CINTA BERNODA DARAH : JILID-12
Biar pun teriakan Suling Emas itu bagaikan halilintar dan sulingnya
digerakkan menjadi segulungan awan kuning yang hebat, ditambah pula di
sebelahnya terdapat Lin Lin yang juga menggerakkan pedangnya sehingga
gulungan sinar kuning yang lebih muda menyilaukan mata dan mengandung
hawa dingin mengancam para pengurung, namun puluhan orang yang mengurung
mereka itu tidak mau mundur, malah mendesak makin hebat.
“Jangan kira aku takut, tikus-tikus tak tahu diri!” Suling Emas membentak dan terdengarlah bunyi senjata yang patah-patah ketika sulingnya bergerak membabat pedang dan golok yang malang-melintang di depannya. “Lin Lin, serang dan robohkan mereka, tapi jangan bunuh!”
Akan tetapi jumlah pengeroyok makin banyak dan mereka berteriak-teriak, “Bunuh anjing pengkhianat! Jangan percaya omongan anjing penjilat Sung Utara!”
Dalam perjalanan mereka ke Nan-cao, Suling Emas dan Lin Lin tiba di luar kota Ban-in di pinggir Sungai Yang-ce-kiang. Di tempat inilah mereka dihadang kemudian dikeroyok oleh banyak sekali orang yang kesemuanya mahir ilmu silat dan membawa senjata. Hal ini saja cukup membayangkan bahwa mereka ini memang sudah berjaga di situ, dan bahwa pencegatan terhadap Suling Emas dan Lin Lin memang sudah diatur lebih dulu.
Biar pun puluhan orang pengeroyok itu adalah orang-orang yang melihat gerakan-gerakannya, ternyata pandai mainkan senjata tajam, namun mereka bukanlah lawan Lin Ling apa lagi Suling Emas. Sebentar saja golok-golok dan pedang-pedang berpelantingan, dan tubuh-tubuh terluka roboh saling tindih. Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang menggetarkan bumi. Agaknya suara ini merupakan komando karena para pengeroyok makin nekat dan mendesak, kemudian muncullah di antara para pengeroyok itu dua orang yang hebat-hebat.
Mereka adalah dua orang laki-laki tua yang hampir telanjang. Hanya cawat dan celana yang menutupi tubuh mereka. Biar pun keduanya sama menjijikkan seperti binatang atau manusia hutan yang liar, namun keadaan mereka jauh berbeda. Yang seorang bertubuh gemuk dan di tengkuknya terdapat daging punuk yang besar seperti punuk di punggung sapi jantan. Kedua lengannya panjang berbulu, kelihatan kuat sekali, sedangkan sepuluh jari tangannya berkuku panjang dan kotor. Kepalanya gundul, mata dan mulutnya membayangkan kebuasan yang mengerikan.
Orang kedua tinggi kurus, juga tak berbaju, hanya bercawat, juga gundul dan mukanya sama buas dan mengerikan. Kita pernah bertemu dengan yang tinggi kurus itu, karena ia bukan lain adalah Tok-sim Lo-tong, sahabat baik It-gan Kai-ong yang melakukan perjalanan bersama Suma Boan. Ada pun yang gendut itu juga bukan tokoh sembarangan, karena dia adalah kakak Si Tinggi Kurus, berjuluk Toat-beng Koai-jin (Manusia Aneh Pencabut Nyawa)! Seperti juga Tok-sim Lo-tong, Toat-beng Koai-jin ini termasuk seorang di antara Thian-te Liok-koai Si Enam Jahat.
Melihat munculnya dua orang kakak beradik ini, kagetlah Suling Emas, akan tetapi ia pun menjadi marah sekali. “Aha, kiranya Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong dua manusia buas yang berdiri di belakang semua ini? Kalian mau apa?”
“Heh-heh, Suling Emas, menyerah kau dan gadis itu!” Toat-beng Koai-jin menggeram, air liurnya menetes dari pinggir mulut. Lin Lin mengkirik penuh kengerian.
“Suling Emas, menyerahlah menjadi tawananku kalau mau selamat!” si Tinggi Kurus Tok-sim Lo-tong mengeluarkan suaranya yang tak enak didengar.
Tiba-tiba Suling Emas tersenyum lebar dan Lin Lin yang menoleh kepadanya menjadi bengong. Baru kali ini ia melihat Suling Emas tersenyum lebar. Wajahnya berubah sekali, kemuraman lenyap, wajah itu berseri-seri menjadi amat tampan. Alangkah inginnya dapat melihat Suling Emas seperti itu selalu!
“Kalian kira aku manusia macam apa, bisa kalian ancam untuk menyerah?”
“Heh-heh, aku tahu kau tentu melawan. Lebih baik lagi, tinggal menyeret bangkaimu kubawa pulang!” Toat-beng Koai-jin terkekeh lalu menerjang maju, menubruk Lin Lin. Gerakannya kelihatan lambat, tubuhnya begitu besar dan kaku akan tetapi entah bagaimana, tubrukan ini hampir tak terhindarkan oleh Lin Lin! Baiknya ia cepat mengayun pedang yang menjadi sinar kuning berkelebat di depan tubuhnya, merupakan senjata yang amat kuat dan agaknya Toat-beng Koai-jin maklum pula akan keampuhan pedang pusaka ini maka ia menggeram dan mengubah gerakan menubruk menjadi gerakan mencengkeram dari samping bawah!
Sementara itu Tok-sim Lo-tong juga sudah mengeluarkan senjata istimewa, yaitu seekor ular yang besar dan panjang. Ular dilibatkan di leher dan pinggang, ia sendiri memegang leher ular dan bersilatlah ia dengan kacau-balau menerjang Suling Emas. Biar pun kelihatannya ia berjingkrak dan bersilat kacau-balau seperti itu, namun Suling Emas yang sudah mengenalnya maklum bahwa si Tinggi Kurus ini amat hebat kepandaiannya. Justeru di dalam kekacau-balauan gerakan inilah terletak kekuatannya, apa lagi ‘senjata’ ular hidup itu bisa mulur dan mengkeret, amat sukar diduga perkembangannya. Angin pukulan yang menyambar-nyambar disertai bau amis dan berbisa, membayangkan tenaga sinkang yang mukjijat, bercampuran dengan hawa ilmu hitam dan hawa beracun. Di samping ini, masih banyak sekali orang yang mengeroyok Suling Emas dari kanan kiri dan belakangnya.
Mendapat lawan Tok-sim Lo-tong yang lihai ditambah banyak pengeroyok itu sama sekali tidak membikin gentar hati Suling Emas, akan tetapi yang membuat ia khawatir sekali adalah keadaan Lin Lin. Ia maklum bahwa betapapun lihainya Lin Lin dengan ilmu warisan dari Kim-lun Seng-jin, namun gadis itu masih jauh belum cukup kuat untuk menandingi seorang lawan yang seperti Toat-beng Koai-jin, seorang di antara Thian-te Liok-koai.
“He, Toat-beng si Lembu Edan, tidak malukah kau melawan seorang gadis cilik? Hayo kau sekalian maju mengeroyokku!” bentak Suling Emas seraya mainkan sulingnya sedemikian rupa sehingga gulungan sinar sulingnya itu menahan semua pengeroyok.
Akan tetapi kiranya malah Lin Lin yang menjawab, “Siapa gadis cilik? Aku bukan kanak-kanak lagi. Monyet gundul liar menjemukan, jangan dengarkan dia, hayo kau layani pedangku kalau memang berani! Lihat, ujung pedangku akan mendodet perutmu yang gendut kebanyakan makan itu!” Lin Lin menerjang hebat sambil memutar pedangnya dan dengan hati-hati. Karena maklum akan kelihaian lawan, ia mainkan ilmunya Khong-in-liu-san sambil mengerahkan tenaga sakti dengan Ilmu Khong-in-ban-kin.....
Toat-beng Koai-jin yang tadinya memandang rendah dan menyerbu gadis itu sambil tertawa-tawa, diam-diam kaget juga ketika melihat jurus-jurus yang dimainkan Lin Lin. Biar pun ia kelihatan buas dan liar seperti orang hutan, namun sebagian besar ilmu silat di dunia kang-ouw telah dikenalnya, maka ia mengenal pula Ilmu Khong-in (Awan Kosong) ini.
“Heh, kau murid Kim-lun Seng-jin? Bagus, tentu gurih dagingmu dibakar setengah matang. Heh-heh!” Tiba-tiba kakek liar ini menyambar dua orang pengeroyok Suling Emas, memegang pada kakinya dan menggunakan dua ‘senjata hidup’ ini menerjang Lin Lin.
Lin Lin kaget setengah mati. Terpaksa ia menggerakkan pedang menangkis.
“Crak! Crak!” darah menyembur karena tubuh dua orang itu terbabat putus oleh pedangnya!
Kakek itu tertawa-tawa dan... menggelogok darah yang tersembur ke luar itu ke dalam mulutnya, seperti orang kehausan minum air es! Kemudian ia melemparkan dua mayat itu dan sekali lagi ia menyambat kaki dua orang pengeroyok.
Lin Lin meramkan matanya melihat kakek itu minum darah, wajahnya menjadi pucat dan kakinya menggigil. Tapi kembali Toat-beng Koai-lojin sudah menerjangnya dengan dua ‘senjata hidup’. Lin Lin kewalahan, terpaksa kembali ia menangkis dan kembali dua orang itu mati seketika dengan perut dan dada terbelah. Tangan Lin Lin yang memegang pedang gemetar dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, tiba-tiba kakek itu telah menubruknya dan sebuah ketukan keras pada pergelangan tangannya membuat Lin Lin terpaksa melepaskan pedangnya. Tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan ia sudah disambar oleh Toat-beng Koai-jin yang tertawa terkekeh-kekeh sambil membawa lari tubuh Lin Lin yang lemas.
“Toat-beng Koai-jin, kalau kau mengganggu dia, aku bersumpah akan menyiksamu dan memotong-motong dagingmu sekerat demi sekerat!” bentakan Suling Emas ini keras sekali. Tiba-tiba sulingnya melakukan gerakan-gerakan aneh sekali, begitu halus akan tetapi mengandung kekuatan yang bukan main sehingga dalam sekejap mata enam orang pengeroyok terguling roboh sedangkan Tok-sim Lo-tong sendiri terdorong mundur sampai lima langkah.
“Ihhhhh... ilmu apakah ini...?” Tok-sim Lo-tong berseru kaget, akan tetapi ia mendesak lagi, dibantu oleh para pengeroyok yang nekat, menghalangi Suling Emas mengejar Toat-beng Koai-jin. Memang hebat gerakan Suling Emas tadi. Dalam kemarahan dan kegelisahannya melihat Lin Lin tertawan, ia tadi mainkan jurus dari ilmu silat yang ia terima dari Bu Kek Siansu. Girang hatinya melihat hasil ini, dan tahulah ia bahwa ilmu silat sastra ini sama sekali tidak dikenal Tok-sim Lo-tong sehingga tentu saja hasilnya amat baik.
Cepat sulingnya bergerak lagi, membuat huruf KOK (Negara). Huruf ini mengandung gerakan dalam yang rumit, akan tetapi dilingkari garis-garis segi empat yang melengkung. Kembali empat orang pengeroyok roboh dan ketika tubuh Suling Emas melayang dalam pembuatan gerakan melingkar, tahu-tahu ia telah bebas dari pengepungan dan cepat ia berkelebat mengejar ke arah larinya Toat-beng Koai-jin. Akan tetapi yang dikejar telah lenyap, tidak tampak bayangannya lagi.
Suling Emas memasuki kota Ban-sin, langsung menuju ke rumah Ouw-kauwsu, seorang guru silat di kota itu yang dikenalnya. Ouw-kauwsu terkejut dan girang bukan main melihat munculnya pendekar sakti ini. Cepat ia menjura dengan hormat dan dengan wajah berseri-seri ia berkata. “Wahai, tak pernah mimpi siauwte akan menerima kehormatan besar dengan kunjungan Taihiap (Pendekar Besar)!”
“Ouw-kauwsu, ada urusan penting. Maaf, aku ingin singkat saja. Tahukah kau di mana aku dapat menjumpai Toat-beng Koai-jin? Lekas, sekarang juga!”
Berubah wajah Ouw-kauwsu, terang bahwa dia menjadi ketakutan. “Memang... memang kulihat dia dalam bulan ini berada di Ban-sin, biasanya dia di... di dalam kuil...”
“Heh-heh-heh, Suling Emas. Tak usah repot-repot, aku sudah berada di sini!” tiba-tiba terdengar suara keras dan parau.
Suling Emas dan Ouw-kauwsu cepat memutar tubuh dan... kiranya manusia iblis yang dijadikan bahan percakapan itu telah berada di situ, duduk nongkrong di atas tiang melintang dekat langit-langit rumah sambil menggerogoti daging dari tulang paha, entah paha apa!
Dan pada saat itu juga, terdengar suara orang mengomel, “Nanti dulu... tenanglah, kau ajak aku berlari-lari. Kalau betul dia Suling Emas, mau apakah? Mau suruh dia tiup suling? Eh, tidak enak memasuki rumah orang seperti ini. Heee, tuan atau nyonya rumah, ke mana kalian? Wah, agaknya rumah kosong....”
Muncullah orangnya yang berkata-kata itu. Kiranya dia seorang kakek pendek, kumis dan jenggotnya jarang, sikapnya lucu dan selalu terkekeh. Di belakangnya berjalan seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Sian Eng. Begitu memasuki ruangan itu, kakek lucu ini melihat Suling Emas dan Ouw-kauwsu berdongak memandang ke atas. Ia pun ikut memandang dan tiba-tiba ia berseru kaget.
“Eh, eh, anak nakal... kenapa kau naik ke sana? Hayo turun lekas... wah, kalau jatuh bisa pecah punukmu. Turun... turun...!” Ia menggapai-gapai tangannya menyuruh turun. Akan tetapi Toat-beng Koai-jin hanya memandang sambil menyeringai dan melanjutkan kesibukannya yaitu menggerogoti daging.
Kakek pendek itu makin gugup. “Kau tidak turun? Celaka... wah, aku paling ngeri melihat orang jatuh dari tempat tinggi... hayo turunlah...!” Ia lalu menghampiri tiang dan mulailah ia memanjat ke atas seperti seorang kanak-kanak memanjat pohon kelapa! Setelah ia tiba di atas, hampir sama tingginya dengan tempat di mana Toat-beng Koai-jin duduk nongkrong matanya terbelalak ketakutan.
“Kau makan apa itu? Hiiiiihhh, daging itu masih mentah! Lihat ada darahnya, wah-wah, kau memang bocah nakal. Bisa kembung perutmu. Eh, bukankah kau ini si nakal Toat-beng Koai-jin? Ya, kukenal punukmu itu! Ihhh, tentu daging manusia yang kau makan. Wah, seram... seram...!”
********************
Bagaimanakah Sian Eng bisa datang bersama kakek pendek yang lucu ini dan siapakah gerangan kakek itu? Seperti telah kita ketahui, Sian Eng pergi bersama Suma Boan ke gedung indah milik adik Suma Boan yang bernama Suma Ceng. Seperti telah diduga oleh Sian Eng, setelah berada di dalam kamar berdua dengan bekas kekasih kakaknya ini, ia mendengar banyak tentang diri Bu Song. Kiranya cerita yang ia dengar dari Suma Ceng tiada bedanya dengan yang sudah didengarnya dari Suma Boan, hanya tentu saja, dari mulut Suma Ceng terdengar berlainan. Terang bahwa nyonya muda cantik ini benar-benar mencintai Bu Song.
“Dia meninggalkan aku...” Suma Ceng mengakhiri ceritanya sambil menghapus air matanya. “Tapi... untung Boan-ko (Kakak Boan) menolongnya dan ia tidak sampai tewas. Aku dipaksa kawin... sekarang sudah tiga orang anakku... suamiku baik terhadapku... aku berusaha melupakannya sedapat mungkin, tapi... tapi....” kembali ia menangis perlahan, “yang menyedihkan hatiku, aku tidak tahu bagaimana nasibnya sekarang, di mana ia berada... kalau saja dia sudah menikah dengan gadis lain dan hidup bahagia... akan terobatilah hatiku....”
Sian Eng ikut menangis. Terharu hatinya mendengar cerita yang menyedihkan tentang asmara gagal yang diderita nyonya muda ini dan kakaknya. “Betapa pun juga, kau sudah berumah tangga, sudah berputera, harap jangan memikirkan kakakku lagi,” kata Sian Eng. “Dan kurasa kakakku juga berusaha melupakan peristiwa itu....”
“Tak mungkin! Bu Song takkan dapat melupakan aku, sampai mati pun takkan ia dapat melupakan aku! Kami... kami... ah...!” kembali nyonya muda itu menangis sedih. “Siapa tahu... ia malah telah membawa cinta kasihnya ke balik kubur....” terisak-isak ia kini. “Kalau aku tahu... ah, aku pun lebih baik mati....”
Terkejut juga hati Sian Eng. Bukan main! Kiranya cinta kasih antara mereka itu sudah demikian hebat. “Enci yang baik, harap kau tenangkan hatimu. Kakakku Bu Song belum mati dan besok aku diajak oleh Suma-kongcu menyusulnya. Kalau aku bertemu dengan kakakku, aku akan sampaikan pesanmu kepadanya, akan kubujuk dia supaya menikah dengan gadis lain.”
Mata yang agak merah karena tangis itu memandangnya. “Betulkah? Benar-benar Boan-ko tahu di mana adanya Bu Song? Hati-hati, Adik Sian Eng... dia... kakakku itu....”
Melihat keraguan ini, Sian Eng timbul curiga. “Ada apa dengan kakakmu?”
“Dia baik, baik sekali kepadaku dan aku amat sayang kepadanya. Kami hanya berdua saudara dan dia amat sayang pula kepadaku. Tapi... tapi... ah, bagaimana aku bisa membiarkan adik Bu Song menjadi korban? Adik Sian Eng, terus terang saja, betapa pun sayangku kepada kakakku, akan tetapi harus kuakui bahwa dia itu... dia mudah terjatuh oleh wanita cantik. Dan kau amat cantik, adikku, kau cantik menarik. Aku khawatir kalau-kalau kau menjadi korbannya. Sudah terlalu banyak gadis-gadis tak berdosa jatuh ke tangan kakak kandungku. Kau adik Bu Song, aku harus memperingatkanmu, jangan kau bergaul dengannya. Kecuali...” wajahnya menjadi bersinar, “ah, alangkah baiknya. Kecuali kalau ia betul-betul cinta kepadamu dan mau mengambilmu sebagai isteri. Ah, benar! Ini bagus sekali. Aku gagal berjodoh dengan Bu Song, sekarang sebagai gantinya adiknya berjodoh dengan kakakku, bukankah ini baik sekali?”
