MUTIARA HITAM : JILID-03



0Sejenak mereka saling pandang dengan muka merah, lalu menatap wajah Kwi Lan dengan sikap terheran-heran. Namun mereka merasa penasaran. Mungkinkah bocah perempuan ini memiliki tenaga yang sedemikian dahsyatnya? Karena merasa malu untuk menghadapi seorang anak-anak dengan senjata tongkat mereka, keduanya lalu menyelipkan tongkat di ikat pinggang lalu melangkah maju mengulur tangan.
“Bocah setan, mau lari kemana kau?”
Melihat dirinya diserang dengan jangkauan tangan hendak menangkap, Kwi Lan tertawa mengejek, “Lari ke mana? Untuk apa lari menghadapi dua ekor babi tua macam kalian?” Dan dengan gerakan yang indah namun gesit bukan main, Kwi Lan sudah dapat mengelak, lolos dari tubrukan mereka, kemudian cepat ia membalik dan mengirim pukulan ke arah punggung mereka!
“Wuuuttt!”
Dua orang pengemis tua itu berseru kaget dan cepat melompat jauh ke depan sehingga terhindar dari pada pukulan maut tadi. Wajah mereka menjadi pucat dan keringat dingin memenuhi jidat. Sebagai orang-orang yang ahli, mereka cukup maklum betapa pukulan kedua tangan bocah ini tadi mengandung tenaga Iweekang yang hebat dan dapat mematikan! Berubahlah pandangan mereka. Kiranya bocah ini gerakannya jauh lebih hebat dari pada wanita yang bertanding melawan saudara mereka. Tanpa malu-malu lagi keduanya lalu mencabut tongkat.
“Hi hik, kalian mau lari ke mana?” Kwi Lan mengejek.
Akan tetapi cepat gadis cilik ini menggerakkan kaki untuk berkelit karena melihat dua sinar tongkat telah meluncur dengan hebat. Selanjutnya Kwi Lan harus menggunakan kelincahannya untuk menghindarkan diri dari pada kurungan sinar kedua tongkat itu. Diam-diam anak ini kaget juga. Kiranya dua orang pengeroyoknya ini benar-benar amat tangguh sehingga tekanan kedua tongkat itu mengurung dirinya, membuat ia tidak mampu balas menyerang.
Dia tidak tahu bahwa dua orang kakek itu jauh lebih kaget dan heran dari padanya. Selama mereka hidup, sudah hampir enam puluh tahun, baru kali ini mereka menghadapi peristiwa yang begini aneh dan memalukan. Mereka terkenal sebagai ahli-ahli silat kelas tinggi, hanya orang-orang pilihan di dunia kang-ouw saja yang setanding dengan mereka. Akan tetapi kini, dengan maju berdua dan memegang tongkat pula, mereka tidak mampu mengalahkan seorang gadis cilik yang bertangan kosong! Sebetulnya tingkat ilmu silat anak itu belumlah matang dan tidak seberapa tinggi, akan tetapi gerakannya amat aneh luar biasa sekali dan sukar diduga karena jauh berbeda dengan dasar-dasar ilmu silat yang lazim!
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring sekali, datangnya dari jauh akan tetapi amat jelas seakan-akan yang berkata berada di belakang mereka, “Enci Bi Li! Kwi Lan! Mundur... !”
Tentu saja Bi Li dan Kwi Lan mengenal baik suara ini dan mereka cepat meloncat mundur tanpa menoleh. Tiga orang pengemis yang tidak mendengar seruan tadi mendesak maju. Akan tetapi tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat dan... tiga orang kakek itu berhenti bergerak dan telah menjadi kaku seolah-olah mereka berubah menjadi arca batu! Tanpa dapat mereka lihat, jalan darah mereka telah ditotok oleh ujung lengan baju Sian Eng yang kini sudah berdiri di depan mereka dengan sikap bengis!
Pada saat itu terdengar bunyi angin menyambar. Belasan buah senjata rahasia berbentuk piauw (pisau) dan besi bintang menyambar ke arah Bi Li, Kwi Lan, Sian Eng, dan juga ke arah tiga orang pengemis yang berdiri kaku. Bi Li dan Kwi Lan melihat datangnya senjata rahasia yang membawa angin ini, maklum bahwa senjata itu digerakkan oleh tangan yang lihai, maka tidak berani menyambut dan cepat mengelak. Akan tetapi Sian Eng lalu mengebutkan kedua tangannya ke depan dan... belasan batang senjata rahasia yang menyambar ke arahnya dan ke arah tiga orang pengemis tua runtuh terpukul oleh hawa pukulan kedua tangannya!
Dari balik pohon meloncat ke luar lima orang kakek pengemis pula, akan tetapi mereka ini berbeda dengan yang tiga tadi. Kalau tiga orang kakek pertama berpakaian butut kotor, adalah lima orang ini berpakaian bersih, sungguh pun bertambal-tambalan seperti halnya para pengemis yang mengeroyok Tang Sun.
“Wanita iblis, berani kau....” Hanya sampai sekian saja bentakan seorang di antara mereka karena tiba-tiba tubuh Sian Eng lenyap berkelebat ke depan.
Lima orang itu menggerakkan kaki tangan hendak melawan bayangan yang tiba-tiba menyambar, namun sia-sia belaka karena tahu-tahu mereka ini pun sudah berdiri kaku seperti patung, persis seperti keadaan tiga orang kakek baju butut!
Melihat munculnya lima orang pengemis baju bersih ini, baru Bi Li sadar akan perbedaan antara lima orang pengemis ini dan tiga orang pengemis yang tadi datang lebih dulu. Pakaian mereka! Pakaian lima orang pengemis yang datang belakangan ini serupa dengan pakaian para pengemis yang mengeroyoknya, yang membunuh suaminya. Ada pun pakaian tiga orang pengemis yang mengeroyoknya, sama butut dengan pakaian suaminya. Teringatlah ia akan cerita suaminya tentang golongan putih yang berpakaian butut dan golongan hitam yang berpakaian bersih. Kini melihat Kam Sian Eng memandang kepada tiga orang pengemis baju butut dengan mata beringas, ia cepat meloncat maju dan berkata.
“Sian-kouwnio...! Jangan... jangan bunuh mereka ini....“
Kam Sian Eng tanpa menoleh bertanya, suaranya dingin dan ketus, “Apa yang terjadi di sini?”
Bi Li yang teringat kembali kepada suaminya, tidak menjawab melainkan berlutut lagi di depan mayat suaminya sambil menangis. Kwi Lan maklum bahwa bibinya dan juga gurunya itu sedang marah, maka ia cepat maju mewakili Bi Li dan bercerita singkat.
“Bibi Bi Li dan aku sedang memetik bunga ketika kami mendengar suara orang bertempur di sini. Ternyata yang bertempur adalah... suami Bibi Bi Li dikeroyok pengemis-pengemis baju bersih sampai terluka dan tewas. Bibi Bi Li dan aku berhasil mengusir dan membunuh beberapa orang pengemis baju bersih, dan sebelum mati suami Bibi Bi Li sempat bercerita bahwa dia adalah anggota pengemis baju butut. Kemudian muncul tiga orang kakek pengemis baju butut ini yang lancang menyerang Bibi Bi Li dan aku. Agaknya mereka bertiga ini masih segolongan dengan suami Bibi Bi Li. Dan lima orang kakek yang datang belakangan ini agaknya hendak membalaskan kematian anak buah mereka.”
Sian Eng mendengar ini, melirik kearah Bi Li. Wajah yang tertutup tirai sutera itu sedikit pun tidak berubah, tetap dingin dan keras. Tiba-tiba tangannya bergerak ke punggung, sinar terang berkelebatan disusul jerit-jerit kesakitan dan... delapan orang pengemis yang masih berdiri kaku itu kini telah buntung semua tangan kanannya! Entah kapan Sian Eng menggunakan pedang, entah kapan mencabutnya, dan menyarungkannya kembali, tak dapat diikuti pandang mata para pengemis itu sehingga biar pun mereka menanggung luka hebat dan nyeri, mereka masih terbelalak kaget dan gentar.
