MUTIARA HITAM : JILID-26


"Suma Kiat, lepaskan pedangmu!" dengan suara tegas Kiang Liong berkata.
Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut bukan main. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu ada hawa pukulan menyambar ke arah tengkuknya. Ia menjadi serba susah. Melepaskan jepitan pedang Suma Kiat berarti memberi kesempatan kepada adik misan yang gila itu untuk menyerangnya lagi. Tidak melepaskannya, ia terancam pukulan hebat yang kini sudah tiba.
Kiang Liong mengerahkan tenaga, memutar sepasang pensil dan terdengar suara seruan kaget Suma Kiat karena pedangnya sudah terampas, secara paksa direnggut lepas dari tangannya oleh tenaga putaran yang hebat. Pada saat itu, Kiang Liong terpaksa menerima tamparan dari belakang yang mengenai pundaknya karena ia sudah miringkan tubuh dan mengerahkan sinkang ke arah pundak. Ia percaya bahwa tenaga sinkang-nya dapat melindungi pundak yang terpukul oleh lawan yang tidak kelihatan.
"Plakk...!”
Pukulan yang merupakan tamparan telapak tangan halus itu tidak keras, akan tetapi ternyata tubuh Kiang Liong terguling roboh, sepasang pensil yang masih menjepit pedang Suma Kiat terlepas dari kedua tangan, jatuh berkerontangan di atas lantai kamar.
Suma Kiat menyalakan lampu dinding, menyeringai kepada wanita berkerudung hitam sambil berkata. "Untung kau datang, Ibu."
"Goblok! Menghadapi senjata sepasang pensil jangan mau bertempur dekat!" gumam wanita itu yang bukan lain adalah Kam Sian Eng.
Melihat wanita ini, Kiang Liong dapat menduga siapa adanya dan ia merasa seram juga. Di dalam hati ia mentertawai ucapan wanita itu. Memang kata-katanya mengandung kebenaran, yaitu bahwa keampuhan senjata pit adalah untuk pertempuran jarak dekat, akan tetapi mengingat akan tingkat Suma Kiat, tetap saja ia akan dapat mengalahkan adik misan itu biar pun menggunakan siasat pertempuran jarak jauh.
Akan tetapi ia tidak dapat berpikir lebih panjang lagi karena rasa nyeri di pundaknya membuat ia terpaksa mengerahkan tenaga melawannya. Baru saja ia memejamkan mata mengatur pernapasan, tiba-tiba belakang lehernya ditotok. Kagum juga hatinya karena wanita itu dapat menotoknya tanpa ia ketahui sama sekali, tanda bahwa gerakannya amat ringan. Ia kini tidak dapat bergerak pula, menjadi lemas karena yang tertotok adalah jalan darah yang berpusat di punggung. Maka ia hanya dapat rebah telentang sambil memandang ibu dan putera yang gila itu.
"Bagus, Ibu. Kita bawa Kiang Liong kepada Couwsu, tentu dia akan girang sekali. Kiang Liong ini menggagalkan pertemuan dan persekutuan, bahkan membahayakan kedudukan para pembantu di kota raja."
Sian Eng mengangguk. Sepasang sinar mata yang amat tajam menembus kerudung hitam, membuat Kiang Liong tertegun dan ngeri. Mata itu bukan mata orang biasa! Mata itu kehilangan perasaan, kehilangan ketenangan dan kesadaran. Mata orang yang sudah gila atau mata iblis!
"Kau bawa dia dan mari kita pergi!" katanya lirih.
"Heh-heh-heh, nanti dulu, Ibu. Masih ada lagi yang harus kubawa bersama kita. Aku tanggung Bouw Lek Couwsu akan lebih senang hatinya dan yang akan kubawa ini merupakan tanggungan akan bala bantuan Khitan, Heh-heh!"
"Siapa?"
"Puteri Panglima Besar Khitan. Kau tunggu sebentar, Ibu." Suma Kiat menyarungkan pedangnya yang tadi terampas Kiang Liong, mengebut-ngebutkan bajunya dan meloncat ke luar dari dalam kamar.
Di ruangan tengah Suma Kiat bertemu dengan Suma Ceng yang berjalan tergesa-gesa bersama Puteri Mimi. "Kiat-ji (Anak Kiat), apakah yang terjadi? Aku mendengar suara ribut-ribut. Apakah... kau bertengkar lagi? Mana Liong-ji?"
"Heh-heh-heh, anakmu sudah mampus!" Suma Kiat terkekeh kurang ajar dan matanya melahap Puteri Mimi yang jelita.
"Apa...? Di mana dia...?" Suma Ceng menjerit.
Akan tetapi dengan lebih kurang ajar lagi Suma Kiat mendorong dengan tangan kanannya ke arah dada bibinya sambil membentak. "Pergilah kau!"
Nyonya Kiang itu cukup mengenal ilmu silat sehingga ia cepat miringkan tubuh mengelak dari dorongan kurang ajar itu. Akan tetapi tidak cukup mengenal kecurangan dan kelihaian keponakannya. Dengan sabetan kaki yang amat cepat, Suma Kiat menyerang. Kedua kaki nyonya itu tersabet, terangkat dan tubuhnya terbanting ke lantai. Kepalanya membentur lantai dan nyonya ini pingsan!
"Kau jahat!" Mimi membentak marah, sepasang matanya yang indah lebar itu terbelalak.
"Heh-heh, tidak kepadamu, manis." Suma Kiat terkekeh, tangannya menjangkau hendak menangkap.
Akan tetapi Puteri Mimi bukan seorang wanita lemah. Cepat ia mengelak dan tangan kirinya yang dikepal keras menghantam dada Suma Kiat, disusul tendangan kaki kanannya.
"Heh-heh, kau gesit juga, manis!" Suma Kiat dengan gerakan seenaknya mengelak dan berusaha menangkap lagi. Namun Mimi dengan nekat melakukan perlawanan, mengirim pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan mengarah bagian berbahaya dan lemah dari tubuh lawan.
Terdengar suara ribut-ribut, tanda para penghuni rumah sudah terbangun semua oleh suara hiruk-pikuk ini. Suma Kiat cukup cerdik, tidak mau melayani gadis itu lebih lama lagi. Tiba-tiba ia berseru dan tangannya menyelonong, mengirim pukulan yang amat kuat ke arah muka Mimi. Gadis ini terkejut dan cepat berusaha menangkis, akan tetapi ternyata pukulan ini hanya gertakan belaka dan di lain saat tubuh Mimi sudah menjadi lemas karena tertotok oleh tangan kiri Suma Kiat. Mimi mengeluh dan tubuhnya yang akan roboh itu disambar oleh Suma Kiat dan dipanggulnya, dibawa lari ke arah kamar Kiang Liong.
Melihat Suma Kiat kembali membawa tubuh seorang gadis Khitan yang cantik, Sian Eng tidak berkata apa-apa. Wanita ini lalu menyambar tubuh Kiang Liong, dikempit dengan lengan kirinya, kemudian berkata singkat. "Hayo pergi, ikuti aku!"
Bagaikan bayangan dua setan, ibu dan anak ini menghilang melalui jendela dan terus melompat ke atas genteng, berlari-lari dan lenyap ditelan kegelapan malam.
Di dalam gedung menjadi gempar. Pangeran Kiang dan para pelayan serta pengawal menjadi kaget dan gelisah melihat Nyonya Kiang pingsan di ruangan tengah. Lebih kaget lagi mereka melihat bahwa Puteri Mimi telah lenyap, demikian pula Kiang Liong lenyap dari dalam kamarnya yang kacau-balau keadaannya. Setelah Nyonya Kiang siuman, barulah Pangeran Kiang mendengar akan perbuatan Suma Kiat. Ia menghela napas panjang dan mengomel.
“Ah, tidak disangkanya dia menurun ayahnya...!” Tentu saja Pangeran Kiang ini kenal akan Suma Boan yang memang amat jahat.
Mendengar ucapan suaminya, Nyonya Kian atau Suma Ceng bangkit dan berkata ketus. “Perlu apa memburuk-burukkan nama Kakakku yang sudah mati? Lebih baik kau cepat-cepat berusaha mengerahkan pengawal untuk mencari Liong-ji dan Puteri Mimi!”
