CINTA BERNODA DARAH : JILID-02
Tiba-tiba terdengar suara keras. Tiga orang sakti itu berjungkir-balik
dan berlompatan ke luar dari lingkaran patok. Ternyata semua patok
pedang, kecuali yang diinjak oleh Suling Emas, telah roboh malang
melintang! Tiga orang sakti itu tadi hanya merasa betapa angin pukulan
dahsyat menyambar ke bawah, merobohkan patok-patok pedang tanpa dapat
mereka cegah lagi, terpaksa mereka melompat dan berpoksai (bersalto) dan
seperti mendengar komando, ketiganya lalu berlari cepat menghilang dari
tempat itu.
Suling Emas terheran-heran. Ia melompat turun, dengan tangannya ia meraup tiga belas pedang pendek itu, lalu melontarkannya ke arah menghilangnya Hek-giam-lo sambil berseru, “Iblis Hitam, bawa pergi pedang-pedangmu!”
Tiga belas batang pedang itu terbang melayang seperti sekelompok burung dan lenyap di balik batu-batu besar yang mengitari puncak. Memang hebat sekali tenaga sambitan Suling Emas ini, dan patutlah kiranya ia menjadi lawan orang-orang sakti seperti tiga tokoh tadi.
Terdengar suara orang menarik napas panjang. Suling Emas cepat membalikkan tubuhnya dan bulu tengkuknya berdiri ketika ia melihat seorang kakek tua sudah berdiri di depannya. Ia merasa seram karena tak mungkin ada orang, betapa pun saktinya, dapat mendekatinya tanpa ia mendengarnya sama sekali. Helaan napas saja dapat tertangkap oleh pendengarannya, bagaimanakah gerakan kakek ini sama sekali tidak didengarnya dan tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya? Apakah kakek ini pandai menghilang? Dengan pandang mata penuh selidik ia menatap kakek itu.
Sukar ditaksir usianya karena sudah terlalu tua. Melihat kakek ini mengingatkan orang akan gambar-gambar para dewa. Rambutnya berwarna dua, tebal dan jarang, panjang sampai ke punggung. Digelung kecil di atas kepala, ujungnya terurai ke pundak dan punggung. Kumis dan jenggotnya juga hitam putih, terurai ke bawah. Sepasang alisnya tebal, dahinya lebar, sepasang mata yang bening dengan sinar mata sayu termenung, mulut yang setengah tertutup cambang itu selalu tersenyum ramah.
Jubahnya longgar berwarna kelabu kehitaman, sepatunya dari kain tebal, di bawahnya terbuat dari pada anyaman rumput, lengan bajunya lebar sekali. Pada punggung kakek ini tampak sebuah alat musik khim. Agaknya saking tuanya maka tubuh kakek ini agak bongkok dan kelihatan pendek. Kelihatannya biasa saja, seperti kakek-kakek lain yang sudah amat tua, hanya daun telinganya yang mungkin terlalu besar bagi orang-orang biasa, mengingatkan orang akan daun telinga pada arca-arca Buddha dan para dewa.
Suling Emas cepat menjura dengan sikap hormat, mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil berkata, “Maaf, Locianpwe (Kakek Sakti), benarkah dugaan saya bahwa Locianpwe adalah Bu Kek Siansu?”
Kakek itu tertawa dan tampaklah keganjilan pada mukanya karena di balik bibirnya itu tampak berderet dua baris gigi yang masih utuh dan rapi. “Tidak salah, anak muda. Semoga dengan tibanya musim semi, Yang Maha Murah akan melimpahkan berkah kepadamu....”
Suling Emas terkejut dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut. Ia merasa malu karena ucapan selamat pada Hari Musim Semi itu didahului oleh kakek ini. “Locianpwe, maafkan kelancangan teecu (murid) tadi. Teecu menghaturkan Selamat Musim Semi, semoga Locianpwe selalu sehat, bahagia dan dikurniai usia panjang.”
“Ha-ha-ha-ha, anak muda lucu, kau rangkaikan sehat dan usia panjang dengan bahagia. Apa kau kira kalau sudah sehat itu pasti berusia panjang, dan kalau berusia panjang itu pasti bahagia? Ha-ha-ha!”
“Teecu mohon petunjuk, Locianpwe.”
“Sulingmu tadi mainkan ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) dan kipasmu mainkan ilmu kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Kacau Lautan), apamukah Kim-mo Taisu?”
Suling Emas terkejut sekali dan cepat ia mengangguk-anggukkan kepala sampai jidatnya menyentuh bumi. “Kiranya Locianpwe yang tadi menolong teecu dari pengeroyokan tiga manusia iblis, teecu menghaturkan terima kasih. Kim-mo Taisu yang Locianpwe tanyakan adalah mendiang Suhu (Guru), dan beliaulah yang dahulu berpesan kepada teecu agar teecu mencari kesempatan pada tiap hari pertama musim semi untuk menjumpai Locianpwe dan mohon petunjuk.”
“Ha-ha-ha, Thian (Tuhan) sungguh adil dan bijak, hari ini memberi hadiah dengan jodoh yang amat baik. Jadi Kim-mo Taisu itu gurumu? Dia sudah mati lebih dulu dari pada aku? Ha-ha, aku berani mengatakan bahwa dia tentu mati dalam tugas sebagai pahlawan. Memang sejak dulu dia mempunyai jiwa patriot.”
“Tidak salah dugaan Locianpwe. Suhu tewas ketika terjadi perang terhadap bangsa Khitan di daerah Ho-peh, Suhu roboh oleh pengeroyokan jago-jago Khitan. Teecu hanya terluka, tapi tidak dapat mencegah terjadinya hal itu,” suara Suling Emas melirih, akan tetapi sama sekali tidak terdengar kesedihan. Hatinya sudah terlalu masak dan mengeras untuk dapat dikuasai kesedihan.
“Hemmm, belasan tahun ia bersusah payah membantu
Cao Kuang Yin dalam usahanya mendirikan
Wangsa Sung. Sampai Cao Kuang Yin menjadi Kaisar Sung Tai Cu, gurumu masih terus membantunya dan akhirnya mengorbankan nyawa. Dia seorang patriot tulen, tanpa pamrih, tidak mengejar pangkat, hanya ingin melihat negara kuat dan rakyatnya hidup makmur. Betapa pun juga, segala sesuatu sudah direncanakan dan akan diatur pelaksanaannya oleh Tuhan. Orang muda, siapa namamu?”
“Teecu dikenal sebagai Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas), dan teecu tidak menggunakan nama lain lagi.”
“Ha-ha, begini muda, sudah menelan kepahitan hidup. Hati-hati, orang muda, kepatahan hatimu dapat mendorongmu menjadi tidak peduli seperti sekarang ini, melupakan yang lewat, dan akhirnya kalau tidak kuat-kuat batinmu, dapat membuat kau menjadi seorang yang kejam. Baiknya belum sejauh itu kau tersesat, buktinya kau masih mau mengubur jenazah-jenazah itu.”
“Maaf, Locianpwe. Teecu cukup dapat membedakan mana jahat mana baik, biar pun teecu sengaja meninggalkan hidup yang lewat untuk... untuk....”
“Melupakan kepahitan yang mematahkan hatimu?”
Suling Emas hanya mengangguk lalu menundukkan muka. “Teecu mohon petunjuk.”
“Kau berjuluk Suling Emas, tentu pandai bermain suling. Hayo perdengarkan suara sulingmu, dan kita coba-coba main bersama sulingmu dengan khim yang kumainkan, mencari keserasian.” Kakek itu lalu duduk di atas rumput, menurunkan alat musiknya yang mempunyai tujuh buah kawat itu.
Suling Emas girang sekali. Sebagai seorang murid gemblengan dari orang sakti Kim-mo Taisu, tentu saja ia maklum bahwa bermain musik bagi seorang seperti Bu Kek Siansu berarti berlatih atau menguji kepandaian lweekang dan ilmu silat tinggi. Ia segera duduk bersila, mengatur pernapasan, lalu meniup sulingnya.
Bu Kek Siansu tersenyum mendengar lengking suling yang tinggi mengalun dan merdu, bersih dan nyaring itu. Jari-jari tangannya lalu mulai menyentuh kawat pada khimnya, terdengar suara cring-cring-cring tinggi rendah.
Suling Emas kaget bukan main. Begitu suara kawat khim itu berbunyi, napasnya jadi sesak dan suara sulingnya terdesak hebat sampai menurun rendah sekali. Ia segera meramkan kedua matanya, memusatkan panca indra, mengerahkan seluruh tenaga sinkang di dalam tubuhnya, mengatur pernapasan sepanjang mungkin sampai memenuhi pusarnya, dan semua tenaga yang dikumpulkan ini ia salurkan melalui suara sulingnya yang kini menjadi bening dan tinggi kembali.
Akan tetapi permainan khim dari Bu Kek Siansu juga makin hebat. Suara nyaring tinggi rendah dari kawat-kawat itu merupakan jurus-jurus penyerangan yang lebih hebat dari pada tusukan-tusukan pedang pusaka, lebih hebat dari pada gempuran tangan sakti. Kadang-kadang bergelombang datangnya, bertubi-tubi dan makin lama makin kuat seperti ombak samudera.
Keadaan Suling Emas amat terdesak. Orang muda ini meniup suling sambil meramkan mata, keningnya berkerut dan uap putih menyelubungi kepalanya, saking hebatnya tenaga sinkang bekerja di tubuhnya. Ia berusaha sedapat mungkin untuk menangkis dan melindungi dirinya dari gelombang yang menghanyutkan, akan tetapi usahanya itu seperti seorang pelajar renang mencoba untuk berenang melawan badai dan taufan mengamuk di lautan.
Ia sebentar tenggelam sebentar timbul, sebentar terseret dan terhanyut kemudian dibanting ke atas setinggi gunung, lalu dihempaskan ke bawah seperti dilempar ke neraka. Beberapa kali ia hampir pingsan, namun semangatnya yang pantang mundur membuat kenekatannya bulat dan ia tetap sadar. Dengan tekun ia memperhatikan gaya penyerangan dari suara khim itu, dan terciptalah dalam otaknya inti sari jurus-jurus penyerangan ilmu silat yang amat tinggi dan ajaib.
Di samping menuntun dan memberi petunjuk, agaknya Bu Kek Siansu juga hendak menguji kekuatannya. Suara khim itu makin mendesak, menekan, dan pada saat terakhir Suling Emas hampir tak kuat lagi. Kepalanya pening, matanya melihat seribu bintang, tubuhnya menggigil dan peluhnya sebesar kacang kedelai memenuhi jidatnya. Tiba-tiba, berbareng dengan berhentinya sama sekali suara suling yang makin melemah dan makin habis itu, berhenti pula suara khim. Suasana hening bening, sunyi senyap.
Suling Emas dengan wajah pucat dan napas terengah merasa seakan-akan batu seberat gunung yang menindih kepalanya diangkat orang. Ia menyalurkan hawa secara normal dan pernapasannya kembali dalam keadaan normal.
“Ha-ha-ha, tidak kecewa kau menjadi murid Kim-mo Taisu.”
Suling Emas membuka kedua matanya, lalu berlutut. “Banyak terima kasih atas petunjuk Locianpwe yang amat berharga.”
“Orang muda, bakatmu memang luar biasa. Pantas saja Kim-mo Taisu mengangkatmu sebagai murid. Manusia hidup mengejar ilmu. Ilmu harus dipergunakan di dunia ini untuk kemajuan hidup, untuk mengabdi kebajikan, dan memberantas kejahatan. Apa artinya mempelajari ilmu kalau tak mampu mempergunakan sebagaimana mestinya? Apa pula artinya puluhan tahun mempelajari ilmu kalau kesemuanya itu kelak dibawa mati? Karena inilah maka setiap tahun, hari pertama musim semi, aku selalu mencari jodoh untuk menurunkan beberapa ilmu yang berhasil kuciptakan. Siapa dapat bertemu denganku pada hari pertama musim semi, dia pasti akan menerima sesuatu dari ilmu-ilmuku sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing.”
Melihat kakek itu berhenti sebentar, Suling Emas yang selalu berwatak jujur tanpa mau menyembunyikan dan dipermainkan perasaan, berkata, “Teecu sudah mendengar akan hal itu, sudah pula teecu dengar betapa banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal keji dan jahat menerima pula warisan ilmu dari Locianpwe. Harap Locianpwe terangkan, mengapa Locianpwe menurunkan ilmu kepada mereka itu?”
Kakek itu tertawa lebar, giginya berkilauan tertimpa sinar matahari. “Aku sudah melepaskan diri dari pada ikatan perasaan, tidak mencinta tidak pula membenci, tiada yang baik dan tiada yang buruk bagiku. Betapa pun juga, aku seorang manusia yang masih dikuasai pikiran dan pertimbangan. Mereka yang berjodoh dan bertemu denganku, siapa pun dia, pasti akan menerima warisan ilmu sesuai dengan watak dan bakatnya.”
Suling Emas biar pun baru berusia tiga puluh tahun, namun ia seorang kutu buku yang sudah banyak melalap kitab-kitab kuno, maka ia dapat menerima pendirian seorang sakti seperti ini. Ia tidak mau berdebat, dan tidak berani mencela, maka ia lalu bertanya, “Teecu sudah menerima petunjuk dengan suara tadi, bolehkah teecu bertanya, apa nama ilmu itu dan apakah ilmu ini cocok dengan teecu maka Locianpwe mengajarkannya?”
“Orang muda, selama aku merantau dan setiap tahun menurunkan ilmu, hanya ada dua ilmu yang tak pernah dapat diterima orang, biar pun setiap kali sudah kucoba untuk menurunkannya. Yang pertama adalah ilmu yang terkandung dalam suara khim tadi, yang kuberi nama Kim-kang Sin-im (Tenaga Emas dari Suara Sakti). Kau tadi dapat melayani aku sampai lima puluh delapan jurus, itu sudah bagus sekali. Berarti kau sudah dapat menangkap inti sarinya, tinggal kau kembangkan saja, tergantung kepada ketekunan dan bakatmu. Yang kedua adalah ilmu yang juga tak pernah dapat dimengerti orang, yaitu Hong-in-bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Mega)! Kulihat kau cerdik, bakatmu luar biasa dan menilik pakaianmu, kiranya kau tidak asing akan sastra, bukan?”
“Teecu masih bodoh, akan tetapi teecu memberanikan diri untuk mencoba menyelami Ilmu Hong-in-bun-hoat itu, Locianpwe.”
Bu Kek Siansu terkekeh girang, lalu ia berdiri. Suling Emas tetap duduk bersila dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Dengan tenaga sinkang-nya ia dapat membuka mata tanpa berkedip berjam-jam lamanya.
“Lihat dan ingat baik-baik semua huruf ini, orang muda,” terdengar Bu Kek Siansu berkata.
Mulailah kakek itu menggerakkan tubuhnya lambat-lambat, kedua lengannya bergerak-gerak ke depan, mencorat-coret ke atas dan ke bawah. Kedua kakinya selalu bergerak, juga geserannya berupa corat-coret membentuk huruf yang disesuaikan dengan coretan bagian atas dengan kedua tangannya.
Suling Emas girang sekali bahwa dia dahulu adalah seorang yang amat tekun mempelajari ilmu sastra, sehingga ia hafal akan sepuluh ribu macam huruf. Ia melihat betapa gerakan yang dilakukan oleh kakek itu merupakan coretan-coretan huruf-huruf yang amat indah dan kuat. Lebih mudah baginya untuk mengingat karena ternyata setelah kakek itu melakukan belasan jurus, huruf-huruf itu membentuk sajak-sajak dalam pelajaran Nabi Khong Hu Cu yang ayat pertamanya berbunyi: THIAN BENG CI WI SENG (Anugerah Tuhan Adalah Watak Asli).
Tentu saja ia sudah hafal akan ayat-ayat kitab Tiong Yong ini, maka ia tidak perlu lagi untuk mengingat-ingat susunan kalimatnya, hanya perlu mengingat jurus gerakan setiap huruf. Hal ini menguntungkan Suling Emas karena perhatiannya tidak terpecah, dan setelah menyaksikan beberapa belas huruf ia sudah dapat menyelami inti sarinya sehingga selanjutnya ia dapat menduga bagaimana huruf-huruf lain dibentuk dalam gerakan silat itu. Setelah lewat seratus huruf, biar pun kini Bu Kek Siansu bersilat dengan luar biasa cepatnya, ia sudah dapat mengerti dengan baik bagaimana harus bersilat menurut goresan dalam pembentukan huruf-huruf suci itu.
