MUTIARA HITAM : JILID-17
Ia menahan napas mengumpulkan semangat, lalu turun melalui cabang-cabang
pohon itu ke bawah, dari cabang yang melengkung ke bawah itu ia merayap
terus berpegangan dan berpijak pada batu-batu gunung dan akar-akaran,
terus merayap ke bawah dengan cepatnya. Sebelum ia mencapai dasar jurang
yang amat curam dan seolah-olah tiada batasnya ini, ia mendengar suara
ramai-ramai di sebelah atas kepalanya. Agaknya puluhan orang yang
mengejar dari atas tadi sudah lewat di dekat pohon dan karena tidak
melihatnya maka terus berlari melewati pohon.
Akan tetapi Kiang Liong masih tetap hati-hati dan ia terus merayap turun secepatnya. Ia khawatir kalau-kalau ada yang mengejarnya sebelum ia sampai di dasar jurang. Kekhawatirannya ternyata terbukti ketika tiba-tiba terdengar sambaran angin dari atas. Ia cepat bergantung kepada sebatang akar dan mengayun tubuhnya mengelak. Sebuah panah tangan yang hitam meluncur dekat pundaknya. Ketika ia berdongak, ia melihat lima orang hwesio berjubah merah sudah merayap turun pula mengejarnya. Kemudian hwesio-hwesio itu mengayun tangan dan kini belasan batang senjata rahasia menyambar ke bawah. Suara senjata-senjata itu bercuitan mengerikan dan sambarannya amat cepat.
Terpaksa Kiang Liong menggunakan kekuatan kakinya untuk berdiri di atas akar melintang dan ia menggunakan ujung lengan bajunya yang digerakkan kuat-kuat untuk memukul runtuh semua senjata rahasia. Namun alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa senjata-senjata rahasia ini mengandung tenaga yang jauh lebih kuat dari para pengeroyok yang telah ia robohkan tadi. Jelas bahwa tingkat kepandaian lima orang hwesio berjubah merah yang mengejarnya ini cukup tinggi dan tidak boleh dipandang ringan. Apa lagi ketika ia melihat betapa kini banyak sekali orang Hsi-hsia mulai pula menuruni tebing itu sambil berteriak-teriak. Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuhnya, Kiang Liong mempercepat gerakannya merayap turun dan akhirnya dengan hati lega ia sampai juga di atas tanah. Sungai Nu-kiang kini berada tak jauh di depan dan ia lalu lari ke tepi sungai. Akan tetapi ia tidak melihat tempat sembunyi yang baik.
Tiba-tiba ia mendengar suara halus memanggilnya dari sebelah kiri. Ketika ia menoleh, ia melihat seorang wanita cantik melambaikan tangannya, dan wanita itu berdiri di balik sebuah batu besar. Memang banyak terdapat batu-batu besar sepanjang sungai sebelah kiri, agaknya batu-batu besar ini adalah batu-batu yang gugur dan longsor dari lereng gunung.
Ia tidak tahu siapa wanita itu, akan tetapi mengingat akan tulisan surat yang ia terima di atas tadi, sangat boleh jadi wanita inilah yang memberi petunjuk kepadanya. Maka tanpa ragu-ragu lagi Kiang Liong lalu lari ke sebelah kiri dan sebentar saja ia sudah lenyap dari pandang mata para pengejarnya yang masih merayap turun hati-hati dari atas tebing, karena ia terlindung dan tertutup oleh batu-batu besar. Wanita itu sudah lenyap dan ketika Kiang Liong mencari-cari dengan pandang matanya, terdengar suara halus.
”Ke sini... masuk ke goa ini...!”
Suara itu datang dari sebuah goa yang terbentuk oleh tumpukan batu-batu besar. Sebetulnya bukan goa melainkan batu-batu besar yang bertumpuk-tumpuk dan di antara batu-batu besar itu terdapat celah-celah yang sebesar tubuh manusia. Kiang Liong berlari dan memasuki celah-celah itu. Ternyata agak dalam juga celah-celah itu dan di sebelah dalam makin lebar, ada semeter lebarnya. Tempat ini remang-remang dan tampaklah sesosok bayangan wanita yang bertubuh ramping, memberi isyarat dengan tangan agar ia masuk terus. Dalam keadaan remang-remang mereka berhadapan dan Kiang Liong dapat melihat wajah wanita itu yang cantik manis. Kiang Liong merasa pernah melihat wajah ini, akan tetapi ia lupa lagi di mana dan kapan.
“Nona siapakah dan mengapa....”
“Ssstt... belum waktunya bicara,” wanita itu berbisik, suaranya halus dan lirih, kemudian untuk dapat diterima oleh pendengarannya, ia mendekatkan mulutnya di telinga Kiang Liong. “Kongcu, kau sembunyilah di sini. Musuh terlalu banyak dan lihai....“
Berdebar jantung pemuda itu. Sejak memasuki tempat yang sempit itu tadi, bau yang amat harum telah menyengat hidungnya dan kini setelah nona itu berdiri begitu dekat, bau harum semerbak itu lebih nyata lagi keluar dari rambut yang terurai panjang. Rambut panjang! Kini teringatlah ia! Nona ini adalah gadis cantik yang pernah diganggu Bu-tek Siu-lam, yang kemudian ditolong oleh Mutiara Hitam dan si Berandal atau Tang Hauw Lam! Ketika hal itu terjadi, ia bersembunyi maka ia mengenal siapa gadis ini. Namanya Po Leng In, wanita berpakaian merah yang berambut panjang, murid dari Siang-mou Sin-ni!
“Kau... kau... murid Siang-mou Sin-ni....”
“Sstt, mereka tentu sudah dekat...!” Wanita itu berbisik lagi dan kini hawa yang hangat dari mulut wanita itu menyentuh pipinya. Agaknya saking tegang wanita itu mendekatkan mulutnya.
Kiang Liong teringat lagi akan keadaannya yang terancam pengeroyokan puluhan orang. “Bersembunyi pun percuma, tentu mereka akan dapat menemukan kita,” ia pun berbisik dan siap untuk menerjang ke luar.
Dua buah tangan yang kecil dan berkulit halus menahan dadanya. “Jangan bergerak, Kongcu. Kau tetaplah di sini, aku yang akan menahan mereka. Kau lihat saja, jangan khawatir!” Setelah berkata demikian, wanita itu melangkah ke luar.
Karena tadinya berada di sebelah dalam, untuk keluar ia harus melewati Kiang Liong. Tempat itu sempit, jadi tentu saja tubuh mereka saling merapat. Merasa betapa tubuh padat penuh tonjolan yang halus dan keras mepet di tubuhnya, Kiang Liong terpaksa memejamkan mata! Untung hanya sebentar saja godaan hebat ini dan kini Po Leng In sudah menyelinap ke luar. Karena betapa pun juga ia belum mengenal betul wanita itu dan belum tahu akan wataknya, apa lagi kalau diingat bahwa wanita itu murid iblis betina Siang-mou Sin-ni, maka dengan hati-hati Kiang Liong lalu bergerak mendekati mulut celah-celah batu untuk mengintai ke luar.
Ia melihat Po Leng In bersembunyi dibalik batu besar dan ia melihat pula lima orang pendeta berjubah merah memimpin hampir lima puluh orang Hsi-hsia berdiri mendekati tempat itu. Jantung Kiang Liong berdebar dan kedua tangannya sudah siap meraba sepasang senjatanya, matanya tajam memandang ke depan. Tiba-tiba ia melihat Po Leng In menggerakkan tubuh dan bagaikan seekor burung berbulu merah, gadis cantik manis itu melayang naik ke atas batu besar, bertolak pinggang dan dengan suara nyaring menegur ke bawah,
“Ngo-wi Suhu (Pendeta Berlima) membawa pasukan ke sini ada kepentingan apakah?”
Aneh sekali, lima orang pendeta yang usianya sudah setengah abad kurang lebih dan yang bersikap garang dan jelas memperlihatkan tanda bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, tiba-tiba bersikap hormat ketika melihat bahwa yang menegur mereka adalah nona baju merah itu. Mereka mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai tanda menghormat, kemudian seorang di antara mereka menjawab.
“Kiranya Kouwnio (Nona) yang berada di sini. Pinceng berlima dan pasukan sedang mengejar seorang pemuda berpakaian putih. Dia telah membunuh seorang saudara kami dan sudah membunuh beberapa orang anggota pasukan. Kami melihat dia tadi lari turun ke bawah dan agaknya lewat di sini....” Pendeta itu agak sangsi lalu memandang kepada nona baju merah itu dengan pandang mata tajam penuh selidik.
“Tidak ada orang lewat di sini, Twa-suhu,” kata Po Leng In, suaranya bersungguh-sungguh dan kini ia sudah melayang turun di depan lima orang hwesio itu, menghadang jalan masuk melalui dua bongkah batu besar.
Lima orang itu saling pandang, kemudian yang tertua bicara lagi, “Akan tetapi, Kouwnio. Ada di antara kami yang tadi melihat bayangan putih berlari menuju ke jurusan ini....“
“Twa-suhu! Hanya karena memandang muka ketua kalian maka aku masih bersikap sabar. Hemmm! Guruku dan kepala kalian bersahabat dan sederajat. Aku sebagai murid kepala dari guruku berarti mempunyai derajat lebih tinggi dari pada kalian yang hanya menjadi anak buah Bouw Lek Couwsu! Apakah kalian berani mengatakan bahwa aku bersekongkol dengan musuh? Apakah kalian tidak percaya kepadaku? Beranikah kalian menghina murid guruku?” Ucapan itu ketus dan keras, penuh wibawa dan pengaruhnya benar-benar hebat. Lima orang hwesio itu menjadi pucat wajahnya dan mereka menundukkan muka.
Akan tetapi pasukan yang terdiri dari orang Hsi-hsia yang kasar itu agaknya merasa penasaran. Mereka menganggap wanita muda ini sebagai tamu. Sungguh pun para pimpinan, yaitu para pendeta Tibet berjubah merah amat menghormatinya, namun belum pernah mereka menyaksikan kelihaian wanita muda yang cantik ini. Bahkan diam-diam sering kali mereka membicarakan wanita ini dalam senda gurau yang kotor. Kini melihat betapa gadis ini berani menghadang, padahal mereka percaya bahwa musuh yang dikejar lari ke jurusan ini, beberapa orang di antara mereka mulai bersungut-sungut
“Musuh tadi lari ke sini!”
“Masa harus membiarkan dia lari?”
“Dia sudah membunuh banyak teman kita!”
Melihat betapa anak buah pasukan itu mulai ribut-ribut, diam-diam Po Leng In mendongkol dan juga khawatir sekali. Kalau mereka nekat dan kemudian dapat menemukan pemuda baju putih itu, selain ia mendapat malu, juga tentu akan mendapat teguran, mungkin hukuman keras dari gurunya. Akan tetapi, apa pun yang terjadi, tak mungkin ia dapat membiarkan pemuda itu terancam bahaya maut.
“Berhenti!” bentaknya ketika melihat pasukan itu bergerak maju. “Tidak percaya kepadaku berarti menghina guruku! Siapa menghina guruku berarti akan mampus di tanganku! Lihat, siapa yang kepalanya lebih keras dari pada batu ini?”
Setelah berkata demikian, Po Leng In menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang panjang dan halus serta berbau harum itu menyambar ke depan, tampak sinar hitam dan terdengar suara meledak kecil seperti pecut. Ujung rambut menghantam batu dengan lecutan keras dan... pinggir batu yang dihantam rambut ini pecah dan remuk berhamburan seakan-akan dipukul dengan senjata tajam!
Orang-orang Hsi-hsia itu boleh jadi merupakan orang-orang yang ganas dalam perang serta kuat, namun selama hidup mereka baru kali ini menyaksikan betapa rambut, apa lagi rambut wanita yang halus lemas dan harum dapat menghancurkan batu! Mereka menjadi takjub memandang dengan mata terbelalak, bahkan ada yang mengeluarkan lidah.
Lima orang pendeta itu bukan orang-orang biasa. Andai kata mereka tidak merasa segan terhadap tamu yang dihormati kepala mereka dan andai kata Po Leng In seorang lawan, mereka pasti akan melawannya dan tidak menjadi gentar. Karena tidak ingin timbul keributan di antara mereka, maka pendeta-pendeta itu lalu menjura.
“Maaf, Kouwnio. Bukan sekali-sekali kami tidak percaya, hanya kami mohon petunjuk. Ke mana gerangan larinya buronan kami tadi?”
“Entahlah. Kalian cari ke tempat lain. Kalau di sini terang tidak ada karena sejak tadi aku pun berada di sini dan kalau ia lewat di sini, apa kalian kira aku akan membiarkannya lewat begitu saja? Huh!”
“Sekali lagi maaf, Kouwnio,” kata pendeta itu yang segera memberi komando kepada pasukannya. “Hayo kita cari ke jurusan lain. Tak mungkin ia akan dapat menghilang begitu saja!”
Setelah lima orang pendeta itu bersama pasukannya beramai-ramai pergi mencari ke jurusan lain, barulah Po Leng In berani memasuki goa kecil itu. Ia tersenyum kecil ketika melihat Kiang Liong berdiri. dengan sikap tegang.
“Terpaksa untuk sementara waktu engkau bersembunyi dulu di sini, Kongcu. Biarlah aku menjaga di luar goa ini dan kita dapat bercakap-cakap tanpa khawatir didengar atau diintai orang.” Sambil tersenyum manis ia keluar lagi, lalu duduk di luar celah batu. Dari tempat itu ia dapat melihat ke sekelillng sehingga ia akan dapat melihat lebih dulu kalau ada orang datang. “Duduklah Kongcu dan mari kita bercakap-cakap.”
Sambil menarik napas panjang Kiang Liong duduk di mulut goa, agak ke dalam. Dari tempat ia duduk itu ia dapat melihat wajah Po Leng In yang cantik manis, wajah yang ditimpa cahaya matahari, dan bentuk tubuh yang membayang di dalam pakaian merah yang tipis.
“Nona, mengapa engkau menolongku? Bukankah engkau murid Siang-mou Sin-ni dan kalau tidak keliru dugaanku, mendengar percakapan tadi agaknya gurumu Siang-mou Sin-ni yang membantu Bouw Lek Couwsu, kepala para pendeta Tibet berjubah merah. Bukankah gurumu dan Bouw Lek Couwsu itu yang telah membasmi tokoh-tokoh Beng-kauw?”
Po Leng In mengangguk dan sepasang mata yang tajam itu menatap wajah Kiang Liong. “Benar dugaanmu, Kongcu.”
“Dan tahukah engkau siapa aku?”
Po Leng In menggeleng kepala. “Aku tidak tahu engkau siapa, Kongcu. Hanya aku tahu engkau bukan orang-orang Beng-kauw. Ilmu silatmu sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa engkau anak murid Beng-kauw. Yang aku tahu hanya bahwa engkau seorang pria yang gagah perkasa dan terutama sekali bahwa... bahwa, engkau telah menyelamatkan nyawaku dengan sambitan kerikil dari tangan Bu-tek Siu-lam.”
Kiang Liong berpikir sejenak, kemudian berkata. “Nona, tentang perbuatanku mencegah Bu-tek Siu-lam membunuhmu adalah kewajiban setiap orang, tak perlu kau berterima kasih. Sebaliknya, kau berusaha menolongku dari pengeroyokan para pendeta Tibet dan anak buahnya. Sungguh pun aku merasa bersyukur dan berterima kasih kepadamu, namun hal itu sebetulnya tidak begitu perlu kau lakukan karena aku tidak takut menghadapi mereka.”
“Aku tahu akan kelihaianmu, Kongcu. Akan tetapi... tanpa petunjukku bagaimana mungkin kau akan dapat pergi memasuki markas para pendeta Tibet dan menolong tiga orang cucu ketua Beng-kauw itu?”
Kiang Liong terkejut dan juga girang sekali sehingga tanpa ia sadari lagi tangannya bergerak memegang tangan gadis itu yang berkulit halus dan hangat.
“Bagaimana kau bisa tahu? Betulkah kau mau menolongku?”
