CINTA BERNODA DARAH : JILID-24

Hek-giam-lo mendengus. Setelah sekarang Lin Lin tak dapat menandinginya, ia teringat lagi bahwa gadis ini adalah calon permaisuri raja, maka gerakan senjatanya tidak lagi merupakan ancaman maut, melainkan kini ia berusaha menangkap gadis itu.
“Lepaskan tongkat!” bentaknya, senjatanya menyambar ke arah dada.
Lin Lin kaget sekali karena sambaran itu cepat bukan main. Ia menangkis dengan pedangnya dan... pedangnya menempel pada senjata lawan, lekat tak dapat ditarik kembali. Dengan gemas ia menggunakan tongkatnya mengemplang kepala lawan, namun tangan kiri Hek-giam-lo menyambut tongkat itu, menangkap dan membetot. Lin Lin tak kuasa bertahan dan terpaksa tongkatnya berpindah tangan. Akan tetapi karena Hek-giam-lo membagi tenaga untuk merampas tongkat, gadis itu berhasil mempertahankankan pedangnya.
“Kembalikan tongkat itu!” Lin Lin berseru keras sambil menusukkan pedangnya.
Akan tetapi kini Hek-giam-lo seperti tidak pedulikan dia lagi. Senjata sabitnya ia pergunakan untuk menangkis, sedangkan matanya memeriksa tongkat Beng-kauw, mencari rahasianya. Tiba-tiba ia teringat akan kertas yang dirobek-robek oleh Lin Lin dan disebar di sungai. Ia menggeram keras dan membentak.
“Kertas yang kau robek-robek dahulu itu... surat rahasia apakah itu?” suaranya terdengar penuh kemarahan dan kini ia hanya menyebut Lin Lin dengan ‘kau’ saja.
“Peduli apa kau?” Lin Lin balas membentak sambil menyerang lagi. Akan tetapi sebuah tangkisan membuat ia terhuyung ke belakang. Kini Hek-giam-lo yang mendesak maju.
“Serahkan rahasia tongkat Beng-kauw kepadaku!”
“Rahasia apa?” Lin Lin menjawab, kaget.
“Rahasia ilmu yang kau pelajari. Cepat!”
“Tidak... tidak ada...!” Lin Lin gugup karena rahasianya diketahui.
“Jangan bohong! Aku perlu sekali ilmu itu, berikan!” Hek-giam-lo mendesak dan menerjang dengan sabitnya. Serangan ini kuat sekali sehingga ketika Lin Lin menangkis, pedangnya terlepas dari pegangan tangannya dan mencelat.
“Ho-ho-ho, Bayisan, aku bisa membiarkan kau merajalela di dunia akan tetapi kalau kau mengganggu puteri dari Tayami, aku yang akan menghalangimu!” Tiba-tiba terdengar suara orang dan Pedang Besi Kuning yang mencelat dari tangan Lin Lin tadi telah disambar dan berada di tangan orang ini. Ketika semua orang memandang, kiranya yang datang adalah seorang laki-laki tua berkepala botak, bertubuh pendek gemuk, kakinya tidak bersepatu, jenggotnya panjang sampai ke dada.
“Kim-lun Seng-jin...!” Lin Lin berseru girang sekali melihat munculnya kakek ini. Kim-lun Seng-jin mengedip-ngedipkan matanya kepada Lin Lin dengan cara yang lucu, kemudian mengangsurkan Pedang Besi Kuning.
“Anak baik, Tuan Puteri Yalina yang mulia, kau terimalah pedang ini. Pedang ini memang hakmu. Lekas kau pergi dari sini, belum saatnya kau kembali kepada bangsamu. Biar aku yang menandingi Bayisan yang dahulu mengganggu ibumu dan sekarang hendak mengganggumu lagi.”
“Kakek yang baik, terima kasih,” kata Lin Lin sambil menerima pedangnya. “Tapi aku tidak mau pergi, aku mau membantumu menghadapi iblis tengkorak ini.”
“Heh-heh-heh, bukan saatnya. Ilmumu tadi memang aneh, mukjijat dan hebat, akan tetapi masih mentah, kurang terlatih. Pergilah!” Sambil berkata demikian, Kim-lun Seng-jin menendang dan... karena tidak menyangka-nyangka, tubuh belakang Lin Lin kena ditendang, membuat tubuh gadis itu terlempar dan melayang jauh!
Anehnya, Lin Lin tidak merasa sakit dan tahulah ia bahwa kakek itu tidak main-main, melainkan melihat bahwa perlu sekali ia segera melarikan diri. Karena tadinya memang ingin membebaskan diri dari tangan orang-orang Khitan, Lin Lin lalu lari secepatnya sambil berseru.
“Kakek botak, terima kasih! Kelak kalau aku menjadi ratu, kau kuangkat menjadi Koksu (Guru Negara)!”
“Heh-he-he! He, Bayisan, tak boleh kau mengejarnya. Akulah lawanmu, tua sama tua, heh-heh!” kata Kim-lun Seng-jin sambil menerjang maju ketika melihat betapa Tengkorak Hitam itu sudah menggerakkan kaki hendak mengejar Lin Lin. Terjangan kakek botak itu hebat sekali karena ia telah mengeluarkan senjatanya yang aneh, yaitu sepasang roda emas yang gemilang dan berputar-putar di tangannya.
Hek-giam-lo mendengus dan meloncat ke kiri menghindarkan diri, lalu berkata nyaring, “Kim-lun Seng-jin, kau orang buangan dari Khitan, pengkhianat dan orang yang tak tahu malu. Raja sendiri sudah tidak mengakui kau, mau apa kau turut campur?”
“Hueh-heh-heh-heh! Bayisan, kita dahulu sama-sama prajurit, sama-sama berjuang untuk membela suku bangsa Khitan yang selamanya menjadi bangsa perantau yang disia-siakan dan tak tentu tempat tinggalnya! Akan tetapi sekarang setelah kau menjadi antek nomor satu dari Kubakan yang berkhianat, kau banyak tingkah dan membuka mulut besar! Siapa tidak tahu bahwa sebetulnya kedudukan raja atas suku bangsa Khitan berada dalam hak keturunan Puteri Tayami? Sekarang Puteri Yalin, keturunan Tayami sudah dapat ditemukan, akan tetapi bukan dia diangkat menjadi ratu, malah akan dikawini oleh paman tirinya sendiri, si Kubakan? Dan kau berani bilang aku seorang pengkhianat? Heh-heh-heh, tidak lucu!”
“Tutup mulutmu! Kau kira aku takut padamu?”
“Bayisan, dahulu pun antara kita sudah sering terjadi perselisihan faham, dan biar pun kau lebih muda, tingkat kepandaian kita seimbang. Sekarang setelah kau menjadi seorang di antara Thian-te Liok-koai, agaknya kepandaianmu sudah banyak maju, sebaliknya aku makin tua dan makin lemah. Akan tetapi, jika kau hendak mengganggu Puteri Yalin, aku mempersiapkan tulangku yang sudah rapuh dan kulit dagingku yang sudah lembek untuk melawanmu.”
“Tua bangka bosan hidup!” Hek-giam-lo berseru keras dan senjatanya yang menyeramkan itu menyambar, berubah menjadi sinar hitam yang diselingi sinar kilat seperti halilintar menyambar.
Kim-lun Seng-jin maklum akan kesaktian Hek-giam-lo, maka dia pun tidak banyak cakap lagi, segera menggerakkan kedua tangannya dan sepasang roda emas itu berputar-putar dengan indahnya melindungi seluruh tubuh. Berkali-kali terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar menyilaukan mata apa bila senjata kedua orang jagoan Khitan ini bertemu.
Orang-orang Khitan yang berada di situ melongo, kagum dan tegang. Mereka semua tahu siapa adanya Kim-lun Seng-jin, seorang tokoh tua bangsa Khitan yang dikabarkan meninggalkan kelompok bangsanya dan merantau, dianggap musuh oleh raja yang sekarang, akan tetapi merupakan seorang tokoh besar di masa lalu. Mereka tidak berani membantu karena membantu Hek-giam-lo tanpa diperintah berarti mencari kematian sendiri karena dianggap menghina Hek-giam-lo. Selain ini, mereka pun berarti mencari mati kalau mencampuri pertandingan itu karena gerakan kedua orang sakti itu terlalu cepat bagi mereka. Sukar bagi mereka untuk dapat mengikuti jalannya pertandingan dengan pandang mata. Yang tampak oleh mereka hanyalah gulungan sinar hitam menyambar-nyambar di antara dua gulung sinar emas, sedangkan dua orang tokoh itu tidak tampak bayangannya lagi.
