CINTA BERNODA DARAH : JILID-14


Gan-lopek tertawa bergelak. “Bocah, siapa memandang rendah? Kentutku tadi hanya memperingatkan bahwa begitu kau muncul dengan gambarmu, aku lalu dianggap seperti angin saja. Ha-ha-ha, kaulah orangnya yang menghina Nan-cao dan Beng-kauw dengan lukisan itu!” Ia menuding ke arah gambar kuda.
Beng-kauwcu Liu Mo memang sudah maklum bahwa di antara para tamunya terdapat pertentangan-pertentangan, akan tetapi ucapan Gan-lopek kali ini benar-benar membuat ia tidak mengerti.
“Gan-sicu, lukisan ini adalah lukisan asli dari pelukis besar Yen Li Pun, merupakan pemberian yang amat bernilai, sama sekali tidak menghina kami!” Ketua Beng-kauw biar pun termasuk orang sakti yang aneh, namun sebagai kepala agama, tentu saja ia tidak berandalan dan ugal-ugalan, apa lagi dibandingkan dengan Empek Gan yang aneh itu. Tadi mendengar Empek Gan menyambut sajak yang dideklamasikan oleh pemuda itu dengan bunyi kentut, ia merasa tak senang. Sekarang mendengar kata-kata Empek Gan yang menuduh pemuda itu menghina Beng-kauw, tentu saja ia tidak setuju.
“Heh-heh-heh, penghinaan tidak langsung, tentu saja Kauwcu tidak tahu.”
“Gan-lopek, jangan menuduh sembarangan! Kau yang membuang kentut di depan orang-orang terhormat, kaulah yang menghina semua orang, bagaimana kau bisa menyebar fitnah kepadaku?” Suma Boan menudingkan telunjuknya.
“Melepas kentut apa salahnya? Ini tandanya jujur! Siapa di antara semua orang yang hadir di sini tak pernah kentut? Kalau angin sudah datang, tidak dilepas, bukankah mendatangkan perut kembung dan penyakit? Kalau dilepas perlahan-lahan agar jangan berbunyi dan jangan diketahui orang, itu pura-pura dan palsu namanya. Tidak ada bunyinya, tahu-tahu menyerang hidung orang lain sampai membikin hidung menjadi hijau! Orang kentut bukan menghina karena semua orang juga suka kentut. Tapi lukisanmu itu. Hemmm, Kauwcu, sama sekali bukan berarti bahwa aku memandang rendah lukisan Yen Li Pun. Aku kagum akan lukisannya dan dibandingkan dengan dia, aku bukan apa-apa. Akan tetapi kalau orang sudah menyamakan Nan-cao dan Beng-kauw seperti kuda, benar-benar membikin panas perutku! Kuda itu binatang apakah? Boleh liar ganas dan sakti, akhirnya hanya akan menjadi binatang tunggangan manusia! Dan senjatanya hanya pada kakinya yang dapat berlari cepat. Bukankah itu sifat pengecut yang hanya pandai lari karena tidak berani menentang lawan? Apakah Nan-cao boleh disamakan dengan kuda yang boleh ditunggangi orang lain dan akan lari tunggang-langgang dengan kecepatan kilat kalau diserang musuh?”
Beng-kauwcu Liu Mo tertawa. Para tamu terheran karena tak pernah mengira bahwa wajah yang serius seperti patung itu dapat tertawa. “Gan-sicu, kau lucu sekali! Lucu dan berbahaya, akan tetapi kami sama sekali tidak menganggap Suma-kongcu ini menghina kami. Kau pandai memutar-balikkan arti sesuatu. Dan bagaimanakah artinya lukisanmu itu, kalau kami boleh mendengar keterangannya?”
“Nan-cao dan Beng-kauw disamakan dengan binatang yang kejam dan ganas!” Suma Boan berseru, tak dapat menahan kemarahannya akan tetapi hatinya lega, juga akibat mendengar kata-kata ketua Beng-kauw, karena tadinya ia sudah merasa bingung dan kaget mendengar tuduhan Gan-lopek yang hebat.
Kini Gan-lopek yang tersenyum-senyum, lalu berkata nyaring, “Harimau terkenal sebagai raja di antara sekalian binatang hutan! Terkenal akan keberaniannya, tak pernah mundur menghadapi siapa pun juga. Itulah sifat-sifat yang patut dimiliki oleh Nan-cao, biar pun besar tubuh harimau tidak sebesar kuda, namun kecil-kecil memiliki keberanian yang besar. Harimau siap menerjang lawan jahat di bawah naungan matahari yang terang benderang. Apakah yang lebih terang dari pada matahari? Beng-kauw adalah Agama Terang, maka boleh diumpamakan Sang Matahari yang menaungi harimau Nan-cao. Nah, itulah arti lukisanku yang buruk, Kauwcu!”
Tepukan tangan menyambut keterangan ini, dilakukan oleh sementara tamu yang merasa kagum dan suka kepada Empek Gan. Akan tetapi Suma Boan makin mendongkol dan ia berkata mengejek. “Gan-lopek boleh jadi pandai dalam ilmu silat, boleh jadi pandai dalam hal melukis, akan tetapi tak mungkin ia lebih pandai dari mendiang Yen Li Pun pelukis besar, dan dalam hal sastra dan sajak, aku yang muda berani bertanding dengan dia!”
Inilah sebuah tantangan yang terang-terangan, dilakukan di depan Raja Nan-cao yang suka akan sajak dan di depan Beng-kauwcu pula! Bukan tantangan silat, melainkan tantangan mengadu kepandaian bun (sastra). Tentu saja Suma Boan seorang yang amat cerdik sudah cukup tahu bahwa biar pun pandai melukis, Empek Gan ini bukanlah seorang ahli sastra, apa lagi ahli sajak!
Biar pun tantangan Suma Boan itu bukanlah tantangan mengadu ilmu silat, melainkan tantangan mengadu ilmu sastra, namun bahayanya tidak kalah hebat. Malah agaknya lebih hebat karena dalam mengadu ilmu silat, yang kalah mungkin akan tewas! Sebaliknya dalam mengadu ilmu sastra, biar pun yang kalah tidak akan terluka apa lagi mati, namun ia akan menjadi buah tertawaan dan nama besarnya akan dijadikan bahan ejekan.
Akan tetapi Gan-lopek adalah seorang sakti yang aneh. Memang dalam hal ilmu sastra, biar pun pernah ia mempelajarinya, pengetahuannya tidaklah begitu mendalam seperti pengetahuannya tentang seni lukis. Namun ia memiliki kelebihan yang sering kali menguntungkan dirinya, yaitu di samping ilmu kepandaiannya yang tinggi, ia juga pandai sekali berkelakar dan pandai pula bicara. Dengan tiga ilmunya ini, di samping ilmu-ilmu yang lain, yaitu ilmu silat, ilmu seni lukis dan melawak, biasanya ia dapat menyelamatkan diri dari pada ancaman bahaya. Kini menghadapi tantangan Suma Boan, tidak ada jalan lain baginya selain menerimanya. Menolak berarti kalah dan mengorbankan namanya sebagai pecundang, karena tentu seluruh dunia akan segera mendengar betapa Empek Gan yang terkenal pandai itu sekarang ‘mati kutu’ terhadap Suma Boan!
“Ho-hah, omonganmu lebih jahat dari pada kentut! Terlalu keras dan bau! Bocah macam engkau ini menantang tua bangka macam aku mengadu kepandaian tentang sastra dan sajak? Ho-ho, biar semua gurumu kau panggil ke sini, aku tidak takut menghadapi mereka. Kau ini apa? Kutanggung menulis pun belum jelas, apa lagi merangkai kata-kata dalam kalimat atau sajak, pasti belum becus. Berani aku mempertaruhkan kepalaku yang lapuk ini kalau kau mampu merangkai empat buah huruf yang kupilih menjadi sebaris kalimat yang mempunyai arti dan mengandung kebenaran. Hayo, berani tidak kau?”
Suma Boan bukanlah seorang pemuda bodoh. Pengertiannya tentang sastra dan sajak, sungguh pun belum boleh dibandingkan dengan sastrawan-sastrawan dan para penyair, namun ia yakin takkan kalah oleh Empek Gan ini. Apa lagi merangkai empat buah huruf saja menjadi sebaris kalimat, apa sukarnya? Empat buah huruf itu kalau diatur bergiliran letaknya, diubah-ubah, dapat menjadi dua puluh empat baris kalimat yang berlainan. Apakah sukarnya memilih di antara dua puluh empat baris kalimat itu yang merupakan kalimat paling berarti dan mengandung kebenaran? Segera ia menjura kepada Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao sambil berkata.