Po Leng In tersenyum. Ketika ia memandang ke arah tangan Kiang Liong yang memegang tangannya, kedua pipinya merah dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan jari-jari tangannya bergerak balas menggenggam tangan pemuda itu. Ketika jari-jari tangan gadis itu memijit-mijit dan menggetar, barulah Kiang Liong sadar dan perlahan-lahan ia menarik kembali tangannya, bibirnya tersenyum.
Kiang Liong adalah seorang pemuda tampan, putera pangeran pula. Di kota raja namanya sudah amat terkenal, bukan hanya terkenal karena keampuhannya dan kegagahannya, juga terkenal sebagai pemuda yang tak pernah menolak perhatian wanita-wanita cantik! Dia bukan seorang mata keranjang yang suka mengganggu wanita, apa lagi menggunakan kepandaian dan ketampanan memaksa wanita, sama sekali ia tidak pernah melakukan hal buruk ini.
Akan tetapi ia seorang yang mempunyai watak amat romantis dan karena ini agaknya maka setiap kali ada wanita cantik tergila-gila kepadanya dan memperlihatkan tanda-tanda mencinta, ia akan menerima dengan kedua lengan terbuka. Dan amat banyaklah wanita cantik tergila-gila kepadanya sehingga ia amat terkenal di kota raja. Bahkan kenalan-kenalan keluarga orang tuanya, mereka yang mempunyai isteri-isteri cantik amat berhati-hati dan tidak memberi kesempatan kepada isteri-isteri mereka untuk bertemu dengan pemuda ganteng ini!
“Aku tahu, Kongcu, karena selama ini aku mengikutimu. Apa kau kira aku dapat melupakan engkau begitu saja setelah kau menyelamatkan nyawaku? Aku tahu tentang cucu laki-laki ketua Beng-kauw yang tertawan, juga tentang dua orang gadis yang terculik ketika kau bertanding melawan Siauw-bin Lo-mo. Tanpa bantuanku, jangan harap kau akan dapat menolong mereka, karena selain amat sukar untuk menyelundup ke dalam markas, juga Bouw Lek Couwsu dan para pembantunya amat kuat, belum lagi kalau diingat bahwa guruku juga berada di sana! Nah, apakah kau sekarang tidak perlu dengan bantuanku?” Sepasang mata yang bening dan genit itu memandang penuh arti, bibir yang merah itu tersenyum menantang.
“Ah, sungguh kau baik sekali, Nona. Tentu saja aku membutuhkan bantuanmu! Kalau aku berhasil menolong mereka, budimu amat besar dan aku Kiang Liong takkan melupakan budi pertolonganmu itu!”
“Betulkah itu, Kongcu? Sampai berapa besarnya kau akan ingat budiku? Ah, Kongcu, aku murid Siang-mou Sin-ni, ingat? Apakah kau betul telah percaya kepadaku dan tidak khawatir kalau aku menipu dan menjebakmu?”
“Aku memang merasa heran sekali mengapa engkau melakukan semua ini untukku. Tak mungkin kalau hanya untuk membalas budi saja. Aku sudah cukup banyak mendengar tentang Siang-mou Sin-ni. Biar pun baru sekarang aku berjumpa denganmu, namun sebagai murid Siang-mou Sin-ni, janggallah kalau kau begitu ingat budi, bahkan akan membelakangi gurumu sendiri demi untuk membantuku. Nona, katakanlah terus terang, apa yang kau kehendaki dan mengapa kau membantuku?” Sekarang Kiang Liong memandang tajam penuh selidik.
Po Leng In tertawa manis, giginya yang putih berkilauan dan berderet rapi tampak menarik sekali. Tanpa ragu-ragu Po Leng In menaruh tangannya di pundak pemuda itu dan sekali menggerakkan kepala, rambutnya yang panjang hitam dan harum itu berpindah ke depan dada. Bau harum menyambar ke hidung Kiang Liong yang tidak dapat menahan diri lagi, tangannya memegang dan membelai rambut yang panjang halus dan harum itu.
“Kata-katamu betul, Kongcu. Memang orang-orang seperti guruku dan aku, kami sama sekali tidak peduli tentang budi. Andai kata yang menolongku tempo hari bukan kau, aku pun tidak akan peduli lagi. Akan tetapi, engkau lain lagi. Begitu bertemu, aku tahu bahwa engkau seorang pemuda yang selain ganteng, juga gagah perkasa dan kuat lahir batin. Engkau tenang, tidak ceroboh, berpengalaman dan berhati teguh seperti gunung. Anehkah kalau aku jatuh cinta kepadamu? Koko (Kanda), aku cinta kepadamu, bersikaplah manis kepadaku dan aku akan menyerah kepadamu, akan membantumu dan kalau perlu bertaruh nyawa untukmu!”
Dengan sikap manja dan memikat, tangan kecil halus yang tadinya berada di pundak itu kini bergerak merayap, lengan itu merangkul leher Kiang Liong. Biar pun muka mereka sudah saling berdekatan sehingga napas wanita itu sudah menyentuh hidung dan mulutnya, namun Kiang Liong masih tenang dan tersenyum sambil menatap tajam. Tangannya yang tadi membelai kini menjambak rambut, menarik sedikit sehingga muka yang tadi berkulit halus kemerahan, mata yang merayu-rayu, bibir yang menggetar itu agak tertarik menjauh.
Keteguhan hati Kiang Liong inilah yang membuat banyak wanita tergila-gila kepadanya. Menghadapi wajah cantik jelita dan cumbu rayu yang akan mencairkan hati seorang pendeta, ia tetap teguh dan tenang, tak pernah ia dirobohkan oleh keteguhan hatinya sehingga selalu si wanita yang terpikat. Biar pun Kiang Liong seorang pria yang romantis dan tidak menolak cinta kasih wanita cantik, namun ia bukan seorang lemah.
“Betulkah semua kata-katamu ini? Leng In, betulkah kau akan membantuku menolong Siang Kui, Siang Hui, dan Han Ki dari tangan mereka setelah aku melayani cinta kasihmu?”
“Betul... betul..., aku bersumpah...” Po Leng In terengah-engah, napasnya diburu nafsu sendiri.
“Dan kau benar-benar menghendaki aku...?”
Po Leng In mengangguk-angguk dan seluruh tubuhnya lemas. Ketika Kiang Liong melepaskan jambakannya, dia menjatuhkan mukanya di atas dada Kiang Liong yang tersenyum mengejek sambil memeluknya.
Semalam itu mereka berdua tidak keluar dari dalam goa yang lebarnya hanya satu meter itu. Po Leng In yang mabuk cinta seolah-olah menjadi makin lemas di tangan Kiang Liong sehingga ia menceritakan semua keadaan orang Hsi-hsia. Kiranya orang-orang Hsi-hsia itu diperalat oleh para pendeta Tibet jubah merah yang dikepalai oleh Bouw Lek Couwsu.
Pendeta jubah merah Bouw Lek Couwsu ini memiliki kepandaian yang dahsyat dan merupakan pendeta yang murtad di Tibet sehingga ia dimusuhi oleh para pendeta lain. Untuk menyelamatkan diri karena tidak kuat menentang pendeta-pendeta Tibet yang banyak di antaranya amat sakti, Bouw Lek Couwsu melarikan diri dari Tibet bersama murid-murid dan pengikut-pengikutnya, yaitu para pendeta jubah merah. Dengan ilmu kepandaiannya, Bouw Lek Couwsu akhirnya dapat menalukkan Hsi-hsia yang gagah berani dan ulet, bahkan berhasil melatih mereka menjadi pasukan yang kuat. Setelah memiliki pasukan kuat, mulailah Bouw Lek Couwsu mencari kesempatan memukul musuh-musuhnya.
Ia menganggap Kerajaan Sung masih terlampau kuat untuk dipukul, maka ia lalu mengalihkan perhatian kepada Kerajaan Nan-cao yang kecil dengan maksud menalukkan kerajaan ini untuk memperbesar pengaruh dan kekuasaan. Dalam usahanya ini Bouw Lek Couwsu teringat akan sahabat baiknya, juga bekas kekasihnya, yaitu, Siang-mou Sin-ni!
Kalau Siang-mou Sin-ni adalah seorang wanita yang tak pernah tua lahir batinnya, maka Bouw Lek Couwsu biar pun berpakaian pendeta, juga merupakan seorang laki-laki tampan gagah yang tak pernah tua lahir batinnya pula. Karena terlalu suka mengganggu wanita cantik inilah maka ia dimusuhi di Tibet sehingga ia kehilangan sebelah kakinya. Ia segera mengunjungi Siang-mou Sin-ni yang sudah bertahun-tahun tak pernah turun di dunia kang-ouw semenjak Thian-te Liok-kwi dihancur-binasakan oleh Suling Emas dan para orang gagah.
Karena pada dasarnya memang berwatak rendah, bekas selir kaisar yang lebih terkenal dengan julukan Siang-mou Sin-ni dan yang sudah bertahun-tahun bertapa di pulau kosong di laut selatan ini tertarik oleh bujukan Bouw Lek Couwsu bekas kekasihnya, lalu ikut membantu dan tentu saja kesempatan ini tidak disia-siakan oleh mereka berdua untuk mengikat kembali hubungan mereka yang telah putus selama bertahun-tahun.
“Beng-kauw boleh jadi amat kuat dan banyak terdapat orang pandai, akan tetapi menghadapi serbuan Bouw Lek Couwsu dibantu oleh guruku, mana mereka mampu mempertahankan diri? Di antara para pendeta jubah merah banyak pula yang memiliki kepandaian tinggi. Itulah sebabnya mengapa ketua Beng-kauw dan beberapa orang pimpinan Beng-kauw dapat ditewaskan dan anak laki-laki itu amat disuka oleh guruku, maka diculik. Penyerbuan untuk menjatuhkan Kerajaan Nan-cao tentu saja gagal karena sesungguhnya bukan itulah yang diutamakan Bouw Lek Couwsu, melainkan memukul Beng-kauw yang menjadi musuh besarnya.”
Semua diceritakan oleh Po Leng In dan ia menjadi makin tergila-gila kepada Kiang Liong. Selama hidupnya belum pernah Po Leng In bertemu dan mendapatkan seorang pemuda seperti ini, penuh kegagahan, penuh kejantanan. Semalam suntuk sambil bercerita, Po Leng In mempergunakan segala bujuk rayu dan keahliannya dalam bercinta untuk menjatuhkan hati Kiang Liong, namun sebaliknya dia sendirilah yang jatuh dan menjelang pagi, ia menjadi penurut dan patuh kepada laki-laki itu seperti seekor domba yang lemah.
“Koko..., akan kubantu kau menolong kedua orang nona dan anak laki-laki itu... biar pun untuk itu aku harus mempertaruhkan nyawa...,“ bisiknya sambil merangkul.
Setelah matahari mulai menyinarkan cahayanya di permukaan bumi, barulah mereka berdua keluar dari dalam goa batu. Wajah Po Leng In yang pucat itu kini berseri gembira, rambutnya kusut namun menambah kecantikan wanita yang berambut panjang ini. Sambil melangkah ke luar ia menggandeng tangan Kiang Liong yang sikapnya masih tenang dan sama sekali tidak tampak perubahan.
“Mari, Koko. Mari kita berangkat. Akan tetapi berhati-hatilah. Jangan kau pandang rendah kepandaian Bouw Lek Couwsu, apa lagi kepandaian guruku.”
Kiang Liong mengangguk. “Aku sudah banyak mendengar tentang kepandaian gurumu dan aku tidak takut.”
Po Leng In menghentikan langkahnya, merangkul dan mengusap-usap dagu yang membayangkan kekerasan dan kekuatan itu sambil tersenyum. “Aku tahu bahwa engkau lihai sekali, Koko. Akan tetapi guruku sekarang bukan seperti dahulu ketika masih suka muncul di dunia kangouw. Engkau tentu tidak pernah mendengar bahwa guruku kini telah dan sedang memperdalam ilmu mukjijat Hun-beng-to-hoat (Ilmu Patahkan Semangat) dan untuk menyempurnakan ilmu itulah maka ia menculik Han Ki itu....“
Kiang Liong yang sedang dicium itu lalu memegang kedua pundak Po Leng In, dan mendorongnya agak menjauh, memandang wajahnya penuh selidik dan bertanya, suaranya keras. “Apa kau bilang? Diculik untuk... kau maksudkan...?”
“Ya, Koko. I-kin-hoan-jwe (Ganti Urat Pindahkan Sumsum)!”
“Celaka! Mari kita cepat-cepat menolongnya!” Setelah berkata demikian, Kiang Liong menyambar lengan Po Leng In dan secepat terbang mereka berdua lalu lari menuju ke tempat persembunyian Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu.
Kiang Liong bukan tidak maklum bahwa ia sedang menuju ke tempat yang amat berbahaya, seperti goa singa dan telaga naga, akan tetapi mendengar akan bahaya yang mengancam Han Ki, ia tidak pedulikan itu semua. Lebih-lebih lagi ketika di tengah jalan ia mendengar Po Leng In bercerita bahwa Bouw Lek Couwsu adalah seorang tokoh tua yang percaya akan ilmu menambah semangat dan tenaga yang didapat dari gadis-gadis muda, maka tahulah ia mala-petaka hebat sekali mengancam pula keselamatan Siang Hui dan Siang Kui!
Yang dimaksudkan oleh Po Leng In tentang I-kin-hoan-jwe memang merupakan latihan ilmu hitam yang amat keji. Untuk melatih ilmu ini guna memperdalam Hun-beng-to-hoat yang mukjijat, diperlukan seorang anak laki-laki yang bertulang bersih dan berdarah murni. Siang-mou Sin-ni yang melatih ilmu ini telah lama sekali mencari-cari dan entah sudah berapa banyaknya anak laki-laki menjadi korbannya, namun ilmunya masih kurang sempurna karena belum pernah ia mendapatkan seorang anak laki-laki yang benar-benar memenuhi syarat.
Han Ki adalah putera Kam Bu Sin dan Liu Hwee, dua orang yang berdarah pendekar, maka Han Ki merupakan seorang anak laki-laki yang benar-benar memenuhi syarat. Begitu melihat anak ini, Siang-mou Sin-ni sudah menjadi girang sekali dan ia lalu menculik Han Ki. I-kin-hoan-jwe dilakukan dengan cara yang amat mengerikan, yaitu perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, setiap hari anak itu akan disedot darah dan sumsumnya. Tidak disedot sekaligus sampai mati, melainkan sedikit demi sedikit sambil setiap hari diberi makan obat-obat penambah darah dan sumsum. Tentu saja akhirnya anak ini akan mati juga, karena selain kehabisan darah dan sumsum, terutama sekali karena hawa murni dalam tubuhnya sedikit demi sedikit tersedot ke luar dan pindah ke tubuh orang yang melatih diri dengan ilmu hitam itu!
Kiang Liong yang sudah pernah mendengar penuturan suhu-nya tentang pelbagai ilmu hitam tentu saja menjadi ngeri dan mempercepat larinya untuk segera menolong tiga orang anak paman gurunya. Kalau perlu ia akan mempertaruhkan nyawanya!
********************
Kwi Lan lari sambil menggigit bibir, menahan tangis. Hatinya mengkal bukan main. Ia marah, kecewa, duka dan penasaran. Ia telah bertemu dengan pendekar sakti Suling Emas dan makin kagumlah hatinya menyaksikan sepak terjang pendekar sakti itu. Makin banggalah hatinya bahwa pendekar sakti yang hebat itu, hebat kepandaiannya dan hebat pula orangnya, adalah kekasih ibu kandungnya! Akan tetapi justru hal inilah yang selain mendatangkan kebanggaan hati, juga mendatangkan penyesalan, kekecewaan, kemarahan dan penasaran.
Kalau pendekar sakti ini kekasih ibu kandungnya, mengapa mereka saling berpisah? Mengapa Suling Emas meninggalkan ibu kandungnya yang menjadi Ratu Khitan? Dan mengapa pula ia menjadi anak Ratu Khitan? Kalau ibu kandungnya itu bukan isteri Suling Emas, berarti dia adalah anak Ratu Khitan dengan orang lain. Alangkah akan bahagia hatinya kalau Suling Emas menjadi suami ibu kandungnya. Ia berayah Suling Emas! Alangkah hebatnya! Dan sebaliknya, kalau Suling Emas itu bukan bekas kekasih ibunya, tentu ia akan suka menjadi sahabatnya, sahabat baik!
