CINTA BERNODA DARAH : JILID-04


Lewat sedikit tengah malam, Lin Lin bangun. “Sin-ko, sekarang kau tidurlah, biar aku yang berjaga.” Mendengar suara adiknya, Sian Eng juga bangun, mengulet dan menguap.
“Biarlah aku yang berjaga,” katanya. “Kalian tidurlah, aku tidak mengantuk,” kata Bu Sin yang kasihan melihat dua orang adiknya. Ia mengalah dan ingin berjaga semalam suntuk, membiarkan kedua adik perempuannya itu tidur melepaskan lelah.
“Ah, mana bisa, Sin-ko? Kau pun manusia dari darah daging saja, mana tidak lelah dan ngantuk? Biarlah aku dan Cici Sian Eng berjaga,” kata Lin Lin sambil menambah ranting kering pada api unggun sehingga keadaan menjadi hangat.
“Biarlah kita bercakap-cakap dulu, aku tadi merenungkan hasil kepergian kita ke kota raja. Bagaimana kalau kita tidak dapat menemukan saudara tua kita di sana?”
“Sin-ko, jangan khawatirkan hal yang belum kita hadapi. Tentu dia berada di sana. Andai kata tidak ada di sana pun, kurasa mencari seorang bernama Kam Bu Song, putera dari mendiang ayah Kam-goanswe, seorang pelajar yang datang dari Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san, tidak akan sukar. Tentu ada yang mengenalnya di kota raja. Nah, tenang dan tidurlah Sin-ko.”
Bu Sin tersenyum. Adiknya yang sulung ini memang besar hati dan kalau mendengarkan bicaranya memang ia tidak perlu gelisah. Seorang gagah tidak menakuti hal yang belum dihadapi, bahkan hal yang sudah dihadapi sekali pun tidak boleh mendatangkan rasa takut, harus dihadapi dengan tenang dan waspada, demikian pesan ayahnya dahulu.
“Lin Lin, kau benar. Biar kucoba tidur agar besok kuat kupakai jalan jauh.” Bu Sin lalu merebahkan tubuhnya, miring menghadapi api unggun.
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, juga dua orang gadis itu meloncat berdiri. Mereka berdiri dan saling pandang, penuh rasa kejut dan seram. Suara melengking tinggi itu masih terdengar mengiang-ngiang ke telinga mereka. Lengking tinggi menusuk telinga, suara suling. Lalu disusul suara pekik ketakutan, atau mungkin pekik kesakitan, betapa pun juga, pekik ini susul-menyusul dan amat mengerikan.
Akhirnya tiga orang itu tidak dapat menahan lagi, telinga serasa pecah oleh lengking itu. Dengan kedua tangan menutupi telinga, Bu Sin memberi isyarat kepada adik-adiknya. Mereka lalu duduk bersila, menutupkan kedua telapak tangan ke telinga, meramkan mata dan bersemedhi, mengerahkan lweekang untuk menjaga isi dada yang terguncang hebat oleh suara itu. Dapat dibayangkan hebatnya suara itu karena biar pun mereka sudah menutupi telinga dan mengerahkan lweekang masih saja suara itu menyerbu masuk ke dalam telinga dan tubuh mereka gemetaran. Akan tetapi berkat lweekang mereka, tiga orang muda itu dapat mempertahankan diri dan tidak terluka dalam.
Hanya sepuluh menit kurang lebih suara itu melengking-lengking, lalu sunyi, sunyi seperti kuburan. Mereka menurunkan kedua tangan. Bergidik ketika saling pandang. Sinar mata mereka saling mufakat bahwa yang bersuara tadi tentulah Suling Emas, karena mereka masih ingat akan suara suling yang pernah menusuk telinga mereka ketika mereka terancam oleh It-gan Kai-ong. Akan tetapi suara suling kali ini amatlah mengerikan.
Sampai pagi tiga orang muda itu tak dapat tidur lagi. Malah mereka duduk bersila mengumpulkan tenaga, siap sedia menanti datangnya bahaya dan mengambil keputusan untuk mempertahankan diri mati-matian biar pun akan datang serangan orang sakti sekali pun. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu dan kesunyian yang mencekam itu segera dipecahkan oleh kicau burung dan kokok ayam hutan.
“Mari kita segera pergi dari sini,” kata Bu Sin. Kedua orang adiknya dapat menangkap pandang mata dan suara hati yang tersembunyi dalam ucapan ini, seakan-akan berkata, “Untung tidak terjadi apa-apa pada kita, lebih cepat pergi dari sini lebih baik.”
Biasanya dalam perjalanan yang lalu, sebelum pergi tentu mereka bertiga akan mencari mata air atau sungai untuk mencuci muka atau mandi, terutama Lin Lin yang suka sekali bermain di air. Akan tetapi kali ini ketiganya agaknya lupa untuk cuci muka dan tergesa-gesa pergi dari situ.
“Ha, Sin-ko, lihat mereka itu!”
Ketiganya memandang. Dari jauh tampak enam orang pemburu itu masih rebah, ada yang meringkuk, ada yang telentang atau telungkup, sedangkan api unggun sudah lama padam.
“Malas amat pemburu-pemburu itu, mengapa belum juga bangun?” kata Sian Eng.
“Mari kita lihat, agak aneh sikap mereka,” kata Bu Sin.
Ketiganya berlari mendekat dan tak lama kemudian mereka bertiga berdiri dengan muka pucat dan bengong. Kiranya enam orang itu sudah tak bernyawa lagi dan kepala mereka, tepat di ubun-ubun, semua telah bolong sehingga tampak otaknya! Tahulah mereka bertiga sekarang bahwa yang menjerit-jerit malam tadi adalah mereka ini, jerit ketakutan dan kengerian.
“Ahhhhh...!” Sian Eng menutupi mukanya, perutnya tiba-tiba terasa mual dan ingin muntah. Lin Lin cepat merangkulnya.
“Tenang, Cici.” Akan tetapi dia sendiri gemetar dan kaki tangannya menjadi dingin.
“Mari kita pergi,” ajak Bu Sin, juga pemuda ini suaranya gemetar.
“Nanti dulu Sin-ko. Tak mungkin kita meninggalkan begitu saja enam mayat ini. Mereka tentu akan dirobek-robek binatang buas.”
“Habis kau mau apa?”
“Kita kubur dulu mereka. Lupakah kepada pesan Ayah bahwa melihat orang kesusahan harus menolong, terhadap orang tua harus menghormat, terhadap anak-anak harus melindungi, dan melihat mayat tak terurus harus menguburnya?”
Seketika wajah Bu Sin menjadi merah. “Terima kasih, Lin-moi. Hampir saja aku lupa akan pesan Ayah karena ngeri dan seram. Mari!”
Sekarang Sian Eng telah dapat menguatkan hatinya dan tiga orang muda ini lalu menggunakan pedang mereka untuk menggali lubang yang cukup besar untuk mengubur enam orang itu. Karena Lin Lin dan Sian Eng merasa enggan mengangkat mayat-mayat lelaki itu, Bu Sin yang turun tangan dan mengangkat mayat-mayat itu seorang demi seorang, dimasukkan ke dalam kuburan secara bertumpuk, lalu mereka bertiga menguruk lubang itu dengan tanah.
Hari telah siang ketika mereka selesai melakukan tugas ini dan cepat-cepat mereka meninggalkan tempat hutan besar itu, menuju ke arah munculnya matahari. Lega hati mereka bahwa mereka tidak menemui gangguan di jalan sampai mereka keluar dari hutan dan melalui dusun-dusun.
********************
Rumah makan itu masih sunyi. Agaknya hari masih terlampau pagi untuk makan. Bu Sin dan dua orang adiknya sudah amat lapar. Maklum, semalam berjalan terus di bawah sinar bulan. Asap berbau sedap yang melayang ke luar dari dalam dapur rumah makan menyerang hidung, membuat mereka tak dapat menahan lapar lagi.
Hanya ada dua meja yang dihadapi tamu. Kebetulan agaknya, dua meja itu adalah meja di ujung kiri dan meja di ujung kanan. Yang sebuah dihadapi seorang laki-laki berjenggot panjang, empat puluhan tahun usianya, duduk bersunyi sendiri. Meja kedua dihadapi dua orang, agaknya suami isteri, kurang lebih tiga puluhan tahun. Sikap kedua orang ini gagah, baik si suami mau pun si isteri. Mereka duduk berhadapan, makan bubur panas-panas dengan sumpit, cepat sekali seakan-akan mereka tergesa-gesa. Di punggung mereka tergantung gagang dua buah senjata.