“Mohon maaf sebanyaknya, terpaksa hamba melayani kakek buta huruf yang pura-pura pintar ini.”
Setelah raja dan ketua Beng-kauw yang juga amat tertarik ingin menyaksikan pertandingan yang lucu dan tidak berbahaya ini mengangguk tanda setuju, Suma Boan lalu menoleh ke arah para tamu dan berkata nyaring. “Mohon Cu-wi sekalian sudi menjadi saksi. Gan-lopek yang terhormat ini mempertaruhkan kepalanya kalau siauwte dapat merangkai empat buah huruf yang ia pilih menjadi sebaris kalimat yang mempunyai arti dan mengandung kebenaran. Bukankah begitu, Gan-lopek?”
“Betul, betul!” Gan-lopek mengangguk-angguk. “Kalau kau betul dapat dan kalimat itu oleh hadirin dianggap mengandung arti dan kebenaran, aku akan menyerahkan kepalaku agar kau pakai dalam sembahyangan roh leluhurmu!”
“Gan-lopek, mulailah! Keluarkan empat buah hurufmu itu yang merupakan empat buah kata-kata!” Suma Boan menantang.
Hening di tempat yang tadinya ramai itu. Tidak terdengar sedikit pun suara berisik. Suasana menjadi tegang karena semua orang, tiada kecuali, memasang telinga untuk mendengarkan baik-baik apakah empat buah kata-kata yang akan dikeluarkan oleh Gan-lopek. Juga Suling Emas, sebagai seorang ahli dalam hal bu dan bun (silat dan sastra), memandang penuh perhatian. Lin Lin merasa geli menyaksikan tingkah-polah dan sepak terjang Gan-lopek, akan tetapi juga agak khawatir karena ia pun merasa sangsi apakah kakek ini betul-betul akan dapat menandingi Suma Boan dalam hal ilmu sastra.
Karena keadaan yang hening itu, suara Gan-lopek terdengar lantang ketika ia berkata, “Bocah she Suma, enak saja kau mau menipu orang tua! Aku sudah mempertaruhkan kepalaku jika kau bisa memenuhi syaratku tadi, akan tetapi apa taruhanmu kalau kau kalah?”
Suma Boan tersenyurn mengejek. “Kakek she Gan! Semua orang terhormat yang hadir di sini mendengar belaka bahwa kau sendirilah yang menjanjikan kepalamu, bukan aku yang minta. Akan tetapi, kalau sampai aku tidak bisa merangkai empat buah kata-katamu menjadi kalimat yang berarti dan benar, biarlah aku mengangkat kau sebagai guru!”
“Ho-hah, boleh... boleh... akan tetapi aku sangsi apakah aku akan cukup sabar mempunyai murid sastra yang tolol seperti engkau. Nah, buka telingamu baik-baik, Suma Boan, dan juga hadirin yang menjadi saksi. Huruf pertama yang kupilih adalah huruf TAHI!”
Pecah suara ketawa di sana-sini, bahkan ada yang terkekeh-kekeh. Akan tetapi banyak pula, terutama mereka yang mengerti tentang ilmu sastra, mengerutkan kening. Kakek she Gan ini benar-benar berani mati, di depan begitu banyaknya tokoh kang-ouw yang terhormat dan terhitung tokoh kelas atasan, berani main-main sampai begitu hebat. Semua ahli sastra itu tahu belaka bahwa huruf yang artinya kotor ini tak mungkin dirangkai menjadi sajak. Orang gila saja yang dapat memasukkan kata-kata ‘tahi’ ke dalam sebuah sajak, tentu menjadi sajak orang gila!
Akan tetapi Suma Boan tidak tampak khawatir. Dia cerdik dan dia sudah berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan, maklum bahwa kakek ini mempunyai banyak tipu muslihat dan akal. Biar pun ia sendiri takkan mampu merangkai huruf yang kotor ini ke dalam sajak, namun masih tidak sukar untuk menggunakan huruf ini untuk melengkapi sebuah kalimat.
Setelah suara ketawa mereda, Gan-lopek mengangkat tangan kanan, memperlihatkan dua buah jari tangan. “Sekarang huruf nomor dua, yaitu huruf MAKAN!”
Kembali orang-orang pada tertawa. Gila benar kakek ini. Masa merangkai huruf tahi dengan huruf makan? Satu-satunya rangkaian yang berarti hanya ‘makan tahi’! Benar-benar orang sinting dia! Juga Raja Nan-cao tersenyum-senyum tapi keningnya berkerut, seperti halnya Beng-kauwcu dan yang lain-lain, karena mereka sendiri merasakan keanehan Empek Gan ini. Hanya Suma Boan yang nampak tenang-tenang saja, akan tetapi diam-diam otaknya dikerjakan.
Setelah menanti sebentar, Empek Gan lalu berkata lantang, “Huruf nomor tiga adalah KUDA dan huruf nomor empat adalah HARIMAU. Nah, bocah she Suma, sekarang kau putar-putarlah otakmu, kau rangkai empat huruf itu menjadi sajak atau kalimat yang berarti dan mengandung kebenaran. Aku tunggu sampai kau menyatakan tidak sanggup, lalu berlutut di depan kakiku, mengangkat aku sebagai gurumu. Itu pun kalau aku mau menerimamu, hoh-hoh!”
Suma Boan tidak mempedulikan kelakar ini karena ia sudah memutar otak dan memikir-mikir. Ujian atau teka-teki yang gila, pikirnya. Keempat huruf itu adalah TAHI MAKAN KUDA HARIMAU yang harus dirangkai menjadi kalimat, biar pun dapat dibolak-balik sampai dua puluh empat macam kalimat, namun agaknya hanya ada dua macam kalimat yang berarti, yaitu pertama adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU atau HARIMAU MAKAN TAHI KUDA. Selain dua ini, kalimat-kalimat lain tidak ada artinya. Alangkah mudahnya! Benar-benar kakek goblok yang miring otaknya. Belum sampai lima menit ia berpikir, ia sudah membolak-balik empat huruf itu menjadi dua puluh empat kalimat dan hanya dua itulah yang ada artinya.
“Ha-ha, Empek Gan, kau benar-benar mencari mampus. Nah, siaplah untuk menyerahkan kepalamu karena aku sudah dapat menjawabnya!” seru Suma Boan dan para tamu menjadi berisik karena mereka itu pun masing-masing ikut pula mencari jawabannya.
Empek Gan mengangkat kedua tangannya ke atas dan berseru. “Harap hadirin jangan berisik!” Suaranya perlahan saja, akan tetapi gemanya berdengung di ruangan itu, membuat semua orang kaget dan diam. Para locianpwe (orang tua jagoan) yang hadir di situ diam-diam mengangguk-angguk. Betapapun gila dan tololnya Empek Gan dalam ilmu sastra, akan tetapi dalam ilmu silat agaknya merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan. Suaranya yang disertai tenaga khikang tadi saja sudah membuktikan kelihaiannya.
“Harap Cu-wi sekalian dengarkan jawaban orang muda ini sebagai saksi! Nah, bocah, bagimana jawabanmu?”
Dengan suara nyaring Suma Boan menjawab, “Empek Gan, empat huruf yang kau ajukan itu amatlah sederhana dan dari empat huruf itu aku dapat merangkai menjadi dua puluh empat macam kalimat.” Semua orang yang hadir mengangguk-anggukkan kepala karena banyak di antara mereka yang berpikir demikian pula. Agaknya pemuda pangeran di utara ini akan menang, pikir mereka. “Akan tetapi di antara yang dua puluh empat macam kalimat, hanya ada dua yang berarti, maka jawaban pertanyaanmu itu tentulah salah satu di antara yang dua ini. Pertama adalah HARIMAU MAKAN TAHI KUDA!”
Hening di ruangan itu karena semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian, maka kini suara ketawa Empek Gan terdengar lantang memenuhi ruangan. “Ha-ha-ha, kau benar-benar lucu. Yang kedua bagaimana?”
“Yang kedua adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU!”
Kini Empek Gan terpingkal-pingkal tertawa sambil memegangi perutnya. “Hoah-hah-hah, siapa pernah mendengar ada harimau makan tahi kuda? Dan ada kuda makan tahi harimau? Hoah-hah-hah, Suma Boan! Agaknya yang suka makan tahi harimau adalah kudamu itu!” Ia menudingkan telunjuknya ke arah gambar kuda sumbangan Suma Boan tadi. “Dan yang dimakan adalah tahi harimauku, kalau bukan kudamu mana suka makan tahi harimau? Hoa-ha-ha!”
