MUTIARA HITAM : JILID-08


Sambil berlutut Siangkoan Li berkata, “Tidak, Gwakong, aku tidak berani...!” kemudian ia menoleh ke arah Kwi Lan. “Kwi Lan, kau pergilah. Lekas mereka telah datang...!”
“Biarkan mereka datang. Biar aku mati aku tidak mau pergi tanpa kau ikut pergi. Kau sudah menolong nyawaku, aku harus membalasnya sedikitnya satu kali!” kata Kwi Lan dengan suara tetap.
“Celaka...! Kwi Lan, kau tahu, siapa kakek itu?” Ia menuding ke arah kakek yang terluka lengan kanannya. “Dia itu susiok Yo Cat, dia itu murid sucouw yang akan datang pula bersama Cap-ji-liong! Biar ada lima orang engkau dan aku belum tentu akan dapat melawannya.”
Akan tetapi Kwi Lan hanya tersenyum saja. Makin lama Siangkoan Li makin bingung dan kini dari jauh tampak layar beberapa buah perahu. Siangkoan Li meloncat bangun, menghampiri Kwi Lan, memegang lengannya dan berseru. “Kalau begitu, demi keselamatanmu, kita pergi...!”
Kwi Lan ikut berlari, membiarkan dirinya ditarik Siangkoan Li. Tak lama kemudian ia berseru, “Eh, eh, kenapa lari ketakutan? Mari kita lawan bersama.”
“Hushhh... diamlah. Aku tahu jalan rahasia yang tak mungkin dapat mereka kejar dan cari. Mari...!”
Mereka lari memasuki sebuah hutan yang gelap dan memang pemuda itu tidak bohong. Ia melalui jalan menyusup-nyusup yang amat sukar, bukan jalan manusia lagi dan kalau bukan orang yang sudah mengenal jalan tentu amat sukar memasuki hutan melalui jalan ini.
Akhirnya setelah lari setengah hari lamanya Siangkoan Li nampak tenang dan mengajak gadis itu duduk di pinggir sebuah sungai kecil dalam hutan. Keadaan di situ teduh dan sejuk sekali. Sinar matahari yang amat terik ditangkis oleh daun-daun pohon yang lebat.
“Mari kuputuskan belenggu,” kata Kwi Lan sambil menarik tangan Siangkoan Li.
Akan tetapi pemuda itu merenggut kembali tangannya. “Untuk apa? Setelah menyelamatkan engkau, aku akan kembali menyerahkan diri.”
Kwi Lan marah sekali. Ia meloncat bangun dari tempat duduknya dan menudingkan telunjuknya kepada Siangkoan Li. “Engkau boleh berkepala batu, aku pun berhati baja! Akan tetapi engkau berkeras secara ngawur. Siangkoan Li, engkau seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi, mengapa begini lemah? Kalau kau memang amat mencinta Thian-liong-pang, mengapa kau tidak mengumpulkan orang-orang seperti Ciam Goan untuk membersihkan Thian-liongpang dari oknum-oknum macam Ma Kiu dan lain-lain? Kalau kau lakukan itu dan Thian-liong-pang menjadi perkumpulan orang gagah kembali, barulah kau seorang yang berbakti kepada mendiang ayahmu, menjujung tinggi nama baik orang tua dan perkumpulan. Yang kau lakukan sekarang ini hanya membuktikan bahwa kau pengecut dan picik. Baiklah, kalau kau berkukuh hendak mengerahkan diri, aku pun berkukuh hendak membasmi Thian-liong-pang sendirian saja. Kita akan sama-sama mati, akan tetapi matiku seribu kali lebih berharga dari pada matimu yang seperti kematian seekor kecoa!”
Pucat wajah Siangkoan Li mendengar ini. Ia meloncat bangun, sejenak ia memandang dengan mata melotot. Kedua orang muda itu saling pandang untuk beberapa lama. Kemudian Siangkoan Li menarik napas panjang. “Aku bingung dan ragu-ragu... agaknya engkau benar... biarlah akan kutemui kedua orang Suhu-ku dan minta nasehat mereka...! Thian-liong-pang, untuk sementara ini aku Siangkoan Li menjadi pengkhianat!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba ia mengerahkan tenaga menggerakkan kedua tangannya. Terdengar suara keras dan... belenggu besi itu rontok semua dan putus-putus!
Kwi Lan tersenyum girang dan kagum. Tak salah dugaannya, pemuda ini memiliki kepandaian tinggi, yang jelas adalah tenaganya yang istimewa. Pantas saja kekeknya yang sudah tua itu sekali ditangkis terluka.
“Bagus Siangkoan Li. Begitu barulah seorang gagah sejati! Akan tetapi aku masih belum percaya betul. Bagaimana kalau kau lakukan ini hanya untuk mengelabui aku? Sebelum aku yakin akan keputusan hatimu, aku hendak mengikuti sepak terjangmu beberapa lama. Sekarang engkau hendak ke mana?”
“Ucapan-ucapanmu mulai membekas di hatiku, Kwi Lan. Akan tetapi aku masih bimbang ragu. Karena itu, jalan satu-satunya adalah bertanya kepada kedua orang guruku. Aku hendak mengunjungi mereka.”
“Kedua orang gurumu tentu orang-orang luar biasa. Aku pun ingin bertemu dengan mereka. Aku ikut!”
“Eh, tidak bisa, Kwi Lan. Mereka itu orang-orang luar biasa sekali dan tidak suka bertemu dengan orang lain. Kecuali itu, juga tempatnya amat sukar didatangi orang, bagaimana aku bisa mengajakmu ke sana?”
Kwi Lan tersenyum. “Kata-katamu makin membuat aku curiga. Siangkoan Li, sudah kukatakan tadi. Engkau telah berkali-kali menolongku, maka aku sudah mengambil keputusan, sebelum kau yakin akan kekeliruanmu mengenai sikapmu terhadap Thian-liong-pang, aku tidak akan meninggalkanmu. Kalau kau bisa mengunjungi mereka, mengapa aku tidak? Marilah kita berangkat!”
Siangkoan Li mengerutkan keningnya. Gadis ini amat keras hati dan ia tahu bahwa Kwi Lan tentu akan melakukan apa yang diucapkannya.
“Baiklah, Kwi Lan. Akan tetapi kau sudah kuperingatkan. Jangan persalahkan padaku kalau kau terbawa-bawa ke dalam lembah hitam karena kau pergi bersama aku yang sejak kecil bergelimang dalam dunia yang kotor.”
Berangkatlah dua orang itu melanjutkan perjalanan. Melakukan perjalanan bersama Siangkoan Li bedanya sejauh bumi dengan langit kalau dibandingkan dengan perjalanan bersama Hauw Lam. Perjalanan di samping Hauw Lam merupakan perjalanan yang penuh tawa dan gurau, gembira karena pemuda itu memandang dunia dari sudut yang terang dan lucu. Akan tetapi sebaliknya, Siangkoan Li adalah seorang pemuda yang pendiam dan wajah yang tampan itu hampir selalu muram diselimuti awan kedukaan.
Di sepanjang jalan, dua orang yang melakukan perjalanan cepat ini jarang sekali bicara. Kalau tidak diajak bicara, Siangkoan Li tak pernah membuka mulut! Akan tetapi Kwi Lan tidak merasa kecewa. Ia maklum akan isi hati pemuda ini dan sinar mata pemuda itu di waktu memandangnya, penuh perasaan, sudah cukup baginya. Sinar mata pemuda ini tiada bedanya dengan sinar mata Hauw Lam di waktu menatapnya. Ada sesuatu dalam sinar mata kedua pemuda itu yang mendatangkan kehangatan di hatinya.
Sebelas hari lamanya mereka berdua melakukan perjalanan yang sukar, naik turun pegunungan Lu-liang-san, masuk keluar hutan-hutan lebat. Pada hari ke dua belas, setelah selama itu tak pernah bertemu dengan manusia karena agaknya Siangkoan Li memang memakai jalan yang liar dan tak pernah diinjak orang, sampailah mereka di sebuah dusun kecil di lereng bukit. Dusun ini hanya ditinggali beberapa puluh keluarga petani, akan tetapi di ujung dusun itu berdiri sebuah rumah makan yang kecil dan sederhana sekali.