Biar pun usianya sudah sangat tua dan kalah tenaga, namun Kim-lun Seng-jin termasuk seorang tokoh sakti yang berkepandaian tinggi. Dahulu sewaktu Hek-giam-lo yang masih bernama Panglima Bayisan masih kecil, Kim-lun Seng-jin sudah menjadi Panglima Khitan yang sukar dicari bandingnya. Bahkan ketika Bayisan sudah menjadi panglima yang jagoan, Kim-lun Seng-jin masih menjadi tokoh di Khitan sampai akhirnya kakek ini pergi dari Khitan karena tidak suka melihat perebutan kekuasaan, sedangkan raja sendiri, ketika itu adalah Raja Kulukan ayah Puteri Tayami (kakek Lin Lin), malah menaruh curiga ketika Kim-lun Seng-jin memberi nasihat.
Ketika itu Kim-lun Seng-jin masih bernama Kalisani.
Namun kini kakek itu makin lama makin repot juga menandingi Hek-giam-lo. Hek-giam-lo selama ini memang memperoleh kemajuan hebat, apa lagi belum lama ini ia telah berhasil merampas setengahnya dari kitab simpanan Bu Kek Siansu, yang setengahnya lagi dirampas oleh It-gan Kai-ong. Dengan separuh kitab ini ia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa sekali sehingga setelah bertempur selama seratus jurus, mulailah Kim-lun Seng-jin terdesak hebat. Kini sinar senjata sabit berkilat-kilat menyambar dan setiap gerakan merupakan jangkauan maut yang mengerikan.
Namun anehnya, Kim-lun Seng-jin terdengar tertawa-tawa bergelak, seakan-akan ia merasa gembira sekali dengan pertandingan ini. Kakek ini memang selalu merasa khawatir kalau-kalau ia sebagai seorang Khitan, akan tewas di perantauan di tangan jago silat yang banyak terdapat di seluruh penjuru bumi. Akan tetapi sekarang, nasib membawanya kembali ke perbatasan Khitan dan bahkan bertanding dengan seorang tokoh Khitan nomor satu di waktu itu. Lebih-lebih kegembiraannya bahwa ia dapat bertahan sampai seratus jurus lebih, ini saja sudah merupakan kenyataan yang amat menggembirakan hatinya.
“Hueh-heh-heh, Hek-giam-lo. Ternyata namamu kosong melompong! Mana patut bersombong menjadi seorang di antara Enam Iblis Dunia? Ha-hah, menghadapi seorang kakek yang sebelah kakinya sudah masuk lubang kubur macam aku saja, sekian lamanya belum juga dapat mengalahkan!”
“Ciuuuuuttttt!” sabit itu menyambar dengan gerakan seperti halilintar.
Saking marahnya, Hek-giam-lo mempergunakan seluruh tenaga. Kim-lun Seng-jin cepat menangkis dengan roda emas kiri.
“Cringgggg!” Hebat bukan main pertemuan antara kedua senjata ini, tapi Kim-lun Seng-jin yang cerdik membarengi pertemuan senjata ini dengan melontarkan roda emas kanan ke arah lawan.
Karena pembagian tenaga ini, apa lagi memang ia sudah amat lemah dan tenaganya kalah kuat, maka roda emas kiri yang bertemu dengan sabit secara hebat menjadi patah, bahkan tangan kirinya terluka oleh sabit yang sempat menyerempetnya. Akan tetapi di lain pihak, Hek-giam-lo tidak menyangka akan serangan kilat dari roda emas kanan yang dilontarkan, sebab itu ia tak sempat mengelak dan dadanya terpukul.
“Desss...!”
Sekiranya bukan Hek-giam-lo yang dihantam lontaran roda emas, tentu sudah pecah dadanya. Akan tetapi Hek-giam-lo sempat mengerahkan sinkang-nya sambil menjerit keras sekali. Roda emas menghantam sebagian dada dan pundak kirinya, terpental kembali dengan keras dan diterima tangan kanan Kim-lun Seng-jin yang juga terluka tangan kirinya, mengucurkan darah dan mukanya pucat. Akan tetapi kakek ini tertawa-tawa gembira sekali.
“Heh-heh-heh, Hek-giam-lo, pecahlah dadamu! Mampuslah, heh-heh-heh!”
Hek-giam-lo muntahkan darah segar, kemudian ia mengeluarkan suara menggereng seperti seekor binatang buas, lalu menubruk maju dengan gerakan senjata sabitnya. Tampak sinar berkelebat. Kim-lun Seng-jin berusaha menangkis.
“Tranggggg!” roda emasnya patah lagi, akan tetapi sabit di tangan Hek-giam-lo juga terlepas dari pegangan.
Namun Hek-giam-lo terus maju dan kedua tangannya seperti dua cepitan baja sudah mencekik leher Kim-lun Seng-jin. Kakek ini tak bergerak lagi, seketika tewas pada saat tangan yang beracun dari Hek-giam-lo menyentuhnya. Akan tetapi iblis buas itu tidak juga mau melepaskan leher lawannya sebelum leher itu patah tulangnya, kemudian ia membanting tubuh itu, menyambar sabitnya dan... pada detik-detik berikutnya tubuh Kim-lun Seng-jin sudah hancur dicabik-cabik sabit! Hanya mukanya yang tidak disentuh sabit. Dari leher ke bawah hancur sampai kelihatan tulangnya. Anehnya, muka itu tetap saja tersenyum seakan-akan mentertawakan kelakuan Hek-giam-lo yang seperti gila saking marahnya.
Hek-giam-lo sendiri terluka, patah tulang pundaknya dan terluka sebelah dalam dadanya, akan tetapi tidak berbahaya. Setelah menelan obat penawar, ia cepat melakukan pengejaran ke arah larinya Lin Lin. Akan tetapi pertandingan melawan kakek Kim-lun Seng-jin tadi memakan waktu cukup lama, sampai seratus jurus lebih, dan tentu saja Lin Lin telah lenyap dari situ, sukar untuk dicari jejaknya. Apa lagi gadis ini cukup cerdik untuk mengambil jalan yang sepi, melalui hutan-hutan dan selalu menghindarkan diri dari pada pertemuan dengan manusia sehingga Hek-giam-lo yang mengejarnya sama sekali tidak mendapatkan keterangan ke mana arah larinya Lin Lin.
Biar pun hari telah terganti malam, Lin Lin tidak pernah menghentikan larinya, terus menyusup-nyusup hutan liar. Untung baginya, malam hari itu sore-sore bulan sudah keluar, biar pun belum bulat penuh, namun cukup untuk menerangi jalan di dalam hutan. Dengan pedang terhunus di tangan, gadis ini terus melanjutkan perjalanannya, mengarah selatan karena ia tahu bahwa dirinya saat itu berada di utara. Andai kata tidak ada bulan muncul, kiranya sukar juga baginya untuk memilih arah.
Lin Lin baru menghentikan larinya setelah lewat tengah malam dan keadaan hutan yang dimasukinya gelap sekali karena daun-daun pohon raksasa menutupi sinar bulan. Ia naik ke atas sebuah pohon raksasa, duduk di atas cabang tersembunyi di balik daun-daun, lalu beristirahat. Enak sekali rasanya duduk beristirahat setelah setengah malam terus berlari dengan hati tegang itu. Kini ia merasa lega, bebas dari tawanan Hek-giam-lo.
Segera ia duduk bersila sambil melatih semedhi menurut pelajaran ilmunya yang baru dan sebentar saja lenyaplah semua rasa lelah, tubuhnya terasa segar dan dalam sekejap mata saja ia sudah berhasil mendiamkan panca inderanya, mengheningkan cipta dan mengumpulkan hawa murni untuk memperkuat tenaga sakti di tubuhnya.
Lin Lin baru menyudahi semedhinya pada keesokan harinya, setelah matahari mulai mengusir embun pagi yang membuat hawa udara amat dingin, apa lagi karena suara kicau burung pagi yang menggembirakan itu tiba-tiba terganggu oleh suara melengking tinggi yang menggetarkan perasaannya. Suara suling! Jantungnya berdebar tegang. Suara melengking macam itu banyak sudah ia dengar keluar dari mulut orang-orang sakti, di antaranya pernah pula Hek-giam-lo mengeluarkan suara seperti itu di kala mengerahkan tenaga saktinya. Jangan-jangan Hek-giam-lo sudah mengejar sampai ke situ!
Tidak takut, pikirnya! Kalau dia datang dan benar-benar dapat menyusulku, aku harus melawannya sampai mati! Akan tetapi kembali ia mendengarkan dengan teliti. Mengapa suara itu berbunyi terus-menerus? Dan lengking itu membentuk lagu. Suling! Debaran darahnya makin kencang dan dengan hati-hati ia meloncat dari cabang ke cabang, dari pohon ke pohon seperti seekor tupai yang gesit, menuju ke arah suara yang ia tahu tentu amat jauh.
