SULING EMAS : JILID-22

"Lihiap, mari kita berangkat," ajak si Pangeran.
Ketika Lu Sian hendak membayar harga makanan, cepat-cepat si Pemilik Rumah Makan mencegah dengan ucapan manis. "Harap Lihiap tidak usah repot-repot. Semua yang berada di sini hamba sediakan untuk keperluan sang Pangeran dan sahabat-sahabat beliau!"
Pangeran itu tersenyum dan mengajak Lu Sian ke luar. Di sana telah tersedia dua ekor kuda besar beserta perlengkapannya. "Silakan, Lihiap," ajak pemuda itu.
Lu Sian tidak sungkan-sungkan lagi. Segera ia melompat ke atas pelana kuda, diikuti oleh pangeran itu. Mereka segera menjalankan kuda, diikuti pandang mata kagum dari belakang.
Walau pun jarang keluar, Lu Sian pernah tinggal di kota ini bersama suaminya, karena itu ia mengenal jalan dan tahu pula bahwa pemuda itu mengajaknya memasuki halaman sebuah gedung besar yang dahulu menjadi istana Gubernur Li! Hatinya berdebar tidak enak, khawatir kalau-kalau ada orang mengenalnya. Akan tetapi ia menjadi lega ketika teringat bahwa sudah lewat belasan tahun sejak ia berada di sini, pula dahulu ia tidak pernah keluar rumah dan tak pernah bertemu dengan para pembesar di tempat ini. Selain itu, ia percaya bahwa ilmu awet muda membuat ia takkan dikenal orang. Biar pun usianya sudah empat puluhan, namun ia tetap kelihatan seperti seorang gadis dua puluh tahun lebih!
Bekas gedung Gubernur Li itu memang kini menjadi istana raja. Komplek bangunannya banyak sekali dan pemuda ini bertempat tinggal di sebuah gedung sebelah kiri belakang. Begitu kuda mereka diurus oleh pelayan, mereka lalu memasuki gedung. Banyak sekali pelayan laki-laki dan wanita menyambut mereka penuh penghormatan.
"Sampaikan kepada Thai-thai (Nyonya Besar) bahwa aku hendak menghadap bersama seorang pendekar wanita yang telah menolongku," kata Pangeran itu dengan sikap gembira kepada seorang pelayan wanita. Mendengar ini, para pelayan memandang Lu Sian penuh perhatian dan kagum.
Pangeran itu mempersilakan Lu Sian duduk di ruang tamu yang amat indah. Dengan kagum Lu Sian memandangi lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan yang bergantungan di sepanjang dinding. Alangkah bedanya dengan suaminya dahulu, pikirnya. Suaminya itu biar pun seorang jenderal ternama, hidupnya sederhana dan gedungnya tidak semewah dan seindah ini.
"Lihiap, bolehkah saya mengetahui nama Lihiap yang terhormat?"
Lu Sian terkejut. Kalau ia mengakui namanya, ada bahayanya orang mengenalnya sebagai bekas isteri Jenderal Kam Si Ek! Ia tersenyum manis dan menjawab, "Saya seorang wanita perantau yang tidak pernah mengingat nama. Seingat saya, nama saya Sian, akan tetapi orang-orang menjuluki saya...."
"Tok-siauw-kwi? Sungguh terlalu ketika aku mendengar tosu keparat itu memakimu Tok-siauw-kwi! Kau patutnya seorang Sian-li (Dewi) dan mungkin Lihiap benar-benar seorang Dewi karena namanya Sian (Dewa). Biarlah bagi saya, Lihiap adalah seorang Sian-li dan selanjutnya kusebut begitu...."
"Ah, Kongcu benar-benar membuat saya malu dengan pujian-pujian muluk. Dan siapakah Kongcu? Apakah Thai-cu (Pangeran Mahkota)?"
"Ah, bukan... bukan! Saya hanya seorang pangeran yang lahir dari seorang selir, ibuku selir ke tiga dari Sri Baginda. Namaku Lie Kong Hian."
Lu Sian mengangguk-angguk dan pada saat itu muncullah seorang pelayan wanita yang memberitahukan bahwa nyonya besar telah siap menerima puteranya dan seorang sahabatnya. "Marilah kita menghadap ibu. Beliau tentu girang sekali mendengar bahwa kau telah menolong nyawaku," kata pangeran yang bernama Lie Kong Hian itu.
Lu Sian hanya tersenyum dan mengikuti pemuda itu memasuki ruangan belakang. Gedung ini amat besar dan indah, di sebelah dalamnya terdapat taman yang kecil namun indah sekali. Di sebelah belakang juga terdapat taman bunga yang dihias pintu bulan yang menembus ke taman gedung sebelahnya. Di ruangan belakang, ibu pemuda itu sudah menanti sambil duduk di atas kursi, seorang wanita yang usianya empat puluh tahun lebih namun masih memperlihatkan sisa-sisa kecantikannya. Di belakangnya menjaga dua orang pelayan wanita yang memijit-mijit punggungnya akan tetapi segera disuruh berhenti ketika nyonya itu melihat masuknya Kong Hian dan Lu Sian.
"Ibu....!" pemuda itu tanpa memberi hormat lagi merangkul pundak ibunya dengan sikap manja sekali. "Inilah Nona Sian-li yang telah menyelamatkan nyawa puteramu." Serta-merta Pangeran itu menceritakan betapa di dalam rumah makan ia diserang mata-mata musuh akan tetapi diselamatkan oleh Sian-li (Dewi) yang perkasa ini.
"Nah, itulah jadinya kalau anak tidak mentaati nasehat orang tua," sang ibu mengomel. "Kau senang sekali keluyuran di luar padahal kau tahu bahwa suasananya sedang tidak aman. Kekuasaan-kekuasaan sedang timbul di mana-mana untuk saling berlumba merebutkan kedudukan. Tentu saja seorang pangeran seperti engkau ini menjadi sasaran gemuk. Kong Hian, tanpa keluyuran di luar, kau di rumah kurang apa lagikah? Aahhh, dasar anak sukar diurus....!" Nyonya itu menarik napas panjang, kemudian menoleh kepada Lu Sian yang berdiri menundukkan muka.
"Nona, banyak terima kasih atas pertolonganmu kepada puteraku. Alangkah akan tenang rasa hatiku kalau dia mempunyai seorang pelindung seperti engkau yang selalu mendampinginya! Agaknya Nona ini seperti Coa Kim Bwee, sayang dia itu menjadi ibu ke tujuh Kong Hian, kalau tidak...."
"Ibu, urusan dalam istana kau sebut-sebut di depan Lihiap, mana dia tahu? Sudahlah, harap ibu beristirahat, aku mau mengajak tamu kita melihat-lihat taman."
Ibunya tersenyum dan mengedipkan mata, kemudian menggerakkan tangan memberi ijin mereka pergi meninggalkannya.
Sambil berjalan di samping Kong Hian memasuki taman belakang yang lebih besar dari pada taman di dalam tadi, diam-diam Lu Sian merasa heran atas sikap selir raja yang ke tiga itu. Begitu bebas, bahkan ada sifat-sifat genit dan agaknya senang melihat puteranya bergaul dengan wanita. Akan tetapi hanya sebentar saja ia memikirkan hal ini karena segera ia tertarik oleh keindahan taman, kehalusan tutur kata dan ketampanan wajah Kong Hian.
Pemuda pangeran ini pintar sekali mengarang sajak dan mengucapkannya dengan kata-kata berirama sehingga Lu Sian makin tertarik dan teringat kepada Kwee Seng. Tanpa mereka sadari, percakapan menjadi lebih bebas dan kini mereka duduk berhadapan di antara bunga-bunga, di dekat pintu bulan sambil menikmati keindahan tubuh ikan-ikan emas yang berenang di dalam empang teratai.
"Sian-li...."
Lu Sian memandang dengan alis terangkat. Suara pemuda ini menggetar dan baru sekarang menyebutnya Sian-li begitu saja sedangkan tadinya menyebut Lihiap atau kadang-kadang juga nona. Geli hatinya mendengar sebutan Dewi ini, akan tetapi juga senang. Lebih baik Sian-li (Dewi) dari pada disebut Tok-siauw-kwi (Setan Cilik Beracun)!
