CINTA BERNODA DARAH : JILID-31

“Koko (kanda)... sebetulnya siapakah namamu?” Lin Lin berbisik lirih.
Akan tetapi bagi Suling Emas, bisikan lirih ini seakan-akan merupakan halilintar menyambar kepalanya yang menghancurkan semua mimpi indah dan menyeretnya kembali kepada kenyataan. Dengan halus akan tetapi pasti ia memegang kedua pundak Lin Lin dan mendorong gadis itu sehingga terlepas dari padanya kemudian ia melangkah mundur dan memutar tubuhnya membelakangi Lin Lin sambil berseru keras, “Tidak... tidak mungkin...!”
Tentu saja Lin Lin terkejut sekali dan memandang dengan muka pucat dan hati khawatir. “Ada apakah? Apa yang tidak mungkin...?” katanya sambil memegang lengan Suling Emas. Akan tetapi pendekar ini tetap membuang muka dan kedua matanya dipejamkan.
“Tak mungkin kita lanjutkan kegilaan ini. Lin Lin, aku... betapa pun perih rasa hatiku, aku... aku tak mungkin begitu gila untuk menerima perasaanmu yang murni. Tak mungkin!” Kata-kata terakhir ini keluar dari mulut Suling Emas seperti keluhan dengan suara gemetar dan parau.
Lin Lin tersentak bagaikan disambar petir. Dua titik air mata meloncat turun di atas pipinya yang pucat dan sepuluh jari tangannya bergerak-gerak saling remas, membayangkan hati yang bingung, perih dan gelisah.
“Kenapa...? Kenapa...? Suling Emas, bukankah kau mencintaiku? Sejak pertama kali kita bertemu di kota raja... sikapmu selama ini... pengakuanmu di depan gadis tadi... bukankah itu semua membuktikan bahwa kau pun mencintaiku seperti aku mencintamu? Ataukah... aku telah salah duga? Suling Emas, katakanlah. Sebagai seorang laki-laki yang gagah, katakanlah, apakah kau menolak kasihku? Apakah kau tidak... tidak mencintaku seperti yang kuduga?”
Suling Emas bersedakap memangku lengan, ia masih membuang muka dengan mata terpejam karena tidak kuasa ia memandang wajah gadis yang bicara dengan suara begitu tergetar memilukan. Akhirnya ia dapat menjawab, suaranya lirih dan tersendat-sendat menahan goncangan hati.
“Adik Lin Lin, semata-mata bukan aku menolak cinta kasihmu, bukan pula membencimu, akan tetapi justru aku sangat menyayangkan nasibmu kelak apa bila kau menjadi jodohku. Lin Lin, engkau cantik jelita, muda remaja, engkau berhak memperoleh seorang suami yang lebih segala-galanya dari pada aku. Masih banyak kesempatan bagimu untuk bertemu jodoh yang tampan dan gagah perkasa, seorang satria sejati yang tepat menjadi teman hidupmu selamanya. Aku... ah, aku sudah tua untukmu, Lin Lin!”
Di belakang punggungnya, Suling Emas mendengar isak tangis Lin Lin. Ia mengeraskan hatinya. Apa yang ia ucapkan tadi adalah suara hatinya. Lin Lin adalah adiknya, sungguh pun bukan adik kandung dan berasal dari orang lain, namun gadis ini sudah menggunakan she (keturunan) ayahnya, bernama Kam Lin, adik Kam Bu Song, dia sendiri!
Ayahnya sudah meninggal dunia, berarti dia sebagai putera sulung menjadi pengganti ayahnya. Dia adalah kakak Lin Lin, juga wakil ayah Lin Lin. Dia yang berkewajiban mencarikan jodoh untuk adiknya ini, jodoh yang tepat. Mana mungkin dia sendiri terlibat cinta kasih dengan Lin Lin? Mana mungkin dia memperisteri Lin Lin, mengambilnya sendiri menjadi jodohnya? Dunia akan mentertawakannya, arwah ayahnya akan mengutuknya, Thian akan menghukumnya. Kalau saja Lin Lin bukan bernama Kam Lin, bukan adik angkatnya, agaknya ia akan membuka kedua lengannya, karena hanya pada Lin Lin ia melihat pengganti Suma Ceng!
“Tidak...! Kau tidak tua bagiku. Aku tidak sudi menjadi jodoh orang lain. Aku hanya mencintaimu seorang! Suling Emas, apakah cinta kasih murni mengenal usia? Ah, Suling Emas, aku yakin betul akan cinta kasihmu, mengapa kau harus berpura-pura menipu diri sendiri? Mengapa kau hendak merenggut pertalian kasih antara kita, rela merobek hatimu sendiri dan menghancurkan hatiku, hanya karena alasan usia? Tak tahukah engkau bahwa sikapmu ini mengakibatkan hati kita robek-robek berdarah, dan selama hidup akan menyiksa kita sendiri? Aku hanya mencinta engkau seorang, dan kau pun cinta kepadaku... ah, aku mohon kepadamu... jangan patahkan ikatan suci ini... Suling Emas...!” Lin Lin menangis sesenggukan dan tiba-tiba ia berlutut dan merangkul kedua kaki Suling Emas!
“Jangan...! Jangan begitu...!” Suling Emas berseru kaget sambil melangkah mundur.
“Biarlah! Kau lihat. Demi cinta kasihku kepadamu, aku berlutut dan bermohon kepadamu! Aku merendahkan diri, aku bersikap hina, karena... karena cintaku. Kau telah mengenalku, kalau bukan demi cintaku, lebih baik aku mati dari pada merendahkan diri seperti ini...!”
Tiba-tiba Lin Lin mengangkat mukanya dan berteriak, “Suling Emas...!” Akan tetapi pendekar itu sudah lenyap, tidak berada di dalam goa lagi.
Dengan isak tertahan Lin Lin melompat ke luar, disambut angin dan air hujan. Matanya sukar dibuka dan lebih sukar lagi melakukan pengejaran dalam keadaan seperti itu.
“Suling Emas...!” Berkali-kali ia menjerit, memanggil-manggil dan lari ke sana ke mari mencari pendekar itu sambil menangis. Air matanya bercucuran menyaingi air hujan. Beberapa jam kemudian tubuh Lin Lin menggeletak pingsan di antara siraman air hujan.
********************
“Lin-moi...!” Bu Sin terkejut bukan main ketika melihat tubuh Lin Lin yang seperti telah tak bernyawa lagi itu di atas rumput. Cepat-cepat ia memondong tubuh adiknya dan berlari kembali ke pondok Kim-sim Yok-ong.
“Locianpwe... tolonglah... tolonglah adikku ini...! Kudapatkan dia seperti ini di dalam hutan...!” Bu Sin berkata dengan suara gugup kepada kakek tabib yang sedang duduk di ruangan dalam.
Kim-sim Yok-ong menghampiri Lin Lin yang rebah di atas bangku panjang di mana tadinya Suling Emas berbaring. Wajah Lin Lin pucat sekali seperti mayat, dadanya tidak bergerak seakan-akan sudah tak bernapas lagi. Hal inilah yang membuat Bu Sin kebingungan. Setelah menyentuh nadi pergelangan tangan gadis itu, Yok-ong menggeleng-gelengkan kepalanya dan menarik napas panjang, diawasi oleh Bu Sin yang menjadi amat gelisah.
“Hemmm... di dunia ini banyak terjadi hal-hal aneh! Entah mengapa adikmu ini sekaligus dapat terserang perasaan malu, kecewa dan duka secara berbareng. Padahal kulihat dia tadi demikian lincah gembira. Akan tetapi jangan khawatir, dia tidak apa-apa.”
Bu Sin lega hatinya, namun ia sendiri terheran mendengar keterangan itu. Lin Lin merasa malu, kecewa dan berduka? Apa sebabnya? Ia memang sudah terheran-heran melihat Lin Lin. Adiknya ini tiba-tiba memiliki kepandaian yang hebat, demikian pula Sian Eng. Apakah yang terjadi dengan kedua orang adjknya? Ia belum mendapat kesempatan untuk bercakap-cakap. Kini Sian Eng secara aneh sekali telah pergi entah ke mana, dan Lin Lin... mengapa bisa begini?
“Tak usah kau khawatir, Yok-ong bilang dia akan sembuh dua tiga hari setelah beristirahat!” Tiba-tiba terdengar suara orang dan Bu Sin segera menengok, kiranya bibi gurunya, Kui Lan Nikouw yang berada di situ.
