MUTIARA HITAM : JILID-27


Harapan untuk dapat lolos dari tangan mereka amat tipis. Seorang di antara mereka saja sudah merupakan lawan yang amat berat. Apa lagi kini pedangnya terampas oleh Siauw-bin Lo-mo. Dan ada Pangeran Talibu lagi yang masih harus ia lindungi. Kwi Lan duduk menekur dengan kening berkerut. Satu-satunya harapannya adalah Yu Siang Ki. Kalau saja pemuda itu datang membawa banyak tokoh kai-pang yang sakti!
Ia tidak kaget ketika mendengar pintu dibuka dan Bouw Lek Couwsu seorang diri masuk. Ia sudah siap menghadapi segala macam kemungkinan yang paling buruk sekali pun. Tanpa bangkit, ia mengangkat muka memandang.
“Bouw Lek Couwsu, apakah kau akan membunuh kami? Silakan! Memang orang macam engkau ini pengecut, mana berani menghadapi lawan secara jantan?”
Bouw Lek Couwsu tersenyum lebar dan sabar. “Bagaimana kalau menghadapi secara jantan?”
“Berikan pedangku dan mari kita bertanding sampai selaksa jurus, sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa lagi! Baruiah jantan namanya!”
Kembali pendeta itu memperlebar senyumnya. “Nona, kau ganas benar. Kalau kau sayang kepada Pangeran ini, kau harus bersikap sabar dan tenang. Aku berjanji sebagai pimpinan bangsa Hsi-hsia, kalau Pangeran Talibu suka menulis surat membujuk ibunya untuk membantu pergerakan Hsi-hsia, akan kubebaskan engkau dan dia juga! Berlakulah sabar dan tenang, dan untuk menjaga agar kau tidak menimbulkan keributan, terpaksa kau harus dibuat tidak berdaya.” Setelah berkata demikian, Bouw Lek Couwsu bergerak maju dan menotok dengan jari telunjuknya ke arah tengkuknya.
Kwi Lan yang kedua tangannya terbelenggu tidak dapat menangkis atau berusaha mengelak, akan tetapi gerakan tangan Bouw Lek Couwsu amat cepat, dan sudah meluncur turun menotok pundaknya. Kwi Lan roboh lemas dan hanya dapat memandang dengan mata terbelalak penuh kemarahan ketika Bouw Lek Couwsu mengeluarkan sebuah bungkusan. Ia melihat betapa bungkusan itu ditaburkan di atas mukanya, ia mencium bau wangi dan keras, kemudian tak ingat apa-apa lagi, pingsan.
Baik Kwi Lan mau pun Pangeran Talibu dalam keadaan pingsan dan tidak tahu betapa Bouw Lek Couwsu memberi mereka minum anggur yang dicampuri obat, memaksa mereka minum dengan menuangkan anggur ke dalam mulut yang dipaksa membuka. Setelah membuka belenggu Kwi Lan, Bouw Lek Couwsu meninggalkan kamar sambil tersenyum dan meninggalkan pesan kepada para penjaga.
Menjelang senja, Kwi Lan siuman dari pingsannya. Tubuhnya terasa panas bukan main, rasa panas yang menyesak dada. Ia bangkit dan duduk, tubuhnya basah oleh keringat. Ia menghapus peluh dari dahi dan leher. Kemudian berseru heran karena baru ia ingat bahwa kedua tangannya kini tidak terbelenggu lagi. Ia sudah bebas dari belenggu. Aneh sekali! Siapa yang membuka belenggunya? Dan mengapa begini panas?
Ia duduk menoleh ke arah Pangeran Talibu. Pemuda itu pun basah oleh keringat. Dadanya yang bidang dan berkulit halus putih itu berkilauan. Lantai di bawahnya sampai basah oleh tetesan-tetesan keringat dari tubuh pemuda itu. Pangeran Talibu agaknya baru sadar. Menggeliat perlahan seperti orang merintih. Jantung Kwi Lan terasa tertusuk. Rasa iba dan cinta menyesak dada.
Tanpa ia sadari, ia sudah merangkak maju, lalu bersimpuh di dekat pemuda itu, menggerakkan tangan mengusap luka-luka di dada dan dahi. Luka kecil, darahnya pun sudah mengering. Pemuda itu membuka mata, dua pasang mata bertemu pandang, sejenak bertaut, kemudian pemuda itu bangkit duduk. Entah mengapa, pandang mata pemuda itu bagi Kwi Lan seperti sinar matahari yang menyilaukan matanya. Ia menunduk, tersenyum kecil, tak berani mengangkat muka, rasa panas menjalar ke mukanya, dadanya, dan pusarnya.
“Sakit sekalikah luka-luka itu...?” tanya Kwi Lan yang menjadi heran sendiri mengapa suaranya begini halus dan mesra, mengapa ia menjadi begini malu, mengapa ia gemetar dan tidak berani menentang pandang mata pemuda itu.
“Ti... tidak..., Nona... mengapa kau menyerah...?”
Lebih aneh lagi bagi Kwi Lan ketika mendengar suara ini. Mengapa suara Pangeran Talibu menggetar dan setengah berbisik? Suaranya yang baginya begitu mesra sehingga getaran suara itu menggetarkan pula hatinya, membuat Kwi Lan menahan isak yang menyesak di dada. Ia mengangkat muka perlahan. Kembali dua pasang mata bertemu pandang dan bertaut, lekat seperti tak dapat dipisahkan lagi.
Bagi Kwi Lan, mata Pangeran itu memandangnya begitu mesra, begitu penuh cinta kasih, begitu halus. Seakan-akan ada kekuatan ajaib dalam pandang mata itu yang mendorong dorongnya atau menariknya, membuat ia ingin membuang diri ke dalam pelukan Pangeran itu membuat ia ingin merapatkan mukanya pada dada yang bidang dan berkeringat itu, ingin merasai belaian jari-jari tangan Pangeran Talibu dan mendengar bisikan-bisikan cinta di dekat telinganya. Semua keinginan yang amat besar ini membuat ia terengah-engah, menahan-nahan sekuat tenaga sampai kepalanya menjadi pening.
“Aku... aku tak mungkin... membiarkan kau... kau terbunuh....” Suaranya tersendat-sendat, agak serak dan tubuhnya terasa lemas, dan tentu ia sudah terguling kalau saja sepasang lengan yang kuat tidak merangkul dan menariknya.
“Nona....“ Suara Pangeran Talibu tersendat-sendat, kedua lengannya memeluk erat, sedangkan Kwi Lan seperti dalam mimpi membenamkan muka di dalam dada itu sehingga mukanya yang sudah basah menjadi makin basah oleh keringat Pangeran Talibu. Hatinya merasa bahagia sekali, kedua telinganya mendengar suara detak jantung pemuda itu, kemudian mendengar suara Talibu seperti bunyi musik yang merdu, “Nona... siapakah engkau...? Siapakah namamu...?”
Belum pernah selama hidupnya Kwi Lan menikmati perasaan seperti saat ini. Terhadap pemuda ini, lenyap semua rasa malu dan jengah, ia tersenyum manis dan tanpa mengangkat muka ia berkata lirih, “...aku... namaku Kam Kwi Lan....”
Tubuh Pangeran Talibu serasa digetarkan sinar kilat yang menyambarnya. Tubuh itu seperti kejang, mendadak menjadi dingin dan ia meloncat ke belakang sampai tubuhnya membentur dinding. Kwi Lan yang tenggelam dalam kenikmatan madu yang manis memabokkan itu sampai jatuh terguling, namun gerak refleks tubuhnya yang matang membuat ia terloncat bangun dan berdiri.
“Ada apakah...? Mengapa kau... kau...?” Ia bertanya gagap, lalu duduk pula di atas lantai.
Pangeran Talibu terengah-engah, serasa tercekik lehernya. Ah, pantas ia merasa kenal betul dengan gadis ini. Persamaan dengan wajah ibunya! Inilah Kam Kwi Lan Mutiara Hitam. Inilah adik kandungnya, bahkan saudara kembarnya!
"Kau... kau... Mutiara Hitam...?" bisiknya dengan suara menggetar.
Kwi Lan memandang terbelalak dan lalu mengangguk. "Betul. Kau kenapakah, Pangeran? Menyesalkah kau karena... karena... kita saling mencinta?"
"Diam...!" Pangeran Talibu membentak. "Jangan bicara tentang itu...!"
