MUTIARA HITAM : JILID-22
Setelah menuliskan pesan pada sapu tangan putih yang ia pasang di batang
pohon, Song Goat terus melarikan diri sambil menangis. Jantungnya
serasa ditusuk-tusuk. Teringat ia betapa dengan susah payah ayahnya
membawanya merantau sampai bertahun-tahun, dan betapa hatinya berdebar
tegang penuh perasaan puas dan gembira ketika akhirnya ia melihat pemuda
yang dijodohkan dengannya, pemuda yang tampan dan gagah perkasa.
Bahagia terasa di hatinya ketika ia dan ayahnya, dengan jalan menempuh
bahaya maut, berhasil merampas Siang Ki dari tangan orang-orang
Thian-liong-pang kemudian bahkan mengobatinya dan menyelamatkan nyawa
calon suaminya itu. Rasa malu dan jengah tertutup oleh sinar cinta kasih
yang mekar di lubuk hatinya ketika ia melihat calon suaminya ini.
Akan tetapi, alangkah besar kedukaan dan kekecewaan hatinya mendengar orang yang sejak kecil dijodohkan dengan dirinya itu di depannya, dan di depan ayahnya, secara terang-terangan mengaku cinta kepada, Kwi Lan! Ia merasa dikhianati, merasa dicurangi dan hatinya sakit sekali.
Sudah banyak tokoh-tokoh kang-ouw meminangnya, namun semua ditolak ayahnya yang memegang teguh janjinya dengan mendiang Yu Kang Tianglo, sahabatnya. Dan lebih banyak lagi dia sendiri menangkap sinar kagum dan mesra penuh kasih dari pandang mata banyak pemuda-pemuda tampan, namun ia selalu tidak sudi melayani mereka oleh karena hatinya sudah penuh dengan keyakinan dan kesetiaan bahwa dia adalah jodoh putera Yu Kang Tianglo!
Song Goat berjalan terus tanpa tujuan. Hatinya yang pedih membuat kakinya bergerak menempuh jalan-jalan yang paling sukar. Pandang matanya muram tertutup air mata dan wajahnya agak pucat. Setelah hari menjadi gelap, barulah ia terpaksa berhenti karena tak mungkin melanjutkan perjalanan yang amat sukar itu di malam gelap.
Betapa pun nelangsa hatinya, Song Goat sama sekali tidak mempunyai niat untuk bunuh diri. Pendidikan ayahnya tentang kebatinan sudah mendalam sehingga perbuatan ini merupakan pantangan besar baginya. Ayahnya sebagai ahli pengobatan berpendirian bahwa manusia harus menjaga diri harus memelihara tubuh dan mempertahankan nyawa sekuatnya, menentang maut sedapat mungkin karena hal ini merupakan satu dari pada kewajiban hidup. Bunuh diri merupakan perbuatan yang paling hina dan pengecut.
Tidak, dia tidak mau membunuh diri, dan melanjutkan perjalanan dalam gelap melalui jurang-jurang berbatu-batu itu yang sama halnya dengan usaha bunuh diri. Rasa lapar di perutnya menambah kesengsaraannya, namun sambil menggigit bibir Song Goat menahan lapar lalu mencari tempat di antara batu-batu besar yang merupakan dinding tinggi di sebelah kirinya untuk tempat berlindung melewatkan malam.
Tempat di lereng gunung ini amat sunyi. Tiada terdengar sesuatu, tiada terlihat sesuatu yang hidup. Hanya penuh batu-batu dan goa-goa batu. Mula-mula sebelum datang malam, tidak tampak sesuatu yang menandakan bahwa di sekitar tempat itu ada manusia lain. Akan tetapi setelah cuaca menjadi gelap, dari tempat ia mengaso, Song Goat dapat melihat cahaya menyorot ke luar dari goa-goa batu sejauh sepelepasan anak panah. Cahaya yang menyorot ke luar di antara celah-celah batu itu bergerak-gerak, tanda bahwa itu adalah cahaya api yang menyala dan bergerak-gerak terhembus angin.
Ia merasa heran dan curiga. Siapakah orangnya menjadi penghuni tempat yang sunyi dan liar ini? Keinginan tahu yang besar menyelubungi hatinya dan membuat ia bangkit. Perlahan-lahan ia menunduk dan menyelinap di antara batu-batu besar menghampiri goa itu. Dari celah-celah batu di luar goa yang diterangi sinar api unggun itu ia mengintai dan... otomatis tangan kiri Song Goat menutup mulutnya untuk mencegah suara keluar dari mulut itu, matanya terbelalak dan mukanya menjadi merah saking jengah.
Ia tentu akan segera membuang muka dan mundur agar tidak melihat lagi pemandangan yang tidak sopan itu kalau saja pengertiannya tentang cara pengobatan tidak membuat ia sadar dan maklum bahwa dua orang di dalam goa itu tengah melakukan latihan untuk penyembuhan luka di dalam yang amat hebat. Dua orang sedang duduk bersila, saling berhadapan, kedua pasang tangan saling menempel pada telapakan, mata meram dari kepala mereka tampak uap mengebul ke atas. Yang membuat ia malu dan jengah adalah keadaan mereka yang telanjang bulat dan mereka itu adalah seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik!
Song Goat banyak belajar ilmu pengobatan dari ayahnya. Biar pun belum pernah ayahnya melakukan cara pengobatan seaneh yang dilakukan dua orang di dalam goa, namun gadis itu pernah mendengar tentang pengobatan dengan cara menyalurkan hawa sakti di dalam tubuh ke tubuh orang lain yang diobati. Ia bahkan tahu pula cara menyalurkan ini dapat pula ia membantu seorang yang terluka di bagian dalam tubuhnya dengan penyaluran tenaga melalui telapak tangan. Akan tetapi dalam keadaan telanjang bulat seperti itu! Benar-benar baru kali ini ia melihatnya! Tentu ini merupakan cara pengobatan kaum sesat pikirnya. Karena ingin tahu, ia melawan perasaan malu dan jengah serta terus memandang keadaan dua orang muda yang ia anggap tidak tahu akan susila itu.
Setelah pandang matanya mulai terbiasa dengan sinar api unggun yang bergerak-gerak itu, ia mengenal wanita cantik yang telanjang bulat itu. Kiranya wanita itu adalah gadis berpakaian merah yang memimpin para hwesio Tibet menyerang Siauw-bin Lo-mo, gadis yang mengaku sebagai murid Siang-mou Sin-ni! Ah, pantas saja mereka melakukan cara pengobatan macam ini, pikirnya. Tidak salah lagi, pemuda tampan ini pun tentu seorang anggota kaum sesat.
Berpikir demikian, Song Goat menjadi muak dan hendak menyelinap pergi, akan tetapi ia urungkan niatnya ketika melihat berkelebatnya bayangan empat orang tinggi besar memasuki goa itu. Ia mengintai dan melihat bahwa empat orang ini adalah hwesio-hwesio berjubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu!
Hemmm, kiranya tempat ini menjadi tempat berkumpul kaum sesat ini, pikirnya dengan hati berdebar. Kini tahulah ia bahwa ia tersesat ke sarang harimau, ke tempat musuh dan kalau sampai ia diketahui orang, tentu akan celaka. Baru murid Siang-mou Sin-ni saja sudah amat hebat dan tinggi tingkat kepandaiannya, tidak terlawan olehnya. Apa lagi ditambah hwesio-hwesio itu dan pemuda tampan tak tahu malu ini! Dia harus cepat pergi meninggalkan tempat berbahaya ini, malam ini juga.
Akan tetapi, kembali Song Goat menahan gerakan kakinya yang sudah melangkah hendak pergi dan matanya terbelalak memandang ke dalam goa. Hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya terjadi. Empat orang hwesio jubah merah itu mencabut golok dan pedang masing-masing, lalu serempak menyerang pemuda yang masih duduk bersila tak bergerak sambil meramkan mata! Hampir saja Song Goat berseru kaget melihat gemerlapnya empat batang senjata tajam itu melayang ke arah si Pemuda.
Juga kini baru tampak oleh Song Goat bahwa tubuh pemuda tampan itu dari leher ke bawah berwarna kehitaman. Tadi ia tidak sampai hati memandang tubuh telanjang bulat itu, kini dalam sekilas pandang karena pemuda itu terancam bahaya, baru ia melihatnya dan tahulah ia bahwa pemuda itu telah keracunan secara hebat sekali. Melihat betapa tubuh wanita itu putih bersih dan kemerahan membayangkan kesehatan, ia kini tahu bahwa si Wanita itulah yang sedang menyalurkan hawa sakti untuk membantu dan mengobati si Pemuda. Dan kini pemuda itu diserang hebat dalam keadaan tidak berdaya sama sekali.
Song Goat melihat betapa wanita cantik murid Siang-mou Sin-ni itu membuka mata, terbelalak, lalu tangan kanannya yang tadinya menempel pada telapak tangan pemuda itu terlepas, dan secepat kilat tangan itu mendorong ke depan melalui atas kepala pemuda itu, empat kali berturut-turut mendorong ke arah empat orang hwesio jubah merah yang tidak memperhatikannya. Dari tangan kanan itu meluncur hawa pukulan yang jelas tampak bersinar merah ke arah empat orang hwesio jubah merah dan... empat orang hwesio itu mengeluarkan pekik mengerikan, senjata mereka terlepas dan mereka terjengkang ke belakang dengan mata terbelalak dan tewas seketika!
Akan tetapi tubuh wanita cantik itu sendiri tergetar hebat, tangan kirinya menggigil kemudian tubuhnya sendiri terjengkang, telentang, seluruh tubuhnya kini menjadi menghitam napasnya terengah-engah. Anehnya tubuh si Pemuda yang tadinya menghitam itu kini menjadi putih bersih dari leher sampai ke pinggang, dan warna kehitaman hanya tampak dari pinggang ke bawah.
“Celaka...!” seru Song Goat dalam hatinya. Melihat wanita cantik itu menolong si Pemuda dan mengorbankan diri sendiri, timbul rasa simpatinya dan ia dapat menduga bahwa wanita itu kini terluka hebat sekali, sebaliknya si Pemuda itu sudah terobati sebagian besar dan masih ada harapan tertolong nyawanya.
Setelah kedua telapak tangannya terlepas dari kedua tangan wanita itu, si Pemuda tubuhnya bergoyang-goyang, kemudian ia membuka matanya. Melihat wanita itu telentang dengan tubuh menghitam dan di sekelilingnya rebah empat orang hwesio jubah merah yang sudah tewas semua, pemuda itu meloncat dan menubruk wanita cantik itu mengangkat kepalanya dan dipangkunya kepala itu.
“Leng In... ah, Leng In...,” pemuda itu berbisik, penuh perasaan terharu dan khawatir.
Po Leng In, wanita itu, membuka mata dan tersenyum, senyum yang membayangkan maut, senyum yang amat menyedihkan, kedua lengannya bergerak seperti hendak merangkul leher, akan tetapi rebah kembali dengan lemas, bibirnya bergerak.
“...aku puas... dapat mengakhiri hidup dalam keadaan begini... aku bahagia... dapat menolongmu, kekasihku...“ Po Leng In masih berusaha menggerakkan tubuh, agaknya ingin sekali bicara banyak, akan tetapi ia menjadi lemas. Tubuhnya tiba-tiba kejang dan kemudian lemas, tak bernyawa lagi.
“Leng In !” Pemuda itu mempererat pelukannya, membenamkan muka pada rambut yang hitam halus itu menahan sedu sedan yang naik ke tenggorokannya. Melihat ini Song Goat terharu.
Siapa pun pemuda itu, betapa pun ia menjadi sekutu murid Siang-mou Sin-ni, menjadi kekasih wanita sesat itu dan terang juga seorang sesat, namun melihat pemuda itu berduka dan terharu, ia ikut merasakan kedukaannya. Ia dapat merasa betapa perih hati ditinggali orang yang dicintanya. Dan ia pun merasa seolah-olah ia dipaksa berpisah dari orang yang dicintanya, dari calon suaminya. Tak tertahankan lagi, ia pun terisak, namun ditahan-tahannya.
Tiba-tiba tubuh pemuda yang telanjang bulat itu mencelat keluar dari goa. Terbuktilah kelihaian pemuda itu. Suaranya menahan isak yang begitu lirih ternyata didengar pemuda itu dan gerakan pemuda itu meloncat bukan main ringannya, tahu-tahu sudah berada di depannya dengan sikap mengancam dan bengis, siap hendak menyerang.
Akan tetapi agaknya pemuda itu kaget, heran, ragu dan jengah ketika melihat bahwa yang mengintai adalah seorang gadis cantik, bukan seorang hwesio jubah merah. Dan wajah yang tampan dan penuh keheranan dan kedukaan itu tiba-tiba menyeringai menahan sakit tubuhnya terguling dan ia roboh pingsan di depan kaki Song Goat.
Keinginan pertama yang memenuhi hati Song Goat adalah cepat-cepat pergi meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Akan tetapi watak yang dibentuk ayahnya semenjak kecil, watak yang ingin menolong orang yang sedang menderita sakit, watak yang ingin melawan segala macam penyakit yang hendak merenggut nyawa orang siapa pun adanya orang itu, membuat ia menekan perasaannya, memperbesar nyalinya dan ia segera meloncat ke dalam goa.
Ia membungkuk dan memeriksa nadi serta dada Po Leng In, hanya untuk mendapat keyakinan bahwa wanita itu tak dapat ditolong lagi, sudah tewas akibat racun yang menerobos melalui telapak tangan pemuda itu. Hawa beracun itu menerobos memasuki tubuhnya karena wanita ini tadi mengerahkan semua tenaga untuk merobohkan empat orang hwesio jubah merah.
Dengan sendirinya, tubuhnya menjadi lemah dan kosong, tidak ada daya tahan sehingga penyaluran hawa sakti dari pemuda itu menerobos dan membawa sebagian besar hawa beracun pindah ke dalam tubuhnya! Ketika Song Goat melirik ke arah empat orang hwesio jubah merah, tanpa memeriksa lagi ia sudah yakin bahwa mereka semua tewas dengan mata mendelik, mata terbuka lebar namun sama sekali tidak bergerak dan tidak ada cahayanya, mata orang-orang mati.
Ia menghela napas panjang. Tidak ada yang dapat ia kerjakan lagi di dalam goa yang menjadi kuburan lima orang itu, maka ia lalu menyambar tumpukan pakaian warna putih di dekat tumpukan pakaian warna merah, membawa pakaian itu keluar dan ia membungkuk lalu memeriksa detik nadi dan dada pemuda tampan itu. Benar seperti diduganya, pemuda ini tertolong dari pinggang ke atas sudah bebas hawa beracun, akan tetapi di bagian bawah tubuhnya masih menghitam. Kalau tidak cepat mendapat pertolongan yang tepat, nyawa pemuda ini pun masih terancam bahaya maut.
Sebagai puteri tunggal Yok-san-jin, ia maklum bahwa hawa beracun yang meracuni pemuda ini aneh dan jahat bukan main. Dan sudah menjadi watak ayahnya apa bila menghadapi penyakit atau racun yang amat jahat, makin jahat makin tertariklah hatinya, makin besar semangatnya untuk melawan dan mengalahkan penyakit atau racun itu!
Ia lalu mengenakan pakaian pemuda itu sedapatnya dengan perasaan jengah dan seberapa dapat tanpa melihat tubuh pemuda itu sehingga cara ia mengenakan pakaian itupun tidak karuan, seolah-olah tubuh pemuda itu hanya ia bungkus saja dengan pakaian putih itu. Kemudian ia mengempit tubuh pemuda itu, dikempit bagian pinggangnya dan pergilah Song Goat meninggalkan goa yang mengerikan tadi.