Merah wajah Sian Eng. “Ah, Cici, omongan apakah ini? Siapa yang berpikir tentang jodoh?” Sampai di sini percakapan mereka berakhir dan malam hari itu Sian Eng tak dapat tidur nyenyak biar pun ia mendapatkan kamar yang indah dan tempat tidur yang mewah. Hatinya merasa tidak enak.
Akan tetapi Suma Boan ternyata pintar sekali mengambil hati. Ia memperlihatkan sikap sopan dan menghormat sehingga Sian Eng mulai percaya lagi kepadanya. Peringatan Suma Ceng sudah hampir lenyap bekasnya di hati, sungguh pun ia selalu masih berhati-hati dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Perjalanan jauh itu dilakukan dengan penuh kegembiraan karena sikap Suma Boan yang baik, dan makin kagumlah Sian Eng ketika melihat betapa hampir di setiap kota dan dusun, putera pangeran ini agaknya mempunyai sahabat-sahabat yang amat hormat dan tunduk terhadapnya.
Akhirnya tibalah mereka di kota Ban-sin dan Suma Boan mengajaknya bermalam di kota ini. Juga di sini Suma Boan mempunyai banyak hubungan. Malah ia diterima oleh seorang pembesar, dipersilakan bermalam di sebuah rumah gedung yang dijaga oleh prajurit-prajurit, diperlakukan dengan segala kehormatan.
Yang membuat Sian Eng kaget bukan main adalah ketika ia melibat bayangan It-gan Kai-ong si raja pengemis yang mengerikan itu! Ia melihat pengemis tua ini tanpa sengaja. Ketika itu ia sudah memasuki kamarnya dan langsung membaringkan tubuh di tempat tidur, karena ia merasa amat lelah. Tiba-tiba ia mendengar suara Suma Boan di belakang rumah. Selama ini kecurigaannya terhadap Suma Boan sudah hilang dan makin lama makin baiklah kesan di hatinya terhadap putera pangeran ini. Kini mendengar suaranya, tiba-tiba timbul keinginan hatinya untuk mengajaknya bercakap-cakap! Ia turun dari pembaringan, membuka pintu kamar dan di saat itulah ia mendengar suara parau yang membuat bulu tengkuknya berdiri.
“Sungguh kau sembrono sekali!” kata suara parau itu. “Dia hanya berada beberapa puluh li di belakangmu dan kau masih tidak tahu!”
“Tapi, Suhu, Locianpwe Tok-sim Lo-tong juga tidak memberi tahu sesuatu!” terdengar suara Suma Boan membantah.
“Uh, dasar sembrono! Biar kusiapkan sambutan, untungnya ada Toat-beng Koai-jin di sini. Hati-hati, jaga baik-baik gadis itu, mungkin bisa dipergunakan untuk menundukkannya!”
Sian Eng cepat menyelinap ke balik daun pintu sambil mengintai. Dugaannya tidak keliru, tak lama kemudian ia melihat bayangan It-gan Kai-ong berjalan terbongkok-bongkok bersandarkan tongkat bututnya. Di bawah sinar lampu yang suram muram itu kakek ini tampak makin buruk saja, dengan mata satunya yang berair dan terhias kotoran kuning di ujung, rambutnya yang riap-riapan dan mulutnya yang hanya bergigi satu. Sian Eng bergidik dan kedua kakinya gemetar. Sukar untuk mengatakan siapa yang lebih mengerikan antara It-gan Kai-ong, Hek-giam-lo, dan Tok-sim Lo-tong, juga wanita iblis Siang-mou Sin-ni!
Munculnya It-gan Kai-ong ini tentu saja membuyarkan lamunan Sian Eng dan membatalkan niatnya untuk menemui Suma Boan. Akan tetapi agaknya putera pangeran itu mengalami dorongan hasrat hati yang sama. Buktinya, tidak lama setelah Sian Eng kembali melempar diri ke atas pembaringan, daun pintu kamarnya diketok orang. Ketika Sian Eng yang berdebar-debar hatinya membuka daun pintu, kiranya Suma Boan yang berdiri di situ sambil tersenyum! Bukan main lega hati Sian Eng, karena tadinya ia sudah merasa cemas dan ngeri, takut kalau-kalau ia akan berhadapan dengan It-gan Kai-ong. Kelegaan hatinya ini memancing senyum manisnya.
“Sian Eng moi-moi, kau belum tidur?”
Sian Eng menggeleng kepala. Pertanyaan tentang It-gan Kai-ong berada di ujung bibir, akan tetapi ia tahan.
“Apakah kedatanganku ini mengganggumu?” tanya pula Suma Boan dengan suara halus.
“Tidak sama sekali. Kenapa kau begini sungkan, Koko? Dan kelihatan gugup? Ada apakah?”
Senyum Suma Boan melebar, tetapi suaranya gemetar ketika ia menjawab. “Tidak apa-apa... hanya aku... ah, sudah beberapa malam aku tak dapat memejamkan mata, Moi-moi.”
“Kenapa? Sakitkah engkau?” tanya Sian Eng memandang tajam.
Suma Boan mengangguk-angguk. “Memang sakit, tapi bukan tubuhku yang sakit, melainkan hatiku. Moi-moi... Sian Eng... hatiku menderita rindu, mataku tak dapat tidur karena selalu terbayang wajahmu. Ah, alangkah cantik manis engkau, Moi-moi, dan aku tergila-gila kepadamu, aku cinta padamu....”
Seketika kedua kaki Sian Eng menggigil, mukanya panas rasanya tapi tangan kaki merasa dingin, jantungnya berdegupan sehingga degup jantung itu terdengar berdentam-dentam di kedua telinganya, darahnya berdenyutan sampai terasa hampir memecahkan urat-urat di pelipisnya. Ia menunduk, tak berani memandang, mulutnya setengah tersenyum setengah menangis.
Sian Eng masih dalam keadaan setengah sadar ketika ia merasa betapa pundaknya dirangkul orang, betapa rambut di kepalanya diciumi orang dan betapa Suma Boan memeluknya sambil berbisik-bisik tak tentu ujung pangkal atau pun isinya. Sejenak Sian Eng memejamkan matanya, menyandarkan kepala pada dada pemuda itu, merasa bahagia dan napasnya terengah-engah sesak. “Aku juga cinta padamu,” bisik suara hatinya.
Akan tetapi tiba-tiba telinganya mendengar bisikan-bisikan, itulah suara Suma Ceng ketika bicara kepadanya di dalam kamar. “... aku khawatir kalau-kalau kau menjadi korbannya... sudah terlalu banyak gadis-gadis tak berdosa jatuh oleh kakak kandungku...”
Dan tiba-tiba Sian Eng merasa betapa kurang ajar kedua tangan Suma Boan. Ia meronta dan tangannya menampar, tepat mengenai pipi Suma Boan, kemudian ia melompat ke belakang. Melihat betapa pemuda yang sebetulnya telah merebut hatinya itu berdiri bengong dengan muka pucat, dan pipi yang ditamparnya tadi merah sekali, Sian Eng menutupi muka dengan kedua tangannya dan menangis.
“... kenapa Moi-moi...? Kenapa kau menamparku? Bukankah... bukankah kau juga cinta kepadaku seperti cintaku kepadamu?”
Dengan mata berlinang air mata Sian Eng memandang, kemudian terdengar ucapannya terpitus-putus, “... cintaku bukan untuk... untuk... menjadi permainanmu... aku bukan... bukan perempuan... yang boleh kau perlakukan sesukamu... yang boleh kau hina...”
Suma Boan menarik napas panjang, “Eng-moi, kau aneh..., biarlah kau pikir dan pertimbangkan betapa tidak adilnya sikapmu terhadap aku yang mencintamu sepenuh hati...,” setelah berkata demikian, Suma Boan keluar dari kamar sambil menutupkan daun pintunya.
Sian Eng tak kuasa menahan kakinya yang lemas gemetar. Ia menjatuhkan diri di atas pembaringan, duduk termenung mendengarkan langkah kaki Suma Boan yang makin lama makin menjauhi kamarnya. Kemudian ia merebahkan diri tertelungkup dan menangis di atas bantal.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Suma Boan sudah terdengar memaki-maki para penjaga yang berdiri dengan muka pucat dan saling pandang. “Kalian tikus-tikus goblok! Apa kerja kalian malam tadi? Tidur semua, ya?”
“Ampun, Suma-kongcu, mana kami berani tidur? Tak sedikit pun kami tidur dan....”
“Bohong!” Suma-kongcu menggerakkan tangannya dan pembicara itu roboh tersungkur. “Orang luar telah memasuki gedung, nona dibawa pergi dan kalian bilang tidak tidur? Pemalas! Goblok!”
“Eh, eh, apakah yang terjadi?” Suara serak ini disusul munculnya It-gan Kai-ong.
Melihat gurunya, Suma Boan menjadi agak tenang, akan tetapi kemurungan masih membayangi mukanya yang tampan. “Suhu, semalam ada musuh mendatangi rumah ini dan membawa pergi Sian Eng. Sungguh teecu (murid) tak dapat menduga siapa dia. Akan tetapi dia meninggalkan tanda tapak kaki di tembok!”
“Apa katamu? Tapak kaki di tembok?” si Raja Pengemis bertanya heran. Memang luar biasa keterangan Suma Boan tadi. Mana bisa ada telapak kaki di atas tembok?
“Mari, harap Suhu periksa sendiri!” Pemuda itu mendahului suhu-nya menuju ke ruangan tengah. Dan di atas tembok, dekat kamar Sian Eng, di atas sebuah meja kecil terdapat beberapa tapak kaki berlumpur di atas tembok.
“Inilah tanda itu, Suhu, Bukankah ini penghinaan yang amat besar? Entah tapak kaki siapa ini?” kata Suma Boan sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah tembok.
Beberapa orang penjaga yang tadi dimaki-maki Suma Boan memandang juga dengan muka pucat. Pantasnya, hanya kaki binatang merayap sebangsa cecak yang dapat meninggalkan jejak di atas tembok. Akan tetapi jejak yang tampak jelas di atas tembok itu adalah jejak kaki manusia! Kaki yang pendek, jari-jarinya terbentang seperti biasanya jari kaki orang yang tak pernah pakai sepatu. Jejak kaki itu kanan-kiri berjalan rapi seperti jejak orang berjalan dengan langkah pendek-pendek. Akan tetapi bagaimana mungkin seorang manusia berjalan di atas tembok seperti cecak?
Mata tunggal It-gan Kai-ong melotot sebentar memandang tapak kaki itu. “Hu-huh, Pek-houw-yu-chong (ilmu merayap di tembok seperti cecak) tingkat tinggi. Manusia sombong bermaksud menakut-nakutimu atau memang hendak memamerkan kepandaiannya yang tidak seberapa ini. Orangnya pendek, tak pernah pakai sepatu....” Tiba-tiba It-gan Kai-ong berhenti bicara, matanya bersinar-sinar.
“Pendek tak bersepatu? Hanya Kim-lun Seng-jin tokoh sakti yang pendek dan tak pernah bersepatu!” Suma Boan berkata.
Gurunya mengangguk. Tapi segera menggelengkan kepala, alisnya berkerut. “Sudah tentu dia bisa melakukan hal ini, akan tetapi kurasa bukan dia. Kim-lun Seng-jin biar pun suka bergurau, akan tetapi tidak seperti anak kecil meninggalkan jejak kaki di sini. Tentu seorang tokoh lain yang gila....” It-gan Kai-ong kelihatan marah dan menyumpah-nyumpah di dalam mulutnya.
Ke manakah perginya Sian Eng? Ketika malam itu ia menangis di atas pembaringannya, tiba-tiba ia mendapat perasaan bahwa ada sesuatu terjadi, bahwa dia tidak sendirian di dalam kamarnya. Ia mengangkat mukanya dari bantal dan dari balik air matanya ia mengerling. Alangkah kagetnya ketika ia melihat bayangan seorang laki-laki tua pendek tersenyum-senyum memandangnya di tengah kamar. Sian Eng merasa seperti mimpi, digosok-gosoknya kedua matanya, lalu ia bangkit dan duduk. Bayangan itu masih ada, malah kini ia dapat memandang jelas di bawah sinar lampu meja.
Benar seorang laki-laki yang tua, pendek dan tersenyum-senyum. Sepasang mata yang jenaka, kumis panjang kaku menunjuk ke kanan kiri, jenggotnya jarang terurai ke bawah. Sama sekali bukan seorang kakek yang menyeramkan seperti It-gan Kai-ong, namun caranya memasuki kamar cukup aneh sehingga menyeramkan. Akan tetapi, sepasang mata itu terang bukanlah mata orang jahat.
“Siapakah... kau...? Bagaimana bisa masuk...?” Sian Eng memandang ke arah pintu kamarnya yang masih tertutup.
“Heh-heh, Nona Kam Sian Eng. Kau benar-benar bocah yang bodoh dan nakal. Mana bisa kau mengharapkan kebaikan dari seorang macam Suma Boan? Kau berada dalam bahaya, marilah ikut denganku.”
“Kau siapa? Apa artinya semua ini?”
Kakek itu tersenyum dan wajahnya benar-benar lucu kalau ia tersenyum, seperti senyum seorang badut. “Aku siapa? Panggil saja
Empek Gan. Lie Bok Liong itu muridku. Di sini kau terancam bahaya besar, mari ikut denganku keluar. Tiada banyak waktu lagi,” sambil berkata demikian kakek itu menggerakkan tangannya dan gadis ini merasa tubuhnya melayang ke luar dari jendela kamar yang ditendang terbuka oleh kakek itu sambil melayang dan menariknya.
Ia terkejut bukan main, maklum bahwa kakek ini seorang sakti yang luar biasa. Akan tetapi hatinya lega mendengar bahwa kakek ini adalah guru Lie Bok Liong sahabat baik adiknya itu. Hatinya merasa berat meninggalkan tempat itu, atau lebih tepat, meninggalkan Suma Boan. Akan tetapi ia menggigil kalau ia teringat akan peristiwa tadi, betapa dengan penuh nafsu putera pangeran itu merayunya. Benar-benar berbahaya. Bagaimana kalau ia tidak kuat menahan? Tentu ia menjadi korban! Berpikir sampai di sini, tiba-tiba mukanya menjadi merah sekali. Siapa tahu, kakek aneh ini tadi melihat semua adegan memalukan itu!
Tanpa ia ketahui tujuannya, ia menurut saja dibawa pergi Empek Gan. Akhirnya mereka memasuki sebuah kelenteng tua yang sudah rusak. Kelenteng yang amat menyeramkan, penuh sarang laba-laba dan agaknya hanya patut dijadikan tempat tinggal para siluman dan setan. Akan tetapi Sian Eng tidak merasa takut, tidak merasa seram seperti ketika ia ditawan Hek-giam-lo. Empek Gan ini ternyata telah membersihkan ruangan samping kelenteng itu, buktinya lantainya bersih dan di situ tidak ada sarang laba-laba.
“Nah, kita melewatkan malam di sini. Nona. Ketahuilah, muridku ditangisi adikmu yang nakal, yang minta supaya muridku mencarimu sampai dapat. Ketika muridku mendengar bahwa kau pergi bersama Suma Boan dan si badut Tok-sim Lo-tong, ia mencari aku dan memaksa si tua ini turun tangan. Aku sudah lama mengikuti perjalananmu dan baru malam ini turun tangan setelah melihat betapa besarnya bahaya yang mengancam dirimu. Besok kita melanjutkan perjalanan, malam ini kau boleh mengaso. Tentu saja tidak seenak tidur di kamar dalam gedung itu, akan tetapi di sini kau lebih aman. Aku sudah tua, tidak bisa lagi membedakan mana cantik mana buruk, heh-heh!”
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Eng sudah bangun. Memang semalam ia hampir tak dapat memejamkan matanya di dalam kelenteng itu. Pikirannya kacau-balau dan resah kalau ia teringat akan Suma Boan. Dengan girang ia mendapatkan sebuah mata air di belakang kelenteng dan setelah mencuci muka dan tubuh sehingga terasa segar, Sian Eng kembali ke dalam kelenteng, akan tetapi kakek pendek lucu itu ternyata masih mendengkur. Ia tidak berani mengganggu, dan menanti. Akan tetapi sampai matahari naik tinggi, kakek itu belum juga bangun. Akhirnya habislah kesabaran Sian Eng.
“Empek Gan... Empek Gan...! Bangunlah!” Ia mengguncang-guncang lengan kakek itu.
Kakek itu kaget, lalu gelagapan bangun. “Ada apa...? Kebakaran...? Dunia kiamat? Celaka... aku masih ingin hidup!” Ia melompat dan lari ke sana ke mari, kelihatan bingung sekali sehingga Sian Eng menjadi geli melihatnya.
“Tidak ada apa-apa, Lopek,” katanya membantah.
Kakek itu menjatuhkan diri duduk di atas lantai, bersandar tembok, terengah-engah dan mengusap-usap kedua mata dengan belakang tangan seperti kebiasaan anak kecil kalau bangun tidur. “Aduh ampuuuuun... sampai kaget setengah mampus hatiku. Puluhan tahun hidupku ayem tenteram, sekali dekat wanita, tidur saja tidak nyenyak lagi! Beratnya orang membela murid... heeeiiii! Mana Bok Liong? Bocah tolol itu belum juga muncul? Nona, kau melihat dia?”
Sian Eng mendongkol bukan main mendengar kata-kata kakek itu tentang wanita, akan tetapi maklum bahwa kakek ini termasuk orang aneh. Ia tidak mau melayani dan pertanyaan terakhir ia jawab dengan gelengan kepala.
“Wah-wah, betul-betul dia tidak muncul? Celaka... tentu ada apa-apa. Tak mungkin dia berani tidak mentaati perintahku dan memenuhi janji. Wah, sudah siang, hayo kita pergi!”
