MUTIARA HITAM : JILID-16
Dua pasang mata itu berseri gembira. “Ah, sayang bahwa Tai-hiap tidak
pernah datang berkunjung ke Khitan. Ratu kami kini mempunyai seorang
putera yang gagah perkasa dan tampan yaitu, Pangeran Talibu yang kami
hormati dan cinta.”
Rasa panas menjalar ke dalam dada Suling Emas. Jantungnya seperti terbakar, kepalanya pening, pandang matanya berkunang. Berbagai macam dugaan dan pertanyaan muncul dalam hatinya. Mengapa Lin Lin menikah? Kapan dan dengan siapa? Rasa cemburu dan iri menyesak di dalam dadanya dan menurutkan perasaan ini, ingin ia sekali bergerak merobohkan dua orang utusan Lin Lin ini, kemudian pergi ke Khitan untuk memaki-maki bekas kekasihnya yang selalu tak pernah ia lupakan dan yang mengakibatkan ia hidup menderita, merana dan berpenyakitan. Kalau perlu membunuh suami Lin Lin!
Akan tetapi seperti biasa, kesadaran lebih kuat dalam batin pendekar besar ini. Sebentar saja ia sudah menguasai kembali hatinya, mengusir iri dan cemburu dan karena perang yang semacam ini terlalu sering terjadi di hatinya yang selalu dirundung kedukaan dan rindu dendam, biar pun Suling Emas berhasil menguasai hatinya, namun ia tidak dapat mencegah rangsangan batuk yang tiba-tiba datang. Ia terbatuk-batuk dan menggunakan sapu tangan menutupi mulutnya. Setelah reda, ia menarik napas panjang dan menatap wajah dua orang Panglima Khitan itu yang tadi memandangnya dengan terheran. Siapa takkan menjadi heran melihat seorang pendekar sakti seperti Suling Emas terserang batuk-batuk sedemikian parah seperti keadaan seorang yang lemah saja?
“Ji-wi Ciangkun (Saudara Panglima Berdua), maafkan aku. Beritamu ini benar-benar mengagetkan hatiku. Ah, betapa sudah amat lamanya aku tidak pernah mendengar tentang ratu kalian, adik angkatku itu sehingga aku tidak tahu siapa yang telah menjadi adik iparku. Apakah dia seorang Pangeran Khitan yang gagah perkasa?”
Kini tiba giliran dua orang Panglima Khitan itu yang kaget dan melongo, saling pandang dan kemudian kembali memandang Suling Emas. “Apa yang Taihiap maksudkan?” kata Hoan Ti Ciangkun. “Ratu kami tak pernah... tak pernah menikah!” Dalam kata-katanya, panglima ini jelas marah mendengar ratunya dikatakan menikah karena hal ini dianggapnya suatu penghinaan.
Akan tetapi Loan Ti Ciangkun sudah dapat lebih dulu mengerti mengapa Suling Emas menduga demikian, maka ia juga cepat menyambung. “Ah, kami yang keliru, Taihiap. Harap Taihiap maklum bahwa ratu kami tidak menikah dan ada pun putera beliau itu adalah putera angkat. Sesungguhnya, Pangeran Talibu itu dahulu adalah putera dari Panglima Kayabu yang dalam usia lima tahun diangkat anak secara resmi oleh ratu kami.”
Keterangan ini membuat hati Suling Emas terasa lapang, seakan-akan sebongkah batu besar yang tadi menindih jantungnya kini terangkat. Demikian lega dan senang hatinya sehingga tanpa ia sadari sendiri ia tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha...!” Dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya.
Dua orang Panglima Khitan itu saling pandang, terheran-heran. Akan tetapi karena mereka tahu bahwa banyak orang sakti berwatak dan bersikap aneh-aneh, maka mereka tidak berkata sesuatu.
“Ji-wi Ciangkun, aku girang bahwa adik angkatku itu kini mempunyai seorang putera yang bernama Pangeran Talibu. Dan... siapakah namanya puterinya?”
Kini dua orang panglima itu benar-benar heran. “Puterinya? Puteri siapakah, Taihiap? Ratu kami tidak mempunyai seorang anak lain kecuali Pangeran Talibu!”
“Hee...? Ada seorang gadis bernama Mutiara Hitam... dan... ah, sudahlah. Kalian tidak mengenal Mutiara Hitam?”
Dua orang panglima itu menggeleng kepala dan mulai meragukan kewarasan otak pendekar besar ini. Suling Emas termenung, mengerutkan keningnya. Ada banyak rahasia aneh meliputi diri Lin Lin, pikirnya. Kalau Lin Lin tidak menikah lagi, itu tidak aneh karena ia juga selalu percaya akan kesetiaan dan kecintaan hati ratu itu kepadanya. Kemudian tentang pengangkatan seorang anak, anak Panglima Kayabu yang perkasa sebagai pangeran, juga hal yang tidak mengherankan.
Akan tetapi gadis itu, Mutiara Hitam yang mempunyai kepandaian seperti Sian Eng, yang mengaku murid Sian Eng, yang berwajah dan berwatak seperti Lin Lin di waktu muda, mengapa mengaku sebagai anak Lin Lin? Kemudian surat Lin Lin kepadanya. Bagaimana pula bunyi kalimat itu? TERLALU LAMA MENYIMPAN RAHASIA BESAR. Rahasia apa gerangan yang dimaksudkan Lin Lin?
Sampai lama Suling Emas termenung, menimbang-nimbang, mencari-cari namun tetap saja ia tidak dapat menduga rahasia apa gerangan yang disembunyikan kekasihnya dan mengapa pula sekarang setelah berpisah dua puluh tahun, Lin Lin minta agar ia suka datang berkunjung ke Khitan? Kalau tidak ada urusan penting sekali, mengapa harus saling jumpa kembali? Untuk merobek kembali luka yang sudah hampir kering? Betapa pun besar keinginan hatinya untuk bertemu dengan orang yang dicintanya, ia tetap hendak menjaga nama baik kekasihnya itu, menjaga nama baik seorang ratu yang dijunjung tinggi rakyatnya.
“Ji-wi Ciangkun, masih ingatkah janji-janji Ji-wi tadi kepadaku?”
Dua orang panglima itu mengangguk.
“Baiklah, kalau begitu aku akan memenuhi surat undangan ratu kalian yang Ji-wi serahkan kepadaku. Aku akan berkunjung ke Khitan, akan tetapi tidak secara berterang dan selain Ji-wi, tidak boleh ada orang lain mengenalku. Maukah Ji-wi membantuku?”
Dua orang panglima itu kelihatan ragu-ragu, “Tentu saja kami suka membantu Taihiap,” jawab Hoan Ti Ciangkun, “akan tetapi..., bagaimana caranya?”
“Aku ingin sekali mengunjungi adik angkatku, akan tetapi aku tidak menghendaki sebagai Suling Emas. Jalan satu-satunya hanya menyamar. Kalian ceritakan kepada ratu kalian tentang penyerangan Thai-lek kauw-ong dan bahwa aku telah membantu kalian. Aku akan menyamar sebagai seorang kakek berjuluk San-siang Lojin (Kakek Pegunungan). Maukah kalian membantuku?”
Dua orang panglima itu mengangguk-angguk tanda setuju.
“Dan untuk menghilangkan kecurigaan, harap Loan Ti Ciangkun mengangkat aku sebagai pembantu, menjadi seorang perwira penjaga benteng.”
Loan Ti Ciangkun mengangguk-angguk, sungguh pun di dalam hatinya merasa heran. Memang aneh sikap orang-orang sakti di selatan ini, pikirnya. Hendak mengunjungi adik angkat saja mengapa mesti menyamar seperti ini? Namun karena ia tahu bahwa ratunya sudah lama mencari kakak angkatnya ini dan yakin bahwa Suling Emas bukan musuh yang patut dicurigai, maka ia tidak membantah dan menganggap hal ini sebagai lelucon.
Setelah berunding, kedua orang panglima itu mencarikan alat-alat yang dibutuhkan untuk penyamaran Suling Emas dan ketika mereka bertiga berangkat ke Khitan, Suling Emas sudah berubah menjadi seorang kakek berjenggot panjang, seorang kakek yang berusia enam puluh tahun lebih.
********************
Kita tinggalkan dulu Suling Emas yang ikut bersama Loan Ti Ciangkun dan Hoan Ti Ciangkun menuju ke Khitan dengan hati berdebar tegang karena akan berjumpa dengan wanita yang dicinta dan selama dua puluh tahun tak pernah ia jumpai namun tak pernah pula ia lupakan itu. Dan mari kita mengikuti perjalanan dua orang pemuda perkasa yang melakukan pengejaran terhadap Thai-lek Kauw-ong yang membawa lari Kwi Lan.
Seperti telah dituturkan di bagian depan. Tang Hauw Lam terkejut ketika ia tidak melihat Kwi Lan dan Thai-lek Kauw-ong di situ, lalu berseru dan mengajak Kiang-kongcu atau nama lengkapnya Kiang Liong, pemuda perkasa murid Suling Emas itu untuk melakukan pengejaran. Kiang Liong tidak mengenal siapa gerangan gadis remaja yang cantik jelita tadi, akan tetapi ia pun merasa khawatir mendengar gadis itu diculik Thai-lek Kauw-ong yang diperkenalkan Bu-tek Siu-lam sebagai tokoh pertama Bu-tek Ngo-sian. Maka ia pun tidak mempedulikan lagi tokoh banci itu dan ikut bersama Hauw Lam melakukan pengejaran setelah ia mengambil alat musik yang-khim yang tadi ia gantungkan pada sebatang pohon.
Kiranya Kiang Liong ini pun suka akan seni musik, hanya bedanya kalau gurunya suka meniup suling, dia lebih suka bermain yang-khim. Yang-khim itu buatannya sendiri, berbentuk seekor binatang yang menyeramkan dan jangan dikira bahwa yang-khim ini hanya untuk menciptakan suara merdu karena pemuda itu dapat mempergunakan sebagai sebuah senjata yang amat ampuh.
Biar pun Kiang Liong seorang putera pangeran yang mempunyai kedudukan cukup tinggi di kota raja Sung, akan tetapi perjalanannya kali ini bukan merupakan perjalanan seorang pemuda bangsawan pergi melancong, akan tetapi lebih merupakan perjalanan seorang pendekar muda yang mendukung sebuah tugas yang berat. Kiang Liong bertugas melakukan penyelidikan ke perbatasan barat, dari mana muncul ancaman baru bagi keselamatan Kerajaan Sung.
Keadaan pemerintah Kerajaan Sung ternyata mengalami kemunduran besar. Pada permulaan Kerajaan Sung didirikan oleh Cao Kuang Yin, seorang panglima besar yang pandai akan siasat perang, Kerajaan Sung memang kelihatan kuat, bala tentaranya kuat sehingga berhasil menundukkan dan menaklukkan banyak kerajaan-kerajaan kecil. Hanya dua buah kerajaan yang tidak ditaklukkan, yaitu Kerajaan Nan-cao di Yu-nan dan Kerajaan Khitan di timur laut dan utara.
Selama Kerajaan Sung dipimpin oleh kaisar pertama dan ke dua, kerajaan ini masih memperlihatkan kemajuan. Akan tetapi keadaannya makin lama makin mundur dan mulai masa pemerintahan kaisar ke dua, yaitu Kaisar Sung Thai Cung menjelang hari tuanya, Kerajaan Sung sudah kurang memperhatikan tentang kekuatan tentaranya. Perhatian lebih dikerahkan dan ditujukan kepada urusan dalam, kepada kebudayaan dan kesenian, lebih cenderung memperindah kerajaan dan tenggelam dalam kesenangan.
Sikap atau politik inilah yang menyebabkan Kerajaan Sung menjadi semakin lemah, bahkan sedemikian lemahnya sehingga kerajaan ini tidak lagi mempergunakan senjata untuk menjaga keselamatan negara, melainkan menggunakan emas dan perak untuk ‘menyogok’ dan menawan hati calon musuh sehingga si musuh tidak tega atau segan untuk menyerang Kerajaan Sung. Maka timbullah kebiasaan mengirim upeti kepada kerajaan-kerajaan lain, terutama Kerajaan Khitan.
Pada waktu cerita ini terjadi, Kerajaan Sung dipimpin oleh kaisar yang ke tiga, yaitu Kaisar Chen Cung (998-1022). Dia adalah keponakan dari kaisar pertama dan terkenal sebagai seorang yang anti kekerasan, anti perang dan berusaha mempengaruhi dan merubah atau membelokkan Agama Buddha dan Tao demi keuntungan pribadinya. Ia menyatakan bahwa dia seketurunannya adalah orang-orang pilihan Tuhan yang bertugas sebagai wakil Tuhan menjadi kaisar di bumi! Ia lebih tenggelam kepada perkembangan kebudayaan dan sama sekali tidak becus mengatur pemerintahan, apa lagi menyusun kekuatan untuk melindungi negara dari ancaman dan bahaya dari luar. Bahkan dinyatakan oleh Kaisar Chen Cung bahwa kerajaannya tidak membutuhkan kekuatan militer, akan tetapi membutuhkan kekuatan gaib yang timbul dari kemajuan batin, terutama berkat wibawa Sang Kaisar!
Kaisar ke tiga dari Kerajaan Sung ini sama sekali buta terhadap ancaman-ancaman yang selalu mengelilingi kerajaannya, tidak melihat betapa banyak kekuatan-kekuatan yang mengilar menginginkan kerajaannya. Karena itu ia pun tidak melihat atau tidak acuh terhadap munculnya bangsa Hsi-hsia di perbatasan barat. Bangsa Hsi-hsia ini adalah bangsa perantauan seperti keadaan bangsa Khitan, yang muncul dari barat. Sebagai bangsa perantau mereka ini ulet dan tahan uji.
Mereka melihat akan kelemahan Kerajaan Sung, melihat pula akan politik Kaisar Sung yang selalu mengalah serta murah hati, oleh karena itu mereka mulai dengan petualangannya ke pedalaman. Di antara para pimpinan bangsa Hsi-shia ini terdapat banyak orang pandai dan sakti dari barat dan mereka ini sudah mulai memperlihatkan kepandaiannya untuk mencari pengaruh dan kekuasaan di antara penduduk pedalaman di sekitar tapal batas sebelah barat.
Hanya karena desakan dan peringatan para panglima dan menteri yang setia kepada kerajaan dan yang masih ingat akan kewaspadaan saja maka akhirnya Kaisar Chen Cung menaruh perhatian dan akhirnya diperintahkan kepada Kiang Liong untuk melakukan penyelidikan. Inilah sebabnya maka Kiang Liong melakukan perjalanan keluar kota raja dan secara kebetulan pemuda ini bertemu dengan Tang Hauw Lam dan Kwi Lan yang hampir celaka dalam tangan Bu-tek Siu-lam.
Kini Kiang Liong dan Hauw Lam melakukan pengejaran terhadap Thai-lek Kauw-ong yang membawa lari Kwi Lan. Akan tetapi sampai jauh mereka mengejar, belum juga mereka dapat menyusul Thai-lek Kauw-ong. Sudah terlalu lama kakek gundul itu pergi sehingga mereka terlambat dan tidak tahu betul arah mana yang diambil kakek itu. Kiang Liong yang tadi terpaksa menahan kecepatan geraknya untuk mengimbangi kecepatan Hauw Lam akhirnya menarik napas panjang dan berkata.
“Sobat, tiada gunanya mengejar lagi kalau kita belum tahu betul ke mana iblis itu pergi. Lebih baik kita berpencar saja. Aku sedang melakukan perjalanan ke barat, biarlah aku mengejar ke barat dan kau boleh melanjutkan pengejaranmu ke mana kau suka. Kalau aku bertemu dengan iblis itu, jangan khawatir, tentu aku akan turun tangan membantu... eh, siapa nama Nona tadi?”
“Mutiara Hitam.”
“Mutiara Hitam..., tentu dia bukan sembarang orang dan biar pun dia sudah tertawan, kurasa tidak akan mudah bagi kakek iblis itu untuk mencelakainya.”
“Kau betul, Kiang-kongcu. Dengan berpencar kita akan lebih berhasil. Terima kasih atas bantuanmu dan sampai jumpa!” kata Hauw Lam yang juga tidak mau membuang waktu lagi karena ia amat mengkhawatirkan nasib gadis lincah yang telah menjatuhkan hatinya itu. “Agar Kongcu tidak lupa, namaku adalah Tang Hauw Lam, akan tetapi Mutiara Hitam menyebutku si Berandal!” Setelah menjura, Hauw Lam lalu melompat dan melanjutkan pengejaran ke utara.