Kwi Lan menghela napas panjang dan berhenti lari, menghempaskan dirinya di atas rumput. Ia sudah berlari lama dan jauh, lega bahwa pendekar sakti itu tidak mengejarnya karena kalau mengejarnya, ia tidak tahu bagaimana akan dapat melarikan diri. Hatinya tertarik sekali oleh Suling Emas. Ia sendiri merasa heran mengapa begitu.
Dalam pandangannya, Suling Emas yang sudah tua dan yang rambutnya sudah bercampur uban itu lebih menarik dan menyenangkan dari pada orang-orang muda gagah perkasa yang pernah ditemuinya. Lebih menarik dari pada Yu Siang Ki si Pengemis Muda yang halus, lebih menang dari pada Tang Hauw Lam yang berandalan dan lucu, lebih hebat dari pada Siangkoan Li yang gagah dan tampan! Alangkah akan senangnya melakukan perjalanan bersama Suling Emas, tentu akan terasa aman dan tenteram di samping seorang pendekar yang demikian saktinya, sebagai seorang sahabat baik! Atau sebagai anak, atau murid!
“Ah, tapi dia sudah menghina ibuku...! Katanya dia kakak angkat ibu kandungku yang menjadi Ratu di Khitan, akan tetapi juga sebagai kekasih... hemmm, tentu kekasih yang tidak setia, buktinya ibuku telah ditinggalkannya!”
Kwi Lan meloncat bangun, membanting-banting kakinya lalu berjalan pergi. Ia akan mencari ibunya ke Khitan dan bertanya tentang Suling Emas! Kemudian ia teringat akan Tang Hauw Lam dan seketika wajahnya yang muram menjadi berseri gembira. Tak mungkin ia bermuram kalau teringat kepada si Berandal itu. Bagaimana Hauw Lam dapat muncul ketika ia hendak menolong Po Leng In dari tangan Bu-tek Siu-lam? Dan ketika ia dibawa lari Thai-lek Kauw-ong, ke mana perginya si Berandal itu?
Sambil bertanya-tanya arah perjalanan ke Khitan, Kwi Lan melanjutkan perjalanannya dan beberapa hari kemudian ia melihat banyak orang menunggang kuda memasuki sebuah dusun yang ramai. Karena Kwi Lan juga bermaksud menuju ke dusun itu yang menurut keterangan adalah dusun Ci-cung yang terletak di tepi sungai, maka ia pun mempercepat langkahnya memasuki dusun itu. Debu masih mengebul di atas jalan yang baru saja dilalui rombongan orang sebanyak belasan orang tadi.
Hati Kwi Lan tertarik karena ia melihat betapa seorang di antara mereka di dahinya terhias mutiara. Seorang anggota Thian-liong-pang, seorang di antara dua belas Cap-ji-liong! Mau apakah orang-orang Thian-liong-pang itu datang ke tempat ini, pikirnya. Ia tahu bahwa kalau bertemu dengan mereka tentu akan terjadi keributan, akan tetapi tentu saja Kwi Lan tidak takut. Ia bukan mencari perkara, melainkan ia bermaksud melanjutkan perjalanan dengan perahu melalui sungai di dusun itu. Untuk memenuhi maksudnya, ia tidak peduli apakah ada setan atau iblis yang menghadangnya!
Dusun itu ternyata ramai karena merupakan pelabuhan perahu-perahu yang berlayar di sepanjang sungai. Di dekat pantai terdapat sebuah kelenteng. Kwi Lan merasa heran karena tidak melihat belasan orang Thian-liong-pang tadi di dalam dusun. Apakah mereka itu hanya lewat saja di dalam dusun lalu melanjutkan perjalanan melalui pintu sebelah sana? Mungkin sekali dan ia tidak peduli, juga tidak bertanya-tanya tentang mereka.
Karena dusun itu banyak dilewati orang-orang asing yang melakukan perjalanan, dan karena pada masa di mana perang selalu mengancam daerah perbatasan, maka semua orang, juga wanita-wanita membawa pedang. maka munculnya Kwi Lan tidaklah amat mengherankan orang. Kalau orang memandangnya, adalah karena terpesona oleh kecantikannya saja, bukan mengherankan pedangnya dan kejanggalan seorang wanita muda melakukan perjalanan sendirian saja. Kwi Lan yang tidak bermaksud menginap di dalam dusun ini langsung pergi ke pantai untuk mencari perahu.
Dalam perjalanan mencari perahu inilah ia lewat di depan kuil dan melihat tiga huruf Ban Hok Tong di depan kelenteng, juga melihat beberapa orang hwesio sibuk melayani orang-orang yang bersembahyang di kelenteng. Sebetulnya Kwi Lan tidak akan mempedulikan kelenteng ini, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar ringkik kuda di sebelah belakang kelenteng sehingga hatinya tertarik dan teringatlah ia akan belasan orang Thian-liong-pang tadi. Hemm, agaknya mereka itu tadi masuk ke dalam kelenteng ini, pikirnya. Mengapa orang-orang Thian-liong-pang yang jumlahnya belasan, orang itu bermalam di dalam sebuah kelenteng?
“Ah, peduli amat dengan mereka!” Akhirnya ia berkata dalam hati dan kembali melangkahkan kaki meninggalkan depan kelenteng menuju ke pelabuhan di mana terdapat banyak perahu-perahu besar kecil dan kesibukan orang-orang yang mengangkut dan membongkar muatan. Mereka yang sibuk di pelabuhan itu semua adalah laki-laki dan mulailah Kwi Lan dihujani pandang mata yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat. Di dalam dusun seperti itu memang jarang terdapat wanita cantik seperti Kwi Lan dan kalau pun ada di antara para tamu, mereka itu tidak datang seorang diri dan secara berterang seperti ini, memberi kesempatan kepada setiap orang untuk memandangnya.
Kwi Lan tidak peduli dan selagi ia hendak bertanya untuk mencari perahu sewaan, tiba-tiba terdengar bentakan keras, “Minggir! Heiii, kau... minggir!”
Dua orang laki-laki tinggi besar berjalan cepat dan mendorong seorang yang sedang sibuk bekerja untuk membuka jalan. Para pekerja itu adalah orang-orang kasar yang kuat, maka mereka menjadi marah. Seorang di antara nelayan yang kena dorong hampir jatuh tertimpa keranjang ikan yang dipanggulnya. Segera ia meloncat bangun.
“Dari mana datangnya dua ekor kerbau...?” Akan tetapi hanya sampai di situ ia dapat membuka mulut karena seorang di antara dua laki-laki tinggi besar itu sudah mengayun kakinya dan... si Nelayan terlempar jatuh ke dalam sungai!
Dua orang laki-laki tinggi besar itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, bertolak pinggang dan berkata, “Hayo, siapa lagi yang berani?”
Melihat betapa seorang temannya sampai terlempar ke sungai, empat orang nelayan menjadi marah. Mereka ini juga tinggi besar dan kuat. Sambil memaki mereka ini serentak maju menyerang, akan tetapi begitu dua orang itu menggerakkan kaki kanannya, terdengar jerit-jerit kesakitan dan empat orang nelayan itu pun jatuh tersungkur dengan hidung berdarah dan muka meringis kesakitan. Demikian cepat gerakan dua orang tinggi besar ini sehingga mereka tidak tahu bagaimana mereka tadi dapat dirobohkan.
“Masih ada lagi?” Mereka berdua menantang dan semua nelayan menjadi gentar.
Seorang di antara mereka yang sudah tua segera maju dan mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Maafkan kami, Tuan. Apakah yang dapat kami lakukan untuk Ji-wi (Anda Berdua) dan karena tidak mengenal orang gagah maafkan kelancangan kawan-kawan kami. Apakah yang Ji-wi kehendaki?”
Dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya empat puluhan tahun itu tersenyum menyeringai, tampak puas dan bangga. Setelah memandang ke sekeliling lalu berkatalah seorang di antara mereka yang brewok. “Sediakan perahu yang bercat merah itu untuk kami. Besok pagi-pagi kami pakai.” Dia menuding ke arah sebuah perahu kosong. Perahu itu bercat merah dan kelihatan memang paling baik di antara perahu-perahu yang berlabuh di situ. Perahu itu masih baru, agaknya belum lama diturunkan di sungai.
“Ahh, Ji-wi hendak menyewa perahu? Baiklah, akan tetapi perahu merah itu tak mungkin dapat disewakan karena besok akan dipakai mengantar pengantin...”
“Apa kau bilang? Kami berani bayar sewanya dan siapa pun juga tidak boleh mendahului kami. Pendeknya, sediakan perahu itu besok pagi-pagi, kalau tidak... kau yang akan kami lemparkan ke dalam sungai!”
Nelayan tua itu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi sambil membungkuk-bungkuk ia berkata, “Baik..., baik... dan sewanya...“
“Berapa pun akan kami bayar! Kami hendak memeriksanya dulu!” Dua orang tinggi besar itu diantar oleh nelayan tua menuju ke perahu cat merah.
Mereka melangkah masuk dan... tercenganglah mereka melihat Kwi Lan sudah duduk di dalam perahu itu sambil tersenyum manis! Kiranya Kwi Lan yang tadi mengikuti percekcokan menjadi tak senang dengan sikap dua orang itu, maka diam-diam ia lalu memasuki perahu cat merah yang dipilih oleh dua orang itu secara paksa.
“Eh, mau apa kalian berdua longak-longok seperti monyet dan tanpa ijin memasuki perahu yang sudah kusewa ini?” kata Kwi Lan sambil tersenyum mengejek.
Sejenak dua orang tinggi besar itu tertegun. Mereka kagum akan kecantikan gadis dalam perahu dan mendengar bentakan itu, mereka terkejut dan saling pandang. Kemudian seorang di antara mereka yang brewok tadi dapat menenangkan hatinya lalu menoleh kepada nelayan tua yang juga bengong terlongong. “Eh, Paman tua, apakah ini yang akan menjadi pengantin? Cantik benar!”
“Bu... bukan, bukan dia... saya tidak mengenalnya..., Nona, siapakah kau dan mau apa kau di sini?”
“Paman tua, aku lebih dulu memasuki perahu ini, berarti aku lebih dulu menyewanya. Dua orang kasar seperti monyet ini boleh mencari perahu lain untuk disewa atau... mereka ini boleh terjun ke air!”
Pada waktu itu, dua orang tinggi besar tadi sudah melihat gagang pedang di pinggang Kwi Lan dan ketika melihat sebuah mutiara hitam bersinar di gagang pedang itu, mereka terkejut.
“Mu... Mutiara Hitam...?” teriak mereka sambil mencabut golok.
“Hemm, kiranya orang-orang Thian-liong-pang yang tak kenal mampus!” seru Kwi Lan tanpa bangkit dari tempat duduknya.
Melihat gerakan dua orang yang menerjangnya ini, Kwi Lan memandang rendah. Saat mereka sudah menubruk maju diikuti teriakan kaget dan ngeri dari kakek nelayan, secepat kilat kedua kaki Kwi Lan bergerak menendang ke depan. Ia menggunakan kedua tangan untuk menekan papan perahu sehingga kedua kakinya dapat melakukan tendangan sekaligus. Tepat sekali ujung kedua sepatunya mencium sambungan lutut dua orang lawan itu.
“Krekk!” terdengar suara dan... sambungan lutut kanan mereka terlepas.
Tentu saja mereka itu seketika ambruk dan sebelum tubuh mereka menyentuh papan perahu, kembali kedua kaki Kwi Lan bergerak, kini mendorong dada mereka. Tak dapat dicegah lagi tubuh dua orang laki-laki tinggi besar itu terlempar masuk ke dalam sungai!
Biar pun bagi Kwi Lan peristiwa ini biasa saja, namun bagi para nelayan merupakan hal yang amat hebat. Hampir mereka tak dapat percaya betapa hanya dengan dua buah kaki yang kecil mungil, tanpa menggerakkan tangan dan tanpa bangkit dari tempat duduknya, gadis remaja cantik manis itu mampu melemparkan dua orang lawan kuat ke dalam sungai dengan tulang lutut terlepas sambungannya! Mereka bersorak-sorai dan mentertawai dua orang laki-laki tadi yang kini dengan susah payah berenang ke tepi sungai. Lenyaplah kegagahan mereka berdua yang terpaksa harus pergi dengan sebelah kaki meloncat-loncat sambil menyumpah-nyumpah!
Seketika Kwi Lan dirubung para nelayan yang kagum. Mereka berbondong menawarkan perahu mereka untuk mengantar gadis ini melakukan pelayaran ke utara, akan tetapi Kwi Lan tersenyum dan berkata, “Aku hanya membutuhkan sebuah perahu dan karena yang kupilih perahu merah ini, maka perahu inilah yang akan kusewa. Sudah, kalian pergilah, aku ingin mengaso.”
Pada saat itu, seorang nelayan datang berlari-lari dan melaporkan kepada Kwi Lan bahwa dua orang tinggi besar itu lari terpincang-pincang ke dalam kuil Ban-hok-tong. “Harap Nona hati-hati, bahaya besar mengancam. Kiranya dua orang itu temannya banyak sekali dan galak-galak.”
“Tak perlu melayani mereka.”
“Tapi... harap Lihiap (Pendekar Wanita) sudi mengasihani kami,” kata nelayan tua. “Lihiap sudah menyaksikan sendiri betapa mereka itu ganas dan kejam terhadap kami. Kalau Lihiap pergi dari sini, tentu kamilah yang akan dijadikan korban untuk melampiaskan kemarahan mereka!”
“Huh, apa peduliku!” Kwi Lan mendengus. Memang ia tidak suka mengacuhkan urusan orang lain yang tiada sangkut pautnya dengan dirinya.
“Tapi, Lihiap... kami akan dibasmi... akan dipukuli, dibunuh...!” kata seorang nelayan lain.
“Peduli apa? Kalau kalian begitu lemah dan tidak becus melakukan perlawanan sampai terbunuh, adalah salah kalian sendiri!” Kwi Lan menjawab jengkel karena merasa terganggu.
“Tapi... semua ini terjadi gara-gara Lihiap merobohkan dua orang itu!” si Nelayan Tua menyambung. “Saya mendengar bahwa seorang gagah sekali berbuat berani menanggung segala akibatnya....”
“Cukup!” Kwi Lan membentak marah. “Aku tunda perjalananku sampai besok dan kalian lihat, malam ini akan kuhajar habis mereka itu!”
Setelah berkata demikian Kwi Lan merebahkan dirinya di atas papan perahu, dan para nelayan bubaran dengan hati lega, akan tetapi juga masih khawatir. Menurut penyelidikan mereka, jumlah pendatang di kelenteng itu ada belasan orang dan para hwesio di Ban-hok-tong sendiri kelihatan takut menghadapi mereka. Bagaimana kalau pendekar wanita muda ini sampai kalah? Tentu mereka akan mendapat bagian pahit pula. Betapa pun juga, karena harapan mereka bergantung kepada kesanggupan Kwi Lan, mereka lalu melayani gadis ini dengan hidangan dan minuman yang diterima oleh Kwi Lan dengan hati gemblra.
Benar juga, pikirnya, dia harus bertanggung jawab. Apa lagi jelas rombongan Thian-liong-pang itu tidak akan membiarkan ia lolos begitu saja. Dari pada menghadapi mereka di atas air sungai yang pernah membuat ia hampir tewas dahulu, lebih baik sekarang menghadapi mereka di darat. Turun tangan di waktu siang hanya akan menimbulkan geger di dalam dusun ini, maka lebih baik malam nanti turun tangan menghajar mereka dan mengusir mereka dari dalam dusun. Dengan pikiran ini, legalah hati Kwi Lan dan setelah makan kenyang, ia pun tidur di atas perahu dengan nyenyaknya.
Malam itu terang bulan. Tiada awan mengotori udara sehingga sinar bulan sepenuhnya menerangi bumi. Bagaikan seekor burung hantu, tubuh Kwi Lan berkelebat di antara sinar bulan. Dengan pedang terhunus di tangannya, gadis perkasa ini meloncat ke atas genteng kuil Ban-hok-tong, mendekam di atas wuwungan dan mengintai ke bawah. Sunyi sepi di kelenteng itu. Hemm, pikirnya geram, tentu mereka siap sedia menyambutku, dan sudah siap memasang jebakan.