"Hemmm...?" gumamnya sambil mengerling tajam.
Dengan gagap pangeran muda itu berkata. "Aku... aku akan merasa bahagia sekali kalau ucapan ibuku tadi menjadi kenyataan."
"Ucapan yang bagaimana?"
"Kalau kau menjadi pelindung yang selalu mendampingiku!" Kong Hian menatap tajam dan melihat Lu Sian tersenyum, sama sekali tidak marah, ia lalu memegang tangan wanita itu. Jari-jari tangan mereka yang mengeluarkan getaran dan saling cengkeram menjadi bukti bahwa hati masing-masing telah menjawab.
Akan tetapi dengan halus dan perlahan Lu Sian menarik tangannya, tersenyum lebar dan berkata, "Apa salahnya? Akan tetapi sebagai calon pelindung, aku harus tahu lebih dulu mengapa kau perlu dilindungi dan siapakah para penyerangmu tadi, lalu apa syaratnya jika aku menjadi pelindungmu?"
Girang sekali wajah pangeran muda itu karena ia mendapat tanda bahwa wanita ini tidak akan menolaknya! Cepat ia bercerita, "Empat orang itu adalah orang-orang yang bergabung dengan pemberontak. Mereka itu bekas anak buah Jenderal Kam Si Ek yang sudah meletakkan jabatan."
Tentu saja disebutnya nama suaminya ini membuat Lu Sian terkejut. Akan tetapi ia dapat menguasai perasaannya dan bertanya, "Mengapa meletakkan jabatan dan mengapa pula mereka memberontak?"
"Setelah Kerajaan Hou-han didirikan, Jenderal Kam Si Ek menentang karena hal itu ia anggap pengkhianatan terhadap kesetiaan kepada Dinasti Tang yang sudah roboh. Dia masih baik, hanya meletakkan jabatannya dan hidup mengundurkan diri ke dusun. Akan tetapi banyak di antara anak buahnya bersekutu dengan tokoh Tang, yaitu bekas Raja Muda Couw Pa Ong. Mereka memberontak dan selalu berusaha meruntuhkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah berdiri dengan jalan membunuhi para bangsawan dan keluarga raja."
Diam-diam Lu Sian terkejut. Nama Sin-jiu Couw Pa Ong tentu saja sudah dikenalnya baik-baik, sungguh pun kini ia tidak gentar mendengar nama itu karena ilmu kepandaiannya sudah meningkat hebat, sehingga tidak perlu lagi takut menghadapi orang-orang pandai seperti Couw Pa Ong atau Kong Lo Sengjin yang lumpuh itu.
Melihat Lu Sian tidak terkejut disebutnya tokoh sakti ini, Kong Hian bertanya. "Apakah Sian-li belum mendengar nama Couw Pa Ong?"
Lu Sian mengangguk. "Kakek tua bangka lumpuh itu tentu saja pernah aku mendengar namanya, bahkan pernah bertemu dengannya."
Kagetlah hati Pangeran. "Dan kau tidak gentar menghadapinya?"
"Ah, kakek seperti itu, hanya patut menakut-nakuti anak kecil."
Kong Hian memandang kagum sungguh pun hatinya masih meragu apakah wanita cantik ini benar-benar akan sanggup menghadapi seorang sakti menakutkan seperti Couw Pa Ong. "Kalau begitu benar-benar aku mendapat perlindungan dewi dari kahyangan!" ia berseru girang.
"Kongcu, tadi ibumu menyebut-nyebut nama Coa Kim Bwee yang menjadi ibu ke tujuh darimu, siapakah dia dan mengapa ibumu membandingkan dia dengan aku?"
"Ah, dia itu selir ke tujuh dari Sri Baginda, maka terhitung ibu ke tujuh dariku. Dia masih amat muda, akan tetapi di antara semua penghuni istana, dialah yang paling lihai ilmu silatnya. Dia itu dahulu puteri seorang jenderal yang berguru kepada orang-orang pandai. Memang dia hebat... eh, betapa pun juga dibandingkan denganmu, dia bukan apa-apa!"
Lu Sian tersenyum lagi dan memainkan biji matanya. "Kau belum tahu sampai di mana kepandaianku, bagaimana bisa menyatakan begitu? Agaknya Coa Kim Bwee itu amat lihai dan kau mengenal baik ibu tirimu itu!"
Wajah Pangeran ini mendadak menjadi merah sekali dan mata tajam Lu Sian dapat menduga bahwa di antara pemuda tampan dan selir ayahnya tentulah ada hubungan mesra. Sudah banyak ia mendengar tentang selir-selir raja yang masih muda mengadakan hubungan dengan putera-putera raja yang muda dan tampan. Akan tetapi ia tidak peduli akan hal ini karena sepanjang pengalamannya, tak pernah ia mendapatkan seorang pun laki-laki yang benar-benar hanya mencinta seorang wanita dan benar-benar ‘setia’ seperti yang seringkali terdengung dari mulutnya.
"Lie-kongcu, sekarang apakah syarat-syaratnya kalau aku menjadi pengawal pribadimu?"
"Syaratnya? Eh... syaratnya tentu saja kau tidak boleh berpisah dari sampingku, siang... malam... jadi... eh, kau selalu mendampingiku dan kalau kau suka menerimanya, aku... aku akan berterima kasih sekali. Biar aku berlutut di depanmu....!" Pangeran muda yang sudah tergila-gila oleh kecantikan Lu Sian itu benar-benar hendak berlutut!
Dengan halus Lu Sian menyentuh pundaknya, melarangnya berlutut. "Nanti dulu, Kongcu. Kau mempunyai syarat, aku pun mempunyai permintaan sebagai syarat. Pertama, aku harus mendapat kebebasan bergerak di dalam istana ini, kecuali tempat tinggal Raja tentu saja."
"Baik, baik, hal itu dapat dilaksanakan."
"Ke dua, di luar kehendakku, orang lain tidak boleh bertanya-tanya tentang diriku, dan ke tiga, segala permintaanku harus kau turuti. Juga setiap saat aku meninggalkan tempat ini, tak boleh ada yang menghalangiku."
"Baik, baik, asal Sian-li suka menjadi pelindungku, pengawal pribadiku yang tak pernah meninggalkanku siang malam..."
"Dan tentang berlutut itu, nanti malam saja boleh kau berlutut sepuas hatimu!"
Mendengar ini, si Pangeran Muda menjadi girang dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu bangkit dan merangkul leher Lu Sian yang mandah saja terbuai dalam belaian si Pangeran Muda yang muda dan tampan. Bahkan dengan halus ia berbisik. "Senja telah lewat, di sini sudah mulai gelap dan dingin, lebih baik kita masuk saja."
Pangeran muda itu bertekuk lutut dan benar-benar jatuh menghadapi rayuan seorang wanita yang berpengalaman seperti Lu Sian. Sampai-sampai di dalam kamar Pangeran yang mewah dan bersih itu, ketika mereka makan minum menghadapi meja, si Pangeran menuruti segala perintah Lu Sian, biar pun ia disuruh minum arak dari sepatu Lu Sian yang dijadikan cawan! Disuruh berlutut, disuruh mengambilkan perhiasan apa saja yang dikehendaki Lu Sian. Memang tidak ada kegelian yang lebih menggelikan dapat menghinggapi seorang pria dari pada kalau ia sudah tergila-gila kepada seorang wanita!
Dua hari dua malam Lu Sian dan Pangeran Lie Kong Hian tak pernah meninggalkan kamar, tenggelam ke dalam permainan nafsu. Pada pagi hari ke tiga, ketika Lu Sian terbangun dari tidurnya, pangeran itu sudah tidak berada di dalam kamar. Ia bangkit dan dengan malas-malasan Lu Sian duduk menghadapi cermin yang besar, mengambil sisir dan menyisir rambutnya yang dilepas sanggulnya dan terurai panjang sampai ke pinggul. Rambutnya hitam halus, berombak dan berbau harum. Sambil tersenyum-senyum puas dan girang karena kini ia merasai kenikmatan hidup seperti seorang puteri istana, tiba-tiba ia mendengar suara ribut-ribut di luar. Cepat ia bangkit dan mengintai dari balik pintu kamar.
