CINTA BERNODA DARAH : JILID-21


“Liong-twako, sudahlah jangan mengikuti perahu. Pergilah dan cari Suling Emas, suruh dia membebaskan aku!” dari atas perahu Lin Lin berteriak ke arah bayangan Lie Bok Liong yang bergerak di pinggir sungai. Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan yang mendengar dan melihat ini hanya tersenyum-senyum saja.
Pemuda itu berseru menjawab. “Aku tidak bisa meninggalkanmu, Lin-moi. Tidak tahu Suling Emas berada di mana. Kalau aku pergi, bagaimana kalau mereka orarg-orang liar itu mengganggumu? Aku akan mengadu nyawa dengan mereka! Jangan khawatir selama aku berada di dekatmu!”
Lin Lin menghela napas diam-diam ia merasa terharu. Akhir-akhir ini mulailah terasa olehnya betapa mulia dan jujur hati pemuda itu, dan betapa besar pembelaan dan pengorbanan pemuda itu untuk dirinya. Mulai terbuka mata Lin Lin bahwa Lie Bok Liong amat mencinta dirinya dan hal ini membuatnya sedih dan terharu. Bukan pemuda ini yang selalu menjadi kenangan, menjadi harapan, menjadi pujaan hatinya. Hati dan perasaan cinta kasih dalam dadanya terampas oleh Suling Emas!
Ia merasa amat khawatir melihat tingkah laku Bok Liong yang begitu nekat hendak melindungi dan membelanya, biar pun pemuda itu sendiri tahu betul bahwa ia tidak berdaya menghadapi Hek-giam-lo dan anak buahnya. Lin Lin merasa khawatir kalau-kalau Bok Liong akan nekat dan akhirnya akan mengorbankan nyawanya, apa lagi ketika ia diturunkan dari perahu dan diajak beristirahat di pondok tepi sungai itu. Dan kekhawatitannya terbukti.
Sore hari itu, ketika Hek-giam-lo sudah pergi meninggalkan pondok, sampailah Lie Bok Liong ke tempat itu. Pemuda ini tertinggal jauh oleh perahu, maka setelah sore baru ia dapat menyusul. Ketika melihat perahu yang diikutinya itu tertambat di pinggir, ia segera menghampiri rumah pondok. Dengan tubuh lemas dan sakit-sakit ia melangkah ke halaman pondok itu, sedikit pun tidak merasa takut. Padahal pemuda ini sebenarnya sedang tidak sehat. Tubuhnya panas dan lemas, karena selama dalam perjalanan mengikuti perahu, ia jarang sekali makan. Pula ia masih menderita luka ketika bertempur dengan Hek-giam-lo di atas perahu beberapa hari yang lalu. Agaknya rasa cinta kasih yang besar membuat ia kuat menahan segala derita.
Ketika melihat pondok itu sunyi saja, Bok Liong melangkah lebar menuju ke ruangan depan. Ia sudah nekat, hendak mencari Lin Lin dan mengajak gadis itu lari, atau membiarkan gadis itu lari sedangkan dia akan menahan orang-orang Khitan kalau mereka akan mengejarnya.
“Lin-moi...!” Ia memanggil dengan suara parau.
Suaranya menjadi parau karena batuk. Kurang tidur membuat ia terserang batuk pula. Memang perahu itu tak pernah berhenti sehingga di waktu malam sekali pun Bok Liong harus terus berjalan kalau ia tidak ingin tertinggal jauh. Selama hampir sepuluh hari lamanya ini Bok Liong terus berjalan siang malam, makan sedapatnya, kadang-kadang hanya daun-daun muda, itu pun dilakukan sambil berjalan terus. Bahkan tidur pun sambil berjalan, kalau itu boleh dikatakan tidur.
“Lin-moi...!” Kembali Bok Liong berteriak, lalu tangannya menggedor pintu depan yang tertutup.
Karena tidak juga ada jawaban, Bok Liong melompat ke pintu samping, yaitu pintu yang menuju ke taman di samping pondok. Pintu ini terbuat dari pada kayu dan tidak sekokoh pintu depan. Sambil mengerahkan tenaganya, Bok Liong menendang pintu kecil ini dan robohlah pintu itu! Akan tetapi sebelum ia melompat masuk, dari dalam keluar seorang laki-laki berkumis.
“Jahanam liar! Berani kau datang ke sini?” teriak orang Khitan itu yang segera menerjang ke depan dengan pukulan-pukulan keras.
Bok Liong mengelak sambil melompat ke belakang, akan tetapi karena tubuhnya lemah dan gemetar, ia terhuyung-huyung sampai ke ruangan depan. Lawannya yang kelihatan kuat itu terus mendesaknya dengan pukulan-pukulan keras. Betapa pun juga, tingkat ilmu kependaian Bok Liong jauh lebih tinggi, maka biar pun terhuyung-huyung, Bok Liong selalu dapat mengelak. Setelah peningnya agak berkurang, sekali tangan kanannya menyambar, lawan itu terkena pukulannya pada leher sehingga orang Khitan itu terpelanting.
Akan tetapi dari pintu taman itu bermunculan orang-orang Khitan. Bok Liong cepat mencabut pedangnya, akan tetapi karena enam orang Khitan itu serentak maju menubruknya. Bok Liong yang sudah lemas itu tak dapat bergerak lagi dan di lain saat ia telah ditelikung, kedua lengannya dibelenggu di belakang tubuh dan kedua kakinya pun diikat! Pemuda ini hanya dapat memaki-maki saja dengan suara parau. Seorang Khitan mengambil pedangnya, pedang Goat-kong-kiam yang terjatuh di tanah ketika terjadi pergulatan tadi.
Bok Liong diseret masuk ke ruangan dalam. Tahulah sekarang Bok Liong mengapa Lin Lin tidak muncul. Kiranya gadis pujaannya itu berada di dalam ruangan dalam dan tubuhnya terikat pada sebuah tiang! Memang sebelum pergi meninggalkan pondok, Hek-giam-lo mengikat tubuh Lin Lin pada tiang itu. Ia cukup maklum akan kelihaian gadis ini, sehingga kalau dia tidak berada di situ, amukan gadis ini akan cukup membahayakan, sungguh pun dua puluh orang anak buahnya merupakan pasukan yang cukup tangguh. Iblis itu tidak mengkhawatirkan kedatangan Lie Bok Liong karena iblis sakti ini sudah tahu bahwa pemuda itu sudah hampir kehabisan tenaga.
Melihat Lin Lin diikat pada tiang, Bok Liong makin marah. Dengan sisa tenaganya ia meronta-ronta. Namun ia terlalu lemah untuk dapat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangannya.
“Lepaskan dia! Kalian binatang-binatang liar! Hayo lepaskan Lin-moi. Orang gagah tidak mengganggu wanita! Kalian ini kalau memang laki-laki, jangan ganggu wanita dan boleh siksa atau bunuh aku!”
Lin Lin memandang Bok Liong dan amatlah terharu hatinya. Pemuda itu benar-benar menderita, wajahnya pucat, rambutnya kusut, matanya merah, dan tubuhnya lecet-lecet di sana-sini. Dalam keadaan seperti itu, pemuda ini masih hendak membelanya! Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi bulu mata gadis ini.
“Liong-twako, kenapa kau menyusul ke sini?” tegurnya perlahan.
“Lin-moi, bagaimana aku bisa meninggalkan kau yang masih menjadi tawanan?” balas tanya Bok Liong, suaranya penuh perasaan sehingga Lin Lin makin merasa tertusuk jantungnya. Apa lagi ketika ia melihat betapa Bok Liong diikat tiang lain di depannya, kemudian seorang Khitan yang berkumis panjang mencambuknya.
“Tahan! Jangan bunuh dia!” teriak Lin Lin. “Awas, kalau sampai dia dibunuh, setelah kelak aku menjadi permaisuri di Khitan, kalian akan kuberi hukuman berat, akan dikupas kulit kalian!”
Orang Khitan yang berkumis tadi menjura, akan tetapi mulutnya tersenyum ketika ia berkata, “Tuan Puteri, harap Paduka jangan marah. Hamba sekalian hanya menjalankan tugas yang diperintahkan Hek-lo-ciangkun. Hamba tidak akan membunuhnya, akan tetapi harus memberi hukuman kepadanya.” Setelah berkata demikian, ia memberi aba-aba dalam bahasa Khitan.
Majulah dua orang Khitan tinggi besar yang membawa cambuk. Berdetar-detar dua batang ujung cambuk lemas itu melecut dan bertubi-tubi menghantam punggung, leher, muka dan seluruh tubuh Lie Bok Liong!