Tadinya Bu Sin dan adik-adiknya mengira bahwa mereka itu masing-masing membawa siang-kiam (pedang pasangan), akan tetapi mereka terheran melihat bahwa dua buah senjata itu tidaklah sama. Sebuah pedang dan sebilah golok! Bu Sin dan dua orang adiknya belum sempat memilih tempat, karena pada saat mereka memasuki ruangan depan rumah makan itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras.
“Pencuri-pencuri bangsa Hou-han hendak sembunyi ke mana kalian?” Muncullah empat orang laki-laki yang nampak gesit-gesit dan kuat, berlompatan ke dalam dan mereka segera mengurung suami isteri itu. Seorang mencabut pedang, seorang lain mengeluarkan sepasang siang-kek (tombak pendek sepasang), orang ketiga mengeluarkan sebuah cambuk baja yang ujungnya seperti jangkar kecil, sedangkan orang keempat yang agaknya pemimpin rombongan ini, juga yang tadi membentak, memasang kuda-kuda dengan tangan kosong.
“Lebih baik kalian menyerahkan kembali benda itu kepada kami, mungkin kami akan dapat mengampuni nyawa kalian,” kata pula yang bertangan kosong.
Suami isteri itu saling lirik. Ketika si suami menurunkan mangkoknya, isterinya mencela, “Makan dulu sampai habis, baru layani anjing-anjing ini. Mengapa tergesa-gesa?” Keduanya lalu makan terus dengan tenangnya, menghabiskan bubur di dalam mangkok.
Bu Sin dan adik-adiknya amat kagum menyaksikan sikap dua orang ini. Amat tenang dan amat gagah. Namun mereka bertiga tak dapat bersimpati kepada sepasang suami isteri ini karena bukankah tadi rombongan itu mengatakan bahwa mereka berdua adalah orang-orang Hou-han? Berarti orang yang sekampung dengan Bu Sin bertiga, akan tetapi siapa tahu mereka itu adalah pembantu-pembantu dari Kerajaan Hou-han yang memusuhi mendiang ayah mereka? Keluarga Kam terkenal sebagai keluarga yang tidak mau tunduk kepada Kerajaan Hou-han, bahkan dianggap setengah pelarian.
Suami isteri itu sudah selesai makan. Tiba-tiba mereka bergerak dan dua pasang sumpit di tangan meluncur bagaikan anak panah. Empat batang sumpit itu menyerang empat orang yang mengurung mereka. Namun para pengurungnya juga bukan orang sembarangan. Dengan mudah mereka mengelak, dan sumpit-sumpit itu menancap sampai separohnya lebih pada dinding.
“Bagus!” Pujian ini keluar dari mulut laki-laki jenggot panjang yang sejak tadi masih duduk di sudut, menghadapi meja dan tenang-tenang saja sambil makan daging goreng dan nonton adegan di depannya itu. Matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri, agaknya ia gembira sekali dapat makan sambil menikmati tontonan gratis ini.
Melihat betapa sambitan mereka dengan sumpit-sumpit itu tidak mengenai sasaran, suami isteri itu melempar mangkok kosong ke lantai sambil meloncat, dan begitu kedua tangan mereka bergerak, kedua tangan mereka sudah mencabut senjata dan kini tangan kiri memegang pedang sedangkan tangan kanan memegang golok. Mereka membuat gerakan memutar dan sudah berdiri saling membelakangi, siap dengan senjata di tangan. Cerdik mereka, pikir Bu Sin yang menonton di dekat pintu. Suami isteri itu berdiri berhadapan punggung, dengan kedudukan demikian mereka dapat mencegah serangan gelap dari belakang.
Pertandingan dimulai tanpa kata-kata. Empat orang itu segera menyerbu, yang bersenjata pedang dan si pemegang siang-kek mengeroyok si suami, sedangkan wanita itu dikeroyok oleh si pemegang cambuk dan yang bertangan kosong. Para pelayan rumah makan itu lari berserabutan ke luar sambil berteriak-teriak ketakutan.
Bu Sin dan adik-adiknya menjadi kagum setelah pertempuran itu berlangsung seru. Kepandaian empat orang itu cukup tinggi, apa lagi yang bertangan kosong, akan tetapi gerakan mereka biasa. Sebaliknya, suami isteri itulah yang mendatangkan kagum. Si suami bergerak dengan tenang, namun kedudukannya kokoh kuat seperti batu karang. Sebaliknya, isterinya lincah bukan main, berloncatan ke sana ke mari seakan-akan seekor burung walet yang gesit, mendesak kedua orang lawannya.
Pertempuran itu makin lama makin hebat dan tahulah Bu Sin bertiga bahwa kepandaian mereka itu rata-rata lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian sendiri. Diam-diam ia merasa khawatir sekali dengan warisan ayahnya yang ia miliki, juga kedua orang adiknya, bagaimana mereka bertiga akan dapat merantau di dunia kang-ouw dan lebih-lebih lagi, bagaimana mereka akan mampu mencari dan membalas sakit hati orang tua mereka? Makin dekat dengan kota raja, agaknya makin banyak terdapat orang-orang yang kepandaian silatnya amat tinggi.
Tiba-tiba nyonya muda itu mengeluarkan jeritan nyaring, tubuhnya melayang ke atas dan goloknya menyambar lawannya yang paling tangguh, yaitu laki-laki yang bertangan kosong. Pada saat itu cambuk dari lawannya kedua telah melayang dan melecut, dengan gerakan cepat sekali meluncurlah jangkar kecil runcing itu ke arah lehernya!
“Roboh dia...!” Lin Lin berseru perlahan. Sejak tadi perhatian Lin Lin terpusat pada wanita ini. Ia amat kagum karena maklum bahwa dalam ilmu silat, wanita itu jauh melampauinya, baik dalam permainan senjata mau pun ilmu meringankan tubuh. Akan tetapi karena ia tidak tahu apa persoalannya maka terjadi pertempuran itu, hatinya tidak berpihak ke mana-mana. Betapa pun juga, melihat ujung cambuk yang seperti jangkar kecil itu menyambar leher, ia berseru dengan hati tegang.
Namun wanita yang masih meloncat di udara itu tiba-tiba menggerakkan pinggulnya dan... seperti seekor ular hidup, sabuknya yang panjang itu melayang ke belakang dan ujungnya tepat sekali melibat ujung cambuk. Terjadi saling libat dan tarik-menarik sehingga jalannya pertempuran di pihak wanita itu agak kaku.
Mendadak laki-laki berjenggot pendek yang duduk di sudut itu tertawa dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke dalam gelanggang pertempuran. Bu Sin dan dua orang adiknya kaget sekali, tidak mengira bahwa laki-laki penonton yang aneh itu dapat bergerak secepat itu. Tahu-tahu laki-laki ini sudah mengulur tangannya membetot ujung sabuk dan cambuk yang saling libat sambil berkata, “Tidak ramai kalau begini!”
Hebat orang ini. Sekali renggut saja, libatan dua macam senjata itu terlepas. Kelihatan tangan kirinya tadi bergerak cepat ke arah tubuh laki-laki yang dikeroyok dari belakang. Kemudian setelah cambuk dan sabuk terlepas, sambil tertawa terkekeh-kekeh laki-laki berjenggot ini sudah meloncat ke luar dari tempat itu.
Suami isteri yang menghadapi pengeroyokan berat itu agaknya tidak begitu memperhatikan ikut campurnya laki-laki berjenggot, akan tetapi Bu Sin yang sejak tadi memandang tajam, dapat melihat betapa tangan laki-laki berjenggot itu memegang sesuatu ketika tadi bergerak di belakang laki-laki yang dikeroyok.
“Mari, ikuti dia...!” katanya perlahan memberi isyarat kepada Sian Eng dan Lin Lin. Ketiganya cepat meloncat ke luar pula dan menyusup di antara banyak orang yang berkumpul dan menonton di luar rumah makan.