Akan tetapi ia tidak menjadi gentar. Dengan gerakan yang lincah sekali ia lalu berlari di atas genteng, sengaja memberatkan tubuhnya sehingga menimbulkan bunyi pada genteng agar musuh muncul menyerangnya. Namun tidak terjadi apa-apa dan Kwi Lan terus berlari menuju ke belakang. Dari atas genteng di belakang bangunan ia dapat melihat halaman belakang yang luas dan terkejutlah ia ketika melihat beberapa orang hwesio sudah menjadi mayat berserakan di halaman itu. Seorang laki-laki yang mengempit tongkat membungkuk dan agaknya memeriksa mayat-mayat itu seorang demi seorang.
Kwi Lan menjadi heran sekali, tidak mau sembarangan turun tangan. Siapakah laki-laki itu dan mengapa pula hwesio-hwesio itu tewas? Ke mana perginya orang-orang Thian-liong-pang? Tentu laki-laki itu yang membunuh para hwesio, dan siapa lagi orang itu kalau bukan seorang di antara anggota dari Thian-liong-pang? Kwi Lan mengeluarkan jarumnya dan sekali tangannya bergerak, sinar hijau menyambar ke arah leher orang yang sedang memeriksa mayat-mayat itu.
Akan tetapi Kwi Lan terkejut melihat orang itu tanpa menoleh mengibaskan tangannya sehingga jarum-jarum itu runtuh oleh lengan bajunya yang lebar, kemudian lebih kaget lagi Kwi Lan ketika mendengar orang itu berkata, “Kwi Lan Siauw-moi, kau turunlah. Jarum-jarummu sudah terlalu banyak membunuh orang tak berdosa!”
Kwi Lan mengenal suara ini dan ketika orang itu kini berdiri sambil membalikkan tubuh ia mengenal wajah yang tampan itu.
“Yu Siang Ki...!” Cepat ia melayang turun sambil membawa pedangnya.
Pemuda itu memang Yu Siang Ki yang mengempit tongkatnya. Caping bututnya tergantung di belakang punggung. Kalau Kwi Lan berseri wajahnya karena pertemuan yang tak terduga-duga ini, sebaliknya Yu Siang Ki memandang dengan wajah keruh dan sepasang matanya memandang penuh teguran.
“Kenapa mereka...?”
“Kwi Lan, betapa pun kagum hatiku terhadapmu, namun sungguh aku kecewa dan menyesal melihat sepak terjangmu yang terlalu ganas. Kau terlalu mudah membunuh orang sehingga kadang-kadang kau tidak segan-segan membunuh orang-orang tak berdosa seperti mereka ini. Kwi Lan, aku tidak percaya kau memiliki dasar yang ganas dan....”
“Ihhhh, apa-apaan ini tiada hujan tiada angin suaramu menyambar-nyambar laksana kilat bergeluduk? Siang Ki, apa maksudmu memberi kuliah kepadaku?” Kwi Lan memotong dengan marah. Sepasang matanya kini menyambar seperti api, penuh selidik ke arah wajah yang tampan itu.
Akan tetapi Siang Ki tidak mundur. Wajahnya tetap muram dan suaranya tetap kering. “Kwi Lan, kalau kau membasmi dan membunuhi orang-orang jahat, aku masih dapat mengerti. Akan tetapi hwesio-hwesio ini, bukankah mereka itu orang-orang yang menjalani hidup suci, sama sekali tidak jahat dan tidak berdosa? Mengapa kau membunuh mereka ini secara keji? Apa sebabnya kau membunuh empat orang hwesio pengurus kuil Ban-hok-tong ini? Sungguh aku tidak mengerti...!”
“Apa kau bilang?” Kwi Lan kembali memotong. “Kalau kau tidak mengerti, aku lebih tidak mengerti lagi akan sikapmu yang aneh ini. Gilakah engkau, Siang Ki? Kau menuduh yang bukan-bukan. Aku tidak membunuh hwesio-hwesio itu! Kalau aku membunuh mereka, perlu apa aku takut mengaku padamu?”
Siang Ki terheran, kini dialah yang menatap wajah gadis itu yang cantik jelita tersinar cahaya bulan, penuh selidik. “Ah, mengapa kau menyangkal? Mereka itu kau bunuh...!”
“Siang Ki! Tak usah banyak cerewet. Kalau kau memang ingin memusuhiku, jangan kira aku takut. Tak perlu menggunakan alasan yang bukan-bukan, tuduhan dan fitnah yang bukan-bukan. Kalau memang kau hendak menantang, hayo, aku sudah siap!” Setelah berkata demikian, gadis ini meloncat mundur, pedangnya siap di depan dada dan ia sudah memasang kuda-kuda, matanya mencorong seperti mata harimau.
Akan tetapi Siang Ki tidak melayaninya, bahkan pemuda ini kelihatan melongo, terheran dan ragu-ragu. “Kwi Lan, aku sama sekali tidak menuduh yang bukan-bukan. Ada buktinya. Aku mengenal jarum-jarum hijaumu yang lihai, yang kau pergunakan untuk menyerangku tadi. Kau lihat, empat orang hwesio itu semua tewas karena jarum-jarum hijaumu. Lihat baik-baik leher mereka!”
Kagetlah Kwi Lan. Kemarahannya lenyap seketika terganti keheranan yang amat sangat. Ia lalu meloncat, mendekati empat mayat itu dan berjongkok memeriksa. Alangkah heran dan kagetnya ketika melihat betapa leher empat mayat itu benar-benar menunjukkan tanda-tanda keracunan, yang hanya dapat ditimbulkan oleh jarum-jarum hijaunya! Hati gadis ini menjadi penasaran. Ia menggunakan ujung pedangnya, menusuk dan mengorek ke luar sebatang jarum dari leher mayat.
“Aiihhh... aneh sekali...!” Ia berseru ketika melihat jarum hijau di ujung pedangnya. Jarum itu serupa benar dengan jarumnya dan warna hijau itu tak salah lagi adalah racun bunga hijau yang ia pergunakan untuk meracun jarum-jarumnya. Inilah jarumnya, tak salah lagi. Ia bangkit berdiri, wajahnya berubah.
Melihat wajah gadis ini, Siang Ki mulai percaya. “Kwi Lan, agaknya ada orang yang mencuri jarum-jarummu dan mempergunakannya untuk membunuh hwesio-hwesio ini,” katanya sambil maju mendekat.
Kwi Lan menggeleng kepala dan mengingat-ingat. “Tak mungkin,” katanya kemudian penuh keyakinan. “Jarum-jarumku tidak pernah terpisah dari badan, selalu berada di saku dalam bajuku. Siapa dapat mencurinya?”
“Akan tetapi buktinya, hwesio-hwesio ini tewas karena jarum-jarum hijau...“
“Benar, tak dapat disangkal lagi. Pantas saja kau menuduh aku...“
“Maafkan aku, Kwi Lan. Aku kebetulan lewat di sini. Karena curiga terhadap rombongan orang-orang Thian-liong-pang, lalu mengikuti secara diam-diam. Aku tahu akan perbuatanmu menghajar orang-orang Thian-liong-pang di sungai siang tadi, akan tetapi karena aku sedang menyelidiki mereka, aku menyembunyikan diri. Malam ini aku datang menyelidik, melihat hwesio-hwesio ini sudah tewas dan orang-orang Thian-liong-pang tidak kelihatan seorang pun di sini.”
“Hemm, tentu ada hubungannya antara mereka dengan kematian para hwesio ini.”
Yu Siang Ki mengerutkan keningnya yang tebal, “Aku meragukan hal ini, Kwi Lan. Kalau mereka yang membunuh hwesio-hwesio ini, mengapa menggunakan jarum-jarummu atau lebih tepat lagi... jarum-jarum yang serupa dengan jarum-jarummu? Mari kita kejar mereka!”
Kwi Lan mengangkat mukanya dan sepenuhnya muka itu kini tertimpa sinar bulan. Alangkah cantik jelita muka ini. Siang Ki meramkan mata dan menarik napas panjang sambil menekan isi dada yang bergerak-gerak.
“Mengapa?”
“Mereka sudah membunuh hwesio-hwesio tak berdosa!” kata Siang Ki sewajarnya. Bukankah wajar seorang pendekar menjadi marah melihat pembunuhan atas orang-orang tak berdosa?
“Hemm, bukan urusanku. Aku tidak mengenal hwesio-hwesio ini,” jawab Kwi Lan seenaknya.
Kerut di kening Siang Ki makin mendalam. Ia kagum akan kecantikan dan kelihaian gadis ini, namun kecewa melihat sikap dan wataknya. “Akan tetapi mereka telah menggunakan senjata rahasia seperti milikmu, itu berarti mencemarkan nama baikmu. Siapa tahu mereka sengaja memalsukan senjatamu.”
“Hemm, justru karena itu aku tidak mau mengejar. Mereka tentu melakukan hal ini menurut rencana dan tentu mereka akan datang mencari aku kalau tiba saatnya. Aku mau menanti di perahu dan kalau sampai besok mereka tidak datang aku akan melanjutkan perjalananku.”
“Ke mana?”
“Ke utara.”
Wajah Yu Siang Ki berseri. “Aihh, mengapa begini kebetulan? Aku pun hendak ke utara.”
“Hemmm? Benarkah?” Kwi Lan kurang percaya, menyangka bahwa pemuda ini mencari-cari alasan untuk melakukan perjalanan bersamanya.
“Mengapa tidak? Aku hendak mencari Suling Emas.”
Berdebar jantung Kwi Lan mendengar ini. “Kenapa mencari ke utara?”
“Menurut laporan anak buahku, Locianpwe itu menuju ke utara. Ada kepentingan besar sekali yang memaksa aku mencarinya ke utara.”
Kwi Lan melamun. Suling Emas ke utara? Hendak bertemu ibu kandungnya, Ratu Khitan?
“Kalau kau tidak keberatan, kita dapat melakukan perjalanan bersama.”
Kwi Lan tersenyum. “Mengapa keberatan? Asal kau tidak lagi menuduh aku dengan fitnah yang bukan-bukan seperti tadi.”
“Maafkan aku sekali lagi, Siauw-moi.” Yu Siang Ki menjura dan Kwi Lan tertawa geli.
“Mari ke perahuku. Kuharap saja mereka akan muncul agar enak kita berdua mengganyang mereka di perahu!”
Namun Yu Siang Ki tidak segembira Kwi Lan. Hatinya tetap merasa gelisah dengan munculnya hal yang merupakan teka-teki ini. Siapa pembunuh hwesio-hwesio itu? Andai kata orang-orang Thian-liong-pang, apakah maksudnya? Namun ia tidak sempat bicara lagi karena Kwi Lan sudah berkelebat dan meloncat jauh dari tempat itu. Cepat ia mengejar dan sebentar saja mereka sudah berada di perahu cat merah yang disewa Kwi Lan.
“Aku mau tidur,” kata Kwi Lan dan terus saja ia tidur telentang di atas papan perahu berbantal bungkusan pakaiannya.
Sejenak Siang Ki tertegun memandang tubuh yang melintang di depannya, kagum bukan hanya oleh keindahan bentuk tubuh, juga oleh sikap yang demikian polos dan wajar. Ah, ada remaja yang jujur dan bersih, tidak berpura-pura, liar seperti bunga mawar hutan, pikirnya terharu.
“Aku duduk menjaga di luar,” katanya dengan suara tergetar sambil duduk di atas papan melintang di kepala perahu, memandangi bulan purnama yang bermain-main di dalam air sungai.
Sinar bulan dan keadaan yang sunyi itu membuat Siang Ki melamun. Pelabuhan sungai itu sunyi sekali karena setelah peristiwa yang terjadi siang tadi, semua nelayan merasa takut dan menghentikan kegiatan pekerjaan malam. Mereka menduga bahwa tentu akan terjadi sesuatu yang hebat antara nona perkasa itu dengan para penjahat yang bermalam di Kuil Ban-hok-tong.
Siang Ki berkali-kali menarik napas panjang. Ia terpaksa meninggalkan Kang-hu karena peristiwa yang amat penting telah terjadi. Mula-mula berita itu tidak dipercayanya. Berita yang didengar dari beberapa orang pengemis anggota perkumpulannya bahwa di daerah selatan muncul Suling Emas yang memusuhi para pengemis. Mula-mula ia mengutus Gak-lokai dan Ciam-lokai untuk menyelidiki berita yang tak masuk akal itu. Dan dua orang kakek pengemis itu pulang dengan babak-belur.
Mereka telah bertemu dengan Suling Emas itu dan ternyata berbeda dengan Suling Emas yang telah menyamar sebagai Yu Kang Tianglo! Akan tetapi Suling Emas yang baru ini berpakaian seperti Suling Emas dengan tanda gambar sulaman suling di depan dadanya. Hebatnya, Suling Emas baru ini pun berkepandaian tinggi sehingga Gak-lokai dan Ciam-lokai tidak mampu menandinginya dan dirobohkan. Bahkan Suling Emas itu menantang agar supaya Yu Kang Tianglo datang sendiri menandinginya!
Mendengar ini panas hati Yu Siang Ki. Maka ia lalu melakukan perjalanan ke selatan, menemui Suling Emas ini sebagai wakil ayahnya, Yu Kang Tianglo. Ia menjadi bingung, tidak tahu mana yang tulen mana yang palsu antara Suling Emas yang pernah menyamai sebagai mendiang ayahnya dengan Suling Emas yang sekarang. Akan tetapi nyatanya, dalam belasan jurus saja ia roboh oleh orang ini! Karena inilah Yu Siang Ki lalu mengambil keputusan untuk pergi mencari Suling Emas pertama untuk dimintai tolong menghadapi Suling Emas kedua ini!
Kini duduk melamun di kepala perahu, memandang sepasang bulan yang di atas dan di dalam air, teringatlah ia akan sepasang Suling Emas yang membingungkan hatinya. Suling Emas kedua ini selain lihai juga agaknya sengaja memusuhi pihak pengemis, namun tak pernah terdengar melakukan kejahatan dan tidak pula melukai berat kepada para pengemis termasuk Gak-lokai berdua dan dirinya sendiri. Agaknya asal dapat menang cukuplah bagi Suling Emas ke dua itu!
Kembali ia menarik napas panjang memandangi dua bulan berganti-ganti, lalu tanpa disadarinya Yu Siang Ki bersenandung.
Bulan terapung di angkasa
bermain dengan mega
bercanda dengan gelombang
tak mungkin menyelaminya!
Kembali Siang Ki menarik napas panjang. Dua orang Suling Emas itu seperti dua bulan ini, bulan dan bayangannya, yang mana tulen dan mana palsu? Keduanya sakti dan sukar menyelidiki keadaannya.
“Ah... kau... kau gagah...”
Siang Ki terkejut dan menoleh. Ia melihat Kwi Lan menggeliat perlahan dan mulut gadis itu berbisik-bisik. Hatinya berdebar. Tak salahkah pendengarannya bahwa gadis itu dengan suara bisik merayu menyebutnya gagah? Tak salahkah penglihatannya bahwa gadis itu menggeliat dan seolah-olah mengharapkan dia datang membelainya? Tanpa disadarinya lagi Siang Ki melangkah maju mendekati tubuh yang masih tidur telentang itu.
Sinar bulan tertutup atap perahu sehingga wajah gadis itu terlindung dalam cuaca remang-remang. Bergerak-gerakkah bulu mata panjang lentik itu? Sampai lama Siang Ki berdiri menatap wajah yang amat cantik itu. Bibir gadis ini seperti tersenyum menantang, tangan kiri di atas perut dan tangan kanan di bawah dagu. Rambutnya harum hitam halus yang dikucir dua itu terletak di atas dada, kanan kiri, ikut bergerak-gerak turun naik bersama dadanya.
