MUTIARA HITAM : JILID-20

Dapat dibayangkan betapa berdebar tegang dan penuh haru rasa hati Suling Emas ketika ia berlutut bersama panglima-panglima lain menghadap Sang Ratu Yalina, ratu bangsa Khitan yang pada waktu itu amat kuat.
Begitu datang menghadap tadi dibawa oleh Loan Ti Ciangkun dan Hoa Ti Ciangkun, dalam keadaan menyamar sebagai seorang kakek yang berjenggot panjang, Suling Emas memandang Yalina atau Lin Lin dengan jantung seakan-akan ditusuk. Bekas kekasihnya, juga adik angkatnya itu dalam pandangannya masih seperti dulu, dua puluh tahun yang lalu!
Masih cantik jelita, masih kelihatan muda, hanya bedanya, kalau sepasang mata itu dahulu bersinar-sinar penuh kegembiraan, kelincahan dan kenakalan orang muda, kini pandang matanya suram. Kalau bibir yang masih merah mungil ini dahulu tersenyum-senyum dan menghadapi dunia dengan seri gembira, kini tertarik seperti orang menderita tekanan batin hebat. Hanya sikapnya kini membayangkan keagungan dan kematangan. Begitu pandang mata sayu itu ditujukan ke arah mukanya dan sepasang alis yang kecil panjang menghitam itu bergerak membayangkan keheranan dan perhatian, Suling Emas cepat-cepat menundukkan mukanya dengan sikap amat menghormat.
Suling Emas berlutut sambil menundukkan kepala dengan jantung berdebar dan pikiran melamun jauh sehingga suara Loan Ti Ciangkun yang memberi laporan kepada ratunya hanya terdengar sebagian saja olehnya. Akhirnya ia mendengar suara Lin Lin atau Ratu Yalina, suara yang selama puluhan tahun tak pernah ia lupakan, yang selalu terngiang di telinganya dalam mimpi.
“Kami amat berterima kasih kepada Cianpwe dan kami setuju akan usul kedua panglima kami untuk mengangkat Cianpwe sebagai pengawal dalam istana. Betapa pun juga, hati kami takkan puas kalau belum menguji kepandalan Cianpwe.”
Di dalam hatinya Suling Emas merasa geli dan kagum. Biar pun sudah menjadi ratu selama puluhan tahun, ratu besar yang disanjung dan disembah orang-orang Khitan, namun Lin Lin masih belum kehilangan hormatnya terhadap tokoh kang-ouw sehingga dia yang dianggap seorang tokoh besar di dunia kang-ouw disebut cianpwe! Ia hanya menunduk dan menjawab, merubah suaranya dibesarkan.
“Silakan apa yang akan Paduka lakukan, hamba hanya menurut.”
“Lihat serangan!” Tiba-tiba ratu itu berseru keras dan tangan kanannya menyambar ke arah dada Suling Emas.
Suling Emas kaget bukan main. Ia mengenal pukulan ini karena pukulan ini memiliki dasar ilmu silat Beng-kauw. Teringatlah ia betapa Yalina ini mewarisi ilmu ciptaan mendiang Pat-jiu Sian-ong Liu Gan, pendiri Beng-kauw, yaitu ilmu Cap-sha Sin-kun (Tiga Belas Pukulan Sakti) yang dirahasiakan, namun secara kebetulan terjatuh ke tangan Lin Lin.
Tentu saja dengan Hong-In Bun-hoat ia akan dapat memunahkan pukulan dahsyat ini, akan tetapi kalau ia pergunakan Hong-in Bun-hoat, sudah pasti Lin Lin akan mengenalnya. Karena inilah maka ia sengaja mengerahkan sinkang di pundaknya, lalu mengelak setelah pukulan itu menyentuh dadanya. Dengan gerakan ini, pukulan ke dada itu menyeleweng dan menghantam pundaknya sehingga tubuhnya mencelat sampai empat meter akan tetapi ia jatuh dalam keadaan masih berlutut seperti tadi.
“Aiihhh...! Hampir aku kesalahan tangan membunuhmu!” teriak Yalina dan memberi isyarat supaya Suling Emas maju lagi.
Dari tempat ia berlutut, Suling Emas mengerahkan ginkang dan... dalam keadaan masih berlutut itu tubuhnya melayang dan kembali di tempat tadi, sama sekali tidak merubah kedudukan tubuhnya. Semua orang yang hadir melongo dan mengeluarkan seruan kaget. Itulah ilmu sihir, pikirnya. Bahkan Yalina sendiri terkejut. Hebat ilmu orang ini, pikirnya. Dengan ginkang seperti itu, dia sendiri takkan mungkin menandinginya. Juga pukulannya tadi hebat sekali, biar pun hanya mengenai pundak namun kalau seorang di antara panglima tingginya terkena hantaman itu sedikitnya tentu akan pingsan. Akan tetapi kakek itu tidak apa-apa, hanya mencelat dan tidak terluka.
“Ah, maafkan percobaan kami, Cianpwe. Ternyata Cianpwe sakti seperti diceritakan kedua panglimaku. Siapakah nama julukan Cianpwe?”
“Hamba tidak ingat lagi nama hamba, orang hanya menyebut hamba Bu Beng Lojin (Kakek Tak Bernama).”
Ratu Yalina mengangguk-angguk. “Bu Beng Lojin, apakah engkau tidak mempunyai saudara muda atau keponakan atau putera?”
Hati Suling Emas berdebar. Ternyata pandang mata tajam dari Yalina dapat mengenal persamaan muka penyamarannya. Cepat ia menggelengkan kepala. ”Hamba hidup sebatang kara di dunia ini. Apakah maksud pertanyaan Paduka?”
Ratu Yalina menarik napas panjang. “Tidak apa-apa, hanya kau mengingatkan aku akan seseorang...“ Ia berhenti termenung sejenak, wajahnya terliputi kedukaan, kemudian menyambung. “Mulai sekarang kau kuangkat menjadi pengawal dalam istana. Keselamatan kami sekeluarga kuserahkan ke dalam penjagaanmu.”
Suling Emas menunduk, hatinya terharu. “Terima kasih atas segala kebaikan dan kurnia Paduka”
Demikianlah, mulai saat itu Suling Emas menjadi kepala pengawal dan tinggal pula di lingkungan istana. Dia diberi pakaian yang sesuai dengan pangkatnya. Seperangkat pakaian yang indah dan gagah, dengan hiasan sulaman-sulaman benang emas dan di dadanya tersulam gambar sebagai tanda bahwa pangkatnya adalah panglima pengawal. Kepalanya memakai topi bundar berhias bulu kuning, hiasan bulu bagi panglima yang tinggi.
Dalam beberapa hari setelah bertugas sebagai panglima pengawal, Suling Emas mendapatkan hal-hal yang mengharukan hatinya. Ia diperkenalkan dengan Pangeran Mahkota Talibu yang masih muda belia dan amat tampan, bersikap halus sabar dan tidak sombong, pandai bergaul dengan rakyatnya sehingga timbul rasa suka di hati Suling Emas, apa lagi mengingat bahwa putera angkat Ratu Yalina ini adalah putera Panglima Kayabu, bekas sahabatnya yang gagah perkasa. Ia bertemu pula dengan Panglima Kayabu yang tidak mengenalnya dan ternyata bahwa Panglima Tinggi Kayabu ini masih tampak muda dan gagah seperti dulu, juga sikapnya amat ramah terhadap bawahannya, namun penuh disiplin keras. Pantas saja bangsa Khitan menjadi makin kuat berkat sikap Panglima Kayabu ini.
Terutama sekali keadaan Ratu Yalina, sering kali membuat Suling Emas hampir tidak kuat menahan hatinya. Hanya di waktu bersidang saja ratu ini nampak agung dan berwibawa. Akan tetapi kerap kali Suling Emas melihat ratu ini duduk termenung seorang diri di dalam ruangan dalam istana dan tidak jarang tampak matanya merah bekas menangis!
Kalau sudah melihat keadaan ratu itu demikian, jantung Suling Emas serasa ditusuk-tusuk dan kalbunya menjerit-jerit menyebut nama Lin Lin kekasihnya. Akan tetapi, ia merasa heran mengapa ratu ini bertekad memanggilnya? Setelah beberapa hari berada di situ, ia tidak melihat sesuatu yang mengancam keadaan di Khitan. Pemerintahannya berjalan baik, keadaan ratu itu dicinta dan dihormati bangsanya, dan para panglima juga setia. Rahasia apakah yang diderita Lin Lin? Rahasia apakah yang membuat Lin Lin berduka seperti itu?
