CINTA BERNODA DARAH : JILID-27

Kini mulailah kedua racun yang bertentangan itu bekerja, bertempur mati-matian di dalam tubuh Sian Eng, membuat gadis ini dalam keadaan tidak sadar, sebentar kepanasan sebentar kedinginan. Kalau Tuhan Yang Maha Kuasa menghendaki seseorang harus masih hidup, tidak akan kekurangan jalan, betapa pun aneh dan tak mungkin tampaknya jalan itu di mata manusia. Demikian pula dengan halnya Sian Eng. Nyawanya tergantung di ujung sehelai rambut. Hanya Tuhan saja yang mampu menolongnya, hanya Tuhan yang memutuskan mati hidupnya.
Dua macam racun yang memasuki tubuhnya, yang satu lewat luka-luka gigitan yang kedua lewat mulut, adalah racun-racun yang amat berbahaya dan terlalu banyak masuk ke tubuhnya. Kini kedua macam racun yang mempunyai kekuatan bertentangan itu saling bertanding, saling dorong untuk menguasai tubuh Sian Eng yang akan berakhir dengan maut jika satu di antara kedua racun itu kalah! Hawa panas dan dingin saling desak, kuasa-menguasai. Sedikit saja selisih kekuatan kedua hawa ini, akan tamatlah riwayat hidup Kam Sian Eng, gadis yang bernasib malang ini.
Namun, seperti sudah disebutkan tadi, Tuhan belum menghendaki riwayat gadis ini tamat, karenanya secara ajaib sekali, kedua macam racun itu kebetulan memiliki kekuatan seimbang! Mereka saling bercampur dan lenyaplah daya merusak, bahkan sebaliknya, di dalam tubuh Sian Eng, kedua macam racun itu bercampur dan lahirlah semacam daya tenaga mukjijat yang membuat sinkang (hawa sakti) di tubuh gadis ini naik beberapa puluh kali lipat!
Tidaklah mengherankan apa bila saat gadis itu bergerak bangun setelah hari kembali menjadi gelap, yaitu pada malam ketiga, gadis itu merasa tubuhnya ringan dan nyaman sekali, sama sekali tidak ada rasa sakit lagi, yang ada hanya rasa hangat yang menyenangkan. Selain ini lenyap pula rasa takut dan rasa ngeri. Bahkan ia tertawa-tawa ketika mendengar sambaran kelelawar-kelelawar yang untuk ketiga kalinya kini mulai hendak menyerbu musuh yang ulet itu.
Sian Eng merasa betapa sambaran binatang-binatang itu amat lambat dan lemah. Dengan mudahnya ia menyentil dengan kuku-kuku jarinya. Sekali sentil saja remuklah kepala kelelawar yang menyambar ke arahnya. Ketika banyak sekali binatang itu mulai menyerbu, Sian Eng kewalahan juga dan terpaksa membiarkan satu dua ekor menggigit tubuhnya yang setengah telanjang itu.
Akan tetapi terjadilah keanehan. Gadis ini sama sekali tidak merasakan nyeri ketika tergigit, sebaliknya, kelelawar yang menggigitnya itu melepas gigitan, jatuh dan berkelojotan terus mati! Tentu saja hal ini tidak tampak oleh Sian Eng, akan tetapi sejam kemudian, tidak ada seekor pun kelelawar yang menyerangnya lagi. Binatang-binatang itu hanya beterbangan dan bercuit-cuit ketakutan, seakan-akan mereka kini mengakui bahwa manusia yang tiga malam berturut-turut dikeroyoknya itu tak terkalahkan dan patut menjadi ratu mereka.
Sian Eng terbebas dari ancaman maut oleh racun-racun berbahaya itu. Akan tetapi agaknya pengaruh racun-racun itu mempengaruhi juga otaknya. Setidaknya tentu mengubah kesempurnaannya, mengganggu dan membuat Sian Eng menjadi orang aneh. Kadang-kadang ia tertawa sendiri kalau menangkap kelelawar untuk dimakan, kadang-kadang ia menangis karena teringat akan Suma Boan. Malam ketiga itu diisi dengan tawa dan tangis berganti-ganti.
Pada keesokan harinya, Sian Eng dapat bergerak dengan gesit dan pikirannya juga menjadi terang. Teringatlah ia bahwa ia terkurung di situ, terkubur hidup-hidup. Pikiran ini menggerakkan semangatnya dan ia menghampiri batu penutup lubang. Dicobanya tenaganya untuk membongkar batu itu, untuk mondorongnya kembali. Ia merasa betapa dalam tubuhnya bergolak hawa yang amat kuat, yang terasa panas sekali. Ia mengerahkan tenaga, hawa panas meningkat, batu bergoyang, akan tetapi tiba-tiba hawa panas itu berubah menjadi hawa dingin dan... Sian Eng roboh pingsan dan batu itu kembali menutup lubang!
Setelah siuman kembali, Sian Eng mencoba dan berkali-kali ia pingsan hanya karena perubahan hawa di dalam tubuhnya. Akhirnya ia maklum bahwa di dalam tubuhnya terdapat hawa yang aneh, yang kadang-kadang panas, kadang-kadang dingin, akan tetapi yang demikian hebat sehingga ia tidak mampu menguasainya dan kalau ia memaksa terus mengerahkan tenaga yang aneh itu, tentu akhirnya ia akan mati terpukul sendiri. Karena inilah Sian Eng lalu mencari jalan lain. Ia memeriksa seluruh dinding, seinci demi seinci, diperiksanya teliti sekali. Namun hasilnya sia-sia dan sementara itu, karena ia belum dapat menguasai dua macam hawa di tubuhnya, berkali-kali Sian Eng roboh pingsan.