Ia harus cepat ditolong, kalau tidak, menurut taksirannya, dalam waktu kurang dari tiga puluh enam jam tentu sukar ditolong pula. Dan ia membutuhkan banyak benda, air mendidih, beberapa daun obat. Mulailah Song Goat merayap dan berjalan perlahan menuruni lereng dari atas, mencari-cari dengan pandang matanya dan akhirnya ia melihat cahaya penerangan dari sekelompok rumah-rumah, tentu sebuah dusun.
Dipercepatnya jalannya dan menjelang fajar ia sudah memasuki sebuah dusun yang cukup besar. Ia mencari-cari kemudian mengetuk pintu sebuah kedai makan di sudut dusun. Tak lama kemudian daun pintu dibuka dan seorang laki-laki gemuk setengah tua muncul. Dia pemilik kedai dan selalu bangun pagi-pagi untuk mempersiapkan kedainya. Kini ia memandang dengan heran melihat seorang gadis cantik jelita sepagi ini sudah datang berkunjung sambil mengempit tubuh seorang laki-laki yang pingsan.
“...ehh..., Nona siapakah...? Mau apa...? Dan... dia ini...?”
“Paman, aku seorang ahli pengobatan, sahabatku ini sakit keras. Hari ini kusewa kedaimu, atau setidaknya dapurmu.”
“Tapi... tapi... mana bisa...?”
“Tidak ada tapi, Paman. Demi nyawa orang ini, kau harus menolongku. Hanya sehari kusewa kedai dan dapurmu. Pula, adakah kedaimu dapat menghasilkan sebanyak ini dalam sehari? Song Goat mengeluarkan sebuah gelang emas dan melemparkannya ke atas meja. Kau terimalah gelang itu, untuk sewa kedai sehari.”
Tukang kedai itu dengan bingung dan ragu-ragu memandang Song Goat, kemudian memandang wajah pemuda yang sakit, lalu melirik ke arah gelang emas di atas meja. Kalamenjingnya naik turun. Sudah amat lama ia sebagai duda tergila-gila kepada seorang janda muda di dusun itu, akan tetapi belum juga berhasil memikatnya. Dengan gelang emas seindah itu agaknya... hemm, akan tetapi ia harus hati-hati.
“Orang ini... bagaimana kalau mati di tempatku?”
“Tidak, Paman. Ia akan hidup dan ini tergantung pertolonganmu juga. Lekas kau nyalakan perapian di dapur dan adakah Paman mempunyai sebuah ember besar yang cukup besar dimasuki orang ini?”
“Haaah?" Si Gendut itu terbelalak, heran akan tetapi mengangguk-angguk dan ia segera memasuki dapur diikuti Song Goat setelah merapatkan kembali daun pintu depan.
Tanpa banyak cakap lagi Song Goat lalu memilih sebuah tempat masak air yang amat besar, dengan gantungan kawat yang kuat. Juga ia melihat bahwa tempat perapian cukup besar. Memang kedai itu adalah kedai makanan. Hatinya puas.
“Paman, harap kau tolong isi panci besar itu dengan air dan persiapkan perapian. Aku hendak mencari beberapa daun obat di hutan,” kata Song Goat sambil menurunkan dan merebahkan tubuh pemuda itu di atas sebuah bangku panjang yang terdapat di ruangan belakang.
Pemuda itu mengeluh lalu membuka matanya, menoleh ke kanan kiri. Ia terheran ketika melihat dirinya rebah di atas bangku dalam sebuah kamar yang tidak begitu bersih. Lebih-lebih lagi keheranannya ketika ia melihat seorang gadis cantik bersanggul tinggi berdiri di dekatnya, dan dengan gerakan serta tangan berkulit halus menahan dadanya, mencegahnya untuk bangkit.
“Kau keracunan hebat. Aku berusaha mengobatimu. Kau akan sembuh dan bebas dari bahaya maut kalau mentaati pesanku. Kalau kau membangkang kau akan mati. Kau rebah saja di sini, jangan turun dan banyak bergerak. Aku akan pergi mencari daun obat di hutan. Tak perlu bercerita apa-apa dengan Paman pemilik kedai yang sibuk di dapur.” Sikap Song Goat kasar dan ketus. Makin ketus dan kasar sikapnya ketika melihat bahwa laki-laki muda ini benar-benar amat tampan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar lembut tapi tajam menembus jantung. Terhadap seorang pemuda sesat sahabat dan kekasih murid Siang-mou Sin-ni tak perlu ia bersikap halus pikirnya.
Pemuda itu kini sudah membuka mata lebar-lebar dan bibirnya tersenyum ketika dapat mengenal sikap kasar dan ketus yang dibuat-buat itu. Ia sudah terlampau masak dalam pengalamannya untuk mengenal sifat wanita-wanita cantik seperti ini!
“Ah, kiranya aku diselamatkan oleh seorang dewi dari kahyangan. Apakah engkau Kwan Im Pouwsat (Dewi Kasih Sayang), Nona?”
Merah muka Song Goat. Selama hidupnya belum pernah Ia dirayu laki-laki, apa lagi kalau laki-laki itu setampan dan segagah ini, dengan kata-kata merayu yang halus tapi menyenangkan hati. Akan tetapi kembali ia teringat bahwa pemuda ini adalah seorang pemuda sesat, maka ia memaksa diri cemberut dan pandang matanya galak. Bahkan ia tidak menjawab, hanya sibuk mempersiapkan sebuah bungkusan kuning dari saku dalam bajunya, lalu menuang isi bungkusan yang berwarna merah ke dalam tekoan (tempat teh) itu. Kemudian juga masih cemberut tanpa bicara, ia menghampiri pemuda itu dan dengan jari-jari tangannya ia memeriksa dan menekan jalan darah di di dekat mata kaki kanan.
Pemuda itu terus mengikuti semua gerakan gadis itu dengan senyum dan mata memandang kagum. “Nona, kau hebat. Kalau bukan penjelmaan Kwan Im Pouwsat, entah siapa dan entah dewi dari kahyangan mana...”
“Kau diamlah. Simpan kelakarmu itu untuk orang-orang segolonganmu! Aku Song Goat... hemm, aku puteri Song Yok-san-jin. Engkau dalam keadaan setengah hidup setengah mati. Kalau kau mau kuobati, kau diam saja. Aku mau pergi mencari beberapa daun obat.”
Pada saat itu, si Gendut pemilik kedai muncul dari dapur dan Song Goat segera berkata kepadanya, “Paman, aku pergi sekarang mencari obat. Kau godok obat bubuk ini dengan air setekoan penuh, dan sisakan setengah mangkok, kemudian suruh diminum sampai habis.”
Setelah berkata demikian, dengan sikap marah tanpa menoleh lagi sedikit pun kepada pemuda itu, Song Goat berkelebat dan bayangannya lenyap menerobos lubang jendela. Pemilik kedai memandang melongo sampai lama, tercengang keheranan, juga pandang matanya membayangkan rasa ketakutan. Ketika ia memandang pemuda yang sakit itu, ia makin heran karena pemuda itu tersenyum lebar, agaknya sama sekali tidak heran melihat betapa gadis cantik tadi terbang begitu saja keluar jendela seperti seekor burung!
“Kau kenapa, Paman Gedut?” pemuda itu menegurnya sambil tertawa.
“Kau tanya kenapa, orang muda? Tidakkah kau melihat semua keanehan ini? Gadis cantik itu datang di waktu fajar mengempit tubuhmu, lalu menyewa kedaiku dengan bayaran tinggi, kini ia menghilang begitu saja melalui jendela. Biar disambar geledek aku kalau hal ini bukan aneh namanya! Mimpikah aku? Atau... setan... eh, bidadarikah dia? Dan kau, orang muda, kau benar-benar sakitkah?”
Pemuda itu tertawa dan memang amat mengherankan seorang yang katanya sakit terancam maut bisa tertawa dan bersikap setenang itu. “Paman, dia itu tadi seorang bidadari. Lebih baik aku dan Paman mentaati semua perintahnya agar mendapat berkahnya!”
Pemilik kedai itu menjulurkan lidahnya, menggeleng-geleng kepala kemudian bergegas memasuki dapur membawa tekoan berisi obat untuk dimasaknya sesuai dengan perintah si Dewi tadi.
Setelah si Gendut itu pergi, pemuda itu lalu bangkit, duduk bersila dan meramkan mata, mengumpulkan hawa murni di tubuh untuk menekan racun yang masih mengotori separuh tubuhnya agar jangan menjalar makin luas. Ia tentu saja pernah mendengar akan nama Song Yok-san-jin si ahli obat, dan sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kakek ahli obat itu mempunyai seorang puteri yang demikian cantik jelita, lebih-lebih lagi tak pernah menyangka bahwa ia akan tertolong oleh seorang gadis cantik lain yang jauh bedanya dengan Po Leng In.
Teringat akan Po Leng In, ia menarik napas panjang. Patut dikasihani wanita itu. Memang harus diakui bahwa Po Leng In bukan wanita baik-baik dan sudah terlalu banyak dosanya. Akan tetapi ia harus berani mengakui pula bahwa Po Leng In amat baik kepadanya dan ia berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepada murid Siang-mou Sin-ni itu! Teringat akan itu semua, ia tidak dapat mengosongkan pikirannya maka cepat-cepat ia menggunakan kekuatan batin untuk mengusir bayangan-bayangan itu.
Setelah kamar belakang ini diterangi sinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela, barulah Song Goat muncul dengan cara seperti tadi, yaitu melompat masuk melalui lubang jendela. Wajahnya yang cantik itu kemerahan karena sepagi itu sudah bekerja keras dan berlari-lari, tangannya menggenggam beberapa daun obat dan lehernya berkeringat. Melihat pemuda itu duduk bersila dan bersemedhi dengan cara yang bersih, ia terheran. Sudah ia ketahui bahwa pemuda itu amat lihai, akan tetapi cara bersiulian (bersemedhi) seperti itu benar benar di luar dugaannya. Pemuda itu pun membuka mata dan melihat Song Goat ia lalu berkata.
“Nona, terus terang saja, apakah kau anggap keadaanku masih ada harapan?”
Song Goat menggerakkan kedua pundaknya, Gerakan yang lucu bagi scorang gadis muda dan cantik seperti dia, gerakan yang ia tiru dari ayahnya. Lucu akan tetapi manis! “Entahlah, kalau dapat akan kucoba menyembuhkannya. Sayangnya, aku tidak tahu pasti racun apa yang menyerangmu. Setelah minum obat bubuk yang kutinggalkan tadi, bagaimana rasanya dalam perutmu?”
“Tidak terasa apa-apa. hanya dingin.”
“Tidak ada rasa gatal-gatal di sekitar pusar?”
“Tidak.”
“Aneh, kalau terkena pukulan beracun biasanya obat bubukku tadi tentu akan menimbulkan rasa gatal. Hmm, mudah-mudahan saja usahaku menolongmu berhasil.”
“Nona Song, mengapa begini keras benar kau berusaha untuk menolongku?”
Gadis itu memandang, dua pasang mata bertemu pandang dan si Gadis menjadi marah. “Huh, apa lagi kalau bukan karena kebetulan aku puteri ayahku seorang ahli obat? Sudah menjadi kewajiban kami untuk berusaha menyembuhkan siapa saja.” Ia berhenti dan cepat menyambung, “Tentu saja kalau si sakit suka diobati!”
Pemuda itu tersenyum. Gadis ini sebenarnya halus dan baik budi, akan tetapi entah mengapa terhadap dia berpura-pura galak. “Kalau begitu, biarlah kubantu usahamu dengan keterangan yang mungkin berguna bagimu. Luka yang meracuni tubuhku adalah luka dalam akibat pukulan Tok-hiat Hoat-lek dari Siang-mou Sin-ni. Lambungku kena pukul Siang-mou Sin-ni.”
Song Goat tercengang. Hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya. Mengapa pemuda ini yang jelas adalah sahabat dan kekasih murid Siang-mou Sin-ni, terluka hebat karena pukulan iblis betina itu? Teringatlah ia kini betapa pemuda ini diserang oleh empat orang hwesio jubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu!
“Hemmm, mengapa kau dipukul Siang-mou Sin-ni?”
“Mengapa? Karena aku musuhnya.”
“Musuh...?” Song Goat terheran. Ini sama sekali tidak pernah disangkanya. “Engkau musuh Siang-mou Sin-ni?”
Pemuda itu tersenyum lalu membungkukkan tubuhnya yang masih duduk bersila. “Nona Song, maaf, seharusnya engkau mengenal siapa yang kau tolong ini. Aku she Kiang bernama Liong. Aku tadinya berusaha menolong cucu-cucu Beng-kauw yang tertawan oleh Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, akan tetapi aku dicurangi mereka dan terkena pukulan Tok-hiat Hoat-lek.”
“Hemmm...,” Song Goat masih ragu-ragu. “Kalau kau musuh mereka, kenapa kau dan murid iblis betina itu....”
“Ah, kau maksudkan Po Leng In?” Kiang Liong mengerutkan keningnya. “Dia memang murid Siang-mou Sin-ni akan tetapi dia telah menolongku, menyelamatkan nyawaku, bahkan... ia telah mengorbankan nyawanya untukku. Dia seorang gadis yang patut dikasihani. Nona Song, aku berterima kasih sekali atas kebaikanmu yang berusaha mengobatiku, akan tetapi pukulan Siang-mou Sin-ni hebat sekali, apakah kiranya masih dapat diobati?”
Agak lega hati Song Goat mendengar keterangan Kiang Liong. Ternyata ia tidak menolong orang jahat bahkan menolong bekas lawan kaum sesat. Juga kini ia tahu bahwa Po Leng In mencinta pemuda ini dan mengorbankan nyawa, mengkhianati guru sendiri. Ah, Po Leng In lebih bahagia dari pada aku, pikirnya duka. Orang sesat macam dia saja mempunyai kekasih yang patut dicinta dan dibela dengan pengorbanan nyawa!
“Akan kucoba dan agaknya sebagian besar tergantung dari pada sinkang di tubuhmu sendiri. Obat-obatku ini harus dicampur dengan air panas dan kau harus merendam diri dalam air panas itu, lebih panas lebih baik kiranya. Akan tetapi, kalau sifat sinkangmu berlawanan, mungkin akan berbahaya. Bolehkah aku mengetahui siapa gurumu agar aku dapat mengira-ngira tentang hawa sakti di tubuhmu?”
“Kalau bukan engkau yang tanya, Nona, aku segan mengaku. Akan tetapi karena kau penolongku dan keterangan ini mungkin berguna, ketahuilah bahwa Suhu adalah Kim-siauw-eng...”
“Suling Emas...?” Song Goat memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia memandang pakaian yang membungkus tubuh Kiang Liong. “Dan kau... jadi kau adalah... Kiang-kongcu yang terkenal itu?”
Kini wajah Kiang Liong yang menjadi merah, “Ah, kau berlebihan, Nona. Nona, ayahmu Song-cianpwe barulah nama yang terkenal. Aku Kiang Liong hanya seorang yang... pada saat ini menggantungkan nyawa kepadamu.”
Mau tak mau Song Goat tersenyum. Jantungnya berdebar aneh. Kiranya pemuda yang disangkanya pemuda sesat, adalah Kiang-kongcu yang menjadi buah bibir dunia persilatan, murid tunggal pendekar sakti Suling Emas! Bukan hanya dunia persilatan yang membicarakan sepak terjang pemuda perkasa ini, juga gadis-gadis banyak yang menyebut-nyebut namanya dengan wajah berseri-seri dan senyum dikulum.