Kui Lan Nikouw memang tiba di pondok Yok-ong setelah orang-orang muda itu pergi. Sebagai seorang beribadat, melihat keadaan Yok-ong, Kui Lan Nikouw menjadi kagum sekali dan tanpa diminta ia lalu membantu merajang akar dan daun obat di sebelah belakang pondok sambil menanti kembalinya para keponakannya.
Nikouw ini biar pun ilmu silatnya tidak sangat tinggi, namun ia merupakan tokoh yang terkenal pula di Cin-ling-san dan tubuhnya masih kuat, biar pun ia hanya berdiam di Cin-ling-san, bertapa dan mengajarkan ilmu batin menurut pelajaran Agama Buddha. Akan tetapi setelah lama ketiga orang murid keponakannya meninggalkan Ting-chun, ia merasa khawatir juga, lalu pada suatu hari ia meninggalkan Cin-ling-san, mencari keponakan-keponakannya ke kota raja.
Secara kebetulan sekali di tengah perjalanan ia bertemu dengan Bu Sin yang hendak mengunjungi Cin-ling-san untuk memberi laporan kepada bibi gurunya tentang mereka bertiga, juga sekalian untuk membicarakan rencana perjodohannya dengan Liu Hwee, puteri dari Beng-kauwcu (ketua Beng-kauw).
Girang hati nikouw ini mendengar tentang rencana perjodohan, akan tetapi di samping kegirangannya, ia pun merasa gelisah memikirkan Sian Eng dan Lin Lin, maka ia menegur keponakannya ini, “Sin-ji (anak Sin), mengapa kau tidak menanti adik-adikmu sehingga dapat pulang bersama mereka? Kau benar-benar terlalu memikirkan kepentingan sendiri. Kurasa yang dapat menolong kita mendapatkan adik-adikmu hanyalah Bu Song yang kini ternyata menjadi Suling Emas, pendekar besar yang namanya sampai bergema di Cin-ling-san. Pinni (aku) mendengar pula tentang pertandingan besar antara Thian-te Liok-koai di Thai-san. Kurasa Suling Emas akan hadir pula di sana, maka sebaiknya kita langsung ke sana menemuinya. Setelah kita berjumpa dengan Sian Eng dan Lin Lin, baru kita beramai pergi kepada Beng-kauwcu untuk meminang puterinya.”
Demikianlah, secara kebetulan sekali Kui Lan Nikouw dan Bu Sin muncul ketika terjadi pertandingan hebat di puncak Thai-san, di mana Kui Lan Nikouw roboh oleh hawa pukulan dua orang kekek sakti karena hendak menyelamatkan Bu Sin, akan tetapi secara mukjijat nikouw ini ditolong oleh Bu Kek Siansu.
Nikouw ini tadinya gembira sekali karena tepat seperti dugaannya, ia dapat bertemu dengan Suling Emas di puncak Thai-san, bahkan bukan hanya dengan keponakannya yang telah lama hilang ini, juga malah bertemu pula dengan Sian Eng dan Lin Lin yang telah memiliki kepandaian yang ajaib sekali. Akan tetapi kegembiraannya hanya sebentar saja karena sekarang kembali kedua orang keponakannya itu telah lenyap, bahkan kemudian Bu Sin kembali dengan Lin Lin yang berada dalam keadaan pingsan, bahkan seperti telah mati. Baiknya ada Kim-sim Yok-ong yang memberi jaminan bahwa Lin Lin tidaklah berbahaya keadaannya.
Sampai dua hari dua malam Lin Lin tidak sadarkan diri. Tak pernah membuka mata dan kadang-kadang ia mengigau tentang hal-hal yang tak dimengerti sama sekali oleh Kui Lan Nikouw mau pun Bu Sin yang dengan hati-hati menjaganya. Ia sering kali mengigau tentang usia tua, tentang cinta yang bernoda darah, tentang ratu-ratu dan puteri-puteri. Sering kali ia menjerit, “Bukan karena tua, akan tetapi karena kau mencinta wanita lain!”
Hanya sedikit bubur encer yang memasuki perutnya, disuapkan ke dalam mulutnya oleh Kui Lan Nikouw. Tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat sekali, dan biar pun kedua matanya meram, akan tetapi banyak air mata keluar dari sepasang matanya.
Pada hari ketiga, pagi-pagi sekali ia membuka matanya, menengok ke kanan kiri, tampaknya bingung.
“Sin-ko...! Sukouw...!” Akhirnya ia berseru ketika mengenal dua orang yang duduk di pinggir dipan. Ia bangkit duduk dan menubruk bibi gurunya sambil menangis.
Kui Lan Nikouw mengelus-elus rambutnya, penuh kesabaran. “Kau berbaringlah saja, anak baik. Kau sudah sembuh, hanya perlu beristirahat.”
“Lin-moi, aku mendapatkan kau rebah pingsan di dalam hutan. Apakah gerangan yang terjadi?”
Kui Lan Nikouw memberi isyarat dengan matanya kepada Bu Sin, akan tetapi pemuda ini sudah terlanjur bicara, maka nenek ini menoleh kepada Lin Lin dengan khawatir. Menurut anggapannya, tidak tepat saatnya untuk bicara tentang itu selagi Lin Lin baru saja sadar. Akan tetapi Lin Lin hanya mengerutkan kening, menggeleng kepala, matanya sayu. Ini pun hanya sebentar karena tiba-tiba matanya mengerling kepada Kui Lan Nikouw dan kembali merangkulnya.
“Ah, girang sekali bertemu denganmu, Sukouw. Bagaimanakah Sukouw bisa muncul di sini? Seperti dalam mimpi saja!”
Lega hati Kui Lan Nikouw. Kiranya Lin Lin masih biasa seperti dulu, ramah dan lincah. “Nanti kuceritakan, Lin Lin. Sekarang kau rebahlah, kata Kim-sim Yok-ong kau perlu beristirahat.”
“Ah, Si Raja Obat itukah yang menolongku? Benar-benar dia patut disebut Raja Obat, dan tentang hatinya emas atau bukan, perlu diselidiki dulu.” Ia tersenyum dan sudah mendapatkan kegembiraannya kembali. “Aku tidak merasa sakit apa-apa, Sukouw, hanya... lemas dan... dan lapar sekali! Kalau begini rasanya aku sanggup menghabiskan nasi sepanci dan ayam gemuk tiga ekor, bakmi dua kati!” Gadis ini tertawa dan Kui Lan Nikouw juga tertawa.
“Bocah nakal! Dua hari ini kau bikin hatiku penuh kekhawatiran saja.” Nikouw ini girang bukan main.
Akan tetapi biar pun mulutnya tersenyum, di dalam hatinya Bu Sin tidak puas. Ia terlampau kenal watak Lin Lin yang memang mudah sekali berduka dan gembira, mudah menangis mudah tertawa semenjak kecilnya. Akan tetapi kini ia melihat betapa di balik wajah berseri dan senyum melebar itu terdapat awan gelap yang membayang dari kesayuan mata adik angkatnya ini, mata sayu lesu yang hanya dapat timbul karena kedukaan yang menindih hati. Maka diam-diam ia merasa prihatin dan kasihan kepada Lin Lin, namun ia tidak berani bertanya karena ia mengenal watak Lin Lin yang takkan mau bercerita kalau tidak atas kehendaknya sendiri.
Ditemani oleh Kim-sim Yok-ong, Lin Lin bersama kakaknya dan bibi gurunya lalu makan masakan tanpa daging yang dimasak oleh Kui Lan Nikouw. Selesai makan mereka bicara tentang peristiwa yang lalu terutama sekali tentang keadaan dan sikap Sian Eng yang amat aneh.
“Sungguh aku merasa heran sekali melihat Enci Sian Eng. Mengapa ia melarikan diri dan apakah yang terjadi atas dirinya maka ia berubah seaneh itu?” kata Lin Lin.
“Kau sendiri pun aneh, Lin-moi. Kulihat kau telah memiliki ilmu yang hebat sehingga berdua dengan Sian Eng kau mampu melawan tokoh-tokoh iblis. Bagaimana kau bisa mendapatkan kemajuan dalam waktu singkat dan memiliki ilmu yang luar biasa?”