Akan tetapi pada suatu hari, kurang lebih lima hari semenjak ia terkurung di situ, usahanya berhasil. Ia mulai memeriksa lantai. Satu per satu batu-batu lantai ditelitinya dan akhirnya ketika ia mendongkel sebuah batu di sudut kiri, terbongkarlah lubang yang lebarnya ada dua kaki persegi. Mendadak dari dalam lubang itu meluncur keluar seekor ular yang kepalanya putih. Bagaikan kilat menyambar, ular itu menerjang ke atas dan tanpa dapat dielakkan lagi, lengan kiri Sian Eng kena digigit.
Sian Eng menjerit dan mengerahkan tenaga. Karena ia belum menguasai dua macam tenaga di tubuhnya, ia mengerahkan sekenanya saja dan kebetulan pada saat itu hawa dingin di tubuhnya yang lebih kuat, maka seketika pengerahan tenaga ini membuat lengannya yang tergigit ular itu terasa seperti berubah menjadi es! Dan hebatnya, ular itu lalu melepaskan gigitannya, melingkar-lingkar menggeliat-geliat dan tak bergerak lagi, mati! Sian Eng menjadi tertarik sekali. Inikah tempat persembunyian kitab-kitab Tok-siauw-kui?
Tanpa ragu-ragu lagi ia memasuki lubang itu, dan ternyata setelah ia melompat turun, ia berada di sebuah ruangan lain, ruangan atas dan tepat berada di bawah ruangan yang penuh bangkai kelelawar itu. Dan cahaya matahari masuk melalui lubang dua kaki tadi, cukup membuat ruangan itu menjadi terang. Di sudut ruangan, terdapat sebuah meja batu atau lebih tepat sebuah bangku batu yang permukaannya legok (cekung) dan menggambarkan bentuk pantat dan kaki orang yang bersila. Agaknya tempat ini dahulunya dipakai duduk bersila orang yang bertapa di sini. Benar-benar merupakan hal yang luar biasa sekali, bagaimanakah sebuah bangku batu sampai cekung seperti itu hanya karena diduduki orang saja. Hanya bangku itulah yang terdapat di dalam kamar itu, dan tidak ada apa-apa lagi.
Saking besarnya rasa kecewa dan menyesalnya, Sian Eng lalu menjatuhkan diri berlutut di depan bangku itu dan menangis. Ia melihat betapa tapak kaki bersila itu kecil mungil, menggambarkan kaki seorang wanita, maka ia merasa yakin bahwa tentu bangku ini menjadi tempat bersila dan bertapa semedhi Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, ibu dari Suling Emas. Ia menangis karena teringat akan hubungannya dengan Tok-siauw-kui.
Tok-siauw-kui dahulunya adalah isteri ayahnya, Jenderal Kam Si Ek, yang kemudian pergi meninggalkan suaminya sehingga ayahnya itu menikah lagi dengan ibunya. Agaknya Tok-siauw-kui demikian benci kepada ibunya sehingga kini biar pun sudah meninggal, Tok-siauw-kui masih melampiaskan sakit hatinya dan menghukum anak dari wanita yang merebut suaminya!
“Bibi Liu Lu Sian... mengapa kau begini kejam? Mengapa aku yang kau siksa, padahal aku tidak berdosa kepadamu? Bibi... betapa pun juga aku adalah anak tirimu... kau pernah mencinta ayah kandungku.... Demi mendiang ayahku... harap kau tunjukkan jalan ke luar bagiku, Bibi...!” Ia menangis dan masih berlutut di depan bangku batu itu. Kemudian ia teringat akan ayahnya dan menangis makin sedih.
“Ayah... Ayah, kau tentu sudah berkumpul dengan Bibi Liu Lu Sian... bujuklah dia agar supaya anakmu ini diberi petunjuk keluar dari neraka ini!” sambil menangis Sian Eng membentur-benturkan kepalanya di atas lantai depan bangku.
Tiba-tiba terdengar bunyi perlahan. Ternyata setiap kali Sian Eng membenturkan jidatnya di atas lantai, bangku batu itu bergeser ke kiri, makin lama makin ke kiri sehingga akhirnya tampaklah sebuah lubang di bawah bangku batu itu. Sian Eng terkejut dan memandang dengan heran karena di situ terdapat sehelai kain kuning yang menutupi sesuatu dan ditulisi dengan huruf-huruf besar berbunyi: WASIAT PENINGGALAN LIU LU SIAN.
Jantungnya berdebar keras dan tangannya sudah digerakkan untuk meraih dan membuka kain kuning itu, untuk segera melihat wasiat dari wanita sakti itu. Akan tetapi ia segera ingat bahwa benda-benda di bawah kain kuning itu adalah milik Liu Lu Sian, dan bahwa wasiat wanita ini mustahil ditinggalkan untuk dirinya. Ia tidak berani melanjutkan niatnya. Ia tidak berhak! Akan tetapi selagi ia termenung, ia teringat akan tugasnya, teringat akan kekasihnya, Suma Boan. Timbullah pertentangan dalam batinnya.
Ia adalah keturunan seorang gagah. Ayahnya, Kam Si Ek semenjak muda terkenal sebagai seorang satria utama yang menjunjung tinggi kegagahan dan tidak sudi melakukan sesuatu yang tercela. Semenjak ia masih kecil, ayahnya sudah menjejalinya dengan budi pekerti orang gagah. Akan tetapi di lain pihak, cinta kasihnya terhadap Suma Boan juga terasa berat menekan di hati.
Akhirnya kembali Sian Eng berlutut di depan bangku batu tempat bersemedhi Tok-siauw-kui, membenturkan jidatnya di lantai sambil berkata, “Bibi Liu Lu Sian, mohon perkenan bibi untuk mengambil sebuah dua buah kitab peninggalan demi memenuhi kehendak kekasih. Mohon bibi sudi memberi ampun....” Tiba-tiba Sian Eng menghentikan kata-katanya karena pada saat itu, dari dalam lubang tadi melayang keluar tiga batang anak panah yang menyambar ke atas.