Kali ini Empek Gan tidak menarik tangan Sian Eng seperti malam tadi. Mereka berjalan ke luar dari kelenteng dan Sian Eng mengikuti ke mana kakek itu pergi. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang, Sian Eng memandang ke depan dan jantungnya berdebar ketika ia melihat jubah hitam dan topi sastrawan.
“Suling Emas...! Dia Suling Emas... mari kejar dia!” Sian Eng lalu lari mengejar.
Kakek Gan mengomel, “Wah-wah, pagi-pagi belum sarapan kau ajak balapan lari. Dengar perutku mengeluh panjang pendek. Tak usah kejar...” Akan tetapi kedua kakinya yang pendek itu terpaksa mengikuti Sian Eng yang menggunakan ilmu lari cepat mengejar Suling Emas.
“Dia Suling Emas, aku mau bertanya tentang kakakku...!” Sian Eng tidak pedulikan omelan kakek itu dan terus mengejar.
Ketika melihat Suling Emas yang sudah jauh itu lenyap ke dalam sebuah rumah yang sunyi, Sian Eng berhenti di depan rumah itu, meragu sebentar lalu tanpa banyak cakap lagi ia juga memasuki pekarangan rumah yang sunyi dan terus menerobos pintu depan untuk mencari Suling Emas. Dari belakangnya Empek Gan berteriak-teriak mencela.
Seperti sudah diceritakan di bagian depan, begitu memasuki ruangan rumah yang ternyata adalah rumah guru silat Ouw-kauwsu, seorang guru silat di kota Ban-sin yang cukup terkenal, mereka berdua melihat adegan yang aneh, yaitu Ouw-kauwsu berdiri bengong. Suling Emas berdiri dengan alis berkerut memandang ke atas di mana seorang kakek seperti anak hutan sedang duduk di atas balok tiang melintang dekat atap rumah sambil makan daging paha yang digerogoti. Melihat ini Empek Gan berlari menghampiri tiang dan memanjat tiang itu seperti seekor kera memanjat kelapa, berteriak-teriak menyuruh turun kakek seperti orang hutan itu.
“Wah, aku kenal kau sekarang. Tak salah lagil! Gundul pacul, punuknya seperti lembu jantan, mukanya buruk seperti monyet, perutnya gendut seperti babi, telanjang hanya pakai cawat, pemakan daging manusia. Betul, biar selamanya belum pernah bertemu, tapi aku sudah banyak mendengar tentang dirimu. Kau Toat-beng Koai-jin!” Empek Gan berteriak-teriak sambil memandang dengan wajah memperlihatkan kengerian.
Memang betul ucapan Empek Gan yang tampak ketakutan itu. Kakek liar itu adalah Toat-beng Koai-jin si Orang Aneh Pencabut Nyawa! Biar pun dia kelihatan seperti orang hutan, namun seperti juga adiknya Tok-sim Lo-tong, kakek ini memiliki kepandaian yang hebat sekali. Dia termasuk seorang di antara Thian-te Liok-koai, dan julukan sebagai seorang di antara si Enam Jahat itu memang patut baginya mengingat bahwa ada kalanya kakek liar ini betul-betul makan daging manusia seperti yang dituduhkan Empek Gan tadi.
Biar pun ia hidup seperti orang liar, namun tidak biasa Toat-beng Koai-jin mendengar maki-makian yang ditujukan kepada dirinya. Sedikit saja orang berani menyinggungnya, jangan harap dia mau mengampuni nyawa orang itu, apa lagi sekarang ada orang pendek ketakutan ini berani memaki-makinya seperti itu. Toat-beng Koai-jin terbahak-bahak dan inilah menjadi tanda bahwa dia sedang marah besar!
“Cacing perut! Makanlah ini!” Tangannya yang besar berbulu itu bergerak. Tulang paha yang sudah tak berdaging lagi itu ia lontarkan ke arah Empek Gan yang masih memeluk tiang dengan kaki tangannya. Tulang itu menghantam pinggir tiang, terdengar suara keras dan balok itu somplak seperti dihantam kapak! Tidak hanya membelah kayu, tulang itu terus menghantam pundak Empek Gan dan... tubuh Empek Gan melorot turun, akhirnya pantatnya terbanting menghantam lantai sampai mengeluarkan suara seperti kasur digebuk.
Empek Gan meringis kesakitan, bangun berdiri dan menepuk-nepuk pantatnya, agaknya untuk menghilangkan rasa sakit. Debu mengebul ketika celana belakangnya itu ia tepuk-tepuk. Karena kebetulan sekali Sian Eng berdiri di belakangnya, gadis ini melangkah mundur dengan kening berkerut. Celaka pikirnya, ia telah salah sangka. Kakek ini sama sekali bukanlah orang sakti. Mungkin hanya pandai lari cepat saja. Buktinya, sekali disambit tulang sudah roboh. Sungguh tak tahu malu!
Empek Gan sudah mengomel. “Celaka! Cocok dengan wujudnya!” Ia menoleh kepada Suling Emas dan berkata menyeringai, “Hati-hati kalau kau berurusan dengan monyet hutan liar itu!”
Toat-beng Koai-jin menyumpah-nyumpah. “Cacing busuk, jangan lari kau!”
Empek Gan tertawa, membalikkan tubuhnya membelakangi Toat-beng Koai-jin sambil menggoyang-goyang kibul dan berkata, “Beginikah gerakan cacing? Ho-ho, sebentar lagi mau mampus masih suka maki-maki orang!” Setelah berkata demikian, kakek ini menggerakkan kedua kakinya lari ke luar dari rumah itu sambil menoleh ke arah Suling Emas dan berkata, “Jaga Nona ini baik-baik, jangan sampai dia dirayu palsu oleh Suma Boan lagi!”
Sian Eng menjadi makin mendongkol, akan tetapi Suling Emas tidak pedulikan kakek itu, juga agaknya tidak peduli kepadanya, buktinya menengok pun tidak. Suling Emas menghadapi kakek liar di atas itu sambil berkata, suaranya serius penuh ancaman.
“Toat-beng Koai-jin, biar pun di antara kau dan aku tidak pernah terjadi pertentangan karena kita masing-masing mengikuti jalan sendiri, akan tetapi hari ini kau telah melanggarnya. Lekas kau bebaskan dan kembalikan nona yang kau culik, kalau tidak, aku Suling Emas tidak akan berlaku sungkan-sungkan lagi. Dengar baik-baik, kalau kau mengganggu nona itu, aku bersumpah takkan berhenti sebelum dapat merobek tubuhmu menjadi empat potong!”
Toat-beng Koai-jin mendengus marah. “Suling Emas, kau bocah kemarin sore yang masih ingusan, sombong amat ucapanmu. Sudah lama aku ingin mencoba kepandaianmu, dan hari ini adalah hari baikku. Aku belum ganggu nona cilik itu, tunggu sampai aku menangkapmu untuk kupanggang bersama, heh-heh!”
“Ouw-kauwsu, aku minta tolong kepadamu, bawa ke luar nona ini ke tempat aman!” kata Suling Emas, maklum bahwa ia akan menghadapi lawan-lawan tangguh sehingga kehadiran Sian Eng hanya akan merupakan gangguan belaka. “Kau ikutlah bersama Ouw-kauwsu, tunggu aku selamatkan adikmu.”
Sian Eng diam-diam terkejut dan dapat menduga bahwa yang diculik oleh manusia liar itu tentulah Lin Lin. Maka tanpa banyak cakap lagi ia mengangguk dan bergerak mengikuti guru silat yang wajahnya sudah pucat karena gelisah itu. Akan tetapi begitu keduanya keluar pintu, terdengar pekik mengerikan dan tubuh Sian Eng terhuyung ke belakang, masuk kembali ke ruangan itu disusul tubuh Ouw-kauwsu yang terlempar dan roboh di atas lantai dalam keadaan tak bernyawa lagi, pada pipinya terdapat luka kehitaman!
Toat-beng Koai-jin tertawa bergelak dan tubuhnya yang besar gendut itu melayang turun dengan amat ringannya. Biar pun tubuhnya gendut dan gerakannya kelihatan kaku, akan tetapi ternyata ia gesit dan cepat sekali. Begitu kedua kaki menyentuh lantai, kedua tangannya sudah bergerak menerjang Suling Emas, dari kuku-kuku jarinya yang panjang itu terdengar bunyi bercuitan!
“Sian Eng, jangan keluar, di sini saja!” pesan Suling Emas dan tubuhnya berkelebat lenyap, berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di sekeliling tubuh Toat-beng Koai-jin.
Kiranya dua orang sakti itu sudah saling terjang dengan hebatnya! Sian Eng menyelinap ke sudut ruangan itu, memandang penuh kekhawatiran. Ia cemas sekali, takut kalau-kalau Suling Emas kalah sedangkan dia sendiri tidak berdaya membantu karena maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh ketinggalan dan kalau ia membantu, hal itu malah akan membikin repot Suling Emas saja.
Suling Emas adalah seorang pendekar besar yang menjunjung tinggi kegagahan. Ia merasa khawatir sekali akan keselamatan Lin Lin, juga kini harus menjaga keselamatan Sian Eng, sedangkan Toat-beng Koai-jin, lawannya yang sakti ini masih dibantu oleh orang-orang jahat dan sakti lain yang berada di luar pintu rumah! Tentu saja ia tahu bahwa tewasnya Ouw-kauwsu adalah karena serangan dari luar rumah, dan melihat luka hitam di mukanya itu, agaknya itulah hasil kerja Tok-sim Lo-tong, yaitu gigitan ular berbisa. Namun melihat betapa Toat-beng Koai-jin hanya seorang diri saja menghadapinya dengan tangan kosong, ia tidak sudi menggunakan senjata yang paling ia andalkan, yaitu sulingnya. Ia pun menghadapi lawan ini dengan tangan kosong pula.
Toat-beng Koai-jin dan adiknya, Tok-sim Lo-tong, sebetulnya adalah dua orang penghuni pulau kosong di Lam-hai (Laut Selatan). Tadinya mereka berdua adalah kacung atau pelayan-pelayan cilik seorang tokoh besar di jaman Tang, seorang panglima yang tidak sudi menghambakan diri kepada musuh setelah Kerajaan Tang jatuh. Ia melarikan diri ke selatan dan mengasingkan diri di pulau kosong, hanya ditemani dua orang kacungnya. Panglima ini berilmu tinggi dan sampai mati ia tinggal di dalam pulau itu, tak pernah meninggalkan pulau. Semua ilmunya ia turunkan kepada dua orang kacungnya yang mendapat kemajuan sesuai dengan bakatnya masing-masing.
Akan tetapi agaknya karena mereka tak pernah bergaul dengan dunia ramai, juga karena di pulau itu banyak terdapat binatang-binatang berbisa, kedua orang bersaudara ini hidup seperti tidak normal lagi. Mereka menjadi korban gigitan serangga-serangga berbisa yang meracuni otak mereka sehingga hidup mereka menjadi liar seperti binatang-binatang hutan. Puluhan tahun kedua orang kakak beradik ini hidup di pulau setelah majikan dan guru mereka meninggal dunia.
Usia mereka sudah lima puluhan tahun lebih ketika pada suatu hari secara kebetulan ada sebuah perahu dagang yang terdampar ke pulau itu setelah dipermainkan ombak dan badai. Dapat dibayangkan betapa ngeri hati para penumpang perahu yang tiga puluh orang lebih jumlahnya itu ketika mereka melihat dua orang kakek gila yang telanjang bulat itu. Dua orang kakek itu segera menyerang mereka dan dalam waktu singkat saja, tiga puluh orang lebih telah tewas oleh mereka berdua!
Kemudian mereka secara ngawur mengembangkan layar dan berlayarlah mereka ke tengah samudera. Karena tidak biasa, mereka mabuk laut, mengamuk dan merusak isi perahu, kemudian roboh telentang di dalam perahu, pingsan! Angin dan ombak yang kini mengemudikan perahu dan akhirnya mereka terdampar ke darat. Saat itulah mulai muncul dua orang sakti yang aneh di dunia kang-ouw. Sepuluh tahun lebih mereka berdua berkeliaran dan kemudian dunia persilatan mengenal mereka sebagai dua orang sakti jahat dan menggolongkan mereka dengan pentolan-pentolan dunia hitam lainnya sehingga terkenallah nama Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong sebagai dua orang di antara si enam jahat!
Ilmu silat yang menjadi dasar dari kepandaian mereka adalah ilmu silat campuran dari barat dan utara. Akan tetapi karena mereka hidup puluhan tahun sebagai orang liar, di antara binatang-binatang dan serangga-serangga beracun, maka hawa pukulan dari sinkang mereka bercampur dengan hawa beracun yang amat jahat. Apa lagi Toat-beng Koai-jin mempunyai kesukaan liar, yaitu makan daging manusia. Ini menambah hawa beracun di dalam tubuhnya dan membuat ia makin ganas dan berbahaya sekali. Sedangkan adiknya, Tok-sim Lo-tong, terkenal hebat permainannya yang mengerikan, yaitu dengan ular-ular beracun yang menjadi sahabat-sahabat baiknya, bahkan senjatanya pun seekor ular.
Suling Emas sudah banyak mendengar tentang dua orang liar ini, akan tetapi baru kali ini ia berkesempatan mengadu ilmu. Oleh karena ia harus memikirkan keselamatan Sian Eng dan juga harus menolong Lin Lin yang belum diketahui bagaimana nasibnya, ia tidak mau berlaku lambat. Begitu merasa betapa tenaga yang dipergunakan lawannya mengeluarkan hawa panas dan bau amis menjijikkan, ia cepat mengerahkan seluruh sinkang di tubuhnya, lalu ia mainkan ilmu silat yang ia dapat dari suhu-nya, yaitu mendiang Kim-mo Taisu. Sebetulnya ilmu ini adalah ilmu yang harus dimainkan dengan sebatang kipas pelajar, yaitu ilmu silat yang disebut Lo-hai-san-hoat (Ilmu Silat Kipas Pengacau Lautan). Akan tetapi karena lawannya bertangan kosong, maka Suling Emas juga bertangan kosong mainkan Ilmu Silat Pengacau Lautan ini.
Hebat memang kepandaian Toat-beng Koai-jin. Yang amat berbahaya adalah kuku-kuku jari tangannya. Biar pun ia tidak bersenjata, namun memiliki kuku-kuku panjang seperti itu, sama saja dengan memegang atau menggunakan sepuluh buah pedang-pedang kecil! Setiap buah jari mempunyai kuku panjang dan bukan hanya kuku runcing, melainkan kuku yang mengandung hawa beracun sehingga sekali saja kulit terkena guratan sebuah di antara kuku-kuku ini, akan melepuh kulit itu dan akan keracunan darahnya! Semua ini dipergunakan dengan gerakan cepat dan lincah, ditambah lagi dengan gerengan-gerengan seperti seekor singa dan muncratnya air ludah serta peluh yang memuakkan baunya!
Hampir Suling Emas tidak tahan menghadapi ini, terutama bau itu. Beberapa kali ia terpaksa melompat mundur untuk menyedot hawa segar. Akhirnya ia berseru keras, “Toat-beng Koai-jin, lekas kau kembalikan nona yang kau culik. Kalau tidak, terpaksa aku membunuhmu. Aku tiada waktu lebih lama lagi untuk bermain-main denganmu!” Sambil berkata demikian, Suling Emas mengeluarkan sebuah kipas yang dipegangnya dengan tangan kiri. Hanya kipasnya yang akan dapat membantunya mengusir bau memuakkan itu. Ia masih sungkan mengeluarkan sulingnya, melihat betapa lawannya tetap bertangan kosong.
Melihat bahwa lawannya hanya mengeluarkan kipas kain sutera yang halus dan kecil saja, Toat-beng Koai-jin tertawa ha-hah-he-heh, kemudian menubruk lagi melancarkan serangan-serangan dahsyat. Akan tetapi, sekarang Suling Emas bersilat Lo-hai-san-hoat dengan kipas di tangan, dan karena ilmu silat itu memang ilmu silat kipas, tentu saja kehebatannya lipat dua kali dari pada tadi ketika ia mainkan dengan tangan kosong.
Seketika tampak gulungan sinar putih yang kadang-kadang menutupi pandangan mata Toat-beng Koai-jin, malah kakek liar ini merasa sesak napasnya oleh tiupan angin dari kipas itu. Tidak saja semua bau busuk dikembalikan ke hidungnya sendiri, akan tetapi ditambah pula dengan angin kebutan kipas yang dilakukan dengan tenaga sinkang seorang ahli. Dua kali sudah pundak Toat-beng Koai-jin kena disentuh ujung gagang kipas, sakitnya bukan kepalang.
Diam-diam Suling Emas terkejut dan kagum. ‘Sentuhannya’ dengan ujung gagang kipas itu sebetulnya adalah totokan yang pasti akan merobohkan lawan. Akan tetapi kakek liar ini hanya menyeringai kesakitan saja, sama sekali tidak roboh malah maju makin nekat! Kiranya kakek ini telah kebal kulitnya dan agaknya pandai pula memindahkan jalan darah.
Betapa pun juga, setelah Suling Emas mainkan kipasnya, Toat-beng Koai-jin terdesak hebat. Berkali-kali ia menggereng marah, namun semua tubrukan, cakaran hantaman dan tendangannya hanya mengenai angin belaka.
“Manusia liar, robohlah!” Secepat kilat kipas itu bergulung-gulung sinarnya menutupi pandang mata lawan dan tangan kiri Suling Emas sudah menyerang dengan jari tangan terbuka ke arah ulu hati yang telanjang itu.
Akan tetapi Toat-beng Koai-jin benar-benar hebat kepandaiannya. Begitu jari tangan Suling Emas yang mengandung tenaga sinkang amat kuat itu menyentuh kulit dadanya, tubuh bagian ini secara tiba-tiba dapat ditarik masuk dan mulutnya menyemburkan uap ke depan, disusul pukulan kedua tangan!
“Ihhhhh!” Suling Emas terpaksa mengipaskan kipasnya ke depan untuk mengebut pergi semburan uap bacin itu, lengannya dengan mudah menangkis pukulan lawan dan sebelum lawan mendesak terus, gerakan Suling Emas berubah.