Kiang Liong berdiri dan tersenyum, menggeleng-geleng kepalanya dan berkata lirih kepada diri sendiri. “Bocah itu mabok asmara, tak salah lagi. Mudah-mudahan tidak akan gagal, dia anak baik...” Sambil bicara seorang diri pemuda yang tenang ini lalu melanjutkan perjalanannya ke barat sambil memasang mata penuh perhatian ke sekelilingnya kalau-kalau kakek gundul yang melarikan Mutiara Hitam itu lewat di situ dan meninggalkan jejak.
Sambil melanjutkan perjalanan untuk melakukan penyelidikan, Kiang Liong mengingat-ingat akan segala keterangan yang diperolehnya tentang bangsa Hsi-hsia ini. Menurut keterangan yang ia kumpulkan, bangsa yang menjadi ancaman baru ini dipimpin oleh pendeta-pendeta Tibet yang mendirikan Kerajaan Tangut. Pendeta-pendeta berjubah merah dari Tibet ini memang banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ada pun bangsa Hsi-hsia yang mereka pimpin merupakah bangsa berdarah campuran.
Setelah melanjutkan perjalanannya selama beberapa hari, Kiang Liong tidak menemukan jejak Mutiara Hitam dan penculiknya, juga tidak melihat adanya gerakan-gerakan bangsa Hsi-hsia. Akan tetapi ia memperoleh keterangan bahwa beberapa bulan yang lalu barisan besar bangsa Hsi-hsia berbondong-bondong menuju ke selatan.
Tak seorang pun di antara penduduk dusun yang ia tanya dapat menjelaskan apa yang hendak dilakukan barisan itu dan ke mana perginya. Hanya yang jelas, tampak bekas amukan mereka pada setiap dusun yang mereka lalui. Tidak ada harta benda dan wanita muda yang mereka lepaskan begitu saja. Tidak ada dusun yang mereka lalui tanpa mengalami korban yang amat banyak, pembunuhan sewenang-wenang, perampokan, perkosaan dan penculikan.
Kiang Liong menghela napas panjang menyaksikan ini semua. Selama ia mengikuti jejak barisan bangsa Hsi-hsia, entah sudah berapa puluh kali ia berhenti untuk mengubur jenazah-jenazah wanita muda yang menggeletak begitu saja di pinggir jalan, ditinggalkan oleh bangsa Hsi-hsia. Melihat wanita-wanita muda tewas tanpa pakaian itu, ada di antaranya yang sudah menjadi korban binatang buas sehingga mayatnya tidak utuh lagi, Kiang Liong teringat akan bunyi sajak tentang bunga-bunga yang dicampakkan begitu saja ke dalam lumpur setelah habis diisap madunya dan dinikmati harumnya.
Karena banyaknya mayat-mayat itu dan karena terlalu sering berhenti di dusun-dusun yang menjadi korban keganasan bangsa Hsi-hsia untuk menolong mereka yang terluka, perjalanan Kiang Liong amat lambat. Dan memang bukan kehendaknya untuk mengejar barisan yang menurut taksiran penduduk berjumlah puluhan ribu orang itu. Ia hanya ingin menyelidiki apa yang hendak mereka lakukan dan sampai berapa jauhnya gerakan mereka mengancam Kerajaan Sung.
Ia dapat mengumpulkan makin banyak keterangan dari para penduduk dusun-dusun yang dilalui. Menurut berita itu, barisan ini dipimpin oleh perwira-perwira yang perkasa dan para perwira ini dikepalai oleh serombongan pendeta berjubah merah. Di tengah-tengah para pendeta berjubah merah ini terdapat sebuah tandu yang tertutup sutera-sutera merah. Di dalamnya tentu ada orang karena menurut para penduduk, ada suara orang yang halus dan rendah keluar dari tandu, dalam bahasa asing, dan ada kalanya gadis tercantik yang terampas dimasukkan ke dalam tandu secara paksa.
Namun tidak ada seorang pun pernah melihat siapa gerangan orangnya yang berada di dalam tandu dan seperti apa macamnya. Yang jelas bagi Kiang Liong kini adalah bahwa semua pendeta jubah merah menyembah-nyembah penghuni tandu seperti menyembah dewa, sedangkan para perwira tunduk dan taat kepada perintah para pendeta, sebaliknya para anggota barisan juga taat kepada pimpinan para perwira. Pendeknya, barisan ini merupakan barisan yang amat kuat.
Makin jauh ke selatan ia mengikuti jejak barisan itu, makin heran dan akhirnya khawatir hati Kiang Liong. Kini ia telah memasuki wilayah Kerajaan Nan-cao! Mau apa barisan orang-orang Hsi-hsia ke Nan-cao? Kerajaan Nan-cao adalah kerajaan ke dua yang bersahabat dengan Kerajaan Sung, setelah Kerajaan Khitan. Dan dia sendiri bersahabat dengan kaum Beng-kauw yang berkuasa di Nan-cao. Sudah dua kali ia mewakili gurunya, Suling Emas, berkunjung ke Nan-cao untuk menghadiri perayaan Beng-kauw. Karena ia sudah hampir sebulan ketinggalan oleh barisan Hsi-hsia, kini Kiang Liong mempercepat perjalanannya.
Begitu memasuki dusun yang termasuk wilayah Kerajaan Nan-cao, mulailah ia mendengar berita tentang perang yang mencemaskan hal itu. Perang penyerbuan barisan Hsi-hsia ke kota raja Nan-cao dan betapa bala tentara Nan-cao menyambut musuh di luar kota raja dan di mana terjadi perang sampai hampir sebulan lamanya. Akan tetapi akhirnya barisan Hsi-hsia dapat dipukul mundur, demikian menurut berita yang didengarnya.
Pada hari itu ketika Kiang Liong menuruni lereng pegunungan kecil, memasuki daerah yang tandus berbatu, tiba-tiba ia mendengar suara ramai-ramai di sebelah depan. Ia merasa curiga. Daerah tandus ini tidak ditinggali manusia, tanahnya terlalu tandus dan dari puncak pegunungan tadi ia tidak melihat adanya dusun. Akan tetapi suara di depan itu menandakan banyak orang berada disana, diseling suara tertawa-tawa dan suara wanita marah-marah.
Ia mempercepat jalannya dan setelah membelok di sebuah tikungan yang tertutup batu besar, ia melihat sedikitnya ada dua puluh orang laki-laki yang buas dan asing mengurung dua orang wanita muda yang cantik jelita dan bersikap gagah. Begitu melihat dua orang gadis itu, Kiang Liong menjadi kaget dan menurutkan kata hatinya, ingin ia sekali bergerak melemparkan dua puluh orang laki-laki kasar itu. Akan tetapi ia bukan seorang yang sembrono dan ia cukup tahu bahwa dua orang gadis itu bukanlah gadis-gadis lemah, maka ia menyelinap dan mengintai untuk melihat dan mendengar sebelum menentukan apakah ia perlu turun tangan menolong.
Dua orang gadis itu cantik sekali, kecantikan daerah selatan yang panas. Seorang di antara mereka, yang wajahnya lembut dan agak lebih tua, berusia kurang lebih dua puluh tahun, pakaiannya berwarna kuning dan rambutnya yang hitam digelung ke atas. Gadis ke dua paling banyak delapan belas tahun, pakaiannya serba merah, gagang pedang tersembul di belakang punggungnya, membuat ia tampak gagah sekali. Wajahnya lebih manis dan galak! Dan gadis yang lebih muda inilah yang kini membentak dan memaki.
“Anjing-anjing Hsi-hsia, kalian sudah terusir ke luar dari negeri kami, tapi masih berani berkeliaran di sini. Hemm, sungguh kebetulan sekali, sebelum membasmi seribu ekor anjing Hsi-hsia, takkan puas hatiku!”
“Betul, Adikku. Kita harus bunuh anjing-anjing ini agar tidak penasaran arwah orang tua kita,” kata gadis yang berpakaian kuning. Mereka berdua menggerakkan tangan dan sudah mencabut pedang masing-masing.
“Huah-ha-ha-ha, bidadari-bidadari cantik manis, kenapa galak amat? Mari bersenang dengan kami, jago-jago dari Hsi-hsia!” Seorang di antara dua puluh laki-laki kasar itu, yang berambut merah, berkata sambil menyeringai lebar. Teman-temannya tertawa bergelak dan mereka mengurung dua orang gadis itu dengan sikap menjemukan, seperti segerombolan harimau mengurung dua ekor kelinci yang hendak dipermainkan lebih dulu sebelum dijadikan mangsa.
Tiba-tiba tampak dua gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Terdengar jerit-jerit kesakitan disusul robohnya dua orang Hsi-hsia, seorang di antaranya adalah si Rambut Merah. Ternyata dua orang gadis itu sudah mulai turun tangan. Gerakan pedang mereka amat cepat sehingga dalam sekejap mata saja dua orang laki-laki kasar yang nampak kuat itu sudah roboh binasa.
Hal ini sama sekali tidak tersangka-sangka oleh gerombolan orang Hsi-hsia itu sehingga mereka menjadi kaget sekali. Kalau tadinya mereka bergembira hendak mengganggu dan berkurang ajar, kini mereka menjadi marah. Tampak kilatan senjata ketika mereka semua mencabut golok melengkung lebar dari pinggang.
Kiang Liong yang menonton dari tempat pengintaiannya tidak bergerak. Ia maklum bahwa menghadapi pengeroyokan orang-orang kasar itu, dua orang gadis ini tentu tidak akan kalah dan tidak membutuhkan bantuannya. Ia tersenyum dan memandang kagum. Lima enam tahun yang lalu ketika ia berkunjung ke Nan-cao, dua orang gadis itu masih amat muda, masih remaja. Kini mereka telah menjadi dewasa yang selain cantik manis, juga memiliki ilmu silat yang cukup mengagumkan, tidak mengecewakan kalau mereka menjadi cucu Ketua Beng-kauw. Ia masih ingat betapa enam tahun yang lalu, dua orang gadis yang dulu masih cilik, tanpa malu-malu menemuinya dan mendengar pujian ayah mereka tentang diri Kiang Liong, mereka tanpa sungkan-sungkan minta petunjuk-petunjuk ilmu silat.
Dua orang gadis itu adalah puteri-puteri dari adik tiri gurunya yang bernama Kam Bu Sin, mantu ketua Beng-kauw. Yang tua bernama Kam Siang Kui sedangkan adiknya, dua tahun lebih muda, bernama Kam Siang Hui. Kiang Liong masih ingat betul betapa sejak enam tahun yang lalu, Siang Hui lebih berani dan lebih galak. Kini ia dapat mengenal dua orang gadis itu. Tentu nona baju merah itulah Kam Siang Hui, sedangkan yang berpakaian kuning dan bersikap lebih tenang adalah Kam Siang Kui.
Akan tetapi, ketika tadi ia mendengar ucapan dua orang gadis itu, hati Kiang Liong berdebar gelisah. Ia cerdik dan sekali mendengar kata-kata kedua orang kakak beradik itu, ia sudah dapat menduganya. Tentu dua orang gadis itu kehilangan orang tua mereka dalam perang melawan bangsa Hsi-hsia yang menyerbu Nan-cao. Dan ia menjadi heran dan juga gelisah. Paman gurunya, Kam Bu Sin, memiliki kepandaian tinggi, juga ibu kedua orang gadis itu, yang bernama Liu Hwee, adalah puteri tunggal ketua Beng-kauw dan memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi lagi. Kalau mereka berdua sampai gugur di medan perang, berarti bahwa fihak musuh memiliki orang-orang yang sakti.
Betapa pun cemas dan gelisah hati Kiang Liong namun ia tidak mau keluar untuk membantu Siang Kui dan Siang Hui. Sebagai seorang pendekar ia tentu saja mengerti bahwa membantu orang-orang gagah yang sama sekali tidak perlu dibantu mendatangkan kesan yang tidak baik dan dapat menyinggung perasaan. Maka ia hanya menonton, walau pun siap untuk turun tangan kalau-kalau dua orang gadis itu terancam bahaya.
Dua orang gadis itu mengamuk seperti dua ekor naga. Gulungan sinar pedang mereka yang berwarna putih berkilauan seperti perak menyambar-nyambar dan para pengeroyok yang hanya terdiri dari orang-orang kasar yang mengandalkan tenaga itu mulai roboh seorang demi seorang. Dalam waktu singkat saja belasan orang roboh mandi darah dan sisanya mulai gentar, bahkan ada yang sudah membalikkan tubuh hendak melarikan diri.
“Cici, jangan biarkan anjing-anjing itu lari!” seru Siang Hui sambil memutar pedang mendesak maju, merintangi mereka yang hendak lari.
Siang Kui mengejar ke depan, kedua tangannya bergerak dan robohlah tiga orang lawan yang sudah lari itu, punggung mereka tertusuk senjata rahasia yang berbentuk anak panah. Sisa gerombolan yang hanya tinggal enam orang itu menjadi nekat. Sambil berteriak-teriak liar mereka menyerbu mati-matian, namun kenekatan mereka tiada gunanya karena dengan mudah saja Siang Kui dan Siang Hui merobohkan mereka.
Dua puluh satu orang menggeletak malang-melintang di depan dua orang gadis itu yang seakan-akan telah menjadi gila saking marah dan sakit hatinya sehingga kini mereka membacok dan menusuki korban yang masih dapat bergerak-gerak dan berkelojotan sampai semua lawan mereka rebah tak bernyawa lagi!
Biar pun Kiang Liong maklum bahwa semua itu terdorong oleh rasa duka kehilangan ayah bunda, namun tetap saja ia menganggapnya terlalu kejam dan tidak baik. Maka kini ia melompat keluar dan berseru, “Adik-adik...! Cukuplah...!”
Siang Kui dan Siang Hui yang mukanya masih kemerahan dan beringas membalikkan tubuh dengan sigapnya, siap menghadapi lawan baru. Mula-mula mereka pangling melihat seorang pemuda berpakaian putih yang berdiri di depan mereka dengan sikap tenang dan pandang mata penuh teguran itu sehingga mereka makin mempererat genggaman tangan pada gagang pedang. Akan tetapi ketika mereka melihat alat musik yang-khim tergantung di belakang punggung dan tampak tersembul di belakang pundak pemuda itu, mereka segera mengenal orangnya.
“Liong-twako (Kakak Liong)...!” mereka berseru bergantian sambil berlari maju menghampiri Kiang Liong. Wajah mereka yang tadinya merah beringas itu berubah lembut, bahkan agak berseri ketika dua pasang mata itu memandang Kiang Liong dan mereka cepat-cepat menyimpan kembali pedang yang tadi dipakai mengamuk.
“Ji-wi Siauw-moi (Kedua Adik) mengapa berada di sini dan membunuhi orang-orang ini? Ji-wi hendak pergi ke manakah?”
Ditanya begini, tiba-tiba Siang Hui menubruk Kiang Liong sambil menangis. Ketika Kiang Liong berkunjung ke rumah gadis itu enam tahun yang lalu, Siang Hui baru berusia dua belas tahun maka kini bertemu pemuda ini ia seperti lupa bahwa ia kini sudah berusia delapan belas tahun. Ia sesenggukan di dada Kiang Liong yang menepuk-nepuk pundaknya.
Melihat adiknya menangis tersedu-sedu, Siang Kui juga menangis, akan tetapi gadis yang lebih tua ini hanya berani memegang lengan Kiang Liong sambil berkata, “Ah, engkau tidak tahu, Liong-twako...! Mereka ini adalah musuh-musuh Nan-cao, mereka ini anjing-anjing Hsi-hsia yang telah menyerbu Nan-cao... dan... dan... dalam pertempuran... Ayah dan Ibu kami telah gugur....”
Kiang Liong mengangguk-angguk. Untung tadi ia sudah mendengar dan dapat menduga, kalau tidak, tentu ia akan terkejut sekali. Karena ia sudah tahu, maka kini ia dapat mengeluarkan kata-kata hiburan untuk membangkitkan semangat.
“Ah, Adik-adikku. Aku juga ikut berduka sekali atas kematian Ayah Bunda kalian. Akan tetapi ingatlah bahwa mati hidup manusia berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa. Dan kalau diingat, kematian Ayah Bunda kalian dalam tugas membela negara adalah kematian pahlawan yang amat terhormat dan sungguh pun kehilangan ini amat mendukakan hati, namun kematian beliau berdua itu patut dibuat bangga! Aku sudah mendengar bahwa bangsa Hsi-hsia yang menyerbu ke Nan-cao dapat dipukul mundur. Pengorbanan orang tua kalian bukan sia-sia kalau begitu.”