Anak-anak panah itu lewat di depan mukanya dan peninglah kepala Sian Eng mencium bau yang wangi memabukkan. Terang bahwa anak-anak panah itu mengandung racun yang dahsyat dan andai kata ia tadi melanjutkan niatnya membuka kain kuning, tentu anak-anak panah itu akan tepat mengenai muka dan lehernya. Ia mendongak ke atas dan melihat anak-anak panah itu menancap pada dinding batu, gagangnya bergoyang-goyang.
Sian Eng bergidik ngeri dan ketika ia memandang ke arah lubang tadi, ternyata kain kuningnya telah tersingkap dan di bawahnya hanya terdapat alat-alat rahasia yang tadi menggerakkan tiga anak panah. Kiranya ketika ia membenturkan kepala di lantai depan bangku batu yang kini sudah pindah ke kiri, ada alat rahasia yang menggerakkan anak-anak panah itu sehingga ia selamat. Seorang yang begitu saja membuka kain kuning tadi karena bernafsu memiliki wasiat, betapa pun pandainya, pasti akan menjadi korban anak panah karena anak-anak panah itu menyambar tak terduga-duga dan jaraknya amat dekat.
Sian Eng memandang lebih teliti dan ternyata selain alat-alat yang menggerakkan anak panah, juga di situ terdapat tulisan yang terukir pada dasar lubang. Seperti tulisan di atas kain kuning, tulisan yang terukir pada batu di dasar itu pun besar-besar, dan jelas, berbunyi : YANG TAHU AKAN SOPAN SANTUN PATUT MENJADI MURIDKU. DUDUKLAH BERSEMEDHI DI ATAS BANGKU, HANYA YANG BERJODOH AKAN BERHASIL.
Sian Eng bukan bermaksud hendak menjadi murid Tok-siauw-kui, melainkan bermaksud untuk mencari kitab peninggalan wanita sakti itu, untuk diberikan kepada kekasihnya. Karena bukankah kitab-kitab ini akan menyenangkan Suma Boan dan seperti dijanjikan oleh kekasihnya itu, setelah ia berhasil menemukan kitab-kitab itu mereka akan pergi ke Cin-ling-san untuk merundingkan urusan perjodohan mereka dengan bibi gurunya? Selain itu tadinya ia tidak memiliki keinginan lain.
Akan tetapi setelah kini ia terkurung dan tidak mampu keluar, timbullah keinginannya untuk mempelajari ilmu-ilmu peninggalan Tok-siauw-kwi, sungguh pun hal ini hanya dimaksudkan untuk membuat ia mampu keluar dari neraka ini. Karena itulah maka tanpa ragu-ragu lagi Sian Eng lalu naik ke atas bangku batu dan duduk bersila.
Alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan betapa lekuk-lekuk di atas permukaan batu cocok benar dengan ukuran tubuh belakang dan kakinya, seakan-akan sudah dicetak untuk dirinya. Kemudian ia teringat akan Tok-siauw-kui yang muncul dan menggemparkan perayaan Beng-kauw. Memang ada persesuaian dalam bentuk tubuh wanita sakti itu dengan dirinya. Mulailah Sian Eng mengheningkan cipta, bersiulian (bersemedhi) di atas bangku itu yang ternyata amat enak diduduki.
Akan tetapi sama sekali di luar dugaannya bahwa hal ini akan membawa ia kepada hal-hal baru yang akan mengubahnya menjadi seorang manusia lain! Ia tekun bersiulian seperti yang diajarkan ayahnya, duduk diam tak bergerak sedikit pun juga, mematikan raga. Tanpa ia sadari, ia sudah duduk seperti itu selama setengah hari!
Tiba-tiba terdengar suara keras dan kagetlah Sian Eng karena ia merasa tubuhnya terjatuh ke bawah. Ketika ia membuka matanya, benar saja, bangku batu itu sudah nyeplos ke bawah dan ia sudah berada di dalam ruangan lain, di bawah ruangan yang tadi. Ia segera turun dan melihat betapa di ruangan ini terdapat dipan untuk tidur, terdapat meja dan bangku, sedangkan di atas meja terdapat akar-akar dan buah-buah obat, juga di sana-sini bertumpuk kitab-kitab kuno. Sedangkan di sudut kiri terdapat sebatang pedang yang mengeluarkan sinar merah, pedang telanjang yang menancap pada dinding batu karang sampai setengahnya!
Dengan hati berdebar-debar tidak karuan Sian Eng memperhatikan cara bagaimana ia tadi dapat merosot ke bawah bersama bangku yang didudukinya. Setelah mengadakan pemeriksaan, kiranya bangku tadi dipasangi alat-alat yang halus sekali dan ternyata kehangatan tubuhnya melepaskan minyak-minyak beku dan menggerakkan alat-alat yang bergerak otomatis. Kalau saja tubuh orang yang bersemedhi tidak cocok dengan lekuk-lekuk di permukaan batu tadi, kiranya alat itu takkan dapat berjalan. Terang bahwa Tok-siauw-kui memang menghendaki seorang yang bentuk tubuhnya menyamainya, yang tentu saja seorang wanita, untuk menjadi ahli warisnya! Dan kini kitab-kitab pelajaran yang serba rahasia, yang dicari penuh kerinduan oleh orang-orang di seluruh dunia kang-ouw, terletak di depan Sian Eng, tinggal memilih saja!
