SULING EMAS : JILID-24

Kong Lo Sengjin menampar batu di dekatnya sehingga hancurlah batu. "Heh! Sudah kuduga kau akan banyak membantah! Banyak sekali musuh-musuhku dan sekarang pun aku sedang dikejar-kejar mereka. Di antara mereka adalah Ban-pi Lo-cia, Hek-giam-lo tokoh setan baru yang mewakili Khitan, Pouw-kai-ong si Raja Pengemis baru yang jahat, Ma Thai Kun orang Beng-kauw yang murtad, dan terakhir ada pula Tok-siauw-kwi...."
"Ahh...?" tanpa sadar Kwee Seng berseru kaget.
"Hemm, kau kaget mendengar nama Tok-siauw-kwi? Benar, dia adalah puteri Beng-kauwcu yang dulu menjadi tunanganmu!" kata Kong Lo Sengjin sambil memandang tajam.
Diam-diam Kwee Seng mengeluh. Kiranya peristiwa dua puluh tahunan yang lalu itu telah diketahui pula oleh kakek sakti ini.
"Mereka adalah orang-orang jahat, akan tetapi tidak mempunyai urusan pribadi dengan saya, Paman. Pernah saya mendengar nama mereka yang terkenal kejam, akan tetapi kiranya hanya Ban-pi Lo-cia seorang yang menimbulkan dendam di hati saya karena dialah pembunuh keponakanmu Khu Kim Lin!"
"Hah, segala urusan wanita! Bagiku yang terpenting adalah karena mereka ikut bersekongkol merobohkan Kerajaan Han sehingga kini berdiri kerajaan yang menamakan dirinya Kerajaan Cou! Pendeknya, kau membantuku atau tidak menghadapi mereka?"
"Kalau Paman diancam dan diserang, saya tentu akan membela Paman. Akan tetapi mencari mereka untuk memusuhi? Benar-benar kurang cocok dengan...."
Pada saat itu terdengar pekik dari puncak. Samar-samar terdengar suara Khu Gin Lin menjerit memanggil suaminya disertai pekik minta tolong.
"Celaka....!" bagaikan kilat menyambar, tubuh Kwee Seng sudah berkelebat dan seperti terbang saja ia berlari ke puncak.
Kakek lumpuh itu pun bangkit dan menggunakan sepasang tongkatnya berlari mengejar, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak membayangkan kekhawatiran, bahkan mulutnya tersenyum dingin.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Kwee Seng ketika ia tiba di puncak. Dari jarak jauh ia melihat isterinya, Khu Gin Lin, sedang bertanding seru melawan seorang laki-laki yang berjenggot pendek, berambut panjang seperti saikong dan memegang sebatang pedang. Isterinya pun berpedang, akan tetapi pedang di tangan isterinya itu tinggal sepotong, agaknya patah ketika bertanding. Laki-laki lawan isterinya itu hebat ilmu pedangnya, dan isterinya yang memang kurang berlatih terdesak hebat sekali dan berada dalam keadaan bahaya.
"Lim-moi... lari...!" teriak Kwee Seng dengan wajah pucat karena ia maklum bahwa setiap detik nyawa isterinya terancam bahaya.
Ujung pedang lawan itu sudah mematahkan semua jalan ke luar dan sudah mengancam hebat. Mendengar teriakan ini, Gin Lin timbul semangatnya dan memutar pedang buntungnya, namun sekali tangkis pedangnya terlepas. Kwee Seng meloncat dan mengeluarkan seruan keras sekali seperti seekor garuda memekik, namun terlambat. Gerakan pedang laki-laki itu amat cepatnya ketika menusuk dan....
"Blessss...!" ujung pedangnya amblas ke dalam dada kiri Khu Gin Lin! Hanya beberapa detik Kwee Seng terlambat.
Melihat hal mengerikan ini Kwee Seng mengerang. Tubuhnya mencelat maju dan tangan kirinya menampar.
"Krakkk!!!"
Hebat bukan main tamparan ini. Tepat mengenai kepala penyerang yang masih memegangi gagang pedang yang menancap di dada kiri Gin Lin. Seketika pecah kepala itu, kedua biji matanya terloncat ke luar dan otaknya muncrat bercampur darah, tubuhnya terkulai tak bernyawa lagi.
Dengan gerakan aneh Kwee Seng menyambar tubuh isterinya yang terhuyung-huyung. Pedang itu masih menancap di dada kiri. Tak berani Kwee Seng mencabutnya, karena ia maklum bahwa hal itu berbahaya sekali. Dengan pedang menancap, berarti darah masih tertahan sementara. Ia memeluk dengan hati hancur karena mendapat kenyataan bahwa nyawa isterinya tak mungkin dapat tertolong lagi. Pedang itu menancap terlalu dalam, hampir menembus dada!
"Lin-moi... oh, Lin-moi...!" Ia mendekap dan air mata turun bertitik membasahi pipinya.
Gin Lin membuka matanya dan tersenyum. "Kwee-koko... aku puas... akhirnya aku dapat mengorbankan nyawa untuk berbakti kepada orang tua dan keluarga, untuk Kerajaan Tang...! Aku puas... dia... dia... sengaja datang mencari aku... begitu aku mengakui namaku, dia... terus menyerang...." Ia terbatuk payah, lalu merangkul leher suaminya, mencium pipinya. "Koko... jaga baik-baik anak kita... kawinkan dengan Bu... Song..." tiba-tiba mata itu terpejam, leher itu lemas dan nyawa Gin Lin meninggalkan tubuhnya.
"Lin-moi...!!"
Kwee Seng mendekap muka isterinya itu ke dada. Sejenak ia memejamkan mata, menahan napas. Kemudian ia sadar kembali, perlahan mengangkat tubuh isterinya, membawanya masuk ke dalam pondok. Ketika ia keluar lagi dengan muka pucat, ia melihat Kong Lo Sengjin ikut mengamuk, menusuk-nusuk mayat laki-laki itu dengan kedua tongkatnya sampai hancur lebur!
"Dia adalah seorang di antara musuh-musuhku! Lihat ini, di sakunya ada surat tantangan Ban-pi Lo-cia ditujukan kepadaku! Aku mengenal dia ini seorang jagoan di pantai timur yang ikut bersekutu menjatuhkan Kerajaan Han!"
Kwee Seng tidak memperhatikan ucapan itu, akan tetapi ia menerima surat itu dan membacanya. Sebuah surat tantangan! Ditanda-tangani oleh Ban-pi Lo-cia yang isinya menantang Kong Lo Sengjin datang ke muara Sungai Kuning di Laut Po-hai.
"Aku akan mencari mereka!" kata Kong Lo Sengjin dengan suara geram.
Seperti dalam mimpi Kwee Seng menggelengkan kepalanya. "Harap Paman berangkat lebih dulu. Aku tidak berjanji apa-apa, akan tetapi kalau Paman bertemu dengan mereka, katakanlah bahwa Kim-mo Taisu akan menemui mereka, biar pun mereka bersembunyi dalam neraka sekali pun!"
Kong Lo Sengjin mengangguk-angguk. "Begitu pun baik, akan tetapi bulan pertama tahun depan mereka berkumpul di lembah Sungai Kuning di Laut Po-hai. Nah, sampai ketemu lagi!" Kakek itu tanpa mempedulikan kematian keponakannya, lalu berkelebat dan pergi dari puncak Min-san.
Kwee Seng memasuki pondok, berlutut di samping jenazah isterinya, menahan getaran hatinya ketika mendengar suara Bu Song dan Eng Eng di luar pondok. Terdengar Eng Eng berseru tertahan dan Bu Song yang juga kaget. Agaknya mereka menemukan mayat yang hancur di luar pondok, pikir Kwee Seng seperti dalam mimpi. Lalu kedua orang muda itu berlari-lari, membuka pintu pondok dan....
"Ayah...?!" Eng Eng lari mendekati ayahnya yang duduk bersila seperti patung, kemudian ia memandang ke atas pembaringan depan ayahnya.
"Ibu...!!!" Ia memeluk, lalu melihat pedang yang menancap di dada ibunya. "Ibu...!! Ibu...!!! Ibuuu...!!!" Eng Eng memeluk dan terguling, pingsan di samping mayat ibunya.