Beberapa hari kemudian, di dalam persidangan terbuka, datanglah seorang perwira Khitan yang membawa laporan hebat, yaitu tentang diserbunya Nan-cao oleh bangsa Hsi-hsia dan tentang kematian ketua Beng-kauw dan banyak tokoh-tokohnya termasuk Kam Bu Sin dan isterinya.
Mendengar ini Ratu Yalina mengeluarkan teriakan aneh. Wajahnya menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan hanya karena ingat bahwa ia seorang ratu saja yang mencegah dia roboh pingsan di atas kursinya. Cepat-cepat ia memberi isyarat membubarkan persidangan, lalu memasuki ruangan dalam istana. Begitu berada seorang diri, Ratu Yalina menjatuhkan diri di atas kursi dan menangis tersedu-sedu!
Sibuklah para dayang dan pelayan, sibuk menghibur namun mereka dibentak oleh Ratu itu yang terus menangis tanpa mau pindah dari atas kursinya. Ia menolak pelayanan para dayang, tidak mau makan, bahkan sampai malam tiba, Sang Ratu masih menangis di atas kursinya. Berkali-kali ia mengeluh dan membisikkan nama Kam Bu Sin, kakak angkatnya yang baginya seperti kakak kandungnya sendiri
Tentu saja berita tentang mala-petaka yang menimpa para pimpinan Beng-kauw ini juga membuat Suling Emas terkejut, marah, dan berduka sekali. Kedukaannya tidak kalah besar dengan kedukaan Ratu Yalina karena Kam Bu Sin adalah adik tirinya, seayah lain ibu dan Suling Emas adalah sahabat baik semua pimpinan Beng-kauw. Akan tetapi dasar dia seorang pendekar sakti yang sudah matang jiwanya dan kuat batinnya oleh gemblengan pahit getir hidup, ia menerima berita ini dengan sikap tenang.
Sekarang ia harus pergi dari Khitan, pikirnya. Ia harus pergi ke Nan-cao menyelidiki keadaan Beng-kauw yang tertimpa mala-petaka. Tiada gunanya ia berlama di Khitan karena ternyata bahwa Khitan tidak terancam bahaya apa-apa, keadaan Yalina juga sehat. Akan tetapi tak mungkin ia pergi begitu saja. Malam ini ia harus bertemu dengan Yalina, memperkenalkan diri dan berpamit. Ia harus bertemu secara rahasia agar jangan ada yang tahu akan hubungan mereka.
Sebagai seorang pengawal kepala, tentu saja mudah bagi Suling Emas untuk memasuki semua ruangan istana dengan dalih memeriksa keamanan. Akhirnya ia sampai di luar pekarangan di mana Yalina menangis. Ruangan itu amat indah, juga diterangi lampu penerangan seperti di siang hari saja. Ia mengintai dari balik tirai tebal.
Tampak oleh Suling Emas betapa Ratu Yalina masih menangis, duduk di atas kursi dan menyandarkan kepala di atas lengan yang diletakkan di atas meja. Mukanya pucat sekali dan air mata bercucuran tiada hentinya di sepanjang pipinya. Seorang pelayan muda yang membawa tempat hidangan berdiri di belakangnya dengan bingung. Baru saja hidangan yang sengaja ia bawa datang dan membawanya kepada Sang Ratu ditolak dengan bentakan marah.
Dari belakang datang seorang dayang lain membawa teng (lampu). Mereka berdua saling memberi tanda dengan mata dan gerakan tangan, kemudian si Pembawa hidangan mundur. Dengan menggerakkan pundak dan menghela napas panjang, kedua orang dayang itu lalu meninggalkan ruangan. Sunyi di ruangan itu, yang terdengar hanya isak tangis Sang Ratu Yalina.
Suling Emas belum berani memperlihatkan diri karena ia khawatir kalau-kalau para dayang akan melihatnya dan hal ini akan membikin malu Sang Ratu. Maka sambil menahan gelora keharuan hatinya, ia meninggalkan ruangan itu dan mengambil keputusan untuk menemui Yalina malam nanti di kamarnya untuk memperkenalkan diri dan berpamitan.
Sambil menanti saat yang baik, Suling Emas lalu menemui perwira yang melaporkan tentang mala-petaka yang menimpa Beng-kauw itu. Perwira itu adalah seorang di antara petugas-petugas Khitan yang bekerja sebagai mata-mata atau penyelidik keadaan di luar Khitan. Memang Panglima Kayabu amat cerdik. Biar pun pada waktu itu Khitan tidak punya musuh, namun ia selalu menyebar mata-mata, baik ke negara Sung, ke Nan-cao dan lain-lain tempat untuk mengetahui keadaan dan perubahan negara-negara lain itu.
Perwira ini menceritakan kepada Suling Emas dengan jelas akan penyerbuan bangsa Hsi-hsia ke Nan-cao. “Bangsa Hsi-hsia secara tiba-tiba menyerbu ke selatan, akan tetapi berhasil dihalau pergi oleh tentara Nan-cao yang kuat. Akan tetapi, pimpinan Hsi-hsia yang terdiri dari pendeta-pendeta Tibet berjubah merah, dikepalai oleh pendeta kaki satu yang amat sakti dan kabarnya juga seorang wanita rambut panjang, menyerang Beng-kauw. Menurut keterangan yang hamba peroleh, ketua Beng-kauw berikut pembantu-pembantunya terbunuh oleh pendeta kaki satu dan wanita rambut panjang itu.”
“Dan bagaimana dengan anak, mantu dan cucu-cucu ketua Beng-kauw? Aku pernah singgah di sana dan mereka itu bersikap baik sekali kepadaku,” tanya Suling Emas.
“Menurut kabar, juga puteri dan menantu ketua Beng-kauw tewas, dan anak-anak mereka terculik...”
“Aihhh...!” Suling Emas menjadi marah sekali. Kalau mungkin, saat itu juga ia ingin terbang ke Nan-cao.
Sementara itu, Ratu Yalina sudah memasuki kamarnya. Ia masih menangis, duduk di atas kursi dalam kamarnya ketika sebuah tangan dengan halus menyentuh pundaknya.
“Ibu, jangan terlalu berduka...”
Suara Pangeran Talibu yang menghibur ibunya ini membuat tangis Ratu Yalina menjadi-jadi. Karena Ratu ini teringat akan masa dahulu, ketika ia masih menjadi Kam Lin Lin, semenjak kecil bermain-main dengan Kam Bu Sin kakak angkatnya. Teringat pula ia akan pengalamannya melakukan perantauan dengan Kam Bu Sin dan Kam Sian Eng kedua orang saudara angkatnya, sampai bertemu dengan Suling Emas. Makin jauh pula ia melamun, teringat akan Suling Emas kekasihnya, ayah dari Pangeran Talibu ini yang sekarang menjadi anak angkatnya. Padahal dialah sendiri yang melahirkan anak ini.
“Ah, anakku...!” Ia membalik dan merangkul Talibu sambil menangis.
Pangeran Talibu sungguh pun tahu bahwa Ratu ini hanya ibu angkatnya karena ia diangkat anak ketika berusia lima tahun, namun rasa kasih sayangnya kepada ibu angkat ini amat besar.
“Ibu, perbuatan orang-orang Hsi-hsia itu memang biadab. Biar pun aku belum pernah bertemu dengan Paman Kam Bu Sin yang menjadi kakak angkat ibu, namun aku sudah dapat membayangkan kebaikannya dan betapa besar ibu menyayangnya. Memang kematiannya menyedihkan, Ibu. Akan tetapi hal ini kiranya tidak cukup untuk disedihkan. Biarlah aku bersama Hoan Ti Ciangkun dan Loan Ti Ciangkun pergi menyelidik ke Nan-cao dan mencari pembunuh Paman Bu Sin, menangkapnya dan menyeretnya ke depan kaki Ibu!”
Mau tak mau di antara air matanya Ratu Yalina tersenyum. “Ah, Puteraku, engkau belum tahu tingginya langit dalamnya lautan! Di dunia kang-ouw banyak terdapat orang-orang sakti, Puteraku. Dalam ukuranmu, mungkin kedua orang Ciangkun kita itu sudah memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, akan tetapi di dunia kang-ouw masih banyak sekali yang jauh melampaui mereka. Baru Bu Beng Lojin pengawal baru kita itu saja sudah jauh lebih lihai dari pada mereka. Kau tahu Anakku, ilmu kepandaian ketua Beng-kauw amat hebat, juga kepandaian pamanmu Bu Sin cukup tinggi terutama sekali Bibi Liu Hwee puteri ketua Beng-kauw. Mereka adalah orang-orang yang lihai dan sukar dicari tandingnya, namun mereka tewas di tangan pendeta Tibet kaki satu dan teman-temannya. Kalau mereka saja terbunuh, apakah yang akan dapat kau lakukan, biar pun kau dibantu oleh Hoan Ti Ciangkun dan Loan Ti Ciangkun?”
