MUTIARA HITAM : JILID-04
Kwi Lan mengerling dengan pandang mata tajam. “Apakah air ini juga akan
dianggap hutang? Lebih baik mati kehausan dari pada minum air hutangan!”
Ia menyerahkan kembali guci itu kepada pemiliknya.
Pemuda itu tertawa bergelak, memperlihatkan deretan gigi yang terpelihara rapi dan putih. “Apakah benar-benar engkau begini pemarah dan galak? Ah, aku tidak percaya, kau hanya pura-pura bersikap galak saja!”
“Siapa tidak akan marah kalau kau begini ugal-ugalan? Dua genggam kacang asin saja digugat-gugat, dijadikan alasan....”
Pemuda itu tiba-tiba berdiri dan menjura sampai jidatnya hampir menyentuh tanah, seperti seorang melakukan penghormatan kepada ratu. “Hamba mohon beribu ampun atas segala kesalahan hamba terhadap tuan putri yang mulia....”
“Heiii! Bagaimana engkau tahu bahwa...?” Kwi Lan tiba-tiba menghentikan kata-katanya.
Sikap pemuda ugal-ugalan yang melawak itu sejenak mengingatkan ia akan ibu kandungnya yang menjadi ratu di Khitan sehingga timbul dugaan dan kecurigaannya bahwa pemuda aneh ini tahu bahwa dia anak ratu. Akan tetapi melihat wajah pemuda itu berbalik menjadi kaget dan heran, ia menahan kata-katanya, kemudian melanjutkan, “Sudahlah! Jangan kau main-main seperti badut. Sebetulnya engkau mau apakah? Mengapa mengejarku dan hendak bicara apa dengan aku?”
Pemuda itu menarik muka sungguh-sungguh, akan tetapi tetap saja mukanya yang kekanak-kanakan itu berseri ketika ia menyodorkan guci airnya. “Harap nona suka minum dulu air ini agar percaya bahwa Nona tidak lagi marah kepadaku.”
Kwi Lan menerima guci itu dan meneguk isinya. Memang air yang amat dingin dan segar sehingga hilanglah hausnya, terasa amat puas dan nikmat. “Enak benar air ini,” katanya memuji sambil mengembalikan guci.
Pemuda itu pun meneguk air, kemudian menutup guci dan menyimpannya kembali ke balik bajunya.
“Nona, terus terang saja, begitu bertemu denganmu aku sudah menjadi sangat tertarik dan kagum. Gerakanmu jelas menunjukkan bahwa engkau memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sikapmu terbuka dan tegas. Benar-benar hebat sekali. Setelah bertemu dengan seorang seperti Nona, bagaimana aku dapat berpisah begitu saja tanpa lebih dahulu bicara dan mengikat persahabatan? Apa lagi melihat sikap Nona yang sama sekali tidak memandang mata kepada Thian-liong-pang dan terutama sekali berani memaki seorang tokoh besar seperti Bu-tek Siu-lam, benar-benar hebat sekali dan tentulah Nona seorang yang memiliki kedudukan sejajar dengan tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw pada waktu ini.”
“Ngawur dan ngaco! Selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan macamnya Bu-tek Siu-lam dan aku merasa heran sekali mengapa Ouw Kiu si Brewok tadi kelihatan begitu ketakutan ketika nama Bu-tek Siu-lam disebut-sebut.”
“Apa lagi dia, aku sendiri pun hampir terjengkang karena kaget mendengar engkau berani memaki-maki Bu-tek Siu-lam!”
“Huh, orang macam apakah Bu-tek Siu-lam itu? Aku hanya pernah mendengar dari mulut pengemis-pengemis Hek-peng Kai-pang bahwa dia yang melindungi semua pengemis golongan hitam yang katanya datang dari dunia barat. Perlu apa takut terhadap badut macam dia?”
“Aihh...aihh..., agaknya Nona belum banyak tahu akan tokoh-tokoh dunia kang-ouw pada waktu ini! Sehingga nama besar Bu-tek Siu-lam pun belum dikenalnya betul. Nona, agaknya engkau merupakan seorang perantau yang baru, belum lama turun gunung...“
Kwi Lan merasa betapa pipinya panas. Hatinya juga panas karena rahasianya diketahui. Dengan lain kata-kata pemuda ini hendak mengejeknya, mengatakan bahwa ia masih hijau, masih belum berpengalaman sehingga tidak mengenal tokoh-tokoh besar!
“Hemm, kalau engkau..., sudah banyak pengalaman, ya? Sudah puluhan tahun merantau?” Kwi Lan sengaja mengatakan puluhan tahun padahal usia pemuda itu paling banyak sama dengan usianya sendiri, sembilan belas tahun!
Akan tetapi pemuda itu tidak merasakan ejekan ini agaknya. Wajahnya serius ketika ia menjawab, “Semenjak lahir aku sudah merantau, Nona.”
“Dan aku..., sebelum lahir sudah merantau!” potong Kwi Lan, matanya menyinarkan kemarahan, bibirnya tersenyum manis, senyum marah. Memang ciri khas gadis ini, makin marah ia, makin manis senyumnya!
Pemuda ini menatap wajahnya penuh selidik, tiba-tiba wajahnya yang serius itu kembali berseri seperti biasa. “Aih, kiranya Nona juga suka berkelakar. Mana bisa sebelum lahir sudah merantau!”
“Mengapa tidak bisa kalau kau pun sudah merantau sejak lahir? Tentu kau akan mendongeng bahwa begitu lahir engkau sudah pandai tertawa, pandai berlari cepat, dan pandai... membual?”
“Ha-ha-ha-ha! Lucu sekali!” Pemuda itu terpingkal-pingkal dan mau tak mau Kwi Lan tertawa juga membayangkan betapa begitu lahir pemuda itu pandai membual.
“Aku tidak membohong, Nona. Tentu saja bukan aku yang melakukan perantauan seorang diri, melainkan ayahku. Aku dibawa merantau dan sejak itu tak pernah berhenti merantau. Akan tetapi sudahlah, tidak ada yang menarik untuk diceritakan. Lebih baik kuceritakan kepadamu tentang tokoh itu. Bu-tek Siu-lam adalah seorang tokoh besar yang benar-benar sakti. Tidak ada tokoh kang-ouw yang tidak ngeri mendengar nama ini sungguh pun baru beberapa tahun saja ia datang dari sebelah barat Pegunungan Himalaya. Selain sakti, dia pun amat aneh sehingga tak seorang pun dapat menduga apakah dia itu laki-laki tulen ataukah perempuan.”
“Hee...? Mengapa begitu?” Kwi Lan mulai tertarik. Karena semenjak kecil ia terkurung di istana bawah tanah kemudian di dalam hutan yang tak pernah ada yang berani memasukinya, tentu saja pengetahuannya tentang dunia kang-ouw amat sempit. Apa lagi tentang tokoh-tokoh yang demikian anehnya.
Ada pun pemuda itu ketika melihat sikap Kwi Lan mulai tertarik, menjadi gembira untuk bercerita. “Dia berperawakan laki-laki tinggi tegap dan gagah, wajahnya tampan sekali, rambutnya terurai dan berombak indah. Akan tetapi lagak dan bicaranya seperti seorang perempuan yang amat genit, dan senjatanya adalah sebuah gunting besar yang amat mengerikan. Melihat gerak-gerik dan lagaknya, dia itu seratus prosen wanita, akan tetapi melihat bentuk tubuh dan wajahnya, dia adalah laki-laki. Hal ini saja sudah menyeramkan, apa lagi menyaksikan kekejamannya, membikin bulu roma berdiri. Ia pernah membasmi pengemis golongan putih dalam sebuah rapat besar sebanyak dua ratus orang lebih yang digunting-gunting dan dipotong-potong tubuhnya! Sejak itu ia menjadi datuknya pengemis golongan hitam. Banyak sudah tokoh golongan putih dan para pendekar hendak membasminya, namun mereka itu malah menjadi korban. Karena kesaktiannya inilah maka tak seorang pun berani lagi mengganggunya dan ia merupakan tokoh besar yang dicalonkan menjadi pemimpin dunia hitam jika ada pemilihan lagi di samping tokoh-tokoh yang lain.”
Kwi Lan mengerutkan keningnya. Tak pernah disangkanya ada seorang yang sedemikian hebatnya. Tadinya ia mengira bahwa di dunia ini hanya bibinya, Kam Sian Eng, saja yang paling lihai. Siapa tahu pemuda ini sendiri sudah lihai sungguh pun ia belum mencobanya, akan tetapi pemuda ini amat jerih ketika menceritakan kesaktian Bu-tek Siu-lam!
“Hemm, betapa pun juga, aku tidak takut kepadanya!” kata Kwi Lan. “Bagaimana dengan Thian-liong-pang? Apakah ketuanya juga sehebat laki-laki genit itu?”
Pemuda itu tertawa.
“Ihh, mengapa kau tertawa?”
“Mendengar kau menyebut Bu-tek Siu-lam laki-laki genit!”
“Kau sendiri yang bilang dia genit.”
“Mana bisa laki-laki genit? Laki-laki tidak ada yang genit, yang genit hanyalah perempuan.”
“Belum tentu semua perempuan genit! Laki-laki yang genit banyak, di antaranya... engkau inilah!”
“Wah, wah, menyerang lagi. Kau benar-benar pemarah, Nona. Maafkanlah. Yang kumaksudkan adalah bahwa Bu-tek Siu-lam itu bersikap genit seperti wanita, jadi dia itu laki-laki bukan wanita bukan. Dia seorang banci.”
“Banci? Apa banci...?”
“Banci itu wadam!”
“Wadam? Apa itu?”
“Wadam itu wandu.”
“Wandu? Aku tidak mengerti.”
Pemuda itu menarik napas panjang, lalu menggeleng kepala. “Tidak banyak pengertianmu, Nona. Banci, wadam, atau wandu itu adalah orang yang bukan laki-laki bukan pula wanita, akan tetapi juga bisa laki-laki bisa disebut wanita.”
Pusing kepala Kwi Lan mendengar ini. Keningnya berkerut, matanya bersinar marah. “Berandal, kalau kau mempermainkan aku, hemm... aku takkan sudi mendengarmu lag!”
“Eh, eh, nanti dulu! Aku tidak main-main, Nona. Banci adalah seorang yang bertubuh laki-laki akan tetapi berwatak perempuan, atau sebaliknya. Memang sukar untuk menerangkan, karena aku sendiri tidak tahu persis mengapa bisa begitu, akan tetapi memang kenyataannya demikian. Kau tadi bertanya tentang Thian-liong-pang? Ketuanya juga seorang yang terkenal memiliki ilmu kepandaian hebat, dan bukan itu saja yang membuat Thian-liong-pang disegani, melainkan banyaknya anggota dan banyaknya para pimpinan yang tinggi-tinggi ilmunya. Kabarnya tidak kurang dari dua belas orang murid kepala Thian-liong-pang amat lihai dan jika tenaga mereka digabungkan menjadi satu, agaknya Bu-tek Siu-lam sendiri tidak berani main-main dengan mereka. Pusatnya di Yen-an dan entah apa yang dimaksudkan si Brewok tadi dengan upacara pengangkatan ketua baru. Mungkin ketua lama mengundurkan diri, diganti muridnya yang paling besar. Peristiwa itu tentu amat menarik dan dikunjungi semua tokoh dunia hitam, karena itu aku ingin sekali mengunjungi ke Yen-an bersama... Nona, kalau Nona... berani!”
“Tentu saja aku berani!” Kwi Lan meloncat sambil meraba gagang pedangnya.
“Jadi Nona mau...?” Pemuda itu tersenyum lebar dan menjadi girang sekali.
Kwi Lan sadar lalu duduk kembali, “Soal mau atau tidak, nanti, dulu! Akan tetapi pokoknya aku berani! Sekarang ceritakan, selain laki-laki genit....” Ia berhenti dan melotot, akan tetapi pemuda itu tidak tertawa sekarang, “selain dia, siapa lagi tokoh besar di dunia ini sekarang?”
“Tokoh-tokoh dunia hitam banyak sekali, akan tetapi mereka itu adalah tokoh-tokoh yang dahulu berada di bawah Thian-te Liok-koai yang sekarang sudah lenyap dari permukaan bumi. Ada pun tokoh-tokoh yang sekiranya dapat disejajarkan Bu-tek Siu-lam, sedikit sekali. Aku hanya mendengar bahwa ada tokoh-tokoh iblis yang berjuluk Thai-lek Kauw-ong, seorang hwesio tua yang kabarnya memiliki kesaktian seperti iblis. Ada pula yang berjuluk Sin-cam Khoa-ong yang suka membunuh orang tanpa sebab dan tanpa berkedip. Orang ke empat adalah Siauw-bin Lo-mo. Kabarnya empat tokoh itulah yang kini merajai empat penjuru dunia hitam. Akan tetapi aku sendiri belum pernah bertemu dengan seorang di antara mereka.”
“Hemm, kalau mereka itu jahat, perlu apa memiliki kepandaian hebat? Apakah tidak ada yang menentang dan mengalahkan mereka?”
“Aku tidak tahu jelas, hanya kabarnya sudah terlalu banyak orang gagah dan pendekar yang roboh di tangan mereka.”
“Orang gagah? Pendekar? Orang macam apa mereka ini?”
Pemuda itu membelalakkan matanya. Kalau tadi mendengar gadis ini tidak tahu apa-apa tentang dunia hitam, ia menyangka gadis ini tentu murid tokoh sakti dunia putih yang baru saja turun gunung. Akan tetapi mendengar pertanyaan ini ia benar-benar heran sekali. Kalau tidak mengerti tentang dunia hitam dan dunia putih, habis gadis ini termasuk golongon apa?
“Bagaimana Nona tidak mengerti akan hal ini? Pendekar adalah orang-orang yang menentang kejahatan, orang-orang dari dunia putih yang selalu berusaha menumpas dunia hitam. Aku percaya bahwa guru Nona sendiri tentu seorang tokoh besar, seorang locianpwe dari dunia putih yang amat mulia.”
Kwi Lan menggeleng kepala. “Guruku bukan dari dunia putih, bukan pula dunia hitam. Entah dunia apa aku tidak tahu! Coba katakan, siapa tokoh-tokoh paling hebat di dunia putih?”
Pemuda itu masih belum hilang keheranannya, akan tetapi ia menahan perasaan ini dan menjawab, “Juga di antara pendekar-pendekar sakti banyak sekali yang merupakan tokoh puncak, akan tetapi aku yang muda hanya pernah mendengar beberapa orang saja. Pertama-tama adalah Suling Emas....”
“Suling Emas? Aku tanya nama orangnya, bukan sulingnya. Dari emas, perak, atau kuningan siapa peduli?”
“Suling Emas adalah nama julukannya. Nama aslinya, seperti tokoh-tokoh besar kang-ouw lainnya, siapa yang tahu?”
“Siapakah Suling Emas itu? Orang macam apa dan bagaimana kelihaiannya?”
Pemuda itu mengangkat jempol tangannya ke atas. “Aku sendiri belum mempunyai keberuntungan berjumpa dengan Suling Emas, akan tetapi namanya sudah sering kali kudengar dari para Locianpwe. Ilmu kepandaiannya setinggi langit, bahkan kabarnya Thian-te Liok-koai, enam datuk persilatan, musnah oleh sepak terjang Suling Emas. Sulingnya yang terbuat dari emas itu mengalahkan segala macam senjata yang ada di dunia ini.”
“Dimana dia tinggal?”
“Tak seorang pun tahu. Seperti juga empat tokoh dunia hitam, banyak tokoh dunia putih terdiri dari orang-orang aneh yang sukar diketahui tempatnya, akan tetapi yang sewaktu-waktu dapat muncul di tempat-tempat yang sekali tidak terduga-duga. Aku tidak akan merasa heran kalau saat ini di sekeliling kita terdapat tokoh dunia hitam mau pun dunia putih. Sepak terjang mereka penuh rahasia.”
Mendengar ini, tanpa disadarinya lagi Kwi Lan melirik ke kanan-kiri, akan tetapi keadaan di sekeliling tempat itu sunyi. “Lalu siapa lagi selain Suling Emas?”
“Di antara para pengemis golongan putih menyebut-nyebut nama Yu Kang Tianglo adalah seorang tokoh pengemis yang amat lihai ilmu silatnya, senjatanya hanya sebatang tongkat rotan kecil namun keampuhannya tidak kalah oleh pedang pusaka yang mana pun juga. Tentu saja dua orang itu hanya dua di antara banyak lagi. Apa lagi kalau kita ingat kepada partai-partai besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai yang tentu mempunyai banyak orang pandai. Belum lagi di selatan kabarnya Agama Beng-kauw di Negara Nan-co dipimpin oleh orang-orang yang amat sakti. Akan tetapi di antara segala orang sakti, baik di dunia putih mau pun hitam, agaknya tidak akan dapat menyamai tingkat kakek yang mulia dan terhormat Bu Kek Siansu....”
Berkata sampai di sini, pemuda itu membungkukkan tubuhnya seakan-akan hendak memberi hormat kepada nama yang disebutnya tadi.