Memang betul dugaannya. Suara itu sebetulnya datang dari tempat yang cukup jauh dan andai kata tidak kebetulan ia berada di pohon raksasa yang amat tinggi dan tidak dalam waktu pagi yang sunyi dan dingin, agaknya suara itu tidak akan mencapai pendengarannya. Sudah puluhan batang pohon ia loncati, namun belum juga ia sampai di tempat dari mana suara suling itu melayang, akan tetapi makin dekat makin hebatlah getaran suara suling. Lin Lin melompat terus.
“Aaaiiiihhhh...!” tiba-tiba tubuhnya terguling ketika ia meloncat dari sebuah cabang ke cabang lain. Untung ia masih dapat meraih cabang di bawahnya sehingga tubuhnya tergantung, kemudian dengan hati-hati sekali ia merosot turun dan akhirnya dapat juga ia mencapai tanah, berdiri dengan muka pucat dan cepat-cepat ia mengerahkan sinkang di tubuhnya sambil duduk bersila!
Apa yang terjadi? Kiranya setelah makin mendekati tempat itu suara suling mempunyai getaran sedemikian hebatnya sehingga tanpa ia sangka-sangka dan sadari jantungnya tergetar dan tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas sehingga hampir saja ia tadi terjungkal dari atas pohon besar yang amat tinggi. Kalau saja ia tidak cepat dapat menangkap cabang dan terbanting jatuh, akan celakalah dia.
Setelah mengerahkan sinkang yang disalurkan terutama ke isi dada dan ke arah sepasang telinga, barulah Lin Lin pulih kembali keadaannya. Ia bangkit berdiri dan maklumlah ia sekarang bahwa suara suling tadi ditiup dengan pengerahan hawa sakti, semacam ilmu yang luar biasa sekali. Agaknya si peniup suling sedang menghadapi lawan tangguh, maka sulingnya ditiup seperti itu.
Kini Lin Lin menyelinap dari pohon ke pohon, mendekati arah suara suling yang terdengar amat jelas, makin dekat, makin terasalah pengaruh suara suling. Biar pun ia sudah menekan perasaan dan membulatkan kemauan agar jangan memperhatikan, tetap saja ia terseret dan tanpa disadari ia memperhatikan juga. Suara suling itu amat merdu, mengayun sukma, merayu semangat, namun amat menyedihkan karena makin lama diperhatikan, makin mengarah suara orang menangis dengan kesedihan yang luar biasa.
Tiba-tiba Lin Lin merasa betapa tenaganya mulai berkurang, tubuhnya mulai lemas lagi. Cepat-cepat ia menggerakkan kaki tangan dan mengatur napas menurut ajaran ilmunya yang baru dan heran sekali, seketika lenyap pengaruh suara suling yang mukjijat itu. Ia menjadi girang dan mulailah ia melangkah maju dengan gerakan-gerakan ilmu silatnya yang baru.
Akhirnya ketika ia keluar dari gerombolan pohon itu, tampaklah apa yang menimbulkan suara mukjijat ini dan jantungnya berdebar keras. Hampir ia menjerit girang, akan tetapi kembali ia terkejut karena hal ini mengguncangkan jantungnya dan membuat ia hampir roboh. Cepat-cepat ia menguasai perasaannya dan mengerahkan sinkang-nya kembali, berdiri memandang ke depan.
Di sana, hanya beberapa puluh meter di depannya, di sebuah lapangan terbuka di antara pohon-pohon itu, tampak Suling Emas berdiri tegak dengan kedua tangan memegang dan memainkan suling yang ditiupnya. Di sekelilingnya berdiri sedikitnya lima belas orang yang sikapnya mengancam, semua membawa senjata macam-macam, posisi mereka dalam jurus ilmu silat dengan kedua kaki memasang kuda-kuda. Akan tetapi anehnya, mereka itu sama sekali tidak bergerak menyerang Suling Emas, melainkan berdiri seperti patung batu dengan mata memandang terbelalak, seolah-olah terpesona oleh Suling Emas yang bermain suling. Wajah mereka tegang, beberapa orang di antara mereka berhasil bergerak sedikit, akan tetapi tidak berhasil bergerak terus melanjutkan serangan. Yang lainnya sudah persis patung batu, wajahnya pucat dan tubuhnya seperti mati kaku!
Lin Lin tertegun. Setelah sekarang dekat benar, ia pun merasakan pengaruh luar biasa dari suara suling itu yang membuat tubuhnya sebentar lemas sebentar kaku seirama dengan suara suling yang mengalun tinggi rendah! Kembali ia mengerahkan sinkang-nya menurut ilmunya yang baru. Aneh, kini terasa betapa segar dan nikmat tubuhnya, betapa suara itu memasuki telinganya seperti musik dari angkasa, merdu merayu dan amat indahnya. Mungkin hal ini terjadi karena kegembiraan hatinya melihat Suling Emas di tempat itu.
Dengan pandang mata penuh kekaguman Lin Lin melihat betapa pendekar sakti itu dengan tenangnya terus menyuling. Tiba-tiba suara suling berubah ketika mata Suling Emas mengerling dan dapat melihat Lin Lin berdiri di situ. Pandang mata itu menjadi berseri dan bersinar-sinar karena sesungguhnya bukan main girang hati Suling Emas melihat Lin Lin berdiri di tempat itu, padahal disangkanya gadis itu masih tertawan oleh Hek-giam-lo. Hal yang sama sekali tak pernah disangkanya dan yang tentu saja menggirangkan hatinya karena ia sampai tiba di tempat itu bukan lain karena hendak mengejar Hek-giam-lo, menolong Lin Lin dan merampas kembali tongkat pusaka Beng-kauw.
Kini Suling Emas dengan masih meniup suling melangkah meninggalkan para pengepungnya yang berubah menjadi patung hidup itu. Inilah pengaruh Ilmu Kim-kong Sin-im (Suara Sakti Sinar Emas) yang ia pelajari dari Bu Kek Siansu, yang belum lama ini ia perdalam latihannya bersama kakek dewa itu. Melihat Lin Lin berdiri tegak dan bengong, Suling Emas mengira bahwa Lin Lin tentu, seperti para pengeroyoknya itu terkena pula pengaruh ilmunya Kim-kong Sin-im, maka ia melepaskan tangan kiri dari sulingnya, menyuling hanya dengan tangan kanan dan tangan kirinya diulur hendak menangkap Lin Lin dan dibawa pergi dari situ.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat gadis itu bergerak dan gadis itu malah yang menangkap tangan kirinya, digandeng mesra sambil berkata. “Kenapa baru sekarang kau muncul? Hampir saja aku celaka lagi oleh si iblis Hek-giam-lo, dan kau enak-enak di sini, mainkan suling untuk orang-orang itu. Mereka siapakah?”
Suling Emas demikian terheran-heran sampai ia menghentikan tiupan sulingnya dan memandang Lin Lin dengan melongo. Para pengeroyoknya adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang ulung, yang berilmu tinggi, setidaknya tentu lebih tinggi dari pada ilmu yang dimiliki Lin Lin. Rata-rata sinkang mereka tentu lebih kuat dari pada Lin Lin. Kalau mereka itu semua terpengaruh oleh suara sulingnya, mengapa Lin Lin enak-enak saja, agaknya sama sekali tidak merasakan pengaruh Kim-kong Sin-im?
Sebelum Suling Emas sempat bertanya, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut. Kiranya belasan orang pengeroyok tadi segera pulih kembali setelah kini suara suling lenyap. Mereka menjadi marah sekali. Tadi mereka seakan-akan dalam keadaan tertotok oleh pengaruh Kim-kong Sin-im, sekarang mereka berteriak-teriak sambil menyerbu dengan senjata di tangan. Mereka ini terdiri dari pada hwesio-hwesio, tosu-tosu, dan orang-orang gagah yang berilmu tinggi, maka serbuan mereka bukanlah hal yang boleh dipendang ringan. Gerakan mereka jelas membayangkan tenaga yang besar dan gerakan kaki mereka amat ringan.
Ketika menengok dan melihat ini, Suling Emas segera menyambar pinggang Lin Lin dengan lengan kirinya, kemudian ia berkelebat dan melompat naik ke atas pohon, berloncatan seperti burung garuda terbang, cepat sekali meninggalkan tempat itu. Hujan senjata rahasia datang dari belakangnya. Namun Suling Emas menggerakkan suling di tangan kanannya ke arah belakang, diputar sedemikian rupa sehingga angin pukulannya meruntuhkan senjata-senjata rahasia yang datang menyambar. Kembali Suling Emas tertegun melihat betapa Lin Lin juga menggerakkan tangan, mendorong dan hawa pukulan yang bercuitan keluar dari tangan gadis yang mendorong itu dan meruntuhkan beberapa anak panah gelap yang menyambar ke arah mereka!