Ucapan pemuda itu tentu akan menjadi hiburan yang manjur dan dapat membangkitkan semangat, apa lagi kalau diingat bahwa dua orang gadis ini bukan keturunan sembarangan, melainkan keturunan suami isteri yang gagah perkasa dan masih cucu ketua Beng-kauw yang sakti. Akan tetapi sungguh di luar dugaan Kiang Liong. Mereka itu hanya sebentar saja terhibur dan sinar mata mereka bercahaya penuh semangat, akan tetapi di lain saat mereka telah menangis lagi tersedu-sedu.
Kemudian Siang Hui yang kini berkata dengan suara penuh duka, “Liong-twako, mala-petaka itu lebih hebat dari pada yang kau duga. Tidak hanya Ayah Bunda kami yang gugur, bahkan Han Ki, adik kami yang baru berusia sebelas tahun terculik dan... Kong-kong (Kakek) serta sebagian besar pimpinan Beng-kauw juga tewas di tangan musuh....“
“Apa...?!” Kini Kiang Liong tak dapat menahan kekagetan hatinya. Berita ini terlalu hebat. “Bagaimanakah orang Hsi-hsia mampu menewaskan orang-orang seperti Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw) dan para pimpinan Beng-kauw?”
“Di antara barisan Hsi-hsia terdapat orang-orang sakti, dan agaknya mereka ini memang menyelundup bersama barisan Hsi-hsia untuk menyerbu Beng-kauw. Buktinya mereka tidak peduli akan kekalahan barisan Hsi-hsia dan lebih mengutamakan penghancuran pimpinan Beng-kauw. Mereka adalah pendeta-pendeta berjubah merah yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian lihai, dipimpin oleh seorang wanita setengah tua yang cantik dan berambut panjang dan seorang kakek pendeta jubah merah yang kaki kirinya buntung sebatas lutut. Dua orang inilah yang lihai sekali dan yang berhasil menewaskan Kong-kong dan para pimpinan Beng-kauw, termasuk Ayah Bunda kami. Liong-twako, kau tolonglah, bantulah kami untuk membalas dendam dan menolong adik kami Han Ki.”
“Tentu aku suka membantu kalian. Akan tetapi, ke mana kita akan mencari? Dan ke mana pula kalian hendak pergi sebelum bertemu dengan pasukan musuh ini?”
“Tadinya kami hendak pergi menghadap Kakek Kauw Bian Cinjin untuk minta pertolongannya.” jawab Siang Kui.
Wajah Kiang Liong yang tadinya menjadi muram karena berita duka yang hebat itu agak berseri, “Ahhh, jadi Locianpwe Kauw Bian Cinjin tidak gugur bersama pimpinan Beng-kauw?”
Siang Kui menggeleng kepala dan menghapus air matanya. “Kakek Kauw Bian Cinjin sudah tiga tahun lebih mengundurkan diri dari Beng-kauw dan pergi bertapa di puncak Tai-liang-san, maka terhindar dari mala-petaka. Hanya beliau yang dapat membantu kami, dan untung kami bertemu denganmu di sini, Liong-twako. Musuh amat kuat dan biar pun tentara Hsi-hsia sudah terpukul mundur dari Nan-cao, namun mereka masih berkeliaran di sekitar tapal batas barat. Buktinya di sini kami bertemu dengan anjing-anjing ini yang agaknya memang menghadang perjalanan kami. Menurut para penyelidik, kakek dan nenek sakti bersama para pendeta berjubah merah bersembunyi di pegunungan Kao-likung-san di lembah Sungai Nu-kiang.”
Tiba-tiba Kiang Liong menggerakkan kedua tangannya mendorong pundak kedua orang gadis itu sehingga mereka itu terlempar dua meter lebih, terhuyung-huyung.
“Eh, ada apa, Twako...?” Siang Hui menegur, juga Siang Kui terkejut sekali.
Akan tetapi Kiang Liong sudah meloncat sambil membalikkan tubuhnya. Kedua tangannya menangkis dan runtuhlah beberapa buah peluru hitam yang menyambar ke arah tubuhnya. Kini barulah dua orang gadis itu tahu bahwa tadi pun ada beberapa buah peluru hitam menyambar ke arah mereka dan kalau tidak ada Kiang Liong yang mendorong mereka, tentu mereka menjadi korban. Mereka memandang dengan mata terbelalak, merasa ngeri betapa ada orang dapat membokong mereka tanpa mereka ketahui. Hal ini saja sudah menjadi bukti bahwa orang yang melepas senjata rahasia itu tentulah orang yang amat lihai.
“Huah-ha-ha-heh-heh! Orang muda, kau tangkas juga!” Terdengar suara terkekeh-kekeh dan muncullah seorang kakek bertubuh kecil dari balik sebatang pohon besar yang tiada berdaun lagi.
Kakek ini amat kurus dan tua, hanya rangka terbungkus kulit keriput. Bajunya tak berlengan, kedua pergelangan lengannya terlindung selubung hitam, entah dari bahan apa. Kuku tangannya panjang-panjang seperti kuku setan, melengkung dan runcing. Kumisnya kecil menjuntai lesu. Kakinya telanjang pula. Pinggangnya memakai sabuk yang ada dompet-dompetnya kecil berjajar. Punggungnya menggendong bambu besar dan bambu kecil, dan sepasang mata orang aneh ini kelihatan menghitam menakutkan. Mulutnya bergerak-gerak tertawa terpingkal-pingkal dan terbahak-bahak, akan tetapi mukanya, terutama matanya, sama sekali tidak membayangkan tawa, bahkan amat serius dan sungguh-sungguh.
Kiang Liong bersikap tenang. Ia maklum bahwa orang didepannya ini adalah seorang berilmu tinggi dan agaknya termasuk golongan hitam. Maka ia menjura dan bertanya, “Agaknya saya berhadapan dengan seorang Cianpwe. Selamanya belum pernah saya, Kiang Liong, dan kedua orang adik saya ini bertemu dengan Cianpwe, mengapakah begitu bertemu Locianpwee lalu menyerang kami dan siapakah julukan Locianpwe?”
“Ha-ha-ha, heh-he-heh! Girang sekali hatiku mendengar orang-orang Beng-kauw terutama sekali si bedebah Liu Mo si mata keranjang yang banyak bininya itu mampus! Ha-ha-ha! Dan untungku bertemu dengan dua orang cucunya. Heh, orang muda, apakah kau orang Beng-kauw? Kalau bukan, lekas pergi jangan mencampuri urusan Siauw-bin Lo-mo! Serahkan dua orang bocah ini kepadaku agar puas hatiku dan lunas perhitunganku dengan Beng-kauw!”
Kiang Liong mengerutkan keningnya dan diam-diam menjadi marah sekali. Kiranya inilah yang berjuluk Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara Bu-tek Ngo-sian?
“Hemm, Locianpwe yang berjuluk Siauw-bin Lo-mo dan menjadi seorang di antara Bu-tek Ngo-sian? Pantas saja tidak segan bersikap keji, tidak jauh bedanya dengan Bu-tek Siu-lam yang pernah saya jumpai. Saya tidak mempunyai kehormatan untuk menjadi anggota Beng-kauw yang terkenal, akan tetapi para pimpinan Beng-kauw adalah orang-orang tua yang saya hormati, sedangkan yang muda-muda adalah saudara-saudara saya. Locianpwe baru dapat mengganggu kedua orang adik saya ini setelah melalui mayat saya!”
“Ha-ha-ha, heh-heh, orang muda yang bernyali besar! Kau sudah bosan hidup?” Sambil terkekeh-kekeh ketawa mengejek Siauw-bin Lo-mo menerjang maju.
Gerakan Siauw-bin Lo-mo amatlah cepatnya dan senjata-senjatanya hanyalah jari-jari kuku tangannya. Akan tetapi, kuku jari tangan ada sepuluh buah banyaknya dan setiap kuku runcing tajam mengandung racun sehingga sama dengan memegang sepuluh buah senjata yang amat berbahaya! Tubrukannya liar ganas, gerakannya cepat laksana burung menyambar. Ia menerjang sambil tertawa, mengira bahwa sekali tubruk ia akan mampu merobohkan lawannya yang masih muda.
Akan tetapi perkiraannya jauh meleset dan ia terheran-heran ketika ternyata menubruk tempat kosong dan pemuda yang tampan dan tenang itu tahu-tahu telah lenyap. Ia hanya mendengar angin berseliwer di samping kanannya, maka cepat Siauw-bin Lo-mo membalikkan tubuhnya. Benar saja, pemuda itu sudah berdiri di belakangnya dan kini kedua tangan pemuda itu sudah memegang dua buah senjata yang lucu dan aneh. Tangan kanannya memegang sebatang pensil bulu sedangkan tangan kirinya memegang pensil kayu!
Sebetulnya kalau menurutkan wataknya sebagai seorang pendekar yang enggan bersikap curang, melihat lawan bertangan kosong, Kiang Liong hendak melayani dengan tangan kosong pula. Akan tetapi serangan pertama tadi membuat ia terkejut karena kuku-kuku jari tangan lawan mengeluarkan sinar hitam dan ia mencium bau amis, maka tahulah ia bahwa lawannya ini seorang tokoh jahat yang mempunyai keahlian tentang racun, maka ia tidak segan-segan lagi untuk mencabut ke luar sepasang pensilnya. Juga gerakan kakek ini amat cepat, menandakan bahwa lawan ini benar-benar seorang lawan yang amat tangguh, tidak di sebelah bawah tingkat Bu-tek Siu-lam yang lihai itu!
Di lain pihak, Siauw-bin Lo-mo juga terkejut bukan main ketika melihat betapa gerakan pemuda itu sedemikian cepatnya dan kemudian melihat sepasang senjata di tangan si Pemuda. Senjata itu saja sudah merupakan bukti bahwa pemuda ini benar-benar bukan lawan sembarangan karena hanya orang yang tinggi tingkat kepandaiannya saja dapat mempergunakan senjata sekecil dan seringan itu. Makin kecil ringan serta lemah senjatanya, makin tinggilah kepandaian orang.
Siauw-bin Lo-mo adalah seorang tokoh yang belum pernah bertemu tanding, kecuali ketika ia terpaksa mengakui keunggulan Kauw Bian Cinjin beberapa tahun yang lalu. Karena kekalahannya dari tokoh Beng-kauw inilah maka ia mendendam sakit hati kepada Beng-kauw. Karena merasa dirinya memiliki kepandaian tinggi jarang ada tandingnya, maka tentu saja kini ia tidak gentar menghadapi lawan yang masih muda, sungguh pun ia maklum bahwa lawan ini tak boleh dipandang ringan.
“Ho-ho-ha-ha, sayang kalau seorang muda seperti engkau mampus di tanganku. Kau lihat kelihaianku! Ha-ha-ha!” Kini ia menerjang maju dengan gerakan teratur, tidak asal tubruk lagi seperti tadi.
Ternyata ilmu silat tangan kosongnya dahsyat, mengeluarkan angin pukulan yang bersuitan dan gerakan kedua tangannya cepat sekali. Kuku panjang itu terpentang dan menyambar-nyambar dari segala jurusan secara tidak terduga-duga. Agaknya kakek ini sudah tidak sabar lagi untuk cepat-cepat menjatuhkan lawan mudanya, maka ia sudah mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmunya yang dahsyat dengan keyakinan bahwa seorang muda seperti Kiang Liong tak mungkin dapat mengatasi serangannya ini.
Akan tetapi kenyataannya jauh berbeda dengan keyakinan hatinya. Pemuda itu dengan gerakan sigap dan amat indah dapat mengelak dan menghindarkan diri dari rangsekan serangannya, bahkan balas menyerang karena sepasang pensil itu menyambut serangan-serangannya dengan totokan-totokan pada jalan darah di pergelangan, telapak tangan, dan dekat siku.
Dengan cara ini, dari keadaan terserang Kiang Liong berbalik menyerang karena sebelum setiap pukulan dan cakaran lawan mendekati tubuhnya, ia telah mendahului dengan totokan yang amat kuat dan tepat sasarannya. Keyakinan Siauw-bin Lo-mo untuk mendesak pemuda itu menjadi berbalik kenyataannya sehingga dia sendiri yang terdesak dan kalau saja ia tidak lihai mainkan gelang baja pelindung pergelangan tangan, tentu ia siang-siang sudah menjadi korban totokan!
“Heh-heh, kau berani mati!” bentaknya sambil bergelak dan tubuhnya tiba-tiba merubah gerakan.
Kini kuku-kukunya yang runcing itu tidak langsung menyerang tubuh lawan, melainkan berusaha mencengkeram pensil lalu disusul cengkeraman ke arah lengan atau bagian tubuh terdekat apa bila Kiang Liong menarik senjatanya karena khawatir terkena cengkeraman yang kuat itu. Dengan siasat gerakan macam ini, keadaan kembali menjadi terbalik dan kini pemuda itulah yang tampaknya terdesak. Kuku-kuku yang panjang runcing berbisa, ditambah baja pelindung pergelangan tangan kakek itu benar-benar amat menyulitkan sasaran totokan kedua pensilnya. Kini bahkan kakek itu mulai berloncatan seperti monyet, akan tetapi secara tidak terduga-duga kedua kakinya kadang-kadang melakukan tendangan-tendangan berantai, bukan tendangan biasa, melainkan tendangan disertai cengkeraman jari kaki yang dapat membentuk cakar garuda!
Lima jari kuku tangan kiri yang runcing itu mencengkeram dengan gerakan cepat ke arah pensil bulu di tangan kanan Kian Liong. Pemuda ini mengelakkan pensil bulunya dan cepat menotok dengan pensil kayu di tangan kiri mengarah ke leher lawan. Akan tetapi terdengar suara keras ketika pensil kayu itu tertangkis oleh pelindung pergelangan kanan kakek itu yang melanjutkan gerakan tangan kanan dengan cengkeraman ke arah lengan kiri Kiang Liong.
Pemuda ini tidak membiarkan dirinya dicengkeram. Cepat ia menggeser kaki ke kanan sehingga tubuhnya miring dan cengkeraman itu luput. Pada detik itu secara tak tersangka-sangka kaki kiri lawannya bergerak menendang ke arah perut. Tendangan yang keras dan cepat sekali datangnya. Kiang Liong kaget dan menggerakkan pensil bulu ke arah kaki itu, menotok ke arah mata kaki, kemudian pensil kayunya secepat kilat menotok ke leher kanan lawan.
“Breettt...! Takkk...!”
Siauw-bin Lo-mo berseru kaget dan terhuyung. Kiang Liong juga berseru kaget dan cepat memutar kedua senjatanya di depan tubuh untuk membentuk gaya bertahan. Kiranya tadi secara tak terduga-duga, kakek itu hanya mengelak sedikit dan membiarkan pundaknya mewakili leher menerima totokan sambil mengerahkan sinkang dan tangan kirinya cepat-cepat mencengkeram ke arah pinggang kanan Kiang Liong. Pemuda ini kaget bukan main, cepat ia mendoyongkan tubuh ke belakang sehingga otomatis totokannya yang semula ditujukan ke leher lawan kemudian oleh lawannya sengaja diterima dengan pundak itu tidak mengenai secara tepat sekali. Namun karena tenaga yang tersalur melalui pensil kayu itu adalah tenaga sinkang murni dan kuat, maka akibatnya cukup membuat Siauw-bin Lo-mo terhuyung ke belakang dengan muka berubah.
Kiang Liong juga kaget. Tahulah ia bahwa lawannya adalah seorang yang amat lihai, maka tanpa ragu-ragu lagi Kiang Liong lalu merubah gerakan. Kini ia menerjang maju dan sepasang senjatanya itu dipegang seperti orang hendak menulis, kemudian mulailah ia menggerakkan sepasang pensil seperti menulis huruf-huruf di udara, mencorat-coret ke arah lawan. Gerakannya wajar, seperti hendak menuliskan pensil-pensilnya di atas tubuh lawan. Akan tetapi akibatnya hebat sekali.
Silau rasanya mata Siauw-bin Lo-mo menghadapi coretan-coretan itu karena ia menjadi bingung sekali. Berkali-kali ia menangkis dengan kedua tangannya, bahkan berusaha merampas sepasang pensil yang amat lihai itu, namun hasilnya sia-sia, malah hampir saja ia terkena totokan yang sama sekali tak disangkanya. Gerakan mencorat-coret seperti orang menulis itu ternyata merupakan serangan-serangan maut dan setiap gerakan mengandung tenaga yang amat kuat. Lebih hebat lagi tenaga yang keluar dari gerakan sepasang pensil itu berbeda, bahkan berlawanan sehingga amat membingungkan kakek yang tadinya merasa bahwa di dunia ini jarang ada orang mampu menandinginya. Kini menghadapi seorang pemuda saja ia sudah kewalahan, apa lagi hendak mengalahkannya atau mengenal ilmu silatnya yang luar biasa itu.
