MUTIARA HITAM : JILID-01
Hujan rintik-rintik membuat jalan kecil itu sunyi. Dalam keadaan seperti
itu, orang-orang yang melakukan perjalanan melalui jalan kecil itu
lebih suka menunda perjalanan, beristirahat di warung-warung sambil
minum arak hangat, di kuil-kuil atau setidaknya di bawah pohon rindang,
pendeknya asal mereka dapat terlindung dari hujan. Kalau pun ada yang
melakukan perjalanan melalui jalan kecil itu di waktu hujan
rintik-rintik, mereka tentu bergesa-gesa agar cepat tiba di tempat
tujuan.
Beberapa ekor kuda dibalapkan lewat, juga serombongan kereta lewat dengan cepatnya melalui jalan kecil, sejenak memecahkan kesunyian dengan suara roda kereta, derap kaki kuda dan cambuk, diselingi suara pengendara yang menyumpahi jalan buruk dan hawa dingin.
Akan tetapi pada pagi hari itu, seekor kuda kurus berjalan perlahan melalui jalan kecil itu. Kuda yang kurus dan buruk, berjalan seenaknya seakan-akan menikmati air hujan yang berjatuhan jarang di atas kepalanya. Warna kulit kuda ini agaknya dahulunya merah, kini penuh debu basah sehingga warnanya menjadi coklat dan kotor. Penunggangnya sama dengan kudanya dalam menghadapi gangguan hujan. Tidak merasa terganggu sama sekali. Duduk di atas punggung kuda sambil meniup suling! Aneh, mana ada orang lain berhujan-hujan meniup suling?
Laki-laki itu tinggi tegap, usianya tentu mendekati lima puluh tahun. Raut wajahnya tampan dan gagah, pandang matanya sayu namun bersinar tajam. Kepalanya terlindung sebuah topi lebar terbuat dari anyaman rumput dan sudah butut, robek-robek pinggirnya. Pakaiannya longgar dan amat bersih, akan tetapi sudah terhias tambalan di beberapa tempat.
Biar pun keadaan orang dan kudanya membayangkan kemelaratan dan sama sekali tidak menarik, namun suara sulingnya luar biasa sekali. Sayang bahwa tiupan suling seindah itu tidak pernah terdengar orang karena setiap kali bertemu orang, laki-laki di atas kuda kurus ini selalu menghentikan tiupan sulingnya. Agaknya ia tidak suka kalau tiupan sulingnya didengar orang.
Setelah keluar dari sebuah hutan kecil yang gelap, laki-laki itu menghentikan kudanya. Sepasang mata yang terlindung topi lebar itu memandang ke kanan kiri. Hutan terganti kebun dan sawah. Beberapa orang petani sibuk bekerja di ladang, agak jauh dari jalan kecil itu. Laki-laki itu tampak tertarik dan sejenak wajah yang tampan itu berseri. Kemudian ia menarik perlahan kendali kudanya. Binatang kurus itu berjalan lagi seenaknya. Hujan gerimis sudah mereda, tinggal kecil dan jarang, sebentar lagi juga berhenti. Di timur sinar matahari mulai menerobos awan tipis mengusir dingin. Laki-laki itu sejenak memandang ke arah matahari yang belum menyilaukan mata, lalu mulutnya bernyanyi!
Syarat memimpin negara dan dunia
adalah sembilan kebenaran
memperbaiki diri sendiri
menghargai orang bijak dan pandai
mencinta sanak keluarga
menghormat pembesar tinggi
mengasihi pembesar rendah
mencinta rakyat seperti anak
mengundang ahli-ahli bangunan
menghibur pengunjung dari jauh
mengikat persahabatan dengan negara lain!
Sambil bernyanyi laki-laki itu melakukan gerakan gerakan aneh dengan sulingnya. Setiap kata-kata ia barengi dengan gerakan suling yang kalau diperhatikan merupakan gerakan menulis kata-kata, menulis di udara dan sungguh aneh, setiap gerakan menulis ini mengakibatkan suara angin melengking yang berbeda beda!
Andai kata pada waktu itu terdapat seorang ahli silat tinggi yang menyaksikan gerakan-gerakan ini, tentu dia akan terheran-heran dan merasa kagum karena selain melihat gerakan luar biasa, juga akan merasa betapa dari gerakan ini keluar hawa pukulan mujijat! Akan tetapi kalau gerakan gerakan sambil bernyanyi itu terlihat oleh orang biasa, tentu ia akan mengira bahwa laki-laki berkuda itu seorang yang miring otaknya.
Melihat keadaannya yang melarat, tak seorang pun akan mengira bahwa laki-laki ini sesungguhnya adalah seorang pendekar besar, seorang pendekar sakti yang pada belasan tahun yang lalu amat terkenal dan sukar dicari tandingnya. Jarang ada orang yang mengetahui namanya, dan para tokoh dunia persilatan hanya mengenalnya sebagai Suling Emas.
Telah belasan tahun dunia persilatan kehilangan tokoh ini dan tidak seorang pun tahu ke mana perginya. Dahulu orang mengenal Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas) sebagai seorang laki-laki yang tinggi tegap dan tampan gagah, pakaiannya terbuat dari pada sutera halus berwarna hitam, dengan sulaman benang emas menggambarkan bulan dan sebatang suling di bagian dadanya. Dahulu, belasan tahun yang lalu, sepak terjangnya amat mengagumkan kawan mau pun lawan. Mulia seperti malaikat bagi yang tertolong, hebat mengerikan seperti iblis bagi penjahat yang dibasminya. Itulah dia Suling Emas!
Akan tetapi laki-laki setengah tua yang menunggang kuda kurus itu, yang pakaiannya membuat ia lebih patut disebut jembel, sama sekali tidak memperlihatkan bekas bahwa dialah sesungguhnya Suling Emas. Jauh bedanya bagaikan bumi dengan langit. Suling yang tadi ditiupnya kini berselubung tembaga di luarnya, merupakan suling biasa. Hanya seorang ahli kalau melihat gerakan gerakannya sambil bernyanyi tadi, akan mendapat kenyataan bahwa selama belasan tahun bersembunyi ini, kepandaian Suling Emas tidaklah mundur, bahkan makin hebat.
Gerakan gerakannya tadi sama sekali bukan gerakan seorang gila hendak menari, melainkan gerakan Ilmu Silat Hong in bun hoat, yaitu Ilmu Silat Sastra Awan dan Angin yang berdasarkan gerakan penulisan huruf-huruf dari kitab Tiong-yong! Nyanyiannya tadi adalah ayat-ayat dari kitab Tiong-yong. Jangan dikira bahwa gerakan-gerakan itu hanyalah gerakan sembarangan, karena setiap huruf yang ditulis, merupakan gerakan lihai sekali, baik dalam bentuk serangan mau pun dalam bentuk tangkisan.
Kuda kurus itu berjalan terus. Sinar matahari pagi kini mencipta suasana cerah dan indah. Burung-burung berkicau menambah keindahan suasana. Lalu-lintas mulai ramai setelah kini hujan berhenti dan tembok kota Tai-goan sudah tampak dari jauh. Suling Emas tidak bernyanyi lagi, tidak pula meniup sulingnya, bahkan sulingnya kini tersembunyi di balik bajunya yang penuh tambalan.
Ia menunduk, tidak memperhatikan orang-orang yang lewat dan bersimpang jalan dengannya. Sudah terlalu lama ia mengasingkan diri, perhatiannya terhadap manusia dan dunia menipis. Kadang-kadang ketenangannya terganggu oleh batuk. Apa bila serangkaian batuk menyerangnya, mulutnya membayangkan rasa nyeri yang ditahan tahan. Dan rangkaian batuk yang menyesakkan dada ini membuat ia kecewa.
Suling Emas kecewa akan dirinya sendiri. Percuma saja belasan tahun ia menyembunyikan diri. Ia dapat bersembunyi dari dunia ramai, namun ia tidak dapat bersembunyi dari pikiran dan hatinya sendiri! Kemana pun juga ia pergi, ke puncak puncak gunung yang sunyi, ke dalam goa-goa yang sepi di mana tidak nampak bayangan manusia lain, pikiran dan perasaan hatinya selalu mengejarnya. Bayangan wajah wanita-wanita yang pernah merampas hatinya selalu menggodanya. Ia mempergunakan kekuatan dan kekerasan hati, menekan semua itu, namun hasilnya merusak jantungnya sendiri. Suling Emas selama belasan tahun hidup bersengsara, hidup nelangsa, hidup menyiksa batin sendiri, korban asmara!
Ketika kudanya berjalan perlahan, bermacam kenangan memenuhi kepalanya, kenangan yang timbul dari serangkaian batuk yang menyerangnya tadi. Karena serangan batuk ini mengingatkannya kembali akan keadaan dirinya. Teringatlah ia akan nasib ayah bundanya, nasib gurunya. Mereka itu orang-orang tua yang tidak sempat ia balas dengan kebaktian itu, yang telah lama meninggalkannya seorang diri di dunia ini, juga mengalami nasib buruk dalam cinta kasih.
Ayah bundanya gagal dalam cinta kasih sehingga bercerai sampai mati. Kemudian gurunya yang tercinta, gurunya yang menjadi pula pengganti ayah bundanya, mengalami kegagalan asmara yang lebih pahit pula. Kasihan gurunya Kim-mo Taisu, pendekar sakti yang patah hati!
Suling Emas kembali menarik napas panjang, tangan kirinya membenamkan topinya makin dalam. Matahari di sebelah kanannya mulai menyilaukan mata dan topinya amat baik untuk melindungi matanya dari sinar matahari. Ia termenung kembali, tampaknya
melenggut ngantuk di atas punggung kudanya. Betapa pun sengsara orang tua dan gurunya menjadi korban asmara gagal, jika dibandingkan dengan apa yang ia alami, mereka itu masih mendingan!
Terbayang wajah wanita yang menjadi cinta pertamanya, gadis yang terjungkal ke dalam jurang dan tewas pada saat mereka berdua sedang bertunangan! Kemudian wajah cintanya yang kedua, yang kini menjadi nyonya pangeran, hidup mewah dan mulia bersama suami dan anak-anaknya! Akhirnya terbayang pula wajah cintanya yang ketiga, atau yang terakhir, wajah Kam Lin Lin, atau lebih tepat sekarang disebut Ratu Yalina, ratu suku bangsa Khitan di utara!
“Ahh, bodoh!” Suling Emas menyendal kendali kudanya, merasa gemas kepada dirinya sendiri yang ia anggap amat lemah. “Engkau sudah tua bangka berpikir yang bukan bukan!” Di dalam hatinya ia menyumpahi diri sendiri. Lamunan-lamunan, kenangan-kenangan, dan pikiran macam itulah yang selalu mengejar dan menggodanya, kemana pun juga ia pergi, sehingga akhirnya timbul batuk yang menggerogoti dadanya.
Kalau sudah terganggu oleh kenang-kenangan seperti itu hatinya serasa diremas, terasa sakit dan perih, semangatnya melemah dan seluruh tubuhnya lelah, membuat ia malas dan satu-satunya keinginan hanya tidur, kalau mungkin tidur selamanya tanpa sadar lagi! Sebuah kuil tua di pinggir jalan, di luar kota Tai-goan menarik hatinya karena ia melihat tempat mengaso yang enak dalam kuil tua itu, di mana ia dapat mengaso dan tidur memenuhi keinginan hatinya.
Dibelokkannya kuda kurus itu ke kiri memasuki pekarangan kuil tua yang penuh rumput. Seperti juga kuilnya sendiri yang sudah kosong dan tidak terpelihara, pekarangan itu pun kotor penuh rumput. Akan tetapi hal ini menguntungkan bagi kuda kurus yang terus saja melahap rumput hijau di depan kuil. Kuda itu dilepas begitu saja oleh Suling Emas yang memasuki kuil dengan mata setengah tidur! Tanpa menoleh ke kanan kiri, tanpa mempedulikan beberapa orang pengemis yang duduk di sudut ruangan depan, ia terus melangkah ke dalam, mengebut-ngebutkan ujung baju dan membersihkan lantai di sudut yang kosong, lalu duduk bersandar dinding, terus melenggut tidur! Hanya dengan istirahat beginilah batuk yang menyerangnya menjadi berkurang.
Mengapa pendekar sakti seperti Suling Emas sampai menjadi begini? Padahal kalau ia menghendaki kedudukan, Kerajaan Sung akan membuka kesempatan sebesarnya kepada Suling Emas, tokoh yang sudah banyak dikenal. Bahkan Kaisar sendiri memberi penghargaan kepada Suling Emas, memberi izin istimewa kepada Suling Emas untuk memasuki istana setiap saat sesuka hatinya! Selain ini, juga para pimpinan Beng-kauw yang menjadi orang-orang paling berpengaruh di samping Kaisar Nan cao, juga akan menerimanya dengan tangan terbuka. Betapa tidak? Suling Emas adalah cucu keponakan dari ketua Beng kauw! Mengapa ia menolak semua kemuliaan ini dan memilih penghidupan miskin, terlantar, patah hati dan terserang penyakit?
Para pembaca cerita 'SULING EMAS' dan cerita 'CINTA BERNODA DARAH' tentu masih ingat betapa parah cinta kasih yang gagal merobek hati Suling Emas.
Cintanya yang terakhir lebih-lebih lagi menghancurkan hatinya. Ikatan cinta kasih antara dia dan Ratu Yalina amatlah erat. Masing-masing telah saling mencinta, bahkan Ratu Yalina tadinya rela mengorbankan kedudukannya untuk menjadi isterinya. Namun Suling Emas terpaksa menolaknya. Menolak karena pertama, Suling Emas sebagai seorang tokoh besar di dunia kang ouw tentu saja dimusuhi banyak orang, apa lagi karena mendiang ibunya sewaktu hidupnya telah mengakibatkan banyak permusuhan dengan orang-orang dunia persilatan. Ia tidak mau menyeret Yalina dalam hidup penuh bahaya dan permusuhan. Kedua, Yalina adalah puteri angkat ayahnya, jadi masih adik angkatnya sendiri, sehingga kalau mereka berdua berjodoh, tentu akan menjadi bahan ejekan dan cemoohan, mencemarkan nama baik keluarganya. Ketiga, suku bangsa Khitan amat membutuhkan bimbingan Ratu Yalina untuk memperkuat kembali suku bangsa itu. Inilah sebabnya mengapa ia rela berpisah dari kekasihnya itu, rela hidup merana dan menderita tekanan batin.
Hampir dua puluh tahun ia menyembunyikan diri semenjak berpisah dari Ratu Yalina. Musuh-musuh ibunya akhirnya merasa bosan mencari-carinya untuk dimintai pertanggungan jawab akan sepak terjang ibunya puluhan tahun yang lalu. Akhirnya ia, Suling Emas, dilupakan orang! Benarkah itu? Benarkah Suling Emas dilupakan orang?
Mudah mudahan demikian, pikir Suling Emas sambil melenggut. Mudah mudahan dunia sudah lupa kepada Suling Emas! Lebih dilupakan lebih baik! Siapa yang akan mengenal Suling Emas yang sekarang telah menjadi seorang jembel setengah tua? Gurunya dahulu pernah hidup sebagai seorang jembel. Malah jembel yang gila! Berpikir sampai di sini, senyum pahit menghias mulutnya dan ia membuka sedikit matanya.
Kebetulan sekali ia melihat dua orang pengemis tua yang tadi duduk melenggut di sudut luar, kini keduanya saling berbisik dan menoleh kepadanya. Kemudian, aneh sekali, dua orang pengemis tua itu menghampirinya dan keduanya membuat gerakan aneh, yaitu tangan kiri menekan dada kiri arah tempat jantung, dan tangan kanan diangkat ke atas membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari tengah.
Apa artinya itu? Mengapa mereka memberi salam seaneh itu? Suling Emas tidak mengenal siapa mereka, juga yakin bahwa tidak mungkin mereka mengenalnya. Akan tetapi mereka itu sudah menyalamnya, biarpun salam yang lucu dan aneh. Agaknya mereka itu memberi salam karena mengira dia pun seorang pengemis, jadi segolongan. Dan agaknya para pengemis di daerah ini sudah lajim menyalam seorang ‘rekan’ secara itu. Untuk menjaga jangan sampai dua orang itu tersinggung Suling Emas lalu meniru gerakan mereka, membalas salam itu dengan gerakan yang sama, lalu ia meramkan mata dan melenggut pula, tidak memperhatikan lagi dua orang itu yang wajahnya sejenak berubah girang sekali ketika melihat balasan salamnya.