Saking tertarik dan tekunnya, tanpa ia sadari dan sengaja, Suling Emas sudah bangkit dari atas tanah, dan otomatis ia juga bersilat, bukan meniru gerakan Bu Kek Siansu lagi, melainkan ia melanjutkan huruf-huruf yang belum dimainkan, sesuai dengan bunyi sajak dalam ayat-ayat kitab Tiong Yong.
“Cukup, tidak sia-sia kali ini aku berlelah-lelah,” Bu Kek Siansu tertawa gembira. “Dan saat pertemuan ini pun sudah cukup, kau boleh turun dari puncak sekarang juga.”
Suling Emas menjatuhkan diri berlutut menghaturkan terima kasih lalu berkata, “Budi Locianpwe terlalu besar terhadap teecu, bagaimana teecu berani memutuskan pertemuan penting ini sedemikian singkat? Teecu mohon petunjuk.”
“Ha-ha-ha, tidak ada manusia di dunia ini yang merasa puas dengan keadaannya sendiri. Siapa mengenal kepuasan dalam setiap keadaan, dialah manusia bahagia yang dapat menikmati berkah Tuhan. Orang muda, kiranya dengan kepandaian yang kau miliki ini, kau berada di persimpangan jalan yang dapat membawa kau ke jurang kejahatan, juga dapat membawamu ke alam murni. Hanya tokoh-tokoh terbesar dari golongan hitam dan putih saja yang sejajar dengan tingkat kepandaianmu.”
“Maaf akan kebodohan dan kecupatan pengetahuan teecu, Locianpwe. Bolehkah teecu menambah pengetahuan dengan mengenal nama-nama tokoh-tokoh itu?”
“Ha-ha, mereka yang selama ini menyembunyikan diri, setelah sekarang Kerajaan Sung berdiri, mereka mulai menampakkan diri, agaknya terpikat akan keadaan baru di dunia ini. Golongan hitam amat banyak tokohnya, akan tetapi kiranya hanya ada enam orang yang terkenal dengan sebutan Thian-te Liok-koai (Enam Setan Dunia). Kau tentu sudah mengenal siapa mereka, bukan?”
“Teecu pernah mendengar, akan tetapi belum pernah bertemu muka dengan mereka.”
“Ha-ha-ha, yang tiga orang tadi siapakah? Mereka adalah tiga di antara Liok-koai itu. Yang tiga orang lagi adalah Toat-beng Koai-jin (Setan Pencabut Nyawa), Tok-sim Lo-tong (Anak Tua Berhati Racun), dan Cui-beng-kwi (Setan Pengejar Roh). Kau berhati-hatilah terhadap enam orang ini. Mereka amat lihai dan memiliki kepandaian tinggi sekali.”
“Terima kasih, Locianpwe, akan teecu ingat benar pesan Locianpwe.”
“Ada pun tokoh-tokoh golongan putih juga banyak, akan tetapi mereka itu tidak suka menonjolkan diri, suka bersembunyi, di antaranya mendiang gurumu. Orang-orang seperti Kim-lun Seng-jin (Manusia Suci Roda Emas), dan Gan-lopek (Empek Gan) termasuk orang-orang luar biasa yang sukar dipegang ekornya ditentukan bulunya. Sudahlah, kelak kalau kau mempunyai nasib bertemu dengan mereka, kau akan dapat menilai sendiri. Sekarang pergilah, doaku selalu bersamamu selama kau tidak menyeleweng dari pada kebenaran.”
Suling Emas memberi hormat, kemudian pergi dari tempat itu tanpa menoleh lagi. Memang tingkat kepandaiannya sudah tinggi, sebentar saja seperti seekor garuda terbang, ia sudah menuruni Thai-san. Setelah tiba di kaki gunung, barulah ia menengok, bukan terkenang kepada siapa-siapa melainkan untuk mengagumi puncak Thai-san yang kini tertutup awan putih itu.
“Awan putih sudah tinggi, masih ada puncak Thai-san yang melewatinya. Namun dibanding dengan langit, puncak Thai-san masih terlalu rendah,” bibirnya membisikkan sebagian dari pada sajak kuno yang pada saat itu terlintas dalam ingatannya. Kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan langkah lebar sambil termenung mengingat kembali Kim-kong Sin-im dan Hong-in Bun-hoat yang baru saja ia terima dari Bu Kek Siansu.
********************
Bu Kek Siansu masih berdiri seperti patung memandang ke arah perginya Suling Emas, kemudian ia berbisik kepada diri sendiri, “Manusia akan bertemu dengan penderitaan hidup kalau ia mengharapkan kesenangan hidup. Dia dapat menahan derita hidup dengan tenang tanpa penyesalan, benar-benar seorang muda yang kuat. Kesenangan dikejar, penderitaan didapat, baru mendapatkan kekuatan batin. Mengapa manusia harus mengalami semua ini? Mengapa?”
Bu Kek Siansu mengeluarkan sebuah kitab kecil dari saku jubahnya dan membacanya sambil berdiri. Pada saat itu tiga bayangan orang muncul secepat terbang mendaki puncak.
Bu Kek Siansu menyimpan kembali kitabnya di saku, mengambil alat musik khim dan menggantungkannya di punggung. Kemudian dipandangnya tiga orang di depannya itu sambil tersenyum ramah.
“Bukankah kau Bu Kek Siansu?” tanya It-gan Kai-ong. Kakek tua renta itu mengangguk sambil tersenyum lebar.
“Kebetulan sekali. Dunia kang-ouw mengabarkan bahwa setiap tahun, pada hari pertama musim semi, kau akan muncul di dunia dan membagi-bagi ilmu. Hari ini adalah hari pertama musim semi, ilmu apakah yang dapat kau berikan kepadaku?”
Bu Kek Siansu tidak marah mendengar ucapan yang tidak sopan itu, ia hanya tersenyum.
“Aku pun menghadap padamu pada permulaan musim semi untuk minta diwarisi ilmu silat yang sakti, Bu Kek Siansu,” kata Siang-mou Sin-ni sambil melangkah maju.
“Yang datang menghadap adalah kami bertiga bukan hanya kau berdua,” Hek-giam-lo menyusul dengan suaranya yang dalam.
Bu Kek Siansu mengangkat kedua lengannya ke atas sambil tertawa. “Jangan khawatir, aku si tua tidaklah kikir dengan ilmu, hanya aku khawatir ilmu-ilmu yang kukenal tidak akan berjodoh dan cocok dengan pribadi kalian bertiga. Ketahuilah, bahwa ilmu-ilmuku hanya dapat diterima oleh orang yang menjauhkan diri dari pada rasa dengki, iri, murka, benci dan kejam. Tanpa dapat menjauhkan sifat-sifat ini, ilmu yang kuturunkan bukan hanya tak ada gunanya, malah mungkin akan merugikan tubuh sendiri. Nah, ilmu apakah yang hendak kalian minta?”
Tiga orang sakti itu saling pandang. Sifat-sifat yang disebut kakek itu tadi bukanlah sifat yang aneh apalagi pantang bagi golongan hitam mereka. Malah sifat kejam merupakan ukuran untuk kelihaian seseorang. Makin tinggi tingkatnya, harus makin kejam, karena siapa yang kurang kejam, berarti mempunyai kelemahan dan hal ini amat memalukan! Tentu saja mereka tidak sudi menerima ilmu dengan ikatan seperti itu.
“Bu Kek Siansu, tadi kami mendengar nyanyianmu yang mengharuskan orang membalas benci dengan kasih. Apakah kau termasuk orang yang tidak mempunyai rasa benci?”
“Mudah-mudahan Tuhan menguatkan batinku dan membungkus seluruh pikiran dan hatiku dengan sinar kasih-Nya.”
“Jadi kau tidak membenci golongan kami? Tidak akan membeda-bedakan dengan golongan lain?”
Bu Kek Siansu menggeleng kepala. Tentu saja ia dapat melakukan hal ini dengan mudah.
“Kalau begitu,” kata pula It-gan Kai-ong, “kau jangan pilih kasih. Tadi kau turunkan dua macam ilmu kepada Suling Emas. Nah, kami pun minta kau turunkan ilmu-ilmu itu kepada kami.”
“Betul, aku menghendaki dua ilmu itu,” kata Siang-mou Sin-ni.
“Ilmu-ilmu apa tadi itu dan apa namanya?” Hek-giam-lo menyambung.
“Ha-ha-ha, kalian bertiga memang bermata tajam, tidak percuma menjadi tiga di antara Thian-te Liok-koai! Memang tadi aku menurunkan dua macam ilmu kepada Suling Emas yang disebut Kim-kong Sin-im dan Hong-in Bun-hoat. Akan tetapi entah kalian dapat mengerti kedua ilmu itu dan menyukainya, tergantung kepada kalian sendiri. Bagaimana?”
Mereka bertiga tadi sudah merasakan sendiri bagaimana hebatnya kepandaian Suling Emas, padahal tanpa mereka ketahui bahwa sebetulnya yang meruntuhkan pedang-pedang itu adalah Bu Kek Siansu yang ingin mencegah terjadinya pertempuran berlarut antara orang-orang sakti itu. Maka tentu saja mereka merasa iri hati dan ingin mendapatkan ilmu yang tadi diwarisi oleh Suling Emas.
“Tidak perlu banyak cerewet, lekas perlihatkan Kim-kong Sin-im!” kata pula It-gan Kai-ong yang memang selalu bersikap kasar terhadap siapa pun juga. Baginya makin kasar sikapnya makin baik, gagah dan berwibawa!
“Kalian juga setuju?” Bu Kek Siansu yang masih tetap tersenyum itu bertanya kepada Siang-mou Sin-ni den Hek-giam-lo.
Keduanya meragu sejenak, akan tetapi terpaksa mengangguk karena tidak ada pilihan lain. Seperti juga It-gan Kai-ong, kedua orang sakti ini masih memandang rendah kepada Bu Kek Siansu dan mereka menaruh curiga kalau-kalau kakek tua renta ini akan menipu dan mempermainkan mereka.
“Baik... baik, kalian perhatikan dan dengarkan baik-baik. Sesuai dengan namanya, Ilmu Sin-im (Suara Sakti) dipelajari dengan pendengaran.” Kakek itu menurunkan alat musik khim dari punggungnya, duduk bersila di atas tanah, lalu terdengarlah suara khim, dimulai dengan “cring-cring” yang nyaring bening.
Mula-mula tiga orang sakti itu memandang penuh perhatian sambil mendengarkan dan mengikuti bunyi khim, akan tetapi tak lama kemudian mereka nampak gelisah sekali. Terutama Siang-mou Sin-ni, sebagai seorang wanita tentu saja paling mudah terpengaruh oleh suara khim itu. Wanita sakti ini mula-mula merasa jantungnya berdebar, kemudian setiap kali suara itu melengking tinggi, ia merasa seakan-akan jantungnya ditarik dan kalau suara itu merendah jantungnya seperti ditindih. Cepat ia mengerahkan sinkang di dalam tubuhnya dan di lain saat wanita ini sudah duduk bersila dengan mata meram dan muka pucat. Ia masih berusaha untuk menyelami bunyi yang makin aneh dan merupakan penyerangan langsung kepada isi dadanya.
Berturut-turut It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo juga terpaksa duduk bersila untuk mengumpulkan tenaga dalam tubuh dan melawan serangan-serangan hebat dari suara khim itu. Sebagai dua orang sakti, mereka pun maklum bahwa suara dari alat musik khim itu mengandung hawa penyerangan yang luar biasa dahsyatnya, oleh karena itu sambil menutup kelemahan diri dengan sinkang mereka pun memperhatikan dan berusaha menangkap inti sari dari pada Kim-kong Sin-im.
Baru seperempat jam saja orang itu sudah menderita hebat sekali. Wajah mereka pucat dan saking kerasnya mereka mengerahkan sinkang, kepala mereka sampai mengepulkan uap putih. Namun pelajaran itu masih juga belum dapat mereka tangkap inti sarinya. Atau ada juga yang dapat mereka tangkap, namun hanya menurut perkiraan mereka masing-masing. Ketiganya menyelami isi Kim-kong Sin-im secara berbeda, sesuai dengan watak masing-masing dan kesemuanya itu tentu saja menyeleweng dari pada inti sari yang sebenarnya.
Hal ini bukan sekali-kali karena ketiga orang ini masih rendah kepandaiannya. Sama sekali tidak. Dalam tingkat kepandaian ilmu silat, kiranya mereka tidak berselisih jauh dengan Suling Emas. Akan tetapi, seperti dikatakan oleh Bu Kek Siansu tadi, watak mereka tidak cocok dengan watak ilmu itu, lagi pula ilmu ini tersembunyi di dalam lagu dan seni suara.
Suling Emas dapat mewarisi inti sarinya karena orang muda itu menghadapi Kim-kong Sin-im dengan suara sulingnya sehingga seakan-akan ia ‘bertempur’ dengan ilmu ini. Karenanya ia lebih mudah untuk mengenal sifat-sifat menyerang dan bertahan dari Kim-kong Sin-im. Seperti sebuah nyanyian, orang akan lebih mengenal keindahannya kalau ia turut menyanyikannya, yang tentu jauh bedanya dengan kalau hanya mendengar saja.
Bu Kek Siansu memang tidak hendak membeda-bedakan. Ia mainkan khim seperti ketika ia bermain di depan Suling Emas tadi. Setelah ia berhenti, tiga orang itu masih duduk bersila dengan kedua mata meram. Bu Kek Siansu hanya tersenyum dan dengan tenang menyimpan kembali alat musik khim itu di atas punggungnya, kemudian ia bangkit berdiri, menanti sambil membaca kitab kecil.
Tiga orang sakti itu tidak berani segera bangkit karena suara khim tadi masih terus terngiang di dalam telinga, malah seakan-akan meresap ke dalam otak dan dada. Setelah kurang lebih sepuluh menit, baru mereka membuka mata dan meloncat bangun. Jelas mereka itu kecewa, akan tetapi karena masing-masing merasa bahwa mereka dapat memetik inti sari ilmu aneh tadi, mereka diam saja, hanya memandang kepada Bu Kek Siansu dengan mata marah.
Bu Kek Siansu menyimpan kitab kecilnya lalu berkata, “Kim-kong Sin-im sudah kalian dengar. Apakah kalian juga menghendaki supaya aku mainkan Hong-in Bun-hoat seperti yang kulakukan di depan Suling Emas tadi?”
“Kakek, kau tadi bersilat di depan Suling Emas, nah, ilmu silat itulah yang harus kau turunkan kepada kami,” kata It-gan Kai-ong.
“Kai-ong, itulah tadi yang disebut Hong-in Bun-hoat. Kalau kalian menghendaki, akan kumainkan. Bagaimana dengan kalian, Hek-giam-lo dan Sin-ni?”
Karena tidak tahu harus memilih ilmu silat apa, kedua orang ini hanya mengangguk. Betapa pun juga mereka masih ragu-ragu dan memandang rendah kakek ini. Apakah gunanya Ilmu Kim-kong Sin-im tadi? Masa menghadapi lawan harus bermain musik! Gila! Maka mendengar bahwa Hong-in Bun-hoat yang akan diturunkan kali ini adalah gerakan-gerakan silat seperti yang mereka lihat dari tempat persembunyian mereka tadi ketika kakek ini berhadapan dengan Suling Emas, tentu saja mereka setuju dan agak lega, mengharapkan akan menerima warisan ilmu silat yang tinggi dan sakti.
Seperti juga tadi ketika mengajar Suling Emas, Bu Kek Siansu mulai menggerakkan tubuhnya lambat-lambat, kedua lengan dan kakinya bergeser dan membentuk goresan dan lingkaran. Bukan lain yang ia mainkan itu adalah gerakan menurut huruf-huruf pertama sajak dalam kitab Tiong Yong. Seperti diketahui, kitab Tiong Yong mengandung tiga puluh tiga pelajaran, merupakan ilmu batin yang amat tinggi dan luhur.