Pangeran Kiang menggerakkan pundak, akan tetapi ia keluar dari kamar isterinya untuk mengerahkan pasukan pengawal. Lenyapnya Kiang Liong tidaklah amat menggelisahkan hatinya. Pertama karena ia tahu akan kelihaian Kiang Liong sehingga lenyapnya tidak perlu dikhawatirkan. Kedua karena ia memang kurang peduli akan pemuda itu yang menurut hukum adalah putera sulungnya akan tetapi yang ia ketahui dengan yakin di dalam hati bukanlah keturunannya. Ia maklum akan permainan asmara antara isterinya dan Suling Emas, maka melihat sikap dan wajah Kiang Liong, melihat pula betapa Suling Emas amat mencinta pemuda itu, ia merasa yakin bahwa pemuda itu adalah keturunan Suling Emas. Akan tetapi ia terlampau mencinta isteri, maka ia tidak pernah membicarakan hal ini.
Sementara itu, Kiang Liong dan Mimi dibawa lari Kam Sian Eng dan Suma Kiat. Semalam suntuk mereka berlari seperti terbang cepatnya menuju ke barat. Mereka melewati kota Lok-yang, terus ke barat sampai mereka tiba di luar sebuah hutan besar di kaki bukit Fu-niu-san di lembah Sungai Kuning.
Malam telah terganti pagi dan matahari telah bersinar cemerlang. Mereka berhenti di luar hutan dan Kiang Liong yang sudah tertotok lemas kembali dilempar oleh wanita berkerudung itu sehingga rebah telentang di atas tanah.
Suma Kiat duduk di bawah pohon, tubuh Mimi dipangkunya. “Ibu, kenapa berhenti?”
“Kita menanti penjemputan. Tempat ini penuh rahasia, amat berbahaya,” kata ibunya.
Puteri Mimi mengeluh dan bergerak perlahan, berusaha melepaskan diri dari atas pangkuan dan dari lengan Suma Kiat yang memeluknya. Melihat bahwa puteri ini sudah bebas dari totokan, Suma Kiat, tertawa. “Ha-ha-ha, manis. Tenanglah, karena aku tidak akan menyusahkanmu. Sebaliknya, engkau akan menikmati banyak kesenangan dengan aku, ha-ha!” Suma Kiat memeluk erat dan mendekatkan mukanya hendak mencium. Puteri Mimi meronta-ronta, namun tenaga pemuda itu jauh lebih kuat.
Kam Sian Eng duduk bersila, memejamkan mata, sama sekali tidak mengacuhkan perbuatan anaknya itu. Hanya Kiang Liong yang menatap dengan sepasang mata mengeluarkan cahaya berapi. Pemuda ini mengerahkan tenaga, namun totokan wanita berkerudung hitam itu benar hebat, membuat kaki tangannya lumpuh dan ia hanya dapat membentak keras.
“Suma Kiat! Demi Tuhan, kalau kau mengganggu puteri itu, aku pasti akan membunuhmu!”
Suma Kiat mengangkat muka memandang sambil menyeringai. Melihat sinar mata Kiang Liong, ia tertawa. “Ha-ha, Piauwheng, apakah kau cemburu dan iri?” Ia mengejek.
Akan tetapi agaknya sinar mata Kiang Liong yang menyeramkan itu membuat ia keder juga. Ia tahu betapa lihainya kakak misannya itu maka lenyaplah untuk sementara gelora nafsunya. Ia mendorong tubuh Mimi dari atas pangkuan. Gadis ini terjungkal dan jatuh ke atas tanah, rebah miring. Biar pun ia sudah dapat bergerak, namun ia pura-pura tak berdaya dan terus rebah miring, di dalam hati merasa lega bahwa untuk sementara ia terbebas dari pada penghinaan. Akan tetapi tentu saja ia amat cemas, apa lagi mengingat bahwa Pangeran Mahkota Khitan tertawan musuh, dan kini dia sendiri, bahkan Kiang Liong, satu-satunya orang yang dapat ia harapkan juga tertawan!
Mereka tidak lama menanti. Dari dalam hutan terdengar suara seperti lolong srigala susul-menyusul, makin lama makin dekat dan tak lama kemudian muncullah dua belas orang hwesio jubah merah yang segera memberi hormat kepada Kam Sian Eng. Seorang di antara mereka, yang bermuka hitam, segera berkata.
“Maafkan pinceng sekalian yang agak lambat menyambut. Couwsu memerintahkan pinceng untuk menyambut Toanio dan mempersilakan Toanio menjumpai Couwsu.”
Kam Sian Eng bangkit, tak menjawab hanya menggerakkan tangan kepada Suma Kiat, memberi tanda agar puteranya mengikutinya. Kemudian ia menyambar dan mengempit tubuh Kiang Liong. Suma Kiat memondong Puteri Mimi lalu mengikuti ibunya, diiringkan dua belas orang hwesio jubah merah, memasuki hutan yang besar dan gelap. Hwesio muka hitam sebagai penunjuk jalan membawa mereka berjalan melalui pohon-pohon besar menerjang alang-alang dan berputar-putaran. Sungguh jalan yang amat sulit bagi orang luar dan hanya jalan inilah yang dapat dilalui dengan aman. Mengambil jalan lain berarti harus menghadapi bahaya jebakan-jebakan rahasia, pasukan-pasukan terpendam dan hujan anak panah!
********************
Setelah berpisah dari Yu Siang Ki yang akan mengumpulkan teman-teman para tokoh Kai-pang, Kwi Lan melanjutkan perjalanan melanjut perjalanan seorang diri menuju kebarat. Ia melakukan perjalanan cepat sekali dan ia tiba di kaki bukit Fu-niu-san pada sore hari menjelang senja. Jantungnya berdebar keras. Ia belum pernah melihat Putera Mahkota Khitan, akan tetapi karena Pangeran Mahkota itu adalah putera angkat ibu kandungnya, maka berarti saudara angkatnya pula. Ia hanya tahu bahwa putera angkat ibunya itu bernama Pangeran Talibu.
Biasanya Ia tak senang dan iri kalau teringat akan pangeran ini, akan tetapi mendengar Pangeran ini tertawan oleh Bouw Lek Couwsu, ia menjadi gelisah sekali. Ia sendiri menjadi heran mengapa ia menjadi begini? Jantungnya terasa bergetar penuh kecemasan dan hasrat satu-satunya yang memenuhi hatinya hanya pergi menolong dan membebaskan Pangeran itu dari pada orang-orang Hsi-hsia!
Ibu kandungnya, Ratu Khitan, tentu susah sekali hatinya kalau sampai Pangeran Mahkota ini tertimpa bencana. Kini ia dapat menggambarkan betapa keadaan ibu kandungnya itu. Melihat watak gurunya, sudah pasti ia dahulu dipisahkan secara paksa oleh gurunya dari ibu kandungnya. Dan tentu saja ibu kandungnya mengangkat seorang putera yang menjadi penggantinya. Ibu kehilangan dia, anak kandung, kalau sekarang harus kehilangan lagi putera angkat, alangkah akan hancur hatinya.
Hutan yang lebar dan gelap itu tidak menjadikannya gentar. Kwi Lan seorang gadis yang tak pernah mengenal takut. Pula ia sudah terbiasa di dalam gelap. Tidak percuma ia sejak kecil dahulu tinggal di dalam istana bawah tanah. Dengan hati tabah, Kwi Lan mencabut pedangnya kemudian memasuki hutan. Ada sebuah lorong kecil di dalam hutan itu dan jalan inilah yang ia ambil. Sunyi sekali keadaan dalam hutan, sunyi dan gelap, bahkan sedikit pun tak ada angin bertiup.
Jalan kecil itu penuh daun kering. Baru kurang lebih seratus langkah ia berjalan dengan hati-hati, tiba-tiba kakinya menginjak alat rahasia yang tersembunyi di bawah tumpukan daun kering. Terdengar bunyi bercuitan dari kanan kiri dan puluhan batang anak panah menyambar ke arahnya dari pohon-pohon di kanan kiri, anak panah yang meluncur dari busur digerakkan oleh alat-alat rahasia secara otomatis! Kwi Lan tidak mau bertindak sembrono. Ia berdiri tegak dan tetap di tempatnya, hanya memutar pedangnya menjadi segulung sinar melindungi tubuhnya. Semua anak panah terpukul runtuh dan akhirnya hujan anak panah itu pun berhenti.
Kwi Lan amat cerdik. Ia dapat menduga bahwa kiranya bukan hanya ini tempat yang mengandung rahasia serangan atau jebakan gelap. Ia memandang ke sekeliling. Kalau ia mengambil jalan liar, besar sekali bahayanya ia akan tersesat di dalam hutan ini, apa lagi malam hampir tiba. Kalau melalui jalan kecil ini ia akan menghadapi bahaya jebakan-jebakan rahasia yang lebih berbahaya lagi. Ia memandang ke atas dan matanya yang indah berseri-seri. Itulah jalan yang paling tepat, pikirnya dan sekali ia mengenjotkan kaki pada tanah dan mengayun tubuh, tubuhnya yang ramping itu melayang ke arah pohon.