Semenjak kematian isterinya, Kwee Seng atau Kim-mo Taisu berpekan-pekan selalu duduk termenung, bersemedhi di dalam kamarnya. Jarang ia keluar, jarang pula ia suka makan hidangan yang disediakan puterinya. Puncak Min-san seperti kosong, sunyi dan gelap, seakan-akan selalu tertutup mendung kedukaan.
Biar pun di dalam hatinya Kim-mo Taisu tidak pernah mencinta isterinya seperti seorang pria mencinta wanita, namun ia mendapatkan seorang isteri yang berbudi dalam diri Gin Lin. Seorang teman hidup yang menyenangkan dan ia merasa amat iba kepada wanita itu. Kini ia merasa menyesal mengapa hatinya tak pernah menjatuhkan cinta kasihnya kepada Gin Lin, wanita yang demikian baiknya, melainkan masih saja terikat kepada Lu Sian. Ia merasa menyesal dan berdosa kepada isterinya. Ia harus membalas dendam. Biar pun pembunuh isterinya telah ia bunuh pula, namun ia harus mencari orang-orang yang memusuhi Kong Lo Sengjin dan isterinya.
Keadaan yang merupakan perubahan besar ini amat mempengaruhi pula jiwa Kwee Eng. Gadis ini menjadi sedih melihat ayahnya yang selalu termenung dan berduka seperti seorang yang kehilangan semangat. Sore hari itu Kwee Seng baru keluar dari kamarnya, akan tetapi ia tidak melihat puterinya, hanya melihat Bu Song yang sedang duduk di depan pondok membaca kitab.
Melihat gurunya keluar, Bu Song cepat menghentikan bacaannya dan segera memberi hormat. Suaranya terharu ketika ia berkata, "Maafkan teecu yang berlancang mulut, Suhu. Akan tetapi teecu ingat betapa tidak baiknya membiarkan diri hanyut diseret dan ditenggelamkan perasaan yang dibiarkan berlarut-larut tanpa dilawan. Bukankah akan berubah menjadi racun yang melemahkan batin?"
Sejenak Kim-mo Taisu memandang muridnya yang berdiri dengan sikap hormat dan yang menundukkan muka. Ia tersenyum pahit dan menjawab. "Terima kasih, Bu Song. Aku tidak lupa akan kenyataan itu. Akan tetapi... ah, betapa lemahnya manusia. Dan engkau tidak tahu pula betapa hebat penderitaan batinku selama itu. Akan tetapi, bukanlah peristiwa ini saja yang membuat hatiku jatuh, muridku, melainkan hal-hal yang mendatanglah yang membuat aku prihatin. Aku harus pergi, akan tetapi betapa aku dapat meninggalkan Eng Eng seorang diri? Bu Song, berjanjilah engkau bahwa engkau bersedia melindungi adikmu Eng Eng selamanya."
Pemuda itu mengangkat mukanya yang membayangkan kesungguhan hatinya, memandang gurunya dengan sinar mata yang jujur. "Teecu berjanji untuk melindungi Eng-moi selama teecu hidup!"
Tergetar jantung Kwee Seng menatap wajah muridnya ini. Terbayang kekerasan hati Lu Sian pada wajah itu dan ia menaruh kepercayaan penuh kepada pemuda ini. "Bu Song, apakah kau mencinta Eng Eng?"
Wajah itu tidak berubah dan sinar matanya masih penuh kejujuran. "Tentu saja, Suhu. Teecu mencinta Adik Eng Eng."
"Mencinta seperti adik kandung?"
"Benar, Suhu."
"Ah, aku tidak ingin kau mencintanya seperti adik kandung."
Bu Song terkejut. "Maksud Suhu...?"
Kim-mo Taisu memegang pundak muridnya dengan pandang mata tajam. "Aku ingin kau mencintanya seperti seorang pria mencinta wanita! Seperti seorang laki-laki mencinta calon isterinya!"
Seketika wajah pemuda itu menjadi merah sekali dan ia menundukkan mukanya, menjawab gagap, "Ah, ini... ini..."
“Jawablah sejujurnya, Bu Song. Dapatkah kau mencintanya seperti itu...?" Dengan hati perih Kim-mo Taisu bertanya, karena ia tidak ingin puterinya mendapatkan suami yang baik akan tetapi tidak mencintanya, seperti apa yang dialami mendiang ibunya.
Bu Song mengangguk. "Memang teecu... mencintanya seperti itu, Suhu... hanya tentu saja tadinya tak berani mengaku...."
"Bagus! Legalah hatiku. Bu Song. Kalau begitu kau tentu bersedia menjadi suami Eng Eng, bukan?"
Pemuda yang memiliki hati yang kuat itu telah dapat membebaskan diri dari rasa malu dan canggung. Kini ia mengangkat muka memandang gurunya dan menjawab dengan sungguh-sungguh, "Suhu, teecu menghaturkan beribu terima kasih kepada Suhu yang tidak saja telah mengangkat teecu dari lumpur kehinaan, mendidik teecu, juga kini menganugerahi teecu menjadi calon mantu. Hanya teecu sendiri dan Thian yang mengetahui betapa besar rasa terima kasih itu. Tentu saja teecu bersedia sehidup semati dengan Eng-moi. Akan tetapi, Suhu. Bagaimana teecu berani lancang menjadi suami Eng-moi kalau keadaan teecu seperti ini? Teecu sebatang kara, miskin dan tidak bekerja. Sungguh teecu akan menyesal seumur hidup kalau kelak hanya akan menyia-nyiakan harapan Suhu dan menyeret Eng-moi dalam kehidupan miskin sengsara."
Kim-mo Taisu menepuk-nepuk pundak Bu Song. "Hemm, anak baik. Kau mempunyai cita-cita apakah? Katakan padaku."
"Semenjak kecil teecu mempelajari sastra. Tentu pelajaran itu akan menjadi sia-sia belaka kalau tidak teecu pergunakan. Teecu ingin sekali mengikuti ujian di kota raja...."
Kim-mo Taisu mengerutkan kening. Teringat ia akan pengalamannya sendiri ketika ia masih muda. Ia pun dahulu bercita-cita demikian, namun cita-cita itu kandas karena pada masa itu tak mungkin orang dapat lulus ujian kalau tidak mampu memberi uang suapan yang besar kepada para petugas. Oleh karena itu ia dapat memaklumi isi hati calon mantunya.
"Baiklah, Bu Song. Perjodohanmu dengan Eng Eng tidak tergesa-gesa. Cukup bagiku asal kalian sudah bertunangan. Kau boleh menempuh ujian di kota raja dan setelah itu, lulus atau gagal, kau harus melangsungkan pernikahanmu dengan Eng Eng. Biar aku sendiri yang akan menyelidiki ke kota raja. Mudah-mudahan sekarang sudah ada perubahan dan mudah-mudahan Kerajaan Cou Muda yang baru ini tidak lagi mempraktekkan keburukan jaman lama Dinasti Tang. Eh, di mana Eng Eng?"
Bu Song menghela napas. "Sejak Ibu Guru meninggal, karena melihat Suhu setiap hari menutup diri dan tenggelam berduka cita, Eng-moi pun turut bersusah hati sepanjang hari. Kalau Suhu tidak mau makan, Eng-moi pun tidak suka makan. Kalau Suhu sudah tidur, barulah Eng-moi mau mengaso. Kerjanya hanya menangis setiap hari dan teecu sampai bingung bagaimana harus menghiburnya."
Naik sedu-sedan di tenggorokan Kim-mo Taisu. "Ahhh, salahku... salahku... mengapa aku selemah ini, Bu Song." Ia memandang wajah muridnya yang agak kurus dan pucat. "Kau pun tentu ikut pula kurang makan dan kurang tidur! Jangan bohong."
"Melihat keadaan Suhu dan Eng Moi, bagaimana teecu bisa senang? Semua akibat sambung menyambung. Subo meninggal dan Suhu berduka. Suhu berduka dan Eng-moi bersusah. Eng-moi bersusah, teecu bingung merana."