“Bu Kek Siansu? Siapa dia...?” Kwi Lan makin tertarik. Kalau di antara semua tokoh yang hebat-hebat tadi tidak dapat menyamai tingkat kakek ini, tentu kakek ini benar-benar seorang manusia yang amat luar biasa.
“Maaf, Nona. Aku tidak berani sembarangan menyebut-nyebut namanya yang terhormat. Akan tetapi aku mempunyai lagu yang menurut Suhu adalah ciptaan beliau. Kau suka mendengar lagu tiupan suling?” Sambil berkata demikian, pemuda itu merogoh ke belakang baju dan kembali seperti orang main sulap, ia telah mengeluarkan sebatang suling bambu.
Diam-diam Kwi Lan terheran dan menduga-duga, apa saja kiranya isi dalam baju pemuda tukang sulap ini. Kemudian melihat suling itu, ia bertanya, “Jangan-jangan engkau sendiri yang berjuluk Suling Emas!”
Pemuda itu tertawa. “Ah, Nona jangan main-main. Apakah aku pantas menjadi seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih? Dan pula, sulingku ini bambu biasa, bambu kuning, sama sekali bukan emas, biar pun sama kuningnya. Kau dengarlah baik-baik, karena lagu ini bukan lagu sembarangan lagu melainkan lagu agung ciptaan manusia dewa.”
Pemuda itu lalu meniup sulingnya dan terdengar lengking suara suling yang halus merdu, kemudian suara itu membentuk irama lagu yang amat aneh. Mula-mula amat sukar ditangkap iramanya, sukar dirasakan kenikmatannya, akan tetapi makin lama suara suling itu makin menggulung semua pikiran dan perasaan Kwi Lan sehingga gadis ini duduk termenung seperti orang tak sadar, terbuai suara itu yang mendatangkan rasa tenang dan damai dalam hatinya. Lenyaplah segala kehendak, segala keinginan, segala perasaan, seperti keadaan orang tidur dalam sadar! Setelah pemuda itu menghentikan tiupan sulingnya, gema suara tadi masih berdengung dan mempesona jiwa Kwi Lan sehingga ia masih diam terlongong. Akhirnya ia sadar dan menarik napas panjang, kemudian memandang dengan kagum kepada pemuda itu.
“Aiih, kiranya engkau amat pandai meniup suling. Hebat!”
Wajah pemuda itu makin berseri gembira. Ia menjura dan berkata, “Bukan karena aku pandai meniup suling Nona, melainkan karena lagu itu memang hebat, sekaligus menembus jantung menguasai jiwa. Dibandingkan dengan Suling Emas, kepandaianku meniup suling tidak ada seper-sepuluhnya dan lagi... kabarnya Suling Emas memang menerima ilmu-ilmunya dari Bu Kek Siansu yang terhormat.”
Kwi Lan makin kagum dan terheran-heran. Timbul keinginan hatinya untuk bertemu dengan Suling Emas, walau pun hanya untuk mendengar tiupan sulingnya yang sepuluh kali lebih hebat dari pada tiupan suling pemuda ini.
“Wah, alangkah goblok!” Pemuda itu yang sudah menyimpan sulingnya kembali, meloncat bangun sambil menampar kepalanya.
Kwi Lan ikut terkejut dan ikut meloncat bangun. “Ada apa lagi?”
Pemuda itu tertawa. “Alangkah goblok aku. Lihat, kita bicara sudah setengah hari, banyak nama tokoh-tokoh dunia hitam dan putih sudah kuperkenalkan, malah aku sudah meniup suling untukmu dan kau sudah menaruh kepercayaan penuh kepadaku. Akan tetapi, kita masih belum saling mengenal nama! Padahal aku merasa seakan-akan sudah mengenal Nona selama bertahun-tahun, seolah-olah kita sudah saling bersahabat lama sekali. Bolehkah aku mengetahui nama besar Nona yang mulia?”
Kwi Lan tersenyum. Terhadap seorang pemuda seperti ini, tak mungkin ia dapat membencinya. Pemuda ini berandalan memang, aneh pula, akan tetapi tidak terbayang watak kurang ajar baik dalam kata-kata mau pun dalam pandang mata kepadanya. Ilmu silatnya agaknya tinggi, banyak pengetahuannya tentang dunia kang-ouw, budinya baik dan masih ditambah pandai bersuling lagi!
“Mengapa masih bertanya lagi? Bukankah namaku Mutiara Hitam dan engkau Setan Berandalan?”
Pemuda itu tertawa geli kemudian berkata sungguh-sungguh, “Biar pun kita bukan orang lemah, namun kita belumlah seperti kakek-kakek dan nenek-nenek yang suka memakai nama julukan dan menyembunyikan nama sendiri! Nona yang baik, sudilah memperkenalkan nama besar dan she (nama keturunan) yang terhormat.”
“Kau sendiri siapa? Kau yang ingin berkenalan, seharusnya kau yang lebih dulu memperkenalkan nama.”
Pemuda itu mengangguk-angguk. “Nona benar. Maafkan aku yang pelupa. Nah, namaku Hauw Lam, she Tang. Tang Hauw Lam, nama yang bagus, sesuai dengan orangnya, bukan?” Sambil berkata demikian, sengaja pemuda itu pasang aksi menggoyang-goyangkan kedua pundak. Segala hal dilakukan sambil melucu.
Akan tetapi kali ini Kwi Lan tidak merasa lucu, melainkan kaget bukan main. Kalau saja ia tidak memiliki batin yang kuat, tentu ia akan kelihatan kaget sekali pada mukanya. Namun muka yang cantik jelita itu tenang saja, hanya jantungnya yang berdebar-debar keras. Jadi inikah putera Bi Li? Putera Tang Sun dan Phang Bi Li yang disangka lenyap setelah gurunya, ketua kelenteng di Kim-liong-san meninggal dunia? Inikah yang dicari-cari oleh Bi Li, bahkan yang telah ia janjikan kepada Bibi Bi Li untuk bantu mencari?
Sungguh tidak disangka-sangka! Akan tetapi, betapapun juga ia merasa girang bahwa putera Bibi Bi Li yang amat sayang kepadanya itu ternyata adalah seorang yang berilmu tinggi, yang berbudi baik seperti Ibunya, dan yang lucu seperti... entah siapa yang menurunkan sifat lucu kepada pemuda ini. Akan tetapi, untuk sementara Kwi Lan tidak akan membuka rahasia ini.
“Aku sebatang kara,” Hauw Lam melanjutkan, “dan Guruku yang terakhir adalah seorang kakek yang sakti dan aneh yang dahulu merupakan orang ke dua setelah Bu Kek Siansu. Seorang kakek yang hidup di dalam kuburan, tidak pernah keluar dari kuburan itu! Kakek itu sudah sangat tua, sukar ditaksir lagi berapa usianya, akan tetapi sifatnya ugal-ugalan dan seenaknya sendiri....“
“Seperti engkau!” Kwi Lan memotong.
Hauw Lam tertawa dan mengangguk. “Ya, aku banyak meniru sifat-sifatnya itu, sifat yang amat baik. Manusia hidup satu kali di dunia, kalau tidak bergembira mau apa lagi? Keadaan baik diterima dengan gembira akan menjadi lebih menyenangkan, sebaliknya keadaan buruk kalau diterima dengan gembira, akan terasa ringan! Aku hanya menerima petunjuk beliau selama seratus hari, akan tetapi gemblengan selama tiga bulan itu begitu jauh lebih berharga dari pada ajaran kuterima belasan tahun dari guru-guru yang lain.”
“Siapa nama gurumu yang aneh. itu?”
“Julukan beliau adalah Bu-tek Lo-jin. Menurut beliau memang aku berjodoh menjadi muridnya.” Hauw Lam kemudian menuturkan pengalamannya menjadi murid kakek sakti itu yang didengarkan Kwi Lan penuh perhatian.
Ketika Hauw Lam berusia lima tahun, setelah selama itu ia diajak merantau oleh Tang Sun, ayahnya yang mencari ibunya, ia dititipkan oleh ayahnya kepada Gwat Kim Hosiang ketua kelenteng di bukit Kim-liong-san. Karena ketika berpisah dari ayahnya ia baru berusia lima tahun, maka wajah ayahnya pun tidak begitu teringat olehnya. Apa lagi ibunya meninggalkannya ketika ia berusia tiga bulan! Sepuluh tahun lamanya ia tinggal di kelenteng bukit Kim-liong-san, menjadi kacung kelenteng membantu pekerjaan para hwesio. Karena bakatnya memang baik sekali, ketua kelenteng itu, Gwat Kim Hosiang murid Go-bi-pai, telah menurunkan semua ilmunya kepada Hauw Lam.
Ketika ia berusia lima belas tahun dan telah mewarisi ilmu kepandaian suhunya, ketua kelenteng itu meninggal dunia. Hauw Lam lalu meninggalkan kelenteng dan pergi merantau. Anak muda ini suka akan ilmu silat, maka dengan bekal pelajaran dari Gwat Kim Hosiang yang membuat ia mencapai dasar-dasar ilmu silat tinggi, ia dapat memperdalam ilmunya, Hauw Lam pandai merendah sehingga pandai ia mengambil hati beberapa tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi sehingga banyak pula ia menerima petunjuk.
Pada suatu hari, perantauannya membawanya ke selatan. Ia telah berusia tujuh belas tahun dan ketika ia melewati sebuah hutan, keadaan yang sunyi membuatnya menjadi keisengan dan dikeluarkanlah sulingnya. Memang semenjak kecil ketika ia tinggal di kelenteng Kim-liong-san, seorang hwesio yang pandai menyuling mengajarnya menyuling dan Hauw Lam amat suka meniup suling. Kini ia berjalan perlahan sambil meniup sulingnya. Tiba-tiba, ketika melewati segundukan tanah ia roboh terguling!
Hauw Lam kaget sekali, kedua kakinya adalah anggota badan yang terlatih. Diserang lawan saja tidak mudah terguling bagaimana sekarang bisa terguling tanpa sebab? Ia tadi merasa ada yang menarik kakinya dengan tenaga luar biasa. Sambil meloncat bangun ia memutar tubuh mempersiapkan kedua tangan untuk menangkis atau memukul dan memandang ke sekeliling. Akan tetapi tidak ada apa-apa di sekeliling tempat itu. Ia memandang ke bawah. Tanah di bawah kakinya menonjol, merupakan gundukan tanah seperti tempat kuburan orang.
Tiba-tiba bulu tengkuknya meremang. Setankah yang menggodanya tadi? Setan dalam kuburan yang marah karena kuburan itu tanpa sengaja terinjak olehnya? Hauw Lam boleh jadi gagah perkasa dan tidak pernah merasa takut menghadapi lawan yang tangguh. Akan tetapi sekali ini, biar pun belum gelap, baru menjelang senja, berada seorang diri di hutan sunyi dan merasa diserang dari dalam kuburan, ia merasa ngeri karena seram dan takut.
Tanpa berpikir panjang lagi Hauw Lam menggerakkan kedua kaki hendak lari dari tempat yang menyeramkan itu, akan tetapi baru selangkah ia lari, kembali tubuhnya roboh terguling! Timbul kemarahan hatinya yang amat sangat, melebihi ketakutannya. Belum pernah selamanya ia diperhina seperti ini. Kali ini ia melompat bangun berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, memasang kuda-kuda, membusungkan dada melebarkan mata mengatasi rasa seram sambil memaki-maki.
“Setan atau iblis atau siluman dari mana berani mengganggu Siauw-ya (Tuan Muda) yang sedang lewat? Kalau manusia, jawablah, kalau siluman muncullah dan mari kita bertanding sepuluh ribu jurus melawan Tang Hauw Lam!”
Ia petentang-petenteng, memaki-maki sambil menantang-nantang sampai beberapa lama. Namun sunyi tiada jawaban, juga tiada suara mau pun sesuatu. Hanya angin yang lewat menggerakkan daun-daun pohon, menimbulkan suara bisik-bisik seperti banyak makhluk yang tak tampak sedang bersendau gurau. Rasa seram kembali menyelubungi hati Hauw Lam, mengatasi kemarahannya dan semua bulu di tubuhnya berdiri satu-satu. Tak salah lagi, tentu setan, pikirnya. Ketika ia roboh yang kedua kalinya tadi terasa benar betapa ada hawa pukulan yang mengait kakinya.
Kini ia memaki-maki lagi, akan tetapi diam-diam ia menggerakkan kedua kakinya. Ia ingin mengikat perhatian ‘siluman’ yang mengganggunya dengan makiannya kemudian menggunakan saat ‘siluman’ itu lengah, sekali meloncat jauh pergi dari situ. Setelah siap, sambil memaki-maki, mendadak ia menggerakkan kakinya meloncat jauh. Girang hatinya karena akalnya ini berhasil, buktinya ketika ia meloncat, tidak ada yang menjegal kakinya lagi.
Akan tetapi, selagi ia merasa girang dan tubuhnya masih melayang di atas, tiba-tiba tubuhnya itu tanpa dapat ia kuasai lagi tertarik ke bawah dan terbanting di atas tanah! Ketika ia mendapat kenyataan bahwa ia terbanting kembali di atas gundukan tanah, ia makin kaget dan berseru, “Celaka... mati aku di tangan siluman...!”
“Heh-heh, siapa bilang mati itu celaka? Hidup sekedar hidup itulah yang celaka, apa lagi hidup menghamba nafsu, lebih-lebih celaka!”
Hauw Lam terkejut sekali. Karena suara itu terdengar dari bawah, ia lalu memandang ke bawah dan... hampir ia terjengkang roboh kembali ketika melihat sebuah kepala di atas tanah! Kepala yang berdiri sebatas leher di atas tanah yang rambutnya riap-riapan, mukanya penuh cambang bauk, matanya melotot. Dengan muka pucat Hauw Lam memandang kepala itu, mengucek-ucek kedua matanya, memandang lagi dan bergidik. Kedua kakinya terasa lemas dan lumpuh, seluruh tubuhnya menggigil.
Sambil menahan kedua kakinya agar tidak roboh saking lemas, Hauw Lam menghadap ke arah kepala di atas tanah lalu menjura dan berkata, suaranya gemetar, “Saya..., Tang Hauw Lam... selamanya ingin menjadi orang baik-baik..., harap anda jangan mengganggu saya....”
Kepala itu bergerak, menengadah dan matanya yang melotot itu menatap tajam, kemudian terdengar suara dari balik kumis tebal yang menyembunyikan mulut, “Tidak mengganggu, hah? Kau menginjak-injak dan melangkahi kepalaku, masih bisa bilang tidak mengganggu?”
Melihat kepala itu bergerak-gerak dan mendengar mulut di balik kumis dapat bicara seperti manusia, mulai berangsur hilanglah rasa ngeri dan takut dari hati Hauw Lam. Ia memandang lebih teliti lagi. Kepala itu di atas tanah den lehernya tersembul keluar dari tanah, agaknya tubuhnya terpendam. Kakek tua renta ini tadi bicara tentang ‘kepalaku’, hal ini hanya berarti bahwa kakek itu masih mempunyai bagian tubuh yang lain. Andai kata ia seorang siluman dan tubuhnya hanya kepala itu saja, tentu tidak akan menyebut kepalaku.
Pula, setelah kini ia memandang penuh perhatian, biar pun muka itu buruk penuh cambang bauk dan tertutup rambut yang riap-riapan, namun jelas bahwa itu kepala manusia, hanya entah bagaimana tubuh kakek itu terpendam ke dalam tanah kuburan dan entah bagaimana pula kepala itu tiba-tiba muncul sedangkan tadinya tidak ada apa-apa di situ. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kepala itu dan berkata.
“Locianpwe (Orang Tua Gagah), mohon maaf sebanyaknya apa bila boanpwe (saya yang bodoh) telah melakukan kesalahan terhadap Locianpwe karena sesungguhnya boanpwe tidak tahu bahwa Locianpwe berada di sini dan tidak sengaja....”
“Wah-wah, membekuk-bekuk lidah pun tidak ada gunanya! Masa begini caranya orang minta maaf? Mulutnya bilang minta maaf akan tetapi berlutut di sebelah atas kepalaku? Terlalu... terlalu...!” kepala itu mengomel panjang pendek.
Hauw Lam membelalakkan matanya. Kakek ini terlalu aneh dan agaknya seorang yang suka berkelakar. Ia sendiri adalah seorang pemuda yang jenaka dan selalu riang gembira, maka biar pun ia merasa mendongkol atas sikap kakek yang tidak puas dengan permintaan maafnya itu, ia memutar otak mencari akal.
“Baiklah, Locianpwe. Saya akan mohon maaf dan memberi hormat sepatutnya.”
Setelah berkata demikian Hauw Lam lalu mencabut goloknya dan dengan senjata ini ia menggali tanah di depan kepala itu. Dengan pengerahan tenaga dalam, cepat ia dapat menggali sampai dalam, dan ia lalu masuk ke dalam lubang itu sehingga kini yang tampak di luar tanah hanyalah kepalanya saja yang ia angguk-anggukkan sambil mengulangi permintaan maafnya.