“Kita sudah sampai,” kata Siangkoan Li.
“Apa? Di dusun ini?”
Siangkoan Li menggeleng kepala dan menudingkan telunjuknya ke depan. “Di puncak sana itu.”
Kwi Lan memandang dan benar saja. Tak jauh dari dusun itu menjulang tinggi puncak bukit dan samar-samar tampak tembok putih panjang melingkari bangunan-bangunan kuno.
“Bangunan apakah itu?” tanya Kwi Lan.
“Itulah kuil dan markas Lu-liang-pai. Di sana tinggal para hwesio Lu-liang-pai yang merupakan partai persilatan besar di daerah ini.”
“Ahhh, kedua orang gurumu itu hwesio-hwesio yang tinggal di sana?”
Siangkoan Li menggeleng kepala dan keningnya berkerut, agaknya pertanyaan ini menimbulkan kekesalan hatinya.
“Apakah dugaanku keliru?”
Pemuda itu mengangguk dan menghela napas panjang. “Kedua orang guruku adalah... orang-orang hukuman di kuil itu...!”
“Apa...?” Kwi Lan benar-benar kaget karena hal ini sama sekali tidak pernah diduganya. “Kenapa mereka dihukum? Apakah mereka itu anggota-anggota Lu-liang-pai yang menyeleweng?”
“Bukan. Mereka bukan hwesio, tapi... entah mengapa mereka menjadi orang-orang hukuman di sana, tak pernah mereka mau katakan kepadaku. Akan tetapi, Kwi Lan, tidak mudah menemui mereka di sana. Kalau ketahuan para hwesio, tentu aku akan ditangkap. Karena itu kuharap kau suka menanti di dusun ini dan biarlah aku seorang diri pergi menghadap kedua orang guruku.”
Kwi Lan mengajak pemuda itu duduk di tepi jalan, di atas akar pohon yang menonjol ke luar, “Siangkoan Li, keadaan gurumu itu aneh sekali. Bagaimana kau dapat menjadi muridnya kalau mereka itu orang-orang hukuman di kuil Lu-liang-pai?”
Setelah berulang-ulang menghela napas, pemuda berwajah muram ini lalu bercerita. Ia tidak pandai bicara, ceritanya singkat namun menarik perhatian Kwi Lan karena cerita itu amat aneh.
“Terjadinya ketika ayahku masih hidup. Ayah adalah ketua Thian-liong-pang yang pada waktu itu masih bernama harum sebagai perkumpulan kaum patriot Hou-han. Ayah mengenal baik dengan para pimpinan hwesio Lu-liang-pai dan pada suatu hari Ayah datang ke Lu-liang-pai mengunjungi mereka. Aku baru berusia tiga belas tahun dan diajak oleh ayah.” Siangkoan, Li mulai ceritanya yang didengarkan oleh Kwi Lan dengan tertarik. Kemudian ia melanjutkan....
Sebagai seorang anak kecil berusia tiga belas tahun, Siangkoan Li menjadi bosan mendengar percakapan antara ayahnya dan para pimpinan Lu-liang-pai, maka diam-diam ia menyelinap pergi dan bermain-main di kebun belakang. Para hwesio dan ayahnya tidak melarangnya karena di kebun belakang memang terdapat taman bunga yang amat indah. Hawa pegunungan yang sejuk memungkinkan segala macam kembang hidup subur di situ.
Akan tetapi Siangkoan Li ternyata bukan hanya bermain-main di taman bunga, melainkan bermain terus lebih jauh lagi ke sebelah belakang bangunan kuil Lu-liang-pai. Dilihatnya sebatang kali kecil di belakang taman, kali yang lebarnya empat meter lebih. Di seberang kali terdapat tanaman liar dan kali itu tidak dipasangi jembatan.
Dasar Siangkoan Li seorang anak yang ingin sekali mengetahui segalanya dan ia selalu merasa penasaran kalau belum terpenuhi keinginannya. Maka biar pun sungai itu terlalu lebar untuk ia lompati, ia segera mendapatkan akal. Ia tak pandai renang, melompati tak mungkin, akan tetapi ia ingin sekali menyeberang. Dicarinya sebatang bambu dan dengan bantuan bambu panjang ini yang ia pakai sebagai galah loncatan, sampai jugalah ia di seberang dengan kaki dan pakaian berlepotan lumpur.
Ia berjalan terus ke atas pegunungan kecil dan setelah tiba di puncak, tiba-tiba tubuhnya menginjak lubang yang tertutup rumput alang-alang. Tubuhnya terjeblos dan melayang ke bawah! Dia seorang anak pemberani dan karena ketika terbanting di dasar lubang ia tidak mengalami cedera, juga tidak terlalu nyeri karena dasar lubang juga berlumpur, ia tidak berteriak minta tolong. Malah di dalam gelap, ia meraba-raba dan terus berjalan maju ketika mendapatkan bahwa lubang itu mempunyai terowongan.
Akhirnya setelah melalui terowongan yang berliku-liku, tibalah ia di ruangan bawah tanah dan melihat dua orang kakek di balik kerangkeng besi. Dua orang kakek yang bukan seperti manusia lagi. Mereka itu sudah tua dan pakaian mereka compang-camping penuh tambalan. Yang seorang berwajah seperti seekor harimau, rambutnya kasar riap-riapan, demikian pula cambang dan kumisnya. Orang ke dua kurus sekali sehingga kaki dan tangan yang tak terbungkus pakaian itu merupakan tulang-tulang terbungkus kulit belaka. Kepalanya botak, hanya bagian atas telinga dan atas tengkuk saja ditumbuhi rambut panjang. Akan tetapi jenggotnya lebat dan panjang.
Keduanya sama tua dan sama liar, dan perbedaan yang mencolok di antara mereka selain rambut itu, juga pada muka mereka. Si Wajah Harimau itu mukanya merah sekali sedangkan yang botak itu wajahnya pucat seputih tembok!
“Heh-heh, Pek-bin-twako (Kakak Muka Putih), kau bilanglah. Apakah kita sekarang sudah mampus dan berada di neraka berjumpa seorang iblis cilik?” Si Muka Merah berkata sambil terkekeh-kekeh.
“Huh, sebelum lewat tujuh tahun lagi mana aku mau mati?” kata si Muka Putih dengan nada dingin dan mengejek.
Melihat keadaan mereka dan mendengar kata-kata itu, biar pun Siangkoan Li seorang anak yang pemberani, ia merasa seram juga. Akan tetapi di balik rasa takutnya terselip rasa kasihan melihat dua orang kakek dikurung macam binatang-binatang buas saja, maka ia memberanikan hati dan menghampiri kerangkeng. Setelah memandang penuh perhatian dan jelas bahwa dua orang itu benar-benar manusia yang sangat tua, ia lalu bertanya. “Kakek berdua, siapakah dan mengapa dikerangkeng di sini?”
Dua orang kakek itu saling pandang, yang muka merah tertawa ha-hah-he-heh sedangkan yang muka putih bersungut-sungut.
“Kau bocah dari mana? Mengapa berani masuk ke sini? Apakah kau kacung Lu-liang-pai?” tanya yang muka putih.
Siangkoan Li terkejut. Suara itu seakan-akan menyusup ke dalam dadanya dan membuat jantungnya berhenti berdetik dan terasa dingin sekali sampai-sampai ia menggigil dan mukanya pucat. Cepat ia menggeleng kepala.
“Bukan. Aku bernama Siangkoan Li dan bersama ayahku berkunjung kepada para Lo-suhu di Lu-Liang-pai. Aku berjalan-jalan sampai ke sini dan terjeblos ke lubang.” Kemudian ia menceritakan siapa ayahnya dan bagaimana ia sampai ke tempat itu.