“Biar pun begitu, aku tidak takut, Ibu. Ah, betul juga! Pengawal tua itu amat lihai, biarlah dia bersamaku pergi ke Nan-cao!” Wajah Pangeran Talibu tampak penuh semangat.
Ratu Yalina menggeleng-geleng kepalanya. “Kita belum tahu benar siapa dia, Nak. Orang-orang yang membasmi pimpinan Beng-kauw adalah orang sakti. Hanya ada satu-satunya orang di dunia ini yang akan mampu membalaskan kematian para pimpinan Beng-kauw dan Paman serta Bibimu.”
Pangeran Talibu membelalakkan matanya yang lebar dan bersinar tajam. “Siapakah dia, Ibu?”
“...Suling Emas...”
“Ohh...!” Pangeran ini tentu saja sudah tahu bahwa ibunya mengerahkan para panglima untuk mencari dan memanggil Suling Emas dan ia tahu pula bahwa Suling Emas adalah kakak angkat ibunya, juga kakak tiri Kam Bu Sin. “Begitu saktikah Paman Suling Emas? Mengapa sampai sekarang dia belum datang, Ibu?”
Panas rasa kedua mata Ratu Yalina dan hanya dengan kekerasan hatinya saja ia dapat menahan turunnya air mata. Mendengar Talibu menyebut Paman kepada Suling Emas, hatinya menjerit. “Dia Ayahmu! Dia Ayah kandungmu!”
Akan tetapi mulutnya hanya berkata lirih, “Mudah-mudahan usaha para panglima mencarinya akan berhasil dan dia suka datang ke sini, Talibu. Sekarang Ibumu hendak tidur.” Dengan gerakan lemas Ratu itu lalu menghampiri pembaringannya, menjatuhkan diri di atas pembaringan, memeluk guling dan membanjirlah air matanya membasahi bantal.
Sejenak Pangeran Talibu berdiri bengong, kemudian menarik napas panjang dan hatinya ikut sedih sekali menyaksikan kedukaan ibunya. “Ibu, perkenankanlah aku malam ini tidur di sini menemani Ibu.”
Dengan suara serak dan hati terharu, juga senang mendengar puteranya yang jelas memperlihatkan kasih sayang kepadanya, ia menjawab. “Baiklah, Talibu.”
Pangeran itu lalu menghampiri sebuah dipan di sudut kamar yang luas itu, merebahkan diri dan berkali-kali menarik napas panjang. Ratu Yalina dalam dukanya terisak-isak tak dapat tidur, dan Pangeran Talibu juga gelisah sukar sekali pulas. Namun menjelang tengah malam, akhirnya mereka pulas juga.
Ibu dan anak itu tidak tahu bahwa semua percakapan mereka sejak tadi didengar oleh orang yang menjadi bahan percakapan mereka. Suling Emas telah berdiri di balik jendela mendengarkan dengan hati terharu. Ia juga merasa girang mendapat kenyataan betapa Pangeran Talibu, sungguh pun hanya putera angkat Ratu Yalina, namun ternyata amat mencinta ibunya. Anak itu mewarisi watak baik ayahnya, Panglima Kayabu, pikirnya.
Setelah ibu dan anak itu tidur pulas yang dapat diketahuinya dari pernapasan mereka yang halus teratur, Suling Emas lalu membuka jendela dan melompat ke dalam kamar peraduan. Sebagai seorang pengawal kepala, tentu saja para pelayan yang tadi melihatnya di bagian pedalaman istana tidak ada yang menaruh curiga. Bukankah kepala pengawal dalam memang tugasnya menjaga keselamatan keluarga ratu? Karena itulah maka Suling Emas dapat mengintai dan kini melompat ke dalam tanpa ada yang tahu atau menduga.
Kini ia berdiri di tengah kamar. Hatinya tidak berdebar lagi. Ia merasa seolah-olah berada di dalam kamarnya sendiri. Seolah-olah sudah selayaknya ia berada di dalam kamar di mana Lin Lin tidur nyenyak. Pula, kamar ini tidaklah asing baginya. Ketika Lin Lin mula-mula menjadi ratu dua puluh tahun yang lalu, ia berdiam di kamar ini selama sebulan. Berdiam di kamar ini bersama Lin Lin, menikmati jalinan cinta kasih mereka, seperti sepasang mempelai berbulan madu!
Maka kini ia merasa wajar berada di sini. Hanya adanya Pangeran Talibu yang tidur di sudut kamar, di atas dipan, rebah miring menghadapi dinding, membuat ia merasa canggung. Betapa pun pemuda itu putera angkat Yalina, namun dengan dia bukan apa-apa. Namun, keberangkatannya ke Nan-cao berhubung dengan mala-petaka yang menimpa Beng-kauw tak dapat diundur lagi. Besok pagi-pagi ia harus sudah berangkat dan malam inilah saat dan kesempatan terakhir baginya untuk bertemu dan memperkenalkan diri kepada Lin Lin.
Suling Emas lalu menanggalkan penyamarannya. Mula-mula ia membuka kumis dan jenggot palsu yang menyembunyikan mukanya. Hatinya lega ketika melirik ke arah Pangeran Talibu yang masih tidur nyenyak. Setelah menanggalkan jenggot palsu, ia lalu menanggalkan jubah panglima dan di sebelah dalamnya ia memakai pakaiannya sendiri yang sederhana. Bahan penyamarannya itu ia lemparkan di sudut, kemudian ia melangkah maju menghampiri pembaringan Ratu Yalina. Dari balik kelambu sutera tipis itu tampaklah tubuh yang masih langsing padat itu, berselimut sampai pinggang, tidurnya miring memeluk guling menghadap ke dinding.
“Lin-moi...!” Ia memanggil dengan suara gemetar dan dari luar kelambu tangannya bergerak, menggunakan angin dorongan tangannya yang amat kuat sehingga tanpa menyentuh tubuh Ratu Yalina, ia dapat membuat tubuh itu berguncang keras.
Ratu Yalina, biar pun seorang ratu adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi. Sebagaimana lazimnya seorang ahli silat, dalam keadaan bagaimana pun urat syarafnya selalu siap sedia menghadapi segala macam ancaman. Oleh karena itu, biar pun seorang ahli silat sedang tidur nyenyak, apa bila tersentuh atau terguncang sedikit saja tentu akan bangun dan seketika sadar dan siap membela diri.
Ketika Yalina terguncang oleh angin dorongan tangan Suling Emas, segera tubuhnya mencelat ke luar dari pembaringan dan berdiri di depan Suling Emas. Tangannya sudah siap mengirim pukulan ketika ia melihat seorang laki-laki tinggi besar berdiri di depannya. Akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak, mulutnya setengah terbuka, napasnya serasa terhenti dan kedua kakinya menggigil.
“...Song-koko (Kanda Song)...?” bisiknya meragu, tak percaya akan pandangan matanya sendiri.
“Lin-moi, sudah lama sekali...”
“Song-ko...!” Yalina menjerit dan menubruk, kedua tangannya merangkul leher Suling Emas dan mukanya merapat di dada laki-laki itu sambil menangis terisak-isak. “Song-koko... ah, Song-koko...!”
Suling Emas menunduk, membenamkan mukanya di dalam rambut yang halus harum itu, kedua matanya basah air mata, kedua tangannya memeluk. Sampai lama mereka berdua dalam keadaan seperti ini, tiada kata-kata keluar dari mulut mereka, namun getaran perasaan mereka mewakili seribu bahasa. Tiba-tiba Yalina merenggutkan dirinya terlepas, lalu melangkah mundur dua tindak, memandang dengan pipi dan mata basah. Bibirnya berbisik-bisik, matanya dikejap-kejapkan.
“Ah..., tak mungkin... ini tentu hanya mimpi... hanya mimpi...!” Ia tersedu dan....
“Plakkk!” ditamparnya pipinya sendiri dengan maksud agar ia sadar dari mimpi. Pipinya terasa panas dan kedua lengan Suling Emas yang memeluknya terasa hidup, bukan mimpi.
“Ahhh... Song-koko... kau benar-benar datang...?” Jeritnya kemudian dan tangisnya makin menjadi-jadi. Demikian ketat ia memeluk Suling Emas, rapat-rapat ia menempelkan muka ke dada orang yang dicintainya itu seakan-akan tak hendak melepaskan kembali.