Agaknya seorang di antara dua pengemis tua itu hendak bicara dan Suling Emas diam-diam merasa geli hatinya, akan tetapi mendadak mereka berdua itu sudah meloncat dan di lain saat sudah mendengkur lagi sambil duduk bersandar tembok. Gerakan mereka begitu cepat sehingga diam-diam Suling Emas tercengang, maklum bahwa dua orang pengemis itu bukanlah pengemis sembarangan, melainkan pengemis kang-ouw yang berilmu tinggi! Selagi ia terheran mengapa mereka tidak jadi bicara dan bersikap seaneh itu, tiba-tiba di luar terdengar suara langkah kaki orang disusul suara dalam bahasa Khitan yang dimengerti pula oleh Suling Emas.
“Tidak salah lagi. Dia tentu berada di dalam kuil ini. Lihat itu kudanya, aku mengenal kuda kurus ini!” Demikian suara itu dan diam-diam Suling Emas terkejut.
Ia teringat bahwa kemarin ia melihat tiga orang laki laki bangsa Khitan yang berpakaian seperti perwira, menunggang kuda dengan membalap. Ketika bersimpang jalan mereka memandang penuh perhatian kepadanya. Melihat perwira-perwira Khitan ini, Suling Emas teringat kepada kekasihnya, Ratu Yalina. Akan tetapi karena pada masa itu Kerajaan Sung bersahabat dengan Kerajaan Khitan dan adanya orang-orang Khitan di wilayah Kerajaan Sung bukanlah hal aneh lagi, maka Suling Emas tidak menaruh perhatian lagi. Siapa kira tiga orang itu agaknya menyusul dan mencarinya sampai di sini!
Sedikit pun Suling Emas tak dapat menduga mengapa ada perwira-perwira Khitan mencarinya dan mulai timbul dugaan bahwa tentu mereka itu salah lihat, mengira dia orang lain, maka ia tetap saja duduk dengan sikap tenang. Tiga orang Khitan itu segera muncul di ruangan dalam kuil itu. Seorang di antara mereka yang menjadi pemimpin bertubuh gemuk dengan kumis melintang tebal. Si Kumis Tebal inilah yang sekarang berdiri dan menjura kepadanya, memandang tajam, penuh selidik ke arah wajah di bawah topi sambil berkata,
“Taihiap (Pendekar Besar), kami menjalankan perintah Ratu kami yang minta dengan hormat agar Taihiap suka pergi berkunjung sekarang juga bersama kami ke Khitan.”
Jantung Suling Emas berdebar keras. Baru sekali ini setelah belasan tahun ia mengalami ketegangan batin. Ratu Khitan Yalina mengundangnya? Apa yang dikehendaki oleh Lin Lin? Mengapa ingin bertemu? Pertemuan yang tentu hanya akan membuat luka di hatinya menjadi makin parah saja. Di saat itu juga, ia sudah mengambil keputusan untuk menolak undangan ini. Akan tetapi ia tidak ingin pula lain orang mengetahui bahwa dia Suling Emas. Bagaimana perwira Khitan ini dapat mengenalnya?
“Apa... apa yang kau maksudkan? Aku tidak mengerti omonganmu!” Ia menjawab lirih, pura-pura tidak mengerti kata-kata tadi yang diucapkan dalam bahasa Khitan.
Si Kumis Tebal itu saling lirik dengan dua orang temannya, pada wajahnya terbayang keheranan dan keraguan. Ia segera berkata dalam bahasa Han. “Kami diutus junjungan kami untuk mengundang Taihiap berkunjung ke Khitan sekarang juga bersama kami.”
Tentu saja Suling Emas maklum bahwa Lin Lin atau Sang Ratu Yalina yang mengundangnya, akan tetapi ia pura-pura tidak tahu. Diam diam ia kagum dan heran sekali akan kecerdikan orang orang Khitan sehingga berhasil mengenal dan mendapatkannya. “Ah, apa artinya ini? Aku sama sekali bukan Taihiap, dan aku tidak mengenal siapa itu junjunganmu di Khitan.”
Kembali wajah gemuk itu dibayangi keraguan. “Harap Taihiap jangan berpura-pura lagi. Junjungan kami adalah Sang Ratu yang mulia di Khitan. Menurut petunjuk yang saya terima, tidak salah lagi Taihiap orangnya. Kuda kurus itu... dan bentuk tubuh Taihiap. Perintah junjungan kami merupakan perintah besar yang harus dilaksanakan sampai berhasil, dan kami sudah bertahun-tahun dalam usaha mencari Taihiap!”
Diam-diam Suling Emas merasa terharu. Kembali terbayang wajah Lin Lin, terbayang semua peristiwa yang lalu. Lin Lin adalah puteri angkat ayahnya yang ternyata kemudian sebagai Puteri Mahkota Khitan. Mereka saling mencinta, namun tak mungkin menjadi suami isteri. Ia telah memenuhi hasrat hatinya, memenuhi permohonan Lin Lin, sebelum berpisah sampai kini dari wanita yang tercinta itu.
Ia telah secara diam diam dan rahasia berkunjung di istana Sang Ratu Yalina, berdiam sampai satu bulan di dalam kamar Sang Ratu, hidup sebagai suami isteri penuh cinta kasih, penuh kemesraan selama sebulan, suami isteri di luar pernikahan yang tak mungkin dilakukan! Mereka berdua runtuh oleh gelora cinta dan nafsu. Namun hal itu tak dapat dipertahankan terus.
Demi menjaga nama baik Yalina sebagai Ratu, dan demi untuk menjaga nama baik keluarga, terpaksa Suling Emas harus meninggalkan Khitan, meninggalkan dengan keputusan hati takkan kembali lagi, takkan bertemu lagi dengan wanita yang dikasihinya, hanya dengan hiburan bahwa wanita yang dicintanya itu juga mencintanya sepenuh jiwa raga. Mereka bersumpah takkan menikah dengan orang lain.
Belasan tahun hal itu terjadi dan telah lalu. Hampir dua puluh tahun. Dan sekarang tiba tiba Sang Ratu Yalina mengutus perwira-perwiranya untuk mencarinya sampai dapat, untuk mengundangnya ke Khitan. Apa perlunya? Bukankah kesemuanya itu sudah musnah habis?
“Aku yakin bahwa kalian tentu salah kira dan menganggap aku orang lain. Kalian mengira aku ini siapakah?” Suling Emas masih berusaha mempertebal keraguan orang.
“Siapa lagi Taihiap ini kalau bukan Kim-siauw-eng?”
“Aiiihhh...!“ teriakan tertahan ini terdengar dari sudut ruangan di mana dua orang kakek pengemis tadi duduk bersandar.
Berdebar keras jantung Suling Emas. Celaka, orang orang Khitan ini benar-benar bermata tajam.
“Ah, apa-apaan ini?” teriaknya. “Kalian benar-benar salah melihat orang! Aku bukan Taihiap, bukan pula Kim-siauw-eng, kalian lekas pergi saja jangan menggangguku.”
“Taihiap, salah atau tidak, kami harus melakukan kewajiban kami! Petunjuk yang baru kami terima kemarin dari atasan kami tak salah lagi. Berpakaian sebagai pengemis, bertopi lebar butut, menunggang kuda kurus. Tidak salah lagi, harap Taihiap tidak membikin repot kami dan suka kami antar ke Khitan sekarang juga.”
“Hemmm... kalau aku tidak mau?”
“Kami mendapat perintah untuk mengawal Taihiap ke Khitan, mau atau tidak. Karena kami sudah mendapat wewenang, kalau perlu kami akan memaksa Taihiap.” Sambil berkata demikian, si Kumis Tebal itu mengepal tinju dan melangkah dekat. Akan tetapi jelas bahwa ia gelisah sehingga dahinya penuh keringat.
“Waahh..., jangan menghina kaum jembel...!” Kiranya dua orang pengemis tua itu sudah berdiri menghadang di depan tiga orang perwira Khitan dengan sikap melindungi Suling Emas. Di tangan kanan mereka tampak tongkat pengemis.
Perwira Khitan yang gemuk itu memandang dengan mata melotot, lalu membentak, “Jembel-jembel tua bangka, kalian mau apa mencampuri urusan kami?”
Kakek pengemis yang punggungnya bongkok tersenyum lebar, lalu berkata, “Melihat sekaum dihina orang, bagaimana kami dapat tinggal diam? Apa lagi kalau yang kalian hina adalah saudara tua kami yang terhormat.” Kemudian kakek bongkok itu menoleh ke arah Suling Emas lalu menjura. “Tianglo yang mulia silakan beristirahat yang enak, biarlah kami berdua mewakili Tianglo memberi hajaran kepada anjing-anjing Khitan ini!”
Setelah berkata demikian, kembali ia menghadapi para perwita Khitan dan berkata mengejek, “Saudara tua kami tidak suka menerima undangan Ratu Khitan, mengapa memaksa? Sungguh Ratu kalian tak tahu malu!”
“Keparat, berani menghina...?” Perwira gemuk itu segera menghantam ke arah dada pengemis bongkok. Hantaman yang amat kuat sehingga mengeluarkan hawa pukulan yang menyambar keras. Si Pengemis Bongkok maklum akan kekuatan lawan, maka ia cepat mengelak. Dua orang perwira lain yang memegang toya juga segera menyerbu dan terjadilah perkelahian seru di dalam kuil tua ini.
Ketika menyaksikan sikap kedua orang pengemis tua itu terhadapnya, Suling Emas menjadi makin terheran-heran. Kalau para perwira Khitan itu dengan tepat dapat mengenal atau setidaknya menyangkanya Suling Emas, adalah para pengemis ini mengira dia orang lain dan menyebutnya Tianglo! Tentu dia dianggap seorang tokoh pengemis yang mereka hormati. Tidak beres kalau begini, pikirnya. Namun, masih mending dianggap seorang tokoh pengemis dari pada dikenal sebagai Suling Emas!
Ia merasa kesal melihat dirinya dijadikan sebab perkelahian. Maka melihat lima orang itu bertanding seru, ia lalu menggunakan kepandaiannya, sekali berkelebat ia sudah lenyap dari tempat itu, meloncat ke luar kuil dan di lain saat ia sudah menunggang kudanya yang kurus. Akan tetapi sekali ini, kuda kurus itu memperlihatkan keasliannya ketika Suling Emas menarik kendali dan menendang perutnya, karena kuda kurus itu berlari amat cepatnya dan melihat gerakan kakinya jelas bahwa kuda kurus itu adalah seekor kuda pilihan!
Biar pun para perwira Khitan itu tiga orang mengeroyok dua orang pengemis tua yang tubuhnya kurus kering malah seorang di antaranya bongkok, namun mereka itu segera mendapat kenyataan bahwa dua orang jembel tua itu benar-benar amat lihai! Untung bagi orang-orang Khitan itu bahwa dua orang jembel tua itu agaknya memang hanya ingin mempermainkan mereka.
Seperti telah disebutkan tadi, pada masa itu diantara Kerajaan Sung dan Kerajaan Khitan terdapat persahabatan. Orang-orang Khitan tentu saja masih dianggap bangsa yang ‘liar’. Akan tetapi karena orang-orang Khitan itu selalu membuktikan disiplin yang baik dan tidak pernah melakukan kejahatan di wilayah Sung, maka rakyat pun tidak membenci mereka. Hal ini terjadi setelah suku bangsa Khitan dipimpin oleh Ratu Yalina yang mengeluarkan peraturan peraturan keras untuk rakyatnya. Karena inilah agaknya dua orang pengemis yang terang bukan orang-orang sembarangan itu juga enggan untuk mencelakai tiga orang perwira Khitan itu, melainkan hanya ingin mencegah mereka memaksa pengemis aneh yang mereka sangka seorang ‘saudara tua’ tadi.
“Eh, ke mana perginya Tianglo...?” tiba tiba Si Bongkok berseru kaget dan keduanya segera menghentikan pertempuran, bahkan tanpa berkata sesuatu dua orang pengemis itu sudah meloncat ke luar dan sebentar saja lenyap dari situ.
Perwira gemuk itu mengejar bersama dua orang temannya, namun setiba mereka di luar kuil, keadaan sepi saja. Tak nampak seorang pun manusia. Juga kuda kurus tidak berada pula di depan kuil. Perwira gemuk berkumis tebal itu mengerutkan keningnya, meraba-raba dagu lalu berkata,
“Sungguh meragukan apakah benar dia tadi Suling Emas. Terang dia menolak, dan dua orang jembel tua bangka tadi sungguh menjemukan, membikin sukar pelaksanaan tugas kita yang tidak mudah. Kalian lekas beri laporan kepada pusat markas penyelidik di Tai-goan, katakan betapa lihainya dua orang pengemis tua bangka tadi. Kalau dia tadi betul Suling Emas dan sampai lolos, tentu kita semua akan menerima hukuman berat! Lekas berangkat, aku akan mencoba mengikuti jejaknya...“
Dua orang perwira bawahan itu cepat pergi menunggang kuda mereka menuju ke Tai-goan, sedangkan si Perwira Gemuk juga membalapkan kuda melakukan pengejaran ke arah timur setelah meneliti jejak kaki kuda yang ditunggangi Suling Emas. Betapa heran hatinya ketika melihat jejak kaki kuda itu tak pernah berhenti biar pun ia mengikutinya sampai matahari condong ke barat. Mungkinkah kuda kurus kering mau mati itu dapat melakukan perjalanan sebegitu jauhnya dan melihat jejaknya selalu berlari cepat?
Diam-diam si Perwira Gemuk mengeluh dan mengomel. Sudah lebih dari lima tahun ia ditugaskan mencari seorang yang bernama Suling Emas! Membawa pasukan, bahkan kemudian akhir-akhir ini pencaharian dan penyelidikan diperhebat dengan datangnya para pengawal jagoan dari Khitan yang berpusat di Tai-goan. Namun selama ini, penyelidikannya selalu sia-sia belaka. Suling Emas yang dimaksudkan ratunya itu seakan-akan lenyap ditelan bumi, atau memang orang itu tidak pernah ada!
Kemarin dia menerima berita dari seorang di antara penyelidik yang disebar di mana-mana, bahwa ada seorang penunggang kuda kurus yang perawakannya sama dengan orang yang selama ini dicari-cari. Dengan penuh semangat dia bersama dua orang pembantunya melakukan penyelidikan dan akhirnya bertemu dengan Suling Emas di dalam kuil itu. Aneh sekali caranya orang itu melenyapkan diri, pikir si Perwira Gemuk sambil mengepal tinju. Mengapa tidak seorang pun di antara mereka ada yang tahu?
Padahal dua orang pengemis tua itu jelas memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Namun mereka pun tidak melihat perginya orang yang disangka Suling Emas itu. Hal ini hanya berarti bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian hebat. Cocok dengan gambaran tentang diri Suling Emas yang oleh para pengawal istana disohorkan memiliki kepandaian seperti dewa! Sekali ini harus berhasil, pikirnya. Harus berakhir pengejaran dan penyelidikan yang bertahun-tahun ini!
Suling Emas membalapkan kudanya dan baru ia membiarkan kudanya mengaso dan berjalan perlahan setelah lewat tengah hari. Ia tidak jadi pergi ke Tai-goan. Ia harus melarikan diri, tak peduli ke mana, asal jangan sampai bertemu dengan orang-orang Khitan itu. Kembali jatuh hujan rintik-rintik, akan tetapi ia tidak peduli.
Mengapa Lin Lin berusaha keras untuk mengundangnya ke Khitan? Apakah selama ini Lin Lin juga hidup menderita batin seperti dia? Kasihan Lin Lin! Ia tahu betapa mendalam cinta kasih Lin Lin kepadanya dan betapa perpisahan itu akan membuat Lin Lin hidup sebagai Ratu Yalina, terkurung dalam istana, yang keras dan sunyi!
“Oughhh...!” Kembali serangkaian batuk menyerang Suling Emas.
Selalu ia terserang batuk kalau pikirannya mengenang masa lalu yang menimbulkan duka. Agaknya serangan batuk kali ini hebat sehingga ia terbatuk-batuk dan tubuhnya berguncang-guncang di atas kuda, wajahnya menjadi pucat, napasnya terengah-engah. Sudah lama ia terserang penyakit, bertahun-tahun sudah, akan tetapi ia tidak pernah mempedulikannya, tidak mau mencari obat. Biarlah demikian, pikirnya setiap kali timbul keinginan mengobati penyakitnya, kalau penyakit ini mengakibatkan kematian alangkah baiknya. Bebas dari pada duka nestapa dan derita batin!