Bu Kek Siansu mulai mencoret-coret huruf-huruf pelajaran pertama ayat pertama yang lengkapnya berbunyi demikian:
THIAN BENG CI WI SENG
SUT SENG CI WI TO
SIU TO CE WI KAUW
Tiga baris huruf yang merupakan ayat pertama dari pelajaran pertama mempunyai arti yang amat dalam. Kalau diterjemahkan secara bebas kira-kira begini:
Anugerah Tuhan adalah watak asli
Selaras dengan watak asli adalah To
Melaksanakan To adalah pelajaran kebatinan (agama).
Jelas bahwa huruf-huruf itu merupakan ayat-ayat suci dalam kitab Tiong Yong, yang mengajar manusia menuju kembali ke watak asli anugerah Tuhan, berarti menuntun manusia kembali mendekati dan mentaati kehendak Tuhan. Tiga orang tokoh sakti seperti It-gan Kai-ong, Siang-mou Sin-ni, dan Hek-giam-lo yang merupakan manusia-manusia yang ingkar terhadap Tuhan mana ada minat untuk mempelajari segala macam kitab yang mengemukakan pelajaran tentang kebajikan?
Sebagai orang-orang yang berpengetahuan luas, tentu saja mereka dapat membaca dan dapat mengikuti gerakan-gerakan Bu Kek Siansu. Akan tetapi mereka hanya dapat menangkap kulitnya atau luarnya belaka, tak mampu menyelami isinya. Harus diketahui bahwa ilmu silat sakti Hong-in Bun-hoat ini rahasianya tidak terletak pada macam huruf yang ditulis dengan gerakan saja, melainkan lebih mendalam, yaitu lebih mendekati arti dari pada ayat-ayatnya. Karena itulah Bun-hoat (Ilmu Sastra) ini disebut Hong-in (Angin dan Awan), karena sifatnya seperti ilmu sastra dan begitu dalam rahasianya seperti juga angin yang dapat terasa tak dapat terpegang dan awan yang dapat terlihat tak dapat terpegang pula!
Tidak mengherankan apa bila tiga orang itu menjadi kecewa dan bosan melihat kakek itu terus menggerakkan kaki tangan membentuk goresan dan lingkaran huruf-huruf itu. Apa artinya itu semua? Apa gunanya? Mereka menganggap kakek itu main-main dan menipu mereka.
Agar jangan dianggap berat sebelah, Bu Kek Siansu bersilat terus dan baru berhenti di bagian yang sama ketika ia bersilat di depan Suling Emas tadi. Ia tersenyum memandang ketiga orang itu yang sebaliknya memandangnya dengan mata marah.
“Nah, puaskah kalian?”
“Puas apa? Kau main-main dengan kami! Bu Kek Siansu, kalau kau ada kepandaian, jangan kikir, turunkan kepada kami,” kata It-gan Kai-ong dengan suara marah.
“Jangan-jangan kakek ini hanya menyombong saja, padahal tidak becus apa-apa. Kai-ong, alangkah akan memalukan kalau orang melihat kita bertiga diingusi kakek tua bangka ini,” kata Siang-mou Sin-ni sambil tersenyum masam.
Ada pun Hek-giam-lo hanya mendengus saja, marah dan mengangkat sabitnya. Tiga orang tokoh ini saling pandang. Dalam pertemuan pandang ini ketiganya sudah bermufakat.
Tanpa mengeluarkan peringatan lagi, secara tiba-tiba tiga orang sakti itu menerjang maju, menyerang Bu Kek Siansu yang masih tersenyum-senyum sambil menundukkan mukanya. Entah pukulan siapa yang datang lebih dulu saking cepatnya gerakan mereka. Tongkat It-gan Kai-ong menotok pusar, rambut Siang-mou Sin-ni menghantam sembilan jalan darah di leher, dada, dan pundak, sedangkan sabit di tangan Hek-giam-lo membacok kepala! Semua merupakan serangan-serangan maut, dan semua penyerangan itu dengan tepat mengenai sasaran. Sambil mengeluh panjang Bu Kek Siansu roboh!
Serentak tiga orang itu menubruk. Siang-mou Sin-ni berhasil merampas alat musik khim, sedangkan It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo yang berniat merampas kitab kecil yang dibaca kakek itu tadi, masing-masing mendapat separuh bagian karena kitab kecil itu telah terobek menjadi dua bagian ketika mereka saling berebut.
Sambil tertawa-tawa mereka memandang tubuh kakek itu dan mata mereka terbelalak, bulu tengkuk mereka meremang. Kakek itu sama sekali tidak kelihatan luka, bahkan kepala yang dihantam sabit tajam itu pun sama sekali tidak mengeluarkan darah, sama sekali tidak terluka. Namun jelas bahwa kakek itu tidak bernapas lagi, dan ketika It-gan Kai-ong memeriksa denyut nadinya, darahnya juga sudah berhenti, nadinya tidak berdenyut lagi.
“Ha-ha-ha, Bu Kek Siansu yang disohorkan orang setengah dewa, kiranya hanya seorang yang lemah,” kata It-gan Kai-ong.
“Seorang penipu!” sambung Siang-mou Sin-ni.
Hek-giam-lo bergidik, berkali-kali memandang ke arah kepala kakek itu dan ke arah sabitnya. “Aku benci ilmu sihirnya ini, kita buang dia ke jurang saja,” ia menggumam, lalu menggunakan kakinya menendang.
Tubuh kakek itu terlempar ke arah jurang dan menggelinding turun, diikuti suara ketawa It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni. Akan tetapi tiba-tiba suara ketawa mereka terhenti dan pada saat itu, mereka bertiga terhuyung-huyung dan hampir roboh. Ada angin dorongan yang luar biasa dahsyatnya datang menyerang mereka dari arah jurang tadi.
“Celaka..., rohnya mengamuk...!” It-gan Kai-ong berseru dengan muka pucat dan ia segera melompat jauh dan melarikan diri. Dua orang temannya juga kaget dan ketakutan, cepat kabur meninggalkan puncak Thai-san.
Tak lama kemudian, tampak Bu Kek Siansu melayang ke luar dari dalam jurang, berdiri di tempat yang tadi sambil termenung dan menarik napas panjang berkali-kali. “Tuhan menghendaki demikian. Akan geger di dunia persilatan... harapanku ada pada Suling Emas.” Lalu ia berjalan perlahan meninggalkan puncak.
********************
Pada masa itu keadaan di seluruh negara masih kacau-balau. Hal ini biasa terjadi setiap kali ada peralihan kekuasaan. Wangsa Sung baru setahun berdiri, didirikan oleh Cao Kuang Yin yang tadinya merupakan panglima tertinggi dari pada wangsa kelima. Sebelum itu, Tiongkok dikuasai oleh Lima Wangsa yang memecah-mecah negara sesudah Wangsa Tang roboh (tahun 907), sampai lahirnya Wangsa Sung atas jasa Cao Kuang Yin yang kemudian menjadi kaisar pertama yang berjuluk Sung Thai Cu.
Daerah-daerah yang tadinya semasa Kerajaan Tang telah melepaskan diri dan berdiri sendiri, dapat ditundukkan kembali dan dimasukkan ke dalam wilayah Kerajaan Sung. Namun, hal ini bukan berarti bahwa kejayaan seperti di masa gemilangnya Kerajaan Tang sudah kembali, sama sekali bukan. Kerajaan Sung yang baru ini tidak mampu menundukkan kerajaan-kerajaan kecil yang masih tetap berdiri di pelbagai daerah. Yang besar-besar di antaranya adalah daerah timur laut sampai ke Mancuria Selatan berada di dalam kekuasaan suku bangsa Khitan. Di daerah tenggara sepanjang pantai terdapat Kerajaan Wu-yue, dan di daerah Yu-nan ada Kerajaan Nan-cao. Masih banyak lagi daerah lain yang merupakan kerajaan kecil dan tidak mengakui kedaulatan Kerajaan Sung.
Tentu saja seringkali terjadi bentrokan-bentrokan kecil, namun tidak sampai meluas. Kerajaan Sung sudah merasa cukup puas dengan daerah dan wilayahnya, dan perlu membangun negara setelah persatuan dapat dibina. Sebaliknya, kerajaan-kerajaan kecil itu pun tidak ingin mencari gara-gara dengan kerajaan baru yang cukup kuat itu.
Pada suatu pagi yang cerah, sebuah perahu meluncur perlahan dan tenang mengikuti aliran Sungai Han yang mengalir ke timur, dari daerah Shan-si terus ke timur sampai tiba di Laut Kuning. Air sungai ini agaknya tidak mengenal diskriminasi, tidak seperti manusia. Buktinya ia terus mengalir ke tiga daerah yang dikuasai oleh tiga kerajaan, mengalir tenang dan biasa, tanpa perbedaan!
Sunyi di sepanjang sungai itu. Di atas perahu tampak empat orang penumpang. Seorang di antara mereka jelas adalah tukang perahu, laki-laki setengah tua yang gemar berceloteh, berkumis panjang berpakaian sederhana dengan tambalan di sana-sini. Kedua lengannya yang memegang dayung tampak kuat berotot yang timbul oleh tugasnya sehari-hari. Kulitnya coklat kehitaman terbakar matahari.
Tiga orang yang menumpang perahunya masih muda-muda. Yang pertama adalah seorang pemuda, kurang lebih dua puluh tiga tahun usianya. Tampan dan keren wajahnya, matanya tajam bersungguh-sungguh, mulutnya membayangkan kekerasan hati, dahinya lebar, pakaiannya sederhana tapi bersih, di punggungnya tergantung sebatang pedang.
Orang kedua adalah seorang gadis berusia dua puluh tahun, juga berpakaian sederhana ringkas, sebagian rambutnya dikuncir dua di kanan kiri. Gadis ini cukup cantik, sepasang matanya bersorot terang, wajahnya yang berkulit putih itu membayangkan kehalusan budi, bibirnya selalu tersenyum membayangkan keramahan. Juga gadis ini membawa pedang yang dipegang di tangan kiri.
Orang ketiga juga seorang gadis, masih remaja, paling banyak tujuh belas tahun usianya. Kalau gadis pertama sama betul waiahnya dengan si pemuda, adalah gadis ini lain sekali. Wajahnya cantik jelita, rambutnya hitam tebal digelung di kedua sisi kepalanya. Ia juga berpedang, tergantung di pinggang kanan.
Siapakah mereka ini? Mereka adalah kakak beradik, bukan orang-orang sembarangan, melainkan putera-puteri dari seorang tokoh besar yang amat terkenal di jaman Lima Wangsa. Kam-goanswe (Jenderal Kam) adalah seorang tokoh besar yang terkenal karena berani menentang kekuasaan Li Ko Yung, Gubernur Propinsi Shan-si yang dahulu memberontak terhadap Kaisar Wangsa Tang.
Kam-goanswe yang namanya adalah Kam Si Ek, seratus prosen berjiwa pahlawan dan memiliki kesetiaan lahir batin. Karena inilah maka ia dimusuhi oleh Li Ko Yung yang mengangkat diri sendiri menjadi raja kecil. Sama sekali jasa Kam-goanswe dilupakan, padahal ketika daerah ini diserang oleh suku bangsa Khitan, Jenderal Kam inilah yang paling berjasa menyelamatkan daerah Shan-si. Semenjak bentrokan itu, Kam-goanswe melepaskan jabatannya dan mengundurkan diri ke desa Ting-chun, sebuah desa di kaki Gunung Cin-ling-san, di lembah Sungai Han yang bermata air di gunung itu. Ia hidup bertani dengan anak isterinya.
Tiga orang muda itu adalah putera-puteri Kam Si Ek. Yang pertama adalah pemuda tampan itu yang bernama Kam Bun Sin. Anak kedua adalah Kam Sian Eng, gadis cantik jelita dan gagah. Ada pun gadis yang termuda, gadis lincah jenaka, bernama Kam Lin, atau biasa disebut Lin Lin. Gadis ini sebetulnya bukanlah puteri Kam Si Ek, melainkan anak pungut.
Belasan tahun yang lalu, dalam sebuah peperangan melawan suku bangsa Khitan, Jenderal Kam menemukan seorang anak perempuan berusia dua tiga tahun dalam gendongan seorang wanita yang tewas dalam pertempuran. Wanita Khitan ini mati dengan pedang di tangan, bukan main gagah sikapnya. Jenderal Kam amat kagum menyaksikan ini dan dia lalu membawa pulang anak perempuan itu, mengambilnya sebagai anak sendiri dan memberi nama Kam Lin. Nama ini adalah nama anak itu sendiri, karena ketika ditanya, ia hanya bisa menunjuk dada sendiri sambil menyebut “Lin Lin”.
Lin Lin tahu bahwa dia adalah seorang anak angkat, namun ia tidak merasa sebagai anak angkat. Selama hampir lima belas tahun hidup di dalam rumah gedung keluarga Kam, ia diperlakukan sama dengan anak-anak lain. Ayah ibu angkatnya amat cinta kepadanya, demikian pula Bun Sin dan Sian Eng. Oleh karena inilah maka Lin Lin merasa bahwa dia memang seratus prosen anggauta keluarga Kam, tidak mau ingat lagi akan asal-usulnya yang oleh ayah angkatnya dikatakan bahwa ayah ibunya sendiri telah tewas menjadi korban perang. Ayah angkatnya tidak tahu siapa ayah bundanya, juga tidak dapat memberi tahu di mana tempat tinggal mereka karena menurut jenderal itu, ia ditemukan di antara para pengungsi!
Sebagai seorang jenderal perang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, tentu saja Kam Si Ek menggembleng tiga orang anaknya ini dengan ilmu silat keluarga Kam. Ternyata tiga orang anak itu mempunyai bakat yang baik dan memiliki keistimewaan yang menonjol. Bu Sin maju dalam penggunaan ilmu lweekang (tenaga dalam), Sian Eng mahir bermain pedang, sedangkan Lin Lin mengagumkan sekali keringanan tubuhnya dan karenanya ia amat maju dalam ilmu ginkang.
Keluarga Kam hidup tenteram dan bahagia di dusun Ting-chun sampai lebih dari sepuluh tahun lamanya. Mereka hidup sederhana sebagai petani. Kesederhanaan dusun dan pekerjaan di sawah ladang membuat mereka selalu sehat dan gembira.
Akan tetapi, seperti sudah menjadi sifat dunia dan segala isinya, tiada sesuatu yang langgeng. Alam dan isinya selalu berubah, demikian pula kehidupan manusia. Selama manusia masih terikat oleh kehidupan, ia akan selalu mengalami perubahan-perubahan seperti samudera yang selalu mengalami pasang surut, selalu bergelombang. Ada kalanya pasang ada kalanya surut, ada kalanya tenang, ada kalanya diamuk taufan. Hanya manusia pandir sajalah yang tidak mau ingat akan hal ini dan menjadi mabuk dan sombong di waktu jaya sebaliknya putus asa dan mata gelap di waktu sengsara.
Kalau orang selalu ingat bahwa kalah dan menang, sengsara dan jaya, susah dan senang, semua itu adalah saudara-saudara sepupu yang silih berganti menguasai kehidupan, ia akan selalu bersikap waspada, tidak mabuk oleh kemenangan, tidak putus asa oleh kekalahan, waspada akan tindakan pribadi agar tidak menyeleweng dari pada kebenaran. Ingat selalu bahwasanya TUHAN yang berkuasa mengatur kesemuanya itu, bahwa manusia tiada bedanya dengan titik-titik air di samudera, tak kuasa melepaskan diri dari pada gelombang kalau belum KELUAR dari dalam samudera
. Hari itu menjelang senja. Kam Si Ek bersama tiga orang anaknya tengah berlatih silat di pekarangan belakang rumah yang tertutup pagar tembok. Tingkat kepandaian Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin sudah cukup tinggi, malah boleh dibilang sudah hampir setingkat dengan ayah mereka sendiri. Mereka bertiga kini sedang mainkan pedang dengan gaya masing-masing, ditonton oleh Kam Si Ek yang berdiri sambil bertolak pinggang dan mengangguk-angguk puas. Ketika ia melihat betapa tubuh Lin Lin yang berpakaian merah itu berubah menjadi bayangan merah digulung sinar putih dari pedang yang dimainkannya, diam-diam Kam Si Ek kagum.