Akan tetapi karena para pengeroyok itu kini sudah mengejar cepat, bahkan di antara mereka ada pula yang mengambil jalan seperti Suling Emas, yaitu dengan cara meloncat ke atas pohon dan bagaikan terbang mengejar dari pohon ke pohon, maka Suling Emas tidak ada waktu lagi untuk bicara dengan Lin Lin. Ia mempererat kempitannya pada pinggang Lin Lin dan mengerahkan semua tenaga dan ginkang-nya melarikan diri. Lin Lin merasa seakan-akan tubuhnya dibawa terbang, akan tetapi yang teringat olehnya sama sekali bukan lain hal kecuali bahwa ia dikempit atau setengah dipondong oleh Suling Emas! Hal inilah yang mendebarkan hatinya dan sambil meramkan mata ia menempelkan mukanya erat-erat pada dada laki-laki itu.
Ilmu kepandaian Suling Emas memang hebat sekali. Biar pun para pengejarnya telah mengerahkan tenaga, semua sia-sia belaka, mereka tertinggal jauh dan sejam kemudian mereka terpaksa menghentikan pengejaran karena telah kehilangan bayangan Suling Emas. Memang ada di antara mereka yang lebih hebat ginkang-nya dari pada yang lain, namun untuk mengejar sendiri saja tentu amat berbahaya.
Suling Emas berhenti berlari setelah merasa yakin bahwa para pengejarnya sudah menghentikan pengejaran mereka. Mereka telah tiba di luar hutan dan matahari telah naik menyinarkan sinar pagi yang hangat. Akan tetapi alangkah herannya ketika Suling Emas melihat bahwa Lin Lin sudah tidur pulas dalam pondongan atau kempitannya! Tadinya ia kaget, mengira bahwa ada sesuatu terjadi pada diri gadis ini, akan tetapi setelah ia tahu betul bahwa gadis ini hanya tidur pulas, mau tak mau Suling Emas tersenyum lebar.
“Bocah nakal, enak-enakan tidur!” katanya, akan tetapi Lin Lin tidak bangun oleh tegurannya ini.
Memang luar biasa sekali. Ketika tadi berada dalam kempitan Suling Emas, Lin Lin merasa dirinya begitu aman, begitu senang, dan begitu lega hatinya sehingga kelelahan tubuhnya kembali menyerang dirinya. Rasa puas dan lega membuat ia mengantuk dan tanpa ia sengaja, ia sudah tidur pulas sambil menyandarkan muka pada dada Suling Emas!
Suling Emas meletakkan tubuh gadis yang tidur pulas itu di atas tanah berumput sambil tersenyum dan menggeleng-geleng kepala. Akan tetapi gerakan ini cukup untuk membangunkan Lin Lin yang membuka mata dan cepat melompat berdiri sambil mengusap-usap kedua matanya dengan punggung tangan. Agaknya hanya sejenak ia nanar oleh tidurnya, karena segera ia celingukan dan bertanya.
“Mana mereka? Mana orang-orang jahat itu?”
“Orang jahat? Tidak ada orang jahat di sini.”
Gadis itu memegang tangan Suling Emas, memandang dengan kening berkerut. “Apa kau bilang? Orang-orang yang mengeroyokmu tadi, yang mengejar dan menyerang dengan senjata-senjata rahasia, apakah mereka itu bukan orang-orang jahat?”
Suling Emas menggeleng kepalanya. “Mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal gagah perkasa, di antara mereka malah ada pendeta-pendeta dari Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai, dan Go-bi-pai.”
“Apa? Mengapa keledai-keledai itu mengeroyokmu? Dan terang kau tidak akan kalah oleh mereka, mengapa tidak melawan dan menghajar mereka, sebaliknya melarikan diri seperti orang ketakutan?”
“Ah, panjang ceritanya. Akan tetapi, bagaimana kau bisa berada di sini? Bukankah kau bersama-sama Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan?”
“Ah, panjang ceritanya...” Lin Lin mengerling dan cemberut.
Suling Emas memandang, lalu tertawa, maklum bahwa gadis ini membalasnya. Adik angkatnya ini memang benar-benar nakal sekali. “Eh, kau pendendam sekali!”
Lin Lin juga tertawa. “Orang bertanya baik-baik kau bilang panjang ceritanya.” Ia menegur.
Suling Emas menarik napas panjang. “Lin Lin, kau tidak tahu. Amatlah tidak menyenangkan hati untuk bercerita tentang mereka yang hendak mengeroyokku, yang ingin sekali melihat aku mati. Aku tidak bisa bercerita tentang itu, harap kau tidak marah.”
“Hemmm, rahasia, ya? Dan mengapa kau menjadi sedih? Sudahlah, aku hanya main-main.”
“Aku sendiri tidak punya rahasia apa-apa, kau boleh dengar semua.”
Gadis itu lalu menceritakan pengalamannya, sejak ia bertemu dengan Hek-giam-lo di Nan-cao, tentang perintahnya merampas tongkat pusaka, tentang dirinya hendak dijadikan Permaisuri Khitan, kemudian betapa ia berhasil melarikan diri karena pertolongan Kim-lun Seng-jin.
Suling Emas mendengarkan dengan terheran-heran, sampai berkali-kali ia menggeleng kepala. Gadis ini benar-benar hebat, luar biasa keberaniannya dan agaknya hanya Lin Lin di antara tiga orang adiknya yang belum tahu bahwa dia adalah Kam Bu Song.
“Jadi kau kah Puteri Mahkota Kerajaan Khitan? Dan kau yang menyuruh Hek-giam-lo merampas tongkat pusaka Beng-kauw? Apa maksudmu untuk merampas tongkat, untuk apa?”
Merah muka Lin Lin mendengar pertanyaan ini. Sejenak ia menundukkan muka, tidak berani menentang pandang mata Suling Emas. Akan tetapi hanya sebentar saja ‘rasa salah’ ini mengganggu hatinya, karena beberapa detik kemudian ia sudah mengangkat muka lagi memandang wajah Suling Emas dengan pandang mata menantang dan bibir tersenyum!
“Memang aku Puteri Mahkota Khitan. Ibuku adalah Puteri Tayami yang gagah perkasa dan kakekku adalah mendiang Sribaginda Kulukan, raja besar Khitan! Namaku sendiri sebetulnya adalah Yalina sampai ibu yang menggendongku tewas di dalam peperangan dan aku dipungut anak oleh ayah angkatku Jenderal Kam Si Ek dan diberi nama Kam Lin.”
“Kalau begitu, seharusnya aku menyebutmu Tuan Puteri,” kata Suling Emas, sungguh-sungguh.
“Aku memang ingin merampas kembali tahta kerajaan bangsaku yang jatuh ke tangan pamanku! Aku ingin memimpin rakyatku menjadi bangsa yang kuat!” Ketika mengucapkan kata-kata ini, Lin Lin berdiri tegak, sikapnya agung, sinar matanya tajam bercahaya, penuh semangat.
Suling Emas mengangguk seperti orang memberi hormat. “Tepat, memang begitulah seharusnya Paduka bersikap sebagai seorang pemimpin yang mencinta bangsanya, Tuan Puteri Yalin.”
Tiba-tiba Lin Lin tertawa dan memegang tangan Suling Emas. “Ihhh, seperti main sandiwara saja! Aku belum menjadi ratu dan takkan bisa selama paman tiriku dan Hek-giam-lo masih berkuasa di Khitan. Aku tidak suka kau perlakukan sebagai ratu, dan panggil aku Lin Lin saja seperti biasa.”
Kembali Suling Emas tersenyum dan ia sendiri merasa aneh dan heran mengapa hatinya selalu menjadi gembira kalau berdekatan dengan gadis ini yang membuat ia mau tak mau menjadi gembira? Ataukah karena wajah Lin Lin ada persamaannya dengan Suma Ceng?
“Agaknya kau tidak suka kepada Hek-giam-lo. Akan tetapi mengapa kau menyuruh dia merampas tongkat pusaka Beng-kauw?”
“Kau tidak tahu. Biar kau berjuluk Suling Emas dan menjadi pendekar sakti, agaknya kau tidaklah terlalu cerdik untuk dapat menyelami apa yang menjadi maksud hatiku.” Ucapan ini langsung keluar dari hati Lin Lin yang selalu berbisik, “aku mencinta kau, mengapa kau tidak tahu?” dan yang tentu saja tak mungkin terucapkan mulut itu. “Ketika aku bertemu dengan Hek-giam-lo, biar pun sikapnya menghormat dan ia menganggap aku junjungannya, akan tetapi aku tahu bahwa diam-diam aku menjadi tawanannya. Karena itulah aku menyuruh dia merampas tongkat Pusaka Beng-kauw.”
