CINTA BERNODA DARAH : JILID-11

Akan tetapi alangkah heran dan kemudian bingung hatinya ketika ia tiba di kuil, Sian Eng ternyata tidak berada di situ. Para hwesio yang ditanyainya menerangkan bahwa enci-nya itu pergi meninggalkan kuil tidak lama setelah Lin Lin pergi petang tadi.
“Pinceng semua tidak tahu ke mana perginya, dia tidak meninggalkan pesan dan pinceng (saya) tidak berani bertanya.” Memang para hwesio di kuil itu amat menghormati Sian Eng dan hal ini adalah karena yang membawa datang gadis itu adalah Suling Emas.
Tergesa-gesa Lin Lin memasuki kamar di sebelah belakang kuil itu. Kamar itu kosong dan hatinya tidak enak sekali rasanya ketika melihat bahwa bukan hanya Sian Eng yang lenyap dari kamar itu, melainkan bungkusan pakaian enci­nya, juga pedangnya, turut lenyap. Hal ini hanya berarti bahwa enci-nya memang sengaja pergi dari situ. Bukan pergi dekat-dekatan saja, melainkan pergi melakukan perjalanan jauh, karena kalau tidak demikian, apa perlunya membawa-bawa bekal pakaian? Akan tetapi, kalau benar demikian, mana bisa jadi? Masa enci-nya pergi jauh tanpa memberi tahu kepadanya? Hanya satu hal yang melegakan hatinya. Agaknya enci-nya itu tidak diculik orang atau dibawa pergi orang dengan kekerasan, karena kalau demikian hainya, tentu enci-nya tidak membawa serta pakaiannya.
Semalaman Lin Lin tak dapat tidur. Baru saja bertemu dengan enci-nya, sekarang ia ditinggal pergi lagi dengan aneh. Sekali lagi ia berpisah dari Bu Sin dan Sian Eng, tanpa mengetahui di mana adanya mereka berdua. Diam-diam Lin Lin mendongkol sekali. Mengapa Sian Eng meninggalkannya begitu saja? Ada rahasia apakah di balik perbuatan yang amat ganjil ini? Hatinya baru tenteram dan kebingungannya berkurang banyak kalau ia teringat akan Suling Emas.
Orang itu hebat, kepandaiannya seperti setan. Sekarang ia sudah dapat ‘bersahabat’ dengan Suling Emas, tentang lenyapnya Sian Eng, apa sih sukarnya bagi Suling Emas? Besok aku akan minta dia mencari Sian Eng lebih dulu, pikirnya. Akan tetapi segera ia teringat betapa aneh dan sukar watak Suling Emas. Belum tentu ia mau menuruti permintaannya, buktinya, ditanya nama sesungguhnya saja tidak mau memberi tahu. Lin Lin bersungut-sungut dan duduk termenung di dalam kamarnya tak dapat tidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali seorang hwesio pelayan memberi tahu bahwa ada seorang tamu mencarinya. Lin Lin meloncat dari pembaringan, langsung keluar dari dalam kamar. Dengan rambut kusut dan wajah gelisah ia berlari ke luar untuk menyambut Suling Emas dan cepat bercerita tentang lenyapnya Sian Eng. Akan tetapi wajahnya berubah ketika ia melihat bahwa laki-laki yang duduk di ruangan depan itu sama sekali bukan Suling Emas yang diharap-harap kedatangannya, melainkan Lie Bok Liong! Akan tetapi, hanya sebentar saja rasa kecewa ini menekan hatinya, karena ia segera meraih harapan bahwa sahabat ini berhasil mendapat tahu tentang di mana adanya Bu Sin kakaknya.
“Liong-twako, bagaimana dengan Sin-ko? Sudah tahukah kau di mana adanya Sin-ko?”
Sejenak Bok Liong menatap wajah dengan rambut kusut itu dengan hati berguncang. Selama dua hari berpisah dari Lin Lin, makin terasalah ia betapa ia tak mungkin dapat terpisah dari gadis ini. Yang dua hari itu ia merasakan siksaan batin yang kosong dan sunyi, akibat dari pada kebahagiaan yang selama ini ia rasai di dekat Lin Lin telah direnggutkan dari padanya. Betapa rindunya kepada dara itu, akan tetapi ia menguatkan hati dan dengan tekun ia mencari keterangan tentang diri kakak nona itu sampai ke luar kota raja.
********************
Harus diakui bahwa pemuda ini mempunyai hubungan yang amat luas dan di sekitar kota raja, boleh dibilang di setiap dusun dan kota ia tentu mengenal seorang tokoh. Inilah sebabnya mengapa dalam waktu dua hari saja ia telah berhasil dalam penyelidikannya dan dengan hati girang pagi-pagi itu ia menuju ke kuil. Selama dua hari ini ia tidak pernah beristirahat dan dalam hal wajah dan rambut kusut agaknya ia tidak usah kalah oleh Lin Lin! Mendengar pertanyaan membanjir keluar dari mulut dara pujaan hatinya itu, ia tersenyum girang. Namun hanya sebentar saja ia tersenyum karena ia segera teringat bahwa biar pun ia sudah berhasil mendapatkan berita tentang Bu Sin, namun bukanlah berita baik yang dapat disampaikan kepada Lin Lin dengan senyum gembira!
“Lin-moi, aku sudah berhasil mendengar berita tentang kakakmu itu, akan tetapi sebelumnya kuharap kau akan tenang dan percayalah kepadaku bahwa aku selalu akan membantumu mencari dan menyusul kakakmu, biar pun untuk itu aku harus menyeberangi samudera api....”
“Aku tahu kau akan membantuku, tapi bukan itu yang ingin kudengar. Lekas katakan, bagaimana dengan Sin-ko?” Lin Lin memotong, habis sabar.
Dengan muka duka Bok Liong berkata. “Menurut kabar yang kudapat, agaknya kakakmu itu terjatuh ke dalam tangan Siang-mou Sin-ni, si Iblis Betina yang amat lihai. Tapi percayalah, kakakmu tidak dibunuh. Aku sudah cukup mengenal watak iblis betina itu. Dia sedang meyakinkan sebuah ilmu hitam yang amat ganas dan syaratnya adalah menghisap darah jejaka hidup-hidup. Banyak sudah yang menjadi korbannya dan aku yakin bahwa kakakmu tidak menjadi korbannya karena biasanya ia meninggalkan mayat laki-laki yang dihisapnya sampai mati. Kakakmu lenyap dan jejaknya menyatakan bahwa dia dijadikan tawanan Siang­mou Sin-ni. Menurut keterangan yang kukumpulkan, aku tahu bahwa iblis itu pergi ke Nan-cao untuk menghadiri perayaan Agama Beng-kauw. Maka, tenanglah dan mari kau ikut denganku ke Nan-cao, kita kejar siluman itu dan dengan tenaga kita berdua, kiraku kita akan dapat merampas kembali kakakmu.”