Akan tetapi Sian Eng tidak membutuhkan semua ilmu itu! Ia hanya ingin mempelajari ilmu untuk menghimpun tenaga sakti agar ia dapat menggerakkan batu-batu penutup lubang, agar ia dapat keluar dan ia akan membawa sebuah dua buah kitab ilmu untuk diberikan kepada kekasihnya yang berada di luar goa. Karena kitab-kitab itu banyak sekali macamnya, akhirnya ia dapat juga menemukan sebuah kitab yang mengajarkan ilmu Ban-kin-pek-ko-chiu (Ilmu Keraskan Tangan Selaksa Kati) dan I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Cuci Sumsum). Ilmu ini mengajarkan cara bersemedhi dan bernapas, menghimpun tenaga sakti dan menguasainya.
Segera Sian Eng bersemedhi dan berlatih menurut petunjuk kitab ini. Sama sekali ia tidak mengira bahwa kalau bagi orang lain harus memakan waktu berbulan-bulan untuk memetik buah latihan ilmu ini, baginya hanya membutuhkan beberapa hari saja oleh karena di dalam tubuhnya sudah terdapat dua macam hawa panas dan dingin yang amat hebat berkat racun dari kelelawar.
Berhari-hari Sian Eng tekun berlatih dan apa bila ia merasa lapar, ia menangkapi kelelawar untuk dimakan dagingnya. Untuk minum tidaklah sukar karena dinding batu-batu karang itu mengandung air, dan di sana-sini terdapat air jernih menetes-netes dari atas. Tentang akar-akar dan buah-buah obat di atas meja, tidak ia perhatikan ketika ia membaca keterangan di sampingnya bahwa obat-obat itu adalah obat untuk pelbagai luka pukulan dan korban racun.
Demikianlah, tidak mengherankan apa bila dua pekan kemudian semenjak ia memasuki goa, Sian Eng sama sekali tidak mendengar teriakan-teriakan Suma Boan yang menyusulnya dan berteriak-teriak dari luar batu penutup lubang. Di waktu itu ia sedang tekun bersemedhi menyempurnakan sinkang yang sudah terasa memenuhi tubuhnya. Dengan girang Sian Eng mendapat kenyataan bahwa tenaga panas dan dingin yang kadang-kadang menguasainya, yang membuatnya berkali-kali pingsan, kini dapat ia kuasai sepenuhnya dengan cara yang diberikan oleh kitab itu.
Sian Eng menghentikan latihannya setelah merasa bahwa ia dapat menguasai tenaga mukjijat itu, dan pada saat itu barulah ia melihat gambaran di dinding, gambaran yang ada tanda-tanda huruf kecil terukir. Ia segera memperhatikan dan bukan main girang hatinya karena gambaran-gambaran itu merupakan tanda-tanda rahasia cara membuka dan menutup pintu-pintu rahasia dan alat-alat rahasia lain yang dipasang di dalam istana di bawah tanah ini. Cepat ia mencari rahasia batu besar yang menutup terowongan dan kiranya rahasianya terletak pada batu itu sendiri. Di ujung kanan atas dari batu itu terdapat bagian yang menonjol dan bagian inilah yang harus dipukul tiga kali ke dalam.
Dengan hati amat girang Sian Eng melompat melalui lubang itu ke bagian atas, kemudian sekali lagi ia menerobos ke bagian paling atas melalui lubang. Ia tidak sadar bahwa gerakannya melompat melalui lubang ini hebat dan ringan sekali, jauh bedanya dengan keadaan dirinya sebelum memasuki tempat ini. Begitu memasuki ruangan paling atas, hidungnya disambut bau yang amat busuk dari bangkai-bangkai kelelawar yang bertumpuk-tumpuk di situ selama beberapa hari. Sian Eng menutupi hidungnya dan dengan menahan napas ia lalu menghampiri batu penutup terowongan. Betul saja, di bagian atas ujung kanan batu itu terdapat bagian yang menonjol. Ia mengepal tangannya dan menghantam tiga kali.
Terdengarlah suara berkerotokan dan... dapat dibayangkan rasa gembira hati gadis itu melihat batu besar itu bergerak dan masuk ke dalam dinding membuka jalan terowongan itu seperti sedia kala! Saking girangnya Sian Eng lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis tersedu-sedu. Kemudian ia teringat kembali kepada Suma Boan, maka cepat ia melompat dan berlari-lari ke luar melalui terowongan sambil tertawa-tawa gembira. Tadi ketika keluar dari dalam kamar rahasia, ia telah mengambil dua buah kitab kuno yang ia kira tentu akan memuaskan hati kekasihnya, karena kitab-kitab itu adalah kitab ilmu pedang dan ilmu silat. Kini dua buah kitab kuno itu berada di balik baju dalamnya.
Akan tetapi ketika ia tiba di luar goa, di situ sunyi sekali tidak kelihatan bayangan Suma Boan. Pada waktu itu hari telah berganti malam, keadaan di luar goa gelap gulita.
“Suma-koko!” Sian Eng memanggil, menyangka bahwa kekasihnya tentu sedang beristirahat di suatu tempat setelah menanti-nanti dirinya keluar dengan hati kesal. Tentu kekasihnya itu merasa khawatir sekali, mungkin sudah putus asa.
“Suma-koko!” berkali-kali ia memanggil sambil melangkah ke luar, namun tidak ada yang menjawab.
Tiba-tiba ia mendengar teriakan-teriakan dari jauh. Sian Eng cepat menggerakkan kakinya mengejar. Juga kali ini ia tidak sadar bahwa gerakan kakinya cepat dan ringan bukan main, dan bahwa ia telah berlari cepat sekali! Ini adalah berkat hawa sakti di tubuhnya yang kini mulai dapat ia kuasai setelah ia memiliki Ilmu Ban-kin Pek-ko-chiu. Sama sekali ia tidak tahu bahwa Suma Boan baru saja keluar dari dalam goa, dan bahwa pemuda itu hampir celaka oleh Liu Hwee dan Kauw Bian Cinjin.
