SULING EMAS : JILID-08
"Hayo lekas ceritakan, rencana jahat apa yang dilakukan komplotan
Phang-ciangkun untuk mencelakakan Kam Si Ek! Sekali kau membohong,
pedangku akan memenggal lehermu!"
Jilid 9>>
Merasa betapa pedang yang dingin menempel di tengkuknya, dengan suara
tergagap-gagap perwira itu berkata, "Ampunkan saya, Lihiap (Pendekar
Wanita), saya... saya hanya orang bawahan, tidak ikut-ikut...! Yang
mengatur semua adalah Phang-ciangkun dan teman-temannya di Shan-si.
Karena iri terhadap nama besar dan kekuasaan Kam-goanswe, maka
Phang-ciangkun dan kawan-kawannya bermaksud untuk membuat jenderal itu
jatuh. Beberapa hari yang lalu Gubernur memanggil beberapa komandan
pasukan dan pembesar di Shan-si untuk diajak berunding mengenai urusan
negara. Kesempatan ini dipergunakan Phang-ciangkun yang mengundang
Kam-goanswe ke ibu kota. Akan tetapi di sana ia telah bersekongkol
dengan teman-temannya untuk menangkap Kam-goanswe dan melaporkan kepada
Gubernur bahwa Kam-goanswe tidak mau menghadap dan malah merencanakan
pemberontakan."
"Hemm, keji!" Lu Sian makin keras menempelkan pedangnya. “Hayo katakan, di mana Kam Si Ek akan di tahan?!"
"Saya... saya tidak tahu betul, hanya... hanya mendengar dari Phang-ciangkun bahwa pencegatan akan dilakukan di kota Poki dan mereka bermarkas dalam Kelenteng Tee-kong-bio di kota itu... dan... ahh!!" jerit terakhir ini mengiringkan nyawanya yang melayang ketika pedang Toa-hong-kiam memisahkan kepala dari badannya.
Lu Sian berlari pulang ke rumah penginapan, akan tetapi alangkah marahnya ketika mendapat kenyataan bahwa pasukan tentara yang tadinya mengejarnya telah mendatangi rumah penginapan, merampas kuda dan pakaiannya, bahkan memukuli si pemilik rumah penginapan dan merampas harta benda orang itu pula.
Penduduk sudah mendengar akan kehebohan di dalam benteng, tentang terbunuhnya ciangkun baru. Mereka merasa khawatir sekali karena Jenderal Kam sudah pergi, dan diam-diam mereka mengharapkan bantuan Lu Sian. Maka ketika gadis ini muncul, mereka itu, terutama sekali orang-orang tua para gadis yang terculik ke dalam benteng, berlutut mohon bantuan Lu Sian untuk membebaskan gadis-gadis itu. Tanpa menjawab Lu Sian lenyap di dalam gelap. Dengan hati panas ia kembali ke benteng!
Tak lama kemudian, menjelang tengah malam, kembali timbul geger di dalam benteng. Kandang kuda kebakaran, belasan orang penjaga tewas dan kuda yang paling baik, tunggangan Phang-ciangkun sendiri, seekor kuda pilihan, telah lenyap! Akan tetapi, Lu Sian sama sekali tidak peduli tentang nasib gadis-gadis yang tertawan. Memang demikianlah watak Liu Lu Sian. Ia terlalu mementingkan diri sendiri, dan hanya mau turun tangan mati-matian untuk membela kepentingan sendiri atau kepentingan orang yang ia cinta. Urusan orang lain ia sama sekali tidak peduli.
Kota Poki adalah sebuah kota di propinsi Shan-si, kota yang cukup besar dan ramai. Tembok kotanya tinggi dan keadaan kota itu cukup subur dan makmur. Selain letaknya di kaki gunung Cin-ling-san, juga di sebelah selatan kota ini mengalir Sungai Wei-ho yang airnya cukup untuk keperluan para petani di daerah itu. Pintu-pintu gerbang kota selalu terbuka lebar dan orang-orang hilir mudik keluar masuk pintu gerbang, berikut-kereta-kereta yang membawa banyak dagangan. Poki juga dikenal sebagai kota pelabuhan sungai sehingga banyak barang mengalir masuk atau keluar melalui jalan sungai, menambah kesibukan para pedagang di dalam kota.
Lu Sian tidak mau memasuki kota itu dengan kudanya. Selain kuda yang ia tunggangi adalah kuda milik Phang-ciangkun yang mungkin akan dikenal orang, juga kedatangannya ke kota itu adalah untuk menyelidiki Kam Si Ek. Ia menitipkan kudanya pada seorang petani yang tinggal di dusun sebelah selatan kota, kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Sebuah perahu menyeberangkannya ke kota Poki dan ia memasuki kota yang ramai itu sambil berjalan perlahan.
Akan tetapi, ke mana pun juga Liu Lu Sian pergi dan di mana pun ia berada, selalu gadis ini menjadi perhatian orang. Tak lama sesudah ia masuk kota Poki, segera ia menjadi pusat perhatian, terutama laki-laki yang terpesona oleh kecantikannya yang luar biasa. Lu Sian tidak pedulikan mereka ini sungguh pun keadaan macam ini selalu mendatangkan rasa bangga di dalam hatinya. Yakin akan kecantikannya yang membikin semua orang laki-laki menoleh untuk mengaguminya, Lu Sian berjalan dengan langkah cepat, lalu masuk ke dalam rumah penginapan yang cukup besar, memesan kamar. Setelah berada di rumah penginapan, bebaslah ia dari pada perhatian orang di jalan, sungguh pun beberapa orang tamu penginapan dan para pelayan tetap saja menatapnya dengan pandang mata serigala jantan kelaparan!
Karena tidak ingin menarik perhatian banyak orang, Lu Sian memanggil seorang pelayan mendekati kamarnya, seorang pelayan yang sudah setengah tua dan berwajah jujur.
"Paman pelayan, tahukah kau di mana letaknya Kelenteng Tee-kong bio di kota ini? Aku hendak pergi bersembahyang ke sana."
Muka yang membayangkan kejujuran itu berkerut-kerut. Si Pelayan menengok ke kiri kanan lebih dulu, baru menjawab dengan suara perlahan. "Nona, kalau hendak bersembahyang, banyak kelenteng-kelenteng ternama di kota ini. Mengapa harus ke sana? Lebih baik ke Kwan-im-bio di sebelah timur jembatan besar, atau ke Hai-ong-bio di dekat sungai atau...."
"Tidak, aku hanya ingin bersembahyang ke Tee-kong-bio," jawab Lu Sian yang sudah menduga bahwa agaknya Tee-kong-bio merupakan tempat yang tidak menyenangkan hati pelayan itu, maka cepat disambungnya. “Aku hendak bersembahyang membayar kaul, maka harus ke Tee-kong-bio. Di manakah letaknya kelenteng itu?"
Memang tentu saja tidak sukar mencari kelenteng di dalam kota sebesar Poki saja, akan tetapi dari pada bertanya-tanya orang di jalan dan menarik perhatian, lebih baik kalau sudah mengetahui tempatnya sehingga dapat langsung ke sana.
"Memang, Siocia (Nona), bukan sekali-kali saya hendak mencampuri urusan Nona. Akan tetapi sungguh-sungguh keadaan kelenteng itu tidak cocok untuk didatangi seorang tamu seperti Nona. Kelenteng itu selalu sunyi, tak pernah ada pengunjungnya, tidak terawat sehingga hampir merupakan sebuah kelenteng kuno yang sudah tak terpakai lagi. Yang datang ke situ hanyalah orang-orang gelandangan, hwesio-hwesio yang suka minta derma paksa dan... ah, sudahlah, saya sudah bercerita cukup. Kelenteng itu letaknya di sebelah utara kota, dekat pintu gerbang, tempat yang sunyi. Sebaiknya Nona jangan pergi ke sana...."
"Cukup, aku dapat menjaga diri. Terima kasih atas keteranganmu." Kata Lu Sian yang merasa tak sabar lagi mendengar ucapan si pelayan. Pelayan itu melihat sinar mata marah dari Lu Sian, maka ia membalikkan tubuhnya dan pergi sambil mengangkat pundak.
Karena amat menguatirkan nasib Kam Si Ek, siang itu juga Lu Sian ke luar dari rumah penginapan. Ia hanya membawa pedangnya yang disarungkan di punggung. Kembali banyak pasang mata laki-laki menoleh ke arahnya, bahkan banyak yang berhenti berjalan dan mengikutinya dengan pandang mata kagum. Akan tetapi Lu Sian tidak menghiraukan mereka, mulutnya memperlihatkan senyum mengejek.
Ketika Lu Sian lewat di jalan yang menuju ke utara, jalan yang agak sunyi, ia melihat sekelompok orang muda terdiri dari lima orang yang tadinya bercakap-cakap di pinggir jalan, saling berbisik ketika melihatnya, kemudian mereka itu sengaja berdiri di tengah jalan sikap yang menjemukan. Melihat mereka itu tidak takut biar pun ia membawa-bawa pedang, agaknya mereka itu terdiri dari orang-orang yang mengandalkan diri sendiri, agaknya mereka tahu sedikit akan ilmu silat maka hendak menggodanya.
Lu Sian tidak mau membuang banyak waktu dengan urusan-urusan kecil. Ia menghadapi urusan besar hendak mencari dan menolong Kam Si Ek, apa gunanya melayani segala macam laki-laki kurang ajar seperti mereka itu! Ia mengerahkan lweekang-nya dan terus melangkah dengan tindakan gagah, sama sekali tidak melirik ke arah mereka.
Sebaliknya, lima orang laki-laki itu membuka mata lebar, mengeluarkan suara tak menentu dan seperti dikomando mereka lalu menyingkir ke pinggir jalan dengan mata masih melotot lebar dan mulut ternganga. Siapa orangnya yang tak menjadi gentar melihat seorang gadis cantik yang berpedang di punggungnya, berjalan seenaknya akan tetapi bekas telapak kakinya membuat tanah yang diinjaknya ambles sampai sejengkal dalamnya? Seekor gajah pun takkan meninggalkan tapak kaki seperti itu di atas jalan yang banyak batunya!
Lu Sian mempercepat jalannya ketika kelenteng itu sudah tampak dari jauh. Genteng-gentengnya banyak yang pecah, sepasang ukiran naga di atas genteng kelenteng itu pun sudah luntur warnanya, bahkan mustika naga di tengah yang diperebutkan dua ekor naga itu sudah pecah-pecah pula. Tembok bangunan kelenteng juga sudah tampak batanya. Agaknya kelenteng Tee-kong-bio ini dahulunya besar juga, akan tetapi karena tidak terawat, maka menjadi amat buruk.
Pekarangannya luas, bahkan di belakangnya juga terdapat kebun yang luas. Bangunannya besar, akan tetapi di depan kelenteng sudah tidak tampak asap hio (dupa) mengebul seperti sudah menjadi tanda pada tiap rumah kelenteng. Namun di tembok besar masih terdapat ukiran dengan huruf-huruf besar yang juga sudah lenyap warnanya, yaitu huruf ‘Tee Kong Bio’ (Kelenteng Malaikat Bumi).
Dilihat dari depan, kelenteng itu demikian sunyi seakan-akan tidak ada penghuninya. Pintu depannya yang terdiri dari sepasang daun pintu amat besar dan tebal juga tertutup. Tanpa ragu-ragu lagi Lu Sian memasuki pekarangan dan sesampainya di depan pintu, ia menggunakan tangannya mendorong. Terdengar suara berkerit seperti biasa bunyi daun pintu yang lama tidak dibuka tutup.
Lu Sian menanti sebentar, akan tetapi suasana tetap lengang, tidak ada sambutan pada suara daun pintu itu. Kiranya hanya daun pintu yang terdepan itu saja yang terkunci. Dari luar kini tampak jendela-jendela dan daun-daun pintu sebelah dalam terbuka belaka, ada yang terbuka separuh ada yang terbuka seluruhnya. Akan tetapi jelas bahwa tempat ini pernah dikunjungi orang-orang, malah ada bekas telapak kaki yang masih baru pada debu di lantai.
Keadaan di dalamnya sama dengan keadaan di luar, penuh debu dan kotor tidak terpelihara. Di sana-sini tampak kertas-kertas butut, ada pula tikar-tikar butut. Meja toapekong (arca kelenteng) tidak tertutup kain lagi, dan tempat toapekong juga kosong. Sisa barang yang masih tetap di tempatnya hanya arca-arca yang sudah hampir rusak, singa-singaan batu yang tiada harganya. Barang-barang lain yang berharga tidak tampak lagi.
Dengan penuh ketabahan Lu Sian melangkah masuk. Ruangan tengah juga kosong, tidak tampak manusia. Dengan hati-hati ia melangkah lagi. Terdengar suara gerakan di sebelah kelenteng. Ia waspada dan mencabut pedangnya dengan tangan kanan, lalu memasuki sebuah kamar di ruangan tengah itu. Di atas meja yang terbuat dari pada bata tampak sebuah pot kembang di mana tumbuh kembang yang masih segar, dan di sudut ruangan terdapat sebuah arca singa. Selain itu kosong, tidak tampak apa-apa lagi. Lu Sian melangkah di ambang pintu yang tak berdaun lagi, memasuki kamar.
"Wer-wer-wer......!!" tiga buah benda melayang cepat mengarah leher dan dadanya.
Lu Sian cepat miringkan tubuhnya dan tiga batang pisau menancap pada dinding di belakangnya. "Hui-to (Golok Terbang)!" Lu Sian berseru kaget karena maklum bahwa hanya orang-orang pandai saja yang dapat melontarkan golok terbang sekaligus tiga buah secara demikian kuat. Ia maklum menghadapi lawan tangguh.
"Hanya pengecut saja yang menyerang orang secara menggelap!" bentaknya marah.
Dari arah dalam terdengar orang tertawa disusul jawaban, "Hanya pengecut saja yang memasuki tempat orang tanpa permisi!"
Merah sepasang pipi Lu Sian. Ia maklum akan kebenaran kata-kata itu. Akan tetapi sebagai seorang yang wataknya tidak mau kalah, ia membentak, "Kalau kau bukan pengecut, keluarlah!"
Terdengar daun pintu berkerit dan muncullah seorang laki-laki yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Lu Sian. Ia mengira bahwa penyerangnya tentu seorang hwesio yang biasanya mendiami kelenteng, atau orang jahat yang telah menculik Kam Si Ek. Akan tetapi yang muncul adalah seorang pemuda yang tampan, berkepala kecil bertopi batok. Wajahnya yang muda dan tampan membayangkan kelicikan, terutama pada mulutnya yang tersenyum mengejek dan matanya yang seperti mata burung hantu. Juga pemuda itu tercengang ketika bertemu dengan Lu Sian, benar-benar tercengang sampai memandang dengan melongo.
"Aduhai, Kwam Im Pouwsat (Dewi Welas Asih) yang cantik jelita agaknya yang datang berkunjung..!" katanya, masih terpesona.
Sebaliknya, Lu Sian marah dan mendongkol sekali. "Cih, tak tahu malu! Mengaku-aku ini tempat kediamanmu sedangkan tempat ini adalah sebuah kelenteng tua yang sudah kosong dan kau sama sekali bukan pendeta!"
Orang itu segera menjura. Sikapnya manis dibuat-buat, matanya tetap mengincar wajah cantik dan mulutnya tersenyum. "Bukan, Nona. Sama sekali aku bukan pendeta, melainkan seorang pemuda berdarah bangsa Khitan yang gagah berani, namaku Bayisan...."
"Tak peduli namamu anjing atau kucing aku tidak sudi mengenalnya! Yang jelas, serangan gelapmu tadi tak mungkin dapat kudiamkan saja tanpa terbalas!" Sambil berkata demikian Lu Sian melangkah maju, pedangnya siap menerjang.
Akan tetapi pemuda itu tetap bersikap tenang, bahkan tertawa lebar. "Aku tadi tidak tahu bahwa yang datang adalah seorang dara perkasa yang cantik jelita, kalau aku tahu, mana aku tega menyerang dengan hui-to? Untung kau demikian pandai mengelak, kalau tidak... ah, sayang sekali kalau mukamu sampai lecet."
"Keparat bermulut busuk!" Lu Sian marah dan pedangnya bergerak mengeluarkan suara berdesing.
Bayisan cepat meloncat mundur dengan wajah kaget sekali. Pedang itu menyambar hebat, menyerempet meja batu yang menjadi terbelah dua seperti agar-agar terbabat pisau tajam saja!
"Kau... kau... puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan! Kau puteri Ketua Beng-kauw yang bernama Liu Lu Sian!"