Suling Emas amat terharu, namun sebagai seorang sakti yang sudah dapat menguasai perasaannya, ia hanya meramkan mata dan merasa betapa dadanya basah. Air mata yang membasahi dada dan terasa dingin itu seolah-olah air embun yang menyiram akar jantungnya yang telah lama melayu dan mengering. Ia meramkan kedua mata, merasa bahagianya dapat memeluk wanita ini. Namun dalam keadaan demikian telinganya masih dapat menangkap gerakan di sebelah belakangnya, kemudian malah ia tahu ketika tiba-tiba ada sambaran angin pukulan menghantam punggungnya dengan keras. Ia tidak bergerak, hanya mengerahkan sinkang menjaga punggung.
“Desss...!”
“Auuuhhh...!” Pangeran Talibu meloncat ke belakang, memegangi tangan kanannya yang terasa sakit setelah memukul punggung orang yang memeluk ibunya itu.
Ratu Yalina terkejut dan cepat melepaskan diri dari pelukan. Suling Emas dengan tenang membalikkan tubuh menghadap Pangeran Talibu. Biar pun tangannya terasa sakit dan maklum bahwa orang ini amat sakti, namun pemuda ini tidak takut dan dengan kemarahan meluap ia sudah mencabut pedang yang tergantung di dinding, siap untuk menerjang. Pedang itu berkelebat cepat dibarengi bentakannya.
“Keparat, berani kau...!” Sinar pedang itu meluncur dan menusuk ke arah dada Suling Emas yang sekali lagi tidak bergerak, hanya tersenyum.
“Plakk... traanggg...!” pedang itu terpental dari tangan Talibu ketika Yalina maju dan menepuk lengannya.
“Ibu...?” Pemuda itu berseru, heran, bingung dan marah.
“Jangan, Talibu. Tenanglah, dengarlah baik-baik. Dia inilah yang bernama Suling Emas!”
Pangeran Talibu melongo. Semenjak kecil sudah didengarnya nama Suling Emas ini, nama yang dikagumi dan dipuji-puji oleh ibunya, oleh Panglima Kayabu dan semua panglima tua di Khitan. Ia tahu bahwa selain Suling Emas ini seorang pendekar sakti juga masih kakak angkat ibunya. Kini kemarahannya lenyap, terganti rasa malu dan canggung sungguh pun masih ada perasaan heran mengapa pamannya itu menemui ibunya pada tengah malam, di dalam kamar pula dan mereka tadi berpelukan begitu mesra!
Talibu segera menjura dengan penuh hormat dan berkata, “Paman, mohon maaf atas kekurang-ajaranku, karena saya tidak tahu....“
“Paman apa? Talibu, kini tiba saatnya Ibumu membuka semua rahasia. Dia ini adalah... A... Ayahmu...!”
“Ibu!”
“Lin-moi...!”
Entah siapa lebih kaget antara Pangeran Talibu dan Suling Emas mendengar ucapan ini. Wajah Suling Emas sampai menjadi pucat sekali dan kedua kakinya menggigil, kepalanya pening. Pangeran Talibu memandang ibunya dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, tidak percaya dan khawatir kalau-kalau saking sedihnya ibunya menjadi berubah ingatan!
Melihat keadaan dua orang yang dicintanya itu, Ratu Yalina tersenyum di antara air matanya, kemudian melangkah maju memegang tangan Suling Emas dan Talibu sambil berkata, “Sebagai Ratu, tak boleh rakyatku mengerahui rahasia ini, akan tetapi sebagai Ibu, kalian dua orang yang paling kucinta di dunia ini harus mengetahuinya. Marilah, Song-koko dan kau Talibu, mari kita duduk dan dengarlah ceritaku.”
Seperti dalam mimpi, Suling Emas dan Talibu menurut saja digandeng Yalina menuju meja di tengah ruangan itu. Ketika melihat jenggot palsu dan baju bertumpuk di sudut, Yalina tertawa. “Ah, kiranya engkau yang menyamar sebagai Bu Beng Lojin. Pantas saja aku merasa seperti mengenalmu dan begitu bertemu, kau mengingatkan aku akan Suling Emas. Koko, kenapa kau begini kejam menggodaku, tidak langsung menemuiku yang sudah dua puluh tahun mengharap-harapmu?”
Suling Emas menjatuhkan diri di atas kursi sambil menarik napas panjang. Pangeran Talibu memandang wajah Suling Emas dengan bermacam perasaan mengaduk hatinya. Tentu saja pemuda ini menjadi bingung setengah mati. Selama ini yang ia ketahui adalah bahwa dia adalah putera kandung Panglima Besar Kayabu yang pada usia lima tahun diangkat putera oleh Sang Ratu. Dan kini dari Ratu Yalina sendiri ia mendengar bahwa dia adalah putera Suling Emas! Bagaimana ini?
“Lin-moi, semenjak... pertemuan antara kita dua puluh tahun yang lalu, dengan terpaksa sekali dan dengan hati luka aku terpaksa meninggalkan Khitan, meninggalkan engkau yang sudah menjadi Ratu. Tak mungkin aku mencemarkan dan merusak namamu di mata rakyatmu hanya demi kesenangan hatiku sendiri. Aku rela berkorban dan selama dua puluh tahun menderita sakit batin yang amat hebat. Akan tetapi, mengapa kau sekarang mengatakan bahwa Pangeran ini adalah puteraku? Apa artinya semua ini?”
“Betul sekali ucapan Paman Suling Emas, Ibu. Bukankah aku putera tunggal Pangeran Kayabu yang Ibu angkat sebagai putera?”
Ratu Yalina kembali memegang tangan kedua orang itu di atas meja seakan-akan ia mencari kekuatan dari mereka untuk bercerita, “Anakku, kau bukan anak angkatku, engkau adalah anak kandungku sendiri. Akulah yang mengandungmu dan melahirkanmu, Talibu. Dan Ayahmu adalah dia inilah!” Ia berhenti sebentar, merasa betapa dua pasang mata di depannya itu memandang seakan hendak menembus jantungnya dan betapa dua tangan yang dipegangnya itu gemetar.
“Bu Song Koko, ketahuilah bahwa sepeninggalmu, baru aku ketahui bahwa aku mengandung! Tentu saja aku menjadi bingung sekali. Untung ada Kayabu yang setia dan berbudi mulia. Dialah yang menolongku, menjaga teguh agar rahasiaku tidak diketahui siapa pun di sini. Bahkan ketika aku melahirkan, yang tahu hanyalah seorang dukun dan Kayabu sendiri. Tidak hanya itu, sebelumnya Kayabu lalu memilih seorang gadis untuk dikawin, karena menurut rencananya, anak yang akan kulahirkan itu akan diakui sebagai anak isterinya....”
Sampai di sini ia berhenti dan dari kedua mata Pangeran Talibu bertitik air mata, sedangkan tangan pemuda itu kini menggenggam tangan ibunya dengan erat. Sedu-sedan naik dari dada Yalina, dan Suling Emas mendengarkan dengan muka pucat dan mata bersinar-sinar. Ketika dia menoleh kepada Talibu, pandang matanya mesra dan penuh kasih.
Setelah gelora perasaan harunya mereda, Yalina melanjutkan, “Rencana Kayabu berjalan baik. Aku melahirkan, dan engkau, Talibu, begitu lahir terus secara diam-diam dibawa oleh Kayabu, dan diumumkan bahwa isterinya melahirkan engkau. Baru setelah engkau berusia lima tahun, kuangkat menjadi puteraku. Aku ibu kandungmu, dan dia inilah Ayahmu yang sejati.”
Talibu tak dapat menahan perasaannya lagi. Ia bangkit berdiri dari tempat duduknya lalu memeluk ibunya. “Ibu... Ibu...!” Mereka bertangisan, kemudian pemuda itu berlutut di depan Suling Emas sambil berkata dengan suara menggetar, “Ayah...!”
Dua titik air mata menetes di atas pipi pendekar sakti itu ketika ia memeluk puteranya dan mengangkat bangun. “Terima kasih kepada Thian bahwa aku dikaruniai seorang putera seperti engkau, Talibu. Engkau tampan dan gagah, sungguh aku merasa bangga sekali!”
Akan tetapi tiba-tiba Yalina menangis tersedu-sedu, tangis yang amat sedih. Suling Emas dan Talibu menjadi terkejut dan heran. Mengapa Yalina berduka? Padahal bukankah pertemuan antara ibu, anak, dan ayah ini suatu peristiwa yang amat menggembirakan? Kalau Yalina menangis terharu, hal itu tidak mengherankan, akan tetapi tangisnya amat menyedihkan.
