang gadis cilik berusia empat belas tahun, dua orang kakek jembel itu tersenyum tenang, bahkan mengulur tangan untuk menangkap pundak Kwi Lan. Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika tangan mereka bertemu dengan tangan Kwi Lan, tubuh mereka terdorong mundur dan hampir saja mereka terbanting roboh! Baiknya keduanya adalah tokoh-tokoh lihai, cepat mereka dapat menekan tanah dengan ujung tongkat sehingga dapat menguasai keseimbangan tubuh lagi.....
selanjutnya >>>>>>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)