CINTA BERNODA DARAH : JILID-30

Tiba-tiba Suling Emas berteriak keras dan tubuhnya melesat ke kanan kiri sambil memutar sulingnya. Secara serentak ia diserang hebat oleh It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo. Karena pandang matanya masih berkunang-kunang dan kepalanya masih pening, ia hanya dapat mengelak sambil menjaga diri dengan suling. Agaknya keadaannya ini diketahui pula oleh dua orang manusia iblis itu, yang terus mendesaknya dengan serangan-serangan kilat.
Setelah dua orang iblis ini mengeroyok berdua saja, mereka mendapat kenyataan yang mengagumkan, yaitu bahwa ilmu silat yang mereka mainkan untuk mengeroyok Suling Emas kini menjadi berlipat ganda ampuhnya. Ilmu silat mereka itu saling mengisi kekosongan yang ada dan dimainkan bersama-sama dapat menjadi semacam daya serang yang luar biasa! Insyaflah mereka akan hal ini, karena memang sesungguhnya ilmu silat baru mereka itu adalah bagian-bagian dari pada sebuah ilmu yang kitabnya mereka rampas dari tangan Bu Kek Siansu. It-gan Kai-ong dalam perebutan berhasil mendapatkan kitab bagian depan sedangkan Hek-giam-lo bagian belakang.
Suling Emas juga kaget karena terasa olehnya betapa hebat desakan kedua orang ini. Ia berusaha menghalau hawa beracun yang mendesak di dadanya dan ke otaknya, akan tetapi kedua orang lawannya tidak memberi kesempatan kepadanya. Terpaksa ia harus mengandalkan sulingnya untuk melindungi tubuh sehingga suling itu berubah menjadi gulungan sinar kuning emas yang menyelimuti dirinya, tak memungkinkan sabit dan tongkat menyentuhnya. Mereka seakan-akan hanya mengadu tenaga dan keuletan. Akan tetapi berapa lama ia akan dapat bertahan?
Dalam ilmu silat, menyerang lebih menguntungkan dari pada bertahan, kecuali kalau pertahanan itu dapat diubah cepat menjadi penyerangan balasan. Dalam hal ini, Suling Emas sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk membalas. Hal ini adalah karena ia masih berada dalam pengaruh hawa beracun Tok-hiat-hoat-lek dari Siang-mou Sin-ni tadi, dan kedua karena penggabungan ilmu silat kedua orang iblis itu benar-benar memperlipat ganda kehebatan daya serang mereka.
It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo adalah tokoh-tokoh kawakan yang sudah matang ilmunya, maka tentu saja dalam hal ilmu silat mereka merupakan orang-orang yang banyak pengalaman dan cerdik sekali. Setelah mainkan bagian ilmu rampasan kitab Bu Kek Siansu bersama-sama, segera mereka menarik kesimpulan bahwa apa bila kedua ilmu mereka itu digabungkan, maka akan merupakan ilmu yang hebat sekali.
“Kiri buka, atas tekan!” tiba-tiba It-gan Kai-ong berseru.
Hek-giam-lo mendengus dan berteriak. “Kanan tutup, bawah dorong!”
Kiranya yang diucapkan It-gan Kai-ong adalah merupakan sebagian dari pada ilmu pukulan yang paling hebat, akan tetapi karena ia hanya dapatkan setengahnya, maka selama ini merupakan rahasia baginya dan tak dapat ia pergunakan. Ada pun ucapan Hek-giam-lo sebagai imbangannya adalah lanjutan dari pada jurus itu, maka keduanya segera bergerak.
It-gan Kai-ong lebih dulu lari disambung oleh Hek-giam-lo. Bukan main dahsyatnya terjangan ini, sebuah jurus rahasia yang kini dimainkan secara bersambung oleh dua orang! Begitu otomatis gerakan mereka, ganti-berganti sehingga merupakan serangkaian serangan yang serba sulit dihadapi.
Suling Emas kaget sekali. Hampir saja ia terkena bacokan sabit setelah ia berhasil menghindarkan tusukan maut tongkat It-gan Kai-ong. Akan tetapi begitu sabit itu lewat sedikit di atas pundaknya, secara aneh sekali tongkat kakek raja pengemis sudah menyambar, ujungnya tergetar menjadi lima dan menyerang ke arah lima bagian tubuhnya dari sebelah atas, disambung dengan sambaran sabit bertubi-tubi dari bawah!
Suling Emas sudah berusaha menyelamatkan diri dengan memutar sulingnya, namun karena ia masih pusing dan sulingnya hanya merupakan senjata pendek yang sukar menghadapi senjata-senjata panjang yang menyerang dari atas dan bawah secara aneh dan bertubi-tubi, ketika tubuhnya melompat miring, pundaknya terkena hantaman tongkat It-gan Kai-ong.
“Brukkk!” Hantaman ini keras sekali. Batu karang juga akan hancur terlanda pukulan ini. Suling Emas sudah mengerahkan lweekangnya ke arah pundak, namun tetap saja ia terbanting dan bergulingan di atas tanah!
“Heh-heh-heh!” It-gan Kai-ong tertawa gembira dan mukanya beringas ketika ia mengejar dengan tongkat terangkat, siap memberi tusukan terakhir.
“Mampus kau!” Hek-giam-lo mendengus dan berlomba dengan kakek pengemis itu untuk berusaha mendahuluinya membacokkan sabitnya ke arah tubuh Suling Emas yang bergulingan dan kelihatannya tak berdaya lagi itu. Hampir berbareng, tongkat dan sabit itu menyambar ke arah tubuh Suling Emas.
Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi yang getarannya seakan-akan mencopot jantung It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo. Suara ini adalah suara yang ditiup Suling Emas dalam keadaan bahaya itu. Sejenak Hek-giam-lo dan It-gan Kai-ong tertegun dan gerakan mereka terhenti beberapa detik. Namun beberapa detik ini cukuplah bagi pendekar sakti seperti Suling Emas yang sudah melompat bangun dan menggerakkan sulingnya.
“Trang-trang... duk... duk...!” Tubuh It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo terlempar dan melayang bagaikan layang-layang putus talinya, sedangkan sabit dan tongkat mereka patah-patah! Kemudian robohlah dua orang iblis sakti itu, mengeluh dan dari mulut mereka muntah darah segar. Mereka telah terluka hebat.
Akan tetapi di lain pihak, Suling Emas berdiri dengan terhuyung-huyung. Ia berusaha mengusir kepeningan kepalanya akibat hawa beracun Siang-mou Sin-ni tadi, karena luka di pundaknya akibat gebukan tongkat It-gan Kai-ong tidaklah amat parah baginya kalau dibandingkan dengan hawa beracun itu.
“Huah-hah-hah, anjing muda boleh juga!”
“Semua sudah roboh, tinggal dia yang harus roboh!” Sambung suara kedua dan muncullah kakek putih dan kakek merah.
Keduanya menggerakkan tangan, kakek merah dari depan Suling Emas sedangkan kakek putih dari belakangnya karena munculnya kedua orang kakek itu berpencar. Suling Emas yang sudah berkurang tenaganya karena pusing, juga karena luka di pundaknya, cepat miringkan tubuh dan mementangkan kedua lengannya, didorong ke arah kanan kiri untuk menghadapi serangan dua orang kakek itu. Ia kaget sekali ketika menerima dorongan tenaga sakti yang berlawanan, dari kanan tenaga kakek merah panas seperti api, sedangkan dari kiri tenaga kakek putih dingin seperti salju!
Inilah hebat, pikirnya. Tak mungkin ia mengerahkan dua macam tenaga untuk menghadapi serangan maut ini, akan tetapi Suling Emas bukanlah seorang sakti yang sudah kenyang akan gemblengan hebat kalau ia menjadi panik atau gentar. Ia mengerahkan seluruh tenaganya, semua hawa murni ia kerahkan untuk menahan gelombang serangan itu, sepasang matanya meram, dari balik kain kepalanya mengepul uap putih. Gelombang tenaga makin dahsyat dari kanan kiri, tubuh Suling Emas sudah gemetar, hampir tak kuat lagi.
“Orang-orang tak tahu malu, pengecut! Mengeroyok kakakku yang sudah terluka!” Tiba-tiba seorang pemuda meloncat ke depan. Dia ini bukan lain adalah Bu Sin! Pemuda ini mencabut pedangnya. Sesosok bayangan lain berkelebat dan cepat menarik tangannya.
“Bu Sin, jangan...! Tiarap...!” Dengan sentakan keras bayangan yang ternyata adalah seorang nikouw (pendeta wanita Buddha) ini berhasil membuat Bu Sin roboh terguling. Akan tetapi ia hanya berhasil menyelamatkan Bu Sin saja karena sekali kakek merah mengibaskan tangan kirinya ke arahnya, nikouw yang bukan lain adalah Kui Lan Nikouw, bibi guru Bu Sin ini, roboh terguling sambil mengeluh.