Tiga orang pengemis tua baju butut itu adalah tokoh-tokoh Khong-sim Kai-pang sedangkan lima orang pengemis baju bersih itu adalah tokoh-tokoh terkemuka pula dari perkumpulan golongan hitam. Di dalam dunia kang-ouw, terutama dunia para pengemis kang-ouw, mereka delapan orang ini merupakan orang-orang terkenal dengan ilmu silat mereka yang tinggi. Akan tetapi kini, dalam tangan wanita berkerudung yang cantik dan aneh itu, mereka sama sekali tidak berdaya, dipermainkan seperti tikus-tikus dipermainkan kucing!
“Ohh, Kouwnio, jangan...!” Bi Li yang mendengar jerit mereka dan mengangkat muka, segera meloncat bangun. “Tiga orang Lo-kai ini adalah orang-orang segolongan mendiang suami saya....“
Sian Eng mendenguskan suara dari hidung. “Hemmm...!”
Kwi Lan segera berkata, “Bibi Bi Li, tiga orang jembel tua ini biar pun segolongan dengan suamimu, namun mereka datang-datang menyerang kita. Pasti bukan orang baik-baik! Sudah sepatutnya Bibi Sian memberi hukuman.”
Kakek pengemis baju butut yang bertahi lalat di bawah hidungnya terdengar menarik napas panjang. Delapan orang ini biar pun tertotok tak mampu bergerak, akan tetapi yang kaku hanyalah kaki tangan, sedangkan anggota tubuh yang lain tidak, sehingga mereka masih mampu bicara.
“Kami tiga orang tua bangka memang telah berlaku ceroboh, tidak mengenal orang dan tidak dapat membedakan mana kawan mana lawan. Kehilangan tangan ini sudah sepantasnya...!”
“Kouwnio, harap sudi mengampuni mereka. Tentu tadi mereka menyangka bahwa sayalah yang membunuh saudara mereka ini, padahal dia... dia ini... Tang Sun, suamiku....“
“Hemmm...! Kwi Lan bebaskan mereka!” Sian Eng menggerakkan kepalanya ke arah tiga orang pengemis baju butut.
Sebagai seorang murid yang amat tekun dan amat cerdik, tentu saja Kwi Lan sudah pula membaca dan mempelajari isi kitab Im-yang-tiam-hoat, sebuah kitab pusaka dari Siauw-lim-pai yang dahulu dicuri oleh Tok-siauw-kwi dan terjatuh ke tangan Sian Eng. Dan tentu saja ia dapat pula membebaskan pengaruh totokan ilmu menotok jalan darah ini.
Dihampirinya tiga orang kakek itu dan dengan sebuah jari telunjuk kanan, ditotoknya punggung belakang pusar mereka sambil tangan kirinya tidak lupa menampar belakang kepala. Sebetulnya tamparan belakang kepala ini tidak ada hubungannya dengan pembebasan totokan, akan tetapi dasar anak nakal, ia hendak melampiaskan kemendongkolan hatinya kepada tiga orang kakek pengemis itu dalam kesempatan ini!
Kembali tiga orang kakek ini terkejut sekali. Mereka adalah ahli-ahli silat tingkat tinggi dan tahu banyak tentang seluk-beluk Ilmu Tiam-hiat-hoat (Menotok Jalan Darah). Akan tetapi selama hidup mereka, baru sekali ini mereka tahu ada ilmu menotok jalan darah yang pembebasannya diharuskan menempeleng kepala segala!
Makin gentarlah mereka terhadap Sian Eng, dan cepat-cepat mereka menggunakan tangan kiri untuk menotok lengan kanan, menghentikan jalan darah agar darah yang mengalir ke luar dari pergelangan tangan yang buntung itu berhenti. Kemudian sejenak mereka memandang kepada Sian Eng, dan pengemis tua bertahi lalat segera menjura, diturut dua orang temannya dan bertanya,
“Kami bertiga dari Khong-sim Kai-pang telah menerima petunjuk Kouwnio (Nona), semoga lain kali kami akan dapat membalas kebaikan ini. Sudilah Kouwnio memberitahukan nama yang mulia dan tempat tinggal.”
Sian Eng tersenyum, senyum yang dingin dan mendirikan bulu roma. Suaranya halus merdu akan tetapi juga mengandung hawa dingin yang menyeramkan ketika ia berkata, “Aku Kam Sian Eng dan tinggal di hutan ini. Kalau belum puas, boleh suruh ketua Khong-sim Kai-pang datang! Pergilah!”
Tiga orang pengemis tua itu menjura, lalu menghampiri mayat Tang Sun, bermaksud akan mengambilnya. Bi Li maju hendak mencegah, akan tetapi terdengar suara Sian Eng menghardiknya.
“Enci Bi Li, mundur kau!”
Bi Li terkejut sekali dan segera meloncat mundur. Wajahnya pucat dan air matanya bercucuran ketika ia melihat mayat suaminya dibawa pergi oleh tiga orang kakek pengemis itu. Tiga orang ini memandang sebentar kepada Bi Li dengan pandang mata kasihan, lalu menghela napas dan pergi dari tempat itu dengan langkah lebar sambil membawa mayat Tang Sun.
Lima orang pengemis tua baju bersih itu tadinya terkejut dan khawatir sekali mendengar bahwa anggota Khong-sim Kai-pang yang terbunuh adalah suami wanita yang tak tertutup mukanya. Akan tetapi, mereka menjadi lega hati melihat sikap Bi Li dan mendengar bentakan wanita yang berkerudung dan mengaku bernama Kam Sian Eng itu. Jelas bahwa biar pun wanita yang kedua itu mempunyai suami anggota Khong-sim Kai-pang, namun si wanita aneh yang sakti itu sama sekali tidak bersahabat dengan Khong-sim Kai-pang. Biar pun tubuh mereka masih kaku dan tak mampu bergerak, namun pengemis yang tertua di antara mereka, yang hidungnya bengkok seperti hidung kukuk beluk berkata merendah,
“Mohon maaf sebanyaknya kepada Cianpwe yang mulia. Karena tidak tahu dan belum mengenal, boanpwe berlima berani amat lancang memasuki wilayah Cianpwe. Hendaknya Cianpwe memaklumi bahwa boanpwe berlima adalah pimpinan perkumpulan pengemis Hek-peng Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Garuda Hitam) yang masih berada di bawah lindungan yang mulia Bu-tek Siu-lam! Maka boanpwe berlima mengharap sudilah kiranya Cianpwe melihat muka Ciang-bujin (Pemimpin Besar) Bu-tek Siu-lam untuk mengampuni dan membebaskan boanpwe berlima!”
Sian Eng mengerutkan keningnya. Diam-diam ia merasa geli mendengar betapa lima orang kakek itu menyebutnya cianpwe, sebutan bagi tokoh-tokoh tinggi dunia persilatan dan menyebut diri boanpwe, sikap yang amat merendah sekali. Akan tetapi ia heran mendengar nama Bu-tek Siu-lam (Laki-laki Tampan Tanpa Tanding). Siapakah itu? Sudah terlalu lama ia mengasingkan diri sehingga tidak melihat perubahan di dalam dunia kang-ouw, tidak mengenal tokoh-tokoh barunya.
“Siapakah dia yang berjuluk Bu-tek Siu-lam itu?” tanyanya tanpa disengaja karena pertanyaan dalam hati ini terlontar keluar melalui bibirnya.
Lima orang pengemis tua baju bersih itu saling pandang dengan heran dan juga kecewa. Benarkah ada orang di dunia kang-ouw ini yang belum mengenal nama Bu-tek Siu-lam? Dan wanita aneh ini demikian sakti! Tapi mungkin belum memasuki dunia kang-ouw. Karena ini si Hidung Bengkok segera berkata, sengaja mengangkat-angkat nama besar Bu-tek Siu-lam untuk menimbulkan kesan mendalam.