“Lin-moi, ke mana perginya kegagahan dan ketabahanmu? Bukankah menggirangkan sekali pertemuan di antara kita bertiga ini?”
“Ibu..., kenapa Ibu begini berduka?”
Ratu Yalina mengangkat muka, menahan isaknya lalu berkata, “Song-ko, anakku Talibu, ada hal yang selama kau terlahir menjadi derita batin hebat bagiku. Talibu, ketika engkau terlahir, lahir pula seorang Adikmu. Engkau adalah anak kembar....”
“Ibu...!” Talibu terkejut dan menangkap tangan ibunya. Suling Emas hanya memandang seperti orang dalam mimpi.
“Adik kembarmu itu kemudian oleh Panglima Kayabu diserahkan kepada nenek dukun untuk dipelihara baik-baik dan dirahasiakan dari orang lain, sementara engkau sendiri dibawa pergi Panglima, Kayabu. Akan tetapi... ah... pada keesokan paginya, nenek dukun itu kedapatan mati di dalam taman istana!”
“Ahhh...!” kini Suling Emas yang berseru.
“Dan anak itu... Adikku itu, bagaimana, Ibu?”
“Itulah yang menyusahkan hatiku. Adikmu itu telah lenyap tak meninggalkan jejak sama sekali. Tentu saja aku dan Kayabu tidak berani ribut-ribut tentang hilangnya anak itu karena takut rahasiaku akan terbongkar. Bu Song Koko, inilah sebabnya mengapa selama ini aku berusaha keras untuk mencari dan memanggilmu ke sini. Tak kuat aku menanggung rahasia ini lebih lama lagi. Kalau aku teringat akan anak perempuan kita itu, tak dapat menahan kesedihan hatiku... dan kini... mendengar akan mala-petaka yang menimpa Kanda Bu Sin... ah...!” Kembali Ratu Yalina menangis sedih.
Dua orang laki-laki itu, ayah dan anak, saling pandang dan hanya bengong tak dapat bicara. Hati mereka tidak karuan rasanya. Pukulan hebat menghantam batin mereka mendengar semua kenyataan yang sama sekali tak pernah mereka duga.
Tiba-tiba Suling Emas menampar pahanya sendiri. “Ah! Dia... tentu dia... tak salah lagi...!”
Yalina mengangkat muka memandang, “Apa maksudmu, Song-ko?”
Suling Emas memegang kedua pundak Ratu Yalina, wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar. “Lin-moi, aku telah bertemu dengan anak perempuan kita! Dia seorang gadis jelita, serupa benar dengan engkau, ilmu kepandaiannya amat lihai. Julukannya Mutiara Hitam dan namanya... kalau tak salah Kwi Lan. Dia menjadi murid Sian Eng!”
Yalina meloncat bangun, matanya terbelalak. “Ah... betul juga! Mayat nenek dukun itu mengalami pukulan yang hebat. Kiranya Enci Sian Eng yang membunuhnya dan membawa pergi anakku! Akan tetapi, mengapa ia tidak menjumpai aku? Mengapa ia berbuat begitu aneh?”
“Hemm, kau tahu keadaan Sian Eng, Lin-moi...!” Mereka termenung, teringat akan keadaan Kam Sian Eng yang menjadi gila.
“Song-ko, ceritakan keadaan gadis itu, anak kita itu kalau kau tak salah sangka. Di mana kau bertemu dengannya? Bagaimana dia?”
“Benar, ceritakan, Ayah. Aku ingin sekali mendengar tentang Adikku...,“ kata pula Pangeran Talibu dengan suara tersendat karena terharu. Mengingat bahwa ia mempunyai adik kembar, sesuatu yang amat mesra dan aneh bergejolak di dalam hatinya.
Maka berceritalah Suling Emas tentang pertemuannya beberapa kali dengan Kwi Lan. Ketika ia menceritakan sikap Kwi Lan yang marah-marah, yang menegurnya mengapa meninggalkan Ratu Khitan, kemudian betapa Kwi Lan yang marah-marah itu menyatakan sebagai anak Ratu Khitan.
Mendengar penuturan ini, Ratu Yalina kembali menangis saking terharu dan girang hatinya karena mendapat kenyataan bahwa anaknya yang lenyap sejak baru lahir itu ternyata masih hidup dan menjadi murid encinya.
“Dia cantik dan gagah, ilmu silatnya ganas dan dahsyat lagi aneh, tentu saja karena dia murid Sian Eng yang mewarisi semua kitab mendiang Ibuku dan mempelajarinya secara ngawur dalam keadaan sakit ingatan. Kwi Lan amat galak dan jujur, berani tak mengenal takut, persis seperti... seperti Ibunya!” Suling Emas teringat akan ini tertawa dan Yalina dalam tangisnya juga ikut tertawa.
Melihat betapa ayah dan ibunya saling berpandangan mesra, mengingat pula bahwa selama dua puluh tahun mereka tak saling jumpa, Pangeran Talibu yang sudah menjelang dewasa dan yang hatinya masih terguncang menghadapi kenyatan luar biasa tentang dirinya, lalu berkata,
“Harap Ayah dan Ibu maafkan aku..., aku... aku masih bingung dan pusing akan kenyataan yang hebat dan membahagiakan hati ini... aku ingin mengaso.” Tanpa menanti jawaban pemuda ini segera lari ke luar dari kamar ibunya sambil menutupkan daun pintu. Pemuda ini sesungguhnya tidak pergi ke kamarnya, melainkan menjaga di ruangan luar untuk melarang siapa saja, juga pelayan-pelayan ibunya, andai kata malam itu ada yang akan memasuki kamar ibunya!
Sampai lama Suling Emas dan Yalina saling pandang, kemudian seperti ditarik oleh besi semberani, keduanya saling peluk. Semua kerinduan hati, semua rasa cinta kasih yang selama ini ditahan-tahan dan dipendam, kini tercurahkan. Sampai pagi mereka tidak tidur, berbisik-bisik mesra dan menceritakan pengalaman masing-masing.
Akhirnya, ketika malam terlewat menjelang pagi, Suling Emas berkemas dan berkata, “Sekarang juga aku akan berangkat, Lin-moi. Betapa pun juga mala-petaka yang menimpa Beng-kauw tak mungkin kudiamkan begitu saja.”
“Engkau benar, Koko. Akan tetapi... betapa aku akan kehilangan dan kesepian lagi... ah, betapa inginku selamanya tinggal di sampingmu tak pernah berpisah lagi. Agaknya aku rela meninggalkan kedudukanku sebagai Ratu....”
“Lin-moi, tidak mungkin begitu, belum tiba waktunya. Engkau harus ingat akan nasib bangsamu dan kulihat putera kita Talibu amat cakap menjadi calon raja. Apa bila ia sudah cukup masak dan kau angkat menjadi penggantimu memimpin bangsanya, barulah tepat rasanya kalau engkau ingin menghabiskan masa hidup di sampingku. Aku pun sudah bosan menghadapi segala macam urusan dunia ramai. Setelah putera kita menjadi raja, marilah ikut bersamaku ke puncak gunung berdua dan menghabiskan sisa hidup di sana. Akan tetapi sekarang kita berdua masih menghadapi tugas berat. Engkau menuntun Talibu memimpin rakyatmu, dan aku akan pergi ke Nan-cao sekalian mencari puteri kita, Kwi Lan atau Mutiara Hitam.”
Mendengar kalimat terakhir ini, berserilah wajah Ratu Yalina. “Mutiara Hitam... alangkah seramnya julukan Anakku..., Song-ko, jahatkah dia?”
“Kurasa tidak jahat, hanya aneh seperti gurunya.”
Tak lama kemudian berangkatlah Suling Emas, berangkat dengan diam-diam meninggalkan istana Khitan, diantar oleh peluk cium penuh kasih sayang Ratu Yalina dan pandang mata berlinang air mata sampai bayangannya lenyap di balik kesuraman fajar. Dengan kepandaiannya yang luar biasa, mudah saja bagi Suling Emas untuk pergi tanpa diketahui seorang pun penjaga.
Pada keesokan harinya, Panglima Talibu memberi tahu para panglima bahwa kepala pengawal Bu Beng Lojin semalam berpamit dan pergi. Karena semua panglima mengenal Bu Beng Lojin sebagai seorang yang aneh, mereka tidak menjadi heran, hanya kagum karena kepergian kakek itu seperti iblis saja, tak terlihat oleh seorang pun penjaga. Di antara para panglima tentu saja hanya Loan Ti Ciangkun dan Hoan Ti Ciangkun yang tahu bahwa kakek aneh itu sebetulnya adalah Suling Emas, kakak angkat Sang Ratu.