“Tar-tar-tar...!” bunyi cambuk nyaring meledak-ledak dan jantung Lin Lin terasa tertusuk-tusuk.
“Boleh siksa aku, bunuhlah aku, keparat-keparat jahanam! Akan tetapi bebaskan Lin-moi!” Biar pun dicambuki dan bajunya robek-robek, kulitnya robek pula sampai sebentar saja badannya berlepotan darah, namun Bok Liong masih memaki-maki dan menuntut supaya Lin Lin dibebaskan. Sedikit pun ia tidak mengeluh, matanya terbelalak dan suaranya nyaring. Akan tetapi tubuhnya lemas karena ia tak dapat bergerak lagi. Mukanya menjadi matang biru, darah mengucur keluar dari hidungnya dan beberapa menit kemudian lehernya menjadi sengkleh dan ia tergantung pada ikatannya. Bok Liong pingsan.
Lin Lin meramkan mata. Tiap kali cambuk melecut, ia merasa seakan-akan tubuhnya yang tercambuk. Air matanya mengalir membasahi pipinya ketika ia mendengar betapa di antara hujan cambuk, Bok Liong selalu masih menuntut pembebasannya. Setelah bunyi cambuk terhenti, barulah ia berani membuka matanya dan dapat dibayangkan betapa hancur dan terharu hatinya melihat Bok Liong dalam keadaan seperti itu. Seluruh pakaiannya compang-camping, kulit tubuhnya penuh jalur-jalur merah dan biru, mukanya sukar dikenal lagi karena bengkak-bengkak dan penuh darah. Dengan kasar orang-orang Khitan itu melepaskan ikatannya, menyeret ke luar pondok dan melemparkannya ke dalam semak-semak belukar!
Lin Lin yang tidak berdaya itu merasa tersiksa hatinya. Semalaman itu ia direbahkan di atas pembaringan dengan kaki tangan terbelenggu. Akan tetapi ia tak dapat tidur karena selalu terkenang kepada Bok Liong. Tentu saja ia tidak melihat betapa pemuda itu benar-benar mengalami derita yang hebat sekali.
Bok Liong siuman tak lama sesudah ia dilempar di dalam semak-semak. Ia merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit dan sukar sekali bangkit karena terasa amat nyeri setiap kali menggerakkan kaki tangan,. Ia memaksa diri untuk bangkit, merangkak ke luar dari dalam semak-semak, berjalan terhuyung-huyung menuju ke sungai dengan maksud untuk mencuci tubuhnya yang penuh darah. Ketika tiba di tepi sungai, ia jatuh tersungkur dan kembali ia pingsan di pinggir sungai. Sampai jauh malam barulah ia sadar, akan tetapi tubuhnya terasa demikian sakitnya sehingga setelah mencuci tubuh, ia tidak dapat berdiri lagi.
Namun Lie Bok Liong adalah seorang pemuda yang keras hati. Ia tidak mengeluh, tidak putus asa. Ia lalu duduk bersila di pinggir sungai, mengatur napas dan mengerahkan tenaga. Menjelang pagi, ia sudah merasa mendingan.
“Liong-twako...!” Ini suara Lin Lin.
Cepat Bok Liong membuka mata, akan tetapi ketika ia memandang, ia merasa kecewa. Ternyata Lin Lin berjalan di depan rombongan orang Khitan, agaknya keluar dari pondok menuju ke perahu, akan tetapi di dekat gadis itu berjalan pula Hek-giam-lo!
“Aku tidak apa-apa, Lin-moi. Kau jagalah dirimu baik-baik!” Ucapan ini tentu saja diterima dengan hati perih oleh Lin Lin yang untuk kesekian kalinya mendapat kenyataan akan cinta kasih yang luar biasa besar dan tulusnya dari pemuda ini. Sambil menahan isak gadis itu menundukkan mukanya dan berjalan terus menuju ke perahu bersama Hek-giam-lo. Dengan tokoh sakti ini di dekatnya, Lin Lin merasa tiada gunanya melawan.
Orang Khitan yang berkumis panjang lewat dekat Bok Liong, lalu melemparkan pedang Goat-kong-kiam ke dekat pemuda itu sambil meludah dan tertawa mengejek!
Bok Liong bukanlah orang yang sudi menerima penghinaan begitu saja tanpa membalas. Melihat pedangnya, secepat kilat ia menyambarnya dan mengerahkan sisa tenaganya, menggunakan pedangnya menerjang orang berkumis itu.
Si kumis kaget sekali, cepat mengelak, namun pedang Bok Liong masih saja mencium pundaknya. Orang Khitan itu terhuyung ke belakang dan Bok Liong cepat menambah serangannya dengan sebuah tusukan kilat. Dada orang Khitan berkumis itu pasti akan tertembus pedang Goat-kong-kiam kalau saja pada saat itu Hek-giam-lo tidak cepat menggerakkan tangan kanannya sambil membalikkan tubuh. Tangan itu masih terpisah satu meter dari Bok Liong, akan tetapi pukulan jarak jauh ini cukup membuat Bok Liong terpental sehingga tusukannya meleset dan si kumis selamat. Kalau saja Bok Liong tidak dalam keadaan selemah itu, kiranya belum tentu pukulan jarak jauh ini akan dapat menggagalkan tusukannya tadi.
Bok Liong benar-benar nekat dan keras hati. Ia terlempar ke kiri dan jatuh, akan tetapi cepat ia meloncat bangun dan kali ini dengan pedangnya ia menyerang Hek-giam-lo! Ia memang terluka dan lemah, namun jurus serangannya adalah jurus serangan ilmu silat tinggi, dan pedangnya adalah pedang pusaka, maka serangan itu tak boleh dipandang ringan. Kalau lawan biasa saja tentu sukar terlepas dari pada bahaya serangan ini.
Akan tetapi sayang bahwa kali ini yang diserangnya adalah Hek-giam-lo. Sambil mendengus panjang, iblis ini menggerakkan senjatanya yang aneh, diputar menyilaukan mata. Terdengar suara nyaring, dan entah bagaimana tahu-tahu tubuh Bok Liong terlempar ke dalam sungai.
“Byurrrrr!” air muncrat tinggi-tinggi dan pemuda itu gelagapan, dengan susah payah berusaha berenang ke tepi.
Orang-orang Khitan tertawa bergelak ketika mereka berada di atas perahu dan perahu itu meluncur menurutkan aliran air sungai, meninggalkan Bok Liong yang masih gelagapan dan berenang ke pinggir.
“Lin-moi...! Jangan khawatir, aku akan menyusulmu...!” Suara Bok Liong ini terdengar oleh Lin Lin yang berada di atas perahu, dan makin gemaslah hati Lin Lin kepada Suling Emas, mengapa sampai begitu lama belum juga datang menolongnya sehingga Bok Liong harus mengalami derita yang demikian hebatnya.
Tak tega lagi hatinya, maka ia lari memasuki pondok perahu, membanting diri di atas pembaringan yang disediakan untuknya, lalu menangis. Tiba-tiba ia melihat benda bersinar dan ia segera meraih tongkat itu. Benda bersinar itu adalah ya-beng-cu yang selama ini memang menjadi benda permainannya. Sebetulnya, sebentar saja ia sudah bosan dengan tongkat itu, akan tetapi karena tongkat ini yang agaknya akan membawa ia bertemu kembali dengan Suling Emas, maka ia selalu main-main dengan tongkat itu. Ia merasa yakin bahwa Suling Emas pasti akan mengejar Hek-giam-lo untuk merampas kembali tongkat ini.
Ia meraba-raba tongkat itu. Baru sekarang ia memperhatikan tubuh tongkat, yang ternyata diukir-ukir indah. Tongkat itu sebesar lengannya, makin ke bawah makin kecil dan pada kepalanya terdapat mutiara-mutiara ya-beng-cu itu. Ketika Lin Lin menekan sana-sini, tanpa sengaja ia menekan bagian bawah dan tiba-tiba terdengar bunyi.
“Klikkk!” dan bagian tengah tongkat itu bergerak memanjang! Lin Lin merasa heran sekali.
Ketika diperiksanya bagian ini, ternyata bagian tengah tongkat itu bersambung, akan tetapi sambungannya diatur demikian rupa sehingga takkan dapat diketahui begitu saja. Agaknya tersentuh kunci pembuka sambungan itu maka otomatis sambungannya menjadi memanjang. Lin Lin menarik kedua ujung tongkat dan benar saja, tongkat itu kini menjadi dua potong. Bagian atas sebagai tutupnya dan bagian bawah sebagai wadah yang ternyata berlubang sebelah dalamnya. Dengan amat hati-hati Lin Lin memeriksa, mengetuk-ngetukkan kedua potongan tongkat yang berlubang itu dan keluarlah gulungan-gulungan kertas tipis dari dalamnya.