Biar pun Kwi Lan merasa sudah tergila-gila kepada pemuda ini, namun dia seorang gadis yang keras hati. Ia mengerutkan kening dan berkata, "Apa? Jadi... kau tadi... hanya pura-pura... dan kau tidak cinta kepadaku?"
"Demi Tuhan! Aku mencintamu, Mutiara Hitam. Aku cinta kepadamu seperti kepada diriku sendiri! Tapi... kau...!"
"Kenapa...?" Tiba-tiba Kwi Lan menaruh telunjuknya di depan bibir, tanda bahwa ia mencegah pemuda ini bicara karena pendengarannya yang tajam menangkap gerak kaki di luar jendela. Kemudian ia menuding ke jendela sambil menyentuh telinga sendiri.
Pangeran Talibu mengangguk, maklum bahwa di luar jendela ada orang mendengar dan mengintai. Ah, untung ia belum membuka rahasia. Kalau tadi ia katakan kepada Mutiara Hitam bahwa gadis itu adik kembarnya dan berarti puteri Ratu Khitan, tentu keadaan mereka menjadi makin berbahaya. Ia lalu merangkul dan duduk dekat Kwi Lan.
Merasa kehangatan tubuh pemuda itu, mencium bau keringatnya, membuat tubuh Kwi Lan menggigil. Hawa nafsu remaja menyesakkan napasnya. Ia tidak tahu bahwa inilah akibat obat yang dipaksakan masuk ke perutnya. Demikian pula dengan Pangeran Talibu. Melihat wajah adik kembarnya yang begini cantik jelita, sepasang pipi yang halus putih kemerahan, mata yang indah bersinar-sinar, hidung yang kecil mancung dan seakan-akan menghembuskan hawa panas penuh nafsu dengan cuping hidung kembang-kempis, bibir yang kecil mungil, penuh dan merah basah seakan menantang, dada yang padat dan bergelombang turun naik seperti minta dipeluk.
Ah, hampir pemuda ini tidak kuat bertahan. Keadaannya bagaikan seekor harimau kelaparan yang dihadapkan seekor kelinci gemuk. Ingin sekali langsung menerkam dan memangsanya. Akan tetapi, pengetahuan bahwa gadis jelita ini adalah adik kandungnya, bahkan adik kembar yang lahir pada hari yang sama, pengetahuan ini merupakan perisai yang kokoh kuat.
Ketika lengannya bersentuhan dengan lengan Kwi Lan, pemuda itu memejamkan mata. Seperti ada aliran yang menggetar-getar melalui kulit mereka yang bersentuhan. Naik sedu-sedan di dada pemuda ini dan cepat-cepat ia menggigit bibirnya sendiri sampai berdarah. Ia terpekik kesakitan, akan tetapi dorongan nafsu birahi dapat tertahan.
Juga Kwi Lan dalam keadaan seperti mabok. Memang ia mabok, mabok nafsu birahi yang timbul dari obat pemberian Bouw Lek Couwsu. Kwi Lan adalah seorang gadis yang aneh dan sejak kecil digembleng oleh gurunya yang aneh pula. Di balik kemabokannya, masih ada kesadaran pikirannya yang merasa terheran-heran melihat sikapnya sendiri. Mengapa ia begini gila? Mengapa ia ingin sekali bersentuhan dengan Pangeran Talibu? Dan ingin didekap dibelai? Ingin mendengar bisikannya? Mengapa? Andai kata ia mencinta pemuda ini, mengapa harus ada perasaan yang seperti memabokkannya ini?
Di sudut hatinya yang masih perawan, gadis ini merasakan sesuatu yang tidak wajar. Akan tetapi ia tidak tahu apa ketidak-wajaran itu dan mengapa. Kini menyaksikan keadaan Pangeran Talibu ia makin terheran. Sinar mata pemuda itu jelas memancarkan kasih mesra, memancarkan kehausan akan cinta. Akan tetapi pemuda itu seperti tersiksa, bahkan menggigit bibir sendiri sampai berdarah.
"Pangeran, kau kenapa? Kita... kenapa?" Ketidak-wajaran yang makin mendesak dalam kesadarannya membuat ia mengajukan pertanyaan terakhir itu.
Pertanyaan ini menolong banyak bagi Pangeran Talibu. "Kwi Lan... Mutiara Hitam... ah, kita mabok. Tidak wajar ini! Kita keracunan... begini panas dan begini... merangsang..."
Kwi Lan tersentak kaget. Benar! Racun! Biar pun racun yang amat aneh dan belum pernah ia mendengar akan racun yang menimbulkan kemabokan seperti ini, yang mendatangkan daya rangsangan birahi begini hebat, namun ia dapat menduga tentu mereka telah terkena racun! Teringat akan taburan bubuk wangi yang membuat ia pulas, dan tahu-tahu setelah ia sadar, belenggu tangannya telah terlepas dan ia bersama Pangeran Talibu berada dalam keadaan tidak wajar! Akan tetapi teracun atau tidak, tetap saja ia yakin bahwa ia mencinta pemuda ini! Ia rela menyerahkan jiwa raganya kepada Pangeran Talibu, kapan dan di mana pun juga.
"Benar kiranya, Pangeran. Kita terkena racun. Akan tetapi... apa bedanya? Aku tidak menyesal..."
"Apa? Apa maksudmu?"
"Aku tidak menyesal menjadi tawanan bersamamu, Pangeran. Aku... aku... ah, bukan main panas hawanya..." Kwi Lan mengeluh dan mengerang, mengerang bukan hanya karena hawa panas! Ia lalu duduk di sudut dan bersandar pada dinding, mengebut-ngebutkan bajunya bagian atas agar agak melonggar untuk mengurangi hawa panas.
Gerakan gadis itu begitu menarik dan manis. Kembali Talibu memejamkan mata dan ia pun mundur di sudut yang berlawanan. Mereka kini duduk berpisah dalam jarak sepuluh meter. Hanya saling pandang dari jauh, saling menahan gelora birahi yang membakar. Namun siksaan batin ini bagi Pangeran Talibu tidaklah seberat yang diderita Mutiara Hitam.
Pangeran itu memaksakan kesadaran pengetahuannya bahwa gadis jelita itu adalah adik kembarnya sendiri! Teringat akan ini, ingin ia menangis! Menangis saking girang bertemu dengan adik kandung yang sejak terlahir dipisahkan orang. Menangis karena berduka karena begitu bertemu, mereka berdua menjadi tawanan dan keselamatan nyawa mereka di ujung rambut. Akan tetapi, semua perasaan ini merupakan penguat batinnya untuk melawan arus birahi yang tidak wajar dan yang membakar tubuhnya.
Hebat memang pengaruh obat itu. Serangan yang datang dari dalam tubuh ini bukan main kuatnya. Kwi Lan terpaksa mempergunakan sinkang yang dikerahkannya untuk melawan hasrat yang dianggapnya gila dan tidak tahu malu. Ia menjadi lemas karena pengerahan sinkang ini dipergunakan untuk menindas hawa yang timbul dari dalam tubuh sendiri.
Cuaca sudah menjadi gelap. Hal ini melegakan hati Pangeran Talibu. Sungguh pun ia mempunyai perisai berupa pengetahuan bahwa gadis itu adik kembarnya, namun tetap saja rangsangan di dalam tubuhnya masih amat membahayakan. Kalau keadaan dalam ruangan itu gelap dan ia tidak dapat melihat wajah cantik dan tubuh menggairahkan itu, tentu akan berkurang siksaan yang dirasakannya.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa, suara ketawa Bouw Lek Couwsu disusul kata-kata mengejek, "Tuan dan Nyonya pengantin tentu lapar, silakan makan minum!"
Daun pintu terbuka dan seorang hwesio jubah merah masuk membawa sebatang lilin merah besar yang sudah dinyalakan, meletakkan lilin di dekat pintu, kemudian meletakkan pula beberapa mangkuk makanan dan seguci arak di atas lantai. Tanpa berkata apa-apa hwesio ini lalu keluar lagi dan mengunci daun pintu. Kwi Lan tadinya hendak menerjang hwesio itu, akan tetapi ia melihat pula Bouw Lek Couwsu yang memegang tongkat kuningannya berada di depan pintu, maka ia mengurungkan niatnya. Belum saatnya untuk turun tangan, pikirnya.