********************
Ruangan itu lebar dan indah. Dindingnya terhias lukisan-lukisan yang amat indah dan kuno. Mereka duduk menghadapi sebuah meja bundar yang lebar, masing-masing duduk di atas sebuah bangku berukir naga. Kiang Liong tampak tenang, sungguh pun diam-diam ia mencari akal untuk dapat meloloskan diri. Kalau ia tidak ingat akan Kam Han Ki, tadi setelah Siang Kui dan Siang Hui dibebaskan, tentu ia sudah memberontak dan lari pula. Akan tetapi dia sudah mengambil keputusan untuk menolong Kam Han Ki.
Di sebelah depannya, terhalang meja itu, duduk Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni. Bouw Lek Couwsu juga nampak tenang namun sepasang matanya bersinar gembira, mulutnya tersenyum-senyum. Wajahnya yang masih tampan membayangkan kecerdikan. Ada pun Siang-mou Sin-ni yang duduk di sampingnya memandang Kiang Liong dengan bibir tersenyum dan matanya kadang-kadang memandang kagum akan ketampanan dan kemudaan pemuda itu, akan tetapi juga kadang-kadang dengan penuh kebencian kalau ia teringat bahwa pemuda ini adalah murid Suling Emas musuh bebuyutan yang dibencinya.
“Kiang-kongcu, kami telah mendengar bahwa kau adalah putera pangeran, berarti engkau adalah seorang pemuda bangsawan tinggi. Juga engkau adalah murid Suling Emas, berarti kepandaianmu juga amat lihai. Karena kedua kenyataan itulah maka pinceng tidak mau bermusuhan denganmu dan rela membebaskan dua orang gadis tawanan. Kiang-kongcu, sebagai seorang pemuda bangsawan, apakah engkau tidak bercita-cita untuk memiliki kedudukan yang paling tinggi?”
Kiang Liong memandang tajam penuh selidik. “Apa maksudmu?” tanyanya tenang.
“Heh-heh-heh, Kiang-kongcu yang cerdik pandai masa belum dapat menduga maksud pinceng? Kerajaan Sung adalah amat buruk pemerintahannya dan amat lemah, hal ini sudah jelas dan Kongcu tentu mengetahuinya. Terhadap kekuasaan Khitan dan Nan-cao yang kecil saja tidak mampu melawan.”
“Bukan tidak mampu melawan, melainkan karena kedua kerajaan itu adalah kerajaan sahabat,” Kiang Liong membantah sungguh pun diam-diam di hatinya ia membenarkan omongan pendeta itu.
“Ha-ha-ha! Mana bisa bersahabat dengan orang-orang Khitan dan dengan Nan-cao yang kecil dan mengganggu? Kerajaan Sung sering kali dipaksa membayar upeti kepada Kerajaan Khitan, hal itu jelas menandakan bahwa Sung hanya dapat menghadapi lawan dengan sogokan. Dan untuk memperoleh harta benda sogokan itu tentu saja caranya memeras rakyatnya. Kiang-kongcu, hal itu sudah pinceng ketahui jelas berdasarkan penyelidikan bertahun-tahun, tak perlu Kongcu menyangkal pula.”
“Andai kata benar pendapatmu bahwa Kerajaan Sung lemah, habis apakah yang kau kehendaki?” Pertanyaan Kiang Liong masih tenang, padahal di dalam hatinya ia berdebar keras. Inilah merupakan inti dari pada tugasnya diutus Kaisar, menyelidiki keadaan tentara Hsi-hsia dan sekarang ia bahkan berhadapan muka dengan pemimpin Hsi-hsia, bicara tentang politik Hsi-hsia terhadap Sung!
“Pinceng harap Kiang-kongcu bijaksana dan dapat memilih mana yang menguntungkan bagimu. Pinceng menawarkan kerja sama denganmu, kita gempur bersama Kerajaan Sung! Pinceng bergerak dari luar dan engkau bergerak dari dalam!”
Kiang Liong mengangguk-angguk. Dari ucapan ini saja ia tahu bahwa Bouw Lek Couwsu belum mengadakan hubungan dengan pengkhianat-pengkhianat di dalam kerajaan dan hatinya menjadi lega. Hal ini merupakan salah satu hal yang ia selidiki. Dengan suara tenang ia bertanya, “Dan balas jasaku...?”
“Ha-ha-ha-ha! Engkau benar-benar seorang yang cerdik, Kiang-kongcu! Benar, urusan besar ini harus dirundingkan masak-masak. Bagaimana kalau engkau menjadi Raja Kerajaan Sung, Kiang-kongcu?”
Sikap Kiang Liong masih tenang, namun jantungnya seperti meloncat ke atas saking kagetnya mendengar janji yang amat muluk ini. Sampai beberapa lama ia tidak dapat menjawab, hanya memandang wajah Bouw Lek Couwsu dengan mata terbelalak.
Melihat sikap pemuda ini, Bouw Lek Couwsu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, apakah balas jasa itu kurang besar, Kongcu?”
Kiang Liong dapat menentramkan hatinya lagi dan ia tersenyum lebar. “Cukup hebat dan muluk, Couwsu. Seorang muda dan bodoh seperti aku, mana bisa menjadi Raja? Harap kau jangan main-main.”
“Mengapa tidak? Raja Sung yang sekarang ini bisa apakah? Engkau jauh lebih pandai, lebih gagah dan lebih cakap menjadi Raja. Pinceng tidak main-main, Kiang-kongcu. Kalau kau suka membantu dari dalam dan gerakan kita berhasil menundukkan Kerajaan Sung, engkaulah yang akan menjadi pengganti Raja Sung. Bagaimana?”
Kiang Liong mengangguk-angguk. “Hemm, memang muluk dan enak sekali kalau hanya dibicarakan begini saja. Akan tetapi, apakah engkau tahu sampai di mana hebatnya kekuatan Kerajaan Sung, Bouw Lek Couwsu? Apakah yang kau andalkan untuk dapat menaklukkan Sung?” Dengan cerdik sekali, berkedok kesangsiannya akan hasil persekutuan itu, ia ingin mengetahui rahasia kekuatan barisan Hsi-hsia!
Kembali pendeta itu tertawa bergelak dan mengangkat cawan araknya. “Mari kita minum dulu dan bersiaplah untuk bergembira mendengar keteranganku yang membesarkan hati, Kongcu!”
Kiang-kongcu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum mengangkat cawan dan minum araknya. Bahkan Siang-mou Sin-ni agaknya gembira juga melihat pemuda itu suka menjadi sekutu mereka. Kalau pemuda ini menjadi sekutu, tentu saja ia tidak menganggapnya sebagai musuh dan memang sejak tadi ia memandang kagum, membayangkan betapa akan senang hatinya kalau ia dapat ‘bersahabat’ dengan pemuda tampan dan gagah ini. Selama ini, ia hanya dapat bermesra dengan pemuda-pemuda lemah seperti kucing kalau dibanding dengan pemuda ini yang seperti singa!
“Kiang-kongcu, jangan kau kira bahwa pinceng tidak tahu akan keadaan dan kekuatan Kerajaan Sung. Sudah bertahun-tahun pinceng melakukan penyelidikan. Raja Sung yang gila kesenangan dan kesenian itu hanya mengerahkan sebagian besar tentaranya di perbatasan utara, menjaga penyerbuan bangsa-bangsa di utara yang sejak dahulu mengancam Sung. Sebagian pula untuk menjaga perbatasan di selatan, sedangkan sebagian kecil tersebar di pantai timur menjaga kerusuhan yang ditimbulkan bajak laut. Akan tetapi bagian barat hanya dijaga oleh pasukan-pasukan kecil karena daerah pegunungan yang sambung-menyambung sukar diadakan penjagaan kecuali dengan pasukan besar. Pula Raja Sung tidak menganggap akan datang ancaman dari barat. Inilah keuntungan kita, Kongcu. Jika pinceng menyerbu dari barat, dibagi menjadi tiga empat barisan besar menyerbu, tentu dengan mudah akan dapat kami hancurkan penjagaan di perbatasan itu dan kami akan terus menyerbu Kerajaan Sung dari tiga jurusan, terbesar dari barat, yang lainnya dari utara dan selatan kami kepung kota raja. Sementara itu, engkau bergerak dari dalam dengan pasukan yang dapat kau kumpulkan. Dengan begini, apa susahnya menjatuhkan Kaisar boneka itu? Ha-ha!”