“Empek Gan tidak perlu semua lelucon ini!” teriak Suma Boan. “Sudah jelas jawabanku betul, dan kau kalah. Semua yang hadir menjadi saksi!”
Empek Gan menyusut air matanya. Begitu keras ia tertawa sampai keluar air matanya. “Apa kau bilang? Betul? Eh, bocah, kau benar-benar melanggar aturan. Tadi sudah kukatakan bahwa empat buah huruf itu harus dirangkai merupakan kalimat yang berarti DAN MENGANDUNG KEBENARAN! Rangkaian kalimatmu itu biar pun kedua-keduanya ada artinya akan tetapi semua bohong, tidak benar sama sekali karena di dunia ini tidak ada kuda makan tahi harimau atau harimau makan tahi kuda. Hayo, di antara yang hadir siapa bisa bilang bahwa dua kalimat itu mengandung kebenaran?” Empek Gan menoleh ke arah para hadirin dan kembali terdengar suara berisik karena para tamu itu saling bicara untuk mempersoalkan benar salahnya jawaban Suma Boan itu.
Tiba-tiba terdengar seruan nyaring, “Jawaban itu bohong!” Demikian nyaring tapi merdu suara ini sehingga semua orang berhenti bicara dan memandang. Kiranya Lin Lin yang berdiri dan menggerak-gerakkan tangan kanan ke atas minta perhatian. Sekali lagi ia berkata, suaranya merdu tapi nyaring sekali.
“Jawaban Suma Boan itu bohong semua! Kuda makanannya rumput, bukan tahi harimau, sedangkan harimau makanannya daging mentah, bukan tahi kuda! Siapa yang setuju, harap angkat telunjuk ke atas seperti saya ini!” Dengan wajah berseri dan bibir tersenyum manis Lin Lin mengangkat telunjuk kanannya ke atas. Serentak semua tamu, sebagian besar, mengangkat tangan ke atas, malah ada orang-orang muda yang mengangkat kedua tangan ke atas sambil berteriak-teriak gembira, “Betul...! Ucapan Nona betul!”
Memang sesungguhnya, siapa tidak tertarik melihat dara remaja yang jelita itu dengan jenaka bicara seperti itu dan mengajak mereka mendukung pernyataannya bahwa Suma Boan tidak benar dalam jawabannya? Apa pula kalau dipikir bahwa memang sesungguhnya, dua kalimat itu biar pun ada artinya, namun memang tidak benar.
Empek Gan berkata lagi setelah semua orang diam, “Nah, Suma Boan. Jelas bahwa kau yang kalah, karena jawabanmu tidak betul. Hayo kau berlutut dan mengangkat aku sebagai guru, tentu saja kalau aku mau menerimamu. Kita lihat saja nanti!”
Suma Boan melotot ke arah Lin Ling, kemudian ia merengut dan menjawab. “Empek Gan, kau orang tua penuh tipu muslihat! Kau kira aku mudah kau tipu begitu saja? Terus terang saja kukatakan bahwa dari empat hurufmu itu, tak mungkin merangkai kalimat yang mengandung arti dan juga mengandung kebenaran! Aku tidak mau menerima kalah kalau kau sendiri belum memberi jawabannya. Tentu saja kalau kau bisa mengemukakan pertanyaan yang tak dapat dijawab, aku pun bisa! Misalnya, berapa banyaknya ikan di laut?”
“Hoah! Pertanyaan begitu saja, apa sukarnya! Aku bisa menjawab! Ada lima juta kurang satu banyaknya ikan di laut. Hayo, mau apa kau? Tidak percaya? Boleh kau menyelam dan hitung sendiri!”
Meledak suara orang tertawa mendengar ucapan ini, dan wajah Suma Boan makin merah. “Empek Gan, kau belum menjawab. Hayo kau rangkai kalimat dari empat hurufmu itu sendiri, kalau kau bisa melakukannya, baru aku mengaku kalah, tidak saja aku mengangkatmu sebagai guru, malah aku mau menyerahkan kepalaku kepadamu!” Saking marahnya, Suma Boan mengeluarkan ucapan ini. Akan tetapi bukan semata-mata karena marahnya, melainkan karena ia yakin bahwa kakek itu pun takkan mungkin merangkai kalimat yang berarti dan benar.
Kembali keadaan hening. Semua orang memasang telinga baik-baik, ingin mendengarkan jawaban Empek Gan. Tak seorang pun di situ merasa sanggup untuk menjawab, bahkan Suling Emas sendiri tampak berbisik-bisik kepada Beng-kauwcu yang mengerutkan kening dan menggeleng-geleng kepala. Raja Nan-cao juga menggeleng-geleng kepala sambil mengangkat pundak, tanda bahwa dia sendiri sebagai seorang jagoan sastra tidak sanggup pula.
“Betulkah? Dengar baik-baik kau, bocah ingusan! Juga para hadirin harap sudi mendengarkan penuh perhatian. Dari empat buah huruf itu aku dapat merangkai sebuah kalimat yang berarti dan juga yang mengandung kebenaran seribu prosen. Kalimat itu berbunyi begini...” Ia sengaja berhenti sebentar sehingga semua mata memandang ke arah bibirnya dan semua telinga memasang baik-baik, bahkan orang-orang itu tidak berani bernapas terlalu keras, takut mengganggu pendengaran.
“HARIMAU MAKAN KUDA!” Akhirnya Empek Gan berkata lantang, “Tentu saja harimauku itu dan yang dimakan kuda bocah ini, ha-ha-ha!” Ia berpaling kepada Suma Boan. “Nah, apanya yang salah dengan kalimat itu? HARIMAU MAKAN KUDA, artinya sudah betul, juga kenyataannya begitu, harimau memang suka makan binatang-binatang lemah, termasuk kuda!”
“Tidak betul!” Suma Boan berteriak-teriak marah sampai suaranya serak. “Belum lengkap itu! Huruf TAHI belum dimasukkan!”
“Sudah betul,” kata Empek Gan. “HARIMAU MAKAN KUDA! Nah, tidak betulkah itu?”
“TAHI-nya bagaimana? TAHI-nya kau tinggalkan!”
Orang-orang berteriak-teriak, “Ya, TAHI-nya bagaimana?”
Suma Boan mendengar banyak orang mendukungnya, tertawa-tawa dan berteriak-teriak mengejek, “Empek Gan orang tua tolol! HARIMAU MAKAN KUDA memang berarti dan benar, akan tetapi TAHI-nya kau lupakan. TAHI-nya bagaimana?”
Empek Gan tertawa, “Cu-wi sekalian dengarlah! Dia bertanya tentang TAHI. Wah, dia ini, Suma Boan, di sini untuk apa? Harimauku makan kudanya, ada pun TAHI-nya... kuberikan kepadamu. Suma Boan. Kau makanlah, itu bagianmu!”
Sejenak hening, banyak mata terbelalak. Kemudian bagaikan mendapat komando, meledaklah suara ketawa memenuhi ruangan itu. Lin Lin terpingkal-pingkal sampai jatuh terguling dari bangku, memegangi perutnya dan terus tertawa.
Sungguh tidak ada yang mengira bahwa akan begitulah jawaban Empek Gan. Suasana yang tadinya tegang, perhatian yang dicurahkan sepenuhnya, pada akhirnya hanya akan dihancurkan oleh sebuah kelakar yang sungguh-sungguh tidak nyaman rasanya bagi telinga yang bersangkutan. Ini bukanlah semata-mata lelucon, melainkan suatu kesengajaan yang dimaksudkan untuk mempermainkan Suma Boan.
Tidaklah aneh kalau Suma Boan berdiri dengan muka pucat, kemudian merah sampai hampir hitam, tubuhnya bergoyang-goyang hampir tak kuat ia menahan kemarahannya. Suara ketawa yang memenuhi ruangan itu seakan-akan merupakan ribuan mata pedang yang menusuk-nusuk jantungnya. Saking tak dapat menahan kemarahannya lagi, Suma Boan menerjang Empek Gan dengan pedangnya.