“Kalau begitu aku boleh dua kali menarik napas lega.”
Kiang Liong adalah seorang pemuda yang wataknya romantis. Pandai sekali ia bergaul dengan wanita! Agaknya watak ini ia dapatkan dari ibunya! Kini melihat betapa nona penolongnya sudah tidak kelihatan galak dan ketus, ia tersenyum dan mendapatkan kembali kelincahannya.
“Wah, penarikan napas lega seorang gadis sehebat engkau tentu ada alasannya yang amat kuat. Bolehkah aku mengetahui alasannya, Nona Song?”
Kini gadis itu pun tersenyum. Berhadapan dengan Kiang Liong yang pandai bicara dan jenaka, timbul pula kegembiraannya. “Tentu saja boleh, memang bukan hal yang perlu dirahasiakan. Pertama, dengan kepandaianmu tentu saja engkau akan dapat mengatasi cara pengobatan ini dan tentu hawa beracun yang mengeram di tubuhmu dapat diusir dalam waktu singkat. Kedua, aku tidak perlu khawatir lagi karena ternyata kau bukan seorang pemuda sesat seperti yang tadinya kusangka.”
“Aduh, hal yang pertama itu membuat aku menjadi besar kepala karena kau puji-puji, akan tetapi hal kedua membuat aku amat tidak enak hati, Nona. Kenapa kau mengira aku seorang sesat?”
Merah wajah Song Goat teringat akan keadaan pemuda ini dan Po Leng In yang berhadapan dalam keadaan telanjang bulat. “Karena... karena... kau dan wanita murid Siang-mou Sin-ni itu....“
Kiang Liong menepuk kepalanya. “Benar juga! Tentu saja kau akan menganggap begitu. Memang Leng In yang berusaha menyembuhkan aku secara itu. Dia adalah murid Siang-mou Sin-ni dan aku terluka oleh pukulan gurunya, maka ia berusaha menyembuhkan aku dengan cara gurunya pula.”
Pada saat itu, si Gendut, pemilik kedai muncul dan seperti lagak seorang prajurit ia berkata, “Perapian dan air sudah siap!”
Song Goat mengangguk, dan ketika si Gendut itu pergi lagi, ia berkata kepada Kiang Liong. “Kiang-kongcu, maafkan aku. Cara pengobatan ayahku mengharuskan engkau berendam di air sepanas-panasnya dicampur daun-daun obat ini. Silakan kau masuk dulu ke dapur membuka... membuka pakaian dan merendamkan diri di dalam air di atas perapian. Nanti aku menyusulmu setelah kau siap. Suruh saja Paman Gendut itu memberi kabar kepadaku.”
Setelah Kiang Liong keluar dari kamar itu pergi ke dapur. Song Goat lalu memasukkan daun-daun obat ke dalam tekoan (cerek teh). Dari situ ia dapat mendengar suara Kiang Liong yang halus dan tenang diseling seruan heran pemilik kedai. Song Goat tersenyum geli. Tentu saja bagi pemilik kedai yang belum melihat cara pengobatan seperti ini, apa yang akan mereka lakukan ini amat mengejutkan dan mengherankan.
Akan tetapi ia yakin betul bahwa hanya inilah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan Kiang Liong dari pada pengaruh hawa beracun yang mengotori darah itu. Menurut ajaran ayahnya, semua pukulan yang mengandung hawa beracun dan selalu menjadi sumber kelihaian kaum sesat, jika pukulan itu meracuni darah, maka tentu didasari hawa pukulan yang bersifat dingin. Tok-hiat Hoat-lek, pukulan Siang-mou Sin-ni yang melukai Kiang Liong ini pun seperti dinyatakan namanya, meracuni darah dan betapa pun hebatnya, jelas didasari pukulan dingin karena hanya hawa dingin saja yang dapat meracuni darah.
Terdengar langkah kaki berat dan pemilik kedai sudah muncul pula di pintu, matanya melotot lebar dan wajahnya merah sekali, “Siocia (Nona), apakah yang akan Nona lakukan? Mau... mau... rebus dia...?”
“Kau diam dan jangan mencampuri urusan kami,” Song Goat menegur kesal. Percuma saja menerangkan kepada orang yang sama sekali tidak mengerti. “Apakah Kongcu (Tuan Muda) sudah siap?”
“Sudah... sudah..., dan api sudah saya nyalakan.” Si Gendut itu menggerakkan pundak menyatakan rasa ngerinya. Tanpa banyak cakap lagi Song Goat lalu membawa tekoan memasuki dapur diikuti oleh Si Gendut yang mengeluarkan suara seperti ayam biang memanggil anaknya dengan bibirnya yang tebal memberengut.
Kiang Liong sudah duduk bersila di dalam tahang penuh air itu, tergantung di atas perapian yang mulai menyala apinya. Air dalam tahang hampir penuh, meredam pemuda tubuh pemuda yang duduk bersila itu sampai atas pinggang. Untuk menjaga agar gadis penolongnya tidak merasa jengah, ia sengaja duduk membelakangi meja, menghadap ke jendela dapur. Topi pelajar masih menutupi kepalanya, akan tetapi bagian tubuh lain semua telanjang bulat. Tubuh bagian atas tampak berkulit putih bersih dan berisi otot-otot kekar.
“Kiang-kongcu, kalau terlalu panas harap katakan agar aku dapat mengecilkan apinya atau memadamkan sama sekali,” kata gadis itu sambil mengisi tekoan dengan air dan menaruhnya pula di atas api.
Kiang Liong hanya mengangguk dan berkata lirih, “Sama sekali tidak panas, boleh kau besarkan apinya.”
Dengan tongkat pengorek api, Song Goat membuka-buka arang dan kayu di perapian dan makin besarlah nyala api. Tak lama kemudian tekoan yang isinya daun obat dan sedikit air itu mendidih, maka dituangkanlah isi tekoan ke dalam tahang air. Api makin membesar dan hawa di dapur mulai panas, air di dalam tahang pun makin lama makin mendekati mendidih.
Makin lama sepasang mata tukang kedai makin melebar pula, kemudian ia tak dapat menahan perasaannya lagi dan berseru, “Nona, sungguh mati! Kalau Nona hendak merebus daging manusia, saya tidak mau ikut campur! Saya bukan tukang masak orang, bukan pembunuh!” Ia hampir berteriak-teriak saking tegang dan ngerinya.
Air di tahang sudah mulai mendidih, uap mengepul dari seluruh tubuh Kiang Liong. Dengan hati penuh ketegangan dan kegirangan Song Goat melihat betapa air di tahang itu sudah mulai berubah warnanya, tidak sebening tadi. Maka ia menjadi gemas sekali melihat sikap si Gendut itu dan mendengar teriakannya.
“Diam dan keluarlah dari dapur ini! Kalau tidak, kau pun akan kurebus hidup-hidup!”
Muka Si Gendut menjadi pucat, matanya terbelalak dan bagaikan seekor anjing digebuk ia lalu berlari ke luar dari dapur itu, kedua tangan memegangi kepalanya!
Song Goat tersenyum geli, lalu berkata halus dari belakang punggung Kiang Liong, “Kiang-kongcu, agaknya berhasil usaha kita....”
Kian Liong mengangguk, “Syukurlah, dan makin besar terima kasihku kepadamu, Nona Song”
“Tak perlu berterima kasih kepadaku, Kongcu. Lebih tepat kau berterima kasih kepada gurumu yang telah menurunkan ilmu yang hebat kepadamu sehingga sinkang-mu begini kuat menahan panasnya air mendidih. Apakah tidak terlalu panas?”
“Tidak, boleh kau tambah apinya agar lebih panas. Bukankah kau bilang tadi lebih panas lebih baik?”
“Betul, makin panas makin cepat hawa beracun dibersihkan.”
“Kalau begitu, lekas besarkan apinya, Nona. Tidak enak terlalu lama begini, dianggap babi rebus oleh tukang kedai!”
Song Goat tersenyum dan dari belakang ia memandang kagum. Bukan main! Dia sendiri biar pun akan dapat bertahan dalam air mendidih, namun harus ia kerahkan seluruh lweekang-nya, menggunakan hawa sinkang di tubuh melawan panas dan untuk ini tentu saja ia tidak sanggup untuk bicara. Akan tetapi pemuda ini tidak hanya menyuruh besarkan api, malah masih dapat enak-enak bicara dan berkelakar! Pemuda hebat!
Sementara itu, pemilik kedai yang gendut dan merasa amat gelisah itu tak dapat menahan hatinya lagi dan bahkan tidak berani berada di dalam kedainya. Ia keluar dan sebentar saja banyak kenalan dan langganannya datang bertanya. Saking tak dapat menahan kegelisahannya, ia menceritakan kejadian aneh di dalam dapur kedainya dan ramailah mereka bercakap-cakap dan berbisik-bisik di luar kedai. Ibu-ibu yang mendengar bahwa ada orang merebus daging manusia, menjadi pucat dan berlarilah mereka ketakutan mencari anak-anak masing-masing, melarang mereka bermain di luar rumah dan menyembunyikan mereka ke dalam kamar. Setan pemakan daging manusia tentu lebih suka akan anak-anak yang dagingnya masih lunak!
“Tentu dia perempuan siluman rase!” bisik seorang kakek sambil mengangguk-anggukkan kepala penuh keyakinan.
“Tapi... Kongcu itu menurut saja direbus,” kata si Gendut pemilik kedai.
“Uuuhh, kau tahu apa? Siluman rase tentu saja pandai ilmu hitam. Sekali senyum dan sekali kerling, laki-laki akan terpikat dan disuruh apa pun juga takkan membantah,” kata pula si Kakek yang tahu segala.
“Memang dia cantik sekali, cantik jelita dan muda dan... galak.”
“Wah, tak salah lagi. Tentu siluman rase, pandai memikat hati pria, suka makan daging manusia. Ihhh...!” kata si Kakek.
“Ihhh...!” kata yang lain.
“Celaka, dia harus dibinasakan. Mari kita serbu, jangan sampai dia lolos dan merebus anak-anak kita!” seru seorang laki-laki tinggi besar yang ingat akan dua orang anaknya yang gemuk-gemuk.
“Betul, hayo serbu!”
“Cari senjata!”
“Panggil Lo-suhu di kelenteng, minta jimat!”
Ramailah kini para penduduk dusun itu dan sebentar saja mereka semua, termasuk seorang hwesio tua kurus berpakaian butut, berdiri di depan kedai dengan segala macam senjata di tangan. Ada yang membawa golok penyembelih babi, ada yang membawa palang pintu, cangkul, linggis dan sebagainya. Bahkan beberapa orang wanita yang cukup pemberani, karena mendengar bahwa setan itu setan betina, ikut pula datang membawa pisau dapur atau besi pengorek api!
Mereka bersemangat untuk menangkap siluman, akan tetapi juga ngeri dan takut karena mendengar penuturan tukang kedai betapa siluman rase itu pandai terbang menghilang! Dipimpin oleh tukang kedai yang diikuti kakek yang mengenal siluman dan hwesio yang dianggap suci serta ditakuti siluman, rombongan penduduk dusun ini memasuki kedai berindap-indap dan tak berani mengeluarkan suara. Bahkan yang nyalinya kecil dan memilih tempat di ujung belakang hampir tak berani bernapas.
Di luar pintu dapur, hwesio tua sudah mulai kemak-kemik membaca mantera dan doa pengusir setan. Mendengar suara ini semua orang meremang bulu tengkuknya, termasuk si Kakek yang mengenal siluman. Kakek ini melirik ke belakang dan melihat betapa semua mata ditujukan kepadanya, ia menahan napas dan menerobos maju ke pintu sambil membentak.
“Siluman jahat! Kami sudah mengenalmu, kau siluman rase, hayo menyerah kalau tak ingin kami bunuh!” Akan tetapi sambil maju ia menarik lengan si Hwesio karena kakek ini mempunyai keyakinan bahwa selama ia berdampingan dengan pendeta suci, siluman itu tidak akan mampu mengganggunya. Mereka kini masuk ke dalam dapur dan... semua mata melongo karena di dalam dapur itu tidak tampak seorang pun manusia!
“Eh, mana dia...?” tanya suara meragu.
Si Tukang Kedai melihat bahaya dalam suara ini, bahaya bahwa semua orang nanti akan mengira dia membohong. Maka ia lalu lari ke jendela, memandang ke luar, kemudian kembali menghampiri tahang isi air yang masih mendidih!
“Lihat...!” Suaranya gemetar, telunjuknya menggigil menuding ke arah air di dalam tahang. “Lihat air ini...!”
Semua orang memandang. Air itu kehitaman dan mendidih, akan tetapi tidak ada daging manusia seperti yang tadi diceritakan si Gendut tukang kedai. Betapa pun juga, bukti bahwa benar ada tahang air direbus dengan airnya menghitam, membuat mereka masih percaya bahwa di dalam dapur ini tadi ada siluman rase.
“Tentu ia menghilang, membawa korbannya yang sudah matang untuk dimakan dalam goa,” kata si Tukang Kedai.
“Omitohud...! Memang ada hawa busuk ditinggalkan di kamar ini..., pinceng harus membuat sembahyangan malam ini, harap saudara sekalian sudi mengumpulkan perbekalan dan keperluan sembahyang...,“ kata si Hwesio.
Terdengar semua orang mengeluarkan keluhan perlahan karena ucapan hwesio ini berarti bahwa mereka harus mengeluarkan sebagian milik mereka yang tidak banyak, menambah beban hidup mereka yang sudah berat. Akan tetapi mereka tidak berani membantah pada saat itu karena ketika mereka mencium-cium dengan hidung, memang tercium bau yang tidak enak, tanda bahwa ucapan hwesio itu benar. Dan keluarlah mereka perlahan-lahan, termasuk dia yang cepat-cepat menyelinap pergi agar tidak ketahuan rahasianya bahwa saking takutnya, ia sampai menjadi mulas secara mendadak dan tak tertahankan lagi mencret di dalam celana. Dialah pencipta bau siluman!
********************
Siang-mou Sin-ni berhasil melarikan diri ketika orang-orang Beng-kauw menyerbu markas Bouw Lek Couwsu di Kao-likung-san. Wanita ini memang licik dan cerdik. Dengan meminjam tangan Bouw Lek Couwsu dan orang Hsi-hsia, ia berhasil membinasakan ketua Beng-kauw dan juga Kam Bu Sin bersama isterinya dan banyak tokoh Beng-kauw lainnya. Kemudian, melihat keadaan bahaya, mana ia mau bersetia kawan kepada Bouw Lek Couwsu si hwesio tua itu? Apa lagi ia ingin sekali membawa lari Han Ki untuk menyempurnakan ilmunya yang baru, menyedot hawa murni dan darah bocah ini. Maka tanpa mempedulikan nasib sahabatnya itu, ia mendahului lari sambil memondong tubuh Han Ki, melarikan diri melalui belakang gunung.
Sebagai seorang yang berpengalaman, ia maklum bahwa Kauw Bian Cinjin dan orang-orang Beng-kauw lainnya tentu akan mencarinya dalam usaha mereka merampas kembali Han Ki, cucu ketua Beng-kauw. Maka ia tidak mau berhenti dan terus melakukan perjalanan melalui Sungai Yang-ce-kiang dan sampai di kaki Gunung Ta-liang-san ia mendarat, lalu membawa anak itu ke Puncak Ta-liang-san di mana ia membuat pondok bambu dalam sebuah hutan penuh bunga. Tempat ini sunyi dan indah, membuat ia merasa aman. Tak mungkin ada orang Beng-kauw yang akan menduga bahwa dia bersembunyi di Puncak Ta-liang-san. Kalau ia sudah menyempurnakan ilmu Hun-beng-to-hoat dengan mengorbankan nyawa Han Ki baru ia akan turun gunung dan hendak ia lihat siapa orangnya yang akan mampu melawannya lagi!