“Ayahmu Siangkoan Bu ketua Thian-liong-pang? Ha-ha-ha!” Kakek muka merah itu tiba-tiba bergerak maju dan... menyusup keluar dari kerangkeng! Juga kakek muka putih berjalan maju dan tubuhnya menyusup keluar dari kerangkeng dengan amat mudahnya, seakan-akan kerangkeng itu merupakan pintu lebar. Padahal besi-besi kerangkeng itu amat sempit. Seorang anak seperti Siangkoan Li saja tak mungkin dapat lolos ke luar. Bagaimana dua orang kakek itu dapat meloloskan diri tanpa banyak susah?
Siangkoan Li adalah putera seorang pangcu (ketua) dan tentu saja sejak kecil ia sudah dilatih silat. Melihat keadaan ini, sungguh pun ia tidak mengerti dan terheran-heran, namun ia kini sudah tahu bahwa dua orang kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Maka serta-merta ia lalu menjatuhkan diri berlutut.
“Harap suka memaafkan teecu yang berani bersikap kurang ajar. Kiranya Jiwi Locianpwe adalah orang-orang sakti. Teecu masuk tidak sengaja, mohon maaf!”
Si Muka Merah tertawa tergelak. “Ha-ha-ha! Apa artinya Ilmu Sia-kut-hoat (Ilmu Lepas Tulang Lemaskan Tubuh) seperti itu? Kau putera Siangkoan Bu? Bagus! Eh, bocah, maukah engkau menjadi murid kami?”
Siangkoan Li kaget, dan juga girang sekali. Sudah sering kali ia mendengar dari ayahnya tentang orang-orang sakti di dunia persilatan dan sering kali mimpi betapa akan senangnya kalau dapat menjadi murid orang-orang sakti. Kini tanpa disengaja ia berhadapan dengan dua orang sakti yang ingin mengangkatnya menjadi murid! Ia menjadi girang sekali dan tentu ayahnya juga akan girang kalau mendengar akan hal ini. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu mengangguk-anggukkan kepala, “Teecu akan merasa girang dan bahagia sekali, Ji-wi Suhu (Guru Berdua)!”
“Ang-bin Siauwte ( Adik Muka Merah), mudah saja engkau menetapkan dia sebagai murid kita, bagaimana kalau kelak ternyata salah pilih?” tegur si Muka Putih.
“Heh-heh-heh! Dia ini keturunan seorang patriot dan ketua perkumpulan besar. Mana bisa salah pilih? Kalau kelak ternyata dia menyeleweng, apa susahnya kita mengambil nyawanya? Eh, Siangkoan Li, kau sendiri sudah menetapkan menjadi murid kami. Seorang murid tak boleh membantah perintah guru. Mulai detik ini, kau tinggal di sini menemani kami sambil belajar!”
Siangkoan Li terkejut sekali. “Tapi... tapi... teecu belum memberitahukan hal ini kepada Ayah...!” bantahnya dengan muka pucat.
Si Muka Putih mengeluarkan suara mendengus di hidungnya. Si Muka Merah tersenyum lebar. “Hah, boleh kau coba pergi dari sini. Sebelum keluar dari lubang, nyawamu akan lebih dulu melayang!”
Siangkoan Li takut sekali akan tetapi akhirnya ia mengambil keputusan untuk mati hidup mentaati kedua orang gurunya. Mulai saat itu dia digembleng oleh kedua orang gurunya yang aneh. Setiap hari dari lubang itu turun makanan yang ternyata dikirim oleh hwesio-hwesio Lu-liang-pai.
“Demikianlah, Kwi Lan. Sampai empat tahun aku dilatih ilmu oleh kedua orang guruku itu.” Siangkoan Li melanjutkan penuturannya kepada Kwi Lan yang mendengarkan dengan muka amat tertarik. “Selama itu belum pernah kedua orang Suhu itu memberitahukan nama mereka. Dan ketika aku diperkenankan keluar, yaitu dua tahun yang lalu, aku segera pulang ke Yen-an akan tetapi ternyata Ayah telah meninggal dunia dan Thian-liong-pang telah dipegang oleh Gwakong. Karena aku tidak mempunyai ayah ibu lagi, Gwakong menjadi pengganti orang tuaku dan aku harus tunduk dan berbakti kepadanya, juga kepada Thian-liong-pang di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Bagaimana aku dapat mengkhianati Thian-liong-pang dan bagaimana aku berani melawan Gwakong?”
Kini Kwi Lan mulai mengerti akan keadaan hati Siangkoan Li. Ia menjadi kasihan dan berkata, “Memang sudah paling tepat kalau engkau menemui kedua orang gurumu itu untuk minta pertimbangan dan nasehat mereka. Aku berani bertaruh bahwa mereka tentu lebih cocok dengan pendapatku, yakni bahwa kau harus mengumpulkan orang-orang gagah yang telah mengundurkan diri dari Thian-liong-pang, kemudian melakukan pembersihan di perkumpulan itu dan mendirikan kembali Thian-liong-pang yang sudah runtuh nama baiknya itu. Cap-ji-liong harus dibasmi, kakekmu harus diinsyafkan. Dan selain itu, aku ingin sekali bertemu dengan kedua orang aneh yang menjadi gurumu. Maka aku akan ikut denganmu, Siangkoan Li.”
“Eh, jangan...! Berbahaya sekali...!”
Kwi Lan mencibirkan bibirnya. “Berbahaya? Kalau kau bisa, kenapa aku tidak mampu? Kita boleh lihat saja!”
“Bukan, bukan itu maksudku. Kepandaianmu hebat, tentu saja kau dapat sampai ke tempat itu tanpa diketahui para hwesio Lu-liang-pai. Akan tetapi... kedua orang guruku itu wataknya aneh sekali. Siapa tahu mereka akan marah kalau melihatmu.”
“Betapa pun anehnya mereka, belum tentu seaneh guruku. Dan aku tidak takut. Kalau mereka itu begitu gila untuk marah-marah kepadaku tanpa sebab, biarkan mereka marah, aku tidak takut!”
Siangkoan Li habis daya. Ia merasa tak sanggup menang jika harus berbantahan dengan gadis ini. Pula dia telah melakukan hal yang amat hebat, telah berkhianat terhadap Thian-liong-pang, semua gara-gara gadis ini. Sekarang kalau mereka berdua akan mengalami malapetaka bersama sekali pun, apa lagi yang disesalkan? Tidak ada paksaan dalam hal ini, semua dilakukan oleh mereka dengan sukarela. Diam-diam ia malah merasa jantungnya berdebar girang. Tak salah dugaannya bahwa gadis jelita ini pun suka kepadanya seperti rasa suka di hatinya? Mencintanya seperti rasa cinta di hatinya?
Dengan ilmu kepandaian mereka, dengan mudah sekali Siangkoan Li dan Kwi Lan melompati tembok yang mengurung Lu-lian-pai dan memasuki daerah mereka itu dari tembok belakang. Menurut keterangan Siangkoan Li, jalan satu-satunya menuju ke tempat tahanan di bawah tanah itu harus melalui kebun bunga di belakang kuil Lu-liang-pai. Berindap-indap mereka berjalan sambil menyusup-nyusup dan bersembunyi di balik pepohonan.
“Siangkoan Li, apakah para hwesio Lu-liang-pai yang menghukum kedua orang gurumu?” tanya Kwi Lan ketika mereka menyusup-nyusup di taman bunga.
“Entah, kedua orang guruku tak pernah mau bercerita tentang diri mereka.”
“Kalau benar demikian, tentu hwesio-hwesio Lu-liang-pal lihai luar biasa.”
“Memang aku masih ingat cerita ayah bahwa pimpinan Lu-liang-pai memiliki ilmu tinggi, akan tetapi aku tidak percaya mereka mampu mengalahkan kedua orang guruku. Buktinya, kalau kedua orang guruku menghendaki, apa susahnya bagi mereka untuk keluar dari kerangkeng? Agaknya memang sengaja kedua orang guruku tidak mau keluar.”
“Aneh sekali! Benar-benar aneh dan lucu!”
Tiba-tiba terdengar desir angin. Mereka cepat menyelinap di balik serumpun pohon kembang. Dua batang piauw (senjata rahasia) menyambar di atas kepala mereka. Dua orang hwesio muda muncul di dekat tempat mereka bersembunyi, mereka memandang ke sekeliling dengan pedang siap di tangan.