Diam-diam Lu Sian terkejut. Begini hebatkah kepandaian orang asing ini sehingga melihat sekali gerakan pedangnya saja sudah dapat mengenalnya? Ia terkejut dan heran, terpaksa menunda serangannya dan membentak. "Hemm, kau sudah tahu siapa aku, tidak lekas berlutut?!"
Akan tetapi Bayisan malah tertawa girang sampai terbahak-bahak. "Bagus! Bagus sekali! Karena terhalang urusan penting, aku tidak sempat datang mengunjungi pesta Beng-kauw dan mencoba untuk memetik bunga dewata dari Beng-kauw! Sekarang bertemu di sini, bukankah ini jodoh namanya? Sudah lama aku mendengar bahwa puteri Beng-kauw memiliki ilmu kepandaian hebat, apalagi ilmu pedangnya, dan memiliki kecantikan yang tiada bandingya di dunia. Sudah terlalu banyak aku melihat wanita cantik, akan tetapi tidak ada seorang pun yang boleh dikata tiada bandingnya. Akan tetapi melihat kau, benar-benar tak pernah aku melihat lain wanita yang dapat menyamaimu, maka terang bahwa kau tentulah Liu Lu Sian! Aha, kebetulan sekali!"
Akan tetapi ucapan ini sudah membuat Lu Sian tak dapat menahan kemarahannya lagi. Juga ia menjadi lega karena ternyata dari ucapannya itu bahwa Bayisan bukan mengenalnya dari sekali gerakan pedangnya tadi, melainkan dari dugaan tentang ilmu pedang dan kecantikannya. Maka sambil berseru keras ia menggerakkan pedangnya lagi sambil melangkah maju dan menusukkan pedangnya ke arah dada lawan.
Bayisan cepat mengelak, ia miringkan badan ke bawah. Akan tetapi pedang Lu Sian yang bergerak aneh sudah mengejar dengan lanjutan serangan membabat ke arah leher. Cepatnya bukan main! Bayisan terkejut, cepat ia menggulingkan diri ke bawah dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, sambil berguling ia melepaskan sebatang hui-to ke arah lawan.
"Tranggg!" Lu Sian menangkis hui-to lawan, dan sekarang Bayisan sudah berdiri menghadapinya dengan pedang di tangan sambil tertawa.
"Hebat ilmu pedangmu dan hebat kecantikanmu! Kau patut menjadi isteri Panglima Bayisan, mari juwitaku, mari ikut aku ke Khitan. Kita berdua akan dapat merebut kekuasaan di sana dan hidup bahagi...."
"Tranggg!" terpaksa Bayisan menangkis karena cepat sekali pedang Lu Sian sudah menyambar, membacok mulutnya sehingga terpaksa ia menghentikan kata-katanya.
Akan tetapi selanjutnya ia tidak berani membuka mulut lagi karena Lu Sian sudah menyerangnya secara bertubi-tubi. Pedang nona ini berkelebatan laksana naga mengamuk dengan gerakan-gerakan aneh dan ganas. Inilah Ilmu Pedang Toa-hong-kiam (Ilmu Pedang Angin Badai) yang dahsyat. Angin dari pedang ini menggerakkan daun-daun pohon yang tumbuh di pot besar di sudut kiri kamar, malah beberapa helai daun rontok karenanya. Ujung pedangnya berubah banyak sekali, akan tetapi dengan jelas Bayisan melihat ujung yang asli menyerang ganas ke arah perutnya sedangkan ujung pedang lain hanya bayangan karena cepatnya pedang bergerak.
Tentu saja pemuda Khitan murid Ban-pi Lo-cia ini tidak mau dirinya disate oleh pedang lawan. Cepat ia mengubah kuda-kuda kaki menjadi miring sambil menghantamkan pedangnya dari kiri ke kanan. Kembali terdengar suara nyaring bertemunya kedua pedang. Sebelum Lu Sian sempat menyerang kembali, Bayisan sudah melanjutkan pedangnya menusuk ke arah dada kiri!
Lu Sian menggerakkan lengan, pedangnya sudah terputar ke kanan dan tepat sekali menangkis. Namun Bayisan hanya menggertak, sebelum pedang tertangkis ia sudah menarik kembali pedangnya, membuat gerakan lengkung dan membabat ke arah kaki, sedangkan tubuhnya mendoyong ke depan dengan tangan kiri terbuka jarinya mencengkram ke arah dada. Gerakan yang dahsyat, berbahaya, dan juga kurang ajar!
"Aiihhh!!" Seruan yang keluar dari mulut Lu Sian ini bukan seruan biasa, melainkan pekik yang dilakukan dengan pengerahan khikang sehingga kalau saja Bayisan tidak kuat sinkang-nya, tentu akan roboh karena lumpuh terserang pekik luar biasa ini!
Ternyata, seperti juga Bayisan, gadis puteri Beng-kauwcu ini sudah mempelajari mempergunakan jerit yang mengandung tenaga khikang untuk merobohkan lawan. Melihat lawannya tidak terpengaruh oleh pekikannya dan serangan berbahaya itu terus dilanjutkan, Lu Sian meloncat ke atas, membiarkan pedang lawan membabat angin di bawah kedua kakinya sedangkan pedangnya sendiri dengan kecepatan kilat lalu berkelebat membabat tangan kiri lawan yang hendak berbuat kurang ajar tadi.
Di sini terbukti kehebatan Lu Sian yang dapat mengubah kedudukan terserang menjadi penyerang. Namun lawannya juga seorang ahli karena cepat-cepat dapat menarik tangan kirinya sedangkan pedang yang membabat angin itu sudah cepat menusuk tepat ke arah hidung Lu Sian selagi gadis ini turun kembali ke atas lantai. Serangan ini terlalu mudah bagi Lu Sian dan dielakkannya.
Bayisan mempergunakan ilmu pedang gaya barat, kembali pedangnya membabat kedua kaki, dan begitu membabat tubuhnya mendoyong ke belakang sehingga tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk membarengi dengan serangan balasan. Tiap kali Lu Sian meloncat, pedang Bayisan sudah terputar dan menyambut lagi kedua kaki yang turun!
“Menjemukan!" Lu Sian berseru keras.
Tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, hampir dua meter tingginya, dan dari atas pedangnya langsung membabat leher lawan yang tubuhnya mendoyong ke belakang. Bagaikan seekor kura-kura menyembunyikan kepala ke dalam leher, Bayisan menarik lehernya ke bawah dan dengan hati ngeri ia mendengar mendesingnya pedang tepat di atas tengkuknya. Alangkah kagetnya ketika ia melihat Lu Sian tidak turun ke bawah, melainkan malah meloncat dan kini tepat berada di atas kepalanya, kedua kakinya berbareng melakukan gerakan menendang ke bawah ke arah ubun-ubun dan lehernya!
"Lihai...!" serunya, dan kembali ia menggelinding ke atas lantai, tidak peduli bahwa debu tidak saja mengotori bajunya, juga mukanya terkena debu sehingga muka yang tampan menjadi coreng-moreng! Akan tetapi ia selamat dari pada bahaya maut dan kini mereka sudah saling berhadapan lagi.
"Perempuan liar! Kau tidak tahu dicinta orang! Baik, aku akan menggunakan kekerasan menangkapmu. Kalau kau masih hidup dalam pertempuran ini, lihat betapa kau akan menjadi permainanku sebelum kau kubunuh..."
"Tutup mulutmu!"
Lu Sian meloncat ke depan dan kini ia menggunakan jurus Pat-mo Kiam-hoat yang paling lihai. Pedangnya tidak berdesing lagi, melainkan menyambar tanpa suara, hanya angin gerakan pedangnya terasa panas seperti mengandung api. Pedang itu membabat lagi ke arah mulut, mulut pemuda yang kurang ajar dan amat dibencinya. Ia sudah membayangkan akan merobek mulut itu dengan pedangnya.
Akan tetapi Bayisan juga sudah marah dan mengerahkan seluruh kepandaiannya yang ia terima dari Ban-pi Lo-cia. Pedangnya membuat gerakan menyilang, pertama menangkis dan kedua menekan dari atas dengan maksud menindih pedang lawan untuk dapat menggunakan tangan kirinya mengirim pukulan. Namun perhitungannya meleset. Pat-mo Kiam-hoat merupakan ilmu pedang hitam yang penuh dengan akal muslihat, mana mudah ditindih? Bagaikan belut licinnya, pedang itu sudah melesat ke luar dari tenaga tindihannya dan kini membacok ke arah paha kanannya. Bayisan melangkah mundur, dan membarengi pukulan ke arah pusar, sedangkan tangan kirinya kini merupakan senjata hebat dengan dorongan ke depan, mengarah muka dengan pengerahan tenaga sinkang.
Dengan gerakan yang lemas dan indah Lu Sian menekuk tubuh ke kiri tanpa mengubah kedudukan kaki sehingga kepalanya hampir menempel tanah, kemudian pedangnya dari arah kiri itu melesat ke depan hendak merobek perut!
"Trang, trang!" dua kali pedang bertemu karena begitu ditangkis pedang Lu Sian sudah bergerak lagi membacok pundak yang hanya dapat dihindarkan dengan tangkisan ke dua.
Serang-menyerang mati-matian terjadi, setiap tusukan dibalas bacokan dan demikian sebaliknya. Mereka berputaran di dalam ruangan itu, bertanding tanpa saksi. Ada kalanya tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka, ada kalanya mereka bertanding lambat dan bergerak berputar-putar, seperti dua ekor ayam berlaga.
Hampir seratus jurus mereka bertanding, peluh membasahi muka, namun belum ada yang terluka atau terdesak. Biar pun ilmu kepandaian mereka jauh berbeda sifatnya, juga berbeda sumber, namun ternyata tingkat mereka seimbang. Lu Sian kalah sedikit tenaganya, namun kekalahan ini tertutup oleh kelebihannya dalam kelincahan gerak.
Sebagai seorang pemuda mata keranjang yang sudah biasa menggoda dan merusak wanita, tentu saja Bayisan terpesona dan tergila-gila kepada Lu Sian yang memiliki kecantikan sukar dicari tanding. Namun kehebatan ilmu silat gadis ini membuat ia merasa penasaran sekali sehingga serangan-serangannya tidak lagi main-main dan lenyaplah keinginannya menawan hidup-hidup karena lawannya benar-benar berbahaya sekali. Kini ia tidak peduli lagi apakah ia akan dapat menawan hidup-hidup atau harus membunuh, pokoknya ia harus menang karena kalau ia kalah berarti kematian baginya! Mereka bertanding tanpa sebab tertentu, keduanya sudah melupakan urusan yang membuat mereka datang ke tempat itu.
Setelah lewat seratus jurus Liu Lu Sian maklum akan kemenangannya dalam ginkang. Cepat ia menggunakan keunggulan ini, mengerahkan ginkang-nya, menggerakkan tubuhnya secepat burung walet menyambar-nyambar, pedangnya berkelebat bagaikan kilat halilintar. Dengan campuran Toa-hong Kiam-hoat dan Pat-mo Kiam-hoat, ia dapat mendesak lawannya tanpa memberi kesempatan pedangnya beradu, karena terlalu sering beradu pedang berarti kerugian baginya karena ia kalah tenaga.
Bayisan mulai terdesak dan di dalam hati ia menyumpah-nyumpah. Namun tidaklah mudah bagi Lu Sian untuk mengalahkan lawan ini, lawan yang baru kali ini ia temui tanpa dapat menjatuhkannya dengan segera. Selain Kwee Seng baru kali ini ia bertemu tanding yang begini muda tapi begini tangguh, sehingga ia merasa penasaran sekali, penasaran dan marah sehingga ia tak akan berhenti sebelum dapat membinasakannya!
Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, pedangnya yang telah mengurung lawan, meluncur dari atas menusuk tengkuk Bayisan yang baru saja membalikkan tubuh karena melihat gadis itu tahu-tahu sudah bergerak cepat dan berada di belakangnya. Bayisan mengerti bahwa tengkuk lehernya berada dalam keadaan gawat, salah-salah bisa putus. Maka sambil membalik tadi ia cepat membabatkan pedang dengan setengah putaran melindungi tengkuk. Akan tetapi karena ia menangkis dengan badan setengah membalik, maka kali ini tenaganya tidak dapat dipergunakan sepenuhnya dan tidak berhasil menindih tenaga Lu Sian yang sebaliknya memang memperhitungkan hal ini dan telah mengerahkan tenaga sepenuhnya, menggetarkan pedang yang tersalur tenaga sinkang sehingga untuk beberapa detik kedua pedang saling menempel dan lekat!
Pada detik itu juga Lu Sian telah menggerakkan tangan kirinya dan dalam pandangan Bayisan, tangan kiri gadis itu seakan-akan berubah menjadi seekor ular karena gerakannya lenggak-lenggok macam ular akan tetapi tahu-tahu dua buah jari tangan itu telah mengancam sepasang biji matanya! Hebat sekali serangan Lu Sian kali ini, karena gerakan tubuhnya adalah berdasarkan Toa-hong-kun, gerakan pedangnya berdasarkan Pat-mo Kiam-hoat, sedangkan tangan kirinya ini mainkan gerakan Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti). Sekaligus dapat mainkan jurus-jurus campuran dari tiga macam ilmu silat tinggi, dapat dibayangkan kehebatannya.
"Ayaaaaa!!" Bayisan berseru keras saking kagetnya, mengerahkan tenaga untuk menarik pedang dan terus menggunakan tenaga tarikan itu untuk melempar tubuhnya ke belakang, bergulingan sampai beberapa meter dan baru berhenti setelah tubuhnya membentur dinding.
Akan tetapi pada saat ia melompat bangun, tangan kirinya bergerak dan sinar hitam menyambar cepat ke arah Lu Sian! Kiranya ketika menghindarkan diri dari serangan maut sambil bergulingan tadi, Bayisan sudah mengeluarkan senjata rahasianya dan begitu meloncat bangun telah membalas dengan senjata gelap ini. Memang hebat! Kali ini ia tidak menggunakan hui-to yang telah dua kali ia pergunakan tanpa hasil, maka kini ia menggunakan Jarum Racun Hitam (Hek-tok-ciam) yang pernah ia pergunakan terhadap Kwee Seng sehingga pemuda sakti itu terjungkal ke dalam jurang. Sekarang, saking jengkelnya menghadapi gadis jelita yang amat hebat ilmu kepandaiannya ini, Bayisan tidak segan-segan mempergunakan jarum racunnya.
Melihat sinar hitam dan desir angin, Lu Sian berseru marah. Dia sendiri adalah seorang ahli senjata rahasia jarum, tentu saja sekali melihat ia tahu benda apa yang menyambar itu. Tangan kirinya menyambar ikat pinggangnya dari sutera, dan sekali menggerakkan pergelangan tangan, ikat pinggang itu bergulung menjadi sinar kuning emas dan tergulunglah jarum-jarum hitam lawan menempel pada ujung ikat pinggang. Kemudian sekali ia menghentakkan tangan kirinya, jarum-jarum itu terbang ke arah Bayisan! Ini masih belum hebat, biar pun sudah membikin Bayisan berseru kagum dan kaget, karena gerakan kain dari tangan kiri Lu Sian menciptakan sinar hitam tertiup angin, menyambar ke arah Bayisan. Ternyata gadis ini pun mengeluarkan jarum hitamnya, selain mengembalikan senjata lawan, juga memberi ‘hidangan’ yang sama dan yang tidak kalah lezatnya!
"Aiiihhh, perempuan iblis!" teriak Bayisan yang cepat memutar pedangnya menangkis jarum-jarum itu.
Lu Sian tersenyum puas dan menerjang maju lagi. Kembali terdengar berdesingnya pedang, disusul berkerontangannya kedua pedang bertemu, dan menyambarnya angin dari gerakan kedua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi ini.
Pada saat itu terdengar suara bentakan laki-laki dari luar, "Iblis Khitan penjahat cabul, kau menipu kami!"
Maka muncullah tiga orang laki-laki setengah tua yang berpakaian seperti jembel pengemis. Mereka itu berpakaian pengemis, pakaian mereka penuh tambalan bermacam-macam warna, akan tetapi tubuh mereka tampak sehat dan kuat, sedangkan gerakan mereka ketika muncul diruangan itu, kelihatan gesit-gesit sekali. Mereka semua membawa sebatang tongkat di tangan, tongkat yang butut akan tetapi di ujungnya dipasangi besi berwarna merah.
Munculnya tiga orang jembel ini menghentikan pertandingan itu.
Bayisan memandang mereka dengan kening berkerut. "Apa maksud kalian memaki?" bentaknya.
"Masih pura-pura lagi! Kau mengaku seorang pendekar yang hendak membantu pembebasan Kam-goanswe yang kami muliakan, akan tetapi apakah yang kau lakukan di dusun Ki-san? Kau membasmi keluarga yang dengan baik hati telah menolong dan merawatmu. Keparat!" Setelah seorang di antara tiga jembel itu berkata demikian, mereka serentak maju menerjang.