Pada saat itu, Hek-giam-lo dan It-gan Kai-ong sudah merangkak bangun. Terdengar It-gan Kai-ong terkekeh biar pun napasnya terengah-engah dan mulutnya mengeluarkan darah, sedangkan Hek-giam-lo mendengus aneh, juga napasnya terengah-engah. Kedua orang kakek ini lalu dengan langkah terhuyung-huyung menghampiri Suling Emas yang berdiri dengan kedua lengan terpentang kaku, tangan mereka memegang sisa senjata yang sudah patah lebih setengahnya. Jelas bahwa mereka hendak menurunkan tangan maut terhadap Suling Emas yang sama sekali sudah tidak berdaya itu.
Mereka ini sudah terluka berat di sebelah dalam tubuhnya akibat totokan suling, akan tetapi nafsu mereka masih besar untuk membunuh Suling Emas yang sudah berada dalam keadaan ‘terjepit’ antara dua tenaga raksasa yang amat dahsyat. Biar pun keadaan dua orang iblis itu sudah terluka dan lemah namun karena mereka adalah orang-orang sakti, tentu saja tanpa perlawanan Suling Emas, sekali pukul dengan senjata-senjata sepotong itu sudah akan cukup untuk membunuh perdekar ini. Mereka kini sudah berada dekat sekali dan sabit serta tongkat sudah diangkat, siap untuk dipukulkan.
“Plakkk!” Dua sosok bayangan manusia berkelebat cepat, sebatang pedang bersinar kuning menangkis sabit membuat sabit itu kini terpotong tinggal gagangnya saja, sedangkan sebuah tengan yang kecil halus menangkis tongkat sehingga tongkat itu terpental. Kiranya yang muncul adalah dua orang gadis, Lin Lin dan Sian Eng yang muncul di saat yang bersamaan dari dua jurusan!
Hek-giam-lo dan It-gan Kai-ong terkejut dan terhuyung mundur. Lin Lin sambil berseru keras mengayun pedangnya menyerang Hek-giam-lo. Iblis hitam ini tentu saja tidak takut menghadapi Lin Lin, akan tetapi oleh karena ia telah terluka hebat dan senjatanya yang ampuh sudah musnah, ditambah lagi karena dalam tangkisan tadi ia mendapat bukti bahwa Lin Lin telah memiliki ilmu dan tenaga mukjijat, Hek-giam-lo mendengus marah lalu melompat jauh, menghilang di tempat gelap. Juga It-gan Kai-ong yang sudah terluka parah ketika menerima tangkisan lengan Sian Eng, kaget setengah mati karena tangannya terasa panas dan gatal-gatal. Ia maklum bahwa keadaannya yang sudah terluka itu tidak menguntungkan dirinya, maka ia pun lalu melompat dan lenyap di tempat gelap.
Lin Lin dan Sian Eng saling pandang gembira.
“Enci Sian Eng...!” seru Lin Lin gembira.
Akan tetapi Sian Eng tidak menjawab dan Lin Lin melihat betapa wajah enci-nya yang tersinar cahaya bulan itu aneh sekali. Sian Eng seakan-akan tidak mempedulikannya, malah kini Sian Eng dengan tangan kosong menerjang kakek putih yang berjuluk Pek-kek Sian-ong. Dari mulutnya terdengar lengking yang amat aneh, yang membuat bulu tengkuk Lin Lin serasa berdiri karena ia teringat akan lengking yang keluar dari si mayat hidup Cui-beng-kwi!
Akan tetapi ia pun segera sadar bahwa Suling Emas terancam bahaya, maka dengan pedang terhunus ia lari menghampiri Lam-ek Sian-ong kakek muka merah, lalu menerjang dengan ilmu pedangnya berdasarkan ilmu silat yang ia pelajari dari dalam tongkat pusaka Beng-kauw!
Melihat dua orang gadis yang gerakan-gerakannya ganas sekali menerjang, baik Lam-kek Sian-ong mau pun Pak-kek Sian-ong terkejut sekali dan sama sekali mereka tidak menduga-duga terjadinya hal ini. Tadi, melihat betapa dua orang gadis muda remaja itu sekali tangkis dapat membuat It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo yang sudah mereka saksikan kelihaiannya lari tunggang-langgang saja sudah membuat mereka terheran-heran.
Maka mereka berbareng lalu mengerahkan tenaga mendesak Suling Emas. Karena keadaannya memang sudah payah, Suling Emas yang ‘dijepit’ seperti itu tak dapat menahan lagi, ia mengeluh panjang dan roboh terguling dalam keadaan pingsan dan mukanya pucat sekali seperti sudah mati!
Sian Eng dan Lin Lin memuncak kemarahannya. Lin Lin memutar pedangnya dan menyerang kalang-kabut sambil memaki-maki, “Kakek tua bangka mau mampus! Kau berani mencelakai dia? Kucukur jenggotmu kutabas hidungmu kupenggal lehermu!” Ia memaki-maki sambil menyerang.
Serangannya hebat bukan main karena dalam keadaan marah itu ia mengeluarkan jurus-jurus paling hebat dari ilmu silat barunya yang sudah ia latih lagi atas petunjuk Gan-lopek. Ada pun Sian Eng yang juga menyaksikan keadaan Suling Emas, kini memaki-maki dan melengking-lengking secara aneh, namun gerakan-gerakan kedua tangannya ketika menerjang kakek muka putih dahsyat bukan main, mengeluarkan angin yang mengeluarkan bunyi bersuitan. Lin Lin dan Sian Eng yang marah melihat Suling Emas roboh dan menyerang kedua orang kakek itu, tidak melihat betapa sesosok bayangan berkelebat cepat sekali, menyambar tubuh Suling Emas dan dibawa lari dengan kecepatan seperti terbang.
“Eh, siapa kau dan hendak kau bawa ke mana kakakku? Berhenti!” Bu Sin yang tadinya bingung berlutut di dekat tubuh bibi gurunya yang terluka, kini meloncat ketika melihat seorang wanita cantik baju hijau melarikan Suling Emas yang masih pingsan.
“Bodoh! Kubawa dia ke pondok Kim-sim Yok-ong agar diobati!” wanita itu membentak Bu Sin sambil terus lari.
Bu Sin yang mengejarnya sebentar saja kehilangan bayangan wanita itu yang bukan lain adalah Tan Lian, gadis yang memiliki ginkang luar biasa itu dan yang tentu saja tak dapat dikejar oleh Bu Sin. Karena mengkhawatirkan keadaan bibi gurunya dan kedua orang adiknya, apa lagi karena mendengar bahwa wanita tadi hendak mengobatkan Suling Emas, terpaksa Bu Sin kembali ke tempat pertandingan.
Memang harus diakui bahwa di luar kesadaran, bahkan diluar kehendak mereka atau tidak disengaja, baik Lin Lin mau pun Sian Eng telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat luar biasa, yang secara mukjijat telah mendatangkan tenaga sinkang yang amat kuat. Namun ilmu itu baru saja mereka dapatkan dan belum mereka latih masak-masak. Kini mereka menghadapi tokoh-tokoh seperti dua orang kakek sakti yang aneh itu, sudah tentu saja bukan lawan mereka. Tadi pun ketika menghadapi Hek-giam-lo dan It-gan Kai-ong, mereka dapat dan kuat menangkis hanya karena kedua orang iblis itu sudah menderita luka dan kehabisan tenaga. Kalau dua orang iblis itu dalam keadaan sehat dan segar, tentu saja Lin Lin dan Sian Eng takkan mampu menandingi mereka.
Sepasang kakek yang aneh itu, Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, juga hanya sebentar saja merasa heran dan kaget, akan tetapi setelah menghadapi Lin Lin dan Sian Eng, maklumlah orang-orang sakti ini bahwa dua orang gadis itu sungguh pun mewarisi ilmu mukjijat, namun ternyata masih ‘mentah’. Segera terdengar mereka tertawa-tawa. Begitu kedua orang kakek ini menggerakkan kedua tangan mereka, tubuh Lin Lin dan Sian Eng ‘tersedot’ dan ‘hanyut’ dalam arus hawa pukulan yang berputaran seperti angin puyuh! Lin Lin dan Sian Eng berusaha mempertahankan diri, namun sia-sia, mereka terputar-putar seperti kitiran angin oleh dua orang kakek sakti.