Ada dorongan hasrat yang amat kuat merangsang dari dalam dada Siang Ki, membuat ia membungkuk dan hampir saja ia mencium pipi dan bibir itu, namun kesadaran dan keteguhan hatinya menahannya. Dia seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang hidup sebagai seorang pendekar. Tak mungkin melakukan hal sekeji ini, menggunakan kesempatan selagi seorang dara tidur untuk menciumnya. Pekerjaan hina! Sama dengan mencuri, sama dengan memperkosa.....
Akan tetapi Kiang Liong masih tetap hati-hati dan ia terus merayap turun secepatnya. Ia khawatir kalau-kalau ada yang mengejarnya sebelum ia sampai di dasar jurang. Kekhawatirannya ternyata terbukti ketika tiba-tiba terdengar sambaran angin dari atas. Ia cepat bergantung kepada sebatang akar dan mengayun tubuhnya mengelak. Sebuah panah tangan yang hitam meluncur dekat pundaknya. Ketika ia berdongak, ia melihat lima orang hwesio berjubah merah sudah merayap turun pula mengejarnya. Kemudian hwesio-hwesio itu mengayun tangan dan kini belasan batang senjata rahasia menyambar ke bawah. Suara senjata-senjata itu bercuitan mengerikan dan sambarannya amat cepat.
Terpaksa Kiang Liong menggunakan kekuatan kakinya untuk berdiri di atas akar melintang dan ia menggunakan ujung lengan bajunya yang digerakkan kuat-kuat untuk memukul runtuh semua senjata rahasia. Namun alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa senjata-senjata rahasia ini mengandung tenaga yang jauh lebih kuat dari para pengeroyok yang telah ia robohkan tadi. Jelas bahwa tingkat kepandaian lima orang hwesio berjubah merah yang mengejarnya ini cukup tinggi dan tidak boleh dipandang ringan. Apa lagi ketika ia melihat betapa kini banyak sekali orang Hsi-hsia mulai pula menuruni tebing itu sambil berteriak-teriak. Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuhnya, Kiang Liong mempercepat gerakannya merayap turun dan akhirnya dengan hati lega ia sampai juga di atas tanah. Sungai Nu-kiang kini berada tak jauh di depan dan ia lalu lari ke tepi sungai. Akan tetapi ia tidak melihat tempat sembunyi yang baik.
Tiba-tiba ia mendengar suara halus memanggilnya dari sebelah kiri. Ketika ia menoleh, ia melihat seorang wanita cantik melambaikan tangannya, dan wanita itu berdiri di balik sebuah batu besar. Memang banyak terdapat batu-batu besar sepanjang sungai sebelah kiri, agaknya batu-batu besar ini adalah batu-batu yang gugur dan longsor dari lereng gunung.
Ia tidak tahu siapa wanita itu, akan tetapi mengingat akan tulisan surat yang ia terima di atas tadi, sangat boleh jadi wanita inilah yang memberi petunjuk kepadanya. Maka tanpa ragu-ragu lagi Kiang Liong lalu lari ke sebelah kiri dan sebentar saja ia sudah lenyap dari pandang mata para pengejarnya yang masih merayap turun hati-hati dari atas tebing, karena ia terlindung dan tertutup oleh batu-batu besar. Wanita itu sudah lenyap dan ketika Kiang Liong mencari-cari dengan pandang matanya, terdengar suara halus.
”Ke sini... masuk ke goa ini...!”
Suara itu datang dari sebuah goa yang terbentuk oleh tumpukan batu-batu besar. Sebetulnya bukan goa melainkan batu-batu besar yang bertumpuk-tumpuk dan di antara batu-batu besar itu terdapat celah-celah yang sebesar tubuh manusia. Kiang Liong berlari dan memasuki celah-celah itu. Ternyata agak dalam juga celah-celah itu dan di sebelah dalam makin lebar, ada semeter lebarnya. Tempat ini remang-remang dan tampaklah sesosok bayangan wanita yang bertubuh ramping, memberi isyarat dengan tangan agar ia masuk terus. Dalam keadaan remang-remang mereka berhadapan dan Kiang Liong dapat melihat wajah wanita itu yang cantik manis. Kiang Liong merasa pernah melihat wajah ini, akan tetapi ia lupa lagi di mana dan kapan.
“Nona siapakah dan mengapa....”
“Ssstt... belum waktunya bicara,” wanita itu berbisik, suaranya halus dan lirih, kemudian untuk dapat diterima oleh pendengarannya, ia mendekatkan mulutnya di telinga Kiang Liong. “Kongcu, kau sembunyilah di sini. Musuh terlalu banyak dan lihai....“
Berdebar jantung pemuda itu. Sejak memasuki tempat yang sempit itu tadi, bau yang amat harum telah menyengat hidungnya dan kini setelah nona itu berdiri begitu dekat, bau harum semerbak itu lebih nyata lagi keluar dari rambut yang terurai panjang. Rambut panjang! Kini teringatlah ia! Nona ini adalah gadis cantik yang pernah diganggu Bu-tek Siu-lam, yang kemudian ditolong oleh Mutiara Hitam dan si Berandal atau Tang Hauw Lam! Ketika hal itu terjadi, ia bersembunyi maka ia mengenal siapa gadis ini. Namanya Po Leng In, wanita berpakaian merah yang berambut panjang, murid dari Siang-mou Sin-ni!
“Kau... kau... murid Siang-mou Sin-ni....”
“Sstt, mereka tentu sudah dekat...!” Wanita itu berbisik lagi dan kini hawa yang hangat dari mulut wanita itu menyentuh pipinya. Agaknya saking tegang wanita itu mendekatkan mulutnya.
Kiang Liong teringat lagi akan keadaannya yang terancam pengeroyokan puluhan orang. “Bersembunyi pun percuma, tentu mereka akan dapat menemukan kita,” ia pun berbisik dan siap untuk menerjang ke luar.
Dua buah tangan yang kecil dan berkulit halus menahan dadanya. “Jangan bergerak, Kongcu. Kau tetaplah di sini, aku yang akan menahan mereka. Kau lihat saja, jangan khawatir!” Setelah berkata demikian, wanita itu melangkah ke luar.
Karena tadinya berada di sebelah dalam, untuk keluar ia harus melewati Kiang Liong. Tempat itu sempit, jadi tentu saja tubuh mereka saling merapat. Merasa betapa tubuh padat penuh tonjolan yang halus dan keras mepet di tubuhnya, Kiang Liong terpaksa memejamkan mata! Untung hanya sebentar saja godaan hebat ini dan kini Po Leng In sudah menyelinap ke luar. Karena betapa pun juga ia belum mengenal betul wanita itu dan belum tahu akan wataknya, apa lagi kalau diingat bahwa wanita itu murid iblis betina Siang-mou Sin-ni, maka dengan hati-hati Kiang Liong lalu bergerak mendekati mulut celah-celah batu untuk mengintai ke luar.
Ia melihat Po Leng In bersembunyi dibalik batu besar dan ia melihat pula lima orang pendeta berjubah merah memimpin hampir lima puluh orang Hsi-hsia berdiri mendekati tempat itu. Jantung Kiang Liong berdebar dan kedua tangannya sudah siap meraba sepasang senjatanya, matanya tajam memandang ke depan. Tiba-tiba ia melihat Po Leng In menggerakkan tubuh dan bagaikan seekor burung berbulu merah, gadis cantik manis itu melayang naik ke atas batu besar, bertolak pinggang dan dengan suara nyaring menegur ke bawah,
“Ngo-wi Suhu (Pendeta Berlima) membawa pasukan ke sini ada kepentingan apakah?”
Aneh sekali, lima orang pendeta yang usianya sudah setengah abad kurang lebih dan yang bersikap garang dan jelas memperlihatkan tanda bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, tiba-tiba bersikap hormat ketika melihat bahwa yang menegur mereka adalah nona baju merah itu. Mereka mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai tanda menghormat, kemudian seorang di antara mereka menjawab.
“Kiranya Kouwnio (Nona) yang berada di sini. Pinceng berlima dan pasukan sedang mengejar seorang pemuda berpakaian putih. Dia telah membunuh seorang saudara kami dan sudah membunuh beberapa orang anggota pasukan. Kami melihat dia tadi lari turun ke bawah dan agaknya lewat di sini....” Pendeta itu agak sangsi lalu memandang kepada nona baju merah itu dengan pandang mata tajam penuh selidik.
“Tidak ada orang lewat di sini, Twa-suhu,” kata Po Leng In, suaranya bersungguh-sungguh dan kini ia sudah melayang turun di depan lima orang hwesio itu, menghadang jalan masuk melalui dua bongkah batu besar.
Lima orang itu saling pandang, kemudian yang tertua bicara lagi, “Akan tetapi, Kouwnio. Ada di antara kami yang tadi melihat bayangan putih berlari menuju ke jurusan ini....“
“Twa-suhu! Hanya karena memandang muka ketua kalian maka aku masih bersikap sabar. Hemmm! Guruku dan kepala kalian bersahabat dan sederajat. Aku sebagai murid kepala dari guruku berarti mempunyai derajat lebih tinggi dari pada kalian yang hanya menjadi anak buah Bouw Lek Couwsu! Apakah kalian berani mengatakan bahwa aku bersekongkol dengan musuh? Apakah kalian tidak percaya kepadaku? Beranikah kalian menghina murid guruku?” Ucapan itu ketus dan keras, penuh wibawa dan pengaruhnya benar-benar hebat. Lima orang hwesio itu menjadi pucat wajahnya dan mereka menundukkan muka.
Akan tetapi pasukan yang terdiri dari orang Hsi-hsia yang kasar itu agaknya merasa penasaran. Mereka menganggap wanita muda ini sebagai tamu. Sungguh pun para pimpinan, yaitu para pendeta Tibet berjubah merah amat menghormatinya, namun belum pernah mereka menyaksikan kelihaian wanita muda yang cantik ini. Bahkan diam-diam sering kali mereka membicarakan wanita ini dalam senda gurau yang kotor. Kini melihat betapa gadis ini berani menghadang, padahal mereka percaya bahwa musuh yang dikejar lari ke jurusan ini, beberapa orang di antara mereka mulai bersungut-sungut
“Musuh tadi lari ke sini!”
“Masa harus membiarkan dia lari?”
“Dia sudah membunuh banyak teman kita!”
Melihat betapa anak buah pasukan itu mulai ribut-ribut, diam-diam Po Leng In mendongkol dan juga khawatir sekali. Kalau mereka nekat dan kemudian dapat menemukan pemuda baju putih itu, selain ia mendapat malu, juga tentu akan mendapat teguran, mungkin hukuman keras dari gurunya. Akan tetapi, apa pun yang terjadi, tak mungkin ia dapat membiarkan pemuda itu terancam bahaya maut.
“Berhenti!” bentaknya ketika melihat pasukan itu bergerak maju. “Tidak percaya kepadaku berarti menghina guruku! Siapa menghina guruku berarti akan mampus di tanganku! Lihat, siapa yang kepalanya lebih keras dari pada batu ini?”
Setelah berkata demikian, Po Leng In menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang panjang dan halus serta berbau harum itu menyambar ke depan, tampak sinar hitam dan terdengar suara meledak kecil seperti pecut. Ujung rambut menghantam batu dengan lecutan keras dan... pinggir batu yang dihantam rambut ini pecah dan remuk berhamburan seakan-akan dipukul dengan senjata tajam!
Orang-orang Hsi-hsia itu boleh jadi merupakan orang-orang yang ganas dalam perang serta kuat, namun selama hidup mereka baru kali ini menyaksikan betapa rambut, apa lagi rambut wanita yang halus lemas dan harum dapat menghancurkan batu! Mereka menjadi takjub memandang dengan mata terbelalak, bahkan ada yang mengeluarkan lidah.
Lima orang pendeta itu bukan orang-orang biasa. Andai kata mereka tidak merasa segan terhadap tamu yang dihormati kepala mereka dan andai kata Po Leng In seorang lawan, mereka pasti akan melawannya dan tidak menjadi gentar. Karena tidak ingin timbul keributan di antara mereka, maka pendeta-pendeta itu lalu menjura.
“Maaf, Kouwnio. Bukan sekali-sekali kami tidak percaya, hanya kami mohon petunjuk. Ke mana gerangan larinya buronan kami tadi?”
“Entahlah. Kalian cari ke tempat lain. Kalau di sini terang tidak ada karena sejak tadi aku pun berada di sini dan kalau ia lewat di sini, apa kalian kira aku akan membiarkannya lewat begitu saja? Huh!”
“Sekali lagi maaf, Kouwnio,” kata pendeta itu yang segera memberi komando kepada pasukannya. “Hayo kita cari ke jurusan lain. Tak mungkin ia akan dapat menghilang begitu saja!”
Setelah lima orang pendeta itu bersama pasukannya beramai-ramai pergi mencari ke jurusan lain, barulah Po Leng In berani memasuki goa kecil itu. Ia tersenyum kecil ketika melihat Kiang Liong berdiri. dengan sikap tegang.
“Terpaksa untuk sementara waktu engkau bersembunyi dulu di sini, Kongcu. Biarlah aku menjaga di luar goa ini dan kita dapat bercakap-cakap tanpa khawatir didengar atau diintai orang.” Sambil tersenyum manis ia keluar lagi, lalu duduk di luar celah batu. Dari tempat itu ia dapat melihat ke sekelillng sehingga ia akan dapat melihat lebih dulu kalau ada orang datang. “Duduklah Kongcu dan mari kita bercakap-cakap.”
Sambil menarik napas panjang Kiang Liong duduk di mulut goa, agak ke dalam. Dari tempat ia duduk itu ia dapat melihat wajah Po Leng In yang cantik manis, wajah yang ditimpa cahaya matahari, dan bentuk tubuh yang membayang di dalam pakaian merah yang tipis.
“Nona, mengapa engkau menolongku? Bukankah engkau murid Siang-mou Sin-ni dan kalau tidak keliru dugaanku, mendengar percakapan tadi agaknya gurumu Siang-mou Sin-ni yang membantu Bouw Lek Couwsu, kepala para pendeta Tibet berjubah merah. Bukankah gurumu dan Bouw Lek Couwsu itu yang telah membasmi tokoh-tokoh Beng-kauw?”
Po Leng In mengangguk dan sepasang mata yang tajam itu menatap wajah Kiang Liong. “Benar dugaanmu, Kongcu.”
“Dan tahukah engkau siapa aku?”
Po Leng In menggeleng kepala. “Aku tidak tahu engkau siapa, Kongcu. Hanya aku tahu engkau bukan orang-orang Beng-kauw. Ilmu silatmu sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa engkau anak murid Beng-kauw. Yang aku tahu hanya bahwa engkau seorang pria yang gagah perkasa dan terutama sekali bahwa... bahwa, engkau telah menyelamatkan nyawaku dengan sambitan kerikil dari tangan Bu-tek Siu-lam.”
Kiang Liong berpikir sejenak, kemudian berkata. “Nona, tentang perbuatanku mencegah Bu-tek Siu-lam membunuhmu adalah kewajiban setiap orang, tak perlu kau berterima kasih. Sebaliknya, kau berusaha menolongku dari pengeroyokan para pendeta Tibet dan anak buahnya. Sungguh pun aku merasa bersyukur dan berterima kasih kepadamu, namun hal itu sebetulnya tidak begitu perlu kau lakukan karena aku tidak takut menghadapi mereka.”
“Aku tahu akan kelihaianmu, Kongcu. Akan tetapi... tanpa petunjukku bagaimana mungkin kau akan dapat pergi memasuki markas para pendeta Tibet dan menolong tiga orang cucu ketua Beng-kauw itu?”
Kiang Liong terkejut dan juga girang sekali sehingga tanpa ia sadari lagi tangannya bergerak memegang tangan gadis itu yang berkulit halus dan hangat.
“Bagaimana kau bisa tahu? Betulkah kau mau menolongku?”
Po Leng In tersenyum. Ketika ia memandang ke arah tangan Kiang Liong yang memegang tangannya, kedua pipinya merah dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan jari-jari tangannya bergerak balas menggenggam tangan pemuda itu. Ketika jari-jari tangan gadis itu memijit-mijit dan menggetar, barulah Kiang Liong sadar dan perlahan-lahan ia menarik kembali tangannya, bibirnya tersenyum.