Lin Lin tersenyum. “Ah, kebetulan saja aku mendapatkan warisan ilmu yang tak dapat kuceritakan dari mana asalnya. Enci Sian Eng lebih hebat, dan menjadi begitu aneh, seakan-akan aku melihat sinar yang tidak sewajarnya dari mukanya.”
“Sayang sekali, Bu Song juga ikut pergi dan tidak kembali sampai sekarang. Belum sempat aku bercakap-cakap dengan keponakanku itu. Ah, kurasa dia lebih mengetahui akan keadaan Sian Eng yang aneh,” kata Kui Lan Nikouw.
“Siapa katamu, Sukouw? Kakak Bu Song...? Di mana dia...? Siapa...?” Lin Lin bertanya dengan muka terheran-heran. Sudah dua kali ia mendengar disebutnya nama kakaknya yang sampai kini belum ia lihat itu.
Bu Sin tertawa. “Kasihan kau, Lin-moi. Sampai sekarang pun kau belum tahu dan belum dapat menduga? Aku dan Sian Eng sudah tahu. Yah, mungkin karena kau selalu terpisah dariku, maka kau tidak tahu akan rahasia ini. Suling Emas, pendekar itu, dialah sebetulnya kakak Kam Bu Song yang kita cari-cari!”
“Prakkk!” pecahlah cangkir yang berada di tangan Lin Lin.
Gadis ini bangkit berdiri, matanya terbelalak lebar ketika ia memandang kepada Bu Sin dengan sinar mata tak percaya. Kemudian ia memandang Kui Lan Nikouw dengan mata bertanya. “Dia...? Kakakku...?”
Bu Sin tertawa gembira melihat keheranan dan kekagetan Lin Lin ini. Akan tetapi Kui Lan Nikouw memandang dengan kening berkerut, karena sekarang nenek inilah yang dapat melihat bahwa gadis itu tidak hanya heran dan kaget saja. Ia segera berkata menerangkan.
“Tentu saja dia kakakmu, Lin Lin! Bu Song adalah putera sulung ayahmu dengan Liu Lu Sian. Kemudian Bu Sin dan Sian Eng adalah anak-anak ayahmu yang kedua dan ketiga, dari ibu mereka yaitu Souw Bwe Hwa sedangkan kau sendiri adalah....”
“Anak pungut! Aku hanya anak angkat!” Lin Lin berseru keras.
Kini Bu Sin memandang kaget. “Biar pun anak angkat, akan tetapi kau seperti anak ayah ibu sendiri, Lin-moi. Kau adik kami...!”
“Adik angkatnya! Sebetulnya orang lain!” Lin Lin kembali bersitegang sambil menggigit bibirnya yang gemetar.
“Hushhh! Mengapa kau bicara begitu?” Kui Lan Nikouw menegur. “Lin Lin, kau juga puteri ayahmu, biar pun anak angkat akan tetapi kau sah menjadi keluarga Kam. Kau she (bernama keturunan) Kam dan namamu Lin...”
“Bukan!” Lin Lin sudah meloncat sekarang, dan sinar keemasan berkilauan ketika ia mencabut pedangnya. Pedang Besi Kuning!
Melihat ini Bu Sin dan Kui Lan Nikouw juga bangkit berdiri dengan muka pucat. Hanya Kim-sim Yok-ong yang tetap duduk tenang, hanya melirik sedikit ke arah Lin Lin, agaknya kejadian seperti ini sama sekali tidak aneh baginya karena ia telah mengetahui dasar-dasarnya.
“Bukan! Aku bukan apa-apa kalian, bukan apa-apanya Bu Song! Aku tidak punya she Kam, dan namaku adalah Yalin! Puteri Mahkota, Puteri Khitan, yang mulia Puteri Yalin! Aku bukan apa-apa kalian. Aku bukan adiknya, bukan adiknya...!” Tiba-tiba Lin Lin meloncat dan lari ke luar dari dalam pondok, pedangnya berkilauan.
“Lin-moi...!” Bu Sin hendak mengejar akan tetapi lengannya dipegang Kui Lan Nikouw.
“Takkan ada gunanya, Sin-ji. Sejak dulu aku sudah menduga bahwa sewaktu-waktu ia akan memenuhi panggilan darahnya. Memang dia berdarah bangsawan Khitan. Kau tidak lihat sikapnya tadi? Begitu agung seperti puteri! Biarkanlah, hatinya keras sekali dan kepandaiannya juga luar biasa, percuma saja dihalangi kehendaknya.”
“Korban asmara lagi...,” Kim-sim Yok-ong bicara perlahan seperti orang bicara kepada dirinya sendiri. “Penyakit orang muda yang amat sukar diobati. Percuma saja aku disebut Raja Obat, terhadap penyakit yang satu ini aku benar-benar angkat tangan...,” lalu ia menarik napas panjang dan meninggalkan meja, memasuki kamarnya untuk mengaso.
Bu Sin hanya dapat saling pandang dengan bibi gurunya, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Raja Obat itu. Yang paling bingung dan sedih adalah Bu Sin. Kembali ia harus berpisah dari Sian Eng dan Lin Lin. Perpisahan yang amat aneh dan luar biasa. Sian Eng lenyap tak meninggalkan bekas sehingga sukar baginya untuk mencarinya. Akan tetapi Lin Lin biar pun pergi secara aneh dan tidak sewajarnya, dapat ia duga bahwa adiknya, adik angkat yang luar biasa ini, besar sekali kemungkinannya pergi ke Khitan! Hanya Suling Emas yang dapat ia harapkan! Suling Emas, atau kakaknya, Kam Bu Song seoranglah yang dapat ia harapkan bantuannya untuk mencari kedua orang adiknya itu. Akan tetapi, Suling Emas juga lenyap tak berbekas, ke mana ia harus mencarinya?
Sementara itu, Lin Lin berlari-lari seperti orang gila, tidak peduli ke mana kakinya bergerak membawanya, berlari sambil mengulang kata-kata, “Dia bukan kakakku... dia bukan kakakku...!”
Sampai malam gelap tiba, gadis ini terus berlari meninggalkan pegunungan Thai-san dan akhirnya tibalah ia di sebuah hutan di kaki gunung bagian utara. Malam yang gelap tidak memungkinkan ia melanjutkan larinya. Ia menjatuhkan diri di atas rumput dan duduk termenung. Tidak menangis lagi, namun beberapa kali ia masih terisak, sedu-sedan menyelingi napasnya yang terengah-engah karena berjam-jam lari cepat tadi melelahkannya. Pikirannya penuh dengan bayangan Suling Emas, penuh dengan persoalan Suling Emas.
Lin Lin merenung sambil menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon. Ia merasa yakin benar bahwa Suling Emas mencintanya. Hal ini jelas dapat ia tangkap dari pandang mata, dari kata-kata, mau pun dari gerak dan belaiannya kemarin. Ia tahu bahwa Suling Emas memaksa diri menjauhinya, memaksa diri memutus rasa cinta kasih. Apakah sebabnya? Inilah yang menjadi bahan pemikirannya. Karena mereka masih bersaudara?
Hanya namanya saja saudara! She Kam yang ia pakai bukanlah she-nya yang asli. Ia tidak berdarah Kam! Tidak dari ayah, juga tidak dari ibu, tidak menghubungkan pertalian darah antara dia dan Suling Emas. Apakah karena Suling Emas betul-betul merasa telah tua? Ini pun tidak betul, karena biar pun ada selisih usia antara dia dan Suling Emas, namun pendekar itu belumlah tua, baru tiga puluh tahun lebih. Lalu, apa sebabnya dia menolaknya. Karena di sana ada wanita lain! Tapi... ia yakin bahwa Suling Emas mencintanya.
Tiba-tiba ia teringat dan meloncat bangun! Mengapa ia hanya mengingat akan Suling Emas sehingga ia lupa akan Kam Bu Song? Ah, sekarang tahulah dia. Pernah ia mendengar tentang hubungan asmara antara kakaknya itu, Kam Bu Song pernah bercinta dengan puteri bangsawan adik Suma Boan. Dan Kam Bu Song adalah Suling Emas! Ah, mengapa ia begini tolol? Teringat ia sekarang akan perjumpaannnya yang pertama kali dengan Suling Emas.