Kagetlah hatinya ketika ia melihat Pangeran Lie Kong Hie berdiri dengan muka pucat dan kedua lengan terpentang. Di depannya berdiri seorang wanita muda yang cantik bersikap galak, membawa pedang di tangan dan di belakangnya terdapat seorang gadis lain berpakaian pelayan, juga membawa pedang telanjang! Lu Sian cepat meraba kantung jarumnya. Sambil mengintai ia bersiap dengan jarum-jarum merahnya. Ia tidak segera turun tangan karena hendak melihat dan mendengar dulu apa yang terjadi. Kalau gadis cantik itu hendak membunuh Kong Hian, tentu ia akan mendahuluinya dengan jarum-jarum yang tak pernah meleset!
"Kau bersekongkol dengan pemberontak!" si Gadis membentak dengan suara yang nyaring, sedangkan matanya memancarkan sinar berapi. "Hayo, serahkan dia kepadaku, ataukah kau benar-benar hendak membelanya karena ia kabarnya cantik jelita? Mata keranjang! Kau rela bersekongkol dengan pemberontak hanya karena dia cantik?"
"Tidak... tidak... Kim Bwee... eh, ibu... dia bukan pemberontak. Dia... dia pengawal pribadiku, dan malah menolongku dari pada serangan kaum pemberontak!"
"Tapi dia Tok-siauw-kwi...!"
"Orang-orang jahat menamakan dia begitu akan tetapi dia seorang Dewi! Dia bukan pemberontak. Kim... eh, ibu... harap suka bersabar dan jangan menuruti hati cemburu..."
"Siapa cemburu?? Biar engkau kumpulkan... eh, seribu orang perempuan lacur, aku tidak peduli! Akan tetapi sekali engkau bersekongkol dengan pemberontak, pedangku sendiri yang akan menembus dadamu...!" Wanita itu mengancam dan menodongkan pedangnya ke depan dada Lie Kong Hian. Sedangkan pelayan yang juga berpedang itu sudah bergerak mengurung.
"Chit-moi (Adik ke Tujuh)... tahan pedangmu...!" tiba-tiba terdengar jerit tertahan dan selir raja ke tiga, ibu Lie Kong Hian sudah datang berlari-lari dan memeluk puteranya, kemudian menghadang di depan puteranya memandang kepada wanita berpedang itu. "Chit-moi, jangan engkau main-main dengan senjata tajam! Mengapa kau bersikap begini?"
"Sam-cici (Kakak ke Tiga), puteramu yang bagus ini bersekongkol dan menyembunyikan seorang perempuan pemberontak dalam kamarnya. Bagaimana aku dapat mendiamkannya saja? Bukankah hadirnya seorang pemberontak, betapa cantiknya pun, berarti membahayakan kita semua, terutama Sri Baginda?"
"Tenanglah, Chit-moi. Memang betul ada datang seorang wanita yang telah menolong nyawa Hian-ji (Anak Hian) ketika ia diserang pemberontak. Tentu saja kami percaya kepada penolong itu dan hatiku malah lega ketika mendengar bahwa ia suka menjadi pengawal pribadi anakku. Kalau ia pemberontak, mengapa ia menolong anakku? Dan andai kata ia pemberontak sekali pun, hal itu bukanlah salahnya anakku, melainkan dia yang menyelundup dengan tindakan palsu. Mengapa kau tidak menyelidikinya lebih dulu sebelum bertindak terhadap puteraku?"
"Memang aku akan menyelidikinya! Dia Tok-siauw-kwi, berarti dia pemberontak. Dia di kamarmu bukan?" pertanyaan ini ditujukan kepada Kong Hian yang menjadi merah sekali wajahnya dan akhirnya mengangguk.
Wanita berpedang yang cantik dan galak ini memang Coa Kim Bwee, selir ke tujuh Sri Baginda. Memang mudah diduga bahwa selain berkepandaian tinggi, Coa Kim Bwee yang masih amat muda dan cantik itu tentu saja merasa tidak puas menjadi selir ke tujuh. Wataknya memang berandalan dan genit, dan Lie Kong Hian bukanlah satu-satunya ‘anak tiri’ yang ia jadikan kekasihnya! Ada pun tindakannya sekarang ini selain menaruh curiga, juga sebagian besar terdorong oleh rasa cemburu, mendengar bahwa seorang di antara kekasihnya yang paling ia sayangi ini mengeram seorang wanita cantik dari luar sampai dua hari dua malam!
Coa Kim Bwee bersuit dan muncullah lima orang wanita pelayan lain yang memang sudah siap dengan pedang di tangan masing-masing. Kini enam orang pelayan wanita itu mengikuti Coa Kim Bwee melangkah perlahan menuju ke kamar Pangeran Lie Kong Hian!
Lu Sian tersenyum setelah mendengar dan melihat semua yang terjadi di luar. Ia sudah senang tinggal di istana pangeran ini dan memang ia mulai bosan dengan perantauan yang kadang-kadang amat sengsara. Kalau ia turun tangan membunuh Coa Kim Bwee dan enam orang pembantunya, tentu ia tak mungkin dapat tinggal dalam istana lebih lama lagi. Coa Kim Bwee adalah selir terkasih dari Raja, tentu kematiannya akan menimbulkan geger. Dan melihat betapa Coa Kim Bwee agaknya berpengaruh dan dapat bertindak sesukanya di istana, ia rasa lebih baik wanita ini ia dekati. Untuk dapat melaksanakan niat ini, ia harus mampu menaklukkan wanita ini yang dilihat dari langkahnya memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Maka melihat Coa Kim Bwee dan enam orang pembantunya yang semua memegang pedang telanjang itu menuju ke kamarnya, ia cepat duduk kembali di depan cermin dan menyisir rambutnya dengan sikap tenang.
Coa Kim Bwee muncul di sebelah belakangnya. Mereka bertemu pandang melalui cermin. Tanpa menyembunyikan rasa kagumnya melihat wajah cantik terhias rambut hitam panjang itu, Coa Kim Bwee memandang lalu membentak. "Apakah engkau Tok-siauw-kwi?" bentakannya mengandung keraguan karena ia benar-benar tidak mengira akan menemui seorang wanita yang demikian cantik jelita, lagi masih muda. Sepanjang pendengarannya, Tok-siauw-kwi tentu telah berusia empat puluh tahun, karena ketika Tok-siauw-kwi masih menjadi isteri Jenderal Kam Si Ek, dia sendiri baru berusia sepuluh tahun! Karena inilah ia ragu-ragu dan bertanya.
Tanpa menoleh Lu Sian menjawab melalui cermin. "Kalau betul, mengapa? Mau apakah engkau datang bersama enam orang pembantumu dengan pedang di tangan?"
Kembali Coa Kim Bwee tertegun. Sikap wanita ini demikian tenang dan manis, namun sinar mata melalui cermin itu membuat tengkuknya berdiri. Banyak sudah Coa Kim Bwee menghadapi lawan tangguh, namun belum pernah ia merasa jeri seperti pada saat ini. Akan tetapi ia memberanikan hati dan membentak lagi. "Aku datang untuk menangkapmu. Menyerahlah baik-baik sebelum pedang kami memaksamu!"
Lu Sian tersenyum makin lebar. Giginya berkilat putih. "Adik yang manis, kalau ada urusan yang hendak dibicarakan, mengapa tidak masuk sendiri dan bicara baik-baik tanpa diganggu enam orang pelayanmu yang menjemukan?"
Coa Kim Bwee marah. Ia memberi isyarat dengan pedangnya kepada enam orang pembantunya sambil berkata, "Tangkap dia!"
Juga enam orang pelayan itu marah karena dikatakan ‘menjemukan’ dan sama sekali tidak dipandang mata oleh wanita berambut panjang itu. Mereka berenam adalah pelayan perempuan yang bertugas sebagai pengawal, memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tinggi. Biasanya penjahat pria saja masih mampu mereka hadapi dan kalahkan, apalagi hanya seorang perempuan tak bersenjata yang sedang bersisir rambut? Mereka bahkan merasa malu untuk mengeroyok. Akan tetapi mereka tidak berani membantah karena telah menerima perintah.