“Sin-ko, buat apa kita campuri urusan mereka?” Lin Lin mencela, akan tetapi melihat Bu Sin dan Sian Eng sudah melompat ke luar, terpaksa ia pun mengikuti mereka.
Mereka membayangi si jenggot panjang itu dari jauh dan karena yang dibayangi hanya berjalan seenaknya, maka mudahlah bagi mereka untuk mengikuti terus. Akan tetapi setelah keluar dari desa itu, si jenggot panjang lalu lari dengan gerakan cepat. Bu Sin yang ingin sekali tahu siapa orang itu dan apa yang dicurinya tadi dari sepasang suami isteri dari Hou-han, mengajak adik-adiknya mengikuti terus.
Menjelang sore mereka memasuki kota An-sui dan setelah masuk kota laki-laki itu kembali berjalan biasa. Kota An-sui cukup besar dan karena kota ini sudah termasuk wilayah Kerajaan Sung, apa lagi letaknya tidak jauh dari kota raja, maka keadaannya ramai dan di situ banyak terdapat rumah-rumah kuno dan besar milik orang-orang bangsawan. Orang berjenggot panjang itu akhirnya memasuki sebuah rumah besar yang di bagian depannya ditulis dengan huruf besar: GEDUNG PANGERAN SUMA.
Tentu saja kakak beradik itu tidak berani masuk terus. “Kita bermalam di kota ini,” kata Bu Sin dan pergilah mereka mencari rumah penginapan. “Malam nanti kita menyelidik.”
Setelah berada di kamar penginapan, Lin Lin kembali mencela, “Sin-ko, kepergian kita bukankah untuk mencari Kakak Bu Song dan mencari musuh besar kita? Apa perlunya kita mencampuri urusan si jenggot tadi?”
“Kau lihat sendiri, tadi dia mencuri sesuatu dari suami isteri dari Hou-han itu,” jawab kakaknya.
“Peduli apa kalau dia mau mencuri apa pun juga? Apa sangkut pautnya dengan kita, Koko? Biar pun aku kagum kepada suami isteri yang gagah itu, akan tetapi kita tidak mengenalnya dan tidak tahu apa yang menyebabkan mereka tadi bertempur, tidak mengenal pula siapa lawan-lawannya.”
Bu Sin menghela napas. “Kau benar, Lin-moi. Akan tetapi ada satu hal yang membuat aku tertarik dan terpaksa berpihak kepada mereka. Mereka itu adalah orang-orang dari wilayah Hou-han, seperti juga kita. Siapa tahu kalau-kalau benda yang dicuri si jenggot tadi amat penting bagi Kerajaan Hou-han?”
Berkerut kening Lin Lin. “Sin-ko, kau berpihak kepada Kerajaan Hou-han? Tak ingat bahwa Ayah telah melarikan diri dari kerajaan itu karena kelaliman rajanya?”
Bu Sin tersenyum. “Waktu itu belum menjadi kerajaan, adikku. Ayah seorang setia dan tidak suka akan pemberontakan. Akan tetapi sekarang telah menjadi wilayah Hou-han, aku tidak membela apa-apa, akan tetapi sedikitnya tentu berpihak kepada wilayah sendiri, bukan?”
“Adik Lin, kalau takut, malam ini tidak usah ikut, tinggal saja di kamar, biar aku dan Sin-ko sendiri yang pergi menyelidik,” kata Sian Eng yang tidak senang melihat kerewelan Lin Lin.
Lin Lin tidak marah, malah tertawa. “Cici, kalau ada apa-apa terjadi kapadamu, siapa yang akan menolong kalau aku tidak ikut? Tentu saja aku ikut.”
“Kalau begitu tak perlu banyak rewel.”
“Kita mengaso dulu sore ini, siapa tahu malam nanti kita harus menggunakan banyak tenaga,” kata Bu Sin. “Aku akan pesan makanan di luar rumah penginapan.”
Tak lama Bu Sin keluar. Ketika masuk lagi wajahnya berubah. “Mereka juga sudah berada di kota ini.”
“Siapa?” tanya Lin Lin.
“Siapa lagi? Suami isteri itu!”
Mendengar ini, Lin Lin tertarik dan mereka menjadi tegang. Apakah sepasang suami isteri itu sudah tahu ke mana perginya orang berjenggot tadi? Apakah mereka sudah tahu bahwa orang itu mengambil sesuatu dari mereka?
“Hebat, cepat benar mereka dapat mengejar ke sini. Agaknya mereka menang dalam pertempuran tadi,” kata Lin Lin. “Apakah mereka sudah tahu tempat si jenggot itu?”
“Kurasa mereka tentu tahu. Mereka itu bukan orang biasa, melainkan orang-orang kang-ouw yang ulung. Akan ramai malam nanti, kita menjadi penonton saja sambil menambah pengalaman,” kata Bu Sin, dan mereka bertiga lalu pergi ke dalam kamar mengaso.
Penghuni rumah gedung itu adalah keluarga Pangeran Suma Kong. Pangeran Suma Kong ini adalah pangeran Kerajaan Sung yang masih merupakan keluarga dekat dengan kaisar. Akan tetapi karena ia pernah melakukan korup besar-besaran dan ketahuan kaisar, ia lalu diberhentikan dari jabatannya. Akan tetapi mengingat bahwa ia masih keluarga, kaisar tidak menjatuhkan hukuman, hanya membebaskan dari tugas.
Pangeran Suma Kong lalu mengundurkan diri dari kota raja, tinggal di kota An-sui, hidup sebagai bangsawan ‘pensiunan’ yang kaya, memiliki gedung besar dan sawahnya di luar kota An-sui amat luas. Tentu saja diam-diam Pangeran Suma Kong menaruh dendam kepada Kerajaan Sung, akan tetapi karena ia sudah tua dan merasa tidak berdaya, ia menghibur diri dengan pelbagai kesenangan, tidak mau mempedulikan lagi tentang urusan kerajaan.
Namun tidak demikian dengan puteranya yang bernama Suma Boan. Puteranya ini bukanlah seorang lemah. Diam-diam dia mempelajari ilmu silat dari orang sakti yaitu bukan lain adalah si Raja Pengemis It-gan Kai-ong. Malah diam-diam Suma Boan menghimpun kekuatan, bersekutu dengan Kerajaan Wu-yue di selatan. Karena It-gan Kai-ong sendiri adalah seorang tokoh selatan yang membantu Kerajaan Wu-yue, maka dengan mudah Suma Boan mendapatkan pengaruh di kerajaan itu dan diam-diam mengadakan persekutuan untuk bersama-sama mencari kesempatan baik dan kalau tiba waktunya menggulingkan pemerintahan Kerajaan Sung.
Suma Boan sudah berusia tiga puluhan tahun lebih, belum menikah, namun terhadap wanita ia terkenal jahat dan mata keranjang. Selirnya banyak, di dalam gedung itu saja ada tujuh orang, belum terhitung selir yang di luar gedung. Banyaknya selir itu masih tidak mengurangi kenakalannya untuk mengganggu setiap orang wanita cantik yang menarik hatinya, tidak peduli wanita itu masih gadis, janda mau pun masih menjadi isteri orang lain! Dia beruang, ilmu silatnya tinggi, maka tiada orang berani menentangnya. Di An-sui ia terkenal sebagai jagoan, bahkan namanya terkenal sampai di kota raja. Di dunia kang-ouw ia juga seorang yang cukup dikenal pula dengan julukannya yang amat takabur, Lui-kong-sian (Dewa Geledek)!
Suma Boan hanya mempunyai seorang saudara kandung, yaitu adik perempuannya yang bernama Suma Ceng, berusia dua puluh tujuh tahun. Suma Ceng sudah lama menikah dengan seorang pangeran dan kini tinggal di kota raja. Para pelayan di dalam gedung itu maklum betapa jauh bedanya watak Suma Ceng yang sudah pindah ikut suaminya di kota raja itu dengan Suma Boan. Suma Ceng seorang wanita yang halus tutur sapanya, lemah lembut dan baik budi pekertinya, ramah dan suka menolong terhadap para pelayan. Sebaliknya, semua pelayan kuncup hatinya dan tunduk ketakutan bila berhadapan dengan Suma Boan.