Ia telah menggunakan gerakan ilmu silat sakti Hong-in-bun-hoat yaitu jurus ilmu silat huruf yang ia terima dari Bu Kek Siansu. Dengan gerakan jurus ilmu silat sakti ini, yang ia lakukan dengan menuliskan huruf THIAN (Langit), sekaligus ia telah menyerang sampai empat kali. Serangan terakhir merupakan gerakan bertentangan karena baru saja ia menyerang dengan arah ke kiri bawah, sekarang tiba-tiba kipasnya menerjang dari atas ke bawah kanan.
“Auuuhhhhh...!”
Perubahan-perubahan yang amat cepat dan aneh dari jurus ini tak dapat diikuti dan diduga oleh Toat-beng Koai-jin, maka biar pun ia sudah mengelak dan menangkis tidak urung pahanya terpukul gagang kipas. Kelihatannya perlahan saja, akan tetapi kalau saja bukan Toat-beng Koai-jin yang menerima hantaman ini, tentu tulang pahanya akan remuk. Kakek liar ini hanya mengeluh dan tubuhnya bergulingan, akan tetapi ia sudah dapat melompat berdiri lagi lalu meloncat ke atas, membobol genteng melarikan diri.
“Iblis jahat, lari ke mana kau?”
Suling Emas mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia teringat akan Sian Eng. Selagi ia ragu-ragu, tak tega meninggalkan Sian Eng seorang diri, dari pintu muncullah Tok-sim Lo-tong dan beberapa orang pengeroyoknya tadi.
“Keparat pengecut!” Suling Emas marah sekali. “Jangan anggap aku keterlaluan kalau sekarang aku tidak mau memberi ampun lagi!” Setelah berkata demikian tangannya bergerak dan tampaklah sinar kuning bergulung-gulung dengan sinar putih. Sinar kuning adalah sinar sulingnya sedangkan yang putih adalah sinar kipasnya.
Ia tidak memberi kesempatan lawan-lawannya maju, mendahului menerjang ke pintu dan sekaligus tiga orang pengeroyok roboh binasa sebelum mereka sempat bergerak. Tok-sim Lo-tong hanya tertawa serak, lalu menyelinap pergi. Juga para pengikutnya pergi dengan cepat. Sebentar saja tidak tampak lagi lawan di situ.
“Mari kita kejar kakek liar tadi untuk menolong adikmu!” kata Suling Emas, menyambar lengan tangan Sian Eng untuk diajak lari cepat mengejar Toat-beng Koai-jin.
“Nanti dulu, aku tadi melihat kakek itu melemparkan ini...” kata Sian Eng, membungkuk dan hendak mengambil sebuah sampul surat.
Akan tetapi tiba-tiba Suling Emas menggerakkan tangannya dan... tubuh Sian Eng terdorong mundur sampai terhuyung-huyung. “Kau... kau...!” Gadis itu berseru marah.
“Hemmm, lupa lagikah akan pengalaman di Khitan dahulu?” Suling Emas mengomel, lalu membungkuk dan mengambil sampul surat itu.
Sian Eng terkejut dan teringat, mukanya berubah pucat dan ia merasa ngeri sekali ketika melihat jari-jari tangan Suling Emas menjepit hancur leher seekor ular hitam yang keluar dari sampul itu! Kiranya Suling Emas telah menolong nyawanya, karena kalau dia yang tadi mengambil sampul, tentu ia akan tergigit ular yang ia duga seekor ular berbisa yang amat jahat itu.
Setelah melempar bangkai ular dengan tak acuh, Suling Emas menarik ke luar sehelai kertas bersurat dari dalam sampul. Alis yang tebal itu bergerak-gerak ketika matanya menari-nari membaca huruf-huruf yang tertulis di atas kertas. Matanya makin berapi-api dan diam-diam Sian Eng menjadi takut. Ia tahu bahwa pendekar itu marah sekali. Kemudian Suling Emas menarik napas panjang dan berkata.
“Tak mungkin mencari di mana adikmu disembunyikan. Akan tetapi sementara ini dia aman. Untuk menolongnya, jalan satu-satunya hanya ke Nan-cao. Mari kita pergi, dan sekarang ceritakan bagaimana kau dapat pergi bersama Suma Boan,” kata-katanya terdengar ketus dan marah.
Sian Eng mendongkol sekali. Apa pedulimu, bisik hatinya, kau seperti seorang ayah atau kakak saja. Namun ia tidak berani membantah dan sambil berjalan di samping Suling Emas, ia menceritakan betapa Suma Boan mencari Lin Lin dan Lie Bok Liong, kemudian bertemu dengannya. Betapa Suma Boan berjanji kepadanya akan mempertemukan dengan kakaknya, Kam Bu Song, kalau mau pergi bersamanya ke Nan-cao.
“Bagaimana dia bisa tahu bahwa kau akan bertemu dengan kakakmu di Nan-cao?” tanya Suling Emas sambil lalu.
“Dia bilang bahwa Kakak Bu Song mempunyai hubungan dengan Nan-cao, karena itu aku pasti akan dapat bertemu dengannya di sana. Maka aku lalu ikut dengan dia sampai di sini.”
“Kemudian, mengapa kau bisa muncul bersama kakek lucu itu?”
“Empek Gan itu? Lucu? Aku tidak senang padanya!”
Tiba-tiba Suling Emas berhenti melangkah, memandang dengan mata terbelalak kepada Sian Eng. “Kau bilang Empek Gan? Dia...? Pantas! Aku sudah heran dan menduga-duga siapa gerangan kakek lucu yang luar biasa lihainya itu... ah, kiranya Empek Gan. Dia muncul pula di sini, aha, akan ramai di Nan-cao.”
Agaknya saking gembira dan herannya mendengar bahwa kakek pendek tadi Empek Gan adanya, Suling Emas tidak mendesak lagi dengan pertanyaan mengapa Sian Eng meninggalkan Suma Boan dan gadis ini menjadi lega hatinya, karena ia pun tidak suka bercerita tentang rahasia asmara itu.
“Kenapa kita tidak jadi mengejar kakek liar tadi? Bukankah Lin Lin telah diculiknya?”
“Tidak, percuma. Mereka sengaja menahan Lin Lin untuk memaksaku...” Suling Emas menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala.
“Mereka? Siapa? Surat itu dari siapakah?”
“Siapa lagi? Dari Suma Boan tentu!”
Wajah Sian Eng terasa panas sekali, kemudian dingin sampai ke ujung hidungnya. Jantungnya berdebar dan hampir ia pingsan kalau saja ia tidak cepat menekan perasaannya. Kiranya Lin Lin diculik atas perintah Suma Boan! Betulkah ini? Tapi... tapi dia selama dalam perjalanan ini baik sekali terhadapnya, hanya malam tadi...!
“Kau kenapa?”
Sian Eng menggeleng kepala, tidak berani bersuara karena maklum bahwa suaranya tentu akan terdengar gemetaran bercampur isak. Ia hanya mempercepat langkahnya dan agaknya Suling Emas senang melihat ini dan ia pun mempercepat langkahnya sehingga sebentar saja mereka sudah keluar dari kota Ban-sin.
********************
Lin Lin berusaha meronta dan melepaskan belenggu yang mengikat kedua pergelangan tangannya, namun sia-sia belaka. Ia memandang ke arah Lie Bok Liong yang terikat seperti seekor babi di atas sebatang balok melintang, tingginya kurang lebih satu meter dari tanah. Ingin ia menjerit minta tolong, namun sia-sia karena mulutnya ditutup sapu tangan yang diikatkan erat sekali ke belakang kepalanya sehingga untuk bernapas saja amatlah sukar.
Seperti diketahui, ketika ia dan Suling Emas dikeroyok oleh Tok-sim Lo-tong, Toat-beng Koai-jin, dan banyak lagi orang-orang yang kepandaiannya cukup kuat, ia telah kena ditawan oleh Toat-beng Koai-jin dan dibawa lari pergi dari gelanggang pertandingan. Ia berusaha untuk melepaskan diri atau memukul, akan tetapi tubuhnya lemas semua, kaki tangannya tak dapat digerakkan lagi. Hampir ia pingsan ketika tubuhnya dipondong oleh kakek liar itu.
Karena ia tidak dapat bergerak, terpaksa ia menahan penderitaan luar biasa ketika mukanya terletak di atas punggung yang ada dagingnya menonjol besar (punuk), berkeringatan dan baunya apek bukan buatan itu! Kalau saja ia tidak tertotok lumpuh, tentu Lin Lin sudah muntah-muntah. Baiknya kakek itu larinya cepat sekali seperti terbang, sebetulnya bukan lari lagi melainkan melayang dari pohon ke pohon seperti seekor binatang yang gesit. Kecepatan ini mempersingkat penderitaannya karena selain angin yang bertiup mengurangi bau kecut, juga tentu akan segera sampai di tempat tujuan.
Mereka memasuki hutan dan tiba-tiba muncul seorang pemuda yang membentak dengan suara nyaring, “Iblis tua, lepaskan gadis itu!”
Lin Lin girang bukan main ketiika mengenal suara ini. Siapa lagi kalau bukan Lie Bok Liong, sahabat baiknya! Akan tetapi kegirangannya tidak berlangsung lama, segera terganti kekhawatiran. Tingkat kepandaian Bok Liong sebanding dengan tingkatnya, mana mampu menghadapi kakek sakti yang seperti ibils ini? Benar saja dugaannya, biar pun Bok Liong sudah menerjang dengan pedang Goat-kong-kiam yang berhawa dingin, kakek itu enak saja melayaninya dengan tangan kosong, bahkan dengan tubuh Lin Lin tak pernah terlepas dari atas pundaknya!
Seperti juga Lin Lin, pemuda itu tak dapat bertahan lama menghadapi kakek sakti ini. Apa lagi karena Bok Liong amat terbatas gerakannya, terbatas oleh kekhawatirannya kalau-kalau ujung pedangnya mengenai tubuh Lin Lin. Tiba-tiba ia berseru keras dan mundur dengan muka pucat. Kakek itu telah menyodorkan tubuh Lin Lin untuk menangkis sambaran pedangnya. Bok Liong cepat menarik pedangnya dan pada saat itu, tangan kiri Toat-beng Koai-jin bergerak mengirim pukulan jarak jauh yang membuat Bok Liong terjengkang bergulingan. Ketika ia berusaha bangkit kembali, tubuhnya sudah lemas tertotok dan di lain saat, kakek itu sudah menyeretnya di sepanjang jalan, menjambak rambutnya dan menarik sambil memondong tubuh Lin Lin. Kakek itu memasuki hutan sambil tertawa-tawa.
Di bagian hutan yang gelap dan penuh pohon liar, ia melemparkan tubuh Lin Lin ke atas tanah, mengambil akar lemas dari sebatang pohon dan mengikat kaki tangan gadis itu ke belakang. Kemudian ia pun merenggut sehelai sapu tangan dari baju Bok Liong, menggunakan sapu tangan ini menutup dan mengikat mulut Lin Lin.
Setelah ini selesai, tangannya bergerak dan terdengar kain robek-robek ketika baju dan celana luar pemuda itu ia renggut secara kasar. Sebentar saja Bok Liong berada dalam keadaan setengah telanjang, hanya sebuah celana dalam saja yang masih menutupi tubuhnya. Tentu saja Lin Lin di samping rasa takut dari gelisah, juga menjadi jengah dan tidak berani memandang langsung, hanya mengerling-ngerling untuk melihat apa yang akan dilakukan kakek gila itu.
“Heh-heh-heh, kau masih muda, jejaka tulen, dagingmu tentu masih gurih!” Kakek ini lalu mematahkan batang pohon dengan kedua lengannya yang kuat, mengikat tubuh Bok Liong pada batang pohon atau balok itu seperti mengikat babi saja, kemudian balok berikut tubuh Bok Liong yang setengah telanjang itu ia palangkan pada dua batang pohon lain sehingga tubuh Bok Liong tergantung.
Kemudian kakek itu mengumpulkan daun dan kayu kering di bawah tubuh Bok Liong dan andai kata mulut Lin Lin tidak diikat, tentu gadis ini sudah menjerit-jerit memanggil Suling Emas karena ia sekarang dapat menduga apa yang hendak dilakukan oleh kakek gila ini. Agaknya kakek gila ini membuat masakan yang paling aneh di dunia ini, bukan panggang bebek, panggang ayam, atau panggang babi, melainkan panggang daging manusia hidup! Bok Liong akan dipanggang hidup-hidup!
Tiba-tiba dari jauh terdengar suara seperti anjing hutan menggonggong. Kakek itu menyumpah-nyumpah, “Jahanam, mengganggu saja. Ah, terpaksa ditunda dulu sebentar.”
Ia bangkit berdiri, menepuk-nepuk tubuh bagian atas Bok Liong yang tegap dan berdaging, mengecap-ngecapkan mulutnya yang mengeluarkan air liur. “Sayang-sayang..., biar ditunda sebentar, heh-heh!” Tubuhnya berkelebat dan dalam sekejap mata saja kakek itu sudah lenyap dari situ.
Lin Lin takut setengah mati. Takut dan ngeri. Mana bisa ia menjadi penonton? Menonton Bok Liong dipanggang hidup-hidup kemudian dagingnya diganyang kakek liar itu? Ia melirik ke arah Bok Liong. Pemuda ini sama sekali tidak bergerak, tubuhnya tergantung di atas balok seperti telah mati, agaknya pingsan. Lin Lin kembali berusaha mati-matian untuk membebaskan diri dari pada belenggu akar pohon. Akan tetapi ternyata akar pohon itu istimewa kuatnya. Matanya melirik ke sana ke mari, mencari-cari. Ia harus bertindak cepat, harus dapat membebaskan diri sebelum siluman itu kembali, harus mencegah siluman itu memanggang tubuh Bok Liong.
Dengan hati penuh kengerian dan ketegangan, Lin Lin menggulingkan tubuhnya ke arah sebuah batu besar tak jauh dari situ. Ia melihat batu itu mempunyai bagian-bagian yang tajam. Karena kaki tangannya diikat, ia hanya dapat mencapai batu dengan cara menggulingkan tubuh, lalu sedikit demi sedikit menggeser tubuh mendekatkan kedua pergelangan tangan yang dibelenggu di belakang tubuhnya kepada bagian batu yang tajam. Ia menggosok-gosokkan akar yang mengikat tangan itu pada batu sambil mengerahkan tenaga. Benar-benar kuat sekali akar itu, ulet bukan main. Kini ia tidak melihat Lie Bok Liong lagi, terhalang batu. Ada seperempat jam ia berusaha mematahkan pengikat tangannya dan ia hampir berhasil. Peluhnya bercucuran dan hatinya makin tegang. Kalau sudah bebas dari belenggu, ia akan membebaskan Bok Liong dan mengajaknya melarikan diri.
Akan tetapi tiba-tiba Lin Lin merasa tubuhnya lemas, tenaganya lenyap sama sekali ketika ia melihat bayangan Toat-beng Koai-jin mendatangi dari jauh! Mata Lin Lin terbelalak, harapannya lenyap bagaikan embun terbakar matahari. Tentu saja ia tidak melanjutkan usahanya, malah dengan tubuh terasa lelah dan lemas ia bersandar kepada batu besar itu, menyerahkan nasib ke tangan Tuhan karena dia sendiri sudah tak berdaya.
Dilihatnya kakek liar itu dengan gerakan cepat mendatangi, di kedua tangannya membawa dua potong kayu kering yang digosok-gosok sampai mengeluarkan api! Setelah api menyala dan kakek itu datang dekat, dilemparkannya kayu berapi itu ke tumpukan daun dan kayu yang berada di bawah tubuh Bok Liong. Sebentar saja daun kering itu terbakar! Lin Lin membuang muka, menengok ke lain jurusan, dan tanpa dapat ditahannya lagi matanya mengucurkan air mata. Kasihan Liong-twako, pikirnya.
“Heh-heh, kau hendak lari ke mana?” tiba-tiba suara kakek itu terdengar dekat dan Lin Lin merasa pundaknya dicengkeram lalu tubuhnya diangkat dan dilempar kembali ke tempat semula. Kakek itu sendiri menjatuhkan diri duduk di atas batu sambil terkekeh-kekeh berkata.
“Ha-ha, kau mau melarikan diri? Tak mungkin, bocah tolol. Akar yang mengikat kaki tanganmu itu berlumur racun kelabang hijau, sekali melukai kulitmu kau akan mampus! Kau lihat baik-baik sahabatmu ini, lihat betapa kulitnya makin lama makin merah diciumi api, makin lama makin matang dan baunya gurih. Heh-heh, kalau sudah masak nanti, boleh kau pilih bagian mana yang paling gurih untukmu... ha-ha!”
Toat-beng Koai-jin memandang ke arah Lin Lin sambil tertawa-tawa dan air liurnya muncrat-mucrat dari mulutnya yang lebar, bibirnya yang tebal, dan giginya yang besar-besar. Dengan hati berdebar penuh kengerian Lin Lin mengerling ke arah Bok Liong dan tiba-tiba matanya terbelalak lebar. Yang terikat seperti babi kebiri hendak dipanggang hidup-hidup itu sama sekali bukan Bok Liong! Tadi memang Bok Liong yang diikat di situ, akan tetapi sekarang sama sekali bukan pemuda itu, biar pun keadaannya juga sama, setengah telanjang. Bukan Bok Liong melainkan seorang kakek yang pringas-pringis (menyeringai) dan matanya meram melek seakan-akan keenakan tiduran di atas nyala api yang hangat!
Agaknya sikap dan wajah Lin Lin yang jelas membayangkan kekagetan dan keheranan ini menarik perhatian Toat-beng Koai-jin. Kakek ini segera menengok ke arah ‘panggangannya’ dan alangkah kagetnya ketika ia bertemu dengan muka yang meringis, muka yang berjenggot jarang berkumis panjang, tubuh yang pendek, bukan lain adalah si kakek lucu yang tadi ia jumpai di rumah Ouw-kauwsu!
Kakek yang menggantikan kedudukan Bok Liong di atas api itu terkekeh dan berkata, “Ahhhhh... nikmatnya! Hangat dan enak! He, Toat-beng Koai-jin, apakah kau sudah begitu kelaparan sehingga kau doyan dagingku yang alot dan kulitku yang keras? Hati-hati kau, daging tuaku sudah demikian alotnya sehingga kau panggang seratus tahun pun takkan bisa menjadi empuk!”