Mendengar cerita Bok Liong, Lin Lin terkejut sekali. Akan tetapi otaknya bekerja dan ia segera menjawab, “Liong-twako, kau benar-benar baik sekali. Terima kasih atas pertolonganmu. Karena sudah jelas bahwa Sin-ko ditawan Siang­mou Sin-ni dan dibawa ke Nan-cao, biarlah aku sendiri yang akan mengejar iblis itu dan merampas Sin-ko.”
“Wah, kau tidak tahu! Siang-mou Sin-­ni adalah seorang di antara Thian-te Liok-koai, seorang di antara Enam Iblis yang kepandaiannya luar biasa sekali, tidak di sebelah bawah tingkat It-gan Kai-ong!”
“Apakah lebih sakti dari pada Suling Emas?” tanya Lin Lin dengan sikap dingin, seakan-akan ucapan Bok Liong tadi ‘bukan apa-apa’ baginya.
“Kalau dengan dia... ah... sukar dikatakan...”
“Nah, menghadapi Suling Emas saja aku tidak takut. Apa lagi segala macam manusia iblis seperti Siang-mou Sin-ni? Liong-twako, harap kau jangan banyak membantah. Bukankah kau sudah bilang bahwa kau suka sekali membantu dan menolongku?”
“Tentu saja! Karena itulah aku akan mengantarmu mengejarnya.”
“Tidak, Twako. Kau tidak tahu. Kita membagi tugas sekarang. Ketahuilah bahwa Enci Sian Eng juga lenyap! Baru malam tadi ia lenyap.”
“Apa...?!” Bok Liong berseru kaget dan memandang dengan mata terbelalak, lalu menggaruk-garuk belakang telinga yang tidak gatal. Benar-benar tiga saudara ini orang-orang yang aneh sekali, selalu lenyap seperti barang kecil berharga saja. Apakah mereka itu tidak mampu menjaga diri sendiri sehingga mudah hilang?
“Karena itulah, Twako. Aku minta bantuanmu sekarang, kuminta sungguh-sungguh agar supaya kau suka mencari jejak Enci Sian Eng. Kalau kau sudah dapat menemukannya dan dia dalam keadaan selamat, barulah kau boleh menyusulku. Aku akan mengejar jejak Sin-ko yang diculik iblis betina itu.”
Sebenarnya Bok Liong kecewa sekali, akan tetapi tentu saja ia tidak dapat menolak, apa lagi dara pujaan hatinya itu mengajukan permintaan dengan suara penuh permohonan dan sinar mata mengharap. “Baiklah, aku akan cepat mencari dan menemukannya, kemudian aku akan menyusulmu ke Nan-cao. Kuharap saja kau tidak akan berjumpa dengan Siang-mou Sin-ni sebelum aku berada di dekatmu untuk membantu.”
Bok Liong berpamit dan keluar dari situ, akan tetapi sampai di pintu ia menengok dan suaranya menggetar ketika ia berkata, “Lin-moi, kau melakukan perjalanan seorang diri mengejar orang sejahat iblis, kau berhati-hatilah, jaga dirimu baik-baik.”
Lin Lin tersenyum. Ia menganggap pemuda ini baik sekali kepadanya, seperti kakak sendiri. Tentu saja ia tidak dapat menduga bahwa suara tadi keluar dari lubuk hati dan mengandung rasa kasih yang besar dan mendalam.
“Oya, Twako, kau lupa. Kalau kau bertemu dengan Enci Sian Eng, kau harus ajak dia sekalian menyusulku. Sekali lagi terima kasih, Liong-twako. Kau seorang yang amat baik dan aku takkan melupakan budimu.”
Tentu saja hati Bok Liong menjadi girang bukan main. Dara pujaannya itu takkan melupakan budinya! Bukankah ini merupakan sebuah janji tersembunyi! Sama sekali pemuda yang jujur ini tidak tahu bahwa di dalam hati Lin Lin, gadis ini mengharapkan terangkapnya hati enci­nya dengan pemuda yang amat baik dan gagah ini!
Baru saja Bok Liong pergi, terdengar suara, “Dia telah bersikap baik sekali, tapi yang dibaiki tidak tahu diri!”
Lin Lin cepat menengok dan... Suling Emas telah berdiri di situ. Seketika kegelisahan yang membayangi wajah cantik itu lenyap terganti cahaya berseri pada matanya dan warna merah pada kedua pipinya.
“Apa kau bilang? Liong-twako memang baik sekali orangnya dan siapa bilang aku tidak tahu diri?”
Suling Emas menarik napas panjang, menyembunyikan gelora dadanya yang aneh sekali baginya. Mengapa melihat wajah gadis cilik ini di waktu pagi, mengingatkan ia akan setangkai bunga mawar dalam hutan yang masih basah oleh embun pagi dan yang selalu mendatangkan rasa aman tenteram di hatinya? Lalu katanya acuh tak acuh agar gelora hatinya terselimut, “Dia cinta padamu dan menghendaki kau pergi bersamanya. Ah, kau suka menyiksa hati orang....”
Sepasang pipi itu menjadi makin merah dan jantung Lin Lin berdebar. Seperti dibuka kedua matanya oleh ucapan Suling Emas ini. Lie Bok Liong mencintanya? Ucapan tentang cinta ini membuat ia memandang Suling Emas lebih teliti lagi, karena perasaan wanitanya membuka rahasia hatinya sendiri. Bok Liong boleh seribu kali mencintanya, akan tetapi ia hanya dapat mencinta seorang saja, yaitu... Suling Emas! Lin Lin terkejut dan sekuat tenaga batinnya menolak perasaan ini, membantah, namun ia hanya berhasil melawannya pada lahirnya belaka, ada pun hatinya makin erat terpikat dan terikat, makin hebat terlihat jaring cinta kasih!
“Siapa peduli tentang... cin... cinta? Bagaimana kau menuduh secara buta tuli bahwa aku menyiksa hati orang? Hanya Liong-twako yang kupercaya penuh untuk mencari Enci Sian Eng yang lenyap....”
“Lenyap...?” Suling Emas memandang tajam.
“Hemmm, kau tidak tahu. Enci Eng pergi tanpa pamit, entah ke mana. Pakaian dan pedangnya dibawa, tentu pergi jauh. Aku minta tolong kepada Liong­twako untuk pergi mencarinya karena aku sendiri hendak pergi mengejar jejak Bu Sin Koko yang diculik oleh Siang-mou Sin-ni.”
“Apa...?” Kali ini Suling Emas mengerutkan keningnya, “Dari mana kau tahu?”
“Liong-twako memang baik dan hebat!” Lin Lin sengaja memuji-muji di depan Suling Emas. “Dalam dua hari saja ia berhasil mendapat keterangan bahwa Sin-ko telah dibawa pergi oleh seorang iblis betina berjuluk Siang-mou Sin-ni dan dibawa ke Nan-cao. Karena itu, kebetulan sekali bahwa kita pun akan pergi ke Nan-cao sehingga kita dapat mengejar iblis itu dan sekalian mencari tahu tentang Kakak Bu Song dan musuh besarku.”