"Ah, memang aku bersalah, Bu Song. Lekas kau susul Adikmu dan suruh pulang!"
Bu Song girang hatinya. Bukan hanya girang karena berita tentang pertunangannya dengan Eng Eng atau tentang maksud suhunya menyuruh dia mengikuti ujian di kota raja, melainkan terutama sekali girang karena perubahan suhunya ini tentu akan mengubah pula keadaan Eng Eng. Ia melangkah lebar dan berjalan cepat mendaki sebuah puncak. Ia yakin tentu Eng Eng berada di sana.
Bu Song tidak tahu betapa suhunya mengawasi dari belakang, lalu menarik napas panjang dan berkata seorang diri, "Anak baik sekali! Mutiara belum tergosok. Kelak ia akan menjadi pendekar yang sukar dicari bandingannya. Akan tetapi bagaimana dapat menggerakkan hatinya untuk menjadi pendekar? Kematian isteriku tentu lebih membuat ia benci akan ilmu silat. Jelas tampak di mukanya betapa ia menyalahkan ilmu silat dalam peristiwa ini!"
Tepat seperti dugaan Bu Song, ia mendapatkan Eng Eng duduk berlutut di atas tanah di puncak yang sunyi, menangis sesenggukan. Bu Song berhenti dan memandang dengan hati perih. Kasihan sekali, pikirnya. Akan tetapi ketika ia melangkah mendekat, tidak seperti biasanya jantungnya berdebar aneh. Rasa iba hatinya bercampur dengan rasa yang aneh, yang membuat jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas.
"Eng-moi...!" ia memanggil lirih.
Sejenak isak itu terhenti dan Eng Eng menoleh, memandang kepada Bu Song dengan mata basah. Kemudian ia menangis lagi sambil berkata, "Koko, mau apa kau menyusulku di sini? Tinggalkanlah aku seorang diri...," tangisnya makin menjadi.
Bu Song maju mendekat, berlutut dan menyentuh pundak gadis itu. "Eng-moi, mengapa kau menyiksa diri seperti itu? Menyerahlah kepada keadaan, Moi-moi. Ahh... apakah yang kekal di dunia ini? Sewaktu-waktu maut pasti merenggut, memisahkan kita dari orang yang kita sayang. Bahkan setiap saat dapat saja maut merenggut nyawa kita sendiri. Moi-moi, kuatkanlah hatimu, tenangkan batinmu. Ah, sakit rasa hatiku melihatmu sehari-hari menangis begini...."
"Song-koko...!" gadis itu makin keras menangis dan menutupkan muka pada dada pemuda yang berlutut di depannya.
Bu Song mendekap kepala itu, jantungnya berdebar penuh kasih sayang. Setelah tangis gadis itu berkurang, ia perlahan mengangkat muka itu dari dadanya, memegang kedua pipi gadis itu dan memandang mukanya. Sepasang mata jeli yang memerah, hidung kecil mancung yang ujungnya merah dan pipi yang basah air mata, pipi yang agak pucat dan kurus.
"Moi-moi, kau kehilangan Ibumu, akan tetapi di sini masih ada aku, masih ada Ayahmu. Aku akan menjagamu, akan menemanimu selamanya, Moi-moi."
Air mata bercucuran keluar dari mata Eng Eng dan gadis ini terisak sambil memejamkan matanya. Tak tahan Bu Song menyaksikan ini dan ia menundukkan mukanya. Bibirnya menyapu ujung hidung, mengecap air mata dari pipi.
"Ah-hu-hu-hu...!" Eng Eng menangis lagi dan mendekapkan muka pada dada yang bidang itu.
Bu Song menghela napas dan mengelus-ngelus rambut yang hitam halus. Tiba-tiba Eng Eng mendorongkan kedua tangannya pada dada Bu Song. Biar pun tangan gadis itu kecil halus, namun ia memiliki tenaga lweekang, maka tubuh Bu Song terjengkang ke belakang! Pemuda itu kaget, cepat merayap bangun dan memandang. Gadis itu masih duduk di tanah, air matanya masih bertitik akan tetapi tidak menangis lagi, mulutnya cemberut dan ia menegur, nada suaranya marah.
"Song-koko... apa yang kau lakukan tadi...??"
"...apa...? Mengapa...? Ah, aku... menciummu... aku kasihan..."
"Engkau nakal!"
"Moi-moi, bukan baru sekarang aku menciummu!" Bu Song memperotes.
"Memang sejak kita masih kecil kau suka mencium, sebab kau memang tukang cium! Akan tetapi, kau biasa hanya mencium pipi. Kenapa tadi kau... kau mencium hidung...??" Mata itu tidak menangis lagi, kini memandang marah.
"Ah, maaf, Moi-moi. Aku tidak... tidak sengaja... aku... aku...."
Aneh sekali. Terbayang senyum di bibir merah itu. "Sudahlah! Aku bukan marah karena kau mencium, melainkan... ah, hidung dan pipiku kotor, aku sedang menangis, penuh air mata, mengapa kau tidak menunggu mukaku bersih kalau mencium?"
Bu Song tercengang. Sungguh masih seperti kanak-kanak! Akan tetapi memang sejak kecil Eng Eng tinggal di puncak gunung, jarang bergaul dengan orang banyak. Dialah satu-satunya kawan bermain, seperti kakak dan adik. Eng Eng masih kekanak-kanakan. Akan tetapi ayahnya sudah bicara tentang jodoh!
"Eng-moi, mari kita pulang." Dia membungkuk dan menyentuh pundak gadis itu. "Hari sudah hampir petang."
"Tidak, aku tidak pulang!" kata Eng Eng merajuk dan jari tangannya menghapus air matanya yang mulai keluar lagi. "Untuk apa pulang melihat Ayah bersusah saja? Aku tidak pulang, biar tidur di sini!"
"Aihh, jangan begitu, Moi-moi. Suhu sekarang sudah sadar kembali, tadi sudah keluar pondok dan menanyakanmu. Suhu mengharap-harap pulangmu, Moi-moi."
"Kau bohong!"
"Wah, kapan aku pernah membohongimu? Marilah adik manis, tuh Ayahmu menanti di sana. Sebentar lagi gelap di sini dan Suhu tentu akan marah kalau aku tidak pulang bersamamu. Marilah...!" Ia menarik tubuh gadis itu berdiri.
Eng Eng seperti sengaja berlambat-lambat dan merajuk manja sehingga ia setengah diseret oleh Bu Song.
"Marilah, Moi-moi. Apakah kau masih marah kepadaku? Boleh kau memukulku agar puas hatimu!"
"Siapa mau pukul? Aku tidak marah!" akan tetapi suaranya ketus.
"Kalau tidak marah marilah kita jalan cepat-cepat, ayahmu menanti."
"Kau janji dulu!"
"Janji apa?"
"Lain kali mau cium, harus bilang."
Bu Song menahan senyum. "Mengapa?"
"Biar kubersihkan dulu pipi dan hidungku."
Bu Song tak dapat menahan lagi senyumnya. Ia menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada. "Baiklah, baiklah, Nona. Dan ampunkan aku....!"
Eng Eng terkekeh ketawa lalu tubuhnya berkelebat lari turun dari puncak itu meninggalkan Bu Song. Bu Song juga tertawa dan mengejar, akan tetapi tentu saja ia tidak mampu mengejar gadis yang terlatih baik sehingga memiliki ginkang yang lumayan itu. Karena itu Bu Song lalu tidak mengejar lagi. Ia berjalan seenaknya. Biarlah Eng Eng pulang lebih dulu, pikirnya, agar tidak canggung rasanya bagi gadis itu kalau ayahnya memberi tahu tentang perjodohan. Sambil tersenyum-senyum Bu Song melanjutkan perjalanan pulang perlahan-lahan, hatinya girang sekali dan ia mengenang gadis kekasihnya itu yang menjadi teman bermain sejak kecil.