Di dalam gedung perpustakaan di istana kaisar. Perjumpaan pertama di tempat yang agak gelap itu, di mana serta-merta Suling Emas memeluk dan menciumnya, kemudian kaget dan minta maaf, bukankah ini jelas membuktikan bahwa Suling Emas menyangka dia wanita lain, wanita yang menjadi kekasihnya, yang biasa dipeluk-ciumnya dan biasa mengadakan pertemuan rahasia dengannya? Ah, mengapa ia begitu bodoh? Terang bahwa Suling Emas mencinta wanita lain, tak salah lagi, wanita itu tentulah adik Suma Boan!
Berpikir sampai di sini, muka Lin Lin menjadi merah padam. Alangkah memalukan! Ia mencinta orang yang selama ini dicari-carinya sebagai kakaknya! Dan ia bertepuk sebelah tangan. Orang yang dicintanya sama sekali tidak membalas, karena telah mencinta orang lain. Benar-benar ia telah merendahkan diri sampai sehina-hinanya. Ia merasa malu sekali.
“Aku harus pergi jauh. Aku harus kembali ke Khitan. Aku takkan mau bertemu muka dengan dia lagi, kecuali kalau aku sudah menjadi ratu di Khitan! Baru aku suka bertemu dengan dia, sebagai ratu bukan sebagai adiknya, apa lagi sebagai... kekasihnya. Tapi sebelum ke Khitan... aku harus melenyapkan wanita itu, wanita yang berani menolak cinta kasih Suling Emas, wanita yang berani merampas hati Suling Emas, wanita yang menjadi penghalang kebahagiaannya!” Berpikir demikian, hati panas membuat Lin Lin lupa akan kelelahannya dan bangkitlah ia, lalu melanjutkan perjalanan di waktu malam, keluar masuk hutan.
Tiba-tiba Lin Lin menghentikan kakinya dan kepalanya dimiringkan. Ia mendengar suara aneh. Lengking tinggi berkali-kali menggema di malam gelap. Hatinya berdebar. Suara sulingkah itu? Ia ragu-ragu. Ia tidak sudi bertemu kembali dengan Suling Emas sebelum ia menjadi ratu di Khitan. Akan tetapi... sebelum ia pergi jauh, apa salahnya satu kali lagi saja melihat wajahnya? Keraguan meliputi hati Lin Lin, akibat dari pada dua macam perasaan yang bertentangan. Namun akhirnya kakinya melangkah, seakan-akan di luar kesadarannya, menuju ke arah suara melengking-lengking. Pedang Besi Kuning sudah berada di dalam tangannya.
Ketika tiba di tempat itu Lin Lin tertegun. Di sebuah tempat terbuka, di bawah sinar bintang-bintang yang remang-remang, ia melihat pertempuran yang hebat dan ia tersentak kaget. Siang-mou Sin-ni agaknya yang sedang bertanding, melawan seorang kakek bongkok yang bukan lain adalah It-gan Kai-ong! Akan tetapi mana mungkin? Bukankah Siang-mou Sin-ni sudah tewas, terjerumus ke dalam jurang, mati di tangan Suling Emas?
Dan suara melengking-lengking itu keluar dari mulut Siang-mou Sin-ni. Akan tetapi, biar pun wanita itu bertanding dengan rambut terurai, rambut itu tidak sepanjang Siang-mou Sin-ni dan wanita ini bertanding tanpa menggunakan rambutnya seperti keistimewaan Siang-mou Sin-ni! Apakah wanita baju hijau? Pernah ia melihat wanita baju hijau itu rambutnya berurai ketika bersumpah di depan makam ayahnya. Akan tetapi wanita itu baru-baru ini ia lihat tidak berambut lagi, sudah gundul seperti seorang nikouw! Siapakah gerangan wanita ini?
Ia mendekati dan melihat betapa wanita itu gerakan-gerakannya dahsyat dan aneh luar biasa. It-gan Kai-ong merupakan lawan yang berat, tongkatnya menyambar-nyambar mendatangkan angin keras. Akan tetapi gerakan kakek itu lamban, dan teringatlah Lin Lin bahwa kakek pengemis mata satu ini pun sudah terluka parah. Kalau tidak terluka, agaknya wanita itu bukan lawannya. Lin Lin makin mendekat dan alangkah kaget dan marahnya ketika ia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Sian Eng!
“Enci Sian Eng, jangan takut. Kubantu kau menghajar mampus iblis ini!” Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat ke depan, didahului sinar kuning emas pedangnya yang sudah menerjang It-gan Kai-ong dengan ganas.
Maklum akan kelihaian lawan, serta-merta Lin Lin mainkan jurus-jurus yang ia pelajari dari ilmu rahasia dalam tongkat pusaka Beng-kauw. Hebat gerakannya itu, biar pun belum matang sekali namun karena jurus-jurus itu adalah jurus sakti yang khusus diciptakan oleh mendiang pendiri Beng-kauw, Pat-jiu Sin-ong, maka hebatnya bukan main.
Begitu pedangnya bergerak, It-gan Kai-ong berseru, “Uhhhhh!” dan kakek ini terhuyung ke belakang, hampir saja perutnya termakan ujung pedang.
“Bagus, Lin-moi adikku! Mari bantu aku bikin mampus anjing ini!” teriak Sian Eng dengan gembira dan kedua tangannya melakukan serangan hebat, dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke arah dada kakek itu.
Lin Lin tertegun karena melihat betapa kedudukan kaki dan gerakan tangan enci-nya itu mirip sedikit dengan ilmu barunya! Hal ini sebenarnya tidak aneh karena sebuah di antara kitab yang dipelajari Sian Eng di dalam goa adalah kitab ilmu silat Beng-kauw peninggalan Tok-siauw-kui yang tentu saja dasarnya sama dengan ilmu yang ia warisi dari Pat-jiu Sin-ong. Karena ini ia menjadi gembira dan mainkan pedangnya.
Secara aneh sekali, gerakan mereka seimbang dan setelah mereka menyerang bersama, maka serangan itu merupakan rangkaian yang cocok dan daya serangannya hebat bukan main. It-gan Kai-ong yang sudah terluka parah dalam pertandingannya melawan Suling Emas beberapa hari yang lalu menjadi terkejut sekali. Biar pun dua orang gadis itu sudah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian yang luar biasa, namun andai kata ia tidak terluka parah, agaknya tidaklah mudah bagi mereka untuk dapat mengalahkannya.
Akan tetapi, apa hendak dikata, ia terluka hebat dan luka itu belum sembuh, maka sekarang ia menghadapi keroyokan ini dengan berat. Beberapa kali ia terhuyung dan pada saat ia menangkis Pedang Besi Kuning dengan tongkat yang ia buat dari dahan pohon, kedua senjata itu saling tempel tak dapat dipisahkan lagi. Inilah saat yang celaka bagi It-gan Kai-ong karena pada detik berikutnya, pukulan tangan kanan Sian Eng dengan hebat menghantam lambungnya.
“Blukkk...!”
It-gan Kai-ong memekik aneh dan mulutnya menyemburkan darah segar, lalu tubuhnya terjengkang ke belakang. Pedang Besi Kuning yang sudah terlepas dari tempelan tongkat, menyambar dan sebuah bacokan membuat pundak kiri It-gan Kai-ong hampir putus. Kakek itu roboh dan pingsan seketika.
“Adikku, pinjamkan pedangmu sebentar!” kata Sian Eng dengan suara bersorak, kemudian ia menerima Pedang Besi Kuning itu dan... sambil tertawa-tawa seperti orang gila Sian Eng lalu menghujani tubuh It-gan Kai-ong dengan bacokan dan tusukan sehingga dalam sekejap mata saja tubuh kakek itu hancur tidak karuan macamnya lagi.
“Sudah, Enci Eng...!” Lin Lin merasa ngeri dan memalingkan mukanya. Ia merasa ngeri dan heran mengapa enci-nya menjadi begitu ganas. “Cukup! Dia sudah mati...!”
Akan tetapi Sian Eng terus membacok-bacok sambil tertawa-tawa sampai tubuh itu tidak merupakan tubuh manusia lagi, melainkan merupakan daging cacahan yang mengerikan. Tiba-tiba ia ber­henti membacok, melempar pedangnya ke atas tanah lalu... gadis ini menjatuhkan diri di atas tanah sambil menangis tersedu-sedu, sedih sekali.
Lin Lin sejenak terkesima. Kemudian ia mengambil pedangnya, membersihkannya dengan rumput dan menyarungkannya. Setelah itu ia mendekati Sian Eng, berlutut, merangkulnya dan membujuk.