Betapa besar kekuasaan asmara! Kuasa menciptakan sorga mau pun neraka dalam penghidupan manusia! Suling Emas yang dahulu terkenal gagah perkasa, tahu akan segala filsafat hidup, menguasai berbagai ilmu yang tinggi dan pelik-pelik, namun sekali tercengkeram asmara, menjadi lemah seperti seorang yang bodoh dan tidak mengerti apa-apa. Menjadi begitu lemah sehingga tidak mampu menguasai dirinya sendiri!
Betapa ingin hatinya bertemu kembali dengan Ratu Yalina! Betapa ingin hatinya dapat memandang wajah wanita yang dikasihinya itu, dapat memegang tangannya. Ah, akan tetapi bagaimana mungkin? Dia sudah tua, juga Lin Lin bukanlah orang muda lagi. Dahulu pun di waktu mereka masih muda, hal ini tak mungkin dilakukan tanpa mengakibatkan noda nama. Apa lagi sekarang, Lin Lin adalah seorang ratu yang disembah rakyatnya, sedangkan dia... dia seorang sebatang kara dan miskin. Betapa mungkin ia menjerat Lin Lin ke dalam kehinaan?
“Tidak!” suara hati terucapkan bibirnya. “Aku harus bertahan! Dia tidak boleh merendahkan diri, tidak boleh bertemu denganku!” Keputusan ini membuat Suling Emas seketika mengeluarkan sebuah sapu tangan lebar dan ditutupnyalah sebagian mukanya dengan sapu tangan. Jangan sampai orang orang Khitan itu mengenalku!
Akan tetapi keputusan yang amat berlawanan dengan hasrat hati ini makin membahayakan keadaannya. Serasa ditusuk-tusuk jantungnya sehingga tubuhnya makin lemah. Ia terbatuk-batuk lagi dan akhirnya ia terguling roboh dari atas punggung kudanya, jatuh dan rebah di atas tanah tak sadarkan diri!
Kudanya mengeluarkan suara meringkik perlahan, berhenti dan membalikkan tubuh. Dengan hidungnya kuda kurus itu mendengus-dengus menciumi kepala Suling Emas. Biasanya kalau ia melakukan hal ini, majikannya lalu mengelus-elus kepala dan lehernya. Akan tetapi sekarang, majikannya diam saja tak bergerak. Hal ini menyusahkan hati si Kuda, yang kembali meringkik dan menjauhkan diri, berlindung di bawah pohon dari serangan hujan yang makin menderas sambil makan ujung-ujung rumput hijau.
Suling Emas tidak tahu berapa lama ia rebah pingsan di tempat itu. Pakaiannya basah kuyup, topi dan sapu tangannya masih menutupi mukanya. Ketika ia siuman kembali, ia mendengar suara orang-orang bergerak di dekatnya. Cepat Suling Emas membuka mata sambil menahan batuk yang mulai menyerangnya lagi. Kiranya dua orang kakek pengemis yang tadi bertempur melawan orang-orang Khitan di dalam kuil telah berada di dekatnya! Mereka itu berlutut di kanan kirinya dengan sikap hormat sekali, dan kakek yang bongkok berkata,
“Tianglo, maafkan kami yang baru sekarang dapat bertemu dengan Tianglo, sehingga Tianglo mengalami keadaan begini sengsara...”
“Hemmm..., kau kira aku ini...?” Suling Emas bertanya perlahan akan tetapi tidak melanjutkan kata-katanya karena kembali ia terbatuk batuk.
“Ahh..., Tianglo, kali ini kami tidak akan salah lihat! Engkau Yu Kang Tianglo yang mengenal baik tanda rahasia dengan tangan dari perkumpulan kita, Khong-sim Kai-pang! Tianglo...“
“Aku bukan Yu Kang Tianglo...!” Suling Emas memotong dengan suara keras.
Ia sudah mengenal siapa Yu Kang Tianglo. Dahulu tiga puluh tahun yang lalu pernah ia bekerja sama dengan Yu Kang. Ketika itu Yu Kang adalah seorang tokoh dari Khong-sim Kai-pang berusia tiga puluh tahun, yang berusaha membalas dendam kematian ayahnya di tangan seorang di antara Enam Iblis Dunia bernama It-gan Kai-ong. Karena ketika itu It-gan Kai-ong merupakan seorang tokoh jahat, Suling Emas lalu turun tangan, membantu Yu Kang merobohkan It-gan Kai-ong sehingga
Yu Kang dapat membalas dendam.
Aneh sekali, pikirnya. Biar pun Yu Kang dan dia memang memiliki bentuk tubuh yang hampir sama, akan tetapi seingatnya Yu Kang dahulu lebih tua dari padanya. Sedikitnya lebih tua lima tahun! Agaknya Yu Kang juga seperti dia, mengasingkan diri sehingga para pengemis ini tidak dapat membedakan antara dia dan Yu Kang.
“Harap Tianglo mengingat akan perkumpulan kita dan menaruh kasihan kepada kami! Semenjak merobohkan It-gan Kai-ong tiga puluh tahun yang lalu, Tianglo menghilang. Kami mengira bahwa Tianglo khawatir akan pembalasan It-gan Kai-ong maka sengaja mengasingkan diri. Akan tetapi setelah belasan tahun yang lalu It-gan Kai-ong tewas mengapa Tianglo masih juga mengasingkan diri? Apakah Tianglo tidak kasihan kepada saudara-saudara kita yang sudah terlalu lama kehilangan pemimpin yang bijaksana?”
Selagi pengemis bongkok itu bicara dengan penuh permohonan, diam-diam Suling Emas berpikir. Hemm, mengapa tidak? Biarlah Yu Kang menyembunyikan diri dan dia yang menggantikannya! Pertama, karena ia tahu bahwa perkumpulan Khong-sim Kai-pang adalah perkumpulan baik-baik sehingga sudah sepatutnya kalau ia bela. Kedua, dengan menyamar menjadi Yu Kang, ia dapat menyembunyikan diri dari pada pengejaran Lin Lin.
Pada saat itu hujan turun lagi dengan derasnya dan pengemis tua yang memegang tongkat berseru, “Ah, dasar bandel monyet gendut itu! Dia berani muncul lagi!”
Suling Emas kaget dan segera bangun berdiri. “Saudara-saudara, biarkanlah aku sendiri menghadapinya,” ia berkata ketika melihat dua orang pengemis tua itu dengan marah hendak menerjang maju. Mendengar ini dua kakek itu menjadi girang dan menanti di kanan kiri.
Perwira Khitan yang gemuk itu melangkah lebar menghampiri tempat itu, menempuh hujan. Ia terkejut ketika melihat orang yang dicarinya berdiri di depannya dengan muka sebagian tertutup sapu tangan sedangkan dua orang pengemis tua yang lihai tadi berdiri di kanan kirinya. Akan tetapi segera ia menyeringai dan berkata. “Terpaksa saya harus mengikuti Taihiap sampai di mana pun juga. Saya mempertaruhkan nyawa untuk tugas ini!”
Suling Emas bertanya. “Tugasmu adalah mencari orang yang berjuluk Kim-siauw-eng, bukan?”
“Betul, Taihiap.”
“Dan engkau mengira bahwa akulah orang yang kau cari itu?”
“Tidak bisa salah lagi, beginilah menurut petunjuk.”
“Apakah engkau pernah bertemu dengan Suling Emas?”
“Waah... belum pernah. Akan tetapi petunjuknya cocok, dan akan ada seorang atasanku yang pernah bertemu dan akan mengenal Taihiap.”
“Kalau begitu jangan membandel. Katakan kepada atasanmu bahwa yang kau sangka Suling Emas itu sebetulnya adalah Yu Kang Tianglo, ketua dari Khong-sim Kai-pang! Sudah, jangan engkau mengganggu kami lagi!” Ia menoleh kepada dua orang pengemis tua sambil berkata, suaranya memerintah, “Mari kita pergi!”
Si Perwira Khitan yang gendut itu terkejut dan meragu. Ia melangkah maju, “...tetapi....”
Baru sampai sekian ucapannya, Suling Emas mengulurkan tangannya dan perwira itu tiba tiba berdiri kaku tak bergerak. Ia telah menjadi korban totokan yang luar biasa sekali! Melihat ini, dua orang pengemis tua yang sudah kegirangan itu menjadi kagum sekali, lalu mereka berdua menjatuhkan diri berlutut di depan Suling Emas sambil berkata, “Pangcu (Ketua)...!”
Di balik sapu tangan Suling Emas tersenyum masam, lalu mengibaskan tangan baju dan berkata kereng,”Bangunlah dan mari kita pergi.”
Dengan muka gembira dan taat sekali dua orang pengemis tua itu bangkit dan pergilah mereka bertiga menempuh hujan, meninggalkan perwira Khitan yang masih berdiri seperti patung. Ketika hujan mulai berhenti, mereka sudah berteduh di dalam sebuah gubuk petani di tengah ladang. Kuda kurus tunggangan Suling Emas tadi berjalan mengikuti majikannya yang memanggilnya Siauw-ma, dan kini makan rumput di pinggir jalan ketika majikannya duduk di dalam gubuk bersama dua orang kakek pengemis.
“Dan sekarang, ceritakanlah siapa kalian, dan apa sebabnya kalian memaksa aku yang sudah puluhan tahun mengasingkan diri dan tidak mau mencampuri urusan kai-pang (perkumpulan pengemis) atau mengapa kalian mengganggu ketenanganku hidupku?”
Ketika dua orang kakek pengemis itu secara bergantian mulai bercerita, Suling Emas mendengarkan penuturan yang amat menarik hatinya sehingga ia menaruh perhatian. Tak disangkanya bahwa selama ia mengasingkan diri telah terjadi banyak hal hebat di dunia kang-ouw.
Selama puluhan tahun, ketika dunia kang-ouw dikuasai oleh Enam Iblis Bumi Langit, dunia pengemis juga terlanda malapetaka karena seorang di antara Enam Iblis, yaitu It-gan Kai-ong merajai dunia pengemis. Setelah akhirnya It-gan Kai-ong tewas, dunia pengemis yang sudah terbebas dari kekuasaan jahat itu menjadi kacau, kehilangan pimpinan dan terpecah pecah karena terjadi perebutan kekuasaan antara golongan pengemis yang baik dan golongan pengemis yang jahat.
Golongan lain di dunia kang-ouw telah mendapatkan pimpinan pimpinan baru dan fihak yang jahat dapat dibersihkan. Akan tetapi hanya golongan pengemis saja yang belum mempunyai pemimpin yang kuat sehingga fihak yang jahat selalu menimbulkan kekacauan dan terjadilah pertentangan-pertentangan hebat di antara mereka sendiri. Melihat kelemahan dunia pengemis ini maka orang-orang jahat yang terusir dan tidak mendapatkan tempat di dalam golongan lain, lalu menyelundup masuk ke dalam dunia pengemis untuk mencari kedudukan.
Khong-sim Kai-pang adalah sebuah perkumpulan pengemis yang besar dan berpengaruh, berpusat di kota Kang hu. Sejak puluhan tahun yang lalu Khong-sim Kai-pang termasuk golongan partai bersih yang mengutamakan kebenaran dan selalu memusuhi kejahatan. Akan tetapi karena sudah puluhan tahun tidak mempunyai ketua yang pandai, Khong-sim Kai-pang kehilangan pengaruhnya sebagai perkumpulan besar sehingga tidak dapat menjadi peranan penting dalam dunia pengemis. Namun karena dahulu pernah dipimpin oleh orang orang bijaksana seperti Yu Jin Tianglo, mendiang ayah Yu Kang, para anggotanya masih setia dan mereka inilah yang merasa prihatin melihat keadaan dunia pengemis yang mulai dicengkeram oleh golongan hitam.
Beberapa kali para tokoh Khong-sim Kai-pang berusaha untuk membersihkan dunia pengemis dari pengaruh oknum-oknum jahat, akan tetapi setiap kali usaha mereka gagal, bahkan banyak di antara mereka yang tewas dalam bentrokan itu. Akhirnya, dari banyak tokoh Khong-sim Kai-pang hanya tinggal dua orang tokoh yang termasuk orang orang tingkat tinggi di perkumpulan itu. Mereka ini adalah Gak-lokai si kakek jembel bongkok dan Ciam-lokai si kakek jembel bertongkat.
Dua orang kakek ini maklum bahwa kalau Khong-sim Kai-pang tidak segera mendapat pimpinan yang tepat dan bijaksana, akan rusaklah keadaannya, tidak hanya keadaan perkumpulan mereka, juga dunia pengemis akan terjatuh ke tangan orang jahat. Mereka teringat akan Yu Kang yang puluhan tahun lamanya tak pernah muncul. Hanya putera mendiang Yu Jin Tianglo itulah kiranya yang akan dapat membangun kembali Khong-sim Kai-pang. Maka mulailah mereka berdua merantau dan mencari Yu Kang Tianglo sampai mereka berjumpa dengan Suling Emas dan mengira bahwa pendekar ini adalah orang yang mereka cari cari.
“Demikianlah Pangcu. Tanpa mengenal lelah kami berdua mencarimu sampai belasan tahun. Kami mendengar bahwa Tianglo merantau ke dunia barat. Kami telah menyusulmu ke sana, hampir celaka di negeri asing itu. Akan tetapi di sana kami mendengar bahwa Tianglo telah kembali ke timur sehingga kami kembali menyusul ke sini, untung dapat bertemu dengan Tianglo di kuil rusak. Agaknya Tuhan memang telah memanggil kembali Tianglo untuk memimpin dunia pengemis, karena kalau Tianglo tidak menaruh kasihan, tentu dunia pengemis akan terjatuh ke tangan iblis iblis baru dan terseret ke dalam golongan hitam!” Demikian mereka berdua menutup penuturan mereka.
Suling Emas termenung sejenak. Ia mempertimbangkan keadaannya, kemudian menarik napas panjang dan berkata, “Apakah kalian hendak menarik aku menduduki kursi ketua Khong-sim Kai-pang? Aku yang sudah biasa merantau bebas seperti burung di udara, bagaimana bisa terikat dan terkurung? Sungguh tak mungkin dapat kulakukan!” Ia menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang.
“Tidak usah sampai begitu, Pangcu!” kata kakek bongkok yang bernama Gak-lokai cepat cepat. “Cukup asal pangcu memperkenalkan diri sebagai ketua Khong-sim Kai-pang dan menghadiri pertemuan besar para ketua perkumpulan-perkumpulan pengemis yang akan diadakan di permulaan musim semi. Pertama untuk membangun kembali semangat para anggota Khong-sim Kai-pang, kedua untuk mencegah dunia pengemis terjatuh ke tangan kaum sesat. Mohon kiranya pangcu tidak akan tega membiarkan kehancuran Khong-sim Kai-pang dan dunia pengemis umumnya.” Setelah berkata demikian kedua orang kakek itu kembali menjatuhkan diri berlutut di depan Suling Emas.
Diam-diam Suling Emas terkenang kepada Yu Jin Tianglo, seorang tokoh Khong-sim Kai-pang yang bijaksana dan putera ketua ini, Yu Kang, seorang pengemis yang gagah perkasa. Ayah dan anak ini adalah orang-orang gagah yang sudah sepatutnya dibela. Memang kasihan dan sayang sekali kalau perkumpulan pengemis yang sudah terkenal sebagai golongan kaum bersih ini sampai terseret ke dalam lembah kejahatan. Selain ini, juga ia mendapat kesempatan untuk menyembunyikan diri dari kejaran orang-orang Khitan! Kalau ia sudah mengaku sebagai ketua Khong-sim Kai-pang, mustahil kalau para petugas yang diutus Lin Lin itu akan mengejarnya lagi dan menyangkanya Suling Emas!
“Baiklah,” akhirnya ia berkata. “Akan kucoba sekuat tenagaku mencegah kaum sesat menguasai dunia pengemis. Akan tetapi aku hanya mau menjadi pangcu dari Khong-sim Kai-pang dengan syarat, pertama apa bila semua sudah beres, aku tidak mau tetap tinggal di satu tempat. Urusan kai-pang boleh kalian urus sedangkan aku tetap akan melakukan perantauan seperti biasa, tanpa ada yang mengganggu. Kedua, aku tidak ingin memperkenalkan mukaku kepada orang lain sehingga dalam kedudukan sebagai pangcu, aku akan selalu menutup mukaku. Kalian pun harus bersumpah bahwa kau tidak pernah melihat mukaku. Mengerti?”