Coa Kim Bwee melangkah masuk dan berdiri di pinggir untuk memberi jalan kepada mereka. Enam orang pelayan itu segera melangkah masuk menghampiri Lu Sian dari belakang dengan sikap mengancam. Akan tetapi Lu Sian tetap tidak menoleh, hanya menatap mereka dengan pandang mata tajam melalui cermin di depannya.
"Serbu!" seorang di antara mereka memberi komando dan dengan bermacam gerakan menyerbulah keenam orang pelayan itu ke depan.
Lu Sian menggerakkan kepala sambil memutar tubuh. Rambutnya yang panjang itu bagaikan cambuk yang banyak sekali menyambar ke depan, menggulung keenam orang penyerangnya. Terdengar ia berseru, "Pergi kalian, tikus-tikus busuk!"
Hebat bukan main. Enam orang pelayan itu sama sekali tidak berdaya karena dalam sedetik saja tubuh mereka, terutama tangan dan kaki, telah terbelit rambut dan tiba-tiba bentakan itu ditutup dengan gerakan kepala. Akibatnya, enam orang pelayan itu terlempar ke luar pintu bagaikan daun-daun kering terhembus angin keras. Mereka menjerit-jerit dan jatuh tunggang-langgang di luar kamar, babak-bundas dan ada yang terluka oleh senjata pedang mereka sendiri!
"Nah, Adik yang manis. Tutuplah daun pintu dan mari kita bicara baik-baik tanpa gangguan orang lain," kata Lu Sian sambil tetap tersenyum dan menyibakkan rambutnya yang menutupi sebagian mukanya.
Coa Kim Bwee berdiri melongo. Selama hidupnya, belum pernah ia menyaksikan kepandaian seperti ini. Ia kagum dan gentar. Kagum menyaksikan betapa seorang bertangan kosong, sambil masih enak-enak duduk dapat menghalau ke luar enam orang penyerangnya hanya mengandalkan rambut yang panjang dan harum! Pula, bau harum yang merangsang ke luar dari tubuh Lu Sian membuat ia makin kagum. Hebat wanita ini, pikirnya, dan patut ia jadikan guru! Ketika melihat enam orang pembantunya itu merangkak bangun memungut pedang dan melongok ke dalam, ia memberi perintah singkat menyuruh mereka mundur! Kemudian ia menutup daun pintu dan melangkah dekat, pedangnya masih di tangan.
"Engkau hebat! Ilmu siluman apakah yang kau gunakan? Akan tetapi jangan mengira bahwa aku takut...."
"Adik yang manis, ilmu lweekang begitu saja kau herankan? Mari, mari kita main-main sebentar agar kau tidak menyangka aku seorang siluman. Akan kuhadapi pedangmu dengan duduk saja, hanya kugunakan rambutku, bagaimana?"
"Hemm, kau mencari mampus. Jangan samakan aku dengan pelayan-pelayanku yang lemah!"
"Kalau aku kalah dan tewas di ujung pedangmu, aku takkan mengeluh karena hal itu menandakan bahwa kepandaianku masih rendah. Akan tetapi, kalau kau yang kalah bagaimana?"
Coa Kim Bwee bukan seorang bodoh. Tidak, ia bahkan cerdik sekali. Dia dahulu adalah puteri seorang jenderal, yaitu Jenderal Coa Leng yang bertugas di Shan-si, tangan kanan Gubernur Li Ko Yung. Akan tetapi semenjak kecil Coa Kim Bwee mempunyai pula dua kesukaan, yaitu mengumbar nafsu mencari menang sendiri dan mengejar ilmu silat. Banyak orang pandai menjadi gurunya, dan karena memang ia berwajah cantik jelita, banyaklah pemuda tergila-gila kepadanya.
Sebagai puteri tunggal yang amat dimanjakan, Kim Bwee wataknya makin menjadi-jadi, bahkan ia berani mulai bermain gila dengan pemuda-pemuda tampan. Ketika terjadi perang, ayahnya tewas dalam perang dan begitu Kerajaan Hou-han bangkit, Kim Bwee yang terkenal cantik dan pandai mengambil hati itu dipilih menjadi selir ke tujuh oleh Raja Hou-han! Di dalam istana inilah terkabul semua nafsunya. Selain kedudukannya yang tinggi sebagai selir raja, juga kepandaian silatnya yang lihai membuat ia sebentar saja menjadi orang paling berpengaruh. Di samping ini nafsunya yang buruk membuat ia makin binal dan cabul dan mulailah di belakang punggung suaminya, Sang Raja, ia bermain gila dengan para pangeran dan pengawal yang tampan!
Kini bertemu dengan Lu Sian ia merasa kagum dan juga penasaran. Diam-diam ia berpikir bahwa kepandaiannya yang sudah tinggi ini, apalagi ilmu pedangnya, kalau sampai kalah oleh wanita yang melawannya sambil duduk dan hanya mempergunakan rambut, benar-benar hebat! Kalau benar ia kalah, jalan paling baik adalah menarik wanita cantik ini sebagai sahabat, bahkan kalau mungkin sebagai guru. Maka tanpa bersangsi lagi ia berkata. "Kalau pedangku ini kalah menghadapi rambutmu, biarlah aku mengangkatmu menjadi guruku!"
Lu Sian tertawa. “Bagus,” pikirnya. “Wanita ini agaknya mempunyai pengaruh yang besar di istana. Jika menjadi gurunya, berarti kedudukanku akan tetap menyenangkan. Selain itu, sebagai guru aku dapat melarang wanita selir raja ini memberitakan di luar bahwa aku adalah Nyonya Jenderal Kam Si Ek.”
"Baik, nah, kau mulailah!" katanya tenang sambil duduk menghadapi lawannya dengan rambut panjang tergantung di kanan kiri.
Coa Kim Bwee tidak mau sungkan-sungkan lagi karena maklum bahwa wanita di depannya ini memang memiliki kepandaian tinggi. Kalau ia menang dan pedangnya membunuh wanita ini, berarti ia menyingkirkan seorang ‘saingan’ berat, sebaliknya kalau benar-benar ia kalah, ia akan mengambil hati wanita ini untuk mendapatkan pelajaran ilmunya.
"Lihat pedang!" bentaknya nyaring.
Tubuhnya langsung bergerak, didahului sinar pedangnya yang berkelebat. Terdengar suara berdesing tanda bahwa gerakannya cepat sekali dan tenaga yang menggerakkan pedang memiliki sinkang cukup kuat. Lu Sian memandang rendah kepada lawannya, namun menyaksikan kecepatan gerakan ini, timbul niatnya mencoba sampai di mana kekuatan si Wanita Cantik. Maka ia menggerakkan kepalanya sedikit dan....
"Werrrr!" segumpal rambut panjang menyambar ke depan.
Hebat memang tingkat kepandaian Lu Sian sekarang. Setelah ia melatih diri dengan tekun menurut isi kitab-kitab yang dicurinya, selain kepandaiannya meningkat tinggi juga tenaga sinkang-nya menjadi hebat luar biasa. Rambut yang lemas dan halus itu sekali digerakkan dapat menjadi benda keras seperti kawat-kawat baja dan kini rambut segumpal itu telah menangkis pedang Coa Kim Bwee dan ujung rambut melibat pedang. Berbahaya sekali perbuatan ini.
Betapa pun tinggi kepandaian dan betapa pun kuat sinkang-nya, namun rambut tetap merupakan benda yang lemah, hanya menjadi kuat oleh gerakan beberapa detik. Mungkin cukup kuat untuk melibat benda tumpul dan merupakan pengikat yang ampuh, akan tetapi menghadapi mata pedang yang amat tajam, sungguh sebuah permainan yang banyak resikonya.