Melihat ini Bayisan kaget sekali. Gerakan mereka itu cukup hebat, sungguh pun tentu ia tidak gentar menghadapi keroyokan tiga orang pengemis ini. Namun kalau mereka bertiga membantu Lu Sian menghadapinya, tentu ia akan celaka. Kepandaiannya melawan Lu Sian berimbang, ada sedikit saja bantuan yang menambah tenaga Lu Sian, berarti ia menghadapi maut. Bayisan cerdik orangnya. Melihat gelagat tidak menguntungkan dirinya, ia tertawa dan tiba-tiba tubuhnya meloncat ke luar dari jendela.
Tiga orang pengemis itu mengejar cepat. "Hendak lari ke mana kau jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga)?"
Akan tetapi Lu Sian tidak mengejar. Gadis ini hanya mengangkat pundaknya saja. Ia tidak mempunyai urusan dengan Bayisan, dan pertandingan tadi sudah cukup untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya terhadap kekurang-ajaran Bayisan. Tentang Bayisan memperkosa atau membunuh orang, itu bukan urusannya dan ia tidak akan mencampuri. Apalagi kalau mendengar kata-kata pengemis tadi bahwa Bayisan bermaksud membantu pembebasan Kam Si Ek. Bukankan itu berarti bahwa Bayisan adalah seorang sahabat Kam Si Ek?
Tiga orang pengemis tadi baru mengejar sampai di depan kelenteng, tiba-tiba Bayisan membalik dan menyerang mereka dengan jarum-jarum hitamnya. Tiga orang pengemis itu bukan orang-orang sembarangan pula. Cepat mereka mengelak sehingga jarum-jarum itu lewat di dekat tubuh mereka, menancap dan lenyap ke dalam tembok. Akan tetapi bau jarum-jarum yang amis itu membuat mereka kaget sekali.
"Jarum-jarum beracun...!" teriak mereka dan sejenak mereka ragu-ragu untuk melanjutkan pengejaran. Bayisan sudah pergi jauh dan melihat jarum beracun ini, tiga orang pengemis itu tidak berani mengejar lagi. Teringat akan gadis perkasa yang tadi sanggup menahan pedang orang Khitan yang kosen itu, mereka segera memasuki kelenteng.
Lu Sian tidak membuang waktu lagi. Melihat mereka menjura dengan hormat, sebelum mereka membuka mulut ia sudah bertanya, "Tiga sahabat dari partai pengemis manakah?"
Pada masa itu memang para pengemis membentuk perkumpulan, dan hal ini dipergunakan oleh orang-orang kang-ouw untuk menyamar sebagai pengemis pula dan terbentuklah perkumpulan-perkumpulan pengemis. Mereka dapat bergerak leluasa dan tidak begitu menarik perhatian.
Tahu bahwa gadis itu bukan orang sembarangan, pengemis tertua menjura dan memperkenalkan diri. "Kami adalah pimpinan dari Wei-ho-kai-pang."
"Ah, kiranya Sam-wi (Tuan Bertiga) adalah Sin-tung Sam-kai (Tiga Pengemis Tongkat Sakti)? Hemm, kebetulan sekali. Aku adalah Liu Lu Sian, puteri Beng-kauwcu...."
"Ah, maaf... maaf, kami telah berlaku kurang hormat terhadap Lihiap. Maaf bahwa beberapa bulan yang lalu kami tidak dapat datang menghadap ayah Lihiap (Pendekar Wanita)."
"Tidak apa," kata Lu Sian yang serta merta menganggap mereka itu sahabat karena ucapan mereka tadi yang memuliakan Kam Si Ek. "Tahukah kalian di mana adanya Kam-goanswe sekarang? Aku mendengar bahwa dia dijebak orang jahat di kelenteng ini, dan tadi kalian bicara tentang Kam-goanswe kepada orang Khitan itu, apa artinya semua ini? Harap Sam-wi suka menceritakan dengan jelas."
Diam-diam tiga orang itu saling pandang. Mereka sama sekali tidak tahu apa hubungannya puteri Beng-kauw dengan jederal muda yang mereka kagumi itu. Akan tetapi mengingat akan kebesaran nama Pat-jiu Sin-ong Liu Gan Ketua Bang-kauw, dan menduga bahwa gadis ini tentu bermaksud baik, mereka lalu bercerita.
Memang sesungguhnya Kam Si Ek dengan hanya sedikit pengawal telah keluar dari benteng menuju ke ibu kota Shan-si untuk memenuhi panggilan Gubernur Li Ko Yung yang disampaikan oleh Phang-siangkun, si Komandan muka hitam yang diam-diam mengatur pengkhianatan untuk menjatuhkan Kam Si Ek. Setelah tiba di kota Poki, rombongan Kam Si Ek dicegat oleh gerombolan yang memang sudah disiapkan terlebih dulu.
Celakanya, para pengawal Kam Si Ek diam-diam sudah disogok pula oleh Phang-ciangkun, sehingga selagi tidur Kam Si Ek dapat disergap dan dijadikan tawanan. Penyergapan dilakukan di dalam kelenteng yang memang diajukan sebagai tempat penginapan oleh para pengawal Kam Si Ek. Sebagai seorang komandan yang jujur dan tidak mau mengganggu rakyat, Kam Si Ek memang biasa melakukan perjalanan sederhana, menginap pun di mana saja asal jangan mengganggu penduduk, maka usul untuk bemalam di rumah kelenteng itu diterimanya dengan baik.
"Kami menyaksikan itu semua karena kebetulan sekali kelenteng tua ini sejak lama menjadi tempat perkumpulan kami para pengemis Wei-ho-kai-pang." Demikian seorang di antara pimpinan kai-pang (perkumpulan jembel) itu berkata, "Kami amat kagum kepada Kam-goanswe dan ingin sekali menolongnya, akan tetapi apakah yang dapat kami lakukan terhadap pasukan yang begitu ketat, apalagi yang dikawal pula oleh tokoh-tokoh rahasia berilmu tinggi yang sengaja dikirim dari Kerajaan Liang?"
"Hemm, kalau begitu, yang merencanakan panawanan tehadap diri Kam-goanswe adalah Kerajaan Liang?"
"Betul, Lihiap. Seperti diketahui, Kerajaan Liang setelah berhasil merobohkan Kerajaan Tang, selalu mengalami rongrongan dari pelbagai pihak yang hendak menjatuhkannya pula. Terjadi perebutan kekuasaan dan selain ancaman bangsa liar dari utara, juga Kerajaan Liang harus menghadapi ancaman yang tidak kalah hebatnya dari bangsa sendiri yang memperebutkan kekuasaan setelah Kerajaan Tang roboh. Kam-goanswe terkenal sebagai seorang jenderal yang jujur, setia dan pengetahuannya akan ilmu perang amat terkenal. Inilah sebabnya Kerajaan Liang ingin sekali mempergunakan tenaganya. Cara satu-satunya hanya menculiknya karena Jenderal Kam tidak pernah mau mengakui kedaulatan kerajaan-kerajaan baru yang banyak muncul setelah Kerajaan Tang jatuh. Dia seorang pahlawan sejati, seorang patriot yang betul-betul hanya mementingkan negara dan rakyat, sama sekali tidak meributkan soal kedudukan dan kemuliaan pribadi."
Lu Sian biasanya tidak peduli akan keadaan negara. Kini ia tertarik sekali dan makin kagumlah ia terhadap Kam Si Ek, amat senang hatinya mendengar nama pemuda pilihan hatinya itu dipuji-puji. Dengan penuh perhatian ia mendengarkan cerita tiga orang pengemis itu, cerita tentang keadaan negara yang biasanya ia takkan suka mempedulikannya.
Menurut cerita Sin-tung Sam-kai, semenjak Kerajaan Tang roboh pada tahun 907 oleh pemberontakan Gubernur Ho-nan yang bernama Cu Bun yang kemudian mendirikan kerajaan baru yang disebut Kerajaan Liang, maka keadaan tidak pernah aman. Perang terjadi dimana-mana, perebutan kekuasaan selalu terjadi. Para pejabat tinggi bekas Kerajaan Tang mengangkat diri sendiri menjadi raja muda dan sebagian besar tidak mau tunduk kepada raja baru itu. Sementara itu, ancaman dari utara dan barat masih terus datang sehingga keadaan makin kacau balau. Banyak pula bekas pejabat tinggi Kerajaan Tang yang masih setia dan mereka ini pun menggunakan pelbagai usaha untuk mendirikan kembali kerajaan yang sudah jatuh.
"Sehari setelah Kam-goanswe dibawa pergi oleh pasukan Kerajaan Liang, di sini muncul Bayisan yang mengaku seorang pendekar sahabat baik Kam-goanswe. Dia telah memperlihatkan kepandaiannya sehingga kami percaya. Ketika dia minta bantuan kami untuk menyelidiki ke mana Kam-goanswe dibawa, kami lalu mengerahkan anak buah kami untuk melakukan penyelidikan itu. Akan tetapi, dengan kaget kami mendengar berita dari seorang anak buah kami akan kejahatan Bayisan itu di dusun Ki-san."
"Apa yang ia lakukan?"
"Seorang pencari kayu di hutan pada suatu hari mendapatkan Bayisan dalam keadaan pingsan di dalam hutan. Pencari kayu she Chie itu menolongnya dan membawanya pulang ke rumah. Akan tetapi apa yang dilakukan jahanam itu sebagai balas budi ini? Selama dua hari dia memperkosa dan mempermainkan anak gadis pencari kayu itu! Dua hari kemudian ia membunuh pencari kayu berikut isterinya dan anak-anaknya sebanyak tiga orang berikut gadis itu sendiri! Tentu saja kami yang mendengar ini menjadi marah sekali dan menyerbu ke sini, kiranya Lihiap sudah lebih dulu datang menggempurnya. Sayang ia terlalu lihai sehingga kita tak dapat membinasakannya!"
Akan tetapi Lu Sian sama sekali tidak tertarik oleh cerita tentang Bayisan ini. Maka ia cepat bertanya, "Lalu, bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian? Kemana Kam-goanswe dibawa oleh pasukan itu?"
"Sudah kami selidiki dan ternyata dibawa ke kota raja, yaitu di ibukota Ho-nan."
“Ke mana pun juga akan kukejar,” pikir Lu Sian. Ibu kota Ho-nan yang sekarang menjadi kota raja adalah Kai-feng, dan ia harus segera berangkat ke sana. "Dan Bayisan itu, apa maksudnya dengan pernyataannya bahwa ia hendak menolong Kam-goanswe pula?" tanyanya pula.
"Kami tidak tahu jelas karena ia seorang yang berhati palsu. Akan tetapi kami dapat menduganya, Lihiap. Bukan tak mungkin bahwa dia pun seorang kepercayaan Kerajaan Khitan yang juga ingin sekali mempergunakan tenaga dan pikiran Kam-goanswe dalam soal ilmu perang. Bangsa Khitan sendiri sudah berkali-kali mengalami kekalahan apabila berhadapan dengan pasukan yang dipimpin Kam-goanswe."
"Baik, terima kasih, Sin-tung Sam-kai. Sekarang perkenankan aku pergi, aku hendak menyelidiki ke Kai-feng."
"Berhati-hatilah, Lihiap. Dalam masa perebutan kekuasaan ini, raja-raja muda banyak menarik tenaga orang-orang pandai yang tentu akan berlomba merampas seorang penting seperti Kam-goanswe."
Dengan tergesa-gesa karena masih saja hatinya mengkhawatirkan nasib jenderal muda she Kam itu, Liu Lu Sian segera meninggalkan kota Poki, kembali ke dusun di luar kota untuk mengambil kudanya, kemudian ia membalapkan kuda itu ke timur-laut, menuju ke kota raja dari Kerajaan Liang.
Apa yang diceritakan secara singkat oleh Sin-tung Sam-kai tiga orang pimpinan perkumpulan jembel Wei-ho-kai-pang itu memang benar. Perebutan kekuasaan di antara para bekas pembesar tinggi Kerajaan Tang, para bekas pangeran dan raja muda yang mengangkat diri sendiri setelah Kerajaan Tang roboh, benar-benar membuat rakyat amat menderita. Rakyat yang tidak tahu apa-apa, yang lemah dan miskin, selalu menjadi korban tiap kali terjadi perang dan keributan. Pemuda-pemudanya dipaksa menjadi tentara, hasil sawah ladangnya dirampasi, pajaknya diperberat secara paksa, gadis-gadisnya yang muda dan cantik diambil secara paksa untuk menghibur pasukan-pasukan yang lewat.
Akan tetapi, mereka yang tergolong orang-orang pandai, ahli silat dan ahli perang, bermunculan dan keadaan keruh seperti itulah merupakan masa jaya bagi mereka. Inilah masanya bagi para perampok untuk beraksi tanpa takut dihancurkan petugas keamanan karena orang lebih meributkan mencari kedudukan dari pada menjaga keamanan rakyat. Masanya bagi yang kuat menindas yang lemah. Di masa tenteram, orang-orang sakti akan pergi ke goa-goa, ke puncak-puncak gunung, ke tepi-tepi laut untuk bertapa. Kini dalam keadaan kacau-balau mereka turun gunung masuk kota raja untuk menawarkan kepandaian serta mencari jasa dan kedudukan mulia!
Dan memang para raja muda yang mempunyai cita-cita mengangkat diri menjadi raja besar amat membutuhkan tenaga orang-orang sakti ini. Tidak peduli si orang sakti itu terdiri dari golongan hitam mau pun putih, penjahat mau pun pendeta, asal sakti dan tenaganya dapat dipergunakan, tentu oleh si pangeran atau raja muda akan diterima penuh kegembiraan, dihujani hadiah emas permata, pakaian indah, makanan lezat, atau wanita cantik.
Memang menurut sejarah, jaman Lima Wangsa selama setengah abad ini, adalah jaman yang paling keruh dan penuh dengan perang antara saudara. Semenjak Kerajaan Tang jatuh dalam tahun 907, disusul dengan perebutan kekuasaan yang memecah-mecah bangsa. Dunia kang-ouw terpecah-belah pula, karena masing-masing membela yang mempergunakan jasa mereka. Tidak jarang terjadi bentrokan hebat antara perkumpulan-perkumpulan orang gagah. Bahkan parai-partai persilatan besar, kelenteng-kelenteng besar yang mempunyai banyak anak murid banyak yang terseret-seret.
Dalam perjalanannya mencari Kam Si Ek menuju ke ibu kota Kai-feng yang berada di lembah selatan Sungai Kuning, Liu Lu Sian banyak sekali melihat pertempuran-pertempuran dan banyak penderitaan para pengungsi! Namun karena ia sendiri mempunyai urusan penting yang amat menggoda hatinya, maka ia sengaja menjauhkan diri dari semua halangan, tidak mau melayani urusan kecil yang akan memperlambat perjalanannya dan tidak mempedulikan pula penderitaan para pengungsi yang amat menyedihkan itu. Akan tetapi, pada suatu hari ia tertarik juga akan sesuatu peristiwa dan terpaksa menunda perjalanannya untuk menyaksikan peristiwa itu.
Pagi hari itu, ketika Lu Sian menunggangi kudanya melalui jalan sunyi yang rusak oleh air hujan, tiba-tiba ia mendengar suara jeritan yang sambung menyambung. Suara seperti ini sudah biasa ia dengar. Tentu wanita yang diculik pasukan tentara, atau diganggu orang jahat, pikirnya tanpa mau mempedulikannya. Akan tetapi pekik itu tidak hanya jerit wanita, bahkan pula teriakan laki-laki yang agaknya menghadapi maut. Ini pun tidak menarik perhatian Lu Sian.
Tiba-tiba ia menghentikan kudanya dengan menahan kendali. Telinganya mendengar bersiutnya angin yang aneh. Itulah hawa pukulan yang luar biasa, pikirnya. Tentu ada orang sakti yang bertempur di sana. Sebagai seorang ahli silat, hal ini amat menarik hatinya dan ia segera meloncat turun dari kudanya, membiarkan kudanya makan rumput di situ lalu ia sendiri berlari memasuki dusun itu, menyelinap di antara pohon dan semak-semak.
Ia melihat seorang kakek yang rambutnya riap-riapan, akan tetapi pakaiannya biar pun kotor berdebu terbuat dari pada bahan sutera yang mahal, mukanya keruh, pandang matanya kejam, alisnya berkerut seperti orang marah. Kakek ini duduk di atas sebuah batu besar di pinggir jalan, kedua kakinya bersila dan kelihatan lemas. Di dekat batu besar itu tampak sebuah dipan bambu yang biasa digunakan orang untuk mengangkut orang-orang sakit, dan dua orang pemanggulnya kini berada di belakang kakek itu, seorang duduk mengipasi lehernya yang berkeringat dan yang seorang lagi berdiri sambil bertolak pinggang mengikuti gerakan kakek tadi. Melihat wajah dua orang itu yang bodoh, mereka itu agaknya hanya tukang panggul dipan itu yang hanya bertenaga besar.