Dua orang kakek pengemis yang merasa yakin bahwa pendekar ini tentulah Yu Kang Tianglo menjadi gembira sekali. Dengan bercucuran air mata saking girangnya mereka menyanggupi semua permintaan Suling Emas.
“Cukup, sekarang pergilah kalian. Tunggu kedatanganku di Kang-hu waktu bulan purnama yang akan datang. Bukankah pusat Khong-sim Kai-pang masih berada di kuil tua di luar kota Kang-hu?”
Dua orang kakek itu makin girang dan tidak ragu-ragu lagi mereka sekarang bahwa orang ini tentulah Yu Kang putera mendiang ketua Yu Jin Tianglo yang lenyap ketika berusia tiga belas tahun dan ketika Khong-sim Kai-pang diserbu penjahat. Mereka mengangguk angguk dan dengan mata basah air mata saking terharunya kakek bongkok berkata, “Tentu saja masih di sana, Pangcu. Siapa dapat melupakan kuil itu?”
Suling Emas menarik napas panjang memberi tanda dengan tangan agar kedua orang kakek itu pergi. Setelah mereka pergi, baru ia melompat ke atas punggung kudanya menepuk-nepuk leher kudanya sambil berkata lirih, “Siauw-ma, mau tak mau kita harus mengalami hal hal baru di antara para pengemis itu. Terpaksa Siauw-ma, terpaksa...! Ataukah... lebih baik ke Khitan...? Ah, tidak...! Jangan! Biarlah untuk sementara aku menjadi ketua pengemis!”
Berjalanlah kuda itu perlahan-lahan. Hujan telah berhenti dan tak lama kemudian terdengarlah suara suling ditiup, suaranya mengalun dan mengharukan, menggetarkan jiwa tertekan dan batin menderita.
********************
Pada masa itu Kerajaan Sung dipimpin oleh kaisarnya yang ke dua, yaitu Sung Thai Cung. Sungguh pun kemajuan di jaman Kerajaan Sung ini tidak dapat menandingi kerajaan kerajaan yang lalu sebelum jaman Lima Wangsa, namun jika dibandingkan dengan jaman pemerintahan Sung Thai Cu kaisar pertama Kerajaan Sung, maka pemerintahan kaisar kedua ini boleh dibilang mengalami kemajuan. Hasil yang dicapai lebih besar. Ia telah berhasil menjatuhkan Kerajaan Hou-han di Shan-si, Kerajaan Wu-yue di selatan, dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya, kemudian memasukkan daerah kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan ini ke dalam wilayah Sung.
Namun harus diakui bahwa Kaisar Sung Thai Cung tidak berdaya terhadap dua buah kerajaan, yaitu kerajaan bangsa Khitan di timur laut yang terutama, dan Kerajaan Nan cao di daerah Yu-nan. Mula mula memang diusahakannya untuk menaklukkan dua buah kerajaan ini, namun selalu gagal. Bahkan berkali-kali bala tentara Sung terpukul mundur sehingga akhirnya kaisar tidak mendesak lagi. Hanya perang dan bentrokan kecil kecilan terjadi di perbatasan, namun tidak ada artinya. Bahkan akhirnya, Kerajaan Sung mengambil sikap dan politik lunak, mendekati dua kerajaan ini dan bahkan mengirim upeti-upeti sebagai tanda persahabatan!
Tidaklah amat mengherankan apa bila ditinjau keadaan dua kerajaan di sebelah utara dan sebelah selatan itu. Semenjak dipegang oleh Ratu Yalina, Kerajaan Khitan menjadi sebuah kerajaan yang amat kuat sehingga sukar dikalahkan, bahkan bangsa Khitan telah menaklukkan bangsa bangsa
nomad lain yang berkeliaran di daerah utara sehingga kerajaannya menjadi makin besar. Ada pun Kerajaan Nan-cao, sungguh pun hanya merupakan kerajaan kecil, namun yang berkuasa di situ adalah kaum Agama Beng-kauw yang mempunyai banyak orang pandai, setia dan berdisiplin.
Karena cerita ini banyak menyangkut keadaan Kerajaan Khitan, maka marilah kita menjenguk keadaan kerajaan di sebelah utara dan timur laut itu. Bangsa Khitan adalah bangsa nomad yang besar, terdiri dari orang-orang gagah perkasa dan ulet. Keadaan hidup mereka yang selalu berpindah-pindah untuk mencari tempat yang lebih baik dan untuk menyesuaikan diri dengan iklim yang buruk, kesukaran hidup berjuang dengan alam, membuat mereka menjadi bangsa yang ulet, tabah dan pantang mundur.
Semenjak bangsa Khitan dipimpin oleh Ratu Yalina, kerajaan ini mengalami kemajuan pesat. Di dalam cerita CINTA BERNODA DARAH , diceritakan betapa Ratu Yalina ini di waktu kecilnya diangkat sebagai anak oleh seorang jenderal besar bangsa Han, dan di waktu remaja menerima gemblengan ilmu silat dari orang-orang pandai. Bahkan sebelum menjadi ratu, secara kebetulan sekali ia telah menemukan sebuah pusaka peninggalan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan ketua Beng-kauw di Nan-cao, yaitu catatan ilmu yang dahsyat dan dirahasiakan. Setelah mewarisi ilmu yang disebut Cap-sha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Ilmu Silat Sakti) inilah maka ilmu kepandaian Ratu Yalina amat hebat dan sukar dicari tandingannya.
Di waktu masih remaja, Ratu Yalina ini pernah mengalami derita batin yang takkan dapat ia lupakan selama hidup. Antara dia dan Suling Emas, terjalin kasih asmara yang amat mendalam. Keadaanlah yang memaksa mereka berpisah, yang tidak memungkinkan perjodohan di antara mereka. Apa sebabnya? Bukan lain oleh karena kebetulan sekali bahwa Suling Emas adalah ‘kakak angkatnya’ sendiri, putera kandung ayah angkatnya, Jenderal Kam! Sebetulnya hal ini bukanlah menjadi halangan benar bagi Puteri Yalina yang ketika itu belum menjadi ratu. Akan tetapi Suling Emas yang berkeras tidak mau, bukan hanya karena masih saudara angkat, juga terutama sekali karena Yalina amat diperlukan oleh bangsanya untuk menjadi Ratu sehingga Suling Emas mengalah dan pergi!
Akan tetapi, sebelum mereka saling berpisah untuk puluhan tahun lamanya itu, Suling Emas telah memenuhi permohonan Ratu Yalina untuk tinggal di dalam istananya selama sebulan. Menjadi suami di luar nikah! Biar pun tidak berhasil menjadi suami isteri, namun mereka telah saling menumpahkan cinta kasih mereka yang mendalam, tak kuasa menahan rindu hati yang tak tercapai karena halangan keadaan lahir.
Betapa tersiksa dan menderita batin Ratu Yalina ketika kekasihnya sudah pergi, ia mendapat kenyataan bahwa ia mengandung! Peristiwa yang bagi setiap orang isteri merupakan kebahagiaan mutlak ini, bagi Ratu Yalina bahkan merupakan derita dan siksa batin! Betapa tidak? Ia seorang ratu! Seorang ratu dan bukan seorang isteri. Ia tidak bersuami. Ia secara resmi masih seorang gadis! Dan ia mengandung! Kalau saja Ratu Yalina tidak teringat akan kedudukannya, tidak ingat akan bangsanya yang dikasihinya, tentu ia sudah melarikan diri dari Khitan, melarikan diri untuk mencari Suling Emas, kekasih dan... suaminya, biar pun hanya suami tidak sah!
Ratu Yalina merasa tersiksa. Ia berduka dan juga malu. Bagaimana kalau nanti bangsanya mengetahui bahwa ratunya yang masih belum menikah itu mengandung? Hampir saja Ratu Yalina putus asa. Lebih baik mati membunuh diri dari pada menanggung aib yang hebat! Akan tetapi, untung baginya bahwa panglimanya, orang yang paling dipercayanya karena panglima ini diam-diam juga mencintainya tahu akan rahasianya.
Panglima ini Panglima Kayabu namanya, seorang Khitan yang gagah perkasa, tahu bahwa antara ratunya dan Suling Emas terjalin cinta kasih yang mendalam. Tahu pula bahwa demi bangsanya, ratunya rela berkorban perasaan, berpisah dari kekasihnya. Ia tahu pula bahwa Suling Emas ditahan dalam istana ratunya sampai sebulan sebelum mereka berdua saling berpisah. Kemudian ia tahu pula bahwa ratunya telah mengandung!
Secara rahasia, dijumpailah Ratu Yalina. Pada saat itulah terbukti kesetiaan Panglima Kayabu. Karena panglima ini telah dapat menduga kesemuanya, sambil menangis Ratu Yalina membuka rahasianya dan menyerahkan nasibnya ke tangan panglimanya yang juga menjadi sahabat satu satunya dalam menghadapi peristiwa hebat ini.
Kayabu menghiburnya dan memberi usul bahwa Sang Ratu seyogianya memelihara kandungannya dan secara rahasia kelak melahirkan anak. Sementara itu, dia sendiri secara serentak akan memillh seorang gadis Khitan dan mengawininya, kemudian kelak kalau Sang Ratu melahirkan anak, anak itu akan diakuinya sebagai anaknya sendiri! Tentu saja ia akan menyuruh isterinya itu bersikap seolah olah mengandung sehingga kelak tidak akan mencurigakan kalau ‘melahirkan’ anak.
Rahasia yang hebat! Akan tetapi, karena tidak ada jalan lain, demi untuk menjaga nama baiknya sebagai ratu, dan demi menjaga agar bangsanya tidak menjadi kacau, Ratu Yalina melakukan sandiwara ini sesuai dengan rencana Panglima Kayabu! Panglima ini, yang tentu saja luka dan patah hatinya, memaksa diri memilih dan mengawini seorang gadis Khitan yang cantik.
Semua berjalan sesuai dengan rencana, yaitu Ratu Yalina dapat menyembunyikan keadaannya yang mengandung dari mata rakyatnya. Di lain fihak, isteri Panglima Kayabu ‘pura-pura mengandung’. Akan tetapi, ketika tiba waktunya Sang Ratu melahirkan, di dalam kamar rahasia dan secara rahasia dihadiri oleh isteri Panglima Kayabu dan seorang dukun beranak, terjadilah hal yang sama sekali di luar dugaan mereka. Sang Ratu Yalina melahirkan sepasang anak kembar! Pertama seorang bayi laki-laki dan kedua seorang bayi perempuan!
Kalau saja kelahiran macam ini tidak terjadi di Khitan, tentu tidak akan mendatangkan kebingungan. Akan tetapi telah menjadi kepercayaan umum di Khitan bahwa kembar laki-laki dan perempuan merupakan pertanda bahwa kedua anak itu adalah titisan atau penjelmaan suami isteri, dan karenanya, kedua orang anak itu harus dipisahkan dan kelak harus dijodohkan sebagai suami isteri!
Ketika dukun beranak dan isteri Panglima Kayabu menyatakan hal ini, yang dimengerti pula oleh Ratu Yalina, ratu yang malang ini menangis sedih dan roboh pingsan. Isteri Panglima Kayabu menjadi sibuk dan cepat-cepat memberi laporan secara diam-diam kepada suaminya. Panglima Kayabu cepat memasuki kamar itu dan untung Ratu Yalina sudah siuman dan kini ratu itu menangis terisak-isak di atas pembaringan.
“Harap Paduka jangan gelisah.” panglima yang setia itu menghibur.
“Aduh... Kayabu... lebih baik mati saja aku kalau begini...!” Yalina menangis. “Kayabu, kau tolonglah aku... kau carilah dia, suruh datang ke sini, biar dia yang akan memutuskan keadaan ini...”
Panglima Kayabu mengerutkan keningnya. Ia maklum siapa yang dimaksudkan ratunya itu. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, kalau mencari dan memanggil Suling Emas, bukan merupakan hal yang baik. Kalau terpaksa rahasia ini dibuka, tentu akan timbul kegemparan di kalangan rakyat, tentu akan menimbulkan aib dan hal ini amat merugikan karena pada waktu itu Khitan dikepung musuh dari selatan dan dari barat.
“Harap Paduka tenang saja. Biarlah hamba mengakui anak laki-laki ini sebagai putera hamba, sedangkan anak perempuan ini, secara diam-diam kita singkirkan agar dipelihara orang lain dan kelak kalau mereka berdua sudah besar, mudah saja hamba menariknya sebagai mantu.”
Ucapan ini mengiris jantung Yalina. Dengan sepasang mata penuh air mata dan dengan muka pucat ia mengulurkan kedua tangan ke depan dan berkata kepada dukun beranak yang sedang mengurus dua orang anak yang menangis nyaring seperti berlomba itu.
“Ke sinikan anak-anakku... biarlah aku melihat mereka... biarkan aku mencium dan memeluk mereka... ahhh...!” Ia menangis tersedu sedu.
Isteri Panglima Kayabu ikut menangis, demikian pula dukun beranak, wanita tua itu yang merasa terharu sekali. Kayabu sendiri, seorang panglima gagah perkasa yang pantang mengeluarkan air mata, merasa betapa sepasang matanya panas dan jantungnya serasa diremas. Wanita yang pernah menjatuhkan hatinya itu kini demikian sengsara, sama sekali tidak seperti seorang ratu yang berwibawa, sama sekali bukan seperti seorang wanita yang ia tahu amat perkasa dan sakti, melainkan seperti seorang wanita yang lemah, seorang wanita yang ditinggalkan kekasih, seorang ibu yang rindu akan anak-anaknya!
“Anakku... anakku...! Bagaimana aku dapat berpisah dari mereka ini...“ Ratu Yalina mencium kedua anaknya. Hampir ia pingsan saking sedihnya ketika melihat bahwa anaknya yang laki-laki memiliki mata dan hidung kekasihnya!
“Anak-anakku... di mana Ayahmu...? Anak-anakku... bagaimana kalian tega meninggalkan Ibumu...?” Ratu Yalina mencium lagi, kemudian menjerit lirih dan roboh pingsan sambil memeluk kedua anaknya yang mulai menangis lagi.
“Cepat...cepat, bawa pulang anak laki-laki itu!” kata Panglima Kayabu kepada isterinya. Untung bahwa peristiwa kelahiran itu terjadinya pada waktu tengah malam sehingga tidak sampai diketahui orang lain. “Dan kau, Bibi, dapatkah engkau membantu? Aku harus dapat menyerahkan anak perempuan ini kepada seorang yang boleh dipercaya!”
“Hamba... hamba sanggup membantu... hamba... mempunyai keponakan. Biarlah puteri ini dipeliharanya, hamba tanggung takkan bocor rahasia ini...,“ kata si Dukun Beranak sambil terisak menangis.
“Tentu saja jangan sampai bocor. Kalau bocor, engkau sekeluargamu akan dijatuhi hukuman mati!” kata Kayabu yang diam diam merasa girang bahwa anak perempuan itu ada yang megurusnya. Tentu saja tidak sukar baginya memerintahkan siapa saja memelihara anak itu, akan tetapi justru sukarnya, jangan sampai ada yang tahu akan rahasia besar ini.
Lewat tengah malam, kamar Ratu Yalina menjadi sunyi kembali. Kedua orang anak yang baru lahir itu sudah dibawa pergi dari kamar. Yang laki-laki dibawa oleh isteri Panglima Kayabu, sedangkan yang perempuan dibawa pergi oleh dukun beranak yang keluar dari istana melalui pintu rahasia di sebelah belakang, lalu nenek tua itu menghilang di dalam gelap.
Akan tetapi pada keesokan harinya, pagi pagi sekali para penjaga istana menjadi gempar ketika menemukan nenek dukun beranak itu menggeletak tak bernyawa lagi di sebelah belakang istana!
Tentu saja Panglima Kayabu yang mendengar laporan ini merasa seakan akan dicabut jantungnya saking kaget dan heran. Cepat ia sendiri mendatangi tempat pembunuhan itu sehingga para pengawal menjadi heran mengapa panglima besar mereka begitu menaruh perhatian atas kematian seorang nenek dukun beranak.
“Pembunuhan terjadi di dekat istana, hal ini amat gawat demi keselamatan Ratu,” kata panglima yang cerdik ini.