Coa Kim Bwee kaget sekali melihat betapa pedangnya tertangkis sehingga tangannya gemetar tadi, terutama setelah ia merasa pedangnya terlibat dan tak dapat ditarik kembali. Cepat ia mengerahkan lweekang-nya dan berseru keras sambil mendorong pedang dengan mata pedang ke depan. Mereka bersitegang sebentar, dan tiba-tiba Lu Sian melepaskan libatan rambutnya. Coa Kim Bwee terhuyung ke pinggir terdorong oleh tenaganya sendiri, akan tetapi belasan helai rambut rontok karena putus terbabat mata pedang yang tajam!
"Boleh juga kau!" Lu Sian berkata sambil tertawa, tetap duduk tenang dan rambutnya sudah tergantung kembali ke depan dadanya.
Coa Kim Bwee penasaran. Tentu saja ia tidak merasa puas melihat hasil gebrakan pertama tadi, hanya beberapa helai rambut yang terbabat putus, sedangkan dia sendiri terhuyung-huyung. Kalau dinilai, malah dia yang berada di bawah angin, maka seruan Lu Sian tadi di anggap sebagai ejekan yang membuat pipinya berubah merah karena marah.
"Aku masih belum kalah!" bentaknya dan kembali ia menerjang maju, kini ia memutar pedangnya cepat sekali untuk mencegah libatan rambut lawannya.
Kelihatannya Lu Sian diam saja, akan tetapi ketika pedang menyambar ke arah lehernya, tubuh Lu Sian yang duduk di atas bangku pendek itu seperti hendak roboh ke kiri sehingga pedang lewat di pinggir tubuhnya, dan pada saat itu juga kaki kanannya menyambar bagaikan kilat cepatnya ke arah pusar Coa Kim Bwee. Hebat sekali serangan balasan yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka ini, namun hebat pula reaksi selir raja itu. Untung bahwa ia tidak memandang rendah kepada Lu Sian, bahkan sudah merasa yakin bahwa wanita cantik ini memang berilmu tinggi sehingga dalam penyerangannya yang kedua ini ia tidak membuta, tidak hanya mencurahkan seluruh perhatiannya kepada penyerangan, melainkan membagi perhatian untuk menjaga diri dengan memperhatikan gerakan lawan.
Maka begitu melihat berkelebatnya kaki dari bawah mengancam perutnya, Kim Bwee cepat menarik kembali pedangnya yang gagal, memutar pedang itu ke bawah membabat kaki sambil melompat ke kanan belakang. Tendangan gagal, namun penyerangan Kim Bwee juga gagal. Mereka kini saling pandang tanpa bergerak, berpisah dua meter lebih. Seorang berdiri dengan pasangan kuda-kuda, tangan kiri ditekuk di depan dada, tangan kanan memegang pedang di atas kepala, sedangkan yang seorang lagi duduk enak-enak, kaki kanan bertumpang ke atas kaki kiri, tangan kiri mengelus rambut dan tangan kanan menggaruk-garuk belakang telinga. Lu Sian kelihatan enak-enak saja menghadapi pasangan kuda-kuda lawan yang siap menyerang lagi.
"Awas, Adik manis, sekali ini kau akan jatuh!" kata Lu Sian dengan suara perlahan, pandang mata berseri dan mulut tersenyum.
Diam-diam ia merasa girang karena telah menciptakan ilmu berkelahi mempergunakan rambutnya ini. Melihat gerakan-gerakannya tadi, selir raja ini sudah memiliki ilmu silat yang cukup tinggi sehingga untuk merobohkannya tentu memerlukan waktu yang agak lama. Namun dengan ilmunya mempergunakan rambut sebagai senjata, ia sudah dapat memastikan bahwa ia akan dapat menjatuhkannya, karena sebagai seorang ahli, ia dapat melihat kelemahan dalam gerakan pedang Kim Bwee.
Diejek demikian, makin panas hati Kim Bwee. Matanya memancarkan sinar bengis dan liar, bibirnya bergerak-gerak, cuping hidungnya berkembang-kempis. Tiba-tiba ia mengeluarkan jeritan nyaring, tubuhnya menerjang ke depan dan pedangnya diputar seperti kitiran angin di depan dada! Hebat penyerangan ini karena gulungan sinar pedang tidak memberi kesempatan kepada rambut Lu Sian untuk melibat pedang, sedangkan tubuh Kim Bwee seakan-akan terlindung dari atas ke bawah, tak mungkin diserang seperti tadi.
Lu Sian duduk, memperhitungkan detik yang paling baik lalu berseru, "Lihat senjataku!"
Dan kini sekali kepalanya bergerak, semua rambutnya berkelebat ke depan merupakan ratusan ribu batang kawat-kawat halus yang amat lemas. Tentu saja ada sebagian rambut bertemu pedang, akan tetapi karena Lu Sian mempergunakan ‘tenaga halus’ sehingga rambutnya menjadi lemas dan ulet, maka rambut itu tidak dapat terbabat putus, bahkan sebagian lagi terus membelit ke arah pergelangan lengan tangan yang memegang pedang, sebagian membelit lengan kiri, sebagian lagi membelit leher terus mencekik!
Kim Bwee kaget setengah mati. Kedua lengannya serasa lumpuh dan lehernya tercekik membuat ia tidak mampu bernapas lagi. Ia meronta-ronta, persis seperti seekor lalat tertangkap sarang laba-laba dan terdengar suara ketawa cekikikan lalu disusul robohnya tubuh Kim Bwee, terpelanting dan pedangnya sudah terlempar ke sudut kamar!
Sejenak nanar rasa kepala Kim Bwee. Kamar itu serasa berputaran. Ia telah mengalami kekalahan hebat dan andai kata bukan Lu Sian yang melakukan hal itu, andai kata dalam hati Kim Bwee tidak ada maksud hendak mengeduk ilmu, tentu penghinaan ini takkan dibiarkan begitu saja. Seorang selir raja tersayang dihina seperti ini! Sekali ia menjerit minta tolong tentu istana ini akan dikepung pengawal istana.
Akan tetapi Kim Bwee tidak mau melakukan perbuatan bodoh ini. Ia maklum bahwa seorang sakti seperti perempuan itu, belum tentu akan dapat ditawan dan sebelum para pengawal datang, dia sendiri tentu akan dibunuh. Pula, perempuan ini bersikap baik kepadanya dan lebih banyak untungnya dari pada ruginya kalau ia dapat menjadi murid wanita ini. Memang ia amat cerdik, dan demi tercapainya maksud hati ia rela melakukan hal apa saja, yang kejam, yang rendah, yang hina pun akan ia jalani. Maka setelah berpikir sejenak dalam pertemuan pandang ini, Kim Bwee tanpa ragu-ragu lagi serta-merta menjatuhkan diri berlutut.
Lu Sian tertawa senang dan berkata, suaranya berwibawa. "Kau mengakui keunggulanku? Nah, bangkitlah, dan mari kita duduk dan bicara yang baik." Lu Sian sendiri menggerakkan tangan menyentuh pundak Kim Bwee dan seketika Kim Bwee terangkat naik! Kim Bwee memandang kagum lalu duduk, sikapnya menjadi jinak, tidak galak seperti tadi, malah pandang matanya penuh penyerahan.
"Adikku yang manis, kau bernama Coa Kim Bwee dan menjadi selir ke tujuh dari Raja?"
Kim Bwee mengangguk. "Dan kau tahu siapakah aku ini?"
"Kau isteri bekas Jenderal Kam Si Ek..."
"Bekas isterinya, sudah belasan tahun kami bercerai! Dan kau tahu siapa namaku?"
"Kau... kau puteri Beng-kauwcu dan kau bernama Liu Lu Sian dengan julukan Tok-siauw-kwi."
"Semua memang benar dan tepat! Akan tetapi sekarang aku mengajukan syarat, kalau kau menerimanya kita tetap bersahabat dan aku mau menurunkan beberapa macam ilmu kepadamu."
"Ilmu mempergunakan rambut sebagai senjata?" tanya Kim Bwee penuh gairah. Ia kagum sekali akan ilmu itu yang dianggapnya amat hebat.
Lu Sian mengangguk. "Boleh, dan beberapa macam ilmu lagi yang hebat-hebat. Pendeknya, setelah belajar dariku, kau akan menjadi seorang tokoh yang sukar dikalahkan lawan."
Girang sekali hati Kim Bwee dan kembali ia telah berlutut.