Dengan hati berdebar-debar Lin Lin memeriksa. Kiranya kertas-kertas bergulung itu ada tiga belas lembar banyaknya, lebarnya sekaki persegi dan penuh dengan tulisan kecil-kecil yang indah. Lin Lin cepat membacanya dan alangkah girang dan tegang hatinya ketika membaca pelajaran ilmu silat aneh yang didahului dengan latihan semedhi yang aneh pula, karena di situ diterangkan bahwa untuk latihan ini orang harus bertelanjang bulat.
Memang semua aliran menganjurkan bahwa di waktu semedhi, orang harus mengenakan pakaian yang longgar, jangan ada yang menekan agar kedudukan tubuh menjadi enak dan jalan darah tidak terganggu, dan memang harus diakui bahwa yang terbaik adalah bertelanjang bulat. Lin Lin berpengharapan bahwa ilmu ini merupakan ilmu mukjijat yang akan dapat menolong dirinya. Akan tetapi pelajaran ini mengharuskan orang bertelanjang bulat dalam latihan ini, sungguh merupakan hal yang aneh dan luar biasa. Akan tetapi, karena hatinya amat ingin dapat membebaskan diri dari tangan Hek-giam-lo, tanpa ragu-ragu lagi ia lalu membuka semua pakaiannya, lalu berjungkir balik dan bersemedhi dalam keadaan aneh ini, kepala di bawah kaki di atas seperti yang dianjurkan di dalam gulungan kertas pertama.
Beberapa menit kemudian ia merasa kepalanya pening, akan tetapi ia memaksa diri, mendesak hawa sinkang ke bagian menurut petunjuk dan... sepuluh menit kemudian kakinya yang berada di atas itu terbanting ke bawah karena gadis ini sudah menjadi pingsan! Kebetulan sekali tubuhnya yang tak berpakaian lagi itu menimpa tongkat dan gulungan kertas sehingga tidak tampak dari luar.
Kalau saja keadaannya tidak seaneh itu, agaknya Lin Lin akan menimbulkan kecurigaan Hek-giam-lo. Dua kali anak buah Hek-giam-lo mengetuk pintu pondok untuk mempersilakan dia keluar makan, dan dua kali itu tidak ada jawaban dari dalam pondok. Akhirnya Hek-giam-lo sendiri mendekati pintu pondok. Dengan perlahan didorongnya pintu dan ia menjenguk ke dalam. Dari dalam kedoknya iblis ini mendengus, lalu menutupkan kembali pintu pondok dari luar, kemudian memesan kepada semua anak buahnya agar jangan mengganggu tuan puteri yang sedang tidur nyenyak.
Betapa pun juga gadis itu akan diperisteri oleh kakaknya, Raja Khitan, maka Hek-giam-lo tidak suka mengganggunya. Apa lagi gadis yang ia anggap liar dan gila itu kini tidur dalam keadaan telanjang bulat, tentu saja tidak boleh dilihat anak buahnya. Seorang gadis yang menjadi calon permaisuri mana boleh dilihat oleh anak buahnya dalam keadaan tak berpakaian? Sama sekali Hek-giam-lo tidak curiga, apa lagi memang hawa pada siang hari itu amat panas.
Lin Lin siuman kembali dan cepat-cepat ia berpakaian. Ia maklum bahwa ilmu yang tertulis di dalam gulungan kertas itu merupakan ilmu mukjijat yang luar biasa. Ia dapat menduga bahwa mempelajari ilmu ini tidak boleh secara serampangan belaka, maka ia mengambil keputusan untuk membacanya dengan teliti dan tidak akan melatihnya sebelum ia mengerti benar inti sarinya. Tentu saja Lin Lin tidak tahu kerena kertas-kertas itu dahulu ditulis oleh pendiri Beng-kauw, yaitu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
Telah diceritakan di bagian depan yang menyinggung sedikit akan keadaan ketua Beng-kauw pertama itu dengan puterinya, yaitu mendiang Tok-siauw-kui Liu Lu Sian. Lu Sian mencuri Sam­po-cin-keng (Kitab Tiga Pusaka) yang menjadi pegangan ketua Beng-kauw itu, dan karenanya semua ilmu kesaktian Pat-jiu Sin-ong boleh dibilang telah diwarisi atau dicuri oleh anak perempuannya sendiri yang murtad. Karena inilah maka diam-diam Pat-jiu Sin-ong lalu menciptakan ilmu pukulan mukjijat yang seluruhnya berjumlah tiga belas macam dan secara rahasia ia tulis dan ia sembunyikan di dalam tongkatnya. Tiga belas macam ilmu gaib ini ia ciptakan dengan susah payah selama tiga belas tahun dan merupakan ilmu yang berat dan dalam.
Inilah sebabnya mengapa begitu melatih semedhi menurut petunjuk ilmu ini seketika Lin Lin menjadi pingsan! Baiknya Lin Lin dapat mengenal ilmu sejati, dan dengan tekun mempelajarinya secara diam-diam. Setelah hafal betul dan tahu bagaimana harus bersikap dalam latihan semedhi yang aneh itu, kini ia hanya berlatih semedhi di waktu malam dan sengaja ia menggelapkan kamar dan menutupi mutiara ya-beng-cu agar tidak mengeluarkan sinar.
Baru berlatih tiga malam saja, ia sudah mendapatkan perubahan hebat dalam dirinya. Hawa sakti yang amat aneh dan amat kuat bergolak di dalam dadanya dan berkali-kali ia mau muntah karena tidak dapat menahannya. Akan tetapi berkat petunjuk dari ilmu rahasia itu yang tekun dibacanya, ia dapat mengatur dan menyalurkan hawa sakti itu sehingga berkumpul di pusar.
Kemudian ia mulai mempelajari jurus-jurus rahasia yang tiga belas buah banyaknya. Tidaklah mudah untuk mempelajari ilmu yang diciptakan selama tiga belas tahun ini apa lagi ilmu tingkat tinggi. Baiknya Lin Lin pernah menerima petunjuk dan gemblengan kakek Kim-lun Seng-jin sehingga sedikit banyak ia telah memiliki dasar untuk ilmu silat tingkat tinggi. Biar pun dengan susah payah dan sukar sekali, namun kecerdikannya membuat ia lambat-laun dapat pula memetik buahnya.
Semenjak mendapatkan kertas gulungan pelajaran rahasia yang kalau sudah baca ia simpan kembali ke dalam tongkat, Lin Lin bersikap tenang dan tidak lagi memaki-maki atau nekat mencari jalan pembebasan. Ia maklum bahwa untuk dapat bebas, ia harus dapat mengalahkan Hek-giam-lo dan untuk mencapai hal ini adalah tidak mudah. Tak mungkin ia dapat mengalahkan orang sakti itu walau pun ia sudah mempelajari ilmu mukjijat yang baru dilatihnya beberapa hari lamanya dan masih mentah. Ia ingin memperdalam ilmu ini, kalau perlu ia akan ikut terus sampai ke Khitan dan akan mencari jalan ke luar agar supaya kehendak Kaisar Khitan atau pamannya itu ditangguhkan. Setelah ilmu itu ia fahami benar-benar, nah, baru ia akan melarikan diri menggunakan ilmu baru ini untuk menghadapi dan menghalau penghalang.
********************
Suling Emas terus melarikan diri, dikejar oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang mabuk dendam itu. Pendekar sakti ini menjadi serba bingung. Lari terus dari orang-orang yang berkepandaian tinggi ini merupakan hal yang amat sukar, bahkan tidak mungkin karena mereka itu rata-rata memiliki ginkang dan ilmu lari cepat yang mencapai tingkat tinggi. Berhenti dan melawan, boleh jadi ia akan dapat mengatasi mereka dengan mengandalkan ilmu-ilmunya, terutama ilmu kesaktian yang ia terima dari Bu Kek Siansu.