Setelah melakukan pengejaran dengan kecepatan mengagumkan, akhirnya ia dapat menyusul dua bayangan yang berkejaran itu. Segera ia mengenal Liu Hwee yang mengejar Suma Boan! Ia tidak mengenal apa sebabnya, maka diam-diam ia hanya mengikuti mereka.
Ketika tiba di luar hutan, Liu Hwee mulai menyerang Suma Boan dengan senjata rahasia jarum perak, kemudian karena pemuda itu terhalang larinya ketika mengelak, gadis puteri ketua Beng-kauw ini cepat menerjangnya dengan senjatanya yang hebat, yaitu sepasang cambuknya yang diganduli dua buah bola baja.
“Suma Boan manusia busuk, kau hendak lari ke mana?!” bentak Liu Hwee.
Melihat bahwa gadis ini hanya mengejar sendirian saja, Suma Boan menjadi marah dan timbul kembali keberaniannya. Tadi ia melarikan diri karena gadis itu berdua dengan Kauw Bian Cinjin, merupakan lawan yang amat berat. Sekarang melihat gadis itu sendirian saja, ia lalu membalikkan tubuh dan melawan sambil memaki.
“Bocah sombong, kau bosan hidup!”
Seperti biasa, pemuda bangsawan ini melawan dengan tangan kosong saja. Menghadapi lawan muda, biar pun lawan bersenjata, biasanya ia selalu mendapatkan kemenangan karena sebagai murid It-gan Kai-ong tentu saja ia memiliki tingkat ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi kali ini ia berhadapan dengan puteri Beng-kauw! Pula Liu Hwee memegang senjata aneh yang amat berbahaya. Di samping ini, baru saja Suma Boan mengalami hal-hal yang melelahkan dan menakutkan, sedangkan betisnya yang ia potong dagingnya juga masih terasa sakit. Oleh karena semua inilah maka sebentar saja ia terdesak hebat dalam pertandingan mati-matian itu.
Cuaca remang-remang karena hanya diterangi bintang-bintang di langit, dan dua orang ini bertanding mengandalkan ketajaman telinga, karena ketajaman pandangan mata tidaklah dapat dipercaya dalam keadaan setengah gelap itu.
Betapa pun Suma Boan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, ia tidak dapat mengimbangi kecepatan senjata cambuk di tangan Liu Hwee dan pada saat sebuah di antara bola-bola baja itu menyambar pundaknya, Suma Boan mengeluh panjang dan terhuyung-huyung. Ia sudah mengerahkan tenaga untuk menolak pukulan itu, namun tetap saja karena yang diarah adalah jalan darah yang lemah, ia menderita luka yang biar pun tidak parah namun cukup membuat kedudukannya menjadi makin lemah.
“Siapa berani mengotori tempat suci Beng-kauw, harus mati!” seru Liu Hwee dan senjatanya kembali menyambar, kini mengarah kepala dan yang sebuah lagi menotok pusar. Serangan maut yang agaknya sukar untuk dapat dihindarkan oleh Suma Boan yang sudah terhuyung-huyung.
Akan tetapi tiba-tiba menyambar angin pukulan yang amat dahsyat dari samping, yang membuat sepasang bola di ujung cambuk itu meleset arahnya, bahkan tampak bayangan orang yang cepat menyambar cambuk itu dan sekali merenggut, cambuk itu terampas dari tangan Liu Hwee! Gadis ini kaget sekali karena sama sekali tidak menyangka-nyangka sehingga senjatanya kena dirampas orang. Ia mengira bahwa yang datang tentulah It-gan Kai-ong, atau setidaknya tentu kawan Suma Boan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka ia meloncat mundur dan siap-siap menghadapi lawan tangguh dengan tangan kosong.
Akan tetapi bayangan itu sudah menyambar tubuh Suma Boan dan dibawa lari dari tempat itu! Lie Hwee menjadi penasaran sekali. Biar pun ia maklum bahwa lawan amat tangguh dan ia harus berhati-hati, namun ia diam-diam mengikuti dan mengejar ke arah lenyapnya bayangan yang membawa lari senjata dan juga membawa lari Suma Boan itu. Sayang baginya, malam yang gelap membuat ia kehilangan jejak lawannya sehingga akhirnya Lie Hwee hanya melanjutkan pengejarannya dengan kira-kira saja, untung-untungan.
Sementara itu, bayangan tadi membuang jauh-jauh senjata rampasannya, dan terus membawa lari Suma Boan. “Suma-koko... kau terluka...?” katanya sambil lari.
Sejenak Suma Boan tak mampu menjawab. Tadi ketika ia sudah terancam bahaya maut di tangan Liu Hwee, ia merasa girang dan heran karena tertolong oleh bayangan yang belum ia ketahui siapa dia. Akan tetapi ketika tubuhnya disambar dan dibawa lari, ia tahu bahwa orang ini adalah seorang gadis yang pakaiannya robek-robek tidak karuan, akan tetapi yang memiliki kepandaian hebat sekali.
Karena kehebatan gerak inilah maka ia tidak mengenal Sian Eng, karena mana mungkin Sian Eng memiliki kepandaian sehebat ini? Pula, keadaan yang gelap membuat ia tidak dapat melihat wajah gadis itu dengan baik. Baru sekarang setelah gadis itu membuka mulut bicara, ia tahu bahwa penolongnya bukan lain adalah Sian Eng! Tentu saja ia menjadi bengong dan tak mampu menjawab. Pikirannya bekerja. Tentu terjadi sesuatu yang hebat kepada diri Sian Eng, dan tentu selama dua pekan itu, Sian Eng telah mempelajari ilmu yang sakti.
Suma Boan memang seorang yang cerdik, akan tetapi juga hatinya kotor oleh syakwasangka dan penuh tipu muslihat. Ia mulai curiga. Tentu gadis ini mengkhianatinya, setelah mendapatkan ilmu lalu dimilikinya sendiri!