Hal ini tidaklah aneh kalau diketahui bahwa ilmu silat yang dimainkan Kiang Liong itu adalah ilmu silat simpanan yang diturunkan oleh Suling Emas kepadanya! Itulah ilmu silat Hong-in Bun-hoat yang dahulu diciptakan oleh manusia dewa Bu kek Siansu dan kemudian diturunkan kepada Suling Emas. Ilmu silat ini adalah gerakan silat tinggi yang disesuaikan dengan ilmu kesusastraan. Hanya orang yang sudah menguasai sastra secara mendalam, yang dapat menulis huruf-huruf indah dan kuat saja akan mampu menguasai Hong-in Bun-hoat.
Tentu saja ia harus memiliki dasar ilmu silat tinggi yang sudah matang pula. Biar pun Kiang Liong adalah seorang pelajar yang pandai ilmu sastra dan juga sudah digembleng ilmu silat tinggi oleh gurunya, namun ia hanya mampu menguasai delapan bagian saja dari ilmu yang sakti ini. Untuk dapat menguasai ilmu ini sampai sepuluh bagian atau seluruhnya membutuhkan pengalaman bertahun-tahun seperti Suling Emas. Betapa pun, yang delapan bagian ini sudah cukup membuat seorang tokoh besar seperti Siauw-bin Lo-mo menjadi sibuk dan terdesak hebat.
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui menonton pertempuran ini dengan pandang mata kagum. Menyaksikan kehebatan sepak terjang kakek aneh itu, mereka berdua tahu diri dan tidak berani maju membantu Kiang Liong. Mereka maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh di bawah tingkat kakek itu, maka jika mereka membantu, hal ini tidak akan menguntungkan Kiang Liong. Betapa kagum hati mereka melihat Kiang Liong mendesak kakek itu dengan sepasang pensilnya.
Siauw-bin Lo-mo masih berusaha mempertahankan diri, namun makin lama ia makin terkurung dan tak dapat keluar dari lingkaran ujung pensil yang bergerak-gerak secara aneh itu. Dalam pandang matanya, kini ada banyak sekali ujung pensil yang menyerang jalan-jalan darah terpenting di tubuhnya, membuat ia sibuk dan akhirnya ia bergulingan di atas tanah untuk menghindarkan diri.
Siauw-bin Lo-mo tak dapat tertawa lagi dan agaknya baru kali ini selama hidupnya ia bertanding melawan seorang pemuda tanpa ketawa mengejek. Rasa penasaran dan malu membuat ia menjadi marah. Tiba-tiba ia meloncat dari keadaan bergulingan itu, tangan kanan kiri sudah merenggut keluar dua buah benda hitam sebesar telur angsa, kemudian ia membanting dua ‘telur’ itu ke atas tanah di sebelah depannya. Terdengar suara meledak dua kali dan asap putih tebal menyelimuti sekelilingnya.
Kiang Liong terkejut dan dapat menduga bahwa asap putih tebal bergulung-gulung ini tentu mengandung racun, maka ia cepat mengumpulkan napas dalam dada lalu menahan napas dan menerjang maju dengan totokan-totokan maut dalam bentuk tulisan. Dengan ketabahan luar biasa Kiang Liong menyerbu lawan yang bersembunyi dalam asap putih. Makin lama asap mengepul makin banyak dan tebal sehingga kedua orang itu lenyap ditelan gumpalan-gumpalan asap. Akan tetapi kakek aneh ini sekarang sudah mengambil bambu kecil yang tadinya ia gendong di punggung dan begitu ia membuka sumbat bambu itu, dari dalam bambu keluar asap hitam yang amat busuk baunya.
Kiang Liong terkejut bukan main. Inilah semacam asap beracun yang luar biasa jahatnya. Jangankan tercium dan memasuki paru-paru, baru mengenai kulit saja sudah dapat menimbulkan keracunan hebat. Maka ia cepat menggerakkan lengan-lengan bajunya yang dikebutkan dengan pengerahan tenaga sinkang sehingga asap itu buyar tidak jadi menyerangnya. Keadaan di sekeliling gelap pekat dan ia tahu bahwa dirinya dikurung asap-asap beracun.
Kiang Liong cepat mengerahkan ginkangnya karena pada saat itu ia sudah tidak dapat melihat lagi ke mana perginya lawan. Ia meloncat cepat ke luar dari kurungan asap. Setelah tiba di luar kurungan asap, ia dapat melihat betapa lawannya sudah lenyap dari tempat itu dan ketika ia menengok ke belakang, ternyata dua orang gadis itu pun sudah lenyap tak tampak bayangannya lagi!
“Kui-moi...! Hui-moi...!” Ia memanggil dengan suara nyaring. Namun tidak ada jawaban sehingga hatinya menjadi khawatir sekali.
Mungkinkan si Kakek sakti itu ketika menghilang di dalam gumpalan asap berkesempatan pula untuk menawan dua orang gadis itu? Ah, tidak mungkin rasanya. Betapa pun lihainya Siauw-bin Lo-mo, tidak mungkin dapat melarikan diri sambil menculik dua orang gadis itu sedemikian cepat dan di luar tahunya. Apa lagi kalau diingat bahwa dua orang kakak beradik itu bukanlah gadis-gadis lemah dan tentu akan melawan kalau akan diculik sehingga tidak mudah tertawan. Kiang Liong menyelidiki keadaan sekeliling tempat itu, bahkan memeriksa tanah dan rumput di mana Siang Kui dan Siang Hui tadi berdiri. Namun tidak terdapat tanda-tanda atau jejak-jejak yang mencurigakan. Ia mendongkol sekali, merasa ditipu dan dipermainkan lawan.
“Siauw-bin Lo-mo kakek iblis!” teriaknya marah. “Kalau engkau memang laki-laki, hayo maju dan lanjutkan pertandingan. Tak ada gunanya bersikap pengecut dan melarikan gadis-gadis itu!” Betapa pun kerasnya ia berteriak, tiada jawaban kecuali tiupan angin yang membawa hawa panas terik matahari.
Dengan pandang mata seperti harimau marah, Kiang Liong lalu meloncat dan berlari-lari cepat. Tujuannya sudah tetap. Pergi ke Kao-likung-san di lembah sungai Nu-kiang. Kalau tidak salah dugaannya, tentu kakek iblis tadi merupakan sekutu para pendeta Tibet yang memimpin pasukan Hsi-hsia menyerbu Nan-cao. Tentu ada permusuhan di antara Beng-kauw. Kalau ia harus pergi dulu mencari Kauw Bian Cinjin seperti yang direncanakan Siang Kui dan Siang Hui, ia khawatir kalau-kalau akan terlambat. Ia harus pergi menolong dua orang gadis itu dan adiknya.
Wajah yang tampan itu menjadi muram. Ia berduka kalau teringat akan nasib malang yang menimpa keluarga Kam Bu Sin, adik gurunya dan nasib para pimpinan Beng-kauw. Mereka tewas dan setelah pimpinan Beng-kauw terbasmi, siapa lagi yang dapat menggantikan mereka? Hanya tinggal Kauw Bian Cinjin seorang diri! Ah, betapa akan marah dan berduka hati gurunya kalau mendengar berita tentang mala-petaka ini. Gurunya mempunyai hubungan yang amat erat dengan Beng-kauw. Di samping semua itu, kekuatan Nan-cao terletak kepada Beng-kauw. Kalau Beng-kauw runtuh, apa jadinya Kerajaan Nan-cao kelak?
Teringat akan ini, Kiang Liong mempercepat larinya. Ia maklum bahwa tugasnya menolong Siang Kui, Siang Hui dan Han Ki, adik kedua orang gadis itu, bukanlah tugas ringan, bahkan merupakan tugas berbahaya sekali. Yang akan ia hadapi bukanlah lawan-lawan biasa, melainkan kekuatan yang amat besar, kekuatan yang telah membasmi Beng-kauw. Kalau tokoh-tokoh besar, terutama sekali ketua Beng-kauw yang amat sakti sampai tewas menghadapi kekuatan ini, terang bahwa dia seorang diri tidak akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi, betapa pun juga Kiang Liong tidak menjadi gentar. Ia harus cepat-cepat mengejar dan berusaha menolong anak-anak pamannya, Kam Bu Sin, kalau perlu dengan taruhan nyawa!
Girang dan juga bingung Kiang Liong ketika akhirnya ia dapat mengikuti jejak Siauw-bin Lo-mo. Dari para penduduk pegunungan ia mendengar bahwa kakek kurus kecil yang selalu tertawa itu melakukan perjalanan menuju ke pegunungan Kao-likung-san! Tepat seperti yang diduganya. Akan tetapi ia merasa bingung mendengar bahwa kakek itu melakukan perjalanan seorang diri saja. Kalau begitu, ke manakah perginya Siang Kui dan Siang Hui? Siapakah yang menculik mereka? Kalau yang menculik itu teman-teman Siauw-bin Lo-mo, kenapa kakek ini melakukan perjalanan seorang diri saja? Karena penasaran ia mengejar terus sampai ke kaki pegunungan Kao-likung-san.
Sampai di kaki gunung ini ia menjadi bingung karena kehilangan jejak kakek yang dikejarnya. Daerah itu amat sunyi tidak ada penduduk, dan ia tidak dapat menduga ke arah mana kakek itu pergi, juga tidak tahu di mana adanya markas para pendeta Tibet yang telah membasmi Beng-kauw. Menurut penuturan kedua orang gadis itu, katanya para pendeta Tibet bermarkas di pegunungan Kao-likung-san di lembah sungai Nu-kiang.
Mulailah ia pergi mencari sungai yang dimaksudkan. Dua hari lamanya ia berputaran, akhirnya ia dapat melihat sungai itu. Dari sebuah lereng yang tinggi dan terjal, ia melihat sungai itu jauh di bawah, tampak kecil berliku-liku dan airnya berwarna biru dengan buih putih menabrak batu-batu.
Tiba-tiba terdengar suitan nyaring dan Kiang Liong cepat melempar diri ke bawah. Beberapa batang anak panah menyambar dan lewat di atas tubuhnya. Ketika ia meloncat bangun, tempat itu sudah terkepung oleh tujuh orang laki-laki tinggi besar dipimpin oleh seorang hwesio berkepala gundul dan berjubah merah. Keadaan tujuh orang laki-laki itu sama dengan dua puluh orang yang mengeroyok Siang Kui dan Siang Hui, maka Kiang Liong cepat menduga bahwa mereka ini tentulah orang-orang Hsi-hsia dan hwesio itu tentulah seorang di antara pendeta Tibet yang memimpin barisan itu. Maka ia bersikap waspada dan juga girang karena tanpa disangka-sangka ia mendapatkan jejak markas yang dicarinya. Dengan sikap tenang ia menghadapi hwesio itu dan berkata.
“Bukankah kalian ini orang-orang Hsi-hsia dan Lo-suhu ini seorang pendeta Tibet?”
Pertanyaan Kiang Liong menimbulkan kekagetan kepada mereka. Hwesio itu pun membelalakkan matanya yang bundar dan memandang penuh selidik, kemudian terdengar suaranya yang nyaring dengan logat kaku.
“Orang muda, engkau siapakah dan bagaimana engkau dapat mengenal kami? Apakah engkau ada keperluan menghadap pimpinan kami?”
“Aku she Kiang bernama Liong dan aku dapat mengenal Lo-suhu sekalian karena sudah banyak aku mendengar tentang pasukan Hsi-hsia. Memang aku ingin bertemu dengan pimpinan kalian, terutama sekali untuk minta kembali seorang anak kecil bernama Kam Han Ki dan dua orang nona yang beberapa hari yang lalu kalian culik.”
“Keparat! Orang Beng-kauw mencari mampus. Serbu!” teriak pendeta itu yang mendadak berubah sikapnya menjadi galak sekali. Tujuh orang laki-laki tinggi besar itu serentak mentaati komando ini dan bagaikan harimau-harimau kelaparan mereka menubruk Kiang Liong dengan serangan-serangan ganas.
Kini mengertilah Kiang Liong mengapa Siang Kui dan Siang Hui mengamuk dan membunuhi semua orang Hsi-hsia yang mengeroyok mereka. Kiranya selain dua orang gadis itu mendendam karena kematian keluarga mereka dan terculiknya adik mereka, juga orang-orang Hsi-hsia ini amat kejam dan ganas, seperti iblis-iblis yang haus darah. Bahkan gerakan tujuh orang ini berbeda dengan para pengeroyok Siang Kui dan Siang Hui. Gerakan tujuh orang Hsi-hsia ini biar pun sama ganas dan kasar, namun lebih dahsyat dan jelas bahwa mereka ini memiliki kepandaian ilmu silat yang lumayan dan keberanian yang nekat.
Kiang Liong tidak menyia-nyiakan waktu. Tubuhnya bergerak ke kiri dan begitu kaki tangannya menyambar, empat orang pengeroyok sudah roboh, tak mampu bangkit kembali! Tiga orang Hsi-hsia yang lain kaget setengah mati, mata mereka sampai terbelalak kaget, akan tetapi hal ini sama sekali tidak disusul oleh rasa takut karena buktinya mereka berteriak parau dan menyerbu makin dahsyat lagi dengan golok mereka. Pendeta berkepala gundul itu juga terkejut dan kini menghunus pedangnya lalu ikut menyerbu, gerakannya amat kuat dan pedangnya mendatangkan angin.
Kiang Liong kembali meloncat ke kanan, sengaja agak jauh untuk memancing para pengeroyoknya. Tiga orang Hsi-hsia menyerbu, agaknya tidak peduli akan sesuatu. Mereka ini benar-benar merupakan prajurit-prajurit yang tak kenal takut sehingga orang-orang seperti ini kalau dipakai berperang tentu amat kuat. Kiang Liong sudah siap. Begitu tiga orang ini maju diikuti oleh hwesio jubah merah yang lebih berhati-hati sikapnya, ia menerjang maju, jari tangannya menyambar dan hampir berbareng tiga orang Hsi-hsia ini pun roboh! Hwesio itu cepat memutar pedang ketika melihat kaki Kiang Liong menyambar ke arahnya. Akan tetapi ternyata pemuda lihai ini hanya menggertak dengan tendangannya. Begitu pedang membabat ke arah kakinya, ia menahan kaki itu dan tangan kirinya menotok ke arah pundak dengan totokan maut.
Hwesio itu terkejut, berseru keras dan berusaha menyelamatkan diri dengan melempar tubuh ke kanan, begitu keras gerakannya sehingga ia tidak melihat bahwa di sebelah kanannya adalah tebing yang curam. Tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terjerumus ke bawah. Hwesio itu mengeluarkan suara bersuit nyaring sekali dan diam-diam Kiang Liong menjadi kagum. Sudah jelas bahwa nyawa hwesio itu berada dalam cengkeraman maut, akan tetapi dalam usaha terakhir, hwesio itu bukan berteriak minta tolong melainkan mengeluarkan suara suitan nyaring memberi peringatan teman-temannya! Sampai dekat ajal pun hwesio ini masih melakukan tugasnya!
Benar saja dugaannya, karena dari atas lereng kini muncul puluhan orang yang berlari-lari ke bawah dipimpin oleh beberapa orang hwesio berjubah merah. Dari jauh mereka itu sudah menghujankan anak panah sehingga terpaksa ia mencabut pensil dan memukul setiap anak panah yang mengancam dirinya. Ia sudah bersiap untuk melayani mereka semua, sungguh pun ia merasa sangsi apakah ia sendirian saja akan sanggup menghadapi pengeroyokan demikian banyak orang.
Pada saat itu dari sebelah kanan menyambar sinar merah. Kiang Liong kaget, tak menyangka bahwa dari tempat dekat ada orang membokongnya. Untuk membikin gentar hati lawan, Kiang Liong mengeluarkan kepandaiannya. Tangan kirinya berputar dan dengan dua buah jari tangannya, ia menjepit senjata rahasia itu yang ternyata adalah sebatang piauw beronce merah dan ketika ia memandang terdapat sepotong kertas dibelitkan pada piauw ini! Ia makin heran, cepat ia membuka kertas itu dan membaca tulisan tangan halus indah.