Hebat serangan ini, karena Empek Gan sedang tertawa-tawa sambil memandang ke atas, memegangi perutnya yang bundar kecil. Sedangkan penyerangan itu merupakan jurus berbahaya, pedang meluncur lurus mengarah dada dan melihat kedudukan kedua kaki pemuda itu, jelas bahwa jurus ini dapat segera diubah menjadi jurus apa saja, disesuaikan dengan cara kakek itu menghadapi jurus pertama. Orang-orang yang menyaksikan kedahsyatan serangan ini, menahan napas, apa lagi kakek itu enak-enak saja seperti tidak melihat datangnya pedang yang siap mencongkel pergi nyawanya dari badan!
Mendadak kakek itu membalikkan tubuhnya, membelakangi Suma Boan dan memandang ke arah Lin Lin. Alisnya bergerak-gerak dan matanya dipicingkan sebelah melihat Lin Lin tertawa-tawa terpingkal-pingkal. “Eh, Nona, jangan terlalu keras ketawa, perutmu bisa kaku nanti. Apakah kau sudah melihat tukang sate itu datang ke sini?”
Lin Lin yang tadinya tertawa geli, kini memandang terbelalak. Tidak hanya Lin Lin, juga banyak tokoh-tokoh persilatan yang berada di situ memandang heran dan tak mengerti. Kakek ini membelakangi Suma Boan, pantatnya megal-megol seperti bebek berjalan, tanpa menggeser kaki hanya tubuh belakang itu saja yang menonjol ke kanan kiri, cepat dan lucu sekali. Dan hanya dengan gerakan ini saja, pedang di tangan Suma Boan tak pernah mengenai sasarannya!
Mula-mula Lin Lin merasa ngeri menyaksikan pedang itu berkelebatan di sekeliling pantat Empek Gan. Sedikit saja menyerempet tentu akan merobek daging mengiris kulit daging kelebihan di belakang itu. Akan tetapi melihat cara Empek Gan mengegal-egolkan pantatnya secara lucu sekali, kembali Lin Lin tertawa. Juga orang-orang mulai tertawa lagi.
“Hi-hik, pantas saja Liong-twako juga megal-megol kalau main pedang!” Lin Lin berkata sambil memukul-mukul lengan Suling Emas saking geli hatinya.
Suling Emas juga tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa justeru gerakan itulah yang menjadi keistimewaan ilmu silat Empek Gan ketika kakek ini dahulu merantau dan bertempat tinggal di sebuah pulau di sebelah selatan. Penduduk asli pulau ini suka sekali akan tari-tarian, memiliki tari-tarian khas yang aneh dan juga menarik serta lucu karena semua penari, laki-laki mau pun perempuan, dalam menari selalu menggerak-gerakkan tubuh belakang mereka (seperti tari Hula-hula)! Dan tari-tarian inilah yang dijadikan dasar keanehan ilmu silat yang diciptakan Empek Gan, karena dia sendiri pun menjadi pecandu tari-tarian itu. Sementara itu, ilmu silatnya hanya bisa dilakukan dengan sempurna kalau disertai pantat megal-megol!
Suma Boan penasaran bukan main. Sudah tujuh kali ia menikam dan menabas, namun setalu makan angin belaka. Tiba-tiba Empek Gan tertawa dan mundur, entah bagaimana, tahu-tahu Suma Boan tak dapat mengelak lagi dibentur pantat Empek Gan sehingga ia terlempar sampai lima meter lebih! Luar biasa sekali!
“Ho-ho, manusia she Gan! Apakah di sini kau mau memamerkan diri?” tiba-tiba terdengar suara nyaring menggetarkan anak telinga, biar pun suara itu parau dan tak enak didengar.
“Heh-heh! It-gan Kai-ong, bukan aku memamerkan diri, melainkan bocah ini tak dapat menjaga baik nama gurunya, heh-heh-heh...,” kata Empek Gan sambil memandang ke arah It-gan Kai-ong yang masih duduk di deretan bangku bagian kaum kehormatan.
Melihat bahwa suasana menjadi tegang, Beng-kauwcu Liu Mo memberi tanda dengan tongkatnya. Segera Kauw Bian Cinjin yang mewakili suhengnya, melangkah maju dan menjura sambil berkata, “Kauwcu mengharapkan dengan hormat agar keributan ini diakhiri untuk memberi kesempatan kepada tamu lain, tak lupa sekali lagi menghaturkan terima kasih kepada Gan-sicu dan Suma-kongcu atas ucapan selamat.”
Empek Gan menyengir sambil memandang ke arah It-gan Kai-ong yang membalas dengan pandangan mengejek. Dengan langkah gontai dan pantat tetap megal-megol, Empek Gan lalu melangkah maju menghampiri Lin Lin, lalu tertawa!
“Wah, kau jempol sekali, Kakek Cebol!” Lin Lin menyambutnya dengan tertawa pula. “Pantas Lie Bok Liong twako kalau bersilat selalu megal-megol, kiranya gurunya pun begitu. Kakek gagah, apakah ilmu silatmu itu namanya ilmu silat bebek melenggang?”
Empek Gan tertawa senang karena banyak tamu yang mendengar ini ikut tertawa. Dasar berjiwa badut, kalau ada orang mentertawakan kelucuannya, kakek ini merasa girang dan puas sekali!
Sementara itu, para tamu lain yang tadi sudah menanti-nanti tidak sabar karena mereka terhalang oleh keributan sehingga mereka tiada kesempatan memberi selamat dan sumbangan, kini mulai melangkah maju, menghampiri tempat duduk Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao. Antrian tamu itu cukup panjang dan para tamu yang sudah duduk merasa jemu menyaksikan upacara itu, mereka bercakap-cakap dengan teman masing-masing sambil mengganyang hidangan yang berada di atas meja.
Lin Lin setelah puas tertawa menyaksikan pertunjukkan yang lucu dari Empek Gan tadi, kini teringat akan janji Suling Emas. Ia menengok dan melihat betapa Suling Emas sudah bangkit dari bangkunya, berdiri bersedakap, seperti orang sedang menonton para tamu yang seorang demi seorang memberi selamat dan menyerahkan barang sumbangan. Lin Lin cepat melangkah maju menghampiri. Sejenak ia meragu, agak bingung. Perasaan ini selalu datang selama ini kalau ia hendak bicara kepada Suling Emas, karena sesungguhnya ia tidak tahu siapa nama pendekar itu. Tentu saja nama Suling Emas atau Kim-siauw-eng hanyalah julukan saja. Jarang ia memanggil, atau kalau terpaksa ia hanya menyebut ‘Suling Emas’ begitu saja, sebutan yang sebetulnya kurang enak. Sejenak ia meragu, berdiri di belakang punggung yang bidang itu.
“Kim-siauw Koko (Kakak Suling Emas)...,” akhirnya ia berkata perlahan.
Suling Emas terkejut seperti baru sadar dari pada lamunannya, lalu menengok ke belakang. “Kau? Kau bilang apa tadi?”
Lin Lin tersenyum. “Tidak bilang apa-apa, belum lagi, baru memanggilmu. Susah memanggil karena tidak tahu siapa namamu, biar kusebut kau Kim-siauw Koko saja.”
“Hemmm, ada apakah, Lin Lin?”
“Aku menagih janji!”
“Janji apa?”
“Ihhh, masa kau lupa lagi? Bukankah kau bilang bahwa kau hendak mencarikan musuh besarku dan Kakak Bu Song. Eh, kau sudah lupa atau pura-pura lupa? Seorang gagah takkan menjilat... eh, kau melihat apa?” Lin Lin gemas sekali melihat Suling Emas tidak mempedulikannya dan sedang memandang dengan kening berkerut ke arah kiri. Ia cepat menoleh dan sempat melihat seorang gadis cantik jelita memberi isyarat dengan tangan kepada Suling Emas dan gadis itu cepat membuang muka dan pura-pura tidak melihat ke arah mereka ketika Lin Lin memandang.
Gadis itu bukan lain adalah gadis jelita penyambut tamu tadi, puteri ketua Beng-kauw yang bernama Liu Hwee. Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, Lin Lin merasa dadanya panas seperti dibakar dan ingin ia meloncat dan menerjang gadis itu, menantangnya berkelahi sampai seribu jurus! Tanpa disadari lagi kedua kakinya melangkah menuju ke kiri, ke arah gadis puteri Beng-kauw itu.
“Lin-moi, ke sinilah...!”
Lin Lin tersentak dan sadar bahwa ia terlalu menuruti nafsu hati panas sehingga hampir saja ia menimbulkan keributan tanpa sebab. Panggilan Sian Eng ini menyadarkannya maka cepat ia menengok dan membalikkan tubuh lalu menghampiri enci-nya.