Kembali ruangan itu menjadi sunyi. Api lilin berkelap-kelip menerangi kamar dengan cahayanya yang kemerahan, membuat suasana dalam kamar menjadi romantis, dan indah seperti suasana kamar pengantin!
"Pangeran, apakah yang kau pikirkan?" Kwi Lan akhirnya bertanya setelah sekian lamanya ia memandang ke arah Talibu yang duduk di sudut bersandar dinding dengan mata meram, kening berkerut dan dada turun naik bergelombang.
Talibu membuka mata memandang, mata yang bersinar-sinar dan ganas penuh nafsu birahi. Mata yang melotot menyusuri tubuh Kwi Lan yang tanpa sadar telah membuka kancing pakaian luar sehingga tampak pakaian dalamnya yang tipis halus berwarna merah. Gadis ini telah melepaskan kancing tanpa disadarinya saking hebat serangan hawa panas. Akan tetapi keadaan pakaiannya ini membuat Talibu menjadi makin tersiksa. Pandang mata Talibu seolah-olah sudah melahap dan menelannya bulat-bulat!
"Apa yang kupikirkan? Aku... aku... memikirkan... kematian!" jawab Talibu.
Bagi Pangeran ini, keadaannya merupakan siksaan batin hebat. Ia jatuh cinta atau berhasrat mencinta adik kembarnya sendiri! Berbeda dengan Kwi Lan yang belum tahu akan rahasia itu, baginya perasaan yang merangsang terhadap pria yang ia cinta, bukanlah merupakan hal yang terlalu menyiksa batin, sungguh pun ia tahu bahwa racun membuatnya seperti mabok.
Kwi Lan tersenyum dan kembali Talibu memejamkan mata. Senyum itu demikian manisnya, seperti ujung golok menusuk jantung! "Pangeran, mengapa engkau berputus asa benar? Jangan khawatir, aku bersumpah akan membelamu sampai titik darah terakhir."
Kembali Talibu membuka matanya. Ia merasa terharu sekali. Ingin ia meneriakkan bahwa mereka adalah kakak adik kembar, namun terpaksa ia menahan. Kalau Bouw Lek Couwsu mendengar dan tahu bahwa Mutiara Hitam ini pun puteri Ratu Khitan, tentu pendeta murtad itu akan mempergunakan kenyataan ini untuk makin menekan Ratu Khitan agar suka membantu Hsi-hsia. Tidak, ia harus memegang rahasia selama mereka masih menjadi tawanan Bouw Lek Couwsu. Namun rangsang birahi sukar dikendalikan lagi. Melihat mangkuk-mangkuk di lantai, Pangeran itu menjadi girang dan segera mengalihkan perhatian dengan berkata gembira.
"Apa pun yang terjadi, sebelum mati kita harus dapat menikmati hidup. Ada makanan lebih baik dimakan, Nona!"
Kwi Lan tersenyum, senang hatinya melihat Pangeran itu bergembira dan baru ia merasa betapa lapar perutnya. Ia mengangguk dan mendekati mangkuk-mangkuk yang diletakkan di atas lantai. Mereka duduk menghadapi mangkuk itu yang terisi makanan harum sedap baunya. Araknya pun arak wangi.
Talibu kembali tertawa dan berkata, "Bagaimana kalau makanan ini ada racunnya?"
"Paling hebat kita mati. Tiada lebih mengerikan dari pada itu," jawab Kwi Lan yang membuat pangeran itu kaget. Gadis ini begitu pasrah, begitu rela seakan-akan tiada kekurangan sesuatu di dunia ini. Memang demikianlah orang muda kalau sudah bercinta. Lupa akan segala. Asalkan berada di samping orang yang dicintanya, lupa makan lupa tidur lupa segala, tidak peduli apakah dunia akan kiamat!
Pangeran Talibu menarik napas panjang. Alangkah akan bahagianya kalau Kwi Lan bukan adiknya. Mempunyai kekasih seperti gadis ini! Tiba-tiba ia mengerutkan keningnya penuh penyesalan. Mengapa hatinya begini tidak setia? Ia sudah mempunyai seorang yang amat dikasihinya, dikasihi seperti seorang pria mencinta wanita, yaitu Puteri Mimi! Teringat akan Mimi, terasalah betapa aneh dan janggal jalan hidupnya.
Puteri Mimi yang semenjak kecil ia anggap adik kandung, kiranya sama sekali bukan apa-apanya. Orang lain dan cintanya sebagai kakak berubah menjadi cinta sebagai pria terhadap wanita. Sebaliknya, gadis ini yang sampai saat ini mengira bahwa mereka orang lain yang tiada hubungan sama sekali, tiada hubungan darah, bahkan saudara kembarnya!
"Kalau memang ada racunnya, marilah kita mati bersama,” jawabnya kemudian dan mulai makan.
Kwi Lan tersenyum bahagia dan tanpa ragu-ragu makan pula. Masakan-masakan itu ternyata amat lezat dan araknya pun amat harum. Sampai habis beberapa mangkuk masakan itu, guci araknya pun menjadi kosong. Sebaliknya, perut mereka kenyang.
"Ahh... betapa pun juga Bouw Lek Couwsu bukan orang yang terlalu pelit. Lezat makanannya...," kata Pangeran Talibu sambil bangkit berdiri, menghapus bibir dengan telapak tangannya, lalu berjalan menuju ke sudut kembali. Akan tetapi pandang matanya berkunang dan ia terhuyung-huyung. Rasa aneh menguasai seluruh tubuhnya, hawa panas makin menghebat sampai terasa kepalanya seperti akan meledak!
"Pangeran... !"
Sampai di sudut Talibu membalikkan tubuh dan ternyata Kwi Lan sudah berada di depannya. Mereka saling pandang, tubuh mereka bergoyang,-goyang dan bagaikan besi dengan besi sembrani, keduanya saling tubruk dan saling peluk.
"Mutiaraku...!"
"Talibu, Pangeranku...”
Dekapan makin erat dan muka mereka bertemu dalam ciuman mesra. Kwi Lan sudah pasrah bahkan membalas peluk cium pemuda itu dengan penuh nafsu. Tiba-tiba Pangeran Talibu mengeluarkan seruan seperti isak tertahan, lalu merenggutkan diri terlepas dari pelukan dan terhuyung-huyung lari ke sudut lain.
"Pangeran...!"
"Berhenti! Jangan maju selangkah pun. Kalau kau bergerak, mendekatku, aku... aku akan bunuh diri...!" Terengah-engah Talibu berteriak.
Kwi Lan sedang dibuai racun yang memabokkan. Di dalam makanan tadi memang diberi obat oleh Bouw Lek Couwsu, yang membuat racun di tubuh mereka bekerja makin hebat. Bouw Lek Couwsu yang mengintai di luar kamar menjadi penasaran sekali tadi melihat betapa obatnya belum juga berhasil, maka ia lalu mengirim makanan yang ia campur dengan obat untuk memperhebat pengaruh racun asmara itu.
Melihat kekasihnya melarikan diri dan mengeluarkan ucapan seperti itu, Kwi Lan menjadi heran, kaget, dan juga kecewa. Ia melangkah maju sedikit dan serentak menghentikan langkahnya karena tiba-tiba Pangeran Talibu membenturkan kepalanya pada dinding!
"Ahhh... jangan... Pangeran...! Aku aku tidak akan mendekatimu...!" jerit Kwi Lan cemas.
Pangeran Talibu yang sudah putus asa karena ngeri memikirkan kalau sampai terjadi pelanggaran susila dengan adik kembarnya sendiri, dapat mendengar jerit ini dan ia menghentikan perbuatannya yang nekat. Dengan terengah-engah ia duduk di sudut ruangan itu memandang. Gadis itu terlampau cantik, apa lagi di bawah penerangan lilin merah. Bentuk-bentuk yang menonjol pada tubuhnya tampak nyata antara sinar dan bayangan. Ia tahu bahwa biar pun ia merasa yakin bahwa gadis itu adiknya, namun keyakinan ini belum tentu akan kuat menahan gelora nafsu yang menyesak di dada dan ia akan menjadi seperti seorang buta mabok kalau gadis itu mendekati dan menyentuhnya lagi.
"Mutiara Hitam... ini tidak baik... kita dirangsang racun... nafsu birahi menguasai kita...," gumamnya.
Tiada jawaban dan ketika Talibu mengangkat muka, dilihatnya Kwi Lan yang duduk di sudut lain menangis terisak-isak. Gadis ini merasa terhina dan malu. Merasa bingung dan kecewa.