“Suma-koko... hebatkah lukamu?” kembali Sian Eng bertanya sambil melanjutkan larinya, karena gadis ini merasa khawatir kalau-kalau ada yang mengejar mereka.
Suma Boan pura-pura mengeluh panjang, “Cukup hebat... mengapa kau begitu lama baru muncul, Moi-moi? Dan bagaimana hasilnya, dapatkah kau menemukan kitab-kitab itu?”
“Dapat... dapat... jangan khawatir, Suma-koko. Aku membawa dua buah kitab untukmu.” Tiba-tiba gadis ini ter­tawa dan berdirilah bulu tengkuk Suma Boan. Suara ketawa ini tidak sewajarnya, pikirnya. Akan tetapi diam-diam ia girang bukan main.
“Mana kitab-kitab itu? Biarlah aku yang membawanya!” katanya menahan suaranya agar tidak gemetar.
“Nanti saja, kita lari dulu, takut kalau-kalau dikejar musuh.”
“Katakan saja di mana, aku yang akan ambil.” tangan Suma Boan mulai meraba-raba.
Kembali Sian Eng tertawa geli, “Ihhh, jangan begitu. Kusimpan di balik... baju dalam dan....” Tiba-tiba suaranya terhenti dan gadis itu roboh lemas.
Kiranya Suma Boan telah menotoknya dengan tiba-tiba. Karena yang ditotok adalah tong-cu-hiat di belakang leher dan thian-hu-hiat, maka seketika Sian Eng roboh lemas dan tak dapat mengeluarkan suara lagi. Terpaksa ia hanya dapat melihat dan merasa betapa Suma Boan meraba-raba dadanya dan mengeluarkan dua buah kitab yang disimpannya di situ. Terdengar pemuda itu berseru girang, mengantongi dua buah kitab itu lalu menyambar tubuh Sian Eng dan kini gadis itulah yang dibawa lari oleh Suma Boan, dipondong di atas pundak!
Sian Eng menjadi kecewa dan juga bingung. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa kekasihnya akan melakukan perbuatan seperti ini. Saking marahnya, ketika ia berusaha untuk mengerahkan tenaga, jalan darahnya yang berhenti itu membuat hawa sakti menyerang dirinya sendiri dan ia pingsan seketika!
Ketika Sian Eng siuman dari pingsannya, ia mengerang perlahan dan tubuhnya tidak karuan rasanya. Ia memandang ke kanan kiri dan mendapatkan dirinya berbaring telentang di atas sebuah dipan di dalam kamar perahu yang oleng ke kanan kiri, agaknya sebuah perahu besar yang berlabuh di pinggir. Melihat kamar yang bersih dan indah ini, tentu ia berada di sebuah perahu yang mewah.
Sinar matahari yang memasuki jendela kamar perahu menandakan bahwa malam telah berganti pagi dan hawa pagi itu sejuk menyegarkan. Namun Sian Eng tidak merasa segar bahkan merasa tidak enak sekali. Kagetlah ia ketika menengok dirinya. Ternyata pakaiannya yang robek-robek semalam telah diganti pakaian indah bersih, pakaiannya sendiri yang buntalannya dibawa Suma Boan ketika ia memasuki goa. Seketika wajahnya menjadi merah. Ia dapat menduga bahwa tentu Suma Boan yang mengganti pakaiannya. Serentak ia bangkit dan ia menyeringai. Badannya terasa sakit-sakit. Kemarahannya bangkit ketika ia teringat akan kelakuan Suma Boan semalam, yang secara khianat telah menotoknya. Kemudian kecurigaannya timbul ketika ia menyaksikan keadaan dirinya di pagi ini.
Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dari luar dan masuklah Suma Boan. Pemuda ini berpakaian indah bersih pula, wajahnya berseri-seri dan ia memandang kepada Sian Eng dengan senyum lebar yang menambah ketampanan wajahnya. “Isteriku yang manis, kau sudah bangun?”
Bagaikan disambar petir Sian Eng memandang terbelalak. Ucapan ini memperkuat kekhawatiran hatinya. “Apa... apa kau bilang...?”
Kemudian, pandang mata Suma Boan seakan-akan menceritakan semuanya, membuat Sian Eng gemetar seluruh tubuhnya. “Kau... kau telah melakukan....”
Suma Boan melangkah maju dan memeluknya mesra. “Isteriku, kau isteriku yang tercinta. Sian Eng, kita telah menjadi suami isteri dan... aduhhh...!”
Suma Boan terlempar ke sudut kamar karena dengan tenaga yang dahsyat sekali Sian Eng telah mendorongnya. Sian Eng kini bangkit berdiri, matanya merah menyala-nyala, pipinya seperti terbakar rasanya. “Keparat biadab! Kau... kau berani....”
Suma Boan terkejut bukan main, akan tetapi sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi ia tidak terluka. Ia melangkah maju lagi dan membujuk dengan suara manis.
“Eng-moi-moi, kau kenapakah? Bukankah kau mencintaku? Bukankah kau tahu bahwa aku pun mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku, dan bahwa kita toh akan menjadi suami isteri juga kelak? Aku... saking bahagia hatiku semalam melihat besarnya cinta kasihmu sehingga kau rela melakukan tugas berbahaya, kemudian melihatmu aku tak tahan lagi. Ah, Sian Eng, apa sebabnya kau menjadi marah-marah?”
“Keparat busuk!” Sian Eng memaki dan bagaikan seekor singa betina ia menerjang maju.