“Sudahlah, Enci Eng. Mengapa kau agaknya begitu membencinya? Mengapa pula kau melarikan diri secara aneh? Ada rahasia apakah yang terjadi padamu? Ceritakanlah kepada adik...,” sampai di sini Lin Lin teringat dan menyambung, “ceritakan kepadaku, apa yang kau susahkan.”
Mendengar ini, Sian Eng menangis makin keras sampai tubuhnya berguncang-guncang sesenggukan ketika ia membenamkan mukanya pada rangkulan Lin Lin. Akhirnya tangisnya mereda dan ia dapat bicara, “Lin Lin, aku menangis saking girang hatiku dapat membunuh anjing ini. Dapat membunuh... gurunya dan sekarang aku akan mencarinya. Sebelum aku dapat membunuhnya, aku tidak mau berhenti!”
Lin Lin belum dapat mengerti. “Membunuh siapa, Enci Eng?”
“Siapa lagi kalau bukan murid anjing ini?”
Lin Lin terkejut, terheran. Setahunya murid It-gan Kai-ong adalah Suma Boan. Memang mereka semua membenci Suma Boan, akan tetapi mengapa agaknya enci-nya membenci secara luar biasa?
“Kau maksudkan, Suma Boan?”
Tiba-tiba meledak lagi tangis Sian Eng. “Betul! Anjing biadab itu! Keparat jahanam Suma Boan, kau tunggulah pembalasanku!” Ia berteriak-teriak.
Diam-diam Lin Lin girang. Dia sendiri bermaksud mencari adik perempuan Suma Boan yang ia anggap telah merampas kekasihnya. Akan tetapi di samping kegirangannya mendapat teman enci-nya pergi ke kota raja, ia pun merasa heran bukan main.
“Enci Sian Eng, memang Suma Boan itu bukan manusia baik-baik dan sudah sepatutnya kita membencinya. Akan tetapi, kau sebut-sebut tentang pembalasan. Apakah artinya itu?”
Sian Eng merangkul Lin Lin. Pada saat itu ia telah kembali normal. Lin Lin merapikan rambut enci-nya, mengatur dan menyanggulkannya kembali.
“Lin-moi, dia... dia... ah, tadinya aku... aku telah gila. Aku... aku mencintanya....”
“Hemmm...?” Tapi Lin Lin menindas keheranannya, “Apa anehnya dengan itu? Wajar, Enci. Memang hati ini tidak dapat dikuasai kalau sudah menjatuhkan pilihannya.”
“Tapi dia menipuku! Dia mengkhianatiku! Ah... Lin-moi, pilihanku keliru...!”
Sambil menangis Sian Eng lalu menceritakan semua pengalamannya, mulai dia diperalat oleh Suma Boan mencari ilmu warisan Tok-siauw-kui sampai peristiwa di dalam perahu di mana ia dinodai oleh pemuda bangsawan yang berwatak kotor itu.
Berdiri sepasang alis Lin Lin. Ia mempertemukan giginya dengan penuh kegemasan sambil berkata, “Bedebah! Dia patut dibasmi! Mari kubantu kau, Enci Sian Eng. Kita cari dia di kota raja dan kita bunuh anjing itu. Setelah itu, kita langsung pergi ke istana karena aku pun harus membunuh adik perempuan Suma Boan.”
Kini Sian Eng yang memandangnya dengan mata terbelalak heran. Saking kaget dan herannya, Sian Eng lupa akan tangisnya dan dengan mata merah dan pipi masih basah air mata ia menatap wajah adiknya, lalu bertanya, “Suma Ceng? Mengapa kau hendak membunuh Suma Ceng? Aku pernah bertemu dengannya. Dia itu biar pun adik dari Suma Boan, namun wataknya baik sekali, berbeda dengan kakaknya. Pula, dia adalah bekas kekasih kakak Kam Bu Song yang sampai sekarang masih mencintanya.”
“Justru itulah sebabnya mengapa aku harus membunuhnya!”
“Apa? Karena ia mencinta kakak Bu Song?”
“Karena ia berani mencinta Suling Emas!”
“Eh, Lin-moi. Bagaimana itu? Apa salahnya itu? Mengapa kau marah melihat Suma Ceng mencinta....”
“Karena aku mencinta Suling Emas!” ucapan Lin Lin ini terdengar keras.
Sian Eng melongo dan sejenak tak dapat mengeluarkan kata-kata. Kemudian ia memegang lengan adiknya dan mengguncang-guncang, seakan-akan ia hendak membangunkan adiknya dari pada tidur dan mimpi buruk.
“Lin-moi...! Gilakah kau? Suling Emas adalah Kam Bu Song!”
“Aku tahu!” jawabnya dingin.
Sian Eng makin bingung. “Kau tahu dan kau bilang mencintanya? Suling Emas atau Kam Bu Song adalah kakakmu...”
“Bukan! Sekali lagi bukan kakakku! Pertalian apakah yang mengikat persaudaraan kami? Dia itu kakak tiriku, memang betul. Kalian seayah lain ibu. Akan tetapi aku? Aku adalah Yalin, Puteri Yalin, Puteri Mahkota Khitan! Dia itu, juga kau, dengan aku adalah orang lain, berlainan darah. Mengapa aku tidak boleh mencinta Suling Emas?”
Hening sejenak. Agaknya Sian Eng terpukul mendengar kenyataan yang benar-benar mengguncangkan hatinya ini. Sama sekali tak pernah disangkanya akan terjadi keruwetan cinta kasih semacam ini. Tadinya ia mengira bahwa dialah orang paling tidak beruntung di dunia ini, yang menjatuhkan hati secara keliru. Kiranya sekarang terjadi pertalian asmara yang lebih aneh pada diri Lin Lin.
“Hemmm, begitukah? Kau mencinta Suling Emas. Lalu, mengapa kau hendak membunuh Suma Ceng? Dia sudah bersuami orang lain, sudah mempunyai anak, mengapa diganggu lagi? Bagaimana sikap Suling Emas terhadap cintamu?”
Ditanya begini, tiba-tiba Lin Lin menangis! Keadaan menjadi terbalik sama sekali. Sekarang Lin Lin yang menangis dan Sian Eng memeluknya, menghiburnya. Kemudian di antara isak tangisnya Lin Lin menceritakan pengalamannya, betapa secara aneh Suling Emas menolak cintanya dengan alasan sudah tua, alasan yang sama sekali tidak dipercayanya karena ia yakin bahwa kakak angkatnya itu juga mencintanya.
“Tentu karena gara-gara Suma Ceng itulah maka ia tidak membalas cintaku, atau lebih tepat ia memaksa diri memutuskan pertalian asmara denganku. Enci Sian Eng, biar pun kita bukan saudara sedarah, namun semenjak kecil kita berkumpul. Aku akan membantumu membunuh Suma Boan, kemudian kau membantu aku membunuh Suma Ceng. Setelah itu, aku akan pergi ke Khitan untuk merampas kedudukan ratu yang menjadi hakku. Nah, bagaimana? Apakah kau mau ikut denganku? Aku akan tetap menganggapmu sebagai kakakku sendiri. Biarlah kita yang menderita karena asmara ini bersama-sama menghadapi segala hal, sehidup semati.”
Sian Eng terharu, merangkulnya dan kedua orang gadis itu bertangisan. Kemudian mereka meninggalkan tempat itu, tempat yang amat menyeramkan karena di situ terdapat onggokan daging, tulang dan darah It-gan Kai-ong yang sudah tidak dapat disebut mayat lagi, dan tak lama setelah kedua orang gadis itu pergi, burung-burung liar beterbangan datang untuk menyantap hidangan yang lezat bagi mereka ini!
********************
Sementara itu, terjadi perubahan besar di kota raja Kerajaan Sung. Kaisar Sung Thai Cu, Kaisar Kerajaan Sung pertama telah menyerahkan tahta kerajaan kepada adiknya sendiri yang berjuluk Kaisar Sung Thai Cung. Kaisar baru ini juga melanjutkan politik pemerintahan kakaknya, namun dibandingkan dengan Sung Thai Cu kaisar kedua ini lebih berhasil. Kaisar Sung Thai Cung berani mempergunakan tangan besi terhadap para pejabat tinggi yang melakukan penyelewengan, tidak mudah dijilat oleh sikap memuji-muji, dan di samping ini, memperkuat pasukan kerajaan dalam persiapan menggempur kerajaan-kerajaan kecil yang sampai saat itu belum juga mau tunduk dan belum mengakui kekuasaan Kerajaan Sung.