‘Lekas mundur, dari bawah pohon Siong turun ke bawah sampai di sungai. Cepat sebelum terlambat!’
Rasa panas menjalar ke dalam dada Suling Emas. Jantungnya seperti terbakar, kepalanya pening, pandang matanya berkunang. Berbagai macam dugaan dan pertanyaan muncul dalam hatinya. Mengapa Lin Lin menikah? Kapan dan dengan siapa? Rasa cemburu dan iri menyesak di dalam dadanya dan menurutkan perasaan ini, ingin ia sekali bergerak merobohkan dua orang utusan Lin Lin ini, kemudian pergi ke Khitan untuk memaki-maki bekas kekasihnya yang selalu tak pernah ia lupakan dan yang mengakibatkan ia hidup menderita, merana dan berpenyakitan. Kalau perlu membunuh suami Lin Lin!
Akan tetapi seperti biasa, kesadaran lebih kuat dalam batin pendekar besar ini. Sebentar saja ia sudah menguasai kembali hatinya, mengusir iri dan cemburu dan karena perang yang semacam ini terlalu sering terjadi di hatinya yang selalu dirundung kedukaan dan rindu dendam, biar pun Suling Emas berhasil menguasai hatinya, namun ia tidak dapat mencegah rangsangan batuk yang tiba-tiba datang. Ia terbatuk-batuk dan menggunakan sapu tangan menutupi mulutnya. Setelah reda, ia menarik napas panjang dan menatap wajah dua orang Panglima Khitan itu yang tadi memandangnya dengan terheran. Siapa takkan menjadi heran melihat seorang pendekar sakti seperti Suling Emas terserang batuk-batuk sedemikian parah seperti keadaan seorang yang lemah saja?
“Ji-wi Ciangkun (Saudara Panglima Berdua), maafkan aku. Beritamu ini benar-benar mengagetkan hatiku. Ah, betapa sudah amat lamanya aku tidak pernah mendengar tentang ratu kalian, adik angkatku itu sehingga aku tidak tahu siapa yang telah menjadi adik iparku. Apakah dia seorang Pangeran Khitan yang gagah perkasa?”
Kini tiba giliran dua orang Panglima Khitan itu yang kaget dan melongo, saling pandang dan kemudian kembali memandang Suling Emas. “Apa yang Taihiap maksudkan?” kata Hoan Ti Ciangkun. “Ratu kami tak pernah... tak pernah menikah!” Dalam kata-katanya, panglima ini jelas marah mendengar ratunya dikatakan menikah karena hal ini dianggapnya suatu penghinaan.
Akan tetapi Loan Ti Ciangkun sudah dapat lebih dulu mengerti mengapa Suling Emas menduga demikian, maka ia juga cepat menyambung. “Ah, kami yang keliru, Taihiap. Harap Taihiap maklum bahwa ratu kami tidak menikah dan ada pun putera beliau itu adalah putera angkat. Sesungguhnya, Pangeran Talibu itu dahulu adalah putera dari Panglima Kayabu yang dalam usia lima tahun diangkat anak secara resmi oleh ratu kami.”
Keterangan ini membuat hati Suling Emas terasa lapang, seakan-akan sebongkah batu besar yang tadi menindih jantungnya kini terangkat. Demikian lega dan senang hatinya sehingga tanpa ia sadari sendiri ia tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha...!” Dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya.
Dua orang Panglima Khitan itu saling pandang, terheran-heran. Akan tetapi karena mereka tahu bahwa banyak orang sakti berwatak dan bersikap aneh-aneh, maka mereka tidak berkata sesuatu.
“Ji-wi Ciangkun, aku girang bahwa adik angkatku itu kini mempunyai seorang putera yang bernama Pangeran Talibu. Dan... siapakah namanya puterinya?”
Kini dua orang panglima itu benar-benar heran. “Puterinya? Puteri siapakah, Taihiap? Ratu kami tidak mempunyai seorang anak lain kecuali Pangeran Talibu!”
“Hee...? Ada seorang gadis bernama Mutiara Hitam... dan... ah, sudahlah. Kalian tidak mengenal Mutiara Hitam?”
Dua orang panglima itu menggeleng kepala dan mulai meragukan kewarasan otak pendekar besar ini. Suling Emas termenung, mengerutkan keningnya. Ada banyak rahasia aneh meliputi diri Lin Lin, pikirnya. Kalau Lin Lin tidak menikah lagi, itu tidak aneh karena ia juga selalu percaya akan kesetiaan dan kecintaan hati ratu itu kepadanya. Kemudian tentang pengangkatan seorang anak, anak Panglima Kayabu yang perkasa sebagai pangeran, juga hal yang tidak mengherankan.
Akan tetapi gadis itu, Mutiara Hitam yang mempunyai kepandaian seperti Sian Eng, yang mengaku murid Sian Eng, yang berwajah dan berwatak seperti Lin Lin di waktu muda, mengapa mengaku sebagai anak Lin Lin? Kemudian surat Lin Lin kepadanya. Bagaimana pula bunyi kalimat itu? TERLALU LAMA MENYIMPAN RAHASIA BESAR. Rahasia apa gerangan yang dimaksudkan Lin Lin?
Sampai lama Suling Emas termenung, menimbang-nimbang, mencari-cari namun tetap saja ia tidak dapat menduga rahasia apa gerangan yang disembunyikan kekasihnya dan mengapa pula sekarang setelah berpisah dua puluh tahun, Lin Lin minta agar ia suka datang berkunjung ke Khitan? Kalau tidak ada urusan penting sekali, mengapa harus saling jumpa kembali? Untuk merobek kembali luka yang sudah hampir kering? Betapa pun besar keinginan hatinya untuk bertemu dengan orang yang dicintanya, ia tetap hendak menjaga nama baik kekasihnya itu, menjaga nama baik seorang ratu yang dijunjung tinggi rakyatnya.
“Ji-wi Ciangkun, masih ingatkah janji-janji Ji-wi tadi kepadaku?”
Dua orang panglima itu mengangguk.
“Baiklah, kalau begitu aku akan memenuhi surat undangan ratu kalian yang Ji-wi serahkan kepadaku. Aku akan berkunjung ke Khitan, akan tetapi tidak secara berterang dan selain Ji-wi, tidak boleh ada orang lain mengenalku. Maukah Ji-wi membantuku?”
Dua orang panglima itu kelihatan ragu-ragu, “Tentu saja kami suka membantu Taihiap,” jawab Hoan Ti Ciangkun, “akan tetapi..., bagaimana caranya?”
“Aku ingin sekali mengunjungi adik angkatku, akan tetapi aku tidak menghendaki sebagai Suling Emas. Jalan satu-satunya hanya menyamar. Kalian ceritakan kepada ratu kalian tentang penyerangan Thai-lek kauw-ong dan bahwa aku telah membantu kalian. Aku akan menyamar sebagai seorang kakek berjuluk San-siang Lojin (Kakek Pegunungan). Maukah kalian membantuku?”
Dua orang panglima itu mengangguk-angguk tanda setuju.
“Dan untuk menghilangkan kecurigaan, harap Loan Ti Ciangkun mengangkat aku sebagai pembantu, menjadi seorang perwira penjaga benteng.”
Loan Ti Ciangkun mengangguk-angguk, sungguh pun di dalam hatinya merasa heran. Memang aneh sikap orang-orang sakti di selatan ini, pikirnya. Hendak mengunjungi adik angkat saja mengapa mesti menyamar seperti ini? Namun karena ia tahu bahwa ratunya sudah lama mencari kakak angkatnya ini dan yakin bahwa Suling Emas bukan musuh yang patut dicurigai, maka ia tidak membantah dan menganggap hal ini sebagai lelucon.
Setelah berunding, kedua orang panglima itu mencarikan alat-alat yang dibutuhkan untuk penyamaran Suling Emas dan ketika mereka bertiga berangkat ke Khitan, Suling Emas sudah berubah menjadi seorang kakek berjenggot panjang, seorang kakek yang berusia enam puluh tahun lebih.
********************
Kita tinggalkan dulu Suling Emas yang ikut bersama Loan Ti Ciangkun dan Hoan Ti Ciangkun menuju ke Khitan dengan hati berdebar tegang karena akan berjumpa dengan wanita yang dicinta dan selama dua puluh tahun tak pernah ia jumpai namun tak pernah pula ia lupakan itu. Dan mari kita mengikuti perjalanan dua orang pemuda perkasa yang melakukan pengejaran terhadap Thai-lek Kauw-ong yang membawa lari Kwi Lan.
Seperti telah dituturkan di bagian depan. Tang Hauw Lam terkejut ketika ia tidak melihat Kwi Lan dan Thai-lek Kauw-ong di situ, lalu berseru dan mengajak Kiang-kongcu atau nama lengkapnya Kiang Liong, pemuda perkasa murid Suling Emas itu untuk melakukan pengejaran. Kiang Liong tidak mengenal siapa gerangan gadis remaja yang cantik jelita tadi, akan tetapi ia pun merasa khawatir mendengar gadis itu diculik Thai-lek Kauw-ong yang diperkenalkan Bu-tek Siu-lam sebagai tokoh pertama Bu-tek Ngo-sian. Maka ia pun tidak mempedulikan lagi tokoh banci itu dan ikut bersama Hauw Lam melakukan pengejaran setelah ia mengambil alat musik yang-khim yang tadi ia gantungkan pada sebatang pohon.
Kiranya Kiang Liong ini pun suka akan seni musik, hanya bedanya kalau gurunya suka meniup suling, dia lebih suka bermain yang-khim. Yang-khim itu buatannya sendiri, berbentuk seekor binatang yang menyeramkan dan jangan dikira bahwa yang-khim ini hanya untuk menciptakan suara merdu karena pemuda itu dapat mempergunakan sebagai sebuah senjata yang amat ampuh.
Biar pun Kiang Liong seorang putera pangeran yang mempunyai kedudukan cukup tinggi di kota raja Sung, akan tetapi perjalanannya kali ini bukan merupakan perjalanan seorang pemuda bangsawan pergi melancong, akan tetapi lebih merupakan perjalanan seorang pendekar muda yang mendukung sebuah tugas yang berat. Kiang Liong bertugas melakukan penyelidikan ke perbatasan barat, dari mana muncul ancaman baru bagi keselamatan Kerajaan Sung.
Keadaan pemerintah Kerajaan Sung ternyata mengalami kemunduran besar. Pada permulaan Kerajaan Sung didirikan oleh Cao Kuang Yin, seorang panglima besar yang pandai akan siasat perang, Kerajaan Sung memang kelihatan kuat, bala tentaranya kuat sehingga berhasil menundukkan dan menaklukkan banyak kerajaan-kerajaan kecil. Hanya dua buah kerajaan yang tidak ditaklukkan, yaitu Kerajaan Nan-cao di Yu-nan dan Kerajaan Khitan di timur laut dan utara.
Selama Kerajaan Sung dipimpin oleh kaisar pertama dan ke dua, kerajaan ini masih memperlihatkan kemajuan. Akan tetapi keadaannya makin lama makin mundur dan mulai masa pemerintahan kaisar ke dua, yaitu Kaisar Sung Thai Cung menjelang hari tuanya, Kerajaan Sung sudah kurang memperhatikan tentang kekuatan tentaranya. Perhatian lebih dikerahkan dan ditujukan kepada urusan dalam, kepada kebudayaan dan kesenian, lebih cenderung memperindah kerajaan dan tenggelam dalam kesenangan.
Sikap atau politik inilah yang menyebabkan Kerajaan Sung menjadi semakin lemah, bahkan sedemikian lemahnya sehingga kerajaan ini tidak lagi mempergunakan senjata untuk menjaga keselamatan negara, melainkan menggunakan emas dan perak untuk ‘menyogok’ dan menawan hati calon musuh sehingga si musuh tidak tega atau segan untuk menyerang Kerajaan Sung. Maka timbullah kebiasaan mengirim upeti kepada kerajaan-kerajaan lain, terutama Kerajaan Khitan.
Pada waktu cerita ini terjadi, Kerajaan Sung dipimpin oleh kaisar yang ke tiga, yaitu Kaisar Chen Cung (998-1022). Dia adalah keponakan dari kaisar pertama dan terkenal sebagai seorang yang anti kekerasan, anti perang dan berusaha mempengaruhi dan merubah atau membelokkan Agama Buddha dan Tao demi keuntungan pribadinya. Ia menyatakan bahwa dia seketurunannya adalah orang-orang pilihan Tuhan yang bertugas sebagai wakil Tuhan menjadi kaisar di bumi! Ia lebih tenggelam kepada perkembangan kebudayaan dan sama sekali tidak becus mengatur pemerintahan, apa lagi menyusun kekuatan untuk melindungi negara dari ancaman dan bahaya dari luar. Bahkan dinyatakan oleh Kaisar Chen Cung bahwa kerajaannya tidak membutuhkan kekuatan militer, akan tetapi membutuhkan kekuatan gaib yang timbul dari kemajuan batin, terutama berkat wibawa Sang Kaisar!
Kaisar ke tiga dari Kerajaan Sung ini sama sekali buta terhadap ancaman-ancaman yang selalu mengelilingi kerajaannya, tidak melihat betapa banyak kekuatan-kekuatan yang mengilar menginginkan kerajaannya. Karena itu ia pun tidak melihat atau tidak acuh terhadap munculnya bangsa Hsi-hsia di perbatasan barat. Bangsa Hsi-hsia ini adalah bangsa perantauan seperti keadaan bangsa Khitan, yang muncul dari barat. Sebagai bangsa perantau mereka ini ulet dan tahan uji.
Mereka melihat akan kelemahan Kerajaan Sung, melihat pula akan politik Kaisar Sung yang selalu mengalah serta murah hati, oleh karena itu mereka mulai dengan petualangannya ke pedalaman. Di antara para pimpinan bangsa Hsi-shia ini terdapat banyak orang pandai dan sakti dari barat dan mereka ini sudah mulai memperlihatkan kepandaiannya untuk mencari pengaruh dan kekuasaan di antara penduduk pedalaman di sekitar tapal batas sebelah barat.
Hanya karena desakan dan peringatan para panglima dan menteri yang setia kepada kerajaan dan yang masih ingat akan kewaspadaan saja maka akhirnya Kaisar Chen Cung menaruh perhatian dan akhirnya diperintahkan kepada Kiang Liong untuk melakukan penyelidikan. Inilah sebabnya maka Kiang Liong melakukan perjalanan keluar kota raja dan secara kebetulan pemuda ini bertemu dengan Tang Hauw Lam dan Kwi Lan yang hampir celaka dalam tangan Bu-tek Siu-lam.
Kini Kiang Liong dan Hauw Lam melakukan pengejaran terhadap Thai-lek Kauw-ong yang membawa lari Kwi Lan. Akan tetapi sampai jauh mereka mengejar, belum juga mereka dapat menyusul Thai-lek Kauw-ong. Sudah terlalu lama kakek gundul itu pergi sehingga mereka terlambat dan tidak tahu betul arah mana yang diambil kakek itu. Kiang Liong yang tadi terpaksa menahan kecepatan geraknya untuk mengimbangi kecepatan Hauw Lam akhirnya menarik napas panjang dan berkata.
“Sobat, tiada gunanya mengejar lagi kalau kita belum tahu betul ke mana iblis itu pergi. Lebih baik kita berpencar saja. Aku sedang melakukan perjalanan ke barat, biarlah aku mengejar ke barat dan kau boleh melanjutkan pengejaranmu ke mana kau suka. Kalau aku bertemu dengan iblis itu, jangan khawatir, tentu aku akan turun tangan membantu... eh, siapa nama Nona tadi?”
“Mutiara Hitam.”
“Mutiara Hitam..., tentu dia bukan sembarang orang dan biar pun dia sudah tertawan, kurasa tidak akan mudah bagi kakek iblis itu untuk mencelakainya.”
“Kau betul, Kiang-kongcu. Dengan berpencar kita akan lebih berhasil. Terima kasih atas bantuanmu dan sampai jumpa!” kata Hauw Lam yang juga tidak mau membuang waktu lagi karena ia amat mengkhawatirkan nasib gadis lincah yang telah menjatuhkan hatinya itu. “Agar Kongcu tidak lupa, namaku adalah Tang Hauw Lam, akan tetapi Mutiara Hitam menyebutku si Berandal!” Setelah menjura, Hauw Lam lalu melompat dan melanjutkan pengejaran ke utara.