Bu Sin bingung sekali. Bibi gurunya masih pingsan dengan muka pucat. Melihat kedua orang adiknya terputar-putar seperti itu, hatinya ingin menolong, akan tetapi ia pun maklum bahwa tenaga dan kepandaiannya jauh dari yang diharapkan untuk bisa menolong adik-adiknya. Betapa pun juga, pemuda ini sudah siap menerjang kedua orang kakek itu. Dengan gerakan nekat ia meloncat dan membentak.
“Dua orang kakek siluman, lepaskan adik-adikku!” Akan tetapi begitu meloncat, segera ia terbanting roboh ke belakang dekat bibi gurunya, terdorong oleh sebuah tenaga ajaib yang datang tiba-tiba.
Tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang kakek lain, kakek tua yang berjenggot panjang, yang berdiri tersenyum memandang kepadanya, akan tetapi yang cukup membuat Bu Sin terhenyak kaget ketika mengenal kakek itu sebagai kakek sakti yang pernah menolongnya dan melatihnya di bawah pancuran air.
“Mereka bukan lawanmu,” terdengar kakek itu berkata lirih.
“Locianpwe, tolonglah adik-adikku....”
Akan tetapi kakek itu yang bukan lain adalah Bu Kek Siansu, sudah melangkah maju dan berkata, suaranya lirih namun suara ini menembus seluruh udara, mendatangkan gema yang nyaring berpengaruh.
“Sayang... puluhan tahun bertapa ternyata tak mampu mengendalikan nafsu!” Ia mengangkat kedua lengannya, digerakkan perlahan ke depan dan... dua orang gadis itu seakan-akan tertarik dan bebas dari pada pusaran hawa pukulan kedua kakek, terhuyung-huyung dan roboh dengan kepala pening namun tidak menderita sedikit pun juga.
Si kakek merah dan si kakek putih terdesak mundur oleh hawa halus yang keluar dari gerakan tangan Bu Kek Siansu sehingga kuda-kuda mereka terbongkar. Mereka kaget sekali, memandang Bu Kek Siansu dengan penasaran.
“Siapa kau?!” hardik Lam-kek Sian-ong si muka merah.
“Berani kau menentang kami?!” Pak-kek Sian-ong juga membentak.
“Damai di bumi...,” Bu Kek Siansu berbisik lirih, lalu menarik napas panjang dan balas memandang dengan wajah berseri dan mulut tersenyum. “Pak-kek Sian-ong, siapa adanya aku bukanlah soal yang perlu diributkan karena aku tiada bedanya dengan kalian berdua atau orang lain. Aku manusia biasa, tiada bedanya dengan kalian. Hanya sayang kalian....”
“Kau mengenal nama kami?” seru Pak-kek Sian-ong terheran-heran karena puluhan tahun mereka berdua merupakan tokoh tersembunyi dan tak seorang pun tokoh kang-ouw mengenal mereka, apa lagi yang baru-baru.
“Kau siapa?!” bentak Lam-kek Sian-ong. “Kau yang berani menentang kami, apakah kau begitu pengecut untuk menyembunyikan nama?”
Bu Kek Siansu tersenyum, “Aku sama sekali tidak menentang kalian.”
“Kau bilang tidak menentang akan tetapi kau turun tangan terhadap kami dan menolong dua orang bocah itu!”
“Aku memang turun tangan,” jawab kakek sakti itu dengan penuh kesabaran, “akan tetapi sama sekali dasarnya bukan untuk menentang kalian!”
“Lalu, apa dasarnya?”
“Pertama, karena aku sayang kepada kalian, sayang akan jerih payah kalian bertapa sampai puluhan tahun dan kini tak dapat mengendalikan nafsu hendak membunuh dua orang anak perempuan ini. Kedua, aku merasa sayang, kalau bocah-bocah yang masih muda remaja, yang atas kehendak Thian telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi, yang masih akan melanjutkan riwayat hidupnya dan meramaikan dunia ini dengan perbuatan-perbuatan mereka, kalian habiskan riwayatnya sampai di sini saja. Pula, memang agaknya sudah menjadi kehendak Thian bahwa dua orang anak ini tidak semestinya tewas pada saat ini, maka kebetulan sekali aku lewat....”
“Manusia sombong!” bentak si muka merah.
“Betulkah mereka takkan tewas setelah kau datang? Heh, manusia besar mulut, kalau sekarang kami turun tangan membunuh mereka, kau bisa berbuat apa?”
Bu Kek Siansu menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang, akan tetapi wajahnya tetap tenang, sabar, dan ramah. “Penentuan mati hidup berada sepenuhnya di tangan Yang Menghidupkan! Hanya manusia yang buta hati saja yang tidak melihat kenyataan mutlak ini. Membunuh? Terbunuh? Tak seorang pun mampu menentukan hal-hal rahasia ini. Kalau Tuhan menghendaki seseorang meninggalkan raganya, biar pun seribu dewa takkan mampu menunda atau membatalkannya. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki seseorang tetap hidup di dunia, biar pun seribu setan takkan mampu menewaskan orang itu. Hanya orang-orang sesat saja yang mengira bahwa dia, dengan kekuasaannya, dengan kekuatannya, dapat menentukan mati hidup orang lain, berlawanan dengan kehendak Tuhan, karena dengan perkiraannya itu, berarti dia hendak menentang kekuasaan Tuhan!”
“Tua bangka besar mulut! Apakah kau anggap kami ini anak-anak kecil dan kau seorang pendeta yang hendak memberi wejangan tentang kebatinan? Huh, lamunan kosong belaka semua kata-katamu itu. Yang Maha Kuasa, Thian, hanya menuruti kehendak yang menang, yang berkuasa dan kuat. Mau bukti? Sekarang juga kami sanggup membunuh dua orang gadis itu, juga kau sendiri!” bentak si muka merah yang agaknya lebih berangasan dari pada si muka putih yang mendengarkan dan mengangguk-angguk membenarkan.
“Damai... damai....” Kakek itu bersabda, lirih seperti orang berbisik. Kemudian ia memandang tajam dan dengan wajah masih berseri ia berkata lagi.
“Alangkah kosong rasa hati mendengarkan ucapan, Saudara. Dan hebatnya, apa yang kau katakan itu justru menjadi anggapan sebagian besar manusia, dan tak dapat dibantah lagi, perkembangan di dunia memang sejalan dengan pikiranmu itu. Anugerah paling suci yang diberikan kepada manusia, yaitu akal budi, yang dapat membuat manusia mengungkap segala rahasia alam, yang membuat manusia merupakan makhluk yang terpandai, ternyata oleh manusia sendiri disalah­gunakan. Anugerah ini malah dipergunakan untuk menentang Sang Pemberi. Makin pandai manusia, makin gila dia. Makin pandai manusia, makin kacau dunia. Semua ini adalah akibat dari pada jalan pikiran yang telah kau ucapkan tadi. Wewenang dipakai mencari menang. Kekuasaan menjadi alat penindas. Kepandaian dipergunakan sebagai alat pemuas nafsu. Ya Tuhan, turunkanlah kiranya kekuasaanmu untuk menyapu bersih segala kotoran yang menutup dan menyuramkan api suci dalam jiwa manusia....”
“Tua bangka. Pendeta kepalang tanggung, tosu bukan hwesio bukan. Mau apa kau banyak mulut?” Lam-kek Sian-ong.
“Eh, sahabat, kami berdua sengaja turun dari pertapaan untuk mencari tanding di seluruh permukaan bumi!” kata Pak-kek Sian-ong.
“Hemmm, menandingi diri sendiri saja masih belum mampu, menandingi orang lain? Saudaraku yang baik, kau kalahkan dulu dirimu sendiri dan kau akan menaklukkan dunia,” jawab Bu Kek Siansu.
“Kami akan bunuh dua orang gadis ini. Lihat, kau dapat berbuat apa?” Lam-kek Sian-ong membentak dan diturut oleh Pak-kek Sian-ong, dia sudah bergerak maju.
Lin Lin dan Sian Eng yang sejak tadi mendengarkan dengan heran, kini bersiap untuk menjaga diri. Akan tetapi Bu Kek Siansu mengangkat tangan kanannya ke atas dan entah bagaimana, isyaratnya ini agaknya mempunyai pengaruh untuk menyetop kedua orang kakek jagoan itu untuk sementara.
“Mengapa kalian begini bernafsu untuk memukul orang? Dari pada memukul anak-anak, kalian boleh memukul aku dan aku takkan melawan.”
“Sombong! Kau tahu bahwa Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong semenjak turun dari pertapaan tak pernah menemui tanding? Tua bangka, jangan kau sombong, sekali pukul kami mampu membikin tubuhmu separuh hangus separuh beku!” teriak si muka merah yang merasa dipandang rendah.
“Biarlah kalau Thian menghendaki demikian. Aku hanya ingin mewakili dua orang anak itu dari pukulan-pukulanmu.”