“Mengapa?”
“Masih bertanya lagi? Tentu saja biar kau mengejarnya dan kalau kau mengejarnya, berarti kau akan dapat menolongku bebas dari pada tawanannya!”
“Ahhh...!” Diam-diam Suling Emas memuji kecerdikan gadis ini. “Tapi kulihat sekarang kau sudah pandai membebaskan diri sendiri.” Kemudian ia teringat akan sesuatu dan cepat bertanya, “Dan kulihat gerakan-gerakanmu tadi hebat sekali. Dulu kau tidak begitu. Dari mana kau memperoleh kepandaian yang aneh itu? Apakah Hek-giam-lo mengajarmu?”
“Ihhh, orang macam dia mana mau mengajarku? Aku dianggap musuhnya, tahukah kau? Dia... dia buruk sekali!” Lin Lin bergidik, teringat akan muka Hek-giam-lo ketika iblis itu membuka kedok memperlihatkan mukanya. “Tahukah kau mengapa mukanya menjadi seperti setan? Karena dia berani mengganggu ibuku dan ibu menghajarnya dengan bubuk racun pada mukanya! Huh, orang macam dia berani mengganggu ibuku. Tidak dibunuh pun masih untung dia!”
Suling Emas mengerutkan keningnya. Alangkah banyaknya rahasia penghidupan orang-orang tua yang ia tidak sangka-sangka dan tidak ketahui. Seperti halnya ibunya yang tentu mempunyai pengalaman hidup yang luar biasa dan menarik sekali, akan tetapi yang ia tidak tahu sama sekali, agaknya pengalaman hidup orang tua Lin Lin ini pun tidak kalah hebat dan menariknya (dugaan ini memang benar dan semua pengalaman itu menjadi cerita SULING EMAS yang menarik).
“Kalau bukan dari dia, dari mana kau mendapatkan ilmu yang aneh itu?”
Lin Lin tersenyum bangga, akan tetapi juga terheran. Ia memang telah mempelajari ilmu mukjijat dari tongkat pusaka Beng-kauw, akan tetapi seingatnya semenjak bertemu dengan Suling Emas tadi, ia tak pernah mainkan ilmu baru itu. Bagaimana Suling Emas dapat menduganya?
“Nanti dulu, Suling Emas. Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa aku mempunyai gerakan-gerakan hebat. Bagaimana kau bisa tahu padahal aku tak pernah melakukan pertempuran sejak tadi?”
“Kau tadi dapat menahan pengaruh Kim-kong Sin-im dari suara sulingku, kemudian dengan pukulan jarak jauh yang aneh kau meruntuhkan senjata rahasia.”
“Oh, itu?” Diam-diam Lin Lin kagum. Kelihaian Suling Emas dapat diukur dari sini. Sebelum ia memperlihatkan ilmunya, pendekar sakti ini sudah mengetahuinya hanya melihat hal itu saja. Timbul kegembiraannya hendak mencoba ilmu barunya terhadap pendekar yang menggugah kasih sayang dan kekaguman hatinya ini.
“Suling Emas, sebelum aku memberi tahu dari mana aku mendapatkan ilmu ini, aku hendak mengujinya kepadamu. Harap kau suka meneliti dan memberi petunjuk kepadaku.”
Kembali Suling Emas tersenyum. Gadis ini berwatak aneh, akan tetapi jujur dan jenaka. Sudah menjadi watak semua tokoh kang-ouw untuk menyembunyikan rahasia ilmunya, apa lagi yang belum dilatih masak-masak, mengeluarkannya saja di depan umum tentu segan karena khawatir kalau-kalau diketahui rahasianya oleh orang lain. Akan tetapi gadis ini selain hendak membuka rahasia malah ingin mengujinya terhadap dirinya dan minta petunjuk. Mengapa gadis ini amat percaya kepadanya?
Apa lagi gadis ini belum tahu bahwa dia adalah Kam Bu Song. Apa lagi mengingat betapa dahulu telah terjadi peristiwa ‘menyeramkan’ di lingkungan istana, atau lebih tepat di gedung perpustakaan istana ketika ia menyangka gadis ini Suma Ceng dan memeluk serta menciumnya. Karena peristiwa itu pula maka ia sengaja tidak memperkenalkan diri, biar gadis ini sendiri yang kelak mendengar dari Kam Bu Sin atau Sian Eng bahwa dia, Suling Emas, laki-laki yang dulu pernah bersikap ‘kurang ajar’ kepada gadis itu, adalah kakak angkat­nya!
Apa lagi, kakak angkat bukanlah hubungan yang amat dekat, jauh bedanya dengan saudara tiri yang masih seayah lain ibu seperti halnya dia terhadap Bu Sin dan Sian Eng. Kakak angkat pada hakekatnya adalah orang lain dan bukan apa-apa. Terutama sekali apa bila diingat bahwa gadis ini sebetulnya adalah seorang puteri bangsa Khitan, semenjak dahulu musuh utama bangsanya, khususnya Kerajaan Hou-han. Akan tetapi betapa pun juga semenjak kecil gadis ini dipelihara ayahnya, dan mengingat betapa gadis ini bercita-cita besar sekali ingin menjadi Ratu Khitan, tidak ada salahnya kalau ia memberi petunjuk agar Lin Lin memiliki kepandaian yang boleh diandalkan, terutama sekali untuk menghadapi Hek-giam-lo yang sakti.
“Silakan kau perlihatkan ilmu itu.”
Lin Lin melompat mundur sampai dua meter, berdiri dalam jarak empat meter dari Suling Emas, kemudian merangkap kedua tangan seperti orang menyembah, ditaruh di depan dada kiri, kemudian terus digerakkan ke atas dengan sepasang matanya meram. Lambat-lambat gerakan ini, namun makin lama makin tergetar dan menggigil, kemudian kedua tangan itu mengembang ke atas kepala seperti seorang yang memohon sesuatu dari pada Tuhan. Beberapa detik sepasang tangannya menggigil di atas kepala, lalu diturunkannya kembali dan ia membuka matanya. Sikapnya berubah tenang sekali, bibirnya tersenyum, kedua tangannya tidak menggigil lagi.
“Aku sudah siap, Suling Emas.”
Suling Emas mengikuti semua gerakan Lin Lin itu dengan mata makin lama makin terbelalak. Merangkap tangan di depan dada itu! Hampir ia tidak percaya. Gerakan merangkap tangan ke depan dada lalu menggerakkan ke atas kepala dan memohon kepada Thian, itulah gerakan sembahyang dari Beng-kauw!
Akan tetapi ia tahu betul bahwa Lin Lin bukanlah seorang penganut Beng-kauw, dan ia pun dapat menduga dari kedua tangan yang menggigil mengandung getaran tenaga dahsyat itu bahwa gerakan gadis itu tadi sama sekali bukan semata-mata gerakan upacara keagamaan, melainkan cara untuk mengerahkan semacam hawa sakti yang hebat dan luar biasa. Hal ini dapat dibuktikan dari sikap gadis itu yang berubah begitu tenang, terlalu tenang, sebagai tanda seorang yang seluruh tubuhnya sudah disaluri tenaga sinkang (hawa sakti) yang kuat. Ia pun bersikap waspada dan dengan mata penuh selidik ia berkata.
“Nah, kau mulailah menyerang,” suaranya lirih karena hatinya berguncang.
“Lihat serangan!” Lin Lin berseru dan ia segera melompat maju dan memutar-mutar tubuhnya bagaikan sebuah gasing!
Inilah jurus ke tujuh dari pada ilmu yang ia pelajari. Menghadapi Suling Emas yang amat lihai, ia tidak mau mempergunakan jurus-jurus sederhana dan sengaja ia memilih jurus-jurus yang ia anggap paling aneh. Jurus ini memang hebat dan aneh yang menurut catatan rahasia itu disebut sebagai jurus Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Mengeluarkan Kilat)!
Selama tahun-tahun belakangan ini, semenjak ia mendekati Beng-kauw, sudah sering kali Suling Emas menyaksikan jurus-jurus terlihai dari Beng-kauw. Bahkan dengan Kauw Bian Cinjin yang menjadi sahabat baiknya sering kali ia bertukar pengalaman dan kritik tentang jurus-jurus sakti. Akan tetapi belum pernah ia menyaksikan jurus macam ini.
Hal ini tidaklah mengherankan kalau diingat bahwa jurus ini adalah sebuah di antara tiga belas jurus istimewa yang khusus diciptakan oleh mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, diciptakan khusus untuk menghadapi semua isi tiga kitab pusaka yang dicuri oleh puterinya sendiri. Jadi boleh dibilang tiga belas macam ilmu pukulan sakti ini diciptakan untuk mengatasi seluruh inti sari ilmu kesaktian Beng-kauw yang telah ada! Tidaklah mengherankan apa bila hebatnya bukan alang kepalang, sehingga agaknya Suling Emas sendiri tentu akan menemui lawan yang mengejutkannya kalau saja Lin Lin sudah sempurna berlatih.