Malam hari itu, di ruangan sebelah dalam dari gedung keluarga Suma terdengar suara ketawa gembira. Beberapa orang pelayan wanita yang muda dan cantik sibuk melayani tiga orang yang sedang makan minum menghadapi meja besar. Mereka ini bukan lain adalah Suma Boan sendiri, It-gan Kai-ong yang menjadi gurunya, dan seorang laki-laki berjenggot panjang yang pagi tadi dibayangi oleh Bu Sin bertiga.
“Ciok-twako, kali ini benar-benar kau telah berjasa besar. Biarlah kuberi selamat dengan secawan arak!” terdengar Suma Boan berkata sambil tertawa dan mengangkat cawan araknya.
Si jenggot panjang yang bernama Ciok Kam itu tertawa merendah, mengangkat cawan araknya sambil berkata, “Kongcu (Tuan Muda) terlalu memuji. Hanya secara kebetulan saja saya mendapatkan surat itu, bukan sekali-kali karena jasa saya, melainkan mengandalkan rejeki semata-mata dan kemurahan hati Ong­ya yang telah menurunkan beberapa ilmu pukulan kepada saya. Karena itu, penghormatan saya kembalikan kepada Kongcu dan terutama kepada Ong-ya!” Si jenggot panjang menggerakkan cawan ke arah It-gan Kai-ong sambil membungkuk.
“Ha-ha-ho-hoh, Ciok Kam patut menjadi pembantu kita. Surat yang dirampasnya amat penting dan agaknya kau akan dapat mempergunakannya dengan baik muridku. Untuk keuntungan ini mari kita minum sepuasnya!”
Mereka menenggak habis isi cawan dan cepat-cepat seorang pelayan wanita yang cantik, yaitu seorang di antara para selir Suma Boan yang amat dipercayanya sehingga diperkenankan menghadiri pertemuan ini, mengangkat guci dan mengisi cawan-cawan kosong itu.
“Jangan khawatir, Suhu. Surat yang menyatakan hubungan persekutuan antara Kerajaan Hou-han dan Nan-cao ini tentu akan teecu (murid) bawa ke kota raja. Tentu Kaisar akan girang dan berterima kasih sekali kepada teecu dan saat yang baik itu akan teecu pergunakan untuk mencari kedudukan. Biarkan Hou-han dan Nan-cao ribut dengan Sung, biarkan anjing-anjing berebut tulang, kelak kita tinggal memukul mereka. Bukankah begitu, Suhu?”
“Ha-ha, kau lebih tahu akan hal itu. Aku orang tua mana becus memikirkan tentang negara? Kalau ada lawan yang tak sanggup kau hadapi, nah, serahkan kepadaku. Itulah bagianku. Ha-ha-ha!”
“Siapakah orangnya di dunia ini yang dapat melawan Suhu? Agaknya orang itu harus dilahirkan lebih dulu. Bukankah begitu, Ciok-twako?”
“Betul-betul, kepandaian Ong-ya seperti malaikat langit, mengandalkan bantuan Ong-ya, tidak ada cita-cita yang takkan dapat tercapai,” jawab si jenggot panjang bernama Ciok Kam.
Sementara itu, tiga bayangan berkelebat cepat sekali di atas genteng rumah besar itu. Mereka ini bukan lain adalah Bu Sin, Sian Eng dan Lin Lin. Sambil mengerahkan ginkang, dengan hati-hati sekali mereka berloncatan di atas genteng. Di ruangan tengah mereka mendengar suara orang bercakap-cakap sambil tertawa.
“Lin-moi, kau menjaga di sini, aku dan Cici-mu mengintai,” kata Bu Sin.
Kakak beradik itu lalu menggunakan gerak tipu In-liong-hoan-sin (Naga Awan Membalikkan Tubuh), tanpa mengeluarkan suara keduanya sudah berjungkir balik dengan kedua kaki tergantung pada ujung tembok genteng, tubuh bergantung kepala di bawah seperti dua ekor kelelawar. Lin Lin berjongkok di atas genteng, memandang kagum kepada dua orang kakaknya itu. Ada pun Bu Sin dan Sian Eng dalam keadaan bergantung membalik itu melihat bayangan orang dari jendela, bayangan tiga orang laki-laki yang duduk sambil minum arak dan tertawa-tawa.
“Ha-ha-ha, tikus-tikus kecil macam itu perlu apa diributkan? Kalau tidak ingat akan sepotong uang perak, sudah lama mereka menjadi bangkai.”
Suara ini membuat Bu Sin dan Sian Eng kaget setengah mati. Kiranya itu adalah suara It-gan Kai-ong! Dan mereka malah datang ke tempat itu, benar-benar seperti ular mendekati penggebuk!
“Suhu dan Ciok-twako, duduklah dan lanjutkan minum arak. Hidungku mencium bau harum wanita, tak boleh dilewatkan begitu saja. Suhu, bolehkah?”
“Ho-ho-hah, kalau kau melihat dua orang gadis itu tentu akan membanjir air liurmu. Aku sudah tua, tidak butuh hal itu lagi. Pergilah!”
Tiba-tiba sesosok bayangan hitam yang jangkung melompat ke luar dari ruangan itu, melesat ke arah pintu. Akan tetapi sia-sia, Bu Sin dan Sian Eng sudah melompat sambil memutar tubuh ke atas genteng lagi. Bukan main heran dan khawatirnya ketika mereka tidak melihat adanya Lin Lin yang tadi berjongkok di atas genteng. Ke mana adik mereka itu?
Namun mereka tidak sempat membingungkan ke mana perginya Lin Lin karena pada saat itu, bayangan laki-laki jangkung yang keluar dari ruangan tadi sudah melesat naik ke atas genteng dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang laki-laki muda yang berpakaian pesolek, bertubuh jangkung dan berhidung panjang. Muka yang tampan, namun membayangkan kekejaman. Laki-laki ini tersenyum mengejek melihat Bu Sin dan Sian Eng mencabut pedang. Akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar ketika ia memandang wajah Sian Eng dan senyumannya melebar.
“Melihat wajah temanmu, nyawamu kuampuni. Lekas pergi dari sini dan tinggalkan temanmu ini untuk menemaniku semalam ini,” kata laki-laki jangkung yang bukan lain adalah Suma Boan itu kepada Bu Sin.
Dapat dibayangkan betapa marahnya Bu Sin dan Sia Eng mendengar kata-kata yang amat menghina ini. Akan tetapi karena berada di atas rumah orang dan mereka merasa telah melanggar aturan, maka ia mempertahankan kesabarannya dan berkata. “Harap kau suka menahan mulutmu yang lancang. Lebih baik lepaskan adik perempuanku dan kami akan pergi dari tempat ini. Kami bukan maling, hanya tadi kami mengikuti seorang laki-laki berjenggot panjang yang telah merampas barang orang. Nah, kalau kau tuan rumah, maafkan kami dan kembalikan adikku.”
Mendengar disebutnya laki-laki berjenggot merampas barang, seketika lenyaplah sikap main-main Suma Boan. Ia tidak peduli lagi akan ucapan tentang adik kedua orang ini. “Bagus, kalian mata-mata!” Sekaligus ia menerjang maju dengan serangan yang dahsyat sekali.
Bu Sin dan Sian Eng cepat mengelak sambil melompat mundur dan memutar pedang, akan tetapi pada saat itu dari jendela yang terbuka menyambar angin pukulan yang hebat, yang sekaligus mendorong mereka roboh di atas genteng! Terdengar suara It-gan Kai-ong tertawa bergelak. Kiranya kakek inilah yang mendorongkan tangannya mengirim pukulan jarak jauh dari jendela ke atas genteng! Melihat betapa dua orang muda gemblengan seperti Bu Sin dan Sian Eng dapat roboh dengan sekali terkena dorongan angin pukulan, dapat dibayangkan betapa saktinya raja pengemis itu.
Bu Sin dan Sian Eng kaget bukan main. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh mereka terlempar ke bawah genteng, dan biar pun mereka dapat mempergunakan ginkang untuk mengatur keseimbangan badan dan mencegah terbanting, namun sedikitnya mereka tentu akan luka-luka kalau saja tidak ada dua orang yang menyambar tubuh mereka. Ketika mereka memandang, kiranya yang menolong mereka itu adalah suami isteri yang dikeroyok di rumah makan pagi tadi!