“Ang-bin-siauwte, mengapa banyak bicara melayani kakek gila ini? Mari kita pukul dia, hendak kulihat bagaimana macam mayatnya nanti,” kata Pak-kek Sian­ong.
Keduanya lalu melangkah maju setindak dan dengan gerakan berbareng mereka memukul dengan pukulan jarak jauh. Biar pun tidak mengeluarkan suara apa-apa, namun dari tangan kedua orang kakek itu dengan jelas sekali tampak menyambar dua macam cahaya putih dan merah. Yang merah mendatangkan hawa panas sekali sedangkan yang putih mendatangkan hawa dingin. Dua cahaya itu bagaikan dua gulung asap menyambar ke arah tubuh Bu Kek Siansu dan... tidak terjadi apa-apa!
Tubuh tua itu masih tetap berdiri di situ, wajahnya tetap berseri, matanya membayangkan keterangan, kesabaran dan cinta kasih terhadap sesama hidup, sedikit pun tidak ada tanda-tanda bahwa Bu Kek Siansu merasakan pukulan jarak jauh yang dahsyat itu. Dua orang kakek muka merah dan muka putih, tetap berdiri sambil menggerak-gerakkan kedua tangan, agaknya mengerahkan tenaga dan memperkuat daya pukulannya.
Namun Bu Kek Siansu tidak mempedulikan mereka, bahkan ia menghampiri Kui Lan Nikouw yang masih rebah pingsan. Pada saat gulungan cahaya kemerahan dan keputihan menyambar punggungnya, Bu Kek Siansu menggerakkan kedua tangannya ke arah tubuh Kui Lan Nikouw dan pendeta wanita itu mengeluh, bergerak, lalu bangkit duduk!
Kiranya Kui Lan Nikouw yang pingsan karena sambaran hawa pukulan kedua orang kakek sakti ketika ia menyelamatkan Bu Sin, sekarang oleh Bu Kek Siansu diobati dengan hawa pukulan yang sama, yaitu kakek sakti ini ‘memindahkan’ hawa pukulan dua orang kakek aneh itu ke tubuh Kui Lan Nikouw dan karenanya pendeta wanita ini segera sembuh kembali. Setelah menyembuhkan Kui Lan Nikouw, Bu Kek Siansu lalu bangkit berdiri dan menghadapi dua orang kakek aneh itu kembali.
“Cukupkah kalian memukul? Belum puaskah nafsumu?”
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong saling pandang dengan mata terbelalak. Apakah ilmu mereka mendadak melempem seperti kayu bakar terendam air? Mereka merasa yakin bahwa pukulan mereka mengandung tenaga sepenuhnya, hal ini terasa benar. Akan tetapi mengapa kakek yang punggungnya membawa alat yang-khim ini seperti tidak merasakan sesuatu.
“Belum, belum cukup!” Pak-kek Sian-ong membentak.
“Rasakan ini!” Lak-kek Sian-ong menyambung.
Mereka lalu serentak maju dan kini mereka menyerang Bu Kek Siansu. Pukulan mereka ini hebat sekali. Batu hawa pukulannya saja mampu merobohkan lawan, bahkan Suling Emas sendiri, seorang pendekar sakti, tadi juga digencet oleh hawa pukulan mereka. Apa lagi kalau pukulan itu langsung mengenai kulit lawan, dapat dibayangkan bahayanya!
Akan tetapi, tepat seperti yang dikatakannya tadi, Bu Kek Siansu sama sekali tidak melawan, tidak menangkis mau pun mengelak. Ia berdiri tenang dan tegak, memandang dengan sinar mata orang tua yang menghadapi kenakalan kanak-kanak.
“Buk-buk-plak!” beberapa kali secara bertubi-tubi telapak tangan kedua orang kakek aneh itu mengenai tubuh Bu Kek Siansu.
Namun seperti juga tadi, Bu Kek Siansu sama sekali tidak bergeming. Bahkan kedua orang kakek itu yang menjadi pucat dan mundur-mundur dengan jeri karena ketika menampar dan mendorong tadi, mereka merasa bahwa tubuh kakek sakti itu ‘kosong’ sehingga pukulan-pukulan mereka seperti batu-batu berat yang tenggelam ke dalam laut dan tidak meninggalkan bekas.
“Mengapa kalian mundur? Sudah puaskah sekarang kalian memukulku? Kalau belum puas, boleh ditambah lagi kelak dengan mencari aku di puncak-puncak gunung. Cari saja di mana adanya Bu Kek Siansu....” Tiba-tiba kakek sakti ini lenyap dari depan dua orang kakek aneh yang tiba-tiba terbelalak matanya ketika mendengar nama Bu Kek Siansu itu, dan biar pun sudah lenyap bayangannya, namun masih terdengar suara kakek sakti itu melanjutkan kata-katanya. “Bahagialah orang yang sadar akan kekurangan, kelemahan dan kebodohan sendiri....”
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong sejenak tertegun seperti patung, kemudian mereka mengeluh panjang dan sekali berkelebat mereka lenyap dari tempat itu.
“Omitohud... pinni (aku) merasa bahagia sekali mendapat kesempatan untuk bertemu kakek sakti Bu Kek Siansu dan mendengar suaranya...,” Kui Lan Nikouw merangkap sepuluh jari di depan dada dan memuji-muji sebentar, kemudian ia membuka mata memandangi ketiga orang keponakannya sambil berkata. “Dan amat menggirangkan hatiku bertemu dengan Sian Eng dan Lin Lin pula di sini. Hal yang tak terduga-duga sama sekali. Akan tetapi di manakah adanya Bu Song? Benarkah dia tadi Bu Song?”
Agaknya saking tertarik oleh peristiwa munculnya kakek sakti Bu Kek Siansu tadi, Lin Lin dan Sian Eng juga begitu terpesona sehingga mereka seakan-akan melupakan Suling Emas. Baru sekarang mereka kelihatan kaget setelah menoleh dan mencari-cari dengan pandang matanya. Lebih-lebih Lin Lin yang menjadi bingung sekali. Bu Song? Kakak tirinya yang sulung? Mengapa bibi guru ini menyebut-nyebut nama Bu Song?
Tiba-tiba muncul banyak orang dari balik gerombolan pepohonan, yaitu tokoh kang-ouw yang sengaja datang hendak menonton pertandingan puncak antara tokoh-tokoh Thian-te Liok-koai dan bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang tewas. Dari dalam gelap berkelebat bayangan orang mendekati Lin Lin sambil berkata.
“Suling Emas diculik seorang wanita baju hijau, kulihat lari ke arah sana!”
Mendengar ini, bagaikan kilat menyambar cepatnya, Lin Lin berkelebat mengejar ke arah itu. Hatinya panas bukan main. Bukankah wanita baju hijau itu wanita yang dipukulnya di tanah kuburan, yang kemudian dibawa pergi oleh Suling Emas? Dia tadi mati-matian membantu dan membela Suling Emas, akan tetapi wanita siluman itu malah yang sekarang menggondol kekasihnya!
“Tunggu, Lin-moi...! Aku tahu...,” akan tetapi Lin Lin sudah tak mendengarnya karena sudah lari terbang cepat sekali.
Sian Eng yang kini berada dalam keadaan ‘normal’ memegang tangan kakaknya dan bertanya, “Apa yang kau ketahui, Sin-ko?”
“Tadi ada wanita baju hijau memondong Bu Song Koko. Ketika kukejar, dia bilang hendak menolong Koko, membawanya kepada Kim-sim Yok-ong untuk diobati.”
“Ah, mari kita kejar...!” dan tiba-tiba saja Bu Sin merasa tangannya dipegang adiknya dan di lain detik tubuhnya telah terseret seperti terbang cepatnya, mengagetkan dan mengherankan hati Bu Sin yang benar-benar tidak mengerti bagaimana adiknya ini sekarang memiliki tenaga dan ginkang begini hebat.
Seperti mereka, para tokoh kang-ouw yang tadinya menjadi ‘penonton’ kini mengelilingi Kui Lan Nikouw dan ramai membicarakan dan memuji-muji Lin Lin dan Sian Eng yang demikian berani dan gagah. Juga mereka tiada habisnya membicarakan Bu Kek Siansu yang selama hidup mereka baru sekali itu mereka lihat dan buktikan kesaktiannya yang tak dapat diukur lagi tingkatnya.
Ketika mereka membicarakan Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, timbul kekhawatiran besar di hati para tokoh ini. Mereka maklum kalau Suling Emas saja tidak mampu mengalahkan mereka berdua, siapa lagi yang akan dapat menahan mereka kalau mereka mengacau di dunia kang-ouw? Satu-satunya manusia yang dapat menghadapi mereka kiranya hanya Bu Kek Siansu, akan tetapi kakek sakti ini bukan manusia biasa dan tadi pun tidak mau menurunkan tangan keras terhadap kedua kakek iblis itu.