Mulut kakek itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, bagus sekali. Kau cocok untuk menjadi muridku. Kau banyak akal, tidak mudah putus asa dan menghadapi segala rintangan hidup dengan wajah gembira. Hayo naik!” Begitu kakek ini mengeluarkan kata-kata tubuh Hauw Lam mencelat ke atas.
Pemuda ini kaget sekali dan mengerahkan tenaga untuk mengatur keseimbangan tubuh. Ketika ia berhasil turun dengan berdiri di atas tanah, ternyata kakek itu sudah keluar dari dalam tanah, kini duduk bersila di atas tanah. Sekilas pandang, ia kaget dan heran. Kakek itu kepalanya besar dan seperti kepala orang dewasa, akan tetapi tubuhnya kecil pendek seperti tubuh seorang anak berusia belasan tahun! Maklum bahwa kakek yang tubuhnya aneh ini seorang sakti, ia lalu menjatuhkan diri kembali, berlutut di depan kakek itu.
“Demikianlah, Mutiara Hitam. Semenjak saat itu aku menjadi murid Bu-tek Lo-jin selama seratus hari. Aku tidak menerima ilmu silat baru dari Guruku yang aneh itu, akan tetapi semua ilmu silat yang pernah kupelajari ia lihat dan ia beri petunjuk. Semenjak itu, baru terbuka mataku akan ilmu yang sebenarnya,” Hauw Lam mengakhiri ceritanya.
Kwi Lan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tertarik sekali akan semua pengalaman Hauw Lam dan diam-diam ia merasa girang bahwa putera bibinya ini benar-benar seorang pemuda yang perkasa dan juga kalau ia tak salah duga, berbudi baik. Perasaan hangat memenuhi dadanya ketika ia menatap wajah yang tampan dan jenaka itu. Ia sudah merasa tertarik sekali, seakan-akan ia berhadapan dengan kakak kandungnya sendiri.
Perasaan ini mungkin timbul karena semenjak kecilnya ia sudah menganggap Bibi Bi Li seperti ibu kandungnya. Betapa tidak? Bibi Bi Li yang memeliharanya semenjak ia belum mengerti apa-apa, yang menghiburnya kalau ia menangis, yang memberinya makan kalau ia lapar dan memberinya minum kalau ia haus. Dan pemuda ini adalah anak kandung Bibi Bi Li! Apa bedanya dengan kakaknya sendiri?
“Wah, kau melamunkan apa?”
Tiba-tiba Kwi Lan terkejut oleh seruan ini, sampai ia tersentak kaget. Ia mendongkol juga akan watak pemuda ini yang ugal-ugalan dan kadang-kadang kasar. “Kenapa kau membentak-bentak orang?”
Hauw Lam tertawa. “Siapa membentak-bentak? Aku hanya bertanya. Mengapa engkau melamun sedangkan aku sudah menanti sejak tadi memasang telinga setajam-tajamnya!”
“Menanti apa? Memasang telinga untuk apa?”
“Waduh, bagaimana ini? Sejak tadi sampai letih mulutku bercerita tentang riwayatku, tentang nama dan pengalamanku. Setelah aku selesai, kini kau bertanya aku menanti apa dan memasang telinga untuk apa? Tentu saja untuk mendengarkan ceritamu, tentang nama dan keadaanmu, tentang riwayat hidupmu!” jawab Hauw Lam, penasaran.
Mendengar ini, Kwi Lan menarik napas panjang. Ia tidak ingin menyebut-nyebut tentang Bibi Kam Sian Eng, tidak mau pula bercerita tentang ibu kandungnya, Ratu Khitan yang belum pernah dilihatnya itu. Ia mau bercerita tentang Bi Li, akan tetapi merasa belum tiba saatnya. Maka ia lalu berkata, “Perlu apa banyak cerita? Engkau sudah tahu namaku.”
“Siapa?”
“Mutiara Hitam.”
“Wah, kenapa kau suka sekali mempermainkan aku? Aku sudah menceritakan namaku sendiri, Tang Hauw Lam...”
“Tapi aku mengenalmu sebagal Berandal saja, cukup. Dan kau mengenalku sebagai Mutiara Hitam. Apa artinya nama? Nama apa pun, juga apa bedanya? Yang penting mengenal orangnya dan melihat wataknya. Nama hanya kosong belaka!”
Hauw Lam menggaruk-garuk belakang telinganya dan mulutnya menggumam lirih, “Nama itu kosong belaka...! Eh, Mutiara Hitam, semuda ini kau sudah sepandai itu berfilsafat? Ataukah... kau pernah patah hati?”
“Patah hati? Bagaimana hati bisa patah? Apakah hati itu seperti kayu kering... macam ini?” Kwi Lan mematahkan sebatang ranting kayu. Melihat wajah gadis itu bersungguh-sungguh, mau tidak mau Hauw Lam tertawa.
“Sudahlah, tidak gampang mengajak kau bicara. Tidak mau menceritakan nama ya sudah, sedikitnya kau tuturkan riwayatmu yang tentu menarik sekali.”
“Aku tidak punya riwayat. Lebih baik kau lanjutkan ceritamu. Kau tadi bilang bahwa kau sebatang kara. Mana ayah dan ibumu?”
Untuk sesaat wajah yang jenaka dan lucu itu diselimuti awan kedukaan. Akan tetapi hanya sebentar saja karena kembali wajah yang tampan itu menjadi cerah ketika menjawab, “Ibuku telah meninggal dunia dan....”
“Siapa bilang ibumu meninggal dunia?!”
“Lho! Kenapa marah?” Hauw Lam bertanya karena mendengar suara pertanyaan yang membentak itu dan melihat wajah yang masam.
“Siapa bilang ibumu meninggal dunia?” Kwi Lan mengulang.
Pemuda itu melongo. Dara yang cantik jelita seperti bidadari, yang gagah perkasa, akan tetapi yang anehnya bukan main, memiliki watak yang sukar sekali dijajaki, sukar diduga. “Yang bilang? Tentu saja ayahku. Ayahku yang bilang bahwa ibu telah meninggal dunia.”
Sudah berada di ujung lidah Kwi Lan untuk menyangkal, untuk menyatakan bahwa ayah pemuda itu bohong, akan tetapi dapat ditahannya.
“Dan ayahmu di mana dia?”
“Ayah? Ayah tidak sayang kepadaku. Ketika aku berusia lima tahun, ayah meninggalkan aku di kelenteng bukit Kim-liong-san dan semenjak itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan dia. Nah, sudah lengkap kini riwayatku, sekarang ganti engkau...”
Ucapan Hauw Lam terhenti karena tiba-tiba terdengar derap suara kaki kuda, disusul suara orang. Tak lama kemudian muncullah tujuh orang penunggang kuda. Pakaian, topi, dan bahasa mereka membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang asing. Kuda yang mereka tunggangi adalah kuda besar dan baik. Akan tetapi tujuh ekor kuda tunggang mereka itu seperti tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan seekor kuda yang dituntun oleh seorang di antara mereka. Kuda yang dituntun ini lebih tinggi, tubuhnya ramping dilingkari otot-otot yang kuat. Keempat kakinya merit kecil dan bulunya hitam mulus dan mengkilap. Sepasang matanya lebar dan bercahaya.
“Kuda betina yang hebat!” Hauw Lam terdengar memuji dengan suara lantang, matanya memandang ke arah kuda hitam itu penuh kekaguman.
Akan tetapi Kwi Lan yang tidak mengerti tentang kuda, tidak tahu apanya yang hebat pada kuda hitam itu, maka ia tidak memperhatikannya. Sebaliknya, ia tertarik kepada tujuh orang laki-laki yang menunggang kuda. Mereka itu rata-rata berusia sekitar empat puluhan tahun, bertubuh tegap dan tinggi, membayangkan ketangkasan dan kekuatan. Wajah mereka gagah dan agak hitam oleh sinar matahari.
Sementara itu, tujuh orang ini pun menahan kendali kuda ketika mereka melihat Hauw Lam dan Kwi Lan. Akan tetapi pandang mata semua orang ini ditujukan kepada Kwi Lan. Agaknya tidak ada perbedaan antara pandang mata mereka terhadap Kwi Lan dengan pandang mata Hauw Lam terhadap kuda hitam. Penuh kekaguman!
Pandang mata mereka yang penuh getaran nafsu itu agaknya terasa pula oleh Kwi Lan, membuat dara ini menjadi jengah dan marah di dalam hati. Akan tetapi karena mereka itu tidak mengeluarkan kata-kata, Kwi Lan menahan kemarahannya dan mencabuti beberapa helai rumput hijau sambil menundukkan muka, kadang-kadang saja melirik ke arah mereka. Ia masih tetap duduk di atas akar pohon.
Akan tetapi Hauw Lam sudah meloncat berdiri. Pemuda ini banyak sudah merantau dan banyak pula pengalamannya. Melihat sikap dan pandang mata tujuh orang itu kepada temannya, ia merasa mendongkol pula. Akan tetapi wajahnya berseri dan ia tersenyum lebar ketika berkata, “Salam, sobat-sobat yang bersua di jalan!”
“Salam!” Tujuh orang itu menjawab, suara mereka rata-rata besar parau.
Senyum di mulut Hauw Lam melebar dan ia melangkah mendekati kuda hitam. Setelah kini dekat dan memandang penuh perhatian, ia menjadi makin kagum. Benar-benar seekor kuda yang hebat, pikirnya. Ketika ia mencoba untuk menepuk-nepuk leher kuda hitam itu, si Kuda hitam meringkik dan hampir saja tangan Hauw Lam digigitnya kalau pemuda ini tidak cepat-cepat menarik kembali tangannya.
“Kuda hebat...!” ia memuji pula. “Sobat, apakah kuda hitam ini hendak dijual? Kalau hendak dijual, berapakah harganya?”
Orang yang menuntun kuda membelalakkan matanya kepada Hauw Lam, kemudian ia tertawa sehingga tampak betapa dua buah gigi atasnya ompong. Enam orang temannya hanya berdiri memandang. Kemudian si Ompong berpaling dan menterjemahkan ucapan Hauw Lam tadi dalam bahasa mereka. Seketika meledaklah ketawa enam orang itu sehingga keadaan hutan yang tadinya sunyi kini menjadi riuh dengan suara ketawa mereka. Lalu disusul mereka bertujuh saling bicara riuh rendah sambil tertawa-tawa.
“Orang muda, tahukah engkau kuda apakah ini, dari mana dan hendak dibawa ke mana?” Akhirnya si Ompong yang menjadi juru bicara berkata dengan suara pelo dan kaku. “Kuda ini adalah kuda keturunan langsung dari Hek-liong-ma milik pribadi Ratu kami!”
“Siapakah Ratu kalian yang mulia?” Hauw Lam bertanya, tertarik karena ia tidak mengerti bahasa mereka.
“Ratu kami adalah Sang Ratu di Khitan.”
“Ohhh...!” Suara seruan kaget ini keluar dari mulut Kwi Lan. Akan tetapi ketika Hauw Lam menengok, gadis ini sudah dapat menekan perasaannya kembali dan hanya memandang penuh perhatian.
“Dan tahukah engkau kuda ini hendak kami bawa ke mana? Akan kami antarkan ke Yen-an sebagai barang sumbangan kepada ketua baru dari Thian-liong-pang!”
Diam-diam Hauw Lam terkejut juga. Kiranya bukan kuda sembarangan dan ia maklum bahwa tujuh orang ini sengaja menyebut nama Thian-liong-pang untuk membuat ia kaget dan jeri. Akan tetapi ia berpura-pura tidak mengenal Thian-liong-pang, bahkan ia lalu berkata, “Wah, barang sumbangan saja mengapa kuda yang begini bagus? Yang kalian tunggangi itu semua juga sudah lebih dari cukup untuk sumbangan. Yang hitam ini kalau boleh, harap jual kepadaku.”
Tiba-tiba seorang di antara mereka berbicara dengan bahasa mereka, suaranya lantang dan telunjuknya menuding-nuding ke arah Kwi Lan yang masih duduk di atas akar pohon. Begitu selesai ia berbicara, tujuh orang itu tertawa bergelak-gelak. Semua kuda mereka kaget dan meringkik-ringkik sambil berdiri di atas kedua kaki belakang sehingga hampir saja dua orang di antara mereka terlempar ke bawah. Hal ini membuat mereka tertawa makin riuh rendah.
“Orang muda, mengertikah engkau apa yang dimaksudkan teman-temanku? Ha-ha-ha! Engkau sendiri sudah memiliki seekor kuda betina yang demikian cantik jelita, mengapa masih ingin membeli kuda hitam ini? Apakah artinya kuda hitam ini kalau dibandingkan dengan kudamu yang putih kuning dan cantik molek itu? Ha-ha-ha!” Kembali tujuh orang itu tertawa-tawa karena mereka tahu bahwa temannya si Ompong sudah menterjemahkan ucapan mereka.
Tentu saja Hauw Lam menjadi marah dan mendongkol sekali. Akan tetapi Kwi Lan lebih marah lagi. Tadinya ia tidak mengerti apa artinya ucapan mereka, akan tetapi karena mereka bertujuh semua memandang kepadanya dan menuding-nudingkan telunjuk ke arahnya, tahulah ia bahwa dia sesungguhnya yang disebut kuda betina putih kuning! Ia disamakan dengan kuda! Keparat! Bagaikan seekor harimau ia meloncat bangun, kedua tangannya bergerak dan melesatlah sinar hijau dari kedua tangannya menyambar ke arah muka tujuh orang itu.
Seketika lenyap suara ketawa mereka, terganti suara jeritan dan mereka bertujuh terguling roboh dari atas kuda! Namun dengan gerakan yang amat cekatan mereka bertujuh sudah meloncat bangun lagi dan ramailah mereka berkata-kata dalam bahasa yang tidak dimengerti Hauw Lam mau pun Kwi Lan. Kini Hauw Lam yang melongo dan memandang mereka dengan muka terheran-heran.
Kiranya sinar kehijauan yang melesat dari kedua tangan Mutiara Hitam tadi adalah rumput-rumput yang tadi dicabutinya sambil duduk di atas akar pohon. Dalam kemarahannya gadis itu telah menyerang tujuh orang Khitan dengan rumput-rumput itu. Biar pun hanya rumput hijau, namun di tangan dara perkasa ini berubah menjadi senjata rahasia yang amat ampuh dan menggiriskan hati.
Batang-batang rumput itu meluncur melebihi anak panah cepatnya dan tak terhindarkan lagi oleh tujuh orang Khitan itu. Tahu-tahu muka mereka telah terkena rumput yang menempel pada kulit muka mereka, menimbulkan rasa perih dan pedas, sedangkan tadi ketika rumput-rumput itu menyerang, mereka terdorong oleh angin pukulan yang membuat mereka terjungkal dari atas kuda. Kini mereka berdiri dan berusaha melepaskan rumput-rumput yang menempel muka mereka.
Aneh bin ajaib! Sampai meringis-ringis mereka berusaha mengambil rumput yang menempel di kulit muka. Sia-sia belaka! Rumput-rumput itu menempel seakan-akan diberi lem perekat ajaib, seakan-akan telah tumbuh menjadi satu dengan kulit. Seorang di antara mereka agak menggunakan kekerasan untuk mengupas rumput, akan tetapi kulit pipinya ikut terkelupas, nyeri dan perih bukan main dan darah menetes-netes!
Mereka terheran-heran dan juga kesakitan, terutama sekali rasa jeri membuat wajah mereka pucat. Bagi Hauw Lam, penglihatan itu amatlah lucu. Melihat mereka berusaha mengupas rumput dari muka meringis-ringis kesakitan, melihat betapa rumput itu merupakan plester-plester hijau ‘menghias’ muka, apa lagi orang yang tadi menghina Mutiara Hitam, rumput melintang di atas kulit hidungnya sehingga wajahnya tampak lucu sekali, membuat Hauw Lam tak dapat menahan ketawanya.
“Hua-ha-ha-ha! Lucu sekali...! Lucu sekali...! Muka kalian bertujuh ditambal-tambal seperti badut dan delapan ekor kuda ini begini bagus. Tentu kalian hendak main komidi kuda, ya? Bagus..., bagus...!” Hauw Lam bertepuk-tepuk tangan dan berjingkrak-jingkrak, membuat tujuh orang itu mendongkol bukan main.
Akan tetapi karena mereka dapat menduga bahwa dua orang muda-mudi itu tentu bukan orang sembarangan, mereka tidak mau lagi meladeni dengan kata-kata. Serentak tangan mereka bergerak dan tujuh orang itu sudah mencabut golok masing-masing lalu mengurung dengan sikap mengancam.
“Aih... aih... kalian masih belum kapok? Kalau tadi Nona muda kalian ini menghendaki nyawa kalian, apakah kalian tidak menjadi bangkai?” Hauw Lam berseru sambil melangkah maju, kemudian menoleh kepada Kwi Lan. “Biarlah aku yang kini menikmati permainan dengan mereka!”