Semenjak kecil Eng Eng memang lincah jenaka sekali, kadang-kadang amat nakal dan manja. Semenjak kecil, karena hubungan mereka seperti kakak beradik, tidak jarang ia mencium pipi Eng Eng, ciuman kanak-kanak dan setelah mereka menjadi besar, ciuman mereka itu menjadi ciuman saudara. Akan tetapi tadi, terus terang harus ia akui bahwa ketika ia tadi mencium Eng Eng, berbeda sekali perasaannya dengan biasanya. Agaknya perasaan inilah yang mengagetkan Eng Eng. Ia tersenyum lagi, kemudian Bu Song bersenandung.
Kegembiraan hatinya membuat ia bernyanyi-nyanyi perlahan. Gurunya benar. Ia tidak hanya mencintai Eng Eng sebagai seorang kakak, malah lebih dari itu, ia mencintai Eng Eng sebagai seorang pria mencintai seorang wanita! Seperti cinta gurunya terhadap ibu gurunya! Karena sejak kecil hidupnya selalu di puncak dekat guru dan ibu gurunya, maka kedua orang tua inilah yang ia jadikan contoh dan ia gembira sekali. Guru dan ibu gurunya selalu hidup rukun, dan ia akan senang sekali kalau dapat melanjutkan hidup bersama Eng Eng sebagai isterinya.
Ketika ia tiba dekat pondok, Bu Song melihat Eng Eng menangis. Gadis ini bersembunyi di balik pohon tak jauh dari pondok. Di depan pondok itu terdengar dua orang berbantahan dengan suara keras. Ternyata mereka itu adalah Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, kakek lumpuh yang dikenal oleh Bu Song sebagai paman ibu gurunya yang meninggal dunia. Melihat wajah Eng Eng pucat sekali, Bu Song kaget dan heran. Akan tetapi ia pun tidak berani muncul dan hanya melihat dari jauh. Ia hanya mendengar ucapan Kong Lo Sengjin yang suaranya parau.
"Nah, Kwee Seng! Jangan dikira aku tidak tahu akan riwayatmu yang busuk itu! Sekali lagi kutekankan, engkau tidak berhak menentukan perjodohan Eng-jin! Mau enaknya saja engkau ini! Sekarang pun, apa tanda setiamu terhadap isteri? Isteri terbunuh, musuh berkeliaran, dan kau enak-enak di sini. Inikah yang disebut orang gagah?"
"Kong Lo Sengjin. Kau pergilah," jawab gurunya, suaranya mengandung duka dan marah. "Tentang anakku, tak boleh orang lain turut campur, engkau sendiri pun tidak boleh! Soal membalas, tentu saja akan kulakukan. Kau lihat saja, Kim-mo Taisu takkan berhenti sebelum semua musuh terbasmi habis!"
Kakek lumpuh itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, inilah baru ucapan seorang pendekar sejati, seorang patriot sejati! Karena isterimu meninggal, engkau bukan keponakanku lagi, Kim-mo Taisu, melainkan seorang sahabatku, sahabat seperjuangan. Ha-ha-ha!"
"Sayang sekali bukan begitu, Kong Lo Sengjin! Jalan kita terpisah, biar pun musuh-musuh kita sama. Nah, kau pergilah!"
Sambil terbahak-bahak Kong Lo Sengjin berkelebat pergi di atas sepasang tongkatnya. Eng Eng tersedu dan berlari menghampiri ayahnya yang memeluknya dan membiarkan gadis itu menangis. Bu Song tak berani bergerak. Untung pada waktu itu cuaca sudah mulai gelap sehingga kedua orang ayah dan anak itu agaknya tidak melihatnya. Ia terheran-heran dan bingung. Apakah yang terjadi? Ia merasa menyesal mengapa tadi tidak mengejar Eng Eng sehingga kini agaknya ia terlambat datang dan tidak tahu apa yang terjadi sebelum ia datang.
Apa sesungguhnya yang terjadi? Hanyalah perbantahan antara Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, namun perbantahan yang isinya menghancurkan hati Eng Eng yang kebetulan datang dan mendengar sambil bersembunyi karena ia takut melihat ayahnya bicara keras dengan paman ibunya yang sejak dahulu menimbulkan rasa takut di hatinya. Mula-mula ia mendengar ayahnya membentak keras....
"Tidak! Urusan jodoh anakku adalah di tanganku, tiada orang lain boleh mencampurinya! Akulah yang berhak menentukan, karena bukankah aku ayahnya?"
Kong Lo Sengjin tertawa mengejek. "Kwee Seng, berani kau membuka mulut besar setelah isterimu meninggal? Kau kira aku tidak tahu betapa kau dahulu meninggalkan Gin Lin karena kau kira dia nenek-nenek? Betapa kau meninggalkan dia menderita seorang diri, mengandung dan melahirkan Eng Eng karena perbuatanmu? Tak ingatkah engkau bahwa akibat perbuatanmu yang hina itu Gin Lin menjadi wanita ternoda dan Eng Eng menjadi anak tanpa ayah, anak yang lahir dari perhubungan gelap? Dan akulah orangnya yang mengangkat Gin Lin dan anaknya dari sengsara. Setelah Eng Eng besar, setelah Gin Lin ternyata seorang gadis cantik, baru kau muncul dan mengaku sebagai suami Gin Lin, sebagai ayah Eng Eng! Huh, tak bermalu! Kini Gin Lin dibunuh orang, engkau enak-enak saja, sebaliknya kau mengukuhi hakmu sebagai ayah Eng Eng."
"Kong Lo Sengjin, tutup mulutmu! Kalau tidak, jangan sesalkan kalau aku terpaksa melawanmu!" Kim-mo Taisu membentak marah.
"Aha, kau kira aku takut? Kau kira engkau gagah? Kegagahanmu untuk melawan Paman Gin Lin karena aku tahu rahasiamu? Ha-ha-ha! Bukannya mencari musuh-musuh Gin Lin, sebaliknya engkau malah hendak melawan aku! Boleh, engkau boleh menjadi musuhku, akan tetapi sekali-kali engkau tidak boleh mengaku sebagai ayah Eng Eng! Gin Lin hanyalah kekasihmu barangkali, akan tetapi bukan isterimu. Bilakah engkau menikah dengan keponakanku itu? Siapa saksinya? Ha-ha-ha!"
"Diam!!" Kim-mo Taisu membentak lagi. "Kong Lo Sengjin, kuminta kepadamu, jangan ulangi semua itu. Baiklah, kuakui bahwa memang aku telah meningalkan Gin Lin di Neraka Bumi, akan tetapi aku tidak mengira bahwa dia telah mengandung! Dan aku telah memperbaiki semua kesalahan, dan aku berjanji pula akan membasmi musuh-musuhnya."
"Ha-ha-ha! Betulkah itu? Kau berani menghadapi Tok-siauw-kwi?" Kong Lo Sengjin mendesak. "Aku pun tahu bahwa cintamu bukan kepada Gin Lin melainkan kepada siluman betina itulah. Pat-jiu Sin-ong sudah menceritakan semuanya kepadaku! Jenderal Kam Si Ek sudah menceritakan semuanya kepadaku! Ha-ha-ha, alangkah lucunya. Engkau yang patah hati menjadi buta, Gin Lin yang menyamar nenek-nenek sekali pun engkau tubruk. Sebaliknya, Tok-siauw-kwi tanpa mempedulikan cintamu telah berpesta pora dan bermain gila, menghabiskan para bangsawan muda di Hou-han. Dia pun termasuk komplotan yang memusuhi aku, memusuhi Gin Lin. Dialah seorang di antara musuh-musuh yang menyebabkan kematian Gin Lin. Beranikah kau kini membalas kepadanya?"
Kim-mo Taisu merasa kepalanya berdenyut-denyut. Pening kepalanya, sakit hatinya. Akan tetapi apa hendak ia jawab? Ucapan kakek keji ini semua tepat dan benar. Terbayang di depan matanya betapa ia telah mengalami hal-hal yang amat memalukan, betapa semua itu menjadi bukti dari pada kelemahan batinnya terhadap asmara.
"Pergilah...! Aku akan menghadapinya... kau pergilah!" Hanya demikian ia menjawab dan pada saat itulah Bu Song datang dan mendengar percakapan selanjutnya.
Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa tadi telah terjadi percakapan yang menyinggung-nyinggung ibunya. Namun, andai kata ia mendengar sekali pun, ia tidak akan tahu bahwa Tok-siauw-kwi adalah ibu kandungnya....
Bu Song masih belum berani keluar ketika melihat Eng Eng tersedu-sedu dalam pelukan ayahnya. Baru setelah mereka memasuki pondok, ia berani mendekati pondok. Malam itu Kim-mo Taisu dan Eng Eng tidak keluar lagi dan Bu Song mendengar betapa Eng Eng bergelisah di dalam kamarnya, kadang-kadang menangis. Ada pun gurunya terdengar menarik napas berulang-ulang dalam kamar semedhinya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kim-mo Taisu sudah memanggilnya menghadap. "Bu Song," kata guru yang mukanya pucat ini. "Kau kumpulkan semua persediaan akar-akar obat yang sudah kering, juga kulit ular dan harimau yang sudah kering, pilih yang baik-baik. Kemudian kau bawa semua itu turun ke lereng barat dan temui Paman Kui Sam."
"Suhu maksudkan Kui Sam Lopek di dusun Hek-teng?" Bu Song menegaskan. Ia mengenal Kui Sam si pedagang keliling yang banyak menceritakan tentang kota raja dan kota-kota besar lainnya dalam perantauannya.
"Betul, dia. Berikan semua barang itu kepadanya dan katakan agar ia tukar dengan lima stel pakaian sekolah untukmu, kemudian sisanya supaya dia persiapkan saja, nanti kalau aku hendak pergi, kuambil uangnya."
Berdebar jantung Bu Song. Jelas bahwa ia benar-benar akan disuruh mengikuti ujian ke kota raja! Tak enak hatinya. Akar-akar obat dan kulit ular dan harimau itu adalah simpanan mereka, hasil perburuan bertahun-tahun. "Suhu, selain pakaian untuk teecu, apakah tidak ada lain pesanan? Pakaian untuk Eng-moi, untuk Suhu sendiri, atau lain keperluan...."
Kim-mo Taisu menggeleng kepala. "Bu Song, ketahuilah. Aku segera akan turun gunung pergi ke kota raja, mencarikan tempat untukmu. Kau jaga adikmu baik-baik sampai aku pulang. Setelah aku pulang, kaulah yang akan pergi mengikuti ujian. Setelah itu baru kelak kita bicara tentang yang lain-lain...."
Guru ini menarik napas panjang dan Bu Song tidak berani membantah lagi. Cepat ia mengumpulkan barang-barang itu, mengikatnya menjadi satu, menggulung kulit dan menyediakan pikulan. Barang-barang itu sudah kering, tidak terlalu berat, apalagi Bu Song sudah biasa turun naik puncak sambil memikul beban. Sudah menjadi pekerjaannya sehari-hari.
Ia agak merasa heran mengapa Eng Eng belum juga muncul. Ingin ia bertemu dengan gadis itu sebelum ia pergi ke dusun Hek-teng. Akan tetapi karena matahari sudah mulai muncul dan gadis itu belum keluar, ia tidak berani menanti lebih lama lagi. Barang-barang itu lalu dipikulnya dan mulailah ia menuruni puncak menuju ke dusun Hek-teng yang letaknya di lereng gunung Min-san bagian barat.
Hari sudah siang ketika ia tiba di dusun Hek-teng dan langsung ia menuju ke rumah Kui Sam. Pedagang itu girang sekali menerima kiriman barang-barang yang baginya amat berharga dan menguntungkan itu. Kalau barang-barang ini dibawa ke kota akan menghasilkan uang banyak. Akan tetapi pada saat Bu Song tiba di situ, Kui Sam sedang sibuk sekali dan di situ berkumpul semua penduduk dusun Hek-teng. Maka sesingkatnya saja Bu Song menyampaikan semua pesan suhunya yang diterima baik oleh Kui Sam.
Bu Song kemudian bertanya, "Kui Sam lopek, ada apakah ramai-ramai ini? Mengapa semua Paman berkumpul di sini dan menyiapkan tombak dan obor seperti orang mau perang saja?"
"Kebetulan sekali Kongcu datang ke sini. Tentu Kongcu sebagai murid Kim-mo Taisu akan dapat membantu kami mengusir atau membinasakan musuh ganas!" kata seorang di antara penduduk Hek-teng yng mewakili Kui Sam menjawab.
Muka Bu Song menjadi merah. "Ah, maafkan, Paman. Biar pun aku benar murid Suhu, namun aku bukan belajar ilmu silat, melainkan belajar ilmu sastra. Oleh karena itu, mana aku mampu berkelahi dan membunuh orang?"
Tentu saja para penduduk dusun itu tidak ada yang mau percaya. Mereka anggap sudah wajar seorang pendekar murid orang sakti selalu merendahkan diri, rendah hati dan pura-pura lemah.
"Wah, Kongcu terlalu merendah!" Kui Sam tertawa bergelak. "Gurumu memiliki kepandaian seperti malaikat, tentu muridnya lihai sekali. Lagi pula kami bukan hendak membunuh orang, karena musuh kami bukan orang."
"Bukan orang? Lalu... apakah musuh kalian?"
"Burung. Burung raksasa yang dalam waktu sebulan ini sudah menghabiskan sepuluh ekor domba kami!"
"Oohhh... agaknya hek-tiauw (Rajawali Hitam) yang pernah disebut-sebut Suhu," kata Bu Song kagum.
Pernah ia bersama suhunya pada suatu senja melihat titik hitam tinggi di angkasa, makin lama titik itu makin besar dan akhirnya tampaklah seekor burung hitam melayang-layang amatlah gagahnya. Tadinya Bu Song menyangka bahwa burung itu seekor garuda, akan tetapi suhunya segera menerangkan, "Bukan, burung itu adalah seekor hek-tiauw yang sukar dilihat. Agaknya ia datang ke sini untuk mencari-cari tampat yang aman untuk bersarang dan bertelur."
"Mungkin sekali," kata Kui Sam. "Besarnya bukan main, ganas dan kuat. Sebuah kakinya mampu mencengkeram seekor domba. Paling akhir ia mencengkeram dua ekor domba dan dibawanya terbang dengan mudah. Memang bulunya agak kehitaman, akan tetapi matanya merah seperti api menyala."
Bu Song makin tertarik. "Lalu kalian ini hendak menyerbunya secara bagaimanakah? Dia pandai terbang, bagaimana kalian dapat mengejarnya?"
"Kami akan menyerbu sarangnya, Kongcu. Sudah kami ketahui di mana sarangnya, di puncak batu karang sebelah selatan. Agaknya dia bertelur di sana. Kita akan obrak-abrik sarangnya, tentu dia akan lari ketakutan dan biar dia minggat mencari tempat lain! Hendak kami lihat apakah dia berani melawan api, ha-ha!"
Bu song tertarik sekali. "Boleh aku ikut menonton?"
"Ha-ha, tentu saja boleh. Dengan adanya Kongcu, kami makin tidak takut terhadap burung raksasa itu," jawab mereka.
Berangkatlah rombongan itu sebanyak dua puluh lima orang. Kui Sam menjadi pemimpin rombongan berjalan di depan. Bu Song berjalan di sampingnya. Mereka bernyanyi-nyanyi dan bersenda-gurau seperti seregu pasukan hendak maju perang melawan musuh! Diam-diam Bu Song mengalami kegembiraan yang belum pernah ia rasakan selama ini. Orang-orang ini benar gagah, pikirnya.
Perjalanan mulai sukar, mendaki sebuah puncak yang penuh batu-batu seperti karang, runcing tajam dan kasar. Namun mereka adalah penduduk gunung yang sudah biasa melalui jalan seperti itu, maka perjalanan dapat dilanjutkan tanpa banyak kesukaran. Hanya kini tidak ada yang bernyanyi lagi, tidak ada yang bersendau-gurau, karena keringat telah membasahi tubuh yang telah membasahi tubuh yang lelah dan hati mulai berdebar tegang. Makin dekat dengan sebuah batu karang berbentuk menara yang menjulang tinggi di puncak, makin berdebarlah hati mereka. Di ujung batu karang itulah si burung raksasa bersarang.