“Harap Cu-wi jangan khawatir akan hal itu,” akhirnya Kui Lan Nikouw berkata dengan suaranya yang halus dan tenang, “Betapa pun tingginya uap air terbang ke angkasa, akhirnya akan runtuh kembali ke bumi menjadi hujan. Betapa pun pandai dan jahatnya manusia menyeleweng dari pada kebenaran, akhirnya ia pun akan runtuh dan pasti ada yang mengalahkannya. Kita serahkan saja kepada Yang Maha Kuasa. Maafkan, Cu-wi sekalian, pinni tidak dapat melayani Cu-wi (Anda sekalian) lebih lama bercakap-cakap karena pinni harus menyusul dan mencari keponakan-keponakan pinni tadi.” Kui Lan Nikouw lalu menjura dengan hormat dan meninggalkan orang-orang yang masih ramai membicarakan peristiwa hebat tadi sampai pagi hari.
********************
“Nona, lepaskan aku....”
Tan Lian kaget dan juga girang. Ia tadinya lari memondong tubuh Suling Emas yang pingsan. Mendengar kata-kata ini, ia segera menurunkan Suling Emas dengan hati-hati di atas rumput. Kemudian ia sendiri berlutut dam memegangi lengan pendekar itu.
“Kau tidak apa-apa? Ah syukur kepada Tuhan. Aku... aku tadi khawatir sekali... kalau... kalau kau mati... aku pun tidak mau hidup lagi...” Gadis ini lalu menelungkupkan mukanya di atas dada Suling Emas sambil menangis!
Suling Emas dengan gerakan halus mendorong pundak gadis itu, lalu ia bangkit duduk, malah terus berdiri.
“Nona Tan, harap kau suka sadar dan ingat! Insyaflah bahwa kau terseret oleh nafsu perasaan yang tidak benar. Ah, mengapa kau selemah ini?”
Tan Lian kaget, seakan-akan disiram air dingin kepalanya. Ia pun meloncat berdiri dan menghadapi Suling Emas. Untung sinar bulan agak kemerahan sehingga menyembunyikan warna merah pada sepasang pipinya. “Apa... apa maksudmu?”
Suling Emas menarik napas panjang. Berat rasa hati dan lidahnya untuk bicara, akan tetapi ia maklum bahwa betapa pun juga akibatnya, ia harus bicara secara terus terang kepada nona ini. Pura-pura tidak tahu hanya akan menambah berat penanggungan batin nona yang patut dikasihani itu.
“Nona,” suaranya perlahan dan agak tersendat, “terus terang saja, aku telah tahu akan semua isi hatimu yang kau curahkan di depan Kim-sim Yok-ong. Aku tahu akan semua persoalanmu dan tahu pula akan niat hatimu. Aku merasa terhormat sekali, Nona, dengan maksudmu untuk... untuk mengubah ikatan permusuhan orang tua kita dengan ikatan... ikatan jodoh antara kita. Akan tetapi hal itu tidak mungkin, Nona. Bukan sekali-kali karena aku tidak menghargai perasaan hatimu, akan tetapi... aku... aku tidak dapat menerima itu dan... dan hendaknya kau ingat pula akan tunanganmu! Mana mungkin kita akan demikian tidak mengenal aturan sehingga mementingkan kesenangan diri sendiri dengan mengesampingkan perasaan orang lain yang terluka? Nona, kau kembalilah kepada tunanganmu, dan antara kita... biarlah kita tetap menjadi sahabat atau saudara. Kita lenyapkan permusuhan antara orang tua kita dengan kesadaran, bukan dengan... dengan ikatan jodoh....”
Selama bicara, Suling Emas tidak berani menentang muka nona itu. Dan memang hebat akibat kata-kata ini yang tiap kata merupakan ujung pisau beracun yang menikam jantung Tan Lian. Dengan muka pucat dan tubuh gemetar nona itu beberapa kali membuka mulutnya tanpa ada suara yang keluar. Akhirnya ia dapat memaksa mulutnya bertanya.
“Kau... kau menolakku...?” Tidak ada tikaman yang lebih hebat dan parah akibatnya bagi seorang gadis dari pada tikaman berupa penolakan cinta kasih oleh seorang pemuda!
“Bukan begitu, Nona. Aku menolak karena tidak mungkin melaksanakan maksud hatimu itu. Aku... aku tidak mempunyai niat untuk berumah tangga, di samping itu, kita harus ingat kepada tunanganmu....”
“Cukup...! Kau... kau dua kali menghancurkan hatiku, membasmi harapanku...! Ahhh...!” Gadis itu lalu lari sejadi-jadinya sehingga tidak melihat adanya sebatang pohon yang ditabraknya begitu saja. Ia roboh terguling, merangkak bangun dan lari lagi sambil menangis.
Seluruh urat syaraf di tubuh Suling Emas bergerak mendorongnya hendak mengejar dan menghibur, namun ia mengeraskan hati. Lebih baik begini, pikirnya. Lebih baik dia membenciku dari pada aku harus memberi harapan yang kelak akan lebih menghancurkan hatinya. Biarlah ia pergi dengan marah, karena hanya jalan inilah yang akan mengurangi kepatahan hati gadis itu agaknya. Biarlah dia membenciku, pikirnya. Akan tetapi segera terasa dadanya sesak dan cepat-cepat ia mengerahkan tenaga untuk menahan rasa nyeri yang menyesak dada, kemudian ia lalu berlari cepat menuju ke pondok Kim-sim Yok-ong.
“Wah, kau terluka berat...!” seru Kim-sim Yok-ong dan begitu Suling Emas merebahkan dirinya di atas bangku panjang, tabib sakti itu cepat-cepat membuka baju atas pendekar itu dan memeriksanya.
“Aiiihhh! Dua orang kakek iblis itu lagi-lagi yang menurunkan tangan kejamnya!” serunya kaget. “Dua macam tenaga Im dan Yang menyerangmu. Hebat... ganas! Baiknya tenaga sinkang dalam tubuhmu cukup kuat, Kim-siauw-eng. Mudah-mudahan aku akan berhasil menolongmu. Tunggulah sebentar, aku membakar jarum-jarumku.”
Suling Emas telentang dan mengatur napasnya. Dadanya makin sesak dan ia harus mengakui kehebatan bekas tangan kedua orang lawannya. Ia menjadi penasaran sekali, karena ia diam-diam merasa bahwa andai kata ia tidak terpengaruh oleh racun jahat Siang-mou Sin-ni, kiranya belum tentu ia akan terluka oleh pukulan jarak jauh Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Rasa sesalnya ini merugikannya, karena dadanya makin sesak dan untuk kedua kalinya Suling Emas roboh pingsan setelah mengeluh panjang.
Kim-sim Yok-ong mendengar keluhan dan menengok. Ia cepat menghampiri dan memeriksa, mencium pernapasan Suling Emas, lalu menggeleng-geleng kepalanya, “Luar biasa sekali. Sepantasnya ini hasil kerja Siang-mou Sin-ni, racun darah yang luar biasa jahatnya. Hemmm, pendekar yang begini gagah tak boleh mati sebelum iblis-iblis berupa manusia itu lenyap dari muka bumi.”
Ia kembali kepada jarum-jarumnya. Dengan tekun tabib sakti itu membuat persiapan-persiapan dengan jarumnya dan sementara itu, malam sudah berganti pagi. Matahari mulai menyinar, menerobos masuk melalui jendela ruangan yang dibukanya lebar-lebar.
Mendadak berkelebat sesosok bayangan orang dan Lin Lin sudah memasuki pondok itu. Begitu melihat Suling Emas telentang di atas bangku panjang dengan muka pucat dan mata meram, ia loncat mendekat. Kemudian ia melihat kakek yang sedang membakar jarum, dan melihat banyak bahan-bahan obat di situ. Seketika harapannya timbul dan ia segera menegur.
“Kakek yang baik, bagaimana dengan dia...? Ah, tolonglah dia, Kek... kau sembuhkan dia dan aku akan berlutut seribu kali kepadamu...”
Sepasang mata Kim-sim Yok-ong bersinar-sinar. “Nona cilik, tanpa kau minta aku pun memang sedang berusaha mengobatinya. Upah berupa penghormatanmu sampai seribu kali itu terlalu melelahkan. Aku tidak pernah minta upah untuk usahaku mengobati orang.” Setelah berkata demikian, Kim-sim Yok-ong melanjutkan pekerjaannya membakari jarum.