“Beliau adalah tokoh tertinggi di dunia kang-ouw yang datang dari dunia barat. Semua perkumpulan pengemis baju bersih berada di bawah perlindungan beliau, dan boanpwe yakin bahwa kelak beliaulah yang akan menjadi pemimpin besar semua kai-pang! Juga dalam pemilihan tokoh-tokoh terbesar untuk memilih jagoan yang Thian-he-te-it (di Seluruh Dunia Nomor Satu) yang akan diadakan di puncak Cheng-liong-san pada malam tahun baru nanti, sudah dapat dipastikan bahwa Ciang-bujin Bu-tek Siu-lam yang akan keluar sebagai juara, jagoan di antara segala datuk! Tapi...eh, kecuali...kalau Cianpwe ikut pula dalam kejuaraan itu, keadaan akan makin ramai.” Demikian tambah si Hidung Bengkok ketika melihat wajah di balik kerudung itu kelihatan tak senang.
“Aku tidak peduli segala macam Bu-tek Siu-lam! Kalian berlima sudah lancang berani menyerangku, berani memandang sebelah mata. Karena itu kalian baru boleh pergi kalau kalian suka mencongkel keluar sebuah biji mata kalian!”
Lima orang pengemis itu terbelalak dan muka mereka pucat. Keringat dingin mengalir ke luar membasahi jidat dan leher. Sebuah biji mata disuruh congkel ke luar? Siapa yang sudi? Sebelah tangan sudah dibuntungkan, kini sebelah mata diminta lagi! Mana ada aturan begini bocengli (kurang ajar)?
Wanita aneh ini tidak takut kepada Bu-tek Siu-lam, berarti belum mengenal. Kalau belum kenal, belum tentu wanita ini benar-benar sakti. Agaknya hanya memiliki Ilmu Tiam-hiat-hoat yang aneh sehingga mereka tadi menjadi korban totokan sebelum dapat bergerak banyak dan sebelum melihat sampai di mana tingkat ilmu kepandaian wanita berkerudung itu. Karena tidak terdapat jalan lain untuk menghindarkan diri dari ancaman congkel mata, si Hidung Bengkok lalu berkata, nadanya sengaja dikeluarkan untuk mengejek.
“Sebagai orang-orang kang-ouw kami tahu bahwa hukumnya adalah siapa kuat dia menang dan siapa kalah harus tunduk. Sayang sekali bahwa kami belum merasa dikalahkan, hanya dibuat tidak berdaya oleh serangan gelap. Sebagai tokoh-tokoh Hek-peng Kai-pang, kami mengandalkan keselamatan nyawa kami di ujung pedang. Siapa tahu, sebelum kami sempat mencabut pedang, kami mengalami penghinaan. Kalau sudah tertotok seperti ini, bicara pun kami tak berhak. Seorang kanak-kanak yang masih ingusan sekali pun dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya terhadap kami!”
Akal si Hidung Bengkok ini berhasil baik sekali. Sian Eng menjadi merah mukanya dan sekali tubuhnya bergerak, tampak bayangan putih berkelebat. Ujung lengan bajunya menyambar dan lima orang kakek itu merasa betapa punggung belakang pusar mereka tertotok yang membuat tubuh mereka pulih seperti biasa. Serentak mereka berlima mencabut pedang dan membuat gerakan keliling, mengurung wanita berkerudung itu.
Sian Eng yang berdiri di tengah-tengah dalam keadaan terkurung hanya memandang tanpa mengubah kedudukan badan dan tanpa menoleh. Hanya sepasang matanya di balik kerudung hitam itu yang melirik ke kanan kiri, kemudian tampak giginya berkilat putih ketika ia berkata, “Kalian telah bebas. Pedang telah dicabut. Tidak lekas mencongkel mata kanan kalian, tunggu apa lagi?”
Ucapan yang menyakitkan hati ini merupakan komando bagi lima orang kakek pengemis itu untuk menerjang dengan hebat. Sian Eng dalam keadaan terkepung dan lima orang itu melakukan serangan berbareng. Lima buah pedang dengan tusukan dan bacokan kilat mengarah tubuhnya.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh dan lima orang pengemis terkejut ketika melihat bayangan putih melesat cepat dari tengah kepungan dan benar saja, ketika mereka melihat, ujung pedang mereka hanya mengenai tempat kosong dan lima buah pedang mereka hampir beradu sendiri dengan kawan. Cepat mereka menengok dan kiranya Sian Eng telah berdiri sambil bertolak pinggang di sebelah kiri sambil tersenyum mengejek.
Pengemis hidung bengkok yang berdiri paling dekat cepat menerjangnya dengan pedang, diikuti oleh teman-temannya yang kini tidak mengurung lagi. Inilah yang dikehendaki Sian Eng, yaitu agar lima orang pengeroyoknya itu menyerangnya dengan susul menyusul, tidak berbareng seperti tadi. Begitu pedang si Hidung Bengkok menyambar, ia menggerakkan lengannya secara aneh. Pedang menusuk datang dan terdengarlah jerit mengerikan disusul robohnya tubuh pengemis hidung bengkok.
Sian Eng tidak berhenti sampai di situ saja. Tubuhnya terus bergerak ke depan dan jerit kesakitan susul menyusul sehingga akhirnya empat orang pengemis yang lain juga roboh. Hanya beberapa puluh detik saja terjadinya. Lima orang pengemis itu sendiri tidak tahu benar apa yang terjadi. Ketika mereka menyerang secara mendadak pedang mereka membalik dan mencongkel mata mereka sendiri, mata kanan!
Kini Sian Eng berdiri tegak, memandang lima orang pengemis itu yang merangkak bangun sambil merintih-rintih. Tangan kanan mereka sebatas pergelangan telah buntung. Tadi mereka menggunakan tangan kiri untuk bermain pedang. Siapa kira secara aneh sekali wanita sakti itu telah membuat pedang mereka membalik dan mencongkel ke luar biji mata kanan mereka dengan pedang mereka sendiri. Setelah mereka mampu berdiri, lima orang pengemis tua yang terluka parah itu berdiri memandang Sian Eng dengan mata sebelah mereka, memandang penuh kemarahan dan kebencian.
“Pergilah kalau tidak ingin mampus!” Sian Eng berkata dingin.
Lima orang pengemis itu ingin sekali menerjang mengadu nyawa. Akan tetapi kini maklumlah mereka bahwa terhadap wanita aneh ini mereka tidak berdaya sama sekali. Si Hidung Bengkok sambil meringis menahan sakit berkata, “Akan kami laporkan bahwa engkau menantang ciang-bujin kami Bu-tek Siu-lam!”
“Boleh! Suruh dia datang ke sini, akan kubuntungi kedua tangannya dan kucongkel ke luar kedua biji matanya!” bentak Sian Eng.
Lima orang itu terkejut. Benar-benar wanita ini sudah gila, berani mengeluarkan kata-kata seperti itu terhadap Bu-tek Siu-lam yang sakti seperti dewa. “Tunggulah dan kalau memang berani, datanglah kelak di puncak Cheng-liong-san!”
Sian Eng hanya tersenyum dan memandang lima orang itu yang pergi sambil meringis kesakitan. Setelah keadaan menjadi sunyi, barulah Sian Eng menoleh kepada Bi Li dan membentak, “Apakah engkau hendak pergi pula meninggalkan aku?” Di dalam suaranya terkandung ancaman maut.
Bi Li menggeleng kepala, menyusut air matanya. “Pergi ke mana? Suamiku telah mati...! Tidak, aku tidak akan pergi dari sini, kecuali pergi ke akhirat. Tidak ada lagi yang kuharapkan.”
Mendengar jawaban ini, Sian Eng mengeluarkan suara tertawa terkekeh-kekeh mendirikan bulu roma. Kwi Lan mengerutkan keningnya, akan tetapi ketika melirik kearah Bi Li, ia melihat wanita itu memandang kepadanya dan tahulah ia bahwa Bi Li diam-diam amat mengharapkan agar kelak dapat bertemu dengan puteranya yang bernama Hauw Lam. Dan gadis ini, biar pun tidak mendengar kata-kata keluar dari mulut Bi Li, dapat menduga, bahkan berjanji dalam hatinya bahwa kelak ia akan bantu mencari putera yang hilang itu.