Akhirnya mereka tiba di bawah batu karang seperti menara itu, terengah-engah menyusuti keringat. Tiba-tiba terdengar bunyi bercicit-cicit nyaring di atas batu karang, lalu terdengar kelepak sayap dan... mereka menjadi gelisah ketika tampak seekor burung hitam raksasa terbang melayang ke luar dari atas batu karang. Inilah si Rajawali Hitam yang ganas itu. Bulunya kehitaman, matanya mencorong seperti api bernyala.
"Cepat nyalakan obor!" seru Kui Sam dan ramai-ramai mereka nyalakan obor.
Ada yang mulai melepas anak panah ke arah burung itu karena si Rajawali kadang-kadang menyambar ke bawah sambil memekik-mekik nyaring. Akan tetapi, anak panah itu disampok runtuh oleh sayapnya yang besar seakan-akan anak-anak panah itu hanyalah mainan kanak-kanak belaka. Orang-orang itu berteriak-teriak dan mengacung-acungkan tombak serta obor. Benar saja, karena melihat api, burung itu tidak berani menyerang, hanya terbang mengitari mereka dari atas sambil memekik-mekik marah. Selama orang-orang itu berkumpul dan melindungi kepala dengan api, burung itu tidak berani apa-apa.
"Hayo kita ke atas, kita bakar sarangnya!" teriak Kui Sam.
Akan tetapi jalan pendakian ke atas batu karang itu amat sempit, hanya dua orang saja dapat secara bersamaan mendaki ke atas, itupun amat sukar. Kui Sam dan seorang lain lagi mendaki, akan tetapi baru kurang lebih tiga meter, burung rajawali itu menyambar dari atas.
"Awas...!!" teriak mereka yang tinggal di bawah.
Kui Sam dan temannya terkejut, cepat mengangkat obor di tangan kanan untuk melindungi kepala sedangkan tangan kiri memegang batu karang yang menonjol. Bahkan Kui Sam menggerakkan tombak untuk menusuk ketika bayangan hitam itu menyambar. Akan tetapi kibasan sayap yang besar dan amat kuat itu sekaligus memadamkan dua buah obor, mematahkan tombak dan membuat kedua orang itu terlempar jatuh ke bawah! Baiknya teman-teman di bawah segera menerima tubuh mereka yang langsung roboh bergulingan bersama orang-orang yang tertimpa. Biar pun babak-belur, namun mereka selamat. Kembali burung itu menyambar, akan tetapi sambil memekik marah ia terbang ke atas kembali setelah semua orang menyatukan obor dan mengacung-acungkan ke atas.
"Dia takut api dan tidak berani menyerang kita!" kata Kui Sam yang masih merasa mendongkol.
"Akan tetapi mana bisa kita mendaki bersama? Paling banyak hanya dua orang yang bisa mendaki bersama, dan hal itu berbahaya. Menghadapi dua obor saja ia tidak takut!" kata yang lain.
"Kita gunakan panah api! Kita ikatkan benda bernyala di ujung anak panah dan kita panahkan ke bagian atas. Agaknya sarang itu berada di puncak, dalam sebuah goa," kata Kui Sam.
"Lihat itu...!" tiba-tiba Bu Song berkata.
Pemuda ini sejak tadi menonton dan tidak ikut-ikut membawa obor. Ia merasa kagum bukan main menyaksikan gerakan dan sepak terjang burung rajawali hitam itu. Ketika melihat penuh perhatian ke arah puncak karang, ia tiba-tiba melihat tiga buah kepala burung muncul, tiga buah kepala burung yang lucu sekali karena tidak berbulu, matanya melotot.
Semua orang berdongak memandang.
"Itu anak-anaknya. Kita serang dengan anak panah...!" kata Kui Sam.
Usul ini lebih mudah dikatakan dari pada dilakukan, karena selain terlindung batu karang yang menonjol, juga semua anak panah disapu habis oleh rajawali hitam yang melindungi anak-anaknya. Bahkan terjadi ribut dan gempar ketika seorang di antara mereka tertusuk anak panah yang runtuh dari atas, tepat mengenai daun telinganya sehingga robek.
Tiba-tiba Bu Song meloncat dari tempat duduknya. Ia sejak tadi memperhatikan anak-anak burung itu dan melihat betapa seekor di antara mereka agaknya tertarik oleh ribut-ribut di bawah, entah tertarik entah ketakutan, akan tetapi anak burung yang seekor ini bergerak-gerak makin ke pinggir. Ia sudah khawatir sekali, maka begitu melihat anak burung itu tergelincir ke luar dan jatuh ke bawah, ia sudah melompat dan menerima burung kecil itu dengan kedua tangannya! Dari bawah burung itu kelihatan kecil, akan tetapi setelah ia terima dengan tangannya, ternyata sebesar bebek!
"Saudara-saudara, harap mundur. Tak baik ribut-ribut ini dilanjutkan!" Bu Song berkata dengan suara keras. Entah suaranya yang berwibawa, entah karena mereka menganggap ia seorang pendekar murid Kim-mo Taisu, akan tetapi semua orang berhenti memanah dan mengundurkan diri, memandang kepada Bu Song yang memegang anak burung itu di tangannya.
"Sekarang aku mengerti," kata Bu Song. "Rajawali itu mencuri kambing untuk memelihara anak-anaknya. Kalau anak-anaknya sudah pandai terbang, tentu mereka akan pergi meninggalkan tempat ini, karena asal mereka bukan di sini."
Anak burung itu bercicit di tangan Bu Song dan induk burung beterbangan di atas, memekik-mekik dan menyambar-nyambar ke arah Bu Song, akan tetapi tidak menyerang pemuda itu karena Bu Song mengangkat anak burung itu di atas kepalanya. Kemudian dengan tenang pemuda itu lalu mendaki batu karang berbentuk menara itu, perlahan-lahan dan hati-hati ia mendaki ke atas.

Burung rajawali hitam menyambar-nyambar lagi sambil memekik-mekik dan orang-orang di bawah sudah menahan napas melihat betapa burung besar itu menyambar ke arah Bu Song. Namun burung itu tidak menyerang. Agaknya melihat pemuda itu memegangi anaknya sambil mendaki dan tidak membawa api yang ditakuti, burung itu dapat mengerti niat orang menolong anaknya.
Setelah tiba di puncak, Bu Song melihat sebuah goa yang besar. Kiranya di dalam goa itulah sarang si Rajawali karena lubang itu penuh dengan rumput kering. Ia menaruh anak burung itu di dekat dua saudaranya, dua ekor burung kecil yang serupa dan yang memandang Bu Song dengan mata melotot-lotot lucu. Bu Song tertawa dan mengelus-elus kepala mereka.
Tiba-tiba matanya tertarik oleh setumpuk benda putih kekuningan di pinggir sarang, benda seperti agar-agar kering. Ia teringat akan cerita suhunya tentang khasiat liur burung yang sudah kering dalam sarang burung wallet, maka tanpa ragu-ragu ia lalu mengambil setumpuk benda itu, kemudian turun lagi ke bawah. Burung rajawali itu mengeluarkan suara aneh terbang berputaran mengelilingi tempat itu dan matanya selalu melirik ke arah Bu Song. Sama sekali ia tidak mengganggu Bu Song yang mendaki turun.
Setibanya di bawah, orang-orang menyambut Bu Song dengan kening berkerut. Mereka merasa tidak puas karena belum berhasil membasmi musuh, malah pemuda dari puncak Min-san ini seakan-akan berpihak kepada musuh!
Bu Song seorang pemuda yang luas pandangan dan cerdik. Ia maklum akan isi hati orang-orang itu, maka ia segera berkata, "Saudara-saudara, maafkan pendapatku ini. Akan tetapi burung rajawali hitam itu tidaklah jahat. Buktinya, ia tidak pernah membunuh manusia untuk dijadikan mangsanya. Ia menyerang manusia sekarang ini hanya karena kita yang lebih dahulu mengganggunya. Maka tidak perlu kita memusuhinya."
"Akan tetapi, dia sudah menghabiskan sepuluh ekor kambing kami!" bantah seorang.