Wajah Suling Emas kelihatan serius sekali, “Non...”
“Wah, kau canggung benar. Repot aku kau sebut nona-nona segala macam. Sebut saja namaku, kau kan sudah tahu namaku? Aku sendiri karena tidak tahu siapa namamu, akan menyebut kau Suling Emas begitu saja, atau... si Suling saja karena kau memang tinggi janggung seperti suling.”
Kembali sepasang mata itu berkilat dan untuk beberapa detik wajah yang serius itu berseri. Akan tetapi hanya sebentar dan kembali wajahnya muram. “Lin Lin, kali ini kau jangan main-main. Kau tidak tahu, tidak mengenal Siang-mou Sin-ni. Dia benar-benar iblis yang jahat, malah dia seorang di antara Thian­te Liok-koai. Kakakmu terjatuh di dalam tangannya, berbahaya sekali....”
“Maka kita harus lekas mengejarnya. Hayo kita berangkat... eh, nanti dulu, aku belum berganti pakaian dan cuci muka... bersisir....”
“Apa kau kira kita akan pergi ke pesta? Begitu saja sudah cukup. Ambil bekalmu dan kita berangkat!”
“Tapi... tapi....” Lin Lin tak dapat melanjutkan kata-katanya karena Suling Emas sudah memutar tubuh dan keluar dari kuil itu.
Terpaksa ia tergesa-gesa memasuki kamarnya, menyambar buntalan pakaian yang sudah ia persiapkan, membawa pedangnya dan berjalan cepat ke luar. Ia berpamit kepada pimpinan kuil sambil menghaturkan terima kasih, kemudian ia berlari ke luar. Kiranya Suling Emas tidak menantinya dan sudah berjalan pergi beberapa ratus meter jauhnya.
“Heeeiiiii, tunggu...!” teriaknya sambil berlari mengejar.
Suling Emas berjalan terus tanpa menengok. Dari belakang tampaknya orang aneh itu hanya berjalan biasa, kedua kakinya bergerak melangkah lambat-lambat. Akan tetapi anehnya, betapa pun cepatnya kedua kaki kecil Lin Lin bergerak lari sipat kuping, tetap saja jarak antara mereka tiada perubahan, kira-kira tiga ratus meter jauhnya!
“Hemmm, kini kau akan menguji ilmu lari cepat?” Lin Lin mengomel gemas, lalu ia mengerahkan seluruh tenaga ginkang dan menggunakan tenaga kesaktiannya, yaitu Khong-in-ban-kin yang dapat membuat ia bergerak laksana burung walet terbang cepatnya.
Diam-diam Suling Emas terkejut dan juga kagum. Kemudian ia pun mempercepat gerakannya. Lin Lin terus mengejar, penasaran bukan main ketika dari belakang Suling Emas tetap saja kelihatannya seperti orang berjalan biasa. Lebih dua jam mereka berkejaran ini sampai lewat puluhan li jauhnya. Setelah Lin Lin bermandi keringat dan napasnya mulai memburu barulah ia dapat menyusul. Suling Emas berhenti dan memandangnya, pandang mata yang jelas membayangkan kekaguman.
“Huh... huh... kau kira aku tidak mampu mengejarmu? Huh... huh... semua orang boleh menganggapmu hebat... tapi... huh... huh... bagiku biasa saja...” Di antara napasnya yang senin-kemis itu Lin Lin mengejek dan menyombong.
Suling Emas memandang tajam. Dia ini sama sekali tidak nampak lelah. Wajahnya biasa saja, tidak tampak setetes pun peluh dan napasnya juga panjang-panjang biasa, “Lin Lin, ilmu yang kau warisi dari Kim-lun Seng-jin ini hebat. Sayang sekali....”
“Sayang? Apanya yang sayang?”
“Sayang kau tidak menghargainya sehingga kau menjadi tolol dan sombong!”
Lin Lin menggigit bibirnya, kedua tangannya dikepal dan sudah gatal-gatal tangannya untuk menerjang dan menyerang untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya. Sepasang matanya bersinar-sinar seakan hendak menelan orang di depannya itu hidup-hidup. Akan tetapi ia menahan perasaannya karena ingin sekali ia mendengar arti pernyataan yang tak dimengertinya itu.
“Kalau benar aku tolol dan sombong, mengapa sayang? Apa pedulimu dan apa hubungannya dengan ilmu yang kupelajari dari Kim-lun Seng-jin?”
“Seorang anak-anak yang goblok tidak akan tahu akan harganya sebuah mustika dan akan menganggapnya batu biasa saja dan dipakai main-main. Kau pun tidak dapat menghargai ilmu warisan dari Kim-lun Seng-jin sehingga kau main-main dengan ilmu itu, maka kau tolol. Orang yang menganggap diri sendiri sudah hebat tiada bandingnya, dia adalah seorang sombong dan kau juga selalu mau menang sendiri, tidak menghargai orang lain maka kau sombong juga. Sayang ilmu yang hebat itu jatuh ke tangan orang tolol dan sombong. Kalau tidak, dengan melatihnya secara tekun dan mendalam, agaknya takkan mudah lagi kau mengalami penghinaan dari orang lain.”
“Siapa berani menghina aku kecuali kau? Putera Mahkota sendiri menganggap aku sederajat dan setingkat dengannya, mengajak aku bercakap-cakap seperti sahabat. Tapi kau... huh, kaulah yang sombong!”
“Putera Mahkota? Betulkah kau bertemu dengan Putera Mahkota? Yang mana, jangan-jangan hanya dengan seorang bangsawan muda macam Suma Boan.”
“Huh, apa aku tidak bisa membedakan mana Pangeran Mahkota dan Pangeran Brengsek biasa? Aku memasuki taman bunganya ketika mencari gedung perpustakaan, dan aku bercakap-cakap dengannya. Dia suka sekali akan ikan emas, mempunyai sebuah pagoda yang penuh dengan tempat-tempat ikan dari kaca! Bagus bukan main!”
Sepasang mata Suling Emas terbelalak. Makin heranlah ia menghadapi dara remaja ini, “Kau benar-benar telah bertemu dengan Pangeran? Tahukah kau bahwa beliau itu adalah adik Sri Baginda dan merupakan calon pengganti Sri Baginda?”
“Tentu saja aku tahu, aku sudah mengobrol dengan dia seperti sahabat, tapi kusangka dia itu tadinya putera Kaisar.”
Suling Emas menggaruk-garuk hidungnya yang tidak gatal. Benar-benar hampir tak mungkin dapat dipercaya seorang gadis liar seperti ini bercakap-cakap seperti sahabat dengan pangeran mahkota! Akan tetapi biar pun ia belum lama bertemu dengan Lin Lin, sudah dapat merasa yakin bahwa bocah seperti ini tidak bicara bohong, dan percaya pula bahwa di depan pangeran mahkota, malah di depan kaisar sendiri agaknya tidak mau bersikap merendah dan menganggap mereka itu orang-orang biasa seperti dia!