Han Ki biar pun masih kecil maklum akan bahaya maut yang mengancam dirinya. Akan tetapi anak ini tidak pernah menangis dan selalu membangkang tidak sudi menurut perintah Siang-mou Sin-ni. Disuruh makan ia tidak mau, diajak bicara ia memaki-maki dan setiap kali ia dibebaskan dari totokan, ia lalu mengamuk dan berusaha melawan mati-matian!
Siang-mou Sin-ni adalah seorang yang semenjak muda berkecimpung dalam dunia persilatan. Menyaksikan sikap anak kecil ini, ia merasa amat kagum di dalam hatinya. Kagum akan ketabahan yang luar biasa, akan kekerasan hati dan akan daya tahan anak ini. Akan tetapi di samping rasa kagumnya, ia pun merasa jengkel.
“Kau makanlah, apa kau ingin mati kelaparan?” bentaknya sambil menyodorkan makanan yang sudah ia campur obat karena selama beberapa pekan dalam perjalanan, tubuh anak ini menjadi agak kurus.
“Tidak sudi! Kau makanlah sendiri, iblis betina tak tahu malu!” Han Ki menjawab sambil memandang dengan mata melotot.
Sesudah begitu, mau tak mau terpaksa Siang-mou Sin-ni memaksa anak itu menelan makanan dengan menotok leher, membuat Han Ki kehilangan tenaga sehingga mudah saja mulutnya dibuka dan makanan dijejalkan masuk melalui kerongkongannya. Anak ini hanya bisa memandang penuh kemarahan.
Pagi hari itu Siang-mou Sin-ni tampak gembira di dalam pondok. Han Ki rebah miring di atas dipan. Sinar matahari pagi menyorot masuk melalui jendela pondok yang terbuka lebar. Pagi yang cerah, akan tetapi bukan ini yang membuat wajah Siang-mou Sin-ni berseri. Ia gembira melihat Han Ki sekarang tampak sehat dan segar dan pagi ini ia mengambil keputusan untuk memulai dengan I-kin-hoan-jwe, menyedot darah dan sumsum Han Ki untuk penyempurnaan ilmunya yang mukjijat, yaitu ilmu Hun-beng-to-hoat!
Sambil bersenandung kecil seperti seorang dara remaja yang bahagia, iblis betina ini mempersiapkan jarumnya yang panjang, kemudian dengan sinar mata penuh nafsu binatang, ia mulai menanggalkan pakaian Han Ki. Tubuh anak ini sungguh mengagumkan, kulitnya putih bersih dan di bawah kulit, penuh daging yang gempal dan padat. Warna kemerahan membuktikan akan kesehatan yang amat baik sehingga Siang-mou Sin-ni menjadi ngilar dibuatnya. Biar pun matanya melotot penuh perlawanan, namun Han Ki yang ditotok itu tidak mampu bergerak, bahkan tidak mampu mengeluarkan suara. Ada juga rasa takut dan ngeri menyerang hati anak ini, namun sungguh luar biasa, anak ini dapat mengatasinya dan sama sekali tidak tampak sinar takut di wajahnya!
Han Ki rebah telentang. Matanya bersinar-sinar penuh api menatap wajah wanita itu. Kembali Siang-mou Sin-ni menjadi amat kagum. Anak ini memang hebat bukan main, memiliki ketabahan yang luar biasa. Teringatlah ia akan ayah anak ini, Kam Bu Sin, yang juga amat tabah dan betapa pun dahulu ia pernah menyiksanya.
Kam Bu Sin sama sekali tidak pernah mau menyerah tidak mau menurutkan keinginannya. Bahkan ia dahulu menggantungkan tubuh Kam Bu Sin di dahan pohon, membiarkan tubuhnya dikeroyok dan digigiti semut, namun tetap saja laki-laki gagah ini tidak mau menyerah sehingga akhirnya ia terpaksa menggunakan obat bius dan perangsang yang merampas ingatan Kam Bu Sin. Dan sekarang, anak ini memperlihatkan ketabahan dan sikap pantang menyerah yang hebatnya melebihi ayahnya!
Teringat akan ayah anak ini, makin menggelora nafsu iblis di tubuh Siang-mou Sin-ni. Pandang matanya yang penuh nafsu itu menjadi haus dan perlahan ia membalikkan tubuh Han Ki menelungkup di atas dipan. Jari-jari tangan kirinya yang panjang-panjang meraba punggung di bawah tengkuk, kemudian tangan kanannya menusukkan jarum panjang ke dalam punggung Han Ki.
Han Ki yang tak dapat bergerak itu dapat merasa nyeri dan perih di punggungnya, namun ketika ia mengerahkan tenaga untuk melawan, tenaganya tak dapat disalurkan. Anak ini lalu meramkan mata dan mengumpulkan semua semangat, berusaha mengerahkan tenaga yang berkumpul di dalam pusarnya. Ia merasa betapa di dalam pusarnya terjadi pertentangan antara panas dan dingin yang amat hebat, demikian hebatnya rasa nyeri dalam pusar, kadang-kadang seperti terbakar dan kadang-kadang seperti membeku sehingga ia tidak merasakan lagi tusukan pada punggungnya.
Siang-mou Sin-ni sudah duduk bersila di dekat Han Ki. Jarum sudah ia tusukkan sampai menembus tulang punggung. Wajahnya berkilat saking girang dan dikuasai nafsu. Ia lalu menahan napas dan menekan gelora nafsunya, menenteramkan hati dan mengendorkan semua tenaga.
Dalam melakukan I-kin-hoan-jwe ini ia harus ‘mengosongkan’ diri dan karena inilah maka ia sengaja menjejalkan obat yang sifatnya panas yang sesuai dengan keadaan dirinya sewaktu kosong sehingga tidak ada bahaya terhadap tubuh bagian dalamnya yang kosong dan tidak terlindung hawa sakti. Darah dan sum-sum yang akan disedotnya itulah yang akan menjadi ‘bahan bakar’ bagi penyempurnaan ilmunya Hun-beng-to-hoat yang sedang dilatihnya, dan kalau ia berhasil, ia akan mampu melawan orang sakti mana pun juga di dunia ini!
Setelah keadaan dirinya sudah kosong benar, Siang-mou Sin-ni lalu menundukkan tubuhnya ke depan, mulutnya menggigit ujung jarum yang menancap di punggung Han Ki lalu menghisap!
Hawa di dalam pusar Han Ki bergulung-gulung antara hawa panas dan dingin. Hawa panas luar biasa adalah akibat obat-obat Siang-mou Sin-ni yang di jejalkan kepadanya, sedangkan hawa dingin adalah akibat obat minuman Bouw Lek Couwsu yang diminumnya di dalam kamar Bouw Lek Couwsu. Sejak kecil anak ini memang sudah digembleng ayah bundanya dan telah memiliki dasar penggunaan hawa sakti di dalam tubuh.
Biar pun ia belum dapat memelihara dan menghimpun hawa sakti, namun ia tahu bagaimana cara menghimpunnya. Kini merasa betapa pusarnya bergerak-gerak dan di dalamnya bergulung-gulung hawa yang amat kuat, anak ini tidak mempedulikan lagi punggungnya dan tidak mempedulikan apa yang akan terjadi kepadanya, melainkan mencurahkan seluruh perhatiannya ke pusar dan berusaha mengerahkan tenaga untuk menguasai hawa yang bergulung-gulung itu.
Bagaikan seorang penghisap madat, Siang-mou Sin-ni menghisap jarum panjang itu. Terasa segar dan manis darah yang memasuki mulutnya. Ia menyedot makin kuat dan... jeritan ngeri keluar dari dadanya, wajahnya menjadi pucat dan matanya terbelalak. Ia begitu kaget sehingga tanpa disadari lagi ia sudah menarik mukanya ke belakang sehingga jarum yang digigit pada ujungnya itu ikut terarik, keluar dari punggung Han Ki.
Anak itu sendiri tiba-tiba dapat bergerak meloncat bangun, mukanya merah seperti dibakar, akan tetapi tubuh bagian bawah menggigil kedinginan. Seperti seorang yang mabok Han Ki memandang ke depan, melihat betapa Siang-mou Sin-ni duduk bersila dengan mata meram, muka pucat, tubuh bergoyang-goyang dan napas terengah-engah. Ketika melihat jarum panjang menggeletak di atas dipan, depan kaki Siang-mou Sin-ni yang bersila. Han Ki menjadi kalap. Ia menyambar jarum panjang itu lalu dengan gerakan penuh kebencian ia menusukkan jarum itu ke dada Siang-mou Sin-ni.
“Blessss...!” Jarum panjang itu amblas menembus dada langsung menusuk dan menembus jantung!
Siang-mou Sin-ni terbelalak kaget mengeluarkan jerit melengking tinggi, tangan kirinya bergerak menghantam ke arah dada Han Ki.
“Krakk...!” Tubuh anak itu terpental jauh, terbanting dalam keadaan pingsan dan beberapa tulang iganya patah-patah!
Namun Siang-mou Sin-ni sekarang sudah berkelojotan. Betapa pun sakti dan kuatnya, namun jarum panjang yang menembus jantungnya itu membuat ia tidak dapat menahan lagi. Dari lehernya keluar jeritan-jeritan melengking mengerikan, ia terguling dari atas dipan, berkelejotan, menjambak-jambak rambutnya, kemudian menggeliat-geliat dan akhirnya dia tak bergerak lagi. Siang-mou Sin-ni yang dahulu terkenal sebagai seorang di entara Enam Iblis, tewas di tangan seorang anak kecil berusia sebelas tahun!
Apakah yang telah terjadi? Ternyata ketika Siang-mou Sin-ni melakukan penyedotan, bukan hanya darah dan sumsum yang disedotnya, melainkan juga hawa yang bergelombang di tubuh anak itu. Dan hawa itu bukan hanya hawa panas yang amat dibutuhkan Siang-mou Sin-ni, melainkan bercampur dengan hawa dingin yang amat kuat. Hal ini sama sekali tidak diduga oleh Siang-mou Sin-ni yang sedang dimabok nafsu sehingga ia yang sedang dalam keadaan kosong, itu sekaligus terpukul hebat oleh hawa dingin yang menyerang dalam tubuhnya.
Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, reaksi pertama dari tubuhnya tentu saja serentak bangkit dengan pengerahan sinkang dan menolak atau melawan hawa dingin ini. Dan inilah kekeliruannya yang dilakukan dalam keadaan tak sadar. Kalau ia tidak melawan ia hanya akan luka ringan oleh hawa dingin ini yang biar pun kuat, namun tidak ada pendorongnya, mengingat Han Ki belum pandai menggunakan hawa ini dan dalam keadaan tertotok pula.
Akan tetapi begitu ia melawan, ia yang tadi dalam keadaan kosong terpukul oleh pengerahan tenaganya sendiri membuat ia pening dan hampir pingsan. Bukan itu saja akibatnya, bahkan pengerahan hawa saktinya itu melalui jarum menjalar kedalam tubuh Han Ki dan seakan-akan merupakan bantuan yang tak disangka-sangka oleh anak ini. Han Ki sedang berusaha mengerahkan tenaga untuk menguasai peperangan hawa di dalam pusar. Kini tiba-tiba hawa panas memasuki tubuhnya dan tenaga ini amat kuat sehingga mendadak menerobos jalan darahnya, melenyapkan pengaruh totokan dan membuatnya dapat bergerak lagi.
Akan tetapi, pengaruh dua hawa yang berlainan tadi masih membuat ia pening dan seperti mabok. Betapa pun juga, karena dia masih kanak-kanak dan berdarah bersih, ia lebih dulu sadar dari pada Siang-mou Sin-ni dan anak kecil ini berhasil membunuh musuh besarnya dengan jarum si Iblis Betina itu sendiri! Namun karena Siang-mou Sin-ni lihai luar biasa, biar pun jantungnya sudah tertembus jarum, pukulan jari-jari tangannya masih mampu mematahkan beberapa tulang iga anak itu.
Sunyi di dalam pondok itu. Hawa pagi yang sejuk menerobos masuk diantar angin yang menggerakkan ujung atap daun di atas jendela yang terbuka. Suara burung berkicau di antara dahan-dahan pohon yang tadinya riang gembira, kini seolah-olah menjadi tangis duka, agaknya menangisi kelakuan manusia yang saling menyakiti dan saling membunuh tanpa sebab yang penting. Sinar matahari pagi yang tadinya menerobos masuk melalui jendela menjadi agak suram mengurangi seri wajah bumi yang tadinya cerah.
Akan tetapi, lengking maut yang tadi keluar dari kerongkongan Siang-mou Sin-ni dalam kemarahan, kesakitan dan pergulatan melawan maut, agaknya bukan tidak ada yang mendengar sama sekali. Kecuali burung-burung dan binatang-binatang hutan yang mendengarnya, juga terdengar oleh seorang kakek tua renta yang berjalan perlahan di dalam hutan. Kini kakek tua renta yang berpakaian serba putih bersih dan sederhana, berjenggot dan berambut panjang juga sudah putih semua dan halus seperti sutera, masih kelihatan berjalan, melangkah seenaknya. Akan tetapi yang hebat, biar pun ia kelihatan melangkah biasa, tubuhnya berkelebat laksana burung terbang saja dalam waktu singkat telah memasuki pondok yang sunyi itu.
Sejenak kakek itu berdiri memandang mayat Siang-mou Sin-ni dan tubuh Han Ki yang keduanya menggeletak tak bergerak. Kemudian kakek ini menarik napas panjang, berdongak dan mengelus jenggot putihnya sambil berbisik halus.
“Aahhhhh... yang pintar mau pun yang bodoh, yang kaya atau yang miskin, yang menang mau pun yang kalah, akan berakhir dalam keadaan yang sama. Mati! Kehidupan apakah yang takkan disusul kematian? Semua orang tahu akan saat terakhir baginya yang pasti datang menjemputnya, akan tetapi... mengapa selagi hidup banyak tingkah, tidak mengisi dengan hal yang berguna, baik, bagi orang lain mau pun bagi diri sendiri? Manusia...!” Kakek tua renta itu maju, membungkuk dan mengangkat tubuh Han Ki, memeriksanya sebentar lalu memondongnya keluar dari pondok. Ia masih melangkah biasa, namun kini lebih cepat lagi dari pada tadi, pergi menghilang ke dalam rimba. Dilihat dari belakang, tampak sebuah alat musik yang-khim butut tergantung di punggungnya.
Kakek ini bukanlah manusia biasa. Jarang sekali ada manusia dapat bertemu dengan kakek ini. Dia bukan lain adalah Bu Kek Siansu! Kakek sakti dan dianggap manusia dewa oleh dunia persilatan, yang saking tuanya tidak ada lagi yang dapat menaksir berapa usianya. Kalau Tuhan menghendaki, maka pagi hari itu Han Ki dapat tertolong oleh kakek sakti ini, seperti ayahnya pada belasan tahun yang lalu juga ditolong Bu Kek Siansu. Hanya bedanya, kalau mendiang Kam Bu Sin hanya menerima sedikit petunjuk dari kakek ini yang membuat dia menjadi seorang pendekar, adalah Kam Han Ki dibawa terus oleh Bu Kek Siansu dan sampai belasan tahun tidak seorang pun manusia tahu ke mana anak ini dibawa pergi. Maka dalam cerita ini, kita tidak akan berjumpa kembali dengan Kam Han Ki yang kelak akan muncul di dalam cerita lain.