Kemudian mulailah ia melanjutkan perjalanan melalul ‘jalan atas’ yaitu berloncatan dari pohon ke pohon! Hal ini tidak terlalu sukar ia lakukan karena pohon-pohon di situ amat lebat, sambung-menyambung di kanan kiri jalan kecil yang dari atas nampak putih. Dengan enaknya Kwi Lan terus berloncatan sehingga dalam waktu singkat ia sudah masuk ke dalam hutan, melampaui lebih seratus batang pohon besar.
Tiba-tiba ketika ia meloncat ke sebuah pohon besar, ada bayangan hitam lebar seperti layar menyambar ke arahnya. Cepat ia menggerakkan pedangnya ke depan, diputar sambil mengerahkan tenaga.
“Cring-cring... brettt...!”
Ketika ia memandang, kiranya yang menyambarnya adalah sehelai jala yang dalamnya dilengkapi dengan kaitan-kaitan baja! Ia bergidik dan marah sekali, apa lagi ketika melihat lima ekor monyet sebesar manusia berlompatan dan menyerangnya dari lima penjuru. Gerakan binatang-binatang ini tentu saja amat tangkas. Sambil cecowetan mereka menyerbu, menggerakkan kedua lengan yang panjang berbulu.
Kwi Lan boleh jadi pandai ilmu silat dan andai kata ia dikeroyok di atas tanah, jangankan hanya oleh lima ekor monyet, biar oleh lima puluh ekor monyet sekali pun ia tidak akan gentar. Kini ia berada di atas dahan-dahan pohon yang tentu saja merupakan ‘daerah’ monyet. Binatang-binatang itu tentu saja dapat bergerak lebih leluasa dan gesit. Betapa pun juga, Kwi Lan tidak kehilangan akal. Tangan kirinya sudah merogoh saku dan sekali tangan kirinya bergerak, sinar hijau menyambar. Itulah jarum-jarum hijau!
Lima ekor monyet itu tak dapat mengelak dan dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati Kwi Lan ketika mendengar betapa ‘monyet-monyet’ itu mengeluarkan suara mengaduh seperti manusia! Kiranya mereka adalah manusia-manusia yang menyamar sebagai monyet, agaknya untuk mengawasi daerah itu sekalian menjadi penjaga. Setelah mendapat kenyataan bahwa mereka itu manusia, Kwi Lan menjadi makin tabah. Lima orang itu masih berusaha bergantung pada dahan-dahan pohon. Kwi Lan menerjang maju, lima kali Siang-bhok-kiam berkelebat dan lima orang itu terpelanting ke bawah tanpa dapat mengeluh lagi karena mereka semua telah tewas!
Akan tetapi pada saat itu terdengar ledakan keras dan... pohon besar di mana Kwi Lan berada itu tiba-tiba roboh! Kwi Lan tentu saja menjadi kaget dan panik. Hendak meloncat turun, takut tertimpa dahan-dahan pohon raksasa ini. Kalau tidak, juga terdapat bahaya terbanting bersama pohon. Biar pun terancam bahaya maut, gadis ini masih tidak kehilangan akal. Ia mempergunakan pandang matanya yang tajam dan terbiasa di tempat gelap, mengikuti robohnya pohon itu sambil berpegang kuat-kuat pada dahan.
Setelah tahu arah pohon roboh, ia cepat menyelinap dan berpindah pada dahan sebelah atas sehingga ia berada di dahan yang akan menjadi bagian teratas apa bila pohon itu sudah rebah di tanah. Kemudian, sambil mengerahkan seluruh ginkang-nya, sebelum pohon itu menimpa tanah, ia sudah mengenjot tubuhnya ke depan, melampaui pohon itu dan melayang turun ke atas tanah sambil menyambar ujung dahan terpanjang.
Untung sekali bahwa dalam seperempat detik terakhir ia ingat untuk menyambar ujung ranting dari dahan terpanjang pohon itu, karena begitu kedua kakinya turun menginjak tanah yang tertutup daun-daun kering, tiba-tiba tanah itu bergoyang dan tubuhnya terjeblos ke dalam lubang sumur yang amat lebar dan dalam! Kwi Lan menahan napas, mengerahkan tenaga menarik tubuhnya ke atas dengan bantuan ujung ranting pohon. Tubuhnya mencelat keluar dari sumur dan ia tidak berani lagi turun ke atas tanah yang banyak jebakannya melainkan memeluk dahan terendah sebatang pohon terdekat!
Kini ia ‘nongkrong’ di atas dahan mengeluarkan sapu tangan dan menghapus dahi dan leher yang penuh dengan keringat dingin. Tangan yang dipergunakan untuk menghapus keringat itu agak gemetar, jantungnya berdebar-debar. Bukan main, pikirnya. Kini terdengar suara hiruk pikuk yang datangnya dari tengah hutan. Bahaya baru lagi mengancam pikir Kwi Lan. Ia berada terlalu dekat dengan mayat lima orang itu, dan hal ini berbahaya. Para penjaga tentu akan memeriksa sekeliling tempat ini. Ia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi ia gentar juga mengingat akan banyaknya alat rahasia yang demikian berbahaya. Di samping ini, ia tidak ingin bertempur dengan mereka sebelum dapat menemukan dan menolong Pangeran Mahkota. Lebih baik ia bersembunyi. Akan tetapi soalnya yang repot, di mana tempat sembunyi?
Kwi Lan memandang ke sekeliling. Ia tidak mempercayai jalan kecil itu. Tentu banyak jebakan. Bersembunyi di pohon juga tidak aman. Buktinya tadi ia bertemu lima orang yang menyamar sebagai monyet. Dari atas pohon ia melihat tak jauh dari situ terdapat sebuah jurang. Ia lalu berloncatan mendekati jurang ini melalui pohon-pohon menjauhi jalan kecil. Kemudian dengan hati-hati sekali ia turun dari pohon, tidak berani meloncat. Ia masih berpegang kepada batang pohon ketika kakinya turun ke tanah, kemudian ia melangkah maju perlahan-lahan menggunakan sebatang ranting sebagai tongkat. Ia menekan tanah di depan tongkat lebih dulu sebelum kakinya menginjak. Akan tetapi ternyata bagian yang liar ini tidak ada jebakannya.
Suara manusia terdengar makin mendekat dan akhirnya tampaklah obor yang cukup banyak. Malam telah tiba. Kwi Lan menelungkup di pingir jurang. Jurang yang kecil, lebih mirip sebuah sumur besar yang dindingnya batu karang. Perlahan-lahan ia merayap turun, berpegang kepada akar-akar pohon dan batu-batu menonjol. Akhirnya ia berhenti dan bersembunyi di bawah sebuah batu yang menonjol, terlindung dari atas oleh batu itu. Tempat ia bersembunyi itu tidak berapa jauh dari tempat pohon roboh tadi dan ia mulai mendengar jejak kaki banyak orang dan suara mereka, ada yang berbahasa daerah yang ia mengerti.
“Siapa yang terjebak? Di mana dia?” terdengar suara yang parau,
“Tidak ada bayangan seorang setan pun!” seru suara yang lain, suaranya tinggi.
“Wah, mereka ini tewas...!”
“Bawa obor, biarkan pinceng memeriksanya!”
Kwi Lan tersenyum. Girang hatinya bahwa ia memasuki tempat yang benar. Itulah suara orang Hsi-hsia dan yang terakhir tentulah seorang hwesio jubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu. Tak salah lagi, di sini markas baru Bouw Lek Couwsu, dan menurut suheng-nya, di sinilah Pangeran Mahkota tertawan. Ia memutar otaknya. Agaknya penjagaan di daerah ini pasti amat kuat, jauh lebih kuat dari pada markas Bouw Lek Couwsu di Bukit Kao-likung-san di lembah Nukiang dahulu, karena selain markas ini dekat kota raja Kerajaan Sung, juga pengalaman di Kao-likung-san yang dibasmi orang-orang Beng-kauw tentu membuat Bouw Lek Couwsu kini berhati-hati. Apa akal untuk dapat menemukan Pangeran Mahkota yang ditawan?