“Lin-moi, kau sudah tahu, kedatanganku ke sini adalah karena percaya akan penuturan Suma Boan bahwa di sini aku akan dapat bertemu dengan kakak kita Bu Song. Aku percaya akal hal itu, Lin-moi, karena itu aku ikut ke sini.”
“Ah, orang macam itu kau percaya, Enci Eng?”
“Hush, bukan tak beralasan aku percaya dia!” jawab Sian Erg dengan muka agak panas. “Tak ingatkah kau akan penuturan sukouw (bibi guru) Kui Lan Nikouw? Ibu tiri kita, isteri pertama Ayah yang bernama Tok-siauw-kui Lui Lu Sian adalah puteri ketua Beng-kauw yang sudah meninggal dunia dan yang kematiannya diperingati ke seribu harinya sekarang ini. Dengan demikian, maka kakak kita Bu Song itu adalah cucu dari ketua Beng-kauw, atau cucu keponakan dari ketua Beng-kauw yang sekarang. Kalau dia menghilang, agaknya di sinilah tempat ia bersembunyi, di tempat ibunya!”
“Wah, betul juga Enci Eng. Sekarang aku ingat akan hal itu! Kalau begitu, biar aku tanya langsung saja kepada Beng-kauwcu....” Tiba-tiba Lin Lin menghentikan kata-katanya sambil menoleh ke kiri. Dilihatnya Suling Emas tidak berada di tempatnya lagi.
“Jangan, Lin-moi. Tidak baik begitu, lebih baik kutanyakan kepada Suma-kongcu, siapa tahu Kakak Bu Song sudah hadir sekarang... eh, Lin-moi, kau ke mana...?”
Kiranya Lin Lin sama sekali tidak mendengarkan ucapan saudaranya karena ia telah lari meninggalkan tempat itu ketika melihat bahwa selain Suling Emas, juga puteri ketua Beng-kauw tidak berada di tempatnya lagi. Entah apa yang menyebabkan Lin Lin pergi, mungkin ia sendiri tidak tahu karena ia hanya merasa bahwa ia harus pergi mencari Suling Emas yang tadi dilihatnya diberi isyarat oleh Liu Hwee puteri ketua Beng-kauw. Juga ia tidak tahu mengapa dadanya terasa makin panas!
Lin Lin keluar dari ruangan itu melalui pintu samping. Kiranya pintu itu menembus ke sebuah taman bunga yang lebar. Sunyi di situ karena semua orang mencurahkan perhatian ke ruangan tamu di mana sedang berlangsung upacara penyambutan tamu dan penerimaan ucapan selamat. Lin Lin berjalan terus, matanya memandang ke sana ke mari, mencari-cari.
Tidak ada bayangan Suling Emas mau pun Liu Hwee. Namun di ujung taman tampak beberapa buah pondok yang mungil, agaknya menjadi tempat peristirahatan, entah milik raja ataukah milik ketua Beng-kauw. Akan tetapi ada sesuatu yang menarik, mungkin dugaan bahwa Suling Emas berada di situ yang menarik hati Lin Lin, karena gadis ini lalu berlari-lari ke arah tiga buah pondok itu.
Setelah dekat, ia jalan berindap-indap, perlahan dan hati-hati. Apa lagi ketika ia melihat bayangan dua orang dan mendengar suara bisik-bisik yang dibawa angin lalu, cepat ia menyelinap dan mengintai dari balik pondok. Kiranya Suling Emas berada di belakang pondok kedua... dadanya makin panas seperti terbakar ketika ia melihat Suling Emas berdiri berhadapan dengan Liu Hwee. Begitu dekat, dan keduanya berbisik-bisik! Lin Lin berusaha menangkap percakapan mereka, akan tetapi karena mereka bicara lirih sekali ia hanya dapat menangkap beberapa buah kata-kata saja yang tidak berarti. Akhirnya ia mendengar ucapan Liu Hwee lapat-lapat.
“... ah, kau terlalu lemah...”
“... cintaku takkan kunodai darah...,” terdengar jawaban Suling Emas, kemudian mereka berjalan pergi meninggalkan tempat itu.
Dalam tempat persembunyiannya Lin Lin tidak berani bergerak, tidak berani pula mengejar karena ia merasa malu kalau diketahui telah menjadi pengintai. Ucapan mereka yang ia dengar tadi merupakan teka-teki baginya, menambah rasa tidak enak di hatinya. Agaknya Suling Emas dan gadis jelita itu demikian rukun dan ia takkan salah menduga kalau di antara mereka tentu ada hubungan yang amat erat.
“Dan dia demikian dinginnya terhadap aku,” pikirnya. Mendadak air matanya menitik. Lin Lin kaget, cepat mengusap empat butir air mata dari pipinya. Cintaku takkan kunodai darah, demikian jelas terdengar ucapan keluar dari mulut Suling Emas tadi. Apa artinya ini? Cintanya terhadap siapa? Ah, kiranya pendekar yang diam-diam dipujanya itu telah mencintai seseorang. Siapa gerangan? Puteri ketua Beng-kauw itu?
Setelah dua orang itu tidak kelihatan bayangannya lagi, Lin Lin menarik napas panjang, lalu membalikkan tubuh hendak pergi dari situ. Tiba-tiba ia tersentak kaget, matanya terbelalak lebar, dan hampir ia menjerit. Di depannya telah berdiri seorang... iblis tengkorak berselubung hitam yang mengerikan! Akan tetapi Lin Lin memiliki dasar watak yang pemberani tak kenal takut. Hanya sebentar saja ia merasa ngeri saking kagetnya, akan tetapi segera ia mengenal manusia bertopeng tengkorak seperti iblis ini. Memang iblis, atau seorang di antara enam iblis. Biar pun baru sekarang ia berhadapan, ia dapat menduga bahwa orang atau makhluk ini tentulah Hek-giam-lo yang pernah menawan enci-nya.
“Harap jangan berteriak...,” suara serak mendesis itu keluar dari mulut tengkorak yang tidak bergerak.
“Hemmm, apa perlunya berteriak? Aku tidak takut padamu, Hek-giam-lo,” kata Lin Lin, malah dagunya yang runcing itu ia angkat, bibirnya tersenyum mengejek.
“Kau kenal padaku...?” Dalam suara yang menyeramkan itu terdengar bayangan heran.
“Siapa tidak mengenal Hek-giam-lo kaki tangan Kerajaan Khitan yang buas dan suka berlaku sewenang-wenang? Hemmm, agaknya tidak begitulah keadaan Khitan di waktu ibuku masih hidup, di waktu Raja Besar Kulukan masih berkuasa. Hek-giam-lo, kau secara sewenang-wenang telah mengubur hidup-hidup enci angkatku dan juga gadis-gadis lain. Hemm, kalau kakekku Raja Besar Kulukan masih hidup, apa kau berani berbuat seperti itu jahatnya?”
Tercenganglah Hek-giam-lo, biar pun tidak dapat dilihat pada mukanya, namun melihat ia diam tak bergerak, jelas bahwa ia tertegun. “Kau... kau... betulkah kau orang yang kucari-cari...? Sudah berkali-kali aku keliru....”
“Hek-giam-lo, kau berhadapan dengan puteri keturunan langsung dari Kakek Kulukan. Ibuku adalah Puteri Mahkota Tayami yang gagah perkasa, dan aku adalah Puteri Yalina!” Tiba-tiba sikap Lin Lin berubah sama sekali, ia kelihatan agung dan angkuh, sikap seorang puteri raja asli. Entah dari mana datangnya sikap ini, akan tetapi Lin Lin merasa bahwa sudah semestinya ia bersikap seperti ini, sikap seorang junjungan terhadap hamba sahayanya!
Seluruh tubuh Hek-giam-lo yang mengerikan itu tiba-tiba menggigil dan seperti orang yang tiba-tiba menjadi lemas, kedua kakinya ditekuk dan ia sudah berlutut! Akan tetapi suaranya masih membayangkan keraguan ketika ia berkata. “Be... betulkah ini...? Tidak tertipu lagikah... tidak keliru lagikah...?”
“Hek-giam-lo! Aku tahu kau orang kepercayaan paman tiriku, Kubukan Raja Khitan sekarang. Beranikah kau, yang hanya seorang hamba, tidak percaya kepada aku, puteri yang sebetulnya menjadi puteri mahkota? Apakah aku harus membuka bajuku memperlihatkan tanda merah pada punggungku kepadamu? Berani kau menghina aku seperti itu?” Bukan main sikap Lin Lin ini. Agaknya darah ibunya yang membuat ia seperti itu dan sekiranya Bu Sin dan Sian Eng menyaksikan sikapnya dan mendengar kata-katanya ini, tentu kedua orang saudara angkat itu akan terheran-heran.