"Mutiara, Adikku sayang... maafkan aku... percayalah, aku tidak bermaksud menolak dan menghinamu... akan tetapi kau tunggu... sampai racun ini bersih dari tubuh kita... aku tetap cinta kepadamu."
Kwi Lan menarik napas panjang, menahan tangisnya dan pikiran bersih menyelinap di benaknya. Mengapa ia harus merasa nelangsa? Jelas bahwa mereka telah keracunan, bahkan perasaan tubuhnya membuktikan bahwa makanan dan minuman tadi pun mengandung racun yang mempunyai daya rangsang hebat. Ia mencinta pemuda ini, akan tetapi tidak semestinya menurutkan rangsang nafsu birahi. Dengan pengerahan tenaga batinnya, ia bersila dan memejamkan mata, bersemedhi. Melihat keadaan gadis itu, Pangeran Talibu bernapas lega dan ia pun lalu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menindas nafsu dan bersemedhi.
Malam itu merupakan malam siksaan bagi Kwi Lan dan Talibu. Belum pernah mereka merasa tersiksa seperti malam hari itu. Tubuh yang terasa panas dengan hawa yang menggelora tidak memungkinkan mereka dapat bersemedhi secara layak. Mereka gelisah sekali. Terdengar Pangeran Talibu menggereng berkali-kali seperti harimau terluka. Tubuhnya penuh peluh.
Ada pun Kwi Lan tidak dapat dibayangkan sengsaranya. Gadis ini yang mencinta Talibu dan yang merasa yakin bahwa pemuda itu pun mencintanya, lebih hebat penderitaannya. Berkali-kali ia mengeluarkan suara merintih dan mengerang, tubuhnya menggeliat, peluhnya bercucuran, namun ia berusaha sekuat tenaga untuk bertahan agar dapat menindas keinginan hatinya yang membuat ia seakan-akan ingin loncat menubruk pemuda itu.
Menjelang pagi mereka mendengar suara Bouw Lek Couwsu di luar kamar tahanan. Suara pendeta itu menyumpah-nyumpah dan marah-marah, agaknya kecewa sekali melihat dua orang muda ini tidak terpengaruh obatnya yang amat luar biasa. Diam-diam ia merasa kagum akan kekerasan hati dua orang muda itu, di samping merasa kecewa, penasaran, dan marah. Tak lama kemudian, kamar tahanan itu penuh dengan asap yang disemprotkan dari luar melalui lubang jendela dan pintu. Mula-mula Kwi Lan yang mencium bau harum tidak sewajarnya.
"Pangeran, hati-hati, asap beracun...!" Serunya, namun sia-sia belaka.
Mereka meloncat dan hendak menghindarkan diri, akan tetapi ke mana? Tak mungkin ke luar dari ruangan tertutup itu dan asap makin menebal. Tak mungkin pula menahan napas untuk waktu lama dan akhirnya mereka terhuyung dan roboh pingsan setelah terbatuk-batuk dan menyedot asap wangi itu.
Ketika Pangeran Talibu sadar, ia sudah terbaring di sudut ruangan. Ia mendengar suara orang dan ketika ia membuka mata, bukan main kaget dan ngeri rasa hatinya. Ia melihat Kwi Lan terbelenggu kaki tangannya dan di situ berdiri Bouw Lek Couwsu dan dua orang Hsi-hsia yang tinggi besar dan amat buruk rupanya, seperti monyet-monyet besar.
Mereka berdua itu hanya memakai sebuah celana kasar pendek sebatas lutut dengan badan bagian atas telanjang. Tampak kaki tangan mereka yang besar dan kekar kuat itu penuh bulu hitam. Juga dada mereka penuh bulu yang memanjang sampai ke perut. Muka mereka menghitam dan kasar sekali karena bopeng bekas luka penyakit cacar. Mata mereka liar dan merah, hidung besar dengan mulut besar tampak gigi mereka besar-besar menguning. Pendeknya, dua orang raksasa Hsi-hsia ini mengerikan dan buruk sekali, sedikit pun tidak mempunyai daya tarik sebagai seorang laki-laki dan mendatangkan rasa jijik.
Bouw Lek Couwsu memperlihatkan kertas putih dan alat tulis kepada Pangeran Talibu, lalu berkata, suaranya halus dan sopan. "Pangeran, apakah sampai sekarang juga Pangeran tidak sudi menulis surat untuk Ibunda Pangeran di Khitan?"
"Bouw Lek Couwsu! Percuma saja kau membujuk. Sampai mati pun aku tidak sudi. Kau boleh membunuhku, aku tidak peduli!" jawab Talibu sambil bangkit duduk.
Rasa panas tubuhnya masih ada, akan tetapi tidak sehebat malam tadi. Ia kini dapat melihat betapa Kwi Lan juga sudah sadar, akan tetapi gadis itu tidak mampu bergerak karena belenggu pada kaki tangannya yang amat kuat. Gadis ini pun sama sekali tidak membayangkan takut pada pandang matanya yang melotot ke arah Bouw Lek Couwsu penuh kemarahan.
"Hemmm..." pemimpin orang-orang Hsi-hsia itu menyeringai dan tampak betapa muka pendeta itu kini membayangkan kekejaman hati yang dingin. "Pangeran benar-benar keras hati. Mengingat bahwa kita sama-sama bangsa yang besar dan gagah perkasa, kami tidak ingin menyusahkan Pangeran. Sekarang harap Pangeran sudi memilih, menulis surat ini ataukah terpaksa pinceng membunuh gadis ini!"
Terbelalak mata Pangeran Talibu. Mutiara Hitam adalah adik kandungnya, adik kembarnya. Andai kata orang lain sekali pun, tak mungkin ia dapat membiarkan gadis itu tewas karena dia! Apa lagi adik kembarnya, adiknya yang telah datang dengan niat menolongnya, tanpa mengetahui bahwa yang ditolong adalah kakak kembarnya. Bagaimana mungkin ia mengorbankan nyawa adik yang dicintanya ini? Ia tak mampu menjawab, hanya menggeleng-geleng kepalanya sambil menatap wajah pendeta yang tersenyum-senyum dingin itu.
"Pinceng tahu bahwa hati Pangeran adalah baik dan tentu saja tidak tega melihat gadis jelita ini mati. Oleh karena itu, harap Pangeran sudi membuat surat yang kami butuhkan itu dan inilah kertas..."
"Pangeran Talibu! Jangan pedulikan dia! Eh, Bouw Lek Couwsu pendeta palsu. Kau mau bunuh aku, lekas bunuh! Apa kau kira aku takut mati? Cih, pendeta tak tahu malu. Jahanam yang berkedok pendeta untuk melampiaskan angkara murka!"
Bouw Lek Couwsu melihat perubahan pada muka Pangeran Talibu yang kini kembali mengeras, tanda bahwa Pangeran itu timbul semangatnya dan tidak akan suka tunduk. Ia menjadi marah sekali kepada Mutiara Hitam. "Baiklah, jangan kira bahwa kau akan begitu enak menerima kematianmu. Dan kau, Pangeran Talibu, marilah kita menyaksikan pemandangan yang amat menyenangkan." Ia memberi perintah dalam bahasa Hsi-hsia kepada dua orang raksasa buruk itu.
Dua orang setengah telanjang itu saling pandang, tertawa ha-ha-hi-hi, menyeringai lebar sehingga deretan gigi besar-besar kuning dekil tampak nyata. Kemudian keduanya bermain jari mengadu untung. Si Raksasa yang hidungnya pesek sekali yang menang, maka sambil mengeluarkan suara seperti binatang buas ia berlutut, girang bukan main. Si Raksasa Hidung Besar yang kalah hanya tertawa ha-ha-he-he, lalu berlutut dekat kepala Kwi Lan dan tangannya yang besar meraih ke bawah.
"Breeetttt...!" Sekali renggut robeklah baju Kwi Lan, tidak hanya baju luar yang robek sama sekali, bahkan sebagian baju dalamnya ikut robek dan tampaklah sebagian dada yang putih padat dan sebagian kulit paha yang putih bersih!
Si Raksasa Hidung Pesek kembali mendengus dan tangannya siap bergerak untuk menelanjangi calon korbannya. Jelas kelihatan betapa nafsu iblis sudah menguasainya, siap melakukan perkosaan tanpa mempedulikan orang-orang di sekelilingnya.