Diam-diam Kiang Liong terkejut sekali. Hebat rencana pimpinan Hsi-hsia ini. Ia sudah mendapat keterangan dari para penyelidik bahwa barisan Hsi-hsia tidak kurang dari seratus ribu orang banyaknya. Dan memang tepat apa yang dikatakan Bouw Lek Couwsu. Keadaan penjagaan Kerajaan Sung memang seperti yang diutarakannya tadi. Kalau siasat itu dipergunakan oleh pimpinan Hsi-hsia ini, agaknya akan besar bahaya kehancuran mengancam Kerajaan Sung! Dan ia harus mencegahnya. Satu-satunya jalan untuk mencegahnya, ia harus dapat meninggalkan tempat ini, kembali ke kerajaan dan melaporkannya kepada Kaisar agar dapat diatur siasat untuk menghadapi bala tentara Hsi-hsia. ia harus berlaku cerdik dan tiada cara lain kecuali menerima usul persekutuan Bouw Lek Couwsu!
“Hebat! Rencana yang kau atur itu benar-benar mengagumkan, Couwsu. Kalau siasat itu dijalankan, apa lagi ada bantuan yang kuat dari dalam, akan mudahlah merebut singgasana!” Ia sengaja memasang muka berseri-seri dan sepasang matanya berkilat penuh harapan.
“Akan tetapi... bagianku dalam rencana ini amat berbahaya! Kalau ketahuan rencanaku, tentu akan ditangkap sebagai pengkhianat dan dihukum mati! Akan sepadankah balas jasa untukku? Apakah engkau kelak tidak akan melanggar janjimu tadi?”
Bouw Lek Couwsu menenggak araknya lalu tertawa. “Ha-ha-ha pinceng Bouw Lek Couwsu adalah pemimpin besar bangsa Hsi-hsia, juga ketua para pendeta jubah merah. Tak nanti akan menarik kembali janji. Kalau berhasil usaha kita, pasti engkau yang akan menduduki singgasana Kerajaan Sung! Pinceng tidak ingin menjadi raja di Kerajaan Sung. Cukup bagi pinceng asal Kongcu pun mengenal budi membagi keuntungan dan menghadiahkan setengah wilayah kerajaan bagian barat kepada bangsa Hsi-hsia, bukankah ini adil?”
Bukan main gemasnya hati Kiang Liong kepada pendeta yang licik ini, akan tetapi wajahnya tidak berubah, tetap gembira penuh harapan. “Aku menerima usulmu, Bouw Lek Couwsu, dan aku akan berusaha menghubungi para panglima pasukan yang merasa tidak puas dengan Kaisar. Percayalah, banyak di antara para panglima adalah sahabat baik ayahku, Pangeran Kiang.”
“Ha-ha-ha, mari kita minum arak untuk persekutuan kita ini!”
Mereka bertiga kembali minum arak dan pada saat itu, seorang pelayan wanita datang berlari-lari dan berlutut di depan Siang-mou Sin-ni sambil berkata gugup. “Mohon maaf kalau hamba mengganggu. Akan tetapi hamba melaporkan bahwa bocah yang ditawan itu tahu-tahu sudah berada di dalam kamar Paduka dalam keadaan pingsan, sedangkan penjaganya kedapatan tewas di kamar tahanan.”
Siang-mou Sin-ni mengeluarkan suara melengking panjang dan pelayan yang melapor itu sudah mencelat beberapa meter dan roboh pingsan karena ditendang, sedang tubuh Siang-mou Sin-ni sendiri sudah mencelat seperti terbang meninggalkan ruangan itu menuju ke kamarnya! Seorang pelayan pria lalu mengangkat pelayan wanita yang pingsan itu, membawanya ke ruangan belakang.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kiang Liong mendengar laporan tadi. Tak salah lagi, pikirnya, bocah yang dimaksudkan itu tentulah Han Ki. Pantas ia tidak berhasil menemukan anak itu, kiranya pingsan di kamar Siang-mou Sin-ni!
“Bouw Lek Couwsu,” katanya menahan getaran hati dan suaranya tetap tenang, “Setelah kita menjadi sekutu dan orang sendiri, apakah engkau tidak mau memandang mukaku membebaskan Kam Han Ki itu? Betapa pun juga, Kam Bu Sin adalah Paman guruku sehingga amat tidak enak bagiku kalau anak itu tidak kubawa pulang. Tentu akan mencurigakan orang dan menduga bahwa aku berbaik denganmu.”
Bouw Lek Couwsu mengangguk-angguk dan bangkit berdiri. “Masuk akal pula omonganmu ini. Akan tetapi karena anak itu merupakan tawanan Sin-ni, sebaiknya aku membujuknya. Harap Kongcu menunggu di sini.” Setelah berkata demikian, Bouw Lek Couwsu lalu meninggalkannya, masuk menyusul Siang-mou Sin-ni dengan langkah lebar.
Kiang Liong terhenyak di atas bangkunya seperti patung. Ketika ia melirik, ternyata bangunan itu terkurung ratusan orang Hsi-hsia yang agaknya diam-diam telah menerima perintah untuk menjaga dan mencegah dia melarikan diri! Ia menghela napas dengan perasaan tegang. Berhasilkan bujukan Bouw Lek Couwsu? Kalau berhasil dan dia boleh membawa Han Ki, alangkah untungnya! Tentang persekutuan dan janjinya kepada Bouw Lek Couwsu, janji itu hanya ia adakan bukan sekali-kali untuk semata-mata menyelamatkan dirinya, melainkan terutama sekali untuk menyelamatkan Kerajaan Sung. Karena andai kata ia berkeras menolak sampai tewas di situ, bukankah rencana Bouw Lek Couwsu tadi akan dijalankan tanpa sepengetahuan Kerajaan Sung sehingga terjadi mala-petaka hebat?
Tiba-tiba ia menyeringai dan menahan napas. Rasa yang amat nyeri menusuk perutnya, rasa nyeri yang hampir tak tertahankan. Ia mengumpulkan hawa murni di tubuhnya, mengerahkan sinkangnya diarahkan ke perut sambil menarik napas panjang. Rasa nyeri lenyap seketika, namun hatinya menjadi gelisah. Tahulah ia bahwa ia telah terluka oleh pukulan Siang-mou Sin-ni tadi, luka yang aneh karena entah di bagian mana. Rasanya di perut, akan tetapi begitu dilawan sinkang rasa nyeri itu hilang. Ia tidak tahu bahwa pukulan tadi adalah pukulan yang meracuni darahnya dan tentu saja yang pertama-tama terasa adalah bagian yang tadi terpukul.
Tak lama kemudian dari ruangan dalam muncul keluar Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni. Jantung Kiang Liong serasa berhenti berdetik ketika melihat Siang-mou Sin-ni mendukung seorang anak laki-laki. Ia tidak mengenal Han Ki karena ketika ia mengunjungi pamannya dahulu Han Ki masih seorang bayi. Akan tetapi ia dapat menduga bahwa anak berusia sebelas tahun itu tentulah Han Ki. Anak itu sudah sadar akan tetapi melihat keadaannya yang tak dapat bergerak dan lemas, Kiang Liong maklum anak itu tentu tertotok.
Menurutkan kata hatinya, ingin ia meloncat dan merampas bocah itu untuk kemudian dibawa lari. Akan tetapi, pikirannya yang cerdik melarang ia melakukan hal itu. Kalau ia lakukan berarti ia mencari mati dan Han Ki juga takkan tertolong. Yang lebih hebat lagi, Kerajaan Sung akan terancam bencana hebat! Biar pun hatinya seperti ditusuk ia tetap bersikap tenang dan ketika mereka berdua sudah datang dekat, ia bertanya.
“Bagaimanakah, Couwsu dan Sin-ni, apakah persekutuan kita cukup berharga untuk Ji-wi (Kalian) mengampuni anak itu dan memberikannya kepadaku?”
Tiba-tiba Bouw Lek Couwsu membentak keras, “Kiang Liong! Apakah hatimu palsu dan kau tidak menghargai perjanjian kita?” Sikap kakek ini jelas mencurigai dan menentang.
Kiang Liong terkejut. Ia harus berhati-hati. Kakek gundul ini amat cerdik. “Eh, apa alasannya engkau menyangka seperti itu, Couwsu?”