“Kau benar-benar seorang gadis hebat!” Inilah suara hatinya, akan tetapi tanpa disadari keluar pula dari mulutnya.
Berkembang lubang hidung Lin Lin mendengar ini dan sekaligus kemengkalan hatinya karena dimaki tolol dan sombong tadi lenyap seperti embun terusir sinar matahari. Ia tersenyum manis sekali dan berkata dengan mata tajam mengerling. “Kau pun seorang laki-laki yang hebat!”
Terkejutlah Suling Emas, seakan-akan ditampar mukanya. Pipinya menjadi merah dan ia cepat memalingkan muka, menghindarkan diri dari sambaran kerling setajam gunting dan senyum semanis madu. Tapi jantungnya berdenyut aneh dan dengan batinnya yang sudah terlatih, matang dan teguh itu ia cepat dapat mengusir perasaan yang tidak semestinya itu.
“Marilah kita lanjutkan perjalanan. Perjalanan ini masih jauh, di samping itu kita harus berusaha menyusul Siang-mou Sin-ni, kalau saja belum terlambat....”
Ucapan ini sekaligus menyadarkan Lin Lin yang tadinya terayun kebungahan hati yang ditimbulkan oleh pujian Suling Emas yang mengatakan dia gadis hebat.
“Apa... apakah kau anggap Bu Sin Koko berada dalam bahaya?”
“Hemmm, sukar dikatakan. Akan tetapi yang jelas, Siang-mou Sin-ni adalah seorang wanita yang kejam seperti iblis.”
“Akan kubunuh dia! Kalau Sin-ko dia ganggu, akan kubunuh dia!” Lin Lin berteriak marah dengan semangat menggelora.
Biar pun diam-diam Suling Emas menganggap pernyataan ini amat menggelikan mengingat lihainya Siang-mou Sin-ni dan ‘mentahnya’ Lin Lin, namun ia maklum bahwa pernyataan ini terdorong oleh keberanian yang luar biasa. Ia percaya bahwa Lin Lin pasti akan membuktikan ancamannya, biar pun untuk itu harus berkorban nyawa. Ia sudah menyaksikan ketabahan hati Sian Eng ketika dikubur hidup-hidup oleh Hek-giam-lo, akan tetapi agaknya adiknya ini lebih tabah dan berani lagi, mendekati nekat!
“Kita lihat saja nanti, mudah-mudahan kakakmu masih selamat. Mari!”
Tanpa mengenal kasihan Suling Emas mengajak Lin Lin berlari lagi cepat-cepat, agaknya ia tidak peduli bahwa gadis itu sudah kelihatan amat telah. Lin Lin juga tidak sudi menyerah mentah-mentah, malu untuk mengaku bahwa ia lelah dan kehabisan napas tadi. Kini setelah lelahnya berkurang karena sudah mengaso, ia mengerahkan Khong-in-ban-kin lagi dan berlari secepat terbang. Ia sama sekali tidak sadar bahwa perbuatan Suling Emas ini sama sekali bukan karena kejam, melainkan karena disengaja, yaitu bahwa orang sakti itu hendak memaksa ia melatih Khong-in-ban-kin tanpa sengaja.
Dengan berlari-lari seperti itu, perjalanan dilakukan cepat sekali. Lin Lin ingin sekali mengajak teman seperjalanan ini bercakap-cakap, ingin ia tahu lebih banyak tentang diri Suling Emas, akan tetapi ia tidak diberi kesempatan dan ia pun seorang gadis yang berhati keras. Malu dan pantang mundur, dengan nekat ia berlari terus mengimbangi kecepatan Suling Emas.
********************
Pada malam hari itu setelah Lin Lin pergi meninggalkannya seorang diri di dalam kuil, Sian Eng duduk termenung. Adiknya telah membayangkan tuduhan bahwa dia cinta kepada Suling Emas. Alangkah jauh menyimpang tuduhan itu. Memang ia merasa amat kagum terhadap pendekar sakti yang aneh itu, akan tetapi pribadi Suling Emas sama sekali tidak menarik cinta kasihnya, melainkan menimbulkan rasa seram, enggan, dan segan. Berpikir tentang cinta kasih dan pria mana yang menarik hatinya, Sian Eng termenung dan terkenang kepada... Suma Boan! Jantungnya berdebar, mukanya terasa panas dan ia menjatuhkan diri di atas pembaringan sambil menangis!
Memang aneh dan tak masuk di akal agaknya kalau asmara sudah main-main dengan hati manusia muda. Dewi Asmara yang ganas dan kadang-kadang kejam itu menyebar anak panah berbisa secara membabi-buta agaknya sehingga banyak peristiwa terjadi dan cerita terlahir sebagai akibat dari pada bisa anak panah asmara yang menjadi sumber segala kebahagiaan atau sebaliknya sumber kesengsaraan bagi orang-orang muda.
Sian Eng adalah seorang gadis puteri seorang jenderal. Sedikit banyak hatinya terpengaruh oleh perbedaan antara orang biasa dan bangsawan, dan biar pun tidak berterang, ia menganggap diri sendiri sebagai seorang yang berdarah bangsawan. Atau, mungkin juga di dalam hatinya terdapat cita-cita untuk mengangkat kembali derajat keluarganya yang sudah runtuh ketika ayahnya meninggalkan kedudukan sebagai seorang bangsawan tinggi. Atau juga memang karena kejahilan asmara sehingga begitu bertemu dengan putera Pangeran Suma itu, seketika ia merasa tertarik sekali.
Tentu saja ia tidak dapat melupakan kenyataan betapa Suma Boan pernah menawannya dan menurut penuturan Suling Emas, hampir membunuh Bu Sin. Akan tetapi hati kecilnya membisikkan alasan bahwa untuk perbuatan itu tentu Suma Boan mempunyai sebab-sebab yang kuat. Agaknya putera bangsawan itu pernah dibikin sakit hati oleh kakaknya, Bu Song, sehingga ketika bertemu dengan mereka timbul kemarahannya dan berusaha membalas dendam. Aku akan bertanya kepadanya, hal ini harus dibikin terang, pikirnya dalam hati. Akan tetapi bagaimana ia dapat berjumpa dengan Suma Boan?
Tiba-tiba ia mendengar suara orang bercakap-cakap di ruangan tengah kuli itu. Lapat-lapat ia mendengar suara hwesio kepala yang menjawab dengan suara lemah ketakutan atas pertanyaan orang yang suaranya nyaring dan galak. Sian Eng tertarik, juga curiga. Cepat ia menyambar pedangnya dan keluar dari kamar. Dari balik pintu yang menembus ke ruangan itu, ia mendengarkan dan jantungnya berdebar ketika ia mengenal suara Suma Boan!
“Pinceng tidak berani membohong, Kongcu. Sesungguhnya mereka telah pergi lagi, entah ke mana pinceng tidak berani bertanya dan tidak diberi tahu.”
“Bukankah Suling Emas sering kali datang ke kuil ini?” terdengar pula Suma Boan bertanya.