Kiang Liong adalah seorang pemuda tampan, putera pangeran pula. Di kota raja namanya sudah amat terkenal, bukan hanya terkenal karena keampuhannya dan kegagahannya, juga terkenal sebagai pemuda yang tak pernah menolak perhatian wanita-wanita cantik! Dia bukan seorang mata keranjang yang suka mengganggu wanita, apa lagi menggunakan kepandaian dan ketampanan memaksa wanita, sama sekali ia tidak pernah melakukan hal buruk ini.
Akan tetapi ia seorang yang mempunyai watak amat romantis dan karena ini agaknya maka setiap kali ada wanita cantik tergila-gila kepadanya dan memperlihatkan tanda-tanda mencinta, ia akan menerima dengan kedua lengan terbuka. Dan amat banyaklah wanita cantik tergila-gila kepadanya sehingga ia amat terkenal di kota raja. Bahkan kenalan-kenalan keluarga orang tuanya, mereka yang mempunyai isteri-isteri cantik amat berhati-hati dan tidak memberi kesempatan kepada isteri-isteri mereka untuk bertemu dengan pemuda ganteng ini!
“Aku tahu, Kongcu, karena selama ini aku mengikutimu. Apa kau kira aku dapat melupakan engkau begitu saja setelah kau menyelamatkan nyawaku? Aku tahu tentang cucu laki-laki ketua Beng-kauw yang tertawan, juga tentang dua orang gadis yang terculik ketika kau bertanding melawan Siauw-bin Lo-mo. Tanpa bantuanku, jangan harap kau akan dapat menolong mereka, karena selain amat sukar untuk menyelundup ke dalam markas, juga Bouw Lek Couwsu dan para pembantunya amat kuat, belum lagi kalau diingat bahwa guruku juga berada di sana! Nah, apakah kau sekarang tidak perlu dengan bantuanku?” Sepasang mata yang bening dan genit itu memandang penuh arti, bibir yang merah itu tersenyum menantang.
“Ah, sungguh kau baik sekali, Nona. Tentu saja aku membutuhkan bantuanmu! Kalau aku berhasil menolong mereka, budimu amat besar dan aku Kiang Liong takkan melupakan budi pertolonganmu itu!”
“Betulkah itu, Kongcu? Sampai berapa besarnya kau akan ingat budiku? Ah, Kongcu, aku murid Siang-mou Sin-ni, ingat? Apakah kau betul telah percaya kepadaku dan tidak khawatir kalau aku menipu dan menjebakmu?”
“Aku memang merasa heran sekali mengapa engkau melakukan semua ini untukku. Tak mungkin kalau hanya untuk membalas budi saja. Aku sudah cukup banyak mendengar tentang Siang-mou Sin-ni. Biar pun baru sekarang aku berjumpa denganmu, namun sebagai murid Siang-mou Sin-ni, janggallah kalau kau begitu ingat budi, bahkan akan membelakangi gurumu sendiri demi untuk membantuku. Nona, katakanlah terus terang, apa yang kau kehendaki dan mengapa kau membantuku?” Sekarang Kiang Liong memandang tajam penuh selidik.
Po Leng In tertawa manis, giginya yang putih berkilauan dan berderet rapi tampak menarik sekali. Tanpa ragu-ragu Po Leng In menaruh tangannya di pundak pemuda itu dan sekali menggerakkan kepala, rambutnya yang panjang hitam dan harum itu berpindah ke depan dada. Bau harum menyambar ke hidung Kiang Liong yang tidak dapat menahan diri lagi, tangannya memegang dan membelai rambut yang panjang halus dan harum itu.
“Kata-katamu betul, Kongcu. Memang orang-orang seperti guruku dan aku, kami sama sekali tidak peduli tentang budi. Andai kata yang menolongku tempo hari bukan kau, aku pun tidak akan peduli lagi. Akan tetapi, engkau lain lagi. Begitu bertemu, aku tahu bahwa engkau seorang pemuda yang selain ganteng, juga gagah perkasa dan kuat lahir batin. Engkau tenang, tidak ceroboh, berpengalaman dan berhati teguh seperti gunung. Anehkah kalau aku jatuh cinta kepadamu? Koko (Kanda), aku cinta kepadamu, bersikaplah manis kepadaku dan aku akan menyerah kepadamu, akan membantumu dan kalau perlu bertaruh nyawa untukmu!”
Dengan sikap manja dan memikat, tangan kecil halus yang tadinya berada di pundak itu kini bergerak merayap, lengan itu merangkul leher Kiang Liong. Biar pun muka mereka sudah saling berdekatan sehingga napas wanita itu sudah menyentuh hidung dan mulutnya, namun Kiang Liong masih tenang dan tersenyum sambil menatap tajam. Tangannya yang tadi membelai kini menjambak rambut, menarik sedikit sehingga muka yang tadi berkulit halus kemerahan, mata yang merayu-rayu, bibir yang menggetar itu agak tertarik menjauh.
Keteguhan hati Kiang Liong inilah yang membuat banyak wanita tergila-gila kepadanya. Menghadapi wajah cantik jelita dan cumbu rayu yang akan mencairkan hati seorang pendeta, ia tetap teguh dan tenang, tak pernah ia dirobohkan oleh keteguhan hatinya sehingga selalu si wanita yang terpikat. Biar pun Kiang Liong seorang pria yang romantis dan tidak menolak cinta kasih wanita cantik, namun ia bukan seorang lemah.
“Betulkah semua kata-katamu ini? Leng In, betulkah kau akan membantuku menolong Siang Kui, Siang Hui, dan Han Ki dari tangan mereka setelah aku melayani cinta kasihmu?”
“Betul... betul..., aku bersumpah...” Po Leng In terengah-engah, napasnya diburu nafsu sendiri.
“Dan kau benar-benar menghendaki aku...?”
Po Leng In mengangguk-angguk dan seluruh tubuhnya lemas. Ketika Kiang Liong melepaskan jambakannya, dia menjatuhkan mukanya di atas dada Kiang Liong yang tersenyum mengejek sambil memeluknya.
Semalam itu mereka berdua tidak keluar dari dalam goa yang lebarnya hanya satu meter itu. Po Leng In yang mabuk cinta seolah-olah menjadi makin lemas di tangan Kiang Liong sehingga ia menceritakan semua keadaan orang Hsi-hsia. Kiranya orang-orang Hsi-hsia itu diperalat oleh para pendeta Tibet jubah merah yang dikepalai oleh Bouw Lek Couwsu.
Pendeta jubah merah Bouw Lek Couwsu ini memiliki kepandaian yang dahsyat dan merupakan pendeta yang murtad di Tibet sehingga ia dimusuhi oleh para pendeta lain. Untuk menyelamatkan diri karena tidak kuat menentang pendeta-pendeta Tibet yang banyak di antaranya amat sakti, Bouw Lek Couwsu melarikan diri dari Tibet bersama murid-murid dan pengikut-pengikutnya, yaitu para pendeta jubah merah. Dengan ilmu kepandaiannya, Bouw Lek Couwsu akhirnya dapat menalukkan Hsi-hsia yang gagah berani dan ulet, bahkan berhasil melatih mereka menjadi pasukan yang kuat. Setelah memiliki pasukan kuat, mulailah Bouw Lek Couwsu mencari kesempatan memukul musuh-musuhnya.
Ia menganggap Kerajaan Sung masih terlampau kuat untuk dipukul, maka ia lalu mengalihkan perhatian kepada Kerajaan Nan-cao yang kecil dengan maksud menalukkan kerajaan ini untuk memperbesar pengaruh dan kekuasaan. Dalam usahanya ini Bouw Lek Couwsu teringat akan sahabat baiknya, juga bekas kekasihnya, yaitu, Siang-mou Sin-ni!
Kalau Siang-mou Sin-ni adalah seorang wanita yang tak pernah tua lahir batinnya, maka Bouw Lek Couwsu biar pun berpakaian pendeta, juga merupakan seorang laki-laki tampan gagah yang tak pernah tua lahir batinnya pula. Karena terlalu suka mengganggu wanita cantik inilah maka ia dimusuhi di Tibet sehingga ia kehilangan sebelah kakinya. Ia segera mengunjungi Siang-mou Sin-ni yang sudah bertahun-tahun tak pernah turun di dunia kang-ouw semenjak Thian-te Liok-kwi dihancur-binasakan oleh Suling Emas dan para orang gagah.
Karena pada dasarnya memang berwatak rendah, bekas selir kaisar yang lebih terkenal dengan julukan Siang-mou Sin-ni dan yang sudah bertahun-tahun bertapa di pulau kosong di laut selatan ini tertarik oleh bujukan Bouw Lek Couwsu bekas kekasihnya, lalu ikut membantu dan tentu saja kesempatan ini tidak disia-siakan oleh mereka berdua untuk mengikat kembali hubungan mereka yang telah putus selama bertahun-tahun.
“Beng-kauw boleh jadi amat kuat dan banyak terdapat orang pandai, akan tetapi menghadapi serbuan Bouw Lek Couwsu dibantu oleh guruku, mana mereka mampu mempertahankan diri? Di antara para pendeta jubah merah banyak pula yang memiliki kepandaian tinggi. Itulah sebabnya mengapa ketua Beng-kauw dan beberapa orang pimpinan Beng-kauw dapat ditewaskan dan anak laki-laki itu amat disuka oleh guruku, maka diculik. Penyerbuan untuk menjatuhkan Kerajaan Nan-cao tentu saja gagal karena sesungguhnya bukan itulah yang diutamakan Bouw Lek Couwsu, melainkan memukul Beng-kauw yang menjadi musuh besarnya.”
Semua diceritakan oleh Po Leng In dan ia menjadi makin tergila-gila kepada Kiang Liong. Selama hidupnya belum pernah Po Leng In bertemu dan mendapatkan seorang pemuda seperti ini, penuh kegagahan, penuh kejantanan. Semalam suntuk sambil bercerita, Po Leng In mempergunakan segala bujuk rayu dan keahliannya dalam bercinta untuk menjatuhkan hati Kiang Liong, namun sebaliknya dia sendirilah yang jatuh dan menjelang pagi, ia menjadi penurut dan patuh kepada laki-laki itu seperti seekor domba yang lemah.
“Koko..., akan kubantu kau menolong kedua orang nona dan anak laki-laki itu... biar pun untuk itu aku harus mempertaruhkan nyawa...,“ bisiknya sambil merangkul.
Setelah matahari mulai menyinarkan cahayanya di permukaan bumi, barulah mereka berdua keluar dari dalam goa batu. Wajah Po Leng In yang pucat itu kini berseri gembira, rambutnya kusut namun menambah kecantikan wanita yang berambut panjang ini. Sambil melangkah ke luar ia menggandeng tangan Kiang Liong yang sikapnya masih tenang dan sama sekali tidak tampak perubahan.
“Mari, Koko. Mari kita berangkat. Akan tetapi berhati-hatilah. Jangan kau pandang rendah kepandaian Bouw Lek Couwsu, apa lagi kepandaian guruku.”
Kiang Liong mengangguk. “Aku sudah banyak mendengar tentang kepandaian gurumu dan aku tidak takut.”
Po Leng In menghentikan langkahnya, merangkul dan mengusap-usap dagu yang membayangkan kekerasan dan kekuatan itu sambil tersenyum. “Aku tahu bahwa engkau lihai sekali, Koko. Akan tetapi guruku sekarang bukan seperti dahulu ketika masih suka muncul di dunia kangouw. Engkau tentu tidak pernah mendengar bahwa guruku kini telah dan sedang memperdalam ilmu mukjijat Hun-beng-to-hoat (Ilmu Patahkan Semangat) dan untuk menyempurnakan ilmu itulah maka ia menculik Han Ki itu....“
Kiang Liong yang sedang dicium itu lalu memegang kedua pundak Po Leng In, dan mendorongnya agak menjauh, memandang wajahnya penuh selidik dan bertanya, suaranya keras. “Apa kau bilang? Diculik untuk... kau maksudkan...?”
“Ya, Koko. I-kin-hoan-jwe (Ganti Urat Pindahkan Sumsum)!”
“Celaka! Mari kita cepat-cepat menolongnya!” Setelah berkata demikian, Kiang Liong menyambar lengan Po Leng In dan secepat terbang mereka berdua lalu lari menuju ke tempat persembunyian Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu.
Kiang Liong bukan tidak maklum bahwa ia sedang menuju ke tempat yang amat berbahaya, seperti goa singa dan telaga naga, akan tetapi mendengar akan bahaya yang mengancam Han Ki, ia tidak pedulikan itu semua. Lebih-lebih lagi ketika di tengah jalan ia mendengar Po Leng In bercerita bahwa Bouw Lek Couwsu adalah seorang tokoh tua yang percaya akan ilmu menambah semangat dan tenaga yang didapat dari gadis-gadis muda, maka tahulah ia mala-petaka hebat sekali mengancam pula keselamatan Siang Hui dan Siang Kui!
Yang dimaksudkan oleh Po Leng In tentang I-kin-hoan-jwe memang merupakan latihan ilmu hitam yang amat keji. Untuk melatih ilmu ini guna memperdalam Hun-beng-to-hoat yang mukjijat, diperlukan seorang anak laki-laki yang bertulang bersih dan berdarah murni. Siang-mou Sin-ni yang melatih ilmu ini telah lama sekali mencari-cari dan entah sudah berapa banyaknya anak laki-laki menjadi korbannya, namun ilmunya masih kurang sempurna karena belum pernah ia mendapatkan seorang anak laki-laki yang benar-benar memenuhi syarat.
Han Ki adalah putera Kam Bu Sin dan Liu Hwee, dua orang yang berdarah pendekar, maka Han Ki merupakan seorang anak laki-laki yang benar-benar memenuhi syarat. Begitu melihat anak ini, Siang-mou Sin-ni sudah menjadi girang sekali dan ia lalu menculik Han Ki. I-kin-hoan-jwe dilakukan dengan cara yang amat mengerikan, yaitu perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, setiap hari anak itu akan disedot darah dan sumsumnya. Tidak disedot sekaligus sampai mati, melainkan sedikit demi sedikit sambil setiap hari diberi makan obat-obat penambah darah dan sumsum. Tentu saja akhirnya anak ini akan mati juga, karena selain kehabisan darah dan sumsum, terutama sekali karena hawa murni dalam tubuhnya sedikit demi sedikit tersedot ke luar dan pindah ke tubuh orang yang melatih diri dengan ilmu hitam itu!
Kiang Liong yang sudah pernah mendengar penuturan suhu-nya tentang pelbagai ilmu hitam tentu saja menjadi ngeri dan mempercepat larinya untuk segera menolong tiga orang anak paman gurunya. Kalau perlu ia akan mempertaruhkan nyawanya!
********************
Kwi Lan lari sambil menggigit bibir, menahan tangis. Hatinya mengkal bukan main. Ia marah, kecewa, duka dan penasaran. Ia telah bertemu dengan pendekar sakti Suling Emas dan makin kagumlah hatinya menyaksikan sepak terjang pendekar sakti itu. Makin banggalah hatinya bahwa pendekar sakti yang hebat itu, hebat kepandaiannya dan hebat pula orangnya, adalah kekasih ibu kandungnya! Akan tetapi justru hal inilah yang selain mendatangkan kebanggaan hati, juga mendatangkan penyesalan, kekecewaan, kemarahan dan penasaran.
Kalau pendekar sakti ini kekasih ibu kandungnya, mengapa mereka saling berpisah? Mengapa Suling Emas meninggalkan ibu kandungnya yang menjadi Ratu Khitan? Dan mengapa pula ia menjadi anak Ratu Khitan? Kalau ibu kandungnya itu bukan isteri Suling Emas, berarti dia adalah anak Ratu Khitan dengan orang lain. Alangkah akan bahagia hatinya kalau Suling Emas menjadi suami ibu kandungnya. Ia berayah Suling Emas! Alangkah hebatnya! Dan sebaliknya, kalau Suling Emas itu bukan bekas kekasih ibunya, tentu ia akan suka menjadi sahabatnya, sahabat baik!
Kwi Lan menghela napas panjang dan berhenti lari, menghempaskan dirinya di atas rumput. Ia sudah berlari lama dan jauh, lega bahwa pendekar sakti itu tidak mengejarnya karena kalau mengejarnya, ia tidak tahu bagaimana akan dapat melarikan diri. Hatinya tertarik sekali oleh Suling Emas. Ia sendiri merasa heran mengapa begitu.