Suara orang-orang di sebelah atas makin ribut. Benar saja, mereka kini mencari-carinya. Mereka sudah tahu bahwa lima orang anak buah yang menyamar sebagai monyet itu tewas oleh tangan manusia, terluka jarum dan tewas oleh bacokan pedang. Makin jeias suara mereka ketika mendekat dan tak lama kemudian Kwi Lan mendengar menyambarnya puluhan senjata rahasia dan anak panah ke dalam jurang atas sumur di mana ia bersembunyi. Kalau ia bersembunyi di dasar jurang itu, tentu tubuhnya dihujani senjata rahasia. Akan tetapi di bawah batu besar yang menonjol ini, ia terlindung dan aman!
“Kalau dia bersembunyi di bawah tentu mampus!” terdengar seorang berkata. Kemudian suara mereka makin menjauh.
Kwi Lan maklum bahwa bahaya telah lewat, maka ia cepat merayap naik. Dari tepi jurang ia mengintai. Lima buah mayat itu telah mereka angkut dan masih ada beberapa orang berkeliaran mencari-cari di sekitar tempat itu dengan obor di tangan. Kwi Lan menyelinap dan berindap-indap membayangi seorang tinggi besar, bangsa Hsi-hsia yang mencari sendirian ke jurusan barat. Orang Hsi-hsia ini memandang ke kanan kiri, sebuah obor di tangan kiri dan sebuah golok di tangan kanan. Ia membabati alang-alang dengan goloknya, mencari-cari.
Tiba-tiba dua batang jari yang kecil namun kuatnya laksana baja menotok lehernya dan seketika orang Hsi-hsia itu lumpuh dan pingsan. Bagaikan iblis sendiri bayangan Kwi Lan berkelebat dekat, menerima obor dan golok yang terlepas dari tangan orang Hsi-hsia itu, membuang golok dan menangkap lengan korbannya, lalu memadamkan obor, mengempit tubuh yang lemas itu dan membawanya naik ke atas pohon. Ia merasa yakin bahwa kini pohon merupakan tempat sembunyi yang aman setelah orang-orang itu tadi mencari dengan teliti. Makin dekat tempat pohon tumbang makin baik karena kini mereka berpencar mencari ke tempat yang agak jauh.
“Jawab saja dengan anggukan,” bisik Kwi Lan dekat orang Hsi-hsia yang ditawannya setelah ia menotok urat gagu orang itu. “Kau tahu di mana Pangeran Mahkota Khitan ditawan?”
Orang itu menggeleng kepalanya.
“Jangan kau bohong. Kalau kau mau mengantarku ke tempat tawanan itu, kau takkan kubunuh.”
Kembali orang itu menggeleng kepala, kini dengan keras. Ketika Kwi Lan memandang di bawah sinar bulan yang bersinar melalui celah-celah daun pohon, ia melihat betapa orang itu memandang kepadanya dengan mata melotot penuh kebencian. Sebuah muka yang membayangkan keras hati dan keras kepala, sedikit pun tidak takut atau tunduk. Ia menjadi gemas dan sadar akan kekeliruannya. Mengapa ia menawan seorang Hsi-hsia? Tentu saja orang Hsi-hsia akan membela pemimpinnya dengan taruhan nyawa, menganggap diri sendiri seorang patriot, seorang pahlawan!
Tadi ia melihat banyak orang sebangsanya, bukan orang Hsi-hsia. Kalau orang Han sudah membantu Hsi-hsia menentang kerajaan sendiri, dia adalah seorang pengkhianat. Dan biasanya, seorang pengkhianat adalah seorang pengecut, hanya berjuang untuk uang dan kedudukan. Orang yang berjuang untuk cita-cita bangsa, bangsa apa pun juga, adalah seorang patriot yang tentu tidak takut mati. Sebaliknya seorang yang berjuang untuk harta dan kedudukan sehingga rela menjadi pengkhianat bangsa, tentu seorang pengecut besar. Orang seperti itu tentu takut mati.
Sadar akan kekeliruannya ini Kwi Lan lalu menotok tubuh tawanannya sehingga menjadi lumpuh, dan ia menjepitkan tubuh itu di antara dua dahan bercabang, kemudian dengan gerakan tangan ia merayap turun dari pohon. Ia berlaku hati-hati, tidak berani sembarangan meloncat.
Setelah mencari dengan hati-hati, menyelinap di antara alang-alang dan pohon-pohon, akhirnya ia melihat seorang laki-laki tinggi kurus, berpakaian seperti pengemis penuh tambalan membawa obor dan pedang mencari-cari seperti orang Hsi-hsia tadi. Kwi Lan merunduk sampai dekat, kemudian bergerak cepat seperti tadi, membikin orang itu tidak berdaya dan pingsan dengan sebuah totokan di belakang telinga. Kembali ia membawa orang itu naik ke atas pohon.
Tepat dugaannya, pengemis baju bersih yang berjiwa khianat ini menjadi ketakutan, apa lagi ketika ia mengenal bahwa yang menawannya adalah Mutiara Hitam yang sudah amat terkenal di antara kaum sesat dunia pengemis. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil, akan tetapi ia tidak berani berteriak minta tolong karena tak dapat bersuara akibat totokan pada urat gagunya.
“Bawa aku ke tempat tahanan Pangeran Mahkota Khitan, dan kau tidak akan kubunuh,” desis Kwi Lan sambil menempelkan pedangnya di leher orang itu. Si Pengemis terbelalak, lalu mengangguk-angguk.
“Akan kubebaskan totokanmu dan kau boleh berteriak minta tolong, akan tetapi pedangku akan menembus lehermu sebelum ada kawanmu yang datang untuk menolongmu!” Kembali orang itu menggeleng-geleng kepala dan dengan sebuah totokan Kwi Lan membebaskannya.
“Ampunkan aku, Li-hiap...”
“Sst, jangan banyak cerewet,” bisik Kwi Lan. “Hayo bawa aku ke tempat itu.”
Mereka turun dari pohon, Kwi Lan terus mengikuti orang ini dengan ujung pedang ditodongkan di punggung. Pengemis itu lalu mengambil jalan simpangan, melalui alang-alang dan kumpulan pohon yang besar dan liar, jauh dari jalan kecil yang penuh jebakan.
Sampai lima kali orang itu menyuruh Kwi Lan berhenti di tempat-tempat tertentu, berbisik bahwa tempat itu terjaga oleh seorang dua orang penjaga. Kwi Lan menotoknya lumpuh, kemudian merayap ke tempat penjagaan. Pedangnya bekerja cepat dan di setiap tempat penjagaan rahasia ini dua atau tiga orang penjaganya roboh binasa semua sebelum mereka sempat bergerak.
Akhirnya, lima tempat penjagaan rahasia dapat dilalui dan mereka kini menuju ke tepi Sungai Huang-ho, sebuah daerah yang berbatu-batu besar. Biar pun Kwi Lan melakukan perjalanan malam yang gelap, hanya diterangi bulan sepotong, namun ia mencatat jalan liar ini di dalam ingatannya. Kalau sudah berhasil membebaskan Pangeran Mahkota, jalan ini akan membawa mereka keluar dari sarang Bouw Lek Couwsu.
“Di sanalah tempat tahanan itu, Lihiap. Di dalam goa yang tampak dari sini itu,” pengemis yang ditawan itu berbisik, suaranya gemetar dan dengan ujung bajunya ia menghapus peluh.
Mereka telah melakukan perjalanan yang amat sukar dan amat lambat sehingga malam telah menjelang pagi ketika mereka tiba di tempat ini. Kwi Lan menggerakkan jari tangannya menotok tawanannya. Orang itu mengeluarkan suara keluhan dan roboh tak mampu bergerak lagi, hanya sepasang matanya saja yang bergerak-gerak memandang penuh rasa takut. Nyawanya berada di ujung rambut. Andai kata ia terbebas dari kematian di tangan gadis ini, kalau hwesio jubah merah tahu akan perbuatannya membawa Mutiara Hitam ke sini, ia pasti akan mengalami kematian yang lebih hebat lagi.
Dengan amat hati-hati Kwi Lan merayap di bawah rumput tinggi, mendekati bukit-bukit batu yang berbaris di sepanjang tepi sungai. Setelah tiba di barisan batu itu, ia meloncat dan menyelinap di belakang batu, lalu perlahan-lahan ia bergerak mendekati goa batu yang tadi ditunjukkan dari jauh oleh tawanannya. Tiba-tiba ia berhenti dan menyelinap di belakang batu, mengintai. Jantungnya berdebar keras karena tegang.