“Jarang sekali dia datang, sungguh pun pinceng mengenalnya baik, tapi dia tidak pernah bermalam di sini. Siapakah bisa mengetahui di mana adanya?”
“Hemmm, aku percaya semua keterangan Lo-suhu. Akan tetapi ketahuilah dua orang yang kucari itu adalah orang-orang berbahaya yang belum lama ini mengacau rumahku, maka terpaksa aku akan melakukan penggeledahan, siapa tahu mereka itu sudah kembali lagi ke dalam kuil tanpa setahu Lo-suhu.”
“Silakan, silakan...”
Mendengar ini Sian Eng terkejut dan tak terasa lagi ia bergerak. Suara kakinya cukup bagi pendengaran Suma Boan yang tajam. Pemuda bangsawan ini melompat, mendorong daun pintu dan... ia berhadapan dengan Sian Eng!
Dengan kedua alis terangkat Suma Boan berseru, “Eh, kau di sini pula...?” Lalu ia melanjutkan kata-katanya dengan nada girang. “Syukur kau telah bebas dari cengkeraman iblis Hek-giam-lo, Nona!”
Merah muka Sian Eng. Ia balas memandang, lalu menjawab marah. “Karena gara-gara kau menawanku, maka aku terjatuh ke tangan Hek-giam-lo. Baiknya ada dia yang menolongku dan membawaku ke kuil ini....”
“Suling Emas? Kau ditolong olehnya...?”
“Siapa lagi kalau bukan dia yang menolongku? Suma-kongcu, kami dulu itu dengan maksud baik datang kepadamu untuk bertanya tentang kakakku yang hilang, mengapa kau lalu menawanku dan hampir membunuh kakakku Bu Sin? Mengapa kau membenci kakakku Kam Bu Song yang lenyap? Permusuhan apakah yang membuat kau membencinya?”
Suma Boan tersenyum, lalu menoleh kepada hwesio kepala dan menjura. “Maaf, Lo-suhu, bahwa aku tadi menaruh curiga kepadamu. Kiranya semua ceritamu benar belaka dan kedua orang muda itu tidak berada di sini. Akan tetapi siapa kira, aku bertemu dengan Nona kenalanku ini. Harap kau orang tua suka memberi kesempatan kami bicara berdua saja.”
Hwesio tua itu mengangguk dan mengundurkan diri dengan sikap tenang dan sabar. Suma Boan lalu menghadapi Sian Eng. Pemuda yang sudah banyak pengalamannya dengan wanita ini sekali pandang saja dapat menjenguk isi hati Sian Eng, bahwa sedikitnya gadis ini tidak marah dan tidak benci kepadanya. Dan memang ia pernah amat tertarik hatinya oleh gadis ini, maka pertemuan yang tak sengaja dan tak tersangka-sangka ini tentu saja mendatangkan rasa girang di hatinya.
Tadi ia menyelidik tentang pemuda dan pemudi yang mengacau rumahnya dan yang jejaknya menuju ke kuil ini. Ia telah menyiapkan orang-orangnya di sekeliling kuil, bahkan Tok-sim Lo-tong, seorang tokoh kang-ouw sahabat baik It-gan Kai-ong, sudah datang pula dan kini ikut menjaga di luar kuil untuk menghadapi dua orang muda yang amat lihai itu, juga kalau sekiranya perlu, menghadapi Suling Emas!
Suma Boan maklum bahwa Suling Emas takkan mau mengganggunya, hal ini ada rahasianya, akan tetapi dia sendiri selalu berusaha untuk menangkap dan kalau mungkin membunuh orang yang amat dibencinya itu. Karena adanya Tok-sim Lo-tong inilah maka Suma Boan berbesar hati dan berani memasuki kuil di kota raja. Sahabat suhu-nya yang berjuluk Tok-sim Lo-tong (Anak Tua Berhati Racun) memiliki kepandaian yang amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri.
“Nona Liu...”
“Aku bukan she Liu, melainkan she Kam,” bantah Sian Eng.
Suma Boan tercengang. “Lho, dahulu kau dan kakakmu mengaku sebagai adik-adik dari Liu Bu Song....”
Mengertilah sekarang Sian Eng mengapa tadi pemuda bangsawan ini menyebutnya nona Liu. Ia tersenyum manis dan hati Suma Boan makin berdebar. Tak salah lagi, bocah ini bukan saja tidak membenciku, malah agaknya... ah, manis sekali wajah itu!
“Sesungguhnya dia kakakku, kakak sulung. Akan tetapi bukan aku yang berganti nama keturunan, melainkan dia. Sebetulnya dia bernama Kam Bu Song. Suma-kongcu, kau agaknya kenal baik dengan kakakku, bolehkah aku mendengar di mana adanya Kakak Bu Song sekarang ini dan apakah urusannya maka kau agaknya bermusuhan dengan dia?”
“Apakah kau betul-betul hendak bertemu dengan dia, Nona? Sayang bahwa pertemuan pertama antara kita ternoda oleh permusuhan sehingga aku khawatir kalau-kalau kau takkan dapat percaya kepadaku lagi.” Suma Boan menarik napas panjang penuh penyesalan.
“Aku... aku percaya kepadamu. Ayahmu seorang pangeran. Sebagai puteri seorang bekas jenderal besar, aku tahu bahwa kita menjaga nama baik leluhur kita yang sudah banyak membuat jasa kepada negara.”
Suma Boan membelalakkan kedua matanya. “Ah, kiranya kau seorang gadis bangsawan, Nona? Ayahmu seorang jenderal? Mengapa... mengapa Bu Song memakai she Liu dan tidak pernah bilang bahwa dia putera seorang jenderal besar? Ah, kalau saja ia dahulu mengaku secara terus terang, kiraku takkan timbul permusuhan ini....”
“Apakah yang telah terjadi? Dan di mana dia sekarang?”
“Nona, kurasa bukan di sini tempat kita bicara. Ceritanya panjang dan agaknya perlu kuperlihatkan bukti-buktinya kepadamu agar kau dapat percaya. Ada pun untuk dapat bertemu dengan kakak sulungmu itu, kurasa membutuhkan perjalanan jauh yaitu ke negara Nan-cao. Maukah kau ikut denganku ke Nan-cao? Kutanggung kau akan dapat bertemu dengan kakakmu di sana karena dia pasti akan hadir pada pesta yang diadakan oleh Agama Beng-kauw.”
Sian Eng menjadi bingung. Ia tahu bahwa antara Lin Lin dan Suma Boan terdapat permusuhan seperti yang telah diceritakan oleh Lin Lin kepadanya. Dan agaknya Suma Boan sekarang ini pun datang untuk mencari Lin Lin dan Bok Liong. Kalau Lin Lin pulang dan bertemu dengan Suma Boan, agaknya tentu akan terjadi hal yang hebat karena Lin Lin sukar diurus. Ia harus dapat mengambil keputusan tepat.