Kwi Lan diam saja, sikapnya tidak acuh. Ia tidak memandang mata kepada tujuh orang itu, akan tetapi mengingat bahwa mereka adalah orang-orang Khitan, rakyat dari ibu kandungnya, ia tadi tidak mau membunuh mereka. Kini ia hendak menyaksikan sampai di mana kepandaian Berandal, karena dari gerak-gerik tujuh orang itu ia dapat menduga bahwa mereka memiliki ilmu silat yang tinggi juga.
“Mengalahkan mereka tanpa membunuh barulah hebat,” Kwi Lan sengaja berkata, nada suaranya mengejek, padahal di dalam hati ia merasa khawatir kalau-kalau pemuda berandalan itu membunuh rakyat ibu kandungnya.
“Oho, mudah saja, kau lihatlah!” Hauw Lam berkata sambil tertawa, kemudian membusungkan perutnya ke depan, menantang.
“Hayo kalian maju, tunggu apa lagi? Bukankah golok kalian sudah terhunus? Di sini tidak ada babi untuk ditusuk perutnya, tidak ada kambing untuk disembelih lehernya. Nih perutku, boleh kalian tusuk, atau leher nih, boleh pilih!” Ia menantang dengan cara mengejek sekali, meramkan kedua mata, mengulur leher membusungkan perut dan menaruh kedua tangan di punggung!
Diam-diam Kwi Lan geli menyaksikan sikap ini, juga merasa betapa sikap ini keterlaluan dan berbahaya. Coba dia yang ditantang secara itu, tentu sekali bergerak akan dapat merobohkan pemuda ugal-ugalan itu.
Agaknya tujuh orang yang sudah amat marah itu pun berpikir demikian. Mereka tadi sudah marah dan penasaran sekali, merasa mengalami penghinaan yang luar biasa, maka kini menyaksikan sikap dan tantangan Hauw Lam, mereka sampai tak dapat mengeluarkan kata-kata saking marahnya. Tujuh orang Ini bukan orang sembarangan, merupakan jagoan-jagoan yang berkepandaian tinggi, bagaimana sekarang menghadapi dua orang bocah saja mereka tidak berdaya dan sampai mengalami hinaan? Kini melihat sikap Hauw Lam, mereka serentak menerjang untuk membalas penghinaan yang mereka alami.
“Cring-cring-trangg-traaanggg...!” Tujuh batang golok yang menerjang dalam detik bersamaan dengan sebuah saja sasaran, tentu saja tak dapat terhindar lagi saling beradu ketika sasarannya tiba-tiba lenyap dari tempatnya.
Cepat mereka meloncat dan membalikkan tubuh. Kiranya pemuda ugal-ugalan itu sudah berada di belakang mereka dan kembali pemuda itu mengulur leher membusungkan perut, akan tetapi sekarang tangannya memegang sebatang golok pula, golok yang pendek dan lebar seperti golok tukang babi! Akan tetapi melihat sinar putih bersinar dari mata golok, dapat diduga bahwa golok yang buruk bentuknya itu ternyata terbuat dari pada logam yang ampuh dan terpilih.
“Hayo tusuk lagi, bacok lagi, kenapa ragu-ragu? Perut dan leherku sudah gatal-gatal nih!” Hauw Lam mengejek, menggoyang-goyangkan perutnya yang sengaja ia busungkan ke depan.
Kemarahan tujuh orang Khitan itu memuncak. Sambil memaki-maki dalam bahasa sendiri kembali mereka menerjang maju, melakukan serangan dahsyat penuh kemarahan. Kali ini tampak sinar putih yang amat lebar menyilaukan mata bergulung-gulung menyambut mereka.
Terdengar suara nyaring beradunya senjata diikuti tujuh batang golok terlempar dalam keadaan patah menjadi dua, disusul pekik tujuh orang itu dan memberebetnya kain robek. Dalam sekejap mata saja tujuh orang itu tidak hanya kehilangan golok, akan tetapi juga baju mereka robek dari leher sampai ke perut! Wajah mereka kini menjadi pucat sekali karena mereka maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, dalam segebrakan saja tadi tentu mereka akan terobek perut mereka!
Si Gigi Ompong lalu menjura dan berkata, “Kami telah kesalahan terhadap Taihiap, mohon maaf, mengingat bahwa kami jauh dari utara hendak mengunjungi Thian-liong-pang.”
Hauw Lam tertawa akan tetapi sebelum ia menjawab, Kwi Lan melompat maju dan menghardik, “Masih banyak cakap lagi? Kalian ini orang-orang Khitan yang tidak baik! Lekas pergi dan tinggalkan kuda hitam!”
Si Gigi Ompong kaget bukan main dan dengan suara gemetar ia menterjemahkan ucapan ini. Kawan-kawannya juga nampak kaget dan memprotes. Si Gigi Ompong kini menghadapi Kwi Lan dan berkata, “Tidak mungkin, Nona! Kuda hitam ini adalah persembahan dari kami untuk dihadiahkan kepada ketua Thian-liong-pang sebagai tanda persahabatan. Bagaimana kami berani meninggalkannya di sini? Hal ini berarti akan hilangnya nyawa kami sebagai penggantinya!”
“Huh! Siapa peduli nyawa anjing kalian? Katakan saja kepada Ratumu bahwa yang mengambil kuda hitam adalah Mutiara Hitam. Habis perkara!”
Kini Hauw Lam mendengarkan dengan mulut ternganga. Dara itu terlalu lancang, terlalu berani. Tadi berani menghina dan memandang rendah Bu-tek Siu-lam, kini malah berani menantang Ratu Khitan yang selain terkenal sebagai ratu, juga terkenal memiliki ilmu kesaktian hebat dan mempunyai banyak anak buah yang berilmu tinggi!
Apakah yang diandalkan dara ini maka bersikap sedemikian angkuh dan berani menghina orang-orang golongan atas? Kepandaiannya memang hebat dan melihat cara melempar rumput yang sampai kini menempel di muka ketujuh orang Khitan itu, terbukti akan kelihaiannya. Akan tetapi belum tampak ilmu silatnya dan ia merasa ragu-ragu apakah dara semuda ini akan mampu menandingi tokoh-tokoh besar itu?
Akan tetapi mendengar ucapan gadis yang memandang rendah Ratu Khitan, tujuh orang itu tidak menjadi marah setelah si Ompbng menterjemahkannya, bahkan nampak heran dan girang. Si Ompong lalu berkata sambil menjura, “Aha, kiranya masih sepaham! Nona yang gagah perkasa, ketahuilah bahwa kami adalah anak buah Pak-sin-ong...”
“Tidak peduli siapa itu Pak-sin-ong!” bentak Kwi Lan tidak sabar lagi.
Akan tetapi Hauw Lam sudah menjadi kaget sekali dan bertanya, “Apa? Kalian ini anak buah Jin-cam Khoa-ong (Raja Algojo Manusia) yang juga disebut Pak-sin-ong (Raja Sakti dari Utara)?”
Si Ompong berseri wajahnya, akan tetapi jadi menyeringai buruk karena wajahnya masih pucat dan masih tertempel rumput. “Betul..., betul...! Nona, agaknya Nona belum mengenal nama besar Tai-ong kami yang juga memusuhi Ratu Khitan dan....”
“Bedebah...!” Bentakan ini keluar dari mulut Kwi Lan, disusul berkelebatnya sinar kehijauan dan terciumlah bau yang harum. Akan tetapi tujuh orang Khitan itu menjerit, darah muncrat dan di lain saat Kwi Lan sudah berdiri tegak kembali, sikapnya kereng dan mulutnya membentak, “Lekas pergi dari sini!”
Hauw Lam melongo. Sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu saja ia dapat melihat gerakan gadis itu yang luar biasa cepatnya. Ia melihat betapa gadis itu mencabut sebatang pedang yang sinarnya kehijauan dan mengeluarkan ganda harum semerbak, melihat pula betapa dengan gerakan yang amat aneh, dahsyat dan secepat kilat pedang di tangan gadis berkelebat dan dengan persis membabat putus telinga kanan ketujuh orang Khitan itu sebelum mereka mampu mengelak atau melawan! Melihat pula betapa dengan gerakan yang masih sama cepatnya gadis itu telah menyimpan kembali pedangnya sebelum darah yang muncrat dari pinggir kepala tujuh orang itu menyentuh tanah. Sebuah gerakan yang luar biasa sekali, yang aneh, dahsyat akan tetapi juga ganas dan kejam!
Tujuh orang Khitan yang tadinya kegirangan karena mengira bahwa mereka itu sefihak dengan nona ini dalam hal memusuhi Ratu Khitan, tentu saja menjadi kaget dan kesakitan. Sambil menutupi telinga kanan yang sudah tak berdaun lagi, mereka memandang dengan wajah pucat dan mata terbelalak, sejenak lupa akan rasa perih dan nyeri pada telinganya.
“Kami telah menerima pengajaran,” kata si Ompong sambil meringis. “Harap Nona suka memberitahukan nama agar tidak mudah kami melupakannya...“
“Eh-eh, masih banyak tingkah lagi?” Hauw Lam yang khawatir kalau-kalau nona itu makin marah dan membunuh mereka, memotong. “Dia ini bernama Mutiara Hitam, apakah kalian buta? Dan aku adalah Berandal. Hayo pergi dan jangan membuka mulut busuk lagi!”
Tujuh orang Khitan itu melompat ke atas kuda. Sekali lagi mereka menoleh dengan pandang mata penuh kebencian dan sakit hati, kemudian membalapkan kuda mereka pergi dari tempat itu. Kuda hitam ditinggalkan begitu saja dan kuda ini kelihatan tenang makan rumput, kendalinya terlepas dan terseret di atas tanah.
Hauw Lam cepat mengambil kendali itu dan kini kuda itu diam saja ketika ditepuk-tepuk lehernya. Agaknya kuda itu tahu bahwa siapa yang memegang kendali adalah majikannya. “Kuda bagus, kuda hebat...!” Hauw Lam menepuk-nepuknya dan membawanya dekat kepada Kwi Lan.
“Pilihanmu tepat, Mutiara Hitam. Julukanmu Hitam maka tepatlah kalau kau menunggang kuda hitam ini.”
“Siapa yang menginginkan kuda? Aku hanya minta kuda ini agar ada alasan mengunjungi Thian-liong-pang.”
“Apa? Bagaimana maksudmu?”
Kwi Lan tersenyum mengejek. “Bodoh! Kalau kita datang ke sana dan membawa kuda ini sebagai barang sumbangan, bukankah namanya sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat? Maksud si Raja Algojo yang kau sebut-sebut itu mempersembahkan kuda kepada Thian-liong-pang tak berhasil, berarti dia sudah kalah satu nol melawan kita. Kedua, dengan hadiah ini, masa kita tidak akan diterima sebagai tamu agung oleh Thian-liong-pang?”
Hauw Lam membelalakkan matanya kemudian berjingkrak dan bertepuk tangan, “Wah, bagus! Kau ternyata pintar sekali. Tapi sesungguhnya sayang kalau kuda sebaik ini dilepaskan kembali kepada orang lain.”
“Hal ini dapat diputuskan nanti. Kalau kulihat Thian-liong-pang tidak berharga memiliki kuda ini, bisa saja kita ambil kembali.”
Diam-diam Hauw Lam merasa khawatir. Gadis ini memang harus diakui memiliki ilmu kepandaian hebat. Akan tetapi terlalu ceroboh, terlalu sembrono dan terlalu memandang rendah orang lain.
“Ahh, Mutiara Hitam. Engkau benar-benar belum banyak mengenal orang! Engkau tidak tahu siapa dia Jin-cam Khoa-ong.”
“Siapa sih Algojo itu?”
“Aku sendiri belum pernah bertemu dengan tokoh menyeramkan itu, akan tetapi sepanjang pendengaranku, dia tidak kalah terkenalnya dari pada, Bu-tek Siu-lam sendiri! Kabarnya dia datang dari daerah Mongol, paling suka membunuh orang. Semua orang yang pernah bentrok dengan dia tidak akan dapat keluar hidup-hidup. Betapa pun gagahnya, semua orang itu tewas di bawah senjatanya yang mengerikan, yaitu berbentuk gergaji berkait. Dia mengangkat diri dengan sebutan Pak-sin-ong untuk memperkenalkan asalnya dari utara, akan tetapi karena kekejamannya yang melewati batas, di dunia kangouw dia dijuluki orang Jin-cam Khoa-ong si Raja Algojo Manusia!”
“Huh, makin besar julukannya, makin kosong melompong! Aku tidak takut!”
“Dan Thian-liong-pang sungguh tidak boleh dibuat permainan! Bahkan kini merupakan perkumpulan yang paling besar, paling berpengaruh dan paling banyak anggotanya untuk golongan hitam. Karena itulah, para tokoh golongan hitam yang tidak mempunyai perkumpulan besar masih memandang kepada Thian-liongpang...“
"Sudahlah! Kalau engkau takut, tidak perlu kau banyak mengoceh lagi. Aku pun tidak mengajak engkau. Kau kira aku takut untuk pergi sendiri?” Sambil berkata demikian, Kwi Lan menyambar kendali kuda dari tangan Hauw Lam, lalu pergi menuntun kuda hitam itu meninggalkan Hauw Lam yang berdiri melongo.
Akan tetapi karena selama hidupnya Kwi Lan belum pernah mempunyai kuda, apa lagi menunggang kuda, ia canggung sekali dan kuda hitam itu agaknya juga dapat merasakan hal ini. Kuda itu mulai meronta dan mogok jalan. Kwi Lan menarik-narik kendali kuda sambil membentak,
"Kau juga hendak mogok? Kuda sialan! Kupenggal lehermu nanti, kubawa bangkaimu ke Thian-liong-pang, hendak kulihat apakah kau berani mogok lagi!"
"Wah-wah-wah..., kenapa kau begini galak, Mutiara Hitam? Apa kau marah kepadaku? Aku sama sekali tidak takut, hanya aku heran menyaksikan keberanianmu menentang semua tokoh-tokoh besar. Mari, biarlah kita pergi bersama. Dan kuda itu... kenapa repot-repot amat? Lebih baik kau tunggangi dia, kan enak?"
Watak Kwi Lan memang aneh, agaknya ia tiru dari Sian Eng. Ia keras sekali kalau perlu, akan tetapi bisa juga menjadi lunak, bisa gembira dan jenaka, akan tetapi tidak pernah mengenal duka mau pun takut. Melihat pemuda itu menghampiri dan wajahnya sungguh-sungguh, ia tersenyum. "Aku belum pernah menunggang kuda!" katanya.
Kembali Hauw Lam terheran. Seorang gadis yang begini tinggi ilmunya, belum pernah menunggang kuda? Benar-benar luar biasa sekali ini. "Belum pernah? Kalau begitu berbahaya, dong. Kau harus belajar dulu. Seekor kuda yang baik selalu akan memberontak kalau ditunggangi orang yang takut-takut menunggang kuda."
"Aku memang belum pernah menunggang kuda, akan tetapi siapa bilang aku takut? Kau lihat saja!" Sekali menggerakkan tubuhnya, Kwi Lan sudah meloncat dan duduk di atas punggung kuda, dengan kedua kaki di samping kiri perut kuda itu. Canggung dan kaku sekali. Benar saja, kuda hitam itu tidak memberontak, karena kuda itu hanya memberontak apa bila yang menunggangnya takut-takut, sedangkan Kwi Lan tidak takut.
"Ah, keliru kalau begitu menunggangnya. Mana bisa tahan lama kalau kuda itu membalap?"
"Siapa bilang tidak bisa? Kau lihat!" Kwi Lan menarik kendali kuda dan kuda hitam itu meloncat ke depan lalu lari cepat. Kwi Lan terangkat-angkat dari atas punggung kuda dan karena duduknya miring, maka hampir saja ia jatuh. Cepat ia berseru keras dan tubuhnya sudah meloncat ke atas kemudian turun di atas punggung kuda dalam keadaan berdiri!
Hauw Lam sudah mengejar dan memegang kendali kuda, mengeluarkan suara menyuruh berhenti. Setelah kuda berhenti, ia menggeleng-geleng kepala. "Wah-wah, memang kau hebat sekali, Mutiara Hitam. Akan tetapi mana ada di dunia ini orang naik kuda dengan berdiri di atas punggungnya? Engkau akan menjadi tontonan orang di sepanjang jalan, dan juga keadaan itu amat melelahkan. Beginilah cara menunggang kuda. Lihat, kuberi contohnya!"
Karena memang Kwi Lan seorang yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka pelajaran menunggang kuda ini dapat ia kuasai sebentar saja. Berangkatlah kedua orang muda itu melakukan perjalanan menuju Yen-an. Kwi Lan menunggang kuda sedangkan Hauw Lam berjalan kaki sambil meniup sulingnya. Kadang-kadang Kwi Lan yang meloncat turun dan berjalan kaki, menyuruh pemuda itu berganti menunggang kuda. Kalau Hauw Lam menolak, ia tentu akan marah. Begitu pula, kadang-kadang gadis yang berhati polos itu menyuruh Hauw Lam duduk di belakangnya di atas punggung kuda. Hauw Lam juga menuruti kehendaknya sehingga dalam waktu beberapa hari saja melakukan perjalanan, keduanya telah menjadi sahabat yang amat akrab dan diam-diam Kwi Lan makin merasa cocok dan suka kepada putera bibi pengasuhnya ini.....