“Ampun, Tuan Puteri! Ampunkan hamba, Tuan Puteri Yalina yang mulia! Alangkah bahagia hati hamba telah dapat menemukan Tuan Puteri yang telah belasan tahun dicari-cari. Marilah hamba antarkan Tuan Puteri pulang kepada bangsa kita, menghadap paman Paduka.”
Diam-diam Lin Lin terkejut juga. Dia seorang gadis yang cerdik sekali, dan maklumlah ia bahwa seorang aneh dan sakti seperti Hek-giam-lo ini, takkan mungkin dapat ia pengaruhi hanya mempergunakan kedudukannya. Ia sudah mendengar cerita enci-nya tentang tokoh ini dan ia tahu bahwa mau atau pun tidak, ia pasti akan dibawa ke Khitan oleh si tengkorak hidup.
Bukannya ia tidak suka, sebaliknya, ada sesuatu yang mendorong hatinya, yang membuat ia ingin sekali mengunjungi bangsa Khitan, seakan-akan ada panggilan darah yang secara gaib memanggil-manggilnya. Akan tetapi tidak sekarang, pula ia merasa berat untuk... berpisah dari Suling Emas! Menolak permintaan Hek-giam-lo, berarti ia akan dibawa ke utara secara paksa dan hal ini amatlah tidak baik, berarti menghilangkan atau mengurangi sikap yang demikian tunduk dari tokoh ini terhadapnya.
“Tentu saja, Hek-giam-lo. Aku pun ingin sekali mengunjungi Pamanku, dan melihat kampung halaman serta keluarga Ibuku. Akan tetapi apa perlunya tergesa-gesa? Kelak kalau sudah selesai semua urusanku, aku pasti akan pergi ke utara bertemu Paman...”
“Tidak bisa, Tuan Puteri. Paman Paduka sudah amat mengharap-harap dan perintahnya, kapan saja hamba bertemu dengan Paduka, harus hamba ajak Paduka pulang. Karena itu, marilah sekarang juga kita berangkat.”
Lin Lin berdebar jantungnya. Tak salah dugaannya, manusia iblis ini tentu akan memaksanya berangkat sekarang juga. Ia harus mencari akal....
“Sekarang? Tapi kita masih berada di sini sebagai tamu... perayaan Beng-kauw masih belum habis...”
“Ampun, Tuan Puteri. Urusan kita jauh lebih penting dari pada urusan negara Nan-cao dan Beng-kauw. Diketemukannya kembali Tuan Puteri merupakan kejadian yang maha penting bagi bangsa kita, hal-hal lain sama sekali tidak ada artinya, apa lagi urusan negara lain..., marilah kita berangkat, Tuan Puteri Yalina!” Tubuh yang mengerikan itu bergerak maju. “Ijinkan hamba memondong Paduka agar perjalanan dapat dilakukan cepat, Tuan Puteri.”
Lin Lin bergidik. Ia dapat merasa betapa di balik sikap dan kata-kata menghormat ini tersembunyi ancaman dan paksaan yang tak boleh dibantah lagi. Ia menjadi serba salah. Untuk melawan berarti ia akan menghilangkan keagungan sebagai puteri mahkota, dan ia takkan senang juga kalau melihat tokoh aneh dan sakti ini kehilangan sikapnya yang begitu merendah dan menghormat terhadapnya.
“Hek-giam-lo, aku memang juga amat ingin segera bertemu dengan Paman dan semua keluargaku di Khitan. Akan tetapi, Hek-giam-lo, sebagai seorang Puteri Mahkota Khitan, mana bisa aku mendiamkan saja orang menghinaku tanpa membalas?”
Sepasang mata di balik kedok tengkorak itu memancarkan cahaya yang membuat bulu tengkuk Lin Lin meremang. Seakan-akan ia melihat ada sinar api keluar dari situ.
“Tuan Puteri Yalina, siapakah gerangan berani menghina Paduka? Jangan khawatir, hamba Hek-giam-lo yang akan menghukumnya, sekarang juga! Harap Paduka sebutkan, siapa si bedebah itu?”
“Ada dua orang yang telah menghinaku, Hek-giam-lo. Pertama adalah tuan rumah di Nan-cao ini. Kau tidak tahu, tadi ketika aku mengagumi permata ya-beng-cu yang berada di ujung tongkat ketua Beng-kauw, Raja Nan-cao menyatakan bahwa kalau aku mau tinggal di sini selamanya, aku akan diberi hadiah permata ya-beng-cu. Nah, kau pikir, apakah ini bukan penghinaan besar? Aku, Puteri Mahkota Khitan, pujaan bangsa Khitan yang terkenal gagah perkasa, disuruh tinggal di sini, selamanya? Bukankah itu berarti bahwa aku akan dijadikan budak atau selir? Hek-giam-lo, kau rampas tongkat Beng-kauw itu untukku. Dengan membawa tongkat itu, baru aku mau pergi ke Khitan dan hal ini selain akan memberi hajaran kepada Beng-kauwcu dan Nan-cao, juga akan membuka mata dunia akan kebesaran Khitan yang tak boleh dipermainkan bangsa lain.”
“Tongkat Beng-kauwcu...?” Biar pun dia seorang tokoh besar, malah seorang di antara enam iblis, terang bahwa Hek-giam-lo kaget juga mendengar perintah ini.
“Kenapa? Apakah kau takut? Ihhh, jagoan Khitan takut terhadap ketua Beng­kauw?”
“Hamba tidak takut terhadap siapa pun juga. Akan tetapi tongkat itu adalah lambang kekuasaan ketua Beng-kauw, juga sekaligus merupakan barang keramat dari Kerajaan Nan-cao. Kalau kita ambil, bukankah hal itu akan menimbulkan sengketa antara Khitan dan Nan-cao?”
“Khitan tidak bermaksud bermusuhan dengan negeri lain, akan tetapi juga tidak sudi menelan penghinaan begitu saja! Tongkat itu hanya kita pinjam dan kita bawa ke Khitan. Kalau Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao sudah menginsyafi kesalahan mereka yang menghinaku, baru kita kembalikan dan kita juga menyatakan maaf. Dengan demikian, baru kejayaan negara dapat dipertahankan. Kalau tidak, bagaimana kelak rendahnya nama Khitan kalau terdengar bahwa Raja Nan-cao pernah membujuk Puteri Mahkota Khitan menjadi bujang atau selir?”
Kena juga akhirnya tokoh iblis ini ‘dibakar’ oleh Lin Lin yang memang semenjak kecil pandai sekali bicara. Tampak si kedok tengkorak itu mengangguk-angguk, kemudian berkata singkat. “Tuan Puteri betul, hamba menurut, tongkat akan hamba curi.”
“Bagus! Sekarang musuhku yang kedua, Hek-giam-lo. Kau tahu, aku sedang mencari seorang musuh besarku, yaitu pembunuh ayah bunda angkatku di kaki Gunung Cin-ling-san tahun yang lalu. Menurut persangkaanku, pembunuhnya tentulah Suling Emas, biar pun ia menyangkal. Kau tangkap dia, jadikan tawanan dan kita bawa bersama ke Khitan.”
Suara ah-uh-ah-uh yang keluar dari mulut di balik tengkorak itu menyetop kata-kata Lin Lin lebih lanjut.
“Kenapa, Hek-giam-lo? Kau takut kepada Suling Emas ini? Aku sih tidak takut!”
“Hamba juga tidak takut, akan tetapi... urusan ini... tidaklah begitu mudah, malah agaknya lebih sukar dari pada mengambil tongkat Beng-kauwcu. Siapakah ayah pungut Paduka yang terbunuh itu?”
“Ayah angkatku adalah Jenderal Kam Si Ek di...”
Tiba-tiba tubuh berselubung hitam itu bergoyang-goyang, entah bagaimana tarikan muka di belakang kedok itu, akan tetapi yang terang kata-katanya terdengar amat ketus, “Kam Si Ek? Musuh besar kita itu! Tuan Puteri Yalina, Kam Si Ek itulah pembunuh banyak bangsa kita. Dialah musuh besar orang Khitan!”