Lin Lin dapat menduga bahwa kakek itu tentulah seorang tabib pandai, akan tetapi ia diam-diam merasa curiga. Tadi ia mendengar dari seorang di antara penonton pertandingan bahwa Suling Emas dibawa lari seorang gadis berbaju hijau, akan tetapi mengapa sekarang ia temukan di dalam pondok ini dalam keadaan pingsan? Kemana perginya gadis baju hijau? Siapa tahu, kakek ini masih ada hubungannya dengan gadis baju hijau itu.
Berpikir begini, Lin Lin segera memasuki ruangan dan kamar lain, mencari-cari dan melakukan pemeriksaan! Hatinya lega ketika mendapatkan kenyataan bahwa pondok itu memang tidak menyembunyikan si nona baju hijau. Ketika ia kembali ke ruangan pengobatan, kakek itu masih sibuk dengan jarum-jarumnya sedangkan wajah Suling Emas dalam pandangan Lin Lin makin pucat saja! Mulai bingunglah Lin Lin.
“Kek, lekaslah, Kek... mengapa kau berlambat-lambat benar? Jangan-jangan dia takkan dapat kau tolong lagi. Lihat, dia begini pucat...!” Lin Lin meraba-raba muka Suling Emas dengan jari-jari tangannya, meraba-raba dadanya dan ingin ia menangis di atas dada itu.
Ketika Kim-sim Yok-ong menengok dan menyaksikan keadaan Lin Lin demikian itu, ia segera bertanya, “Nona, apamukah Suling Emas?”
“Bukan apa-apa, akan tetapi kalau aku hidup dia harus hidup pula, sebaliknya kalau dia mati aku pun tidak mau hidup lagi. Kek, kau harus tahu, kalau kau dapat menyembuhkan dia, kau pun akan hidup, sebaliknya kalau dia mati, kau pun akan ikut kami!”
Sejenak sepasang mata kakek ini terbelalak, kemudian ia menggeleng-geleng kepalanya. Wah, bocah ini memiliki sifat liar, pikirnya, akan tetapi tak dapat disangsikan lagi, dia mencinta Suling Emas. Teringat ia akan Tan Lian yang juga mencinta pendekar itu. Kembali Yok-ong menghela napas. Sungguh ruwet liku-liku cinta kasih dan diam-diam ia merasa kasihan kepada Suling Emas. Dicinta dara-dara ‘nekat’ macam Tan Lian dan apa lagi Lin Lin, benar-benar berabe!
Setelah selesai membakari jarum-jarumnya, Kim-sim Yok-ong lalu berjalan menghampiri Suling Emas dan mulailah ia menusuk-nusukkan jarum-jarum emas dan peraknya ke dada, leher, pundak dan bagian pusar. Lin Lin hanya menonton dari pinggir dengan hati penuh ketegangan, pandang matanya tak pernah meninggalkan wajah Suling Emas yang masih pucat. Akan tetapi, sepuluh menit kemudian terdengar pendekar ini mengeluh panjang dan wajahnya mulai merah. Diam-diam Lin Lin girang bukan main.
Pada saat itu terdengar suara di luar pondok, “Ah, di sini agaknya!”
Ketika Lin Lin menengok, makin girang hatinya karena yang datang adalah Sian Eng bersama Bu Sin. Dua orang ini tersenyum girang dan hendak menegurnya dengan kata-kata. Akan tetapi Lin Lin cepat menaruh telunjuk di depan mulut, mencegah mereka mengeluarkan suara berisik. Bu Sin dan Sian Eng ketika melihat tanda ini dan melihat seorang kakek sedang mengobati Suling Emas dengan tusukan-tusukan jarum, segera melangkah maju dengan hati-hati dan tidak mengeluarkan suara.
Tiga orang muda itu segera berdiri mengelilingi Suling Emas yang terlentang di atas meja, sedangkan Kim-sim Yok-ong membungkuk dan mulai mencabuti jarum-jarumnya. Setiap kali jarum dicabut, Suling Emas mengeluh dan setelah jarum terakhir di lehernya dicabut, mulailah ia membuka kedua matanya. Ia mula-mula memandang wajah Kim-sim Yok-ong, lalu memandang Lin Lin, kemudian Sian Eng dan Bu Sin. Ia mengejap-ngejapkan kedua matanya sejenak, lalu mengeluh lagi, “Kepalaku... ah, pusing....”
“Bagus, itu tandanya dua hawa pukulan yang bertentangan itu sudah mulai bergerak ke luar. Lekas kau menelungkup. Bagian belakang tubuhmu mendapat giliran ditusuk!” kata Kim-sim Yok-ong de­ngan wajah berseri.
Tanpa diperintah dua kali Suling Emas segera menelungkup di atas bangku itu, dikelilingi adik-adiknya dan si tabib sakti yang memegang jarum dengan jepitan telunjuk dan ibu jari tangan kiri, siap menusukkan ke jalan darah tertentu.
Sian Eng yang keadaannya normal kembali tiba-tiba teringat akan pelajaran yang ia baca di dalam goa di bawah tanah. Tiba-tiba ia berseri-seri, sepasang matanya bersinar-sinar dan tangannya diangkat ke atas. Jari-jarinya bergerak-gerak lalu meluncur ke atas punggung Suling Emas, menotoknya secara aneh sampai tiga kali beruntun, mendahului jarum di tangan Kim-sim Yok-ong! Totokan aneh itu dengan jitu mengenai pusat jalan darah di tengkuk, punggung dan pinggang.
“Auuuhhhhh...!” Suling Emas mengeluh dan membalikkan kepala menoleh.
“Hebat...! Luar biasa...!” Kim-sim Yok-ong berseru.
“Enci Sian Eng...!” Lin Lin berseru, terkejut dan marah.
“Eng-moi, apa yang kau lakukan...?!” Bu Sin juga membentak.
Akan tetapi secara tiba-tiba keadaan Sian Eng sudah berubah. Kini ia menoleh ke arah jendela yang terbuka, matanya liar, mukanya merah padam dan mendadak ia mengeluarkan lengking aneh sekali yang seolah-olah menggetarkan seisi ruangan itu, disusul tubuhnya yang berkelebat melayang ke luar jendela.
“Enci Eng...!” Lin Lin loncat mengejar.
“Sian Eng..., tunggu...!” Bu Sin juga mengejar.
Sementara itu Kim-sim Yok-ong berdiri terbelalak keheranan melihat Suling Emas sudah dapat meloncat turun dan hendak mengejar pula. Akan tetapi Suling Emas ingat bahwa ia berada dalam keadaan setengah telanjang, maka ia tidak jadi lari mengejar, melainkan cepat-cepat ia menyambar baju dan memakainya.
“Hebat, gadis itu... ia memiliki tenaga dan ilmu mukjijat! Im-yang Tiam-hoat (Ilmu Menotok Im Yang) seperti itu hanya dimiliki ketua Siauw-lim-si...,” kata si tabib sakti itu.
“Dia adikku, harus kukejar. Ada sesuatu yang tidak wajar terjadi...,” kata Suling Emas dan ia pun melompat ke luar jendela. Akan tetapi ia mengeluh dan melompat masuk lagi, lalu duduk bersila mengerahkan sinkang. Ketika melompat tadi, dadanya kembali sesak rasanya.
“Kau sudah sembuh sama sekali oleh totokan Im-yang Tiat-hoat tadi, akan tetapi luka di dalam dadamu belumlah sembuh benar. Tak boleh kau bergerak mengeluarkan tenaga dalam sebelum istirahat dan minum obat,” kata Kim-sim Yok-ong.
Suling Emas menarik napas panjang. Hebat memang akibat pukulan dua orang kakek itu. Ia sudah sembuh, akan tetapi sekali mengeluarkan tenaga sinkang atau lweekang, lukanya akan terasa nyeri. Sedikitnya ia harus beristirahat dua hari sehingga lukanya sembuh betul.
Sementara itu, Lin Lin yang mengejar dengan cepat ternyata tidak dapat melihat bayangan Sian Eng. Begitu cepatnya dan begitu anehnya gerakan Sian Eng sehingga dalam sekejap mata saja lenyaplah enci-nya itu. Namun Lin Lin tetap mengejar dengan hanya mengira-ngirakan arah yang dapat ditempuh enci-nya. Karena pengejaran yang dilakukan secara kira-kira ini, maka jurusan yang diambil Lin Lin berbeda dengan jurusan yang diambil oleh Bu Sin. Dalam mengejar saudara mereka itu kedua orang muda ini berpencar.
Setelah melalui dua buah hutan di lereng Thai-san tanpa menemukan jejak Sian Eng, Lin Lin tiba-tiba teringat akan keadaan Suling Emas dan ia menghentikan pengejarannya. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan diri Suling Emas. Sudah sembuhkah dia? Ataukah totokan Sian Eng, yang aneh tadi malah membahayakan keselamatan nyawanya?