“Demi Iblis! Siapakah kau ini orang gila?” Toat-beng Koai-jin sudah melompat berdiri dan siap bertempur. Kakek ini sekarang baru insyaf bahwa orang lucu yang sikapnya gila-gilaan itu sebenarnya memiliki kepandaian hebat. Maka tahulah ia bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh.....
“Jangan kira aku takut, tikus-tikus tak tahu diri!” Suling Emas membentak dan terdengarlah bunyi senjata yang patah-patah ketika sulingnya bergerak membabat pedang dan golok yang malang-melintang di depannya. “Lin Lin, serang dan robohkan mereka, tapi jangan bunuh!”
Akan tetapi jumlah pengeroyok makin banyak dan mereka berteriak-teriak, “Bunuh anjing pengkhianat! Jangan percaya omongan anjing penjilat Sung Utara!”
Dalam perjalanan mereka ke Nan-cao, Suling Emas dan Lin Lin tiba di luar kota Ban-in di pinggir Sungai Yang-ce-kiang. Di tempat inilah mereka dihadang kemudian dikeroyok oleh banyak sekali orang yang kesemuanya mahir ilmu silat dan membawa senjata. Hal ini saja cukup membayangkan bahwa mereka ini memang sudah berjaga di situ, dan bahwa pencegatan terhadap Suling Emas dan Lin Lin memang sudah diatur lebih dulu.
Biar pun puluhan orang pengeroyok itu adalah orang-orang yang melihat gerakan-gerakannya, ternyata pandai mainkan senjata tajam, namun mereka bukanlah lawan Lin Ling apa lagi Suling Emas. Sebentar saja golok-golok dan pedang-pedang berpelantingan, dan tubuh-tubuh terluka roboh saling tindih. Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang menggetarkan bumi. Agaknya suara ini merupakan komando karena para pengeroyok makin nekat dan mendesak, kemudian muncullah di antara para pengeroyok itu dua orang yang hebat-hebat.
Mereka adalah dua orang laki-laki tua yang hampir telanjang. Hanya cawat dan celana yang menutupi tubuh mereka. Biar pun keduanya sama menjijikkan seperti binatang atau manusia hutan yang liar, namun keadaan mereka jauh berbeda. Yang seorang bertubuh gemuk dan di tengkuknya terdapat daging punuk yang besar seperti punuk di punggung sapi jantan. Kedua lengannya panjang berbulu, kelihatan kuat sekali, sedangkan sepuluh jari tangannya berkuku panjang dan kotor. Kepalanya gundul, mata dan mulutnya membayangkan kebuasan yang mengerikan.
Orang kedua tinggi kurus, juga tak berbaju, hanya bercawat, juga gundul dan mukanya sama buas dan mengerikan. Kita pernah bertemu dengan yang tinggi kurus itu, karena ia bukan lain adalah Tok-sim Lo-tong, sahabat baik It-gan Kai-ong yang melakukan perjalanan bersama Suma Boan. Ada pun yang gendut itu juga bukan tokoh sembarangan, karena dia adalah kakak Si Tinggi Kurus, berjuluk Toat-beng Koai-jin (Manusia Aneh Pencabut Nyawa)! Seperti juga Tok-sim Lo-tong, Toat-beng Koai-jin ini termasuk seorang di antara Thian-te Liok-koai Si Enam Jahat.
Melihat munculnya dua orang kakak beradik ini, kagetlah Suling Emas, akan tetapi ia pun menjadi marah sekali. “Aha, kiranya Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong dua manusia buas yang berdiri di belakang semua ini? Kalian mau apa?”
“Heh-heh, Suling Emas, menyerah kau dan gadis itu!” Toat-beng Koai-jin menggeram, air liurnya menetes dari pinggir mulut. Lin Lin mengkirik penuh kengerian.
“Suling Emas, menyerahlah menjadi tawananku kalau mau selamat!” si Tinggi Kurus Tok-sim Lo-tong mengeluarkan suaranya yang tak enak didengar.
Tiba-tiba Suling Emas tersenyum lebar dan Lin Lin yang menoleh kepadanya menjadi bengong. Baru kali ini ia melihat Suling Emas tersenyum lebar. Wajahnya berubah sekali, kemuraman lenyap, wajah itu berseri-seri menjadi amat tampan. Alangkah inginnya dapat melihat Suling Emas seperti itu selalu!
“Kalian kira aku manusia macam apa, bisa kalian ancam untuk menyerah?”
“Heh-heh, aku tahu kau tentu melawan. Lebih baik lagi, tinggal menyeret bangkaimu kubawa pulang!” Toat-beng Koai-jin terkekeh lalu menerjang maju, menubruk Lin Lin. Gerakannya kelihatan lambat, tubuhnya begitu besar dan kaku akan tetapi entah bagaimana, tubrukan ini hampir tak terhindarkan oleh Lin Lin! Baiknya ia cepat mengayun pedang yang menjadi sinar kuning berkelebat di depan tubuhnya, merupakan senjata yang amat kuat dan agaknya Toat-beng Koai-jin maklum pula akan keampuhan pedang pusaka ini maka ia menggeram dan mengubah gerakan menubruk menjadi gerakan mencengkeram dari samping bawah!
Sementara itu Tok-sim Lo-tong juga sudah mengeluarkan senjata istimewa, yaitu seekor ular yang besar dan panjang. Ular dilibatkan di leher dan pinggang, ia sendiri memegang leher ular dan bersilatlah ia dengan kacau-balau menerjang Suling Emas. Biar pun kelihatannya ia berjingkrak dan bersilat kacau-balau seperti itu, namun Suling Emas yang sudah mengenalnya maklum bahwa si Tinggi Kurus ini amat hebat kepandaiannya. Justeru di dalam kekacau-balauan gerakan inilah terletak kekuatannya, apa lagi ‘senjata’ ular hidup itu bisa mulur dan mengkeret, amat sukar diduga perkembangannya. Angin pukulan yang menyambar-nyambar disertai bau amis dan berbisa, membayangkan tenaga sinkang yang mukjijat, bercampuran dengan hawa ilmu hitam dan hawa beracun. Di samping ini, masih banyak sekali orang yang mengeroyok Suling Emas dari kanan kiri dan belakangnya.
Mendapat lawan Tok-sim Lo-tong yang lihai ditambah banyak pengeroyok itu sama sekali tidak membikin gentar hati Suling Emas, akan tetapi yang membuat ia khawatir sekali adalah keadaan Lin Lin. Ia maklum bahwa betapapun lihainya Lin Lin dengan ilmu warisan dari Kim-lun Seng-jin, namun gadis itu masih jauh belum cukup kuat untuk menandingi seorang lawan yang seperti Toat-beng Koai-jin, seorang di antara Thian-te Liok-koai.
“He, Toat-beng si Lembu Edan, tidak malukah kau melawan seorang gadis cilik? Hayo kau sekalian maju mengeroyokku!” bentak Suling Emas seraya mainkan sulingnya sedemikian rupa sehingga gulungan sinar sulingnya itu menahan semua pengeroyok.
Akan tetapi kiranya malah Lin Lin yang menjawab, “Siapa gadis cilik? Aku bukan kanak-kanak lagi. Monyet gundul liar menjemukan, jangan dengarkan dia, hayo kau layani pedangku kalau memang berani! Lihat, ujung pedangku akan mendodet perutmu yang gendut kebanyakan makan itu!” Lin Lin menerjang hebat sambil memutar pedangnya dan dengan hati-hati. Karena maklum akan kelihaian lawan, ia mainkan ilmunya Khong-in-liu-san sambil mengerahkan tenaga sakti dengan Ilmu Khong-in-ban-kin.....
Toat-beng Koai-jin yang tadinya memandang rendah dan menyerbu gadis itu sambil tertawa-tawa, diam-diam kaget juga ketika melihat jurus-jurus yang dimainkan Lin Lin. Biar pun ia kelihatan buas dan liar seperti orang hutan, namun sebagian besar ilmu silat di dunia kang-ouw telah dikenalnya, maka ia mengenal pula Ilmu Khong-in (Awan Kosong) ini.
“Heh, kau murid Kim-lun Seng-jin? Bagus, tentu gurih dagingmu dibakar setengah matang. Heh-heh!” Tiba-tiba kakek liar ini menyambar dua orang pengeroyok Suling Emas, memegang pada kakinya dan menggunakan dua ‘senjata hidup’ ini menerjang Lin Lin.
Lin Lin kaget setengah mati. Terpaksa ia menggerakkan pedang menangkis.
“Crak! Crak!” darah menyembur karena tubuh dua orang itu terbabat putus oleh pedangnya!
Kakek itu tertawa-tawa dan... menggelogok darah yang tersembur ke luar itu ke dalam mulutnya, seperti orang kehausan minum air es! Kemudian ia melemparkan dua mayat itu dan sekali lagi ia menyambat kaki dua orang pengeroyok.
Lin Lin meramkan matanya melihat kakek itu minum darah, wajahnya menjadi pucat dan kakinya menggigil. Tapi kembali Toat-beng Koai-lojin sudah menerjangnya dengan dua ‘senjata hidup’. Lin Lin kewalahan, terpaksa kembali ia menangkis dan kembali dua orang itu mati seketika dengan perut dan dada terbelah. Tangan Lin Lin yang memegang pedang gemetar dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, tiba-tiba kakek itu telah menubruknya dan sebuah ketukan keras pada pergelangan tangannya membuat Lin Lin terpaksa melepaskan pedangnya. Tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan ia sudah disambar oleh Toat-beng Koai-jin yang tertawa terkekeh-kekeh sambil membawa lari tubuh Lin Lin yang lemas.
“Toat-beng Koai-jin, kalau kau mengganggu dia, aku bersumpah akan menyiksamu dan memotong-motong dagingmu sekerat demi sekerat!” bentakan Suling Emas ini keras sekali. Tiba-tiba sulingnya melakukan gerakan-gerakan aneh sekali, begitu halus akan tetapi mengandung kekuatan yang bukan main sehingga dalam sekejap mata enam orang pengeroyok terguling roboh sedangkan Tok-sim Lo-tong sendiri terdorong mundur sampai lima langkah.
“Ihhhhh... ilmu apakah ini...?” Tok-sim Lo-tong berseru kaget, akan tetapi ia mendesak lagi, dibantu oleh para pengeroyok yang nekat, menghalangi Suling Emas mengejar Toat-beng Koai-jin. Memang hebat gerakan Suling Emas tadi. Dalam kemarahan dan kegelisahannya melihat Lin Lin tertawan, ia tadi mainkan jurus dari ilmu silat yang ia terima dari Bu Kek Siansu. Girang hatinya melihat hasil ini, dan tahulah ia bahwa ilmu silat sastra ini sama sekali tidak dikenal Tok-sim Lo-tong sehingga tentu saja hasilnya amat baik.
Cepat sulingnya bergerak lagi, membuat huruf KOK (Negara). Huruf ini mengandung gerakan dalam yang rumit, akan tetapi dilingkari garis-garis segi empat yang melengkung. Kembali empat orang pengeroyok roboh dan ketika tubuh Suling Emas melayang dalam pembuatan gerakan melingkar, tahu-tahu ia telah bebas dari pengepungan dan cepat ia berkelebat mengejar ke arah larinya Toat-beng Koai-jin. Akan tetapi yang dikejar telah lenyap, tidak tampak bayangannya lagi.
Suling Emas memasuki kota Ban-sin, langsung menuju ke rumah Ouw-kauwsu, seorang guru silat di kota itu yang dikenalnya. Ouw-kauwsu terkejut dan girang bukan main melihat munculnya pendekar sakti ini. Cepat ia menjura dengan hormat dan dengan wajah berseri-seri ia berkata. “Wahai, tak pernah mimpi siauwte akan menerima kehormatan besar dengan kunjungan Taihiap (Pendekar Besar)!”
“Ouw-kauwsu, ada urusan penting. Maaf, aku ingin singkat saja. Tahukah kau di mana aku dapat menjumpai Toat-beng Koai-jin? Lekas, sekarang juga!”
Berubah wajah Ouw-kauwsu, terang bahwa dia menjadi ketakutan. “Memang... memang kulihat dia dalam bulan ini berada di Ban-sin, biasanya dia di... di dalam kuil...”
“Heh-heh-heh, Suling Emas. Tak usah repot-repot, aku sudah berada di sini!” tiba-tiba terdengar suara keras dan parau.
Suling Emas dan Ouw-kauwsu cepat memutar tubuh dan... kiranya manusia iblis yang dijadikan bahan percakapan itu telah berada di situ, duduk nongkrong di atas tiang melintang dekat langit-langit rumah sambil menggerogoti daging dari tulang paha, entah paha apa!
Dan pada saat itu juga, terdengar suara orang mengomel, “Nanti dulu... tenanglah, kau ajak aku berlari-lari. Kalau betul dia Suling Emas, mau apakah? Mau suruh dia tiup suling? Eh, tidak enak memasuki rumah orang seperti ini. Heee, tuan atau nyonya rumah, ke mana kalian? Wah, agaknya rumah kosong....”
Muncullah orangnya yang berkata-kata itu. Kiranya dia seorang kakek pendek, kumis dan jenggotnya jarang, sikapnya lucu dan selalu terkekeh. Di belakangnya berjalan seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Sian Eng. Begitu memasuki ruangan itu, kakek lucu ini melihat Suling Emas dan Ouw-kauwsu berdongak memandang ke atas. Ia pun ikut memandang dan tiba-tiba ia berseru kaget.
“Eh, eh, anak nakal... kenapa kau naik ke sana? Hayo turun lekas... wah, kalau jatuh bisa pecah punukmu. Turun... turun...!” Ia menggapai-gapai tangannya menyuruh turun. Akan tetapi Toat-beng Koai-jin hanya memandang sambil menyeringai dan melanjutkan kesibukannya yaitu menggerogoti daging.
Kakek pendek itu makin gugup. “Kau tidak turun? Celaka... wah, aku paling ngeri melihat orang jatuh dari tempat tinggi... hayo turunlah...!” Ia lalu menghampiri tiang dan mulailah ia memanjat ke atas seperti seorang kanak-kanak memanjat pohon kelapa! Setelah ia tiba di atas, hampir sama tingginya dengan tempat di mana Toat-beng Koai-jin duduk nongkrong matanya terbelalak ketakutan.
“Kau makan apa itu? Hiiiiihhh, daging itu masih mentah! Lihat ada darahnya, wah-wah, kau memang bocah nakal. Bisa kembung perutmu. Eh, bukankah kau ini si nakal Toat-beng Koai-jin? Ya, kukenal punukmu itu! Ihhh, tentu daging manusia yang kau makan. Wah, seram... seram...!”
********************
Bagaimanakah Sian Eng bisa datang bersama kakek pendek yang lucu ini dan siapakah gerangan kakek itu? Seperti telah kita ketahui, Sian Eng pergi bersama Suma Boan ke gedung indah milik adik Suma Boan yang bernama Suma Ceng. Seperti telah diduga oleh Sian Eng, setelah berada di dalam kamar berdua dengan bekas kekasih kakaknya ini, ia mendengar banyak tentang diri Bu Song. Kiranya cerita yang ia dengar dari Suma Ceng tiada bedanya dengan yang sudah didengarnya dari Suma Boan, hanya tentu saja, dari mulut Suma Ceng terdengar berlainan. Terang bahwa nyonya muda cantik ini benar-benar mencintai Bu Song.
“Dia meninggalkan aku...” Suma Ceng mengakhiri ceritanya sambil menghapus air matanya. “Tapi... untung Boan-ko (Kakak Boan) menolongnya dan ia tidak sampai tewas. Aku dipaksa kawin... sekarang sudah tiga orang anakku... suamiku baik terhadapku... aku berusaha melupakannya sedapat mungkin, tapi... tapi....” kembali ia menangis perlahan, “yang menyedihkan hatiku, aku tidak tahu bagaimana nasibnya sekarang, di mana ia berada... kalau saja dia sudah menikah dengan gadis lain dan hidup bahagia... akan terobatilah hatiku....”
Sian Eng ikut menangis. Terharu hatinya mendengar cerita yang menyedihkan tentang asmara gagal yang diderita nyonya muda ini dan kakaknya. “Betapa pun juga, kau sudah berumah tangga, sudah berputera, harap jangan memikirkan kakakku lagi,” kata Sian Eng. “Dan kurasa kakakku juga berusaha melupakan peristiwa itu....”
“Tak mungkin! Bu Song takkan dapat melupakan aku, sampai mati pun takkan ia dapat melupakan aku! Kami... kami... ah...!” kembali nyonya muda itu menangis sedih. “Siapa tahu... ia malah telah membawa cinta kasihnya ke balik kubur....” terisak-isak ia kini. “Kalau aku tahu... ah, aku pun lebih baik mati....”
Terkejut juga hati Sian Eng. Bukan main! Kiranya cinta kasih antara mereka itu sudah demikian hebat. “Enci yang baik, harap kau tenangkan hatimu. Kakakku Bu Song belum mati dan besok aku diajak oleh Suma-kongcu menyusulnya. Kalau aku bertemu dengan kakakku, aku akan sampaikan pesanmu kepadanya, akan kubujuk dia supaya menikah dengan gadis lain.”
Mata yang agak merah karena tangis itu memandangnya. “Betulkah? Benar-benar Boan-ko tahu di mana adanya Bu Song? Hati-hati, Adik Sian Eng... dia... kakakku itu....”
Melihat keraguan ini, Sian Eng timbul curiga. “Ada apa dengan kakakmu?”
“Dia baik, baik sekali kepadaku dan aku amat sayang kepadanya. Kami hanya berdua saudara dan dia amat sayang pula kepadaku. Tapi... tapi... ah, bagaimana aku bisa membiarkan adik Bu Song menjadi korban? Adik Sian Eng, terus terang saja, betapa pun sayangku kepada kakakku, akan tetapi harus kuakui bahwa dia itu... dia mudah terjatuh oleh wanita cantik. Dan kau amat cantik, adikku, kau cantik menarik. Aku khawatir kalau-kalau kau menjadi korbannya. Sudah terlalu banyak gadis-gadis tak berdosa jatuh ke tangan kakak kandungku. Kau adik Bu Song, aku harus memperingatkanmu, jangan kau bergaul dengannya. Kecuali...” wajahnya menjadi bersinar, “ah, alangkah baiknya. Kecuali kalau ia betul-betul cinta kepadamu dan mau mengambilmu sebagai isteri. Ah, benar! Ini bagus sekali. Aku gagal berjodoh dengan Bu Song, sekarang sebagai gantinya adiknya berjodoh dengan kakakku, bukankah ini baik sekali?”