Semenjak terjadi peristiwa itu, Kwi Lan belajar makin tekun dan giat karena ia maklum bahwa ilmu kepandaian tinggi merupakan modal terutama baginya untuk kelak mencari orang tuanya dan untuk membantu Bi Li mencari puteranya yang bernama Tang Hauw Lam. Dan semenjak terjadinya peristiwa itulah nama Kam Sian Eng dikenal di dunia kang-ouw sebagai seorang tokoh yang aneh dan luar biasa, serta memiliki ilmu kesaktian yang dahsyat pula. Hal ini menyebabkan semua orang menjauhkan diri dari hutan itu, yang dianggap sebagai hutan iblis dan tak seorang pun berani memasukinya.
********************
Lima tahun kemudian, seorang gadis berusia sembilan belas tahun berjalan seorang diri dikaki gunung Lu-liang-san, di sebelah barat kota Tai-goan. Gadis remaja ini cantik sekali dan amat manis. Bentuk mukanya lonjong, dagunya meruncing, dengan kulit muka yang halus dan putih seperti susu, dihias warna merah jambu di kedua pipinya, warna merah karena sehat. Mulutnya kecil dengan bibir selalu tersenyum, bibir merah membasah dan segar.
Rambutnya agak awut-awutan, tidak disisir rapi, namun menambah keluwesan dan keayuannya. Tubuhnya sedang dan ramping, agak kurus akan tetapi dengan lekuk lengkung tubuh yang menonjolkan kewanitaannya. Pakaiannya berwarna merah muda dengan ikat pinggang merah tua. Sebatang pedang tergantung di pinggangnya dan gagang pedang ini dihias sebuah mutiara yang besar, mutiara berwarna hitam berkilauan.
Gadis jelita ini bukan lain adalah Kam Kwi Lan! Sudah setengah tahun ia merantau meninggalkan hutan iblis. Setengah tahun yang lalu, bibinya, juga gurunya, Kam Sian Eng telah pergi bersama Suma Kiat.
“Aku pergi bersama Suheng-mu. Kau tidak boleh ikut, Kwi Lan. Akan tetapi terserah kalau engkau mau pergi merantau. Engkau sudah cukup dewasa dan kuat untuk menjaga diri,” demikian pesan Sian Eng secara singkat.
Ada pun Suma Kiat tersenyum-senyum, agaknya hendak menggoda sumoi-nya itu yang tidak boleh ikut pergi! Memang, biar pun usianya sudah dua puluh tahun, Suma Kiat yang kini juga memiliki ilmu kepandaian tinggi itu kadang-kadang sikapnya seperti kanak-kanak saja!
“Bibi, saya hanya minta agar sebelum Bibi pergi, Bibi suka memberi sedikit keterangan kepadaku.”
Sian Eng tersenyum di balik kerudung hitamnya. “Keterangan tentang ayah bundamu, bukan?”
Kwi Lan terkejut dan melirik ke arah Bi Li yang juga berdiri di situ dan yang menjadi kaget pula.
“Hemm, jangan kira bahwa aku tidak tahu akan persekutuan kalian beberapa tahun yang lalu! Enci Bi Li, suamimu telah mati, anakmu hilang. Kalau dia memang anak berbakti, tentu dia akan datang mencarimu kelak. Kwi Lan, kalau kau hendak mencari ibumu, pergilah ke Khitan. Ibumu adalah adik angkatku, yaitu Ratu Yalina di Khitan. Tentang Ayahmu... hi-hik, kau tanya saja kepada ibumu yang manis itu!“
Demikianlah, setelah Sian Eng bersama Suma Kiat pergi, Kwi Lan lalu pergi pula meninggalkan hutan di mana ia hidup selama delapan belas tahun. Ia menasehati Bi Li agar tinggal di dalam istana bawah tanah saja, menanti kembalinya mereka dari perantauan. Ia berjanji akan mencari keterangan di dunia luar tentang Tang Hauw Lam.
Dengan kawan pedang pusaka pemberian bibinya, Kwi Lan melakukan perjalanan seorang diri. Tujuan perjalanannya tentu saja ke Khitan di sebelah utara. Akan tetapi ia tidak tergesa-gesa, melakukan perjalanan seenaknya. Hal ini bukan saja karena ia memang hendak menikmati keadaan kota dan dusun yang dilaluinya, juga terutama sekali karena hatinya merasa amat kecewa ketika mendengar keterangan gurunya bahwa dia sebetulnya anak Ratu Khitan! Anak ratu! Akan tetapi ratunya bangsa Khitan yang dianggap sebagai bangsa yang setengah liar di utara.
Dan kalau dia benar anak ratu, mengapa sampai diberikan kepada gurunya? Kalau benar ibunya Ratu Khitan itu adalah adik angkat gurunya, tentu dia telah diberikan kepada bibi itu untuk dilatih ilmu silat. Alangkah tega hati ibu kandungnya itu! Berarti tidak sayang kepadanya! Karena pikiran inilah maka Kwi Lan tidak sangat bernafsu untuk bertemu dengan ibu kandungnya yang menjadi ratu di Khitan.
Pada pagi hari yang cerah itu Kwi Lan berjalan di kaki bukit Lu-liang-san, menikmati keindahan alam yang mandi cahaya matahari pagi. Tiba-tiba pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara orang bertanding di sebelah depan. Hatinya tertarik dan ia mempercepat langkahnya.
Ketika tiba di sebuah belokan, ia melihat dua orang tengah bertanding hebat. Yang seorang bersenjata pedang, yang kedua bersenjata tongkat butut. Di sekeliling tempat pertandingan itu berdiri pula beberapa orang dengan tegak dan penuh perhatian menonton jalannya pertandingan. Melihat betapa dua orang yang bertanding, juga mereka yang berdiri menonton, semua berpakaian pengemis, teringatlah Kwi Lan akan peristiwa di hutan iblis pada lima tahun yang lalu.
Yang bersenjata tongkat butut adalah seorang kakek pengemis berpakaian butut dan di situ masih ada tiga orang temannya yang kurus-kurus dan tua berdiri menonton. Ada pun lawannya, yang berpedang, adalah seorang pengemis pakaian bersih, sedangkan agaknya empat orang yang berdiri menonton di sebelah kiri adalah teman-temannya, sungguh pun hanya dua di antara mereka yang berpakaian pengemis baju bersih.
Pertandingan itu cukup seru dan dari gerakan mereka tahulah Kwi Lan bahwa mereka yang bertanding itu memiliki kepandaian cukup tinggi dan tentu bukan anggota biasa dari perkumpulan mereka, melainkan tokoh-tokoh yang berkedudukan cukup tinggi. Maka ia memandang penuh perhatian sambil mendekati dengan langkah perlahan.
“Ssssttt...!”
Kwi Lan terkejut dan berdongak. Ternyata yang berdesis itu adalah seorang pemuda yang duduk ongkang-ongkang di atas dahan pohon sambil menghadap ke arah pertandingan. Pemuda itu kini menoleh kepadanya dan menaruh telunjuk ke depan mulut. Melihat wajah pemuda itu yang berseri, tidak hanya mulutnya, bahkan hidung dan matanya ikut tersenyum ramah, sekaligus timbul rasa suka dihati Kwi Lan. Mata pemuda itu bersinar terang dan gembira, jelas tampak bahwa dia seorang periang yang lucu dan juga nakal.
“Kalau mau nonton, di sini paling enak, jelas aman dan tidak usah bayar!” bisik pemuda itu dan terkejutlah Kwi Lan.
Pemuda itu hanya berbisik-bisik, akan tetapi suaranya jelas sekali terdengar olehnya, seperti didekat telinganya. Tahulah ia bahwa pemuda yang periang ini bukan hanya seorang pemuda berandalan biasa, melainkan seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi dan sudah menguasai Ilmu Coan-im-pek-li (Mengirim Suara Seratus Mil).
Kalau saja pemuda itu tidak memiliki wajah tampan yang begitu jenaka seperti wajah seorang anak kecil yang nakal, tentu Kwi Lan akan ragu-ragu bahkan marah. Namun jelas baginya bahwa pemuda itu nakal dan polos, tidak bermaksud kurang ajar. Hal ini dapat ia lihat dari sinar matanya. Selama setengah tahun merantau dan bertemu banyak laki-laki, Kwi Lan sudah dapat membedakan pandang mata laki-laki yang tertarik akan kecantikan wajah dan bentuk tubuhnya, pandang mata mengandung birahi yang kurang ajar.