Kiang Liong berdiri dan tersenyum, menggeleng-geleng kepalanya dan berkata lirih kepada diri sendiri. “Bocah itu mabok asmara, tak salah lagi. Mudah-mudahan tidak akan gagal, dia anak baik...” Sambil bicara seorang diri pemuda yang tenang ini lalu melanjutkan perjalanannya ke barat sambil memasang mata penuh perhatian ke sekelilingnya kalau-kalau kakek gundul yang melarikan Mutiara Hitam itu lewat di situ dan meninggalkan jejak.
Sambil melanjutkan perjalanan untuk melakukan penyelidikan, Kiang Liong mengingat-ingat akan segala keterangan yang diperolehnya tentang bangsa Hsi-hsia ini. Menurut keterangan yang ia kumpulkan, bangsa yang menjadi ancaman baru ini dipimpin oleh pendeta-pendeta Tibet yang mendirikan Kerajaan Tangut. Pendeta-pendeta berjubah merah dari Tibet ini memang banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ada pun bangsa Hsi-hsia yang mereka pimpin merupakah bangsa berdarah campuran.
Setelah melanjutkan perjalanannya selama beberapa hari, Kiang Liong tidak menemukan jejak Mutiara Hitam dan penculiknya, juga tidak melihat adanya gerakan-gerakan bangsa Hsi-hsia. Akan tetapi ia memperoleh keterangan bahwa beberapa bulan yang lalu barisan besar bangsa Hsi-hsia berbondong-bondong menuju ke selatan.
Tak seorang pun di antara penduduk dusun yang ia tanya dapat menjelaskan apa yang hendak dilakukan barisan itu dan ke mana perginya. Hanya yang jelas, tampak bekas amukan mereka pada setiap dusun yang mereka lalui. Tidak ada harta benda dan wanita muda yang mereka lepaskan begitu saja. Tidak ada dusun yang mereka lalui tanpa mengalami korban yang amat banyak, pembunuhan sewenang-wenang, perampokan, perkosaan dan penculikan.
Kiang Liong menghela napas panjang menyaksikan ini semua. Selama ia mengikuti jejak barisan bangsa Hsi-hsia, entah sudah berapa puluh kali ia berhenti untuk mengubur jenazah-jenazah wanita muda yang menggeletak begitu saja di pinggir jalan, ditinggalkan oleh bangsa Hsi-hsia. Melihat wanita-wanita muda tewas tanpa pakaian itu, ada di antaranya yang sudah menjadi korban binatang buas sehingga mayatnya tidak utuh lagi, Kiang Liong teringat akan bunyi sajak tentang bunga-bunga yang dicampakkan begitu saja ke dalam lumpur setelah habis diisap madunya dan dinikmati harumnya.
Karena banyaknya mayat-mayat itu dan karena terlalu sering berhenti di dusun-dusun yang menjadi korban keganasan bangsa Hsi-hsia untuk menolong mereka yang terluka, perjalanan Kiang Liong amat lambat. Dan memang bukan kehendaknya untuk mengejar barisan yang menurut taksiran penduduk berjumlah puluhan ribu orang itu. Ia hanya ingin menyelidiki apa yang hendak mereka lakukan dan sampai berapa jauhnya gerakan mereka mengancam Kerajaan Sung.
Ia dapat mengumpulkan makin banyak keterangan dari para penduduk dusun-dusun yang dilalui. Menurut berita itu, barisan ini dipimpin oleh perwira-perwira yang perkasa dan para perwira ini dikepalai oleh serombongan pendeta berjubah merah. Di tengah-tengah para pendeta berjubah merah ini terdapat sebuah tandu yang tertutup sutera-sutera merah. Di dalamnya tentu ada orang karena menurut para penduduk, ada suara orang yang halus dan rendah keluar dari tandu, dalam bahasa asing, dan ada kalanya gadis tercantik yang terampas dimasukkan ke dalam tandu secara paksa.
Namun tidak ada seorang pun pernah melihat siapa gerangan orangnya yang berada di dalam tandu dan seperti apa macamnya. Yang jelas bagi Kiang Liong kini adalah bahwa semua pendeta jubah merah menyembah-nyembah penghuni tandu seperti menyembah dewa, sedangkan para perwira tunduk dan taat kepada perintah para pendeta, sebaliknya para anggota barisan juga taat kepada pimpinan para perwira. Pendeknya, barisan ini merupakan barisan yang amat kuat.
Makin jauh ke selatan ia mengikuti jejak barisan itu, makin heran dan akhirnya khawatir hati Kiang Liong. Kini ia telah memasuki wilayah Kerajaan Nan-cao! Mau apa barisan orang-orang Hsi-hsia ke Nan-cao? Kerajaan Nan-cao adalah kerajaan ke dua yang bersahabat dengan Kerajaan Sung, setelah Kerajaan Khitan. Dan dia sendiri bersahabat dengan kaum Beng-kauw yang berkuasa di Nan-cao. Sudah dua kali ia mewakili gurunya, Suling Emas, berkunjung ke Nan-cao untuk menghadiri perayaan Beng-kauw. Karena ia sudah hampir sebulan ketinggalan oleh barisan Hsi-hsia, kini Kiang Liong mempercepat perjalanannya.
Begitu memasuki dusun yang termasuk wilayah Kerajaan Nan-cao, mulailah ia mendengar berita tentang perang yang mencemaskan hal itu. Perang penyerbuan barisan Hsi-hsia ke kota raja Nan-cao dan betapa bala tentara Nan-cao menyambut musuh di luar kota raja dan di mana terjadi perang sampai hampir sebulan lamanya. Akan tetapi akhirnya barisan Hsi-hsia dapat dipukul mundur, demikian menurut berita yang didengarnya.
Pada hari itu ketika Kiang Liong menuruni lereng pegunungan kecil, memasuki daerah yang tandus berbatu, tiba-tiba ia mendengar suara ramai-ramai di sebelah depan. Ia merasa curiga. Daerah tandus ini tidak ditinggali manusia, tanahnya terlalu tandus dan dari puncak pegunungan tadi ia tidak melihat adanya dusun. Akan tetapi suara di depan itu menandakan banyak orang berada disana, diseling suara tertawa-tawa dan suara wanita marah-marah.
Ia mempercepat jalannya dan setelah membelok di sebuah tikungan yang tertutup batu besar, ia melihat sedikitnya ada dua puluh orang laki-laki yang buas dan asing mengurung dua orang wanita muda yang cantik jelita dan bersikap gagah. Begitu melihat dua orang gadis itu, Kiang Liong menjadi kaget dan menurutkan kata hatinya, ingin ia sekali bergerak melemparkan dua puluh orang laki-laki kasar itu. Akan tetapi ia bukan seorang yang sembrono dan ia cukup tahu bahwa dua orang gadis itu bukanlah gadis-gadis lemah, maka ia menyelinap dan mengintai untuk melihat dan mendengar sebelum menentukan apakah ia perlu turun tangan menolong.
Dua orang gadis itu cantik sekali, kecantikan daerah selatan yang panas. Seorang di antara mereka, yang wajahnya lembut dan agak lebih tua, berusia kurang lebih dua puluh tahun, pakaiannya berwarna kuning dan rambutnya yang hitam digelung ke atas. Gadis ke dua paling banyak delapan belas tahun, pakaiannya serba merah, gagang pedang tersembul di belakang punggungnya, membuat ia tampak gagah sekali. Wajahnya lebih manis dan galak! Dan gadis yang lebih muda inilah yang kini membentak dan memaki.
“Anjing-anjing Hsi-hsia, kalian sudah terusir ke luar dari negeri kami, tapi masih berani berkeliaran di sini. Hemm, sungguh kebetulan sekali, sebelum membasmi seribu ekor anjing Hsi-hsia, takkan puas hatiku!”
“Betul, Adikku. Kita harus bunuh anjing-anjing ini agar tidak penasaran arwah orang tua kita,” kata gadis yang berpakaian kuning. Mereka berdua menggerakkan tangan dan sudah mencabut pedang masing-masing.
“Huah-ha-ha-ha, bidadari-bidadari cantik manis, kenapa galak amat? Mari bersenang dengan kami, jago-jago dari Hsi-hsia!” Seorang di antara dua puluh laki-laki kasar itu, yang berambut merah, berkata sambil menyeringai lebar. Teman-temannya tertawa bergelak dan mereka mengurung dua orang gadis itu dengan sikap menjemukan, seperti segerombolan harimau mengurung dua ekor kelinci yang hendak dipermainkan lebih dulu sebelum dijadikan mangsa.
Tiba-tiba tampak dua gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Terdengar jerit-jerit kesakitan disusul robohnya dua orang Hsi-hsia, seorang di antaranya adalah si Rambut Merah. Ternyata dua orang gadis itu sudah mulai turun tangan. Gerakan pedang mereka amat cepat sehingga dalam sekejap mata saja dua orang laki-laki kasar yang nampak kuat itu sudah roboh binasa.
Hal ini sama sekali tidak tersangka-sangka oleh gerombolan orang Hsi-hsia itu sehingga mereka menjadi kaget sekali. Kalau tadinya mereka bergembira hendak mengganggu dan berkurang ajar, kini mereka menjadi marah. Tampak kilatan senjata ketika mereka semua mencabut golok melengkung lebar dari pinggang.
Kiang Liong yang menonton dari tempat pengintaiannya tidak bergerak. Ia maklum bahwa menghadapi pengeroyokan orang-orang kasar itu, dua orang gadis ini tentu tidak akan kalah dan tidak membutuhkan bantuannya. Ia tersenyum dan memandang kagum. Lima enam tahun yang lalu ketika ia berkunjung ke Nan-cao, dua orang gadis itu masih amat muda, masih remaja. Kini mereka telah menjadi dewasa yang selain cantik manis, juga memiliki ilmu silat yang cukup mengagumkan, tidak mengecewakan kalau mereka menjadi cucu Ketua Beng-kauw. Ia masih ingat betapa enam tahun yang lalu, dua orang gadis yang dulu masih cilik, tanpa malu-malu menemuinya dan mendengar pujian ayah mereka tentang diri Kiang Liong, mereka tanpa sungkan-sungkan minta petunjuk-petunjuk ilmu silat.
Dua orang gadis itu adalah puteri-puteri dari adik tiri gurunya yang bernama Kam Bu Sin, mantu ketua Beng-kauw. Yang tua bernama Kam Siang Kui sedangkan adiknya, dua tahun lebih muda, bernama Kam Siang Hui. Kiang Liong masih ingat betul betapa sejak enam tahun yang lalu, Siang Hui lebih berani dan lebih galak. Kini ia dapat mengenal dua orang gadis itu. Tentu nona baju merah itulah Kam Siang Hui, sedangkan yang berpakaian kuning dan bersikap lebih tenang adalah Kam Siang Kui.
Akan tetapi, ketika tadi ia mendengar ucapan dua orang gadis itu, hati Kiang Liong berdebar gelisah. Ia cerdik dan sekali mendengar kata-kata kedua orang kakak beradik itu, ia sudah dapat menduganya. Tentu dua orang gadis itu kehilangan orang tua mereka dalam perang melawan bangsa Hsi-hsia yang menyerbu Nan-cao. Dan ia menjadi heran dan juga gelisah. Paman gurunya, Kam Bu Sin, memiliki kepandaian tinggi, juga ibu kedua orang gadis itu, yang bernama Liu Hwee, adalah puteri tunggal ketua Beng-kauw dan memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi lagi. Kalau mereka berdua sampai gugur di medan perang, berarti bahwa fihak musuh memiliki orang-orang yang sakti.
Betapa pun cemas dan gelisah hati Kiang Liong namun ia tidak mau keluar untuk membantu Siang Kui dan Siang Hui. Sebagai seorang pendekar ia tentu saja mengerti bahwa membantu orang-orang gagah yang sama sekali tidak perlu dibantu mendatangkan kesan yang tidak baik dan dapat menyinggung perasaan. Maka ia hanya menonton, walau pun siap untuk turun tangan kalau-kalau dua orang gadis itu terancam bahaya.
Dua orang gadis itu mengamuk seperti dua ekor naga. Gulungan sinar pedang mereka yang berwarna putih berkilauan seperti perak menyambar-nyambar dan para pengeroyok yang hanya terdiri dari orang-orang kasar yang mengandalkan tenaga itu mulai roboh seorang demi seorang. Dalam waktu singkat saja belasan orang roboh mandi darah dan sisanya mulai gentar, bahkan ada yang sudah membalikkan tubuh hendak melarikan diri.
“Cici, jangan biarkan anjing-anjing itu lari!” seru Siang Hui sambil memutar pedang mendesak maju, merintangi mereka yang hendak lari.
Siang Kui mengejar ke depan, kedua tangannya bergerak dan robohlah tiga orang lawan yang sudah lari itu, punggung mereka tertusuk senjata rahasia yang berbentuk anak panah. Sisa gerombolan yang hanya tinggal enam orang itu menjadi nekat. Sambil berteriak-teriak liar mereka menyerbu mati-matian, namun kenekatan mereka tiada gunanya karena dengan mudah saja Siang Kui dan Siang Hui merobohkan mereka.
Dua puluh satu orang menggeletak malang-melintang di depan dua orang gadis itu yang seakan-akan telah menjadi gila saking marah dan sakit hatinya sehingga kini mereka membacok dan menusuki korban yang masih dapat bergerak-gerak dan berkelojotan sampai semua lawan mereka rebah tak bernyawa lagi!
Biar pun Kiang Liong maklum bahwa semua itu terdorong oleh rasa duka kehilangan ayah bunda, namun tetap saja ia menganggapnya terlalu kejam dan tidak baik. Maka kini ia melompat keluar dan berseru, “Adik-adik...! Cukuplah...!”
Siang Kui dan Siang Hui yang mukanya masih kemerahan dan beringas membalikkan tubuh dengan sigapnya, siap menghadapi lawan baru. Mula-mula mereka pangling melihat seorang pemuda berpakaian putih yang berdiri di depan mereka dengan sikap tenang dan pandang mata penuh teguran itu sehingga mereka makin mempererat genggaman tangan pada gagang pedang. Akan tetapi ketika mereka melihat alat musik yang-khim tergantung di belakang punggung dan tampak tersembul di belakang pundak pemuda itu, mereka segera mengenal orangnya.
“Liong-twako (Kakak Liong)...!” mereka berseru bergantian sambil berlari maju menghampiri Kiang Liong. Wajah mereka yang tadinya merah beringas itu berubah lembut, bahkan agak berseri ketika dua pasang mata itu memandang Kiang Liong dan mereka cepat-cepat menyimpan kembali pedang yang tadi dipakai mengamuk.
“Ji-wi Siauw-moi (Kedua Adik) mengapa berada di sini dan membunuhi orang-orang ini? Ji-wi hendak pergi ke manakah?”
Ditanya begini, tiba-tiba Siang Hui menubruk Kiang Liong sambil menangis. Ketika Kiang Liong berkunjung ke rumah gadis itu enam tahun yang lalu, Siang Hui baru berusia dua belas tahun maka kini bertemu pemuda ini ia seperti lupa bahwa ia kini sudah berusia delapan belas tahun. Ia sesenggukan di dada Kiang Liong yang menepuk-nepuk pundaknya.
Melihat adiknya menangis tersedu-sedu, Siang Kui juga menangis, akan tetapi gadis yang lebih tua ini hanya berani memegang lengan Kiang Liong sambil berkata, “Ah, engkau tidak tahu, Liong-twako...! Mereka ini adalah musuh-musuh Nan-cao, mereka ini anjing-anjing Hsi-hsia yang telah menyerbu Nan-cao... dan... dan... dalam pertempuran... Ayah dan Ibu kami telah gugur....”
Kiang Liong mengangguk-angguk. Untung tadi ia sudah mendengar dan dapat menduga, kalau tidak, tentu ia akan terkejut sekali. Karena ia sudah tahu, maka kini ia dapat mengeluarkan kata-kata hiburan untuk membangkitkan semangat.
“Ah, Adik-adikku. Aku juga ikut berduka sekali atas kematian Ayah Bunda kalian. Akan tetapi ingatlah bahwa mati hidup manusia berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa. Dan kalau diingat, kematian Ayah Bunda kalian dalam tugas membela negara adalah kematian pahlawan yang amat terhormat dan sungguh pun kehilangan ini amat mendukakan hati, namun kematian beliau berdua itu patut dibuat bangga! Aku sudah mendengar bahwa bangsa Hsi-hsia yang menyerbu ke Nan-cao dapat dipukul mundur. Pengorbanan orang tua kalian bukan sia-sia kalau begitu.”