Yang amat menarik perhatian Lu Sian adalah di sekeliling tempat duduk kakek itu, di mana tampak belasan mayat bergelimpangan. Mereka itu tidak kelihatan terluka dan di dekat mereka banyak senjata malang melintang, bahkan di antara mayat itu ada yang masih memegang pedang. Akan tetapi semua mayat itu mengeluarkan darah dari mulut, hidung, mata dan telinga! Di antaranya terdapat pula wanita-wanita yang agaknya hanya wanita biasa, mungkin para pengungsi karena di sana-sini kelihatan buntalan-buntalan pakaian.
Pada saat itu datang pula serombongan pengungsi, di depannya berjalan dua orang laki-laki muda dan seorang gadis tanggung. Melihat gerakan mereka, dapat diduga bahwa dua orang pemuda itu memiliki kepandaian silat, bahkan yang seorang sudah memegang sebatang pedang telanjang. Para pengungsi laki-laki dan perempuan dan yang jumlahnya dua puluh orang lebih, berjalan di belakang tiga orang muda itu dengan mata terbelalak lebar membayangkan kengerian dan ketakutan.
"Mana dia? Mana kakek gila yang jahat dan membunuhi pengungsi itu?" bentak pemuda yang memegang pedang.
Para pengungsi yang berada di belakangnya dengan muka pucat menuding ke arah kakek yang sedang duduk tenang di atas batu sambil berkata, "Itu dia, iblis tua itu..."
Si Pemuda bersama dua orang temannya tercengang, seperti tidak percaya. Pemuda berpedang melangkah maju. "Dia ini...? Kakek lumpuh...?"
Kakek itu membuka matanya yang tadinya seperti selalu ditutup, memandang tiga orang muda dengan penuh perhatian, lalu dengan suara malas bertanya. "Kalian juga mengungsi? Apakah hendak tunduk kepada kerajaan pemberontak Liang?"
"Kakek iblis! Orang-orang ini mengungsi menyelamatkan diri dari ancaman perang, mengapa kau bunuh mereka? Siapa kau?" bentak pemuda berpedang.
"Jawab! Kalian hendak mengungsi dan tunduk kepada pemberontak Liang?"
"Kami tunduk kepada pemerintah yang mana, peduli apa denganmu?"
"Hemm, kalian tidak setia kepada Kerajaan Tang, maka harus mati juga."
"Kakek gila! Kau... kau pembunuh kejam, kau harus dienyahkan..."
Pemuda itu menerjang maju dengan pedang digerakkan, akan tetapi dengan tenang kakek itu menggerakkan tangan kirinya, didorongkan dengan jari tangan terbuka. Bagaikan sehelai daun kering tertiup angin, pemuda berpedang itu terangkat dan terlempar ke belakang, menjerit dan roboh dengan pedang di tangan. Dari mulut, hidung, mata dan telinganya keluar darah. Gadis tanggung itu menubruknya dan menangis ketika menyaksikan bahwa kakaknya itu ternyata telah tewas!
"Siluman keji...!" Pemuda ke dua marah sekali, lupa akan bahaya dan melompat ke depan, kedua tangannya bergerak memukul.
Si kakek tetap tenang, kembali tangan kirinya terangkat dan... pemuda kedua itu mengalami nasib yang sama. Tubuhnya terangkat dan terlempar lalu terbanting ke bawah, tewas dalam keadaan mengerikan! Kakek itu tidak berhenti sampai di situ, ia menggerakkan tangannya pula dan kini gadis tanggung yang menangis itu bagaikan kena hantam kepalanya oleh palu godam, terjengkang dan tewas, juga berdarah dari mulut, hidung, mata dan telinganya!
Melihat ini, para pengungsi itu lari seperti dikejar setan dan keadaan di situ sunyi kembali. Lu Sian bergidik. Hebat kakek ini. Pukulan jarak jauhnya membayangkan tenaga sinkang yang luar biasa. Lu Sian bersembunyi dan mengintai terus. Dari jauh datang lagi rombongan pengungsi baru, terdiri dari sebelas orang. Mereka itu terkejut ketika melihat mayat bergelimpangan di pinggir jalan, akan tetapi mereka tidak menaruh curiga kepada si Kakek Lumpuh.
"Apa yang terjadi? Lopek, apakah yang terjadi di sini? Mengapa begini banyak orang mati...?" seorang di antara rombongan pengungsi itu bertanya.
Dengan gerakan perlahan kakek itu menoleh, menyapu para pengungsi yang terdiri dari dua keluarga itu dengan pandang mata dingin. "Kalian hendak mengungsi ke daerah Kerajaan Liang?"
"Tidak," jawab orang itu, "Kami mencari daerah tak bertuan, lebih baik hidup di gunung-gunung di mana terdapat ketenteraman."
"Hemm, kalian tidak senang dengan pemberontak Liang?"
"Ah, semenjak runtuhnya Kerajaan Tang, kami tidak pernah mengalami ketenteraman lagi. Biar pun banyak hidup kerajaan-kerajaan baru, mana ada pemerintah yang menyenangkan sekarang ini?"
Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak, tangannya merogoh saku baju dan ia melemparkan sekantung uang perak. "Terimalah ini, berangkatlah dan memang lebih baik kalian mengungsi ke gunung-gunung. Selamat jalan!"
Orang itu terkejut dan bingung, pandang matanya menaruh curiga. Pasti kakek aneh ini ada hubungannya dengan kematian begitu banyak orang. Setelah menghaturkan terima kasih, ia tergesa-gesa membawa keluarganya meninggalkan tempat itu.
Setelah rombongan ini pergi, sampai sore hari hanya serombongan pengungsi lagi yang lewat di situ, terdiri dari belasan orang yang kesemuanya, dari anak bayi sampai kakek-kakek, dibunuh oleh kakek lumpuh ini karena mereka itu semua hendak mengungsi ke kota raja Liang, yaitu kota Lok-yang! Bertumpuk-tumpuk mayat pengungsi di tempat itu, dan si Kakek Lumpuh lalu pergi dari situ, duduk di atas pikulan yang berupa dipan bambu digotong dua orang pemikulnya.
Liu Lu Sian adalah puteri ketua Beng-kauw. Semenjak kecil gadis ini berdekatan dengan orang kang-ouw yang sakti dan aneh, tidak heran pula melihat kekejaman-kekejaman yang dilakukan orang. Ayahnya dan para pimpinan Beng-kauw juga merupakan orang-orang aneh yang dapat membunuh orang lain begitu saja tanpa berkedip. Akan tetapi kini menyaksikan kakek lumpuh yang membunuh para pengungsi tanpa pilih bulu, laki perempuan tua muda, sampai bayi dibunuh hanya karena mereka hendak mengungsi ke Lok-yang, benar-benar ia menjadi kaget dan bergidik. Bukan main kejamnya kakek lumpuh ini, pikirnya. Biar pun urusannya itu tiada tiada sangkut-pautnya dengan dirinya, namun ia sudah merasa tertarik untuk mengikuti kakek lumpuh itu, dan kalau perlu ia hendak turun tangan mencoba-coba kehebatan si Kakek Lumpuh yang ia percaya tentu mempunyai kepandaian tinggi sekali.
Kakek itu bermalam di sebuah gubuk rusak di pinggir sawah, dilayani oleh kedua orang pemikulnya. Betapa herannya hati Lu Sian ketika kakek itu mengeluarkan sekantung uang emas, memberikan kepada kedua pemikulnya sambil berpesan agar besok kedua orang itu mencarikan sebuah kereta dan kuda yang baik untuknya.
"Aku hendak melakukan perjalanan jauh ke selatan, kalian mana kuat memikul aku terus?" demikian katanya dengan suara perlahan akan tetapi berpengaruh sedangkan kalimatnya teratur baik seperti ucapan seorang pembesar atau bangsawan.
Dua orang pemikul itu tidak banyak cakap, akan tetapi mereka itu memperlihatkan sikap menghormat sekali, menyanggupi dan menyebut paduka kepada kakek itu, kadang-kadang menyebut Ong-ya atau Taijin.
Malam itu bulan bersinar penuh. Lu Sian masih mengintai di sekitar tempat itu ketika ia melihat berkelebatnya bayangan yang gerakannya cepat bukan main. Tahu-tahu bayangan itu sudah tiba di depan gubuk di mana si Kakek Lumpuh berada, dan terdengar suara erangan laki-laki yang parau tetapi nyaring.
"Hee, Couw Pa Ong! Kau terkenal dengan julukan Sin-jiu (Tangan Sakti), apakah tangan saktimu itu hanya untuk membunuhi rakyat tidak berdosa? Sin-jiu Couw Pa Ong, kalau ada kepandaian, keluarlah!"
Terdengar suara tertawa mengejek dari dalam gubuk. “Couw Pa Ong Si Raja Muda sudah lenyap bersama lenyapnya Kerajaan Tang yang besar! Akan tetapi aku Si Tua Bangka Kong Lo Sengjin akan membunuh setiap orang yang tidak setia kepada Dinasti Tang. Orang usilan, kau siapa?"
Orang di luar itu tertawa juga. "Ha-ha-ha, Couw Pa Ong! Setelah kau kalah dan remuk kedua kakimu, kau merasa malu dengan kekalahanmu sehingga kau mengganti nama? Ha-ha-ha, sungguh lucu! Biar pun mengganti nama seribu kali, siapa tidak akan mengenal Sin-jiu Couw Pa Ong yang besar namanya akan tetapi kini sudah bangkrut dan lumpuh? Pinceng Houw Hwat Hwesio dari Siauw-lim-si, tidak akan mendiamkan saja melihat kau bertindak sewenang-wenang!"
Dari dalam gubuk terdengar suara meludah. "Cuhhh! Segala macam pendeta! Kau selalu hanya membantu yang menang, untuk yang kuat memberi sumbangan, untuk orang-orang kaya dan orang-orang segolongan. He, pendeta tengik! Selama kau menjadi pendeta pernahkah kau berdoa untuk si miskin jembel kelaparan? Pernahkah kau berdoa untuk si jahat agar kembali ke jalan yang benar? Pernah kau membantu untuk pelaksanaan doa-doamu dengan perbuatan nyata? Apa jasamu untuk negara dan bangsa? Apakah orang-orang menjadi baik setelah kau setiap hari bersembahyang?"
"Cukup! Kau bekas raja muda memang terkenal jahat, tidak mengenal Thian!" si Hwesio marah, memutar toya (tongkat panjang) dan mendekati pintu gubuk.
"Ha-ha-ha-ha! Apakah tandanya orang mengenal Tuhan? Hanya karena gerak bibir dan goyang lidah cukup menjadi tanda mengenal Tuhan? Dengar, pendeta tengik! Orang bisa saja mengenal Tuhan tanpa mempedulikan perilaku kebajikan, akan tetapi tak mungkin orang mengabdi kebajikan tanpa mengenal Tuhan! Perbuatan nyata yang menjadi ukuran, bukan gerak bibir dan goyang lidah!"
"Apa perbuatanmu baik? Ihhh, manusia yang sudah gelap hatinya! Kalau pinceng (aku) tidak turun tangan menghukummu mewakili Thian, kau tentu akan makin merajalela!" Setelah berkata demikian, hwesio itu berkelebat memasuki pintu gubuk.
Liu Lu Sian memandang penuh perhatian. Gerakan hwesio cukup hebat dan ia pikir tentu kakek lumpuh itu akan menghadapi lawan tangguh. Akan tetapi setelah hwesio itu menerobos masuk, ia hanya mendengar suara ketawa si Kakek Lumpuh, dibarengi suara berderak....
“Krakkkk!” dan disusul melayangnya tubuh hwesio itu keluar gubuk bersama toyanya yang sudah patah-patah menjadi tiga potong! Akan tetapi hwesio itu bukan terlempar melainkan melompat ke luar. Agaknya ia gentar dan juga marah.
"Couw Pa Ong orang buronan (pelarian)! Pinceng datang memang bukan untuk melawanmu seorang diri, akan tetapi hendak menyampaikan tantangan! Kalau memang gagah, datanglah di tepi sungai, kami Wei-ho Si-eng (Empat Orang Gagah Sungai Wei-ho) menantimu malam ini juga!"
"Ha-ha-ha! Aku Kong Lo Sengjin mana kenal segala cacing tanah yang bernama Wei-ho Si-eng segala? Akan tetapi jangan kira karena kedua kakiku lumpuh, kalian empat ekor cacing tanah dapat menghinaku. Kalian tentulah empat orang pengkhianat dan penjilat Kerajaan Liang. Kalian harus kubunuh. Kau tunggulah, sekarang juga aku datang memenuhi tantanganmu!"
Hwesio itu melesat pergi dengan gerakan cepat sekali. Liu Sian makin tertarik. Ia sudah mendengar dari ayahnya akan nama Sin-jiu Couw Pa Ong yang terhitung seorang di antara tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Menurut cerita ayahnya, Couw Pa Ong adalah seorang Raja Muda Kerajaan Tang yang memiliki ilmu silat tinggi sekali, seorang yang mempertahankan Kerajaan Tang, akan tetapi karena pengeroyokan orang-orang gagah yang berusaha menjatuhkan kerajaan itu, ia kalah dan terpukul hancur kedua kakinya. Semenjak itu orang tidak mendengar lagi namanya dan ia dianggap sebagai seorang pelarian yang selalu dicari oleh Kerajaan Liang untuk dibinasakan.
Sekarang ia secara kebetulan bertemu dengan tokoh ini, menyaksikan keganasan yang luar biasa dan juga sebentar lagi ia akan menyaksikan kelihaian kakek lumpuh ini menghadapi empat orang gagah yang berjuluk Wei-ho Si-eng. Maka ketika ia melihat kakek itu keluar dari gubuk, duduk di atas dipan bambu dan dipikul dua orang pelayannya, secara diam-diam ia mengikuti dari jauh. Tidak berani ia mengikuti terlalu dekat karena kakek lihai itu berbahaya sekali dan ia tidak mau melibatkan diri dalam pertandingan yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Maka ia malah mendahului larinya dua orang pemikul itu, menuju ke tepi sungai. Ia melihat empat orang itu sudah menanti musuh.
Di bawah sinar bulan yang penuh dan terang ia memperhatikan mereka. Ia melihat seorang hwesio setengah tua, yang ia duga tentulah hwesio yang tadi dipatahkan toyanya oleh si Kakek Lumpuh. Hwesio ini bertangan kosong, akan tetapi melihat bentuk tubuhnya yang tegap, dapat dibayangkan bahwa tanpa toya, hwesio bernama Houw Hwat Hwesio murid Siauw-lim-pai ini tentulah seorang lawan yang cukup tangguh.
Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, memegang sebatang tongkat baja, berdiri tegak memandang ke depan. Orang ke tiga adalah seorang tosu (pendeta To) yang tidak memegang senjata apa-apa, akan tetapi pinggangnya terlibat sebuah cambuk hitam. Ada pun orang ke empat adalah seorang wanita berusia empat puluh tahun, di punggungnya terselip sebatang pedang. Mereka berempat berdiri dengan sikap tegang dan memandang ke depan, menanti datangnya musuh mereka yang lihai, yang akan muncul dari arah timur.
Lu Sian juga memandang ke arah itu. Dan tak lama kemudian, di bawah sinar bulan yang mencorong yang merupakan bola api merah bulat di sebelah timur, muncullah dua orang pemikul itu, berjalan dengan langkah lebar setengah berlari. Kakek lumpuh itu bersila di atas dipan bambu, rambutnya sebagian besar menutupi muka, menyembunyikan sepasang matanya yang bersinar-sinar seperti mata harimau.
Suasana menjadi tegang sekali, dan ini terasa oleh Liu Lu Sian yang sudah merasa gembira karena sebentar lagi ia akan menyaksikan pertandingan hebat.
"Berhenti!" Kakek lumpuh mengomando dan kedua orang pemikul itu berhenti pada jarak dua puluh meter dari keempat orang yang sudah siap itu.
Tiba-tiba pikulan itu berikut dipan bambu dan kakek lumpuh, terlempar ke atas, melayang ke depan dan turun ke atas tanah di depan empat orang musuh, turun tanpa suara dan tanpa menimbulkan debu seakan-akan sehelai daun kering melayang turun dari pohon. Bukan main hebatnya ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang diperlihatkan kakek lumpuh itu!