Sejenak Lin Lin bingung, akan tetapi gadis yang cerdik ini teringat akan cerita yang pernah ia dengar, baik dari bibi gurunya mau pun dari kakek Kim-lun Seng-jin, betapa mendiang ayah angkatnya itu dahulu memimpin pasukan menggempur bangsa Khitan dan bahwa dia sendiri mungkin sekali dipungut anak dalam peperangan itu di mana ibunya gugur. Hanya sejenak ia bingung, kemudian berkata.
“Sudahlah kalau begitu, sekarang kau pergilah curi tongkat pusaka itu, aku akan menanti di sini.” Tentu saja tiada niat di hati Lin Lin untuk menanti di tempat itu. Ia hanya ingin supaya makhluk yang mengerikan ini pergi meninggalkannya.
“Paduka akan berangkat sekarang juga....”
Ucapan Si Tengkorak Hitam itu benar-benar membuat wajah Lin Lin menjadi pucat. “Apa kau bilang? Lebih dulu ambil tongkat...”
Akan tetapi Hek-giam-lo tidak mempedulikannya. Tengkorak Hitam ini berdongak ke atas dan tiba-tiba terdengar suara yang amat tinggi, hampir tidak kedengaran, terdengar terus-menerus dan sambung-menyambung.
“Mau apa kau? Hek-giam-lo, apa yang kau lakukan ini...?” berkali-kali Lin Lin bertanya.
Akan tetapi Hek-giam-lo hanya mengangkat tangan kiri ke atas dan suara yang keluar dari balik kedoknya tak pernah berhenti. Lin Lin tiba-tiba merasa betapa jantungnya seperti berdetik, tubuhnya panas dingin dan kepalanya pening. Ia sudah bergoyang-goyang dan hampir terhuyung karena kedua kakinya juga menjadi lemas, telinganya seperti penuh dengan suara mendesis tinggi.
Terkejutlah Lin Lin dan ia dapat menduga bahwa iblis di depannya ini tentulah mengeluarkan suara yang mengandung penuh tenaga khikang tinggi semacam ilmu ho-kang (auman) yang hanya dapat dilakukan oleh orang sakti yang amat tinggi ilmunya. Cepat Lin Lin meramkan kedua matanya dan menahan napas, memusatkan panca indera, mengerahkan sinkang untuk diputar-putar di seluruh tubuh melindungi dirinya dari serangan tak langsung tapi cukup hebat itu.
Benar saja, segera semua rasa tidak enak tadi lenyap, tapi ia kini dapat mendengar suara mendesis tinggi yang bergema di seluruh penjuru, seakan-akan dunia ini penuh oleh suara itu. Dan lapat-lapat terdengar desis yang agak rendahan dari sebelah barat, seakan-akan ada yang menjawab suara Hek-giam-lo itu.
Lewat sepuluh menit kemudian, suara mendesis-desis itu berhenti. Lin Lin membuka kedua matanya dan... bukan Hek-giam-lo yang kini berada di depannya, melainkan seorang kakek yang buntung kedua kakinya! Kakek ini usianya tentu lebih enam puluh tahun, wajahnya biasa saja, alisnya tebal kasar dan mulutnya selalu tersenyum mengejek. Kakek ini berdiri di atas kedua tongkatnya yang berfungsi sebagai pengganti kaki tongkat dari logam putih yang terkempit di kedua ketiaknya.
“Kau... kau siapa?” Lin Lin bertanya gugup dan memandang ke sana ke mari mencari Hek-giam-lo yang tiba-tiba lenyap. Apakah Hek-giam-lo membuang kedok dan selubung hitamnya dan menjadi kakek ini? “Mana Hek-giam-lo?”
Kakek itu membungkukkan tubuhnya. “Tuan Puteri Yalina, hambamu ini adalah Pak-sin-tung (Tongkat Sakti Utara) yang bertugas mengantar Paduka kembali ke Khitan. Ada pun Suheng (Kakak Seper­guruan) Hek-giam-lo pergi untuk melaksanakan perintah Paduka. Marilah, Tuan Puteri, tak baik berlama-lama di sini. Suheng memesan agar supaya hamba mengajak Paduka sekarang juga.”
Sejenak Lin Lin tertegun. Ah, kira­nya suara mendesis-desis tadi adalah suara Hek-giam-lo memanggil sutenya ini untuk mewakilinya mengantar dia ke utara. Celaka, tak disangkanya Hek-giam-lo demikian cerdiknya dan mempunyai pembantu. Dengan sinar mata tajam penuh selidik Lin Lin menatap kakek di depannya itu. Seorang kakek yang kedua kakinya buntung, agaknya di atas lutut. Mengerikan dan juga menimbulkan kasihan.
Kakek begini disuruh mengantarnya ke Khitan? Hemmm, apa susahnya memisahkan diri, meninggalkan kakek ini? Tentu sebagai sute dari Hek-giam-lo, Pak-sin-tung ini memiliki ilmu kepandaian pula, dan menilik julukannya, tentu ahli main tongkat. Namun, betapa seorang yang tidak mempunyai kaki dapat bersilat dengan baik? Agaknya terhadap orang ini tidak perlu dikhawatirkan.
“Baiklah, Pak-sin-tung. Mari kita berangkat.” kata Lin Lin, di dalam hatinya mengambil keputusan kalau mereka sudah tiba di luar kota yang sunyi di mana tidak ada Hek-giam-lo yang akan merintanginya, ia akan melarikan diri dari pengawasan si buntung ini. Akan tetapi, Lin Lin merasa tidak enak hati sekali melihat senyum mengejek pada wajah kakek ini.
“Mari, Tuan Puteri, hamba iringkan. Kita keluar dari pintu utara saja.”
Berangkatlah kedua orang ini. Pintu gerbang kota raja sebelah utara ini memang sunyi, juga merupakan daerah pegunungan. Girang hati Lin Lin. Agaknya kakek ini menghendaki perjalanan yang paling pendek, akan tetapi sungguh kebetulan bagi Lin Lin yang menghendaki tempat sunyi di mana ia dapat melarikan diri tanpa ada yang menghalanginya. Akan tetapi, melihat betapa sepasang tongkat itu mewakili fungsi kaki demikian baiknya, malah lebih baik agaknya, begitu cepat dan ringan serta gesit, diam-diam Lin Lin merasa gelisah juga. Memang kakek itu ‘berjalan’ agak terpincang-pincang dan terbongkok-bongkok, akan tetapi harus ia akui amat cepat.
Setelah tiba di jalan sunyi Lin Lin sengaja mengerahkan kepandaiannya berlari cepat. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa kakek buntung itu dengan enak saja dapat bergerak cepat di belakangnya, sedikit pun tidak ketinggalan!
Ketika ia menoleh, kakek itu ter­senyum lebar dan berkata, “Untung sekali Paduka dapat berlari secepat ini, kalau tidak, terpaksa hambamu ini akan menggendong Paduka agar perjalanan dilakukan lebih cepat.”
Lin Lin tidak menjawab. Mereka melalui pintu gerbang yang dijaga oleh beberapa orang tentara Nan-cao. Karena hari itu adalah hari besar dan para penjaga maklum akan banyaknya tamu-tamu aneh dari luar kota, mereka tidak mengganggu Pak-sin-tung dan Lin Lin, akan tetapi tak dapat dicegah lagi pandang mata mereka melotot penuh kekaguman memandang Lin Lin yang cantik jelita. Agar tidak memancing keonaran, Lin Lin pura-pura tidak melihat pandang mata kurang ajar itu, malah ia melangkah makin cepat keluar dari Kota Raja Ke­rajaan Nan-cao. Sebentar saja mereka sudah tiba di luar tembok kota dan Lin Lin segera mempergunakan ilmunya Khong-in-ban-kin untuk berlari cepat dengan maksud meninggalkan Pak-sin-tung.
“Heiiiii! Wah, ilmu lari cepat Paduka ini hebat sekali...!” seru si buntung kaki itu, akan tetapi alangkah kaget hati Lin Lin ketika melihat betapa kakek buntung itu tetap saja dapat mengikutinya.
“Pak-sin-tung, aku tidak mau berangkat sekarang!” tiba-tiba Lin Lin berhenti berlari. Mereka sudah jauh dari tembok kota, akan tetapi tembok itu masih tampak dari situ.
“Apa maksud Paduka?”
“Kau pergilah sendiri, aku tidak mau pergi ke Khitan sekarang. Aku masih banyak urusan yang harus kuselesaikan sendiri. Kelak saja aku pasti akan datang ke Khitan berkunjung kepada Paman Baginda.”
Akan tetapi senyum mengejek itu tak pernah meninggalkan muka Pak-sin-tung, malah ia berkata dengan suara tenang. “Ampun Tuan Puteri. Hamba sudah menerima tugas, harus membawa Paduka ke Khitan, apa pun yang akan terjadi.”