Ucapan pemuda itu tentu akan menjadi hiburan yang manjur dan dapat membangkitkan semangat, apa lagi kalau diingat bahwa dua orang gadis ini bukan keturunan sembarangan, melainkan keturunan suami isteri yang gagah perkasa dan masih cucu ketua Beng-kauw yang sakti. Akan tetapi sungguh di luar dugaan Kiang Liong. Mereka itu hanya sebentar saja terhibur dan sinar mata mereka bercahaya penuh semangat, akan tetapi di lain saat mereka telah menangis lagi tersedu-sedu.
Kemudian Siang Hui yang kini berkata dengan suara penuh duka, “Liong-twako, mala-petaka itu lebih hebat dari pada yang kau duga. Tidak hanya Ayah Bunda kami yang gugur, bahkan Han Ki, adik kami yang baru berusia sebelas tahun terculik dan... Kong-kong (Kakek) serta sebagian besar pimpinan Beng-kauw juga tewas di tangan musuh....“
“Apa...?!” Kini Kiang Liong tak dapat menahan kekagetan hatinya. Berita ini terlalu hebat. “Bagaimanakah orang Hsi-hsia mampu menewaskan orang-orang seperti Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw) dan para pimpinan Beng-kauw?”
“Di antara barisan Hsi-hsia terdapat orang-orang sakti, dan agaknya mereka ini memang menyelundup bersama barisan Hsi-hsia untuk menyerbu Beng-kauw. Buktinya mereka tidak peduli akan kekalahan barisan Hsi-hsia dan lebih mengutamakan penghancuran pimpinan Beng-kauw. Mereka adalah pendeta-pendeta berjubah merah yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian lihai, dipimpin oleh seorang wanita setengah tua yang cantik dan berambut panjang dan seorang kakek pendeta jubah merah yang kaki kirinya buntung sebatas lutut. Dua orang inilah yang lihai sekali dan yang berhasil menewaskan Kong-kong dan para pimpinan Beng-kauw, termasuk Ayah Bunda kami. Liong-twako, kau tolonglah, bantulah kami untuk membalas dendam dan menolong adik kami Han Ki.”
“Tentu aku suka membantu kalian. Akan tetapi, ke mana kita akan mencari? Dan ke mana pula kalian hendak pergi sebelum bertemu dengan pasukan musuh ini?”
“Tadinya kami hendak pergi menghadap Kakek Kauw Bian Cinjin untuk minta pertolongannya.” jawab Siang Kui.
Wajah Kiang Liong yang tadinya menjadi muram karena berita duka yang hebat itu agak berseri, “Ahhh, jadi Locianpwe Kauw Bian Cinjin tidak gugur bersama pimpinan Beng-kauw?”
Siang Kui menggeleng kepala dan menghapus air matanya. “Kakek Kauw Bian Cinjin sudah tiga tahun lebih mengundurkan diri dari Beng-kauw dan pergi bertapa di puncak Tai-liang-san, maka terhindar dari mala-petaka. Hanya beliau yang dapat membantu kami, dan untung kami bertemu denganmu di sini, Liong-twako. Musuh amat kuat dan biar pun tentara Hsi-hsia sudah terpukul mundur dari Nan-cao, namun mereka masih berkeliaran di sekitar tapal batas barat. Buktinya di sini kami bertemu dengan anjing-anjing ini yang agaknya memang menghadang perjalanan kami. Menurut para penyelidik, kakek dan nenek sakti bersama para pendeta berjubah merah bersembunyi di pegunungan Kao-likung-san di lembah Sungai Nu-kiang.”
Tiba-tiba Kiang Liong menggerakkan kedua tangannya mendorong pundak kedua orang gadis itu sehingga mereka itu terlempar dua meter lebih, terhuyung-huyung.
“Eh, ada apa, Twako...?” Siang Hui menegur, juga Siang Kui terkejut sekali.
Akan tetapi Kiang Liong sudah meloncat sambil membalikkan tubuhnya. Kedua tangannya menangkis dan runtuhlah beberapa buah peluru hitam yang menyambar ke arah tubuhnya. Kini barulah dua orang gadis itu tahu bahwa tadi pun ada beberapa buah peluru hitam menyambar ke arah mereka dan kalau tidak ada Kiang Liong yang mendorong mereka, tentu mereka menjadi korban. Mereka memandang dengan mata terbelalak, merasa ngeri betapa ada orang dapat membokong mereka tanpa mereka ketahui. Hal ini saja sudah menjadi bukti bahwa orang yang melepas senjata rahasia itu tentulah orang yang amat lihai.
“Huah-ha-ha-heh-heh! Orang muda, kau tangkas juga!” Terdengar suara terkekeh-kekeh dan muncullah seorang kakek bertubuh kecil dari balik sebatang pohon besar yang tiada berdaun lagi.
Kakek ini amat kurus dan tua, hanya rangka terbungkus kulit keriput. Bajunya tak berlengan, kedua pergelangan lengannya terlindung selubung hitam, entah dari bahan apa. Kuku tangannya panjang-panjang seperti kuku setan, melengkung dan runcing. Kumisnya kecil menjuntai lesu. Kakinya telanjang pula. Pinggangnya memakai sabuk yang ada dompet-dompetnya kecil berjajar. Punggungnya menggendong bambu besar dan bambu kecil, dan sepasang mata orang aneh ini kelihatan menghitam menakutkan. Mulutnya bergerak-gerak tertawa terpingkal-pingkal dan terbahak-bahak, akan tetapi mukanya, terutama matanya, sama sekali tidak membayangkan tawa, bahkan amat serius dan sungguh-sungguh.
Kiang Liong bersikap tenang. Ia maklum bahwa orang didepannya ini adalah seorang berilmu tinggi dan agaknya termasuk golongan hitam. Maka ia menjura dan bertanya, “Agaknya saya berhadapan dengan seorang Cianpwe. Selamanya belum pernah saya, Kiang Liong, dan kedua orang adik saya ini bertemu dengan Cianpwe, mengapakah begitu bertemu Locianpwee lalu menyerang kami dan siapakah julukan Locianpwe?”
“Ha-ha-ha, heh-he-heh! Girang sekali hatiku mendengar orang-orang Beng-kauw terutama sekali si bedebah Liu Mo si mata keranjang yang banyak bininya itu mampus! Ha-ha-ha! Dan untungku bertemu dengan dua orang cucunya. Heh, orang muda, apakah kau orang Beng-kauw? Kalau bukan, lekas pergi jangan mencampuri urusan Siauw-bin Lo-mo! Serahkan dua orang bocah ini kepadaku agar puas hatiku dan lunas perhitunganku dengan Beng-kauw!”
Kiang Liong mengerutkan keningnya dan diam-diam menjadi marah sekali. Kiranya inilah yang berjuluk Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara Bu-tek Ngo-sian?
“Hemm, Locianpwe yang berjuluk Siauw-bin Lo-mo dan menjadi seorang di antara Bu-tek Ngo-sian? Pantas saja tidak segan bersikap keji, tidak jauh bedanya dengan Bu-tek Siu-lam yang pernah saya jumpai. Saya tidak mempunyai kehormatan untuk menjadi anggota Beng-kauw yang terkenal, akan tetapi para pimpinan Beng-kauw adalah orang-orang tua yang saya hormati, sedangkan yang muda-muda adalah saudara-saudara saya. Locianpwe baru dapat mengganggu kedua orang adik saya ini setelah melalui mayat saya!”
“Ha-ha-ha, heh-heh, orang muda yang bernyali besar! Kau sudah bosan hidup?” Sambil terkekeh-kekeh ketawa mengejek Siauw-bin Lo-mo menerjang maju.
Gerakan Siauw-bin Lo-mo amatlah cepatnya dan senjata-senjatanya hanyalah jari-jari kuku tangannya. Akan tetapi, kuku jari tangan ada sepuluh buah banyaknya dan setiap kuku runcing tajam mengandung racun sehingga sama dengan memegang sepuluh buah senjata yang amat berbahaya! Tubrukannya liar ganas, gerakannya cepat laksana burung menyambar. Ia menerjang sambil tertawa, mengira bahwa sekali tubruk ia akan mampu merobohkan lawannya yang masih muda.
Akan tetapi perkiraannya jauh meleset dan ia terheran-heran ketika ternyata menubruk tempat kosong dan pemuda yang tampan dan tenang itu tahu-tahu telah lenyap. Ia hanya mendengar angin berseliwer di samping kanannya, maka cepat Siauw-bin Lo-mo membalikkan tubuhnya. Benar saja, pemuda itu sudah berdiri di belakangnya dan kini kedua tangan pemuda itu sudah memegang dua buah senjata yang lucu dan aneh. Tangan kanannya memegang sebatang pensil bulu sedangkan tangan kirinya memegang pensil kayu!
Sebetulnya kalau menurutkan wataknya sebagai seorang pendekar yang enggan bersikap curang, melihat lawan bertangan kosong, Kiang Liong hendak melayani dengan tangan kosong pula. Akan tetapi serangan pertama tadi membuat ia terkejut karena kuku-kuku jari tangan lawan mengeluarkan sinar hitam dan ia mencium bau amis, maka tahulah ia bahwa lawannya ini seorang tokoh jahat yang mempunyai keahlian tentang racun, maka ia tidak segan-segan lagi untuk mencabut ke luar sepasang pensilnya. Juga gerakan kakek ini amat cepat, menandakan bahwa lawan ini benar-benar seorang lawan yang amat tangguh, tidak di sebelah bawah tingkat Bu-tek Siu-lam yang lihai itu!
Di lain pihak, Siauw-bin Lo-mo juga terkejut bukan main ketika melihat betapa gerakan pemuda itu sedemikian cepatnya dan kemudian melihat sepasang senjata di tangan si Pemuda. Senjata itu saja sudah merupakan bukti bahwa pemuda ini benar-benar bukan lawan sembarangan karena hanya orang yang tinggi tingkat kepandaiannya saja dapat mempergunakan senjata sekecil dan seringan itu. Makin kecil ringan serta lemah senjatanya, makin tinggilah kepandaian orang.
Siauw-bin Lo-mo adalah seorang tokoh yang belum pernah bertemu tanding, kecuali ketika ia terpaksa mengakui keunggulan Kauw Bian Cinjin beberapa tahun yang lalu. Karena kekalahannya dari tokoh Beng-kauw inilah maka ia mendendam sakit hati kepada Beng-kauw. Karena merasa dirinya memiliki kepandaian tinggi jarang ada tandingnya, maka tentu saja kini ia tidak gentar menghadapi lawan yang masih muda, sungguh pun ia maklum bahwa lawan ini tak boleh dipandang ringan.
“Ho-ho-ha-ha, sayang kalau seorang muda seperti engkau mampus di tanganku. Kau lihat kelihaianku! Ha-ha-ha!” Kini ia menerjang maju dengan gerakan teratur, tidak asal tubruk lagi seperti tadi.
Ternyata ilmu silat tangan kosongnya dahsyat, mengeluarkan angin pukulan yang bersuitan dan gerakan kedua tangannya cepat sekali. Kuku panjang itu terpentang dan menyambar-nyambar dari segala jurusan secara tidak terduga-duga. Agaknya kakek ini sudah tidak sabar lagi untuk cepat-cepat menjatuhkan lawan mudanya, maka ia sudah mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmunya yang dahsyat dengan keyakinan bahwa seorang muda seperti Kiang Liong tak mungkin dapat mengatasi serangannya ini.
Akan tetapi kenyataannya jauh berbeda dengan keyakinan hatinya. Pemuda itu dengan gerakan sigap dan amat indah dapat mengelak dan menghindarkan diri dari rangsekan serangannya, bahkan balas menyerang karena sepasang pensil itu menyambut serangan-serangannya dengan totokan-totokan pada jalan darah di pergelangan, telapak tangan, dan dekat siku.
Dengan cara ini, dari keadaan terserang Kiang Liong berbalik menyerang karena sebelum setiap pukulan dan cakaran lawan mendekati tubuhnya, ia telah mendahului dengan totokan yang amat kuat dan tepat sasarannya. Keyakinan Siauw-bin Lo-mo untuk mendesak pemuda itu menjadi berbalik kenyataannya sehingga dia sendiri yang terdesak dan kalau saja ia tidak lihai mainkan gelang baja pelindung pergelangan tangan, tentu ia siang-siang sudah menjadi korban totokan!
“Heh-heh, kau berani mati!” bentaknya sambil bergelak dan tubuhnya tiba-tiba merubah gerakan.
Kini kuku-kukunya yang runcing itu tidak langsung menyerang tubuh lawan, melainkan berusaha mencengkeram pensil lalu disusul cengkeraman ke arah lengan atau bagian tubuh terdekat apa bila Kiang Liong menarik senjatanya karena khawatir terkena cengkeraman yang kuat itu. Dengan siasat gerakan macam ini, keadaan kembali menjadi terbalik dan kini pemuda itulah yang tampaknya terdesak. Kuku-kuku yang panjang runcing berbisa, ditambah baja pelindung pergelangan tangan kakek itu benar-benar amat menyulitkan sasaran totokan kedua pensilnya. Kini bahkan kakek itu mulai berloncatan seperti monyet, akan tetapi secara tidak terduga-duga kedua kakinya kadang-kadang melakukan tendangan-tendangan berantai, bukan tendangan biasa, melainkan tendangan disertai cengkeraman jari kaki yang dapat membentuk cakar garuda!
Lima jari kuku tangan kiri yang runcing itu mencengkeram dengan gerakan cepat ke arah pensil bulu di tangan kanan Kian Liong. Pemuda ini mengelakkan pensil bulunya dan cepat menotok dengan pensil kayu di tangan kiri mengarah ke leher lawan. Akan tetapi terdengar suara keras ketika pensil kayu itu tertangkis oleh pelindung pergelangan kanan kakek itu yang melanjutkan gerakan tangan kanan dengan cengkeraman ke arah lengan kiri Kiang Liong.
Pemuda ini tidak membiarkan dirinya dicengkeram. Cepat ia menggeser kaki ke kanan sehingga tubuhnya miring dan cengkeraman itu luput. Pada detik itu secara tak tersangka-sangka kaki kiri lawannya bergerak menendang ke arah perut. Tendangan yang keras dan cepat sekali datangnya. Kiang Liong kaget dan menggerakkan pensil bulu ke arah kaki itu, menotok ke arah mata kaki, kemudian pensil kayunya secepat kilat menotok ke leher kanan lawan.
“Breettt...! Takkk...!”
Siauw-bin Lo-mo berseru kaget dan terhuyung. Kiang Liong juga berseru kaget dan cepat memutar kedua senjatanya di depan tubuh untuk membentuk gaya bertahan. Kiranya tadi secara tak terduga-duga, kakek itu hanya mengelak sedikit dan membiarkan pundaknya mewakili leher menerima totokan sambil mengerahkan sinkang dan tangan kirinya cepat-cepat mencengkeram ke arah pinggang kanan Kiang Liong. Pemuda ini kaget bukan main, cepat ia mendoyongkan tubuh ke belakang sehingga otomatis totokannya yang semula ditujukan ke leher lawan kemudian oleh lawannya sengaja diterima dengan pundak itu tidak mengenai secara tepat sekali. Namun karena tenaga yang tersalur melalui pensil kayu itu adalah tenaga sinkang murni dan kuat, maka akibatnya cukup membuat Siauw-bin Lo-mo terhuyung ke belakang dengan muka berubah.
Kiang Liong juga kaget. Tahulah ia bahwa lawannya adalah seorang yang amat lihai, maka tanpa ragu-ragu lagi Kiang Liong lalu merubah gerakan. Kini ia menerjang maju dan sepasang senjatanya itu dipegang seperti orang hendak menulis, kemudian mulailah ia menggerakkan sepasang pensil seperti menulis huruf-huruf di udara, mencorat-coret ke arah lawan. Gerakannya wajar, seperti hendak menuliskan pensil-pensilnya di atas tubuh lawan. Akan tetapi akibatnya hebat sekali.
Silau rasanya mata Siauw-bin Lo-mo menghadapi coretan-coretan itu karena ia menjadi bingung sekali. Berkali-kali ia menangkis dengan kedua tangannya, bahkan berusaha merampas sepasang pensil yang amat lihai itu, namun hasilnya sia-sia, malah hampir saja ia terkena totokan yang sama sekali tak disangkanya. Gerakan mencorat-coret seperti orang menulis itu ternyata merupakan serangan-serangan maut dan setiap gerakan mengandung tenaga yang amat kuat. Lebih hebat lagi tenaga yang keluar dari gerakan sepasang pensil itu berbeda, bahkan berlawanan sehingga amat membingungkan kakek yang tadinya merasa bahwa di dunia ini jarang ada orang mampu menandinginya. Kini menghadapi seorang pemuda saja ia sudah kewalahan, apa lagi hendak mengalahkannya atau mengenal ilmu silatnya yang luar biasa itu.