********************
Pemuda itu tertawa bergelak, memperlihatkan deretan gigi yang terpelihara rapi dan putih. “Apakah benar-benar engkau begini pemarah dan galak? Ah, aku tidak percaya, kau hanya pura-pura bersikap galak saja!”
“Siapa tidak akan marah kalau kau begini ugal-ugalan? Dua genggam kacang asin saja digugat-gugat, dijadikan alasan....”
Pemuda itu tiba-tiba berdiri dan menjura sampai jidatnya hampir menyentuh tanah, seperti seorang melakukan penghormatan kepada ratu. “Hamba mohon beribu ampun atas segala kesalahan hamba terhadap tuan putri yang mulia....”
“Heiii! Bagaimana engkau tahu bahwa...?” Kwi Lan tiba-tiba menghentikan kata-katanya.
Sikap pemuda ugal-ugalan yang melawak itu sejenak mengingatkan ia akan ibu kandungnya yang menjadi ratu di Khitan sehingga timbul dugaan dan kecurigaannya bahwa pemuda aneh ini tahu bahwa dia anak ratu. Akan tetapi melihat wajah pemuda itu berbalik menjadi kaget dan heran, ia menahan kata-katanya, kemudian melanjutkan, “Sudahlah! Jangan kau main-main seperti badut. Sebetulnya engkau mau apakah? Mengapa mengejarku dan hendak bicara apa dengan aku?”
Pemuda itu menarik muka sungguh-sungguh, akan tetapi tetap saja mukanya yang kekanak-kanakan itu berseri ketika ia menyodorkan guci airnya. “Harap nona suka minum dulu air ini agar percaya bahwa Nona tidak lagi marah kepadaku.”
Kwi Lan menerima guci itu dan meneguk isinya. Memang air yang amat dingin dan segar sehingga hilanglah hausnya, terasa amat puas dan nikmat. “Enak benar air ini,” katanya memuji sambil mengembalikan guci.
Pemuda itu pun meneguk air, kemudian menutup guci dan menyimpannya kembali ke balik bajunya.
“Nona, terus terang saja, begitu bertemu denganmu aku sudah menjadi sangat tertarik dan kagum. Gerakanmu jelas menunjukkan bahwa engkau memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sikapmu terbuka dan tegas. Benar-benar hebat sekali. Setelah bertemu dengan seorang seperti Nona, bagaimana aku dapat berpisah begitu saja tanpa lebih dahulu bicara dan mengikat persahabatan? Apa lagi melihat sikap Nona yang sama sekali tidak memandang mata kepada Thian-liong-pang dan terutama sekali berani memaki seorang tokoh besar seperti Bu-tek Siu-lam, benar-benar hebat sekali dan tentulah Nona seorang yang memiliki kedudukan sejajar dengan tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw pada waktu ini.”
“Ngawur dan ngaco! Selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan macamnya Bu-tek Siu-lam dan aku merasa heran sekali mengapa Ouw Kiu si Brewok tadi kelihatan begitu ketakutan ketika nama Bu-tek Siu-lam disebut-sebut.”
“Apa lagi dia, aku sendiri pun hampir terjengkang karena kaget mendengar engkau berani memaki-maki Bu-tek Siu-lam!”
“Huh, orang macam apakah Bu-tek Siu-lam itu? Aku hanya pernah mendengar dari mulut pengemis-pengemis Hek-peng Kai-pang bahwa dia yang melindungi semua pengemis golongan hitam yang katanya datang dari dunia barat. Perlu apa takut terhadap badut macam dia?”
“Aihh...aihh..., agaknya Nona belum banyak tahu akan tokoh-tokoh dunia kang-ouw pada waktu ini! Sehingga nama besar Bu-tek Siu-lam pun belum dikenalnya betul. Nona, agaknya engkau merupakan seorang perantau yang baru, belum lama turun gunung...“
Kwi Lan merasa betapa pipinya panas. Hatinya juga panas karena rahasianya diketahui. Dengan lain kata-kata pemuda ini hendak mengejeknya, mengatakan bahwa ia masih hijau, masih belum berpengalaman sehingga tidak mengenal tokoh-tokoh besar!
“Hemm, kalau engkau..., sudah banyak pengalaman, ya? Sudah puluhan tahun merantau?” Kwi Lan sengaja mengatakan puluhan tahun padahal usia pemuda itu paling banyak sama dengan usianya sendiri, sembilan belas tahun!
Akan tetapi pemuda itu tidak merasakan ejekan ini agaknya. Wajahnya serius ketika ia menjawab, “Semenjak lahir aku sudah merantau, Nona.”
“Dan aku..., sebelum lahir sudah merantau!” potong Kwi Lan, matanya menyinarkan kemarahan, bibirnya tersenyum manis, senyum marah. Memang ciri khas gadis ini, makin marah ia, makin manis senyumnya!
Pemuda ini menatap wajahnya penuh selidik, tiba-tiba wajahnya yang serius itu kembali berseri seperti biasa. “Aih, kiranya Nona juga suka berkelakar. Mana bisa sebelum lahir sudah merantau!”
“Mengapa tidak bisa kalau kau pun sudah merantau sejak lahir? Tentu kau akan mendongeng bahwa begitu lahir engkau sudah pandai tertawa, pandai berlari cepat, dan pandai... membual?”
“Ha-ha-ha-ha! Lucu sekali!” Pemuda itu terpingkal-pingkal dan mau tak mau Kwi Lan tertawa juga membayangkan betapa begitu lahir pemuda itu pandai membual.
“Aku tidak membohong, Nona. Tentu saja bukan aku yang melakukan perantauan seorang diri, melainkan ayahku. Aku dibawa merantau dan sejak itu tak pernah berhenti merantau. Akan tetapi sudahlah, tidak ada yang menarik untuk diceritakan. Lebih baik kuceritakan kepadamu tentang tokoh itu. Bu-tek Siu-lam adalah seorang tokoh besar yang benar-benar sakti. Tidak ada tokoh kang-ouw yang tidak ngeri mendengar nama ini sungguh pun baru beberapa tahun saja ia datang dari sebelah barat Pegunungan Himalaya. Selain sakti, dia pun amat aneh sehingga tak seorang pun dapat menduga apakah dia itu laki-laki tulen ataukah perempuan.”
“Hee...? Mengapa begitu?” Kwi Lan mulai tertarik. Karena semenjak kecil ia terkurung di istana bawah tanah kemudian di dalam hutan yang tak pernah ada yang berani memasukinya, tentu saja pengetahuannya tentang dunia kang-ouw amat sempit. Apa lagi tentang tokoh-tokoh yang demikian anehnya.
Ada pun pemuda itu ketika melihat sikap Kwi Lan mulai tertarik, menjadi gembira untuk bercerita. “Dia berperawakan laki-laki tinggi tegap dan gagah, wajahnya tampan sekali, rambutnya terurai dan berombak indah. Akan tetapi lagak dan bicaranya seperti seorang perempuan yang amat genit, dan senjatanya adalah sebuah gunting besar yang amat mengerikan. Melihat gerak-gerik dan lagaknya, dia itu seratus prosen wanita, akan tetapi melihat bentuk tubuh dan wajahnya, dia adalah laki-laki. Hal ini saja sudah menyeramkan, apa lagi menyaksikan kekejamannya, membikin bulu roma berdiri. Ia pernah membasmi pengemis golongan putih dalam sebuah rapat besar sebanyak dua ratus orang lebih yang digunting-gunting dan dipotong-potong tubuhnya! Sejak itu ia menjadi datuknya pengemis golongan hitam. Banyak sudah tokoh golongan putih dan para pendekar hendak membasminya, namun mereka itu malah menjadi korban. Karena kesaktiannya inilah maka tak seorang pun berani lagi mengganggunya dan ia merupakan tokoh besar yang dicalonkan menjadi pemimpin dunia hitam jika ada pemilihan lagi di samping tokoh-tokoh yang lain.”
Kwi Lan mengerutkan keningnya. Tak pernah disangkanya ada seorang yang sedemikian hebatnya. Tadinya ia mengira bahwa di dunia ini hanya bibinya, Kam Sian Eng, saja yang paling lihai. Siapa tahu pemuda ini sendiri sudah lihai sungguh pun ia belum mencobanya, akan tetapi pemuda ini amat jerih ketika menceritakan kesaktian Bu-tek Siu-lam!
“Hemm, betapa pun juga, aku tidak takut kepadanya!” kata Kwi Lan. “Bagaimana dengan Thian-liong-pang? Apakah ketuanya juga sehebat laki-laki genit itu?”
Pemuda itu tertawa.
“Ihh, mengapa kau tertawa?”
“Mendengar kau menyebut Bu-tek Siu-lam laki-laki genit!”
“Kau sendiri yang bilang dia genit.”
“Mana bisa laki-laki genit? Laki-laki tidak ada yang genit, yang genit hanyalah perempuan.”
“Belum tentu semua perempuan genit! Laki-laki yang genit banyak, di antaranya... engkau inilah!”
“Wah, wah, menyerang lagi. Kau benar-benar pemarah, Nona. Maafkanlah. Yang kumaksudkan adalah bahwa Bu-tek Siu-lam itu bersikap genit seperti wanita, jadi dia itu laki-laki bukan wanita bukan. Dia seorang banci.”
“Banci? Apa banci...?”
“Banci itu wadam!”
“Wadam? Apa itu?”
“Wadam itu wandu.”
“Wandu? Aku tidak mengerti.”
Pemuda itu menarik napas panjang, lalu menggeleng kepala. “Tidak banyak pengertianmu, Nona. Banci, wadam, atau wandu itu adalah orang yang bukan laki-laki bukan pula wanita, akan tetapi juga bisa laki-laki bisa disebut wanita.”
Pusing kepala Kwi Lan mendengar ini. Keningnya berkerut, matanya bersinar marah. “Berandal, kalau kau mempermainkan aku, hemm... aku takkan sudi mendengarmu lag!”
“Eh, eh, nanti dulu! Aku tidak main-main, Nona. Banci adalah seorang yang bertubuh laki-laki akan tetapi berwatak perempuan, atau sebaliknya. Memang sukar untuk menerangkan, karena aku sendiri tidak tahu persis mengapa bisa begitu, akan tetapi memang kenyataannya demikian. Kau tadi bertanya tentang Thian-liong-pang? Ketuanya juga seorang yang terkenal memiliki ilmu kepandaian hebat, dan bukan itu saja yang membuat Thian-liong-pang disegani, melainkan banyaknya anggota dan banyaknya para pimpinan yang tinggi-tinggi ilmunya. Kabarnya tidak kurang dari dua belas orang murid kepala Thian-liong-pang amat lihai dan jika tenaga mereka digabungkan menjadi satu, agaknya Bu-tek Siu-lam sendiri tidak berani main-main dengan mereka. Pusatnya di Yen-an dan entah apa yang dimaksudkan si Brewok tadi dengan upacara pengangkatan ketua baru. Mungkin ketua lama mengundurkan diri, diganti muridnya yang paling besar. Peristiwa itu tentu amat menarik dan dikunjungi semua tokoh dunia hitam, karena itu aku ingin sekali mengunjungi ke Yen-an bersama... Nona, kalau Nona... berani!”
“Tentu saja aku berani!” Kwi Lan meloncat sambil meraba gagang pedangnya.
“Jadi Nona mau...?” Pemuda itu tersenyum lebar dan menjadi girang sekali.
Kwi Lan sadar lalu duduk kembali, “Soal mau atau tidak, nanti, dulu! Akan tetapi pokoknya aku berani! Sekarang ceritakan, selain laki-laki genit....” Ia berhenti dan melotot, akan tetapi pemuda itu tidak tertawa sekarang, “selain dia, siapa lagi tokoh besar di dunia ini sekarang?”
“Tokoh-tokoh dunia hitam banyak sekali, akan tetapi mereka itu adalah tokoh-tokoh yang dahulu berada di bawah Thian-te Liok-koai yang sekarang sudah lenyap dari permukaan bumi. Ada pun tokoh-tokoh yang sekiranya dapat disejajarkan Bu-tek Siu-lam, sedikit sekali. Aku hanya mendengar bahwa ada tokoh-tokoh iblis yang berjuluk Thai-lek Kauw-ong, seorang hwesio tua yang kabarnya memiliki kesaktian seperti iblis. Ada pula yang berjuluk Sin-cam Khoa-ong yang suka membunuh orang tanpa sebab dan tanpa berkedip. Orang ke empat adalah Siauw-bin Lo-mo. Kabarnya empat tokoh itulah yang kini merajai empat penjuru dunia hitam. Akan tetapi aku sendiri belum pernah bertemu dengan seorang di antara mereka.”
“Hemm, kalau mereka itu jahat, perlu apa memiliki kepandaian hebat? Apakah tidak ada yang menentang dan mengalahkan mereka?”
“Aku tidak tahu jelas, hanya kabarnya sudah terlalu banyak orang gagah dan pendekar yang roboh di tangan mereka.”
“Orang gagah? Pendekar? Orang macam apa mereka ini?”
Pemuda itu membelalakkan matanya. Kalau tadi mendengar gadis ini tidak tahu apa-apa tentang dunia hitam, ia menyangka gadis ini tentu murid tokoh sakti dunia putih yang baru saja turun gunung. Akan tetapi mendengar pertanyaan ini ia benar-benar heran sekali. Kalau tidak mengerti tentang dunia hitam dan dunia putih, habis gadis ini termasuk golongon apa?
“Bagaimana Nona tidak mengerti akan hal ini? Pendekar adalah orang-orang yang menentang kejahatan, orang-orang dari dunia putih yang selalu berusaha menumpas dunia hitam. Aku percaya bahwa guru Nona sendiri tentu seorang tokoh besar, seorang locianpwe dari dunia putih yang amat mulia.”
Kwi Lan menggeleng kepala. “Guruku bukan dari dunia putih, bukan pula dunia hitam. Entah dunia apa aku tidak tahu! Coba katakan, siapa tokoh-tokoh paling hebat di dunia putih?”
Pemuda itu masih belum hilang keheranannya, akan tetapi ia menahan perasaan ini dan menjawab, “Juga di antara pendekar-pendekar sakti banyak sekali yang merupakan tokoh puncak, akan tetapi aku yang muda hanya pernah mendengar beberapa orang saja. Pertama-tama adalah Suling Emas....”
“Suling Emas? Aku tanya nama orangnya, bukan sulingnya. Dari emas, perak, atau kuningan siapa peduli?”
“Suling Emas adalah nama julukannya. Nama aslinya, seperti tokoh-tokoh besar kang-ouw lainnya, siapa yang tahu?”
“Siapakah Suling Emas itu? Orang macam apa dan bagaimana kelihaiannya?”
Pemuda itu mengangkat jempol tangannya ke atas. “Aku sendiri belum mempunyai keberuntungan berjumpa dengan Suling Emas, akan tetapi namanya sudah sering kali kudengar dari para Locianpwe. Ilmu kepandaiannya setinggi langit, bahkan kabarnya Thian-te Liok-koai, enam datuk persilatan, musnah oleh sepak terjang Suling Emas. Sulingnya yang terbuat dari emas itu mengalahkan segala macam senjata yang ada di dunia ini.”
“Dimana dia tinggal?”
“Tak seorang pun tahu. Seperti juga empat tokoh dunia hitam, banyak tokoh dunia putih terdiri dari orang-orang aneh yang sukar diketahui tempatnya, akan tetapi yang sewaktu-waktu dapat muncul di tempat-tempat yang sekali tidak terduga-duga. Aku tidak akan merasa heran kalau saat ini di sekeliling kita terdapat tokoh dunia hitam mau pun dunia putih. Sepak terjang mereka penuh rahasia.”
Mendengar ini, tanpa disadarinya lagi Kwi Lan melirik ke kanan-kiri, akan tetapi keadaan di sekeliling tempat itu sunyi. “Lalu siapa lagi selain Suling Emas?”
“Di antara para pengemis golongan putih menyebut-nyebut nama Yu Kang Tianglo adalah seorang tokoh pengemis yang amat lihai ilmu silatnya, senjatanya hanya sebatang tongkat rotan kecil namun keampuhannya tidak kalah oleh pedang pusaka yang mana pun juga. Tentu saja dua orang itu hanya dua di antara banyak lagi. Apa lagi kalau kita ingat kepada partai-partai besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai yang tentu mempunyai banyak orang pandai. Belum lagi di selatan kabarnya Agama Beng-kauw di Negara Nan-co dipimpin oleh orang-orang yang amat sakti. Akan tetapi di antara segala orang sakti, baik di dunia putih mau pun hitam, agaknya tidak akan dapat menyamai tingkat kakek yang mulia dan terhormat Bu Kek Siansu....”
Berkata sampai di sini, pemuda itu membungkukkan tubuhnya seakan-akan hendak memberi hormat kepada nama yang disebutnya tadi.
“Bu Kek Siansu? Siapa dia...?” Kwi Lan makin tertarik. Kalau di antara semua tokoh yang hebat-hebat tadi tidak dapat menyamai tingkat kakek ini, tentu kakek ini benar-benar seorang manusia yang amat luar biasa.