“Kalau aku tidak mau?” bentak Lin Lin.
“Terpaksa akan hamba dukung sampai ke Khitan.”
“Srattt!” Lin Lin sudah mencabut pedangnya yang tadi ia terima kembali dari tangan Suling Emas di tempat pesta. Pedangnya itu dahulu lenyap ketika ia bertanding melawan Toat-beng Koai-jin, akan tetapi ketika ia bertemu dengan Suling Emas, kiranya pedang itu dibawa oleh pendekar itu dan dikembalikan kepadanya.
“Pak-sin-tung, kau boleh coba kalau bisa!” Kini Lin Lin menantang.
“Pedang pusaka Besi Kuning...!” Pak-sin-tung meratap, wajahnya pucat dan kedua tongkatnya melangkah-langkah mundur. “Tidak... hamba tidak berani... tidak berani...”
Besar hati Lin Lin dan sekarang tahulah ia bahwa Kakek Kim-lun Seng-jin tidak bohong ketika berkata bahwa Pedang Besi Kuning itu dahulunya adalah pusaka Khitan. Agaknya kakek buntung ini mengenal pusaka itu dan karenanya menjadi ketakutan. Akan tetapi ia harus memperlihatkan kelihaiannya di samping pengaruh pedang pusaka itu, maka ia membentak.
“Kau masih berani membantah perintah junjunganmu? Rasakan ini!” Dengan gerakan cepat Lin Lin menerjang dengan pedangnya.
“Ti... tidak, hamba tidak berani...,” kakek buntung itu meloncat ke atas, tongkatnya bergerak-gerak dan ke mana pun juga pedang itu menerjang, selalu dapat dihalau tongkat.
Hebat sekali kakek ini. Biar pun kedua kakinya buntung, namun kelincahan gerakannya tidak kalah oleh orang yang berkaki utuh. Pertemuan senjata pedang dengan tongkat itu saja sudah membuktikan kepada Lin Lin bahwa kakek buntung ini benar-benar tak boleh dipandang rendah, karena setiap kali senjata bertemu, tangannya menjadi tergetar hebat, padahal ia sudah mengerahkan Khong-in-ban-kin!
“Ampun, Tuan Puteri, hamba percaya sekarang, harap jangan marah....”
Lin Lin seorang cerdik. Ia maklum bahwa kalau dilanjutkan mendesak kakek ini, dalam pertempuran sungguh-sungguh, belum tentu ia akan mampu menang, apa lagi kalau datang jago-jago lain dari Khitan, siapa tahu? Orang-orang sakti yang begini lihai, sebaiknya ditarik menjadi kawan dari pada didesak menjadi lawan. Ia membutuhkan bantuan mereka, terutama bantuan Hek-giam-lo, untuk... menawan Suling Emas!
Hasrat hati ini timbul ketika ia mulai merasa cemburu terhadap Liu Hwee dan sekaligus timbul bencinya terhadap Beng-kauw. Terhadap Suling Emas ia juga benci, bukan benci kepada orangnya, melainkan benci kalau mengingat betapa pendekar itu mencinta orang lain. Ia ingin memberi ‘hajaran’ kepada Suling Emas, ingin menawannya, membawanya ke Khitan. Di samping ini, juga dengan bantuan jagoan-jagoan Khitan ini ia ingin menemukan dan menghukum pembunuh ayah bunda angkatnya, ingin pula menemukan kakak angkatnya, Kam Bu Song.
“Pak-sin-tung, kalau kau menurut perintahku dan tidak melawan aku pun mana suka bertentangan dengan orang sendiri? Percayalah, aku ingin sekali pergi menghadap Paman Baginda di Khitan. Akan tetapi aku baru mau pergi setelah semua urusanku di sini selesai. Dan aku mengharapkan bantuanmu, bantuan Hek-giam-lo dan saudara-saudara lain lagi untuk menyelesaikan urusanku itu. Bagaimana? Apakah selain kau dan Hek-giam-lo, masih ada teman-teman lain yang dapat membantuku di sini?”
Kini kakek buntung itu duduk di atas tanah, kedua tongkatnya dilonjorkan kanan kiri tubuhnya, matanya memandang takjub kepada Pedang Besi Kuning di tangan Lin Lin. “Ajaib...,” katanya perlahan, “... pedang pusaka Besi Kuning sudah berada di tangan Paduka pula... ajaib... agaknya inilah isyarat dan tanda dari langit....”
“Apa maksudmu? Pak-sin-tung, kau tidak menjawab pertanyaanku, bicara tidak karuan!”
“Maaf, Tuan Puteri. Hamba bersumpah akan membantu Paduka dengan setia, akan mentaati semua perintah Paduka. Sri Baginda telah mengutus Pek-bin-ciangkun (Perwira Muka Putih), mewakili Khitan memberi selamat kepada Nan-cao dan Beng-kauw sambil menyerahkan barang sumbangan. Hambamu ini dan Suheng Hek-giam-lo mengawal secara sembunyi. Juga seregu pasukan pendam terdiri dari dua losin orang prajurit pilihan mengawal secara berpencar dan sembunyi, semua siap mentaati perintah Paduka.”
“Bagus! Panggil mereka berkumpul di sini, aku hendak memberi penjelasan tentang rencanaku, supaya jangan gagal.”
Pak-sin-tung mengangguk-angguk, lalu mulutnya diruncingkan dan terdengarlah desis yang makin lama makin tajam sehingga kembali Lin Lin, seperti halnya ketika Hek-giam-lo tadi memanggil Pak-sin-tung, merasa dadanya sesak. Cepat gadis ini meramkan mata dan mengerahkan sinkang untuk melawan getaran hebat itu. Ada seperempat jam suara itu mendesis-desis dan tiba-tiba terhenti.
Lin Lin mendengar gerakan banyak orang dan ketika ia membuka matanya, kiranya di situ sudah berkumpul dua puluh empat orang laki-laki yang beraneka ragam pakaiannya. Ada yang berpakaian seperti pedagang, pengemis, pelajar, dan lain-lain, akan tetapi kesemuanya bersikap gagah perkasa dan kini mereka sudah berlutut dengan hormat di depannya dengan barisan berjajar di belakang Pak-sin-tung!
“Hamba sekalian sudah berkumpul dan siap menanti perintah Tuan Puteri Yalina!” kata Pak-sin-tung.
Tak dapat dicegah oleh Lin Lin rasa bangga dan mekar di dalam dadanya. Inilah hebat, pikirnya dan yang luar biasa adalah kenyataan bahwa tidak merasa hal ini aneh, malah seperti sudah sewajarnya dan sudah seharusnya demikian!
“Kalian semua dengarlah baik-baik,” katanya sambil memasukkan Pedang Besi Kuning ke dalam sarungnya. “Untuk menjunjung nama besar Khitan dan memberi peringatan kepada Nan-cao negara kecil ini agar lain kali tidak berani memandang rendah kepada kita, aku telah memerintahkan Hek-giam-lo untuk mencuri atau merampas tongkat ya-beng-cu dari tangan Beng-kauwcu. Sekarang aku minta kalian membantuku untuk dua urusan lain. Pertama, menangkap dan menawan Suling Emas hidup-hidup, kita bawa dia ke Khitan.”
Lin Lin tidak pedulikan betapa orang-orang itu saling pandang dengan muka kaget, malah ia melanjutkan kata-katanya, “Kedua, kalian bantu aku menangkap Suma Boan putera pangeran dari Kerajaan Sung itu untuk dipaksa mengaku siapa sebetulnya orang yang bernama Kam Bu Song, dan di mana sekarang ia berada. Setelah ia menunjukkan di mana adanya Kam Bu Song, kalian boleh siksa ia sekedarnya tapi tak usah dibunuh, lalu dilepaskan dia kembali. Mengerti?”
“Hamba mengerti, Tuan Puteri,” jawab Pak-sin-tung mewakili anak buahnya. “Biarlah hamba yang menemani Paduka, ada pun saudara-saudara ini siap secara bersembunyi, tentu sewaktu-waktu dapat datang jika hamba panggil.”
“Baiklah, Pak-sin-tung. Dan mari kita kembali ke kota raja.” Dua puluh empat orang itu tetap berlutut ketika Lin Lin dan Pak-sin-tung berangkat, kembali ke pintu gerbang dari mana tadi mereka keluar.....
********************
Lanjut ke jilid 15

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)