“Baiklah, Suma-kongcu. Aku percaya kepadamu. Tunggu kuambil buntalan pakaianku sebentar.” Sian Eng cepat memasuki kamarnya dan tak lama kemudian ia keluar lagi membawa buntalan pakaiannya.
Ia tidak meninggalkan pesanan sesuatu untuk Lin Lin karena ia maklum bahwa kalau ia meninggalkan pesan, tentu Lin Lin akan mengejarnya. Karena ini pula, sengaja ia tidak berpesan sesuatu kepada para hwesio, dan Suma Boan sudah memberi ingat kepada para hwesio agar tidak memberitahukan siapa pun juga tentang kedatangannya malam hari itu.
Di luar kuil, para anak buah Suma Boan menjaga sambil bersembunyi. Hanya Tok-sim Lo-tong yang muncul menjumpainya. Sian Eng memandang dengan mata terbelalak dan hatinya merasa ngeri. Orang yang muncul seperti bayangan setan ini, tidak dapat ia mengikuti gerakannya dan dari mana datangnya, adalah seorang laki-laki yang bentuknya seperti anak kecil bodoh, tapi tubuhnya sudah tinggi melebihi tingginya orang biasa. Kepalanya gundul plontos, tubuhnya kurus sekali. Laki-laki ini sudah tua, buktinya wajahnya yang kurus penuh keriput dan mulutnya yang selalu terbuka itu dihias gigi-gigi ompong. Hebatnya, orang ini tidak berpakaian, atau lebih tepat, hanya memakai cawat, yaitu kain panjang yang dilibatkan di sekeliling pinggang dan paha untuk menyembunyikan anggota rahasia saja. Kakinya pun tidak bersepatu.
Akan tetapi, biar pun orang ini lebih pantas disebut orang gila yang terlepas dari neraka, atau sebangsa siluman yang tersesat keluar dari neraka, ternyata Suma Boan bersikap amat hormat. Dengan suara seperti orang sakit napas, orang yang seperti bocah cacingan ini bertanya tak acuh, “Mana Suling Emas?” Belum habis pertanyaannya ia sudah menguap dengan suara memuakkan!
“Harap Locianpwe sudi maafkan. Dugaan teecu keliru, ternyata dia tidak berada di sini, malah dua orang musuh teecu juga sudah kabur. Teecu persilakan Locianpwe bersama teecu malam ini mengaso di rumah adik teecu di kota raja. Besok pagi-pagi kita berangkat ke Nan-cao.”
“Suruh aku tidur di rumah gedung? Huh-huh, tak sudi! Aku tidur di kolong jembatan di luar kota, besok kita bertemu di luar tembok kota!” Setelah berkata demikian, tanpa memberi kesempatan kepada Suma Boan untuk menjawab, ia menoleh ke kiri dan mulutnya mengeluarkan suara seperti cecak.
Hampir Sian Eng meloncat kaget dan jijik ketika tiba-tiba terdengar suara mendesis dan seekor ular sebesar paha dan panjangnya dua meter lebih merayap dari tempat gelap, langsung merayap melalui kaki yang kurus panjang itu, terus melingkar dengan enaknya pada pinggang, dada dan leher. Kemudian, alangkah kaget dan herannya Sian Eng ketika sekali menggerakkan kaki-kakinya yang panjang, si Jangkung itu telah lenyap seperti amblas ke dalam bumi saja! Sian Eng menjadi kagum, heran, ngeri, jijik dan takut. Ia merasa seperti berhadapan dengan seorang iblis lain, yaitu Hek-giam-lo!
Suma Boan tersenyum melihat Sian Eng berdiri dengan muka pucat dan mulut setengah terbuka itu. “Nona Kam, tidak aneh melihat kau terheran-heran. Beliau tadi bukanlah seorang biasa, melainkan seorang sakti yang amat terkenal di dunia kang-ouw. Julukannya adalah Tok-sim Lo-tong dan nama besarnya tidak kalah oleh Suhu It-gan Kai-ong sendiri. Beliau adalah seorang di antara Thian-te Liok-koai, kesaktiannya tak perlu dibicarakan lagi. Dengan beliau sebagai teman seperjalanan, aku tidak takut kepada siapa pun juga, dan kita akan melakukan perjalanan dengan aman ke Nan-cao.”
“Kau maksudkan kita kita akan melakukan perjalanan bersama... dia tadi?”
Suma Boan tertawa dan giginya yang putih berkilau tertimpa sinar bulan, “Tidak usah kau takut, Nona. Dia tidak akan mengganggumu, malah menjadi pelindung kita. Pula eh, perlu kunyatakan bahwa dengan adanya aku di sampingmu, tak perlu kau takut apa pun juga!” Biar pun tidak secara langsung agar tidak membuat kaget gadis yang masih hijau ini, Suma Boan mulai dengan rayuannya.
Kemudian ia mengajak Sian Eng berjalan menuju ke tengah kota di mana terdapat sebuah gedung yang mentereng dan bagus, gedung seorang pangeran! Sambil berjalan, mulailah Suma Boan bercerita. Secara singkat ia telah menceritakan hal ini kepada Bu Sin, akan tetapi kalau kepada Bu Sin ia bercerita dengan penuh kebencian, tidaklah demikian kali ini.
“Kakakmu Liu Bu Song itu dahulu adalah seorang pelajar miskin yang datang ke kota raja untuk mengikuti ujian. Melihat wajahnya yang tampan dan bakatnya yang baik dalam kesusastraan, Ayahku yang pada masa itu kepala pengawas ujian, menaruh kasihan. Apa lagi karena kakakmu gagal dalam ujian. Ayah lalu menolongnya, memberi pekerjaan sebagai tata usaha di gedung perpustakaan yang juga menjadi pegangan Ayah. Ia rajin dan pekerjaannya dilakukan dengan baik sehingga Ayah makin sayang dan percaya kepadanya. Kadang kala kakakmu itu disuruh melakukan pekerjaan tulis-menulis di gedung kami. Malah ia bersahabat baik denganku, karena usia kami memang sebaya dan aku tidaklah demikian lancar dalam pelajaran sastra. Ia banyak membantuku dalam hal itu.” Pemuda bangsawan itu berhenti dan menarik napas panjang. Sian Eng senang sekali mendengar cerita ini. Ah, kiranya dia ini sahabat baik kakakku?
“Ceritamu itu baik sekali. Tapi, mengapa lalu terjadi permusuhan, Kongcu?”
“Nona, amatlah tidak enak mendengar suaramu yang merdu lewat mulutmu menyebutku Kongcu...”
“Akan tetapi, kau seorang putera pangeran....”
“Dan kau pun puteri seorang goan-swe (jenderal). Setelah kuketahui bahwa kau ini adik Bu Song yang pernah menjadi sahabat baikku, perlukah kita saling bersikap sungkan? Apa lagi kita akan mengadakan perjalanan jauh bersama, alangkah tidak enaknya kalau kau menyebut Kongcu (Tuan Muda) dan aku menyebut Siocia (Nona).”