Berbeda dengan jaman kerajaan yang sudah-sudah, terutama di jaman Kerajaan Tang yang sering kali terjadi perebutan kekuasaan dan perang saudara di kala tahta kerajaan berpindah tangan, pemindahan kekuasaan dan penggantian kaisar kali ini terjadi dengan aman dan tidak terjadi sesuatu keributan. Hal ini adalah karena kebijaksanaan Kaisar Sung Thai Cu yang dalam hal ini melaksanakan anjuran ibunya, yaitu menyerahkan kekuasaan dan mengangkat adiknya sendiri sebagai penggantinya. Andai kata ia tidak bijaksana dan memaksa untuk mewariskan tahta kerajaan kepada putera-puteranya yang kurang pengalaman, pasti hal ini akan menimbulkan kekeruhan, mendatangkan perebutan kekuasaan dan perang saudara seperti yang sudah-sudah.
Kaisar yang baru, Sung Thai Cung, adalah seorang yang luas pandangan dan bijaksana. Namun tindakannya yang pertama, yaitu membersihkan petugas-petugas negara yang korup dan nyeleweng, sedikit banyak menimbulkan keributan pula dari para pembesar yang melakukan perlawanan. Betapa pun juga, mereka ini semua dapat ditundukkan dan diseret ke dalam penjara, bahkan banyak di antaranya yang diberi hukuman mati. Biar pun peristiwa pembersihan ini melegakan hati rakyat, namun mengubah suasana di kota raja.
Karena terlalu banyak pembesar korup dibunuh, dan juga karena memang hampir semua petugas tadinya menyeleweng, banyak di antara mereka yang melarikan diri sebelum tertangkap. Mereka yang masih berani tinggal di kota raja dengan harapan takkan diketahui dosa-dosa mereka yang lalu, tidak pernah berani keluar rumah, takut ada jari telunjuk menudingnya. Inilah yang membuat kota raja menjadi sunyi. Tidak ada lagi pembesar, lama mau pun baru, yang berani berfoya-foya dan berpelesir seperti yang sudah-sudah.
Keadaan di kota raja ini mempengaruhi pula keadaan kota-kota besar lain, terutama sekali yang berdekatan dengan kota raja, seperti kota An-sui. Kota ini pun menjadi sepi dan banyak pembesarnya melarikan diri atau ditangkap.
Gedung besar Pangeran Suma Kong tetap berdiri megah dan pangeran tua ini tidak mau melarikan diri. Memang ia dahulu terkenal sebagai seorang pangeran yang korup dan banyak makan uang negara. Akan tetapi sudah bertahun-tahun ia tidak memegang tugas lagi karena dipecat dan tidak diperbolehkan bertempat tinggal di kota raja oleh kaisar pertama.
Selain merasa bahwa dia sekarang sudah ‘bersih’, juga dengan adanya Suma Boan yang amat terkenal, tentu saja keluarga bangsawan Suma ini tidak merasa takut. Bahkan Suma Boan mengumpulkan anak buahnya, yaitu para buaya dan tukang pukul yang memiliki kepandaian untuk menjaga gedungnya siang malam. Di luar gedung, di setiap pintu, di atas genteng di sebelah kanan kiri dan belakang, semua terjaga dengan kuat siang malam sehingga gedung Pangeran Suma itu seakan-akan berubah menjadi sebuah benteng.
Setiap hari para penjaga yang bertugas menjaga di pekarangan depan yang luas dari gedung itu melewatkan waktu menganggur dengan latihan-latihan ilmu silat atau olah raga lain yang. Selain untuk berlatih maksudnya juga sebagai ‘pamer kekuatan’ untuk membangun ketabahan sendiri dan untuk mengecilkan hati golongan yang hendak memusuhi Pangeran Suma. Di situ terdapat delapan belas macam senjata dan juga besi-besi dan batu-batu besar yang mereka angkat dan lempar-lemparkan ke atas untuk mendemonstrasikan tenaga mereka. Penjagaan yang amat ketat ini dilakukan siang malam sehingga keluarga itu seakan-akan mempunyai barisan sendiri yang terdiri dari seratus orang lebih yang melakukan penjagaan secara bergiliran.
Pada suatu pagi yang cerah, seperti biasa belasan orang penjaga di pekarangan depan itu bermain-main di pekarangan, mengangkat besi dan melempar-lempar batu, ada pula yang bermain silat dengan pelbagai senjata. Di antara mereka, yang mempunyai bentuk tubuh kuat dan menjadi ahli gwakang (tenaga luar), sengaja membuka baju untuk memamerkan otot-otot yang besar melingkar-lingkar di tubuh mereka. Kelebatan senjata tajam menyilaukan mata. Para penjaga yang bertugas di atas rumah juga ikut menonton sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa.
Munculnya Sian Eng di depan pintu pekarangan itu sekaligus menghentikan semua kegiatan olah raga. Semua mata mengincar keluar dan senyum lebar menghias semua mulut para penjaga itu, senyum dan pandang mata kurang ajar karena memang pemandangan di pagi hari ini menyedapkan mata. Pakaian Sian Eng yang ringkas membungkus tubuh yang langsing padat, wajah yang cantik jelita dengan hiasan rambut yang hitam halus disanggul ke atas, gerakan yang lemah gemulai, semua ini merupakan daya penarik yang mengagumkan hati semua laki-laki.
Sudah lazim di dunia ini, apa bila melihat seorang wanita cantik, timbul kegembiraan di hati pria. Kalau pria itu hanya sendirian, tentu tidak berani ia mengumbar kekurang-ajarannya dan akan menyimpan kekagumannya dalam pandang mata dan senyum. Kalau pria itu memang berwatak bersih, ia hanya akan menyimpan kekagumannya di dalam hati. Akan tetapi kalau banyak laki-laki yang memang wataknya kasar sedang berkumpul, tentu akan timbul kekurang-ajaran mereka dan mulailah para penjaga ini tertawa-tawa.
“Aduhhhhh... cantiknya...!”
“Wahai... siapakah begitu bahagia memiliki bidadari ini?”
Demikian bermacam-macam teriakan yang terdengar dari mulut mereka, bahkan di antara mereka ada yang mulai pula melempar-lempar batu dan mengangkat-angkat besi berat untuk pamer dan berusaha menarik perhatian gadis cantik ini. Namun Sian Eng tidak pedulikan itu semua, kakinya langsung melangkah masuk dengan tenang.
Melihat gadis itu betul-betul memasuki pekarangan, kegembiraan mereka memuncak dan seorang di antara mereka, komandan jaga, segera melangkah maju bertanya, suaranya digagah-gagahkan, “Nona, kau hendak mencari siapakah? Siapa di antara kita yang hendak kau jumpai? Heee, teman-teman! Adakah di antara kalian yang mengenal Nona ini?” kata-kata ini diteriakkan si komandan jaga dengan nada tidak percaya.
“Aku...!”
“Aku kenalannya!”
“Ah, akulah sahabat baiknya!”
“Heee, jangan mengacau! Dia tentu memilih aku!” teriak pula seorang penjaga yang bertugas di atas genteng.
“Pilihlah aku, Nona. Habis bulan semua gajiku akan kuserahkan padamu seluruhnya!” teriak pula seorang yang tubuhnya tinggi besar.
“Ha-ha, jangan percaya! Tentu sebagian sudah ia selundupkan ke tangan isterinya yang pertama!”
Ramailah suara para penjaga, bahkan banyak di antaranya yang mengeluarkan kata-kata kotor dan tidak sopan. Akan tetapi Sian Eng tetap tenang tidak mempedulikan mereka, bahkan tersenyum sedikit, senyum yang sebenarnya merupakan senyum sedih. Akan tetapi karena memang ia manis sekali kalau tersenyum, maka senyum ini mendatangkan teriakan-teriakan baru yang lebih riuh. Sian Eng menanti sampai hiruk-pikuk itu reda, baru ia berkata.
“Aku ingin bertemu dengan Suma Boan.”
Semua suara sirap seketika dan semua mata memandang penuh curiga, penuh selidik. Semua penjaga ini mengenal belaka kongcu mereka dan mengenal pula wanita-wanita yang mempunyai hubungan dengan putera pangeran itu. Akan tetapi mereka belum pernah melihat Sian Eng, oleh karena itu mereka menjadi curiga.