Suma Boan tentu saja tidak mau membiarkan dirinya diserang, cepat ia mengelak, malah kemarahannya kini bangkit. Memang sesungguhnya di hati putera pangeran ini tidak ada cinta kasih murni terhadap Sian Eng, yang ada hanya cinta berdasarkan nafsu binatang belaka yang dibangkitkan oleh kecantikan gadis itu. Perlakuannya terhadap Sian Eng memang ia sengaja, merupakan siasatnya karena ia menafsir bahwa Sian Eng telah mewarisi ilmu yang hebat dan jika sudah menjadi ‘isterinya’ tentu Sian Eng akan membuka rahasia ilmu itu kepadanya. Tentu saja di samping ini, juga kelemahan batinnya terhadap kecantikan Sian Eng merupakan sebab yang kuat pula sehingga di malam itu ia melakukan perbuatan biadab seperti binatang.
Kini dalam marahnya, Suma Boan balas menyerang. Memang ilmunya lebih tinggi dari pada kepandaian Sian Eng, maka sekali ia mengeluarkan jurus yang sulit, tangannya berhasil memukul pundak Sian Eng, membuat gadis itu terjungkal.
“Kau hendak berlagak, ya? Mulai sekarang kau harus mentaati segala perintahku, kalau tidak, kau akan kusiksa sampai mampus! Perempuan tak tahu diri, diperlakukan baik-baik kau tidak mau terima!” Sambil berkata demikian, dalam kebesaran hatinya sudah berhasil merobohkan Sian Eng, Suma Boan melangkah maju.
Sian Eng rebah miring dan menoleh. Matanya terbelalak. Peristiwa ini hampir membuatnya menjadi gila. Rasa menyesal, kecewa, marah, malu, dan sakit hati memenuhi kepalanya, membuat kepalanya berdenyut-denyut, membuat tubuhnya sebentar panas sebentar dingin. Tak disangkanya sama sekali bahwa orang yang dicintanya, yang dipujanya, yang diharapkan menjadi suaminya kelak, memperlakukan dia seperti ini.
Tiba-tiba kemarahannya memuncak, ia mengerahkan tenaga Ban-kin-pek-ko-chiu dan ketika Suma Boan sudah melangkah dekat, ia siap-siap. Benar saja, Suma Boan yang bermaksud hendak ‘menundukkan’ Sian Eng mengangkat kakinya menendang. Pada saat itu Sian Eng menyambar kaki itu dan ia melompat berdiri. Suma Boan tidak bisa berkutik, tubuhnya jungkir-balik dan Sian Eng mengayun-ayun tubuh itu, diputar-putarnya di atas kepala!
“Kuhancurkan kepalamu! Kukeluarkan jantungmu! Binatang kau, jahanam keparat!” Sian Eng memaki-maki sambil menangis dan air matanya bercucuran.
Suma Boan takut setengah mampus. Ia berusaha untuk mengerahkan tenaga dan melepaskan diri, namun kakinya yang dicengkeram tangan Sian Eng itu serasa hancur dan ia tidak mampu meronta. Ia mulai merintih-rintih dan dari dalam saku bajunya meluncur keluar dua buah kitab kuno. Melihat ini Sian Eng mendadak tertawa-tawa!
“Hi-hi-hi-hik! Untuk dua kitab ini kau tega merusak diri dan hatiku! Kau tega menghancurkan harapan hidupku, membuyarkan cita-citaku, membanting remuk kasih sayangku. Hanya untuk dua buah kitab kuno, hi-hi-hik!”
Makin takutlah Suma Boan. “Sian Eng... Moi-moi... kau ampunkanlah diriku... Eng-moi, ingatlah... aku cinta kepadamu, sungguh mati, biar aku bersumpah...!” Akan tetapi kata-katanya tenggelam dalam suara ketawa Sian Eng.
Pada saat itu terdengar suara wanita nyaring di luar bilik perahu. Suara Liu Hwee yang menantang, “Bangsat Suma Boan! Keluarlah kalau kau laki-laki!”
Sian Eng terkekeh makin geli. “Dia memang laki-laki, akan tetapi laki-laki seperti anjing. Nah, terimalah!” Ia mengayun tubuh Suma Boan dan melemparkannya ke luar dari pintu.
Baiknya Suma Boan dapat mengerahkan ginkang-nya sehingga ia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan dapat jatuh berdiri di luar kamar. Alangkah kagetnya ketika ia melihat Liu Hwee yang berdiri di situ dengan sikap menantang. Mula-mula ia khawatir kalau-kalau Liu Hwee datang bersama orang lain. Akan tetapi setelah mendapat kepastian bahwa gadis puteri Beng-kauw ini hanya seorang diri, apa lagi tidak bersenjata, melainkan bertangan kosong dan bertolak pinggang di situ, hatinya menjadi besar. Ia merasa malu sekali. Kalau tadi Liu Hwee atau orang lain menyaksikan keadaannya, benar-benar hal itu akan membuat ia malu dan merasa terhina oleh Sian Eng. Karena itulah maka kini kemarahannya ia tumpahkan kepada Liu Hwee.
“Perempuan keparat! Kau mau apa?!” bentaknya.
“Suma Boan mata-mata busuk. Mau menghukummu, apa lagi?!”
Suma Boan berseru keras dan cepat menyerang. Akan tetapi dengan mudah Liu Hwee mengelak dan balas menyerang. Suma Boan menyeringai karena merasa betapa kakinya yang tadi dicengkeram Sian Eng terasa sakit dan kaku, membuat gerakannya kacau. Sebetulnya kalau dibuat perbandingan, dalam hal kematangan ilmu silat, kiranya Suma Boan lebih tinggi sedikit dari pada Liu Hwee. Ia sudah mewarisi banyak macam ilmu dan sudah lebih banyak pengalamannya bertempur.