“Aneh sekali. Bukankah tadi jelas bayangan dua orang itu di tempat ini?” kata seorang di antara mereka.
“Benar sekali, Sute (Adik Seperguruan). Agaknya orang-orang jahat yang datang menyelundup. Kau ingat pesan Suhu (Guru)? Tahun ini hukuman dua orang musuh besar kita telah habis, maka Suhu berpesan agar kita semua berjaga dengan hati-hati. Siapa tahu kakek jahat itu masih belum kehilangan kebuasannya dan menjelang habisnya hukuman, teman-temannya yang jahat datang untuk menimbulkan kekacauan di sini.”
“Kau benar, Suheng (Kakak Seperguruan). Kata Suhu mereka itu lihai bukan main. Gerakan dua bayangan tadi pun amat lihai. Jelas piauw kita mengenai sasaran, mengapa mereka tidak roboh malah lenyap seperti setan? Lebih baik kita lekas-lekas melaporkan kepada Suhu agar dapat dikerahkan tenaga untuk mengepung dan mencari mereka!”
Mendadak saja kedua orang hwesio itu roboh terguling. Pedang mereka terlempar dan tubuh mereka lemas dan lumpuh karena jalan darah mereka telah tertotok oleh sambaran dua butir kerikil! Siapa lagi kalau bukan Siangkoan Li yang melakukan hal ini. Memang pemuda ini memiliki keahlian menotok jalan darah dengan sambitan kerikil, seperti pernah ia pergunakan untuk membebaskan dan menolong Kwi Lan di dalam goa yang terancam kehormatannya oleh tiga orang anak buah Thian-liong-pang. Setelah merobohkan dua orang hwesio itu, Siangkoan Li menarik tangan Kwi Lan dan cepat-cepat mengajaknya berlari ke luar dari taman itu menuju ke sungai yang melintang di belakang.
“Terpaksa kutotok mereka agar jangan melapor sehingga usahaku menemui kedua Suhu-ku terhalang.” kata Siangkoan Li.
Berbeda dengan enam tahun yang lalu ketika Siangkoan Li melompati sungai itu harus dibantu sepotong bambu panjang, kini dengan amat mudahnya ia bersama Kwi Lan melompati sungai yang melintang. Dengan cepat Siangkoan Li mengajak gadis itu mendaki bukit kecil yang penuh dengan rumpun alang-alang. Ia khawatir kalau-kalau kedua orang suhu-nya sudah pergi. Bukankah dua orang hwesio tadi mengatakan bahwa sekarang ini sudah tiba saatnya kedua orang suhu-nya bebas? Entah hari apa, akan tetapi tentu sekitar hari ini.
Dengan mudah Siangkoan Li mendapatkan sumur yang tertutup alang-alang itu. Ia memberi isyarat kepada Kwi Lan untuk mengikutinya, kemudian ia melompat masuk. Dengan ilmu meringankan tubuh seperti yang ia kuasai sekarang ini, tentu saja tidak sukar baginya untuk melompat masuk ke dalam sumur itu. Demikian pula Kwi Lan. Setelah gadis itu mengikutinya dengan lompatan ringan dan keduanya tiba di dasar sumur, Siangkoan Li lalu menggandeng tangan Kwi Lan dan sambil meraba-raba ke depan ia memasuki terowongan di bawah tanah.
Ketika tiba di sebuah tikungan terowongan dan dari jauh sudah tampak kerangkeng besi itu, tiba-tiba mereka merasai sambaran angin dahsyat dari depan disertai suara maki-makian keras. Cepat Siangkoan Li menarik tangan Kwi Lan ke bawah dan keduanya lalu bertiarap di atas tanah sambil memandang ke depan.
Kiranya dua orang kakek yang seperti orang tak waras ingatannya itu sudah keluar dari kerangkeng dan kini mereka mencak-mencak seperti dua orang menari-nari. Akan tetapi luar biasa hebatnya sambaran tangan mereka. Dinding batu pecah-pecah dan hawa pukulan yang meluncur lewat memasuki terowongan menimbulkan angin hebat! Tampak kakek muka putih hanya bersungut-sungut dan melotot sambil memukul-mukulkan kedua tangan, akan tetapi kakek muka merah sambil memukul-mukul juga memaki-maki. Dan mereka berdua itu menujukan pandang mata ke arah Siangkoan Li dan Kwi Lan! Akan tetapi ternyata maki-makiannya bukan ditujukan kepada dua orang muda ini.
“Heh, Bu Kek Siansu, tua bangka menjemukan! Apakah engkau sudah mampus? Kalau sudah mampus kami tantang rohmu agar datang ke sini dan memenuhi janji! Hayo, biar engkau masih hidup atau pun sudah mampus, engkau harus datang menemui kami. Kami Pak-kek Sian-ong (Raja Sakti Kutub Utara) dan Lam-kek Sian-ong (Raja Sakti Kutub Selatan) bukanlah orang-orang yang tidak pegang janji dan takut padamu! Lima belas tahun sudah menebus kekalahan dengan berdiam di neraka ini, hanya untuk menunggu kedatanganmu. Hari ini tepat lima belas tahun. Hayo muncullah orangnya atau rohnya untuk mengadu kepandaian. Apakah engkau takut, Bu Kek Siansu?”
Suara kakek yang bernama Lam-kek Sian-ong ini hebat sekali, membuat seluruh terowongan tergetar, bahkan Kwi Lan dan Siangkoan Li yang bertiarap di lantai terowongan itu merasa betapa lantai tergetar hebat. Kini mengertilah mereka bahwa dua orang kakek itu bukan marah-marah kepada mereka berdua, dan mungkin tidak melihat kedatangan mereka karena mereka berdua datang dari tempat gelap sedangkan tempat kedua orang kakek itu terang, menerima cahaya matahari yang menerobos masuk dari lubang dan celah-celah di atas.
Kehebatan gerakan dan suara kedua orang kakek sakti itu benar-benar mengejutkan mereka dan membuat mereka tak berani sembarangan bergerak-gerak. Bahkan Kwi Lan yang tak kenal takut juga kini maklum betapa saktinya dua orang guru Siangkoan Li ini. Akan tetapi mereka bingung dan tidak mengerti mengapa ke dua orang kakek itu menantang seorang lawan yang tidak tampak? Siapakah itu Bu Kek Siansu yang mereka tantang?
Nama Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, pada puluhan tahun yang lalu adalah nama-nama yang amat terkenal sebagai tokoh-tokoh sakti yang luar biasa. Kedua orang kakek ini memang aneh sepak terjangnya. Bahkan dengan dua orang saja mereka pernah membikin geger Kerajaan Khitan dengan membunuh Raja Khitan, yaitu Raja Kubakan dengan niat merampas kerajaan! Akan tetapi maksud hati mereka itu gagal karena mereka dihalangi oleh Suling Emas, Lin Lin atau Yalina yang kini menjadi Ratu di Khitan, dan banyak orang gagah. Kalau tidak di keroyok, agaknya dua orang kakek ini akan tercapai niat hatinya menjadi sepasang raja di Khitan! Tidak ada orang di dunia ini yang mereka takuti kecuali seorang, yaitu Bu Kek Siansu!
Siapakah Bu Kek Siansu? Jarang ada orang pernah bertemu dengan manusia setengah dewa ini, walau pun namanya menjadi kembang bibir semua tokoh dunia kang-ouw. Di antara para pendekar terdapat kepercayaan bahwa siapa yang dapat bertemu dengan Bu Kek Siansu adalah orang yang bernasib baik sekali karena kabarnya kakek setengah dewa itu amat murah hati dan tak pernah menolak permintaan seorang untuk minta petunjuk dalam ilmu silat. Akan tetapi juga menjadi kepercayaan semua tokoh dunia hitam bahwa bertemu Bu Kek Siansu merupakan hal yang mencelakakan, karena kakek sakti itu tidak terlawan oleh siapa pun juga! Bu Kek Siansu tidak mempunyai tempat tinggal tertentu, atau lebih tepat tak seorangpun tahu di mana adanya kakek setengah dewa ini yang sewaktu-waktu muncul pada saat yang tak disangka-sangka.