Lin Lin merasa khawatir sekali dan akhirnya ia berlari kembali menuju ke pondok Kim-sim Yok-ong. Kiranya ia telah menghabiskan waktu beberapa jam dalam pengejaran itu dan karena ia belum hafal akan daerah hutan-hutan gunung Thai-san ini, ia mulai menjadi bingung ke mana ia harus mencari pondok Kim-sim Yok-ong! Lin Lin mengingat-ingat jalan yang ditempuhnya tadi dan beberapa kali ia meloncat naik ke puncak pohon tinggi untuk mencari-cari pondok si tabib sakti.
********************
“Locianpwe... tolonglah...! Selamatkan dia!”
Suara setengah menangis ini membangunkan Suling Emas dari semedhinya. Ia membuka mata dan bangkit berdiri. Kim-sim Yok-ong sedang sibuk mencari daun-daun dan akar-akar obat di sebelah belakang, maka agaknya tidak mendengar suara orang di depan pondok itu. Suling Emas melangkah ke luar pintu pondok dan melihat seorang pemuda kurus pucat berlutut di depan pintu pondok sambil menangis. Karena memang Suling Emas mengintai dari tempat jauh ketika pemuda ini untuk pertama kali datang ke pondok, maka ia mengenal bahwa pemuda ini adalah tunangan Tan Lian, pelajar yang bernama Thio San itu.
“Apakah yang terjadi? Ceritakan!” Suling Emas bertanya, di dalam hatinya ia merasa amat tidak enak dan kasihan karena ia merasa dirinya menjadi ‘gara-gara’ kesengsaraan hati pemuda ini.
Thio San, pemuda itu mengangkat muka dan ia agak bingung melihat seorang laki-laki gagah yang tak dikenalnya. Ia mengharapkan pertolongan tabib sakti, bukan orang muda ini.
“Jangan ragu-ragu, sahabat. Aku tahu bahwa kau adalah tunangan Nona Tan Lian. Saudara Thio San, apakah yang terjadi? Aku adalah sahabat baik tunanganmu itu. Ceritakanlah apa yang terjadi, aku akan menolongmu.”
Pada saat itu, Kim-sim Yok-ong berjalan mendatangi dari belakang. Melihat kakek itu muncul, Thio San menangis lagi dan berkata, “Locianpwe, tolonglah dia! Dia... dia hendak menjadi nikouw, hendak menggunting rambutnya, dan hendak bunuh diri! Saya tidak kuasa menahannya...!”
Mendengar ini, Suling Emas cepat menyambar tangan pemuda itu dan menariknya pergi. “Cepat, antarkan aku kepadanya!”
Jantung Suling Emas berdebar-debar tegang, dan ia merasa khawatir sekali. Sedikit pun tak pernah ia menyangka bahwa hati Tan Lian akan sekeras itu, tak mengira bahwa gadis itu akan menempuh jalan nekat. Tak berani ia berlari cepat. Sambil berjalan setengah berlari biasa, pikiran Suling Emas membayangkan keadaan Tan Lian.
Mula-mula gadis itu bersumpah hendak membalaskan dendam ayahnya, kemudian gadis itu kecewa karena tidak mampu mengalahkannya, bahkan lebih celaka lagi, gadis itu jatuh cinta kepadanya. Kemudian, di depan makam ayahnya, Tan Lian bersumpah hendak memusuhi anak isteri Suling Emas, kemudian melihat kenyataan bahwa Suling Emas tidak beristeri, lalu timbul kembali cinta kasihnya dan berhasrat menghabiskan permusuhan dengan perjodohan. Akan tetapi kembali harapan ini buyar ketika Suling Emas dengan terus terang menyatakan tak dapat menerimanya.
Ia dapat membayangkan betapa hancur hati gadis itu, kecewa, menyesal, malu, merasa terhina. Gadis yang tadinya merupakan seorang pendekar wanita, keturunan pendekar besar mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui, anak berbakti, kini telah mengambil keputusan nekat untuk menjadi nikouw, bahkan hendak membunuh diri. Dan semua ini dialah yang menjadi gara-garanya.
Kalau Tan Lian berhasil membunuhnya, atau kalau dia mau menerimanya sebagai isterinya, tentu takkan terjadi hal-hal ini. Akan tetapi itu bukanlah merupakan jalan keluar yang baik. Apa lagi menerima gadis itu menjadi isterinya. Bukankah itu berarti merebut hak orang lain? Dan dia pun tidak ada rasa kasih terhadap Tan Lian! Sayang, seorang gadis yang baik, seorang anak yang berbakti!
Berbakti! Kata-kata ini mendatangkan ilham bagi Suling Emas. Inilah agaknya senjata yang dapat ia pergunakan untuk memecahkan persoalan Tan Lian ini.
“Mari cepat, di mana dia?”
“Di depan itu, di balik gunung-gunungan batu, di tepi jurang!” kata Thio San, suaranya gemetar penuh kegelisahan.
“Dia ini calon suami yang amat baik,” pikir Suling Emas. Dengan hati penuh cinta kasih murni, pemuda ini akan dapat mendatangkan bahagia di hati Tan Lian.
Benar saja, ketika mereka memutari gunung-gunungan batu, tampaklah Tan Lian duduk menangis, berlindung dari teriknya matahari di bawah batu yang menonjol, jurang curam yang luas terbentang tak jauh di depan.
“Lian-moi...!” Thio San berseru dengan isak tertahan.
Tan Lian mengangkat mukanya dan ia meloncat karena kaget melihat Suling Emas datang bersama tunangannya. Ada pun Suling Emas berdiri seperti patung, hatinya serasa tertusuk melihat gadis itu. Muka gadis itu pucat sekali, kedua pipinya basah air mata, matanya kemerahan dan kepalanya gundul plontos. Rambut yang tadinya gemuk hitam dan panjang, yang ia lihat diurai ketika gadis itu ber­sumpah di depan makam ayahnya, kini lenyap sama sekali. Wajah itu tetap cantik, dan kegundulan kepalanya sama sekali tidak mengakibatkan lucu, melainkan mendatangkan rasa iba.
“Kau... kau bawa dia datang bersamamu? Kau... kalian terlalu menghinaku! Apa gunanya hidup lagi?” Gadis itu lalu berlari cepat menuju ke tepi jurang, siap hendak meloncat.
“He, tunggu dulu, Nona! Dengar dulu omonganku...!” Suling Emas berlari maju dan Thio San juga lari mengejar dengan kedua lengan dikembangkan, wajahnya makin pucat.
Di tepi jurang Tan Lian menoleh, kedua tangannya sudah berkembang siap meloncat ke dalam mulut maut yang ternganga lebar di bawah kakinya. “Jangan dekat! Aku akan meloncat dan tak seorang pun dapat mencegahku. Mau bicara apa, boleh bicara, tapi jangan mendekat!”
Dengan hati tegang terpaksa Suling Emas menghentikan langkahnya. Ia maklum bahwa kalau ia mendekat lagi, gadis nekat ini akan meloncat turun tanpa mendengarkan lagi kata-katanya. Hatinya perih melihat titik-titik air mata menetes dan sepasang mata yang lebar dan jeli itu memandang kepadanya penuh sesal.
“Nona Tan, ingat dan sadarlah. Pikirlah masak-masak. Apa kau tidak kasihan kepada Saudara Thio San, tunanganmu ini? Dia amat mencintamu, mencinta dengan murni, dengan sepenuh jiwa raganya. Nona, dia bersedia melupakan segala-galanya, bersedia menerimamu dan melanjutkan perjodohan kalian. Tak seorang pun laki-laki di dunia ini yang dapat mencintamu seperti dia....”
Sepasang mata itu terbelalak memandangnya. Bibir yang gemetar itu berkata lemah, “Dia... dia...?”
Tertusuklah hati Suling Emas oleh pandang mata dan kata-kata ini. Ia maklum apa artinya itu. Pandang mata dan dua kata itu merangkai pertanyaan tak berbunyi, “Mengapa dia dan dia saja, mengapa bukan engkau?”
“Sudahlah, pergilah kalian. Atau... barangkali kalian ingin melihat aku terjun?” Kembali Tan Lian siap untuk terjun ke depan.
“Lian-moi...! Kalau kau bertekad hendak mati, biarlah aku menemanimu ke alam baka!” teriak Thio San. Teriakan ini agaknya meragukan Tan Lian.
Melihat bahwa tidak ada jalan lain untuk menghalangi maksud gadis keras hati itu, tiba-tiba suling Emas berkata keras. “Nona Tan Lian, kau ternyata adalah seorang anak yang paling murtad dan tidak berbakti di dunia ini! Arwah ayahmu pasti akan merasa malu sekali!”