“Hebat bocah ini... kiranya kelak ia yang paling menonjol. Heran benar, apakah orang tuanya dahulu keturunan orang gagah bangsa Khitan?” demikian ia berkata seorang diri.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak yang amat nyaring. Kam Si Ek dan tiga orang anaknya yang mendengar suara ini segera menghentikan permainan silat dan menoleh ke arah suara. Kiranya di atas tembok sebelah kanan telah jongkok seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam. Melihat orang ini, Kam Si Ek terkejut sekali dan wajahnya berubah.
“Giam Sui Lok, mau apa kau datang ke sini?”
Orang tinggi besar muka hitam itu tertawa lagi, tetap masih berjongkok di atas tembok. Matanya yang besar itu melirik ke arah Siang Eng dan Lin Lin dengan pandang mata kurang ajar. “Kam-goanswe...”
“Aku bukan jenderal lagi, tak usah kau berpura-pura tak tahu.”
“Ha-ha-ha, orang she Kam. Kau juga pura-pura tidak tahu mengapa aku datang ke sini?”
Kam Si Ek menoleh ke arah tiga orang anaknya dan wajahnya makin gelisah. “Orang she Giam, aku sedang sibuk melatih anak-anakku. Urusan antara kita orang-orang tua boleh kita bicarakan nanti.”
“Kapan?”
“Malam nanti kunanti kunjunganmu.”
Laki-laki tinggi besar muka hitam itu tertawa bergelak. “Boleh, boleh..., aku tidak khawatir kau akan dapat lari, ha-ha!” tubuhnya berkelebat dan lenyap di balik pagar tembok.
“Ayah, siapa dia?” tanya Bu Sin tak enak.
“Dia kurang ajar sekali,” cela Sian Eng.
Akan tetapi dengan gerakan seperti seekor burung walet terbang tahu-tahu Lin Lin sudah melayang ke atas pagar tembok dengan pedang terhunus di tangan kanan. Wajah gadis yang cantik jelita itu kini tampak marah.
“Lin Lin, kembali kau...!” Kam Si Ek berseru cemas.
Lin Lin berdiri di atas tembok, memandang ke sana ke mari, lalu meloncat turun kembali dan berlari mendekati ayahnya. “Heran, ke mana ia sembunyi? Mulutnya kotor sikapnya kasar, orang macam itu mengapa tidak dihajar saja, Ayah?”
Kam Si Ek tersenyum, girang melihat bahwa anak-anaknya mempunyai nyali besar, akan tetapi juga amat khawatir karena ia maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh kalau dibandingkan dengan kepandaian orang-orang sakti di dunia kang-ouw. Sedangkan di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang jahat dan berbahaya, di antaranya adalah Giam Sui Lok yang datang tadi. Ia maklum bahwa antara dia dan Giam Sui Lok harus diakhiri dengan pertempuran mati-matian dan ia tidak ingin kalau anak-anaknya terlibat dalam urusan permusuhan lama ini.
“Dia itu bekas teman lama. Ada urusan penting di antara kami yang tak perlu kalian ketahui. Bu Sin, kau ajak kedua orang adikmu pergi ke kuil Kwan-im-bio di puncak Cin-ling-san sekarang juga. Kau sampaikan hormatku kepada Kui Lan Suci (kakak seperguruan Kui Lan), dan katakan bahwa besok dia bersama kalian bertiga kuharapkan sudi turun puncak datang ke sini membawa peti hitam yang kutitipkan kepadanya sepuluh tahun yang lalu.”
“Tapi, Ayah, orang tadi...,” Bu Sin yang cerdik membantah, khawatir kalau-kalau orang tadi akan datang membikin ribut. Ingin ia berada di samping ayahnya untuk membantu jika sewaktu-waktu ayahnya terancam bahaya.
Kam Si Ek tertawa. “Dia memang ada urusan denganku, tapi ini urusan orang-orang tua, kau tahu apa? Sudahlah cepat berangkat sebelum gelap, dan besok kembali bersama Sukouw (Bibi Guru) kalian.”
Biar pun hati mereka tidak rela, namun tiga orang muda itu tidak berani membantah kehendak ayahnya, apalagi mereka dapat menduga bahwa memang ayahnya sengaja menyuruh mereka malam itu pergi dari rumah. Setelah berpamit kepada ibu mereka, tiga orang muda ini lalu bergegas mendaki puncak gunung Cin-ling-san yang tinggi itu sambil membawa obor yang akan dinyalakan kalau malam tiba dan mereka belum tiba di puncak.
Yang dimaksudkan Kwan-im-bio di puncak Cin-ling-san adalah sebuah kelenteng pendeta-pendeta wanita yang memuja Dewi Kwan Im. Pemimpin atau kepala para nikouw (pendeta wanita) di kelenteng itu adalah Kui Lan Nikouw yang terhitung kakak seperguruan Kam Si Ek. Tiga orang kakak beradik itu sudah sering kali bermain-main ke puncak, malah pendeta wanita itu amat sayang kepada mereka dan berkenan pula memberi petunjuk-petunjuk dalam hal ilmu silat.
Perjalanan mendaki puncak itu makan waktu tiga jam, padahal tiga orang muda itu sudah mempergunakan ilmu lari cepat. Biar pun cekatan gerakan mereka, perjalanan itu agak lambat juga karena hanya diterangi oleh obor di tangan.
Kui Lan Nikouw yang sudah berusia enam puluh tahun lebih. Mukanya masih segar dan gerakan-gerakannya masih gesit. Wanita itu menjadi kaget melihat kedatangan tiga orang murid keponakannya di waktu malam gelap itu.
“Eh, apa yang terjadi? Mengapa malam-malam datangnya?” tegurnya, namun hatinya sudah lega melihat wajah tiga orang murid keponakan itu tidak membayangkan sesuatu yang hebat.
Setelah mereka berlutut memberi hormat, Bu Sin berkata, “Ayah yang menyuruh teecu (murid) bertiga, Sukouw. Pertama-tama Ayah menyuruh kami menyampaikan hormat. Kedua kalinya, Ayah mohon kepada Sukouw agar sudi bersama kami turun gunung menuju ke pondok kami sambil membawa peti hitam yang sepuluh tahun lalu Ayah titipkan kepada Sukouw.”
“Hemmm, hemmm... Ayahmu memang aneh. Urusan begini saja menyuruh kalian malam-malam bersusah payah ke sini. Kenapa tidak siang-siang tadi, atau besok saja kalau sudah terang? Masuklah, kalian tentu lelah dan belum makan, bukan? Untung banyak sayur-sayuran segar, tinggal masak saja. Sian Eng, Lin Lin, kalian bantu Sukouw-mu, hayo ke dapur!” Memang nenek pendeta itu orangnya ramah sekali dan amat disayang oleh tiga orang murid keponakan ini.
Akan tetapi nikouw itu tertegun melihat tiga orang keponakannya tinggal diam saja, dan jelas mereka ingin menyatakan sesuatu. Ia mulai merasa tidak enak lagi.
“Eh, kalian ini bocah-bocah ada urusan apakah? Kalau ada kepentingan, hayo bilang, jangan ragu-ragu!”
“Sukouw, sebetulnya... kami sendiri merasa tidak enak dan hanya karena dipaksa oleh Ayah, maka kami pergi ke sini, maka teecu bertiga mohon petunjuk dan nasihat Sukouw.”
“Ada apa? Hayo lekas bicara.” Makin tak enak hati Kui Lan Nikouw.
Bu Sin lalu menceritakan kepada bibi gurunya tentang kunjungan laki-laki tinggi besar muka hitam yang mencurigakan tadi, menceritakan pula percakapan antara tamu itu dan ayahnya.
“Hemmm, laki-laki tinggi besar muka hitam? Kau tahu siapa namanya?”
“Ayah menyebut namanya. Giam Sui Lok namanya, Sukouw,” kata Lin Lin. “Orangnya kurang ajar, mukanya buruk, ingin aku bacok hidungnya dengan pedangku!”
Biasanya, kelincahan dan kejenakaan Lin Lin menggembirakan hati nikouw itu, akan tetapi kali ini ia tampak termenung. “Giam Sui Lok...? Ah, akhirnya dia datang juga....”
“Sukouw kenal dia? Siapakah dia dan mengapa dia datang mencari Ayah dengan sikap begitu kurang ajar?” Bu Sin mendesak.
“Berbahaya, tentu terjadi pertumpahan darah... Wah, anak-anak, hayo kita turun puncak sekarang juga. Siapkan obor, biar kuambil peti hitam Ayahmu. Nanti di jalan kuceritakan siapa adanya orang she Giam itu.”
Lega hati tiga orang anak muda itu. Cepat mereka mempersiapkan obor empat buah banyaknya, dan ketika nikouw itu keluar membawa sebuah peti hitam yang panjangnya tiga kaki lebar dan tingginya satu kaki, mereka segera ingin membantu. Akan tetapi nikouw itu tidak memperkenankan mereka.
“Jalan turun agak sulit, biar aku yang bawa peti ini dan kalian yang menerangi jalan. Hayo berangkat!”
Di tengah perjalanan, nikouw itu tidak bercerita banyak, akan tetapi cukup membuat tiga orang muda itu termenung dan berdebar-debar jantungnya.
“Orang she Giam itu memang musuh lama Ayahmu, dan memang Ayahmu betul menyuruh kalian pergi agar tidak mencampuri urusan itu. Urusan itu adalah urusan pribadi yang hanya dapat diselesaikan antara Ayahmu, orang she Giam itu, dan Ibumu.”
“Permusuhan apa, Sukouw?” Bu Sin bertanya penasaran.
“Urusan... eh, urusan... percintaan. Sebelum Ibumu menikah dengan Ayahmu, orang she Giam itu adalah... eh, ia dan Ibumu agaknya saling mencinta, lalu datang Ayahmu hingga terjadi persaingan. Ayahmu menang dan orang she Giam itu pergi dengan hati patah dan penuh dendam. Selama belasan tahun ini entah sudah berapa kali ia datang menantang Ayahmu, akan tetapi ia selalu kalah oleh Ayahmu. Sekarang ia datang lagi, tentu akan terjadi perkelahian mati-matian. Dasar orang-orang lelaki memang aneh dan tolol... eh, mengapa aku bicara begini? Hemmm, urusan ini benar-benar membuat hati dan pikiran pinni (aku) kacau-balau....”
Sudah cukup jelas bagi mereka bertiga. Juga cerita itu membuat mereka menjadi malu dan tidak enak, maka mereka membungkam tidak berani bertanya lagi. Bahkan kebencian mereka terhadap orang she Giam itu agak berkurang setelah mereka mendengar bahwa dia itu dahulunya saling mencinta dengan ibu mereka. Bahkan dalam hati kecil Lin Lin timbul rasa kasihan. Perasaan aneh yang belum pernah ia rasakan terhadap seorang laki-laki.
Karena merasa tegang dan khawatir setelah mendengar keterangan Kui Lan Nikouw, perjalanan dilakukan cepat sekali dan hanya memakan waktu dua jam. Betapa pun juga, tengah malam hampir tiba ketika mereka memasuki pekarangan yang lebar di rumah gedung keluarga Kam. Dapat dibayangkan betapa gelisah hati orang-orang muda itu ketika melihat rumah mereka gelap sama sekali. Setelah meloncat mereka berlari ke arah pintu depan dengan obor di tangan.
“Ayah...!” Bu Sin berseru keras dan segera diturut oleh Sian Eng dan Lin Lin yang berteriak-teriak memanggil ayah ibu mereka.
“Tenang, anak-anak. Mencurigakan sekali ini, mengapa begini sunyi? Biar aku yang masuk lebih dulu,” kata Kui Lan Nikouw yang selalu berhati-hati dan yang sudah banyak pengalamannya.
Nikouw itu sambil memondong peti hitam di tangan kiri dan tangan kanannya siap di depan dada, berjalan masuk ke dalam rumah diterangi dari belakang oleh tiga orang keponakannya. Ruangan depan sunyi dan kosong. Pada saat mereka memasuki ruangan tengah yang lebar, tiga orang anak muda itu menjerit dan lari menubruk ke depan. Ayah mereka menggeletak mandi darah di sudut, tak jauh dari situ menggeletak pula ibu mereka, juga bermandi darah, dan di sudut lain mereka melihat laki-laki tinggi besar muka hitam itu rebah terlentang dengan mata mendelik, juga mandi darah!
Tiga orang anak muda itu menangis, sebentar memeluk ayah, sebentar menubruk ibu, mengguncang-guncang dan memanggil-manggil. Tiba-tiba Lin Lin bangkit berdiri, matanya menyinarkan api.
“Sratt!” pedang sudah ia cabut dan sekali loncat ia sudah mendekati mayat orang she Giam itu.
“Kau yang membunuh Ayah Ibu!” pedangnya bergerak menyambar hendak memenggal leher mayat itu.
Gerakannya tertahan ketika tekanan pada pundak kanannya membuat tangan yang memegang pedang menjadi lemas. Kiranya bibi gurunya sudah berdiri di belakangnya. Ketika Lin Lin menoleh dan melihat bibi gurunya, ia menangis dan memprotes, “Dia membunuh Ayah Ibu, Sukouw, dia harus kucincang hancur!”
“Ssttt, anak bodoh. Simpan pedangmu. Kalau dia membunuh ayah bundamu, bagaimana dia sendiri mati di sini?”
“Dia berhasil membunuh Ibu, lalu berhasil membunuh Ayah, akan tetapi tentu Ayah juga dapat melukainya sehingga ia pun mampus!” Lin Lin membantah lagi dengan penasaran.
“Tenanglah, dan tengok. Bu Sin, Sian Eng, kalian juga periksa baik-baik. Kumpulkan obor-obor itu ke sini. Nah, lihat. Mereka bertiga tewas dengan luka-luka pada perut dan dada, luka-luka oleh senjata tajam. Dan kalian lihat itu, pedang itu tentu pedang Ayahmu, terpental di sana dan sedikit pun tidak ada tanda darah. Dan orang she Giam itu tentu bersenjata golok, nah, di mana goloknya? Juga terpental dan tidak ada tanda darah. Memang dia ahli golok sejak dulu. Terang bahwa baik pedang Ayahmu mau pun golok dia itu tidak menjadi sebab kematian mereka semua ini. Eh... nanti dulu! Ibumu belum mati... biar kutolong dia....”
Nikouw itu lalu meletakkan peti hitam di atas meja dan cepat ia berlutut memeriksa Nyonya Kam. Benar saja dugaannya, nyonya ini biar pun terluka hebat, tetapi masih belum tewas. Setelah ditotok dan diurut beberapa kali oleh jari-jari tangan Kui Lan Nikouw yang ahli, ia mengeluh perlahan.
“Siapa membunuhmu? Katakan, pinni Kui Lan Nikouw di sini, kenal aku? Nah, katakan, siapa melakukan semua ini?” kata-kata yang nyaring dari nikouw itu, yang mengandung desakan, membuat hati tiga orang anak muda itu seperti diremas-remas. Desakan yang tak sabar ini cukup jelas bagi mereka bahwa ibu mereka tak dapat ditolong lagi, hanya dapat diharapkan memberi keterangan tentang pembunuhan itu.
“Iihhh... takut... takut... setan...!” Nyonya itu berteriak-teriak ketakutan.
Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin yang semenjak kecil digembleng ilmu silat dan sifat-sifat kegagahan, mau tidak mau merasa ngeri dan meremang bulu tengkuk mereka mendengar jerit ibu mereka ini.
“Tenang, adikku, pinni berada di sini. Setan apa yang kau takuti?” kembali nikouw itu membujuk dan mendesak.
Nyonya itu menangis, terengah-engah, lalu berkata, lirih tapi masih ketakutan, “Setan... dalam peti mati... suaranya... suling... suling maut....”
Nikouw itu berdiri. Nyonya yang ketakutan itu sudah tak bergerak lagi. Tiga orang muda itu menubruk dan menangisi ibunya. Kui Lan Nikouw berbisik-bisik, membaca mantera dan doa-doa, mendoakan roh-roh ketiga orang itu. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi dapat menduga bahwa tiga orang itu menjadi korban seorang penjahat yang luar biasa sekali. Mungkin ucapan terakhir dari ibu Bu Sin dan Sian Eng tadi hanyalah kata-kata igauan yang tiada artinya. Akan tetapi bahwa pembunuh itu sakti, tak dapat disangsikan lagi karena tingkat kepandaian Kam Si Ek bukanlah rendah, apalagi orang she Giam itu juga menjadi korban, terbunuh secara mengerikan.....