“Adikku masih di atas...,” Sian Eng berkata.
“Sssttt...!” wanita yang tadi menyambar tubuhnya menarik tangan Bu Sin dan Sian Eng berlindung dalam gelap. Mereka memandang ke atas dan apa yang tampak di atas membuat Bu Sin dan Sian Eng seketika pucat, hati mereka berdebar penuh kengerian. Apa yang tampak oleh mereka?
Bukan hanya Suma Boan yang kini berdiri di atas genteng, melainkan ada bayangan kedua, bayangan makhluk yang mengerikan sekali, bukan manusia bukan binatang melainkan tengkorak memakai pakaian hitam! Muka tengkorak putih dengan sepasang lubang mata hitam besar dan gigi berjajar kacau itu benar-benar amat menyeramkan tertimpa sinar lampu yang menyinar dari pinggir gedung, dari atas diterangi bintang-bintang di langit.
Agaknya Suma Boan juga kaget melihat makhluk ini. Terdengar ia berseru keras, “Suhu... Hek-giam-lo di sini!”
Akan tetapi tiba-tiba ia terjengkang di atas genteng dan bayangan muka tengkorak itu berkelebat lenyap dari situ. Sebuah bayangan lain yang gerakannya seperti setan menyambar dari bawah, disusul bentakan It-gan Kai-ong.
“Hek-giam-lo mayat busuk, jangan lari kau!”
Suma Boan tidak terluka hebat. Dia merangkak bangun dan berdiri lagi di atas genteng, meraba bajunya dan dengan suara marah ia berseru. “Celaka...! Hek-giam-lo keparat, surat itu diambilnya...!”
“Bagaimana, Kongcu? Apa yang terjadi...?” kini bayangan si jenggot panjang yang naik ke atas genteng.
“Celaka, kita tertipu!” kata Suma Boan. “Tadinya dua orang bocah itu menuduh kita menangkap adiknya. Ketika mereka dijatuhkan Suhu, eh, tahu-tahu muncul Hek-giam-lo. Ia tidak berkata apa-apa, tapi aku didorong roboh. Ketika Suhu muncul ia melarikan diri, kini dikejar Suhu. Akan tetapi surat itu tidak ada lagi di dalam saku bajuku. Lihat, bajuku robek, siapa lagi yang mampu merampasnya secara begini kalau bukan Hek-giam-lo?”
“Wah, sial betul. Tapi, tak usah khawatir, Kongcu. Kalau Ong-ya sudah mengejarnya, masa tidak akan dapat merampasnya kembali?”
“Belum tentu... belum tentu...!” Suma Boan menggeleng kepalanya. “Dia lihai sekali. Heran aku, siapakah dua orang bocah tadi? Apakah kaki tangan orang Khitan?”
Sambil bersunggut-sunggut dan menyumpah-nyumpah Suma Boan melompat turun dan masuk ke dalam gedung, diikuti oleh si jenggot panjang Ciok Kam. Sebentar saja para pelayan menyambutnya, keadaan menjadi ribut karena orang-orang mendengar tentang penyerbuan musuh di atas genteng.
Akan tetapi Suma Boan membentak, “Tidak ada apa-apa, mundur semua!” Pelayan-pelayan itu, kecuali selirnya yang melayani minum, mundur ketakutan, kembali ke tempat masing-masing.
Suami isteri bersama Bu Sin dan Sian Eng yang bersembunyi melihat semua itu. Bu Sin dan adiknya amat bingung memikirkan Lin Lin, akan tetapi laki-laki itu berkata.
“Adikmu tidak berada di dalam gedung. Tadi kami melihat dia dibawa lari Seng-jin. Lebih baik kalian lekas pergi dari sini, amat berbahaya di sini. Kami berterima kasih bahwa kalian sudah menaruh perhatian akan urusan kami. Biar pun kalian anak-anak keluarga Kam, tidak percuma kalian menjadi orang-orang dari wilayah Hou-han. Nah, kita berpisah di sini.”
“Nanti dulu...!” Bu Sin mencegah. “Siapakah Seng-jin yang membawa adik kami? Dan siapa kalian ini? Urusan apakah yang menimbulkan semua keributan ini?”
Wanita itu yang menjawab kini, tersenyum duka, “Dituturkan tidak ada gunanya, juga tidak ada waktu. Kau takkan mengerti, orang muda. Tentang adikmu, dia tadi dibawa Kim-lun Seng-jin, seorang sakti yang aneh. Percuma kau mencarinya, tak mungkin mengikuti jejak seorang seperti Kim-lun Seng-jin. Tentang kami... hemmm, cukup kau ketahui bahwa kami adalah orang-orang Hou-han dan bekerja untuk Kerajaan Hou-han. Selamat tinggal, jangan lama-lama berada di sini, pergi cepat. Berbahaya!” Setelah berkata demikian, suami isteri itu berkelebat dan menghilang di dalam gelap.
Bu Sin dan Sian Eng saling pandang. Mereka bingung sekali memikirkan tentang diri Lin Lin. Akan tetapi mereka pun tahu bahwa kepandaian mereka masih jauh dari pada cukup untuk dapat mencari Lin Lin yang katanya dibawa lari Kim-lun Seng-jin. Sedangkan menghadapi si jenggot panjang dan orang muda jangkung di dalam gedung ini saja sudah terlalu berat bagi mereka, apa lagi It-gan Kai-ong ada di situ! Tidak ada jalan lain bagi Bu Sin dan adiknya kecuali segera menyelinap pergi dari tempat itu, lari ke luar menyelinap-nyelinap di dalam kegelapan malam.
Dengan hati pepat dan gelisah mereka kembali ke kamar rumah penginapan dan alangkah heran akan tetapi juga lega hati mereka ketika mereka melihat tulisan Lin Lin di atas meja, tulisan dalam sebuah kertas berlipat yang singkat saja.
Sin-ko dan Eng-cici,
Terpaksa aku pergi dulu berpisah dengan kalian. Kakek gundul yang menolongku memaksa aku ikut dia sendiri saja. Akan tetapi dia baik dan bilang bahwa dia dapat membawaku ke tempat pembunuh orang tua kita.
Sampai jumpa pula,
Lin Lin

Bu Sin menarik napas panjang, lega hatinya. Tentu yang dimaksudkan di dalam surat, yang disebut oleh Lin Lin ‘kakek gundul’ itu adalah Kim-lun Seng-jin yang tadi diceritakan oleh suami isteri dari Hou-han. Ia tersenyum geli. Kakek gundul yang bernama Kim-lun Seng-jin boleh saja disebut aneh, akan tetapi kakek itu akan ‘ketemu batunya’ kalau melakukan perjalanan bersama Lin Lin. Adik angkatnya ini kadang-kadang mempunyai perangai yang luar biasa sekali, sukar dikendalikan, aneh dan tentu kakek gundul itu akan menjadi banyak pusing olehnya.
“Dia diberi petunjuk orang sakti akan jejak musuh besar kita, itu baik sekali. Mudah-mudahan dia berhasil dan selamat,” katanya sambil merobek-robek surat itu.
“Kita sendiri bagaimana, Sin-ko? Ke mana kita harus mencari atau mengikuti Lin Lin?”
“Dia sendiri saja kalau sudah minggat mana kita mampu mengejarnya, apa lagi sekarang bersama seorang sakti. Kita tidak perlu mencarinya, kita melanjutkan perjalanan ke kota raja. Agaknya akan lebih baik kalau kita mencari Kakak Bu Song lebih dulu, karena sebagai seorang yang lama tinggal di kota raja, tentu dia mempunyai banyak pengalaman dan akan dapat memberi petunjuk kepada kita.”
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bu Sin dan Sian Eng sudah meninggalkan kota An-sui menuju ke kota raja.
********************
Apakah yang terjadi dengan Lin Lin? Gadis remaja ini mengalami hal yang amat luar biasa. Seperti kita ketahui, ketika Bu Sin dan Sian Eng mengintai ke dalam ruangan gedung itu dengan cara menggantungkan kaki dengan kepala di bawah, Lin Lin berjongkok di atas genteng sambil melihat kedua saudaranya itu. Kaget ia ketika melihat Bu Sin dan Sian Eng berloncatan ke atas kemudian kedua orang itu roboh ke bawah genteng.