Lima belas tahun yang lalu, setelah
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong terusir dari Khitan oleh Suling Emas dan kawan-kawannya, sepasang kakek sakti ini tiba di Luliang-san. Melihat keadaan bukit ini, mereka suka sekali dan timbul keinginan hati mereka untuk merampas kuil dan mengangkat diri mereka sendiri menjadi pemimpin Lu-liang-pai. Tentu saja niat buruk ini ditentang oleh para hwesio Lu-liang-pai dan akibatnya, ketua Lu-liang-pai berikut beberapa tokohnya tewas di tangan Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong.
Dua orang kakek ini tentu akan menyebar maut lebih banyak lagi kalau tidak secara tiba-tiba muncul Bu Kek Siansu. Sekali menggerakkan tangan, kakek setengah dewa ini membuat mereka berdua lumpuh tak dapat berdiri. Kemudian setelah memberi wejangan, Bu Kek Siansu membuat mereka berjanji untuk menjalani hukuman di dalam kerangkeng di bawah tanah di belakang Lu-liang-pai untuk menebus dosa.
Hari itu tepat sekali lima belas tahun telah lewat, yaitu masa hukuman mereka seperti yang ditentukan dalam janji mereka dengan Bu Kek Siansu. Maka itu mereka lalu memanggil-manggil dan memaki-maki karena menganggap Bu Kek Siansu tidak memegang janji.
“Hayo, Bu Kek Siansu, benarkah kau tidak berani muncul? Apakah Bu Kek Siansu seorang pengecut?” kini terdengar Pak-kek Sian-ong berseru, dan berbeda dengan suara Lam-kek Sian-ong yang nyaring keras menimbulkan hawa panas, adalah suara kakek ini dalam namun menimbulkan hawa dingin yang mengerikan.
Tiba-tiba terdengar suara yang-khim (kecapi) yang merdu sekali. Suara ini memasuki terowongan itu dari luar, suaranya halus dan merdu, perlahan-lahan namun amat jelas terdengar. Kwi Lan dan Siangkoan Li yang masih bertiarap mendengar suara ini menjadi tenang hatinya. Rasa ngeri dan takut terusir lenyap, namun mereka masih bersikap hati-hati, tidak berani bangkit dan masih bertiarap sambil menanti perkembangan keadaan yang menenangkan itu.
“Heh-heh-heh, engkau benar datang, Bu Kek Siansu?” kata Lam-kek Sian-ong.
“Hoh, ke sinilah biar kami dapat menebus penderitaan lima belas tahun dengan kematianmu, tua bangka!” kata pula Pak-kek Sian-ong.
Tidak ada jawaban. Hanya suara yang-khim makin jelas dan pengaruhnya juga makin besar, mendatangkan rasa tenang dan damai sehingga maki-makian kedua orang kakek itu makin lama makin mereda dan akhirnya mereka pun seperti Siangkoan Li dan Kwi Lan mendengarkan suara yang-khim penuh perhatian dan seakan-akan juga menikmati suara yang-khim itu yang berlagu merdu. Kini suara yang-khim makin lama makin lambat dan lirih sampai akhirnya berhenti sama sekali. Namun seakan-akan gema suaranya masih terdengar memenuhi telinga, dan suasana tenang damai serta tenteram masih terasa menyelubungi hati.
“Siancai, siancai(damai, damai)...! Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, aku girang sekali melihat Ji-wi (Kalian) memegang teguh perjanjian! Kerbau diikat hidungnya, manusia diikat janjinya. Itulah yang membedakan manusia dari pada kerbau...!” Suara ini halus lembut, ramah dan menyenangkan. Seperti juga suara yang-khim tadi, suara orang ini memasuki terowongan dan terdengar di mana-mana.
Siangkoan Li dan Kwi Lan yang masih tiarap tiba-tiba mendengar desir angin lewat di atas kepala mereka. Maklumlah mereka berdua bahwa seorang yang luar biasa saktinya lewat di atas mereka memasuki terowongan itu. Benar saja dugaan mereka karena tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek tua sekali. Rambut dan jenggotnya sudah putih semua, halus seperti benang sutera, pakaiannya juga putih dan sebuah yang-khim berada di punggungnya.
Melihat datangnya kakek ini, Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong sudah memasang kuda-kuda dan bersikap menyerang. Akan tetapi kakek yang baru datang itu, yang bukan lain adalah Bu Kek Siansu sendiri mengangkat kedua tangannya ke atas dan aneh sekali, sikap hendak menyerang itu urung dengan sendirinya!
“Dengarlah, sahabat berdua. Kita ini kakek-kakek yang sudah amat tua, mengapa harus bertanding menjadi tontonan dan bahan tertawaan? Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, Ji-wi tinggal sampai lima belas tahun di tempat ini, sungguh merupakan kenyataan yang mengagumkan, tanda bahwa Ji-wi benar-benar tahan uji. Lima belas tahun bukan hukuman, melainkan tempaan dan gemblengan sehingga aku percaya bahwa kini Ji-wi telah memperoleh hasil yang amat berharga.”
“Bu Kek Siansu, sejak dahulu engkau pandai bicara manis. Lima belas tahun yang lalu kami kalah olehmu dan kami menyiksa diri selama itu di sini. Boleh jadi kami tidak peduli tentang baik dan jahat, akan tetapi kami bukan pengecut yang tidak bisa pegang janji. Kami sengaja berlatih lima belas tahun untuk menanti hari ini, saatnya kami bertemu denganmu untuk mengulang lagi pertandingan lima belas tahun yang lalu!” kata Lam-kek Sian-ong dengan mata mendelik.
“Tidak peduli baik atau jahat, tak perlu banyak cakap lagi. Bu Kek Siansu, hayo lawan kami!” kata pula Pak-kek Sian-ong yang sudah merendahkan tubuh dan menekuk kedua lututnya memasang kuda-kuda yang aneh dan lucu.
Bu Kek Siansu mengelus-elus jenggot dan tersenyum ramah. “Orang-orang yang berlepotan lumpur kotor akan tetapi menyadari akan kekotorannya, lalu mandi dan tidak bermain lumpur lagi, bukankah hal itu amat menyenangkan? Orang-orang yang bermain lumpur akan tetapi tidak sadar akan kekotorannya dan tidak mau membersihkan diri dan menginsyafi kekeliruannya, bukankah hal itu amat bodoh dan patut disesalkan?”
Pak-kek Sian-ong bertukar pandang dengan Lam-kek Sian-ong, kemudian si Muka Merah itu tertawa. “Ha-ha, Bu Kek Siansu. Kami sudah kapok berkecimpung di dunia ramai melakukan kejahatan. Akan tetapi kami belum kapok untuk mencoba kepandaian, tidak takut untuk mengulangi kekalahan lima belas tahun yang lalu!”
“Hendak kami lihat apakah benar-benar Bu Kek Siansu seorang manusia tanpa tanding di jagad ini!” kata Pak-kek Sian-ong penasaran.
“Siancai... Siancai... mengapa Ji-wi tidak melihat bahwa hal itu sama sekali tidak ada gunanya? Apakah untungnya dunia kalau kakek-kakek macam kita ini bertanding? Harap Ji-wi ketahui, semenjak Thian-te Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit) tidak ada lagi, dunia bukan makin aman. Namun kini muncul tokoh-tokoh baru menggantikan kedudukan mereka. Tokoh-tokoh hitam akan mengadakan pertemuan dan sekali mereka itu bersatu padu, bukankah peri-kemanusiaan terancam bahaya hebat? Ji-wi, segala apa di dunia ini diciptakan demi kebaikan. Semua ada kegunaannya. Matahari memberi cahaya kehidupan. Tanah memberi kesuburan. Air memberi zat kehidupan. Tetanaman memberi zat makanan. Ji-wi yang telah dikurniai kepandaian tinggi, layakkah kalau tidak digunakan untuk sesuatu kebaikan? Kalau begitu, apa artinya Ji-wi hidup dan lebih-lebih lagi, apa gunanya Ji-wi puluhan tahun mempelajari ilmu kalau hanya untuk main-main dengan aku seorang tua bangka? Harap Ji-wi suka insyaf.”