Namun biar pun baru beberapa hari Lin Lin berlatih ilmu baru ini, Suling Emas sudah menjadi terheran-heran ketika menghadapi serangan pertama ini. Mula-mula ia tidak terkejut, hanya terheran-heran karena melihat gerakan serangan yang begitu aneh, bahkan menggelikan. Mana ada jurus ilmu silat yang menyerang dengan pembukaan seperti itu? Berputar-putar seperti gasing, bagaimana dapat menyerang dengan baik? Malah boleh dibilang memberi kesempatan kepada lawan untuk menyerang hebat selagi tubuh berputar-putar seperti itu. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau mempergunakan kesempatan ini untuk menyerang, karena ia hanya ingin menguji. Ia sendiri tegak menanti sampai gadis itu mendahului menyerang.
Dan serangan itu datang! Bukan main aneh dan hebatnya! Tiba-tiba, dengan tubuh masih berputaran, setelah dekat dengan Suling Emas tiba-tiba dari putaran itu menyambar keluar dua buah tangan yang bergerak tak tersangka-sangka. Tangan pertama, yang kiri, menghantam ke arah kepala Suling Emas, dan tangan kanan sebagai pukulan kedua sudah menyambar ke arah dada sebelum pukulan pertama mengenai sasaran. Dua serangan sekaligus yang susul-menyusul dan kecepatannya cukup membahayakan.
Suling Emas miringkan kepala menghindarkan diri dari pada pukulan pertama dan sengaja ia mengangkat lengannya menangkis ketika pukulan kedua tiba menyambar dadanya.
“Dukkkkk!” Tubuh Lin Lin terhuyung-huyung seperti melayang-layang, akan tetapi Suling Emas mengeluarkan seruan heran dan kaget ketika kuda-kudanya tergempur oleh pertemuan lengan itu. Kalau saja ia tidak cepat mengerahkan sinkang-nya, tentu ia akan terhuyung juga, biar pun tidak sehebat Lin Lin. Ia cepat meloncat untuk menahan dan menolong Lin Lin, akan tetapi ternyata gadis itu sudah dapat menguasai dirinya kembali dan sama sekali tidak apa-apa!
“Kenapa kau sungguh-sungguh?” Lin Lin mengomel.
“Wah, hebat sekali! Lin Lin, hebat sekali seranganmu tadi. Mengandung tenaga mukjijat. Sayangnya, dengan berputaran seperti itu, sebelum kau memukul, kau dapat diserang lawan lebih dulu dan keadaan berputaran itu tidak menguntungkan.”
Lin Lin tertawa. “Hi-hik, boleh coba! Aku tadi justru mengharapkan kau menyerang lebih dulu. Suling Emas, di dalam catatan ilmu ini, kelihaian jurus Soan-hong-ci-tian terletak kepada cara berputaran itulah! Dan jangan kira bahwa berputaran seperti itu melemahkan kedudukanku, iihh, sama sekali terbalik. Itulah gerakan memancing, malah sengaja begitu biar lawan menyerang lebih dulu. Kehebatan daya serangnya justru di waktu lawan menyerang, karena lawan memandang rendah dan percaya serangannya akan berhasil. Mau coba?”
Akan tetapi Suling Emas mengerutkan kening, memikir-mikir. “Soan-hong-ci-tian...? Tak pernah kudengar jurus ini, melihatnya pun baru sekarang....”
“Hi-hik, masa? Suling Emas yang tersohor sakti, pendekar jagoan itu tidak mengenal jurusku? Lucu!”
“Lin Lin, dari mana kau memperoleh ini? Siapa yang mengajarmu?”
“Sssttt, nanti dulu. Belum habis kan ujian ini? Kau jaga seranganku berikutnya!” Sambil berkata demikian Lin Lin sudah menerjang lagi mengeluarkan jurus-jurus yang aneh dan lihai. Dari kedua tangannya yang memukul menyambar angin yang amat kuat sehingga Suling Emas tak berani memandang rendah. Makin lama Suling Emas makin tertarik, karena jurus-jurus itu betul-betul belum pernah ia melihatnya.
“Pergunakan pedangmu...!” kata Suling Emas gembira. “Lekas cabut pedangmu dan mainkan menurut jurus-jurusmu...!”
Tadinya Lin Lin sudah merasa kecewa sekali karena biar pun ia menerjang dengan hebat, sama sekali ia tidak mampu menyentuh bayangan Suling Emas sehingga ia merasa seperti menyerang bayangannya sendiri dan merasa betapa ilmunya yang baru ini kalau berhadapan dengan lawan sesakti Suling Emas atau Hek-giam-lo, benar-benar tidak ada gunanya. Akan tetapi mendengar perintah Suling Emas ini, ia tidak mau membantah, apa lagi dalam suara itu terkandung kegembiraan dan kekaguman.
Sinar kuning emas berkeredepan menyilaukan mata ketika Lin Lin mencabut Pedang Besi Kuning dan mainkan pedang pusaka ini menurut jurus-jurus ilmu baru. Tiga belas jurus sudah ia mainkan semua dan pedangnya sama sekali tidak dapat menyentuh ujung baju Suling Emas. Dengan perasaan sebal dan kecewa Lin Lin menghentikan permainannya dan menyimpan pedangnya, membanting kaki dan berkata. “Sudahlah! Perlu apa kau permainkan aku? Memang aku tidak becus, dan ilmuku, ilmu picisan!”
“Wah, siapa bilang begitu? Lin Lin, kau benar-benar telah mewarisi ilmu yang luar biasa sekali. Sungguh mati, kalau kau sudah melatih ilmu itu dengan sempurna, jarang ada tokoh kang-ouw yang akan mampu menandingimu. Bahkan aku sendiri merasa ragu-ragu apakah aku akan dapat bertahan begitu mudahnya menghadapimu. Ilmu mukjijat, Lin Lin, hanya kurang terlatih dan ada bagian-bagian yang kau keliru latihan agaknya. Kau tadi minta petunjuk, bukan? Nah, aku akan memberi petunjuk-petunjuk kalau saja kau suka berlatih perlahan-lahan. Aku bersumpah takkan mempelajari ilmu itu, dari mana pun datangnya.”
“Jangan pura-pura membesarkan hatiku, padahal kau hanya mengejek. Begitu baik hubunganmu dengan Beng-kauw, masa pura-pura tidak mengenal ilmu silat yang kutemukan di dalam tongkat pusaka Beng-kauw?” Ucapan Lin Lin ini sewajarnya saja karena memang ia sungguh-sungguh menganggap bahwa Suling Emas mempermainkan dan mengejeknya yang membuat hatinya mendongkol sekali.
Akan tetapi ternyata ucapan ini mengagetkan Suling Emas yang terang-terangan membelalakkan kedua matanya dan memandang kepada gadis itu seakan-akan Lin Lin bukan seorang gadis jelita melainkan seorang siluman yang mengerikan.
Memang bukan main kaget hati Suling Emas mendengar kata-kata ini. Hal ini ada sebabnya. Tadi ketika ia melayani jurus-jurus istimewa anehnya dari Lin Lin, ia selain kaget dan kagum, juga merasa heran mengapa jurus-jurus ini mengandung inti sari ilmu Beng-kauw, akan tetapi lebih tinggi dan seakan-akan mengandung unsur-unsur menekan dan mengatasi inti sari ilmu Beng-kauw. Inilah yang mengagetkan hatinya ketika mendengar bahwa gadis itu mempelajarinya dari surat warisan yang ditemukan di dalam tongkat pusaka Beng-kauw.
Otaknya yang cerdik segera dapat menangkap rahasianya. Takkan salah lagi, tentu mendiang Pat-jiu Sin-ong yang menciptakan dan menyembunyikannya di dalam tongkat pusaka Beng-kauw dengan maksud menurunkan atau mewariskannya kepada ketua Beng-kauw. Ada pun ketua Beng-kauw adalah pamannya sendiri, Liu Mo, yang kelihatan tenang-tenang saja ketika tongkat itu dirampas Hek-giam-lo.
Andai­kata pamannya tahu bahwa di dalam tongkat pusaka itu terdapat surat wasiat mendiang kakeknya yang mengandung pelajaran ilmu kesaktian yang begitu hebat, sudah tentu pamannya itu akan menjadi panik sekali dan tak mungkin menyerahkan tongkat begitu saja kepada Hek-giam-lo. Sekali ilmu itu dipelajari orang luar, berarti Beng-kauw terancam! Hal ini hanya berarti bahwa pamannya belum tahu akan surat wasiat, berarti pula bahwa surat wasiat itu belum pernah terlihat orang lain dan Lin Lin adalah orang pertama yang mempelajarinya.