Kiranya di depan goa yang cukup besar itu terdapat lima orang penjaga! Dan melihat keadaan mereka, ia dapat menduga bahwa lima orang yang bertugas menjaga tempat tahanan ini tentulah bukan orang-orang biasa. Tiga orang hwesio jubah merah yang bersenjata pedang, seorang bangsa Hsi-hsia yang tinggi besar dan memegang sebuah penggada yang mengerikan karena selain besar dan berat juga dihias duri-duri runcing, sedangkan orang ke lima adalah seorang kecil pendek yang memegang toya. Melihat tambal-tambalan pada pakaian orang ini jelas bahwa dia seorang tokoh kai-pang yang sesat.
Kwi Lan mengintai, hatinya berguncang. Tentu saja ia tidak gentar. Akan tetapi tampaknya lima orang itu cukup tangguh. Kalau ia melompat ke luar dan dikeroyok lima, tentu tidak dapat mencapai kemenangan secara cepat, dan kalau ia tidak bekerja cepat dan keburu datang bala bantuan atau Bouw Lek Couwsu muncul sendiri, usahanya tentu akan gagal.
Ia mulai menyesal mengapa tidak datang bersama Yu Siang Ki. Kalau ada pemuda itu di sampingnya tentu akan lebih kuat keadaannya dan lebih banyak harapan akan berhasil. Apa lagi kalau Kiang Liong ikut membantu. Pemuda hebat! Pemuda lihai luar biasa. Tiba-tiba Kwi Lan mencubit telinganya sendiri. Hatinya gemas. Mengapa tiada hujan tiada angin ia teringat dan mengenang pemuda itu? Ih, pemuda sombong. Tidak memandang mata kepadanya!
Padahal semua pemuda, yang tampan-tampan dan gagah-gagah, seorang demi serang jatuh cinta kepadanya! Mula-mula Tang Hauw Lam si Berandal! Hampir ia tertawa ketika teringat kepada Hauw Lam. Kemudian Siangkoan Li, dan Yu Siang Ki. Akan tetapi Kiang Liong ini tidak memandang sebelah mata kepadanya! Si Sombong, mentang-mentang menjadi murid Suling Emas lalu besar kepala!
Kwi Lan makin gemas. Menghadapi tugas berat, mengapa ia masih melamun yang bukan-bukan? Salahnya orang she Kiang itu! Ia mengusir semua kenangan, kemudian menjemput batu kecil, dilemparkan ke sebelah kanannya, kurang lebih dua puluh meter jauhnya dari mulut goa.
“Eh, apa itu?” Seorang di antara mereka bangkit berdiri, yakni hwesio jubah merah yang kepalanya besar sekali. Ia mencabut pedang lalu menggerutu. “Biar pinceng periksa, siapa tahu ada musuh.”
“Benar, mari kita periksa, Suheng,” kata hwesio kedua yang kurus kering seperti cecak mati sambil mencabut pedangnya pula.
Kwi Lan siap dengan jarum-jarumnya, mendekam di belakang sebuah batu besar. Ketika ia mendengar jejak kaki dua orang hwesio ini sudah datang dekat, lewat di depan batu besar, ia membiarkan mereka lewat beberapa langkah, kemudian tiba-tiba ia menyerang dengan jarum-jarum hijau dari belakang!
Hebat bukan main serangan ini. Jarum-jarum hijau itu adalah senjata-senjata rahasia yang halus sekali, dilontarkan dengan tenaga sinkang sehingga hampir tak mengeluarkan suara, saking cepatnya hanya tampak sinar kehijauan. Apa lagi dilontarkan dari jarak dekat dan dari belakang si Korban, benar-benar amat berbahaya.
Dua orang hwesio itu adalah murid-murid pilihan Bouw Lek Couwsu, akan tetapi menghadapi serangan gelap seperti ini mereka tidak dapat menyelamatkan diri. Biar pun mereka yang telah memiliki gerak reflek lumayan, namun ketika mengelak masih kurang cepat sehingga dua tiga batang jarum telah menyusup ke dalam kulit memasuki daging meracuni darah. Dua orang hwesio ini menjerit, terhuyung-huyung dan sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam dua kali bergerak, menamatkan riwayat dua orang hwesio ini. Setelah membunuh dua orang lawannya, Kwi Lan cepat menyelinap kembali ke belakang batu besar.
Tiga orang penjaga yang lain terkejut sekali, dengan lompatan-lompatan jauh mereka menyerbu. Kwi Lan mempergunakan kesempatan ini untuk memutar batu besar, lalu cepat ia lari memasuki goa. Ia melihat seorang pemuda yang tampan, tubuh dari pinggang ke atas telanjang, berdiri dengan terbelenggu. Pemuda ini setengah pingsan, bersandar pada dinding batu, tubuhnya yang kuat dan berkulit putih bersih itu penuh dengan luka-luka bekas cambukan. Namun wajah yang tampan itu masih membayangkan kegagahan dan keagungan, sedikit pun tidak kelihatan takut atau khawatir.
Kwi Lan memegang pundaknya, mengguncangnya perlahan. “Eh, sadarlah!”
Pemuda itu membuka matanya, memandang heran, seakan-akan tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Sinar matanya yang tajam itu seperti bertanya apakah ia dalam mimpi.
“Jawablah, apakah engkau ini Pangeran Mahkota Khitan yang bernama Pangeran Talibu?”
Pemuda itu sejenak memandang tajam, lalu balas bertanya. “Engkau siapakah, Nona? Bagaimana kau bisa...”
“Tidak penting aku siapa, yang penting, apa kau benar Pangeran Mahkota Talibu?” Suaranya gemas dan tidak sabaran.
Pemuda itu menahan senyum yang mengembang di bibirnya, lalu mengangguk. “Aku mengenalmu! Ya... Aku mengenalmu. Kau tidak asing bagiku... tapi di mana dan kapankah? Nona, kau siapakah?”
“Wah, kau cerewet benar, apakah pangeran-pangeran memang cerewet? Aku datang untuk menolongmu.”
Pemuda itu tiba-tiba membelalakkan matanya dan berseru. “Nona, awas...!”
Kwi Lan yang sudah lega hatinya karena yakin bahwa pemuda inilah Pangeran Mahkota Khitan yang harus ditolongnya, cepat membalikkan tubuh dan pedang Siang-bhok-kiam sudah berada di tangan kanannya. Kiranya tiga orang itu, sisa para penjaga sudah kembali ke situ dan berdiri di depan goa dengan senjata di tangan dan sikap mengancam. Melihat ini Pangeran Talibu mengeluh, memejamkan mata dan berkata lirih.
“Nona, kenapa kau mengorbankan diri untukku? Kenapa...?” Ia tidak berani menoleh, tidak tega menyaksikan nona ini dikeroyok para penjaga yang ia tahu amat lihai. Di samping kekhawatirannya, ia pun masih mengingat-ingat di mana dan kapan ia pernah melihat nona ini. Wajah yang jelita itu bukan asing baginya, wajah yang amat dikenalnya, akan tetapi ia tidak ingat kapan dan di mana.
Pangeran Talibu makin merapatkan matanya, keningnya berkerut ketika ia mendengar suara denting riuh bertemunya senjata tajam, diseling bentakan marah tiga orang penjaga yang mengeroyok nona itu. Ia tahu betapa lihai para penjaga itu, terutama sekali hwesio-hwesio jubah merah. Seorang gadis remaja seperti tadi mana akan mampu bertahan melawan pengeroyokan mereka? Melawan seorang di antara mereka saja sudah cukup berat. Kecuali kalau dara itu memiliki ilmu kehebatan sehebat ibunya. Ibunya!
Teringatlah ia sekarang. Gadis itu mirip benar dengan ibunya! Hanya bedanya tua dan muda. Mata itu, bibir itu! Ia menjadi makin heran dan makin khawatir. Sepuluh menit sudah lewat. Suara pertempuran sudah berhenti. Ah, tentu gadis yang mirip ibunya itu sudah menggeletak menjadi mayat. Atau tertawan. Ih, kalau ia teringat akan nasib lima orang gadis yang jatuh ke tangan Bouw Lek Couwsu, Butek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo, ia menjadi ngeri. Lebih baik dara ini mati saja dari pada tertawan hidup-hidup!
Talibu membuka matanya dan... ia terbelalak heran dan juga kagum. Tiga orang penjaga sudah menggeletak di depan goa, tak bernyawa lagi! Ada pun dara itu sejenak memandang ke sekeliling depan goa, kemudian meloncat masuk ke dalam goa, gerakannya seperti seekor burung, demikian ringan dan lincah. Wajahnya tetap tenang dan napasnya biasa saja seakan-akan bukan seperti orang yang baru saja dikeroyok tiga lawan berat!