“Mengapa mencari Suma-kongcu? Apakah kau kenal dia?” tanya si komandan matanya memandang penuh selidik.
Sian Eng mengangguk, “Aku kenal dia, harap suka panggil dia keluar.”
Seorang penjaga yang bertelanjang dada, yang tubuhnya tegap dan kuat, melangkah maju. “Nona cantik, mengapa mencari Kongcu? Apakah kita ini tidak cukup hebat? Kau tinggal pilih. Lihatlah aku, hemmm, kalau kau menjadi kekasihku, kau akan aman. Lihat betapa kuatnya aku!”
Ia lalu membungkuk, kedua lengannya bergerak mengangkat sebuah batu besar. Otot-otot di tangannya melingkar-lingkar dan menonjol keluar ketika ia melemparkan batu itu ke atas, disambut dan dilemparkan lagi berkali-kali, seakan-akan seorang anak kecil bermain-main dengan sebuah bola karet yang ringan. Akhirnya ia membanting batu seberat seratus kati lebih itu ke atas tanah, ke depan Sian Eng, sambil mengangkat dada dengan penuh kebanggaan.
Sejak tadi sebetulnya hati Sian Eng sudah panas dan marah, akan tetapi ditahan-tahannya. Pikirannya sedang normal maka ia dapat mempergunakan kesabarannya, apa lagi memang kedatangannya ini sudah ia rencanakan bersama Lin Lin. Mereka sudah beberapa malam mengitari gedung akan tetapi tidak melihat jalan aman untuk memasuki gedung. Demikian ketat penjagaan di situ dan mereka berdua maklum bahwa menghadapi Suma Boan saja sudah berat, apa lagi kalau dikeroyok banyak penjaga dan siapa tahu di dalam gedung itu bersembunyi pula orang-orang sakti yang membantu Suma Boan.
Akan tetapi menyaksikan lagak orang-orang ini, Sian Eng hampir tidak kuat menahan kesabaran hatinya. Ia melangkah maju mendekati tempat itu, kaki kirinya bergerak dan... batu besar itu terlempar ke arah penjaga bertelanjang dada yang sedang membusungkan dadanya itu.
“Uhhhhh...!” orang itu berseru kaget.
Terpaksa menerima batu itu, namun ia tidak kuat menahan dan tubuhnya terlempar ke belakang sampai beberapa meter. Untung batu itu segera ia lempar ke samping sehingga tidak menimpa dadanya, namun hantaman tadi cukup membuat ia terengah-engah dan dari mulutnya keluar darah!
Ributlah para penjaga itu. Makin curiga mereka karena ternyata bahwa gadis cantik ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi Sian Eng segera berkata dengan suara ketus. “Aku adalah kenalan baik Suma Boan, apakah kalian masih berani main-main? Tunggu saja kalau Kongcu kalian melihat kekurang­ajaran kalian, aku akan minta dia memenggal kepala kalian seorang demi seorang!”
Kata-kata ini berpengaruh sekali. Mereka segera mundur dengan muka pucat dan komandan jaga segera mengedipkan mata kepada kawan-kawannya, kemudian ia sendiri berkata, “Maaf, karena kami tidak mengenal Nona, maka berani bersikap kasar. Harap Nona tunggu sebentar, saya akan melaporkan kepada Suma-kongcu.”
Sian Eng hanya mengangguk, kemudian ia menghampiri penjaga yang masih duduk terengah-engah. “Kau tidak lekas berlutut?!” bentaknya.
Penjaga yang sial ini sudah mendengar juga tadi pengakuan gadis lihai ini sebagai kenalan baik Suma-kongcu, maka dengan menahan rasa sakit dan hati penuh rasa takut akan kemarahan majikannya, ia segera berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala minta ampun. Tiba-tiba mereka semua, para penjaga itu, menjadi ngeri dan merasa seram karena gadis cantik itu tertawa meleking aneh dan terdengar bukan seperti suara ketawa manusia.
“Pergilah!” kaki Sian Eng bergerak dan penjaga itu terlempar beberapa meter jauhnya, bergulingan seperti sebuah bola ditendang. Anehnya, ia merasa dadanya tidak sesak lagi, maka cepat ia meloncat berdiri, mengangguk dengan hormat dan mengundurkan diri!
“Moi-moi...!” Pada saat itu Suma Boan muncul dari pintu samping. Ketika menerima laporan bahwa seorang gadis cantik yang amat lihai datang mencarinya, Suma Boan menjadi curiga dan mengintai dengan jalan memutar dari pintu samping. Akan tetapi begitu melihat bahwa yang datang adalah Sian Eng, hatinya berdebar keras. Tentu saja ia menjadi curiga dan menyangka buruk. Akan tetapi karena Sian Eng hanya datang seorang diri, timbul ketabahan hatinya, dan pula memang ia merasa suka kepada gadis cantik yang ia tahu amat mencintanya ini. Maka dengan hati berdebar dan sikap waspada, pemuda ini lalu muncul dan memanggil dengan suara penuh kasih sayang, wajah berseri, akan tetapi sinar matanya penuh selidik menatap wajah yang cantik jelita dan agak pucat itu.
“Koko...!” Sian Eng juga berseru dengan suara tertahan, seakan-akan ia merasa girang dan terharu, mukanya tiba-tiba menjadi merah seperti orang malu dan jengah. “Aku... aku ingin bicara penting denganmu...!”
Berdebar-debar jantung Suma Boan. Akan tetapi pandang matanya masih penuh selidik, ingin ia menjenguk isi hati gadis itu. Ia tahu bahwa Sian Eng mencintanya, akan tetapi tahu pula bahwa gadis itu bisa mendendam kepadanya dan bisa membenci karena perbuatannya terhadap gadis itu di dalam perahu. Tentu saja ia tidak mencinta dengan setulus dan sejujurnya hati terhadap Sian Eng, melainkan mencintanya karena gadis itu memang cantik jelita. Bagi seorang laki-laki semacam Suma Boan, ia selalu jatuh cinta kepada wanita cantik, berapa pun banyaknya. Cinta yang berdasarkan nafsu birahi, cinta yang berdasarkan ingin menyenangikan diri sendiri. Di samping kecantikan Sian Eng, juga gadis ini telah menemukan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui yang amat ia inginkan.
Namun Suma Boan adalah seorang laki-laki yang sudah banyak pengalamannya, pula ia terkenal cerdik, maka ia masih saja menaruh curiga. Tentu saja ia cukup percaya akan kepandaian sendiri, tahu bahwa Sian Eng seorang diri saja takkan mampu berbuat buruk terhadapnya. Akan tetapi ia sudah membuktikan keadaan aneh gadis ini yang seakan-akan telah menemukan ilmu dan memilikinya secara hebat, sungguh pun belum sempurna benar.
“Koko, aku mau bicara tentang... kitab...”
Seketika wajah Suma Boan berseri. Keinginannya mendapatkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui amat besar. Apa lagi pada waktu sekarang setelah keadaan pemerintahan di kota raja terjadi perubahan dan ia merasa betapa kedudukan keluarga ayahnya terancam. Ia ingin sekali mendapatkan kitab-kitab itu dan mewarisi kepandaian yang akan membuat ia menjadi seorang jagoan nomor satu yang ditakuti semua lawan.
“Moi-moi..., aku girang sekali kau datang. Marilah kita bicara di dalam...!” Ia melangkah maju, memegang lengan Sian Eng dan menggandengnya.
Sian Eng menurut saja dan berjalanlah mereka bergandengan tangan menuju ke ruangan dalam, melewati pagar penjaga yang berdiri tegak tanpa berkedip. Suma Boan yang menggandeng dan merapatkan tubuhnya merasa betapa jantung di dalam dada gadis itu berdebar-debar keras. Diam-diam ia merasa bahagia sekali karena mengira bahwa gadis ini terlalu girang bertemu dengannya.
Setelah mereka memasuki ruangan sebelah dalam, Suma Boan segera menarik gadis itu ke dalam sebuah kamar tamu yang indah, tiba-tiba ia memeluk Sian Eng dan menciuminya. Sejenak Sian Eng menurut saja, kemudian perlahan ia merenggutkan dirinya, terlepas dari pelukan Suma Boan yang makin merasa yakin bahwa gadis ini tidak marah atau benci kepadanya.