Lin Lin yang kini mendapat giliran kaget sekali ketika Suling Emas menangkap tangannya dan memegangnya erat-erat.
“Eh-eh, aduuuhhhhh... hendak kau patahkan lenganku?” serunya, agak dibuat-buat manja karena sesungguhnya, seerat-eratnya Suling Emas memegang, tentu saja tidak sampai mematahkan tulang lengannya. Apa lagi dia memiliki sinkang yang tidak sembarangan!
“Eh, maaf, eh... Lin Lin, di mana surat wasiat itu? Di mana sekarang?” tanya Suling Emas agak gugup.
Siapa orangnya tidak akan gugup? Kalau surat wasiat itu terjatuh ke tangan orang lain seperti Hek-giam-lo, tentu Beng-kauw akan terancam bahaya. Takkan ada orang Beng-kauw yang akan dapat melawan musuh yang memiliki ilmu itu secara mendalam, karena ia tahu bahwa ilmu itu adalah ilmu berinti sari pelajaran Beng-kauw yang agaknya dicipta untuk mengatasi kepandaian orang-orang Beng-kauw.
“Kenapa sih? Kau yang sudah begitu pandai, yang tadi dengan mudah saja menghadapi ilmu ini, apakah kau masih begitu serakah ingin mempelajari ilmu ini pula? Ingat, Suling Emas, kau sudah bersumpah tadi takkan mempelajarinya. Bukan aku melarang kau mempelajarinya, hanya... aku... aku tidak mau kalau kau melanggar sumpahmu.”
“Aku takkan mempelajarinya, Lin Lin. Tapi lekas katakan, di mana adanya wasiat pelajaran itu?” Saking tegang hatinya, penuh kekhawatiran kalau-kalau wasiat itu terampas pula oleh Hek-giam-lo, Suling Emas sampai lupa untuk melepaskan tangan Lin Lin. Sejak tadi ia masih memegangi tangan itu, sungguh pun kini tidak ia cengkeram seperti tadi.
Dengan jantung berdebar Lin Lin melirik ke arah kedua tangannya yang digenggam Suling Emas. Ia tersenyum. “Panggil dulu namaku....”
“Lin Lin....”
“Sebut aku Moi-moi (Adik)....”
“Lin-moi-moi (Adik Lin) yang baik!” kata Suling Emas, biar pun mendongkol merasa geli juga karena memang gadis ini adik angkatnya, apa salahnya menyebutnya adik?
“Kau menyebut dinda, aku pun menyebut kanda. Koko yang baik, surat wasiat itu sudah kumusnahkan.”
“Kau musnahkan?”
Mereka bertemu pandang, sama-sama menyelidik. Melihat wajah Suling Emas agak berseri membayangkan kegirangan hatinya, legalah hati Lin Lin.
“Sudah kurobek-robek menjadi sekeping-keping kecil lalu kusebarkan ke dalam sungai.”
“Betul sudah musnah? Apakah Hek-giam-lo tidak melihatnya?” kata Suling Emas agak terburu-buru dan mukanya menjadi merah karena baru sekarang setelah hilang kekhawatirannya, ia teringat bahwa sejak tadi ia menggenggam sepasang tangan yang kecil halus itu.
Lin Lin tertawa. “Lucu sekali Hek-giam-lo. Dia goblok. Ada beberapa potongan surat wasiat itu ia ambil, akan tetapi apa artinya satu dua huruf pada kepingan-kepingan kecil itu! Ia mendesak, curiga dan bertanya.”
“Dan apa kau jawab?”
“Kukatakan bahwa surat itu dari... dari kekasihku, hi-hik...”
Kembali terpaksa Suling Emas tersenyum, perbuatan yang jarang atau tak pernah ia lakukan. Semenjak ia terpaksa berpisah dari kekasihnya, Suma Ceng, tersenyum merupakan hal yang sukar dapat dilakukan Suling Emas karena hatinya sudah terluka dan ia selalu memandang penghidupan dari segi yang muram-muram. Akan tetapi entah mengapa, berdekatan dengan Lin Lin, ia sudah beberapa kali tersenyum seakan-akan kelincahan dan kegembiraan gadis ini merupakan cahaya terang yang sinarnya mencapai pojok-pojok hatinya yang gelap.
“Hemmm, anak nakal. Lalu, dia bagaimana? Percayakah?”
“Mula-mula tidak. Ia bertanya siapakah kekasih itu.”
“Dan kau jawab...? Tentu... murid Gan-lopek, ya?” Suling Emas sendiri merasa heran mengapa mendadak sontak ia melayani kelakar Lin Lin, bahkan mengeluarkan godaan ini. Benar-benar ia menjadi seperti kanak-kanak, pikirnya dengan wajah merah.
“Iiiihhhhh...!” Tiba-tiba Lin Lin menggunakan kedua tangannya menangkap lengan tangan Suling Emas dan sepuluh buah jari-jari tangannya mencubiti kulit lengan itu.
“Aduh-aduh... aduh...!” Suling Emas tertawa dan menjerit-jerit karena memang sakit sekali cubitan-cubitan jari yang berkuku runcing itu. Ia tidak tega tentu saja untuk menggunakan tenaga melawan cubitan karena selain tak patut main-main dibalas sungguh-sungguh, juga ia khawatir kalau-kalau kuku-kuku jari yang terpelihara itu akan rusak oleh perlawanannya.
“Kau menyebalkan! Siapa bilang, hayo, siapa bilang aku punya kekasih murid Gan-lopek si badut tua itu? Memalukan, menggemaskan...!”
“Sudah... sudah, aduh...!” Suling Emas masih tertawa-tawa. “Lepaskan!”
“Hayo bilang dulu siapa yang mengatakan demikian?”
Kegembiraan Suling Emas timbul, maka ia merasa belum cukup menggoda. Sambil tertawa ia berkata, “Memang sudah sepantasnya Lie Bok Liong yang tampan dan gagah itu menjadi anumu... ha-ha... aduhhh!”
Cubitan Lin Lin makin keras. “Anu apa? Hayo bilang, apa yang kau maksudkan dengan anumu...?”
“Aduh, sakit, Lin-moi, lepaskan. Kumaksudkan kekasihmu tentu. Bukankah ia amat mencintamu dan selalu membelamu?”
Mendadak Lin Lin melepaskan tangannya dan... menangis!
“Eh-eh... mengapa menangis...?” Suling Emas benar-benar terkejut dan heran sekali.
“Kau jahat...! Kau mengejekku, kau menjengkelkan, sengaja bikin aku marah...! Kau tidak punya hati, tak berjantung!”
“Eh... oh... nanti dulu, Lin-moi! Aku sama sekali tidak mengejekmu, aku... aku hanya main-main. Masa tidak boleh orang main-main? Maafkan aku, Lin-moi, sungguh mati aku tidak bermaksud membikin kau marah dan jengkel. Sudahlah, kau maafkan aku.”
Lin Lin mengangkat mukanya yang merah dan basah. “Betul-betul kau tidak mengejek?” tanyanya dan Suling Emas tidak berani main-main lagi karena suara itu mengandung kesungguhan hati yang mengherankan dan mengejutkan. Mengapa gadis yang lincah dan suka berjenaka ini begitu sedih ketika digoda?
“Tidak, aku tidak mengejek, hanya main-main.”
“Bagaimana kau bisa menyangka begitu terhadap Lie Bok Liong Twako? Apa sebabnya kau mengira dia kekasihku?”
Bingunglah Suling Emas, akan tetapi dengan tenang ia menjawab “Lin-moi, sudahlah, aku tadi hanya main-main. Pula, andai kata aku benar timbul persangkaan demikian, bukankah engkau sendiri yang tadi menceritakan betapa Lie Bok Liong hampir saja mengorbankan nyawa demi untuk membelamu? Hanya orang yang mencinta dengan sepenuh jiwa raga dapat membela dengan pengorbanan sehebat dia.”
Dengan muka termenung Lin Lin mengangguk-angguk. “Memang dia amat baik hati, dia... agaknya memang betul bahwa dia amat mencintaku. Liong-twako seorang berbudi. Tapi... tapi bukan dia... aku tidak mencintanya, aku hanya suka kepadanya sebagai seorang kakak atau sahabat....”
“Hemmm, kasihan dia. Sudahlah, Lin-moi, cukup tentang dia. Terang kalau begitu bahwa bukan dia kekasihmu, maafkan aku tadi. Kemudian bagaimana dengan Hek-giam-lo tadi? Ketika dia tanya siapa kekasihmu, bagaimana jawabmu? Apa kau bilang kekasihmu itu ada?”