“Tahanlah, aku akan melepaskan belenggu!” bisik Kwi Lan dan sinar hijau berkelebat ketika ia menggerakkan pedangnya. Terdengar suara nyaring empat kali. Pangeran Talibu menggigit bibir karena setiap kali pedang membabat belenggu, ia merasa kulit tangan atau kakinya panas dan sakit. Akan tetapi kini ia telah bebas, belenggu yang mengikat kaki tangannya sudah putus semua. Ia menjadi makin kagum, memandang Kwi Ian dengan sepasang mata bersinar-sinar.
“Nona, kau...”
“Sstt, mari kita lari!” Kwi Lan menyambar tangan Pangeran itu dan ditariknya ke luar dari goa, diajak lari cepat meninggalkan goa. Tak jauh dari goa Talibu melihat mayat dua orang hwesio jubah merah, maka mengertilah ia mengapa hanya ada tiga orang penjaga yang tadi mengeroyok gadis perkasa ini. Kiranya yang dua orang sudah dipancing ke luar dan dibunuh pula. Talibu lalu mengambil sebatang pedang milik hwesio itu, barulah ia mengikuti Kwi Lan sambil berkata.
“Nona, kau benar hebat! Aku kagum dan berterima kasih...”
“Sssttt, jangan cerewet! Kita belum bebas!” bisik Kwi Lan galak.
Talibu yang berjalan berindap-indap di belakang gadis ini mau tak mau tersenyum. Gadis ini hebat, memiliki ilmu silat tinggi dan ketabahan yang luar biasa. Juga galaknya tidak kepalang. Baru sekali ini selama hidupnya ia dimaki-maki cerewet beberapa kali oleh seorang gadis remaja. Dia, putera Ratu Khitan, Pangeran Mahkota yang disembah-sembah rakyatnya, kini dicerewet-cerewetkan oleh seorang gadis jelita yang galak!
Akan tetapi belum lama mereka pergi, baru tiba di daerah hutan, terdengar bunyi terompet dan dari empat penjuru muncullah pasukan Hsi-hsia yang mengurung mereka. Pangeran Talibu tertawa, membuat Kwi Lan terheran dan gadis ini menoleh, memandang Pangeran itu, khawatir kalau-kalau dalam keadaan terancam pangeran itu menjadi gila karena takut. Akan tetapi Pangeran yang tak berbaju, tubuhnya luka-luka itu berdiri tegak dengan sikap gagah, pedang yang dipungutnya tadi melintang di depan dada, matanya bersinar-sinar, wajahnya amat tampan. Pangeran itu membalas pandang mata Kwi Lan dan berkata.
“Bagus! Seperti inilah selayaknya seorang pangeran tewas! Tidak mati konyol dalam goa sebagai tawanan. Mati dalam medan perang adalah mati nikmat, mati terhormat. Namun, kalau Tuhan menghendaki dan aku akan dapat terbebas dari pada ancaman ini sehingga dapat melanjutkan hidup, percayalah, aku Talibu selama hidupku tidak akan pernah melupakan engkau! Sekarang aku tidak peduli lagi. Andai kata kita berdua takkan dapat lolos, bagi aku, mati dalam bertanding di sampingmu merupakan kehormatan besar. Ha-ha-ha!”
Kwi Lan memandang dengan mata berseri. Sungguh patut menjadi seorang pangeran. Patut menjadi putera angkat ibu kandungnya. Patut menjadi kakak angkatnya. Pemuda ini memiliki semangat pendekar, jiwa satria, dan amat tampan! Ia pun tersenyum dan berkata lirih, “Pangeran Talibu, selama nyawa saya belum meninggalkan badan, selalu masih ada harapan untuk hidup. Mari kita menghajar anjing-anjing Hsi-hsia itu!”
“Bagus! Kau hebat sekali, Nona. Marilah kita mati bersama atau bebas!” Pangeran Talibu berseru penuh semangat sambil menerjang maju, memutar pedangnya.
Melihat gerakan pedang Pangeran itu, Kwi Lan maklum bahwa orang-orang Hsi-hsia untuk sementara tidak mungkin dapat merobohkannya, maka ia pun lalu meloncat maju memutar pedangnya, tidak jauh dari Sang Pangeran karena ia harus memasang mata melindungi Pangeran itu dari mara-bahaya. Begitu enam orang memapaki pedangnya, Kwi Lan membuat gerakan menyilang dengan pedang agak ke bawah dan robohlah tiga orang lawan dengan perut terobek pedang!
Tiba-tiba terdengar suara bergelak ketawa dan Kwi Lan cepat-cepat meloncat mundur ketika ada angin hebat menyambar dari kanan kiri. Kiranya Siauw-bin Lo-mo telah berdiri di depannya dan tadi mengirim pukulan dengan tangan kirinya.
“Kakek busuk! Mari kita mengadu nyawa!” bentak Kwi Lan yang menjadi marah sekali melihat musuh besarnya Ini.
“Heh-heh-heh, kau masih belum kapok?” Siauw-bin Lo-mo mengejek dan cepat menubruk maju.
Kwi Lan menyambar dengan tusukan pedang, akan tetapi sambil membuang diri ke kiri, kakek itu maju terus, tangannya menjangkau dan hampir saja pundak Kwi Lan kena dicengkeram! Hebat bukan main dan aneh gerakan kakek lihai ini. Kwi Lan berlaku hati-hati, tidak memberi kesempatan kepada kakek bertangan kosong itu untuk mendekati dirinya dengan jalan memutar pedang ke mana pun bayangan kaki itu berkelebat. Dengan gerakannya yang lincah dan ilmu pedang yang ganas, untuk sementara Kwi Lan dapat bertahan terhadap desakan kakek ini, akan tetapi hatinya gelisah karena ia kini sama sekali tidak dapat membagi perhatiannya untuk melindungi Pangeran Talibu.
“Pangeran, kau larilah!” bentak Kwi Lan nyaring sambil menubruk dengan pedangnya yang diputar membentuk lingkaran panjang.
Namun Siauw-bin Lo-mo sambil terkekeh-kekeh dapat menghindarkan diri dan membalas dengan sebuah tendangan kuat yang dipapaki sabetan pedang dengan gemas oleh Kwi Lan. Kembali kakek itu dapat menghindarkan diri. Serang-menyerang terjadi dan Kwi Lan terpaksa harus mencurahkan seluruh perhatiannya terhadap kakek ini.
Siauw-bin Lo-mo diam-diam menjadi gemas sekali. Ia ingin menangkap hidup-hidup nona ini, untuk dipersembahkan kepada Bouw Lek Couwsu sebagai tebusan tempo hari ketika ia kehilangan gadis yang sudah menjadi tawanannya. Setelah melayani Kwi Lan selama lima puluh jurus dan melihat betapa Pangeran Talibu juga belum dapat tertawan kembali, ia mendapatkan akal baik. Ia tahu bahwa orang-orang Hsi-hsia dan para hwesio anak buah Bouw Lek Couwsu tidak berani membunuh Pangeran Talibu yang merupakan tawanan penting, dan untuk menangkap hidup-hidup Pangeran yang nekat itu pun bukan hal mudah bagi mereka.
“Kalian kepung gadis ini!” Tiba-tiba ia berseru dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali melewati kepala hwesio-hwesio jubah merah yang sudah datang menerjang Kwi Lan, kemudian turun di depan Pangeran Talibu sambil terkekeh menyeramkan.
Pangeran Talibu terkejut, cepat menusukkan pedangnya ke dada kakek itu, Siauw-bin Lo-mo hanya miringkan tubuh kemudian secepat kilat ia sudah menangkap pergelangan tangan Pangeran itu, merampas, pedangnya, kemudian sekali kakinya menendang lutut, Pangeran Talibu roboh. Siauw-bin Lo-mo menempelkan ujung pedang di dada Pangeran Talibu sambil berseru.
“Mundur semua! Lepaskan bocah itu!”
Namun sebelum para pengeroyok mundur, Kwi Lan sudah berhasil merobohkan empat orang hwesio jubah merah dengan pedangnya yang ganas. Kini ia membalik memandang ke arah suara Siauw-bin Lo-mo dan pucatlah wajahnya ketika melihat Pangeran Talibu sudah roboh dan ditodong pedang.
“Heh-heh-heh, bocah nakal. Lekas kau lepaskan pedang dan menyerah. Kalau tidak, sebelum aku mengambil nyawamu, Pangeran ini akan kutusuk sampai tembus jantungnya!”