“Maaf, Nona. Aku tidak berani sembarangan menyebut-nyebut namanya yang terhormat. Akan tetapi aku mempunyai lagu yang menurut Suhu adalah ciptaan beliau. Kau suka mendengar lagu tiupan suling?” Sambil berkata demikian, pemuda itu merogoh ke belakang baju dan kembali seperti orang main sulap, ia telah mengeluarkan sebatang suling bambu.
Diam-diam Kwi Lan terheran dan menduga-duga, apa saja kiranya isi dalam baju pemuda tukang sulap ini. Kemudian melihat suling itu, ia bertanya, “Jangan-jangan engkau sendiri yang berjuluk Suling Emas!”
Pemuda itu tertawa. “Ah, Nona jangan main-main. Apakah aku pantas menjadi seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih? Dan pula, sulingku ini bambu biasa, bambu kuning, sama sekali bukan emas, biar pun sama kuningnya. Kau dengarlah baik-baik, karena lagu ini bukan lagu sembarangan lagu melainkan lagu agung ciptaan manusia dewa.”
Pemuda itu lalu meniup sulingnya dan terdengar lengking suara suling yang halus merdu, kemudian suara itu membentuk irama lagu yang amat aneh. Mula-mula amat sukar ditangkap iramanya, sukar dirasakan kenikmatannya, akan tetapi makin lama suara suling itu makin menggulung semua pikiran dan perasaan Kwi Lan sehingga gadis ini duduk termenung seperti orang tak sadar, terbuai suara itu yang mendatangkan rasa tenang dan damai dalam hatinya. Lenyaplah segala kehendak, segala keinginan, segala perasaan, seperti keadaan orang tidur dalam sadar! Setelah pemuda itu menghentikan tiupan sulingnya, gema suara tadi masih berdengung dan mempesona jiwa Kwi Lan sehingga ia masih diam terlongong. Akhirnya ia sadar dan menarik napas panjang, kemudian memandang dengan kagum kepada pemuda itu.
“Aiih, kiranya engkau amat pandai meniup suling. Hebat!”
Wajah pemuda itu makin berseri gembira. Ia menjura dan berkata, “Bukan karena aku pandai meniup suling Nona, melainkan karena lagu itu memang hebat, sekaligus menembus jantung menguasai jiwa. Dibandingkan dengan Suling Emas, kepandaianku meniup suling tidak ada seper-sepuluhnya dan lagi... kabarnya Suling Emas memang menerima ilmu-ilmunya dari Bu Kek Siansu yang terhormat.”
Kwi Lan makin kagum dan terheran-heran. Timbul keinginan hatinya untuk bertemu dengan Suling Emas, walau pun hanya untuk mendengar tiupan sulingnya yang sepuluh kali lebih hebat dari pada tiupan suling pemuda ini.
“Wah, alangkah goblok!” Pemuda itu yang sudah menyimpan sulingnya kembali, meloncat bangun sambil menampar kepalanya.
Kwi Lan ikut terkejut dan ikut meloncat bangun. “Ada apa lagi?”
Pemuda itu tertawa. “Alangkah goblok aku. Lihat, kita bicara sudah setengah hari, banyak nama tokoh-tokoh dunia hitam dan putih sudah kuperkenalkan, malah aku sudah meniup suling untukmu dan kau sudah menaruh kepercayaan penuh kepadaku. Akan tetapi, kita masih belum saling mengenal nama! Padahal aku merasa seakan-akan sudah mengenal Nona selama bertahun-tahun, seolah-olah kita sudah saling bersahabat lama sekali. Bolehkah aku mengetahui nama besar Nona yang mulia?”
Kwi Lan tersenyum. Terhadap seorang pemuda seperti ini, tak mungkin ia dapat membencinya. Pemuda ini berandalan memang, aneh pula, akan tetapi tidak terbayang watak kurang ajar baik dalam kata-kata mau pun dalam pandang mata kepadanya. Ilmu silatnya agaknya tinggi, banyak pengetahuannya tentang dunia kang-ouw, budinya baik dan masih ditambah pandai bersuling lagi!
“Mengapa masih bertanya lagi? Bukankah namaku Mutiara Hitam dan engkau Setan Berandalan?”
Pemuda itu tertawa geli kemudian berkata sungguh-sungguh, “Biar pun kita bukan orang lemah, namun kita belumlah seperti kakek-kakek dan nenek-nenek yang suka memakai nama julukan dan menyembunyikan nama sendiri! Nona yang baik, sudilah memperkenalkan nama besar dan she (nama keturunan) yang terhormat.”
“Kau sendiri siapa? Kau yang ingin berkenalan, seharusnya kau yang lebih dulu memperkenalkan nama.”
Pemuda itu mengangguk-angguk. “Nona benar. Maafkan aku yang pelupa. Nah, namaku Hauw Lam, she Tang. Tang Hauw Lam, nama yang bagus, sesuai dengan orangnya, bukan?” Sambil berkata demikian, sengaja pemuda itu pasang aksi menggoyang-goyangkan kedua pundak. Segala hal dilakukan sambil melucu.
Akan tetapi kali ini Kwi Lan tidak merasa lucu, melainkan kaget bukan main. Kalau saja ia tidak memiliki batin yang kuat, tentu ia akan kelihatan kaget sekali pada mukanya. Namun muka yang cantik jelita itu tenang saja, hanya jantungnya yang berdebar-debar keras. Jadi inikah putera Bi Li? Putera Tang Sun dan Phang Bi Li yang disangka lenyap setelah gurunya, ketua kelenteng di Kim-liong-san meninggal dunia? Inikah yang dicari-cari oleh Bi Li, bahkan yang telah ia janjikan kepada Bibi Bi Li untuk bantu mencari?
Sungguh tidak disangka-sangka! Akan tetapi, betapapun juga ia merasa girang bahwa putera Bibi Bi Li yang amat sayang kepadanya itu ternyata adalah seorang yang berilmu tinggi, yang berbudi baik seperti Ibunya, dan yang lucu seperti... entah siapa yang menurunkan sifat lucu kepada pemuda ini. Akan tetapi, untuk sementara Kwi Lan tidak akan membuka rahasia ini.
“Aku sebatang kara,” Hauw Lam melanjutkan, “dan Guruku yang terakhir adalah seorang kakek yang sakti dan aneh yang dahulu merupakan orang ke dua setelah Bu Kek Siansu. Seorang kakek yang hidup di dalam kuburan, tidak pernah keluar dari kuburan itu! Kakek itu sudah sangat tua, sukar ditaksir lagi berapa usianya, akan tetapi sifatnya ugal-ugalan dan seenaknya sendiri....“
“Seperti engkau!” Kwi Lan memotong.
Hauw Lam tertawa dan mengangguk. “Ya, aku banyak meniru sifat-sifatnya itu, sifat yang amat baik. Manusia hidup satu kali di dunia, kalau tidak bergembira mau apa lagi? Keadaan baik diterima dengan gembira akan menjadi lebih menyenangkan, sebaliknya keadaan buruk kalau diterima dengan gembira, akan terasa ringan! Aku hanya menerima petunjuk beliau selama seratus hari, akan tetapi gemblengan selama tiga bulan itu begitu jauh lebih berharga dari pada ajaran kuterima belasan tahun dari guru-guru yang lain.”
“Siapa nama gurumu yang aneh. itu?”
“Julukan beliau adalah Bu-tek Lo-jin. Menurut beliau memang aku berjodoh menjadi muridnya.” Hauw Lam kemudian menuturkan pengalamannya menjadi murid kakek sakti itu yang didengarkan Kwi Lan penuh perhatian.
Ketika Hauw Lam berusia lima tahun, setelah selama itu ia diajak merantau oleh Tang Sun, ayahnya yang mencari ibunya, ia dititipkan oleh ayahnya kepada Gwat Kim Hosiang ketua kelenteng di bukit Kim-liong-san. Karena ketika berpisah dari ayahnya ia baru berusia lima tahun, maka wajah ayahnya pun tidak begitu teringat olehnya. Apa lagi ibunya meninggalkannya ketika ia berusia tiga bulan! Sepuluh tahun lamanya ia tinggal di kelenteng bukit Kim-liong-san, menjadi kacung kelenteng membantu pekerjaan para hwesio. Karena bakatnya memang baik sekali, ketua kelenteng itu, Gwat Kim Hosiang murid Go-bi-pai, telah menurunkan semua ilmunya kepada Hauw Lam.
Ketika ia berusia lima belas tahun dan telah mewarisi ilmu kepandaian suhunya, ketua kelenteng itu meninggal dunia. Hauw Lam lalu meninggalkan kelenteng dan pergi merantau. Anak muda ini suka akan ilmu silat, maka dengan bekal pelajaran dari Gwat Kim Hosiang yang membuat ia mencapai dasar-dasar ilmu silat tinggi, ia dapat memperdalam ilmunya, Hauw Lam pandai merendah sehingga pandai ia mengambil hati beberapa tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi sehingga banyak pula ia menerima petunjuk.
Pada suatu hari, perantauannya membawanya ke selatan. Ia telah berusia tujuh belas tahun dan ketika ia melewati sebuah hutan, keadaan yang sunyi membuatnya menjadi keisengan dan dikeluarkanlah sulingnya. Memang semenjak kecil ketika ia tinggal di kelenteng Kim-liong-san, seorang hwesio yang pandai menyuling mengajarnya menyuling dan Hauw Lam amat suka meniup suling. Kini ia berjalan perlahan sambil meniup sulingnya. Tiba-tiba, ketika melewati segundukan tanah ia roboh terguling!
Hauw Lam kaget sekali, kedua kakinya adalah anggota badan yang terlatih. Diserang lawan saja tidak mudah terguling bagaimana sekarang bisa terguling tanpa sebab? Ia tadi merasa ada yang menarik kakinya dengan tenaga luar biasa. Sambil meloncat bangun ia memutar tubuh mempersiapkan kedua tangan untuk menangkis atau memukul dan memandang ke sekeliling. Akan tetapi tidak ada apa-apa di sekeliling tempat itu. Ia memandang ke bawah. Tanah di bawah kakinya menonjol, merupakan gundukan tanah seperti tempat kuburan orang.
Tiba-tiba bulu tengkuknya meremang. Setankah yang menggodanya tadi? Setan dalam kuburan yang marah karena kuburan itu tanpa sengaja terinjak olehnya? Hauw Lam boleh jadi gagah perkasa dan tidak pernah merasa takut menghadapi lawan yang tangguh. Akan tetapi sekali ini, biar pun belum gelap, baru menjelang senja, berada seorang diri di hutan sunyi dan merasa diserang dari dalam kuburan, ia merasa ngeri karena seram dan takut.
Tanpa berpikir panjang lagi Hauw Lam menggerakkan kedua kaki hendak lari dari tempat yang menyeramkan itu, akan tetapi baru selangkah ia lari, kembali tubuhnya roboh terguling! Timbul kemarahan hatinya yang amat sangat, melebihi ketakutannya. Belum pernah selamanya ia diperhina seperti ini. Kali ini ia melompat bangun berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, memasang kuda-kuda, membusungkan dada melebarkan mata mengatasi rasa seram sambil memaki-maki.
“Setan atau iblis atau siluman dari mana berani mengganggu Siauw-ya (Tuan Muda) yang sedang lewat? Kalau manusia, jawablah, kalau siluman muncullah dan mari kita bertanding sepuluh ribu jurus melawan Tang Hauw Lam!”
Ia petentang-petenteng, memaki-maki sambil menantang-nantang sampai beberapa lama. Namun sunyi tiada jawaban, juga tiada suara mau pun sesuatu. Hanya angin yang lewat menggerakkan daun-daun pohon, menimbulkan suara bisik-bisik seperti banyak makhluk yang tak tampak sedang bersendau gurau. Rasa seram kembali menyelubungi hati Hauw Lam, mengatasi kemarahannya dan semua bulu di tubuhnya berdiri satu-satu. Tak salah lagi, tentu setan, pikirnya. Ketika ia roboh yang kedua kalinya tadi terasa benar betapa ada hawa pukulan yang mengait kakinya.
Kini ia memaki-maki lagi, akan tetapi diam-diam ia menggerakkan kedua kakinya. Ia ingin mengikat perhatian ‘siluman’ yang mengganggunya dengan makiannya kemudian menggunakan saat ‘siluman’ itu lengah, sekali meloncat jauh pergi dari situ. Setelah siap, sambil memaki-maki, mendadak ia menggerakkan kakinya meloncat jauh. Girang hatinya karena akalnya ini berhasil, buktinya ketika ia meloncat, tidak ada yang menjegal kakinya lagi.
Akan tetapi, selagi ia merasa girang dan tubuhnya masih melayang di atas, tiba-tiba tubuhnya itu tanpa dapat ia kuasai lagi tertarik ke bawah dan terbanting di atas tanah! Ketika ia mendapat kenyataan bahwa ia terbanting kembali di atas gundukan tanah, ia makin kaget dan berseru, “Celaka... mati aku di tangan siluman...!”
“Heh-heh, siapa bilang mati itu celaka? Hidup sekedar hidup itulah yang celaka, apa lagi hidup menghamba nafsu, lebih-lebih celaka!”
Hauw Lam terkejut sekali. Karena suara itu terdengar dari bawah, ia lalu memandang ke bawah dan... hampir ia terjengkang roboh kembali ketika melihat sebuah kepala di atas tanah! Kepala yang berdiri sebatas leher di atas tanah yang rambutnya riap-riapan, mukanya penuh cambang bauk, matanya melotot. Dengan muka pucat Hauw Lam memandang kepala itu, mengucek-ucek kedua matanya, memandang lagi dan bergidik. Kedua kakinya terasa lemas dan lumpuh, seluruh tubuhnya menggigil.
Sambil menahan kedua kakinya agar tidak roboh saking lemas, Hauw Lam menghadap ke arah kepala di atas tanah lalu menjura dan berkata, suaranya gemetar, “Saya..., Tang Hauw Lam... selamanya ingin menjadi orang baik-baik..., harap anda jangan mengganggu saya....”
Kepala itu bergerak, menengadah dan matanya yang melotot itu menatap tajam, kemudian terdengar suara dari balik kumis tebal yang menyembunyikan mulut, “Tidak mengganggu, hah? Kau menginjak-injak dan melangkahi kepalaku, masih bisa bilang tidak mengganggu?”
Melihat kepala itu bergerak-gerak dan mendengar mulut di balik kumis dapat bicara seperti manusia, mulai berangsur hilanglah rasa ngeri dan takut dari hati Hauw Lam. Ia memandang lebih teliti lagi. Kepala itu di atas tanah den lehernya tersembul keluar dari tanah, agaknya tubuhnya terpendam. Kakek tua renta ini tadi bicara tentang ‘kepalaku’, hal ini hanya berarti bahwa kakek itu masih mempunyai bagian tubuh yang lain. Andai kata ia seorang siluman dan tubuhnya hanya kepala itu saja, tentu tidak akan menyebut kepalaku.
Pula, setelah kini ia memandang penuh perhatian, biar pun muka itu buruk penuh cambang bauk dan tertutup rambut yang riap-riapan, namun jelas bahwa itu kepala manusia, hanya entah bagaimana tubuh kakek itu terpendam ke dalam tanah kuburan dan entah bagaimana pula kepala itu tiba-tiba muncul sedangkan tadinya tidak ada apa-apa di situ. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kepala itu dan berkata.
“Locianpwe (Orang Tua Gagah), mohon maaf sebanyaknya apa bila boanpwe (saya yang bodoh) telah melakukan kesalahan terhadap Locianpwe karena sesungguhnya boanpwe tidak tahu bahwa Locianpwe berada di sini dan tidak sengaja....”
“Wah-wah, membekuk-bekuk lidah pun tidak ada gunanya! Masa begini caranya orang minta maaf? Mulutnya bilang minta maaf akan tetapi berlutut di sebelah atas kepalaku? Terlalu... terlalu...!” kepala itu mengomel panjang pendek.
Hauw Lam membelalakkan matanya. Kakek ini terlalu aneh dan agaknya seorang yang suka berkelakar. Ia sendiri adalah seorang pemuda yang jenaka dan selalu riang gembira, maka biar pun ia merasa mendongkol atas sikap kakek yang tidak puas dengan permintaan maafnya itu, ia memutar otak mencari akal.
“Baiklah, Locianpwe. Saya akan mohon maaf dan memberi hormat sepatutnya.”
Setelah berkata demikian Hauw Lam lalu mencabut goloknya dan dengan senjata ini ia menggali tanah di depan kepala itu. Dengan pengerahan tenaga dalam, cepat ia dapat menggali sampai dalam, dan ia lalu masuk ke dalam lubang itu sehingga kini yang tampak di luar tanah hanyalah kepalanya saja yang ia angguk-anggukkan sambil mengulangi permintaan maafnya.
Mulut kakek itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, bagus sekali. Kau cocok untuk menjadi muridku. Kau banyak akal, tidak mudah putus asa dan menghadapi segala rintangan hidup dengan wajah gembira. Hayo naik!” Begitu kakek ini mengeluarkan kata-kata tubuh Hauw Lam mencelat ke atas.