Merah wajah Sian Eng. “Ah, Cici, omongan apakah ini? Siapa yang berpikir tentang jodoh?” Sampai di sini percakapan mereka berakhir dan malam hari itu Sian Eng tak dapat tidur nyenyak biar pun ia mendapatkan kamar yang indah dan tempat tidur yang mewah. Hatinya merasa tidak enak.
Akan tetapi Suma Boan ternyata pintar sekali mengambil hati. Ia memperlihatkan sikap sopan dan menghormat sehingga Sian Eng mulai percaya lagi kepadanya. Peringatan Suma Ceng sudah hampir lenyap bekasnya di hati, sungguh pun ia selalu masih berhati-hati dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Perjalanan jauh itu dilakukan dengan penuh kegembiraan karena sikap Suma Boan yang baik, dan makin kagumlah Sian Eng ketika melihat betapa hampir di setiap kota dan dusun, putera pangeran ini agaknya mempunyai sahabat-sahabat yang amat hormat dan tunduk terhadapnya.
Akhirnya tibalah mereka di kota Ban-sin dan Suma Boan mengajaknya bermalam di kota ini. Juga di sini Suma Boan mempunyai banyak hubungan. Malah ia diterima oleh seorang pembesar, dipersilakan bermalam di sebuah rumah gedung yang dijaga oleh prajurit-prajurit, diperlakukan dengan segala kehormatan.
Yang membuat Sian Eng kaget bukan main adalah ketika ia melibat bayangan It-gan Kai-ong si raja pengemis yang mengerikan itu! Ia melihat pengemis tua ini tanpa sengaja. Ketika itu ia sudah memasuki kamarnya dan langsung membaringkan tubuh di tempat tidur, karena ia merasa amat lelah. Tiba-tiba ia mendengar suara Suma Boan di belakang rumah. Selama ini kecurigaannya terhadap Suma Boan sudah hilang dan makin lama makin baiklah kesan di hatinya terhadap putera pangeran ini. Kini mendengar suaranya, tiba-tiba timbul keinginan hatinya untuk mengajaknya bercakap-cakap! Ia turun dari pembaringan, membuka pintu kamar dan di saat itulah ia mendengar suara parau yang membuat bulu tengkuknya berdiri.
“Sungguh kau sembrono sekali!” kata suara parau itu. “Dia hanya berada beberapa puluh li di belakangmu dan kau masih tidak tahu!”
“Tapi, Suhu, Locianpwe Tok-sim Lo-tong juga tidak memberi tahu sesuatu!” terdengar suara Suma Boan membantah.
“Uh, dasar sembrono! Biar kusiapkan sambutan, untungnya ada Toat-beng Koai-jin di sini. Hati-hati, jaga baik-baik gadis itu, mungkin bisa dipergunakan untuk menundukkannya!”
Sian Eng cepat menyelinap ke balik daun pintu sambil mengintai. Dugaannya tidak keliru, tak lama kemudian ia melihat bayangan It-gan Kai-ong berjalan terbongkok-bongkok bersandarkan tongkat bututnya. Di bawah sinar lampu yang suram muram itu kakek ini tampak makin buruk saja, dengan mata satunya yang berair dan terhias kotoran kuning di ujung, rambutnya yang riap-riapan dan mulutnya yang hanya bergigi satu. Sian Eng bergidik dan kedua kakinya gemetar. Sukar untuk mengatakan siapa yang lebih mengerikan antara It-gan Kai-ong, Hek-giam-lo, dan Tok-sim Lo-tong, juga wanita iblis Siang-mou Sin-ni!
Munculnya It-gan Kai-ong ini tentu saja membuyarkan lamunan Sian Eng dan membatalkan niatnya untuk menemui Suma Boan. Akan tetapi agaknya putera pangeran itu mengalami dorongan hasrat hati yang sama. Buktinya, tidak lama setelah Sian Eng kembali melempar diri ke atas pembaringan, daun pintu kamarnya diketok orang. Ketika Sian Eng yang berdebar-debar hatinya membuka daun pintu, kiranya Suma Boan yang berdiri di situ sambil tersenyum! Bukan main lega hati Sian Eng, karena tadinya ia sudah merasa cemas dan ngeri, takut kalau-kalau ia akan berhadapan dengan It-gan Kai-ong. Kelegaan hatinya ini memancing senyum manisnya.
“Sian Eng moi-moi, kau belum tidur?”
Sian Eng menggeleng kepala. Pertanyaan tentang It-gan Kai-ong berada di ujung bibir, akan tetapi ia tahan.
“Apakah kedatanganku ini mengganggumu?” tanya pula Suma Boan dengan suara halus.
“Tidak sama sekali. Kenapa kau begini sungkan, Koko? Dan kelihatan gugup? Ada apakah?”
Senyum Suma Boan melebar, tetapi suaranya gemetar ketika ia menjawab. “Tidak apa-apa... hanya aku... ah, sudah beberapa malam aku tak dapat memejamkan mata, Moi-moi.”
“Kenapa? Sakitkah engkau?” tanya Sian Eng memandang tajam.
Suma Boan mengangguk-angguk. “Memang sakit, tapi bukan tubuhku yang sakit, melainkan hatiku. Moi-moi... Sian Eng... hatiku menderita rindu, mataku tak dapat tidur karena selalu terbayang wajahmu. Ah, alangkah cantik manis engkau, Moi-moi, dan aku tergila-gila kepadamu, aku cinta padamu....”
Seketika kedua kaki Sian Eng menggigil, mukanya panas rasanya tapi tangan kaki merasa dingin, jantungnya berdegupan sehingga degup jantung itu terdengar berdentam-dentam di kedua telinganya, darahnya berdenyutan sampai terasa hampir memecahkan urat-urat di pelipisnya. Ia menunduk, tak berani memandang, mulutnya setengah tersenyum setengah menangis.
Sian Eng masih dalam keadaan setengah sadar ketika ia merasa betapa pundaknya dirangkul orang, betapa rambut di kepalanya diciumi orang dan betapa Suma Boan memeluknya sambil berbisik-bisik tak tentu ujung pangkal atau pun isinya. Sejenak Sian Eng memejamkan matanya, menyandarkan kepala pada dada pemuda itu, merasa bahagia dan napasnya terengah-engah sesak. “Aku juga cinta padamu,” bisik suara hatinya.
Akan tetapi tiba-tiba telinganya mendengar bisikan-bisikan, itulah suara Suma Ceng ketika bicara kepadanya di dalam kamar. “... aku khawatir kalau-kalau kau menjadi korbannya... sudah terlalu banyak gadis-gadis tak berdosa jatuh oleh kakak kandungku...”
Dan tiba-tiba Sian Eng merasa betapa kurang ajar kedua tangan Suma Boan. Ia meronta dan tangannya menampar, tepat mengenai pipi Suma Boan, kemudian ia melompat ke belakang. Melihat betapa pemuda yang sebetulnya telah merebut hatinya itu berdiri bengong dengan muka pucat, dan pipi yang ditamparnya tadi merah sekali, Sian Eng menutupi muka dengan kedua tangannya dan menangis.
“... kenapa Moi-moi...? Kenapa kau menamparku? Bukankah... bukankah kau juga cinta kepadaku seperti cintaku kepadamu?”
Dengan mata berlinang air mata Sian Eng memandang, kemudian terdengar ucapannya terpitus-putus, “... cintaku bukan untuk... untuk... menjadi permainanmu... aku bukan... bukan perempuan... yang boleh kau perlakukan sesukamu... yang boleh kau hina...”
Suma Boan menarik napas panjang, “Eng-moi, kau aneh..., biarlah kau pikir dan pertimbangkan betapa tidak adilnya sikapmu terhadap aku yang mencintamu sepenuh hati...,” setelah berkata demikian, Suma Boan keluar dari kamar sambil menutupkan daun pintunya.
Sian Eng tak kuasa menahan kakinya yang lemas gemetar. Ia menjatuhkan diri di atas pembaringan, duduk termenung mendengarkan langkah kaki Suma Boan yang makin lama makin menjauhi kamarnya. Kemudian ia merebahkan diri tertelungkup dan menangis di atas bantal.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Suma Boan sudah terdengar memaki-maki para penjaga yang berdiri dengan muka pucat dan saling pandang. “Kalian tikus-tikus goblok! Apa kerja kalian malam tadi? Tidur semua, ya?”
“Ampun, Suma-kongcu, mana kami berani tidur? Tak sedikit pun kami tidur dan....”
“Bohong!” Suma-kongcu menggerakkan tangannya dan pembicara itu roboh tersungkur. “Orang luar telah memasuki gedung, nona dibawa pergi dan kalian bilang tidak tidur? Pemalas! Goblok!”
“Eh, eh, apakah yang terjadi?” Suara serak ini disusul munculnya It-gan Kai-ong.
Melihat gurunya, Suma Boan menjadi agak tenang, akan tetapi kemurungan masih membayangi mukanya yang tampan. “Suhu, semalam ada musuh mendatangi rumah ini dan membawa pergi Sian Eng. Sungguh teecu (murid) tak dapat menduga siapa dia. Akan tetapi dia meninggalkan tanda tapak kaki di tembok!”
“Apa katamu? Tapak kaki di tembok?” si Raja Pengemis bertanya heran. Memang luar biasa keterangan Suma Boan tadi. Mana bisa ada telapak kaki di atas tembok?
“Mari, harap Suhu periksa sendiri!” Pemuda itu mendahului suhu-nya menuju ke ruangan tengah. Dan di atas tembok, dekat kamar Sian Eng, di atas sebuah meja kecil terdapat beberapa tapak kaki berlumpur di atas tembok.
“Inilah tanda itu, Suhu, Bukankah ini penghinaan yang amat besar? Entah tapak kaki siapa ini?” kata Suma Boan sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah tembok.
Beberapa orang penjaga yang tadi dimaki-maki Suma Boan memandang juga dengan muka pucat. Pantasnya, hanya kaki binatang merayap sebangsa cecak yang dapat meninggalkan jejak di atas tembok. Akan tetapi jejak yang tampak jelas di atas tembok itu adalah jejak kaki manusia! Kaki yang pendek, jari-jarinya terbentang seperti biasanya jari kaki orang yang tak pernah pakai sepatu. Jejak kaki itu kanan-kiri berjalan rapi seperti jejak orang berjalan dengan langkah pendek-pendek. Akan tetapi bagaimana mungkin seorang manusia berjalan di atas tembok seperti cecak?
Mata tunggal It-gan Kai-ong melotot sebentar memandang tapak kaki itu. “Hu-huh, Pek-houw-yu-chong (ilmu merayap di tembok seperti cecak) tingkat tinggi. Manusia sombong bermaksud menakut-nakutimu atau memang hendak memamerkan kepandaiannya yang tidak seberapa ini. Orangnya pendek, tak pernah pakai sepatu....” Tiba-tiba It-gan Kai-ong berhenti bicara, matanya bersinar-sinar.
“Pendek tak bersepatu? Hanya Kim-lun Seng-jin tokoh sakti yang pendek dan tak pernah bersepatu!” Suma Boan berkata.
Gurunya mengangguk. Tapi segera menggelengkan kepala, alisnya berkerut. “Sudah tentu dia bisa melakukan hal ini, akan tetapi kurasa bukan dia. Kim-lun Seng-jin biar pun suka bergurau, akan tetapi tidak seperti anak kecil meninggalkan jejak kaki di sini. Tentu seorang tokoh lain yang gila....” It-gan Kai-ong kelihatan marah dan menyumpah-nyumpah di dalam mulutnya.
Ke manakah perginya Sian Eng? Ketika malam itu ia menangis di atas pembaringannya, tiba-tiba ia mendapat perasaan bahwa ada sesuatu terjadi, bahwa dia tidak sendirian di dalam kamarnya. Ia mengangkat mukanya dari bantal dan dari balik air matanya ia mengerling. Alangkah kagetnya ketika ia melihat bayangan seorang laki-laki tua pendek tersenyum-senyum memandangnya di tengah kamar. Sian Eng merasa seperti mimpi, digosok-gosoknya kedua matanya, lalu ia bangkit dan duduk. Bayangan itu masih ada, malah kini ia dapat memandang jelas di bawah sinar lampu meja.
Benar seorang laki-laki yang tua, pendek dan tersenyum-senyum. Sepasang mata yang jenaka, kumis panjang kaku menunjuk ke kanan kiri, jenggotnya jarang terurai ke bawah. Sama sekali bukan seorang kakek yang menyeramkan seperti It-gan Kai-ong, namun caranya memasuki kamar cukup aneh sehingga menyeramkan. Akan tetapi, sepasang mata itu terang bukanlah mata orang jahat.
“Siapakah... kau...? Bagaimana bisa masuk...?” Sian Eng memandang ke arah pintu kamarnya yang masih tertutup.
“Heh-heh, Nona Kam Sian Eng. Kau benar-benar bocah yang bodoh dan nakal. Mana bisa kau mengharapkan kebaikan dari seorang macam Suma Boan? Kau berada dalam bahaya, marilah ikut denganku.”
“Kau siapa? Apa artinya semua ini?”
Kakek itu tersenyum dan wajahnya benar-benar lucu kalau ia tersenyum, seperti senyum seorang badut. “Aku siapa? Panggil saja
Empek Gan. Lie Bok Liong itu muridku. Di sini kau terancam bahaya besar, mari ikut denganku keluar. Tiada banyak waktu lagi,” sambil berkata demikian kakek itu menggerakkan tangannya dan gadis ini merasa tubuhnya melayang ke luar dari jendela kamar yang ditendang terbuka oleh kakek itu sambil melayang dan menariknya.
Ia terkejut bukan main, maklum bahwa kakek ini seorang sakti yang luar biasa. Akan tetapi hatinya lega mendengar bahwa kakek ini adalah guru Lie Bok Liong sahabat baik adiknya itu. Hatinya merasa berat meninggalkan tempat itu, atau lebih tepat, meninggalkan Suma Boan. Akan tetapi ia menggigil kalau ia teringat akan peristiwa tadi, betapa dengan penuh nafsu putera pangeran itu merayunya. Benar-benar berbahaya. Bagaimana kalau ia tidak kuat menahan? Tentu ia menjadi korban! Berpikir sampai di sini, tiba-tiba mukanya menjadi merah sekali. Siapa tahu, kakek aneh ini tadi melihat semua adegan memalukan itu!
Tanpa ia ketahui tujuannya, ia menurut saja dibawa pergi Empek Gan. Akhirnya mereka memasuki sebuah kelenteng tua yang sudah rusak. Kelenteng yang amat menyeramkan, penuh sarang laba-laba dan agaknya hanya patut dijadikan tempat tinggal para siluman dan setan. Akan tetapi Sian Eng tidak merasa takut, tidak merasa seram seperti ketika ia ditawan Hek-giam-lo. Empek Gan ini ternyata telah membersihkan ruangan samping kelenteng itu, buktinya lantainya bersih dan di situ tidak ada sarang laba-laba.
“Nah, kita melewatkan malam di sini. Nona. Ketahuilah, muridku ditangisi adikmu yang nakal, yang minta supaya muridku mencarimu sampai dapat. Ketika muridku mendengar bahwa kau pergi bersama Suma Boan dan si badut Tok-sim Lo-tong, ia mencari aku dan memaksa si tua ini turun tangan. Aku sudah lama mengikuti perjalananmu dan baru malam ini turun tangan setelah melihat betapa besarnya bahaya yang mengancam dirimu. Besok kita melanjutkan perjalanan, malam ini kau boleh mengaso. Tentu saja tidak seenak tidur di kamar dalam gedung itu, akan tetapi di sini kau lebih aman. Aku sudah tua, tidak bisa lagi membedakan mana cantik mana buruk, heh-heh!”
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Eng sudah bangun. Memang semalam ia hampir tak dapat memejamkan matanya di dalam kelenteng itu. Pikirannya kacau-balau dan resah kalau ia teringat akan Suma Boan. Dengan girang ia mendapatkan sebuah mata air di belakang kelenteng dan setelah mencuci muka dan tubuh sehingga terasa segar, Sian Eng kembali ke dalam kelenteng, akan tetapi kakek pendek lucu itu ternyata masih mendengkur. Ia tidak berani mengganggu, dan menanti. Akan tetapi sampai matahari naik tinggi, kakek itu belum juga bangun. Akhirnya habislah kesabaran Sian Eng.
“Empek Gan... Empek Gan...! Bangunlah!” Ia mengguncang-guncang lengan kakek itu.
Kakek itu kaget, lalu gelagapan bangun. “Ada apa...? Kebakaran...? Dunia kiamat? Celaka... aku masih ingin hidup!” Ia melompat dan lari ke sana ke mari, kelihatan bingung sekali sehingga Sian Eng menjadi geli melihatnya.
“Tidak ada apa-apa, Lopek,” katanya membantah.
Kakek itu menjatuhkan diri duduk di atas lantai, bersandar tembok, terengah-engah dan mengusap-usap kedua mata dengan belakang tangan seperti kebiasaan anak kecil kalau bangun tidur. “Aduh ampuuuuun... sampai kaget setengah mampus hatiku. Puluhan tahun hidupku ayem tenteram, sekali dekat wanita, tidur saja tidak nyenyak lagi! Beratnya orang membela murid... heeeiiii! Mana Bok Liong? Bocah tolol itu belum juga muncul? Nona, kau melihat dia?”
Sian Eng mendongkol bukan main mendengar kata-kata kakek itu tentang wanita, akan tetapi maklum bahwa kakek ini termasuk orang aneh. Ia tidak mau melayani dan pertanyaan terakhir ia jawab dengan gelengan kepala.
“Wah-wah, betul-betul dia tidak muncul? Celaka... tentu ada apa-apa. Tak mungkin dia berani tidak mentaati perintahku dan memenuhi janji. Wah, sudah siang, hayo kita pergi!”
Kali ini Empek Gan tidak menarik tangan Sian Eng seperti malam tadi. Mereka berjalan ke luar dari kelenteng dan Sian Eng mengikuti ke mana kakek itu pergi. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang, Sian Eng memandang ke depan dan jantungnya berdebar ketika ia melihat jubah hitam dan topi sastrawan.