Akan tetapi Lu Sian mencegahnya dan membentak. "Duduk kau!"
Kim Bwee terkejut dan cepat ia duduk lagi menghadapi Lu Sian.
"Kau menerima syaratku? Nah, dengar baik-baik. Pertama, kau tidak boleh menyebut guru kepadaku dan tidak boleh berlutut seperti murid terhadap guru. Kita tetap hanya sahabat baik, kau panggil Cici kepadaku dan aku panggil adik padamu. Kita kakak beradik yang sama-sama mencari kesenangan di dalam istana ini. Mengerti?"
Tentu saja makin girang hati Kim Bwee. Sambil tersenyum ia mengangguk dan matanya bersinar-sinar ketika ia menjawab. "Enci Liu Lu Sian yang baik, tentu saja aku mentaati semua permintaanmu."
"Bukan Cici Liu Lu Sian, melainkan Enci Sian begitu saja. Syarat ke dua, tidak boleh kau memberitahukan orang lain tentang namaku yang sebenarnya. Kalau kau memberitahukan orang lain, aku akan membunuhmu lalu pergi dari sini. Mengerti?"
Kembali Kim Bwee mengangguk, kini tidak berani tersenyum karena ia dapat melihat pandang mata Lu Sian bahwa wanita itu sungguh-sungguh dan ancamannya bukan main-main belaka.
"Syarat ke tiga, kau tidak boleh menghalangi semua perbuatanku dalam istana ini. Aku tahu bahwa di antara engkau dan Kong Hian terjadi hubungan gelap. Pemuda itu menjadi pilihanku, engkau tidak boleh mengganggunya atau mendekatinya. Mengerti?"
Kembali Kim Bwee mengangguk. Ah, kiranya antara dia dan wanita ini terdapat persamaan! Sekilas terbayang dalam benaknya betapa mudahnya untuk membaiki wanita ini. Ia tahu caranya. Dalam lingkungan istana, terdapat banyak sekali pangeran yang tampan, pengawal yang muda dan gagah. Mudah untuk mencari muka dan menyenangkan hati ‘gurunya’ ini, mudah menyuguhkan muda remaja tampan ganteng untuk ditukar dengan ilmu!
"Baiklah, Cici yang cantik, baiklah. Dalam gedungku terdapat sebuah kamar dengan taman bunganya yang indah. Lebih baik Cici pindah ke sana agar lebih mudah kita bertemu. Tentang Kong Hian... tentu saja aku suka mengalah. Dan...jangan khawatir..." Ia mengedipkan matanya, "masih banyak aku mengenal pangeran-pangeran muda dan pengawal-pengawal yang menarik dan pasti menyenangkan!" Ia tertawa genit.
Lu Sian tersenyum manis. Terhadap perempuan liar ini tidak perlu ia menyembunyikan perasaannya. Ia mengangguk tanda setuju.
Demikianlah, Lu Sian hidup bergelimang dalam kemewahan dan pengejaran kesenangan, pemuasan nafsu dalam istana Kerajaan Hou-han. Ia tidak mendapat gangguan karena dilindungi oleh Coa Kim Bwee yang menganggap dia seorang kakak misan sendiri. Setahun lebih Lu Sian hidup memuaskan nafsunya, disuguhi pangeran-pangeran dan pengawal-pengawal muda yang tampan, yang menarik hatinya. Selain itu, untuk membalas ‘jasa’ dan kebaikan selir muda raja itu, ia menurunkan beberapa macam ilmu yang hebat kepada Kim Bwee. Di antaranya adalah ilmu mempergunakan rambut sebagai senjata, bahkan Ilmu I-kin-swe-jwe yang mendasari ilmu awet muda serta latihan dan obat untuk membikin keringat dan rambut berbau harum!
Segala macam perjalanan ke arah kemaksiatan dimulai dengan langkah kecil ke arah itu. Sekali keliru melangkah, orang akan tersesat makin jauh, tenggelam makin dalam. Semua perbuatan maksiat dimulai dengan iseng-iseng, dengan kecil-kecilan lebih dahulu, seperti orang mencicipi arak. Mula-mula setetes dua tetes, setelah termakan racunnya, makin lama makin banyak dan akhirnya menjadi pemabok lupa daratan.
Tidak ada seorang penjudi di dunia ini yang membuka langkah perjudian dengan taruhan besar. Mula-mula kecil-kecilan, makin lama makin mencandu dan menjadilah ia penjudi besar. Tidak ada pencuri yang mulai ‘pekerjaannya’ dengan pencurian besar-besaran. Mula-mula kecil-kecilan, makin lama makin nekat. Demikian pula dengan segala macam nafsu, termasuk nafsu birahi. Makin dituruti, makin tak kenal puas, makin menggila dan makin haus!
Salah langkah pertama yang dilakukan Lu Sian adalah kebosanannya berumah tangga dengan Kam Si Ek. Kalau di waktu itu ia kuat bertahan, mempergunakan kebijaksanaan dan kesadarannya, ingat kewajibannya, ia takkan tersesat. Akan tetapi sekali ia salah langkah, ia tersesat makin dalam dan akhirnya tenggelam oleh gelombang permainan nafsunya sendiri!
Manusia memang makhluk lemah, maka perlu manusia selalu ingat dan waspada. Ingat selalu kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan waspada selalu akan langkah hidupnya sendiri. Jalan menuju kehancuran kelihatan lebar dan menyenangkan, padahal amat lincah menyembunyikan jurang-jurang kehinaan di kanan kirinya. Sebaliknya jalan menuju kesempurnaan hidup kelihatan amat buruk dan sukar dilalui. Sekali salah pilih, sesal pun tiada gunanya. Dalam kesadaran dan penyesalan, hendak bertaubat sekali pun akan merupakan perjuangan yang lebih sukar lagi!
Seperti telah disebut-sebut di bagian depan, pada masa itu yang menguasai daratan adalah Dinasti Cin yang berhasil meruntuhkan Kerajaan Tang Muda (923-936). Oleh perang saudara yang tiada henti-hentinya ini, banyak timbul kerajaan-kerajaan kecil yang mempergunakan kesempatan perebutan kekuasaan itu untuk berdiri sendiri, di antaranya adalah Kerajaan Hou-han di Propinsi Shan-si ini. Melihat perubahan itulah Jenderal Kam Si Ek yang berjiwa patriotik dan setia kepada Kerajaan Tang mengundurkan diri dan rela hidup bertani di dusun Ting-chun di kaki gunung Cin-ling-san.
Akan tetapi tidak demikian dengan sebagian besar pendukung Tang yang dipimpin oleh Kong Lo Sengjin atau Couw Pa Ong bekas Raja Muda Kerajaan Tang lama. Ketika Kerajaan Tang baru berhasil merobohkan Kerajaan Liang, ia memperoleh lagi kedudukan yang baik sebagai pimpinan para panglima dan penasehat raja. Akan tetapi perang saudara tak pernah berhenti. Raja Tang baru atau Tang Muda yang belum lama berdiri ini roboh kembali dalam waktu tiga tahun saja dan kedudukannya diganti oleh Kerajaan Cin Muda (936-947).
Kong Lo Sengjin tentu saja tidak mau tinggal diam. Biar pun kerajaan yang dibelanya telah runtuh, ia tidak putus asa dan masih terus melakukan perlawanan untuk merebut kekuasaan. Banyak orang-orang pandai menggabungkan diri dengan jago tua ini. Selain berkali-kali menyerang Kerajaan Cin Muda, mereka ini juga selalu mengadakan gangguan kepada kerajaan-kerajaan kecil seperti Kerajaan Hou-han yang tidak mau diajak bekerja sama meruntuhkan Kerajaan Cin Muda.
Inilah sebabnya mengapa terjadi pernyerangan atas diri Pangeran Lie Kong Hian. Karena sudah tidak mempunyai pusat kerajaan, para pendukung Tang itu melakukan gerakan liar, mengacau setiap kerajaan yang tidak mau bekerja sama. Dan karena ancaman-ancaman ini pula maka Raja Hou-han dan para panglima-panglimanya ketika mendengar akan adanya seorang wanita sakti yang menjadi kakak misan dan juga guru selir ke tujuh, diam-diam merasa girang dan tidak pernah mengganggu. Dengan hadirnya Lu Sian di dalam istana, keselamatan raja sekeluarga lebih terjamin. Hal ini terbukti ketika terjadi penyerbuan di malam hari, tiga bulan setelah Lu Sian tinggal di dalam istana.