Suling Emas terheran-heran. Ia melompat turun, dengan tangannya ia meraup tiga belas pedang pendek itu, lalu melontarkannya ke arah menghilangnya Hek-giam-lo sambil berseru, “Iblis Hitam, bawa pergi pedang-pedangmu!”
Tiga belas batang pedang itu terbang melayang seperti sekelompok burung dan lenyap di balik batu-batu besar yang mengitari puncak. Memang hebat sekali tenaga sambitan Suling Emas ini, dan patutlah kiranya ia menjadi lawan orang-orang sakti seperti tiga tokoh tadi.
Terdengar suara orang menarik napas panjang. Suling Emas cepat membalikkan tubuhnya dan bulu tengkuknya berdiri ketika ia melihat seorang kakek tua sudah berdiri di depannya. Ia merasa seram karena tak mungkin ada orang, betapa pun saktinya, dapat mendekatinya tanpa ia mendengarnya sama sekali. Helaan napas saja dapat tertangkap oleh pendengarannya, bagaimanakah gerakan kakek ini sama sekali tidak didengarnya dan tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya? Apakah kakek ini pandai menghilang? Dengan pandang mata penuh selidik ia menatap kakek itu.
Sukar ditaksir usianya karena sudah terlalu tua. Melihat kakek ini mengingatkan orang akan gambar-gambar para dewa. Rambutnya berwarna dua, tebal dan jarang, panjang sampai ke punggung. Digelung kecil di atas kepala, ujungnya terurai ke pundak dan punggung. Kumis dan jenggotnya juga hitam putih, terurai ke bawah. Sepasang alisnya tebal, dahinya lebar, sepasang mata yang bening dengan sinar mata sayu termenung, mulut yang setengah tertutup cambang itu selalu tersenyum ramah.
Jubahnya longgar berwarna kelabu kehitaman, sepatunya dari kain tebal, di bawahnya terbuat dari pada anyaman rumput, lengan bajunya lebar sekali. Pada punggung kakek ini tampak sebuah alat musik khim. Agaknya saking tuanya maka tubuh kakek ini agak bongkok dan kelihatan pendek. Kelihatannya biasa saja, seperti kakek-kakek lain yang sudah amat tua, hanya daun telinganya yang mungkin terlalu besar bagi orang-orang biasa, mengingatkan orang akan daun telinga pada arca-arca Buddha dan para dewa.
Suling Emas cepat menjura dengan sikap hormat, mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil berkata, “Maaf, Locianpwe (Kakek Sakti), benarkah dugaan saya bahwa Locianpwe adalah Bu Kek Siansu?”
Kakek itu tertawa dan tampaklah keganjilan pada mukanya karena di balik bibirnya itu tampak berderet dua baris gigi yang masih utuh dan rapi. “Tidak salah, anak muda. Semoga dengan tibanya musim semi, Yang Maha Murah akan melimpahkan berkah kepadamu....”
Suling Emas terkejut dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut. Ia merasa malu karena ucapan selamat pada Hari Musim Semi itu didahului oleh kakek ini. “Locianpwe, maafkan kelancangan teecu (murid) tadi. Teecu menghaturkan Selamat Musim Semi, semoga Locianpwe selalu sehat, bahagia dan dikurniai usia panjang.”
“Ha-ha-ha-ha, anak muda lucu, kau rangkaikan sehat dan usia panjang dengan bahagia. Apa kau kira kalau sudah sehat itu pasti berusia panjang, dan kalau berusia panjang itu pasti bahagia? Ha-ha-ha!”
“Teecu mohon petunjuk, Locianpwe.”
“Sulingmu tadi mainkan ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) dan kipasmu mainkan ilmu kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Kacau Lautan), apamukah Kim-mo Taisu?”
Suling Emas terkejut sekali dan cepat ia mengangguk-anggukkan kepala sampai jidatnya menyentuh bumi. “Kiranya Locianpwe yang tadi menolong teecu dari pengeroyokan tiga manusia iblis, teecu menghaturkan terima kasih. Kim-mo Taisu yang Locianpwe tanyakan adalah mendiang Suhu (Guru), dan beliaulah yang dahulu berpesan kepada teecu agar teecu mencari kesempatan pada tiap hari pertama musim semi untuk menjumpai Locianpwe dan mohon petunjuk.”
“Ha-ha-ha, Thian (Tuhan) sungguh adil dan bijak, hari ini memberi hadiah dengan jodoh yang amat baik. Jadi Kim-mo Taisu itu gurumu? Dia sudah mati lebih dulu dari pada aku? Ha-ha, aku berani mengatakan bahwa dia tentu mati dalam tugas sebagai pahlawan. Memang sejak dulu dia mempunyai jiwa patriot.”
“Tidak salah dugaan Locianpwe. Suhu tewas ketika terjadi perang terhadap bangsa Khitan di daerah Ho-peh, Suhu roboh oleh pengeroyokan jago-jago Khitan. Teecu hanya terluka, tapi tidak dapat mencegah terjadinya hal itu,” suara Suling Emas melirih, akan tetapi sama sekali tidak terdengar kesedihan. Hatinya sudah terlalu masak dan mengeras untuk dapat dikuasai kesedihan.
“Hemmm, belasan tahun ia bersusah payah membantu
Cao Kuang Yin dalam usahanya mendirikan
Wangsa Sung. Sampai Cao Kuang Yin menjadi Kaisar Sung Tai Cu, gurumu masih terus membantunya dan akhirnya mengorbankan nyawa. Dia seorang patriot tulen, tanpa pamrih, tidak mengejar pangkat, hanya ingin melihat negara kuat dan rakyatnya hidup makmur. Betapa pun juga, segala sesuatu sudah direncanakan dan akan diatur pelaksanaannya oleh Tuhan. Orang muda, siapa namamu?”
“Teecu dikenal sebagai Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas), dan teecu tidak menggunakan nama lain lagi.”
“Ha-ha, begini muda, sudah menelan kepahitan hidup. Hati-hati, orang muda, kepatahan hatimu dapat mendorongmu menjadi tidak peduli seperti sekarang ini, melupakan yang lewat, dan akhirnya kalau tidak kuat-kuat batinmu, dapat membuat kau menjadi seorang yang kejam. Baiknya belum sejauh itu kau tersesat, buktinya kau masih mau mengubur jenazah-jenazah itu.”
“Maaf, Locianpwe. Teecu cukup dapat membedakan mana jahat mana baik, biar pun teecu sengaja meninggalkan hidup yang lewat untuk... untuk....”
“Melupakan kepahitan yang mematahkan hatimu?”
Suling Emas hanya mengangguk lalu menundukkan muka. “Teecu mohon petunjuk.”
“Kau berjuluk Suling Emas, tentu pandai bermain suling. Hayo perdengarkan suara sulingmu, dan kita coba-coba main bersama sulingmu dengan khim yang kumainkan, mencari keserasian.” Kakek itu lalu duduk di atas rumput, menurunkan alat musiknya yang mempunyai tujuh buah kawat itu.
Suling Emas girang sekali. Sebagai seorang murid gemblengan dari orang sakti Kim-mo Taisu, tentu saja ia maklum bahwa bermain musik bagi seorang seperti Bu Kek Siansu berarti berlatih atau menguji kepandaian lweekang dan ilmu silat tinggi. Ia segera duduk bersila, mengatur pernapasan, lalu meniup sulingnya.
Bu Kek Siansu tersenyum mendengar lengking suling yang tinggi mengalun dan merdu, bersih dan nyaring itu. Jari-jari tangannya lalu mulai menyentuh kawat pada khimnya, terdengar suara cring-cring-cring tinggi rendah.
Suling Emas kaget bukan main. Begitu suara kawat khim itu berbunyi, napasnya jadi sesak dan suara sulingnya terdesak hebat sampai menurun rendah sekali. Ia segera meramkan kedua matanya, memusatkan panca indra, mengerahkan seluruh tenaga sinkang di dalam tubuhnya, mengatur pernapasan sepanjang mungkin sampai memenuhi pusarnya, dan semua tenaga yang dikumpulkan ini ia salurkan melalui suara sulingnya yang kini menjadi bening dan tinggi kembali.
Akan tetapi permainan khim dari Bu Kek Siansu juga makin hebat. Suara nyaring tinggi rendah dari kawat-kawat itu merupakan jurus-jurus penyerangan yang lebih hebat dari pada tusukan-tusukan pedang pusaka, lebih hebat dari pada gempuran tangan sakti. Kadang-kadang bergelombang datangnya, bertubi-tubi dan makin lama makin kuat seperti ombak samudera.
Keadaan Suling Emas amat terdesak. Orang muda ini meniup suling sambil meramkan mata, keningnya berkerut dan uap putih menyelubungi kepalanya, saking hebatnya tenaga sinkang bekerja di tubuhnya. Ia berusaha sedapat mungkin untuk menangkis dan melindungi dirinya dari gelombang yang menghanyutkan, akan tetapi usahanya itu seperti seorang pelajar renang mencoba untuk berenang melawan badai dan taufan mengamuk di lautan.
Ia sebentar tenggelam sebentar timbul, sebentar terseret dan terhanyut kemudian dibanting ke atas setinggi gunung, lalu dihempaskan ke bawah seperti dilempar ke neraka. Beberapa kali ia hampir pingsan, namun semangatnya yang pantang mundur membuat kenekatannya bulat dan ia tetap sadar. Dengan tekun ia memperhatikan gaya penyerangan dari suara khim itu, dan terciptalah dalam otaknya inti sari jurus-jurus penyerangan ilmu silat yang amat tinggi dan ajaib.
Di samping menuntun dan memberi petunjuk, agaknya Bu Kek Siansu juga hendak menguji kekuatannya. Suara khim itu makin mendesak, menekan, dan pada saat terakhir Suling Emas hampir tak kuat lagi. Kepalanya pening, matanya melihat seribu bintang, tubuhnya menggigil dan peluhnya sebesar kacang kedelai memenuhi jidatnya. Tiba-tiba, berbareng dengan berhentinya sama sekali suara suling yang makin melemah dan makin habis itu, berhenti pula suara khim. Suasana hening bening, sunyi senyap.
Suling Emas dengan wajah pucat dan napas terengah merasa seakan-akan batu seberat gunung yang menindih kepalanya diangkat orang. Ia menyalurkan hawa secara normal dan pernapasannya kembali dalam keadaan normal.
“Ha-ha-ha, tidak kecewa kau menjadi murid Kim-mo Taisu.”
Suling Emas membuka kedua matanya, lalu berlutut. “Banyak terima kasih atas petunjuk Locianpwe yang amat berharga.”
“Orang muda, bakatmu memang luar biasa. Pantas saja Kim-mo Taisu mengangkatmu sebagai murid. Manusia hidup mengejar ilmu. Ilmu harus dipergunakan di dunia ini untuk kemajuan hidup, untuk mengabdi kebajikan, dan memberantas kejahatan. Apa artinya mempelajari ilmu kalau tak mampu mempergunakan sebagaimana mestinya? Apa pula artinya puluhan tahun mempelajari ilmu kalau kesemuanya itu kelak dibawa mati? Karena inilah maka setiap tahun, hari pertama musim semi, aku selalu mencari jodoh untuk menurunkan beberapa ilmu yang berhasil kuciptakan. Siapa dapat bertemu denganku pada hari pertama musim semi, dia pasti akan menerima sesuatu dari ilmu-ilmuku sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing.”
Melihat kakek itu berhenti sebentar, Suling Emas yang selalu berwatak jujur tanpa mau menyembunyikan dan dipermainkan perasaan, berkata, “Teecu sudah mendengar akan hal itu, sudah pula teecu dengar betapa banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal keji dan jahat menerima pula warisan ilmu dari Locianpwe. Harap Locianpwe terangkan, mengapa Locianpwe menurunkan ilmu kepada mereka itu?”
Kakek itu tertawa lebar, giginya berkilauan tertimpa sinar matahari. “Aku sudah melepaskan diri dari pada ikatan perasaan, tidak mencinta tidak pula membenci, tiada yang baik dan tiada yang buruk bagiku. Betapa pun juga, aku seorang manusia yang masih dikuasai pikiran dan pertimbangan. Mereka yang berjodoh dan bertemu denganku, siapa pun dia, pasti akan menerima warisan ilmu sesuai dengan watak dan bakatnya.”
Suling Emas biar pun baru berusia tiga puluh tahun, namun ia seorang kutu buku yang sudah banyak melalap kitab-kitab kuno, maka ia dapat menerima pendirian seorang sakti seperti ini. Ia tidak mau berdebat, dan tidak berani mencela, maka ia lalu bertanya, “Teecu sudah menerima petunjuk dengan suara tadi, bolehkah teecu bertanya, apa nama ilmu itu dan apakah ilmu ini cocok dengan teecu maka Locianpwe mengajarkannya?”
“Orang muda, selama aku merantau dan setiap tahun menurunkan ilmu, hanya ada dua ilmu yang tak pernah dapat diterima orang, biar pun setiap kali sudah kucoba untuk menurunkannya. Yang pertama adalah ilmu yang terkandung dalam suara khim tadi, yang kuberi nama Kim-kang Sin-im (Tenaga Emas dari Suara Sakti). Kau tadi dapat melayani aku sampai lima puluh delapan jurus, itu sudah bagus sekali. Berarti kau sudah dapat menangkap inti sarinya, tinggal kau kembangkan saja, tergantung kepada ketekunan dan bakatmu. Yang kedua adalah ilmu yang juga tak pernah dapat dimengerti orang, yaitu Hong-in-bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Mega)! Kulihat kau cerdik, bakatmu luar biasa dan menilik pakaianmu, kiranya kau tidak asing akan sastra, bukan?”
“Teecu masih bodoh, akan tetapi teecu memberanikan diri untuk mencoba menyelami Ilmu Hong-in-bun-hoat itu, Locianpwe.”
Bu Kek Siansu terkekeh girang, lalu ia berdiri. Suling Emas tetap duduk bersila dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Dengan tenaga sinkang-nya ia dapat membuka mata tanpa berkedip berjam-jam lamanya.
“Lihat dan ingat baik-baik semua huruf ini, orang muda,” terdengar Bu Kek Siansu berkata.
Mulailah kakek itu menggerakkan tubuhnya lambat-lambat, kedua lengannya bergerak-gerak ke depan, mencorat-coret ke atas dan ke bawah. Kedua kakinya selalu bergerak, juga geserannya berupa corat-coret membentuk huruf yang disesuaikan dengan coretan bagian atas dengan kedua tangannya.
Suling Emas girang sekali bahwa dia dahulu adalah seorang yang amat tekun mempelajari ilmu sastra, sehingga ia hafal akan sepuluh ribu macam huruf. Ia melihat betapa gerakan yang dilakukan oleh kakek itu merupakan coretan-coretan huruf-huruf yang amat indah dan kuat. Lebih mudah baginya untuk mengingat karena ternyata setelah kakek itu melakukan belasan jurus, huruf-huruf itu membentuk sajak-sajak dalam pelajaran Nabi Khong Hu Cu yang ayat pertamanya berbunyi: THIAN BENG CI WI SENG (Anugerah Tuhan Adalah Watak Asli).
Tentu saja ia sudah hafal akan ayat-ayat kitab Tiong Yong ini, maka ia tidak perlu lagi untuk mengingat-ingat susunan kalimatnya, hanya perlu mengingat jurus gerakan setiap huruf. Hal ini menguntungkan Suling Emas karena perhatiannya tidak terpecah, dan setelah menyaksikan beberapa belas huruf ia sudah dapat menyelami inti sarinya sehingga selanjutnya ia dapat menduga bagaimana huruf-huruf lain dibentuk dalam gerakan silat itu. Setelah lewat seratus huruf, biar pun kini Bu Kek Siansu bersilat dengan luar biasa cepatnya, ia sudah dapat mengerti dengan baik bagaimana harus bersilat menurut goresan dalam pembentukan huruf-huruf suci itu.