Akan tetapi kalau ia ingin memperoleh kemenangan dalam pertempuran sehingga ia dapat lolos, jalan satu-satunya hanya merobohkan mereka dan justru hal ini yang tidak ia kehendaki. Mereka itu adalah orang-orang yang dibikin sakit hati oleh mendiang ibunya, yang kini menuntut keadilan dan menuntut balas kepadanya. Kalau ia merobohkan mereka, melukai apa lagi membunuh, hal itu benar-benar tidak patut dan berarti ia menambah dosa-dosa yang agaknya sudah ditumpuk oleh ibunya. Berpikir demikian, makin sedih hatinya dan hampir saja ia menyerah, hampir timbul pikiran untuk menebus dosa-dosa ibunya dengan menyerahkan nyawa di tangan mereka!
Akhirnya Suling Emas terpaksa berhenti di sebuah lapangan rumput di lereng bukit. Lari terus tiada gunanya lagi, juga hal ini akan membuat ia makin jauh dari kedua orang adiknya yang sudah melarikan diri ke jurusan timur karena ia sendiri lari ke arah barat. Dengan mengangkat sulingnya tinggi-tinggi ia berseru.
“Tahan, aku hendak bicara!”
Dalam waktu beberapa menit saja mereka sudah tiba di depannya. Sebagian dari pada mereka terengah-engah karena untuk beberapa lama melakukan pengejaran dengan pengerahan ginkang sepenuhnya.
“Kau mau bicara apa lagi, Suling Emas?” bentak tokoh Siauw-lim-pai Cheng San Hwesio sambil melintangkan tongkat hwesio di depan dadanya. “Kau yang terkenal sebagai seorang pendekar muda yang sakti, ternyata hanyalah seorang pengecut yang berlari-lari menyelamatkan diri. Hemmm....”
“Buah takkan jatuh jauh dari pohonnya, anak tidak akan jauh bedanya dari ibu kandungnya. Ibunya pengecut, melakukan kejahatan lalu bersembunyi puluhan tahun, mana anaknya tidak pengecut pula?” kata Kok Seng Cu, tokoh Hoa-san-pai sambil menudingkan pedangnya ke arah Suling Emas. Yang lain-lain ikut pula bicara sehingga ramailah di situ, hiruk-pikuk.
Suling Emas melihat betapa gadis baju hijau yang berada di barisan terdepan, yang tidak terengah-engah tanda bahwa ginkang-nya mencapai tingkat tinggi, tidak berkata apa-apa, malah menundukkan muka dan kadang-kadang saja mengerling ke arahnya dengan sikap bingung dan ragu-ragu.
“Cu-wi Locianpwe (Para Orang Tua Sakti) harap jangan terburu nafsu,” kata Suling Emas setelah menarik napas panjang. “Sesungguhnya aku sama sekali tidak tahu akan urusan Cu-wi (Kalian) dengan mendiang ibuku. Akan tetapi percayalah, andai kata benar ibu telah melakukan kesalahan-kesalahan, aku sebagai puteranya takkan mengingkarinya dan sanggup untuk mempertanggung-jawabkannya. Akan tetapi, ada dua hal yang harus dipecahkan lebih dulu.”
“Apakah dua hal itu? Hayo bicara yang betul, jangan plintat-plintut!” bentak Hek Bin Hosiang, si hwesio muka hitam tokoh Go-bi-pai yang sudah gatal-gatal tangannya hendak mengemplang kepala putera musuh besarnya ini dengan senjatanya. Ia memang jujur dan galak.
“Pertama,” sambung Suling Emas tanpa menghiraukan sikap galak ini. “Cu-wi begini banyak, yang masing-masing hendak membalas dendam yang ditimpakan kepadaku. Ada yang hendak menawan, ada yang hendak membunuh. Mana mungkin hal ini dapat dilakukan? Kedua, biar pun Cu-wi semua mempunyai cerita masing-masing yang menuduhkan kejahatan-kejahatan kepada mendiang ibuku, bagaimana aku dapat merasa yakin bahwa semua tuduhan itu benar belaka? Bagaimana kalau tuduhan itu hanya fitnah dan tidak benar adanya?”
“Fitnah? Jelas Tok-siauw-kwi adalah iblis betina yang jahat, musuh semua orang gagah di dunia kang-ouw. Kau putera tunggalnya, kau harus menebus dosanya setelah ia mampus, dan kita semua akan saling memperebutkan engkau, baik mati mau pun hidup!” bentak Hek Bin Hosiang sambil menghantam dengan toya baja di tangannya.
Hantaman toya baja ini luar biasa kerasnya karena selain toya baja itu sendiri beratnya lebih dari seratus kati, juga tenaga hwe­sio muka hitam tokoh Go-bi-pai ini melebihi gajah! Terdengar angin bersiutan ketika toya itu lenyap bentuknya berubah menjadi sinar hitam menyambar kepala Suling Emas!
“Syuuuuur!” pita rambut yang panjang berwarna hitam itu berkibaran ketika toya baja menyambar lewat di atas kepala Suling Emas yang sudah merendahkan tubuh mengelak.
Namun toya itu membuat gerakan membelok dan meliuk panjang, lalu datang lagi menyambar dengan lebih kuat lagi. Kini yang diterjang adalah punggung Suling Emas. Pendekar sakti ini cepat menotolkan ujung kaki ke tanah dan tubuhnya mencelat mumbul ke atas, membiarkan toya itu menyambar lewat di bawah kakinya. Sebelum tubuhnya turun, Suling Emas sudah menggerakkan sulingnya ke belakang dan kipasnya ia kebutkan ke kiri karena pada saat itu ia telah diserang dari dua pihak oleh lawan yang lain!
Terdengar bunyi nyaring ketika pedang di tangan Kok Seng Cu tokoh Hoa­san-pai itu tertangkis suling. Kok Seng Cu melompat ke belakang dengan kaget dan kagum. Ia seorang tokoh Hoa-san-pai tingkat dua, lweekang-nya sudah mencapai tingkat tinggi, akan tetapi benturan pedangnya dengan suling itu membuat telapak tangannya panas.
Lebih kaget lagi adalah Cheng San Hwesio tokoh Siauw-lim-pai, karena tongkat hwesionya yang ia pukulkan ke arah kepala tiba-tiba menyeleweng ketika dikebut oleh kipas di tangan Suling Emas. Tentu saja hwesio tua ini menjadi penasaran dan juga kaget sekali. Tenaga pukulannya dengan tongkat itu mendekati tiga ratus kati, bagaimana dapat dikebut begitu saja oleh sebuah kipas dan menjadi meleset?
Suling Emas menarik napas panjang, mengumpulkan sinkang dan menggetarkan sulingnya sambil mengebut-ngebutkan kipasnya karena pada saat itu hujan senjata menyerangnya dari segenap penjuru. Terdengar bunyi nyaring dan semua senjata itu dapat ia pentalkan mundur oleh getaran sulingnya, sedangkan yang lain dapat dikebut menceng oleh kipasnya.
Ia kembali mengeluh dalam hatinya. Sedih ia melihat sikap orang-orang kang-ouw yang amat membencinya ini, yang ingin melihat ia roboh, melihat ia mati, memperlakukannya seolah-olah ia seorang penjahat besar yang keji dan patut di­basmi! Mengingat akan hal ini, melihat sinar kebencian berpancaran dari mata mereka, Suling Emas tak dapat menahan kesedihannya, tak dapat lagi ia mengangkat senjata melawan mereka dan setelah memutar sulingnya dengan gerakan memanjang sehingga sinar senjata ampuh ini berubah menjadi pelangi memanjang yang membuat para pengeroyoknya berlompatan mundur, Suling Emas lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri lagi!
“Pengecut, jangan lari! Begitu sajakah nama besar Suling Emas? Kini merasa takut dan lari terbirit-birit?” seru Kok Seng Cu tokoh Hoa-san-pai sambil mengejar, nada suaranya penuh ejekan.
“Ho-ho-ho! Putera tunggal Tok-siauw-kui yang jahat dan keji mana bisa menjadi orang gagah? Tentu licik, curang dan pengecut!” It-gan Kai-ong tertawa sambil mengejar paling depan.
“It-gan Kai-ong! Kalau kau menghendaki bertempur, hayo kita mencari tempat. Jangan kira aku takut padamu, memang aku masih ada perhitungan denganmu yang belum diselesaikan.”
“Ha-ha-ho-ho! Kau menantang sambil berlari! Bilang saja kau takut!”
Memang Suling Emas terus melarikan diri, dikejar oleh banyak orang. Ejekan It-gan Kai-ong memanaskan perutnya, akan tetapi ia cukup maklum bahwa ejekan yang dikeluarkan oleh pengemis tua mata satu itu sekali-kali bukanlah merupakan tantangan si pengemis sakti, melainkan merupakan akal bulus untuk mencegahnya melarikan diri dan memaksanya menghadapi pengeroyokan begitu banyak tokoh kang-ouw.