Lebih-lebih kaget dan herannya ketika memeriksa keadaan mayat dukun beranak itu. Panglima Kayabu mendapat kenyataan bahwa tubuh itu tidak terluka sama sekali, akan tetapi tanda-tanda biru di pelipis menyatakan bahwa nenek ini menderita luka hebat di dalam kepala akibat pukulan yang dahsyat yang mengandung hawa sakti. Pukulan seorang ahli yang memiliki kepandaian tinggi. Tentang anak perempuan yang baru dilahirkan semalam, tidak ada tanda-tanda dan bekas-bekasnya sama sekali.....
Beberapa ekor kuda dibalapkan lewat, juga serombongan kereta lewat dengan cepatnya melalui jalan kecil, sejenak memecahkan kesunyian dengan suara roda kereta, derap kaki kuda dan cambuk, diselingi suara pengendara yang menyumpahi jalan buruk dan hawa dingin.
Akan tetapi pada pagi hari itu, seekor kuda kurus berjalan perlahan melalui jalan kecil itu. Kuda yang kurus dan buruk, berjalan seenaknya seakan-akan menikmati air hujan yang berjatuhan jarang di atas kepalanya. Warna kulit kuda ini agaknya dahulunya merah, kini penuh debu basah sehingga warnanya menjadi coklat dan kotor. Penunggangnya sama dengan kudanya dalam menghadapi gangguan hujan. Tidak merasa terganggu sama sekali. Duduk di atas punggung kuda sambil meniup suling! Aneh, mana ada orang lain berhujan-hujan meniup suling?
Laki-laki itu tinggi tegap, usianya tentu mendekati lima puluh tahun. Raut wajahnya tampan dan gagah, pandang matanya sayu namun bersinar tajam. Kepalanya terlindung sebuah topi lebar terbuat dari anyaman rumput dan sudah butut, robek-robek pinggirnya. Pakaiannya longgar dan amat bersih, akan tetapi sudah terhias tambalan di beberapa tempat.
Biar pun keadaan orang dan kudanya membayangkan kemelaratan dan sama sekali tidak menarik, namun suara sulingnya luar biasa sekali. Sayang bahwa tiupan suling seindah itu tidak pernah terdengar orang karena setiap kali bertemu orang, laki-laki di atas kuda kurus ini selalu menghentikan tiupan sulingnya. Agaknya ia tidak suka kalau tiupan sulingnya didengar orang.
Setelah keluar dari sebuah hutan kecil yang gelap, laki-laki itu menghentikan kudanya. Sepasang mata yang terlindung topi lebar itu memandang ke kanan kiri. Hutan terganti kebun dan sawah. Beberapa orang petani sibuk bekerja di ladang, agak jauh dari jalan kecil itu. Laki-laki itu tampak tertarik dan sejenak wajah yang tampan itu berseri. Kemudian ia menarik perlahan kendali kudanya. Binatang kurus itu berjalan lagi seenaknya. Hujan gerimis sudah mereda, tinggal kecil dan jarang, sebentar lagi juga berhenti. Di timur sinar matahari mulai menerobos awan tipis mengusir dingin. Laki-laki itu sejenak memandang ke arah matahari yang belum menyilaukan mata, lalu mulutnya bernyanyi!
Syarat memimpin negara dan dunia
adalah sembilan kebenaran
memperbaiki diri sendiri
menghargai orang bijak dan pandai
mencinta sanak keluarga
menghormat pembesar tinggi
mengasihi pembesar rendah
mencinta rakyat seperti anak
mengundang ahli-ahli bangunan
menghibur pengunjung dari jauh
mengikat persahabatan dengan negara lain!
Sambil bernyanyi laki-laki itu melakukan gerakan gerakan aneh dengan sulingnya. Setiap kata-kata ia barengi dengan gerakan suling yang kalau diperhatikan merupakan gerakan menulis kata-kata, menulis di udara dan sungguh aneh, setiap gerakan menulis ini mengakibatkan suara angin melengking yang berbeda beda!
Andai kata pada waktu itu terdapat seorang ahli silat tinggi yang menyaksikan gerakan-gerakan ini, tentu dia akan terheran-heran dan merasa kagum karena selain melihat gerakan luar biasa, juga akan merasa betapa dari gerakan ini keluar hawa pukulan mujijat! Akan tetapi kalau gerakan gerakan sambil bernyanyi itu terlihat oleh orang biasa, tentu ia akan mengira bahwa laki-laki berkuda itu seorang yang miring otaknya.
Melihat keadaannya yang melarat, tak seorang pun akan mengira bahwa laki-laki ini sesungguhnya adalah seorang pendekar besar, seorang pendekar sakti yang pada belasan tahun yang lalu amat terkenal dan sukar dicari tandingnya. Jarang ada orang yang mengetahui namanya, dan para tokoh dunia persilatan hanya mengenalnya sebagai Suling Emas.
Telah belasan tahun dunia persilatan kehilangan tokoh ini dan tidak seorang pun tahu ke mana perginya. Dahulu orang mengenal Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas) sebagai seorang laki-laki yang tinggi tegap dan tampan gagah, pakaiannya terbuat dari pada sutera halus berwarna hitam, dengan sulaman benang emas menggambarkan bulan dan sebatang suling di bagian dadanya. Dahulu, belasan tahun yang lalu, sepak terjangnya amat mengagumkan kawan mau pun lawan. Mulia seperti malaikat bagi yang tertolong, hebat mengerikan seperti iblis bagi penjahat yang dibasminya. Itulah dia Suling Emas!
Akan tetapi laki-laki setengah tua yang menunggang kuda kurus itu, yang pakaiannya membuat ia lebih patut disebut jembel, sama sekali tidak memperlihatkan bekas bahwa dialah sesungguhnya Suling Emas. Jauh bedanya bagaikan bumi dengan langit. Suling yang tadi ditiupnya kini berselubung tembaga di luarnya, merupakan suling biasa. Hanya seorang ahli kalau melihat gerakan gerakannya sambil bernyanyi tadi, akan mendapat kenyataan bahwa selama belasan tahun bersembunyi ini, kepandaian Suling Emas tidaklah mundur, bahkan makin hebat.
Gerakan gerakannya tadi sama sekali bukan gerakan seorang gila hendak menari, melainkan gerakan Ilmu Silat Hong in bun hoat, yaitu Ilmu Silat Sastra Awan dan Angin yang berdasarkan gerakan penulisan huruf-huruf dari kitab Tiong-yong! Nyanyiannya tadi adalah ayat-ayat dari kitab Tiong-yong. Jangan dikira bahwa gerakan-gerakan itu hanyalah gerakan sembarangan, karena setiap huruf yang ditulis, merupakan gerakan lihai sekali, baik dalam bentuk serangan mau pun dalam bentuk tangkisan.
Kuda kurus itu berjalan terus. Sinar matahari pagi kini mencipta suasana cerah dan indah. Burung-burung berkicau menambah keindahan suasana. Lalu-lintas mulai ramai setelah kini hujan berhenti dan tembok kota Tai-goan sudah tampak dari jauh. Suling Emas tidak bernyanyi lagi, tidak pula meniup sulingnya, bahkan sulingnya kini tersembunyi di balik bajunya yang penuh tambalan.
Ia menunduk, tidak memperhatikan orang-orang yang lewat dan bersimpang jalan dengannya. Sudah terlalu lama ia mengasingkan diri, perhatiannya terhadap manusia dan dunia menipis. Kadang-kadang ketenangannya terganggu oleh batuk. Apa bila serangkaian batuk menyerangnya, mulutnya membayangkan rasa nyeri yang ditahan tahan. Dan rangkaian batuk yang menyesakkan dada ini membuat ia kecewa.
Suling Emas kecewa akan dirinya sendiri. Percuma saja belasan tahun ia menyembunyikan diri. Ia dapat bersembunyi dari dunia ramai, namun ia tidak dapat bersembunyi dari pikiran dan hatinya sendiri! Kemana pun juga ia pergi, ke puncak puncak gunung yang sunyi, ke dalam goa-goa yang sepi di mana tidak nampak bayangan manusia lain, pikiran dan perasaan hatinya selalu mengejarnya. Bayangan wajah wanita-wanita yang pernah merampas hatinya selalu menggodanya. Ia mempergunakan kekuatan dan kekerasan hati, menekan semua itu, namun hasilnya merusak jantungnya sendiri. Suling Emas selama belasan tahun hidup bersengsara, hidup nelangsa, hidup menyiksa batin sendiri, korban asmara!
Ketika kudanya berjalan perlahan, bermacam kenangan memenuhi kepalanya, kenangan yang timbul dari serangkaian batuk yang menyerangnya tadi. Karena serangan batuk ini mengingatkannya kembali akan keadaan dirinya. Teringatlah ia akan nasib ayah bundanya, nasib gurunya. Mereka itu orang-orang tua yang tidak sempat ia balas dengan kebaktian itu, yang telah lama meninggalkannya seorang diri di dunia ini, juga mengalami nasib buruk dalam cinta kasih.
Ayah bundanya gagal dalam cinta kasih sehingga bercerai sampai mati. Kemudian gurunya yang tercinta, gurunya yang menjadi pula pengganti ayah bundanya, mengalami kegagalan asmara yang lebih pahit pula. Kasihan gurunya Kim-mo Taisu, pendekar sakti yang patah hati!
Suling Emas kembali menarik napas panjang, tangan kirinya membenamkan topinya makin dalam. Matahari di sebelah kanannya mulai menyilaukan mata dan topinya amat baik untuk melindungi matanya dari sinar matahari. Ia termenung kembali, tampaknya
melenggut ngantuk di atas punggung kudanya. Betapa pun sengsara orang tua dan gurunya menjadi korban asmara gagal, jika dibandingkan dengan apa yang ia alami, mereka itu masih mendingan!
Terbayang wajah wanita yang menjadi cinta pertamanya, gadis yang terjungkal ke dalam jurang dan tewas pada saat mereka berdua sedang bertunangan! Kemudian wajah cintanya yang kedua, yang kini menjadi nyonya pangeran, hidup mewah dan mulia bersama suami dan anak-anaknya! Akhirnya terbayang pula wajah cintanya yang ketiga, atau yang terakhir, wajah Kam Lin Lin, atau lebih tepat sekarang disebut Ratu Yalina, ratu suku bangsa Khitan di utara!
“Ahh, bodoh!” Suling Emas menyendal kendali kudanya, merasa gemas kepada dirinya sendiri yang ia anggap amat lemah. “Engkau sudah tua bangka berpikir yang bukan bukan!” Di dalam hatinya ia menyumpahi diri sendiri. Lamunan-lamunan, kenangan-kenangan, dan pikiran macam itulah yang selalu mengejar dan menggodanya, kemana pun juga ia pergi, sehingga akhirnya timbul batuk yang menggerogoti dadanya.
Kalau sudah terganggu oleh kenang-kenangan seperti itu hatinya serasa diremas, terasa sakit dan perih, semangatnya melemah dan seluruh tubuhnya lelah, membuat ia malas dan satu-satunya keinginan hanya tidur, kalau mungkin tidur selamanya tanpa sadar lagi! Sebuah kuil tua di pinggir jalan, di luar kota Tai-goan menarik hatinya karena ia melihat tempat mengaso yang enak dalam kuil tua itu, di mana ia dapat mengaso dan tidur memenuhi keinginan hatinya.
Dibelokkannya kuda kurus itu ke kiri memasuki pekarangan kuil tua yang penuh rumput. Seperti juga kuilnya sendiri yang sudah kosong dan tidak terpelihara, pekarangan itu pun kotor penuh rumput. Akan tetapi hal ini menguntungkan bagi kuda kurus yang terus saja melahap rumput hijau di depan kuil. Kuda itu dilepas begitu saja oleh Suling Emas yang memasuki kuil dengan mata setengah tidur! Tanpa menoleh ke kanan kiri, tanpa mempedulikan beberapa orang pengemis yang duduk di sudut ruangan depan, ia terus melangkah ke dalam, mengebut-ngebutkan ujung baju dan membersihkan lantai di sudut yang kosong, lalu duduk bersandar dinding, terus melenggut tidur! Hanya dengan istirahat beginilah batuk yang menyerangnya menjadi berkurang.
Mengapa pendekar sakti seperti Suling Emas sampai menjadi begini? Padahal kalau ia menghendaki kedudukan, Kerajaan Sung akan membuka kesempatan sebesarnya kepada Suling Emas, tokoh yang sudah banyak dikenal. Bahkan Kaisar sendiri memberi penghargaan kepada Suling Emas, memberi izin istimewa kepada Suling Emas untuk memasuki istana setiap saat sesuka hatinya! Selain ini, juga para pimpinan Beng-kauw yang menjadi orang-orang paling berpengaruh di samping Kaisar Nan cao, juga akan menerimanya dengan tangan terbuka. Betapa tidak? Suling Emas adalah cucu keponakan dari ketua Beng kauw! Mengapa ia menolak semua kemuliaan ini dan memilih penghidupan miskin, terlantar, patah hati dan terserang penyakit?
Para pembaca cerita 'SULING EMAS' dan cerita 'CINTA BERNODA DARAH' tentu masih ingat betapa parah cinta kasih yang gagal merobek hati Suling Emas.
Cintanya yang terakhir lebih-lebih lagi menghancurkan hatinya. Ikatan cinta kasih antara dia dan Ratu Yalina amatlah erat. Masing-masing telah saling mencinta, bahkan Ratu Yalina tadinya rela mengorbankan kedudukannya untuk menjadi isterinya. Namun Suling Emas terpaksa menolaknya. Menolak karena pertama, Suling Emas sebagai seorang tokoh besar di dunia kang ouw tentu saja dimusuhi banyak orang, apa lagi karena mendiang ibunya sewaktu hidupnya telah mengakibatkan banyak permusuhan dengan orang-orang dunia persilatan. Ia tidak mau menyeret Yalina dalam hidup penuh bahaya dan permusuhan. Kedua, Yalina adalah puteri angkat ayahnya, jadi masih adik angkatnya sendiri, sehingga kalau mereka berdua berjodoh, tentu akan menjadi bahan ejekan dan cemoohan, mencemarkan nama baik keluarganya. Ketiga, suku bangsa Khitan amat membutuhkan bimbingan Ratu Yalina untuk memperkuat kembali suku bangsa itu. Inilah sebabnya mengapa ia rela berpisah dari kekasihnya itu, rela hidup merana dan menderita tekanan batin.
Hampir dua puluh tahun ia menyembunyikan diri semenjak berpisah dari Ratu Yalina. Musuh-musuh ibunya akhirnya merasa bosan mencari-carinya untuk dimintai pertanggungan jawab akan sepak terjang ibunya puluhan tahun yang lalu. Akhirnya ia, Suling Emas, dilupakan orang! Benarkah itu? Benarkah Suling Emas dilupakan orang?
Mudah mudahan demikian, pikir Suling Emas sambil melenggut. Mudah mudahan dunia sudah lupa kepada Suling Emas! Lebih dilupakan lebih baik! Siapa yang akan mengenal Suling Emas yang sekarang telah menjadi seorang jembel setengah tua? Gurunya dahulu pernah hidup sebagai seorang jembel. Malah jembel yang gila! Berpikir sampai di sini, senyum pahit menghias mulutnya dan ia membuka sedikit matanya.
Kebetulan sekali ia melihat dua orang pengemis tua yang tadi duduk melenggut di sudut luar, kini keduanya saling berbisik dan menoleh kepadanya. Kemudian, aneh sekali, dua orang pengemis tua itu menghampirinya dan keduanya membuat gerakan aneh, yaitu tangan kiri menekan dada kiri arah tempat jantung, dan tangan kanan diangkat ke atas membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari tengah.
Apa artinya itu? Mengapa mereka memberi salam seaneh itu? Suling Emas tidak mengenal siapa mereka, juga yakin bahwa tidak mungkin mereka mengenalnya. Akan tetapi mereka itu sudah menyalamnya, biarpun salam yang lucu dan aneh. Agaknya mereka itu memberi salam karena mengira dia pun seorang pengemis, jadi segolongan. Dan agaknya para pengemis di daerah ini sudah lajim menyalam seorang ‘rekan’ secara itu. Untuk menjaga jangan sampai dua orang itu tersinggung Suling Emas lalu meniru gerakan mereka, membalas salam itu dengan gerakan yang sama, lalu ia meramkan mata dan melenggut pula, tidak memperhatikan lagi dua orang itu yang wajahnya sejenak berubah girang sekali ketika melihat balasan salamnya.