“Kalau engkau memang jujur, mengapa kau ingin benar menolong anak ini? Sepatutnya sebagai tanda persahabatan engkau merelakan anak ini kepada Sin-ni. Urusan kita amatlah besar. Urusan anak ini tidak ada artinya. Apa artinya nyawa seorang bocah seperti ini? Nah, jawablah bagaimana pikiranmu? Kalau kau mementingkan anak ini, berarti kau tidak sungguh-sungguh hendak bersekutu dengan kami!”
Kiang Liong terkejut dalam hatinya. Tak disangkanya kakek gundul ini sedemikian cerdik. Ia memutar otak mencari siasat, namun tidak melihat jalan lain kecuali berpura-pura tidak mengerti dan mengalah.
“Aku hanya ingin menolong karena dia putera Paman guruku, akan tetapi sama sekali bukan berarti aku melupakan persekutuan kita. Habis, bagaimanakah kehendakmu dengan anak ini, Couwsu? Beritahulah dan aku tentu saja akan menerima usulmu asalkan demi kebaikan kita bersama, terutama sekali tentu saja, demi berhasilnya usaha besar kita.” Sengaja Kiang Liong menekankan usaha besar karena ia maklum bahwa kepala gundul ini amat membutuhkan bantuannya untuk menghimpun tenaga yang akan bergerak dari dalam kota raja.
“Hi-hi-hik, alasanmu dibuat-buat, Kiang-kongcu. Kalau memang benar kau begitu mementingkan persekutuan di antara kita mengapa kau hendak merampas anak ini dari tanganku? Susah payah anak ini kupelihara, kubebaskan dari kematiannya di rumahnya, kemudian kubikin gemuk sehat untuk keperluanku yang amat penting, menyempurnakan ilmu yang sedang kulatih. Kalau aku berkeras tidak mau menyerahkan anak ini kepadamu, kau mau apa, Kiang-kongcu? Apakah kau akan membatalkan persekutuan kita hanya karena anak ini?”
Dapat dibayangkan betapa bingung dan gelisah rasa hati Kiang Liong. Ia menghadapi jalan buntu. Membatalkan persekutuan berarti kematian baginya dan membahayakan Kerajaan Sung, kalau tidak mana mungkin ia membiarkan anak itu dijadikan korban secara mengerikan? Dari Po Leng In ia sudah mendengar betapa iblis betina ini hendak melakukan I-kin-hoan-jwe, untuk kesempurnaan ilmunya Hun-beng Toh-wat, dan untuk keperluan inilah Han Ki ditawan. Ia sendiri belum tahu secara jelas bagaimana orang melakukan I-kin-hoan-jwe mengambil sumsum dan darah putih dalam urat, akan tetapi dapat membayangkan bahwa hal itu tentu mengerikan dan kejam sekali.
“Jadi engkau akan membunuhnya. Siang-mou Sin-ni?”
Melihat keraguan pemuda itu Bouw Lek Couwsu lalu memandang tajam. Pendeta ini adalah seorang yang cerdik. Kalau tidak, tentu saja ia tidak menjadi pemimpin bangsa Hsi-hsia. Ia melihat betapa Siang-mou Sin-ni dan pemuda itu saling berhadapan, saling siap untuk bertanding. Hal ini tidak ia inginkan karena ia benar-benar mengharapkan bantuan pemuda ini yang telah terpikat karena dijanjikan kedudukan raja. Maka cepat-cepat ia melangkah maju dan berkata.
“Antara orang sendiri tak perlu ribut-ribut, kalau memang kita semua beritikad baik.” Ia memandang Siang-mou Sin-ni penuh arti kemudian melanjutkan. “Kiang-kongcu, pinceng telah bicara panjang lebar dengan Sin-ni. Memang Sin-ni membutuhkan anak ini untuk menyempurnakan ilmunya, akan tetapi pinceng yang menanggung bahwa anak ini tidak akan dibunuhnya. Biarlah kita sama lihat. Kalau kelak engkau dapat memegang janjimu dan mengerahkan tenaga bantuan dari dalam kota raja, pinceng berjanji akan menyerahkan anak ini dalam keadaan hidup kepadamu!”
Diam-diam Kiang Liong menyumpahi pendeta yang amat licik ini di dalam hatinya. Ia mengerti bahwa Han Ki dijadikan ‘barang tanggungan’ untuk menguji kesetiaannya dalam persekutuan itu. Tidak ada pilihan lain. Kalau kelak pasukan Hsi-hsia menyerbu, Kerajaan Sung akan mengatur penjebakan yang menghancurkan barisan musuh dan dia sendiri akan mengumpulkan tenaga, bahkan gurunya sendiri tentu akan membantunya untuk menangkap Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, dan kalau tidak terlambat akan menolong Han Ki.
“Akan tetapi awaslah kalian,” kutuknya dalam hati, “kalau anak ini kalian bunuh, jangan harap kalian dapat terlepas dari hukumanku!”
Ia mengangkat kedua bahunya dan duduk kembali. “Apa boleh buat, kalau kau tidak percaya penuh kepadaku, boleh saja anak ini kau tahan, Bouw Lek Couwsu. Betapa pun juga, urusan besar itu tentu saja jauh lebih penting.”
“Bagus! Mari kita minum arak untuk saling pengertian yang baik ini!” Kembali mereka mengangkat cawan arak dan meminumnya.
Siang-mou Sin-ni tersenyum, lalu cekikikan. “Hi-hi-hik! Siapa tahu hati manusia? Memang aku tidak akan membunuh anak ini, akan tetapi aku harus mengambil sedikit darahnya, sedikit-sedikit tiap hari dan kuganti dengan obat agar darahnya pulih. Sekarang pun akan kubuktikan caranya agar hati Kiang-kongcu tidak ragu-ragu lagi!”
Setelah berkata demikian, Siang-mou Sin-ni meletakkan tubuh Han Ki di atas meja bundar yang besar itu. Anak itu telentang di atas meja, matanya yang lebar memandang Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu penuh kebencian. Ketika melirik ke arah Kiang Liong, dia hanya memandang sekilas karena tidak mengenal siapa pemuda itu yang agaknya tidak sepenuh hati hendak menolongnya.
Kiang Liong kagum bukan main dan hatinya diliputi keharuan. Bocah itu amat tampan, dan sedikit pun tidak tampak sinar takut dalam sepasang matanya yang bening, dan lebar. Biar pun ia tidak dapat bergerak dan tak dapat mengeluarkan kata-kata, namun jelas pandang matanya menyinarkan kebencian dan sakit hati terhadap Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu yang telah membasmi keluarganya. Anak yang luar biasa dan mengagumkan, pikirnya.
Sementara itu, Siang-mou Sin-ni sudah mengeluarkan sebatang jarum emas yang panjangnya kurang lebih dua dim dan di sepanjang batang jarum itu berlubang. Denigan jarum di tangan kanan, sambil tersenyum dan mengerling ke arah Kiang Liong, ia menghampiri bocah yang telentang di atas meja itu.
Terjadi perang di dalam hati Kiang Liong. Kalau mengingat akan tugasnya sebagai penyelidik, teringat akan kewajiban sebagai seorang yang setia dan mencinta pemerintahannya, ia harus membiarkan Siang-mou Sin-ni melanjutkan apa yang hendak dilakukan kepada Han Ki. Akan tetapi kalau menurutkan perasaan dan wataknya sebagai seorang pendekar gagah, tak mungkin ia mendiamkan saja. Ia dapat menduga kini apa yang dilakukan Siang-mou Sin-ni. Jarum emas itu akan ditusukkan di bagian tubuh yang tidak membahayakan nyawa anak itu, sampai mengenai dan menembus tulang, kemudian dari lubang jarum akan disedot sumsum dari dalam tulang anak itu!
Bouw Lek Couwsu menyeringai lebar dan Siang-mou Sin-ni tersenyum manis. Matanya berkilat-kilat penuh nafsu, ketika tersenyum bibirnya tampak merah seperti berlepotan darah dalam pandangan Kiang Liong, gigi yang berderet rapi dan putih itu seakan-akan bercaling.
“Hanya sedikit darah dan sumsum untukku, tidak akan mematikan anak ini!” katanya sambil membalikkan tubuh anak itu menelungkup di atas meja. Sekali tangan kirinya bergerak, ia sudah merobek baju atas dan tampaklah punggung Han Ki yang putih dan sehat.
Kini wajah Siang-mou Sin-ni tampak buas oleh nafsu yang menggelora. Tangannya agak menggigil. Setelah jari-jari tangan kirinya meraba-raba punggung atas di bawah tengkuk, tangan kanannya yang memegang jarum emas mulai bergerak perlahan, menempelkan ujung jarum ke kulit punggung anak itu, siap untuk menusuk.....

selanjutnya >>>>>>>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)