“Heh, Bu Kek Siansu. Manusia tidak lepas dari pada nafsu dan pada saat sekarang ini, nafsu kami satu-satunya mendorong kami untuk mencari kepuasan membalas kekalahan kami lima belas tahun yang lalu.”
“Benar kata-kata Ang-bin Siauwte.” kata si Muka Putih. “Yang lain-lain perkara kecil, kalau kami kalah lagi, selanjutnya kami akan menurut.”
Bu Kek Siansu menarik napas panjang. “Aku sudah terlalu lama membuang nafsu mencari menang. Sekarang begini saja, Ji-wi boleh memukulku sesuka hati. Kalau tewas oleh pukulan Ji-wi, berarti aku kalah dan terserah kepada Ji-wi apa yang selanjutnya akan Ji-wi lakukan. Akan tetapi kalau pukulan-pukulan Ji-wi tidak membuat aku mati karena maut masih segan-segan menjemput tua bangka macam aku, harap Ji-wi menerima kalah dan sukalah melakukan usaha menentang munculnya tokoh-tokoh iblis yang kumaksudkan tadi.”
Kembali dua orang kakek itu saling pandang. Betapa pun juga, mereka masih merasa gentar menghadapi manusia setengah dewa itu. Biar pun mereka selama lima belas tahun ini menggembleng diri di dalam kurungan, namun mereka maklum bahwa Bu Kek Siansu memiliki kesaktian yang sukar diukur bagaimana tingginya. Kini mendengar usul Bu Kek Siansu, mereka menjadi lega dan tentu saja tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Mereka sekali-kali bukan membenci Bu Kek Siansu dan ingin membunuhnya, melainkan mereka haus akan kemenangan. Apa pun juga caranya, kalau mereka sudah dianggap menang, akan puaslah hatinya. Apa lagi kalau kemenangan ini disahkan dengan terjatuhnya Bu Kek Siansu, si manusia dewa di bawah tangan mereka!
“Baik, aku akan memukulmu tiga kali Bu Kek Siansu!” kata Si Muka Merah.
“Aku pun memukul tiga kali!” kata pula Pak-kek Sian-ong.
“Terserah, tiga kali juga baik,” kata Bu Kek Siansu tenang.
“Kau tidak boleh menangkis!” kata pula Lam-kek Sian-ong.
“Dan tidak boleh mengelak!” sambung Pak-kek Sian-ong.
“Baik, aku tidak akan menangkis dan mengelak. Akan kuterima masing-masing tiga kali pukulan Ji-wi.”
Siangkoan Li dan Kwi Lan yang semenjak tadi bertiarap dan menyaksikan serta mendengar semua ini menjadi kaget sekali. Dua orang kakek itu luar biasa lihainya. Baru angin pukulan mereka saja tadi sudah menghancurkan batu. Bagaimana sekarang kakek yang sudah amat tua itu dapat tahan menerima tiga kali pukulan dari masing-masing kakek itu, jadi enam kali pukulan tanpa mengelak mau pun menangkis?
Kwi Lan bangkit duduk saking tertarik menyaksikan keanehan ini. Juga Siangkoan Li sudah duduk di dekatnya sambil memandang ke dalam dengan kening berkerut. Di dalam hatinya ia merasa menyesal sekali mengapa kedua orang gurunya yang dianggap orang-orang sakti itu kini hendak berlaku demikian licik dan curang terhadap seorang kakek yang kelihatan halus dan lemah itu. Ia sangat kagum ketika mendengar ucapan Bu Kek Siansu, bahkan ucapan-ucapan itu secara tidak langsung menikam hatinya karena amat cocok dengan keadaan dirinya sendiri. Mendengar ucapan kakek itu tadi, mulailah ia dapat melihat anjuran Kwi Lan.
Ia semenjak kecil hidup di lingkungan kotor dan hitam bergelimang di dunia kejahatan. Setelah ia sadar akan hal ini, mengapa ia tidak mau mencuci diri membersihkan dari kotoran, kemudian melakukan kebajikan-kebajikan yang berlawanan dengan kejahatan? Mengenai Thian-liong-pang yang sudah terlanjur kotor, tepat seperti yang dianjurkan Kwi Lan, sebaiknya ia turun tangan membersihkannya. Dengan begini barulah ia menebus dosa kakeknya dan dengan begini barulah ia berbakti kepada almarhum ayahnya.
Lam-kek Sian-ong sudah menghampiri Bu Kek Siansu, mengambil napas dalam, mengerahkan tenaga lalu memukul ke arah dada Bu Kek Siansu yang berdiri tenang-tenang saja. Angin pukulan dahsyat menyambar.
“Desss...!”
Tubuh Bu Kek Siansu bergoyang-goyang ke belakang depan dan benar-benar kakek ini telah menerima pukulan tanpa menangkis mau pun mengelak. Pukulan yang amat keras dan menggeledek.
“Ang-bin Siauwte, bergantian!” teriak Pak-kek Sian-ong sambil melompat maju.
Lam-kek Sian-ong mengangguk sambil meramkan mata dan mengatur pernapasan. Ia tahu akan akal saudaranya. Jika ia harus memukul terus sampai tiga kali, karena setiap pukulan memakan tenaga dalamnya, makin lama pukulannya makin lemah, juga ada kemungkinan ia sendiri menderita luka dalam. Dengan bergantian, ia mendapat kesempatan memulihkan tenaga. Diam-diam ia kagum sekali. Setelah lima belas tahun, pukulannya amat hebat karena setiap hari ia latih. Akan tetapi tadi mengenai dada Bu Kek Siansu, ia merasa seperti memukul sekarung kapas, tenaganya amblas kemudian membalik. Sungguh hebat!
Dengan tubuh agak direndahkan, Pak-kek Sian-ong kini melancarkan pukulan pertama. Berbeda dengan Lam-kek Sianong yang memukul dengan menggunakan kekerasan dan tenaga Yang-kang, kakek bermuka pucat ini memukul dengan jari-jari terbuka dan mengerahkan tenaga Im-kang.
“Cesss...!”
Kembali tubuh Bu Kek Siansu tergetar, bahkan terhuyung tiga langkah ke belakang. Muka kakek ini pucat sekali, namun matanya masih bersinar tenang dan penuh damai sedangkan mulutnya tersenyum ramah. Betapa pun juga, jelas tampak oleh Kwi Lan dan Siangkoan Li betapa dua kali pukulan itu luar biasa hebatnya dan mungkin sekali kakek tua renta itu sudah menderita luka dalam yang hebat.
Seperti juga Lam-kek Sian-ong, kakek muka putih itu kagum bukan main. Ia telah mengerahkan seluruh tenaganya dalam pukulan pertama ini, akan tetapi pukulannya yang tepat mengenai ulu hati Bu Kek Siansu tadi seperti bertemu dengan segumpal baja yang amat keras. Cepat-cepat ia pun mejamkan mata, mengumpulkan tenaga dan mengatur pernapasannya.
Ketika Lam-kek Sian-ong melangkah maju hendak melakukan pukulan ke dua, tiba-tiba lengannya ditarik Pak-kek Sian-ong yang memberi tanda kedipan dengan mata. Lam-kek Sian-ong maklum dan kini majulah mereka berdua, menghampiri Bu Kek Siansu. Tanpa mengeluarkan kata-kata, dua orang kakek ini telah bersepakat untuk melakukan pemukulan ke dua secara berbareng dan dapat dibayangkan betapa berbahaya pukulan kedua orang ini jika dilakukan berbareng! Lam-kek Sian-ong adalah seorang ahli dalam penggunaan tenaga panas, sedangkan sebaliknya Pak-kek Sian-ong adalah ahli mempergunakan tenaga dingin. Jika sekaligus menghadapi dua pukulan yang berlawanan sifatnya, bagaimana tubuh dapat mengatur dua macam tenaga sakti yang saling berlawanan untuk menghadapi dua pukulan itu?