Jantung dalam dada Sian Eng bergelora, membuat mukanya terasa panas. Biar pun mereka berjalan di bawah sinar bulan yang remang-remang karena terhalang awan sehingga mukanya takkan tampak, namun Sian Eng menunduk, khawatir terlihat wajahnya yang membayangkan gelora hatinya. “Habis... bagaimana...?” katanya setengah berbisik.
Suma Boan menatap wajah yang tunduk itu, hatinya girang bukan main. Gadis ini cantik manis, biar pun kepandaiannya hanya lumayan saja, namun wataknya gagah berani, dan puteri jenderal besar pula, lebih penting lagi, dia ini adik Bu Song!
“Karena kau terlalu sungkan tadi, aku sendiri sampai takut menanyakan nama. Bolehkah aku mengetahui namamu dan selanjuthya kupanggil kau adik, sedangkan kau menyebutku kakak?”
Makin panas kedua pipi Sian Eng. Tiba-tiba kakinya tersandung batu dan ia hampir terguling. Suma Boan cepat-cepat menangkap lengannya untuk mencegah gadis itu jatuh. “Hati-hati...!” serunya. Agak lama juga baru lengan ini dilepas kembali. Padahal, seorang dengan kepandaian seperti Sian Eng, tak mungkin bisa jatuh hanya karena tersandung batu kakinya! Hal ini keduanya cukup maklum.
“Namaku Kam Sian Eng...”
“Nama yang indah. Adik Sian Eng, kau tentu sudi menyebutku kakak, bukan?”
Dengan suara lirih dan kepala tetap tunduk Sian Eng menjawab. “Tentu saja, akan tetapi, kita baru saja berkenalan... dan... aku masih belum tahu apakah kau ini terhitung sahabat ataukah musuh...”
“Ha-ha-ha-ha, kau lucu...! Tapi benar juga, memang ceritaku tadi belum selesai. Nah, kau dengarlah. Bu Song bekerja pada Ayah sampai lebih dari tiga tahun. Pada suatu malam... ah, malam celaka itu... kakakmu tertangkap basah sedang berduaan dengan adikku perempuan bernama Suma Ceng....”
Hening sejenak dan terdengar Sian Eng memprotes, “Ah... tapi... tapi tentu adikmu... eh, suka kepadanya.”
Suma Boan menarik napas panjang. “Itulah soalnya! Kiranya sudah lama juga agaknya, lebih setahun, mereka itu saling mencinta di luar tahu semua orang. Akan tetapi kau tahu sendiri, tak mungkin Ayah menyetujui hal ini. Pertama, adikku itu sudah ditunangkan dengan Pangeran Kiang. Kedua, kakakmu yang mengaku she Liu itu memperkenalkan diri sebagai seorang sebatang-kara yang tak berayah ibu lagi, bahkan katanya datang dari sebuah dusun kecil, sama sekali tidak berdarah bangsawan. Maka tadi kukatakan, sayang kami tidak tahu bahwa dia itu putera seorang jenderal!”
“Kemudian bagaimana? Lalu kakakku itu... diapakan dia?” Suara Sian Eng mengandung waswas, juga berada di pinggir jurang kemarahan dan dendam. Tentu saja seorang yang cukup berpengalaman macam Suma Boan tahu akan hal ini dan ia sudah berhati-hati.
“Aku tidak dapat menyalahkan Ayahku dalam hal ini. Ayah marah dan malu bukan main. Kalau tidak kucegah, agaknya adikku itu sudah dibunuhnya malam hari itu juga. Baiknya dapat kudinginkan hatinya, adikku diampuni dan Bu Song dimasukkan dalam penjara. Sebagai seorang yang dianggap tak kenal budi, sudah ditolong oleh Ayah sampai tiga tahun lebih, kiranya membalas dengan penghinaan yang mencemarkan nama baik keluarga. Ayah tak dapat mengampuninya, lalu menyerahkan kepadaku untuk membunuh Bu Song....”
“Ahhhhh...!” Sian Eng menghentikan langkahnya, membalik dan memandang wajah Suma Boan dengan mata berapi.
Suma Boan menggelengkan kepalanya. “Tidak, Adik Sian Eng. Jangan kau sangka bahwa aku mau begitu saja membunuh seorang yang sudah tiga tahun menjadi sahabat baikku. Tidak! Tentu saja di depan Ayah aku tidak berani membantah, karena aku pun dapat menyelami perasaan Ayah dan secara jujur aku harus membenarkan hukuman itu. Namun betapa pun juga, aku tidak tega untuk melakukan perintah Ayah. Aku lalu mendatangi Bu Song di kamar tahanan, dan berunding dengannya. Aku hendak menjalankan siasat, menyuruh teman-teman dari luar kota yang pandai untuk tiga hari kemudian, malam-malam menyerbu dan membebaskan Bu Song. Dengan akal demikian Bu Song akan tertolong dan aku sendiri tidak disalahkan Ayah karena memang tahanan diserbu penjahat-penjahat pandai.” Kembali pemuda bangsawan itu berhenti, menjadi ragu-ragu.
“Kemudian bagaimana... Koko?” Diam-diam Suma Boan tersenyum girang karena jalan ceritanya telah membuat hati gadis itu kembali mesra terhadapnya, sehingga menyebutnya koko (kanda) dengan suara demikian merdu dan mesra. Tentu saja Sian Eng takkan berani menyebutnya koko kalau saja ia tidak mendahului menyebut gadis itu adik.
“Untuk memudahkan rencanaku itu, pada malam hari ketiganya, di depan Ayah aku mencambuki Bu Song dan mengikatnya pada balok bersilang....”
“Seperti yang kau lakukan terhadap kakakku Bu Sin itu? Apakah kau juga menyiksa kakak Bu Song dengan anak panahmu?”
Bukan main kagetnya hati Suma Boan mendengar pertanyaan ini. Hampir saja ia melompat menjauhi, seakan-akan pertanyaan itu merupakan seekor ular berbisa yang menyerangnya tiba-tiba. Akan tetapi melihat sikap Sian Eng masih biasa, hanya pada suaranya terkandung kegetiran, ia dapat menguasai perasaannya dan berkata.
“Dari mana kau bisa tahu tentang kakakmu Bu Sin? Apakah kau sudah berjumpa dengannya?”
“Belum. Akan tetapi aku mendengar dari Suling Emas....”
“Ahhh! Kiranya dia pula yang telah membawa pergi Bu Sin? Heran sekali...!”
“Mengapa heran? Dia seorang pendekar yang sakti.”
“Aneh sekali... dia benar-benar orang aneh...” Suma Boan berkata lirih kepada diri sendiri.
“Memang dia aneh, akan tetapi sakti dan kalau tidak ada dia, agaknya aku dan Kakak Bu Sin tentu telah tewas.”