Dua orang pemikul lalu berjongkok dan sikap mereka tidak peduli. Agaknya sudah terlalu sering mereka ini melihat tuan mereka bertempur atau membunuh orang. Memang selama belasan tahun ini, setelah Kerajaan Tang roboh, Sin-jiu Couw Pa Ong yang sudah mengganti namanya menjadi Kong Lo Sengjin, kerjanya hanyalah mencari perkara dan membunuhi orang-orang yang dianggapnya tidak setia kepada Kerajaan Tang yang sudah roboh. Dalam kecewa dan sakit hatinya karena kedua kakinya lumpuh, kakek ini menjadi seperti tidak normal lagi pikirannya, menjadikan ia ganas, kejam dan gila-gilaan!
"Hemm, keji!" Lu Sian makin keras menempelkan pedangnya. “Hayo katakan, di mana Kam Si Ek akan di tahan?!"
"Saya... saya tidak tahu betul, hanya... hanya mendengar dari Phang-ciangkun bahwa pencegatan akan dilakukan di kota Poki dan mereka bermarkas dalam Kelenteng Tee-kong-bio di kota itu... dan... ahh!!" jerit terakhir ini mengiringkan nyawanya yang melayang ketika pedang Toa-hong-kiam memisahkan kepala dari badannya.
Lu Sian berlari pulang ke rumah penginapan, akan tetapi alangkah marahnya ketika mendapat kenyataan bahwa pasukan tentara yang tadinya mengejarnya telah mendatangi rumah penginapan, merampas kuda dan pakaiannya, bahkan memukuli si pemilik rumah penginapan dan merampas harta benda orang itu pula.
Penduduk sudah mendengar akan kehebohan di dalam benteng, tentang terbunuhnya ciangkun baru. Mereka merasa khawatir sekali karena Jenderal Kam sudah pergi, dan diam-diam mereka mengharapkan bantuan Lu Sian. Maka ketika gadis ini muncul, mereka itu, terutama sekali orang-orang tua para gadis yang terculik ke dalam benteng, berlutut mohon bantuan Lu Sian untuk membebaskan gadis-gadis itu. Tanpa menjawab Lu Sian lenyap di dalam gelap. Dengan hati panas ia kembali ke benteng!
Tak lama kemudian, menjelang tengah malam, kembali timbul geger di dalam benteng. Kandang kuda kebakaran, belasan orang penjaga tewas dan kuda yang paling baik, tunggangan Phang-ciangkun sendiri, seekor kuda pilihan, telah lenyap! Akan tetapi, Lu Sian sama sekali tidak peduli tentang nasib gadis-gadis yang tertawan. Memang demikianlah watak Liu Lu Sian. Ia terlalu mementingkan diri sendiri, dan hanya mau turun tangan mati-matian untuk membela kepentingan sendiri atau kepentingan orang yang ia cinta. Urusan orang lain ia sama sekali tidak peduli.
Kota Poki adalah sebuah kota di propinsi Shan-si, kota yang cukup besar dan ramai. Tembok kotanya tinggi dan keadaan kota itu cukup subur dan makmur. Selain letaknya di kaki gunung Cin-ling-san, juga di sebelah selatan kota ini mengalir Sungai Wei-ho yang airnya cukup untuk keperluan para petani di daerah itu. Pintu-pintu gerbang kota selalu terbuka lebar dan orang-orang hilir mudik keluar masuk pintu gerbang, berikut-kereta-kereta yang membawa banyak dagangan. Poki juga dikenal sebagai kota pelabuhan sungai sehingga banyak barang mengalir masuk atau keluar melalui jalan sungai, menambah kesibukan para pedagang di dalam kota.
Lu Sian tidak mau memasuki kota itu dengan kudanya. Selain kuda yang ia tunggangi adalah kuda milik Phang-ciangkun yang mungkin akan dikenal orang, juga kedatangannya ke kota itu adalah untuk menyelidiki Kam Si Ek. Ia menitipkan kudanya pada seorang petani yang tinggal di dusun sebelah selatan kota, kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Sebuah perahu menyeberangkannya ke kota Poki dan ia memasuki kota yang ramai itu sambil berjalan perlahan.
Akan tetapi, ke mana pun juga Liu Lu Sian pergi dan di mana pun ia berada, selalu gadis ini menjadi perhatian orang. Tak lama sesudah ia masuk kota Poki, segera ia menjadi pusat perhatian, terutama laki-laki yang terpesona oleh kecantikannya yang luar biasa. Lu Sian tidak pedulikan mereka ini sungguh pun keadaan macam ini selalu mendatangkan rasa bangga di dalam hatinya. Yakin akan kecantikannya yang membikin semua orang laki-laki menoleh untuk mengaguminya, Lu Sian berjalan dengan langkah cepat, lalu masuk ke dalam rumah penginapan yang cukup besar, memesan kamar. Setelah berada di rumah penginapan, bebaslah ia dari pada perhatian orang di jalan, sungguh pun beberapa orang tamu penginapan dan para pelayan tetap saja menatapnya dengan pandang mata serigala jantan kelaparan!
Karena tidak ingin menarik perhatian banyak orang, Lu Sian memanggil seorang pelayan mendekati kamarnya, seorang pelayan yang sudah setengah tua dan berwajah jujur.
"Paman pelayan, tahukah kau di mana letaknya Kelenteng Tee-kong bio di kota ini? Aku hendak pergi bersembahyang ke sana."
Muka yang membayangkan kejujuran itu berkerut-kerut. Si Pelayan menengok ke kiri kanan lebih dulu, baru menjawab dengan suara perlahan. "Nona, kalau hendak bersembahyang, banyak kelenteng-kelenteng ternama di kota ini. Mengapa harus ke sana? Lebih baik ke Kwan-im-bio di sebelah timur jembatan besar, atau ke Hai-ong-bio di dekat sungai atau...."
"Tidak, aku hanya ingin bersembahyang ke Tee-kong-bio," jawab Lu Sian yang sudah menduga bahwa agaknya Tee-kong-bio merupakan tempat yang tidak menyenangkan hati pelayan itu, maka cepat disambungnya. “Aku hendak bersembahyang membayar kaul, maka harus ke Tee-kong-bio. Di manakah letaknya kelenteng itu?"
Memang tentu saja tidak sukar mencari kelenteng di dalam kota sebesar Poki saja, akan tetapi dari pada bertanya-tanya orang di jalan dan menarik perhatian, lebih baik kalau sudah mengetahui tempatnya sehingga dapat langsung ke sana.
"Memang, Siocia (Nona), bukan sekali-kali saya hendak mencampuri urusan Nona. Akan tetapi sungguh-sungguh keadaan kelenteng itu tidak cocok untuk didatangi seorang tamu seperti Nona. Kelenteng itu selalu sunyi, tak pernah ada pengunjungnya, tidak terawat sehingga hampir merupakan sebuah kelenteng kuno yang sudah tak terpakai lagi. Yang datang ke situ hanyalah orang-orang gelandangan, hwesio-hwesio yang suka minta derma paksa dan... ah, sudahlah, saya sudah bercerita cukup. Kelenteng itu letaknya di sebelah utara kota, dekat pintu gerbang, tempat yang sunyi. Sebaiknya Nona jangan pergi ke sana...."
"Cukup, aku dapat menjaga diri. Terima kasih atas keteranganmu." Kata Lu Sian yang merasa tak sabar lagi mendengar ucapan si pelayan. Pelayan itu melihat sinar mata marah dari Lu Sian, maka ia membalikkan tubuhnya dan pergi sambil mengangkat pundak.
Karena amat menguatirkan nasib Kam Si Ek, siang itu juga Lu Sian ke luar dari rumah penginapan. Ia hanya membawa pedangnya yang disarungkan di punggung. Kembali banyak pasang mata laki-laki menoleh ke arahnya, bahkan banyak yang berhenti berjalan dan mengikutinya dengan pandang mata kagum. Akan tetapi Lu Sian tidak menghiraukan mereka, mulutnya memperlihatkan senyum mengejek.
Ketika Lu Sian lewat di jalan yang menuju ke utara, jalan yang agak sunyi, ia melihat sekelompok orang muda terdiri dari lima orang yang tadinya bercakap-cakap di pinggir jalan, saling berbisik ketika melihatnya, kemudian mereka itu sengaja berdiri di tengah jalan sikap yang menjemukan. Melihat mereka itu tidak takut biar pun ia membawa-bawa pedang, agaknya mereka itu terdiri dari orang-orang yang mengandalkan diri sendiri, agaknya mereka tahu sedikit akan ilmu silat maka hendak menggodanya.
Lu Sian tidak mau membuang banyak waktu dengan urusan-urusan kecil. Ia menghadapi urusan besar hendak mencari dan menolong Kam Si Ek, apa gunanya melayani segala macam laki-laki kurang ajar seperti mereka itu! Ia mengerahkan lweekang-nya dan terus melangkah dengan tindakan gagah, sama sekali tidak melirik ke arah mereka.
Sebaliknya, lima orang laki-laki itu membuka mata lebar, mengeluarkan suara tak menentu dan seperti dikomando mereka lalu menyingkir ke pinggir jalan dengan mata masih melotot lebar dan mulut ternganga. Siapa orangnya yang tak menjadi gentar melihat seorang gadis cantik yang berpedang di punggungnya, berjalan seenaknya akan tetapi bekas telapak kakinya membuat tanah yang diinjaknya ambles sampai sejengkal dalamnya? Seekor gajah pun takkan meninggalkan tapak kaki seperti itu di atas jalan yang banyak batunya!
Lu Sian mempercepat jalannya ketika kelenteng itu sudah tampak dari jauh. Genteng-gentengnya banyak yang pecah, sepasang ukiran naga di atas genteng kelenteng itu pun sudah luntur warnanya, bahkan mustika naga di tengah yang diperebutkan dua ekor naga itu sudah pecah-pecah pula. Tembok bangunan kelenteng juga sudah tampak batanya. Agaknya kelenteng Tee-kong-bio ini dahulunya besar juga, akan tetapi karena tidak terawat, maka menjadi amat buruk.
Pekarangannya luas, bahkan di belakangnya juga terdapat kebun yang luas. Bangunannya besar, akan tetapi di depan kelenteng sudah tidak tampak asap hio (dupa) mengebul seperti sudah menjadi tanda pada tiap rumah kelenteng. Namun di tembok besar masih terdapat ukiran dengan huruf-huruf besar yang juga sudah lenyap warnanya, yaitu huruf ‘Tee Kong Bio’ (Kelenteng Malaikat Bumi).
Dilihat dari depan, kelenteng itu demikian sunyi seakan-akan tidak ada penghuninya. Pintu depannya yang terdiri dari sepasang daun pintu amat besar dan tebal juga tertutup. Tanpa ragu-ragu lagi Lu Sian memasuki pekarangan dan sesampainya di depan pintu, ia menggunakan tangannya mendorong. Terdengar suara berkerit seperti biasa bunyi daun pintu yang lama tidak dibuka tutup.
Lu Sian menanti sebentar, akan tetapi suasana tetap lengang, tidak ada sambutan pada suara daun pintu itu. Kiranya hanya daun pintu yang terdepan itu saja yang terkunci. Dari luar kini tampak jendela-jendela dan daun-daun pintu sebelah dalam terbuka belaka, ada yang terbuka separuh ada yang terbuka seluruhnya. Akan tetapi jelas bahwa tempat ini pernah dikunjungi orang-orang, malah ada bekas telapak kaki yang masih baru pada debu di lantai.
Keadaan di dalamnya sama dengan keadaan di luar, penuh debu dan kotor tidak terpelihara. Di sana-sini tampak kertas-kertas butut, ada pula tikar-tikar butut. Meja toapekong (arca kelenteng) tidak tertutup kain lagi, dan tempat toapekong juga kosong. Sisa barang yang masih tetap di tempatnya hanya arca-arca yang sudah hampir rusak, singa-singaan batu yang tiada harganya. Barang-barang lain yang berharga tidak tampak lagi.
Dengan penuh ketabahan Lu Sian melangkah masuk. Ruangan tengah juga kosong, tidak tampak manusia. Dengan hati-hati ia melangkah lagi. Terdengar suara gerakan di sebelah kelenteng. Ia waspada dan mencabut pedangnya dengan tangan kanan, lalu memasuki sebuah kamar di ruangan tengah itu. Di atas meja yang terbuat dari pada bata tampak sebuah pot kembang di mana tumbuh kembang yang masih segar, dan di sudut ruangan terdapat sebuah arca singa. Selain itu kosong, tidak tampak apa-apa lagi. Lu Sian melangkah di ambang pintu yang tak berdaun lagi, memasuki kamar.
"Wer-wer-wer......!!" tiga buah benda melayang cepat mengarah leher dan dadanya.
Lu Sian cepat miringkan tubuhnya dan tiga batang pisau menancap pada dinding di belakangnya. "Hui-to (Golok Terbang)!" Lu Sian berseru kaget karena maklum bahwa hanya orang-orang pandai saja yang dapat melontarkan golok terbang sekaligus tiga buah secara demikian kuat. Ia maklum menghadapi lawan tangguh.
"Hanya pengecut saja yang menyerang orang secara menggelap!" bentaknya marah.
Dari arah dalam terdengar orang tertawa disusul jawaban, "Hanya pengecut saja yang memasuki tempat orang tanpa permisi!"
Merah sepasang pipi Lu Sian. Ia maklum akan kebenaran kata-kata itu. Akan tetapi sebagai seorang yang wataknya tidak mau kalah, ia membentak, "Kalau kau bukan pengecut, keluarlah!"
Terdengar daun pintu berkerit dan muncullah seorang laki-laki yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Lu Sian. Ia mengira bahwa penyerangnya tentu seorang hwesio yang biasanya mendiami kelenteng, atau orang jahat yang telah menculik Kam Si Ek. Akan tetapi yang muncul adalah seorang pemuda yang tampan, berkepala kecil bertopi batok. Wajahnya yang muda dan tampan membayangkan kelicikan, terutama pada mulutnya yang tersenyum mengejek dan matanya yang seperti mata burung hantu. Juga pemuda itu tercengang ketika bertemu dengan Lu Sian, benar-benar tercengang sampai memandang dengan melongo.
"Aduhai, Kwam Im Pouwsat (Dewi Welas Asih) yang cantik jelita agaknya yang datang berkunjung..!" katanya, masih terpesona.
Sebaliknya, Lu Sian marah dan mendongkol sekali. "Cih, tak tahu malu! Mengaku-aku ini tempat kediamanmu sedangkan tempat ini adalah sebuah kelenteng tua yang sudah kosong dan kau sama sekali bukan pendeta!"
Orang itu segera menjura. Sikapnya manis dibuat-buat, matanya tetap mengincar wajah cantik dan mulutnya tersenyum. "Bukan, Nona. Sama sekali aku bukan pendeta, melainkan seorang pemuda berdarah bangsa Khitan yang gagah berani, namaku Bayisan...."
"Tak peduli namamu anjing atau kucing aku tidak sudi mengenalnya! Yang jelas, serangan gelapmu tadi tak mungkin dapat kudiamkan saja tanpa terbalas!" Sambil berkata demikian Lu Sian melangkah maju, pedangnya siap menerjang.
Akan tetapi pemuda itu tetap bersikap tenang, bahkan tertawa lebar. "Aku tadi tidak tahu bahwa yang datang adalah seorang dara perkasa yang cantik jelita, kalau aku tahu, mana aku tega menyerang dengan hui-to? Untung kau demikian pandai mengelak, kalau tidak... ah, sayang sekali kalau mukamu sampai lecet."
"Keparat bermulut busuk!" Lu Sian marah dan pedangnya bergerak mengeluarkan suara berdesing.
Bayisan cepat meloncat mundur dengan wajah kaget sekali. Pedang itu menyambar hebat, menyerempet meja batu yang menjadi terbelah dua seperti agar-agar terbabat pisau tajam saja!
"Kau... kau... puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan! Kau puteri Ketua Beng-kauw yang bernama Liu Lu Sian!"
Diam-diam Lu Sian terkejut. Begini hebatkah kepandaian orang asing ini sehingga melihat sekali gerakan pedangnya saja sudah dapat mengenalnya? Ia terkejut dan heran, terpaksa menunda serangannya dan membentak. "Hemm, kau sudah tahu siapa aku, tidak lekas berlutut?!"
Akan tetapi Bayisan malah tertawa girang sampai terbahak-bahak. "Bagus! Bagus sekali! Karena terhalang urusan penting, aku tidak sempat datang mengunjungi pesta Beng-kauw dan mencoba untuk memetik bunga dewata dari Beng-kauw! Sekarang bertemu di sini, bukankah ini jodoh namanya? Sudah lama aku mendengar bahwa puteri Beng-kauw memiliki ilmu kepandaian hebat, apalagi ilmu pedangnya, dan memiliki kecantikan yang tiada bandingya di dunia. Sudah terlalu banyak aku melihat wanita cantik, akan tetapi tidak ada seorang pun yang boleh dikata tiada bandingnya. Akan tetapi melihat kau, benar-benar tak pernah aku melihat lain wanita yang dapat menyamaimu, maka terang bahwa kau tentulah Liu Lu Sian! Aha, kebetulan sekali!"