"Iblis keparat...!"
Pangeran Talibu sudah meloncat maju dan dalam kemarahan yang meluap-luap ia menerjang dengan pukulan ke arah raksasa hidung pesek yang hendak memperkosa Kwi Lan. Tubuhnya agak membungkuk, mukanya menjadi pucat dan lengan kanannya mengeluarkan suara berkerotokan ketika pemuda bangsawan ini mengirim pukulan ke arah kepala si Raksasa Hidung Pesek. Inilah ilmu pukulan sakti Tok-hiat-coh-kut (Racun Darah Lepaskan Tulang) yang amat hebat dan biar pun baru dilatih setengah matang dari Ratu Yalina namun raksasa Hsi-hsia yang hanya bertenaga besar itu mana mampu menghindarkan diri.
“Kraakkk...! terdengar suara dan raksasa itu terguling dengan kepala remuk isinya!
"Hemmm...!" Bouw Lek Couwsu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, tangannya bergerak dan Pangeran Talibu terguling roboh dengan kaki seperti patah rasanya. Pukulan jarak jauh pendeta ini telah merobohkannya.
Bouw Lek Couwsu memberi perintah lagi dalam bahasa Hsi-hsia. Raksasa hidung besar yang menjadi marah sekali karena temannya roboh tewas mentaati perintah itu, lalu bangkit berdiri dan mencabut sebuah cambuk kulit dari ikat celananya. Kemudian ia menghampiri Pangeran Talibu dan terdengarlah suara meledak-ledak ketika cambuk itu melecut dan menghantam tubuh Pangeran Talibu yang juga telanjang bagian atasnya.
Pangeran yang memang sudah luka-luka itu merasa betapa kulit dan sedikit daging di bawah kulit seperti dicacah-cacah, digigiti cambuk, terasa panas dan perih. Saking sakitnya, ia sempat menggeliat-geliat dan bergulingan ke sana ke mari seperti seekor ayam disembelih, akan tetapi ia menggigit bibir sampai berdarah, sedikit pun tidak ada suara keluhan keluar dari mulutnya!
Biar pun Kwi Lan tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu saking terharu dan sakit hatinya, namun air matanya bercucuran menyaksikan betapa pemuda yang dicintanya ini mengalami siksaan seperti itu. Kemudian ia mendapatkan kembali suaranya lalu memaki-maki nyaring.
"Bouw Lek Couwsu kau manusia iblis! Kau anjing tua berkedok pendeta! Aku bersumpah akan mencabut nyawamu kalau diberi kesempatan!"
Bouw Lek Couwsu hanya tertawa bergelak, kemudian berkata dalam bahasa yang dimengerti Kwi Lan, "Heeii, kau beri rasa sekali dua kali kepada bocah bermulut lancang ini!"
Raksasa Hsi-hsia berhidung besar yang tadinya memandang Kwi Lan dengan mata penuh nafsu birahi, kini memandang dengan kebencian meluap-luap. Ia membalik dan mengangkat cambuknya, siap dijatuhkan ke atas muka yang jelita dan berkulit halus putih kemerahan itu.
Cambuk diangkat ke atas, bergerak di udara mengeluarkan bunyi "tarrr!" dan ujungnya menyambar ke arah muka Kwi Lan.
"Binatang...!"
Tubuh Pangeran Talibu yang tadinya sudah menggeletak kehabisan tenaga dan amat menderita rasa panas perih dan nyeri, kini meloncat dan ujung cambuk yang menyambar ke arah muka Kwi Lan tertangkap oleh tubuhnya.
"Tarrr...!"
Tubuh Pangeran Talibu terguling roboh lagi. Ia tadi dapat bergerak karena kemarahan yang meluap-luap ditambah rasa gelisah menyaksikan adik kembarnya akan disiksa. Akan tetapi begitu ia berhasil menghindarkan wajah adiknya dari cambukan, kedua kakinya yang sudah setengah lumpuh oleh pukulan Bouw Lek Couwsu tadi tidak dapat berdiri tegak, maka ia terguling. Orang Hsi-hsia tinggi besar menjadi marah. Ia lalu menggerakkan cambuknya dan kembali tubuh Talibu dihajar bertubi-tubi sampai akhirnya pemuda itu roboh pingsan! Dada dan punggungnya tertutup darah dan garis-garis biru merah.
"Cukup, kau anjing tolol! Jangan bunuh dia! Hajar perempuan ini kataku!" Bouw Lek Couwsu membentak kemudian melangkah minggir.
Orang Hsi-hsia itu terkejut, maklum akan hebatnya hukuman kalau ia membuat marah pemimpin besar ini, lalu mengangkat cambuknya, menghantam sekerasnya ke arah Kwi Lan yang rebah telentang tak mampu bergerak. Gadis ini sama sekali tidak berkedip, menanti datangnya cambuk ke muka dengan ketabahan luar biasa.
"Wuuuutt..., adduuuuhhhh...!"
Cambuk yang sudah nenyambar itu berhenti di tengah jalan bahkan lalu terlepas dari pegangan si Raksasa Hsi-hsia yang roboh seperti pohon ditebang. Sebatang jarum telah menembus punggung dan terus menancap di jantungnya!
"Hemmm… Bouw Lek Couwsu! Beginikah engkau memperlakukan muridku?" terdengar suara halus dingin dan muncul di ambang pintu, seorang wanita berpakaian putih berkerudung hitam, Kam Sian Eng! Tangan kanannya masih mengempit tubuh Kiang Liong dan tadi dengan tangan kiri, hanya menggunakan sebatang jarum, ia telah membunuh raksasa Hsi-hsia dalam sekejap mata.
Di sebelahnya tampak Suma Kiat yang memondong tubuh Puteri Mimi, dan di belakang dua orang ini berdiri Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong, Siauw-bin Lo-mo, dan Thai-lek Kauw-ong. Empat orang tokoh sakti ini hanya tersenyum-senyum, agaknya mereka ini tidak peduli, atau bahkan gembira menyaksikan betapa kini Bouw Lek Couwsu agaknya akan bentrok dengan Sian-toanio!
Bouw Lek Couwsu tentu saja tidak akan dapat menjadi seorang pemimpin bangsa Hsi-hsia kalau ia tidak cerdik dan pikirannya dapat bekerja amat cepat dan mengambil keputusan yang amat tepat pada waktunya. Ia sama sekali tidak kelihatan terkejut atau kehilangan akal. Bahkan lalu cepat-cepat menjura kepada Kam Sian Eng, tersenyum lebar dan kemudian menghela napas panjang, menggeleng kepala dan berkata.
"Aaahhh, sayang sekali. Tanpa aku sengaja, kau telah menggagalkan siasatku, Sian-toanio. Pinceng belum gila untuk menyakiti murid Toanio. Dapat Toanio periksa apakah muridmu itu terluka sedikit pun. Pinceng terpaksa melakukan ancaman ini tidak lain hanya dalam usaha menundukkan kekerasan hati Pangeran Khitan itu. Marilah kita ke dalam dan bicara lebih leluasa, Toanio. Dan orang yang Toanio bawa itu... ah, bukankah dia Kiang-kongcu murid Suling Emas?"
Kam Sian Eng tadi membunuh raksasa Hsi-hsia bukan semata-mata karena hendak menolong Kwi Lan, melainkan ia merasa terhina kalau muridnya diganggu orang di depan matanya. Ia sebetulnya masih marah kepada muridnya itu, apa lagi ketika mendengar penuturan Suma Kiat tentang sepak terjang Kwi Lan di kota raja. Kini mendengar ucapan Bouw Lek Couwsu, ia mendengus dan melemparkan tubuh Kiang Liong ke atas lantai. Kiang Liong ternyata pingsan dan tubuhnya menggelundung dekat Kwi Lan yang hanya melotot dan memandang gurunya.
"Kakanda Pangeran...!"
Puteri Mimi meronta dari pondongan Suma Kiat. Ketika pemuda ini yang tertawa-tawa tidak mau melepaskannya, Mimi mencakar dan menggigit. Lucu juga pemandangan itu dan terdengar Kam Sian Eng berkata ketus, "Lepaskan dia!"
Suma Kiat masih menyeringai, akan tetapi ia tepaksa melepaskan Mimi yang segera lari dan menubruk tubuh Pangeran Talibu dan menangis tersedu-sedu, memanggil nama Talibu dan menggosok-gosok tubuh yang penuh darah dan luka-luka cambukan.