Hal ini tidaklah aneh kalau diketahui bahwa ilmu silat yang dimainkan Kiang Liong itu adalah ilmu silat simpanan yang diturunkan oleh Suling Emas kepadanya! Itulah ilmu silat Hong-in Bun-hoat yang dahulu diciptakan oleh manusia dewa Bu kek Siansu dan kemudian diturunkan kepada Suling Emas. Ilmu silat ini adalah gerakan silat tinggi yang disesuaikan dengan ilmu kesusastraan. Hanya orang yang sudah menguasai sastra secara mendalam, yang dapat menulis huruf-huruf indah dan kuat saja akan mampu menguasai Hong-in Bun-hoat.
Tentu saja ia harus memiliki dasar ilmu silat tinggi yang sudah matang pula. Biar pun Kiang Liong adalah seorang pelajar yang pandai ilmu sastra dan juga sudah digembleng ilmu silat tinggi oleh gurunya, namun ia hanya mampu menguasai delapan bagian saja dari ilmu yang sakti ini. Untuk dapat menguasai ilmu ini sampai sepuluh bagian atau seluruhnya membutuhkan pengalaman bertahun-tahun seperti Suling Emas. Betapa pun, yang delapan bagian ini sudah cukup membuat seorang tokoh besar seperti Siauw-bin Lo-mo menjadi sibuk dan terdesak hebat.
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui menonton pertempuran ini dengan pandang mata kagum. Menyaksikan kehebatan sepak terjang kakek aneh itu, mereka berdua tahu diri dan tidak berani maju membantu Kiang Liong. Mereka maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh di bawah tingkat kakek itu, maka jika mereka membantu, hal ini tidak akan menguntungkan Kiang Liong. Betapa kagum hati mereka melihat Kiang Liong mendesak kakek itu dengan sepasang pensilnya.
Siauw-bin Lo-mo masih berusaha mempertahankan diri, namun makin lama ia makin terkurung dan tak dapat keluar dari lingkaran ujung pensil yang bergerak-gerak secara aneh itu. Dalam pandang matanya, kini ada banyak sekali ujung pensil yang menyerang jalan-jalan darah terpenting di tubuhnya, membuat ia sibuk dan akhirnya ia bergulingan di atas tanah untuk menghindarkan diri.
Siauw-bin Lo-mo tak dapat tertawa lagi dan agaknya baru kali ini selama hidupnya ia bertanding melawan seorang pemuda tanpa ketawa mengejek. Rasa penasaran dan malu membuat ia menjadi marah. Tiba-tiba ia meloncat dari keadaan bergulingan itu, tangan kanan kiri sudah merenggut keluar dua buah benda hitam sebesar telur angsa, kemudian ia membanting dua ‘telur’ itu ke atas tanah di sebelah depannya. Terdengar suara meledak dua kali dan asap putih tebal menyelimuti sekelilingnya.
Kiang Liong terkejut dan dapat menduga bahwa asap putih tebal bergulung-gulung ini tentu mengandung racun, maka ia cepat mengumpulkan napas dalam dada lalu menahan napas dan menerjang maju dengan totokan-totokan maut dalam bentuk tulisan. Dengan ketabahan luar biasa Kiang Liong menyerbu lawan yang bersembunyi dalam asap putih. Makin lama asap mengepul makin banyak dan tebal sehingga kedua orang itu lenyap ditelan gumpalan-gumpalan asap. Akan tetapi kakek aneh ini sekarang sudah mengambil bambu kecil yang tadinya ia gendong di punggung dan begitu ia membuka sumbat bambu itu, dari dalam bambu keluar asap hitam yang amat busuk baunya.
Kiang Liong terkejut bukan main. Inilah semacam asap beracun yang luar biasa jahatnya. Jangankan tercium dan memasuki paru-paru, baru mengenai kulit saja sudah dapat menimbulkan keracunan hebat. Maka ia cepat menggerakkan lengan-lengan bajunya yang dikebutkan dengan pengerahan tenaga sinkang sehingga asap itu buyar tidak jadi menyerangnya. Keadaan di sekeliling gelap pekat dan ia tahu bahwa dirinya dikurung asap-asap beracun.
Kiang Liong cepat mengerahkan ginkangnya karena pada saat itu ia sudah tidak dapat melihat lagi ke mana perginya lawan. Ia meloncat cepat ke luar dari kurungan asap. Setelah tiba di luar kurungan asap, ia dapat melihat betapa lawannya sudah lenyap dari tempat itu dan ketika ia menengok ke belakang, ternyata dua orang gadis itu pun sudah lenyap tak tampak bayangannya lagi!
“Kui-moi...! Hui-moi...!” Ia memanggil dengan suara nyaring. Namun tidak ada jawaban sehingga hatinya menjadi khawatir sekali.
Mungkinkan si Kakek sakti itu ketika menghilang di dalam gumpalan asap berkesempatan pula untuk menawan dua orang gadis itu? Ah, tidak mungkin rasanya. Betapa pun lihainya Siauw-bin Lo-mo, tidak mungkin dapat melarikan diri sambil menculik dua orang gadis itu sedemikian cepat dan di luar tahunya. Apa lagi kalau diingat bahwa dua orang kakak beradik itu bukanlah gadis-gadis lemah dan tentu akan melawan kalau akan diculik sehingga tidak mudah tertawan. Kiang Liong menyelidiki keadaan sekeliling tempat itu, bahkan memeriksa tanah dan rumput di mana Siang Kui dan Siang Hui tadi berdiri. Namun tidak terdapat tanda-tanda atau jejak-jejak yang mencurigakan. Ia mendongkol sekali, merasa ditipu dan dipermainkan lawan.
“Siauw-bin Lo-mo kakek iblis!” teriaknya marah. “Kalau engkau memang laki-laki, hayo maju dan lanjutkan pertandingan. Tak ada gunanya bersikap pengecut dan melarikan gadis-gadis itu!” Betapa pun kerasnya ia berteriak, tiada jawaban kecuali tiupan angin yang membawa hawa panas terik matahari.
Dengan pandang mata seperti harimau marah, Kiang Liong lalu meloncat dan berlari-lari cepat. Tujuannya sudah tetap. Pergi ke Kao-likung-san di lembah sungai Nu-kiang. Kalau tidak salah dugaannya, tentu kakek iblis tadi merupakan sekutu para pendeta Tibet yang memimpin pasukan Hsi-hsia menyerbu Nan-cao. Tentu ada permusuhan di antara Beng-kauw. Kalau ia harus pergi dulu mencari Kauw Bian Cinjin seperti yang direncanakan Siang Kui dan Siang Hui, ia khawatir kalau-kalau akan terlambat. Ia harus pergi menolong dua orang gadis itu dan adiknya.
Wajah yang tampan itu menjadi muram. Ia berduka kalau teringat akan nasib malang yang menimpa keluarga Kam Bu Sin, adik gurunya dan nasib para pimpinan Beng-kauw. Mereka tewas dan setelah pimpinan Beng-kauw terbasmi, siapa lagi yang dapat menggantikan mereka? Hanya tinggal Kauw Bian Cinjin seorang diri! Ah, betapa akan marah dan berduka hati gurunya kalau mendengar berita tentang mala-petaka ini. Gurunya mempunyai hubungan yang amat erat dengan Beng-kauw. Di samping semua itu, kekuatan Nan-cao terletak kepada Beng-kauw. Kalau Beng-kauw runtuh, apa jadinya Kerajaan Nan-cao kelak?
Teringat akan ini, Kiang Liong mempercepat larinya. Ia maklum bahwa tugasnya menolong Siang Kui, Siang Hui dan Han Ki, adik kedua orang gadis itu, bukanlah tugas ringan, bahkan merupakan tugas berbahaya sekali. Yang akan ia hadapi bukanlah lawan-lawan biasa, melainkan kekuatan yang amat besar, kekuatan yang telah membasmi Beng-kauw. Kalau tokoh-tokoh besar, terutama sekali ketua Beng-kauw yang amat sakti sampai tewas menghadapi kekuatan ini, terang bahwa dia seorang diri tidak akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi, betapa pun juga Kiang Liong tidak menjadi gentar. Ia harus cepat-cepat mengejar dan berusaha menolong anak-anak pamannya, Kam Bu Sin, kalau perlu dengan taruhan nyawa!
Girang dan juga bingung Kiang Liong ketika akhirnya ia dapat mengikuti jejak Siauw-bin Lo-mo. Dari para penduduk pegunungan ia mendengar bahwa kakek kurus kecil yang selalu tertawa itu melakukan perjalanan menuju ke pegunungan Kao-likung-san! Tepat seperti yang diduganya. Akan tetapi ia merasa bingung mendengar bahwa kakek itu melakukan perjalanan seorang diri saja. Kalau begitu, ke manakah perginya Siang Kui dan Siang Hui? Siapakah yang menculik mereka? Kalau yang menculik itu teman-teman Siauw-bin Lo-mo, kenapa kakek ini melakukan perjalanan seorang diri saja? Karena penasaran ia mengejar terus sampai ke kaki pegunungan Kao-likung-san.
Sampai di kaki gunung ini ia menjadi bingung karena kehilangan jejak kakek yang dikejarnya. Daerah itu amat sunyi tidak ada penduduk, dan ia tidak dapat menduga ke arah mana kakek itu pergi, juga tidak tahu di mana adanya markas para pendeta Tibet yang telah membasmi Beng-kauw. Menurut penuturan kedua orang gadis itu, katanya para pendeta Tibet bermarkas di pegunungan Kao-likung-san di lembah sungai Nu-kiang.
Mulailah ia pergi mencari sungai yang dimaksudkan. Dua hari lamanya ia berputaran, akhirnya ia dapat melihat sungai itu. Dari sebuah lereng yang tinggi dan terjal, ia melihat sungai itu jauh di bawah, tampak kecil berliku-liku dan airnya berwarna biru dengan buih putih menabrak batu-batu.
Tiba-tiba terdengar suitan nyaring dan Kiang Liong cepat melempar diri ke bawah. Beberapa batang anak panah menyambar dan lewat di atas tubuhnya. Ketika ia meloncat bangun, tempat itu sudah terkepung oleh tujuh orang laki-laki tinggi besar dipimpin oleh seorang hwesio berkepala gundul dan berjubah merah. Keadaan tujuh orang laki-laki itu sama dengan dua puluh orang yang mengeroyok Siang Kui dan Siang Hui, maka Kiang Liong cepat menduga bahwa mereka ini tentulah orang-orang Hsi-hsia dan hwesio itu tentulah seorang di antara pendeta Tibet yang memimpin barisan itu. Maka ia bersikap waspada dan juga girang karena tanpa disangka-sangka ia mendapatkan jejak markas yang dicarinya. Dengan sikap tenang ia menghadapi hwesio itu dan berkata.
“Bukankah kalian ini orang-orang Hsi-hsia dan Lo-suhu ini seorang pendeta Tibet?”
Pertanyaan Kiang Liong menimbulkan kekagetan kepada mereka. Hwesio itu pun membelalakkan matanya yang bundar dan memandang penuh selidik, kemudian terdengar suaranya yang nyaring dengan logat kaku.
“Orang muda, engkau siapakah dan bagaimana engkau dapat mengenal kami? Apakah engkau ada keperluan menghadap pimpinan kami?”
“Aku she Kiang bernama Liong dan aku dapat mengenal Lo-suhu sekalian karena sudah banyak aku mendengar tentang pasukan Hsi-hsia. Memang aku ingin bertemu dengan pimpinan kalian, terutama sekali untuk minta kembali seorang anak kecil bernama Kam Han Ki dan dua orang nona yang beberapa hari yang lalu kalian culik.”
“Keparat! Orang Beng-kauw mencari mampus. Serbu!” teriak pendeta itu yang mendadak berubah sikapnya menjadi galak sekali. Tujuh orang laki-laki tinggi besar itu serentak mentaati komando ini dan bagaikan harimau-harimau kelaparan mereka menubruk Kiang Liong dengan serangan-serangan ganas.
Kini mengertilah Kiang Liong mengapa Siang Kui dan Siang Hui mengamuk dan membunuhi semua orang Hsi-hsia yang mengeroyok mereka. Kiranya selain dua orang gadis itu mendendam karena kematian keluarga mereka dan terculiknya adik mereka, juga orang-orang Hsi-hsia ini amat kejam dan ganas, seperti iblis-iblis yang haus darah. Bahkan gerakan tujuh orang ini berbeda dengan para pengeroyok Siang Kui dan Siang Hui. Gerakan tujuh orang Hsi-hsia ini biar pun sama ganas dan kasar, namun lebih dahsyat dan jelas bahwa mereka ini memiliki kepandaian ilmu silat yang lumayan dan keberanian yang nekat.
Kiang Liong tidak menyia-nyiakan waktu. Tubuhnya bergerak ke kiri dan begitu kaki tangannya menyambar, empat orang pengeroyok sudah roboh, tak mampu bangkit kembali! Tiga orang Hsi-hsia yang lain kaget setengah mati, mata mereka sampai terbelalak kaget, akan tetapi hal ini sama sekali tidak disusul oleh rasa takut karena buktinya mereka berteriak parau dan menyerbu makin dahsyat lagi dengan golok mereka. Pendeta berkepala gundul itu juga terkejut dan kini menghunus pedangnya lalu ikut menyerbu, gerakannya amat kuat dan pedangnya mendatangkan angin.
Kiang Liong kembali meloncat ke kanan, sengaja agak jauh untuk memancing para pengeroyoknya. Tiga orang Hsi-hsia menyerbu, agaknya tidak peduli akan sesuatu. Mereka ini benar-benar merupakan prajurit-prajurit yang tak kenal takut sehingga orang-orang seperti ini kalau dipakai berperang tentu amat kuat. Kiang Liong sudah siap. Begitu tiga orang ini maju diikuti oleh hwesio jubah merah yang lebih berhati-hati sikapnya, ia menerjang maju, jari tangannya menyambar dan hampir berbareng tiga orang Hsi-hsia ini pun roboh! Hwesio itu cepat memutar pedang ketika melihat kaki Kiang Liong menyambar ke arahnya. Akan tetapi ternyata pemuda lihai ini hanya menggertak dengan tendangannya. Begitu pedang membabat ke arah kakinya, ia menahan kaki itu dan tangan kirinya menotok ke arah pundak dengan totokan maut.
Hwesio itu terkejut, berseru keras dan berusaha menyelamatkan diri dengan melempar tubuh ke kanan, begitu keras gerakannya sehingga ia tidak melihat bahwa di sebelah kanannya adalah tebing yang curam. Tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terjerumus ke bawah. Hwesio itu mengeluarkan suara bersuit nyaring sekali dan diam-diam Kiang Liong menjadi kagum. Sudah jelas bahwa nyawa hwesio itu berada dalam cengkeraman maut, akan tetapi dalam usaha terakhir, hwesio itu bukan berteriak minta tolong melainkan mengeluarkan suara suitan nyaring memberi peringatan teman-temannya! Sampai dekat ajal pun hwesio ini masih melakukan tugasnya!
Benar saja dugaannya, karena dari atas lereng kini muncul puluhan orang yang berlari-lari ke bawah dipimpin oleh beberapa orang hwesio berjubah merah. Dari jauh mereka itu sudah menghujankan anak panah sehingga terpaksa ia mencabut pensil dan memukul setiap anak panah yang mengancam dirinya. Ia sudah bersiap untuk melayani mereka semua, sungguh pun ia merasa sangsi apakah ia sendirian saja akan sanggup menghadapi pengeroyokan demikian banyak orang.
Pada saat itu dari sebelah kanan menyambar sinar merah. Kiang Liong kaget, tak menyangka bahwa dari tempat dekat ada orang membokongnya. Untuk membikin gentar hati lawan, Kiang Liong mengeluarkan kepandaiannya. Tangan kirinya berputar dan dengan dua buah jari tangannya, ia menjepit senjata rahasia itu yang ternyata adalah sebatang piauw beronce merah dan ketika ia memandang terdapat sepotong kertas dibelitkan pada piauw ini! Ia makin heran, cepat ia membuka kertas itu dan membaca tulisan tangan halus indah.
‘Lekas mundur, dari bawah pohon Siong turun ke bawah sampai di sungai. Cepat sebelum terlambat!’
Komentar
Posting Komentar