“Jembel busuk, aku sama sekali tidak takut menghadapi pengeroyokan, aku hanya tidak mau melayani mereka!”
“Ha-ha-ho-ho, akal bulus!” It-gan Kai-ong tertawa, akan tetapi biar pun hatinya mendongkol, Suling Emas melanjutkan larinya. Para pengejarnya juga mengerahkan ginkang dan mulai menghujankan senjata rahasia lagi, didahului oleh It-gan Kai-ong. Suling Emas berhasil menyelamatkan diri dengan memutar suling di belakang tubuhnya dan berloncatan ke depan secara berbelok-belok ke kanan kiri.
Mendadak pendekar sakti itu berseru kaget dan terpaksa menghentikan larinya. Daerah ini belum dikenalnya dan ia sama sekali tidak mengira bahwa tadi ia melarikan diri ke jurusan yang buntu! Kini di depannya terbentang jurang yang amat dalam dan luas, lebarnya lebih dari seratus meter dan dalamnya tak dapat diukur lagi. Ia telah masuk perangkap, di depannya menghalang jurang yang tak mungkin dapat dilampaui, di belakangnya mengejar puluhan orang yang merupakan lawan-lawan berat dan terutama sekali, merupakan lawan yang tak ingin ia hadapi, bukan karena takut melainkan karena enggan.
“Ha-ha-ha, sekarang tamatlah riwayat­mu, Suling Emas!” It-gan Kai-ong melompat maju dan menerjang dengan pukulan dahsyat.
Karena di antara para tokoh kang-ouw itu boleh dibilang It-gan Kai-ong merupakan orang yang tingkat kepandaiannya paling tinggi, maka jembel iblis ini dapat menyerang lebih dulu dari pada orang lain. Serangannya dahsyat sekali, kedua tangannya melontarkan pukulan dengan hawa pukulan jarak jauh sedangkan tangan kanannya menghantamkan tongkatnya ke arah kepala. Sukar untuk dikatakan mana yang lebih berbahaya, karena sesungguhnya pukulan tangan kiri itu, biar pun jaraknya jauh dan tidak akan langsung mengenai kulit lawan, namun bahayanya tidak kalah oleh kemplangan tongkat pada kepala.
Namun Suling Emas cepat menangkis tongkat dengan sulingnya dan mengebut hawa pukulan beracun tangan kiri lawan itu dengan kipasnya, malah kakinya digeser ke depan, kemudian kipas yang tadinya menghembus hawa pukulan lawan terus menyelonong ke depan dan digetarkan sedemikian rupa sehingga kedua ujungnya berturut-turut menotok jalan darah kin-teng-hiat di pundak kiri dan tiong-cu-hiat di leher!
It-gan Kai-ong terkejut sekali. Hampir saja totokan pada pundak itu mengenai sasaran. Ia cepat miringkan tubuh dan totokan kedua ke arah lehernya itu ia papaki dengan air ludah! Sudah terkenal di dunia persilatan bahwa It-gan Kai-ong memiliki ilmu kepandaian meludah yang amat mengerikan. Tubuh yang terkena air ludah yang keluar dari mulutnya akan bolong-bolong dan sekali saja terkena air ludahnya, lawan yang kurang kuat akan tewas! Tentu saja penggunaan air ludah ini cukup kuat untuk menangkis kipas yang menotok leher.
Di lain pihak, Suling Emas tidak sudi membiarkan kipasnya terkena ludah kakek menjijikkan itu, maka terpaksa ia menarik sedikit kipasnya dan mengerahkan tenaganya mengebut. Air ludah itu terkena kebutan kipas membalik dan menyambar muka It-gan Kai-ong sendiri! Akan tetapi kakek ini membuka mulutnya dan menerima kembali air ludahnya dengan mulut.
“Kawan-kawan, hayo tangkap putera iblis keji Tok-siauw-kui ini sebelum ia sempat melarikan diri!” teriak It-gan Kai-ong yang diam-diam merasa gentar juga menghadapi pendekar yang lihai itu.
Memang para tokoh kang-ouw itu sudah tiba pula di situ dan sudah siap menerjang, maka tanpa menanti komando kedua lagi mereka beramai-ramai terjun ke gelanggang pertempuran dan sibuklah Suling Emas menggerakkan sepasang senjatanya untuk menangkis ke sana ke mari. Tentu saja ia banyak melihat lowongan-lowongan yang kalau mau dapat dimasukinya dan merobohkan beberapa orang pengeroyok.
Akan tetapi justru hal ini yang tidak ia kehendaki, maka ia menjadi terdesak hebat dan tidak melihat jalan ke luar lagi. Jalan keluar ke arah kebebasan hanya melalui jalan darah, yaitu dengan merobohkan beberapa orang pengeroyok. Bingunglah hati Suling Emas. Tanpa merobohkan beberapa orang di antara mereka tak mungkin ia bisa lolos kali ini.
Hanya kepada It-gan Kai-ong seorang ia mau balas menyerang karena ia maklum akan kejahatan kakek itu, sedangkan yang lain adalah tokoh-tokoh yang ia dengar namanya sebagai tokoh-tokoh terhormat yang bernama baik. Akan tetapi balasan serangannya kepada It-gan Kai-ong tidak ada artinya lagi karena ia hanya dapat mempergunakan sepersepuluh bagian saja dari pada perhatiannya yang harus ia pergunakan untuk menangkis dan menghindar dari pada serbuan lawan.
Dalam kesibukannya mempertahankan dirinya ini, teringatlah Suling Emas akan segala pengalamannya. Mulai menyesallah hatinya mengapa semenjak dahulu ia membenci ayah kandungnya yang ia sangka menyia-nyiakan ibunya dan kawin lagi. Mengapa selama itu, sampai ayahnya mati, tak pernah ia pulang, tak pernah ia berbakti kepada ayahnya yang ternyata adalah seorang satria sejati. Sedangkan ibunya... ah, kini ia harus menebus dosa-dosa ibunya dan dosanya sendiri yang tidak berbakti kepada ayah kandung!
Hatinya menjadi sedih, perlawanannya mengendur karena semangatnya menurun. Kesedihan hatinya mendorongnya untuk meloncat saja ke dalam jurang di belakangnya, meninggalkan para pengeroyoknya, meninggaikan dunia ini, meninggalkan mereka yang dicintanya. Siapakah orang yang dicintanya di dunia ini? Ada memang, akan tetapi hanya lamunan kosong belaka. Orang yang dicintanya sudah menjadi isteri orang lain!
Akan tetapi jiwa satria di dalam dirinya melarangnya membunuh diri begitu saja. Seorang gagah tidak boleh mati secara konyol, sedikitnya jauh lebih baik mati di ujung senjata lawan dari pada mati menceburkan diri ke dalam jurang begitu saja! Oleh karena ini, semangatnya timbul kembali dan Suling Emas tiba-tiba ingat akan ilmu yang ia dapat dari Bu Kek Siansu. Ilmunya yang sakti, Hong-in-bun-hoat jika ia pergunakan, maka akan berubah menjadi ilmu pedang yang dimainkan dengan senjata sulingnya, dan ia tidak mau menggunakan ilmu ini karena akibatnya tentu akan merobohkan para pengeroyoknya.
Ia teringat akan Ilmu Kim-kong-sin-im (Suara Sakti Sinar Emas) yang lebih menyerupai ilmu musik! Karena sudah tidak ada jalan lain, Suling Emas meloncat jauh ke kiri lalu menyimpan kipasnya dan menempelkan suling pada bibirnya. Terdengarlah suara yang aneh, mengalun tinggi. Para pengeroyoknya sejenak terhenyak kaget dan kesempatan ini dipergunakan oleh Suling Emas untuk duduk bersila, mengerahkan seluruh sinkang-nya dan menutup sulingnya, menyanyikan lagu yang indah dan aneh! Karena menghadapi orang-­orang kang-ouw yang memiliki nama besar sebagai orang-orang gagah perkasa, secara otomatis Suling Emas yang menjadi ahli dalam soal kesusastraan dan nyanyian kuno, segera mainkan lagu MENGABDI TANAH AIR yang bersifat menggugah semangat kebangsaan dan kepatriotan.