Bouw Lek Couwsu mengajak tamu-tamunya meninggalkan ruangan tahanan. Daun pintu ditutup dan dikunci dari luar, para penjaga kini ditambah jumlahnya dan sunyilah keadaan ruangan tahanan itu, kecuali tangis Puteri Mimi.
Melihat guru dan suheng-nya tidak berusaha membebaskannya, Kwi Lan mengerti di dalam hatinya bahwa ia telah dianggap musuh oleh mereka. Namun ia tidak merasa sedih karena kini tahulah ia bahwa gurunya dan suheng-nya itu bukanlah manusia-manusia baik. Ia bahkan merasa lega ditinggal di sini bersama Pangeran Talibu dan Kiang Liong, karena andai kata ia dibebaskan gurunya, ia masih belum yakin apakah ia akan mau bersekutu dengan mereka.
Kini perhatiannya tercurah kepada Puteri Mimi yang menangisi Talibu. Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, melihat puteri cantik yang pernah ia jumpai di taman bunga Kiang Liong itu kini menangisi Talibu, ia secara tiba-tiba saja membenci puteri ini! Ingin ia bangkit dan menamparnya, menyeretnya pergi menjauhi Pangeran Talibu.
“Kakanda Pangeran...!”
Panggilan berkali-kali ini membuat Talibu sadar. Ia mengeluh lalu membuka matanya. Ia masih dikuasai racun yang memabokkan. Begitu membuka mata dan melihat Puteri Mimi duduk bersimpuh di dekatnya dan memeluki serta memanggil-manggil namanya sambil menangis, serentak ia bangkit.
“Mimi... kau... kau...?”
Mereka berpelukan. Puteri Mimi terkejut sekali ketika merasa betapa kakaknya ini, kakak kandungnya yang ia tahu diambil putera ratunya, kini memeluknya dengan tidak wajar. Bahkan menciumi mukanya, menciumi bibirnya penuh nafsu. Ia terlonjak kaget, matanya terbelalak, khawatir kalau-kalau kakaknya yang dicintanya ini menjadi gila!
"Kakanda...!" Ia berusaha melepaskan pelukan. Akan tetapi Pangeran Talibu memeluk makin erat, bahkan mencegahnya bersuara lagi dengan ciuman mesra.
Tiba-tiba terdengar bunyi melengking nyaring. Itulah suara Kwi Lan yang tak dapat menahan rasa amarahnya yang menggelegak di hati. Ia tidak tahu bahwa ia telah berada dalam cengkeram iblis cemburu, yang membuatnya marah dan beringas, siap membunuh Puteri Mimi. Setelah mengeluarkan suara melengking seperti suara gurunya kalau marah, tubuhnya mencelat ke depan, memukul ke arah Mimi dengan pukulan maut. Ia sudah lemah, tenaganya sudah hampir habis karena ia pergunakan untuk melawan rangsangan birahi sepanjang malam, akan tetapi pukulan itu masih ganas dan dahsyat luar biasa.
"Dukkk...!" Tubuh Kwi Lan terpelanting. Sebelum sempat bangkit kembali, sebuah totokan membuat gadis yang sudah lemah ini rebah miring dalam keadaan pingsan.
Puteri Mimi terkejut dan dengan pengerahan tenaga sekuatnya ia berhasil melepaskan diri dari pelukan Pangeran Talibu. Akan tetapi Pangeran itu bangkit dengan mata merah, mulut terengah-engah lalu hendak mengejar.
"Kakanda... apakah kau gila...?" teriak Mimi dan gadis ini merasa ngeri dan khawatir. Pangeran Talibu menubruk akan tetapi sebuah totokan dari samping membuat ia roboh pula menggelundung di dekat Kwi Lan dalam keadaan pingsan.
Kiranya Kiang Liong yang tadi siuman cepat turun tangan melihat Kwi Lan menyerang Mimi tadi. Pemuda yang banyak pengalaman dan berpemandangan luas ini melihat sesuatu yang tidak wajar pada sinar mata Kwi Lan dan Pangeran Talibu, maka melihat betapa Pangeran itu mengejar adiknya sendiri dengan nafsu menyala-nyala, segera ia menotoknya roboh.
Untung bahwa dua orang muda itu sudah kehabisan tenaga. Kalau tidak, belum tentu Kiang Liong dapat merobohkan mereka secara mudah. Apa lagi merobohkan Kwi Lan, karena tenaga Kiang Liong sendiri pun sudah lemah akibat luka yang dideritanya akibat pukulan Kam Sian Eng.
Setelah melihat betapa Kiang Liong merobohkan kakaknya, Puteri Mimi berbalik menjadi marah kepada Kiang Liong. Ia menghadapi pemuda itu dengan mata terbelalak dan membentak. "Kau apakan Kakakku...?"
Kiang Liong mengerutkan kening. "Mereka tidak wajar, seperti beringas dan gila. Aku hanya menotok mereka agar tidak terjadi hal-hal tidak baik. Mungkin mereka berada di bawah pengaruh racun." Ia menuding ke arah mangkuk-mangkuk bekas makanan.
Puteri Mimi mengeluh lalu bersimpuh lagi dekat kakaknya. Kalau teringat betapa kakaknya tadi menciuminya seperti itu, mukanya menjadi merah saking jengah. Ah, selama hidupnya belum pernah ia dicium orang seperti itu! Kemudian timbul pula rasa kasihan dan khawatir di hati melihat tubuh kakaknya yang penuh luka bekas cambukan. Ia menoleh ke arah Kwi Lan, mengerutkan kening. Siapa wanita cantik jelita ini dan mengapa datang-datang hendak menyerangnya? Ia mengeluh dan kembali merenungi kakaknya dengan hati penuh kegelisahan.
Kiang Liong juga maklum bahwa keadaan mereka amat berbahaya. Ia tidak mau menyia-nyiakan waktu dengan berduka atau berkhawatir. Cepat ia bangkit untuk menyelidiki keadaan kamar tahanan. Setelah mendapat kenyataan bahwa kamar itu kuat sekali, dijaga ketat di luar, ia lalu mengundurkan diri di sudut ruangan itu, duduk bersila mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan kekuatan dan kesehatannya. Ia tahu bahwa yang terpenting adalah memulihkan kekuatan karena apa pun yang akan terjadi, yang paling ia perlukan adalah tenaga dan kesehatannya.
Keadaan di dalam ruangan tahanan ini menjadi sunyi sekali. Hanya terdengar helaan napas panjang diselingi isak dari Puteri Mimi. Lilin merah makin mengecil dan akhirnya padam. Ruangan menjadi gelap. Puteri Mimi makin gelisah. Dua orang pingsan, yang seorang duduk bersemedhi. Dia merasa seperti di kuburan.
Menjelang pagi terjadi geger di dalam hutan dekat markas Bouw Lek Couwsu. Yu Siang Ki yang membawa pasukan pengemis sebanyak lima puluh orang telah tiba dan langsung menyerbu hutan yang kini terjaga rapat oleh orang-orang Hsi-hsia dan para pendeta jubah merah. Pasukan yang dibawa Yu Siang Ki adalah orang-orang pilihan dari dunia kai-pang dan rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan. Sebagai tokoh-tokoh kai-pang yang berpengalaman, di antara mereka itu terdapat orang-orang yang ahli akan siasat pertempuran dan ahli pula akan tempat-tempat rahasia, maka mereka tidak bertindak sembrono.
Yu Siang Ki di samping teman-temannya yang berpengalaman, dapat menduga bahwa markas besar pimpinan orang Hsi-hsia ini tentu penuh dengan perangkap-perangkap berbahaya. Oleh karena itu mereka menanti sampai datangnya malam gelap, barulah mereka menyerbu ke dalam hutan. Yu Siang Ki dan teman-temannya tidaklah begitu sembrono seperti Kwi Lan untuk melalui jalan satu-satunya yang terdapat di hutan itu, melainkan mengambil jalan menyusup di antara semak-semak belukar, menyelinap di antara pohon-pohon besar.