“Suling Emas...! Dia Suling Emas... mari kejar dia!” Sian Eng lalu lari mengejar.
Kakek Gan mengomel, “Wah-wah, pagi-pagi belum sarapan kau ajak balapan lari. Dengar perutku mengeluh panjang pendek. Tak usah kejar...” Akan tetapi kedua kakinya yang pendek itu terpaksa mengikuti Sian Eng yang menggunakan ilmu lari cepat mengejar Suling Emas.
“Dia Suling Emas, aku mau bertanya tentang kakakku...!” Sian Eng tidak pedulikan omelan kakek itu dan terus mengejar.
Ketika melihat Suling Emas yang sudah jauh itu lenyap ke dalam sebuah rumah yang sunyi, Sian Eng berhenti di depan rumah itu, meragu sebentar lalu tanpa banyak cakap lagi ia juga memasuki pekarangan rumah yang sunyi dan terus menerobos pintu depan untuk mencari Suling Emas. Dari belakangnya Empek Gan berteriak-teriak mencela.
Seperti sudah diceritakan di bagian depan, begitu memasuki ruangan rumah yang ternyata adalah rumah guru silat Ouw-kauwsu, seorang guru silat di kota Ban-sin yang cukup terkenal, mereka berdua melihat adegan yang aneh, yaitu Ouw-kauwsu berdiri bengong. Suling Emas berdiri dengan alis berkerut memandang ke atas di mana seorang kakek seperti anak hutan sedang duduk di atas balok tiang melintang dekat atap rumah sambil makan daging paha yang digerogoti. Melihat ini Empek Gan berlari menghampiri tiang dan memanjat tiang itu seperti seekor kera memanjat kelapa, berteriak-teriak menyuruh turun kakek seperti orang hutan itu.
“Wah, aku kenal kau sekarang. Tak salah lagil! Gundul pacul, punuknya seperti lembu jantan, mukanya buruk seperti monyet, perutnya gendut seperti babi, telanjang hanya pakai cawat, pemakan daging manusia. Betul, biar selamanya belum pernah bertemu, tapi aku sudah banyak mendengar tentang dirimu. Kau Toat-beng Koai-jin!” Empek Gan berteriak-teriak sambil memandang dengan wajah memperlihatkan kengerian.
Memang betul ucapan Empek Gan yang tampak ketakutan itu. Kakek liar itu adalah Toat-beng Koai-jin si Orang Aneh Pencabut Nyawa! Biar pun dia kelihatan seperti orang hutan, namun seperti juga adiknya Tok-sim Lo-tong, kakek ini memiliki kepandaian yang hebat sekali. Dia termasuk seorang di antara Thian-te Liok-koai, dan julukan sebagai seorang di antara si Enam Jahat itu memang patut baginya mengingat bahwa ada kalanya kakek liar ini betul-betul makan daging manusia seperti yang dituduhkan Empek Gan tadi.
Biar pun ia hidup seperti orang liar, namun tidak biasa Toat-beng Koai-jin mendengar maki-makian yang ditujukan kepada dirinya. Sedikit saja orang berani menyinggungnya, jangan harap dia mau mengampuni nyawa orang itu, apa lagi sekarang ada orang pendek ketakutan ini berani memaki-makinya seperti itu. Toat-beng Koai-jin terbahak-bahak dan inilah menjadi tanda bahwa dia sedang marah besar!
“Cacing perut! Makanlah ini!” Tangannya yang besar berbulu itu bergerak. Tulang paha yang sudah tak berdaging lagi itu ia lontarkan ke arah Empek Gan yang masih memeluk tiang dengan kaki tangannya. Tulang itu menghantam pinggir tiang, terdengar suara keras dan balok itu somplak seperti dihantam kapak! Tidak hanya membelah kayu, tulang itu terus menghantam pundak Empek Gan dan... tubuh Empek Gan melorot turun, akhirnya pantatnya terbanting menghantam lantai sampai mengeluarkan suara seperti kasur digebuk.
Empek Gan meringis kesakitan, bangun berdiri dan menepuk-nepuk pantatnya, agaknya untuk menghilangkan rasa sakit. Debu mengebul ketika celana belakangnya itu ia tepuk-tepuk. Karena kebetulan sekali Sian Eng berdiri di belakangnya, gadis ini melangkah mundur dengan kening berkerut. Celaka pikirnya, ia telah salah sangka. Kakek ini sama sekali bukanlah orang sakti. Mungkin hanya pandai lari cepat saja. Buktinya, sekali disambit tulang sudah roboh. Sungguh tak tahu malu!
Empek Gan sudah mengomel. “Celaka! Cocok dengan wujudnya!” Ia menoleh kepada Suling Emas dan berkata menyeringai, “Hati-hati kalau kau berurusan dengan monyet hutan liar itu!”
Toat-beng Koai-jin menyumpah-nyumpah. “Cacing busuk, jangan lari kau!”
Empek Gan tertawa, membalikkan tubuhnya membelakangi Toat-beng Koai-jin sambil menggoyang-goyang kibul dan berkata, “Beginikah gerakan cacing? Ho-ho, sebentar lagi mau mampus masih suka maki-maki orang!” Setelah berkata demikian, kakek ini menggerakkan kedua kakinya lari ke luar dari rumah itu sambil menoleh ke arah Suling Emas dan berkata, “Jaga Nona ini baik-baik, jangan sampai dia dirayu palsu oleh Suma Boan lagi!”
Sian Eng menjadi makin mendongkol, akan tetapi Suling Emas tidak pedulikan kakek itu, juga agaknya tidak peduli kepadanya, buktinya menengok pun tidak. Suling Emas menghadapi kakek liar di atas itu sambil berkata, suaranya serius penuh ancaman.
“Toat-beng Koai-jin, biar pun di antara kau dan aku tidak pernah terjadi pertentangan karena kita masing-masing mengikuti jalan sendiri, akan tetapi hari ini kau telah melanggarnya. Lekas kau bebaskan dan kembalikan nona yang kau culik, kalau tidak, aku Suling Emas tidak akan berlaku sungkan-sungkan lagi. Dengar baik-baik, kalau kau mengganggu nona itu, aku bersumpah takkan berhenti sebelum dapat merobek tubuhmu menjadi empat potong!”
Toat-beng Koai-jin mendengus marah. “Suling Emas, kau bocah kemarin sore yang masih ingusan, sombong amat ucapanmu. Sudah lama aku ingin mencoba kepandaianmu, dan hari ini adalah hari baikku. Aku belum ganggu nona cilik itu, tunggu sampai aku menangkapmu untuk kupanggang bersama, heh-heh!”
“Ouw-kauwsu, aku minta tolong kepadamu, bawa ke luar nona ini ke tempat aman!” kata Suling Emas, maklum bahwa ia akan menghadapi lawan-lawan tangguh sehingga kehadiran Sian Eng hanya akan merupakan gangguan belaka. “Kau ikutlah bersama Ouw-kauwsu, tunggu aku selamatkan adikmu.”
Sian Eng diam-diam terkejut dan dapat menduga bahwa yang diculik oleh manusia liar itu tentulah Lin Lin. Maka tanpa banyak cakap lagi ia mengangguk dan bergerak mengikuti guru silat yang wajahnya sudah pucat karena gelisah itu. Akan tetapi begitu keduanya keluar pintu, terdengar pekik mengerikan dan tubuh Sian Eng terhuyung ke belakang, masuk kembali ke ruangan itu disusul tubuh Ouw-kauwsu yang terlempar dan roboh di atas lantai dalam keadaan tak bernyawa lagi, pada pipinya terdapat luka kehitaman!
Toat-beng Koai-jin tertawa bergelak dan tubuhnya yang besar gendut itu melayang turun dengan amat ringannya. Biar pun tubuhnya gendut dan gerakannya kelihatan kaku, akan tetapi ternyata ia gesit dan cepat sekali. Begitu kedua kaki menyentuh lantai, kedua tangannya sudah bergerak menerjang Suling Emas, dari kuku-kuku jarinya yang panjang itu terdengar bunyi bercuitan!
“Sian Eng, jangan keluar, di sini saja!” pesan Suling Emas dan tubuhnya berkelebat lenyap, berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di sekeliling tubuh Toat-beng Koai-jin.
Kiranya dua orang sakti itu sudah saling terjang dengan hebatnya! Sian Eng menyelinap ke sudut ruangan itu, memandang penuh kekhawatiran. Ia cemas sekali, takut kalau-kalau Suling Emas kalah sedangkan dia sendiri tidak berdaya membantu karena maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh ketinggalan dan kalau ia membantu, hal itu malah akan membikin repot Suling Emas saja.
Suling Emas adalah seorang pendekar besar yang menjunjung tinggi kegagahan. Ia merasa khawatir sekali akan keselamatan Lin Lin, juga kini harus menjaga keselamatan Sian Eng, sedangkan Toat-beng Koai-jin, lawannya yang sakti ini masih dibantu oleh orang-orang jahat dan sakti lain yang berada di luar pintu rumah! Tentu saja ia tahu bahwa tewasnya Ouw-kauwsu adalah karena serangan dari luar rumah, dan melihat luka hitam di mukanya itu, agaknya itulah hasil kerja Tok-sim Lo-tong, yaitu gigitan ular berbisa. Namun melihat betapa Toat-beng Koai-jin hanya seorang diri saja menghadapinya dengan tangan kosong, ia tidak sudi menggunakan senjata yang paling ia andalkan, yaitu sulingnya. Ia pun menghadapi lawan ini dengan tangan kosong pula.
Toat-beng Koai-jin dan adiknya, Tok-sim Lo-tong, sebetulnya adalah dua orang penghuni pulau kosong di Lam-hai (Laut Selatan). Tadinya mereka berdua adalah kacung atau pelayan-pelayan cilik seorang tokoh besar di jaman Tang, seorang panglima yang tidak sudi menghambakan diri kepada musuh setelah Kerajaan Tang jatuh. Ia melarikan diri ke selatan dan mengasingkan diri di pulau kosong, hanya ditemani dua orang kacungnya. Panglima ini berilmu tinggi dan sampai mati ia tinggal di dalam pulau itu, tak pernah meninggalkan pulau. Semua ilmunya ia turunkan kepada dua orang kacungnya yang mendapat kemajuan sesuai dengan bakatnya masing-masing.
Akan tetapi agaknya karena mereka tak pernah bergaul dengan dunia ramai, juga karena di pulau itu banyak terdapat binatang-binatang berbisa, kedua orang bersaudara ini hidup seperti tidak normal lagi. Mereka menjadi korban gigitan serangga-serangga berbisa yang meracuni otak mereka sehingga hidup mereka menjadi liar seperti binatang-binatang hutan. Puluhan tahun kedua orang kakak beradik ini hidup di pulau setelah majikan dan guru mereka meninggal dunia.
Usia mereka sudah lima puluhan tahun lebih ketika pada suatu hari secara kebetulan ada sebuah perahu dagang yang terdampar ke pulau itu setelah dipermainkan ombak dan badai. Dapat dibayangkan betapa ngeri hati para penumpang perahu yang tiga puluh orang lebih jumlahnya itu ketika mereka melihat dua orang kakek gila yang telanjang bulat itu. Dua orang kakek itu segera menyerang mereka dan dalam waktu singkat saja, tiga puluh orang lebih telah tewas oleh mereka berdua!
Kemudian mereka secara ngawur mengembangkan layar dan berlayarlah mereka ke tengah samudera. Karena tidak biasa, mereka mabuk laut, mengamuk dan merusak isi perahu, kemudian roboh telentang di dalam perahu, pingsan! Angin dan ombak yang kini mengemudikan perahu dan akhirnya mereka terdampar ke darat. Saat itulah mulai muncul dua orang sakti yang aneh di dunia kang-ouw. Sepuluh tahun lebih mereka berdua berkeliaran dan kemudian dunia persilatan mengenal mereka sebagai dua orang sakti jahat dan menggolongkan mereka dengan pentolan-pentolan dunia hitam lainnya sehingga terkenallah nama Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong sebagai dua orang di antara si enam jahat!
Ilmu silat yang menjadi dasar dari kepandaian mereka adalah ilmu silat campuran dari barat dan utara. Akan tetapi karena mereka hidup puluhan tahun sebagai orang liar, di antara binatang-binatang dan serangga-serangga beracun, maka hawa pukulan dari sinkang mereka bercampur dengan hawa beracun yang amat jahat. Apa lagi Toat-beng Koai-jin mempunyai kesukaan liar, yaitu makan daging manusia. Ini menambah hawa beracun di dalam tubuhnya dan membuat ia makin ganas dan berbahaya sekali. Sedangkan adiknya, Tok-sim Lo-tong, terkenal hebat permainannya yang mengerikan, yaitu dengan ular-ular beracun yang menjadi sahabat-sahabat baiknya, bahkan senjatanya pun seekor ular.
Suling Emas sudah banyak mendengar tentang dua orang liar ini, akan tetapi baru kali ini ia berkesempatan mengadu ilmu. Oleh karena ia harus memikirkan keselamatan Sian Eng dan juga harus menolong Lin Lin yang belum diketahui bagaimana nasibnya, ia tidak mau berlaku lambat. Begitu merasa betapa tenaga yang dipergunakan lawannya mengeluarkan hawa panas dan bau amis menjijikkan, ia cepat mengerahkan seluruh sinkang di tubuhnya, lalu ia mainkan ilmu silat yang ia dapat dari suhu-nya, yaitu mendiang Kim-mo Taisu. Sebetulnya ilmu ini adalah ilmu yang harus dimainkan dengan sebatang kipas pelajar, yaitu ilmu silat yang disebut Lo-hai-san-hoat (Ilmu Silat Kipas Pengacau Lautan). Akan tetapi karena lawannya bertangan kosong, maka Suling Emas juga bertangan kosong mainkan Ilmu Silat Pengacau Lautan ini.
Hebat memang kepandaian Toat-beng Koai-jin. Yang amat berbahaya adalah kuku-kuku jari tangannya. Biar pun ia tidak bersenjata, namun memiliki kuku-kuku panjang seperti itu, sama saja dengan memegang atau menggunakan sepuluh buah pedang-pedang kecil! Setiap buah jari mempunyai kuku panjang dan bukan hanya kuku runcing, melainkan kuku yang mengandung hawa beracun sehingga sekali saja kulit terkena guratan sebuah di antara kuku-kuku ini, akan melepuh kulit itu dan akan keracunan darahnya! Semua ini dipergunakan dengan gerakan cepat dan lincah, ditambah lagi dengan gerengan-gerengan seperti seekor singa dan muncratnya air ludah serta peluh yang memuakkan baunya!
Hampir Suling Emas tidak tahan menghadapi ini, terutama bau itu. Beberapa kali ia terpaksa melompat mundur untuk menyedot hawa segar. Akhirnya ia berseru keras, “Toat-beng Koai-jin, lekas kau kembalikan nona yang kau culik. Kalau tidak, terpaksa aku membunuhmu. Aku tiada waktu lebih lama lagi untuk bermain-main denganmu!” Sambil berkata demikian, Suling Emas mengeluarkan sebuah kipas yang dipegangnya dengan tangan kiri. Hanya kipasnya yang akan dapat membantunya mengusir bau memuakkan itu. Ia masih sungkan mengeluarkan sulingnya, melihat betapa lawannya tetap bertangan kosong.
Melihat bahwa lawannya hanya mengeluarkan kipas kain sutera yang halus dan kecil saja, Toat-beng Koai-jin tertawa ha-hah-he-heh, kemudian menubruk lagi melancarkan serangan-serangan dahsyat. Akan tetapi, sekarang Suling Emas bersilat Lo-hai-san-hoat dengan kipas di tangan, dan karena ilmu silat itu memang ilmu silat kipas, tentu saja kehebatannya lipat dua kali dari pada tadi ketika ia mainkan dengan tangan kosong.
Seketika tampak gulungan sinar putih yang kadang-kadang menutupi pandangan mata Toat-beng Koai-jin, malah kakek liar ini merasa sesak napasnya oleh tiupan angin dari kipas itu. Tidak saja semua bau busuk dikembalikan ke hidungnya sendiri, akan tetapi ditambah pula dengan angin kebutan kipas yang dilakukan dengan tenaga sinkang seorang ahli. Dua kali sudah pundak Toat-beng Koai-jin kena disentuh ujung gagang kipas, sakitnya bukan kepalang.
Diam-diam Suling Emas terkejut dan kagum. ‘Sentuhannya’ dengan ujung gagang kipas itu sebetulnya adalah totokan yang pasti akan merobohkan lawan. Akan tetapi kakek liar ini hanya menyeringai kesakitan saja, sama sekali tidak roboh malah maju makin nekat! Kiranya kakek ini telah kebal kulitnya dan agaknya pandai pula memindahkan jalan darah.
Betapa pun juga, setelah Suling Emas mainkan kipasnya, Toat-beng Koai-jin terdesak hebat. Berkali-kali ia menggereng marah, namun semua tubrukan, cakaran hantaman dan tendangannya hanya mengenai angin belaka.
“Manusia liar, robohlah!” Secepat kilat kipas itu bergulung-gulung sinarnya menutupi pandang mata lawan dan tangan kiri Suling Emas sudah menyerang dengan jari tangan terbuka ke arah ulu hati yang telanjang itu.
Akan tetapi Toat-beng Koai-jin benar-benar hebat kepandaiannya. Begitu jari tangan Suling Emas yang mengandung tenaga sinkang amat kuat itu menyentuh kulit dadanya, tubuh bagian ini secara tiba-tiba dapat ditarik masuk dan mulutnya menyemburkan uap ke depan, disusul pukulan kedua tangan!
“Ihhhhh!” Suling Emas terpaksa mengipaskan kipasnya ke depan untuk mengebut pergi semburan uap bacin itu, lengannya dengan mudah menangkis pukulan lawan dan sebelum lawan mendesak terus, gerakan Suling Emas berubah.
Ia telah menggunakan gerakan ilmu silat sakti Hong-in-bun-hoat yaitu jurus ilmu silat huruf yang ia terima dari Bu Kek Siansu. Dengan gerakan jurus ilmu silat sakti ini, yang ia lakukan dengan menuliskan huruf THIAN (Langit), sekaligus ia telah menyerang sampai empat kali. Serangan terakhir merupakan gerakan bertentangan karena baru saja ia menyerang dengan arah ke kiri bawah, sekarang tiba-tiba kipasnya menerjang dari atas ke bawah kanan.