Memang nyanyian itu hanyalah sebuah lagu, akan tetapi jangan dikira bahwa suara suling yang nyaring merdu itu adalah suara biasa saja. Suara itu mengandung suara sakti yang disalurkan dengan sinkang sepenuhnya. Mula-mula para pengeroyok itu berdiri melongo dan sejenak menahan gerakan, akan tetapi beberapa detik kemudian, beberapa orang di antara mereka yang kurang kuat sinkang-nya terguling dengan tubuh lemas dan gemetaran. Suara itu mempunyai pengaruh yang luar biasa besarnya, membuat mereka merasa terharu, malu kepada diri sendiri, dan menghapus semangat mereka untuk bertanding melawan bangsa sendiri, malah sekaligus melumpuhkan kaki tangan mereka.
Akan tetapi orang-orang seperti It-­gan Kai-ong, Hek Bin Hosiang, Cheng San Hwesio dan lain-lain yang cukup kuat sinkang-nya, tentu saja tidak gampang menjadi roboh. Betapa pun juga, mereka terpengaruh dan terpaksa mereka harus mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh suara aneh yang mendebarkan jantung mereka itu.
Ada sembilan orang tokoh kang-ouw yang tidak roboh oleh suara suling itu. Yang lain, ada yang roboh terguling dengan lemas, ada yang terpaksa harus bersila dan mengumpulkan tenaga untuk melawan arus hawa sakti yang mempengaruhi mereka, akan tetapi tak seorang pun yang terluka di sebelah dalam oleh suara ini karena memang Suling Emas tidak bermaksud melukai mereka. Hebat memang ilmu ini, dan kiranya di dalam dunia pada masa itu, jarang ada yang memiliki ilmu sehebat ini.
Dahulu ketika masih hidup, Pat-jiu Sin-ong sendiri belum tentu dapat mengeluarkan suara yang merobohkan puluhan orang sekaligus, dan membuat seorang tokoh seperti It­gan Kai-ong sampai harus mengerahkan tenaga dan tidak bergerak selama sepuluh menit! Inilah kehebatan Kim-kong-sin-im yang didapatkan Suling Emas dari kakek dewa Bu Kek Siansu. Padahal ilmu ini belum lama ia dapat dan belum matang betul ia latih.
Setelah berdiam diri tak bergerak selama sepuluh menit, mengumpulkan sinkang untuk melawan pengaruh suara suling yang merampas semangat dan melumpuhkan urat syaraf, perlahan-lahan It-gan Kai-ong dan delapan orang tokoh lain mulai menggerakkan kaki. Selangkah demi selangkah mereka maju, senjata siap di tangan, makin mendekati Suling Emas yang masih terus meniup suling, mencurahkan perhatiannya kepada permainan sulingnya sehingga boleh dibilang ia tidak mengetahui bahwa ada sembilan orang yang tidak terpengaruh oleh Kim-kong-sin-im dan yang kini makin mendekatinya dengan ancaman maut.
Makin dekat dengan Suling Emas, pengaruh Kim-kong-sin-im makin kuat sehingga sembilan orang tokoh itu menjadi tertahan-tahan langkahnya, bahkan tiga orang di antara mereka terpaksa berhenti melangkah setelah berada dekat, tinggal enam langkah lagi dari tempat Suling Emas duduk. Pengaruh Kim-kong-sin-im demikian hebatnya sehingga tiga orang ini merasa tubuh mereka bergoyang dan kedua kaki demikian lemas dan berat tak dapat digerakkan lagi. Terpaksa mereka tinggal berdiri dan mengerahkan sinkang agar tidak terguling roboh.
Enam orang lain, didahului oleh It-gan Kai-ong, masih dapat melangkah maju sungguh pun hanya dengan lambat dan sukar. Akan tetapi, jangankan sampai ada enam orang, baru It-gan Kai-ong seorang saja kalau pada saat itu dapat menyerang Suling Emas, tentu akan berhasil menewaskan pendekar ini karena pada saat itu Suling Emas seakan-akan berada dalam keadaan terbuka, tak terjaga sama sekali.
Enam orang itu tidak melangkah lagi kini, hanya dapat menggeser kaki maju. Sedikit demi sedikit It-gan Kai-ong dengan mata bersinar-sinar maju paling dulu, tongkatnya sudah ia angkat ke atas, siap untuk menghantam kepala musuh lamanya itu. Hatinya sudah merasa girang sekali karena ia akan merasa aman kalau musuh yang paling berat ini tewas. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi, mengikuti suara suling dan suara ini amatlah lembut akan tetapi kedengaran bersemangat sekali. “Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia (Bekerja untuk rakyat dan negara, itulah paling mulia)!”
It-gan Kai-ong yang sudah mengangkat tongkatnya terkejut sekali. Apa lagi setelah tiba-tiba terdengar suara yang­khim yang nyaring mengiring lagu yang dimainkan oleh Suling Emas, terjadilah hal yang luar biasa. Enam orang itu serta-merta menjatuhkan diri dan duduk bersila, meramkan mata dan mengendalikan semangat mereka yang terbawa melayang-layang oleh lagu yang diciptakan oleh suara suling dan yang-khim. Tak mampu lagi mereka bergerak, apa lagi menyerang, lenyap sama sekali nafsu bertempur.
Juga semua orang yang tadinya berada di bawah pengaruh suara suling, kini dapat menarik napas lega karena gabungan suara suling dan yang-khim ini, biar pun membuat mereka terpesona dan tak dapat bergerak, namun amat enak dan menyenangkan hati dan pikiran, membuat mereka merasa seperti melayang-layang di angkasa dan menciptakan pandangan tentang pahlawan-pahlawan pembela tanah air. Mereka seakan-akan mimpi tentang dongeng akan pahlawan-pahlawan yang paling mereka kagumi!
Perlahan-lahan gabungan suara musik itu lenyap. Keadaan menjadi sunyi kembali sungguh pun gema suara ajaib tadi masih terngiang di dalam telinga. Semua orang membuka mata dan meloncat berdiri, seakan-akan baru bangun dari pada tidur nyenyak. Kiranya di dekat Suling Emas yang masih duduk bersila di atas tanah terdapat seorang kakek tua renta yang juga duduk bersila. Seorang kakek yang berpakaian sederhana, berambut panjang sudah putih semua, juga kumis dan jenggotnya sudah putih. Akan tetapi di balik kesederhanaannya ini terpancar cahaya keagungan yang amat berwibawa. Pada punggungnya tersembul ke luar sebuah alat musik yang-khim. Wajahnya yang cerah itu membayangkan keramahan, kesabaran dan pengertian yang mendalam dan luas, yang memaksa orang memperoleh kesan baik dan menghormatnya.
Akan tetapi begitu It-gan Kai-ong mengenal kakek itu, ia berjingkrak marah dan berkata kasar, “Bu Kek Siansu! Kau berat sebelah! Percuma saja kau disebut-sebut manusia dewa yang selalu melepas budi kebaikan kepada siapa pun juga tanpa memilih bulu dan dianggap tokoh yang tak sudi lagi terikat oleh segala urusan duniawi. Akan tetapi apa buktinya sekarang? Kau membantu Suling Emas menghadapi kami semua dengan ilmu sihirmu!”
Semua tokoh yang hadir di situ terkejut bukan main mendengar disebutnya nama Bu Kek Siansu. Nama ini menjadi pujaan semua tokoh kang-ouw, bahkan setiap tahun sekali semua tokoh kang-ouw mengharapkan bertemu dengan kakek manusia dewa ini karena konon kabarnya setiap tahun apa bila bertemu dengan orang, kakek ini berkenan memberikan satu dua macam ilmu kesaktian yang jarang tandingannya di dunia ini. Sekarang secara tiba-tiba kakek itu muncul dan mendengar tuduhan It-gan Kai-ong, semua orang kini memandang kakek itu untuk mendengar jawabannya.
Kakek itu tersenyum ramah, menarik napas panjang, lalu bangkit berdiri dengan gerakan perlahan. Suling Emas juga bangkit berdiri dan tanpa mengeluarkan kata-kata ia berdiri di sebelah kiri kakek itu sambil menundukkan muka dan dengan sikap menghormat.
“It-gan Kai-ong, bersabarlah dan hembuskan semua hawa nafsu yang meracuni hatimu,” kata Bu Kek Siansu, suaranya tetap sabar dan tenang serta ramah. “Aku tidak pilih kasih, tidak pula melepas budi kepada siapa pun juga dan tidak mengikat diri dengan dunia. Aku tidak membantu Suling Emas, melainkan mencegah pembunuhan orang yang tidak berdosa. It-gan Kai-ong, andai kata kau orangnya yang kena fitnah seperti Suling Emas dan akan dibunuh kemudian kebetulan aku lewat dan melihatnya, sudah tentu aku pun akan berusaha mencegah pembunuhan itu.”