Agaknya seorang di antara dua pengemis tua itu hendak bicara dan Suling Emas diam-diam merasa geli hatinya, akan tetapi mendadak mereka berdua itu sudah meloncat dan di lain saat sudah mendengkur lagi sambil duduk bersandar tembok. Gerakan mereka begitu cepat sehingga diam-diam Suling Emas tercengang, maklum bahwa dua orang pengemis itu bukanlah pengemis sembarangan, melainkan pengemis kang-ouw yang berilmu tinggi! Selagi ia terheran mengapa mereka tidak jadi bicara dan bersikap seaneh itu, tiba-tiba di luar terdengar suara langkah kaki orang disusul suara dalam bahasa Khitan yang dimengerti pula oleh Suling Emas.
“Tidak salah lagi. Dia tentu berada di dalam kuil ini. Lihat itu kudanya, aku mengenal kuda kurus ini!” Demikian suara itu dan diam-diam Suling Emas terkejut.
Ia teringat bahwa kemarin ia melihat tiga orang laki laki bangsa Khitan yang berpakaian seperti perwira, menunggang kuda dengan membalap. Ketika bersimpang jalan mereka memandang penuh perhatian kepadanya. Melihat perwira-perwira Khitan ini, Suling Emas teringat kepada kekasihnya, Ratu Yalina. Akan tetapi karena pada masa itu Kerajaan Sung bersahabat dengan Kerajaan Khitan dan adanya orang-orang Khitan di wilayah Kerajaan Sung bukanlah hal aneh lagi, maka Suling Emas tidak menaruh perhatian lagi. Siapa kira tiga orang itu agaknya menyusul dan mencarinya sampai di sini!
Sedikit pun Suling Emas tak dapat menduga mengapa ada perwira-perwira Khitan mencarinya dan mulai timbul dugaan bahwa tentu mereka itu salah lihat, mengira dia orang lain, maka ia tetap saja duduk dengan sikap tenang. Tiga orang Khitan itu segera muncul di ruangan dalam kuil itu. Seorang di antara mereka yang menjadi pemimpin bertubuh gemuk dengan kumis melintang tebal. Si Kumis Tebal inilah yang sekarang berdiri dan menjura kepadanya, memandang tajam, penuh selidik ke arah wajah di bawah topi sambil berkata,
“Taihiap (Pendekar Besar), kami menjalankan perintah Ratu kami yang minta dengan hormat agar Taihiap suka pergi berkunjung sekarang juga bersama kami ke Khitan.”
Jantung Suling Emas berdebar keras. Baru sekali ini setelah belasan tahun ia mengalami ketegangan batin. Ratu Khitan Yalina mengundangnya? Apa yang dikehendaki oleh Lin Lin? Mengapa ingin bertemu? Pertemuan yang tentu hanya akan membuat luka di hatinya menjadi makin parah saja. Di saat itu juga, ia sudah mengambil keputusan untuk menolak undangan ini. Akan tetapi ia tidak ingin pula lain orang mengetahui bahwa dia Suling Emas. Bagaimana perwira Khitan ini dapat mengenalnya?
“Apa... apa yang kau maksudkan? Aku tidak mengerti omonganmu!” Ia menjawab lirih, pura-pura tidak mengerti kata-kata tadi yang diucapkan dalam bahasa Khitan.
Si Kumis Tebal itu saling lirik dengan dua orang temannya, pada wajahnya terbayang keheranan dan keraguan. Ia segera berkata dalam bahasa Han. “Kami diutus junjungan kami untuk mengundang Taihiap berkunjung ke Khitan sekarang juga bersama kami.”
Tentu saja Suling Emas maklum bahwa Lin Lin atau Sang Ratu Yalina yang mengundangnya, akan tetapi ia pura-pura tidak tahu. Diam diam ia kagum dan heran sekali akan kecerdikan orang orang Khitan sehingga berhasil mengenal dan mendapatkannya. “Ah, apa artinya ini? Aku sama sekali bukan Taihiap, dan aku tidak mengenal siapa itu junjunganmu di Khitan.”
Kembali wajah gemuk itu dibayangi keraguan. “Harap Taihiap jangan berpura-pura lagi. Junjungan kami adalah Sang Ratu yang mulia di Khitan. Menurut petunjuk yang saya terima, tidak salah lagi Taihiap orangnya. Kuda kurus itu... dan bentuk tubuh Taihiap. Perintah junjungan kami merupakan perintah besar yang harus dilaksanakan sampai berhasil, dan kami sudah bertahun-tahun dalam usaha mencari Taihiap!”
Diam-diam Suling Emas merasa terharu. Kembali terbayang wajah Lin Lin, terbayang semua peristiwa yang lalu. Lin Lin adalah puteri angkat ayahnya yang ternyata kemudian sebagai Puteri Mahkota Khitan. Mereka saling mencinta, namun tak mungkin menjadi suami isteri. Ia telah memenuhi hasrat hatinya, memenuhi permohonan Lin Lin, sebelum berpisah sampai kini dari wanita yang tercinta itu.
Ia telah secara diam diam dan rahasia berkunjung di istana Sang Ratu Yalina, berdiam sampai satu bulan di dalam kamar Sang Ratu, hidup sebagai suami isteri penuh cinta kasih, penuh kemesraan selama sebulan, suami isteri di luar pernikahan yang tak mungkin dilakukan! Mereka berdua runtuh oleh gelora cinta dan nafsu. Namun hal itu tak dapat dipertahankan terus.
Demi menjaga nama baik Yalina sebagai Ratu, dan demi untuk menjaga nama baik keluarga, terpaksa Suling Emas harus meninggalkan Khitan, meninggalkan dengan keputusan hati takkan kembali lagi, takkan bertemu lagi dengan wanita yang dikasihinya, hanya dengan hiburan bahwa wanita yang dicintanya itu juga mencintanya sepenuh jiwa raga. Mereka bersumpah takkan menikah dengan orang lain.
Belasan tahun hal itu terjadi dan telah lalu. Hampir dua puluh tahun. Dan sekarang tiba tiba Sang Ratu Yalina mengutus perwira-perwiranya untuk mencarinya sampai dapat, untuk mengundangnya ke Khitan. Apa perlunya? Bukankah kesemuanya itu sudah musnah habis?
“Aku yakin bahwa kalian tentu salah kira dan menganggap aku orang lain. Kalian mengira aku ini siapakah?” Suling Emas masih berusaha mempertebal keraguan orang.
“Siapa lagi Taihiap ini kalau bukan Kim-siauw-eng?”
“Aiiihhh...!“ teriakan tertahan ini terdengar dari sudut ruangan di mana dua orang kakek pengemis tadi duduk bersandar.
Berdebar keras jantung Suling Emas. Celaka, orang orang Khitan ini benar-benar bermata tajam.
“Ah, apa-apaan ini?” teriaknya. “Kalian benar-benar salah melihat orang! Aku bukan Taihiap, bukan pula Kim-siauw-eng, kalian lekas pergi saja jangan menggangguku.”
“Taihiap, salah atau tidak, kami harus melakukan kewajiban kami! Petunjuk yang baru kami terima kemarin dari atasan kami tak salah lagi. Berpakaian sebagai pengemis, bertopi lebar butut, menunggang kuda kurus. Tidak salah lagi, harap Taihiap tidak membikin repot kami dan suka kami antar ke Khitan sekarang juga.”
“Hemmm... kalau aku tidak mau?”
“Kami mendapat perintah untuk mengawal Taihiap ke Khitan, mau atau tidak. Karena kami sudah mendapat wewenang, kalau perlu kami akan memaksa Taihiap.” Sambil berkata demikian, si Kumis Tebal itu mengepal tinju dan melangkah dekat. Akan tetapi jelas bahwa ia gelisah sehingga dahinya penuh keringat.
“Waahh..., jangan menghina kaum jembel...!” Kiranya dua orang pengemis tua itu sudah berdiri menghadang di depan tiga orang perwira Khitan dengan sikap melindungi Suling Emas. Di tangan kanan mereka tampak tongkat pengemis.
Perwira Khitan yang gemuk itu memandang dengan mata melotot, lalu membentak, “Jembel-jembel tua bangka, kalian mau apa mencampuri urusan kami?”
Kakek pengemis yang punggungnya bongkok tersenyum lebar, lalu berkata, “Melihat sekaum dihina orang, bagaimana kami dapat tinggal diam? Apa lagi kalau yang kalian hina adalah saudara tua kami yang terhormat.” Kemudian kakek bongkok itu menoleh ke arah Suling Emas lalu menjura. “Tianglo yang mulia silakan beristirahat yang enak, biarlah kami berdua mewakili Tianglo memberi hajaran kepada anjing-anjing Khitan ini!”
Setelah berkata demikian, kembali ia menghadapi para perwita Khitan dan berkata mengejek, “Saudara tua kami tidak suka menerima undangan Ratu Khitan, mengapa memaksa? Sungguh Ratu kalian tak tahu malu!”
“Keparat, berani menghina...?” Perwira gemuk itu segera menghantam ke arah dada pengemis bongkok. Hantaman yang amat kuat sehingga mengeluarkan hawa pukulan yang menyambar keras. Si Pengemis Bongkok maklum akan kekuatan lawan, maka ia cepat mengelak. Dua orang perwira lain yang memegang toya juga segera menyerbu dan terjadilah perkelahian seru di dalam kuil tua ini.
Ketika menyaksikan sikap kedua orang pengemis tua itu terhadapnya, Suling Emas menjadi makin terheran-heran. Kalau para perwira Khitan itu dengan tepat dapat mengenal atau setidaknya menyangkanya Suling Emas, adalah para pengemis ini mengira dia orang lain dan menyebutnya Tianglo! Tentu dia dianggap seorang tokoh pengemis yang mereka hormati. Tidak beres kalau begini, pikirnya. Namun, masih mending dianggap seorang tokoh pengemis dari pada dikenal sebagai Suling Emas!
Ia merasa kesal melihat dirinya dijadikan sebab perkelahian. Maka melihat lima orang itu bertanding seru, ia lalu menggunakan kepandaiannya, sekali berkelebat ia sudah lenyap dari tempat itu, meloncat ke luar kuil dan di lain saat ia sudah menunggang kudanya yang kurus. Akan tetapi sekali ini, kuda kurus itu memperlihatkan keasliannya ketika Suling Emas menarik kendali dan menendang perutnya, karena kuda kurus itu berlari amat cepatnya dan melihat gerakan kakinya jelas bahwa kuda kurus itu adalah seekor kuda pilihan!
Biar pun para perwira Khitan itu tiga orang mengeroyok dua orang pengemis tua yang tubuhnya kurus kering malah seorang di antaranya bongkok, namun mereka itu segera mendapat kenyataan bahwa dua orang jembel tua itu benar-benar amat lihai! Untung bagi orang-orang Khitan itu bahwa dua orang jembel tua itu agaknya memang hanya ingin mempermainkan mereka.
Seperti telah disebutkan tadi, pada masa itu diantara Kerajaan Sung dan Kerajaan Khitan terdapat persahabatan. Orang-orang Khitan tentu saja masih dianggap bangsa yang ‘liar’. Akan tetapi karena orang-orang Khitan itu selalu membuktikan disiplin yang baik dan tidak pernah melakukan kejahatan di wilayah Sung, maka rakyat pun tidak membenci mereka. Hal ini terjadi setelah suku bangsa Khitan dipimpin oleh Ratu Yalina yang mengeluarkan peraturan peraturan keras untuk rakyatnya. Karena inilah agaknya dua orang pengemis yang terang bukan orang-orang sembarangan itu juga enggan untuk mencelakai tiga orang perwira Khitan itu, melainkan hanya ingin mencegah mereka memaksa pengemis aneh yang mereka sangka seorang ‘saudara tua’ tadi.
“Eh, ke mana perginya Tianglo...?” tiba tiba Si Bongkok berseru kaget dan keduanya segera menghentikan pertempuran, bahkan tanpa berkata sesuatu dua orang pengemis itu sudah meloncat ke luar dan sebentar saja lenyap dari situ.
Perwira gemuk itu mengejar bersama dua orang temannya, namun setiba mereka di luar kuil, keadaan sepi saja. Tak nampak seorang pun manusia. Juga kuda kurus tidak berada pula di depan kuil. Perwira gemuk berkumis tebal itu mengerutkan keningnya, meraba-raba dagu lalu berkata,
“Sungguh meragukan apakah benar dia tadi Suling Emas. Terang dia menolak, dan dua orang jembel tua bangka tadi sungguh menjemukan, membikin sukar pelaksanaan tugas kita yang tidak mudah. Kalian lekas beri laporan kepada pusat markas penyelidik di Tai-goan, katakan betapa lihainya dua orang pengemis tua bangka tadi. Kalau dia tadi betul Suling Emas dan sampai lolos, tentu kita semua akan menerima hukuman berat! Lekas berangkat, aku akan mencoba mengikuti jejaknya...“
Dua orang perwira bawahan itu cepat pergi menunggang kuda mereka menuju ke Tai-goan, sedangkan si Perwira Gemuk juga membalapkan kuda melakukan pengejaran ke arah timur setelah meneliti jejak kaki kuda yang ditunggangi Suling Emas. Betapa heran hatinya ketika melihat jejak kaki kuda itu tak pernah berhenti biar pun ia mengikutinya sampai matahari condong ke barat. Mungkinkah kuda kurus kering mau mati itu dapat melakukan perjalanan sebegitu jauhnya dan melihat jejaknya selalu berlari cepat?
Diam-diam si Perwira Gemuk mengeluh dan mengomel. Sudah lebih dari lima tahun ia ditugaskan mencari seorang yang bernama Suling Emas! Membawa pasukan, bahkan kemudian akhir-akhir ini pencaharian dan penyelidikan diperhebat dengan datangnya para pengawal jagoan dari Khitan yang berpusat di Tai-goan. Namun selama ini, penyelidikannya selalu sia-sia belaka. Suling Emas yang dimaksudkan ratunya itu seakan-akan lenyap ditelan bumi, atau memang orang itu tidak pernah ada!
Kemarin dia menerima berita dari seorang di antara penyelidik yang disebar di mana-mana, bahwa ada seorang penunggang kuda kurus yang perawakannya sama dengan orang yang selama ini dicari-cari. Dengan penuh semangat dia bersama dua orang pembantunya melakukan penyelidikan dan akhirnya bertemu dengan Suling Emas di dalam kuil itu. Aneh sekali caranya orang itu melenyapkan diri, pikir si Perwira Gemuk sambil mengepal tinju. Mengapa tidak seorang pun di antara mereka ada yang tahu?
Padahal dua orang pengemis tua itu jelas memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Namun mereka pun tidak melihat perginya orang yang disangka Suling Emas itu. Hal ini hanya berarti bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian hebat. Cocok dengan gambaran tentang diri Suling Emas yang oleh para pengawal istana disohorkan memiliki kepandaian seperti dewa! Sekali ini harus berhasil, pikirnya. Harus berakhir pengejaran dan penyelidikan yang bertahun-tahun ini!
Suling Emas membalapkan kudanya dan baru ia membiarkan kudanya mengaso dan berjalan perlahan setelah lewat tengah hari. Ia tidak jadi pergi ke Tai-goan. Ia harus melarikan diri, tak peduli ke mana, asal jangan sampai bertemu dengan orang-orang Khitan itu. Kembali jatuh hujan rintik-rintik, akan tetapi ia tidak peduli.
Mengapa Lin Lin berusaha keras untuk mengundangnya ke Khitan? Apakah selama ini Lin Lin juga hidup menderita batin seperti dia? Kasihan Lin Lin! Ia tahu betapa mendalam cinta kasih Lin Lin kepadanya dan betapa perpisahan itu akan membuat Lin Lin hidup sebagai Ratu Yalina, terkurung dalam istana, yang keras dan sunyi!
“Oughhh...!” Kembali serangkaian batuk menyerang Suling Emas.
Selalu ia terserang batuk kalau pikirannya mengenang masa lalu yang menimbulkan duka. Agaknya serangan batuk kali ini hebat sehingga ia terbatuk-batuk dan tubuhnya berguncang-guncang di atas kuda, wajahnya menjadi pucat, napasnya terengah-engah. Sudah lama ia terserang penyakit, bertahun-tahun sudah, akan tetapi ia tidak pernah mempedulikannya, tidak mau mencari obat. Biarlah demikian, pikirnya setiap kali timbul keinginan mengobati penyakitnya, kalau penyakit ini mengakibatkan kematian alangkah baiknya. Bebas dari pada duka nestapa dan derita batin!
Betapa besar kekuasaan asmara! Kuasa menciptakan sorga mau pun neraka dalam penghidupan manusia! Suling Emas yang dahulu terkenal gagah perkasa, tahu akan segala filsafat hidup, menguasai berbagai ilmu yang tinggi dan pelik-pelik, namun sekali tercengkeram asmara, menjadi lemah seperti seorang yang bodoh dan tidak mengerti apa-apa. Menjadi begitu lemah sehingga tidak mampu menguasai dirinya sendiri!