“Auuuhhhhh...!”
Perubahan-perubahan yang amat cepat dan aneh dari jurus ini tak dapat diikuti dan diduga oleh Toat-beng Koai-jin, maka biar pun ia sudah mengelak dan menangkis tidak urung pahanya terpukul gagang kipas. Kelihatannya perlahan saja, akan tetapi kalau saja bukan Toat-beng Koai-jin yang menerima hantaman ini, tentu tulang pahanya akan remuk. Kakek liar ini hanya mengeluh dan tubuhnya bergulingan, akan tetapi ia sudah dapat melompat berdiri lagi lalu meloncat ke atas, membobol genteng melarikan diri.
“Iblis jahat, lari ke mana kau?”
Suling Emas mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia teringat akan Sian Eng. Selagi ia ragu-ragu, tak tega meninggalkan Sian Eng seorang diri, dari pintu muncullah Tok-sim Lo-tong dan beberapa orang pengeroyoknya tadi.
“Keparat pengecut!” Suling Emas marah sekali. “Jangan anggap aku keterlaluan kalau sekarang aku tidak mau memberi ampun lagi!” Setelah berkata demikian tangannya bergerak dan tampaklah sinar kuning bergulung-gulung dengan sinar putih. Sinar kuning adalah sinar sulingnya sedangkan yang putih adalah sinar kipasnya.
Ia tidak memberi kesempatan lawan-lawannya maju, mendahului menerjang ke pintu dan sekaligus tiga orang pengeroyok roboh binasa sebelum mereka sempat bergerak. Tok-sim Lo-tong hanya tertawa serak, lalu menyelinap pergi. Juga para pengikutnya pergi dengan cepat. Sebentar saja tidak tampak lagi lawan di situ.
“Mari kita kejar kakek liar tadi untuk menolong adikmu!” kata Suling Emas, menyambar lengan tangan Sian Eng untuk diajak lari cepat mengejar Toat-beng Koai-jin.
“Nanti dulu, aku tadi melihat kakek itu melemparkan ini...” kata Sian Eng, membungkuk dan hendak mengambil sebuah sampul surat.
Akan tetapi tiba-tiba Suling Emas menggerakkan tangannya dan... tubuh Sian Eng terdorong mundur sampai terhuyung-huyung. “Kau... kau...!” Gadis itu berseru marah.
“Hemmm, lupa lagikah akan pengalaman di Khitan dahulu?” Suling Emas mengomel, lalu membungkuk dan mengambil sampul surat itu.
Sian Eng terkejut dan teringat, mukanya berubah pucat dan ia merasa ngeri sekali ketika melihat jari-jari tangan Suling Emas menjepit hancur leher seekor ular hitam yang keluar dari sampul itu! Kiranya Suling Emas telah menolong nyawanya, karena kalau dia yang tadi mengambil sampul, tentu ia akan tergigit ular yang ia duga seekor ular berbisa yang amat jahat itu.
Setelah melempar bangkai ular dengan tak acuh, Suling Emas menarik ke luar sehelai kertas bersurat dari dalam sampul. Alis yang tebal itu bergerak-gerak ketika matanya menari-nari membaca huruf-huruf yang tertulis di atas kertas. Matanya makin berapi-api dan diam-diam Sian Eng menjadi takut. Ia tahu bahwa pendekar itu marah sekali. Kemudian Suling Emas menarik napas panjang dan berkata.
“Tak mungkin mencari di mana adikmu disembunyikan. Akan tetapi sementara ini dia aman. Untuk menolongnya, jalan satu-satunya hanya ke Nan-cao. Mari kita pergi, dan sekarang ceritakan bagaimana kau dapat pergi bersama Suma Boan,” kata-katanya terdengar ketus dan marah.
Sian Eng mendongkol sekali. Apa pedulimu, bisik hatinya, kau seperti seorang ayah atau kakak saja. Namun ia tidak berani membantah dan sambil berjalan di samping Suling Emas, ia menceritakan betapa Suma Boan mencari Lin Lin dan Lie Bok Liong, kemudian bertemu dengannya. Betapa Suma Boan berjanji kepadanya akan mempertemukan dengan kakaknya, Kam Bu Song, kalau mau pergi bersamanya ke Nan-cao.
“Bagaimana dia bisa tahu bahwa kau akan bertemu dengan kakakmu di Nan-cao?” tanya Suling Emas sambil lalu.
“Dia bilang bahwa Kakak Bu Song mempunyai hubungan dengan Nan-cao, karena itu aku pasti akan dapat bertemu dengannya di sana. Maka aku lalu ikut dengan dia sampai di sini.”
“Kemudian, mengapa kau bisa muncul bersama kakek lucu itu?”
“Empek Gan itu? Lucu? Aku tidak senang padanya!”
Tiba-tiba Suling Emas berhenti melangkah, memandang dengan mata terbelalak kepada Sian Eng. “Kau bilang Empek Gan? Dia...? Pantas! Aku sudah heran dan menduga-duga siapa gerangan kakek lucu yang luar biasa lihainya itu... ah, kiranya Empek Gan. Dia muncul pula di sini, aha, akan ramai di Nan-cao.”
Agaknya saking gembira dan herannya mendengar bahwa kakek pendek tadi Empek Gan adanya, Suling Emas tidak mendesak lagi dengan pertanyaan mengapa Sian Eng meninggalkan Suma Boan dan gadis ini menjadi lega hatinya, karena ia pun tidak suka bercerita tentang rahasia asmara itu.
“Kenapa kita tidak jadi mengejar kakek liar tadi? Bukankah Lin Lin telah diculiknya?”
“Tidak, percuma. Mereka sengaja menahan Lin Lin untuk memaksaku...” Suling Emas menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala.
“Mereka? Siapa? Surat itu dari siapakah?”
“Siapa lagi? Dari Suma Boan tentu!”
Wajah Sian Eng terasa panas sekali, kemudian dingin sampai ke ujung hidungnya. Jantungnya berdebar dan hampir ia pingsan kalau saja ia tidak cepat menekan perasaannya. Kiranya Lin Lin diculik atas perintah Suma Boan! Betulkah ini? Tapi... tapi dia selama dalam perjalanan ini baik sekali terhadapnya, hanya malam tadi...!
“Kau kenapa?”
Sian Eng menggeleng kepala, tidak berani bersuara karena maklum bahwa suaranya tentu akan terdengar gemetaran bercampur isak. Ia hanya mempercepat langkahnya dan agaknya Suling Emas senang melihat ini dan ia pun mempercepat langkahnya sehingga sebentar saja mereka sudah keluar dari kota Ban-sin.
********************
Lin Lin berusaha meronta dan melepaskan belenggu yang mengikat kedua pergelangan tangannya, namun sia-sia belaka. Ia memandang ke arah Lie Bok Liong yang terikat seperti seekor babi di atas sebatang balok melintang, tingginya kurang lebih satu meter dari tanah. Ingin ia menjerit minta tolong, namun sia-sia karena mulutnya ditutup sapu tangan yang diikatkan erat sekali ke belakang kepalanya sehingga untuk bernapas saja amatlah sukar.
Seperti diketahui, ketika ia dan Suling Emas dikeroyok oleh Tok-sim Lo-tong, Toat-beng Koai-jin, dan banyak lagi orang-orang yang kepandaiannya cukup kuat, ia telah kena ditawan oleh Toat-beng Koai-jin dan dibawa lari pergi dari gelanggang pertandingan. Ia berusaha untuk melepaskan diri atau memukul, akan tetapi tubuhnya lemas semua, kaki tangannya tak dapat digerakkan lagi. Hampir ia pingsan ketika tubuhnya dipondong oleh kakek liar itu.
Karena ia tidak dapat bergerak, terpaksa ia menahan penderitaan luar biasa ketika mukanya terletak di atas punggung yang ada dagingnya menonjol besar (punuk), berkeringatan dan baunya apek bukan buatan itu! Kalau saja ia tidak tertotok lumpuh, tentu Lin Lin sudah muntah-muntah. Baiknya kakek itu larinya cepat sekali seperti terbang, sebetulnya bukan lari lagi melainkan melayang dari pohon ke pohon seperti seekor binatang yang gesit. Kecepatan ini mempersingkat penderitaannya karena selain angin yang bertiup mengurangi bau kecut, juga tentu akan segera sampai di tempat tujuan.
Mereka memasuki hutan dan tiba-tiba muncul seorang pemuda yang membentak dengan suara nyaring, “Iblis tua, lepaskan gadis itu!”
Lin Lin girang bukan main ketiika mengenal suara ini. Siapa lagi kalau bukan Lie Bok Liong, sahabat baiknya! Akan tetapi kegirangannya tidak berlangsung lama, segera terganti kekhawatiran. Tingkat kepandaian Bok Liong sebanding dengan tingkatnya, mana mampu menghadapi kakek sakti yang seperti ibils ini? Benar saja dugaannya, biar pun Bok Liong sudah menerjang dengan pedang Goat-kong-kiam yang berhawa dingin, kakek itu enak saja melayaninya dengan tangan kosong, bahkan dengan tubuh Lin Lin tak pernah terlepas dari atas pundaknya!
Seperti juga Lin Lin, pemuda itu tak dapat bertahan lama menghadapi kakek sakti ini. Apa lagi karena Bok Liong amat terbatas gerakannya, terbatas oleh kekhawatirannya kalau-kalau ujung pedangnya mengenai tubuh Lin Lin. Tiba-tiba ia berseru keras dan mundur dengan muka pucat. Kakek itu telah menyodorkan tubuh Lin Lin untuk menangkis sambaran pedangnya. Bok Liong cepat menarik pedangnya dan pada saat itu, tangan kiri Toat-beng Koai-jin bergerak mengirim pukulan jarak jauh yang membuat Bok Liong terjengkang bergulingan. Ketika ia berusaha bangkit kembali, tubuhnya sudah lemas tertotok dan di lain saat, kakek itu sudah menyeretnya di sepanjang jalan, menjambak rambutnya dan menarik sambil memondong tubuh Lin Lin. Kakek itu memasuki hutan sambil tertawa-tawa.
Di bagian hutan yang gelap dan penuh pohon liar, ia melemparkan tubuh Lin Lin ke atas tanah, mengambil akar lemas dari sebatang pohon dan mengikat kaki tangan gadis itu ke belakang. Kemudian ia pun merenggut sehelai sapu tangan dari baju Bok Liong, menggunakan sapu tangan ini menutup dan mengikat mulut Lin Lin.
Setelah ini selesai, tangannya bergerak dan terdengar kain robek-robek ketika baju dan celana luar pemuda itu ia renggut secara kasar. Sebentar saja Bok Liong berada dalam keadaan setengah telanjang, hanya sebuah celana dalam saja yang masih menutupi tubuhnya. Tentu saja Lin Lin di samping rasa takut dari gelisah, juga menjadi jengah dan tidak berani memandang langsung, hanya mengerling-ngerling untuk melihat apa yang akan dilakukan kakek gila itu.
“Heh-heh-heh, kau masih muda, jejaka tulen, dagingmu tentu masih gurih!” Kakek ini lalu mematahkan batang pohon dengan kedua lengannya yang kuat, mengikat tubuh Bok Liong pada batang pohon atau balok itu seperti mengikat babi saja, kemudian balok berikut tubuh Bok Liong yang setengah telanjang itu ia palangkan pada dua batang pohon lain sehingga tubuh Bok Liong tergantung.
Kemudian kakek itu mengumpulkan daun dan kayu kering di bawah tubuh Bok Liong dan andai kata mulut Lin Lin tidak diikat, tentu gadis ini sudah menjerit-jerit memanggil Suling Emas karena ia sekarang dapat menduga apa yang hendak dilakukan oleh kakek gila ini. Agaknya kakek gila ini membuat masakan yang paling aneh di dunia ini, bukan panggang bebek, panggang ayam, atau panggang babi, melainkan panggang daging manusia hidup! Bok Liong akan dipanggang hidup-hidup!
Tiba-tiba dari jauh terdengar suara seperti anjing hutan menggonggong. Kakek itu menyumpah-nyumpah, “Jahanam, mengganggu saja. Ah, terpaksa ditunda dulu sebentar.”
Ia bangkit berdiri, menepuk-nepuk tubuh bagian atas Bok Liong yang tegap dan berdaging, mengecap-ngecapkan mulutnya yang mengeluarkan air liur. “Sayang-sayang..., biar ditunda sebentar, heh-heh!” Tubuhnya berkelebat dan dalam sekejap mata saja kakek itu sudah lenyap dari situ.
Lin Lin takut setengah mati. Takut dan ngeri. Mana bisa ia menjadi penonton? Menonton Bok Liong dipanggang hidup-hidup kemudian dagingnya diganyang kakek liar itu? Ia melirik ke arah Bok Liong. Pemuda ini sama sekali tidak bergerak, tubuhnya tergantung di atas balok seperti telah mati, agaknya pingsan. Lin Lin kembali berusaha mati-matian untuk membebaskan diri dari pada belenggu akar pohon. Akan tetapi ternyata akar pohon itu istimewa kuatnya. Matanya melirik ke sana ke mari, mencari-cari. Ia harus bertindak cepat, harus dapat membebaskan diri sebelum siluman itu kembali, harus mencegah siluman itu memanggang tubuh Bok Liong.
Dengan hati penuh kengerian dan ketegangan, Lin Lin menggulingkan tubuhnya ke arah sebuah batu besar tak jauh dari situ. Ia melihat batu itu mempunyai bagian-bagian yang tajam. Karena kaki tangannya diikat, ia hanya dapat mencapai batu dengan cara menggulingkan tubuh, lalu sedikit demi sedikit menggeser tubuh mendekatkan kedua pergelangan tangan yang dibelenggu di belakang tubuhnya kepada bagian batu yang tajam. Ia menggosok-gosokkan akar yang mengikat tangan itu pada batu sambil mengerahkan tenaga. Benar-benar kuat sekali akar itu, ulet bukan main. Kini ia tidak melihat Lie Bok Liong lagi, terhalang batu. Ada seperempat jam ia berusaha mematahkan pengikat tangannya dan ia hampir berhasil. Peluhnya bercucuran dan hatinya makin tegang. Kalau sudah bebas dari belenggu, ia akan membebaskan Bok Liong dan mengajaknya melarikan diri.
Akan tetapi tiba-tiba Lin Lin merasa tubuhnya lemas, tenaganya lenyap sama sekali ketika ia melihat bayangan Toat-beng Koai-jin mendatangi dari jauh! Mata Lin Lin terbelalak, harapannya lenyap bagaikan embun terbakar matahari. Tentu saja ia tidak melanjutkan usahanya, malah dengan tubuh terasa lelah dan lemas ia bersandar kepada batu besar itu, menyerahkan nasib ke tangan Tuhan karena dia sendiri sudah tak berdaya.
Dilihatnya kakek liar itu dengan gerakan cepat mendatangi, di kedua tangannya membawa dua potong kayu kering yang digosok-gosok sampai mengeluarkan api! Setelah api menyala dan kakek itu datang dekat, dilemparkannya kayu berapi itu ke tumpukan daun dan kayu yang berada di bawah tubuh Bok Liong. Sebentar saja daun kering itu terbakar! Lin Lin membuang muka, menengok ke lain jurusan, dan tanpa dapat ditahannya lagi matanya mengucurkan air mata. Kasihan Liong-twako, pikirnya.
“Heh-heh, kau hendak lari ke mana?” tiba-tiba suara kakek itu terdengar dekat dan Lin Lin merasa pundaknya dicengkeram lalu tubuhnya diangkat dan dilempar kembali ke tempat semula. Kakek itu sendiri menjatuhkan diri duduk di atas batu sambil terkekeh-kekeh berkata.
“Ha-ha, kau mau melarikan diri? Tak mungkin, bocah tolol. Akar yang mengikat kaki tanganmu itu berlumur racun kelabang hijau, sekali melukai kulitmu kau akan mampus! Kau lihat baik-baik sahabatmu ini, lihat betapa kulitnya makin lama makin merah diciumi api, makin lama makin matang dan baunya gurih. Heh-heh, kalau sudah masak nanti, boleh kau pilih bagian mana yang paling gurih untukmu... ha-ha!”
Toat-beng Koai-jin memandang ke arah Lin Lin sambil tertawa-tawa dan air liurnya muncrat-mucrat dari mulutnya yang lebar, bibirnya yang tebal, dan giginya yang besar-besar. Dengan hati berdebar penuh kengerian Lin Lin mengerling ke arah Bok Liong dan tiba-tiba matanya terbelalak lebar. Yang terikat seperti babi kebiri hendak dipanggang hidup-hidup itu sama sekali bukan Bok Liong! Tadi memang Bok Liong yang diikat di situ, akan tetapi sekarang sama sekali bukan pemuda itu, biar pun keadaannya juga sama, setengah telanjang. Bukan Bok Liong melainkan seorang kakek yang pringas-pringis (menyeringai) dan matanya meram melek seakan-akan keenakan tiduran di atas nyala api yang hangat!
Agaknya sikap dan wajah Lin Lin yang jelas membayangkan kekagetan dan keheranan ini menarik perhatian Toat-beng Koai-jin. Kakek ini segera menengok ke arah ‘panggangannya’ dan alangkah kagetnya ketika ia bertemu dengan muka yang meringis, muka yang berjenggot jarang berkumis panjang, tubuh yang pendek, bukan lain adalah si kakek lucu yang tadi ia jumpai di rumah Ouw-kauwsu!
Kakek yang menggantikan kedudukan Bok Liong di atas api itu terkekeh dan berkata, “Ahhhhh... nikmatnya! Hangat dan enak! He, Toat-beng Koai-jin, apakah kau sudah begitu kelaparan sehingga kau doyan dagingku yang alot dan kulitku yang keras? Hati-hati kau, daging tuaku sudah demikian alotnya sehingga kau panggang seratus tahun pun takkan bisa menjadi empuk!”
“Demi Iblis! Siapakah kau ini orang gila?” Toat-beng Koai-jin sudah melompat berdiri dan siap bertempur. Kakek ini sekarang baru insyaf bahwa orang lucu yang sikapnya gila-gilaan itu sebenarnya memiliki kepandaian hebat. Maka tahulah ia bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh.....
Komentar
Posting Komentar