Sengaja Kwi Lan mengerahkan ginkang-nya sehingga ketika ujung kedua kakinya menggenjot tanah, tubuhnya melayang naik seperti seekor burung kenari terbang melayang dan hinggap di atas cabang di dekat pemuda itu, duduk ongkang-ongkang seperti si pemuda tanpa sedikit pun membuat cabang itu bergoyang. Akan tetapi Kwi Lan kecelik kalau ia memancing kekaguman pemuda itu, karena si pemuda menoleh kepadanya seperti tidak ada apa-apa saja, seakan-akan gerakannya yang indah dan ringan itu tadi sudah sewajarnya!
Setelah menoleh dan memandang wajah Kwi Lan sejenak, pemuda itu tersenyum lebar, merogoh saku bajunya yang lebar, mengeluarkan bungkusan dan membuka bungkusan itu, lalu menyodorkannya kepada Kwi Lan. Kiranya tanpa bicara pemuda itu telah menawarkan kacang garing kepada Kwi Lan!
“Enak nonton di sini sambil makan kacang,” katanya dengan mata bersinar-sinar. “Gerakan mereka dapat nampak jelas. Hayo bertaruh, siapa yang akan menang antara pengemis bertongkat kurus kering dan pengemis botak berpedang itu? Aku berpegang kepada si Botak!”
Kwi Lan makin suka kepada pemuda yang sebaya dengannya ini, atau mungkin lebih muda melihat sikapnya yang kekanak-kanakan. Tanpa ragu-ragu lagi ia mengambil segenggam kacang, membuka kulit dan memakannya sambil menonton ke arah pertandingan.
“Aku bertaruh pengemis baju butut yang menang,” Kwi Lan berkata setelah menonton sebentar. Kacang garing itu enak sekali, selain gurih dan wangi tanda kacang tua dan baik, juga agaknya diberi bumbu dan asinnya cukup.
“Belum tentu!” kata si Pemuda gembira dan kedua kakinya yang ongkang-ongkang itu digerak-gerakkan menendang. “Memang si Kurus Kering itu lebih lihai ginkang-nya, lebih cekatan. Akan tetapi kulihat si Botak ini banyak tipu muslihatnya. Di gagang pedangnya terdapat alat untuk melepas jarum beracun.”
“Ihhh...! Memang pengemis baju bersih itu golongan hitam dan curang!” Kwi Lan berseru.
“Eh, bagaimana engkau bisa tahu?”
“Tahu saja! Kau kira engkau saja yang tahu kelicikan mereka?”
Mereka saling pandang, cemberut karena dengan pertaruhan itu mereka seperti hendak saling memihak. Akan tetapi pemuda itu tersenyum, menyodorkan lagi bungkusan kacangnya. “Enak kacang ini, bukan? Tentu enak, kacang ini khusus dibuat untuk istana kerajaan!” ia tertawa ha-ha-he-he, lalu melanjutkan, “Akan tetapi, Raja dan para Pangeran belum tentu mempunyai mulut seperti mulutku, maka aku merasa bahwa mulutku tidak terlalu rendah untuk mencicipi kacang untuk istana ini dan kucuri sebagian. He-he-heh!”
Kwi Lan juga tersenyum lebar dan mengambil lagi segenggam. Keduanya kini tidak berkata-kata lagi karena ikut merasa tegang dengan pertandingan yang makin seru itu. Mereka seperti lupa diri, makan kacang sambil menonton ke bawah, persis seperti lagak para penonton permainan sepak bola yang ramai. Mereka seperti dua orang anak nakal yang sudah sejak kecil menjadi kawan bermain.
Memang pertandingan itu makin seru. Tepat seperti yang dikatakan pemuda itu, gerakan pengemis baju butut yang memegang tongkat amat lincah, tubuhnya sering kali mencelat ke atas dan menyambar-nyambar dengan tongkatnya. Pengemis botak yang berbaju bersih, agaknya kewalahan dan terdesak sehingga ia hanya mampu mengelak dan menangkis, sukar untuk dapat membalas. Namun harus diakui bahwa pertahanan pedangnya cukup kuat sehingga semua terjangan si Pengemis kurus kering selalu tidak mengenai sasaran. Tiba-tiba pengemis baju kotor itu mengeluarkan seruan keras dan ilmu tongkatnya berubah, membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin sempit sehingga mengurung tubuh lawannya.
“Hah, mampus sekarang jagomu!” kata Kwi Lan.
“Heh, belum tentu! Lihat saja...,” jawab si Pemuda.
“Lihat, nah...kena!” Berbareng dengan ucapan Kwi Lan yang tentu saja dapat mengikuti jalannya pertandingan dengan jelas dan bahkan dapat menduga pula perkembangan setiap gerakan, benar saja tongkat pengemis pakaian kotor itu dapat menusuk leher pengemis botak.
Akan tetapi, ketika pengemis botak itu berusaha menangkis dengan sia-sia, tiba-tiba dari gagang pedangnya meluncur sinar hitam dan kakek pengemis kurus kering itu pun berseru kesakitan dan roboh bersama-sama lawannya. Kalau lawannya dapat ia tusuk dengan tongkat tepat mengenai leher, adalah dia sendiri menjadi korban tiga batang jarum beracun yang menyambar ke luar dari gagang pedang ketika lawannya menekan alat rahasia di gagang pedang itu. Tiga batang jarum berbisa memasuki perutnya!
Tiga orang pengemis baju kotor yang bertubuh kurus-kurus itu menjadi marah sekali. Akan tetapi pada saat itu, empat orang lawannya yang tadinya juga menonton, dengan bersorak telah menyerbu dan menerjang mereka bertiga. Tiga orang pengemis ini cepat menggerakkan tongkat melawan pengeroyokan empat orang lawan itu. Akan tetapi ternyata kepandaian empat orang lawan, terutama yang berpakaian seperti jago silat, bermuka penuh brewok dengan alis tebal, tubuhnya tinggi besar, amatlah lihai.
Si Brewok tinggi besar ini menggunakan sepasang pedang dan gerakannya laksana harimau mengamuk. Tiga orang pengemis baju kotor itu amat kewalahan dan terdesak sambil mundur. Namun mereka melawan terus dengan nekat sambil memaki-maki. Tidak lama pertandingan itu karena tiba-tiba tiga orang pengemis kurus itu berteriak keras dan terjungkal roboh. Kiranya diam-diam empat orang lawannya itu telah mempergunakan senjata rahasia dan memukul roboh lawannya dengan senjata rahasia ini. Dan agaknya senjata rahasia mereka itu semua memakai racun, buktinya begitu roboh, seperti halnya pengemis pertama, tiga orang kakek baju kotor ini pun tak bergerak lagi, mati seketika!
“Hah-ha-ha, kau kalah bertaruh! Bukankah jembel-jembel busuk pesolek yang menang?” pemuda di samping Kwi Lan bersorak.
Kwi Lan cemberut, lalu berseru keras ke bawah, “Jembel-jembel pesolek dan kaki tangannya memang curang! Anak buah Bu-tek Siu-lam mana ada yang tidak curang dan pengecut?” Teringat peristiwa lima tahun yang lalu, sengaja Kwi Lan menyebut nama itu.
Siapa kira, mendengar disebutnya nama ini, si Pemuda di sampingnya terkejut dan berteriak keras lalu terjungkal ke bawah pohon! Kwi Lan terkejut dan baru ia tahu bahwa pada saat pemuda itu terjungkal, dari bawah menyambar beberapa macam senjata rahasia itu. Cepat ia menggunakan ujung lengan bajunya mengebut dan...runtuhlah semua senjata rahasia itu.
Dengan muka merah Kwi Lan meloncat berdiri di atas cabang pohon. Ia melihat empat orang itu terbelalak kaget, akan tetapi seorang di antara dua pengemis baju bersih, yang bertubuh pendek dan bermuka bengis, telah mencabut pedang dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya kembali menyambitkan senjata rahasia gelang besi yang melayang dan berputar-putar menyambar ke arah perut Kwi Lan.