Malam itu gelap dan sunyi. Menjelang tengah malam, terjadilah pertempuran di dekat tembok sebelah selatan yang mengelilingi istana ketika lima orang penjaga diserbu oleh tiga orang berpakaian hitam. Dalam waktu singkat saja lima orang penjaga ini roboh binasa, akan tetapi sebelum roboh, seorang di antara mereka sempat berteriak-teriak minta tolong. Tiga orang itu secepat burung telah terbang melompat pagar tembok dan lenyap ke dalam lingkungan istana!
Para penjaga dan pengawal istana menjadi heboh melihat lima orang penjaga itu malang-melintang mandi darah dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Segera tanda bahaya dibunyikan. Regu penjaga yang malam hari itu mendapat giliran berjaga terdiri dari tiga puluh orang, dibagi di luar dan di dalam. Kini tinggal dua puluh lima orang lagi dan mulailah mereka mengadakan pengejaran dan mencari-cari di sekitar bangunan-bangunan istana. Namun tidak tampak bayangan seorang pun penjahat.
Mendadak di istana pusat yang menjadi tempat tinggal Raja terdengar suara wanita menjerit-jerit. Para pengawal ini menyerbu masuk dan mereka terkejut melihat empat orang wanita pelayan telah mati pula. Akan tetapi di ruangan tengah, tak jauh dari kamar Raja sendiri, tampak selir raja ke tujuh dengan pedang di tangan tengah melawan keroyokan tiga orang berpakaian hitam. Seorang wanita lain yang cantik dan biar pun jarang terlihat penjaga, namun dapat diduga oleh mereka bahwa inilah kakak misan Coa Kim Bwee yang kabarnya sakti, berdiri di sudut dengan sikap tenang menonton pertempuran.
Ketika para penjaga hendak menyerbu dan membantu selir Raja itu menghadapi tiga orang penjahat, Lu Sian menggerakkan tangan mencegah mereka sambil berkata, "Jangan bantu!"
Para penjaga kaget dan heran. Biar pun sudah dicegah mereka tetap maju dengan senjata di tangan. Karena Lu Sian bukan anggota istana, mereka menjadi ragu-ragu untuk mentaati pencegahannya, bahkan dua orang penjaga sudah menerjang maju untuk membantu. Namun, sekali tampak kelebatan sinar pedang seorang di antara tiga penjahat itu, dua orang penjaga itu berteriak dan roboh mandi darah!
"Tolol! Mundur dan jangan bantu aku!" bentak Coa Kim Bwee.
Kini para penjaga itu terkejut dan cepat mundur. Tiga orang lawan itu amat lihai dan kini selir raja yang berpengaruh itu sendiri melarang mereka, maka mereka hanya berdiri menonton dengan hati gelisah. Betapa mereka tidak akan gelisah menyaksikan kehebatan tiga orang tamu malam itu yang mainkan pedang mereka begitu ganas sehingga selir ke tujuh itu sendiri terdesak hebat!
"Siauw-moi, keluarkan ular!" tiba-tiba Lu Sian berkata.
Gerakan pedang Coa Kim Bwee tiba-tiba berubah. Pedangnya berlenggak-lenggok gerakannya, kadang-kadang ujungnya berkelebat seperti ular mematuk. Inilah Ilmu Pedang Sin-coa Kiam-hoat yang mulai dipelajarinya dari Lu Sian. Memang Coa Kim Bwee memiliki dasar yang kuat serta sudah menguasai gerakan ilmu silat tinggi, maka gerakan pedangnya sudah amat berbahaya biar pun baru belajar beberapa bulan.
Tiga orang lawannya itu terkejut dan mereka pun mengubah gerakan pedang, bahkan kini mereka mengurung dalam bentuk segitiga yang disebut Sim-seng-tin (Barisan Bintang Hati). Bintang Hati adalah tiga buah bintang yang kedudukannya di ujung segitiga. Karena Sin-coa Kiam-hoat itu gerakannya menyerang langsung ke depan dengan perubahan yang amat aneh dan sukar di duga, maka kini dikurung dengan barisan ini kedudukan Coa Kim Bwee menjadi terdesak. Setiap kali ujung pedangnya menyerang seorang lawan, yang dua sudah menerjangnya, agaknya rela mengorbankan seorang kawan akan tetapi berhasil merobohkan yang dikeroyok. Tentu saja Kim Bwee tidak mau mengadu nyawa sehingga serangannya selalu ia tarik kembali dan gagal. Ia menjadi sibuk sekali dan akhirnya kembali hanya menggerakkan pedangnya diputar cepat melindungi tubuhnya.
"Siauw-moi, mundur!" teriak Lu Sian sambil melompat maju. Sekali sambar, ia menarik dan melempar tubuh Kim Bwee ke belakang, kemudian menyerbu dengan tangan kosong!
Tiga orang berpakaian hitam itu kaget sekali karena begitu tangan Lu Sian bergerak tiga batang jarum meluncur cepat menuju dada mereka. Namun dengan gerakan tangkas ketiganya berhasil menyampok jarum itu dengan pedang. Pada saat itu pula mereka mencium bau harum dari jarum itu dan lebih semerbak lagi bau harum keluar dari rambut Lu Sian tercium hidung mereka.
"Tok-siau-kwi...!" seorang di antara mereka berseru kaget.
Memang nama besar Tok-siauw-kwi pada waktu itu sudah amat terkenal di mana-mana setelah Lu Sian melakukan perbuatan-perbuatan menghebohkan di pelbagai perkumpulan silat. Selain ilmu silatnya yang tinggi dan wataknya yang ganas, yang juga membuat ia terkenal terutama sekali bau harum dari tubuhnya dan Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Harum) yang amat berbahaya. Maka sekali melihat jarum merah yang wangi serta bau harum dari tubuh wanita cantik ini, tahulah tiga penyerbu istana itu bahwa mereka berhadapan dengan Tok-siau-kwi!
"Tok-siau-kwi, kau orang Beng-kauw, mengapa mencampuri urusan kami?!" bentak pula seorang di antara mereka sambil melintangkan pedang di depan dada.
"Hemmm, aku mencampuri atau tidak, kalian peduli apa? Sekali menyebut nama julukanku, berarti harus mati. Tahukah kalian akan hal ini?" kata Lu Sian sambil tersenyum dingin.
Tiga orang itu menjadi marah. Mereka adalah patriot-patriot pengikut Kerajaan Tang yang setia, maka biar pun menghadapi tokoh seperti Tok-siauw-kwi, mereka tidak menjadi takut. Kini bahkan mereka berbareng menerjang dengan gerakan pedang yang dahsyat.
"Kau menghianati suamimu...!"
Begitu ucapan itu keluar dari mulut seorang penyerbu, tiba-tiba orang ini menjerit dan roboh tak bernyawa lagi. Ternyata secepat kilat Lu Sian telah menggunakan Ilmu Totokan Im-yang-ci (Totokan Im Yang) yang ia pelajari dari kitab yang ia curi dari kuil Siauw-lim-pai! Hebat sekali gerakannya dan kini dua batang pedang telah menusuk, sebuah dari depan mengarah dada kirinya, sebuah lagi dari belakang membacok kepalanya. Diserang dari depan dan belakang ini, Lu Sian tiba-tiba menggenjot tubuhnya mencelat ke atas.
"Wuuuttt! Singggg!" dua batang pedang itu meluncur lewat dari atas.
Lu Sian menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang panjang itu terurai dan menyambar, terpecah menjadi dua gumpal rambut hitam halus panjang yang secara tiba-tiba telah berhasil melibat leher kedua orang pengeroyoknya. Ketika Lu Sian meloncat ke belakang, kedua orang itu ikut terbanting dan dua kali tangan Lu Sian bergerak.