Akan tetapi, selagi ia kebingungan dan khawatir, tiba-tiba serangkum angin pukulan yang dilontarkan oleh It-gan Kai-ong menyerangnya, membuat dia terlempar dan tentu ia pun akan terguling roboh ke bawah kalau saja tidak terjadi hal yang amat aneh. Ia tidak tahu mengapa dan bagaimana, akan tetapi tubuhnya yang sudah terjengkang itu tiba-tiba dapat terapung ke atas, lalu tubuhnya itu seperti dibawa angin terbang melalui genteng, cepat bukan main. Tentu saja ia takut sekali dan berusaha memulihkan keseimbangan tubuhnya agar kalau jatuh ke bawah tidak terbanting, namun ia sama sekali tak dapat menggerakkan kaki tangannya dan ia ‘terbang’ dengan tubuh telentang. Kalau ia tidak mengalami sendiri, tentu ia tidak akan mau percaya bahkan pada saat itu ia mengira bahwa ia sedang mimpi.
Entah berapa lama ia berada dalam keadaan melayang ini, namun ia merasa bahwa ia diterbangkan tubuhnya. Ketika kedua kakinya menginjak tanah, ia telah berada di luar kota An-sui!
“Heh-heh-heh, untung kau tidak menjadi korban It-gan Kai-ong,” terdengar suara terkekeh bicara.
Lin Lin membalikkan tubuh, ke kanan kiri, memutar tubuh melihat ke sekelilingnya. Akan tetapi tidak tampak seorang pun manusia. Bulu tengkuknya mulai berdiri dan kedua lututnya gemetar. Ia seorang gadis yang tabah dan menghadapi siapa pun juga ia takkan mundur, takkan mengenal takut. Namun kejadian kali ini membuat ia yakin bahwa ia sedang diganggu iblis dan dongeng-dongeng tentang iblis yang pernah ia dengar membuat ia ketakutan.
“Siapa kau?”
“Siapa aku? Aku siapa? Heh-heh, aku sendiri tidak kenal siapa aku ini dan dari mana asalku, apa lagi kau bocah ingusan. Heh-heh-heh! Aku dan kau sama saja!”
Suara itu tepat di belakangnya, maka secepat kilat Lin Lin memutar tubuh dengan gerakan Hek-yan-tiauw-wi (Burung Walet Sabet Buntut), gerakannya cepat bukan main dan ia sengaja mengerahkan ginkang-nya. Akan tetapi, kembali ia hanya melihat tempat kosong, tidak ada bayangan, apa lagi orangnya!
Suara itu masih terkekeh-kekeh, “Heh-heh-heh, siapa aku? Siapa aku? Hayo cari dan tebak, di mana dan siapa aku, heh-heh-heh!” Suara itu tertawa-tawa geli seperti seorang kanak-kanak bermain kucing-kucingan.
Panas juga dada Lin Lin. Ia yakin sekarang bahwa yang bicara itu tentu seorang manusia biasa, biar pun seorang manusia yang memiliki kepandaian yang luar biasa. Masa aku tidak dapat mencarimu? Demikian pikirnya dengan gemas. Cepat ia melompat lagi, berputaran dan mengeluarkan kepandaiannya untuk membalik sana berputar sini, lari berputaran seperti kitiran cepatnya. Namun tak pernah ia dapat melihat bayangan di sekeliling dirinya, padahal suara itu terus-menerus berbunyi, tertawa-tawa di belakang, kanan dan kirinya!
“Heh-heh-heh! Kau seperti seekor anjing yang berputaran hendak menggigit buntut sendiri. Heh-heh... lucu... lucu... lagi, Nona. Sekali lagi, lucu benar...!”
Tentu saja Lin Lin tidak sudi berputar lagi, malah ia cepat berhenti dan membanting kakinya. Hampir ia menangis. “Kau ini setan apa manusia? Kalau manusia perlihatkan dirimu. Kalau setan minggat dari sini, aku tidak butuh setan!” bentaknya sambil bertolak pinggang.
“Heh-heh, lebih baik jadi setan, biar pun selalu melakukan kejahatan akan tetapi memang itu kewajibannya, kalau tidak melakukan yang jahat-jahat mana disebut setan? Setidaknya setan mengakui kejahatannya, sebaliknya manusia banyak yang pura-pura suci dan bersih, padahal lebih jahat dan kotor dari pada setan sendiri. Heh-heh, Nona, aku di belakangmu, masa kau tidak dapat melihat?” Lin Lin membalikkan tubuhnya dan... tidak melihat apa-apa.
“Kau main kucing-kucingan? Aku tidak sudi main-main denganmu.”
“Lho, aku di sini, lihat baik-baik.”
Lin Lin menurunkan pandang matanya dan benar saja. Di depannya berdiri seorang kakek yang... tubuhnya pendek, hanya setinggi dadanya dan karena kakek itu tadi jongkok tentu saja tidak kelihatan. Sekarang kakek ini berdiri, kedua kakinya yang pendek itu tidak bersepatu, lucu sekali tampaknya. Badannya agak gemuk, kepalanya bundar seperti bola karet, licin tidak berambut sehelai pun juga. Tapi alisnya tebal sekali, dan rambut alisnya itu berdiri menjulang ke atas. Kumis dan jenggotnya panjang melambai sampai ke dada. Kedua daun telinganya lebar seperti telinga arca Ji-lai-hud dihiasi sepasang anting-anting perak. Anehnya, melihat orang seperti itu Lin Lin tak dapat menahan ketawanya.
“Hi-hi-hik, kau ini golongan apa? Apakah pemain wayang?” Lin Lin tertawa dan menutupi mulutnya.
“Memang dunia ini panggung wayang dan kita anak wayangnya. Bagaimana lakonnya dan apa peran yang harus kita pegang terserah Sang Sutradara. Heh-heh-heh, dan agaknya Sang Sutradara menghendaki supaya aku menjalankan peran menolong kau dari ancaman It-gan Kai-ong si pengemis busuk.”
“Kakek pendek, bagaimana kau tadi bisa membawa aku terbang? Dan bagaimana kau tadi bisa menghilang? Aku sudah belajar ilmu ginkang bertahun-tahun akan tetapi belum ada sekuku hitam dibandingkan dengan gerakanmu. Apakah kau tadi menggunakan ilmu sihir?”
“Heh-heh, bocah nakal seperti kau ini, baru belajar jalan sudah berani mendaki gunung menyeberangi lautan! Aku tanggung, dengan kepandaianmu yang baru kelas nol itu, kau akan selalu bertemu bahaya dan akhirnya kau akan roboh! Gerakanmu masih begitu kaku dan lambat, kau namakan itu ilmu ginkang? Ho-heh-hoh, lucu amat!”
Panas perut Lin Lin, bibirnya cemberut, matanya bersinar marah. Akan tetapi kakek itu malah tertawa-tawa, memegangi perut dan berjingkrakan seperti tak dapat menahan lagi kegelian hatinya. “Dan pedang itu... heh-heh-heh, bawa-bawa pedang macam itu untuk apa? Apakah untuk mengiris bawang ataukah untuk menyembelih ayam? Heh-heh, untuk itu pun kurang tajam, baiknya untuk menakut-nakuti tikus. Heh-heh, kau takut tikus, kan?”
Lin Lin membanting kakinya. “Kakek pendek, cebol, gundul pacul! Sudah tua ompong masih sombong...!”
Kakek itu tiba-tiba meringis, memperlihatkan isi mulutnya. Hebat! Giginya berderet rapi seperti gigi Lin Lin sendiri. “Kau lihat, siapa ompong? Gigiku tidak kalah dengan gigimu? Hayo kau meringis, kita lihat gigi siapa lebih putih, lebih mengkilap!”
Geli juga hati Lin Lin. Memang gadis ini pun wataknya aneh, mudah marah, mudah gembira. Mudah menangis mudah tertawa. Melihat betapa kakek itu meringis memamerkan giginya, mau tidak mau ia tertawa juga. “Ihhh, jijik ah! Gigimu kuning-kuning begitu!”
Kakek itu kelabakan. “Masa? Ah, mana bisa? Sedikitnya dua kali sehari kugosok dengan bata. Kau bohong...!”