Saking tertarik dan tekunnya, tanpa ia sadari dan sengaja, Suling Emas sudah bangkit dari atas tanah, dan otomatis ia juga bersilat, bukan meniru gerakan Bu Kek Siansu lagi, melainkan ia melanjutkan huruf-huruf yang belum dimainkan, sesuai dengan bunyi sajak dalam ayat-ayat kitab Tiong Yong.
“Cukup, tidak sia-sia kali ini aku berlelah-lelah,” Bu Kek Siansu tertawa gembira. “Dan saat pertemuan ini pun sudah cukup, kau boleh turun dari puncak sekarang juga.”
Suling Emas menjatuhkan diri berlutut menghaturkan terima kasih lalu berkata, “Budi Locianpwe terlalu besar terhadap teecu, bagaimana teecu berani memutuskan pertemuan penting ini sedemikian singkat? Teecu mohon petunjuk.”
“Ha-ha-ha, tidak ada manusia di dunia ini yang merasa puas dengan keadaannya sendiri. Siapa mengenal kepuasan dalam setiap keadaan, dialah manusia bahagia yang dapat menikmati berkah Tuhan. Orang muda, kiranya dengan kepandaian yang kau miliki ini, kau berada di persimpangan jalan yang dapat membawa kau ke jurang kejahatan, juga dapat membawamu ke alam murni. Hanya tokoh-tokoh terbesar dari golongan hitam dan putih saja yang sejajar dengan tingkat kepandaianmu.”
“Maaf akan kebodohan dan kecupatan pengetahuan teecu, Locianpwe. Bolehkah teecu menambah pengetahuan dengan mengenal nama-nama tokoh-tokoh itu?”
“Ha-ha, mereka yang selama ini menyembunyikan diri, setelah sekarang Kerajaan Sung berdiri, mereka mulai menampakkan diri, agaknya terpikat akan keadaan baru di dunia ini. Golongan hitam amat banyak tokohnya, akan tetapi kiranya hanya ada enam orang yang terkenal dengan sebutan Thian-te Liok-koai (Enam Setan Dunia). Kau tentu sudah mengenal siapa mereka, bukan?”
“Teecu pernah mendengar, akan tetapi belum pernah bertemu muka dengan mereka.”
“Ha-ha-ha, yang tiga orang tadi siapakah? Mereka adalah tiga di antara Liok-koai itu. Yang tiga orang lagi adalah Toat-beng Koai-jin (Setan Pencabut Nyawa), Tok-sim Lo-tong (Anak Tua Berhati Racun), dan Cui-beng-kwi (Setan Pengejar Roh). Kau berhati-hatilah terhadap enam orang ini. Mereka amat lihai dan memiliki kepandaian tinggi sekali.”
“Terima kasih, Locianpwe, akan teecu ingat benar pesan Locianpwe.”
“Ada pun tokoh-tokoh golongan putih juga banyak, akan tetapi mereka itu tidak suka menonjolkan diri, suka bersembunyi, di antaranya mendiang gurumu. Orang-orang seperti Kim-lun Seng-jin (Manusia Suci Roda Emas), dan Gan-lopek (Empek Gan) termasuk orang-orang luar biasa yang sukar dipegang ekornya ditentukan bulunya. Sudahlah, kelak kalau kau mempunyai nasib bertemu dengan mereka, kau akan dapat menilai sendiri. Sekarang pergilah, doaku selalu bersamamu selama kau tidak menyeleweng dari pada kebenaran.”
Suling Emas memberi hormat, kemudian pergi dari tempat itu tanpa menoleh lagi. Memang tingkat kepandaiannya sudah tinggi, sebentar saja seperti seekor garuda terbang, ia sudah menuruni Thai-san. Setelah tiba di kaki gunung, barulah ia menengok, bukan terkenang kepada siapa-siapa melainkan untuk mengagumi puncak Thai-san yang kini tertutup awan putih itu.
“Awan putih sudah tinggi, masih ada puncak Thai-san yang melewatinya. Namun dibanding dengan langit, puncak Thai-san masih terlalu rendah,” bibirnya membisikkan sebagian dari pada sajak kuno yang pada saat itu terlintas dalam ingatannya. Kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan langkah lebar sambil termenung mengingat kembali Kim-kong Sin-im dan Hong-in Bun-hoat yang baru saja ia terima dari Bu Kek Siansu.
********************
Bu Kek Siansu masih berdiri seperti patung memandang ke arah perginya Suling Emas, kemudian ia berbisik kepada diri sendiri, “Manusia akan bertemu dengan penderitaan hidup kalau ia mengharapkan kesenangan hidup. Dia dapat menahan derita hidup dengan tenang tanpa penyesalan, benar-benar seorang muda yang kuat. Kesenangan dikejar, penderitaan didapat, baru mendapatkan kekuatan batin. Mengapa manusia harus mengalami semua ini? Mengapa?”
Bu Kek Siansu mengeluarkan sebuah kitab kecil dari saku jubahnya dan membacanya sambil berdiri. Pada saat itu tiga bayangan orang muncul secepat terbang mendaki puncak.
Bu Kek Siansu menyimpan kembali kitabnya di saku, mengambil alat musik khim dan menggantungkannya di punggung. Kemudian dipandangnya tiga orang di depannya itu sambil tersenyum ramah.
“Bukankah kau Bu Kek Siansu?” tanya It-gan Kai-ong. Kakek tua renta itu mengangguk sambil tersenyum lebar.
“Kebetulan sekali. Dunia kang-ouw mengabarkan bahwa setiap tahun, pada hari pertama musim semi, kau akan muncul di dunia dan membagi-bagi ilmu. Hari ini adalah hari pertama musim semi, ilmu apakah yang dapat kau berikan kepadaku?”
Bu Kek Siansu tidak marah mendengar ucapan yang tidak sopan itu, ia hanya tersenyum.
“Aku pun menghadap padamu pada permulaan musim semi untuk minta diwarisi ilmu silat yang sakti, Bu Kek Siansu,” kata Siang-mou Sin-ni sambil melangkah maju.
“Yang datang menghadap adalah kami bertiga bukan hanya kau berdua,” Hek-giam-lo menyusul dengan suaranya yang dalam.
Bu Kek Siansu mengangkat kedua lengannya ke atas sambil tertawa. “Jangan khawatir, aku si tua tidaklah kikir dengan ilmu, hanya aku khawatir ilmu-ilmu yang kukenal tidak akan berjodoh dan cocok dengan pribadi kalian bertiga. Ketahuilah, bahwa ilmu-ilmuku hanya dapat diterima oleh orang yang menjauhkan diri dari pada rasa dengki, iri, murka, benci dan kejam. Tanpa dapat menjauhkan sifat-sifat ini, ilmu yang kuturunkan bukan hanya tak ada gunanya, malah mungkin akan merugikan tubuh sendiri. Nah, ilmu apakah yang hendak kalian minta?”
Tiga orang sakti itu saling pandang. Sifat-sifat yang disebut kakek itu tadi bukanlah sifat yang aneh apalagi pantang bagi golongan hitam mereka. Malah sifat kejam merupakan ukuran untuk kelihaian seseorang. Makin tinggi tingkatnya, harus makin kejam, karena siapa yang kurang kejam, berarti mempunyai kelemahan dan hal ini amat memalukan! Tentu saja mereka tidak sudi menerima ilmu dengan ikatan seperti itu.
“Bu Kek Siansu, tadi kami mendengar nyanyianmu yang mengharuskan orang membalas benci dengan kasih. Apakah kau termasuk orang yang tidak mempunyai rasa benci?”
“Mudah-mudahan Tuhan menguatkan batinku dan membungkus seluruh pikiran dan hatiku dengan sinar kasih-Nya.”
“Jadi kau tidak membenci golongan kami? Tidak akan membeda-bedakan dengan golongan lain?”
Bu Kek Siansu menggeleng kepala. Tentu saja ia dapat melakukan hal ini dengan mudah.
“Kalau begitu,” kata pula It-gan Kai-ong, “kau jangan pilih kasih. Tadi kau turunkan dua macam ilmu kepada Suling Emas. Nah, kami pun minta kau turunkan ilmu-ilmu itu kepada kami.”
“Betul, aku menghendaki dua ilmu itu,” kata Siang-mou Sin-ni.
“Ilmu-ilmu apa tadi itu dan apa namanya?” Hek-giam-lo menyambung.
“Ha-ha-ha, kalian bertiga memang bermata tajam, tidak percuma menjadi tiga di antara Thian-te Liok-koai! Memang tadi aku menurunkan dua macam ilmu kepada Suling Emas yang disebut Kim-kong Sin-im dan Hong-in Bun-hoat. Akan tetapi entah kalian dapat mengerti kedua ilmu itu dan menyukainya, tergantung kepada kalian sendiri. Bagaimana?”
Mereka bertiga tadi sudah merasakan sendiri bagaimana hebatnya kepandaian Suling Emas, padahal tanpa mereka ketahui bahwa sebetulnya yang meruntuhkan pedang-pedang itu adalah Bu Kek Siansu yang ingin mencegah terjadinya pertempuran berlarut antara orang-orang sakti itu. Maka tentu saja mereka merasa iri hati dan ingin mendapatkan ilmu yang tadi diwarisi oleh Suling Emas.
“Tidak perlu banyak cerewet, lekas perlihatkan Kim-kong Sin-im!” kata pula It-gan Kai-ong yang memang selalu bersikap kasar terhadap siapa pun juga. Baginya makin kasar sikapnya makin baik, gagah dan berwibawa!
“Kalian juga setuju?” Bu Kek Siansu yang masih tetap tersenyum itu bertanya kepada Siang-mou Sin-ni den Hek-giam-lo.
Keduanya meragu sejenak, akan tetapi terpaksa mengangguk karena tidak ada pilihan lain. Seperti juga It-gan Kai-ong, kedua orang sakti ini masih memandang rendah kepada Bu Kek Siansu dan mereka menaruh curiga kalau-kalau kakek tua renta ini akan menipu dan mempermainkan mereka.
“Baik... baik, kalian perhatikan dan dengarkan baik-baik. Sesuai dengan namanya, Ilmu Sin-im (Suara Sakti) dipelajari dengan pendengaran.” Kakek itu menurunkan alat musik khim dari punggungnya, duduk bersila di atas tanah, lalu terdengarlah suara khim, dimulai dengan “cring-cring” yang nyaring bening.
Mula-mula tiga orang sakti itu memandang penuh perhatian sambil mendengarkan dan mengikuti bunyi khim, akan tetapi tak lama kemudian mereka nampak gelisah sekali. Terutama Siang-mou Sin-ni, sebagai seorang wanita tentu saja paling mudah terpengaruh oleh suara khim itu. Wanita sakti ini mula-mula merasa jantungnya berdebar, kemudian setiap kali suara itu melengking tinggi, ia merasa seakan-akan jantungnya ditarik dan kalau suara itu merendah jantungnya seperti ditindih. Cepat ia mengerahkan sinkang di dalam tubuhnya dan di lain saat wanita ini sudah duduk bersila dengan mata meram dan muka pucat. Ia masih berusaha untuk menyelami bunyi yang makin aneh dan merupakan penyerangan langsung kepada isi dadanya.
Berturut-turut It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo juga terpaksa duduk bersila untuk mengumpulkan tenaga dalam tubuh dan melawan serangan-serangan hebat dari suara khim itu. Sebagai dua orang sakti, mereka pun maklum bahwa suara dari alat musik khim itu mengandung hawa penyerangan yang luar biasa dahsyatnya, oleh karena itu sambil menutup kelemahan diri dengan sinkang mereka pun memperhatikan dan berusaha menangkap inti sari dari pada Kim-kong Sin-im.
Baru seperempat jam saja orang itu sudah menderita hebat sekali. Wajah mereka pucat dan saking kerasnya mereka mengerahkan sinkang, kepala mereka sampai mengepulkan uap putih. Namun pelajaran itu masih juga belum dapat mereka tangkap inti sarinya. Atau ada juga yang dapat mereka tangkap, namun hanya menurut perkiraan mereka masing-masing. Ketiganya menyelami isi Kim-kong Sin-im secara berbeda, sesuai dengan watak masing-masing dan kesemuanya itu tentu saja menyeleweng dari pada inti sari yang sebenarnya.
Hal ini bukan sekali-kali karena ketiga orang ini masih rendah kepandaiannya. Sama sekali tidak. Dalam tingkat kepandaian ilmu silat, kiranya mereka tidak berselisih jauh dengan Suling Emas. Akan tetapi, seperti dikatakan oleh Bu Kek Siansu tadi, watak mereka tidak cocok dengan watak ilmu itu, lagi pula ilmu ini tersembunyi di dalam lagu dan seni suara.
Suling Emas dapat mewarisi inti sarinya karena orang muda itu menghadapi Kim-kong Sin-im dengan suara sulingnya sehingga seakan-akan ia ‘bertempur’ dengan ilmu ini. Karenanya ia lebih mudah untuk mengenal sifat-sifat menyerang dan bertahan dari Kim-kong Sin-im. Seperti sebuah nyanyian, orang akan lebih mengenal keindahannya kalau ia turut menyanyikannya, yang tentu jauh bedanya dengan kalau hanya mendengar saja.
Bu Kek Siansu memang tidak hendak membeda-bedakan. Ia mainkan khim seperti ketika ia bermain di depan Suling Emas tadi. Setelah ia berhenti, tiga orang itu masih duduk bersila dengan kedua mata meram. Bu Kek Siansu hanya tersenyum dan dengan tenang menyimpan kembali alat musik khim itu di atas punggungnya, kemudian ia bangkit berdiri, menanti sambil membaca kitab kecil.
Tiga orang sakti itu tidak berani segera bangkit karena suara khim tadi masih terus terngiang di dalam telinga, malah seakan-akan meresap ke dalam otak dan dada. Setelah kurang lebih sepuluh menit, baru mereka membuka mata dan meloncat bangun. Jelas mereka itu kecewa, akan tetapi karena masing-masing merasa bahwa mereka dapat memetik inti sari ilmu aneh tadi, mereka diam saja, hanya memandang kepada Bu Kek Siansu dengan mata marah.
Bu Kek Siansu menyimpan kitab kecilnya lalu berkata, “Kim-kong Sin-im sudah kalian dengar. Apakah kalian juga menghendaki supaya aku mainkan Hong-in Bun-hoat seperti yang kulakukan di depan Suling Emas tadi?”
“Kakek, kau tadi bersilat di depan Suling Emas, nah, ilmu silat itulah yang harus kau turunkan kepada kami,” kata It-gan Kai-ong.
“Kai-ong, itulah tadi yang disebut Hong-in Bun-hoat. Kalau kalian menghendaki, akan kumainkan. Bagaimana dengan kalian, Hek-giam-lo dan Sin-ni?”
Karena tidak tahu harus memilih ilmu silat apa, kedua orang ini hanya mengangguk. Betapa pun juga mereka masih ragu-ragu dan memandang rendah kakek ini. Apakah gunanya Ilmu Kim-kong Sin-im tadi? Masa menghadapi lawan harus bermain musik! Gila! Maka mendengar bahwa Hong-in Bun-hoat yang akan diturunkan kali ini adalah gerakan-gerakan silat seperti yang mereka lihat dari tempat persembunyian mereka tadi ketika kakek ini berhadapan dengan Suling Emas, tentu saja mereka setuju dan agak lega, mengharapkan akan menerima warisan ilmu silat yang tinggi dan sakti.
Seperti juga tadi ketika mengajar Suling Emas, Bu Kek Siansu mulai menggerakkan tubuhnya lambat-lambat, kedua lengan dan kakinya bergeser dan membentuk goresan dan lingkaran. Bukan lain yang ia mainkan itu adalah gerakan menurut huruf-huruf pertama sajak dalam kitab Tiong Yong. Seperti diketahui, kitab Tiong Yong mengandung tiga puluh tiga pelajaran, merupakan ilmu batin yang amat tinggi dan luhur.
Bu Kek Siansu mulai mencoret-coret huruf-huruf pelajaran pertama ayat pertama yang lengkapnya berbunyi demikian:
THIAN BENG CI WI SENG
SUT SENG CI WI TO
SIU TO CE WI KAUW
Tiga baris huruf yang merupakan ayat pertama dari pelajaran pertama mempunyai arti yang amat dalam. Kalau diterjemahkan secara bebas kira-kira begini:
Anugerah Tuhan adalah watak asli
Selaras dengan watak asli adalah To
Melaksanakan To adalah pelajaran kebatinan (agama).