Kwi Lan ragu-ragu. Ia maklum akan kelihaian kakek itu dan harus ia akui bahwa dia sendiri belum tentu dapat mengatasinya. Dan ia tahu pula betapa kejam hati si Kakek yang tentu tidak akan ragu-ragu untuk membunuh Pangeran Talibu. Hatinya menjadi lemas dan ia berdiri dengan tubuh lemas.
“Nona, kau larilah! Jangan mendengarkan ocehan kakek ini. Kematian bagi Talibu bukan apa-apa! Lari dan lawanlah, Jangan menyerah!” Talibu berteriak-teriak akan tetapi sebuah tendangan pada dagunya membuat ia pingsan!
“Heh-heh-heh, Nona, kau menghendaki aku menusuk jantungnya?” Siauw-bin Lomo mengguratkan ujung pedang pada dada yang telanjang itu dan... kulit Pangeran Talibu di dada robek sedikit, memperlihatkan garis merah memanjang.
Kwi Lan merasa pusing, terpaksa melepaskan pedangnya dan berkata lemah, “Siauw-bin Lo-mo, kau jahanam tua bangka, lepaskan dia!”
“Heh-heh-heh, aku tidak akan membunuhnya kalau kau menyerah. Hayo belenggu dia!”
Empat orang hwesio jubah merah menghampiri Kwi Lan dan membelenggu kedua tangan gadis itu. Kwi Lan tidak melawan. Ia harus berani menyerah untuk menyelamatkan nyawa Pangeran Talibu. Seorang Hsi-hsia tinggi besar yang merasa benci dan marah kepada gadis yang telah membunuh banyak kawannya ini, menyeringai dan datang mendekati Kwi Lan, tangannya menjangkau untuk meraba dada gadis itu.
Sudah biasa bagi orang-orang peperangan ini apa bila pasukan mereka menawan seorang wanita, siapa saja di antara anggota pasukan boleh mempermainkan si tawanan. Orang Hsi-hsia tinggi besar ini pun tidak terkecuali. Melihat kecantikan Kwi Lan dan mengingat betapa gadis ini sudah menjatuhkan korban banyak di antara temannya, ia hendak menjadi orang pertama menghina dan mempermainkan gadis jelita yang lihai ini.
“Heh, mundur...!” Namun seruan Siauw-bin Lo-mo ini terlambat. Kalau kakek ini mau tentu saja ia akan dapat menyelamatkan orang Hsi-hsia itu, akan tetapi tentu saja ia tidak sudi merendahkan diri menolong seorang prajurit Hsi-hsia biasa yang baginya tidak lebih seekor kucing atau anjing.
Pada saat jari tangan kurang ajar itu menyentuh dada, kaki Kwi Lan bergerak dengan kecepatan yang sukar diduga, tepat menghantam pusar orang Hsi-hsia itu.
“Hekkk!” Orang Hsi-hsia hanya sempat mengeluarkan suara demikian, lalu tubuhnya terlempar dan roboh tak dapat bergerak lagi. Isi perutnya berantakan karena tendangan Kwi Lan tadi mengandung tenaga sinkang yang hebat! Setelah menendang, gadis itu tetap tenang hanya menyapu semua orang dengan pandang mata dingin, yang agaknya bertanya atau menantang, siapa lagi yang berani kurang ajar terhadap dirinya.
Keadaan tegang dipecahkan suara ketawa Siauw-bin Lo-mo. “Heh-heh-heh, orang goblok macam dia sudah sepatutnya mampus! Hayo bawa tawanan menghadap Couwsu!” Ia sendiri lalu memegang lengan dan menarik Kwi Lan, sedangkan Pangeran Talibu yang pingsan dipanggul oleh seorang hwesio jubah merah.
“Ha-ha, Bouw Lek Couwsu, memang sudah takdirnya engkau bernasib baik. Lihat siapa yang kutawan untukmu ini. Si Mutiara Hitam! Ha-ha-ha, kutanggung selama hidupmu belum pernah kau menikmati bunga liar sehebat ini!” kata Siauw-bin Lo-mo kepada Bouw-Lek Couwsu yang sedang duduk bercakap-cakap ditemani Bu-tek Siu-lam dan Thai-lek Kauw-ong serta Jin-cam Khoa-ong.
Memang Bouw Lek Couwsu selain lihai ilmunya juga amat cerdik. Dalam usahanya memperluas daerah kekuasaan dan menggerakkan bangsa Hsi-hsia menyerbu Kerajaan Sung, ia telah dapat pula menempel kelima orang Bu-tek Ngo-sian. Tentu saja lima orang sakti ini suka sekali bersekutu dengan Bouw Lek Couwsu, oleh karena, kecuali Thai-lek Kauw-ong seorang, mereka semua pun bercita-cita untuk mengangkat diri sendiri menjadi seorang yang berkedudukan tinggi. Dengan bersekutu dengan Bouw Lek Couwsu mereka mendapatkan sekutu yang kuat dengan barisan orang-orang tangguh.
Sian Eng sendiri tidak bersekongkol dengan pemimpin Hsi-hsia ini karena wanita ini mempunyai cita-cita yang lebih tinggi lagi, yaitu apa bila bala tentara Hsi-hsia berhasil mengalahkan Kerajaan Sung, ia akan mengangkat puteranya, Suma Kiat, menjadi kaisar baru. Betapa tidak? Suma Kiat adalah putera Suma Boan yang masih keturunan Pangeran! Inilah sebabnya mengapa Kam Sian Eng menempatkan puteranya di kota raja di rumah Pangeran Kiang, kemudian mengusahakan persekutuan di antara pembesar-pembesar Kerajaan Sung.
Ada pun Bu-tek Siu-lam, tokoh sakti banci itu, adalah seorang dari dunia barat yang sengaja bertualang untuk mencari kesempatan baik guna menempatkan dirinya dalam kedudukan yang tinggi. Tadinya ia hanya ingin menguasai para pengemis dan ingin menjadi raja pengemis, akan tetapi kini melihat kesempatan terbuka untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi lagi, ia segera menerima penawaran Bouw Lek Couwsu untuk bersekutu dan mengerahkan barisan pengemis baju bersih untuk membantu Hsi-hsia apa bila saat penyerbuan tiba. Ia yakin bahwa kalau gerakan ini berhasil, kelak ia sedikitnya tentu akan menjadi seorang pangeran!
Siauw-bin Lo-mo adalah seorang perampok sejak kecil, kini pun ia telah menjadi datuk para perampok dan bajak. Setelah terbuka kesempatan untuk memiliki jabatan atau kedudukan tinggi, tentu saja ia pun senang membantu Bouw Lek Couwsu. Ia sudah tua dan sudah waktunya hidup bergelimang kesenangan dan kemewahan, hidup dimuliakan orang sampai matinya. Ia pun mengerahkan anak buahnya, para perampok dan bajak, juga orang-orang Thian-liong-pang, untuk membantu usaha Bouw Lek Couwsu, bahkan berjanji kelak akan bergerak dari dalam bersama para pengemis anak buah Bu-tek Siu-lam.
Jin-cam Khoa-ong sudah tentu saja mendukung usaha Bouw Lek Couwsu sepenuh hati. Seperti diketahui, Algojo Manusia ini juga disebut Pak-sin-ong (Raja Sakti dari Utara), menjadi musuh Kerajaan Khitan dan dianggap sebagai seorang pengkhianat bangsa Khitan. Ia pun menyatakan ingin membantu Hsi-hsia dengan janji bahwa kalau usaha Hsi-hsia ini berhasil, kelak ia akan diberi pinjam tentara dan perlengkapan untuk menyerbu Khitan dan merampas singgasana Ratu Khitan yang menjadi musuh besarnya.
Hanya Thai-lek Kauw-ong seorang yang tidak mempunyai cita-cita. Ia datang ke markas Bouw Lek Couwsu karena terbujuk teman-temannya dan terutama sekali karena tidak mau kalah dengan empat orang temannya yang katanya sedang mengusahakan pekerjaan penting dan besar. Ia sendiri tidak peduli siapa yang akan menjadi kaisar, akan tetapi kalau empat orang kawannya yang tergabung dalam Bu-tek Ngo-sian semua berjasa, dan ia sendiri berpeluk tangan tentu namanya akan kalah dan ia tidak patut menjadi orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian. Inilah sebabnya mengapa ia suka datang menjadi tamu Bouw Lek Couwsu. Akan tetapi ia tidak pernah ikut bicara tentang urusan pemberontakan, hanya menikmati hidangan yang serba lezat.