“Plak! Plak!” terdengar suara dan robohlah dua orang itu. Pada punggung mereka tampak tanda jari-jari tangan yang berwarna merah, tapak tangan yang membakar baju di punggung, menembus kulit dan terus hawa pukulannya yang penuh racun merusak isi dada membuat mereka tewas seketika!
"Hebat, Cici...!" Coa Kim Bwee berseru girang sekali.
Lu Sian hanya tersenyum dan menggeleng kepala.
"Cici, harap kau suka ajarkan pukulan-pukulan itu..."
"Mari kita pulang," kata Lu Sian tenang saja.
Coa Kim Bwee memberi perintah kepada para pengawal untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan, lalu berkata. "Harap Cici suka pulang dulu dan mengaso, saya harus memberi laporan kepada Baginda."
Memang pada waktu itu pengawal dalam dari Kaisar telah keluar, yaitu dua orang thaikam (orang kebiri) yang mewakili junjungan mereka untuk memeriksa keributan di luar istana.
Ketika Coa Kim Bwee kembali ke kamar Lu Sian, ia memeluk gurunya ini dengan penuh kagum. "Cici kepandaianmu hebat sekali! Raja sendiri telah mendengar akan jasamu dan beliau memerintahkan saya memanggil Cici menghadap."
Lu Sian mengerutkan kening. "Ehhh...? Aku... tidak suka..."
"Akan tetapi, Cici. Sepak terjangmu tadi disaksikan banyak pengawal dan para thaikam tentu memberi laporan. Bukan aku yang membocorkan kehadiranmu di sini. Jangan khawatir, beliau hanya akan menyampaikan penghargaannya, dan akulah yang menanggung bahwa Cici takkan mendapat susah dan tetap akan bebas. Pula... eh...," wanita itu tertawa genit. "Bukan hanya raja yang kagum kepadamu, Cici. Juga di sana akan hadir semua pangeran dan panglima muda, bukankah ini kesempatan baik untuk... eh, belajar kenal dengan mereka?"
Lu Sian tersenyum dan mengerling genit. "Iihhh! Tentu hanya pangeran-pangeran pucat dan panglima-panglima bopeng (cacat) saja!"
"Hi-hi-hik! Siapa bilang? Masa saya berani berdusta? Cici lihat saja. Ada Pangeran Kang yang tampan seperti gadis cantik berpakaian pria, ada pula Pangeran Liang yang gagah perkasa, bertubuh seperti seekor harimau jantan. Dua orang pangeran ini termasuk pangeran-pangeran yang sukar didekati, saya sendiri tidak pernah berhasil. Barangkali Cici..."
"Ihh! Kalau kau saja mereka tolak, apalagi aku yang lebih tua!"
"Lain lagi engkau dan aku, Cici. Kau lebih cantik, lebih menarik, pula kepandaianmu istimewa. Masih ada lagi beberapa orang panglima yang tampan dan ganteng, pendeknya Cici takkan kecewa, tinggal pilih...."
"Sudahlah, kita tidur. Besok saja kita lihat...."
Demikianlah, dua orang wanita yang menjadi hamba nafsu itu tidur mengaso.
Pada keesokan harinya, Lu Sian diajak Coa Kim Bwee menghadap Raja dan benar saja, Lu Sian menjadi pusat perhatian, bukan hanya oleh Raja, akan tetapi juga oleh para pangeran dan panglima yang merasa amat kagum. Dan benar pula seperti yang dikatakan Kim Bwee, di situ hadir pangeran-pangeran yang amat tampan dan panglima-panglima yang amat gagah. Raja sendiri amat ramah menyambut Lu Sian.
Raja kerajaan Hou-han ini amat pandai dan cerdik. Ia maklum bahwa kerajaannya selalu dimusuhi pihak yang ingin meruntuhkannya, oleh karena ini ia perlu membaiki para tokoh pandai. Dengan ucapan manis ia menyatakan syukur dan terima kasihnya atas bantuan Lu Sian dan melihat kenyataan bahwa Lu Sian adalah kakak angkat selirnya yang ke tujuh, raja menganugerahkan gelar Pelindung Dalam Istana kepada Lu Sian dan memberi kebebasan kepada Lu Sian untuk pergi ke mana saja dalam istana tanpa ijin lagi. Kehormatan besar yang hanya dimiliki permaisuri dan kepala pengawal! Kemudian ia memberi hadiah sutera-sutera halus dan perhiasan ketika Lu Sian diberi perkenan mengundurkan diri.
Setelah kembali ke kamar sendiri, Kim Bwee berseru girang. "Wah, Raja suka kepadamu, Cici. Kalau kau mau...."
"Hush! Kau mau samakan aku denganmu? Selera kita berbeda, Kim Bwee. Siapa suka melayani laki-laki setengah tua yang jenggotnya kasar itu? Tidak, aku tidak mau. Kalau Raja memaksa, aku akan minggat dari sini."
Coa Kim Bwee tertawa. "Jangan khawatir, Cici. Saya dapat membujuk Raja dan menyatakan bahwa kau sudah menjauhkan diri dari pada pria. Beliau membutuhkan kepandaianmu, tentu tidak akan memaksa. Bagaimana pendapat Cici tentang para pangeran dan panglima muda? Hebat, kan?"
Lu Sian tersenyum, memainkan biji matanya. "Hebat sih hebat, akan tetapi sebagai wanita, bagaimana aku dapat mendekati mereka? Kau sendiri bilang, mereka itu sukar didekati."
"Ihh, siapa berani menolak Cici? Tadi pun kulihat mereka melirak-lirik ke arah Cici penuh kagum dan mengilar! Kalau memang Cici ada hasrat berkenalan, aku ada jalan untuk mempertemukan Cici dengan mereka."
Selir ke tujuh Kaisar ini benar-benar pandai mengambil hati sehingga Lu Sian merasa gembira sekali. Setelah berjanji akan menurunkan Ilmu Pukulan Tangan Api Merah kepada Kim Bwee, Lu Sian lalu mengatakan tanpa malu-malu lagi bahwa di antara para muda yang hadir tadi, ia tertarik kepada dua orang pangeran dan seorang panglima muda.
"Hi-hi-hik! Siapa bilang selera kita tidak cocok?" Kim Bwee bersorak. "Dan dua orang pangeran itu adalah Pangeran Kang yang kulit mukanya halus seperti wanita, dan Pangeran Liang yang gagah seperti harimau. Cocok, bukan? Dan panglima muda itu adalah seorang jejaka asli, usianya baru dua puluh tahun, kuat seperti seekor kuda jantan dan pandai mainkan golok. Ganteng, ya? Terutama sekali kumisnya yang tipis dan dagunya. Hemm...!" dengan lagak genit Kim Bwee meramkan matanya dan menelan ludah.
"Cihh! Genit benar engkau, Kim Bwee. Bagaimana kau hendak atur agar aku dapat berkenalan dengan mereka?"
"Mudah saja, mudah saja! Setelah Cici menjadi Pelindung Dalam Istana ini, sudah sewajarnya Cici mengadakan makan-makan dalam pesta perkenalan. Aku akan mengundang mereka dalam pesta, siapa bilang mereka akan berani menolaknya?"
Malam hari itu, ditemani oleh Coa Kim Bwee, Lu Sian tercapai hasrat hatinya, makan minum semeja dengan tiga orang muda yang ganteng tampan, Pangeran Kang, Pangeran Liang dan Panglima Muda Cu Bian. Ketiga orang muda ini tentu saja tidak enak untuk menolak undangan Lu Sian yang kini dikenal sebagai Sian-toanio (Nyonya Besar Sian), pelindung istana yang memiliki kepandaian tinggi. Biar pun dengan malu-malu, mereka merasa girang juga dapat berkenalan dengan tokoh hebat ini. Dan bau semerbak harum di kala mereka makan bersama membuat hati muda mereka berdebar-debar. Memang mereka semua maklum akan kegenitan selir ke tujuh kaisar yang sudah lama menggoda mereka, akan tetapi mereka tidak berani melayani karena mereka adalah orang-orang gagah yang tidak melakukan perbuatan hina. Akan tetapi, kecantikan dan kesaktian Sian-toanio benar-benar mengguncangkan hati dan pertahanan mereka.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)