Beberapa pekan kemudian, mayat Siang-mou Sin-ni ditemukan beberapa orang tukang kayu yang kebetulan sampai di puncak Tai-liang-san. Mereka itu segera mengubur mayat yang tinggal tulang-tulang itu. Dan sejak saat itu, Siang-mou Sin-ni lenyap dari dunia persilatan tanpa ada yang mengetahui ke mana perginya dan di mana tempat kuburnya.....
********************
Akan tetapi, alangkah besar kedukaan dan kekecewaan hatinya mendengar orang yang sejak kecil dijodohkan dengan dirinya itu di depannya, dan di depan ayahnya, secara terang-terangan mengaku cinta kepada, Kwi Lan! Ia merasa dikhianati, merasa dicurangi dan hatinya sakit sekali.
Sudah banyak tokoh-tokoh kang-ouw meminangnya, namun semua ditolak ayahnya yang memegang teguh janjinya dengan mendiang Yu Kang Tianglo, sahabatnya. Dan lebih banyak lagi dia sendiri menangkap sinar kagum dan mesra penuh kasih dari pandang mata banyak pemuda-pemuda tampan, namun ia selalu tidak sudi melayani mereka oleh karena hatinya sudah penuh dengan keyakinan dan kesetiaan bahwa dia adalah jodoh putera Yu Kang Tianglo!
Song Goat berjalan terus tanpa tujuan. Hatinya yang pedih membuat kakinya bergerak menempuh jalan-jalan yang paling sukar. Pandang matanya muram tertutup air mata dan wajahnya agak pucat. Setelah hari menjadi gelap, barulah ia terpaksa berhenti karena tak mungkin melanjutkan perjalanan yang amat sukar itu di malam gelap.
Betapa pun nelangsa hatinya, Song Goat sama sekali tidak mempunyai niat untuk bunuh diri. Pendidikan ayahnya tentang kebatinan sudah mendalam sehingga perbuatan ini merupakan pantangan besar baginya. Ayahnya sebagai ahli pengobatan berpendirian bahwa manusia harus menjaga diri harus memelihara tubuh dan mempertahankan nyawa sekuatnya, menentang maut sedapat mungkin karena hal ini merupakan satu dari pada kewajiban hidup. Bunuh diri merupakan perbuatan yang paling hina dan pengecut.
Tidak, dia tidak mau membunuh diri, dan melanjutkan perjalanan dalam gelap melalui jurang-jurang berbatu-batu itu yang sama halnya dengan usaha bunuh diri. Rasa lapar di perutnya menambah kesengsaraannya, namun sambil menggigit bibir Song Goat menahan lapar lalu mencari tempat di antara batu-batu besar yang merupakan dinding tinggi di sebelah kirinya untuk tempat berlindung melewatkan malam.
Tempat di lereng gunung ini amat sunyi. Tiada terdengar sesuatu, tiada terlihat sesuatu yang hidup. Hanya penuh batu-batu dan goa-goa batu. Mula-mula sebelum datang malam, tidak tampak sesuatu yang menandakan bahwa di sekitar tempat itu ada manusia lain. Akan tetapi setelah cuaca menjadi gelap, dari tempat ia mengaso, Song Goat dapat melihat cahaya menyorot ke luar dari goa-goa batu sejauh sepelepasan anak panah. Cahaya yang menyorot ke luar di antara celah-celah batu itu bergerak-gerak, tanda bahwa itu adalah cahaya api yang menyala dan bergerak-gerak terhembus angin.
Ia merasa heran dan curiga. Siapakah orangnya menjadi penghuni tempat yang sunyi dan liar ini? Keinginan tahu yang besar menyelubungi hatinya dan membuat ia bangkit. Perlahan-lahan ia menunduk dan menyelinap di antara batu-batu besar menghampiri goa itu. Dari celah-celah batu di luar goa yang diterangi sinar api unggun itu ia mengintai dan... otomatis tangan kiri Song Goat menutup mulutnya untuk mencegah suara keluar dari mulut itu, matanya terbelalak dan mukanya menjadi merah saking jengah.
Ia tentu akan segera membuang muka dan mundur agar tidak melihat lagi pemandangan yang tidak sopan itu kalau saja pengertiannya tentang cara pengobatan tidak membuat ia sadar dan maklum bahwa dua orang di dalam goa itu tengah melakukan latihan untuk penyembuhan luka di dalam yang amat hebat. Dua orang sedang duduk bersila, saling berhadapan, kedua pasang tangan saling menempel pada telapakan, mata meram dari kepala mereka tampak uap mengebul ke atas. Yang membuat ia malu dan jengah adalah keadaan mereka yang telanjang bulat dan mereka itu adalah seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik!
Song Goat banyak belajar ilmu pengobatan dari ayahnya. Biar pun belum pernah ayahnya melakukan cara pengobatan seaneh yang dilakukan dua orang di dalam goa, namun gadis itu pernah mendengar tentang pengobatan dengan cara menyalurkan hawa sakti di dalam tubuh ke tubuh orang lain yang diobati. Ia bahkan tahu pula cara menyalurkan ini dapat pula ia membantu seorang yang terluka di bagian dalam tubuhnya dengan penyaluran tenaga melalui telapak tangan. Akan tetapi dalam keadaan telanjang bulat seperti itu! Benar-benar baru kali ini ia melihatnya! Tentu ini merupakan cara pengobatan kaum sesat pikirnya. Karena ingin tahu, ia melawan perasaan malu dan jengah serta terus memandang keadaan dua orang muda yang ia anggap tidak tahu akan susila itu.
Setelah pandang matanya mulai terbiasa dengan sinar api unggun yang bergerak-gerak itu, ia mengenal wanita cantik yang telanjang bulat itu. Kiranya wanita itu adalah gadis berpakaian merah yang memimpin para hwesio Tibet menyerang Siauw-bin Lo-mo, gadis yang mengaku sebagai murid Siang-mou Sin-ni! Ah, pantas saja mereka melakukan cara pengobatan macam ini, pikirnya. Tidak salah lagi, pemuda tampan ini pun tentu seorang anggota kaum sesat.
Berpikir demikian, Song Goat menjadi muak dan hendak menyelinap pergi, akan tetapi ia urungkan niatnya ketika melihat berkelebatnya bayangan empat orang tinggi besar memasuki goa itu. Ia mengintai dan melihat bahwa empat orang ini adalah hwesio-hwesio berjubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu!
Hemmm, kiranya tempat ini menjadi tempat berkumpul kaum sesat ini, pikirnya dengan hati berdebar. Kini tahulah ia bahwa ia tersesat ke sarang harimau, ke tempat musuh dan kalau sampai ia diketahui orang, tentu akan celaka. Baru murid Siang-mou Sin-ni saja sudah amat hebat dan tinggi tingkat kepandaiannya, tidak terlawan olehnya. Apa lagi ditambah hwesio-hwesio itu dan pemuda tampan tak tahu malu ini! Dia harus cepat pergi meninggalkan tempat berbahaya ini, malam ini juga.
Akan tetapi, kembali Song Goat menahan gerakan kakinya yang sudah melangkah hendak pergi dan matanya terbelalak memandang ke dalam goa. Hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya terjadi. Empat orang hwesio jubah merah itu mencabut golok dan pedang masing-masing, lalu serempak menyerang pemuda yang masih duduk bersila tak bergerak sambil meramkan mata! Hampir saja Song Goat berseru kaget melihat gemerlapnya empat batang senjata tajam itu melayang ke arah si Pemuda.
Juga kini baru tampak oleh Song Goat bahwa tubuh pemuda tampan itu dari leher ke bawah berwarna kehitaman. Tadi ia tidak sampai hati memandang tubuh telanjang bulat itu, kini dalam sekilas pandang karena pemuda itu terancam bahaya, baru ia melihatnya dan tahulah ia bahwa pemuda itu telah keracunan secara hebat sekali. Melihat betapa tubuh wanita itu putih bersih dan kemerahan membayangkan kesehatan, ia kini tahu bahwa si Wanita itulah yang sedang menyalurkan hawa sakti untuk membantu dan mengobati si Pemuda. Dan kini pemuda itu diserang hebat dalam keadaan tidak berdaya sama sekali.
Song Goat melihat betapa wanita cantik murid Siang-mou Sin-ni itu membuka mata, terbelalak, lalu tangan kanannya yang tadinya menempel pada telapak tangan pemuda itu terlepas, dan secepat kilat tangan itu mendorong ke depan melalui atas kepala pemuda itu, empat kali berturut-turut mendorong ke arah empat orang hwesio jubah merah yang tidak memperhatikannya. Dari tangan kanan itu meluncur hawa pukulan yang jelas tampak bersinar merah ke arah empat orang hwesio jubah merah dan... empat orang hwesio itu mengeluarkan pekik mengerikan, senjata mereka terlepas dan mereka terjengkang ke belakang dengan mata terbelalak dan tewas seketika!
Akan tetapi tubuh wanita cantik itu sendiri tergetar hebat, tangan kirinya menggigil kemudian tubuhnya sendiri terjengkang, telentang, seluruh tubuhnya kini menjadi menghitam napasnya terengah-engah. Anehnya tubuh si Pemuda yang tadinya menghitam itu kini menjadi putih bersih dari leher sampai ke pinggang, dan warna kehitaman hanya tampak dari pinggang ke bawah.
“Celaka...!” seru Song Goat dalam hatinya. Melihat wanita cantik itu menolong si Pemuda dan mengorbankan diri sendiri, timbul rasa simpatinya dan ia dapat menduga bahwa wanita itu kini terluka hebat sekali, sebaliknya si Pemuda itu sudah terobati sebagian besar dan masih ada harapan tertolong nyawanya.
Setelah kedua telapak tangannya terlepas dari kedua tangan wanita itu, si Pemuda tubuhnya bergoyang-goyang, kemudian ia membuka matanya. Melihat wanita itu telentang dengan tubuh menghitam dan di sekelilingnya rebah empat orang hwesio jubah merah yang sudah tewas semua, pemuda itu meloncat dan menubruk wanita cantik itu mengangkat kepalanya dan dipangkunya kepala itu.
“Leng In... ah, Leng In...,” pemuda itu berbisik, penuh perasaan terharu dan khawatir.
Po Leng In, wanita itu, membuka mata dan tersenyum, senyum yang membayangkan maut, senyum yang amat menyedihkan, kedua lengannya bergerak seperti hendak merangkul leher, akan tetapi rebah kembali dengan lemas, bibirnya bergerak.
“...aku puas... dapat mengakhiri hidup dalam keadaan begini... aku bahagia... dapat menolongmu, kekasihku...“ Po Leng In masih berusaha menggerakkan tubuh, agaknya ingin sekali bicara banyak, akan tetapi ia menjadi lemas. Tubuhnya tiba-tiba kejang dan kemudian lemas, tak bernyawa lagi.
“Leng In !” Pemuda itu mempererat pelukannya, membenamkan muka pada rambut yang hitam halus itu menahan sedu sedan yang naik ke tenggorokannya. Melihat ini Song Goat terharu.
Siapa pun pemuda itu, betapa pun ia menjadi sekutu murid Siang-mou Sin-ni, menjadi kekasih wanita sesat itu dan terang juga seorang sesat, namun melihat pemuda itu berduka dan terharu, ia ikut merasakan kedukaannya. Ia dapat merasa betapa perih hati ditinggali orang yang dicintanya. Dan ia pun merasa seolah-olah ia dipaksa berpisah dari orang yang dicintanya, dari calon suaminya. Tak tertahankan lagi, ia pun terisak, namun ditahan-tahannya.
Tiba-tiba tubuh pemuda yang telanjang bulat itu mencelat keluar dari goa. Terbuktilah kelihaian pemuda itu. Suaranya menahan isak yang begitu lirih ternyata didengar pemuda itu dan gerakan pemuda itu meloncat bukan main ringannya, tahu-tahu sudah berada di depannya dengan sikap mengancam dan bengis, siap hendak menyerang.
Akan tetapi agaknya pemuda itu kaget, heran, ragu dan jengah ketika melihat bahwa yang mengintai adalah seorang gadis cantik, bukan seorang hwesio jubah merah. Dan wajah yang tampan dan penuh keheranan dan kedukaan itu tiba-tiba menyeringai menahan sakit tubuhnya terguling dan ia roboh pingsan di depan kaki Song Goat.
Keinginan pertama yang memenuhi hati Song Goat adalah cepat-cepat pergi meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Akan tetapi watak yang dibentuk ayahnya semenjak kecil, watak yang ingin menolong orang yang sedang menderita sakit, watak yang ingin melawan segala macam penyakit yang hendak merenggut nyawa orang siapa pun adanya orang itu, membuat ia menekan perasaannya, memperbesar nyalinya dan ia segera meloncat ke dalam goa.
Ia membungkuk dan memeriksa nadi serta dada Po Leng In, hanya untuk mendapat keyakinan bahwa wanita itu tak dapat ditolong lagi, sudah tewas akibat racun yang menerobos melalui telapak tangan pemuda itu. Hawa beracun itu menerobos memasuki tubuhnya karena wanita ini tadi mengerahkan semua tenaga untuk merobohkan empat orang hwesio jubah merah.
Dengan sendirinya, tubuhnya menjadi lemah dan kosong, tidak ada daya tahan sehingga penyaluran hawa sakti dari pemuda itu menerobos dan membawa sebagian besar hawa beracun pindah ke dalam tubuhnya! Ketika Song Goat melirik ke arah empat orang hwesio jubah merah, tanpa memeriksa lagi ia sudah yakin bahwa mereka semua tewas dengan mata mendelik, mata terbuka lebar namun sama sekali tidak bergerak dan tidak ada cahayanya, mata orang-orang mati.
Ia menghela napas panjang. Tidak ada yang dapat ia kerjakan lagi di dalam goa yang menjadi kuburan lima orang itu, maka ia lalu menyambar tumpukan pakaian warna putih di dekat tumpukan pakaian warna merah, membawa pakaian itu keluar dan ia membungkuk lalu memeriksa detik nadi dan dada pemuda tampan itu. Benar seperti diduganya, pemuda ini tertolong dari pinggang ke atas sudah bebas hawa beracun, akan tetapi di bagian bawah tubuhnya masih menghitam. Kalau tidak cepat mendapat pertolongan yang tepat, nyawa pemuda ini pun masih terancam bahaya maut.
Sebagai puteri tunggal Yok-san-jin, ia maklum bahwa hawa beracun yang meracuni pemuda ini aneh dan jahat bukan main. Dan sudah menjadi watak ayahnya apa bila menghadapi penyakit atau racun yang amat jahat, makin jahat makin tertariklah hatinya, makin besar semangatnya untuk melawan dan mengalahkan penyakit atau racun itu!
Ia lalu mengenakan pakaian pemuda itu sedapatnya dengan perasaan jengah dan seberapa dapat tanpa melihat tubuh pemuda itu sehingga cara ia mengenakan pakaian itupun tidak karuan, seolah-olah tubuh pemuda itu hanya ia bungkus saja dengan pakaian putih itu. Kemudian ia mengempit tubuh pemuda itu, dikempit bagian pinggangnya dan pergilah Song Goat meninggalkan goa yang mengerikan tadi.
Ia harus cepat ditolong, kalau tidak, menurut taksirannya, dalam waktu kurang dari tiga puluh enam jam tentu sukar ditolong pula. Dan ia membutuhkan banyak benda, air mendidih, beberapa daun obat. Mulailah Song Goat merayap dan berjalan perlahan menuruni lereng dari atas, mencari-cari dengan pandang matanya dan akhirnya ia melihat cahaya penerangan dari sekelompok rumah-rumah, tentu sebuah dusun.