Tampak oleh Lin Lin kakek itu mengulur tangan kepadanya. Ia cepat melangkah mundur, akan tetapi tahu-tahu gelung rambutnya sebelah kiri yang terbungkus sutera itu terlepas karena tusuk kondenya dari perak telah berada di tangan kakek itu. Untuk apa kakek itu merampas tusuk kondenya? Untuk bercermin! Bunga perak pada tusuk konde itu sebesar kuku jari dan kakek itu berusaha untuk bercermin memeriksa giginya dari pantulan sinar bintang yang menimpa bunga perak. Tentu saja hasilnya sia-sia.
Diam-diam Lin Lin terkejut bukan main. Bagaimana kakek itu dapat merampas tusuk kondenya sedemikian cepatnya sehingga sama sekali tidak terasa olehnya? Terang bahwa kakek ini memiliki kesaktian yang hebat. Kalau saja mau menurunkan kepandaian itu kepadanya!
“Kek, mengapa kau menolong aku dari tangan It-gan Kai-ong? Mau apa kau membawa aku ke sini?” akhirnya dia bertanya.
Kakek itu mengomel, “Gigiku putih... tidak kuning...!”
“Mengapa kau menolong aku?”
“Siapa bilang gigiku kuning, memalukan!” Kakek itu bersungut-sungut.
Lin Lin hendak marah, akan tetapi melihat sikap kakek itu seperti seorang anak kecil merajuk, ia tertawa lagi. “Memang gigimu putih, siapa bilang kuning?”
“Kau tadi yang bilang!”
“Dan kau percaya? Ih, bodohmu sendiri mengapa percaya. Gigimu putih seperti... seperti kapur.”
Kakek itu nampak girang. Kapur memang putih sekali, maka ia girang mendengar ucapan ini. Tangannya bergerak dan sinar putih berkelebat menyambar ke arah kepala Lin Lin. Gadis ini tak sempat mengelak, ketika ia meraba gelungnya, tusuk konde itu sudah berada di tempatnya lagi dan ia sama sekali tidak merasakannya! Makin kagum hatinya.
“Kek, kenapa kau menolongku dan mau apa kau membawa aku ke sini?”
“Karena kau cantik, seperti anakku dahulu.”
Rasa haru sejenak menyelinap di hati Lin Lin. “Di mana anakmu, Kek?”
“Di mana? Di... mana, ya? Sang Sutradara sudah lama membebaskannya dari pada tugas di panggung wayang. Dia tidak main lagi.”
Makin terharu hati Lin Lin. “Anakmu sudah mati?”
Kakek itu tidak menjawab, melainkan tertawa lagi. “Kau gadis bangsaku heh-heh, tak salah lagi. Karena itu aku suka kepadamu, aku menolongmu dan kalau kau mau, biar kuberi bekal padamu agar kelak tidak ada orang berani menghinamu.”
“Aku bangsamu? Bangsa apa Kek?”
“Lihat hidungmu, coba kan sama dengan hidungku? Juga gigimu, sama dengan gigiku. Kau bangsa Khitan, tidak salah lagi.”
Otomatis, terpengaruh oleh ucapan itu, Lin Lin memandang ujung hidungnya. Tentu saja, biar pun kedua matanya sampai juling ke tengah semua, tetap saja ia tidak berhasil memandang hidungnya sendiri. Apa lagi memandang giginya! Betapa pun juga, ucapan ini menusuk perasaannya, membuat jantungnya berdebar tegang. Dia terang bukan anak keluarga Kam karena ia hanya anak pungut. Ayahnya atau siapa pun juga tidak pernah memberi tahu kepadanya, siapa gerangan ayah ibunya yang sejati. Karena ini pula ia amat ingin bertemu dengan Bu Song, anak sulung ayah angkatnya itu karena ia menduga bahwa Bu Song tentu tahu akan hal dirinya. Sekarang mendengar kakek ini menyatakan bahwa dia bangsa Khitan, biar pun ia tidak bisa percaya dan tidak mau percaya, hatinya berdebar juga. Akan tetapi, yang paling menggirangkan hatinya adalah pernyataan kakek itu hendak memberinya bekal kepandaian.
“Kau betul-betul hendak mengajarku ilmu kepandaian, Kek? Wah, terima kasih sebelumnya. Aku amat membutuhkan itu, untuk mengalahkan musuh besarku.”
“Heh-heh, tiada musuh besar di dunia ini yang lebih besar dari pada nafsu sendiri. Siapa musuh besarmu?”
“Sayang, aku sendiri tidak tahu, Kek,” Lin Lin menggeleng kepalanya. “Ayah angkat dan sekeluarganya dibunuh orang yang tidak dikenal. Ibu angkatku hanya meninggalkan ucapan terakhir bahwa musuh besar itu bersuling.”
Tiba-tiba kakek itu melompat tinggi sekali, lenyap dari depan Lin Lin. Ketika Lin Lin mendongak dan hendak memanggil, tubuh pendek itu melayang turun dari atas dan sudah berdiri di depannya lagi. “Suling Emas? Suling Emas membunuh orang tuamu? Siapa orang tuamu?”
“Orang tua angkat, Kek. Ayah angkatku namanya Kam Si Ek...”
“Ha-ha-ha-ha, Kam Si Ek Jenderal Hou-han?”
“Kau kenal Ayah angkatku, Kek?”
Kakek itu menggeleng kepalanya. Alisnya yang amat tebal itu berkerut dan bergerak-gerak. Bibirnya juga bergerak-gerak, lalu terdengar kata-katanya. “Aneh tapi nyata. Mungkin sekali Suling Emas....”
Jantung Lin Lin berdegupan. “Apa? Musuh besarku betul Suling Emas itu, Kek? Kau tahu di mana dia? Kalau betul dia, akan kuajak bertanding mengadu nyawa.”
Seketika kakek itu memandang kepadanya seperti terkejut, kemudian ia tertawa terkekeh-kekeh sambil memegangi perutnya, terbungkuk-bungkuk saking kerasnya ia tertawa.
Lin Lin marah. “Apa yang lucu? Jangan mentertawai aku, Kek. Tak enak melihat kau tertawa, gigimu kuning...!”
Seketika kakek itu berhenti tertawa. “Apa kau bilang? Gigiku putih seperti... seperti...”
“...seperti kapur!” kata Lin Lin tersenyum. “Nah, jangan tertawa saja, apa sih yang lucu?”
“Kau hendak bertanding dengan Suling Emas? Aha, biar kau peras dan kuras habis kepandaianmu, belum tentu kau bisa menang.”
“Tidak peduli. Aku akan menemuinya. Bawa aku kepadanya, Kek, dan kau tentu suka membantuku kalau aku kalah. Kan hidung dan gigi kita sama, bukan?”
“Betul, betul! Kita sebangsa, sesuku, aku akan bantu kau. Awas dia kalau berani ganggu kau!”
Senang hati Lin Lin. Ia berhutang budi kepada keluarga Kam, den jalan satu-satunya untuk membalas budi, hanyalah membalaskan dendam keluarga itu.
“Tapi aku tidak bisa meninggalkan kedua kakakku begitu saja, Kek. Mereka tentu akan gelisah dan mencariku ke mana-mana.”
“Kalau Jenderal Kam ayah angkatmu, mereka tentu saudara-saudara angkat pula, bukan? Kenapa repot-repot?”
“Ih, jangan gitu, Kek. Biar pun saudara angkat mereka itu baik sekali kepadaku, seperti kepada adik kandung sendiri.”
“Baiklah, mari kau bonceng di punggungku, kita meninggalkan pesan di kamar mereka.”
Lin Lin maklum bahwa kakek itu adalah seorang yang sakti, aneh, dan sikapnya masih kekanak-kanakan. Tanpa ragu-ragu dan sungkan-sungkan lagi ia lalu melompat ke punggung kakek itu dan di saat berikutnya ia harus memegang pundak kakek itu kuat-kuat karena tubuhnya segera melayang seperti terbang cepatnya!
Setelah menulis sepucuk surat untuk Bu Sin dan Sian Eng, Lin Lin lalu pergi keluar kota An-sui bersama kakek itu. Mereka kini berjalan dan bercakap-cakap. Lin Lin disuruh mengerahkan kepandaiannya, akan tetapi ia melihat betapa kakek pendek itu berjalan seenaknya saja di sebelahnya akan tetapi tak pernah tertinggal.