Suling Emas tak dapat menyembunyikan keheranan yang membayang pada wajahnya ketika melihat betapa gadis itu kini memandangnya sambil tersenyum dengan wajah cerah. Bukan main! Baru saja menangis dan marah-marah, kini sudah tersenyum-senyum. Siapa tidak akan heran kalau melihat udara yang gelap mendung dan hujan tiba-tiba tampak matahari bersinar?
“Tentu saja ada, dan dia percaya!”
“Siapa?”
Lin Lin berdebar jantungnya. Ia seorang gadis yang tabah dan jujur, tidak pemalu, akan tetapi pertanyaan ini sekarang amat sukar terjawab. Ia terpaksa menyembunyikan mukanya dengan tunduk, lalu menjawab, “Suling Emas....”
Suling Emas menjadi begitu kaget sampai ia berdiri kesima tak mampu bergerak atau mengeluarkan kata-kata. Ia masih mengira bahwa Lin Lin gadis nakal itu sengaja menyebut namanya untuk mempermainkannya sebagai pembalasannya tadi. Akan tetapi melihat kepala yang ditundukkan, sikap yang malu-malu dan bersungguh-sungguh itu, makin gelisahlah dia.
“Lin-moi, harap kau jangan main-main yang bukan-bukan....” Ia masih mencoba untuk melawan kekhawatirannya.
Lin Lin mengangkat mukanya. Merah sekali muka itu, terutama sepasang pipinya, seolah-olah ketika menunduk tadi, gadis ini memulas kedua pipinya dengan yanci (pemerah pipi). Tapi kini suaranya terdengar sungguh-sungguh dan penuh tuntutan.
“Mengapa, Koko? Aku tidak main-main! Bukankah pengakuanku itu benar-benar? Kalau kau sekarang terheran, kaulah yang pura-pura dan main-main. Yang kau lakukan terhadapku di perpustakaan istana itu....”
Suling Emas gelagapan. Tentu saja ia tidak dapat melupakan peristiwa itu, pertemuannya pertama kali dengan Lin Lin. Pada suatu malam di lingkungan istana, ketika itu ia berada di dalam gedung perpustakaan, sedang melamunkan kekasihnya, Suma Ceng, ketika tiba-tiba muncul Lin Lin yang di dalam cuaca remang-remang itu bentuk tubuh dan potongan wajahnya mirip benar dengan Suma Ceng.
Pada waktu itu, karena hatinya sedang diliputi penuh rindu dendam terhadap kekasihnya, ia seperti orang yang sedang bermimpi, mengira Lin Lin adalah Suma Ceng, memeluknya, menciumnya! Agaknya Lin Lin tak pernah dapat melupakan peristiwa itu pula, hanya bedanya, kalau ia mengenang peristiwa itu, dengan perasaan jengah dan malu serta merasa bersalah, sebaliknya gadis ini menganggap peristiwa itu sebagai pernyataan cinta kasih Suling Emas terhadap gadis itu!
“Kenapa? Apakah kau mempermainkan aku ketika itu?” Lin Lin mendesak ketika melihat wajah Suling Emas menjadi pucat. Gadis ini merasa gelisah sekali, khawatir kalau-kalau dugaan hatinya meleset. Ketika itu ia merasa yakin benar bahwa Suling Emas mencintanya.
“Sudahlah, Lin-moi. Apakah kau tidak bisa memaafkan kesalahanku? Lekas kau lanjutkan ceritamu. Bagaimana dengan tongkat pusaka? Di mana tongkat itu sekarang?”
“Dirampas Hek-giam-lo,” jawab Lin Lin pendek, masih bersungut-sungut karena ia merasa betapa Suling Emas seperti hendak mengingkari perbuatannya di perpustakaan.
“Lin-moi, sekarang juga kau harus ikut aku. Kalau hal ini tidak lekas kuurus, selamanya kau akan dianggap musuh besar Beng-kauw.”
Ucapan ini begitu mengagetkan Lin Lin sehingga ia melupakan urusan cinta kasih. “Apa? Mengapa?”
“Lin Lin, ketahuilah. Sudah menjadi rahasia yang belum terpecahkan oleh para pimpinan Beng-kauw bahwa Pat-jiu Sin-ong meninggalkan warisan ilmu yang mukjijat. Mereka mencari-cari, namun belum juga dapat menemukannya. Kini rahasia wasiat itu terbuka olehmu, bahkan telah kau musnahkan dan kau pelajari isinya, padahal kau sama sekali bukanlah orang Beng-kauw. Hal ini akan menimbulkan geger di kalangan Beng-kauw dan kalau mereka tahu, tentu mereka itu akan mencarimu dan membunuhmu. Rahasia ilmu itu sama sekali tidak boleh diketahui oleh orang luar. Kalau sampai mereka tahu dan memusuhimu, biar aku sendiri takkan mampu mencegahnya.”
“Aku tidak takut! Aku tidak mencuri ilmu, hanya kebetulan...”
“Hemmm, kau seperti anak kecil yang tidak pedulikan langit ambruk bumi terbalik, Lin-moi. Ketahuilah, urusan ini amat besar dan gawat. Biar pun secara kebetulan kau menemukan ilmu itu, akan tetapi bukankah engkau yang menyuruh Hek-giam-lo merampas tongkat pusaka? Dan tahu pulakah kau mengapa Hek-giam-lo suka merampas tongkat itu? Semata-mata karena taat kepadamu? Tak mungkin. Dia mempunyai pamrih lain. Ketahuilah bahwa ilmu ciptaan Pat-jiu Sin-ong itu telah terdengar pula oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan Hek-giam-lo termasuk seorang di antara mereka yang ingin sekali mengetahui dan memiliki ilmu itu. Tentu saja ia tidak menduga bahwa ilmu itu disimpan di dalam tongkat pusaka, akan tetapi aku berani bertaruh bahwa ia merampas tongkat pusaka untuk ditukar dengan wasiat ilmu peninggalan Pat-jiu Sin-ong itu.”
“Wah-wah, bagaimana baiknya? Aku sih tidak takut! Kalau kakek ketua Beng-kauw marah-marah, aku dapat mengembalikan ilmu ini kepadanya dengan mengajarnya. Bukankah beres begitu?”
Kembali mau tak mau Suling Emas tersenyum. Bocah ini sama sekali belum tahu akan seluk beluknya dunia kang-ouw. Kalau tahu tentu akan ketakutan sekali, karena urusan ini berarti kematiannya yang sukar untuk dicegah pula.
“Lin-moi, aku percaya akan ketabahanmu yang luar biasa, sungguh pun aku tahu bahwa tak mungkin kau mampu menghadapi Beng-kauw. Andai kata ilmu ini sudah kau sempurnakan, agaknya kau memang akan menjadi penantang Beng-kauw yang berbahaya, akan tetapi kau seorang diri mana mampu menghadapi Beng-kauw yang mempunyai banyak sekali orang sakti?”
“Termasuk kau?”
“Jangan ngacau! Lin-moi, bukan saatnya kita bicara main-main. Hanya ada satu cara untuk membebaskanmu dari pada keadaan berbahaya ini.”
“Bagaimana?”
“Kau harus mengunjungi makam mendiang Pat-jiu Sin-ong, bersumpah di depan makam sebagai murid yang menemukan ilmu itu. Dengan cara demikian, maka kau boleh dibilang sudah menjadi murid Pat-jiu Sin-ong sehingga biar pun kau bukan anggota Beng-kauw, kau berhak mewarisi ilmunya.”
Lin Lin mengerutkan alisnya yang kecil hitam. “Pergi sendiri? Aku tidak tahu tempatnya!” Tapi hatinya berkata, “Aku ogah!”
“Aku yang akan membawamu ke sana.”
Seketika wajah gadis itu berseri ketika ia memandang Suling Emas. “Dengan kau? Boleh, mari kita berangkat!”
Suling Emas menggeleng-geleng kepala, akan tetapi diam-diam hatinya khawatir sekali. Bocah ini baginya merupakan ancaman bahaya yang jauh lebih hebat dan mengerikan dari pada ujung senjata para pengeroyoknya tadi.
********************
Beberapa hari kemudian, pagi-pagi sekali di tanah pekuburan kaum Beng-kauw terdapat dua orang muda yang berjalan perlahan berdampingan. Mereka ini adalah Lin Lin dan Suling Emas yang melakukan perjalanan cepat ke selatan dan kini telah tiba di tanah pekuburan kaum Beng-kauw di Nan-cao. Inilah tanah pekuburan para tokoh yang termasuk pimpinan Beng-kauw, selama Beng-kauw didirikan di Nan-cao oleh Pat-jiu Sin-ong.....

Lanjut ke jilid 25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)