Gadis ini memuncak kemarahannya. Ia meloncat turun sambil menyampok senjata gelang besi itu ke bawah, dan setengah disengaja ia menyampok gelang besi itu ke arah si Pemuda yang sudah bangun.
“Aduhh!” teriak si Pemuda sambil berloncatan bangun dan mengelus-elus kepalanya, seakan-akan kepalanya terkena hantaman senjata rahasia itu. Akan tetapi jidatnya yang lebar dan kelimis itu tidak terluka, lecet pun tidak.
Kwi Lan tidak pedulikan pemuda itu, lalu melayang ke arah pengemis baju bersih yang menyambut kedatangannya dengan sebuah tusukan pedang! Tampaknya serangan ini tak mungkin dielakkan lagi oleh Kwi Lan yang tubuhnya sedang melayang di udara dan memang gadis ini pun tidak berusaha untuk mengelak.
Tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka melakukan gerakan mendorong dan... pedang itu terkena dorongan hawa pukulan lalu membalik. Kemudian secepat kilat Kwi Lan menyentil dengan telunjuknya ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang dan... pedang itu mencelat sambil membalik sehingga menusuk pangkal lengan pengemis pendek itu sendiri. Kulit dagingnya terbelah dan tampak tulang lengannya! Sementara itu, entah bagaimana pedangnya telah berpindah ke tangan Kwi Lan yang mempergunakan pedang rampasan untuk menodong!
“Ha-ha-ha-heh-heh!” si Pemuda itu bersorak sambil mempermain-mainkan gelang besi yang tadi menyambarnya dengan tangan kanan. “Jembel tua bangka pesolek sekarang kehilangan aksinya. Makanya jangan sok aksi. Sudah tua bangka begitu, pura-pura jadi pengemis tapi pakaiannya bersih dan baru, biar kelihatan aksi dan tampan. Wah, ini namanya tua-tua keladi!”
Tentu saja pengemis pendek yang dirobohkan Kwi Lan itu melotot ke arah si Pemuda dengan kemarahan meluap-luap, akan tetapi juga terheran-heran mengapa senjata rahasianya yang biasanya ampuh bahkan mengandung racun itu kini dipakai main-main oleh si Pemuda ini. Pada saat itu, pengemis kedua yang tubuhnya kurus kecil seperti kucing kelaparan itu menudingkan telunjuknya kepada Kwi Lan sambil membentak, suaranya besar dan parau sungguh berlawanan dengan tubuhnya yang serba kecil kurus.
“Eh, iblis betina dari mana berani menentang Hek-coa Kai-pang dan mengeluarkan ucapan menghina ciangbujin Bu-tek Siu-lam? Apakah sudah bosan hidup?”
Kwi Lan membalikkan tubuhnya, membelakangi pengemis pendek yang terluka untuk menghadapi lawan baru ini. Ia tersenyum manis ketika berkata, “Kalian ini jembel-jembel busuk, biar pun tidak sama dengan Hek-peng Kai-pang, kiranya sama busuknya, apa lagi sama-sama di bawah pimpinan Bu-tek Siu-lam yang biar pun belum pernah kujumpai, tentu busuk pula!”
“Eh, perempuan keparat! Selama hidup kami tidak pernah bertemu denganmu dan tidak pernah bertentangan, mengapa hari ini kau datang-datang menghina dan memusuhi kami? Apakah kau berpihak kepada jembel-jembel butut itu?” bentak pula pengemis kurus kecil sambil menuding ke arah mayat empat orang pengemis baju butut. Kumis kecil di kanan kiri hidung itu bergerak-gerak akan tetapi tidak sama sehingga kelihatannya seperti sepasang sayap kupu-kupu yang hinggap di bawah hidung, membuat Kwi Lan menjadi geli dan memperlebar senyumnya.
“Urusan kalian dengan jembel-jembel berpakaian butut sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan aku. Akan tetapi kebetulan sekali aku adalah orang yang paling tidak suka melihat perbuatan-perbuatan curang dan pengecut. Dalam pertandingan tadi kalian merobohkan lawan mengandalkan senjata rahasia secara curang sekali. Kemudian kalian juga menyerangku dengan senjata rahasia. Apakah kau masih mau bilang di antara kita tidak ada pertentangan?” berkata demikian, Kwi Lan melirik kepada dua orang lain yang tidak berpakaian pengemis, yaitu yang bermuka brewok dan seorang temannya lagi. Jelas mereka itu tidak segolongan dengan dua orang pengemis baju bersih ini dan mereka pun tidak mencampuri perdebatan, hanya memandang dengan mata terbelalak heran dan kening berkerut.
“Bocah sombong! Merampas pedang dan melukai saudaraku masih belum merupakan dosa besar, akan tetapi menyebut dan menghina nama ciangbujin kami....”
Kwi Lan memegang ujung pedang dengan tangan kirinya dan sekali tekuk, pedang rampasan itu patah menjadi dua dan ia buang ke atas tanah. “Pedang sudah kupatahkan, kalau aku bunuh saudaramu itu dan kumaki si Kepala Penjahat busuk Bu-tek Siu-lam, kau mau apa?”
“Iblis betina, rasakan tanganku!” Tiba-tiba pengemis kecil kurus itu sudah mencabut pedang dan menggerakkan pedangnya membacok, gerakannya selain cepat juga kuat sekali, jauh lebih kuat dari pada gerakan pengemis yang sudah terluka tadi.
Pada saat yang sama, ketika Kwi Lan memutar tubuhnya untuk menghadapi serangan pengemis kecil kurus, pengemis kedua yang sudah terluka lengannya itu menggerakkan tangan kirinya menyambitkan sebuah gelang besi ke arah punggung gadis itu.
Apa yang terjadi selanjutnya sedemikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata, akan tetapi tahu-tahu dua orang pengemis itu menjerit dan roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi dan hebatnya, tepat di dahi mereka tampak luka berlubang ditembusi gelang besi beracun!
Kiranya ketika tadi diserang pedang pengemis kurus, Kwi Lan juga tahu bahwa dari belakang ia diserang dengan senjata rahasia, maka secepat kilat ia berkelebat kedepan, menangkap tangan yang berpedang dari samping lalu membetot tubuh itu dipakai menangkis gelang besi yang menyambar punggungnya sehingga senjata rahasia itu tepat menyambar dahi pengemis kurus. Ada pun si Pengemis pendek yang melepas senjata rahasia secara curang itu, sebelum sempat mengelak, telah ‘dimakan’ senjata rahasianya sendiri yang dilemparkan oleh pemuda teman Kwi Lan dengan gerakan sembarangan namun yang membuat senjata itu menyambar cepat sekali dan masuk ke dalam dahi pemiliknya.
Kini tinggal dua orang yang bukan pengemis, teman-teman dari pengemis baju bersih, berdiri memandang dengan mata terbelalak kaget. Mereka berdua mengerti bahwa dua orang muda itu memiliki kepandaian yang amat tinggi. Orang pertama yang mukanya penuh brewok segera melangkah maju dan menjura sambil mengangkat kedua tangan ke dada dan berkata, “Kepandaian Ji-wi (Tuan Berdua) sungguh hebat dan membuat kami merasa kagum sekali!”
Kwi Lan hanya tersenyum mengejek, akan tetapi pemuda itu tertawa-tawa tanpa membalas penghormatan orang. “Heh-heh, kulihat kalian berdua bukan pengemis. Tapi tadi membantu dalam pertandingan antar pengemis! Apakah sekarang hendak menuntut bela atas kematian dua orang sahabatmu ini?”
Si Brewok menggeleng-geleng kepalanya. “Kami tidak tersangkut dalam urusan antara mereka dan Ji-wi. Telah saya lihat betapa mereka itu mencari mati sendiri dengan keberanian mereka melawan dan memandang rendah Ji-wi. Sungguh pun menghadapi empat orang anggota Khong-sim Kai-pang pengemis baju butut tadi kami merupakan sekutu mereka, namun urusan terhadap Ji-wi kami tidak ikut campur.”
“Menggerakkan lidah memang amat mudah!” Kwi Lan berkata mengejek. “Kau bilang tidak ikut campur, akan tetapi siapa tadi yang ikut menyerangku dengan senjata rahasia ketika aku berada di atas pohon itu?”