“Uuhhh, pemutaran lidah! Tua bangka yang pura-pura suci!” It-gan Kai-ong memaki-maki, akan tetapi yang dimaki malah tersenyum-senyum sehingga akhirnya kakek pengemis itu menjadi jengah sendiri dan menghentikan makiannya, menoleh kepada orang banyak dan berkata, “Kawan-kawan sekalian mendengar omongannya yang busuk itu. Sudah terang Suling Emas putera tunggal Tok-siauw-kui yang telah berbuat banyak kejahatan, sudah jelas Suling Emas yang harus menebus dosa ibu kandungnya. Kakek sinting ini bilang Suling Emas kena fitnah dan tidak berdosa. He, Bu Kek Siansu, tua bangka keparat, apakah kau berani bilang bahwa ibu Suling Emas, si wanita jalang Tok-siauw-kui itu pun tidak berdosa?”
“It-gan Kai-ong, tutup mulutmu yang busuk dan kalau memang kau mencari lawan, boleh lawan aku sampai seribu jurus. Kau mengandalkan kesabaran Siansu lalu melontarkan makian dan hinaan, hemmm, sungguh tak tahu malu!” Suling Emas tiba-tiba berseru marah kepadanya.
“Ho-ho-ha-ha! Kawan-kawan lihatlah baik-baik, tadi dia tunggang-langgang melarikan diri, sekarang setelah ada pembelanya menjadi galak dan sombong! Suling Emas, kau boleh menunggu giliran, sekarang kami berurusan dengan kakek tua bangka mau mampus ini. He, Bu Kek Siansu, kau jawablah!”
Sukarlah mencari orang yang sudah sedemikian teguh jiwanya seperti Bu Kek Siansu. Dimaki dan dihina seperti ini, sama sekali tidak marah, bahkan sedikit pun ia tidak berpura-pura sabar. Di bagian depan dari cerita ini sudah dituturkan betapa ia dicurangi oleh Hek-giam-lo, It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni, yang tidak saja berusaha membunuhnya, akan tetapi juga merampas kitab dan yang-khim, namun sama sekali kakek dewa ini tidak menaruh dendam atau marah. Kini pun, dimaki oleh jembel iblis itu, ia hanya tersenyum, wajahnya tetap cerah, pandang matanya tetap penuh kasih.
“It-gan Kai-ong, aku tidak mau bilang bahwa selama hidupnya, Tok-siauw-kui Liu Lu Sian tak pernah berbuat dosa. Akan tetapi, agaknya lebih baik sering kali kena fitnah dari pada sungguh-sungguh berdosa. Tentu saja aku tidak tahu akan semua urusannya, akan tetapi ada beberapa urusan yang kuketahui benar. Sebagian besar dari pada kalian yang kini menumpahkan dendam kepada Suling Emas, ternyata telah melontarkan fitnah yang tidak disengaja karena mungkin tidak tahu, akan tetapi aku banyak mengetahui urusannya dan sama sekali tidak boleh terlalu disalahkan kepada Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, apa lagi pada puteranya ini.”
Ucapan kakek ini bukan hal aneh karena memang semua orang sudah mendengar belaka akan sepak terjang yang aneh dan luar biasa dari kakek Bu Kek Siansu. Kalau kakek ini mengetahui akan semua urusan di dunia kang-ouw, hal itu tidaklah mengherankan. Semenjak puluhan tahun yang lalu, nama Bu Kek Siansu terkenal mengatasi semua nama-nama besar seperti nama
Pat-jiu Sin-ong tokoh Beng-kauw, atau pun Kim-mo Taisu si Manusia Emas yang menggemparkan kolong langit.
Kali ini orang tidak menjadi heran kalau kakek sakti itu tahu pula akan urusan Tok-siauw-kui. Akan tetapi pernyataan Bu Kek Siansu bahwa Tok-siauw-kui tidak berdosa, benar-benar mendatangkan rasa penasaran di hati banyak tokoh yang mendendam kepada wanita itu dan yang kini hendak menumpahkan dendamnya kepada putera Tok-siauw-kui. Karena merasa penasaran, Cheng San Hwesio segera melangkah maju, menjura kepada Bu Kek Siansu dan berkata lantang.
“Omitohud! Benar-benar pinceng (aku) yang sudah tua dan tak lama lagi berada di dunia mendapat berkah besar dengan perjumpaan ini! Telah puluhan tahun mendengar nama besar yang mulia dari Bu Kek Siansu dan pinceng hendak menggunakan kesempatan baik ini untuk mohon petunjuk. Siansu yang dimuliakan, dua puluh tahun lebih yang lalu, seorang janda muda telah membunuh tiga orang suheng-ku dari Siauw-lim-pai, kemudian menculik seorang sute-ku yang kemudian lenyap tak tentu rimbanya. Janda muda yang cantik dan berwatak iblis itu bukan lain adalah Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, puteri dari ketua Beng-kauw. Mohon petunjuk Siansu, apakah dalam urusannya dengan pihak Siauw-lim-pai ini Tok-siauw­kui Liu Lu Sian tidak bersalah?”
Si kakek tua renta mengangguk-angguk, “Saudara-saudara sekalian. Kebetulan sekali Tok-siauw-kui pernah menceritakan semua dosa-dosanya kepadaku dan minta petunjuk pula, oleh karena itu aku banyak tahu akan urusannya.” Ia menarik napas panjang dan mengingat-ingat wanita yang menjadi biang keladi semua keributan ini. “Dan urusannya dengan Siauw-lim-pai juga telah kuketahui. Hwesio yang baik, kalian dari Siauw-lim-pai memang selamanya jujur, keras dan berdisiplin. Kematian tiga orang suheng-mu dalam pertandingan melawan Tok-siauw-kui adalah karena tiga orang suheng-mu kalah pandai. Ada pun yang menjadi sebabnya adalah sute-mu yang sama sekali bukan diculik oleh Tok-siauw-kui, melainkan karena tergila-gila dan memang mengadakan perhubungan gelap dengan Liu Lu Sian sehingga hal itu membuat tiga orang suheng-mu marah-marah dan hendak membunuh sute-mu. Tok-siauw-kui membela kekasihnya dan tiga orang suheng-mu tewas dalam pertempuran. Nah, Cheng San Hwesio, biar pun dalam hal ini Tok­siauw-kui boleh jadi mempunyai kesalahan karena berjinah dengan sute-mu, namun pihak Siauw-lim-pai juga mempunyai kesalahan, yaitu apa yang dilakukan oleh sute-mu. Kiranya tidak patut kalau hendak menimpakan kesalahan ini kepada putera Tok-siauw-kui yang tidak tahu apa-apa dalam urusan itu. Apa lagi kalau diingat bahwa kalian dari Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang menjadi murid Buddha. Ke manakah pelajaran welas asih dan cinta kasih yang menjadi pokok pelajaran agamamu? Cheng San Hwesio, harap kau jangan lupa bahwa BALAS DENDAM adalah buah dari pada BENCI yang menjadi senjata setan untuk menyeret manusia ke lembah kesesatan. Sebaliknya RELA MAAF adalah buah dari pada CINTA KASIH yang akan menjadi obor bagi manusia menuju jalan kebajikan.”
“Omitohud... kata-kata mutiara Siansu bagaikan air sungai gunung yang dingin menyegarkan orang kehausan. Terima kasih, Siansu. Suling Emas, urusan ibu kandungmu sudah selesai oleh kematian Tok-siauw-kui, mulai sekarang Siauw-lim-pai takkan mempersoalkannya lagi. Pinceng sudah bicara!” Hwesio ini memberi hormat kepada Bu Kek Siansu, lalu berlari dengan langkah lebar meninggalkan tempat itu.
“Omitohud... Bu Kek Siansu telah memuaskan hati Cheng San Hwesio. Siansu yang bijaksana, pinceng harap kau akan dapat memberi penerangan pula kepada pinceng! Dua puluh tahun lebih yang lalu, Tok-siauw-kui mencuri kitab pusaka dari Go-bi-pai. Sekarang Tok-siauw-kui sudah meninggal dunia dan kitab itu masih lenyap dari Go-bi-pai. Kalau sekarang pinceng menuntut kepada putera tunggalnya agar kitab itu dikembalikan, bukankah hal ini sudah adil dan patut?”