Dengan amat hati-hati mereka menyusup seperti gerakan pasukan monyet yang amat lincah. Setelah melalui perjalanan yang amat sukar dan lama, menjelang senja barulah mereka dapat mendekati markas. Mereka telah lolos dari pada perangkap-perangkap rahasia yang dipasang di sepanjang jalan, akan tetapi ternyata mereka tidak dapat lolos dari pada para penjaga yang ketat. Ketika para penjaga melihat gerakan mereka, para hwesio jubah merah beserta pasukan Hsi-hsia segera bergerak mengepung dan terjadilah pertempuran hebat sekali di dekat markas besar Bouw Lek Couwsu.
Keadaan masih remang-remang gelap, dan pasukan kai-pang di bawah pimpinan Yu Siang Ki menyerbu dengan dahsyat sehingga pertempuran itu berlangsung seru sampai pagi. Akan tetapi ternyata pasukan yang dipimpin Yu Siang Ki cukup tangguh sehingga banyak prajurit Hsi-hsia roboh binasa. Para hwesio jubah merah melakukan perlawanan gigih, namun mereka kalah banyak sehingga mulailah mereka terdesak.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, "Jembel-jembel busuk sungguh menjemukan!" Bentakan ini disusul munculnya seorang kakek kurus bertopi tinggi, namun gerakannya hebat luar biasa. Begitu dengan tangan kosong ia menyerbu, empat orang pengemis roboh dengan mata mendelik dan putus napasnya!
"Hemmm, baru kalian mengenal Pak-sin-ong!" kata si Kurus dan kembali ia melangkah maju.
Para pengemis yang terkejut bukan main menyaksikan kelihaian kakek ini, menjadi lebih kaget mendengar namanya. Kiranya inilah Pak-sin-ong! Namun hanya sebentar mereka terkejut. Seorang pengemis yang bertubuh kekar dan berkumis lebat, menubruk maju mengayun tongkatnya, menghantam ke arah kepala Pak-sin-ong. Kakek itu hanya berdiri dengan angkuh dan tersenyum mengejek.
"Krakk!" Tongkat itu tepat mengenai kepala dekat dahi, akan tetapi kakek itu tetap tersenyum, sebaliknya tongkat itu yang terbuat dari pada kayu keras itu patah menjadi dua potong dan terlempar jauh entah ke mana.
Si Pengemis kaget, tetapi tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangannya dan ditusukkan ke depan. Pengemis itu terbelalak dan mulutnya mengeluarkan jerit mengerikan. Juga teman-temannya terbelalak ngeri ketika melihat betapa pengemis ini pecah perutnya, ususnya berantakan dan ditarik-tarik ke luar oleh si Kakek Kejam! Pemandangan yang amat mengerikan, akan tetapi juga menimbulkan kemarahan yang meluap-luap, membuat para pengemis menjadi nekat. Majulah mereka menerjang kakek itu yang melayani sambil tersenyum simpul.
Yu Siang Ki yang mendengar laporan tentang munculnya kakek hebat ini cepat meloncat dan menggerakkan tongkatnya merobohkan seorang hwesio jubah merah. Akan tetapi sebelum ia tiba di tempat Pak-sin-ong mengamuk tiba-tiba ia harus melempar diri ke sarnping, bergulingan dan menyabetkan tongkatnya ke kiri karena dari arah kiri menyambar sebuah gunting besar yang tadi hampir saja menggunting putus lehernya! Ia meloncat bangun dan berhadapan dengan seorang kakek yang terbahak-bahak. Butek Siu-lam!
Kagetlah Yu Siang Ki. Sudah lama ia mendengar akan nama besar Pak-sin-ong atau Jin-cam Khoa-ong sebagai seorang tokoh utara yang luar biasa saktinya. Juga ia pernah mendengar nama besar Bu-tek Siu-lam yang baru muncul namun memiliki nama yang tidak kalah oleh orang-orang pertama. Melihat bentuknya, lagaknya, dan guntingnya, tak salah lagi inilah orangnya. Ia tahu bahwa lawan ini amat berbahaya, maka cepat Siang Ki menyambar topinya dan begitu tangannya bergerak, topinya melesat seperti petir menyambar ke arah muka Bu-tek Siu-lam.
"Klikk!" Gunting itu menyambar dan... biar pun topi masih terbang lewat, namun kembangnya yang menghias topi sudah terguling dan kini terpegang di tangan kiri Bu-tek Siu-lam yang mencium-cium kembang itu dengan lagak genit!
"Hi-hik, pemuda tampan, Engkau boleh juga, sayang semuda dan setampan engkau begini malas menjadi pengemis. Hi-hik!"
Pada saat itu, seorang pengemis tua mendekati Yu Siang Ki dan berkata, suaranya gugup, "Pangcu, keadaan kita terdesak. Minta putusan."
"Beri tanda untuk mundur, sedapat mungkin keluar dari tempat ini!" kata Yu Siang Ki yang tidak ingin mengorbankan teman-temannya. Ia maklum bahwa setelah muncul dua orang sakti yang sama sekali tidak pernah disangkanya, keadaan pasukannya terancam bahaya.
Kakek pengemis itu mengangguk lalu meloncat pergi sambil mengeluarkan pekik seperti orang menangis. Itulah tanda untuk mundur, maka paniklah pasukan pengemis. Mereka mulai mundur sambil mempertahankan diri, didesak oleh musuh yang kini mendapat hati.
Jalan keluar kiranya malah lebih sukar dari pada jalan masuk. Selain pasukan Hsi-hsia dan pendeta-pendeta jubah merah, juga kini sudah muncul pula Thai-lek Kauw-ong dan Siauw-bin Lomo dari sebelah kiri dan dari sebelah kanan muncul pula Kam Sian Eng dan Suma Kiat! Percuma saja para pengemis melakukan perlawanan dan berusaha lari. Mereka disapu sampai bersih, dan tidak seorang pun dapat lolos dari tempat itu!
Ketika Bu-tek Siu-lam mendengar bahwa pengemis muda yang tampan gagah ini adalah seorang Kai-pangcu (Ketua Pengemis) yang memimpin pasukan pengemis, ia menjadi kagum dan berkata, "Eh, kiranya engkau seorang pangcu! Hi-hik! Aku mendengar laporan para pengemis anak buahku bahwa ada seorang ketua pengemis muda belia yang katanya adalah putera mendiang Yu Kang Tianglo. Engkaukah orangnya?"
"Benar, dan aku pun tahu bahwa engkaulah orang dari barat yang menampung kaum sesat untuk menyelewengkan dunia pengemis ke dalam kejahatan. Sudah tiba saatnya kita membuat perhitungan!" kata Yu Siang Ki, sedikit pun tidak gentar dan ia sudah menggerakkan tongkat panjangnya.
"Hi-hi-hik, bagus! Bouw Lek Couwsu akan suka sekali menerima bantuanmu dan anak buahmu. Eh, bocah ganteng, engkau ikut saja denganku membantu Couwsu."
"Bu-tek Siu-lam! Kau kira aku Yu Siang Ki orang macam apakah? Lihat tongkatku!" pemuda itu sudah menerjang dengan gerakan yang dahsyat. Tongkatnya mengeluarkan suara mengaung ketika menyambar ke arah kepala Bu-tek Siulam.
Namun kakek ini hanya tertawa mengejek dan berkata, "Hi-hik, percuma kau melawan!" Tongkat Siang Ki lewat di dekat kepalanya ketika tokoh banci ini mengelak. Namun sungguh tak disangkanya ketika tongkat itu seperti seekor naga membalikkan tubuh sudah membalik dan menusuk ke arah dadanya. Ketika ia cepat miringkan tubuh, tongkat itu kembali tahu-tahu sudah menghantam ke arah pinggangnya.
"Hiyaa..., kau boleh juga...!" seru tokoh ini, terkejut dan juga kagum. Kiranya biar pun masih muda pengemis ini memiliki kepandaian yang hebat. Pantas saja menjadi ketua kai-pang dan juga tidak mengecewakan menjadi putera mendiang Yu Kiang Tianglo yang dulu amat tersohor.
Pada saat itu, muncul dua orang pengemis tua. Tubuh mereka sudah terluka di lengan dan pundak, dan wajah mereka penuh keringat, pandang mata mereka penuh kegelisahan. Mereka serentak menerjang Bu-tek Siu-lam membantu Yu Siang Ki dan seorang di antara mereka berkata, "Pangcu mari kita lari, keadaan sudah berbahaya dan mendesak...!"