Wajah si Brewok menjadi merah. Memang tadi dia ikut menyerang Kwi Lan dengan senjata rahasianya yang berbentuk peluru bintang. Ia menjura kepada gadisitu dan berkata, “Harap Nona maafkan, tadi saya menyangka Nona adalah kawan pengemis Khong-sim Kai-pang.”
“Tidak peduli apa yang kau sangka. Hayo serang aku lagi dengan senjata rahasiamu!” bentak Kwi Lan sambil tersenyum mengejek.
Berubah muka si Brewok. “Saya... saya mana berani?”
“Berani atau tidak masa bodoh, kau harus! Kalau membangkang, jangan bilang aku keterlaluan!” Suara ini mengandung penuh ancaman sehingga muka yang penuh brewok itu menjadi pucat. Ia berdiri saling pandang dengan kawannya.
Kawannya itu agaknya lebih berani dari pada si Brewok. Matanya yang agak menjuling itu dipelototkan ke arah Kwi Lan dan ia berseru, “Nona, engkau sungguh keterlaluan! Kami adalah orang-orang Thian-liong-pang, bukan orang-orang sembarangan! Kalau Suheng-ku ini berlaku mengalah kepadamu, adalah karena melihat engkau masih muda, masih setengah kanak-kanak. Setelah Ouw-suheng mengalah, mengapa engkau malah mendesaknya? Sekali dia turun tangan, engkau akan celaka, dan hal itu akan sayang sekali melihat engkau begini muda dan cantik!”
“Sute, diam...!” si Brewok menegur adik seperguruannya.
Kwi Lan marah sekali, akan tetapi tak seorang pun tahu akan hal ini karena senyumnya makin manis. “Ah, begitukah? Jadi kalian ini orang-orang Thian-liong-pang yang lihai? Kebetulan sekali, lekas kalian berdua menyerangku dengan senjata-senjata rahasia kalian!”
Si Brewok ragu-ragu, akan tetapi si Mata Juling berkata, “Suheng, dia yang minta dihajar, tunggu apa lagi?” Sambil berkata demikian si Juling mengeluarkan dua buah senjata rahasianya, yaitu peluru bintang.
Senjata rahasia ini terbuat dari pada baja, ujungnya runcing-runcing dan karena bentuknya bulat seperti peluru, maka dapat disambitkan dengan keras. Melihat ini, si Brewok yang didesak-desak juga mengeluarkan senjata rahasia yang sama, akan tetapi hanya sebuah.
“Hayo lekas serang, tunggu apa lagi?” Kwi Lan berseru, berdiri dengan sikap seenaknya, bahkan sengaja ia miringkan tubuh dan menoleh membelakangi dua orang itu.
Selagi si Brewok ragu-ragu dan adik seperguruannya yang marah itu menanti gerakan kakaknya, terdengar pemuda itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha! Aku mendengar nama besar Thian-liong-pang sebagai perkumpulan yang disegani dan ditakuti, yang mempunyai cabang di seluruh negeri, yang dipimpin oleh orang-orang sakti. Akan tetapi ternyata kini orang-orangnya hanya pengecut-pengecut yang suka menyerang seorang gadis dengan curang....”
“Eh, manusia berandalan! Diam kau! Ini bukan urusanmu!” Kwi Lan membentak dan melotot kepada pemuda itu.
Si Pemuda masih tertawa-tawa, akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak dan wajahnya memperlihatkan sikap kaget ketika pemuda itu melihat betapa dua orang itu menggunakan kesempatan selagi Kwi Lan menoleh dan bicara kepadanya untuk menyerang dengan senjata rahasia mereka. Pemuda itu menjadi pucat karena maklum betapa hebatnya serangan itu dan betapa ia sendiri yang berdiri jauh tidak sempat mencegah serangan ini. Akan tetapi wajah yang kaget itu berubah girang dan sinar matanya menyorotkan kekaguman ketika ia mendengar pekik kesakitan kedua orang anggota Thian-liong-pang itu.
Si Mata Juling roboh dan tewas seketika karena pelipis dan dadanya dihantam senjata rahasianya sendiri, sedangkan si Brewok roboh kesakitan akan tetapi segera melompat bangun kembali karena hanya pahanya yang terluka oleh senjata rahasianya sendiri pula. Ia berdiri dengan mata terbelalak kagum dan heran.
Memang luar biasa sekali caranya gadis itu menghadapi serangan senjata rahasia tadi. Biar pun sedang menengok ke belakang, namun Kwi Lan tahu akan serangan senjata rahasia. Bahkan tanpa menoleh lagi ia menggerakkan kedua tangannya, menyambar senjata rahasia si Juling yang datang lebih dulu ke arah pelipis dan dada, kemudian secepat kilat ia mengembalikan dua senjata itu ke arah pemiliknya, tepat mengenai pelipis dan dada! Ada pun peluru bintang yang dilepas si Brewok hanya mengarah pahanya, itu pun tidak tepat di tengah-tengah, maka Kwi Lan juga membalikkan senjata rahasia itu tepat mengenai pinggir paha si Brewok yang mendatangkan luka daging!
Sambil meringis menahan sakit, si Brewok menjura kepada Kwi Lan. “Benar hebat dan mengagumkan. Saya mengaku kalah dan kematian Sute-ku adalah karena tidak hati-hatinya. Mohon tanya, siapakah nama Nona yang gagah?”
Kwi Lan sudah menggerakkan bibir hendak mengaku, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu berkata, “Eh, apakah matamu sudah buta? Terang Nona ini menggunakan nama Mutiara Hitam, engkau masih bertanya-tanya lagi?” Sambil berkata demikian, pemuda itu sekali menggerakkan kaki tubuhnya sudah melayang dan hinggap di dekat Kwi Lan seperti gerakan seekor burung ringannya.
Si Brewok memandang kagum dan tersenyum mendengar kata-kata itu. Ia menduga bahwa gadis ini memakai nama julukan Mutiara Hitam karena gagang pedangnya terhias sebutir mutiara hitam yang besar. Ia lalu menjura kepada pemuda itu dan bertanya, “Terima kasih atas penjelasan Tuan Muda. Bolehkah saya mengetahui nama Kongcu?”
“Namanya Si Berandal, apa kalian belum tahu?” Suara ini keluar dari mulut Kwi Lan yang hendak membalas pemuda itu.
Akan tetapi si Berandal hanya tertawa, lalu berkata kepada anggota Thian-liong-pang itu. “Kau ini manusia tidak tahu diri berani main-main di depan Mutiara Hitam dan Berandal, sungguh sudah bosan hidup!”
“Mohon Ji-wi (Tuan Berdua) sudi memaafkan. Karena tidak mengenal maka kami telah berlaku kurang hormat. Harap Ji-wi suka memandang perkumpulan dan ketua kami memberi maaf kepada saya.”
“Kalau kami tidak memaafkan, apa kau kira akan masih tinggal hidup?” si Berandal bersombong. “Hayo ceritakan siapa engkau dan apa urusan Thian-liong-pang dengan pengemis-pengemis itu serta mengapa pula terjadi pertandingan dengan pengemis-pengemis Khong-sim Kai-pang? Dan mengapa pula nama Bu-tek Siu-lan tadi kudengar disebut Ciangbujin oleh pengemis pendek itu?”
“Saya bernama Ouw Kiu. Seperti semua pimpinan dan petugas Thian-liong-pang saya taat dan tunduk kepada perintah atasan. Saya dan Sute Ouw Lun itu mendapat tugas untuk menyampaikan undangan kepada para pimpinan Hek-coa Kai-pang untuk menghadiri pengangkatan ketua baru Thian-liong-pang pertengahan bulan depan. Ketika hendak kembali ke Yen-an, di sini kami bertemu dengan tiga orang anggota Hek-coa Kai-pang yang berhadapan dengan empat orang Khong-sim Kai-pang. Tentu saja kami membantu Hek-coa Kai-pang dan salah mengira bahwa Ji-wi adalah teman-teman anggota Khong-sim Kai-pang.”