Dipercepatnya jalannya dan menjelang fajar ia sudah memasuki sebuah dusun yang cukup besar. Ia mencari-cari kemudian mengetuk pintu sebuah kedai makan di sudut dusun. Tak lama kemudian daun pintu dibuka dan seorang laki-laki gemuk setengah tua muncul. Dia pemilik kedai dan selalu bangun pagi-pagi untuk mempersiapkan kedainya. Kini ia memandang dengan heran melihat seorang gadis cantik jelita sepagi ini sudah datang berkunjung sambil mengempit tubuh seorang laki-laki yang pingsan.
“...ehh..., Nona siapakah...? Mau apa...? Dan... dia ini...?”
“Paman, aku seorang ahli pengobatan, sahabatku ini sakit keras. Hari ini kusewa kedaimu, atau setidaknya dapurmu.”
“Tapi... tapi... mana bisa...?”
“Tidak ada tapi, Paman. Demi nyawa orang ini, kau harus menolongku. Hanya sehari kusewa kedai dan dapurmu. Pula, adakah kedaimu dapat menghasilkan sebanyak ini dalam sehari? Song Goat mengeluarkan sebuah gelang emas dan melemparkannya ke atas meja. Kau terimalah gelang itu, untuk sewa kedai sehari.”
Tukang kedai itu dengan bingung dan ragu-ragu memandang Song Goat, kemudian memandang wajah pemuda yang sakit, lalu melirik ke arah gelang emas di atas meja. Kalamenjingnya naik turun. Sudah amat lama ia sebagai duda tergila-gila kepada seorang janda muda di dusun itu, akan tetapi belum juga berhasil memikatnya. Dengan gelang emas seindah itu agaknya... hemm, akan tetapi ia harus hati-hati.
“Orang ini... bagaimana kalau mati di tempatku?”
“Tidak, Paman. Ia akan hidup dan ini tergantung pertolonganmu juga. Lekas kau nyalakan perapian di dapur dan adakah Paman mempunyai sebuah ember besar yang cukup besar dimasuki orang ini?”
“Haaah?" Si Gendut itu terbelalak, heran akan tetapi mengangguk-angguk dan ia segera memasuki dapur diikuti Song Goat setelah merapatkan kembali daun pintu depan.
Tanpa banyak cakap lagi Song Goat lalu memilih sebuah tempat masak air yang amat besar, dengan gantungan kawat yang kuat. Juga ia melihat bahwa tempat perapian cukup besar. Memang kedai itu adalah kedai makanan. Hatinya puas.
“Paman, harap kau tolong isi panci besar itu dengan air dan persiapkan perapian. Aku hendak mencari beberapa daun obat di hutan,” kata Song Goat sambil menurunkan dan merebahkan tubuh pemuda itu di atas sebuah bangku panjang yang terdapat di ruangan belakang.
Pemuda itu mengeluh lalu membuka matanya, menoleh ke kanan kiri. Ia terheran ketika melihat dirinya rebah di atas bangku dalam sebuah kamar yang tidak begitu bersih. Lebih-lebih lagi keheranannya ketika ia melihat seorang gadis cantik bersanggul tinggi berdiri di dekatnya, dan dengan gerakan serta tangan berkulit halus menahan dadanya, mencegahnya untuk bangkit.
“Kau keracunan hebat. Aku berusaha mengobatimu. Kau akan sembuh dan bebas dari bahaya maut kalau mentaati pesanku. Kalau kau membangkang kau akan mati. Kau rebah saja di sini, jangan turun dan banyak bergerak. Aku akan pergi mencari daun obat di hutan. Tak perlu bercerita apa-apa dengan Paman pemilik kedai yang sibuk di dapur.” Sikap Song Goat kasar dan ketus. Makin ketus dan kasar sikapnya ketika melihat bahwa laki-laki muda ini benar-benar amat tampan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar lembut tapi tajam menembus jantung. Terhadap seorang pemuda sesat sahabat dan kekasih murid Siang-mou Sin-ni tak perlu ia bersikap halus pikirnya.
Pemuda itu kini sudah membuka mata lebar-lebar dan bibirnya tersenyum ketika dapat mengenal sikap kasar dan ketus yang dibuat-buat itu. Ia sudah terlampau masak dalam pengalamannya untuk mengenal sifat wanita-wanita cantik seperti ini!
“Ah, kiranya aku diselamatkan oleh seorang dewi dari kahyangan. Apakah engkau Kwan Im Pouwsat (Dewi Kasih Sayang), Nona?”
Merah muka Song Goat. Selama hidupnya belum pernah Ia dirayu laki-laki, apa lagi kalau laki-laki itu setampan dan segagah ini, dengan kata-kata merayu yang halus tapi menyenangkan hati. Akan tetapi kembali ia teringat bahwa pemuda ini adalah seorang pemuda sesat, maka ia memaksa diri cemberut dan pandang matanya galak. Bahkan ia tidak menjawab, hanya sibuk mempersiapkan sebuah bungkusan kuning dari saku dalam bajunya, lalu menuang isi bungkusan yang berwarna merah ke dalam tekoan (tempat teh) itu. Kemudian juga masih cemberut tanpa bicara, ia menghampiri pemuda itu dan dengan jari-jari tangannya ia memeriksa dan menekan jalan darah di di dekat mata kaki kanan.
Pemuda itu terus mengikuti semua gerakan gadis itu dengan senyum dan mata memandang kagum. “Nona, kau hebat. Kalau bukan penjelmaan Kwan Im Pouwsat, entah siapa dan entah dewi dari kahyangan mana...”
“Kau diamlah. Simpan kelakarmu itu untuk orang-orang segolonganmu! Aku Song Goat... hemm, aku puteri Song Yok-san-jin. Engkau dalam keadaan setengah hidup setengah mati. Kalau kau mau kuobati, kau diam saja. Aku mau pergi mencari beberapa daun obat.”
Pada saat itu, si Gendut pemilik kedai muncul dari dapur dan Song Goat segera berkata kepadanya, “Paman, aku pergi sekarang mencari obat. Kau godok obat bubuk ini dengan air setekoan penuh, dan sisakan setengah mangkok, kemudian suruh diminum sampai habis.”
Setelah berkata demikian, dengan sikap marah tanpa menoleh lagi sedikit pun kepada pemuda itu, Song Goat berkelebat dan bayangannya lenyap menerobos lubang jendela. Pemilik kedai memandang melongo sampai lama, tercengang keheranan, juga pandang matanya membayangkan rasa ketakutan. Ketika ia memandang pemuda yang sakit itu, ia makin heran karena pemuda itu tersenyum lebar, agaknya sama sekali tidak heran melihat betapa gadis cantik tadi terbang begitu saja keluar jendela seperti seekor burung!
“Kau kenapa, Paman Gedut?” pemuda itu menegurnya sambil tertawa.
“Kau tanya kenapa, orang muda? Tidakkah kau melihat semua keanehan ini? Gadis cantik itu datang di waktu fajar mengempit tubuhmu, lalu menyewa kedaiku dengan bayaran tinggi, kini ia menghilang begitu saja melalui jendela. Biar disambar geledek aku kalau hal ini bukan aneh namanya! Mimpikah aku? Atau... setan... eh, bidadarikah dia? Dan kau, orang muda, kau benar-benar sakitkah?”
Pemuda itu tertawa dan memang amat mengherankan seorang yang katanya sakit terancam maut bisa tertawa dan bersikap setenang itu. “Paman, dia itu tadi seorang bidadari. Lebih baik aku dan Paman mentaati semua perintahnya agar mendapat berkahnya!”
Pemilik kedai itu menjulurkan lidahnya, menggeleng-geleng kepala kemudian bergegas memasuki dapur membawa tekoan berisi obat untuk dimasaknya sesuai dengan perintah si Dewi tadi.
Setelah si Gendut itu pergi, pemuda itu lalu bangkit, duduk bersila dan meramkan mata, mengumpulkan hawa murni di tubuh untuk menekan racun yang masih mengotori separuh tubuhnya agar jangan menjalar makin luas. Ia tentu saja pernah mendengar akan nama Song Yok-san-jin si ahli obat, dan sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kakek ahli obat itu mempunyai seorang puteri yang demikian cantik jelita, lebih-lebih lagi tak pernah menyangka bahwa ia akan tertolong oleh seorang gadis cantik lain yang jauh bedanya dengan Po Leng In.
Teringat akan Po Leng In, ia menarik napas panjang. Patut dikasihani wanita itu. Memang harus diakui bahwa Po Leng In bukan wanita baik-baik dan sudah terlalu banyak dosanya. Akan tetapi ia harus berani mengakui pula bahwa Po Leng In amat baik kepadanya dan ia berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepada murid Siang-mou Sin-ni itu! Teringat akan itu semua, ia tidak dapat mengosongkan pikirannya maka cepat-cepat ia menggunakan kekuatan batin untuk mengusir bayangan-bayangan itu.
Setelah kamar belakang ini diterangi sinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela, barulah Song Goat muncul dengan cara seperti tadi, yaitu melompat masuk melalui lubang jendela. Wajahnya yang cantik itu kemerahan karena sepagi itu sudah bekerja keras dan berlari-lari, tangannya menggenggam beberapa daun obat dan lehernya berkeringat. Melihat pemuda itu duduk bersila dan bersemedhi dengan cara yang bersih, ia terheran. Sudah ia ketahui bahwa pemuda itu amat lihai, akan tetapi cara bersiulian (bersemedhi) seperti itu benar benar di luar dugaannya. Pemuda itu pun membuka mata dan melihat Song Goat ia lalu berkata.
“Nona, terus terang saja, apakah kau anggap keadaanku masih ada harapan?”
Song Goat menggerakkan kedua pundaknya, Gerakan yang lucu bagi scorang gadis muda dan cantik seperti dia, gerakan yang ia tiru dari ayahnya. Lucu akan tetapi manis! “Entahlah, kalau dapat akan kucoba menyembuhkannya. Sayangnya, aku tidak tahu pasti racun apa yang menyerangmu. Setelah minum obat bubuk yang kutinggalkan tadi, bagaimana rasanya dalam perutmu?”
“Tidak terasa apa-apa. hanya dingin.”
“Tidak ada rasa gatal-gatal di sekitar pusar?”
“Tidak.”
“Aneh, kalau terkena pukulan beracun biasanya obat bubukku tadi tentu akan menimbulkan rasa gatal. Hmm, mudah-mudahan saja usahaku menolongmu berhasil.”
“Nona Song, mengapa begini keras benar kau berusaha untuk menolongku?”
Gadis itu memandang, dua pasang mata bertemu pandang dan si Gadis menjadi marah. “Huh, apa lagi kalau bukan karena kebetulan aku puteri ayahku seorang ahli obat? Sudah menjadi kewajiban kami untuk berusaha menyembuhkan siapa saja.” Ia berhenti dan cepat menyambung, “Tentu saja kalau si sakit suka diobati!”
Pemuda itu tersenyum. Gadis ini sebenarnya halus dan baik budi, akan tetapi entah mengapa terhadap dia berpura-pura galak. “Kalau begitu, biarlah kubantu usahamu dengan keterangan yang mungkin berguna bagimu. Luka yang meracuni tubuhku adalah luka dalam akibat pukulan Tok-hiat Hoat-lek dari Siang-mou Sin-ni. Lambungku kena pukul Siang-mou Sin-ni.”
Song Goat tercengang. Hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya. Mengapa pemuda ini yang jelas adalah sahabat dan kekasih murid Siang-mou Sin-ni, terluka hebat karena pukulan iblis betina itu? Teringatlah ia kini betapa pemuda ini diserang oleh empat orang hwesio jubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu!
“Hemmm, mengapa kau dipukul Siang-mou Sin-ni?”
“Mengapa? Karena aku musuhnya.”
“Musuh...?” Song Goat terheran. Ini sama sekali tidak pernah disangkanya. “Engkau musuh Siang-mou Sin-ni?”
Pemuda itu tersenyum lalu membungkukkan tubuhnya yang masih duduk bersila. “Nona Song, maaf, seharusnya engkau mengenal siapa yang kau tolong ini. Aku she Kiang bernama Liong. Aku tadinya berusaha menolong cucu-cucu Beng-kauw yang tertawan oleh Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, akan tetapi aku dicurangi mereka dan terkena pukulan Tok-hiat Hoat-lek.”
“Hemmm...,” Song Goat masih ragu-ragu. “Kalau kau musuh mereka, kenapa kau dan murid iblis betina itu....”
“Ah, kau maksudkan Po Leng In?” Kiang Liong mengerutkan keningnya. “Dia memang murid Siang-mou Sin-ni akan tetapi dia telah menolongku, menyelamatkan nyawaku, bahkan... ia telah mengorbankan nyawanya untukku. Dia seorang gadis yang patut dikasihani. Nona Song, aku berterima kasih sekali atas kebaikanmu yang berusaha mengobatiku, akan tetapi pukulan Siang-mou Sin-ni hebat sekali, apakah kiranya masih dapat diobati?”
Agak lega hati Song Goat mendengar keterangan Kiang Liong. Ternyata ia tidak menolong orang jahat bahkan menolong bekas lawan kaum sesat. Juga kini ia tahu bahwa Po Leng In mencinta pemuda ini dan mengorbankan nyawa, mengkhianati guru sendiri. Ah, Po Leng In lebih bahagia dari pada aku, pikirnya duka. Orang sesat macam dia saja mempunyai kekasih yang patut dicinta dan dibela dengan pengorbanan nyawa!
“Akan kucoba dan agaknya sebagian besar tergantung dari pada sinkang di tubuhmu sendiri. Obat-obatku ini harus dicampur dengan air panas dan kau harus merendam diri dalam air panas itu, lebih panas lebih baik kiranya. Akan tetapi, kalau sifat sinkangmu berlawanan, mungkin akan berbahaya. Bolehkah aku mengetahui siapa gurumu agar aku dapat mengira-ngira tentang hawa sakti di tubuhmu?”
“Kalau bukan engkau yang tanya, Nona, aku segan mengaku. Akan tetapi karena kau penolongku dan keterangan ini mungkin berguna, ketahuilah bahwa Suhu adalah Kim-siauw-eng...”
“Suling Emas...?” Song Goat memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia memandang pakaian yang membungkus tubuh Kiang Liong. “Dan kau... jadi kau adalah... Kiang-kongcu yang terkenal itu?”
Kini wajah Kiang Liong yang menjadi merah, “Ah, kau berlebihan, Nona. Nona, ayahmu Song-cianpwe barulah nama yang terkenal. Aku Kiang Liong hanya seorang yang... pada saat ini menggantungkan nyawa kepadamu.”
Mau tak mau Song Goat tersenyum. Jantungnya berdebar aneh. Kiranya pemuda yang disangkanya pemuda sesat, adalah Kiang-kongcu yang menjadi buah bibir dunia persilatan, murid tunggal pendekar sakti Suling Emas! Bukan hanya dunia persilatan yang membicarakan sepak terjang pemuda perkasa ini, juga gadis-gadis banyak yang menyebut-nyebut namanya dengan wajah berseri-seri dan senyum dikulum.
“Kalau begitu aku boleh dua kali menarik napas lega.”
Kiang Liong adalah seorang pemuda yang wataknya romantis. Pandai sekali ia bergaul dengan wanita! Agaknya watak ini ia dapatkan dari ibunya! Kini melihat betapa nona penolongnya sudah tidak kelihatan galak dan ketus, ia tersenyum dan mendapatkan kembali kelincahannya.