Kiranya dua orang pengemis ini yang melihat betapa pasukannya yang sedang melakukan usaha mengundurkan diri dihajar habis-habisan oleh musuh, kini berusaha membujuk Siang Ki untuk menyelamatkan diri. Mendengar ucapan mereka ini, Siang Ki mempercepat gerakan tongkatnya sehingga ujung tongkatnya berubah menjadi puluhan buah banyaknya, yang kesemuanya menyerbu ke arah jalan darah dan bagian-bagian lemah dari tubuh Bu-tek Siu-lam.
"Hi-hi-hi-hik, dasar pengemis tak tahu diri!" seru Bu-tek Siu-lam dan tubuhnya berkelebat ke arah dua orang pengemis tua itu. Guntingnya yang besar menyambar dan mengeluarkan bunyi nyaring.
"Klikk! Klakk!" Dua orang pengemis itu menjerit keras dan tubuh mereka roboh menjadi empat potong!
Siang Ki kaget dan kemarahannya meluap. Ia segera menerjang, mainkan ilmu tongkat ajaran ayahnya sambil mengerahkan semua tenaga sinkang di tubuhnya. Lenyaplah tubuh pemuda ini, berkelebatan dengan loncatan cepat, diselimuti gulungan sinar tongkatnya yang menyambar-nyambar. Bunyi mengaung, makin meninggi sampai melengking-lengking nyaring.
Namun yang dihadapi pemuda lihai ini adalah Bu-tek Siu-lam, seorang tokoh besar, seorang di antara Bu-tek Ngo-sian. Sungguh pun dasar ilmu silat Bu-tek Siu-lam tidak semurni ilmu silat Yu Siang Ki, namun jauh lebih berbahaya dan ganas, juga kakek banci ini menang tenaga dan menang pengalaman. Semua terjangan tongkat Yu Siang Ki yang demikian dahsyatnya dapat terbendung oleh gunting sehingga terdengarlah berkali-kali suara nyaring disusul percikan bunga api ketika kedua senjata itu bertemu.
Yu Siang Ki terkejut. Setiap kali senjatanya bertemu senjata lawan, lengannya menjadi kesemutan. Inilah tandanya bahwa tenaga sinkang lawan amat kuat. Dan ia pun dapat melihat betapa teman-temannya roboh seorang demi seorang, melihat pula munculnya Siauw-bin Lo-mo si kakek sakti di samping Pak-sin-ong dan Bu-tek Siu-lam ini.
Habislah harapannya, bukan hanya untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan, bahkan kini ia sendiri terancam. Pasukannya hancur dan entah bagaimana dengan nasib Kwi Lan. Semua kegagalan ini membuat ia menjadi nekat dan marah. Tongkatnya diputar makin hebat dan kini ia tidak pedulikan apa-apa lagi, semua perhatiannya ia curahkan dalam penyerbuan terhadap Bu-tek Siulam.
"Bocah tampan yang bodoh! Engkau masih tidak mau menyerah?" Bu-tek Siu-lam mengejek dan terpaksa ia pun mempercepat gerakan guntingnya karena biar pun masih muda, lawannya ini benar-benar tak boleh dipandang ringan.
Jarang ia menemui lawan semuda tapi setangguh ini, dan diam-diam ia makin kagum. Alangkah akan senangnya mempunyai seorang kekasih seperti pemuda ini, pikirnya. Tampan, kulitnya putih halus, matanya jernih tajam, lahir batinnya gagah perkasa dan jantan! Namun tidaklah mudah menangkap pemuda tampan ini, dan mereka sudah bertanding sampai seratus jurus lebih!
Yu Siang Ki juga menjadi bingung. Ia maklum bahwa ia tidak akan menang melawan kakek yang amat sakti ini. Betapa pun juga, ia harus mempertahankan diri dan kalau perlu mengadu nyawa dengan Bu-tek Siu-lam. Tidak terlalu penasaran kalau ia mati bersama kakek ini yang memiliki ilmu jauh lebih tinggi dari padanya. Ia harus menggunakan akal, kalau hanya mengandalkan ilmu silat saja tak mungkin ia dapat membunuh Bu-tek Siu-lam.
Berpikir demikian, Siang Ki yang sudah menjadi nekat dan putus harapan itu lalu mencondongkan tubuh ke depan, tongkatnya menyambar ke arah kepala lawan disusul tangan kiri yang melepaskan tongkat dan memukul dengan jari-jari terbuka ke arah dada. Serangan tongkatnya tidak berbahaya, dan pukulan inilah yang berbahaya, mengandung tenaga sinkang yang kuat.
Bu-tek Siu-lam bukan anak kecil, dan ia tahu akan akal ini, yaitu yang disebut serangan membesar-besarkan, yang kosong menyembunyikan yang isi. Menghadapi sambaran tongkat, ia hanya menundukkan kepala dan berbareng ia menggerakkan gunting besarnya, yang sudah dibuka dan siap menggunting lengan kiri Yu Siang Ki yang mengirim pukulan ke dada.
Tangan kiri Siang Ki sudah meluncur ke depan dengan sepenuh tenaga dan gunting itu siap menanti untuk mencaplok lengan. Terlambatlah Siang Ki untuk menarik kembali lengannya, dan memang sesungguhnya inilah akalnya, akal seorang nekat yang hendak mengadu nyawa. Ia menggunakan lengan kirinya itu untuk memancing, menjadi umpan dan kalau perlu mengorbankan lengan kirinya dicaplok gunting lawan. Begitu melihat gunting menyambar lengan kirinya, tanpa menarik kembali lengan kirinya, kaki kanannya maju melangkah dan tongkatnya menghantam ke arah pinggang lawan sekerasnya. Hebat pukulannya ini, cepat dan tak tersangka-sangka. Ia akan kehilangan lengan kiri, akan tetapi pukulannya tentu akan membinasakan lawannya!
Bu-tek Siu-lam terkejut setengah mati melihat betapa lengan kiri itu sama sekali tidak mengelak atau ditarik kembali, membiarkan menjadi korban gunting. Sebagai seorang ahli tingkat tinggi, ia menjadi curiga dan menarik kembali guntingnya sehingga ketika terdengar suara "klik", hanya ujung lengan baju Siang Ki saja tergunting. Dengan gerakan reflex yang mengagumkan, kakek itu sudah miringkan tubuh dan sekaligus menggerakkan guntingnya menangkis tongkat. Ia terlambat sedikit, tongkat yang tertangkis itu menyeleweng ke bawah dan menghantam paha kirinya.
"Bukkk...!"
Bu-tek Siu-lam terhuyung ke belakang, meringis kesakitan. Biar pun tulang pahanya tidak remuk, namun celananya pecah dan tampak pahanya yang putih itu kini menggembung dengan warna biru kemerahan!
"Bocah sinting! Kau tak mengenal kasihan orang!" teriaknya marah-marah dan kini terpincang-pincang ia menerjang maju, guntingnya menyambar-nyambar ganas dan diam-diam tangan kirinya mengeluarkan senjatanya yang ke dua, yaitu seutas benang dengan jarumnya!
Yu Siang Ki kaget dan menyesal sekali. Ia berhasil memukul lawannya, akan tetapi tahu pula bahwa ia hanya mendatangkan luka di kulit saja. Maka terpaksa ia lalu membela diri dan memutar tongkatnya. Akan tetapi sebentar saja Yu Siang Ki menjadi repot terdesak secara hebat. Ia melihat jarum berkilauan yang menyambar-nyambar seperti seekor lebah hidup, dan celakanya, jarum itu menyambar ke arah kedua matanya!
Pemuda ini terpaksa membantu tongkatnya dengan ujung lengan baju dikibaskan setiap kali ada sinar berkilau menyambar mata. Namun dengan cara begini, permainan tongkatnya menjadi kacau-balau. Ketika kembali gunting menyambar pinggang, ia menangkis dengan tongkat. Kilauan jarum menyambar mata, ia kibas dengan lengan kiri dan berusaha menangkap jarum.
Akan tetapi jarum yang diikat benang itu seperti hidup digerakkan tangan kiri Butek Siu-lam, kini jarum itu terbang membalik dan tahu-tahu telah menancap d pergelangan tangan kanan Yu Siang Ki! Pemuda ini mengeluh, tongkatnya terlepas, dan ketika ia membungkuk untuk menyambar kembali senjatanya, punggung gunting lawannya menotok tengkuknya. Yu Siang Ki mengeluh perlahan dan roboh pingsan.....
********************
Lanjut ke jilid 28

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)