Pemuda ini kaget sekali dan mengerahkan tenaga untuk mengatur keseimbangan tubuh. Ketika ia berhasil turun dengan berdiri di atas tanah, ternyata kakek itu sudah keluar dari dalam tanah, kini duduk bersila di atas tanah. Sekilas pandang, ia kaget dan heran. Kakek itu kepalanya besar dan seperti kepala orang dewasa, akan tetapi tubuhnya kecil pendek seperti tubuh seorang anak berusia belasan tahun! Maklum bahwa kakek yang tubuhnya aneh ini seorang sakti, ia lalu menjatuhkan diri kembali, berlutut di depan kakek itu.
“Demikianlah, Mutiara Hitam. Semenjak saat itu aku menjadi murid Bu-tek Lo-jin selama seratus hari. Aku tidak menerima ilmu silat baru dari Guruku yang aneh itu, akan tetapi semua ilmu silat yang pernah kupelajari ia lihat dan ia beri petunjuk. Semenjak itu, baru terbuka mataku akan ilmu yang sebenarnya,” Hauw Lam mengakhiri ceritanya.
Kwi Lan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tertarik sekali akan semua pengalaman Hauw Lam dan diam-diam ia merasa girang bahwa putera bibinya ini benar-benar seorang pemuda yang perkasa dan juga kalau ia tak salah duga, berbudi baik. Perasaan hangat memenuhi dadanya ketika ia menatap wajah yang tampan dan jenaka itu. Ia sudah merasa tertarik sekali, seakan-akan ia berhadapan dengan kakak kandungnya sendiri.
Perasaan ini mungkin timbul karena semenjak kecilnya ia sudah menganggap Bibi Bi Li seperti ibu kandungnya. Betapa tidak? Bibi Bi Li yang memeliharanya semenjak ia belum mengerti apa-apa, yang menghiburnya kalau ia menangis, yang memberinya makan kalau ia lapar dan memberinya minum kalau ia haus. Dan pemuda ini adalah anak kandung Bibi Bi Li! Apa bedanya dengan kakaknya sendiri?
“Wah, kau melamunkan apa?”
Tiba-tiba Kwi Lan terkejut oleh seruan ini, sampai ia tersentak kaget. Ia mendongkol juga akan watak pemuda ini yang ugal-ugalan dan kadang-kadang kasar. “Kenapa kau membentak-bentak orang?”
Hauw Lam tertawa. “Siapa membentak-bentak? Aku hanya bertanya. Mengapa engkau melamun sedangkan aku sudah menanti sejak tadi memasang telinga setajam-tajamnya!”
“Menanti apa? Memasang telinga untuk apa?”
“Waduh, bagaimana ini? Sejak tadi sampai letih mulutku bercerita tentang riwayatku, tentang nama dan pengalamanku. Setelah aku selesai, kini kau bertanya aku menanti apa dan memasang telinga untuk apa? Tentu saja untuk mendengarkan ceritamu, tentang nama dan keadaanmu, tentang riwayat hidupmu!” jawab Hauw Lam, penasaran.
Mendengar ini, Kwi Lan menarik napas panjang. Ia tidak ingin menyebut-nyebut tentang Bibi Kam Sian Eng, tidak mau pula bercerita tentang ibu kandungnya, Ratu Khitan yang belum pernah dilihatnya itu. Ia mau bercerita tentang Bi Li, akan tetapi merasa belum tiba saatnya. Maka ia lalu berkata, “Perlu apa banyak cerita? Engkau sudah tahu namaku.”
“Siapa?”
“Mutiara Hitam.”
“Wah, kenapa kau suka sekali mempermainkan aku? Aku sudah menceritakan namaku sendiri, Tang Hauw Lam...”
“Tapi aku mengenalmu sebagal Berandal saja, cukup. Dan kau mengenalku sebagai Mutiara Hitam. Apa artinya nama? Nama apa pun, juga apa bedanya? Yang penting mengenal orangnya dan melihat wataknya. Nama hanya kosong belaka!”
Hauw Lam menggaruk-garuk belakang telinganya dan mulutnya menggumam lirih, “Nama itu kosong belaka...! Eh, Mutiara Hitam, semuda ini kau sudah sepandai itu berfilsafat? Ataukah... kau pernah patah hati?”
“Patah hati? Bagaimana hati bisa patah? Apakah hati itu seperti kayu kering... macam ini?” Kwi Lan mematahkan sebatang ranting kayu. Melihat wajah gadis itu bersungguh-sungguh, mau tidak mau Hauw Lam tertawa.
“Sudahlah, tidak gampang mengajak kau bicara. Tidak mau menceritakan nama ya sudah, sedikitnya kau tuturkan riwayatmu yang tentu menarik sekali.”
“Aku tidak punya riwayat. Lebih baik kau lanjutkan ceritamu. Kau tadi bilang bahwa kau sebatang kara. Mana ayah dan ibumu?”
Untuk sesaat wajah yang jenaka dan lucu itu diselimuti awan kedukaan. Akan tetapi hanya sebentar saja karena kembali wajah yang tampan itu menjadi cerah ketika menjawab, “Ibuku telah meninggal dunia dan....”
“Siapa bilang ibumu meninggal dunia?!”
“Lho! Kenapa marah?” Hauw Lam bertanya karena mendengar suara pertanyaan yang membentak itu dan melihat wajah yang masam.
“Siapa bilang ibumu meninggal dunia?” Kwi Lan mengulang.
Pemuda itu melongo. Dara yang cantik jelita seperti bidadari, yang gagah perkasa, akan tetapi yang anehnya bukan main, memiliki watak yang sukar sekali dijajaki, sukar diduga. “Yang bilang? Tentu saja ayahku. Ayahku yang bilang bahwa ibu telah meninggal dunia.”
Sudah berada di ujung lidah Kwi Lan untuk menyangkal, untuk menyatakan bahwa ayah pemuda itu bohong, akan tetapi dapat ditahannya.
“Dan ayahmu di mana dia?”
“Ayah? Ayah tidak sayang kepadaku. Ketika aku berusia lima tahun, ayah meninggalkan aku di kelenteng bukit Kim-liong-san dan semenjak itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan dia. Nah, sudah lengkap kini riwayatku, sekarang ganti engkau...”
Ucapan Hauw Lam terhenti karena tiba-tiba terdengar derap suara kaki kuda, disusul suara orang. Tak lama kemudian muncullah tujuh orang penunggang kuda. Pakaian, topi, dan bahasa mereka membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang asing. Kuda yang mereka tunggangi adalah kuda besar dan baik. Akan tetapi tujuh ekor kuda tunggang mereka itu seperti tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan seekor kuda yang dituntun oleh seorang di antara mereka. Kuda yang dituntun ini lebih tinggi, tubuhnya ramping dilingkari otot-otot yang kuat. Keempat kakinya merit kecil dan bulunya hitam mulus dan mengkilap. Sepasang matanya lebar dan bercahaya.
“Kuda betina yang hebat!” Hauw Lam terdengar memuji dengan suara lantang, matanya memandang ke arah kuda hitam itu penuh kekaguman.
Akan tetapi Kwi Lan yang tidak mengerti tentang kuda, tidak tahu apanya yang hebat pada kuda hitam itu, maka ia tidak memperhatikannya. Sebaliknya, ia tertarik kepada tujuh orang laki-laki yang menunggang kuda. Mereka itu rata-rata berusia sekitar empat puluhan tahun, bertubuh tegap dan tinggi, membayangkan ketangkasan dan kekuatan. Wajah mereka gagah dan agak hitam oleh sinar matahari.
Sementara itu, tujuh orang ini pun menahan kendali kuda ketika mereka melihat Hauw Lam dan Kwi Lan. Akan tetapi pandang mata semua orang ini ditujukan kepada Kwi Lan. Agaknya tidak ada perbedaan antara pandang mata mereka terhadap Kwi Lan dengan pandang mata Hauw Lam terhadap kuda hitam. Penuh kekaguman!
Pandang mata mereka yang penuh getaran nafsu itu agaknya terasa pula oleh Kwi Lan, membuat dara ini menjadi jengah dan marah di dalam hati. Akan tetapi karena mereka itu tidak mengeluarkan kata-kata, Kwi Lan menahan kemarahannya dan mencabuti beberapa helai rumput hijau sambil menundukkan muka, kadang-kadang saja melirik ke arah mereka. Ia masih tetap duduk di atas akar pohon.
Akan tetapi Hauw Lam sudah meloncat berdiri. Pemuda ini banyak sudah merantau dan banyak pula pengalamannya. Melihat sikap dan pandang mata tujuh orang itu kepada temannya, ia merasa mendongkol pula. Akan tetapi wajahnya berseri dan ia tersenyum lebar ketika berkata, “Salam, sobat-sobat yang bersua di jalan!”
“Salam!” Tujuh orang itu menjawab, suara mereka rata-rata besar parau.
Senyum di mulut Hauw Lam melebar dan ia melangkah mendekati kuda hitam. Setelah kini dekat dan memandang penuh perhatian, ia menjadi makin kagum. Benar-benar seekor kuda yang hebat, pikirnya. Ketika ia mencoba untuk menepuk-nepuk leher kuda hitam itu, si Kuda hitam meringkik dan hampir saja tangan Hauw Lam digigitnya kalau pemuda ini tidak cepat-cepat menarik kembali tangannya.
“Kuda hebat...!” ia memuji pula. “Sobat, apakah kuda hitam ini hendak dijual? Kalau hendak dijual, berapakah harganya?”
Orang yang menuntun kuda membelalakkan matanya kepada Hauw Lam, kemudian ia tertawa sehingga tampak betapa dua buah gigi atasnya ompong. Enam orang temannya hanya berdiri memandang. Kemudian si Ompong berpaling dan menterjemahkan ucapan Hauw Lam tadi dalam bahasa mereka. Seketika meledaklah ketawa enam orang itu sehingga keadaan hutan yang tadinya sunyi kini menjadi riuh dengan suara ketawa mereka. Lalu disusul mereka bertujuh saling bicara riuh rendah sambil tertawa-tawa.
“Orang muda, tahukah engkau kuda apakah ini, dari mana dan hendak dibawa ke mana?” Akhirnya si Ompong yang menjadi juru bicara berkata dengan suara pelo dan kaku. “Kuda ini adalah kuda keturunan langsung dari Hek-liong-ma milik pribadi Ratu kami!”
“Siapakah Ratu kalian yang mulia?” Hauw Lam bertanya, tertarik karena ia tidak mengerti bahasa mereka.
“Ratu kami adalah Sang Ratu di Khitan.”
“Ohhh...!” Suara seruan kaget ini keluar dari mulut Kwi Lan. Akan tetapi ketika Hauw Lam menengok, gadis ini sudah dapat menekan perasaannya kembali dan hanya memandang penuh perhatian.
“Dan tahukah engkau kuda ini hendak kami bawa ke mana? Akan kami antarkan ke Yen-an sebagai barang sumbangan kepada ketua baru dari Thian-liong-pang!”
Diam-diam Hauw Lam terkejut juga. Kiranya bukan kuda sembarangan dan ia maklum bahwa tujuh orang ini sengaja menyebut nama Thian-liong-pang untuk membuat ia kaget dan jeri. Akan tetapi ia berpura-pura tidak mengenal Thian-liong-pang, bahkan ia lalu berkata, “Wah, barang sumbangan saja mengapa kuda yang begini bagus? Yang kalian tunggangi itu semua juga sudah lebih dari cukup untuk sumbangan. Yang hitam ini kalau boleh, harap jual kepadaku.”
Tiba-tiba seorang di antara mereka berbicara dengan bahasa mereka, suaranya lantang dan telunjuknya menuding-nuding ke arah Kwi Lan yang masih duduk di atas akar pohon. Begitu selesai ia berbicara, tujuh orang itu tertawa bergelak-gelak. Semua kuda mereka kaget dan meringkik-ringkik sambil berdiri di atas kedua kaki belakang sehingga hampir saja dua orang di antara mereka terlempar ke bawah. Hal ini membuat mereka tertawa makin riuh rendah.
“Orang muda, mengertikah engkau apa yang dimaksudkan teman-temanku? Ha-ha-ha! Engkau sendiri sudah memiliki seekor kuda betina yang demikian cantik jelita, mengapa masih ingin membeli kuda hitam ini? Apakah artinya kuda hitam ini kalau dibandingkan dengan kudamu yang putih kuning dan cantik molek itu? Ha-ha-ha!” Kembali tujuh orang itu tertawa-tawa karena mereka tahu bahwa temannya si Ompong sudah menterjemahkan ucapan mereka.
Tentu saja Hauw Lam menjadi marah dan mendongkol sekali. Akan tetapi Kwi Lan lebih marah lagi. Tadinya ia tidak mengerti apa artinya ucapan mereka, akan tetapi karena mereka bertujuh semua memandang kepadanya dan menuding-nudingkan telunjuk ke arahnya, tahulah ia bahwa dia sesungguhnya yang disebut kuda betina putih kuning! Ia disamakan dengan kuda! Keparat! Bagaikan seekor harimau ia meloncat bangun, kedua tangannya bergerak dan melesatlah sinar hijau dari kedua tangannya menyambar ke arah muka tujuh orang itu.
Seketika lenyap suara ketawa mereka, terganti suara jeritan dan mereka bertujuh terguling roboh dari atas kuda! Namun dengan gerakan yang amat cekatan mereka bertujuh sudah meloncat bangun lagi dan ramailah mereka berkata-kata dalam bahasa yang tidak dimengerti Hauw Lam mau pun Kwi Lan. Kini Hauw Lam yang melongo dan memandang mereka dengan muka terheran-heran.
Kiranya sinar kehijauan yang melesat dari kedua tangan Mutiara Hitam tadi adalah rumput-rumput yang tadi dicabutinya sambil duduk di atas akar pohon. Dalam kemarahannya gadis itu telah menyerang tujuh orang Khitan dengan rumput-rumput itu. Biar pun hanya rumput hijau, namun di tangan dara perkasa ini berubah menjadi senjata rahasia yang amat ampuh dan menggiriskan hati.
Batang-batang rumput itu meluncur melebihi anak panah cepatnya dan tak terhindarkan lagi oleh tujuh orang Khitan itu. Tahu-tahu muka mereka telah terkena rumput yang menempel pada kulit muka mereka, menimbulkan rasa perih dan pedas, sedangkan tadi ketika rumput-rumput itu menyerang, mereka terdorong oleh angin pukulan yang membuat mereka terjungkal dari atas kuda. Kini mereka berdiri dan berusaha melepaskan rumput-rumput yang menempel muka mereka.
Aneh bin ajaib! Sampai meringis-ringis mereka berusaha mengambil rumput yang menempel di kulit muka. Sia-sia belaka! Rumput-rumput itu menempel seakan-akan diberi lem perekat ajaib, seakan-akan telah tumbuh menjadi satu dengan kulit. Seorang di antara mereka agak menggunakan kekerasan untuk mengupas rumput, akan tetapi kulit pipinya ikut terkelupas, nyeri dan perih bukan main dan darah menetes-netes!
Mereka terheran-heran dan juga kesakitan, terutama sekali rasa jeri membuat wajah mereka pucat. Bagi Hauw Lam, penglihatan itu amatlah lucu. Melihat mereka berusaha mengupas rumput dari muka meringis-ringis kesakitan, melihat betapa rumput itu merupakan plester-plester hijau ‘menghias’ muka, apa lagi orang yang tadi menghina Mutiara Hitam, rumput melintang di atas kulit hidungnya sehingga wajahnya tampak lucu sekali, membuat Hauw Lam tak dapat menahan ketawanya.
“Hua-ha-ha-ha! Lucu sekali...! Lucu sekali...! Muka kalian bertujuh ditambal-tambal seperti badut dan delapan ekor kuda ini begini bagus. Tentu kalian hendak main komidi kuda, ya? Bagus..., bagus...!” Hauw Lam bertepuk-tepuk tangan dan berjingkrak-jingkrak, membuat tujuh orang itu mendongkol bukan main.
Akan tetapi karena mereka dapat menduga bahwa dua orang muda-mudi itu tentu bukan orang sembarangan, mereka tidak mau lagi meladeni dengan kata-kata. Serentak tangan mereka bergerak dan tujuh orang itu sudah mencabut golok masing-masing lalu mengurung dengan sikap mengancam.
“Aih... aih... kalian masih belum kapok? Kalau tadi Nona muda kalian ini menghendaki nyawa kalian, apakah kalian tidak menjadi bangkai?” Hauw Lam berseru sambil melangkah maju, kemudian menoleh kepada Kwi Lan. “Biarlah aku yang kini menikmati permainan dengan mereka!”
Kwi Lan diam saja, sikapnya tidak acuh. Ia tidak memandang mata kepada tujuh orang itu, akan tetapi mengingat bahwa mereka adalah orang-orang Khitan, rakyat dari ibu kandungnya, ia tadi tidak mau membunuh mereka. Kini ia hendak menyaksikan sampai di mana kepandaian Berandal, karena dari gerak-gerik tujuh orang itu ia dapat menduga bahwa mereka memiliki ilmu silat yang tinggi juga.