Cepat sekali Tan Lian membalikkan tubuhnya. Matanya memandang penuh kemarahan kepada Suling Emas. “Suling Emas! Tutup mulutmu! Kau sudah menghinaku, apakah kau juga hendak menghina ayah? Tak boleh kau sebut-sebut nama ayah, dan aku... karena baktiku kepada ayah maka sampai begini!”
Suling Emas sengaja tersenyum mengejek. “Huh, orang seperti engkau ini masih mengaku berbakti kepada ayah? Kau durhaka dan tidak berbakti. Orang seperti Saudara Thio San ini, barulah bisa disebut setia dan berbakti. Ia berbakti dan menjunjung tinggi perintah ayahnya untuk menjadi jodohmu dan ia setia kepadamu sampai mati. Akan tetapi engkau? Huh, kau durhaka terhadap ayah, masih pura-pura merasa diri berbakti? Memalukan!”
“Jahanam, tutup mulutmu! Buktikan apa yang kau katakan tidak berbakti itu. Kalau kau tidak dapat membuktikan, hemmm... aku akan mengadu nyawa denganmu!”
Suling Emas tertawa memanaskan hati. “Kau sudah bersumpah membalaskan dendam ayahmu, tidak terlaksana. Hal itu masih bisa dimengerti karena ibuku yang hendak kau balas sudah meninggal dunia. Pula untuk membalas dendam itu kepadaku, memang kau tidak mampu menangkan aku. Akan tetapi ayahmu telah memilih Thio San menjadi jodohmu. Perintah ayahmu ini bukan tak dapat kau penuhi, karena Thio San masih ada dan pemuda itu mencintamu. Mengapa kau mengingkarinya? Mengapa kau hendak melanggar janji perjodohan yang ditentukan ayahmu? Bukankah dengan demikian berarti kau menyeret ayahmu ke jurang kehinaan sebagai orang yang mengingkari janji ikatan jodoh? Huh-huh, kukira kalau kau sekarang meloncat terjun ke dalam jurang itu dan mampus, arwahmu akan disambut penuh kemarahan dan kebencian oleh arwah ayahmu. Nah, kau loncatlah, biar kulihat!” Suling Emas berdiri tegak sambil memangku tangan.
“Kurang ajar!” Thio San berteriak sambil berlari menghampiri Suling Emas. Kemarahannya membuat wajah pemuda ini merah padam, “Kau kurang ajar sekali berani mengeluarkan kata-kata menghina seperti itu kepada Lian-moi. Biar pun kau seorang pendekar yang pandai ilmu silat, biarlah aku yang mengadu nyawa denganmu untuk mencuci penghinaanmu!” Setelah berkata demikian Thio San menggerakkan kedua tangannya, bertubi-tubi memukuli muka dan dada Suling Emas yang menerima semua pukulan itu tanpa melawan dan dengan mata tidak berkedip.
“San-koko... jangan...!”
Thio San yang tadinya sudah merasa betapa sia-sia memukuli ‘manusia baja’ yang seperti tidak merasakan pukulannya dan yang sebaliknya malah membuat kedua tangannya sakit itu, tercengang dan cepat menengok mendengar sebutan ‘koko’ dari tunangannya. Ia melihat tunangannya itu menangis tersedu-sedu menutupi muka dengan kedua tangan.
“Lian-moi, dia kurang ajar!”
“... tidak... dia benar... Ya Tuhan... ayah, ampunkan anakmu ini, ayah...!”
Thio San cepat maju memeluk tubuh tunangannya yang terhuyung-huyung hendak roboh. Gadis itu makin tersedu-sedu di atas dada tunangannya. “Koko... kau... pun maafkanlah aku...,” isaknya.
Thio San hanya dapat mengusap pundak gadis pujaan hatinya dengan air mata bercucuran. Ketika ia menengok, ia melihat Suling Emas sudah melangkah pergi dari situ dengan wajah berseri dan bibir tersenyum. Thio San mengejap-ngejapkan matanya menahan haru yang menguasai hatinya. Ia takkan melupakan pendekar itu selama hidupnya. Tahulah ia sekarang bahwa sesungguhnya nyawa Tan Lian tertolong oleh Suling Emas, bukan hanya nyawa Tan Lian, melainkan juga nyawanya, kebahagiaan hidupnya! Cepat-cepat ia lalu memapah dan merangkul Tan Lian, diajak pergi meninggalkan jurang yang tetap menganga dan sunyi, seakan-akan merenungi peristiwa itu tanpa perasaan apa-apa.
Suling Emas berjalan sambil menundukkan kepalanya. Ia mengerti betul bahwa sungguh pun tadi ia berhasil mencegah Tan Lian membunuh diri, bukan itu saja, juga menemukan kembali dua buah hati dan mempersatukan dua kasih yang tadinya menyeleweng. Namun semua hasil ini dibeli dengan pengorbanan yang cukup besar. Karena biar pun ia berhasil membelokkan cinta kasih Tan Lian kepada tempat yang wajar, kepada orang yang berhak, namun sebagai imbangannya ia membangkitkan kembali dendam gadis itu sebagai pelaksanaan dari pada kebaktian terhadap ayahnya. Sumpah di depan kuburan yang tadinya terselimut oleh rasa cinta, kini muncul kembali berupa ancaman terhadap keluarga Suling Emas!
Berkali-kali Suling Emas menarik napas panjang dan karena perjalanan ini sedikit banyak mempergunakan tenaga, ia merasa dadanya sakit kembali. Dalam keadaan melamun dan nelangsa ini ia tidak tahu bahwa dirinya dibayangi orang, juga tidak tahu bahwa udara yang tadinya terang menjadi gelap oleh mendung dan angin mulai bertiup. Ia baru sadar dan merasa kaget setelah ada daun-daun gugur yang tertiup angin keras menghantam mukanya, dan kain kepalanya hampir terlepas terbang dari kepalanya. Ternyata cuaca sudah menjadi agak gelap dan udara yang tadinya tenang menjadi liar karena angin bertiup keras. Sebentar lagi turun hujan, pikirnya. Ia lalu membelok ke arah gunung batu di mana terdapat banyak goa-goa batu untuk berlindung.
“Suling Emas...!”
Di dalam goa ia membalikkan tubuh. Kiranya Lin Lin yang memanggilnya dan kini gadis yang berlari cepat itu sudah masuk goa, serta-merta gadis ini merangkul dan menangis, membenamkan muka ke dadanya! Suling Emas memejamkan dan mendongak ke atas, sekuat tenaga berusaha menekan guncangan hatinya, namun sia-sia.
“Ah, betapa gelisah dan khawatir hatiku tadi. Aku sedang mengejar Enci Sian Eng ketika aku teringat akan keadaanmu. Aku hendak kembali ke pondok namun sesat jalan. Aku... aku gelisah dan melihat kau berjalan dengan muka pucat bersama pemuda itu, aku heran dan mengikuti... pertemuanmu dengan gadis baju hijau yang aneh. Ah, Suling Emas, betapa khawatir hatiku. Dia... dia mencintamu dan... ah syukurlah. Kini aku bahagia. Kiranya kau hanya mencinta aku seorang, seperti juga aku hanya mencinta engkau seorang di dunia ini...!”
Suling Emas tidak menjawab, tidak mampu menjawab karena jantungnya yang berdebar-debar seakan-akan hendak pecah itu mencekik tenggorokannya. Karena itu ia hanya dapat menggelengkan kepalanya keras-keras. Gerakan ini agaknya terasa oleh Lin Lin yang segera mengangkat muka memandang. Suling Emas menunduk, muka mereka berdekatan, dua pasang mata saling pandang. Kembali Suling Emas menggeleng kepala dan pandang matanya sayu.
Lin Lin memeluk lebih erat lagi. “Kenapa kau menggeleng kepala? Apa maksudmu hendak menyangkal? Suling Emas, betapa pun kau hendak berpura-pura, hatimu tidak akan dapat menipuku, tidak akan menipumu. Debar jantungmu meneriakkan betapa kau mencintaku. Ah, jangan kau goda aku...!” Kembali Lin Lin membenamkan mukanya pada dada yang bidang itu.
Sejenak Suling Emas tenggelam ke dalam alam perasaan indah dan nikmat yang membuat ia membelai-belai rambut hitam halus dan menciuminya penuh nafsu. Biar pun mereka tak berkata-kata, dengan muka Lin Lin terbenam di dada Suling Emas dan muka Suling Emas terbenam di rambut Lin Lin, namun keduanya sama-sama tenggelam dalam kebahagiaan yang hanya dapat dirasakan oleh mereka yang terbuai asmara. Mereka tidak menghiraukan bahkan tidak tahu betapa angin makin keras mengamuk di luar goa.....

Lanjut ke jilid 31

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)