“Kalau merayap seperti keong begini, kapan bisa sampai di sana?” Kakek itu bersungut-sungut.
“Kau maksudkan sampai di tempat Suling Emas, Kek?”
“Di mana lagi? Bukankah kita men­cari dia? Tapi kau harus belajar ilmu pukulan lebih dulu untuk menghadapinya. Mari!” Kakek itu menyambar tangan Lin Lin dan tiba-tiba Lin Lin merasa betapa larinya menjadi cepat bukan main, dua kali lebih cepat dari pada biasanya.
Menjelang pagi mereka berhenti di sebelah hutan yang kecil tapi amat indah. Bermacam bunga memenuhi hutan. Musim semi kali ini benar-benar telah merata sampai di hutan-hutan dan membiarkan seribu satu macam bunga berkembang amat indahnya.
“Heh-heh, bagus di sini. Kita main-main di sini!” Kakek itu cepat sekali memilin akar-akar pohon menjadi tambang dan beberapa menit kemudian ia sudah berayun-ayun, duduk di atas sepotong kayu yang diikat dan digantung oleh dua helai tambang pada cabang pohon. Persis seperti anak kecil main ayun-ayunan.
Melihat kakek itu main ayunan sambil tertawa-tawa gembira, Lin Lin menegur, “Kek, katanya hendak mengajar ilmu kepadaku?”
“Aku sedang mengajarmu sekarang. Kau lihat baik-baik!”
Lin Lin mengerutkan alisnya. Celaka sekali, kakek ini selalu main-main. Masa ia akan diajari main ayunan? Kalau saja ia tidak menyaksikan dan membuktikan sendiri betapa kakek itu dapat lari seperti terbang, memiliki gerakan tangan yang luar biasa cepatnya ketika meminjam tusuk kondenya, tentu ia tidak percaya bahwa kakek ini seorang sakti. Jangan-jangan kakek ini hanya mempunyai kepandaian lari cepat saja dan hendak mempermainkannya? Betulkah dia orang sakti? Kenapa begini? Tidak bersepatu, pakai anting-anting seperti perempuan, dan wataknya seperti anak kecil.
“Kek, kau ini sebenarnya siapakah? Namamu saja aku belum tahu.”
“Heh-heh, aku pun belum tahu namamu. Apa sih artinya nama? Waktu lahir kita tidak membawa nama, kan?”
Lin Lin tidak mau pedulikan lagi filsafat yang aneh-aneh dari kakek itu. “Kek, namaku Lin, sheku tentu saja...” Lin Lin hendak mengatakan “Kam”, akan tetapi kakek itu sudah mendahuluinya.
“...tidak ada karena kau bukan she Kam. Aku siapa, ya? Orang-orang menyebutku Kim-lun Seng-jin. Gagah namaku, ya? Heh-heh, Kim-lun adalah roda emas. Nah, ini dia.”
Ketika tangannya bergerak dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan sepasang gelang emas. Disebut gelang bukan gelang, karena tengahnya dipasangi ruji-ruji seperti roda. Garis tengahnya satu kaki. Agaknya sepasang roda emas ini tadi disembunyikan di balik baju. Seperti ketika mengeluarkan tadi, sekali bergerak roda itu sudah lenyap lagi. Begitu cepatnya seperti sulapan saja.
“Namaku Roda Emas, memang hidup ini berputaran seperti roda. Cocok sekali, kan? Heh, A-lin, apakah kau sudah memperhatikan pelajaran ini?”
Lin Lin terkejut, juga geli mendengar ia dipanggil ‘A-lin’. Gerakan kakek itu amat cepat ketika mengeluarkan sepasang roda atau gelang tadi. Akan tetapi apakah benda-benda itu merupakan senjata? Andai kata dijadikan senjata, tadi pun tidak dimainkan. Kakek itu tiada hentinya berayun, bagaimana bisa bilang memberi pelajaran?
“Pelajaran yang mana, Kek?”
“Hehhh! Hidung dan gigimu bagus, seratus prosen Khitan, tapi otakmu sudah ditulari kebodohan orang kota! Lihat baik-baik!”
Lin Lin melihat baik-baik. Baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa kakek itu bukanlah berayun sembarang berayun. Tubuhnya sama sekali tidak tampak bergerak, kakinya tidak dipakai mengayun, akan tetapi tambang itu terus berayun seperti ada yang mendorong. Anehnya, kadang-kadang ayunan itu terhenti di tengah jalan, baik sedang terayun ke belakang mau pun sedang terayun ke depan. Dengan duduk di ayunan mampu menghentikan gerakan ayunan, inilah hebat, seperti main sulap saja.
“Nah, kau sudah lihat sekarang? Untuk dapat berayun begini, kau harus memiliki Ilmu Khong-in-ban-kin (Awan Kosong Selaksa Kati). Biar pun kosong, namun mengandung tenaga laksaan kati biar pun berat dan kuat, namun kosong. Inti pelajaran ini kelak dapat membuat tubuhmu menjadi ringan atau berat menurut sesukamu, dan lari terbang bukan menjadi lamunan kosong lagi.”
Mulailah Lin Lin menerima gemblengan dari kakek aneh itu. Kim-lun Seng-jin adalah seorang sakti yang jarang muncul di dunia kang-ouw, selalu bersembunyi dan tidak suka mencari perkara. Orangnya aneh, selalu bergerak sendiri tidak mau terikat oleh perkumpulan atau oleh negara. Munculnya tiba-tiba, akan tetapi selalu meninggalkan kesan mendalam pada para tokoh kang-ouw. Biar pun tidak ada orang yang dapat menduga sampai berapa dalamnya ilmu kakek ini karena ia tidak pernah mau melibatkan diri dalam pertandingan dan permusuhan, namun mereka itu yakin bahwa kakek ini tak boleh dibuat main-main. Bahkan Thian-te Liok-koai, Si Enam Jahat atau Enam Setan Dunia sendiri tidak berani main-main terhadap Kim-lun Seng-jin.
Pada masa itu, dunia kang-ouw hanya mengenal Thian-te Liok-koai dan para ketua partai persilatan besar sebagai tokoh-tokoh yang memiliki kesaktian. Akhir-akhir ini muncul Suling Emas sebagai tokoh sakti yang termuda. Namun diri Suling Emas ini diliputi penuh rahasia dan jarang sekali Suling Emas keluar memperlihatkan diri. Keadaannya penuh rahasia, dan ia boleh dijajarkan dengan orang-orang aneh lain, yaitu Kim-lun Seng-jin, Bu Kek Siansu, dan seorang aneh lain yang hanya dikenal dengan sebutan Empek Gan! Tentu saja Bu Kek Siansu berada di tingkat paling tinggi, bukan hanya karena usianya, namun juga kerena belum pernah terdengar ada tokoh yang melebihi kesaktiannya dari pada kakek ini.
Lin Lin boleh dianggap beruntung dapat menarik hati Kim-lun Seng-jin karena kakek sakti yang aneh ini selamanya tak pernah mau menerima murid. Dengan amat tekun gadis ini menerima latihan ilmu meringankan tubuh yang hebat, yaitu Khong-in-ban-kin yang sekaligus merupakan lweekang yang luar biasa. Di samping ini, juga kakek aneh itu menurunkan ilmu silat yang disebut Khong-in-liu-san (Awan Kosong Mengurung Gunung).
Kim-lun Seng-jin agaknya takut bertemu orang. Ia membawa Lin Lin merantau ke gunung-gunung dan hutan-hutan, kadang-kadang mereka berlatih di pinggir sungai yang amat sunyi. Aneh dua orang ini, seorang gadis remaja seorang lagi kakek tua, tiap hari mereka cekcok, tapi Lin Lin selalu membuat kakek itu mengalah karena gadis inilah yang dapat menyenangkan hatinya dengan wataknya yang lincah serta terutama sekali dapat menyenangkan perutnya dengan masak-masakan yang lezat. Lin Lin pandai sekali mengambil hati kakek itu dengan panggang daging binatang hutan yang lezat. Dari kakek ini ia mengenal pula banyak tokoh sakti dalam dunia persilatan.....
Lanjut ke jilid 5

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)