“Mengalahkan mereka tanpa membunuh barulah hebat,” Kwi Lan sengaja berkata, nada suaranya mengejek, padahal di dalam hati ia merasa khawatir kalau-kalau pemuda berandalan itu membunuh rakyat ibu kandungnya.
“Oho, mudah saja, kau lihatlah!” Hauw Lam berkata sambil tertawa, kemudian membusungkan perutnya ke depan, menantang.
“Hayo kalian maju, tunggu apa lagi? Bukankah golok kalian sudah terhunus? Di sini tidak ada babi untuk ditusuk perutnya, tidak ada kambing untuk disembelih lehernya. Nih perutku, boleh kalian tusuk, atau leher nih, boleh pilih!” Ia menantang dengan cara mengejek sekali, meramkan kedua mata, mengulur leher membusungkan perut dan menaruh kedua tangan di punggung!
Diam-diam Kwi Lan geli menyaksikan sikap ini, juga merasa betapa sikap ini keterlaluan dan berbahaya. Coba dia yang ditantang secara itu, tentu sekali bergerak akan dapat merobohkan pemuda ugal-ugalan itu.
Agaknya tujuh orang yang sudah amat marah itu pun berpikir demikian. Mereka tadi sudah marah dan penasaran sekali, merasa mengalami penghinaan yang luar biasa, maka kini menyaksikan sikap dan tantangan Hauw Lam, mereka sampai tak dapat mengeluarkan kata-kata saking marahnya. Tujuh orang Ini bukan orang sembarangan, merupakan jagoan-jagoan yang berkepandaian tinggi, bagaimana sekarang menghadapi dua orang bocah saja mereka tidak berdaya dan sampai mengalami hinaan? Kini melihat sikap Hauw Lam, mereka serentak menerjang untuk membalas penghinaan yang mereka alami.
“Cring-cring-trangg-traaanggg...!” Tujuh batang golok yang menerjang dalam detik bersamaan dengan sebuah saja sasaran, tentu saja tak dapat terhindar lagi saling beradu ketika sasarannya tiba-tiba lenyap dari tempatnya.
Cepat mereka meloncat dan membalikkan tubuh. Kiranya pemuda ugal-ugalan itu sudah berada di belakang mereka dan kembali pemuda itu mengulur leher membusungkan perut, akan tetapi sekarang tangannya memegang sebatang golok pula, golok yang pendek dan lebar seperti golok tukang babi! Akan tetapi melihat sinar putih bersinar dari mata golok, dapat diduga bahwa golok yang buruk bentuknya itu ternyata terbuat dari pada logam yang ampuh dan terpilih.
“Hayo tusuk lagi, bacok lagi, kenapa ragu-ragu? Perut dan leherku sudah gatal-gatal nih!” Hauw Lam mengejek, menggoyang-goyangkan perutnya yang sengaja ia busungkan ke depan.
Kemarahan tujuh orang Khitan itu memuncak. Sambil memaki-maki dalam bahasa sendiri kembali mereka menerjang maju, melakukan serangan dahsyat penuh kemarahan. Kali ini tampak sinar putih yang amat lebar menyilaukan mata bergulung-gulung menyambut mereka.
Terdengar suara nyaring beradunya senjata diikuti tujuh batang golok terlempar dalam keadaan patah menjadi dua, disusul pekik tujuh orang itu dan memberebetnya kain robek. Dalam sekejap mata saja tujuh orang itu tidak hanya kehilangan golok, akan tetapi juga baju mereka robek dari leher sampai ke perut! Wajah mereka kini menjadi pucat sekali karena mereka maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, dalam segebrakan saja tadi tentu mereka akan terobek perut mereka!
Si Gigi Ompong lalu menjura dan berkata, “Kami telah kesalahan terhadap Taihiap, mohon maaf, mengingat bahwa kami jauh dari utara hendak mengunjungi Thian-liong-pang.”
Hauw Lam tertawa akan tetapi sebelum ia menjawab, Kwi Lan melompat maju dan menghardik, “Masih banyak cakap lagi? Kalian ini orang-orang Khitan yang tidak baik! Lekas pergi dan tinggalkan kuda hitam!”
Si Gigi Ompong kaget bukan main dan dengan suara gemetar ia menterjemahkan ucapan ini. Kawan-kawannya juga nampak kaget dan memprotes. Si Gigi Ompong kini menghadapi Kwi Lan dan berkata, “Tidak mungkin, Nona! Kuda hitam ini adalah persembahan dari kami untuk dihadiahkan kepada ketua Thian-liong-pang sebagai tanda persahabatan. Bagaimana kami berani meninggalkannya di sini? Hal ini berarti akan hilangnya nyawa kami sebagai penggantinya!”
“Huh! Siapa peduli nyawa anjing kalian? Katakan saja kepada Ratumu bahwa yang mengambil kuda hitam adalah Mutiara Hitam. Habis perkara!”
Kini Hauw Lam mendengarkan dengan mulut ternganga. Dara itu terlalu lancang, terlalu berani. Tadi berani menghina dan memandang rendah Bu-tek Siu-lam, kini malah berani menantang Ratu Khitan yang selain terkenal sebagai ratu, juga terkenal memiliki ilmu kesaktian hebat dan mempunyai banyak anak buah yang berilmu tinggi!
Apakah yang diandalkan dara ini maka bersikap sedemikian angkuh dan berani menghina orang-orang golongan atas? Kepandaiannya memang hebat dan melihat cara melempar rumput yang sampai kini menempel di muka ketujuh orang Khitan itu, terbukti akan kelihaiannya. Akan tetapi belum tampak ilmu silatnya dan ia merasa ragu-ragu apakah dara semuda ini akan mampu menandingi tokoh-tokoh besar itu?
Akan tetapi mendengar ucapan gadis yang memandang rendah Ratu Khitan, tujuh orang itu tidak menjadi marah setelah si Ompbng menterjemahkannya, bahkan nampak heran dan girang. Si Ompong lalu berkata sambil menjura, “Aha, kiranya masih sepaham! Nona yang gagah perkasa, ketahuilah bahwa kami adalah anak buah Pak-sin-ong...”
“Tidak peduli siapa itu Pak-sin-ong!” bentak Kwi Lan tidak sabar lagi.
Akan tetapi Hauw Lam sudah menjadi kaget sekali dan bertanya, “Apa? Kalian ini anak buah Jin-cam Khoa-ong (Raja Algojo Manusia) yang juga disebut Pak-sin-ong (Raja Sakti dari Utara)?”
Si Ompong berseri wajahnya, akan tetapi jadi menyeringai buruk karena wajahnya masih pucat dan masih tertempel rumput. “Betul..., betul...! Nona, agaknya Nona belum mengenal nama besar Tai-ong kami yang juga memusuhi Ratu Khitan dan....”
“Bedebah...!” Bentakan ini keluar dari mulut Kwi Lan, disusul berkelebatnya sinar kehijauan dan terciumlah bau yang harum. Akan tetapi tujuh orang Khitan itu menjerit, darah muncrat dan di lain saat Kwi Lan sudah berdiri tegak kembali, sikapnya kereng dan mulutnya membentak, “Lekas pergi dari sini!”
Hauw Lam melongo. Sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu saja ia dapat melihat gerakan gadis itu yang luar biasa cepatnya. Ia melihat betapa gadis itu mencabut sebatang pedang yang sinarnya kehijauan dan mengeluarkan ganda harum semerbak, melihat pula betapa dengan gerakan yang amat aneh, dahsyat dan secepat kilat pedang di tangan gadis berkelebat dan dengan persis membabat putus telinga kanan ketujuh orang Khitan itu sebelum mereka mampu mengelak atau melawan! Melihat pula betapa dengan gerakan yang masih sama cepatnya gadis itu telah menyimpan kembali pedangnya sebelum darah yang muncrat dari pinggir kepala tujuh orang itu menyentuh tanah. Sebuah gerakan yang luar biasa sekali, yang aneh, dahsyat akan tetapi juga ganas dan kejam!
Tujuh orang Khitan yang tadinya kegirangan karena mengira bahwa mereka itu sefihak dengan nona ini dalam hal memusuhi Ratu Khitan, tentu saja menjadi kaget dan kesakitan. Sambil menutupi telinga kanan yang sudah tak berdaun lagi, mereka memandang dengan wajah pucat dan mata terbelalak, sejenak lupa akan rasa perih dan nyeri pada telinganya.
“Kami telah menerima pengajaran,” kata si Ompong sambil meringis. “Harap Nona suka memberitahukan nama agar tidak mudah kami melupakannya...“
“Eh-eh, masih banyak tingkah lagi?” Hauw Lam yang khawatir kalau-kalau nona itu makin marah dan membunuh mereka, memotong. “Dia ini bernama Mutiara Hitam, apakah kalian buta? Dan aku adalah Berandal. Hayo pergi dan jangan membuka mulut busuk lagi!”
Tujuh orang Khitan itu melompat ke atas kuda. Sekali lagi mereka menoleh dengan pandang mata penuh kebencian dan sakit hati, kemudian membalapkan kuda mereka pergi dari tempat itu. Kuda hitam ditinggalkan begitu saja dan kuda ini kelihatan tenang makan rumput, kendalinya terlepas dan terseret di atas tanah.
Hauw Lam cepat mengambil kendali itu dan kini kuda itu diam saja ketika ditepuk-tepuk lehernya. Agaknya kuda itu tahu bahwa siapa yang memegang kendali adalah majikannya. “Kuda bagus, kuda hebat...!” Hauw Lam menepuk-nepuknya dan membawanya dekat kepada Kwi Lan.
“Pilihanmu tepat, Mutiara Hitam. Julukanmu Hitam maka tepatlah kalau kau menunggang kuda hitam ini.”
“Siapa yang menginginkan kuda? Aku hanya minta kuda ini agar ada alasan mengunjungi Thian-liong-pang.”
“Apa? Bagaimana maksudmu?”
Kwi Lan tersenyum mengejek. “Bodoh! Kalau kita datang ke sana dan membawa kuda ini sebagai barang sumbangan, bukankah namanya sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat? Maksud si Raja Algojo yang kau sebut-sebut itu mempersembahkan kuda kepada Thian-liong-pang tak berhasil, berarti dia sudah kalah satu nol melawan kita. Kedua, dengan hadiah ini, masa kita tidak akan diterima sebagai tamu agung oleh Thian-liong-pang?”
Hauw Lam membelalakkan matanya kemudian berjingkrak dan bertepuk tangan, “Wah, bagus! Kau ternyata pintar sekali. Tapi sesungguhnya sayang kalau kuda sebaik ini dilepaskan kembali kepada orang lain.”
“Hal ini dapat diputuskan nanti. Kalau kulihat Thian-liong-pang tidak berharga memiliki kuda ini, bisa saja kita ambil kembali.”
Diam-diam Hauw Lam merasa khawatir. Gadis ini memang harus diakui memiliki ilmu kepandaian hebat. Akan tetapi terlalu ceroboh, terlalu sembrono dan terlalu memandang rendah orang lain.
“Ahh, Mutiara Hitam. Engkau benar-benar belum banyak mengenal orang! Engkau tidak tahu siapa dia Jin-cam Khoa-ong.”
“Siapa sih Algojo itu?”
“Aku sendiri belum pernah bertemu dengan tokoh menyeramkan itu, akan tetapi sepanjang pendengaranku, dia tidak kalah terkenalnya dari pada, Bu-tek Siu-lam sendiri! Kabarnya dia datang dari daerah Mongol, paling suka membunuh orang. Semua orang yang pernah bentrok dengan dia tidak akan dapat keluar hidup-hidup. Betapa pun gagahnya, semua orang itu tewas di bawah senjatanya yang mengerikan, yaitu berbentuk gergaji berkait. Dia mengangkat diri dengan sebutan Pak-sin-ong untuk memperkenalkan asalnya dari utara, akan tetapi karena kekejamannya yang melewati batas, di dunia kangouw dia dijuluki orang Jin-cam Khoa-ong si Raja Algojo Manusia!”
“Huh, makin besar julukannya, makin kosong melompong! Aku tidak takut!”
“Dan Thian-liong-pang sungguh tidak boleh dibuat permainan! Bahkan kini merupakan perkumpulan yang paling besar, paling berpengaruh dan paling banyak anggotanya untuk golongan hitam. Karena itulah, para tokoh golongan hitam yang tidak mempunyai perkumpulan besar masih memandang kepada Thian-liongpang...“
"Sudahlah! Kalau engkau takut, tidak perlu kau banyak mengoceh lagi. Aku pun tidak mengajak engkau. Kau kira aku takut untuk pergi sendiri?” Sambil berkata demikian, Kwi Lan menyambar kendali kuda dari tangan Hauw Lam, lalu pergi menuntun kuda hitam itu meninggalkan Hauw Lam yang berdiri melongo.
Akan tetapi karena selama hidupnya Kwi Lan belum pernah mempunyai kuda, apa lagi menunggang kuda, ia canggung sekali dan kuda hitam itu agaknya juga dapat merasakan hal ini. Kuda itu mulai meronta dan mogok jalan. Kwi Lan menarik-narik kendali kuda sambil membentak,
"Kau juga hendak mogok? Kuda sialan! Kupenggal lehermu nanti, kubawa bangkaimu ke Thian-liong-pang, hendak kulihat apakah kau berani mogok lagi!"
"Wah-wah-wah..., kenapa kau begini galak, Mutiara Hitam? Apa kau marah kepadaku? Aku sama sekali tidak takut, hanya aku heran menyaksikan keberanianmu menentang semua tokoh-tokoh besar. Mari, biarlah kita pergi bersama. Dan kuda itu... kenapa repot-repot amat? Lebih baik kau tunggangi dia, kan enak?"
Watak Kwi Lan memang aneh, agaknya ia tiru dari Sian Eng. Ia keras sekali kalau perlu, akan tetapi bisa juga menjadi lunak, bisa gembira dan jenaka, akan tetapi tidak pernah mengenal duka mau pun takut. Melihat pemuda itu menghampiri dan wajahnya sungguh-sungguh, ia tersenyum. "Aku belum pernah menunggang kuda!" katanya.
Kembali Hauw Lam terheran. Seorang gadis yang begini tinggi ilmunya, belum pernah menunggang kuda? Benar-benar luar biasa sekali ini. "Belum pernah? Kalau begitu berbahaya, dong. Kau harus belajar dulu. Seekor kuda yang baik selalu akan memberontak kalau ditunggangi orang yang takut-takut menunggang kuda."
"Aku memang belum pernah menunggang kuda, akan tetapi siapa bilang aku takut? Kau lihat saja!" Sekali menggerakkan tubuhnya, Kwi Lan sudah meloncat dan duduk di atas punggung kuda, dengan kedua kaki di samping kiri perut kuda itu. Canggung dan kaku sekali. Benar saja, kuda hitam itu tidak memberontak, karena kuda itu hanya memberontak apa bila yang menunggangnya takut-takut, sedangkan Kwi Lan tidak takut.
"Ah, keliru kalau begitu menunggangnya. Mana bisa tahan lama kalau kuda itu membalap?"
"Siapa bilang tidak bisa? Kau lihat!" Kwi Lan menarik kendali kuda dan kuda hitam itu meloncat ke depan lalu lari cepat. Kwi Lan terangkat-angkat dari atas punggung kuda dan karena duduknya miring, maka hampir saja ia jatuh. Cepat ia berseru keras dan tubuhnya sudah meloncat ke atas kemudian turun di atas punggung kuda dalam keadaan berdiri!
Hauw Lam sudah mengejar dan memegang kendali kuda, mengeluarkan suara menyuruh berhenti. Setelah kuda berhenti, ia menggeleng-geleng kepala. "Wah-wah, memang kau hebat sekali, Mutiara Hitam. Akan tetapi mana ada di dunia ini orang naik kuda dengan berdiri di atas punggungnya? Engkau akan menjadi tontonan orang di sepanjang jalan, dan juga keadaan itu amat melelahkan. Beginilah cara menunggang kuda. Lihat, kuberi contohnya!"
Karena memang Kwi Lan seorang yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka pelajaran menunggang kuda ini dapat ia kuasai sebentar saja. Berangkatlah kedua orang muda itu melakukan perjalanan menuju Yen-an. Kwi Lan menunggang kuda sedangkan Hauw Lam berjalan kaki sambil meniup sulingnya. Kadang-kadang Kwi Lan yang meloncat turun dan berjalan kaki, menyuruh pemuda itu berganti menunggang kuda. Kalau Hauw Lam menolak, ia tentu akan marah. Begitu pula, kadang-kadang gadis yang berhati polos itu menyuruh Hauw Lam duduk di belakangnya di atas punggung kuda. Hauw Lam juga menuruti kehendaknya sehingga dalam waktu beberapa hari saja melakukan perjalanan, keduanya telah menjadi sahabat yang amat akrab dan diam-diam Kwi Lan makin merasa cocok dan suka kepada putera bibi pengasuhnya ini.....
********************
Komentar
Posting Komentar