Mustahil kalau seorang sakti seperti Bu Kek Siansu tidak mengerti soal itu. Akan tetapi buktinya, kakek itu hanya tersenyum saja dan masih tenang, sedikit pun tidak menegur ketika dua orang itu menghampirinya untuk melakukan pemukulan kedua secara berbareng. Kwi Lan dan Siangkoan Li memandang dengan muka pucat dan penuh kekhawatiran. Dua orang muda ini merasa pasti bahwa kali ini kakek tua renta itu tentu akan terpukul mati.
“Bresss...!”
Hebat bukan main pukulan yang dilakukan berbareng itu. Kepalan tangan Lam-kek Sian-ong menghantam dada sedangkan jari-jari tangan Pak-kek Sianong menampar lambung dalam saat berbareng. Tubuh Bu Kek Siansu terlempar ke belakang seperti daun kering tertiup angin, lalu punggungnya menubruk dinding batu. Terdengar suara keras dan yang-khim di punggungnya ternyata telah remuk!
Akan tetapi kakek ini tidak roboh binasa, melainkan maju lagi dengan agak terhuyung-huyung. Setelah ia maju, baru tampak yang-khimnya jatuh dalam keadaan hancur sedangkan dinding batu di mana ia terbanting tadi kini kelihatan amblas ke dalam dan tercetaklah bentuk tubuh kakek itu pada dinding batu! Senyum itu masih belum meninggalkan bibir, akan tetapi matanya dipejamkan dan dari kedua bibirnya mengalir darah yang menetes-netes melalui jenggot putih yang panjang!
Dua orang kakek itu saling pandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali. Dari ubun-ubun kepala mereka tampak keluar uap putih yang tebal. Ini tandanya bahwa mereka telah mempergunakan tenaga dalam yang amat kuat. Dada mereka terasa sakit dan tahulah mereka bahwa pukulan ke dua tadi telah melukai mereka sendiri. Akan tetapi melihat keadaan Bu Kek Siansu, mereka menduga bahwa lawannya itu pun telah terluka. Pukulan terakhir tentu akan merobohkan Bu Kek Siansu dan... mungkin juga menyeret mereka berdua ke lubang kuburan! Betapapun juga, mereka merasa penasaran sekali dan hendak berlaku nekat. Pukulan ke tiga sudah siap mereka lakukan dan mereka sudah menghampiri Bu Kek Siansu yang berdiri dengan tubuh menggetar akan tetapi mulut tersenyum dan muka tenang.
Akan tetapi tiba-tiba tampak dua sosok bayangan berkelebat. Mereka ini adalah Kwi Lan dan Siangkoan Li. Pemuda itu serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan kedua gurunya sambil berseru.
“Harap Suhu berdua jangan melakukan pemukulan lagi...!”
Akan tetapi Kwi Lan sudah berdiri di depan dua orang kakek itu sambil menudingkan telunjuknya dan berkata, “Kalian ini dua orang tua benar-benar tidak mengenal malu sama sekali! Mana ada aturan memukul seorang kakek tua renta yang sama sekali tidak mau melawan? Coba kalian yang tidak melawan kupukuli apakah kalian juga mau? Kegagahan macam apa yang kalian perlihatkan ini?”
Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek Sianong terkejut. Mereka tidak mengira bahwa semua yang terjadi itu telah disaksikan orang lain. Marahlah mereka ketika melihat bahwa murid mereka berani mencampuri urusan ini, bahkan berani pula mengajak datang seorang gadis yang begitu galak dan berani memaki-maki mereka. Pada saat itu mereka berdua sudah bergandeng tangan. Tangan kiri Lam-kek Sian-ong berpegang pada tangan kanan Pak-kek Sian-ong. Mereka berniat untuk melakukan pukulan terakhir dengan menggabungkan tenaga, maka tadi mereka saling berpegang telapak tangan. Kini melihat munculnya Kwi Lan dan Siangkoan Li, dalam kemarahan mereka itu lalu menggerakkan tangan memukul ke depan, ke arah dua orang muda yang menghalang di jalan.
“Pergilah kalian!” bentak Lam-kek Sian-ong.
Kwi Lan dan Siangkoan Li terkejut sekali ketika merasa ada angin pukulan dahsyat menyambar. Mereka dapat mengerahkan tenaga hendak menangkis atau mengelak, akan tetapi aneh luar biasa. Angin pukulan dari depan itu seakan-akan mengunci jalan ke luar, bahkan ketika mereka mengerahkan tenaga, mereka mendapat kenyataan bahwa tenaga itu tak dapat mereka salurkan! Ternyata bahwa pukulan itu sebelum tiba di tubuh lebih dulu pengaruhnya telah membuat mereka seperti dalam keadaan tertotok!
Benar-benar pukulan yang amat aneh dan lihai. Dengan mata terbelalak mereka menanti datangnya maut, karena sekali pukulan kedua orang kakek itu menyentuh tubuh mereka, tentu maut akan datang merenggut nyawa! Akan tetapi tiba-tiba mereka merasa ada tangan menyentuh punggung mereka. Tangan yang halus dan hangat, merapat di punggung mereka pada saat pukulan tiba. Dan sebelum tangan kedua orang kakek itu menyentuh kulit tubuh mereka, hawa pukulan itu membalik dan kedua kakek itu berseru keras lalu roboh terjengkang!
“Minggirlah, anak-anak!” terdengar bisikan dari belakang.
Kwi Lan berdua Siangkoan Li merasa betapa tubuh mereka terdorong ke pinggir tanpa dapat mereka lawan. Tahulah mereka bahwa nyawa mereka telah ditolong Bu Kek Siansu dan diam-diam mereka kagum bukan main. Kini karena yakin akan kelihaian dua orang kakek itu. Kwi Lan tak berani berlagak lagi, hanya memandang ke depan.
Kedua orang kakek itu sudah meloncat bangun lagi dan memandang kepada Bu Kek Siansu dengan mata terbelalak heran dan kagum. Gebrakan tadi jelas membuktikan bahwa mereka berdua, sampai sekarang pun sama sekali bukan tandingan kakek setengah dewa ini. Mulailah terbuka mata mereka dan mulailah mereka menyesal mengapa sejak dahulu mereka terlalu mengagungkan dan mengandalkan kepandaian sendiri! Sinar mata mereka mulai melunak, tidak seliar biasanya dan hal ini tidak terluput dari pandangan mata Bu Kek Siansu yang amat waspada. Sambil melangkah maju dan tersenyum, kakek sakti ini berkata.
“Perjanjian harus dipegang teguh. Kalian berdua baru memukul dua kali, masih ada satu kali lagi.”
Dua orang kakek itu makin pucat. Mereka maklum bahwa dua kali pukulan mereka tadi sama sekali tidak melukai kakek sakti itu, sungguh pun pengerahan tenaga dalam yang luar biasa membuat darah bertitik keluar dari mulutnya. Kalau sekali lagi memukul, mungkin mereka sendiri yang akan tewas!
Menyaksikan keraguan mereka, Bu Kek Siansu berkata lagi, “Mengapa Ji-wi ragu-ragu? Adakah Ji-wi merasa menyesal? Baru saja ada orang-orang muda yang memberi contoh kepada Ji-wi. Biar pun kepandaian mereka jauh di bawah tingkat Ji-wi, namun tanpa merasa takut mereka berusaha membelaku. Melepas budi kebajikan tanpa mempedulikan keselamatan sendiri, alangkah besar jasa yang diperbuat selagi hidup. Hayolah, aku masih hutang sebuah pukulan dari kalian berdua.”
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong masih saling bergandengan tangan. Mereka kini melangkah maju dan Lamkek Sian-ong berkata, “Masih sekali pukulan lagi, Bu Kek Siansu, dan kalau engkau dapat bertahan serta aku tidak mampus, biarlah aku bersumpah akan mentaati semua pesanmu!”
“Benar, sudah sepatutnya dan sudah tiba saatnya kami melihat kebodohan sendiri!” kata pula Pak-kek Sian-ong.
Kemudian sambil bergandeng tangan kedua orang itu menghantamkan tangan mereka ke arah dada Bu Kek Siansu. Mereka maklum bahwa kalau kakek sakti ini menggunakan tenaga untuk memukul kembali pukulan mereka, tentu mereka takkan kuat bertahan, terpukul oleh hawa pukulan sendiri dan isi dada mereka yang sudah terluka akan terguncang merenggut nyawa.