“Wah, penarikan napas lega seorang gadis sehebat engkau tentu ada alasannya yang amat kuat. Bolehkah aku mengetahui alasannya, Nona Song?”
Kini gadis itu pun tersenyum. Berhadapan dengan Kiang Liong yang pandai bicara dan jenaka, timbul pula kegembiraannya. “Tentu saja boleh, memang bukan hal yang perlu dirahasiakan. Pertama, dengan kepandaianmu tentu saja engkau akan dapat mengatasi cara pengobatan ini dan tentu hawa beracun yang mengeram di tubuhmu dapat diusir dalam waktu singkat. Kedua, aku tidak perlu khawatir lagi karena ternyata kau bukan seorang pemuda sesat seperti yang tadinya kusangka.”
“Aduh, hal yang pertama itu membuat aku menjadi besar kepala karena kau puji-puji, akan tetapi hal kedua membuat aku amat tidak enak hati, Nona. Kenapa kau mengira aku seorang sesat?”
Merah wajah Song Goat teringat akan keadaan pemuda ini dan Po Leng In yang berhadapan dalam keadaan telanjang bulat. “Karena... karena... kau dan wanita murid Siang-mou Sin-ni itu....“
Kiang Liong menepuk kepalanya. “Benar juga! Tentu saja kau akan menganggap begitu. Memang Leng In yang berusaha menyembuhkan aku secara itu. Dia adalah murid Siang-mou Sin-ni dan aku terluka oleh pukulan gurunya, maka ia berusaha menyembuhkan aku dengan cara gurunya pula.”
Pada saat itu, si Gendut, pemilik kedai muncul dan seperti lagak seorang prajurit ia berkata, “Perapian dan air sudah siap!”
Song Goat mengangguk, dan ketika si Gendut itu pergi lagi, ia berkata kepada Kiang Liong. “Kiang-kongcu, maafkan aku. Cara pengobatan ayahku mengharuskan engkau berendam di air sepanas-panasnya dicampur daun-daun obat ini. Silakan kau masuk dulu ke dapur membuka... membuka pakaian dan merendamkan diri di dalam air di atas perapian. Nanti aku menyusulmu setelah kau siap. Suruh saja Paman Gendut itu memberi kabar kepadaku.”
Setelah Kiang Liong keluar dari kamar itu pergi ke dapur. Song Goat lalu memasukkan daun-daun obat ke dalam tekoan (cerek teh). Dari situ ia dapat mendengar suara Kiang Liong yang halus dan tenang diseling seruan heran pemilik kedai. Song Goat tersenyum geli. Tentu saja bagi pemilik kedai yang belum melihat cara pengobatan seperti ini, apa yang akan mereka lakukan ini amat mengejutkan dan mengherankan.
Akan tetapi ia yakin betul bahwa hanya inilah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan Kiang Liong dari pada pengaruh hawa beracun yang mengotori darah itu. Menurut ajaran ayahnya, semua pukulan yang mengandung hawa beracun dan selalu menjadi sumber kelihaian kaum sesat, jika pukulan itu meracuni darah, maka tentu didasari hawa pukulan yang bersifat dingin. Tok-hiat Hoat-lek, pukulan Siang-mou Sin-ni yang melukai Kiang Liong ini pun seperti dinyatakan namanya, meracuni darah dan betapa pun hebatnya, jelas didasari pukulan dingin karena hanya hawa dingin saja yang dapat meracuni darah.
Terdengar langkah kaki berat dan pemilik kedai sudah muncul pula di pintu, matanya melotot lebar dan wajahnya merah sekali, “Siocia (Nona), apakah yang akan Nona lakukan? Mau... mau... rebus dia...?”
“Kau diam dan jangan mencampuri urusan kami,” Song Goat menegur kesal. Percuma saja menerangkan kepada orang yang sama sekali tidak mengerti. “Apakah Kongcu (Tuan Muda) sudah siap?”
“Sudah... sudah..., dan api sudah saya nyalakan.” Si Gendut itu menggerakkan pundak menyatakan rasa ngerinya. Tanpa banyak cakap lagi Song Goat lalu membawa tekoan memasuki dapur diikuti oleh Si Gendut yang mengeluarkan suara seperti ayam biang memanggil anaknya dengan bibirnya yang tebal memberengut.
Kiang Liong sudah duduk bersila di dalam tahang penuh air itu, tergantung di atas perapian yang mulai menyala apinya. Air dalam tahang hampir penuh, meredam pemuda tubuh pemuda yang duduk bersila itu sampai atas pinggang. Untuk menjaga agar gadis penolongnya tidak merasa jengah, ia sengaja duduk membelakangi meja, menghadap ke jendela dapur. Topi pelajar masih menutupi kepalanya, akan tetapi bagian tubuh lain semua telanjang bulat. Tubuh bagian atas tampak berkulit putih bersih dan berisi otot-otot kekar.
“Kiang-kongcu, kalau terlalu panas harap katakan agar aku dapat mengecilkan apinya atau memadamkan sama sekali,” kata gadis itu sambil mengisi tekoan dengan air dan menaruhnya pula di atas api.
Kiang Liong hanya mengangguk dan berkata lirih, “Sama sekali tidak panas, boleh kau besarkan apinya.”
Dengan tongkat pengorek api, Song Goat membuka-buka arang dan kayu di perapian dan makin besarlah nyala api. Tak lama kemudian tekoan yang isinya daun obat dan sedikit air itu mendidih, maka dituangkanlah isi tekoan ke dalam tahang air. Api makin membesar dan hawa di dapur mulai panas, air di dalam tahang pun makin lama makin mendekati mendidih.
Makin lama sepasang mata tukang kedai makin melebar pula, kemudian ia tak dapat menahan perasaannya lagi dan berseru, “Nona, sungguh mati! Kalau Nona hendak merebus daging manusia, saya tidak mau ikut campur! Saya bukan tukang masak orang, bukan pembunuh!” Ia hampir berteriak-teriak saking tegang dan ngerinya.
Air di tahang sudah mulai mendidih, uap mengepul dari seluruh tubuh Kiang Liong. Dengan hati penuh ketegangan dan kegirangan Song Goat melihat betapa air di tahang itu sudah mulai berubah warnanya, tidak sebening tadi. Maka ia menjadi gemas sekali melihat sikap si Gendut itu dan mendengar teriakannya.
“Diam dan keluarlah dari dapur ini! Kalau tidak, kau pun akan kurebus hidup-hidup!”
Muka Si Gendut menjadi pucat, matanya terbelalak dan bagaikan seekor anjing digebuk ia lalu berlari ke luar dari dapur itu, kedua tangan memegangi kepalanya!
Song Goat tersenyum geli, lalu berkata halus dari belakang punggung Kiang Liong, “Kiang-kongcu, agaknya berhasil usaha kita....”
Kian Liong mengangguk, “Syukurlah, dan makin besar terima kasihku kepadamu, Nona Song”
“Tak perlu berterima kasih kepadaku, Kongcu. Lebih tepat kau berterima kasih kepada gurumu yang telah menurunkan ilmu yang hebat kepadamu sehingga sinkang-mu begini kuat menahan panasnya air mendidih. Apakah tidak terlalu panas?”
“Tidak, boleh kau tambah apinya agar lebih panas. Bukankah kau bilang tadi lebih panas lebih baik?”
“Betul, makin panas makin cepat hawa beracun dibersihkan.”
“Kalau begitu, lekas besarkan apinya, Nona. Tidak enak terlalu lama begini, dianggap babi rebus oleh tukang kedai!”
Song Goat tersenyum dan dari belakang ia memandang kagum. Bukan main! Dia sendiri biar pun akan dapat bertahan dalam air mendidih, namun harus ia kerahkan seluruh lweekang-nya, menggunakan hawa sinkang di tubuh melawan panas dan untuk ini tentu saja ia tidak sanggup untuk bicara. Akan tetapi pemuda ini tidak hanya menyuruh besarkan api, malah masih dapat enak-enak bicara dan berkelakar! Pemuda hebat!
Sementara itu, pemilik kedai yang gendut dan merasa amat gelisah itu tak dapat menahan hatinya lagi dan bahkan tidak berani berada di dalam kedainya. Ia keluar dan sebentar saja banyak kenalan dan langganannya datang bertanya. Saking tak dapat menahan kegelisahannya, ia menceritakan kejadian aneh di dalam dapur kedainya dan ramailah mereka bercakap-cakap dan berbisik-bisik di luar kedai. Ibu-ibu yang mendengar bahwa ada orang merebus daging manusia, menjadi pucat dan berlarilah mereka ketakutan mencari anak-anak masing-masing, melarang mereka bermain di luar rumah dan menyembunyikan mereka ke dalam kamar. Setan pemakan daging manusia tentu lebih suka akan anak-anak yang dagingnya masih lunak!
“Tentu dia perempuan siluman rase!” bisik seorang kakek sambil mengangguk-anggukkan kepala penuh keyakinan.
“Tapi... Kongcu itu menurut saja direbus,” kata si Gendut pemilik kedai.
“Uuuhh, kau tahu apa? Siluman rase tentu saja pandai ilmu hitam. Sekali senyum dan sekali kerling, laki-laki akan terpikat dan disuruh apa pun juga takkan membantah,” kata pula si Kakek yang tahu segala.
“Memang dia cantik sekali, cantik jelita dan muda dan... galak.”
“Wah, tak salah lagi. Tentu siluman rase, pandai memikat hati pria, suka makan daging manusia. Ihhh...!” kata si Kakek.
“Ihhh...!” kata yang lain.
“Celaka, dia harus dibinasakan. Mari kita serbu, jangan sampai dia lolos dan merebus anak-anak kita!” seru seorang laki-laki tinggi besar yang ingat akan dua orang anaknya yang gemuk-gemuk.
“Betul, hayo serbu!”
“Cari senjata!”
“Panggil Lo-suhu di kelenteng, minta jimat!”
Ramailah kini para penduduk dusun itu dan sebentar saja mereka semua, termasuk seorang hwesio tua kurus berpakaian butut, berdiri di depan kedai dengan segala macam senjata di tangan. Ada yang membawa golok penyembelih babi, ada yang membawa palang pintu, cangkul, linggis dan sebagainya. Bahkan beberapa orang wanita yang cukup pemberani, karena mendengar bahwa setan itu setan betina, ikut pula datang membawa pisau dapur atau besi pengorek api!
Mereka bersemangat untuk menangkap siluman, akan tetapi juga ngeri dan takut karena mendengar penuturan tukang kedai betapa siluman rase itu pandai terbang menghilang! Dipimpin oleh tukang kedai yang diikuti kakek yang mengenal siluman dan hwesio yang dianggap suci serta ditakuti siluman, rombongan penduduk dusun ini memasuki kedai berindap-indap dan tak berani mengeluarkan suara. Bahkan yang nyalinya kecil dan memilih tempat di ujung belakang hampir tak berani bernapas.
Di luar pintu dapur, hwesio tua sudah mulai kemak-kemik membaca mantera dan doa pengusir setan. Mendengar suara ini semua orang meremang bulu tengkuknya, termasuk si Kakek yang mengenal siluman. Kakek ini melirik ke belakang dan melihat betapa semua mata ditujukan kepadanya, ia menahan napas dan menerobos maju ke pintu sambil membentak.
“Siluman jahat! Kami sudah mengenalmu, kau siluman rase, hayo menyerah kalau tak ingin kami bunuh!” Akan tetapi sambil maju ia menarik lengan si Hwesio karena kakek ini mempunyai keyakinan bahwa selama ia berdampingan dengan pendeta suci, siluman itu tidak akan mampu mengganggunya. Mereka kini masuk ke dalam dapur dan... semua mata melongo karena di dalam dapur itu tidak tampak seorang pun manusia!
“Eh, mana dia...?” tanya suara meragu.
Si Tukang Kedai melihat bahaya dalam suara ini, bahaya bahwa semua orang nanti akan mengira dia membohong. Maka ia lalu lari ke jendela, memandang ke luar, kemudian kembali menghampiri tahang isi air yang masih mendidih!
“Lihat...!” Suaranya gemetar, telunjuknya menggigil menuding ke arah air di dalam tahang. “Lihat air ini...!”
Semua orang memandang. Air itu kehitaman dan mendidih, akan tetapi tidak ada daging manusia seperti yang tadi diceritakan si Gendut tukang kedai. Betapa pun juga, bukti bahwa benar ada tahang air direbus dengan airnya menghitam, membuat mereka masih percaya bahwa di dalam dapur ini tadi ada siluman rase.
“Tentu ia menghilang, membawa korbannya yang sudah matang untuk dimakan dalam goa,” kata si Tukang Kedai.
“Omitohud...! Memang ada hawa busuk ditinggalkan di kamar ini..., pinceng harus membuat sembahyangan malam ini, harap saudara sekalian sudi mengumpulkan perbekalan dan keperluan sembahyang...,“ kata si Hwesio.
Terdengar semua orang mengeluarkan keluhan perlahan karena ucapan hwesio ini berarti bahwa mereka harus mengeluarkan sebagian milik mereka yang tidak banyak, menambah beban hidup mereka yang sudah berat. Akan tetapi mereka tidak berani membantah pada saat itu karena ketika mereka mencium-cium dengan hidung, memang tercium bau yang tidak enak, tanda bahwa ucapan hwesio itu benar. Dan keluarlah mereka perlahan-lahan, termasuk dia yang cepat-cepat menyelinap pergi agar tidak ketahuan rahasianya bahwa saking takutnya, ia sampai menjadi mulas secara mendadak dan tak tertahankan lagi mencret di dalam celana. Dialah pencipta bau siluman!
********************
Siang-mou Sin-ni berhasil melarikan diri ketika orang-orang Beng-kauw menyerbu markas Bouw Lek Couwsu di Kao-likung-san. Wanita ini memang licik dan cerdik. Dengan meminjam tangan Bouw Lek Couwsu dan orang Hsi-hsia, ia berhasil membinasakan ketua Beng-kauw dan juga Kam Bu Sin bersama isterinya dan banyak tokoh Beng-kauw lainnya. Kemudian, melihat keadaan bahaya, mana ia mau bersetia kawan kepada Bouw Lek Couwsu si hwesio tua itu? Apa lagi ia ingin sekali membawa lari Han Ki untuk menyempurnakan ilmunya yang baru, menyedot hawa murni dan darah bocah ini. Maka tanpa mempedulikan nasib sahabatnya itu, ia mendahului lari sambil memondong tubuh Han Ki, melarikan diri melalui belakang gunung.
Sebagai seorang yang berpengalaman, ia maklum bahwa Kauw Bian Cinjin dan orang-orang Beng-kauw lainnya tentu akan mencarinya dalam usaha mereka merampas kembali Han Ki, cucu ketua Beng-kauw. Maka ia tidak mau berhenti dan terus melakukan perjalanan melalui Sungai Yang-ce-kiang dan sampai di kaki Gunung Ta-liang-san ia mendarat, lalu membawa anak itu ke Puncak Ta-liang-san di mana ia membuat pondok bambu dalam sebuah hutan penuh bunga. Tempat ini sunyi dan indah, membuat ia merasa aman. Tak mungkin ada orang Beng-kauw yang akan menduga bahwa dia bersembunyi di Puncak Ta-liang-san. Kalau ia sudah menyempurnakan ilmu Hun-beng-to-hoat dengan mengorbankan nyawa Han Ki baru ia akan turun gunung dan hendak ia lihat siapa orangnya yang akan mampu melawannya lagi!
Han Ki biar pun masih kecil maklum akan bahaya maut yang mengancam dirinya. Akan tetapi anak ini tidak pernah menangis dan selalu membangkang tidak sudi menurut perintah Siang-mou Sin-ni. Disuruh makan ia tidak mau, diajak bicara ia memaki-maki dan setiap kali ia dibebaskan dari totokan, ia lalu mengamuk dan berusaha melawan mati-matian!