“Moi-moi, kekasihku yang tercinta,” bisik Suma Boan, masih memegangi kedua tangan gadis itu, “alangkah rinduku kepadamu! Kau datang seperti seorang bidadari dari sorga yang turun ke dunia untuk menghibur hatiku. Moi-moi, aku tidak akan melepaskanmu lagi, jangan kau pergi meninggalkan aku lagi. Mari kita hidup bahagia di rumahku ini!”
“Suma-koko, kau sudah mengenal hatiku. Perkara itu belum waktunya kita bicarakan. Kedatanganku ini membawa urusan yang amat penting. Lepaskan tanganmu dan mari kita bicara baik-baik.” Sian Eng menarik tangannya.
Suma Boan tersenyum dan sengaja menekan jantungnya yang berdebar saking girangnya, karena di depan gadis ini ia harus menyembunyikan perasaannya bahwa ia jauh lebih ‘cinta’ pada kitab-kitab pusaka peninggalan Tok-siauw-kui dari pada diri gadis ini.
“Marilah, Adik Sian Eng, kita duduk di sana.” Ia menarik Sian Eng dan keduanya lalu duduk di atas dipan yang terdapat di kamar itu. Suma Boan tetap tidak melepaskan gadis itu, duduk di sampingnya sambil memeluknya. Sian Eng tidak menolak lagi dan ia berkata perlahan.
“Koko, kau tentu maklum akan perasaan seorang gadis. Saking kaget dan duka hatiku, ketika di dalam perahu dahulu...,” suaranya tersendat dan kedua pipinya menjadi merah sekali, “secara tidak sadar aku menyerangmu dan kemudian melarikan diri. Baru kemudian aku merasa betapa... aku tak dapat hidup terpisah dari padamu, maka... maka aku datang ke sini....”
Girang sekali hati Suma Boan. Ia mengelus-elus rambut kepala gadis itu lalu berkata, “Aku tahu, Moi-moi. Aku... aku lupa daratan waktu itu saking besarnya cintaku kepadamu. Tentang kitab-kitab itu... eh, bukankah kau tadi bilang mau bicara tentang kitab?”
Wajah Sian Eng berseri dan ia tersenyum lebar. “Kitab-kitab? Ah, belum kuceritakan kepadamu bahwa setelah aku pergi dari perahu, aku memasuki lagi goa rahasia dan mengambil semua kitab peninggalan Tok-siauw-kui. Kau tahu kitab-kitab apa yang kudapatkan? Kitab rahasia dari Siauw-lim-pai, kitab ilmu pedang dari Kun-lun, kitab rahasia tentang ilmu kesaktian Beng-kauw, ada pula kitab yang mengajarkan ilmu-ilmu mukjijat tentang melawan maut, malah ada kubaca sepintas lalu judul sebuah kitab yang mengajarkan ilmu menghilang dan terbang!”
Seperti seorang kelaparan mendengar cerita tentang makanan-makanan lezat, Suma Boan menelan ludah. Akan tetapi sebagai seorang yang cerdik ia menahan gelora hatinya ini dan cepat memeluk Sian Eng. “Ah, kekasihku yang baik. Sesungguhnya, soal kitab itu bagiku hanya soal kecil. Yang penting, yang selalu kurindukan, yang selalu kuimpikan, adalah dirimu, Adik Sayang! Akan tetapi aku khawatir sekali karena kau sudah mendapatkan kitab-kitab itu, tentu kau menjadi incaran orang-orang dunia kang-ouw. Akan lebih aman kalau kau tinggal bersamaku di sini, beserta kitab-kitab itu yang boleh kita pelajari bersama. Kita kelak akan menjadi suami isteri yang paling hebat di kolong langit! Di manakah sekarang kitab-kitab itu? Mari kita ambil dan bawa ke sini, Moi-moi.”
Sian Eng tersenyum manis, biar pun hatinya penuh kebencian ketika pemuda yang ia cinta akan tetapi yang menghancurkan cinta kasihnya dengan pengkhianatan itu menciuminya mesra. “Itulah sebabnya aku datang, Koko. Kitab-kitab itu kusembunyikan di tempat rahasia. Akan tetapi aku tidak berani mengambilnya sendiri dan membawanya ke sini. Kau benar, kalau sampai ketahuan orang kang-ouw, tentu mereka akan berusaha merampasnya. Marilah kau ikut denganku ke tempat itu, tidak jauh, kita bersama mengambil kitab-kitab itu dan membawanya ke sini. Akan tetapi... apakah betul kau akan tetap setia kepadaku?” Sian Eng pura-pura memandang penuh curiga.
“Ah, Sian Eng, kekasihku, apakah kau masih tidak percaya kepadaku?” Tiba-tiba pemuda itu berlutut di depan Sian Eng, merangkul kedua kakinya!
Sejenak sepasang mata yang bagus itu mengeluarkan sinar berapi. Alangkah inginnya ia menggerakkan tangan, sekali pukul ubun-ubun kepala yang tunduk di depannya itu ia akan dapat membunuh Suma Boan. Akan tetapi ia teringat akan banyaknya penjaga dan ia tentu akan terkurung dan berada dalam bahaya.
“Mari kita pergi sekarang, Koko.”
“Sekarang? Mengapa tergesa-gesa? Pula, berbahaya sekali mengambilnya di waktu siang. Lebih baik malam nanti kita pergi, Adikku.”
Karena tahu bahwa kalau ia mendesak, Suma Boan pasti akan menaruh curiga, gadis itu terpaksa menyetujui. Pula, memang lebih baik pergi di waktu malam untuk melaksanakan rencananya yang sudah ia atur dengan Lin Lin ini. Ia harus berani berkorban, demi maksud hatinya membalas dendam. Hatinya perih dan makin sakit, akan tetapi Sian Eng rela menjadi permainan Suma Boan sebelum ia mendapat kesempatan menghancurkan orang yang telah membasmi kebahagiaan hatinya.
Ia terpaksa menuruti kehendak Suma Boan terpaksa ia menyerah dan menahan-nahan kemuakan hatinya ketika Suma Boan membuktikan ‘cinta kasihnya’, yang sesungguhnya bukan lain hanya terdorong nafsu semata-mata. Makin bencilah hati Sian Eng, dan ketika hari terganti malam Suma Boan menggandeng tangannya keluar dari gedung, hampir Sian Eng tak kuat menahan kebenciannya. Baru setelah mereka berjalan di dalam gelap, gadis ini mencucurkan air mata yang cepat-cepat ia usap dengan ujung lengan bajunya.
Suma Boan kini percaya betul kepada Sian Eng. Siang tadi, gadis ini menyerah ikhlas kepadanya, tanda bahwa gadis ini benar-benar datang karena cintanya. Penyerahan gadis inilah menjadi bukti baginya bahwa di balik kedatangan Sian Eng tidak ada rahasia apa-apa. Kalau tadinya ia menaruh curiga dan menyangka akan adanya jebakan, maka dengan penyerahan diri Sian Eng kepadanya, maka kecurigaan itu lenyap sama sekali. Kini ia yakin bahwa Sian Eng benar-benar mencintanya, benar-benar datang hendak menyerahkan diri sambil membawa kitab-kitab yang berharga. Maka dapat dibayangkan betapa bahagia rasa hati putera pangeran ini.
Mereka memasuki hutan yang letaknya di sebelah barat kota An-sui. Hutan yang tidak terlalu luas akan tetapi cukup gelap karena pohon-pohon besar memenuhi hutan itu.
“Baik sekali kau tidak mengajak pengawal, Koko. Urusan ini lebih baik tidak diketahui orang lain.”
“Memang betul, Moi-moi. Kalau saja kau tidak membuktikan cinta kasihmu yang besar siang tadi, tentu aku akan mengajak pengawal-pengawal. Maklumlah, bukan aku kurang percaya kepadamu, akan tetapi perubahan di kota raja membuat musuh-musuhku mencari kesempatan untuk menghancurkan aku. Di manakah goa itu, Adikku?”
“Di sebelah sana, sudah dekat. Mari!” Di dalam gelap itu, dengan ‘mesra’ Sian Eng menggandeng tangan Suma Boan dan diajaknya berlari menuju ke tengah hutan. Tak lama kemudian mereka berhenti di depan sebuah goa yang depannya tertutup oleh rumput alang-alang. Sian Eng menarik tangan Suma Boan, diajak memasuki goa yang gelap itu sambil menyingkap alang-alang yang tinggi menyembunyikan goa.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)