“Dukkk...!”
Dua orang itu mengeluarkan pekik kaget. Ternyata kali ini Bu Kek Siansu menerima pukulan hebat itu dengan tubuhnya tanpa pengerahan tenaga sama sekali! Kakek itu telah mengorbankan diri demi keselamatan mereka berdua. Mereka melihat betapa tubuh Bu Kek Siansu mencelat ke belakang lalu jatuh terduduk, bersila dan tubuhnya masih bergoyang-goyang. Dari mata, hidung, mulut, dan telinga mengalir darah segar!
Dua orang kakek itu menjerit dan menubruk, menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu. Baru sekarang mereka mengenal rasa terharu. Kakek ini yang mereka pukul tanpa melawan, begitu saja membiarkan dirinya terluka hebat untuk menyelamatkan mereka berdua. Di mana ada budi kebajikan yang sebesar ini?
Bu Kek Siansu membuka matanya, tersenyum ketika melihat wajah mereka berdua. “Siancai... siancai... legalah hatiku sekarang... kejahatan yang merajalela di dunia akan menghadapi lawan berat...”
“Siansu, mengapa mengorbankan diri untuk kami?” Lam-kek Sian-ong yang masih terheran itu bertanya.
“Siansu, kami bersumpah akan mentaati pesanmu sampai mati!” kata pula Pak-kek Sian-ong.
“Anak-anak yang baik,” kata Bu Kek Siansu, seakan-akan dua orang kakek itu adalah dua orang anak-anak kecil saja. “Tidak ada pengorbanan apa-apa. Yang keras kalah oleh yang lunak, itu sudah sewajarnya. Yang lenyap diganti oleh yang muncul, yang mati diganti oleh yang lahir. Apa bedanya? Paling penting, mengenal diri sendiri termasuk kelemahan-kelemahan dan kebodohan-kebodohannya, sadar insyaf dan kembali ke jalan benar. Yang lain-lain tidaklah penting lagi. Selamat berpisah.” Setelah berkata demikian, ia bangkit berdiri lalu berjalan terhuyung-huyung keluar dari dalam terowongan itu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum!
Sungguh aneh bin ajaib. Dua orang kakek yang biasanya liar itu kini menangis terisak-isak. Lam-kek Sian-ong si Muka Merah itu menangis sesenggukan sambil duduk dan menyembunyikan mukanya di antara kedua paha yang diangkat naik. Adapun Pak-kek Sian-ong yang bermuka pucat itu berdiri memegangi kerangkeng dan terisak-isak tanpa mengeluarkan air mata. Kalau saja Kwi Lan tidak menyaksikan semua peristiwa tadi, tentu ia akan tertawa bergelak saking geli hatinya. Namun peristiwa tadi sungguh menenangkan hatinya dan kini ia hanya memandang dengan penuh keheranan.
Siangkoan Li segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu. “Ji-wi Suhu, teecu Siangkoan Li datang menghadap Suhu...”
Mendadak Pak-kek Sian-ong membalikkan tubuh menoleh, lalu membentak, “Aku tidak mempunyai murid macam engkau!”
Kaget sekali hati Siangkoan Li, juga ia menjadi berduka. “Suhu, harap maafkan teecu. Teecu datang menghadap mohon nasehat Ji-wi Suhu. Ayah dan Ibu telah meninggal. Thian-liong-pang menjadi perkumpulan jahat akan tetapi di sana ada Gwakong. Apakah yang teecu harus lakukan...?”
Kini Lam-kek Sian-ong yang membalikkan tubuh dan menoleh. Ia masih duduk di atas lantai dan mukanya makin merah ketika ia membelalakkan mata menghardik, “Engkau orang jahat! Engkau tokoh Thian-liong-pang yang menjemukan! Pergi... dan bawa pergi perempuan liar ini keluar dari sini!”
“Suhu...!” Siangkoan Li merintih.
“Cukup! Engkau membiarkan bangunan yang dengan susah payah didirikan ayahmu menjadi runtuh berantakan. Kau kira kami tidak mengetahui sepak terjangmu? Kami tidak sudi mempunyai murid macam engkau!” kata Pak-kek Sian-ong.
“Heh-heh, barangkali orang muda ini datang untuk memamerkan kekasihnya itu, dan minta persetujuan kita untuk menikah dengannya. Ha-ha, Pek-bin Twako, kau bikin dua orang muda ini kecewa saja!” si Muka Merah mengejek.
Sambutan dan sikap kedua orang gurunya ini merupakan pukulan hebat bagi Siangkoan Li. Tadinya ia menggantungkan harapannya kepada dua orang tua itu. Siapa kira, dia sendiri menjadi saksi betapa kedua orang suhu-nya ini dahulu ternyata juga bukan orang baik-baik sehingga ditundukkan dan dihukum Bu Kek Siansu. Kemudian ditambah lagi sikap mereka yang tidak mengakuinya sebagai murid, lebih dari itu lagi, mengejek dan menghina Kwi Lan.
Wajah pemuda ini menjadi pucat, layu dan sinar matanya sayu seperti orang kehilangan semangat. Ia masih berlutut dan mengangkat mukanya yang pucat memandang kepada dua orang kakek itu mohon dikasihani. Akan tetapi kedua orang gurunya sama sekali tidak menaruh kasihan. Si Muka Pucat berdiri dengan muka merah. Si Muka Merah duduk dengan mulut menyeringai dan mengejek.
Kwi Lan memang sejak tadi sudah merasa tidak suka kepada dua orang kakek jembel itu. Ketika mereka melakukan pemukulan-pemukulan kepada Bu Kek Siansu, ia telah merasa kecewa dan tidak suka kepada dua orang guru Siangkoan Li. Akan tetapi di samping perasaan ini ia pun maklum bahwa ilmu kepandaian kedua orang kakek itu benar hebat luar biasa. Karena itu ia menjadi segan juga dan tidak berani menyatakan perasaannya ketika ia tadi terlempar oleh hawa pukulan mereka. Kini, melihat betapa Siangkoan Li dihina sehingga pemuda ini kelihatan begitu kecewa dan bersedih bukan main, kemarahannya tak tertahankan lagi. Ia melompat maju dan memaki.
“Kalian ini tua bangka benar-benar menjemukan sekali! Dahulu Siangkoan Li menjadi murid kalian adalah atas kehendak kalian sendiri, bukan dia yang minta-minta mengemis kepada kalian! Sekarang, jauh-jauh Siangkoan Li dengan hati berat datang menghadap minta nasehat, akan tetapi kalian malah memaki-maki dan tidak mengakuinya. Manusia-manusia macam apa kalian ini?” Ia lalu memegang lengan Siangkoan Li, ditariknya pemuda itu bangun dari berlutut, digandengnya dan ditarik-tariknya agar pergi dari situ sambil membujuk.
“Sudahlah, Siangkoan Li. Mulai saat ini jangan kau mengandalkan dan menyandarkan pendirianmu kepada orang-orang lain. Belajarlah dewasa dan hidup mengandalkan diri sendiri. Untuk apa minta-minta kepada mereka yang tidak punya apa-apa ini? Untuk apa minta penerangan kepada orang yang berada dalam kegelapan? Salah benar diputuskan sendiri, akibatnya susah senang pun ditanggung sendiri. Itu baru laki-laki namanya!”
“Hi-hi-hik...!” Pak-kek Sian-ong mengeluarkan suara ketawa tanpa membuka mulutnya.
“Ha-ha-ha-ha!” Lam-kek Sian-ong juga tertawa.
Dengan hati hancur Siangkoan Li yang merasa lemas tubuhnya itu membiarkan dirinya ditarik-tarik oleh Kwi Lan. Beberapa kali ia menoleh memandang kepada gurunya itu dengan harapan kalau-kalau kedua orang gurunya tadi hanya mencobanya saja dan sekarang sudah berubah sikap. Akan tetapi dua orang kakek itu tetap menyeringai seperti tadi.....
selanjutnya >>>>>>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)