Siang-mou Sin-ni adalah seorang yang semenjak muda berkecimpung dalam dunia persilatan. Menyaksikan sikap anak kecil ini, ia merasa amat kagum di dalam hatinya. Kagum akan ketabahan yang luar biasa, akan kekerasan hati dan akan daya tahan anak ini. Akan tetapi di samping rasa kagumnya, ia pun merasa jengkel.
“Kau makanlah, apa kau ingin mati kelaparan?” bentaknya sambil menyodorkan makanan yang sudah ia campur obat karena selama beberapa pekan dalam perjalanan, tubuh anak ini menjadi agak kurus.
“Tidak sudi! Kau makanlah sendiri, iblis betina tak tahu malu!” Han Ki menjawab sambil memandang dengan mata melotot.
Sesudah begitu, mau tak mau terpaksa Siang-mou Sin-ni memaksa anak itu menelan makanan dengan menotok leher, membuat Han Ki kehilangan tenaga sehingga mudah saja mulutnya dibuka dan makanan dijejalkan masuk melalui kerongkongannya. Anak ini hanya bisa memandang penuh kemarahan.
Pagi hari itu Siang-mou Sin-ni tampak gembira di dalam pondok. Han Ki rebah miring di atas dipan. Sinar matahari pagi menyorot masuk melalui jendela pondok yang terbuka lebar. Pagi yang cerah, akan tetapi bukan ini yang membuat wajah Siang-mou Sin-ni berseri. Ia gembira melihat Han Ki sekarang tampak sehat dan segar dan pagi ini ia mengambil keputusan untuk memulai dengan I-kin-hoan-jwe, menyedot darah dan sumsum Han Ki untuk penyempurnaan ilmunya yang mukjijat, yaitu ilmu Hun-beng-to-hoat!
Sambil bersenandung kecil seperti seorang dara remaja yang bahagia, iblis betina ini mempersiapkan jarumnya yang panjang, kemudian dengan sinar mata penuh nafsu binatang, ia mulai menanggalkan pakaian Han Ki. Tubuh anak ini sungguh mengagumkan, kulitnya putih bersih dan di bawah kulit, penuh daging yang gempal dan padat. Warna kemerahan membuktikan akan kesehatan yang amat baik sehingga Siang-mou Sin-ni menjadi ngilar dibuatnya. Biar pun matanya melotot penuh perlawanan, namun Han Ki yang ditotok itu tidak mampu bergerak, bahkan tidak mampu mengeluarkan suara. Ada juga rasa takut dan ngeri menyerang hati anak ini, namun sungguh luar biasa, anak ini dapat mengatasinya dan sama sekali tidak tampak sinar takut di wajahnya!
Han Ki rebah telentang. Matanya bersinar-sinar penuh api menatap wajah wanita itu. Kembali Siang-mou Sin-ni menjadi amat kagum. Anak ini memang hebat bukan main, memiliki ketabahan yang luar biasa. Teringatlah ia akan ayah anak ini, Kam Bu Sin, yang juga amat tabah dan betapa pun dahulu ia pernah menyiksanya.
Kam Bu Sin sama sekali tidak pernah mau menyerah tidak mau menurutkan keinginannya. Bahkan ia dahulu menggantungkan tubuh Kam Bu Sin di dahan pohon, membiarkan tubuhnya dikeroyok dan digigiti semut, namun tetap saja laki-laki gagah ini tidak mau menyerah sehingga akhirnya ia terpaksa menggunakan obat bius dan perangsang yang merampas ingatan Kam Bu Sin. Dan sekarang, anak ini memperlihatkan ketabahan dan sikap pantang menyerah yang hebatnya melebihi ayahnya!
Teringat akan ayah anak ini, makin menggelora nafsu iblis di tubuh Siang-mou Sin-ni. Pandang matanya yang penuh nafsu itu menjadi haus dan perlahan ia membalikkan tubuh Han Ki menelungkup di atas dipan. Jari-jari tangan kirinya yang panjang-panjang meraba punggung di bawah tengkuk, kemudian tangan kanannya menusukkan jarum panjang ke dalam punggung Han Ki.
Han Ki yang tak dapat bergerak itu dapat merasa nyeri dan perih di punggungnya, namun ketika ia mengerahkan tenaga untuk melawan, tenaganya tak dapat disalurkan. Anak ini lalu meramkan mata dan mengumpulkan semua semangat, berusaha mengerahkan tenaga yang berkumpul di dalam pusarnya. Ia merasa betapa di dalam pusarnya terjadi pertentangan antara panas dan dingin yang amat hebat, demikian hebatnya rasa nyeri dalam pusar, kadang-kadang seperti terbakar dan kadang-kadang seperti membeku sehingga ia tidak merasakan lagi tusukan pada punggungnya.
Siang-mou Sin-ni sudah duduk bersila di dekat Han Ki. Jarum sudah ia tusukkan sampai menembus tulang punggung. Wajahnya berkilat saking girang dan dikuasai nafsu. Ia lalu menahan napas dan menekan gelora nafsunya, menenteramkan hati dan mengendorkan semua tenaga.
Dalam melakukan I-kin-hoan-jwe ini ia harus ‘mengosongkan’ diri dan karena inilah maka ia sengaja menjejalkan obat yang sifatnya panas yang sesuai dengan keadaan dirinya sewaktu kosong sehingga tidak ada bahaya terhadap tubuh bagian dalamnya yang kosong dan tidak terlindung hawa sakti. Darah dan sum-sum yang akan disedotnya itulah yang akan menjadi ‘bahan bakar’ bagi penyempurnaan ilmunya Hun-beng-to-hoat yang sedang dilatihnya, dan kalau ia berhasil, ia akan mampu melawan orang sakti mana pun juga di dunia ini!
Setelah keadaan dirinya sudah kosong benar, Siang-mou Sin-ni lalu menundukkan tubuhnya ke depan, mulutnya menggigit ujung jarum yang menancap di punggung Han Ki lalu menghisap!
Hawa di dalam pusar Han Ki bergulung-gulung antara hawa panas dan dingin. Hawa panas luar biasa adalah akibat obat-obat Siang-mou Sin-ni yang di jejalkan kepadanya, sedangkan hawa dingin adalah akibat obat minuman Bouw Lek Couwsu yang diminumnya di dalam kamar Bouw Lek Couwsu. Sejak kecil anak ini memang sudah digembleng ayah bundanya dan telah memiliki dasar penggunaan hawa sakti di dalam tubuh.
Biar pun ia belum dapat memelihara dan menghimpun hawa sakti, namun ia tahu bagaimana cara menghimpunnya. Kini merasa betapa pusarnya bergerak-gerak dan di dalamnya bergulung-gulung hawa yang amat kuat, anak ini tidak mempedulikan lagi punggungnya dan tidak mempedulikan apa yang akan terjadi kepadanya, melainkan mencurahkan seluruh perhatiannya ke pusar dan berusaha mengerahkan tenaga untuk menguasai hawa yang bergulung-gulung itu.
Bagaikan seorang penghisap madat, Siang-mou Sin-ni menghisap jarum panjang itu. Terasa segar dan manis darah yang memasuki mulutnya. Ia menyedot makin kuat dan... jeritan ngeri keluar dari dadanya, wajahnya menjadi pucat dan matanya terbelalak. Ia begitu kaget sehingga tanpa disadari lagi ia sudah menarik mukanya ke belakang sehingga jarum yang digigit pada ujungnya itu ikut terarik, keluar dari punggung Han Ki.
Anak itu sendiri tiba-tiba dapat bergerak meloncat bangun, mukanya merah seperti dibakar, akan tetapi tubuh bagian bawah menggigil kedinginan. Seperti seorang yang mabok Han Ki memandang ke depan, melihat betapa Siang-mou Sin-ni duduk bersila dengan mata meram, muka pucat, tubuh bergoyang-goyang dan napas terengah-engah. Ketika melihat jarum panjang menggeletak di atas dipan, depan kaki Siang-mou Sin-ni yang bersila. Han Ki menjadi kalap. Ia menyambar jarum panjang itu lalu dengan gerakan penuh kebencian ia menusukkan jarum itu ke dada Siang-mou Sin-ni.
“Blessss...!” Jarum panjang itu amblas menembus dada langsung menusuk dan menembus jantung!
Siang-mou Sin-ni terbelalak kaget mengeluarkan jerit melengking tinggi, tangan kirinya bergerak menghantam ke arah dada Han Ki.
“Krakk...!” Tubuh anak itu terpental jauh, terbanting dalam keadaan pingsan dan beberapa tulang iganya patah-patah!
Namun Siang-mou Sin-ni sekarang sudah berkelojotan. Betapa pun sakti dan kuatnya, namun jarum panjang yang menembus jantungnya itu membuat ia tidak dapat menahan lagi. Dari lehernya keluar jeritan-jeritan melengking mengerikan, ia terguling dari atas dipan, berkelejotan, menjambak-jambak rambutnya, kemudian menggeliat-geliat dan akhirnya dia tak bergerak lagi. Siang-mou Sin-ni yang dahulu terkenal sebagai seorang di entara Enam Iblis, tewas di tangan seorang anak kecil berusia sebelas tahun!
Apakah yang telah terjadi? Ternyata ketika Siang-mou Sin-ni melakukan penyedotan, bukan hanya darah dan sumsum yang disedotnya, melainkan juga hawa yang bergelombang di tubuh anak itu. Dan hawa itu bukan hanya hawa panas yang amat dibutuhkan Siang-mou Sin-ni, melainkan bercampur dengan hawa dingin yang amat kuat. Hal ini sama sekali tidak diduga oleh Siang-mou Sin-ni yang sedang dimabok nafsu sehingga ia yang sedang dalam keadaan kosong, itu sekaligus terpukul hebat oleh hawa dingin yang menyerang dalam tubuhnya.
Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, reaksi pertama dari tubuhnya tentu saja serentak bangkit dengan pengerahan sinkang dan menolak atau melawan hawa dingin ini. Dan inilah kekeliruannya yang dilakukan dalam keadaan tak sadar. Kalau ia tidak melawan ia hanya akan luka ringan oleh hawa dingin ini yang biar pun kuat, namun tidak ada pendorongnya, mengingat Han Ki belum pandai menggunakan hawa ini dan dalam keadaan tertotok pula.
Akan tetapi begitu ia melawan, ia yang tadi dalam keadaan kosong terpukul oleh pengerahan tenaganya sendiri membuat ia pening dan hampir pingsan. Bukan itu saja akibatnya, bahkan pengerahan hawa saktinya itu melalui jarum menjalar kedalam tubuh Han Ki dan seakan-akan merupakan bantuan yang tak disangka-sangka oleh anak ini. Han Ki sedang berusaha mengerahkan tenaga untuk menguasai peperangan hawa di dalam pusar. Kini tiba-tiba hawa panas memasuki tubuhnya dan tenaga ini amat kuat sehingga mendadak menerobos jalan darahnya, melenyapkan pengaruh totokan dan membuatnya dapat bergerak lagi.
Akan tetapi, pengaruh dua hawa yang berlainan tadi masih membuat ia pening dan seperti mabok. Betapa pun juga, karena dia masih kanak-kanak dan berdarah bersih, ia lebih dulu sadar dari pada Siang-mou Sin-ni dan anak kecil ini berhasil membunuh musuh besarnya dengan jarum si Iblis Betina itu sendiri! Namun karena Siang-mou Sin-ni lihai luar biasa, biar pun jantungnya sudah tertembus jarum, pukulan jari-jari tangannya masih mampu mematahkan beberapa tulang iga anak itu.
Sunyi di dalam pondok itu. Hawa pagi yang sejuk menerobos masuk diantar angin yang menggerakkan ujung atap daun di atas jendela yang terbuka. Suara burung berkicau di antara dahan-dahan pohon yang tadinya riang gembira, kini seolah-olah menjadi tangis duka, agaknya menangisi kelakuan manusia yang saling menyakiti dan saling membunuh tanpa sebab yang penting. Sinar matahari pagi yang tadinya menerobos masuk melalui jendela menjadi agak suram mengurangi seri wajah bumi yang tadinya cerah.
Akan tetapi, lengking maut yang tadi keluar dari kerongkongan Siang-mou Sin-ni dalam kemarahan, kesakitan dan pergulatan melawan maut, agaknya bukan tidak ada yang mendengar sama sekali. Kecuali burung-burung dan binatang-binatang hutan yang mendengarnya, juga terdengar oleh seorang kakek tua renta yang berjalan perlahan di dalam hutan. Kini kakek tua renta yang berpakaian serba putih bersih dan sederhana, berjenggot dan berambut panjang juga sudah putih semua dan halus seperti sutera, masih kelihatan berjalan, melangkah seenaknya. Akan tetapi yang hebat, biar pun ia kelihatan melangkah biasa, tubuhnya berkelebat laksana burung terbang saja dalam waktu singkat telah memasuki pondok yang sunyi itu.
Sejenak kakek itu berdiri memandang mayat Siang-mou Sin-ni dan tubuh Han Ki yang keduanya menggeletak tak bergerak. Kemudian kakek ini menarik napas panjang, berdongak dan mengelus jenggot putihnya sambil berbisik halus.
“Aahhhhh... yang pintar mau pun yang bodoh, yang kaya atau yang miskin, yang menang mau pun yang kalah, akan berakhir dalam keadaan yang sama. Mati! Kehidupan apakah yang takkan disusul kematian? Semua orang tahu akan saat terakhir baginya yang pasti datang menjemputnya, akan tetapi... mengapa selagi hidup banyak tingkah, tidak mengisi dengan hal yang berguna, baik, bagi orang lain mau pun bagi diri sendiri? Manusia...!” Kakek tua renta itu maju, membungkuk dan mengangkat tubuh Han Ki, memeriksanya sebentar lalu memondongnya keluar dari pondok. Ia masih melangkah biasa, namun kini lebih cepat lagi dari pada tadi, pergi menghilang ke dalam rimba. Dilihat dari belakang, tampak sebuah alat musik yang-khim butut tergantung di punggungnya.
Kakek ini bukanlah manusia biasa. Jarang sekali ada manusia dapat bertemu dengan kakek ini. Dia bukan lain adalah Bu Kek Siansu! Kakek sakti dan dianggap manusia dewa oleh dunia persilatan, yang saking tuanya tidak ada lagi yang dapat menaksir berapa usianya. Kalau Tuhan menghendaki, maka pagi hari itu Han Ki dapat tertolong oleh kakek sakti ini, seperti ayahnya pada belasan tahun yang lalu juga ditolong Bu Kek Siansu. Hanya bedanya, kalau mendiang Kam Bu Sin hanya menerima sedikit petunjuk dari kakek ini yang membuat dia menjadi seorang pendekar, adalah Kam Han Ki dibawa terus oleh Bu Kek Siansu dan sampai belasan tahun tidak seorang pun manusia tahu ke mana anak ini dibawa pergi. Maka dalam cerita ini, kita tidak akan berjumpa kembali dengan Kam Han Ki yang kelak akan muncul di dalam cerita lain.
Beberapa pekan kemudian, mayat Siang-mou Sin-ni ditemukan beberapa orang tukang kayu yang kebetulan sampai di puncak Tai-liang-san. Mereka itu segera mengubur mayat yang tinggal tulang-tulang itu. Dan sejak saat itu, Siang-mou Sin-ni lenyap dari dunia persilatan tanpa ada yang mengetahui ke mana perginya dan di mana tempat kuburnya.....
********************
Komentar
Posting Komentar