Dalam pandangannya, Suling Emas yang sudah tua dan yang rambutnya sudah bercampur uban itu lebih menarik dan menyenangkan dari pada orang-orang muda gagah perkasa yang pernah ditemuinya. Lebih menarik dari pada Yu Siang Ki si Pengemis Muda yang halus, lebih menang dari pada Tang Hauw Lam yang berandalan dan lucu, lebih hebat dari pada Siangkoan Li yang gagah dan tampan! Alangkah akan senangnya melakukan perjalanan bersama Suling Emas, tentu akan terasa aman dan tenteram di samping seorang pendekar yang demikian saktinya, sebagai seorang sahabat baik! Atau sebagai anak, atau murid!
“Ah, tapi dia sudah menghina ibuku...! Katanya dia kakak angkat ibu kandungku yang menjadi Ratu di Khitan, akan tetapi juga sebagai kekasih... hemmm, tentu kekasih yang tidak setia, buktinya ibuku telah ditinggalkannya!”
Kwi Lan meloncat bangun, membanting-banting kakinya lalu berjalan pergi. Ia akan mencari ibunya ke Khitan dan bertanya tentang Suling Emas! Kemudian ia teringat akan Tang Hauw Lam dan seketika wajahnya yang muram menjadi berseri gembira. Tak mungkin ia bermuram kalau teringat kepada si Berandal itu. Bagaimana Hauw Lam dapat muncul ketika ia hendak menolong Po Leng In dari tangan Bu-tek Siu-lam? Dan ketika ia dibawa lari Thai-lek Kauw-ong, ke mana perginya si Berandal itu?
Sambil bertanya-tanya arah perjalanan ke Khitan, Kwi Lan melanjutkan perjalanannya dan beberapa hari kemudian ia melihat banyak orang menunggang kuda memasuki sebuah dusun yang ramai. Karena Kwi Lan juga bermaksud menuju ke dusun itu yang menurut keterangan adalah dusun Ci-cung yang terletak di tepi sungai, maka ia pun mempercepat langkahnya memasuki dusun itu. Debu masih mengebul di atas jalan yang baru saja dilalui rombongan orang sebanyak belasan orang tadi.
Hati Kwi Lan tertarik karena ia melihat betapa seorang di antara mereka di dahinya terhias mutiara. Seorang anggota Thian-liong-pang, seorang di antara dua belas Cap-ji-liong! Mau apakah orang-orang Thian-liong-pang itu datang ke tempat ini, pikirnya. Ia tahu bahwa kalau bertemu dengan mereka tentu akan terjadi keributan, akan tetapi tentu saja Kwi Lan tidak takut. Ia bukan mencari perkara, melainkan ia bermaksud melanjutkan perjalanan dengan perahu melalui sungai di dusun itu. Untuk memenuhi maksudnya, ia tidak peduli apakah ada setan atau iblis yang menghadangnya!
Dusun itu ternyata ramai karena merupakan pelabuhan perahu-perahu yang berlayar di sepanjang sungai. Di dekat pantai terdapat sebuah kelenteng. Kwi Lan merasa heran karena tidak melihat belasan orang Thian-liong-pang tadi di dalam dusun. Apakah mereka itu hanya lewat saja di dalam dusun lalu melanjutkan perjalanan melalui pintu sebelah sana? Mungkin sekali dan ia tidak peduli, juga tidak bertanya-tanya tentang mereka.
Karena dusun itu banyak dilewati orang-orang asing yang melakukan perjalanan, dan karena pada masa di mana perang selalu mengancam daerah perbatasan, maka semua orang, juga wanita-wanita membawa pedang. maka munculnya Kwi Lan tidaklah amat mengherankan orang. Kalau orang memandangnya, adalah karena terpesona oleh kecantikannya saja, bukan mengherankan pedangnya dan kejanggalan seorang wanita muda melakukan perjalanan sendirian saja. Kwi Lan yang tidak bermaksud menginap di dalam dusun ini langsung pergi ke pantai untuk mencari perahu.
Dalam perjalanan mencari perahu inilah ia lewat di depan kuil dan melihat tiga huruf Ban Hok Tong di depan kelenteng, juga melihat beberapa orang hwesio sibuk melayani orang-orang yang bersembahyang di kelenteng. Sebetulnya Kwi Lan tidak akan mempedulikan kelenteng ini, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar ringkik kuda di sebelah belakang kelenteng sehingga hatinya tertarik dan teringatlah ia akan belasan orang Thian-liong-pang tadi. Hemm, agaknya mereka itu tadi masuk ke dalam kelenteng ini, pikirnya. Mengapa orang-orang Thian-liong-pang yang jumlahnya belasan, orang itu bermalam di dalam sebuah kelenteng?
“Ah, peduli amat dengan mereka!” Akhirnya ia berkata dalam hati dan kembali melangkahkan kaki meninggalkan depan kelenteng menuju ke pelabuhan di mana terdapat banyak perahu-perahu besar kecil dan kesibukan orang-orang yang mengangkut dan membongkar muatan. Mereka yang sibuk di pelabuhan itu semua adalah laki-laki dan mulailah Kwi Lan dihujani pandang mata yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat. Di dalam dusun seperti itu memang jarang terdapat wanita cantik seperti Kwi Lan dan kalau pun ada di antara para tamu, mereka itu tidak datang seorang diri dan secara berterang seperti ini, memberi kesempatan kepada setiap orang untuk memandangnya.
Kwi Lan tidak peduli dan selagi ia hendak bertanya untuk mencari perahu sewaan, tiba-tiba terdengar bentakan keras, “Minggir! Heiii, kau... minggir!”
Dua orang laki-laki tinggi besar berjalan cepat dan mendorong seorang yang sedang sibuk bekerja untuk membuka jalan. Para pekerja itu adalah orang-orang kasar yang kuat, maka mereka menjadi marah. Seorang di antara nelayan yang kena dorong hampir jatuh tertimpa keranjang ikan yang dipanggulnya. Segera ia meloncat bangun.
“Dari mana datangnya dua ekor kerbau...?” Akan tetapi hanya sampai di situ ia dapat membuka mulut karena seorang di antara dua laki-laki tinggi besar itu sudah mengayun kakinya dan... si Nelayan terlempar jatuh ke dalam sungai!
Dua orang laki-laki tinggi besar itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, bertolak pinggang dan berkata, “Hayo, siapa lagi yang berani?”
Melihat betapa seorang temannya sampai terlempar ke sungai, empat orang nelayan menjadi marah. Mereka ini juga tinggi besar dan kuat. Sambil memaki mereka ini serentak maju menyerang, akan tetapi begitu dua orang itu menggerakkan kaki kanannya, terdengar jerit-jerit kesakitan dan empat orang nelayan itu pun jatuh tersungkur dengan hidung berdarah dan muka meringis kesakitan. Demikian cepat gerakan dua orang tinggi besar ini sehingga mereka tidak tahu bagaimana mereka tadi dapat dirobohkan.
“Masih ada lagi?” Mereka berdua menantang dan semua nelayan menjadi gentar.
Seorang di antara mereka yang sudah tua segera maju dan mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Maafkan kami, Tuan. Apakah yang dapat kami lakukan untuk Ji-wi (Anda Berdua) dan karena tidak mengenal orang gagah maafkan kelancangan kawan-kawan kami. Apakah yang Ji-wi kehendaki?”
Dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya empat puluhan tahun itu tersenyum menyeringai, tampak puas dan bangga. Setelah memandang ke sekeliling lalu berkatalah seorang di antara mereka yang brewok. “Sediakan perahu yang bercat merah itu untuk kami. Besok pagi-pagi kami pakai.” Dia menuding ke arah sebuah perahu kosong. Perahu itu bercat merah dan kelihatan memang paling baik di antara perahu-perahu yang berlabuh di situ. Perahu itu masih baru, agaknya belum lama diturunkan di sungai.
“Ahh, Ji-wi hendak menyewa perahu? Baiklah, akan tetapi perahu merah itu tak mungkin dapat disewakan karena besok akan dipakai mengantar pengantin...”
“Apa kau bilang? Kami berani bayar sewanya dan siapa pun juga tidak boleh mendahului kami. Pendeknya, sediakan perahu itu besok pagi-pagi, kalau tidak... kau yang akan kami lemparkan ke dalam sungai!”
Nelayan tua itu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi sambil membungkuk-bungkuk ia berkata, “Baik..., baik... dan sewanya...“
“Berapa pun akan kami bayar! Kami hendak memeriksanya dulu!” Dua orang tinggi besar itu diantar oleh nelayan tua menuju ke perahu cat merah.
Mereka melangkah masuk dan... tercenganglah mereka melihat Kwi Lan sudah duduk di dalam perahu itu sambil tersenyum manis! Kiranya Kwi Lan yang tadi mengikuti percekcokan menjadi tak senang dengan sikap dua orang itu, maka diam-diam ia lalu memasuki perahu cat merah yang dipilih oleh dua orang itu secara paksa.
“Eh, mau apa kalian berdua longak-longok seperti monyet dan tanpa ijin memasuki perahu yang sudah kusewa ini?” kata Kwi Lan sambil tersenyum mengejek.
Sejenak dua orang tinggi besar itu tertegun. Mereka kagum akan kecantikan gadis dalam perahu dan mendengar bentakan itu, mereka terkejut dan saling pandang. Kemudian seorang di antara mereka yang brewok tadi dapat menenangkan hatinya lalu menoleh kepada nelayan tua yang juga bengong terlongong. “Eh, Paman tua, apakah ini yang akan menjadi pengantin? Cantik benar!”
“Bu... bukan, bukan dia... saya tidak mengenalnya..., Nona, siapakah kau dan mau apa kau di sini?”
“Paman tua, aku lebih dulu memasuki perahu ini, berarti aku lebih dulu menyewanya. Dua orang kasar seperti monyet ini boleh mencari perahu lain untuk disewa atau... mereka ini boleh terjun ke air!”
Pada waktu itu, dua orang tinggi besar tadi sudah melihat gagang pedang di pinggang Kwi Lan dan ketika melihat sebuah mutiara hitam bersinar di gagang pedang itu, mereka terkejut.
“Mu... Mutiara Hitam...?” teriak mereka sambil mencabut golok.
“Hemm, kiranya orang-orang Thian-liong-pang yang tak kenal mampus!” seru Kwi Lan tanpa bangkit dari tempat duduknya.
Melihat gerakan dua orang yang menerjangnya ini, Kwi Lan memandang rendah. Saat mereka sudah menubruk maju diikuti teriakan kaget dan ngeri dari kakek nelayan, secepat kilat kedua kaki Kwi Lan bergerak menendang ke depan. Ia menggunakan kedua tangan untuk menekan papan perahu sehingga kedua kakinya dapat melakukan tendangan sekaligus. Tepat sekali ujung kedua sepatunya mencium sambungan lutut dua orang lawan itu.
“Krekk!” terdengar suara dan... sambungan lutut kanan mereka terlepas.
Tentu saja mereka itu seketika ambruk dan sebelum tubuh mereka menyentuh papan perahu, kembali kedua kaki Kwi Lan bergerak, kini mendorong dada mereka. Tak dapat dicegah lagi tubuh dua orang laki-laki tinggi besar itu terlempar masuk ke dalam sungai!
Biar pun bagi Kwi Lan peristiwa ini biasa saja, namun bagi para nelayan merupakan hal yang amat hebat. Hampir mereka tak dapat percaya betapa hanya dengan dua buah kaki yang kecil mungil, tanpa menggerakkan tangan dan tanpa bangkit dari tempat duduknya, gadis remaja cantik manis itu mampu melemparkan dua orang lawan kuat ke dalam sungai dengan tulang lutut terlepas sambungannya! Mereka bersorak-sorai dan mentertawai dua orang laki-laki tadi yang kini dengan susah payah berenang ke tepi sungai. Lenyaplah kegagahan mereka berdua yang terpaksa harus pergi dengan sebelah kaki meloncat-loncat sambil menyumpah-nyumpah!
Seketika Kwi Lan dirubung para nelayan yang kagum. Mereka berbondong menawarkan perahu mereka untuk mengantar gadis ini melakukan pelayaran ke utara, akan tetapi Kwi Lan tersenyum dan berkata, “Aku hanya membutuhkan sebuah perahu dan karena yang kupilih perahu merah ini, maka perahu inilah yang akan kusewa. Sudah, kalian pergilah, aku ingin mengaso.”
Pada saat itu, seorang nelayan datang berlari-lari dan melaporkan kepada Kwi Lan bahwa dua orang tinggi besar itu lari terpincang-pincang ke dalam kuil Ban-hok-tong. “Harap Nona hati-hati, bahaya besar mengancam. Kiranya dua orang itu temannya banyak sekali dan galak-galak.”
“Tak perlu melayani mereka.”
“Tapi... harap Lihiap (Pendekar Wanita) sudi mengasihani kami,” kata nelayan tua. “Lihiap sudah menyaksikan sendiri betapa mereka itu ganas dan kejam terhadap kami. Kalau Lihiap pergi dari sini, tentu kamilah yang akan dijadikan korban untuk melampiaskan kemarahan mereka!”
“Huh, apa peduliku!” Kwi Lan mendengus. Memang ia tidak suka mengacuhkan urusan orang lain yang tiada sangkut pautnya dengan dirinya.
“Tapi, Lihiap... kami akan dibasmi... akan dipukuli, dibunuh...!” kata seorang nelayan lain.
“Peduli apa? Kalau kalian begitu lemah dan tidak becus melakukan perlawanan sampai terbunuh, adalah salah kalian sendiri!” Kwi Lan menjawab jengkel karena merasa terganggu.
“Tapi... semua ini terjadi gara-gara Lihiap merobohkan dua orang itu!” si Nelayan Tua menyambung. “Saya mendengar bahwa seorang gagah sekali berbuat berani menanggung segala akibatnya....”
“Cukup!” Kwi Lan membentak marah. “Aku tunda perjalananku sampai besok dan kalian lihat, malam ini akan kuhajar habis mereka itu!”
Setelah berkata demikian Kwi Lan merebahkan dirinya di atas papan perahu, dan para nelayan bubaran dengan hati lega, akan tetapi juga masih khawatir. Menurut penyelidikan mereka, jumlah pendatang di kelenteng itu ada belasan orang dan para hwesio di Ban-hok-tong sendiri kelihatan takut menghadapi mereka. Bagaimana kalau pendekar wanita muda ini sampai kalah? Tentu mereka akan mendapat bagian pahit pula. Betapa pun juga, karena harapan mereka bergantung kepada kesanggupan Kwi Lan, mereka lalu melayani gadis ini dengan hidangan dan minuman yang diterima oleh Kwi Lan dengan hati gemblra.
Benar juga, pikirnya, dia harus bertanggung jawab. Apa lagi jelas rombongan Thian-liong-pang itu tidak akan membiarkan ia lolos begitu saja. Dari pada menghadapi mereka di atas air sungai yang pernah membuat ia hampir tewas dahulu, lebih baik sekarang menghadapi mereka di darat. Turun tangan di waktu siang hanya akan menimbulkan geger di dalam dusun ini, maka lebih baik malam nanti turun tangan menghajar mereka dan mengusir mereka dari dalam dusun. Dengan pikiran ini, legalah hati Kwi Lan dan setelah makan kenyang, ia pun tidur di atas perahu dengan nyenyaknya.
Malam itu terang bulan. Tiada awan mengotori udara sehingga sinar bulan sepenuhnya menerangi bumi. Bagaikan seekor burung hantu, tubuh Kwi Lan berkelebat di antara sinar bulan. Dengan pedang terhunus di tangannya, gadis perkasa ini meloncat ke atas genteng kuil Ban-hok-tong, mendekam di atas wuwungan dan mengintai ke bawah. Sunyi sepi di kelenteng itu. Hemm, pikirnya geram, tentu mereka siap sedia menyambutku, dan sudah siap memasang jebakan.