Jelas bahwa huruf-huruf itu merupakan ayat-ayat suci dalam kitab Tiong Yong, yang mengajar manusia menuju kembali ke watak asli anugerah Tuhan, berarti menuntun manusia kembali mendekati dan mentaati kehendak Tuhan. Tiga orang tokoh sakti seperti It-gan Kai-ong, Siang-mou Sin-ni, dan Hek-giam-lo yang merupakan manusia-manusia yang ingkar terhadap Tuhan mana ada minat untuk mempelajari segala macam kitab yang mengemukakan pelajaran tentang kebajikan?
Sebagai orang-orang yang berpengetahuan luas, tentu saja mereka dapat membaca dan dapat mengikuti gerakan-gerakan Bu Kek Siansu. Akan tetapi mereka hanya dapat menangkap kulitnya atau luarnya belaka, tak mampu menyelami isinya. Harus diketahui bahwa ilmu silat sakti Hong-in Bun-hoat ini rahasianya tidak terletak pada macam huruf yang ditulis dengan gerakan saja, melainkan lebih mendalam, yaitu lebih mendekati arti dari pada ayat-ayatnya. Karena itulah Bun-hoat (Ilmu Sastra) ini disebut Hong-in (Angin dan Awan), karena sifatnya seperti ilmu sastra dan begitu dalam rahasianya seperti juga angin yang dapat terasa tak dapat terpegang dan awan yang dapat terlihat tak dapat terpegang pula!
Tidak mengherankan apa bila tiga orang itu menjadi kecewa dan bosan melihat kakek itu terus menggerakkan kaki tangan membentuk goresan dan lingkaran huruf-huruf itu. Apa artinya itu semua? Apa gunanya? Mereka menganggap kakek itu main-main dan menipu mereka.
Agar jangan dianggap berat sebelah, Bu Kek Siansu bersilat terus dan baru berhenti di bagian yang sama ketika ia bersilat di depan Suling Emas tadi. Ia tersenyum memandang ketiga orang itu yang sebaliknya memandangnya dengan mata marah.
“Nah, puaskah kalian?”
“Puas apa? Kau main-main dengan kami! Bu Kek Siansu, kalau kau ada kepandaian, jangan kikir, turunkan kepada kami,” kata It-gan Kai-ong dengan suara marah.
“Jangan-jangan kakek ini hanya menyombong saja, padahal tidak becus apa-apa. Kai-ong, alangkah akan memalukan kalau orang melihat kita bertiga diingusi kakek tua bangka ini,” kata Siang-mou Sin-ni sambil tersenyum masam.
Ada pun Hek-giam-lo hanya mendengus saja, marah dan mengangkat sabitnya. Tiga orang tokoh ini saling pandang. Dalam pertemuan pandang ini ketiganya sudah bermufakat.
Tanpa mengeluarkan peringatan lagi, secara tiba-tiba tiga orang sakti itu menerjang maju, menyerang Bu Kek Siansu yang masih tersenyum-senyum sambil menundukkan mukanya. Entah pukulan siapa yang datang lebih dulu saking cepatnya gerakan mereka. Tongkat It-gan Kai-ong menotok pusar, rambut Siang-mou Sin-ni menghantam sembilan jalan darah di leher, dada, dan pundak, sedangkan sabit di tangan Hek-giam-lo membacok kepala! Semua merupakan serangan-serangan maut, dan semua penyerangan itu dengan tepat mengenai sasaran. Sambil mengeluh panjang Bu Kek Siansu roboh!
Serentak tiga orang itu menubruk. Siang-mou Sin-ni berhasil merampas alat musik khim, sedangkan It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo yang berniat merampas kitab kecil yang dibaca kakek itu tadi, masing-masing mendapat separuh bagian karena kitab kecil itu telah terobek menjadi dua bagian ketika mereka saling berebut.
Sambil tertawa-tawa mereka memandang tubuh kakek itu dan mata mereka terbelalak, bulu tengkuk mereka meremang. Kakek itu sama sekali tidak kelihatan luka, bahkan kepala yang dihantam sabit tajam itu pun sama sekali tidak mengeluarkan darah, sama sekali tidak terluka. Namun jelas bahwa kakek itu tidak bernapas lagi, dan ketika It-gan Kai-ong memeriksa denyut nadinya, darahnya juga sudah berhenti, nadinya tidak berdenyut lagi.
“Ha-ha-ha, Bu Kek Siansu yang disohorkan orang setengah dewa, kiranya hanya seorang yang lemah,” kata It-gan Kai-ong.
“Seorang penipu!” sambung Siang-mou Sin-ni.
Hek-giam-lo bergidik, berkali-kali memandang ke arah kepala kakek itu dan ke arah sabitnya. “Aku benci ilmu sihirnya ini, kita buang dia ke jurang saja,” ia menggumam, lalu menggunakan kakinya menendang.
Tubuh kakek itu terlempar ke arah jurang dan menggelinding turun, diikuti suara ketawa It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni. Akan tetapi tiba-tiba suara ketawa mereka terhenti dan pada saat itu, mereka bertiga terhuyung-huyung dan hampir roboh. Ada angin dorongan yang luar biasa dahsyatnya datang menyerang mereka dari arah jurang tadi.
“Celaka..., rohnya mengamuk...!” It-gan Kai-ong berseru dengan muka pucat dan ia segera melompat jauh dan melarikan diri. Dua orang temannya juga kaget dan ketakutan, cepat kabur meninggalkan puncak Thai-san.
Tak lama kemudian, tampak Bu Kek Siansu melayang ke luar dari dalam jurang, berdiri di tempat yang tadi sambil termenung dan menarik napas panjang berkali-kali. “Tuhan menghendaki demikian. Akan geger di dunia persilatan... harapanku ada pada Suling Emas.” Lalu ia berjalan perlahan meninggalkan puncak.
********************
Pada masa itu keadaan di seluruh negara masih kacau-balau. Hal ini biasa terjadi setiap kali ada peralihan kekuasaan. Wangsa Sung baru setahun berdiri, didirikan oleh Cao Kuang Yin yang tadinya merupakan panglima tertinggi dari pada wangsa kelima. Sebelum itu, Tiongkok dikuasai oleh Lima Wangsa yang memecah-mecah negara sesudah Wangsa Tang roboh (tahun 907), sampai lahirnya Wangsa Sung atas jasa Cao Kuang Yin yang kemudian menjadi kaisar pertama yang berjuluk Sung Thai Cu.
Daerah-daerah yang tadinya semasa Kerajaan Tang telah melepaskan diri dan berdiri sendiri, dapat ditundukkan kembali dan dimasukkan ke dalam wilayah Kerajaan Sung. Namun, hal ini bukan berarti bahwa kejayaan seperti di masa gemilangnya Kerajaan Tang sudah kembali, sama sekali bukan. Kerajaan Sung yang baru ini tidak mampu menundukkan kerajaan-kerajaan kecil yang masih tetap berdiri di pelbagai daerah. Yang besar-besar di antaranya adalah daerah timur laut sampai ke Mancuria Selatan berada di dalam kekuasaan suku bangsa Khitan. Di daerah tenggara sepanjang pantai terdapat Kerajaan Wu-yue, dan di daerah Yu-nan ada Kerajaan Nan-cao. Masih banyak lagi daerah lain yang merupakan kerajaan kecil dan tidak mengakui kedaulatan Kerajaan Sung.
Tentu saja seringkali terjadi bentrokan-bentrokan kecil, namun tidak sampai meluas. Kerajaan Sung sudah merasa cukup puas dengan daerah dan wilayahnya, dan perlu membangun negara setelah persatuan dapat dibina. Sebaliknya, kerajaan-kerajaan kecil itu pun tidak ingin mencari gara-gara dengan kerajaan baru yang cukup kuat itu.
Pada suatu pagi yang cerah, sebuah perahu meluncur perlahan dan tenang mengikuti aliran Sungai Han yang mengalir ke timur, dari daerah Shan-si terus ke timur sampai tiba di Laut Kuning. Air sungai ini agaknya tidak mengenal diskriminasi, tidak seperti manusia. Buktinya ia terus mengalir ke tiga daerah yang dikuasai oleh tiga kerajaan, mengalir tenang dan biasa, tanpa perbedaan!
Sunyi di sepanjang sungai itu. Di atas perahu tampak empat orang penumpang. Seorang di antara mereka jelas adalah tukang perahu, laki-laki setengah tua yang gemar berceloteh, berkumis panjang berpakaian sederhana dengan tambalan di sana-sini. Kedua lengannya yang memegang dayung tampak kuat berotot yang timbul oleh tugasnya sehari-hari. Kulitnya coklat kehitaman terbakar matahari.
Tiga orang yang menumpang perahunya masih muda-muda. Yang pertama adalah seorang pemuda, kurang lebih dua puluh tiga tahun usianya. Tampan dan keren wajahnya, matanya tajam bersungguh-sungguh, mulutnya membayangkan kekerasan hati, dahinya lebar, pakaiannya sederhana tapi bersih, di punggungnya tergantung sebatang pedang.
Orang kedua adalah seorang gadis berusia dua puluh tahun, juga berpakaian sederhana ringkas, sebagian rambutnya dikuncir dua di kanan kiri. Gadis ini cukup cantik, sepasang matanya bersorot terang, wajahnya yang berkulit putih itu membayangkan kehalusan budi, bibirnya selalu tersenyum membayangkan keramahan. Juga gadis ini membawa pedang yang dipegang di tangan kiri.
Orang ketiga juga seorang gadis, masih remaja, paling banyak tujuh belas tahun usianya. Kalau gadis pertama sama betul waiahnya dengan si pemuda, adalah gadis ini lain sekali. Wajahnya cantik jelita, rambutnya hitam tebal digelung di kedua sisi kepalanya. Ia juga berpedang, tergantung di pinggang kanan.
Siapakah mereka ini? Mereka adalah kakak beradik, bukan orang-orang sembarangan, melainkan putera-puteri dari seorang tokoh besar yang amat terkenal di jaman Lima Wangsa. Kam-goanswe (Jenderal Kam) adalah seorang tokoh besar yang terkenal karena berani menentang kekuasaan Li Ko Yung, Gubernur Propinsi Shan-si yang dahulu memberontak terhadap Kaisar Wangsa Tang.
Kam-goanswe yang namanya adalah Kam Si Ek, seratus prosen berjiwa pahlawan dan memiliki kesetiaan lahir batin. Karena inilah maka ia dimusuhi oleh Li Ko Yung yang mengangkat diri sendiri menjadi raja kecil. Sama sekali jasa Kam-goanswe dilupakan, padahal ketika daerah ini diserang oleh suku bangsa Khitan, Jenderal Kam inilah yang paling berjasa menyelamatkan daerah Shan-si. Semenjak bentrokan itu, Kam-goanswe melepaskan jabatannya dan mengundurkan diri ke desa Ting-chun, sebuah desa di kaki Gunung Cin-ling-san, di lembah Sungai Han yang bermata air di gunung itu. Ia hidup bertani dengan anak isterinya.
Tiga orang muda itu adalah putera-puteri Kam Si Ek. Yang pertama adalah pemuda tampan itu yang bernama Kam Bun Sin. Anak kedua adalah Kam Sian Eng, gadis cantik jelita dan gagah. Ada pun gadis yang termuda, gadis lincah jenaka, bernama Kam Lin, atau biasa disebut Lin Lin. Gadis ini sebetulnya bukanlah puteri Kam Si Ek, melainkan anak pungut.
Belasan tahun yang lalu, dalam sebuah peperangan melawan suku bangsa Khitan, Jenderal Kam menemukan seorang anak perempuan berusia dua tiga tahun dalam gendongan seorang wanita yang tewas dalam pertempuran. Wanita Khitan ini mati dengan pedang di tangan, bukan main gagah sikapnya. Jenderal Kam amat kagum menyaksikan ini dan dia lalu membawa pulang anak perempuan itu, mengambilnya sebagai anak sendiri dan memberi nama Kam Lin. Nama ini adalah nama anak itu sendiri, karena ketika ditanya, ia hanya bisa menunjuk dada sendiri sambil menyebut “Lin Lin”.
Lin Lin tahu bahwa dia adalah seorang anak angkat, namun ia tidak merasa sebagai anak angkat. Selama hampir lima belas tahun hidup di dalam rumah gedung keluarga Kam, ia diperlakukan sama dengan anak-anak lain. Ayah ibu angkatnya amat cinta kepadanya, demikian pula Bun Sin dan Sian Eng. Oleh karena inilah maka Lin Lin merasa bahwa dia memang seratus prosen anggauta keluarga Kam, tidak mau ingat lagi akan asal-usulnya yang oleh ayah angkatnya dikatakan bahwa ayah ibunya sendiri telah tewas menjadi korban perang. Ayah angkatnya tidak tahu siapa ayah bundanya, juga tidak dapat memberi tahu di mana tempat tinggal mereka karena menurut jenderal itu, ia ditemukan di antara para pengungsi!
Sebagai seorang jenderal perang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, tentu saja Kam Si Ek menggembleng tiga orang anaknya ini dengan ilmu silat keluarga Kam. Ternyata tiga orang anak itu mempunyai bakat yang baik dan memiliki keistimewaan yang menonjol. Bu Sin maju dalam penggunaan ilmu lweekang (tenaga dalam), Sian Eng mahir bermain pedang, sedangkan Lin Lin mengagumkan sekali keringanan tubuhnya dan karenanya ia amat maju dalam ilmu ginkang.
Keluarga Kam hidup tenteram dan bahagia di dusun Ting-chun sampai lebih dari sepuluh tahun lamanya. Mereka hidup sederhana sebagai petani. Kesederhanaan dusun dan pekerjaan di sawah ladang membuat mereka selalu sehat dan gembira.
Akan tetapi, seperti sudah menjadi sifat dunia dan segala isinya, tiada sesuatu yang langgeng. Alam dan isinya selalu berubah, demikian pula kehidupan manusia. Selama manusia masih terikat oleh kehidupan, ia akan selalu mengalami perubahan-perubahan seperti samudera yang selalu mengalami pasang surut, selalu bergelombang. Ada kalanya pasang ada kalanya surut, ada kalanya tenang, ada kalanya diamuk taufan. Hanya manusia pandir sajalah yang tidak mau ingat akan hal ini dan menjadi mabuk dan sombong di waktu jaya sebaliknya putus asa dan mata gelap di waktu sengsara.
Kalau orang selalu ingat bahwa kalah dan menang, sengsara dan jaya, susah dan senang, semua itu adalah saudara-saudara sepupu yang silih berganti menguasai kehidupan, ia akan selalu bersikap waspada, tidak mabuk oleh kemenangan, tidak putus asa oleh kekalahan, waspada akan tindakan pribadi agar tidak menyeleweng dari pada kebenaran. Ingat selalu bahwasanya TUHAN yang berkuasa mengatur kesemuanya itu, bahwa manusia tiada bedanya dengan titik-titik air di samudera, tak kuasa melepaskan diri dari pada gelombang kalau belum KELUAR dari dalam samudera
. Hari itu menjelang senja. Kam Si Ek bersama tiga orang anaknya tengah berlatih silat di pekarangan belakang rumah yang tertutup pagar tembok. Tingkat kepandaian Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin sudah cukup tinggi, malah boleh dibilang sudah hampir setingkat dengan ayah mereka sendiri. Mereka bertiga kini sedang mainkan pedang dengan gaya masing-masing, ditonton oleh Kam Si Ek yang berdiri sambil bertolak pinggang dan mengangguk-angguk puas. Ketika ia melihat betapa tubuh Lin Lin yang berpakaian merah itu berubah menjadi bayangan merah digulung sinar putih dari pedang yang dimainkannya, diam-diam Kam Si Ek kagum.
“Hebat bocah ini... kiranya kelak ia yang paling menonjol. Heran benar, apakah orang tuanya dahulu keturunan orang gagah bangsa Khitan?” demikian ia berkata seorang diri.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak yang amat nyaring. Kam Si Ek dan tiga orang anaknya yang mendengar suara ini segera menghentikan permainan silat dan menoleh ke arah suara. Kiranya di atas tembok sebelah kanan telah jongkok seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam. Melihat orang ini, Kam Si Ek terkejut sekali dan wajahnya berubah.