Bouw Lek Couwsu sendiri yang cerdik juga tidak mau mengajak kakek raja monyet ini untuk merundingkan soal politik, karena ia hanya mengharapkan bantuan tenaga kakek sakti itu apa bila menghadapi musuh-musuh tangguh kelak. Apa lagi kalau diingat bahwa Thai-lek Kauw-ong tidak mempunyai seorang pun pengikut atau anak buah. Kini kelima Bu-tek Ngo-sian sudah lengkap sendiri di belakangnya, bahkan sudah berkumpul di markas Sian-toanio yang lebih aktip bersama puteranya untuk mengumpulkan dan memperkuat persekutuannya dengan pembesar-pembesar kota raja.
Ketika Siauw-bin Lo-mo datang membawa tawanan Mutiara Hitam, ia menjadi girang dan juga terkejut mendengar laporan tentang usaha Mutiara Hitam untuk membebaskan Pangeran Talibu. Ah, ia terlalu sembrono, terlalu percaya kepada alat-alat rahasia dan penjagaan anak buahnya. Ternyata masih ada yang menyelundup dan hampir saja membebaskan tawanan penting itu. Ia telah menggunakan pelbagai usaha untuk memaksa Pangeran Talibu menulis surat kepada Ratu Khitan, bahkan sudah menyiksanya, namun pangeran yang keras hati itu tetap tidak mau menuruti permintaannya. Pangeran itu ditahan dalam goa juga dalam rangka penyiksaan agar Pangeran itu tunduk. Siapa kira malah hampir dibebaskan Mutiara Hitam.
Bouw Lek Couwsu adalah seorang laki-laki tua, seorang pendeta yang diwaktu mudanya terlalu banyak mengejar ilmu, mengekang nafsu. Karena pada dasarnya ia memang seorang hamba nafsu, setelah tua pengekangannya jebol dan jadilah ia seorang sakti yang gila nafsu, gila perempuan. Melihat Mutiara Hitam yang selain muda remaja dan cantik jelita, juga lihai ilmu silatnya, ia sudah mengeluarkan air liur. Akan tetapi di samping sifatnya yang mata keranjang, ia amat cerdik dan ambisinya besar sekali untuk kedudukan yang tertinggi. Ambisi ini agaknya lebih besar dari pada nafsunya, sehingga begitu melihat Mutiara Hitam yang jelita dan melihat Pangeran Talibu yang masih pingsan, timbul sebuah akalnya untuk menundukkan Pangeran Talibu.
“Bagus!” jawabnya kepada Siauw-bin Lo-mo sambil tertawa bergelak. “Sekali ini pinceng benar-benar berterima kasih kepadamu, Lo-mo.” Kemudian ia berkata kepada muridnya, “Masukkan mereka berdua dalam kamar tahanan di belakang, jaga yang kuat agar jangan sampai ada kemungkinan didatangi orang luar!”
Setelah Kwi Lan dan Pangeran Talibu dibawa pergi, Bouw Lek Couwsu membicarakan rencananya terhadap Kwi Lan dan Talibu kepada empat orang kakek sakti dan tertawalah mereka. Bahkan Thai-lek Kauw-ong mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul sambil berkata.
“Demi Iblis! Engkau benar-benar pintar sekali, Couwsu!”
Bouw Lek Couwsu tertawa. “Memang, sesungguhnya sayang sekali melepaskan bunga ini kepada seorang Hsi-hsia, sama dengan melemparkan daging pilihan untuk seekor anjing buduk. Akan tetapi, makin buruk si anjing, makin sakit hati Talibu dan makin besar kemungkinan ia menyerah! Ha-ha-ha!”
“Heh-heh-heh, Couwsu. Rencanamu ini baik sekali, akan tetapi harus cepat-cepat kau laksanakan. Karena kalau sampai Sian-toanio keburu datang, tak mungkin hal itu dilaksanakan lagi, bahkan kiraku, Mutiara Hitam harus dibebaskan.”
“Mengapa?” Bouw Lek Couwsu bertanya heran.
“Heh-heh, Mutiara Hitam itu adalah murid Sian-toanio.”
Semua orang terkejut mendengar ini. Keadaan menjadi sunyi. Bouw Lek Couwsu mengerutkan kening lalu memandang Siauw-bin Lo-mo. “Eh, Lo-mo. Apa artinya ini? Kalau kau sudah tahu dia murid Sian-toanio, mengapa kau sengaja menawannya dan memberikannya kepadaku? Apakah kau sengaja hendak mengadu aku dengan Sian-toanio?”
Siauw-bin Lo-mo terkekeh, “Couwsu, kau benar-benar pelupa sekali. Berapa kali Mutiara Hitam menentangmu? Berapa kali menentangku? Bahkan sekarang dia datang untuk membebaskan Talibu. Bukankah dia termasuk musuh yang berbahaya? Kalau muridnya seperti itu, kita harus berhati-hati terhadap gurunya. Siapa tahu hati macam apa yang ada di balik kedok kerudung hitam mengerikan itu? Kau harus hati-hati, Couwsu”
Bouw Lek Couwsu masih mengerutkan kening, meraba-raba dagunya, berpikir lalu mengangguk-angguk. “Hemmm, memang diam-diam aku sudah menaruh curiga kepada wanita itu. Kalau dapat menariknya sebagai kawan, baik, kalau sebagal lawan, amat berbahaya. Memang kita harus berhati-hati dan rencana ini harus cepat-cepat dikerjakan, sekarang juga!”
Kalau Kwi Lan dan Talibu mendengar apa yang mereka rencanakan tentu hati kedua orang muda ini menjadi cemas sekali. Akan tetapi mereka tidak mendengar apa-apa ketika mereka digusur dan dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan yang luas. Kamar ini merupakan ruangan yang lebarnya sepuluh meter, kosong tidak ada perabot sebuah pun. Lantainya dari batu putih yang bersih dingin, dindingnya dari tembok tebal, atapnya pun dilapisi jeruji besi yang amat kuat. Sebuah jendela di samping dilindungi jeruji besi sebesar lengan manusia, pintunya juga besi dan bagian atasnya ada jeruji pula.
Setelah Kwi Lan yang dibelenggu kedua tangannya dan Talibu yang masih pingsan itu didorong masuk, pintu ditutup kembali dan dikunci dari luar. Dua pasang mata penjaga untuk beberapa lama memandang ke arah Kwi Lan dengan pandang mata kurang ajar, mulut mereka menyeringai kemudian mereka bicara dalam bahasa Hsi-hsia, tertawa-tawa dan lenyap dari balik jeruji pintu.
Kwi Lan duduk di atas lantai, memandang Pangeran Talibu yang rebah telentang di dekatnya. Kembali jantungnya berdebar. Wajah Pangeran ini telah menggetarkan perasaannya, membuat darahnya berdenyut lebih cepat dari pada biasa. Ia telah rela menyerah, rela ditawan untuk menyelamatkan nyawa pemuda yang baru sekarang ia jumpai ini. Alangkah anehnya ini. Biasanya ia tidak peduli akan keadaan orang lain. Mengapa ia menjadi takut dan ngeri melihat nyawa pemuda ini diancam maut dan tidak ragu-ragu untuk mengorbankan dirinya? Jantungnya berdebar aneh dan teringatlah ia akan pernyataan Hauw Lam. Siangkoan Li, dan Yu Siang Ki terhadap dirinya. Mereka itu menyatakan cinta kepadanya. Adakah perasaan hatinya terhadap Pangeran Talibu ini yang dinamakan cinta? Adakah dia mencinta pemuda ini? Kakak angkatnya, putera angkat ibunya?
Kwi Lan mengguncang-guncang kepalanya, seakan hendak mengusir semua lamunan yang membuat ia bingung dan jantungnya berdebar-debar itu. Bagaimana ia harus meloloskan diri bersama Pangeran Talibu? Kakinya bebas. Tangannya biar pun terbelenggu, namun kalau ia berusaha, kiranya akan dapat ia bebaskan pula. Ia masih mempunyai tenaga simpanan untuk mematahkan belenggu baja ini. Akan tetapi apa gunanya? Dinding itu amat kuat. Pintu dan jendelanya pun kokoh kuat. Belum lagi para penjaga, dan di sana berkumpul orang-orang sakti seperti Bouw Lek Couwsu, Bu-tek Siu-lam, Siauw-bin Lo-mo, dan dua orang kakek lain yang ia duga tentu juga amat sakti. Ataukah mereka itu Bu-tek Ngo-sian yang pernah ia dengar.....??
Lanjut ke jilid 27

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)