Akan tetapi ucapan ini sudah membuat Lu Sian tak dapat menahan kemarahannya lagi. Juga ia menjadi lega karena ternyata dari ucapannya itu bahwa Bayisan bukan mengenalnya dari sekali gerakan pedangnya tadi, melainkan dari dugaan tentang ilmu pedang dan kecantikannya. Maka sambil berseru keras ia menggerakkan pedangnya lagi sambil melangkah maju dan menusukkan pedangnya ke arah dada lawan.
Bayisan cepat mengelak, ia miringkan badan ke bawah. Akan tetapi pedang Lu Sian yang bergerak aneh sudah mengejar dengan lanjutan serangan membabat ke arah leher. Cepatnya bukan main! Bayisan terkejut, cepat ia menggulingkan diri ke bawah dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, sambil berguling ia melepaskan sebatang hui-to ke arah lawan.
"Tranggg!" Lu Sian menangkis hui-to lawan, dan sekarang Bayisan sudah berdiri menghadapinya dengan pedang di tangan sambil tertawa.
"Hebat ilmu pedangmu dan hebat kecantikanmu! Kau patut menjadi isteri Panglima Bayisan, mari juwitaku, mari ikut aku ke Khitan. Kita berdua akan dapat merebut kekuasaan di sana dan hidup bahagi...."
"Tranggg!" terpaksa Bayisan menangkis karena cepat sekali pedang Lu Sian sudah menyambar, membacok mulutnya sehingga terpaksa ia menghentikan kata-katanya.
Akan tetapi selanjutnya ia tidak berani membuka mulut lagi karena Lu Sian sudah menyerangnya secara bertubi-tubi. Pedang nona ini berkelebatan laksana naga mengamuk dengan gerakan-gerakan aneh dan ganas. Inilah Ilmu Pedang Toa-hong-kiam (Ilmu Pedang Angin Badai) yang dahsyat. Angin dari pedang ini menggerakkan daun-daun pohon yang tumbuh di pot besar di sudut kiri kamar, malah beberapa helai daun rontok karenanya. Ujung pedangnya berubah banyak sekali, akan tetapi dengan jelas Bayisan melihat ujung yang asli menyerang ganas ke arah perutnya sedangkan ujung pedang lain hanya bayangan karena cepatnya pedang bergerak.
Tentu saja pemuda Khitan murid Ban-pi Lo-cia ini tidak mau dirinya disate oleh pedang lawan. Cepat ia mengubah kuda-kuda kaki menjadi miring sambil menghantamkan pedangnya dari kiri ke kanan. Kembali terdengar suara nyaring bertemunya kedua pedang. Sebelum Lu Sian sempat menyerang kembali, Bayisan sudah melanjutkan pedangnya menusuk ke arah dada kiri!
Lu Sian menggerakkan lengan, pedangnya sudah terputar ke kanan dan tepat sekali menangkis. Namun Bayisan hanya menggertak, sebelum pedang tertangkis ia sudah menarik kembali pedangnya, membuat gerakan lengkung dan membabat ke arah kaki, sedangkan tubuhnya mendoyong ke depan dengan tangan kiri terbuka jarinya mencengkram ke arah dada. Gerakan yang dahsyat, berbahaya, dan juga kurang ajar!
"Aiihhh!!" Seruan yang keluar dari mulut Lu Sian ini bukan seruan biasa, melainkan pekik yang dilakukan dengan pengerahan khikang sehingga kalau saja Bayisan tidak kuat sinkang-nya, tentu akan roboh karena lumpuh terserang pekik luar biasa ini!
Ternyata, seperti juga Bayisan, gadis puteri Beng-kauwcu ini sudah mempelajari mempergunakan jerit yang mengandung tenaga khikang untuk merobohkan lawan. Melihat lawannya tidak terpengaruh oleh pekikannya dan serangan berbahaya itu terus dilanjutkan, Lu Sian meloncat ke atas, membiarkan pedang lawan membabat angin di bawah kedua kakinya sedangkan pedangnya sendiri dengan kecepatan kilat lalu berkelebat membabat tangan kiri lawan yang hendak berbuat kurang ajar tadi.
Di sini terbukti kehebatan Lu Sian yang dapat mengubah kedudukan terserang menjadi penyerang. Namun lawannya juga seorang ahli karena cepat-cepat dapat menarik tangan kirinya sedangkan pedang yang membabat angin itu sudah cepat menusuk tepat ke arah hidung Lu Sian selagi gadis ini turun kembali ke atas lantai. Serangan ini terlalu mudah bagi Lu Sian dan dielakkannya.
Bayisan mempergunakan ilmu pedang gaya barat, kembali pedangnya membabat kedua kaki, dan begitu membabat tubuhnya mendoyong ke belakang sehingga tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk membarengi dengan serangan balasan. Tiap kali Lu Sian meloncat, pedang Bayisan sudah terputar dan menyambut lagi kedua kaki yang turun!
“Menjemukan!" Lu Sian berseru keras.
Tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, hampir dua meter tingginya, dan dari atas pedangnya langsung membabat leher lawan yang tubuhnya mendoyong ke belakang. Bagaikan seekor kura-kura menyembunyikan kepala ke dalam leher, Bayisan menarik lehernya ke bawah dan dengan hati ngeri ia mendengar mendesingnya pedang tepat di atas tengkuknya. Alangkah kagetnya ketika ia melihat Lu Sian tidak turun ke bawah, melainkan malah meloncat dan kini tepat berada di atas kepalanya, kedua kakinya berbareng melakukan gerakan menendang ke bawah ke arah ubun-ubun dan lehernya!
"Lihai...!" serunya, dan kembali ia menggelinding ke atas lantai, tidak peduli bahwa debu tidak saja mengotori bajunya, juga mukanya terkena debu sehingga muka yang tampan menjadi coreng-moreng! Akan tetapi ia selamat dari pada bahaya maut dan kini mereka sudah saling berhadapan lagi.
"Perempuan liar! Kau tidak tahu dicinta orang! Baik, aku akan menggunakan kekerasan menangkapmu. Kalau kau masih hidup dalam pertempuran ini, lihat betapa kau akan menjadi permainanku sebelum kau kubunuh..."
"Tutup mulutmu!"
Lu Sian meloncat ke depan dan kini ia menggunakan jurus Pat-mo Kiam-hoat yang paling lihai. Pedangnya tidak berdesing lagi, melainkan menyambar tanpa suara, hanya angin gerakan pedangnya terasa panas seperti mengandung api. Pedang itu membabat lagi ke arah mulut, mulut pemuda yang kurang ajar dan amat dibencinya. Ia sudah membayangkan akan merobek mulut itu dengan pedangnya.
Akan tetapi Bayisan juga sudah marah dan mengerahkan seluruh kepandaiannya yang ia terima dari Ban-pi Lo-cia. Pedangnya membuat gerakan menyilang, pertama menangkis dan kedua menekan dari atas dengan maksud menindih pedang lawan untuk dapat menggunakan tangan kirinya mengirim pukulan. Namun perhitungannya meleset. Pat-mo Kiam-hoat merupakan ilmu pedang hitam yang penuh dengan akal muslihat, mana mudah ditindih? Bagaikan belut licinnya, pedang itu sudah melesat ke luar dari tenaga tindihannya dan kini membacok ke arah paha kanannya. Bayisan melangkah mundur, dan membarengi pukulan ke arah pusar, sedangkan tangan kirinya kini merupakan senjata hebat dengan dorongan ke depan, mengarah muka dengan pengerahan tenaga sinkang.
Dengan gerakan yang lemas dan indah Lu Sian menekuk tubuh ke kiri tanpa mengubah kedudukan kaki sehingga kepalanya hampir menempel tanah, kemudian pedangnya dari arah kiri itu melesat ke depan hendak merobek perut!
"Trang, trang!" dua kali pedang bertemu karena begitu ditangkis pedang Lu Sian sudah bergerak lagi membacok pundak yang hanya dapat dihindarkan dengan tangkisan ke dua.
Serang-menyerang mati-matian terjadi, setiap tusukan dibalas bacokan dan demikian sebaliknya. Mereka berputaran di dalam ruangan itu, bertanding tanpa saksi. Ada kalanya tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka, ada kalanya mereka bertanding lambat dan bergerak berputar-putar, seperti dua ekor ayam berlaga.
Hampir seratus jurus mereka bertanding, peluh membasahi muka, namun belum ada yang terluka atau terdesak. Biar pun ilmu kepandaian mereka jauh berbeda sifatnya, juga berbeda sumber, namun ternyata tingkat mereka seimbang. Lu Sian kalah sedikit tenaganya, namun kekalahan ini tertutup oleh kelebihannya dalam kelincahan gerak.
Sebagai seorang pemuda mata keranjang yang sudah biasa menggoda dan merusak wanita, tentu saja Bayisan terpesona dan tergila-gila kepada Lu Sian yang memiliki kecantikan sukar dicari tanding. Namun kehebatan ilmu silat gadis ini membuat ia merasa penasaran sekali sehingga serangan-serangannya tidak lagi main-main dan lenyaplah keinginannya menawan hidup-hidup karena lawannya benar-benar berbahaya sekali. Kini ia tidak peduli lagi apakah ia akan dapat menawan hidup-hidup atau harus membunuh, pokoknya ia harus menang karena kalau ia kalah berarti kematian baginya! Mereka bertanding tanpa sebab tertentu, keduanya sudah melupakan urusan yang membuat mereka datang ke tempat itu.
Setelah lewat seratus jurus Liu Lu Sian maklum akan kemenangannya dalam ginkang. Cepat ia menggunakan keunggulan ini, mengerahkan ginkang-nya, menggerakkan tubuhnya secepat burung walet menyambar-nyambar, pedangnya berkelebat bagaikan kilat halilintar. Dengan campuran Toa-hong Kiam-hoat dan Pat-mo Kiam-hoat, ia dapat mendesak lawannya tanpa memberi kesempatan pedangnya beradu, karena terlalu sering beradu pedang berarti kerugian baginya karena ia kalah tenaga.
Bayisan mulai terdesak dan di dalam hati ia menyumpah-nyumpah. Namun tidaklah mudah bagi Lu Sian untuk mengalahkan lawan ini, lawan yang baru kali ini ia temui tanpa dapat menjatuhkannya dengan segera. Selain Kwee Seng baru kali ini ia bertemu tanding yang begini muda tapi begini tangguh, sehingga ia merasa penasaran sekali, penasaran dan marah sehingga ia tak akan berhenti sebelum dapat membinasakannya!
Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, pedangnya yang telah mengurung lawan, meluncur dari atas menusuk tengkuk Bayisan yang baru saja membalikkan tubuh karena melihat gadis itu tahu-tahu sudah bergerak cepat dan berada di belakangnya. Bayisan mengerti bahwa tengkuk lehernya berada dalam keadaan gawat, salah-salah bisa putus. Maka sambil membalik tadi ia cepat membabatkan pedang dengan setengah putaran melindungi tengkuk. Akan tetapi karena ia menangkis dengan badan setengah membalik, maka kali ini tenaganya tidak dapat dipergunakan sepenuhnya dan tidak berhasil menindih tenaga Lu Sian yang sebaliknya memang memperhitungkan hal ini dan telah mengerahkan tenaga sepenuhnya, menggetarkan pedang yang tersalur tenaga sinkang sehingga untuk beberapa detik kedua pedang saling menempel dan lekat!
Pada detik itu juga Lu Sian telah menggerakkan tangan kirinya dan dalam pandangan Bayisan, tangan kiri gadis itu seakan-akan berubah menjadi seekor ular karena gerakannya lenggak-lenggok macam ular akan tetapi tahu-tahu dua buah jari tangan itu telah mengancam sepasang biji matanya! Hebat sekali serangan Lu Sian kali ini, karena gerakan tubuhnya adalah berdasarkan Toa-hong-kun, gerakan pedangnya berdasarkan Pat-mo Kiam-hoat, sedangkan tangan kirinya ini mainkan gerakan Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti). Sekaligus dapat mainkan jurus-jurus campuran dari tiga macam ilmu silat tinggi, dapat dibayangkan kehebatannya.
"Ayaaaaa!!" Bayisan berseru keras saking kagetnya, mengerahkan tenaga untuk menarik pedang dan terus menggunakan tenaga tarikan itu untuk melempar tubuhnya ke belakang, bergulingan sampai beberapa meter dan baru berhenti setelah tubuhnya membentur dinding.
Akan tetapi pada saat ia melompat bangun, tangan kirinya bergerak dan sinar hitam menyambar cepat ke arah Lu Sian! Kiranya ketika menghindarkan diri dari serangan maut sambil bergulingan tadi, Bayisan sudah mengeluarkan senjata rahasianya dan begitu meloncat bangun telah membalas dengan senjata gelap ini. Memang hebat! Kali ini ia tidak menggunakan hui-to yang telah dua kali ia pergunakan tanpa hasil, maka kini ia menggunakan Jarum Racun Hitam (Hek-tok-ciam) yang pernah ia pergunakan terhadap Kwee Seng sehingga pemuda sakti itu terjungkal ke dalam jurang. Sekarang, saking jengkelnya menghadapi gadis jelita yang amat hebat ilmu kepandaiannya ini, Bayisan tidak segan-segan mempergunakan jarum racunnya.
Melihat sinar hitam dan desir angin, Lu Sian berseru marah. Dia sendiri adalah seorang ahli senjata rahasia jarum, tentu saja sekali melihat ia tahu benda apa yang menyambar itu. Tangan kirinya menyambar ikat pinggangnya dari sutera, dan sekali menggerakkan pergelangan tangan, ikat pinggang itu bergulung menjadi sinar kuning emas dan tergulunglah jarum-jarum hitam lawan menempel pada ujung ikat pinggang. Kemudian sekali ia menghentakkan tangan kirinya, jarum-jarum itu terbang ke arah Bayisan! Ini masih belum hebat, biar pun sudah membikin Bayisan berseru kagum dan kaget, karena gerakan kain dari tangan kiri Lu Sian menciptakan sinar hitam tertiup angin, menyambar ke arah Bayisan. Ternyata gadis ini pun mengeluarkan jarum hitamnya, selain mengembalikan senjata lawan, juga memberi ‘hidangan’ yang sama dan yang tidak kalah lezatnya!
"Aiiihhh, perempuan iblis!" teriak Bayisan yang cepat memutar pedangnya menangkis jarum-jarum itu.
Lu Sian tersenyum puas dan menerjang maju lagi. Kembali terdengar berdesingnya pedang, disusul berkerontangannya kedua pedang bertemu, dan menyambarnya angin dari gerakan kedua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi ini.
Pada saat itu terdengar suara bentakan laki-laki dari luar, "Iblis Khitan penjahat cabul, kau menipu kami!"
Maka muncullah tiga orang laki-laki setengah tua yang berpakaian seperti jembel pengemis. Mereka itu berpakaian pengemis, pakaian mereka penuh tambalan bermacam-macam warna, akan tetapi tubuh mereka tampak sehat dan kuat, sedangkan gerakan mereka ketika muncul diruangan itu, kelihatan gesit-gesit sekali. Mereka semua membawa sebatang tongkat di tangan, tongkat yang butut akan tetapi di ujungnya dipasangi besi berwarna merah.
Munculnya tiga orang jembel ini menghentikan pertandingan itu.
Bayisan memandang mereka dengan kening berkerut. "Apa maksud kalian memaki?" bentaknya.
"Masih pura-pura lagi! Kau mengaku seorang pendekar yang hendak membantu pembebasan Kam-goanswe yang kami muliakan, akan tetapi apakah yang kau lakukan di dusun Ki-san? Kau membasmi keluarga yang dengan baik hati telah menolong dan merawatmu. Keparat!" Setelah seorang di antara tiga jembel itu berkata demikian, mereka serentak maju menerjang.
Melihat ini Bayisan kaget sekali. Gerakan mereka itu cukup hebat, sungguh pun tentu ia tidak gentar menghadapi keroyokan tiga orang pengemis ini. Namun kalau mereka bertiga membantu Lu Sian menghadapinya, tentu ia akan celaka. Kepandaiannya melawan Lu Sian berimbang, ada sedikit saja bantuan yang menambah tenaga Lu Sian, berarti ia menghadapi maut. Bayisan cerdik orangnya. Melihat gelagat tidak menguntungkan dirinya, ia tertawa dan tiba-tiba tubuhnya meloncat ke luar dari jendela.