“Kau tidak tahu akan urusannya, Moi-moi. Dengarlah baik-baik, dan kau akan mengerti mengapa aku menjadi marah dan benci kepada Bu Song sehingga ketika kau dan Bu Sin muncul, aku tidak dapat menahan kemarahanku. Telah kuceritakan tadi, aku menyiksa Bu Song hanya untuk main sandiwara di depan Ayah saja. Terang saja aku hanya mencambukinya agar Ayah percaya. Lalu aku dan Ayah pergi meninggalkan Bu Song terikat di taman dan aku mengerti bahwa menjelang tengah malam, tentu teman-temanku yang sudah siap akan datang menyerbu dan membawanya lari keluar kota. Akan tetapi, apa yang terjadi? Teman-temanku benar menyerbu, akan tetapi... Bu Song sudah tidak ada lagi di sana! Kegagalan ini membuka rahasiaku sehingga Ayah marah bukan main kepadaku dan hampir aku diusirnya kalau saja Ibu tidak turut campur. Nah, karena melanggar janji dalam rencana itulah aku menjadi benci kepada Bu Song. Apa lagi setelah beberapa tahun kemudian, adikku sudah menikah dengan pangeran tunangannya, Bu Song secara sembunyi muncul lagi dan bahkan berani mengunjungi taman adikku, mengadakan pertemuan di sana!”
“Apa...?!” Sian Eng berseru dengan hati tidak karuan. Heran, penasaran, juga terharu sekali. Demikian besarkah cinta kasih kakaknya terhadap Suma Ceng sehingga kakaknya tidak melihat kenyataan bahwa kekasihnya itu sudah menjadi isteri orang lain?
Suma Boan mengangguk-angguk. “Itulah sebabnya mengapa aku tidak dapat menahan sabar lagi ketika melihat kau dan Bu Sin muncul dan mengaku sebagai adik dari Bu Song. Apa lagi terhadap Bu Sin yang ketika kuceritakan hal ini malah membela kakaknya sehingga kemarahanku menjadi-jadi. Baiknya aku masih ingat dan tidak membunuhnya, dan bukan main bingung hatiku ketika melihat kau lenyap. Syukur kau telah tertolong dari tangan Hek-giam-lo yang mengerikan.”
“Kalau begitu... agaknya... Kakak Bu Song memang keterlaluan. Kalau kekasihnya, adikmu itu sudah menjadi isteri orang lain, tidak semestinya ia datang mengunjunginya. Akan tetapi, bagaimana kau bisa tahu bahwa kita akan dapat bertemu dengan dia di Nan-cao?”
Suma Boan tersenyum penuh rahasia. “Dia mempunyai hubungan dengan Kerajaan Nan-cao, kita pasti akan bertemu dengannya di sana. Kau percayalah kepadaku Adik Sian Eng.”
“Kalau aku tidak percaya kepadamu, masa aku suka ikut?”
Mereka memasuki pekarangan sebuah gedung indah. Beberapa orang penjaga segera maju menghadang, akan tetapi mereka cepat memberi hormat ketika melihat Suma Boan membuka pintu depan dan seorang di antara mereka berlari-lari ke dalam untuk melaporkan kedatangan mereka. Suma Boan mengajak Sian Eng terus ke dalam, malah dengan ramah ia menggandeng tangan gadis itu.
Di ruangan tengah mereka disambut oleh seorang wanita yang cantik sekali dan mengenakan pakaian mewah. Sejenak Sian Eng tercengang dan kagum. Wanita itu lebih tua beberapa tahun dari padanya, wajahnya yang cantik jelita membayangkan keagungan, rambutnya yang panjang hitam itu digelung indah dan dihias permata mutu manikam. Sepasang matanya yang bersinar-sinar, dagunya yang runcing dan tubuhnya yang langsing padat mengingatkan ia akan Lin Lin. Akan tetapi, tentu saja berlainan sekali karena Lin Lin mempunyai kecantikan yang asing, sedangkan wanita ini adalah seorang yang cantik seperti dewi dalam gambar. Ia cepat-cepat menjura dengan hormat ketika wanita itu berkata, suaranya halus dengan gerak-gerik yang lemah gemulai.
“Twako (Kakak), malam-malam begini kau datang mengunjungiku, dari manakah dan ada keperluan apa? Dan adik ini, siapakah?”
Sian Eng kini memandang sekali lagi, dengan penuh perhatian setelah mengerti bahwa inilah kiranya wanita yang menjadi kekasih hati kakaknya. Ah, pantas saja kakak sulungnya tergila-gila, karena memang wanita ini hebat. Diam-diam ia menaruh kasihan kepada kakaknya, juga kepada wanita ini yang ternyata telah gagal dalam percintaan.
“Ceng-moi (Adik Ceng) aku mempunyai urusan di kota raja sehingga agak terlambat datang ke sini. Besok pagi-pagi aku akan berangkat ke selatan, menghadiri pesta Agama Beng-kauw di Nan-cao bersama Nona Sian Eng ini. Maafkan kalau aku mengganggu, tapi mana suamimu?”
Pandang mata Sian Eng yang tajam menangkap wajah yang tiba-tiba muram itu, dan suaranya yang halus merdu tadi berubah tergetar membayangkan batin yang tertekan, “Ah... dia tidak berada di rumah, semenjak sore tadi pergi bersama teman-temannya...,” kemudian suaranya meninggi, wajahnya berseri lagi seakan-akan ia memaksa diri melupakan hal itu dan mengubah percakapan. “Adik ini tentu lihai sekali ilmu pedangnya. Adik, kau murid siapakah? Twako, biarkan dia tidur bersamaku agar kami dapat bercakap-cakap, kau sendiri pakailah kamar di sebelah timur. Akan kuperintahkan pelayan membereskannya.”
Suma Boan tersenyum. “Baiklah.” Ia lalu meninggalkan dua orang wanita itu. Akan tetapi sebelum lenyap di ruangan lain, terdengar suaranya. “Asal kau tahu saja bahwa Adik Sian Eng adalah adik dari Bu Song.”
Suma Ceng menahan seruannya dengan menaruh tangan kiri di depan mulut, matanya terbelalak memandang Sian Eng, wajahnya menjadi pucat! Sian Eng makin kasihan melihat ini dan maklumlah ia bahwa biar pun wanita ini sudah bersuamikan orang lain namun tetap mencinta kakaknya.
Sian Eng cepat memegang tangan Suma Ceng dan berkata, “Enci, harap kau jangan kaget. Pertemuan ini tidak kusengaja, hanya kebetulan saja. Baru saja aku mendengar tentang kakakku dan kau. Selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan Kakak Bu Song dan sekarang aku sedang mencarinya. Suma-kongcu menyatakan bahwa kalau aku ikut dengannya ke Nan-cao, pasti aku akan dapat bertemu dengan Kakak Bu Song di sana.”
Suma Ceng menarik tangan Sian Eng. “Adik Sian Eng, marilah kita bicara di dalam kamarku...!” Dari suaranya, tahulah Sian Eng bahwa wanita itu menahan isak, agaknya menjadi amat terharu. Maka ia pun mengikutinya dengan hati berdebar karena ia merasa yakin bahwa dari mulut yang mungil ini ia akan dapat mendengar banyak tentang diri kakaknya.....
********************
Lanjut ke jilid

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)