"Kalau tidak dibunuh, tentu akan menghabiskan lebih banyak lagi!" sambung orang kedua.
"Tidak, asal dijaga baik-baik," kata pula Bu Song. "Kambing-kambing yang sudah diterkamnya, biarlah kelak aku yang menggantinya, kutukar dengan akar-akar obat. Selanjutnya, jika kalian menggembala domba, supaya mempersiapkan obor. Begitu dia muncul, kalian menyerang. Dengan cara begini, burung yang lapar itu tentu akan mencari binatang lain dalam hutan. Lebih aman begini dari pada harus bermusuh melawan burung ajaib yang amat berbahaya itu. Untuk apa mengorbankan nyawa manusia kalau jalan lain dapat ditempuh?"
Akhirnya semua orang itu setuju dengan pendapat Bu Song dan pemuda ini dengan hati girang pulang ke puncak membawa liur (ilar) kering burung rajawali hitam.
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kam Si Ek, bekas suami Liu Lu Sian, bekas Jenderal Hou-han yang gagah perkasa. Seperti telah diceritakan di bagian depan, semenjak ditinggalkan isterinya, Kam Si Ek hidup menduda selama tiga tahun di samping puteranya, Kam Bu Song. Kemudian ia menikah lagi dengan Ciu Bwee Hwa, puteri seorang sastrawan bernama Ciu Kwan yang tinggal di Ting-chun. Peristiwa ini menekan perasaan Bu Song yang lalu minggat meninggalkan rumah ayahnya.
Tentu saja kepergian puteranya itu menyedihkan hati Kam Si Ek yang melakukan segala usaha untuk mencari puteranya, namun sia-sia belaka. Baru setelah istrinya melahirkan anak, kesedihan Kam Si Ek yang kehilangan Bu Song agak mereda, sungguh pun ia masih senantiasa teringat dan berusaha mencari puteranya yang sulung itu.
Jenderal Kam Si Ek adalah seorang panglima yang setia dan mentaati perintah atasan. Biar pun ilmu silatnya tidak amat hebat, namun kepandaiannya terkenal sekali dalam hal mengatur barisan dan menggunakan siasat perang. Dengan siasatnya yang cerdik, Jenderal Kam Si Ek sanggup menghadapi musuh yang jauh lebih besar bala tentaranya. Berkat kepandaiannya mengatur bala tentara inilah maka Hou-han menjadi kuat sekali. Biar pun berkali-kali pihak musuh, terutama pasukan-pasukan Khitan, berusaha menyerbu, selalu dapat dipukul hancur dan digagalkan. Nama Jenderal Kam Si Ek terkenal sampai di luar daerah, sampai di Khitan dan di kerajaan-kerajaan lain yang pernah memusuhi Hou-han.
Akan tetapi hati Kam Si Ek makin lama makin bercuriga terhadapi Gubernur Li Ko Yung di Shan-si. Tadinya Li Ko Yung ia anggap seorang yang setia kepada kerajaan dan seorang pejabat tinggi yang tidak mempunyai ambisi pribadi. Kemudian ia dapat tahu bahwa Gubernur Shan-si ini mempunyai cita-cita untuk membangun kerajaan sendiri di Shan-si, apalagi setelah Kerajaan Tang makin lemah. Kam Si Ek mendengar bahwa Gurbernur Li ini ikut pula membantu dan bersekutu dengan pemberontak!
Pada saat itu juga Kam Si Ek sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri. Akan tetapi pada hari ia hendak mengirim surat permohonan berhentinya kepada gubernur, tiba-tiba Shan-si diserang oleh gelombang pasukan Khitan yang amat besar. Biar pun Kam Si Ek sudah tidak suka untuk mengabdi kepada Gubernur Li Ko Yung yang mengkhianati Kerajaan Tang, namun Kam Si Ek masih mengingat akan nasib rakyatnya. Maka ia cepat-cepat mengenakan pakaian perang, membantah cegahan isterinya yang menggendong puterinya yang baru berusia empat tahun. Kini Ciu Bwee Hwa telah mempunyai dua orang anak, yang pertama laki-laki berusia enam tahun diberi nama Kam Bu Sin, yang ke dua perempuan yang digendong itu bernama Kam Sian Eng.
"Bukankah sudah bulat keputusanmu hendak meninggalkan Shan-si dan kita mengundurkan diri ke gunung? Mengapa sekarang kau hendak maju perang lagi?" antara lain isterinya memperingatkan.
"Bala tentara Khitan yang menyerbu kali ini amat besar dan kuat. Aku maju bukan untuk membela Gubernur Li, melainkan untuk mencegah bangsa Khitan merusak kota-kota dan membunuhi rakyat. Biarlah kali ini menjadi tugas terakhir bagiku. Kau tenanglah dan jaga baik-baik kedua orang anak kita, isteriku."
Kemudian berangkatlah Kam Si Ek. Ia memimpin barisan memotong jalan yang akan dilalui bala tentara Khitan yang datang menyerang bagaikan gelombang. Dengan siasat memecah-mecah barisan dan membuat jebakan-jebakan dan perangkap, akhirnya ia berhasil memotong barisan musuh menjadi beberapa bagian terpisah, lalu pasukan-pasukannya yang terlatih baik itu menyerbu dari tempat-tempat sembunyi mereka. Pertama-tama menggunakan panah-panah api untuk mengacaukan bala tentara Khitan yang sudah terpotong itu, kemudian mengurung mereka yang sudah terputus dengan bagian perlengkapan dan setelah mereka menjadi lemah keadaannya, barulah pasukan-pasukan ini menyerbu!
Seperti telah kita ketahui, pada waktu itu Raja Kulukan, ayah puteri Tayami telah meninggal dunia dan kedudukan Raja Khitan berada di tangan Kubakan, kakak tiri Tayami. Setelah Kubakan menjadi Raja Khitan, ia mengerahkan pasukannya untuk menyerang ke selatan dan ke timur. Pasukan-pasukannya ganas dan kuat, dibantu panglima-panglima yang kosen.
Hanyalah karena maklum bahwa banyak panglima tua masih setia kepada Puteri Tayami, maka Raja Kubakan bersikap baik terhadap Tayami. Akan tetapi kebaikan ini hanya lahiriah belaka, sebetulnya di dalam hati ia amat membenci Tayami yang tidak membalas cintanya. Apalagi Raja Kubakan juga tahu bahwa sewaktu-waktu kedudukannya dapat goyah karena Tayami adalah Puteri Mahkota yang sebenarnya. Ia mencari kesempatan untuk melenyapkan saingan ini.
Tayami telah menikah dengan Salinga, seorang panglima muda, prajurit perkasa dari Khitan. Mereka berdua hidup bahagia, saling mencinta dan setahun kemudian mereka dikaruniai seorang puteri yang mungil dan sehat, dan yang mereka beri nama Puteri Yalina. Makin bahagialah kehidupan mereka dan biar pun bekas Puteri Mahkota ini tidak menggantikan kedudukan mendiang ayahnya menjadi raja, melainkan diganti oleh kakak tirinya, Kubakan, namun hati puteri ini tidaklah merasa penasaran. Ia merasa cukup berbahagia di samping suaminya yang mencinta dan puterinya yang mungil.
Kurang lebih dua tahun kemudian sejak Puteri Tayami melahirkan puterinya, terjadilah penyerbuan besar-besaran terhadap Shan-si yang digerakkan oleh Raja Kubakan. Dalam operasi ini, Raja Kubakan memerintahkan kepada Panglima Salinga, suami Tayami untuk memimpin pasukan. Sebagai seorang prajurit yang bertugas membela negaranya, tentu saja Salinga tidak berani membantah dan siap-siap berangkat. Akan tetapi isterinya merasa khawatir.
"Suamiku, selama ini tugasmu menjaga keselamatan kerajaan di sini. Sekarang Raja memerintahmu untuk memimpin pasukan menyerang Shan-si. Serbuan ini besar-besaran dan mati-matian, apalagi kalau diingat bahwa di Shan-si terdapat Jenderal Kam Si Ek yang amat pandai sehingga penyerbuan ini amat berbahaya. Aku merasa tidak enak dan curiga, oleh karena itu, aku harus ikut," demikian kata Puteri Tayami.