Tiga orang pengemis itu mengejar cepat. "Hendak lari ke mana kau jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga)?"
Akan tetapi Lu Sian tidak mengejar. Gadis ini hanya mengangkat pundaknya saja. Ia tidak mempunyai urusan dengan Bayisan, dan pertandingan tadi sudah cukup untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya terhadap kekurang-ajaran Bayisan. Tentang Bayisan memperkosa atau membunuh orang, itu bukan urusannya dan ia tidak akan mencampuri. Apalagi kalau mendengar kata-kata pengemis tadi bahwa Bayisan bermaksud membantu pembebasan Kam Si Ek. Bukankan itu berarti bahwa Bayisan adalah seorang sahabat Kam Si Ek?
Tiga orang pengemis tadi baru mengejar sampai di depan kelenteng, tiba-tiba Bayisan membalik dan menyerang mereka dengan jarum-jarum hitamnya. Tiga orang pengemis itu bukan orang-orang sembarangan pula. Cepat mereka mengelak sehingga jarum-jarum itu lewat di dekat tubuh mereka, menancap dan lenyap ke dalam tembok. Akan tetapi bau jarum-jarum yang amis itu membuat mereka kaget sekali.
"Jarum-jarum beracun...!" teriak mereka dan sejenak mereka ragu-ragu untuk melanjutkan pengejaran. Bayisan sudah pergi jauh dan melihat jarum beracun ini, tiga orang pengemis itu tidak berani mengejar lagi. Teringat akan gadis perkasa yang tadi sanggup menahan pedang orang Khitan yang kosen itu, mereka segera memasuki kelenteng.
Lu Sian tidak membuang waktu lagi. Melihat mereka menjura dengan hormat, sebelum mereka membuka mulut ia sudah bertanya, "Tiga sahabat dari partai pengemis manakah?"
Pada masa itu memang para pengemis membentuk perkumpulan, dan hal ini dipergunakan oleh orang-orang kang-ouw untuk menyamar sebagai pengemis pula dan terbentuklah perkumpulan-perkumpulan pengemis. Mereka dapat bergerak leluasa dan tidak begitu menarik perhatian.
Tahu bahwa gadis itu bukan orang sembarangan, pengemis tertua menjura dan memperkenalkan diri. "Kami adalah pimpinan dari Wei-ho-kai-pang."
"Ah, kiranya Sam-wi (Tuan Bertiga) adalah Sin-tung Sam-kai (Tiga Pengemis Tongkat Sakti)? Hemm, kebetulan sekali. Aku adalah Liu Lu Sian, puteri Beng-kauwcu...."
"Ah, maaf... maaf, kami telah berlaku kurang hormat terhadap Lihiap. Maaf bahwa beberapa bulan yang lalu kami tidak dapat datang menghadap ayah Lihiap (Pendekar Wanita)."
"Tidak apa," kata Lu Sian yang serta merta menganggap mereka itu sahabat karena ucapan mereka tadi yang memuliakan Kam Si Ek. "Tahukah kalian di mana adanya Kam-goanswe sekarang? Aku mendengar bahwa dia dijebak orang jahat di kelenteng ini, dan tadi kalian bicara tentang Kam-goanswe kepada orang Khitan itu, apa artinya semua ini? Harap Sam-wi suka menceritakan dengan jelas."
Diam-diam tiga orang itu saling pandang. Mereka sama sekali tidak tahu apa hubungannya puteri Beng-kauw dengan jederal muda yang mereka kagumi itu. Akan tetapi mengingat akan kebesaran nama Pat-jiu Sin-ong Liu Gan Ketua Bang-kauw, dan menduga bahwa gadis ini tentu bermaksud baik, mereka lalu bercerita.
Memang sesungguhnya Kam Si Ek dengan hanya sedikit pengawal telah keluar dari benteng menuju ke ibu kota Shan-si untuk memenuhi panggilan Gubernur Li Ko Yung yang disampaikan oleh Phang-siangkun, si Komandan muka hitam yang diam-diam mengatur pengkhianatan untuk menjatuhkan Kam Si Ek. Setelah tiba di kota Poki, rombongan Kam Si Ek dicegat oleh gerombolan yang memang sudah disiapkan terlebih dulu.
Celakanya, para pengawal Kam Si Ek diam-diam sudah disogok pula oleh Phang-ciangkun, sehingga selagi tidur Kam Si Ek dapat disergap dan dijadikan tawanan. Penyergapan dilakukan di dalam kelenteng yang memang diajukan sebagai tempat penginapan oleh para pengawal Kam Si Ek. Sebagai seorang komandan yang jujur dan tidak mau mengganggu rakyat, Kam Si Ek memang biasa melakukan perjalanan sederhana, menginap pun di mana saja asal jangan mengganggu penduduk, maka usul untuk bemalam di rumah kelenteng itu diterimanya dengan baik.
"Kami menyaksikan itu semua karena kebetulan sekali kelenteng tua ini sejak lama menjadi tempat perkumpulan kami para pengemis Wei-ho-kai-pang." Demikian seorang di antara pimpinan kai-pang (perkumpulan jembel) itu berkata, "Kami amat kagum kepada Kam-goanswe dan ingin sekali menolongnya, akan tetapi apakah yang dapat kami lakukan terhadap pasukan yang begitu ketat, apalagi yang dikawal pula oleh tokoh-tokoh rahasia berilmu tinggi yang sengaja dikirim dari Kerajaan Liang?"
"Hemm, kalau begitu, yang merencanakan panawanan tehadap diri Kam-goanswe adalah Kerajaan Liang?"
"Betul, Lihiap. Seperti diketahui, Kerajaan Liang setelah berhasil merobohkan Kerajaan Tang, selalu mengalami rongrongan dari pelbagai pihak yang hendak menjatuhkannya pula. Terjadi perebutan kekuasaan dan selain ancaman bangsa liar dari utara, juga Kerajaan Liang harus menghadapi ancaman yang tidak kalah hebatnya dari bangsa sendiri yang memperebutkan kekuasaan setelah Kerajaan Tang roboh. Kam-goanswe terkenal sebagai seorang jenderal yang jujur, setia dan pengetahuannya akan ilmu perang amat terkenal. Inilah sebabnya Kerajaan Liang ingin sekali mempergunakan tenaganya. Cara satu-satunya hanya menculiknya karena Jenderal Kam tidak pernah mau mengakui kedaulatan kerajaan-kerajaan baru yang banyak muncul setelah Kerajaan Tang jatuh. Dia seorang pahlawan sejati, seorang patriot yang betul-betul hanya mementingkan negara dan rakyat, sama sekali tidak meributkan soal kedudukan dan kemuliaan pribadi."
Lu Sian biasanya tidak peduli akan keadaan negara. Kini ia tertarik sekali dan makin kagumlah ia terhadap Kam Si Ek, amat senang hatinya mendengar nama pemuda pilihan hatinya itu dipuji-puji. Dengan penuh perhatian ia mendengarkan cerita tiga orang pengemis itu, cerita tentang keadaan negara yang biasanya ia takkan suka mempedulikannya.
Menurut cerita Sin-tung Sam-kai, semenjak Kerajaan Tang roboh pada tahun 907 oleh pemberontakan Gubernur Ho-nan yang bernama Cu Bun yang kemudian mendirikan kerajaan baru yang disebut Kerajaan Liang, maka keadaan tidak pernah aman. Perang terjadi dimana-mana, perebutan kekuasaan selalu terjadi. Para pejabat tinggi bekas Kerajaan Tang mengangkat diri sendiri menjadi raja muda dan sebagian besar tidak mau tunduk kepada raja baru itu. Sementara itu, ancaman dari utara dan barat masih terus datang sehingga keadaan makin kacau balau. Banyak pula bekas pejabat tinggi Kerajaan Tang yang masih setia dan mereka ini pun menggunakan pelbagai usaha untuk mendirikan kembali kerajaan yang sudah jatuh.
"Sehari setelah Kam-goanswe dibawa pergi oleh pasukan Kerajaan Liang, di sini muncul Bayisan yang mengaku seorang pendekar sahabat baik Kam-goanswe. Dia telah memperlihatkan kepandaiannya sehingga kami percaya. Ketika dia minta bantuan kami untuk menyelidiki ke mana Kam-goanswe dibawa, kami lalu mengerahkan anak buah kami untuk melakukan penyelidikan itu. Akan tetapi, dengan kaget kami mendengar berita dari seorang anak buah kami akan kejahatan Bayisan itu di dusun Ki-san."
"Apa yang ia lakukan?"
"Seorang pencari kayu di hutan pada suatu hari mendapatkan Bayisan dalam keadaan pingsan di dalam hutan. Pencari kayu she Chie itu menolongnya dan membawanya pulang ke rumah. Akan tetapi apa yang dilakukan jahanam itu sebagai balas budi ini? Selama dua hari dia memperkosa dan mempermainkan anak gadis pencari kayu itu! Dua hari kemudian ia membunuh pencari kayu berikut isterinya dan anak-anaknya sebanyak tiga orang berikut gadis itu sendiri! Tentu saja kami yang mendengar ini menjadi marah sekali dan menyerbu ke sini, kiranya Lihiap sudah lebih dulu datang menggempurnya. Sayang ia terlalu lihai sehingga kita tak dapat membinasakannya!"
Akan tetapi Lu Sian sama sekali tidak tertarik oleh cerita tentang Bayisan ini. Maka ia cepat bertanya, "Lalu, bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian? Kemana Kam-goanswe dibawa oleh pasukan itu?"
"Sudah kami selidiki dan ternyata dibawa ke kota raja, yaitu di ibukota Ho-nan."
“Ke mana pun juga akan kukejar,” pikir Lu Sian. Ibu kota Ho-nan yang sekarang menjadi kota raja adalah Kai-feng, dan ia harus segera berangkat ke sana. "Dan Bayisan itu, apa maksudnya dengan pernyataannya bahwa ia hendak menolong Kam-goanswe pula?" tanyanya pula.
"Kami tidak tahu jelas karena ia seorang yang berhati palsu. Akan tetapi kami dapat menduganya, Lihiap. Bukan tak mungkin bahwa dia pun seorang kepercayaan Kerajaan Khitan yang juga ingin sekali mempergunakan tenaga dan pikiran Kam-goanswe dalam soal ilmu perang. Bangsa Khitan sendiri sudah berkali-kali mengalami kekalahan apabila berhadapan dengan pasukan yang dipimpin Kam-goanswe."
"Baik, terima kasih, Sin-tung Sam-kai. Sekarang perkenankan aku pergi, aku hendak menyelidiki ke Kai-feng."
"Berhati-hatilah, Lihiap. Dalam masa perebutan kekuasaan ini, raja-raja muda banyak menarik tenaga orang-orang pandai yang tentu akan berlomba merampas seorang penting seperti Kam-goanswe."
Dengan tergesa-gesa karena masih saja hatinya mengkhawatirkan nasib jenderal muda she Kam itu, Liu Lu Sian segera meninggalkan kota Poki, kembali ke dusun di luar kota untuk mengambil kudanya, kemudian ia membalapkan kuda itu ke timur-laut, menuju ke kota raja dari Kerajaan Liang.
Apa yang diceritakan secara singkat oleh Sin-tung Sam-kai tiga orang pimpinan perkumpulan jembel Wei-ho-kai-pang itu memang benar. Perebutan kekuasaan di antara para bekas pembesar tinggi Kerajaan Tang, para bekas pangeran dan raja muda yang mengangkat diri sendiri setelah Kerajaan Tang roboh, benar-benar membuat rakyat amat menderita. Rakyat yang tidak tahu apa-apa, yang lemah dan miskin, selalu menjadi korban tiap kali terjadi perang dan keributan. Pemuda-pemudanya dipaksa menjadi tentara, hasil sawah ladangnya dirampasi, pajaknya diperberat secara paksa, gadis-gadisnya yang muda dan cantik diambil secara paksa untuk menghibur pasukan-pasukan yang lewat.
Akan tetapi, mereka yang tergolong orang-orang pandai, ahli silat dan ahli perang, bermunculan dan keadaan keruh seperti itulah merupakan masa jaya bagi mereka. Inilah masanya bagi para perampok untuk beraksi tanpa takut dihancurkan petugas keamanan karena orang lebih meributkan mencari kedudukan dari pada menjaga keamanan rakyat. Masanya bagi yang kuat menindas yang lemah. Di masa tenteram, orang-orang sakti akan pergi ke goa-goa, ke puncak-puncak gunung, ke tepi-tepi laut untuk bertapa. Kini dalam keadaan kacau-balau mereka turun gunung masuk kota raja untuk menawarkan kepandaian serta mencari jasa dan kedudukan mulia!
Dan memang para raja muda yang mempunyai cita-cita mengangkat diri menjadi raja besar amat membutuhkan tenaga orang-orang sakti ini. Tidak peduli si orang sakti itu terdiri dari golongan hitam mau pun putih, penjahat mau pun pendeta, asal sakti dan tenaganya dapat dipergunakan, tentu oleh si pangeran atau raja muda akan diterima penuh kegembiraan, dihujani hadiah emas permata, pakaian indah, makanan lezat, atau wanita cantik.
Memang menurut sejarah, jaman Lima Wangsa selama setengah abad ini, adalah jaman yang paling keruh dan penuh dengan perang antara saudara. Semenjak Kerajaan Tang jatuh dalam tahun 907, disusul dengan perebutan kekuasaan yang memecah-mecah bangsa. Dunia kang-ouw terpecah-belah pula, karena masing-masing membela yang mempergunakan jasa mereka. Tidak jarang terjadi bentrokan hebat antara perkumpulan-perkumpulan orang gagah. Bahkan parai-partai persilatan besar, kelenteng-kelenteng besar yang mempunyai banyak anak murid banyak yang terseret-seret.
Dalam perjalanannya mencari Kam Si Ek menuju ke ibu kota Kai-feng yang berada di lembah selatan Sungai Kuning, Liu Lu Sian banyak sekali melihat pertempuran-pertempuran dan banyak penderitaan para pengungsi! Namun karena ia sendiri mempunyai urusan penting yang amat menggoda hatinya, maka ia sengaja menjauhkan diri dari semua halangan, tidak mau melayani urusan kecil yang akan memperlambat perjalanannya dan tidak mempedulikan pula penderitaan para pengungsi yang amat menyedihkan itu. Akan tetapi, pada suatu hari ia tertarik juga akan sesuatu peristiwa dan terpaksa menunda perjalanannya untuk menyaksikan peristiwa itu.
Pagi hari itu, ketika Lu Sian menunggangi kudanya melalui jalan sunyi yang rusak oleh air hujan, tiba-tiba ia mendengar suara jeritan yang sambung menyambung. Suara seperti ini sudah biasa ia dengar. Tentu wanita yang diculik pasukan tentara, atau diganggu orang jahat, pikirnya tanpa mau mempedulikannya. Akan tetapi pekik itu tidak hanya jerit wanita, bahkan pula teriakan laki-laki yang agaknya menghadapi maut. Ini pun tidak menarik perhatian Lu Sian.
Tiba-tiba ia menghentikan kudanya dengan menahan kendali. Telinganya mendengar bersiutnya angin yang aneh. Itulah hawa pukulan yang luar biasa, pikirnya. Tentu ada orang sakti yang bertempur di sana. Sebagai seorang ahli silat, hal ini amat menarik hatinya dan ia segera meloncat turun dari kudanya, membiarkan kudanya makan rumput di situ lalu ia sendiri berlari memasuki dusun itu, menyelinap di antara pohon dan semak-semak.
Ia melihat seorang kakek yang rambutnya riap-riapan, akan tetapi pakaiannya biar pun kotor berdebu terbuat dari pada bahan sutera yang mahal, mukanya keruh, pandang matanya kejam, alisnya berkerut seperti orang marah. Kakek ini duduk di atas sebuah batu besar di pinggir jalan, kedua kakinya bersila dan kelihatan lemas. Di dekat batu besar itu tampak sebuah dipan bambu yang biasa digunakan orang untuk mengangkut orang-orang sakit, dan dua orang pemanggulnya kini berada di belakang kakek itu, seorang duduk mengipasi lehernya yang berkeringat dan yang seorang lagi berdiri sambil bertolak pinggang mengikuti gerakan kakek tadi. Melihat wajah dua orang itu yang bodoh, mereka itu agaknya hanya tukang panggul dipan itu yang hanya bertenaga besar.
Yang amat menarik perhatian Lu Sian adalah di sekeliling tempat duduk kakek itu, di mana tampak belasan mayat bergelimpangan. Mereka itu tidak kelihatan terluka dan di dekat mereka banyak senjata malang melintang, bahkan di antara mayat itu ada yang masih memegang pedang. Akan tetapi semua mayat itu mengeluarkan darah dari mulut, hidung, mata dan telinga! Di antaranya terdapat pula wanita-wanita yang agaknya hanya wanita biasa, mungkin para pengungsi karena di sana-sini kelihatan buntalan-buntalan pakaian.