“Giam Sui Lok, mau apa kau datang ke sini?”
Orang tinggi besar muka hitam itu tertawa lagi, tetap masih berjongkok di atas tembok. Matanya yang besar itu melirik ke arah Siang Eng dan Lin Lin dengan pandang mata kurang ajar. “Kam-goanswe...”
“Aku bukan jenderal lagi, tak usah kau berpura-pura tak tahu.”
“Ha-ha-ha, orang she Kam. Kau juga pura-pura tidak tahu mengapa aku datang ke sini?”
Kam Si Ek menoleh ke arah tiga orang anaknya dan wajahnya makin gelisah. “Orang she Giam, aku sedang sibuk melatih anak-anakku. Urusan antara kita orang-orang tua boleh kita bicarakan nanti.”
“Kapan?”
“Malam nanti kunanti kunjunganmu.”
Laki-laki tinggi besar muka hitam itu tertawa bergelak. “Boleh, boleh..., aku tidak khawatir kau akan dapat lari, ha-ha!” tubuhnya berkelebat dan lenyap di balik pagar tembok.
“Ayah, siapa dia?” tanya Bu Sin tak enak.
“Dia kurang ajar sekali,” cela Sian Eng.
Akan tetapi dengan gerakan seperti seekor burung walet terbang tahu-tahu Lin Lin sudah melayang ke atas pagar tembok dengan pedang terhunus di tangan kanan. Wajah gadis yang cantik jelita itu kini tampak marah.
“Lin Lin, kembali kau...!” Kam Si Ek berseru cemas.
Lin Lin berdiri di atas tembok, memandang ke sana ke mari, lalu meloncat turun kembali dan berlari mendekati ayahnya. “Heran, ke mana ia sembunyi? Mulutnya kotor sikapnya kasar, orang macam itu mengapa tidak dihajar saja, Ayah?”
Kam Si Ek tersenyum, girang melihat bahwa anak-anaknya mempunyai nyali besar, akan tetapi juga amat khawatir karena ia maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh kalau dibandingkan dengan kepandaian orang-orang sakti di dunia kang-ouw. Sedangkan di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang jahat dan berbahaya, di antaranya adalah Giam Sui Lok yang datang tadi. Ia maklum bahwa antara dia dan Giam Sui Lok harus diakhiri dengan pertempuran mati-matian dan ia tidak ingin kalau anak-anaknya terlibat dalam urusan permusuhan lama ini.
“Dia itu bekas teman lama. Ada urusan penting di antara kami yang tak perlu kalian ketahui. Bu Sin, kau ajak kedua orang adikmu pergi ke kuil Kwan-im-bio di puncak Cin-ling-san sekarang juga. Kau sampaikan hormatku kepada Kui Lan Suci (kakak seperguruan Kui Lan), dan katakan bahwa besok dia bersama kalian bertiga kuharapkan sudi turun puncak datang ke sini membawa peti hitam yang kutitipkan kepadanya sepuluh tahun yang lalu.”
“Tapi, Ayah, orang tadi...,” Bu Sin yang cerdik membantah, khawatir kalau-kalau orang tadi akan datang membikin ribut. Ingin ia berada di samping ayahnya untuk membantu jika sewaktu-waktu ayahnya terancam bahaya.
Kam Si Ek tertawa. “Dia memang ada urusan denganku, tapi ini urusan orang-orang tua, kau tahu apa? Sudahlah cepat berangkat sebelum gelap, dan besok kembali bersama Sukouw (Bibi Guru) kalian.”
Biar pun hati mereka tidak rela, namun tiga orang muda itu tidak berani membantah kehendak ayahnya, apalagi mereka dapat menduga bahwa memang ayahnya sengaja menyuruh mereka malam itu pergi dari rumah. Setelah berpamit kepada ibu mereka, tiga orang muda ini lalu bergegas mendaki puncak gunung Cin-ling-san yang tinggi itu sambil membawa obor yang akan dinyalakan kalau malam tiba dan mereka belum tiba di puncak.
Yang dimaksudkan Kwan-im-bio di puncak Cin-ling-san adalah sebuah kelenteng pendeta-pendeta wanita yang memuja Dewi Kwan Im. Pemimpin atau kepala para nikouw (pendeta wanita) di kelenteng itu adalah Kui Lan Nikouw yang terhitung kakak seperguruan Kam Si Ek. Tiga orang kakak beradik itu sudah sering kali bermain-main ke puncak, malah pendeta wanita itu amat sayang kepada mereka dan berkenan pula memberi petunjuk-petunjuk dalam hal ilmu silat.
Perjalanan mendaki puncak itu makan waktu tiga jam, padahal tiga orang muda itu sudah mempergunakan ilmu lari cepat. Biar pun cekatan gerakan mereka, perjalanan itu agak lambat juga karena hanya diterangi oleh obor di tangan.
Kui Lan Nikouw yang sudah berusia enam puluh tahun lebih. Mukanya masih segar dan gerakan-gerakannya masih gesit. Wanita itu menjadi kaget melihat kedatangan tiga orang murid keponakannya di waktu malam gelap itu.
“Eh, apa yang terjadi? Mengapa malam-malam datangnya?” tegurnya, namun hatinya sudah lega melihat wajah tiga orang murid keponakan itu tidak membayangkan sesuatu yang hebat.
Setelah mereka berlutut memberi hormat, Bu Sin berkata, “Ayah yang menyuruh teecu (murid) bertiga, Sukouw. Pertama-tama Ayah menyuruh kami menyampaikan hormat. Kedua kalinya, Ayah mohon kepada Sukouw agar sudi bersama kami turun gunung menuju ke pondok kami sambil membawa peti hitam yang sepuluh tahun lalu Ayah titipkan kepada Sukouw.”
“Hemmm, hemmm... Ayahmu memang aneh. Urusan begini saja menyuruh kalian malam-malam bersusah payah ke sini. Kenapa tidak siang-siang tadi, atau besok saja kalau sudah terang? Masuklah, kalian tentu lelah dan belum makan, bukan? Untung banyak sayur-sayuran segar, tinggal masak saja. Sian Eng, Lin Lin, kalian bantu Sukouw-mu, hayo ke dapur!” Memang nenek pendeta itu orangnya ramah sekali dan amat disayang oleh tiga orang murid keponakan ini.
Akan tetapi nikouw itu tertegun melihat tiga orang keponakannya tinggal diam saja, dan jelas mereka ingin menyatakan sesuatu. Ia mulai merasa tidak enak lagi.
“Eh, kalian ini bocah-bocah ada urusan apakah? Kalau ada kepentingan, hayo bilang, jangan ragu-ragu!”
“Sukouw, sebetulnya... kami sendiri merasa tidak enak dan hanya karena dipaksa oleh Ayah, maka kami pergi ke sini, maka teecu bertiga mohon petunjuk dan nasihat Sukouw.”
“Ada apa? Hayo lekas bicara.” Makin tak enak hati Kui Lan Nikouw.
Bu Sin lalu menceritakan kepada bibi gurunya tentang kunjungan laki-laki tinggi besar muka hitam yang mencurigakan tadi, menceritakan pula percakapan antara tamu itu dan ayahnya.
“Hemmm, laki-laki tinggi besar muka hitam? Kau tahu siapa namanya?”
“Ayah menyebut namanya. Giam Sui Lok namanya, Sukouw,” kata Lin Lin. “Orangnya kurang ajar, mukanya buruk, ingin aku bacok hidungnya dengan pedangku!”
Biasanya, kelincahan dan kejenakaan Lin Lin menggembirakan hati nikouw itu, akan tetapi kali ini ia tampak termenung. “Giam Sui Lok...? Ah, akhirnya dia datang juga....”
“Sukouw kenal dia? Siapakah dia dan mengapa dia datang mencari Ayah dengan sikap begitu kurang ajar?” Bu Sin mendesak.
“Berbahaya, tentu terjadi pertumpahan darah... Wah, anak-anak, hayo kita turun puncak sekarang juga. Siapkan obor, biar kuambil peti hitam Ayahmu. Nanti di jalan kuceritakan siapa adanya orang she Giam itu.”
Lega hati tiga orang anak muda itu. Cepat mereka mempersiapkan obor empat buah banyaknya, dan ketika nikouw itu keluar membawa sebuah peti hitam yang panjangnya tiga kaki lebar dan tingginya satu kaki, mereka segera ingin membantu. Akan tetapi nikouw itu tidak memperkenankan mereka.
“Jalan turun agak sulit, biar aku yang bawa peti ini dan kalian yang menerangi jalan. Hayo berangkat!”
Di tengah perjalanan, nikouw itu tidak bercerita banyak, akan tetapi cukup membuat tiga orang muda itu termenung dan berdebar-debar jantungnya.
“Orang she Giam itu memang musuh lama Ayahmu, dan memang Ayahmu betul menyuruh kalian pergi agar tidak mencampuri urusan itu. Urusan itu adalah urusan pribadi yang hanya dapat diselesaikan antara Ayahmu, orang she Giam itu, dan Ibumu.”
“Permusuhan apa, Sukouw?” Bu Sin bertanya penasaran.
“Urusan... eh, urusan... percintaan. Sebelum Ibumu menikah dengan Ayahmu, orang she Giam itu adalah... eh, ia dan Ibumu agaknya saling mencinta, lalu datang Ayahmu hingga terjadi persaingan. Ayahmu menang dan orang she Giam itu pergi dengan hati patah dan penuh dendam. Selama belasan tahun ini entah sudah berapa kali ia datang menantang Ayahmu, akan tetapi ia selalu kalah oleh Ayahmu. Sekarang ia datang lagi, tentu akan terjadi perkelahian mati-matian. Dasar orang-orang lelaki memang aneh dan tolol... eh, mengapa aku bicara begini? Hemmm, urusan ini benar-benar membuat hati dan pikiran pinni (aku) kacau-balau....”
Sudah cukup jelas bagi mereka bertiga. Juga cerita itu membuat mereka menjadi malu dan tidak enak, maka mereka membungkam tidak berani bertanya lagi. Bahkan kebencian mereka terhadap orang she Giam itu agak berkurang setelah mereka mendengar bahwa dia itu dahulunya saling mencinta dengan ibu mereka. Bahkan dalam hati kecil Lin Lin timbul rasa kasihan. Perasaan aneh yang belum pernah ia rasakan terhadap seorang laki-laki.
Karena merasa tegang dan khawatir setelah mendengar keterangan Kui Lan Nikouw, perjalanan dilakukan cepat sekali dan hanya memakan waktu dua jam. Betapa pun juga, tengah malam hampir tiba ketika mereka memasuki pekarangan yang lebar di rumah gedung keluarga Kam. Dapat dibayangkan betapa gelisah hati orang-orang muda itu ketika melihat rumah mereka gelap sama sekali. Setelah meloncat mereka berlari ke arah pintu depan dengan obor di tangan.
“Ayah...!” Bu Sin berseru keras dan segera diturut oleh Sian Eng dan Lin Lin yang berteriak-teriak memanggil ayah ibu mereka.
“Tenang, anak-anak. Mencurigakan sekali ini, mengapa begini sunyi? Biar aku yang masuk lebih dulu,” kata Kui Lan Nikouw yang selalu berhati-hati dan yang sudah banyak pengalamannya.
Nikouw itu sambil memondong peti hitam di tangan kiri dan tangan kanannya siap di depan dada, berjalan masuk ke dalam rumah diterangi dari belakang oleh tiga orang keponakannya. Ruangan depan sunyi dan kosong. Pada saat mereka memasuki ruangan tengah yang lebar, tiga orang anak muda itu menjerit dan lari menubruk ke depan. Ayah mereka menggeletak mandi darah di sudut, tak jauh dari situ menggeletak pula ibu mereka, juga bermandi darah, dan di sudut lain mereka melihat laki-laki tinggi besar muka hitam itu rebah terlentang dengan mata mendelik, juga mandi darah!
Tiga orang anak muda itu menangis, sebentar memeluk ayah, sebentar menubruk ibu, mengguncang-guncang dan memanggil-manggil. Tiba-tiba Lin Lin bangkit berdiri, matanya menyinarkan api.
“Sratt!” pedang sudah ia cabut dan sekali loncat ia sudah mendekati mayat orang she Giam itu.
“Kau yang membunuh Ayah Ibu!” pedangnya bergerak menyambar hendak memenggal leher mayat itu.
Gerakannya tertahan ketika tekanan pada pundak kanannya membuat tangan yang memegang pedang menjadi lemas. Kiranya bibi gurunya sudah berdiri di belakangnya. Ketika Lin Lin menoleh dan melihat bibi gurunya, ia menangis dan memprotes, “Dia membunuh Ayah Ibu, Sukouw, dia harus kucincang hancur!”
“Ssttt, anak bodoh. Simpan pedangmu. Kalau dia membunuh ayah bundamu, bagaimana dia sendiri mati di sini?”
“Dia berhasil membunuh Ibu, lalu berhasil membunuh Ayah, akan tetapi tentu Ayah juga dapat melukainya sehingga ia pun mampus!” Lin Lin membantah lagi dengan penasaran.
“Tenanglah, dan tengok. Bu Sin, Sian Eng, kalian juga periksa baik-baik. Kumpulkan obor-obor itu ke sini. Nah, lihat. Mereka bertiga tewas dengan luka-luka pada perut dan dada, luka-luka oleh senjata tajam. Dan kalian lihat itu, pedang itu tentu pedang Ayahmu, terpental di sana dan sedikit pun tidak ada tanda darah. Dan orang she Giam itu tentu bersenjata golok, nah, di mana goloknya? Juga terpental dan tidak ada tanda darah. Memang dia ahli golok sejak dulu. Terang bahwa baik pedang Ayahmu mau pun golok dia itu tidak menjadi sebab kematian mereka semua ini. Eh... nanti dulu! Ibumu belum mati... biar kutolong dia....”
Nikouw itu lalu meletakkan peti hitam di atas meja dan cepat ia berlutut memeriksa Nyonya Kam. Benar saja dugaannya, nyonya ini biar pun terluka hebat, tetapi masih belum tewas. Setelah ditotok dan diurut beberapa kali oleh jari-jari tangan Kui Lan Nikouw yang ahli, ia mengeluh perlahan.
“Siapa membunuhmu? Katakan, pinni Kui Lan Nikouw di sini, kenal aku? Nah, katakan, siapa melakukan semua ini?” kata-kata yang nyaring dari nikouw itu, yang mengandung desakan, membuat hati tiga orang anak muda itu seperti diremas-remas. Desakan yang tak sabar ini cukup jelas bagi mereka bahwa ibu mereka tak dapat ditolong lagi, hanya dapat diharapkan memberi keterangan tentang pembunuhan itu.
“Iihhh... takut... takut... setan...!” Nyonya itu berteriak-teriak ketakutan.
Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin yang semenjak kecil digembleng ilmu silat dan sifat-sifat kegagahan, mau tidak mau merasa ngeri dan meremang bulu tengkuk mereka mendengar jerit ibu mereka ini.
“Tenang, adikku, pinni berada di sini. Setan apa yang kau takuti?” kembali nikouw itu membujuk dan mendesak.
Nyonya itu menangis, terengah-engah, lalu berkata, lirih tapi masih ketakutan, “Setan... dalam peti mati... suaranya... suling... suling maut....”
Nikouw itu berdiri. Nyonya yang ketakutan itu sudah tak bergerak lagi. Tiga orang muda itu menubruk dan menangisi ibunya. Kui Lan Nikouw berbisik-bisik, membaca mantera dan doa-doa, mendoakan roh-roh ketiga orang itu. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi dapat menduga bahwa tiga orang itu menjadi korban seorang penjahat yang luar biasa sekali. Mungkin ucapan terakhir dari ibu Bu Sin dan Sian Eng tadi hanyalah kata-kata igauan yang tiada artinya. Akan tetapi bahwa pembunuh itu sakti, tak dapat disangsikan lagi karena tingkat kepandaian Kam Si Ek bukanlah rendah, apalagi orang she Giam itu juga menjadi korban, terbunuh secara mengerikan.....
Komentar
Posting Komentar