“Hwesio yang baik dari Go-bi-pai, sudah sewajarnya yang kehilangan mencari yang mencuri dan mengembalikan. Akan tetapi Tok-siauw-kui sudah meninggal dunia dan sudah sewajibnya kalau kitab itu ditinggalkan kepada Suling Emas, ia harus mengembalikannya kepadamu. Kim-siauw-eng (Suling Emas) apakah kau mendapat peninggalkan sesuatu dari ibumu termasuk kitab Go-bi-pai itu?”
Suling Emas menggeleng kepalanya. “Teecu (murid) tidak menerima peninggalan sesuatu dan tak pernah mendengar tentang kitab pusaka Go-bi-pai.”
Bu Kek Siansu mengelus jenggotnya yang putih. “Kalau begitu, sudah menjadi kewajiban Suling Emas untuk membantu pihak Go-bi-pai mencari kembali kitab itu agar dikembalikan kepada Go­bi-pai yang berhak memilikinya, di samping berbakti kepada ibu kandung. Sanggupkah kau, Kim-siauw-eng?”
“Teecu sanggup. Hek Bin Hosiang, apakah nama kitab itu?”
“Kitab yang dicurinya adalah kitab Cap-sha-seng-keng (Kitab Tiga Belas Bintang) yang mengandung pelajaran I­kin-swe-jwe (Mengganti Otot Mencuci Sumsum)!”
Suling Emas mengangguk-angguk. “Harap Lo-suhu sudi memberi waktu, saya akan berusaha mencarinya dan mengembalikannya ke Go-bi-pai.”
Wajah hitam hwesio Go-bi-pai itu berseri. “Bagus! Kalau Suling Emas sudah sanggup mencari dan mengembalikan, pinceng cukup puas dan hal itu pasti akan terlaksana. Kiranya ketua kami juga akan menghabiskan perkara ini, apa lagi setelah Bu Kek Siansu yang mulia menjadi penengah! Maaf, pinceng tak dapat lebih lama tinggal di sini.” Hwesio ini pun menjura kepada Bu Kek Siansu, lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Bu Kek Siansu gembira sekali. “Nah, nah, bukankah segala hal dapat diselesaikan? Bukankah kita dapat mengatasi segala macam kesulitan kalau kita mau bertindak dengan landasan cinta kasih?”
“Maaf... aku....”
Suling Emas mengerutkan kening dan sinar matanya agak gugup ketika ia melihat gadis baju hijau melangkah maju dan mengeluarkan kata-kata terputus-putus itu. Muka gadis itu sebentar pucat sebentar merah.
“Ya, apa yang hendak kau bicarakan, Nona Muda?” Bu Kek Siansu menenangkannya dengan kata-kata halus.
“Maaf, Siansu...,” Gadis itu memberi hormat. “Teecu sudah lama mendengar nama Siansu yang dipuja sebagai dewa, bahkan di waktu ayah masih hidup, ayah sering kali mendongeng tentang Siansu yang amat dikagumi ayah. Akan tetapi ayah... ah, ayah meninggalkan teecu dalam keadaan menyedihkan. Ayahku telah dibunuh oleh Tok-siauw-kui setelah iblis wanita itu berhasil membujuk ayah dan mengelabui ayah sehingga ayah menurunkan ginkang keluarga kami kepada Tok-siauw-kui. Wanita iblis yang palsu dan jahat itu sebagai tanda terima kasih malah membunuh ayah. Siansu, setelah Tok-siauw-kui meninggal, kepada siapa lagi teecu membalas kalau bukan kepada puteranya? Kalau teecu tidak membalas dendam ayah ini, bukankah teecu akan menjadi seorang anak yang puthauw (tidak berbakti)?” Di dalam suara gadis ini terkandung isak.
“Nona, siapakah ayahmu?”
“Ayah adalah Hui-kiam-eng Tan Hui...”
Mendengar nama ini, semua orang menengok dan ada yang berseru perlahan. Nama besar Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang) Tan Hui sudah amat terkenal dan mereka tadinya tidak menyangka bahwa gadis baju hijau yang cantik dan gagah ini adalah puteri pendekar itu. Maklumlah, mereka semua adalah orang-orang yang tadinya menjadi tamu di Nan-cao.
Ketika mereka keluar dari Nan-cao, di jalan mereka terbujuk oleh ucapan It-gan Kai-ong yang mengajak musuh-musuh Tok-siauw-kui membalas dendam mereka kepada putera tunggalnya. Semua tokoh kang-ouw mengenal belaka siapa adanya Hui-kiam-eng Tan Hui jago pedang yang memiliki ilmu ginkang luar biasa sekali sehingga kalau ia main pedang, seakan-akan jago ini terbang bersama pedangnya sehingga ia dijuluki Pendekar Pedang Terbang.
“Ahhhhh... dia itu ayahmu? Nona, kebetulan sekali aku sendiri tahu akan hal ayahmu dan Tok-siauw-kui, karena di antara semua yang diceritakanya, soal ayahmu ia ceritakan dengan jelas. Ketahuilah bahwa semenjak meninggalkan suaminya di kaki gunung Cin-ling-san, laki-laki pertama yang merebut hati Tok-siauw-kui adalah ayahmu yang pada waktu itu menjadi duda pula. Mereka itu saling mencinta, dan demikian besar cinta ayahmu sehingga ayahmu mengajarkan ginkang-nya kepada Tok-siauw-kui. Hal itu terjadi dua puluh tahun lebih yang lalu, agaknya kau masih kecil...”
“Teecu baru berusia lima tahun ketika ayah meninggal. Teecu lalu dipelihara oleh paman teecu berikut warisan kitab­kitab pelajaran dari ayah...,” kembali suara ini tercampur isak.
“Begitulah. Ayahmu jatuh cinta bersama Tok-siauw-kui dan agaknya mereka akan menjadi suami isteri kalau saja ayahmu tidak mendengar akan latar belakang riwayat hidup Tok-siauw-kui. Ayahmu menjadi kecewa, lalu mendekati gadis lain yang dicalonkan menjadi isterinya. Tok-siauw-kui menjadi cemburu, marah, terjadi percekcokan sehingga mereka bertempur yang mengakibatkan tewasnya ayahmu. Nah, bukankah kematian ayahmu itu bukan semata-mata akibat kejahatan Tok-siaw-kui, akan tetapi banyak tali temalinya dan sebagian besar sebabnya adalah karena ayahmu sendiri?”
Wajah Bu-eng-sin-kiam Tan Lian menjadi pucat. “... tapi... betulkah itu, Siansu...?”
“Begitulah kiranya. Kau dapat bertanya-tanya kepada pamanmu atau mereka yang mengetahuinya. Begitulah hidup di dunia ini, Nona. Kejadian yang sudah SEMESTINYA terjadi, akan terjadilah. Tiada kekuasaan lain di dunia ini mampu mengubahnya. Setiap kejadian di dunia ini sudah sewajarnya, tidak mempunyai sifat menyenangkan atau menyusahkan, wajar dan sudah semestinya. Kalau toh mengakibatkan senang dan susah, bukan kejadian itu yang mengakibatkan, melainkan si orang itu sendiri yang menghadapi kejadian. Kalau dibuat susah, akan susahlah ia, kalau dibuat senang, akan senanglah ia. Ayahmu sudah mati, juga Tok-siauw-kui sudah mati. Kau yang masih hidup, mengapa harus melibatkan diri dengan urusan mereka yang sudah mati?”
Wajah yang cantik itu sebentar pucat sebentar merah. Beberapa kali ia mengerling ke arah Suling Emas, kemudian dengan isak tertahan ia melompat dari situ dan sekali berkelebat lenyaplah nona itu. Semua orang menjadi kagum dan terbuktilah kehebatan ginkang yang disohorkan orang dari keluarga Hui-kiam-eng Tan Hui.
“Wah-wah, tua bangka ini menggunakan sihirnya untuk melemahkan semangat orang!” It-gan Kai-ong membanting-banting tongkatnya ke atas tanah. “Kawan-kawan semua, kita pergi saja jangan sampai dia sempat mengelabui kita dengan omongan-omongan busuk dan ilmu sihir. Kita laki-laki sejati, bukan banci, sekali mempunyai cita-cita membalas dendam dan berbakti kepada yang sudah mati, hanya maut yang dapat menghentikan cita-cita itu. Mari kita pergi, lain kali masih banyak waktu untuk menghukum putera tunggal Tok-siauw-kui!”
Memang para tokoh kang-ouw itu merasa jeri dan juga sungkan untuk bermusuhan dengan Bu Kek Siansu, maka mendengar ucapan It-gan Kai-ong ini, berturut-turut mereka meninggalkan tempat itu. Setelah semua orang pergi, Suling Emas menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu.....
Lanjut ke jilid 22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)