Pada saat itu datang pula serombongan pengungsi, di depannya berjalan dua orang laki-laki muda dan seorang gadis tanggung. Melihat gerakan mereka, dapat diduga bahwa dua orang pemuda itu memiliki kepandaian silat, bahkan yang seorang sudah memegang sebatang pedang telanjang. Para pengungsi laki-laki dan perempuan dan yang jumlahnya dua puluh orang lebih, berjalan di belakang tiga orang muda itu dengan mata terbelalak lebar membayangkan kengerian dan ketakutan.
"Mana dia? Mana kakek gila yang jahat dan membunuhi pengungsi itu?" bentak pemuda yang memegang pedang.
Para pengungsi yang berada di belakangnya dengan muka pucat menuding ke arah kakek yang sedang duduk tenang di atas batu sambil berkata, "Itu dia, iblis tua itu..."
Si Pemuda bersama dua orang temannya tercengang, seperti tidak percaya. Pemuda berpedang melangkah maju. "Dia ini...? Kakek lumpuh...?"
Kakek itu membuka matanya yang tadinya seperti selalu ditutup, memandang tiga orang muda dengan penuh perhatian, lalu dengan suara malas bertanya. "Kalian juga mengungsi? Apakah hendak tunduk kepada kerajaan pemberontak Liang?"
"Kakek iblis! Orang-orang ini mengungsi menyelamatkan diri dari ancaman perang, mengapa kau bunuh mereka? Siapa kau?" bentak pemuda berpedang.
"Jawab! Kalian hendak mengungsi dan tunduk kepada pemberontak Liang?"
"Kami tunduk kepada pemerintah yang mana, peduli apa denganmu?"
"Hemm, kalian tidak setia kepada Kerajaan Tang, maka harus mati juga."
"Kakek gila! Kau... kau pembunuh kejam, kau harus dienyahkan..."
Pemuda itu menerjang maju dengan pedang digerakkan, akan tetapi dengan tenang kakek itu menggerakkan tangan kirinya, didorongkan dengan jari tangan terbuka. Bagaikan sehelai daun kering tertiup angin, pemuda berpedang itu terangkat dan terlempar ke belakang, menjerit dan roboh dengan pedang di tangan. Dari mulut, hidung, mata dan telinganya keluar darah. Gadis tanggung itu menubruknya dan menangis ketika menyaksikan bahwa kakaknya itu ternyata telah tewas!
"Siluman keji...!" Pemuda ke dua marah sekali, lupa akan bahaya dan melompat ke depan, kedua tangannya bergerak memukul.
Si kakek tetap tenang, kembali tangan kirinya terangkat dan... pemuda kedua itu mengalami nasib yang sama. Tubuhnya terangkat dan terlempar lalu terbanting ke bawah, tewas dalam keadaan mengerikan! Kakek itu tidak berhenti sampai di situ, ia menggerakkan tangannya pula dan kini gadis tanggung yang menangis itu bagaikan kena hantam kepalanya oleh palu godam, terjengkang dan tewas, juga berdarah dari mulut, hidung, mata dan telinganya!
Melihat ini, para pengungsi itu lari seperti dikejar setan dan keadaan di situ sunyi kembali. Lu Sian bergidik. Hebat kakek ini. Pukulan jarak jauhnya membayangkan tenaga sinkang yang luar biasa. Lu Sian bersembunyi dan mengintai terus. Dari jauh datang lagi rombongan pengungsi baru, terdiri dari sebelas orang. Mereka itu terkejut ketika melihat mayat bergelimpangan di pinggir jalan, akan tetapi mereka tidak menaruh curiga kepada si Kakek Lumpuh.
"Apa yang terjadi? Lopek, apakah yang terjadi di sini? Mengapa begini banyak orang mati...?" seorang di antara rombongan pengungsi itu bertanya.
Dengan gerakan perlahan kakek itu menoleh, menyapu para pengungsi yang terdiri dari dua keluarga itu dengan pandang mata dingin. "Kalian hendak mengungsi ke daerah Kerajaan Liang?"
"Tidak," jawab orang itu, "Kami mencari daerah tak bertuan, lebih baik hidup di gunung-gunung di mana terdapat ketenteraman."
"Hemm, kalian tidak senang dengan pemberontak Liang?"
"Ah, semenjak runtuhnya Kerajaan Tang, kami tidak pernah mengalami ketenteraman lagi. Biar pun banyak hidup kerajaan-kerajaan baru, mana ada pemerintah yang menyenangkan sekarang ini?"
Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak, tangannya merogoh saku baju dan ia melemparkan sekantung uang perak. "Terimalah ini, berangkatlah dan memang lebih baik kalian mengungsi ke gunung-gunung. Selamat jalan!"
Orang itu terkejut dan bingung, pandang matanya menaruh curiga. Pasti kakek aneh ini ada hubungannya dengan kematian begitu banyak orang. Setelah menghaturkan terima kasih, ia tergesa-gesa membawa keluarganya meninggalkan tempat itu.
Setelah rombongan ini pergi, sampai sore hari hanya serombongan pengungsi lagi yang lewat di situ, terdiri dari belasan orang yang kesemuanya, dari anak bayi sampai kakek-kakek, dibunuh oleh kakek lumpuh ini karena mereka itu semua hendak mengungsi ke kota raja Liang, yaitu kota Lok-yang! Bertumpuk-tumpuk mayat pengungsi di tempat itu, dan si Kakek Lumpuh lalu pergi dari situ, duduk di atas pikulan yang berupa dipan bambu digotong dua orang pemikulnya.
Liu Lu Sian adalah puteri ketua Beng-kauw. Semenjak kecil gadis ini berdekatan dengan orang kang-ouw yang sakti dan aneh, tidak heran pula melihat kekejaman-kekejaman yang dilakukan orang. Ayahnya dan para pimpinan Beng-kauw juga merupakan orang-orang aneh yang dapat membunuh orang lain begitu saja tanpa berkedip. Akan tetapi kini menyaksikan kakek lumpuh yang membunuh para pengungsi tanpa pilih bulu, laki perempuan tua muda, sampai bayi dibunuh hanya karena mereka hendak mengungsi ke Lok-yang, benar-benar ia menjadi kaget dan bergidik. Bukan main kejamnya kakek lumpuh ini, pikirnya. Biar pun urusannya itu tiada tiada sangkut-pautnya dengan dirinya, namun ia sudah merasa tertarik untuk mengikuti kakek lumpuh itu, dan kalau perlu ia hendak turun tangan mencoba-coba kehebatan si Kakek Lumpuh yang ia percaya tentu mempunyai kepandaian tinggi sekali.
Kakek itu bermalam di sebuah gubuk rusak di pinggir sawah, dilayani oleh kedua orang pemikulnya. Betapa herannya hati Lu Sian ketika kakek itu mengeluarkan sekantung uang emas, memberikan kepada kedua pemikulnya sambil berpesan agar besok kedua orang itu mencarikan sebuah kereta dan kuda yang baik untuknya.
"Aku hendak melakukan perjalanan jauh ke selatan, kalian mana kuat memikul aku terus?" demikian katanya dengan suara perlahan akan tetapi berpengaruh sedangkan kalimatnya teratur baik seperti ucapan seorang pembesar atau bangsawan.
Dua orang pemikul itu tidak banyak cakap, akan tetapi mereka itu memperlihatkan sikap menghormat sekali, menyanggupi dan menyebut paduka kepada kakek itu, kadang-kadang menyebut Ong-ya atau Taijin.
Malam itu bulan bersinar penuh. Lu Sian masih mengintai di sekitar tempat itu ketika ia melihat berkelebatnya bayangan yang gerakannya cepat bukan main. Tahu-tahu bayangan itu sudah tiba di depan gubuk di mana si Kakek Lumpuh berada, dan terdengar suara erangan laki-laki yang parau tetapi nyaring.
"Hee, Couw Pa Ong! Kau terkenal dengan julukan Sin-jiu (Tangan Sakti), apakah tangan saktimu itu hanya untuk membunuhi rakyat tidak berdosa? Sin-jiu Couw Pa Ong, kalau ada kepandaian, keluarlah!"
Terdengar suara tertawa mengejek dari dalam gubuk. “Couw Pa Ong Si Raja Muda sudah lenyap bersama lenyapnya Kerajaan Tang yang besar! Akan tetapi aku Si Tua Bangka Kong Lo Sengjin akan membunuh setiap orang yang tidak setia kepada Dinasti Tang. Orang usilan, kau siapa?"
Orang di luar itu tertawa juga. "Ha-ha-ha, Couw Pa Ong! Setelah kau kalah dan remuk kedua kakimu, kau merasa malu dengan kekalahanmu sehingga kau mengganti nama? Ha-ha-ha, sungguh lucu! Biar pun mengganti nama seribu kali, siapa tidak akan mengenal Sin-jiu Couw Pa Ong yang besar namanya akan tetapi kini sudah bangkrut dan lumpuh? Pinceng Houw Hwat Hwesio dari Siauw-lim-si, tidak akan mendiamkan saja melihat kau bertindak sewenang-wenang!"
Dari dalam gubuk terdengar suara meludah. "Cuhhh! Segala macam pendeta! Kau selalu hanya membantu yang menang, untuk yang kuat memberi sumbangan, untuk orang-orang kaya dan orang-orang segolongan. He, pendeta tengik! Selama kau menjadi pendeta pernahkah kau berdoa untuk si miskin jembel kelaparan? Pernahkah kau berdoa untuk si jahat agar kembali ke jalan yang benar? Pernah kau membantu untuk pelaksanaan doa-doamu dengan perbuatan nyata? Apa jasamu untuk negara dan bangsa? Apakah orang-orang menjadi baik setelah kau setiap hari bersembahyang?"
"Cukup! Kau bekas raja muda memang terkenal jahat, tidak mengenal Thian!" si Hwesio marah, memutar toya (tongkat panjang) dan mendekati pintu gubuk.
"Ha-ha-ha-ha! Apakah tandanya orang mengenal Tuhan? Hanya karena gerak bibir dan goyang lidah cukup menjadi tanda mengenal Tuhan? Dengar, pendeta tengik! Orang bisa saja mengenal Tuhan tanpa mempedulikan perilaku kebajikan, akan tetapi tak mungkin orang mengabdi kebajikan tanpa mengenal Tuhan! Perbuatan nyata yang menjadi ukuran, bukan gerak bibir dan goyang lidah!"
"Apa perbuatanmu baik? Ihhh, manusia yang sudah gelap hatinya! Kalau pinceng (aku) tidak turun tangan menghukummu mewakili Thian, kau tentu akan makin merajalela!" Setelah berkata demikian, hwesio itu berkelebat memasuki pintu gubuk.
Liu Lu Sian memandang penuh perhatian. Gerakan hwesio cukup hebat dan ia pikir tentu kakek lumpuh itu akan menghadapi lawan tangguh. Akan tetapi setelah hwesio itu menerobos masuk, ia hanya mendengar suara ketawa si Kakek Lumpuh, dibarengi suara berderak....
“Krakkkk!” dan disusul melayangnya tubuh hwesio itu keluar gubuk bersama toyanya yang sudah patah-patah menjadi tiga potong! Akan tetapi hwesio itu bukan terlempar melainkan melompat ke luar. Agaknya ia gentar dan juga marah.
"Couw Pa Ong orang buronan (pelarian)! Pinceng datang memang bukan untuk melawanmu seorang diri, akan tetapi hendak menyampaikan tantangan! Kalau memang gagah, datanglah di tepi sungai, kami Wei-ho Si-eng (Empat Orang Gagah Sungai Wei-ho) menantimu malam ini juga!"
"Ha-ha-ha! Aku Kong Lo Sengjin mana kenal segala cacing tanah yang bernama Wei-ho Si-eng segala? Akan tetapi jangan kira karena kedua kakiku lumpuh, kalian empat ekor cacing tanah dapat menghinaku. Kalian tentulah empat orang pengkhianat dan penjilat Kerajaan Liang. Kalian harus kubunuh. Kau tunggulah, sekarang juga aku datang memenuhi tantanganmu!"
Hwesio itu melesat pergi dengan gerakan cepat sekali. Liu Sian makin tertarik. Ia sudah mendengar dari ayahnya akan nama Sin-jiu Couw Pa Ong yang terhitung seorang di antara tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Menurut cerita ayahnya, Couw Pa Ong adalah seorang Raja Muda Kerajaan Tang yang memiliki ilmu silat tinggi sekali, seorang yang mempertahankan Kerajaan Tang, akan tetapi karena pengeroyokan orang-orang gagah yang berusaha menjatuhkan kerajaan itu, ia kalah dan terpukul hancur kedua kakinya. Semenjak itu orang tidak mendengar lagi namanya dan ia dianggap sebagai seorang pelarian yang selalu dicari oleh Kerajaan Liang untuk dibinasakan.
Sekarang ia secara kebetulan bertemu dengan tokoh ini, menyaksikan keganasan yang luar biasa dan juga sebentar lagi ia akan menyaksikan kelihaian kakek lumpuh ini menghadapi empat orang gagah yang berjuluk Wei-ho Si-eng. Maka ketika ia melihat kakek itu keluar dari gubuk, duduk di atas dipan bambu dan dipikul dua orang pelayannya, secara diam-diam ia mengikuti dari jauh. Tidak berani ia mengikuti terlalu dekat karena kakek lihai itu berbahaya sekali dan ia tidak mau melibatkan diri dalam pertandingan yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Maka ia malah mendahului larinya dua orang pemikul itu, menuju ke tepi sungai. Ia melihat empat orang itu sudah menanti musuh.
Di bawah sinar bulan yang penuh dan terang ia memperhatikan mereka. Ia melihat seorang hwesio setengah tua, yang ia duga tentulah hwesio yang tadi dipatahkan toyanya oleh si Kakek Lumpuh. Hwesio ini bertangan kosong, akan tetapi melihat bentuk tubuhnya yang tegap, dapat dibayangkan bahwa tanpa toya, hwesio bernama Houw Hwat Hwesio murid Siauw-lim-pai ini tentulah seorang lawan yang cukup tangguh.
Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, memegang sebatang tongkat baja, berdiri tegak memandang ke depan. Orang ke tiga adalah seorang tosu (pendeta To) yang tidak memegang senjata apa-apa, akan tetapi pinggangnya terlibat sebuah cambuk hitam. Ada pun orang ke empat adalah seorang wanita berusia empat puluh tahun, di punggungnya terselip sebatang pedang. Mereka berempat berdiri dengan sikap tegang dan memandang ke depan, menanti datangnya musuh mereka yang lihai, yang akan muncul dari arah timur.
Lu Sian juga memandang ke arah itu. Dan tak lama kemudian, di bawah sinar bulan yang mencorong yang merupakan bola api merah bulat di sebelah timur, muncullah dua orang pemikul itu, berjalan dengan langkah lebar setengah berlari. Kakek lumpuh itu bersila di atas dipan bambu, rambutnya sebagian besar menutupi muka, menyembunyikan sepasang matanya yang bersinar-sinar seperti mata harimau.
Suasana menjadi tegang sekali, dan ini terasa oleh Liu Lu Sian yang sudah merasa gembira karena sebentar lagi ia akan menyaksikan pertandingan hebat.
"Berhenti!" Kakek lumpuh mengomando dan kedua orang pemikul itu berhenti pada jarak dua puluh meter dari keempat orang yang sudah siap itu.
Tiba-tiba pikulan itu berikut dipan bambu dan kakek lumpuh, terlempar ke atas, melayang ke depan dan turun ke atas tanah di depan empat orang musuh, turun tanpa suara dan tanpa menimbulkan debu seakan-akan sehelai daun kering melayang turun dari pohon. Bukan main hebatnya ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang diperlihatkan kakek lumpuh itu!
Dua orang pemikul lalu berjongkok dan sikap mereka tidak peduli. Agaknya sudah terlalu sering mereka ini melihat tuan mereka bertempur atau membunuh orang. Memang selama belasan tahun ini, setelah Kerajaan Tang roboh, Sin-jiu Couw Pa Ong yang sudah mengganti namanya menjadi Kong Lo Sengjin, kerjanya hanyalah mencari perkara dan membunuhi orang-orang yang dianggapnya tidak setia kepada Kerajaan Tang yang sudah roboh. Dalam kecewa dan sakit hatinya karena kedua kakinya lumpuh, kakek ini menjadi seperti tidak normal lagi pikirannya, menjadikan ia ganas, kejam dan gila-gilaan!
Komentar
Posting Komentar