Betapa ingin hatinya bertemu kembali dengan Ratu Yalina! Betapa ingin hatinya dapat memandang wajah wanita yang dikasihinya itu, dapat memegang tangannya. Ah, akan tetapi bagaimana mungkin? Dia sudah tua, juga Lin Lin bukanlah orang muda lagi. Dahulu pun di waktu mereka masih muda, hal ini tak mungkin dilakukan tanpa mengakibatkan noda nama. Apa lagi sekarang, Lin Lin adalah seorang ratu yang disembah rakyatnya, sedangkan dia... dia seorang sebatang kara dan miskin. Betapa mungkin ia menjerat Lin Lin ke dalam kehinaan?
“Tidak!” suara hati terucapkan bibirnya. “Aku harus bertahan! Dia tidak boleh merendahkan diri, tidak boleh bertemu denganku!” Keputusan ini membuat Suling Emas seketika mengeluarkan sebuah sapu tangan lebar dan ditutupnyalah sebagian mukanya dengan sapu tangan. Jangan sampai orang orang Khitan itu mengenalku!
Akan tetapi keputusan yang amat berlawanan dengan hasrat hati ini makin membahayakan keadaannya. Serasa ditusuk-tusuk jantungnya sehingga tubuhnya makin lemah. Ia terbatuk-batuk lagi dan akhirnya ia terguling roboh dari atas punggung kudanya, jatuh dan rebah di atas tanah tak sadarkan diri!
Kudanya mengeluarkan suara meringkik perlahan, berhenti dan membalikkan tubuh. Dengan hidungnya kuda kurus itu mendengus-dengus menciumi kepala Suling Emas. Biasanya kalau ia melakukan hal ini, majikannya lalu mengelus-elus kepala dan lehernya. Akan tetapi sekarang, majikannya diam saja tak bergerak. Hal ini menyusahkan hati si Kuda, yang kembali meringkik dan menjauhkan diri, berlindung di bawah pohon dari serangan hujan yang makin menderas sambil makan ujung-ujung rumput hijau.
Suling Emas tidak tahu berapa lama ia rebah pingsan di tempat itu. Pakaiannya basah kuyup, topi dan sapu tangannya masih menutupi mukanya. Ketika ia siuman kembali, ia mendengar suara orang-orang bergerak di dekatnya. Cepat Suling Emas membuka mata sambil menahan batuk yang mulai menyerangnya lagi. Kiranya dua orang kakek pengemis yang tadi bertempur melawan orang-orang Khitan di dalam kuil telah berada di dekatnya! Mereka itu berlutut di kanan kirinya dengan sikap hormat sekali, dan kakek yang bongkok berkata,
“Tianglo, maafkan kami yang baru sekarang dapat bertemu dengan Tianglo, sehingga Tianglo mengalami keadaan begini sengsara...”
“Hemmm..., kau kira aku ini...?” Suling Emas bertanya perlahan akan tetapi tidak melanjutkan kata-katanya karena kembali ia terbatuk batuk.
“Ahh..., Tianglo, kali ini kami tidak akan salah lihat! Engkau Yu Kang Tianglo yang mengenal baik tanda rahasia dengan tangan dari perkumpulan kita, Khong-sim Kai-pang! Tianglo...“
“Aku bukan Yu Kang Tianglo...!” Suling Emas memotong dengan suara keras.
Ia sudah mengenal siapa Yu Kang Tianglo. Dahulu tiga puluh tahun yang lalu pernah ia bekerja sama dengan Yu Kang. Ketika itu Yu Kang adalah seorang tokoh dari Khong-sim Kai-pang berusia tiga puluh tahun, yang berusaha membalas dendam kematian ayahnya di tangan seorang di antara Enam Iblis Dunia bernama It-gan Kai-ong. Karena ketika itu It-gan Kai-ong merupakan seorang tokoh jahat, Suling Emas lalu turun tangan, membantu Yu Kang merobohkan It-gan Kai-ong sehingga
Yu Kang dapat membalas dendam.
Aneh sekali, pikirnya. Biar pun Yu Kang dan dia memang memiliki bentuk tubuh yang hampir sama, akan tetapi seingatnya Yu Kang dahulu lebih tua dari padanya. Sedikitnya lebih tua lima tahun! Agaknya Yu Kang juga seperti dia, mengasingkan diri sehingga para pengemis ini tidak dapat membedakan antara dia dan Yu Kang.
“Harap Tianglo mengingat akan perkumpulan kita dan menaruh kasihan kepada kami! Semenjak merobohkan It-gan Kai-ong tiga puluh tahun yang lalu, Tianglo menghilang. Kami mengira bahwa Tianglo khawatir akan pembalasan It-gan Kai-ong maka sengaja mengasingkan diri. Akan tetapi setelah belasan tahun yang lalu It-gan Kai-ong tewas mengapa Tianglo masih juga mengasingkan diri? Apakah Tianglo tidak kasihan kepada saudara-saudara kita yang sudah terlalu lama kehilangan pemimpin yang bijaksana?”
Selagi pengemis bongkok itu bicara dengan penuh permohonan, diam-diam Suling Emas berpikir. Hemm, mengapa tidak? Biarlah Yu Kang menyembunyikan diri dan dia yang menggantikannya! Pertama, karena ia tahu bahwa perkumpulan Khong-sim Kai-pang adalah perkumpulan baik-baik sehingga sudah sepatutnya kalau ia bela. Kedua, dengan menyamar menjadi Yu Kang, ia dapat menyembunyikan diri dari pada pengejaran Lin Lin.
Pada saat itu hujan turun lagi dengan derasnya dan pengemis tua yang memegang tongkat berseru, “Ah, dasar bandel monyet gendut itu! Dia berani muncul lagi!”
Suling Emas kaget dan segera bangun berdiri. “Saudara-saudara, biarkanlah aku sendiri menghadapinya,” ia berkata ketika melihat dua orang pengemis tua itu dengan marah hendak menerjang maju. Mendengar ini dua kakek itu menjadi girang dan menanti di kanan kiri.
Perwira Khitan yang gemuk itu melangkah lebar menghampiri tempat itu, menempuh hujan. Ia terkejut ketika melihat orang yang dicarinya berdiri di depannya dengan muka sebagian tertutup sapu tangan sedangkan dua orang pengemis tua yang lihai tadi berdiri di kanan kirinya. Akan tetapi segera ia menyeringai dan berkata. “Terpaksa saya harus mengikuti Taihiap sampai di mana pun juga. Saya mempertaruhkan nyawa untuk tugas ini!”
Suling Emas bertanya. “Tugasmu adalah mencari orang yang berjuluk Kim-siauw-eng, bukan?”
“Betul, Taihiap.”
“Dan engkau mengira bahwa akulah orang yang kau cari itu?”
“Tidak bisa salah lagi, beginilah menurut petunjuk.”
“Apakah engkau pernah bertemu dengan Suling Emas?”
“Waah... belum pernah. Akan tetapi petunjuknya cocok, dan akan ada seorang atasanku yang pernah bertemu dan akan mengenal Taihiap.”
“Kalau begitu jangan membandel. Katakan kepada atasanmu bahwa yang kau sangka Suling Emas itu sebetulnya adalah Yu Kang Tianglo, ketua dari Khong-sim Kai-pang! Sudah, jangan engkau mengganggu kami lagi!” Ia menoleh kepada dua orang pengemis tua sambil berkata, suaranya memerintah, “Mari kita pergi!”
Si Perwira Khitan yang gendut itu terkejut dan meragu. Ia melangkah maju, “...tetapi....”
Baru sampai sekian ucapannya, Suling Emas mengulurkan tangannya dan perwira itu tiba tiba berdiri kaku tak bergerak. Ia telah menjadi korban totokan yang luar biasa sekali! Melihat ini, dua orang pengemis tua yang sudah kegirangan itu menjadi kagum sekali, lalu mereka berdua menjatuhkan diri berlutut di depan Suling Emas sambil berkata, “Pangcu (Ketua)...!”
Di balik sapu tangan Suling Emas tersenyum masam, lalu mengibaskan tangan baju dan berkata kereng,”Bangunlah dan mari kita pergi.”
Dengan muka gembira dan taat sekali dua orang pengemis tua itu bangkit dan pergilah mereka bertiga menempuh hujan, meninggalkan perwira Khitan yang masih berdiri seperti patung. Ketika hujan mulai berhenti, mereka sudah berteduh di dalam sebuah gubuk petani di tengah ladang. Kuda kurus tunggangan Suling Emas tadi berjalan mengikuti majikannya yang memanggilnya Siauw-ma, dan kini makan rumput di pinggir jalan ketika majikannya duduk di dalam gubuk bersama dua orang kakek pengemis.
“Dan sekarang, ceritakanlah siapa kalian, dan apa sebabnya kalian memaksa aku yang sudah puluhan tahun mengasingkan diri dan tidak mau mencampuri urusan kai-pang (perkumpulan pengemis) atau mengapa kalian mengganggu ketenanganku hidupku?”
Ketika dua orang kakek pengemis itu secara bergantian mulai bercerita, Suling Emas mendengarkan penuturan yang amat menarik hatinya sehingga ia menaruh perhatian. Tak disangkanya bahwa selama ia mengasingkan diri telah terjadi banyak hal hebat di dunia kang-ouw.
Selama puluhan tahun, ketika dunia kang-ouw dikuasai oleh Enam Iblis Bumi Langit, dunia pengemis juga terlanda malapetaka karena seorang di antara Enam Iblis, yaitu It-gan Kai-ong merajai dunia pengemis. Setelah akhirnya It-gan Kai-ong tewas, dunia pengemis yang sudah terbebas dari kekuasaan jahat itu menjadi kacau, kehilangan pimpinan dan terpecah pecah karena terjadi perebutan kekuasaan antara golongan pengemis yang baik dan golongan pengemis yang jahat.
Golongan lain di dunia kang-ouw telah mendapatkan pimpinan pimpinan baru dan fihak yang jahat dapat dibersihkan. Akan tetapi hanya golongan pengemis saja yang belum mempunyai pemimpin yang kuat sehingga fihak yang jahat selalu menimbulkan kekacauan dan terjadilah pertentangan-pertentangan hebat di antara mereka sendiri. Melihat kelemahan dunia pengemis ini maka orang-orang jahat yang terusir dan tidak mendapatkan tempat di dalam golongan lain, lalu menyelundup masuk ke dalam dunia pengemis untuk mencari kedudukan.
Khong-sim Kai-pang adalah sebuah perkumpulan pengemis yang besar dan berpengaruh, berpusat di kota Kang hu. Sejak puluhan tahun yang lalu Khong-sim Kai-pang termasuk golongan partai bersih yang mengutamakan kebenaran dan selalu memusuhi kejahatan. Akan tetapi karena sudah puluhan tahun tidak mempunyai ketua yang pandai, Khong-sim Kai-pang kehilangan pengaruhnya sebagai perkumpulan besar sehingga tidak dapat menjadi peranan penting dalam dunia pengemis. Namun karena dahulu pernah dipimpin oleh orang orang bijaksana seperti Yu Jin Tianglo, mendiang ayah Yu Kang, para anggotanya masih setia dan mereka inilah yang merasa prihatin melihat keadaan dunia pengemis yang mulai dicengkeram oleh golongan hitam.
Beberapa kali para tokoh Khong-sim Kai-pang berusaha untuk membersihkan dunia pengemis dari pengaruh oknum-oknum jahat, akan tetapi setiap kali usaha mereka gagal, bahkan banyak di antara mereka yang tewas dalam bentrokan itu. Akhirnya, dari banyak tokoh Khong-sim Kai-pang hanya tinggal dua orang tokoh yang termasuk orang orang tingkat tinggi di perkumpulan itu. Mereka ini adalah Gak-lokai si kakek jembel bongkok dan Ciam-lokai si kakek jembel bertongkat.
Dua orang kakek ini maklum bahwa kalau Khong-sim Kai-pang tidak segera mendapat pimpinan yang tepat dan bijaksana, akan rusaklah keadaannya, tidak hanya keadaan perkumpulan mereka, juga dunia pengemis akan terjatuh ke tangan orang jahat. Mereka teringat akan Yu Kang yang puluhan tahun lamanya tak pernah muncul. Hanya putera mendiang Yu Jin Tianglo itulah kiranya yang akan dapat membangun kembali Khong-sim Kai-pang. Maka mulailah mereka berdua merantau dan mencari Yu Kang Tianglo sampai mereka berjumpa dengan Suling Emas dan mengira bahwa pendekar ini adalah orang yang mereka cari cari.
“Demikianlah Pangcu. Tanpa mengenal lelah kami berdua mencarimu sampai belasan tahun. Kami mendengar bahwa Tianglo merantau ke dunia barat. Kami telah menyusulmu ke sana, hampir celaka di negeri asing itu. Akan tetapi di sana kami mendengar bahwa Tianglo telah kembali ke timur sehingga kami kembali menyusul ke sini, untung dapat bertemu dengan Tianglo di kuil rusak. Agaknya Tuhan memang telah memanggil kembali Tianglo untuk memimpin dunia pengemis, karena kalau Tianglo tidak menaruh kasihan, tentu dunia pengemis akan terjatuh ke tangan iblis iblis baru dan terseret ke dalam golongan hitam!” Demikian mereka berdua menutup penuturan mereka.
Suling Emas termenung sejenak. Ia mempertimbangkan keadaannya, kemudian menarik napas panjang dan berkata, “Apakah kalian hendak menarik aku menduduki kursi ketua Khong-sim Kai-pang? Aku yang sudah biasa merantau bebas seperti burung di udara, bagaimana bisa terikat dan terkurung? Sungguh tak mungkin dapat kulakukan!” Ia menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang.
“Tidak usah sampai begitu, Pangcu!” kata kakek bongkok yang bernama Gak-lokai cepat cepat. “Cukup asal pangcu memperkenalkan diri sebagai ketua Khong-sim Kai-pang dan menghadiri pertemuan besar para ketua perkumpulan-perkumpulan pengemis yang akan diadakan di permulaan musim semi. Pertama untuk membangun kembali semangat para anggota Khong-sim Kai-pang, kedua untuk mencegah dunia pengemis terjatuh ke tangan kaum sesat. Mohon kiranya pangcu tidak akan tega membiarkan kehancuran Khong-sim Kai-pang dan dunia pengemis umumnya.” Setelah berkata demikian kedua orang kakek itu kembali menjatuhkan diri berlutut di depan Suling Emas.
Diam-diam Suling Emas terkenang kepada Yu Jin Tianglo, seorang tokoh Khong-sim Kai-pang yang bijaksana dan putera ketua ini, Yu Kang, seorang pengemis yang gagah perkasa. Ayah dan anak ini adalah orang-orang gagah yang sudah sepatutnya dibela. Memang kasihan dan sayang sekali kalau perkumpulan pengemis yang sudah terkenal sebagai golongan kaum bersih ini sampai terseret ke dalam lembah kejahatan. Selain ini, juga ia mendapat kesempatan untuk menyembunyikan diri dari kejaran orang-orang Khitan! Kalau ia sudah mengaku sebagai ketua Khong-sim Kai-pang, mustahil kalau para petugas yang diutus Lin Lin itu akan mengejarnya lagi dan menyangkanya Suling Emas!
“Baiklah,” akhirnya ia berkata. “Akan kucoba sekuat tenagaku mencegah kaum sesat menguasai dunia pengemis. Akan tetapi aku hanya mau menjadi pangcu dari Khong-sim Kai-pang dengan syarat, pertama apa bila semua sudah beres, aku tidak mau tetap tinggal di satu tempat. Urusan kai-pang boleh kalian urus sedangkan aku tetap akan melakukan perantauan seperti biasa, tanpa ada yang mengganggu. Kedua, aku tidak ingin memperkenalkan mukaku kepada orang lain sehingga dalam kedudukan sebagai pangcu, aku akan selalu menutup mukaku. Kalian pun harus bersumpah bahwa kau tidak pernah melihat mukaku. Mengerti?”
Dua orang kakek pengemis yang merasa yakin bahwa pendekar ini tentulah Yu Kang Tianglo menjadi gembira sekali. Dengan bercucuran air mata saking girangnya mereka menyanggupi semua permintaan Suling Emas.