"Ah, mengapa harus ikut? Kau seorang wanita dan tugasmu menanti di rumah..."
"Biar seorang wanita, sejak dahulu aku sudah biasa ikut mendiang Ayah melakukan perang. Pula, aku seorang puteri, sudah menjadi tugasku pula menyertai pasukan kita melawan musuh."
"Benar, isteriku. Akan tetapi kau harus ingat, Yalina yang masih kecil."
"Dia anak kita, anak orang-orang peperangan. Usianya sudah dua tahun lebih. Pula, aku hanya mengantar dan berada di barisan belakang. Aku hanya ingin menyaksikan sendiri bahwa tidak ada sesuatu di balik perintah penyerbuan ini, suamiku."
Karena tidak dapat ditentang, akhirnya Puteri Tayami berangkat juga bersama barisan yang dipimpin suaminya. Dengan gagah Puteri Tayami naik kuda di samping suaminya sambil menggendong puterinya yang berusia dua tahun lebih. Anggota pasukan menjadi besar hati menyaksikan betapa puteri yang gagah perkasa ini menyertai suaminya.
Demikianlah, terjadi perang hebat melawan bala tentara yang dipimpin Kam Si Ek. Dan seperti telah disebutkan tadi, Kam Si EK mengatur siasat memecah-mecah barisan Khitan, memasang jebakan dan menyerbu dengan tiba-tiba sehingga barisan Khitan menjadi kocar-kacir. Pasukan-pasukan Khitan terdiri orang-orang gagah dan pandai perang, akan tetapi menghadapi siasat Jenderal Kam Si Ek, mereka tidak berdaya dan kacau-balau. Banyak orang Khitan tewas terkena panah gelap.
Dalam keadaan terkurung dan terjebak, Panglima Salinga tewas dalam pertempuran. Berita ini segera sampai di telinga Puteri Tayami yang berada di barisan belakang dan sudah terputus hubungannya. Puteri Tayami menjadi kaget dan berduka sekali, juga marah. Cepat ia melompat ke atas seekor kuda, menggendong puterinya dan dengan pedang di tangan, puteri yang perkasa ini lalu terjun ke dalam kancah perang, mengamuk secara hebat. Pedangnya merobohkan banyak lawan. Keinginan sampai dapat bertemu dengan Jenderal Kam Si Ek yang memimpin sendiri barisannya dan jika berhasil membunuh pimpinan lawan ini hatinya akan puas. Pedang Besi Kuning di tangannya adalah pusaka Khitan yang ampuh sekali. Setiap senjata lawan yang bertemu dengan pedangnya ini tentu akan patah dan bagaikan seekor naga betina puteri ini mengamuk terus. Akhirnya ia berhasil mendekati tempat Jenderal Kam mengatur siasat dan memimpin pasukannya.
Semangat dan kegagahan Puteri Tayami ini menarik dan membangkitkan kembali semangat para pasukan Khitan sehingga dalam waktu singkat banyak pula pasukan Khitan yang ikut menyerbu di belakangnya dan sampai pula ke tempat itu. Pertempuran menjadi makin hebat, dan melihat kegaduhan ini Jenderal Kam Si Ek terkejut. Seorang pembantunya lalu melaporkan bahwa sepasukan musuh yang dipimpin seorang wanita Khitan menyerbu dengan nekat dan berhasil menghancurkan kepungan.
Jendral Kam meloncat ke atas kudanya dan segera memimpin pasukan pengawal untuk membantu pertahanan menghadapi amukan pasukan musuh yang menurut laporan amat berani dan kuat itu. Dari tempat agak jauh dan tinggi ia memeriksa keadaan, lalu memberi perintah pengepungan, memberi isyarat kepada pasukannya untuk mundur dan bersembunyi, kemudian dari empat penjuru pasukannya menghujani pasukan musuh yang mengamuk itu dengan anak panah!
Dalam keadaan dihujani anak panah itulah tiba-tiba Puteri Tayami roboh dari atas kudanya, bukan terkena anak panah musuh, melainkan terkena anak panah yang dilepas dari belakang, dari dalam pasukannya sendiri! Mengapa begitu? Kiranya dari sejak mula, Raja Kubakan sudah mengirim orangnya untuk menggunakan kesempatan ini membunuh Salinga dan Tayami!
Salinga tewas dalam perang, tinggal Puteri Tayami. Namun pembunuh itu tidak mendapatkan kesempatan melaksanakan tugasnya yang jahat dan berat, karena tentu saja selain hendak mentaati perintah raja dan mengharapkan hadiahnya, ia pun ingin menyelamatkan diri sendiri sehingga tugas itu dapat ia lakukan tanpa membahayakan nyawanya sendiri. Puteri Tayami adalah seorang wanita kosen, tidak mudah dibunuh begitu saja. Selain itu, apabila ketahuan para panglima bahwa dia membunuh Tayami, tentu ia pun tidak akan selamat!
Maka kini melihat puteri itu mengamuk, ia pun lalu masuk ke dalam pasukan yang mengikuti jejak puteri perkasa ini. Dalam keadaan kacau-balau karena terjebak dan dihujani anak panah inilah, ia mendapat kesempatan baik sekali. Teman-temannya dalam pasukan juga membalas musuh dengan anak panah. Melihat betapa Puteri Tayami melindungi diri sendiri dan puterinya dengan memutar pedang bersinar kuning di depannya, pembunuh ini lalu menarik gendewa dan mengirim pula anak panahnya, bukan kepada musuh melainkan tepat ke arah Puteri Tayami! Tak seorang pun mengetahui bahwa dialah yang menewaskan Puteri Tayami. Semua mengira bahwa Sang Puteri menjadi korban anak panah musuh!
Robohnya Tayami ini tak dapat disangkal lagi malah menyelamatkan nyawa puteri dalam gendongannya. Setelah ia roboh, Puteri itu tetap memeluk puterinya, melindunginya dengan tubuh dan dengan Pedang Besi Kuning. Robohnya Puteri ini mengagetkan pasukan Khitan, apalagi karena selain Sang Puteri, banyak pula anggota pasukan roboh terkena anak panah. Mereka menjadi agak panik dan kacau, sungguh pun mereka tidak takut.
Melihat musuh bergerak kacau-balau, Jenderal Kam Si Ek memberi aba-aba dan menyerbulah barisannya dari depan dan kanan kiri. Terjadilah perang mati-matian dan Jenderal Kam Si Ek yang sejak tadi memperhatikan dari tempat tinggi dan kagum melihat gerakan Puteri Tayami yang disangkanya seorang prajurit wanita biasa, lalu mengeprak kudanya, memainkan goloknya ikut menyerbu musuh. Ia mengerahkan kudanya ke tengah lapangan mendekati tempat prajurit wanita tadi roboh.
Alangkah kaget, kagum dan terharunya ketika ia melihat seorang wanita cantik jelita menggeletak miring dalam keadaan tak bernyawa lagi, akan tetapi tangan kanannya masih erat-erat memegang sebatang pedang bersinar kuning dan tangan kiri memeluk seorang anak perempuan kecil yang menangis sesenggukan! Ia merasa heran sekali mengapa seorang prajurit wanita ikut perang membawa anaknya, namun kekaguman dan keharuan hatinya membuat ia cepat-cepat meloncat turun dari atas kuda dan mengambil pula pedang bersinar kuning yang berada di tangan kanan mayat si wanita. Tak pernah ia mimpi bahwa yang ditolongnya adalah puteri keturunan asli Raja Khitan, dan bahwa prajurit wanita itu adalah Puteri Mahkota!
Karena siasat dan kecerdikan Jenderal Kam Si Ek, sebentar saja pasukan Khitan yang menyerbu Shan-si dapat dipukul hancur dan sisanya lari cerai-berai kembali ke Khitan. Jenderal Kam Si Ek membuat laporan ke atasan, mengirim pula Pedang Besi Kuning sebagai barang rampasan, akan tetapi ia merahasiakan soal anak kecil itu, anak Puteri Yalima yang kemudian dibawanya pulang.....

Jilid 25»

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)