“Dan tentang Bu-tek Siu-lam?” pemuda itu mendesak.
Ouw Kiu tidak menjawab, wajahnya pucat.
“Ah, urusan begitu saja mengapa mesti banyak tanya lagi?” Kwi Lan mencela. “Si badut Bu-tek Siu-lam itu sudah jelas menjadi cukong dunia pengemis golongan hitam! Ingin aku bertemu dengan badut itu untuk memberi hajaran agar ia kapok dan tidak membiarkan anak buahnya bermain curang!”
Ouw Kiu makin pucat. “Saya... saya tidak mempunyai cukup harga untuk menyebut-nyebut nama besar beliau, hanya saya mengerti bahwa beliau merupakan seorang tokoh besar yang amat dihormati Thian-liong-pang. Suaranya agak gemetar dan matanya lirak-lirik ke kanan kiri penuh kekhawatiran.
“Sudah, pergilah dan bawa mayat temanmu. Mengingat Thian-liong-pang kami memaafkanmu dan bulan depan kalau tiada halangan, kami akan datang menonton keramaian di Yen-an.”
Ouw Kiu menjura mengucapkan terima kasih, kemudian menyambar mayat sute-nya dan pergi dari situ dengan langkah terpincang-pincang. Kwi Lan membalikkan tubuh terus lari pergi pula dari tempat itu. Akan tetapi belum jauh ia pergi, ia mendengar suara orang berlari di belakangnya. Ketika melirik dan melihat bahwa yang mengikutinya adalah pemuda itu, Kwi Lan lalu mengerahkan ginkang-nya dan berlari makin cepat.
Setelah lari agak jauh, ia melirik kebelakang. Kiranya pemuda itu masih saja mengikuti di belakangnya, hanya terpisah tiga meter! Kwi Lan penasaran dan mengerahkan seluruh tenaganya, lari secepat terbang. Pemuda itu pun mengerahkan tenaganya. Beberapa lama mereka berlari-larian cepat sampai puluhan li jauhnya. Akhirnya terdengar pemuda itu berkata dengan napas memburu.
“Waduh... berat nih! Eh, Mutiara Hitam, apakah engkau takut padaku maka melarikan diri?”
Kalau pemuda itu mengeluarkan ucapan lain, agaknya Kwi Lan tidak akan mempedulikannya dan akan berlari terus. Akan tetapi dikatakan takut merupakan pantangan besar baginya, maka cepat ia mengerem larinya, berhenti dengan tiba-tiba sehingga pemuda yang membalap di belakangnya itu hampir saja menubruknya kalau tidak cepat-cepat membuang diri ke samping dan berjungkir balik dua kali. Gerakan pemuda ini amat lucu, akan tetapi juga indah dan membuktikan kegesitannya yang luar biasa.
“Takut? Siapa bilang aku takut padamu?” Kwi Lan bertanya, memandang tajam dan mengangkat muka membusungkan dada, sikapnya menantang.
“Tentu saja aku yang bilang...!” Pemuda itu berhenti dan mengatur napasnya yang agak terengah-engah. “Wah, bisa putus napasku kalau diajak balapan lari gila-gilaan seperti tadi! Aku tidak bilang kau takut, aku tadi bertanya apakah engkau takut kepadaku.”
“Aku tidak takut! Apamu yang kutakuti?” Kwi Lan membentak.
“Kalau tidak takut kenapa lari seperti dikejar setan? Aku... aku mau bicara denganmu, aku ingin jalan bersama, kenapa kau melarikan diri?”
“Aku lari, atau jalan, atau tidur, bukan urusanmu. Aku tidak ada urusan denganmu, aku tidak ingin berjalan bersama, tidak ingin bicara denganmu.”
“Wah-wah-wah, kenapa begini galak? Sungguh tidak berbudi....”
“Aku tidak berhutang budi kepadamu! Kau mau apa?”
Pemuda itu menyeringai dan senyumnya yang lebar itu lucu sekali, seperti senyum orang mengunyah garam, sehingga diam-diam Kwi Lan menjadi geli.
“Kau memang tidak berhutang budi kepadaku. Akan tetapi engkau hutang kacang! Hayo menyangkallah kalau mampu! Bukankah kau berhutang kacang asin garing yang gurih dan wangi, tidak satu, tidak pula dua atau tiga, melainkan tiga genggam yang isinya banyak!”
“Hanya dua genggam!” bentak Kwi Lan.
“Dua genggam banyak juga namanya. Lebih dua puluh! Hayo kau bayar kembali hutangmu itu, baru di antara kita tidak ada sangkut paut lagi!”
Kwi Lan tertegun dan melengak. Ia menoleh kekanan kekiri, tak berdaya. Dari mana ia bisa mendapatkan kacang asin di dalam hutan itu? Dan yang sudah masuk perutnya pun tidak mungkin dikeluarkan lagi. Betapa pun juga, ia kalah benar. Memang tak dapat ia menyangkal bahwa ia tadi telah makan dua genggam kacang asin pemuda itu. Baru sekarang Kwi Lan merasa kalah debat.
Biasanya menghadapi suheng-nya, Suma Kiat, ia selalu menang berdebat sampai suheng-nya kewalahan. Akan tetapi sekarang ia benar-benar bingung, tak tahu harus melawan secara bagaimana. Akhirnya Kwi Lan menggerakkan kepala keras-keras untuk menyingkap gumpalan rambut yang jatuh ke mukanya, sebuah kebiasaan atau gerakan yang biasa ia lakukan tanpa sadar apa bila ia merasa malu, bingung atau marah.
“Kau memang manusia berandalan, ugal-ugalan, tidak tahu malu menyebut-nyebut urusan dua genggam kacang asin yang tidak ada harganya! Cih!”
“Kau yang sombong, galak, tidak menghargai orang. Diajak jalan bersama dan bicara saja tidak sudi, seperti tidak ingat saja betapa tadi di atas pohon ikut duduk dan makan kacang...,“ pemuda itu merengut.
“Sudahlah! Betul aku telah berhutang dua genggam kacang padamu. Nah, sekarang apa yang hendak kau bicarakan.”
Wajah pemuda itu sekaligus berseri kembali seperti biasa, sepasang matanya bersinar-sinar penuh keriangan. Memang wajah yang amat tampan dan melihat wajah ini, sukarlah bagi Kwi Lan untuk mempertahankan kedongkolan hatinya. Wajah itu amat segar dan riang, tidak hanya mata dan bibir yang selalu membayangkan senyum gembira, bahkan alis yang tebal itu bergerak-gerak lucu, bulu mata ikut bergetar seperti menari-nari. Wajah yang tampan, wajah yang lucu dan gembira! Seperti awan tipis disapu angin, lenyaplah rasa panas di hati Kwi Lan dan gadis ini lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol, membereskan rambutnya dan mengusap peluh di leher dengan ujung lengan baju.
“Gerah, ya? Memang hawanya panas, apa lagi kalau dipakai lari-lari cepat, bisa mandi keringat kita.” Tangannya merogoh dalam baju dan ketika ditarik ke luar, ternyata ia telah memegang sebuah guci panjang berisi air jernih dan dingin. Gerakannya cepat dan kelihatannya seperti seorang pelawak main sulap saja. Dibukanya tutup guci dan dengan tersenyum ia berkata,
“Isinya air, jernih dan bersih. Guci ini bukan sembarang guci, melainkan guci wasiat dan air yang disimpan di sini, makin lama tidak makin kotor malah makin jernih, berbau harum dan timbul rasa manis, juga menjadi dingin segar. Minumlah, Nona.” Ia menyodorkan guci itu kepada Kwi Lan.
Air yang tampak jernih berkilau, muka yang tampak riang dan menawarkan dengan penuh kejujuran, hawa yang panas, semua ini membuat Kwi Lan bernafsu sekali untuk meneguk air segar itu. Tanpa berkata apa-apa ia menerima guci, mendekatkan bibir guci yang halus kepada bibirnya sendiri yang lebih halus lagi, akan tetapi pada saat itu pandang mata mereka bentrok dan cepat-cepat Kwi Lan menurunkan lagi guci air itu ke bawah, tidak jadi minum.....
selanjutnya >>>>>>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)