“Cukup, sekarang pergilah kalian. Tunggu kedatanganku di Kang-hu waktu bulan purnama yang akan datang. Bukankah pusat Khong-sim Kai-pang masih berada di kuil tua di luar kota Kang-hu?”
Dua orang kakek itu makin girang dan tidak ragu-ragu lagi mereka sekarang bahwa orang ini tentulah Yu Kang putera mendiang ketua Yu Jin Tianglo yang lenyap ketika berusia tiga belas tahun dan ketika Khong-sim Kai-pang diserbu penjahat. Mereka mengangguk angguk dan dengan mata basah air mata saking terharunya kakek bongkok berkata, “Tentu saja masih di sana, Pangcu. Siapa dapat melupakan kuil itu?”
Suling Emas menarik napas panjang memberi tanda dengan tangan agar kedua orang kakek itu pergi. Setelah mereka pergi, baru ia melompat ke atas punggung kudanya menepuk-nepuk leher kudanya sambil berkata lirih, “Siauw-ma, mau tak mau kita harus mengalami hal hal baru di antara para pengemis itu. Terpaksa Siauw-ma, terpaksa...! Ataukah... lebih baik ke Khitan...? Ah, tidak...! Jangan! Biarlah untuk sementara aku menjadi ketua pengemis!”
Berjalanlah kuda itu perlahan-lahan. Hujan telah berhenti dan tak lama kemudian terdengarlah suara suling ditiup, suaranya mengalun dan mengharukan, menggetarkan jiwa tertekan dan batin menderita.
********************
Pada masa itu Kerajaan Sung dipimpin oleh kaisarnya yang ke dua, yaitu Sung Thai Cung. Sungguh pun kemajuan di jaman Kerajaan Sung ini tidak dapat menandingi kerajaan kerajaan yang lalu sebelum jaman Lima Wangsa, namun jika dibandingkan dengan jaman pemerintahan Sung Thai Cu kaisar pertama Kerajaan Sung, maka pemerintahan kaisar kedua ini boleh dibilang mengalami kemajuan. Hasil yang dicapai lebih besar. Ia telah berhasil menjatuhkan Kerajaan Hou-han di Shan-si, Kerajaan Wu-yue di selatan, dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya, kemudian memasukkan daerah kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan ini ke dalam wilayah Sung.
Namun harus diakui bahwa Kaisar Sung Thai Cung tidak berdaya terhadap dua buah kerajaan, yaitu kerajaan bangsa Khitan di timur laut yang terutama, dan Kerajaan Nan cao di daerah Yu-nan. Mula mula memang diusahakannya untuk menaklukkan dua buah kerajaan ini, namun selalu gagal. Bahkan berkali-kali bala tentara Sung terpukul mundur sehingga akhirnya kaisar tidak mendesak lagi. Hanya perang dan bentrokan kecil kecilan terjadi di perbatasan, namun tidak ada artinya. Bahkan akhirnya, Kerajaan Sung mengambil sikap dan politik lunak, mendekati dua kerajaan ini dan bahkan mengirim upeti-upeti sebagai tanda persahabatan!
Tidaklah amat mengherankan apa bila ditinjau keadaan dua kerajaan di sebelah utara dan sebelah selatan itu. Semenjak dipegang oleh Ratu Yalina, Kerajaan Khitan menjadi sebuah kerajaan yang amat kuat sehingga sukar dikalahkan, bahkan bangsa Khitan telah menaklukkan bangsa bangsa
nomad lain yang berkeliaran di daerah utara sehingga kerajaannya menjadi makin besar. Ada pun Kerajaan Nan-cao, sungguh pun hanya merupakan kerajaan kecil, namun yang berkuasa di situ adalah kaum Agama Beng-kauw yang mempunyai banyak orang pandai, setia dan berdisiplin.
Karena cerita ini banyak menyangkut keadaan Kerajaan Khitan, maka marilah kita menjenguk keadaan kerajaan di sebelah utara dan timur laut itu. Bangsa Khitan adalah bangsa nomad yang besar, terdiri dari orang-orang gagah perkasa dan ulet. Keadaan hidup mereka yang selalu berpindah-pindah untuk mencari tempat yang lebih baik dan untuk menyesuaikan diri dengan iklim yang buruk, kesukaran hidup berjuang dengan alam, membuat mereka menjadi bangsa yang ulet, tabah dan pantang mundur.
Semenjak bangsa Khitan dipimpin oleh Ratu Yalina, kerajaan ini mengalami kemajuan pesat. Di dalam cerita CINTA BERNODA DARAH , diceritakan betapa Ratu Yalina ini di waktu kecilnya diangkat sebagai anak oleh seorang jenderal besar bangsa Han, dan di waktu remaja menerima gemblengan ilmu silat dari orang-orang pandai. Bahkan sebelum menjadi ratu, secara kebetulan sekali ia telah menemukan sebuah pusaka peninggalan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan ketua Beng-kauw di Nan-cao, yaitu catatan ilmu yang dahsyat dan dirahasiakan. Setelah mewarisi ilmu yang disebut Cap-sha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Ilmu Silat Sakti) inilah maka ilmu kepandaian Ratu Yalina amat hebat dan sukar dicari tandingannya.
Di waktu masih remaja, Ratu Yalina ini pernah mengalami derita batin yang takkan dapat ia lupakan selama hidup. Antara dia dan Suling Emas, terjalin kasih asmara yang amat mendalam. Keadaanlah yang memaksa mereka berpisah, yang tidak memungkinkan perjodohan di antara mereka. Apa sebabnya? Bukan lain oleh karena kebetulan sekali bahwa Suling Emas adalah ‘kakak angkatnya’ sendiri, putera kandung ayah angkatnya, Jenderal Kam! Sebetulnya hal ini bukanlah menjadi halangan benar bagi Puteri Yalina yang ketika itu belum menjadi ratu. Akan tetapi Suling Emas yang berkeras tidak mau, bukan hanya karena masih saudara angkat, juga terutama sekali karena Yalina amat diperlukan oleh bangsanya untuk menjadi Ratu sehingga Suling Emas mengalah dan pergi!
Akan tetapi, sebelum mereka saling berpisah untuk puluhan tahun lamanya itu, Suling Emas telah memenuhi permohonan Ratu Yalina untuk tinggal di dalam istananya selama sebulan. Menjadi suami di luar nikah! Biar pun tidak berhasil menjadi suami isteri, namun mereka telah saling menumpahkan cinta kasih mereka yang mendalam, tak kuasa menahan rindu hati yang tak tercapai karena halangan keadaan lahir.
Betapa tersiksa dan menderita batin Ratu Yalina ketika kekasihnya sudah pergi, ia mendapat kenyataan bahwa ia mengandung! Peristiwa yang bagi setiap orang isteri merupakan kebahagiaan mutlak ini, bagi Ratu Yalina bahkan merupakan derita dan siksa batin! Betapa tidak? Ia seorang ratu! Seorang ratu dan bukan seorang isteri. Ia tidak bersuami. Ia secara resmi masih seorang gadis! Dan ia mengandung! Kalau saja Ratu Yalina tidak teringat akan kedudukannya, tidak ingat akan bangsanya yang dikasihinya, tentu ia sudah melarikan diri dari Khitan, melarikan diri untuk mencari Suling Emas, kekasih dan... suaminya, biar pun hanya suami tidak sah!
Ratu Yalina merasa tersiksa. Ia berduka dan juga malu. Bagaimana kalau nanti bangsanya mengetahui bahwa ratunya yang masih belum menikah itu mengandung? Hampir saja Ratu Yalina putus asa. Lebih baik mati membunuh diri dari pada menanggung aib yang hebat! Akan tetapi, untung baginya bahwa panglimanya, orang yang paling dipercayanya karena panglima ini diam-diam juga mencintainya tahu akan rahasianya.
Panglima ini Panglima Kayabu namanya, seorang Khitan yang gagah perkasa, tahu bahwa antara ratunya dan Suling Emas terjalin cinta kasih yang mendalam. Tahu pula bahwa demi bangsanya, ratunya rela berkorban perasaan, berpisah dari kekasihnya. Ia tahu pula bahwa Suling Emas ditahan dalam istana ratunya sampai sebulan sebelum mereka berdua saling berpisah. Kemudian ia tahu pula bahwa ratunya telah mengandung!
Secara rahasia, dijumpailah Ratu Yalina. Pada saat itulah terbukti kesetiaan Panglima Kayabu. Karena panglima ini telah dapat menduga kesemuanya, sambil menangis Ratu Yalina membuka rahasianya dan menyerahkan nasibnya ke tangan panglimanya yang juga menjadi sahabat satu satunya dalam menghadapi peristiwa hebat ini.
Kayabu menghiburnya dan memberi usul bahwa Sang Ratu seyogianya memelihara kandungannya dan secara rahasia kelak melahirkan anak. Sementara itu, dia sendiri secara serentak akan memillh seorang gadis Khitan dan mengawininya, kemudian kelak kalau Sang Ratu melahirkan anak, anak itu akan diakuinya sebagai anaknya sendiri! Tentu saja ia akan menyuruh isterinya itu bersikap seolah olah mengandung sehingga kelak tidak akan mencurigakan kalau ‘melahirkan’ anak.
Rahasia yang hebat! Akan tetapi, karena tidak ada jalan lain, demi untuk menjaga nama baiknya sebagai ratu, dan demi menjaga agar bangsanya tidak menjadi kacau, Ratu Yalina melakukan sandiwara ini sesuai dengan rencana Panglima Kayabu! Panglima ini, yang tentu saja luka dan patah hatinya, memaksa diri memilih dan mengawini seorang gadis Khitan yang cantik.
Semua berjalan sesuai dengan rencana, yaitu Ratu Yalina dapat menyembunyikan keadaannya yang mengandung dari mata rakyatnya. Di lain fihak, isteri Panglima Kayabu ‘pura-pura mengandung’. Akan tetapi, ketika tiba waktunya Sang Ratu melahirkan, di dalam kamar rahasia dan secara rahasia dihadiri oleh isteri Panglima Kayabu dan seorang dukun beranak, terjadilah hal yang sama sekali di luar dugaan mereka. Sang Ratu Yalina melahirkan sepasang anak kembar! Pertama seorang bayi laki-laki dan kedua seorang bayi perempuan!
Kalau saja kelahiran macam ini tidak terjadi di Khitan, tentu tidak akan mendatangkan kebingungan. Akan tetapi telah menjadi kepercayaan umum di Khitan bahwa kembar laki-laki dan perempuan merupakan pertanda bahwa kedua anak itu adalah titisan atau penjelmaan suami isteri, dan karenanya, kedua orang anak itu harus dipisahkan dan kelak harus dijodohkan sebagai suami isteri!
Ketika dukun beranak dan isteri Panglima Kayabu menyatakan hal ini, yang dimengerti pula oleh Ratu Yalina, ratu yang malang ini menangis sedih dan roboh pingsan. Isteri Panglima Kayabu menjadi sibuk dan cepat-cepat memberi laporan secara diam-diam kepada suaminya. Panglima Kayabu cepat memasuki kamar itu dan untung Ratu Yalina sudah siuman dan kini ratu itu menangis terisak-isak di atas pembaringan.
“Harap Paduka jangan gelisah.” panglima yang setia itu menghibur.
“Aduh... Kayabu... lebih baik mati saja aku kalau begini...!” Yalina menangis. “Kayabu, kau tolonglah aku... kau carilah dia, suruh datang ke sini, biar dia yang akan memutuskan keadaan ini...”
Panglima Kayabu mengerutkan keningnya. Ia maklum siapa yang dimaksudkan ratunya itu. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, kalau mencari dan memanggil Suling Emas, bukan merupakan hal yang baik. Kalau terpaksa rahasia ini dibuka, tentu akan timbul kegemparan di kalangan rakyat, tentu akan menimbulkan aib dan hal ini amat merugikan karena pada waktu itu Khitan dikepung musuh dari selatan dan dari barat.
“Harap Paduka tenang saja. Biarlah hamba mengakui anak laki-laki ini sebagai putera hamba, sedangkan anak perempuan ini, secara diam-diam kita singkirkan agar dipelihara orang lain dan kelak kalau mereka berdua sudah besar, mudah saja hamba menariknya sebagai mantu.”
Ucapan ini mengiris jantung Yalina. Dengan sepasang mata penuh air mata dan dengan muka pucat ia mengulurkan kedua tangan ke depan dan berkata kepada dukun beranak yang sedang mengurus dua orang anak yang menangis nyaring seperti berlomba itu.
“Ke sinikan anak-anakku... biarlah aku melihat mereka... biarkan aku mencium dan memeluk mereka... ahhh...!” Ia menangis tersedu sedu.
Isteri Panglima Kayabu ikut menangis, demikian pula dukun beranak, wanita tua itu yang merasa terharu sekali. Kayabu sendiri, seorang panglima gagah perkasa yang pantang mengeluarkan air mata, merasa betapa sepasang matanya panas dan jantungnya serasa diremas. Wanita yang pernah menjatuhkan hatinya itu kini demikian sengsara, sama sekali tidak seperti seorang ratu yang berwibawa, sama sekali bukan seperti seorang wanita yang ia tahu amat perkasa dan sakti, melainkan seperti seorang wanita yang lemah, seorang wanita yang ditinggalkan kekasih, seorang ibu yang rindu akan anak-anaknya!
“Anakku... anakku...! Bagaimana aku dapat berpisah dari mereka ini...“ Ratu Yalina mencium kedua anaknya. Hampir ia pingsan saking sedihnya ketika melihat bahwa anaknya yang laki-laki memiliki mata dan hidung kekasihnya!
“Anak-anakku... di mana Ayahmu...? Anak-anakku... bagaimana kalian tega meninggalkan Ibumu...?” Ratu Yalina mencium lagi, kemudian menjerit lirih dan roboh pingsan sambil memeluk kedua anaknya yang mulai menangis lagi.
“Cepat...cepat, bawa pulang anak laki-laki itu!” kata Panglima Kayabu kepada isterinya. Untung bahwa peristiwa kelahiran itu terjadinya pada waktu tengah malam sehingga tidak sampai diketahui orang lain. “Dan kau, Bibi, dapatkah engkau membantu? Aku harus dapat menyerahkan anak perempuan ini kepada seorang yang boleh dipercaya!”
“Hamba... hamba sanggup membantu... hamba... mempunyai keponakan. Biarlah puteri ini dipeliharanya, hamba tanggung takkan bocor rahasia ini...,“ kata si Dukun Beranak sambil terisak menangis.
“Tentu saja jangan sampai bocor. Kalau bocor, engkau sekeluargamu akan dijatuhi hukuman mati!” kata Kayabu yang diam diam merasa girang bahwa anak perempuan itu ada yang megurusnya. Tentu saja tidak sukar baginya memerintahkan siapa saja memelihara anak itu, akan tetapi justru sukarnya, jangan sampai ada yang tahu akan rahasia besar ini.
Lewat tengah malam, kamar Ratu Yalina menjadi sunyi kembali. Kedua orang anak yang baru lahir itu sudah dibawa pergi dari kamar. Yang laki-laki dibawa oleh isteri Panglima Kayabu, sedangkan yang perempuan dibawa pergi oleh dukun beranak yang keluar dari istana melalui pintu rahasia di sebelah belakang, lalu nenek tua itu menghilang di dalam gelap.
Akan tetapi pada keesokan harinya, pagi pagi sekali para penjaga istana menjadi gempar ketika menemukan nenek dukun beranak itu menggeletak tak bernyawa lagi di sebelah belakang istana!
Tentu saja Panglima Kayabu yang mendengar laporan ini merasa seakan akan dicabut jantungnya saking kaget dan heran. Cepat ia sendiri mendatangi tempat pembunuhan itu sehingga para pengawal menjadi heran mengapa panglima besar mereka begitu menaruh perhatian atas kematian seorang nenek dukun beranak.
“Pembunuhan terjadi di dekat istana, hal ini amat gawat demi keselamatan Ratu,” kata panglima yang cerdik ini.
Lebih-lebih kaget dan herannya ketika memeriksa keadaan mayat dukun beranak itu. Panglima Kayabu mendapat kenyataan bahwa tubuh itu tidak terluka sama sekali, akan tetapi tanda-tanda biru di pelipis menyatakan bahwa nenek ini menderita luka hebat di dalam kepala akibat pukulan yang dahsyat yang mengandung hawa sakti. Pukulan seorang ahli yang memiliki kepandaian tinggi. Tentang anak perempuan yang baru dilahirkan semalam, tidak ada tanda-tanda dan bekas-bekasnya sama sekali.....
Komentar
Posting Komentar