Akan tetapi ia tidak menjadi gentar. Dengan gerakan yang lincah sekali ia lalu berlari di atas genteng, sengaja memberatkan tubuhnya sehingga menimbulkan bunyi pada genteng agar musuh muncul menyerangnya. Namun tidak terjadi apa-apa dan Kwi Lan terus berlari menuju ke belakang. Dari atas genteng di belakang bangunan ia dapat melihat halaman belakang yang luas dan terkejutlah ia ketika melihat beberapa orang hwesio sudah menjadi mayat berserakan di halaman itu. Seorang laki-laki yang mengempit tongkat membungkuk dan agaknya memeriksa mayat-mayat itu seorang demi seorang.
Kwi Lan menjadi heran sekali, tidak mau sembarangan turun tangan. Siapakah laki-laki itu dan mengapa pula hwesio-hwesio itu tewas? Ke mana perginya orang-orang Thian-liong-pang? Tentu laki-laki itu yang membunuh para hwesio, dan siapa lagi orang itu kalau bukan seorang di antara anggota dari Thian-liong-pang? Kwi Lan mengeluarkan jarumnya dan sekali tangannya bergerak, sinar hijau menyambar ke arah leher orang yang sedang memeriksa mayat-mayat itu.
Akan tetapi Kwi Lan terkejut melihat orang itu tanpa menoleh mengibaskan tangannya sehingga jarum-jarum itu runtuh oleh lengan bajunya yang lebar, kemudian lebih kaget lagi Kwi Lan ketika mendengar orang itu berkata, “Kwi Lan Siauw-moi, kau turunlah. Jarum-jarummu sudah terlalu banyak membunuh orang tak berdosa!”
Kwi Lan mengenal suara ini dan ketika orang itu kini berdiri sambil membalikkan tubuh ia mengenal wajah yang tampan itu.
“Yu Siang Ki...!” Cepat ia melayang turun sambil membawa pedangnya.
Pemuda itu memang Yu Siang Ki yang mengempit tongkatnya. Caping bututnya tergantung di belakang punggung. Kalau Kwi Lan berseri wajahnya karena pertemuan yang tak terduga-duga ini, sebaliknya Yu Siang Ki memandang dengan wajah keruh dan sepasang matanya memandang penuh teguran.
“Kenapa mereka...?”
“Kwi Lan, betapa pun kagum hatiku terhadapmu, namun sungguh aku kecewa dan menyesal melihat sepak terjangmu yang terlalu ganas. Kau terlalu mudah membunuh orang sehingga kadang-kadang kau tidak segan-segan membunuh orang-orang tak berdosa seperti mereka ini. Kwi Lan, aku tidak percaya kau memiliki dasar yang ganas dan....”
“Ihhhh, apa-apaan ini tiada hujan tiada angin suaramu menyambar-nyambar laksana kilat bergeluduk? Siang Ki, apa maksudmu memberi kuliah kepadaku?” Kwi Lan memotong dengan marah. Sepasang matanya kini menyambar seperti api, penuh selidik ke arah wajah yang tampan itu.
Akan tetapi Siang Ki tidak mundur. Wajahnya tetap muram dan suaranya tetap kering. “Kwi Lan, kalau kau membasmi dan membunuhi orang-orang jahat, aku masih dapat mengerti. Akan tetapi hwesio-hwesio ini, bukankah mereka itu orang-orang yang menjalani hidup suci, sama sekali tidak jahat dan tidak berdosa? Mengapa kau membunuh mereka ini secara keji? Apa sebabnya kau membunuh empat orang hwesio pengurus kuil Ban-hok-tong ini? Sungguh aku tidak mengerti...!”
“Apa kau bilang?” Kwi Lan kembali memotong. “Kalau kau tidak mengerti, aku lebih tidak mengerti lagi akan sikapmu yang aneh ini. Gilakah engkau, Siang Ki? Kau menuduh yang bukan-bukan. Aku tidak membunuh hwesio-hwesio itu! Kalau aku membunuh mereka, perlu apa aku takut mengaku padamu?”
Siang Ki terheran, kini dialah yang menatap wajah gadis itu yang cantik jelita tersinar cahaya bulan, penuh selidik. “Ah, mengapa kau menyangkal? Mereka itu kau bunuh...!”
“Siang Ki! Tak usah banyak cerewet. Kalau kau memang ingin memusuhiku, jangan kira aku takut. Tak perlu menggunakan alasan yang bukan-bukan, tuduhan dan fitnah yang bukan-bukan. Kalau memang kau hendak menantang, hayo, aku sudah siap!” Setelah berkata demikian, gadis ini meloncat mundur, pedangnya siap di depan dada dan ia sudah memasang kuda-kuda, matanya mencorong seperti mata harimau.
Akan tetapi Siang Ki tidak melayaninya, bahkan pemuda ini kelihatan melongo, terheran dan ragu-ragu. “Kwi Lan, aku sama sekali tidak menuduh yang bukan-bukan. Ada buktinya. Aku mengenal jarum-jarum hijaumu yang lihai, yang kau pergunakan untuk menyerangku tadi. Kau lihat, empat orang hwesio itu semua tewas karena jarum-jarum hijaumu. Lihat baik-baik leher mereka!”
Kagetlah Kwi Lan. Kemarahannya lenyap seketika terganti keheranan yang amat sangat. Ia lalu meloncat, mendekati empat mayat itu dan berjongkok memeriksa. Alangkah heran dan kagetnya ketika melihat betapa leher empat mayat itu benar-benar menunjukkan tanda-tanda keracunan, yang hanya dapat ditimbulkan oleh jarum-jarum hijaunya! Hati gadis ini menjadi penasaran. Ia menggunakan ujung pedangnya, menusuk dan mengorek ke luar sebatang jarum dari leher mayat.
“Aiihhh... aneh sekali...!” Ia berseru ketika melihat jarum hijau di ujung pedangnya. Jarum itu serupa benar dengan jarumnya dan warna hijau itu tak salah lagi adalah racun bunga hijau yang ia pergunakan untuk meracun jarum-jarumnya. Inilah jarumnya, tak salah lagi. Ia bangkit berdiri, wajahnya berubah.
Melihat wajah gadis ini, Siang Ki mulai percaya. “Kwi Lan, agaknya ada orang yang mencuri jarum-jarummu dan mempergunakannya untuk membunuh hwesio-hwesio ini,” katanya sambil maju mendekat.
Kwi Lan menggeleng kepala dan mengingat-ingat. “Tak mungkin,” katanya kemudian penuh keyakinan. “Jarum-jarumku tidak pernah terpisah dari badan, selalu berada di saku dalam bajuku. Siapa dapat mencurinya?”
“Akan tetapi buktinya, hwesio-hwesio ini tewas karena jarum-jarum hijau...“
“Benar, tak dapat disangkal lagi. Pantas saja kau menuduh aku...“
“Maafkan aku, Kwi Lan. Aku kebetulan lewat di sini. Karena curiga terhadap rombongan orang-orang Thian-liong-pang, lalu mengikuti secara diam-diam. Aku tahu akan perbuatanmu menghajar orang-orang Thian-liong-pang di sungai siang tadi, akan tetapi karena aku sedang menyelidiki mereka, aku menyembunyikan diri. Malam ini aku datang menyelidik, melihat hwesio-hwesio ini sudah tewas dan orang-orang Thian-liong-pang tidak kelihatan seorang pun di sini.”
“Hemm, tentu ada hubungannya antara mereka dengan kematian para hwesio ini.”
Yu Siang Ki mengerutkan keningnya yang tebal, “Aku meragukan hal ini, Kwi Lan. Kalau mereka yang membunuh hwesio-hwesio ini, mengapa menggunakan jarum-jarummu atau lebih tepat lagi... jarum-jarum yang serupa dengan jarum-jarummu? Mari kita kejar mereka!”
Kwi Lan mengangkat mukanya dan sepenuhnya muka itu kini tertimpa sinar bulan. Alangkah cantik jelita muka ini. Siang Ki meramkan mata dan menarik napas panjang sambil menekan isi dada yang bergerak-gerak.
“Mengapa?”
“Mereka sudah membunuh hwesio-hwesio tak berdosa!” kata Siang Ki sewajarnya. Bukankah wajar seorang pendekar menjadi marah melihat pembunuhan atas orang-orang tak berdosa?
“Hemm, bukan urusanku. Aku tidak mengenal hwesio-hwesio ini,” jawab Kwi Lan seenaknya.
Kerut di kening Siang Ki makin mendalam. Ia kagum akan kecantikan dan kelihaian gadis ini, namun kecewa melihat sikap dan wataknya. “Akan tetapi mereka telah menggunakan senjata rahasia seperti milikmu, itu berarti mencemarkan nama baikmu. Siapa tahu mereka sengaja memalsukan senjatamu.”
“Hemm, justru karena itu aku tidak mau mengejar. Mereka tentu melakukan hal ini menurut rencana dan tentu mereka akan datang mencari aku kalau tiba saatnya. Aku mau menanti di perahu dan kalau sampai besok mereka tidak datang aku akan melanjutkan perjalananku.”
“Ke mana?”
“Ke utara.”
Wajah Yu Siang Ki berseri. “Aihh, mengapa begini kebetulan? Aku pun hendak ke utara.”
“Hemmm? Benarkah?” Kwi Lan kurang percaya, menyangka bahwa pemuda ini mencari-cari alasan untuk melakukan perjalanan bersamanya.
“Mengapa tidak? Aku hendak mencari Suling Emas.”
Berdebar jantung Kwi Lan mendengar ini. “Kenapa mencari ke utara?”
“Menurut laporan anak buahku, Locianpwe itu menuju ke utara. Ada kepentingan besar sekali yang memaksa aku mencarinya ke utara.”
Kwi Lan melamun. Suling Emas ke utara? Hendak bertemu ibu kandungnya, Ratu Khitan?
“Kalau kau tidak keberatan, kita dapat melakukan perjalanan bersama.”
Kwi Lan tersenyum. “Mengapa keberatan? Asal kau tidak lagi menuduh aku dengan fitnah yang bukan-bukan seperti tadi.”
“Maafkan aku sekali lagi, Siauw-moi.” Yu Siang Ki menjura dan Kwi Lan tertawa geli.
“Mari ke perahuku. Kuharap saja mereka akan muncul agar enak kita berdua mengganyang mereka di perahu!”
Namun Yu Siang Ki tidak segembira Kwi Lan. Hatinya tetap merasa gelisah dengan munculnya hal yang merupakan teka-teki ini. Siapa pembunuh hwesio-hwesio itu? Andai kata orang-orang Thian-liong-pang, apakah maksudnya? Namun ia tidak sempat bicara lagi karena Kwi Lan sudah berkelebat dan meloncat jauh dari tempat itu. Cepat ia mengejar dan sebentar saja mereka sudah berada di perahu cat merah yang disewa Kwi Lan.
“Aku mau tidur,” kata Kwi Lan dan terus saja ia tidur telentang di atas papan perahu berbantal bungkusan pakaiannya.
Sejenak Siang Ki tertegun memandang tubuh yang melintang di depannya, kagum bukan hanya oleh keindahan bentuk tubuh, juga oleh sikap yang demikian polos dan wajar. Ah, ada remaja yang jujur dan bersih, tidak berpura-pura, liar seperti bunga mawar hutan, pikirnya terharu.
“Aku duduk menjaga di luar,” katanya dengan suara tergetar sambil duduk di atas papan melintang di kepala perahu, memandangi bulan purnama yang bermain-main di dalam air sungai.
Sinar bulan dan keadaan yang sunyi itu membuat Siang Ki melamun. Pelabuhan sungai itu sunyi sekali karena setelah peristiwa yang terjadi siang tadi, semua nelayan merasa takut dan menghentikan kegiatan pekerjaan malam. Mereka menduga bahwa tentu akan terjadi sesuatu yang hebat antara nona perkasa itu dengan para penjahat yang bermalam di Kuil Ban-hok-tong.
Siang Ki berkali-kali menarik napas panjang. Ia terpaksa meninggalkan Kang-hu karena peristiwa yang amat penting telah terjadi. Mula-mula berita itu tidak dipercayanya. Berita yang didengar dari beberapa orang pengemis anggota perkumpulannya bahwa di daerah selatan muncul Suling Emas yang memusuhi para pengemis. Mula-mula ia mengutus Gak-lokai dan Ciam-lokai untuk menyelidiki berita yang tak masuk akal itu. Dan dua orang kakek pengemis itu pulang dengan babak-belur.
Mereka telah bertemu dengan Suling Emas itu dan ternyata berbeda dengan Suling Emas yang telah menyamar sebagai Yu Kang Tianglo! Akan tetapi Suling Emas yang baru ini berpakaian seperti Suling Emas dengan tanda gambar sulaman suling di depan dadanya. Hebatnya, Suling Emas baru ini pun berkepandaian tinggi sehingga Gak-lokai dan Ciam-lokai tidak mampu menandinginya dan dirobohkan. Bahkan Suling Emas itu menantang agar supaya Yu Kang Tianglo datang sendiri menandinginya!
Mendengar ini panas hati Yu Siang Ki. Maka ia lalu melakukan perjalanan ke selatan, menemui Suling Emas ini sebagai wakil ayahnya, Yu Kang Tianglo. Ia menjadi bingung, tidak tahu mana yang tulen mana yang palsu antara Suling Emas yang pernah menyamai sebagai mendiang ayahnya dengan Suling Emas yang sekarang. Akan tetapi nyatanya, dalam belasan jurus saja ia roboh oleh orang ini! Karena inilah Yu Siang Ki lalu mengambil keputusan untuk pergi mencari Suling Emas pertama untuk dimintai tolong menghadapi Suling Emas kedua ini!
Kini duduk melamun di kepala perahu, memandang sepasang bulan yang di atas dan di dalam air, teringatlah ia akan sepasang Suling Emas yang membingungkan hatinya. Suling Emas kedua ini selain lihai juga agaknya sengaja memusuhi pihak pengemis, namun tak pernah terdengar melakukan kejahatan dan tidak pula melukai berat kepada para pengemis termasuk Gak-lokai berdua dan dirinya sendiri. Agaknya asal dapat menang cukuplah bagi Suling Emas ke dua itu!
Kembali ia menarik napas panjang memandangi dua bulan berganti-ganti, lalu tanpa disadarinya Yu Siang Ki bersenandung.
Bulan terapung di angkasa
bermain dengan mega
- tak mungkin terbang menjangkaunya!
bercanda dengan gelombang
tak mungkin menyelaminya!
Kembali Siang Ki menarik napas panjang. Dua orang Suling Emas itu seperti dua bulan ini, bulan dan bayangannya, yang mana tulen dan mana palsu? Keduanya sakti dan sukar menyelidiki keadaannya.
“Ah... kau... kau gagah...”
Siang Ki terkejut dan menoleh. Ia melihat Kwi Lan menggeliat perlahan dan mulut gadis itu berbisik-bisik. Hatinya berdebar. Tak salahkah pendengarannya bahwa gadis itu dengan suara bisik merayu menyebutnya gagah? Tak salahkah penglihatannya bahwa gadis itu menggeliat dan seolah-olah mengharapkan dia datang membelainya? Tanpa disadarinya lagi Siang Ki melangkah maju mendekati tubuh yang masih tidur telentang itu.
Sinar bulan tertutup atap perahu sehingga wajah gadis itu terlindung dalam cuaca remang-remang. Bergerak-gerakkah bulu mata panjang lentik itu? Sampai lama Siang Ki berdiri menatap wajah yang amat cantik itu. Bibir gadis ini seperti tersenyum menantang, tangan kiri di atas perut dan tangan kanan di bawah dagu. Rambutnya harum hitam halus yang dikucir dua itu terletak di atas dada, kanan kiri, ikut bergerak-gerak turun naik bersama dadanya.
Ada dorongan hasrat yang amat kuat merangsang dari dalam dada Siang Ki, membuat ia membungkuk dan hampir saja ia mencium pipi dan bibir itu, namun kesadaran dan keteguhan hatinya menahannya. Dia seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang hidup sebagai seorang pendekar. Tak mungkin melakukan hal sekeji ini, menggunakan kesempatan selagi seorang dara tidur untuk menciumnya. Pekerjaan hina! Sama dengan mencuri, sama dengan memperkosa.....
Komentar
Posting Komentar