Akan tetapi pada saat itu Suma Boan sedang merasa gelisah memikirkan keadaan Sian Eng. Selain itu ia pun masih menderita luka di betisnya, luka yang terasa perih, ditambah lagi cengkeraman Sian Eng pada pergelangan kakinya tadi serasa meremukkan tulang kakinya. Oleh karena merasa kakinya kaku dan sakit-sakit, segera Suma Boan mengeluarkan ilmunya yang paling ia andalkan, yaitu Tok-ci-ciang-hoat (Ilmu Silat Jari Be­racun).
Ilmu silat ini ia warisi dari It-gan Kai-ong, hebatnya bukan main. Untuk mainkan ilmu silat ini, ia hanya menggunakan jari telunjuk dan jari tengah dari kedua tangannya, dipakai menyerang secara menusuk. Namun jangan dipandang remeh jari-jari ini, karena ketika ditusukkan, jari-jari ini mengandung hawa pukulan beracun yang sekali mengenai tubuh lawan dapat mengakibatkan maut datang menjemput.
Melihat datangnya serangan yang mengeluarkan angin berciutan serta melihat uap hitam yang mengepul dari jari-jari itu, Liu Hwee sebagai puteri ketua Beng-kauw yang sakti maklum dan dapat menduga bahwa lawannya mempergunakan ilmu pukulan jahat dan ganas. Ia tidak berani menghadapi pukulan-pukulan keji ini, cepat menggunakan ginkang dan kegesitan tubuhnya untuk mengelak ke sana ke mari mencari kesempatan membalas. Ia maklum bahwa kalau tangannya sampai terbentur jari-jari itu, ia akan terluka oleh racun berbahaya.
Suma Boan menjadi makin penasaran. Melihat lawannya tampak takut menghadapi jari-jarinya, ia menjadi makin ganas. Serangannya makin gencar dan ia mengejar terus ke mana pun juga Liu Hwee mengelak. Baik bagi Liu Hwee bahwa kaki Suma Boan terluka sehingga pemuda itu kehilangan kegesitannya. Andai kata tidak demikian, agaknya tidak mudah bagi Liu Hwee untuk dapat menyelamatkan diri.
Pertandingan ini berjalan setengah jam lebih dan Suma Boan mulai tampak lelah. Memang ia sudah lelah sekali, dan kakinya makin sakit. Namun berkat ilmu pukulannya yang dahsyat dan keji, Liu Hwee belum sempat membalas dan selalu menyelamatkan diri. Hal ini dimengerti oleh Suma Boan, maka sambil mengeluarkan suara gerengan seperti harimau ia mendesak terus, mengerahkan seluruh tenaganya dan tidak mempedulikan rasa sakit di kakinya. Liu Hwee kaget sekali. Ia betul-betul terdesak dan hanya mampu mengelak sambil main mundur. Akhirnya ia terdesak sampai di ujung perahu dan agaknya tidak ada jalan ke luar lagi baginya.
“Ha-ha-ha, bocah sombong. Ke mana lagi kau akan lari?” Suma Boan mengejek, lalu menerjang maju dengan tusukan kedua jari tangan kanannya sambil memekik.
“Hiaaaaattttt!” Hebat bukan main serangan ini.
Liu Hwee sudah berada di pinggir perahu, kalau ia melompat ke belakang tentu ia akan jatuh ke dalam air. Namun gadis yang tenang dan gesit gerakannya ini dapat melihat bahwa betapa pun hebat dan berbahayanya serangan lawan ini, ia dapat melihat bahwa Suma Boan sudah kehilangan kecepatannya. Maka dengan tenang dan tabah ia miringkan tubuh secepat kilat setelah ujung kedua jari berbahaya itu sudah mendekati dadanya.
Kedua ujung jari itu lewat hampir mengenai bajunya dan cepat Liu Hwee menggerakkan tangan kirinya mencengkeram pergelangan tangan kanan Suma Boan. Sebelum Suma Boan hilang kagetnya menyaksikan gerakan nekat Liu Hwee ini, puteri Beng-kauw yang perkasa itu telah mengerahkan tenaga, serentak menarik dengan lweekang sepenuhnya sambil menggerakkan dan melepaskan lengan itu.
Suma Boan memang sudah lelah dan tenaganya banyak berkurang. Apa lagi ia tidak mengira sama sekali bahwa gadis yang sudah ia desak hebat itu akan melakukan perbuatan ini. Maka begitu ia disentakkan secara tiba-tiba dan kuat, tubuhnya tak dapat ia pertahankan lagi. Tubuh yang ketika menusukkan jari tadi memang sudah condong ke depan dengan kaki kanan yang juga terangkat ke depan itu terlempar dan....
“Byurrrrr!” air sungai muncrat tinggi ketika tertimpa tubuh Suma Boan yang cukup berat.
Liu Hwee yang memang curiga bahwa putera bangsawan ini mengambil sesuatu dari Beng-kauw, cepat memasuki bilik perahu. Akan tetapi bilik itu kosong, tidak tampak seorang pun manusia. Ia memeriksa cepat dengan pandang matanya, namun tidak mendapatkan sesuatu yang penting. Lalu ia melompat ke luar lagi, juga tidak melihat Suma Boan. Agaknya pemuda jahat itu sudah tenggelam ke dalam sungai. Gadis ini lalu menggerakkan kedua kakinya melompat ke darat, lalu lari menuju pulang. Ia pun merasa lelah sekali karena semalam suntuk ia melakukan pengejaran, sedangkan pertandingan tadi sudah memeras banyak tenaganya.
Tentu saja tidak benar dugaan Liu Hwee bahwa Suma Boan mati tenggelam di dasar sungai. Pemuda bangsawan ini terlalu cerdik dan licin untuk dapat ditewaskan secara begitu mudah. Karena maklum bahwa dalam keadaan terluka dan lelah seperti itu tak mungkin ia dapat melakukan perlawanan lagi, pula karena khawatir kalau-kalau Liu Hwee menanti di pinggir perahu dan siap menyerangnya dengan serangan maut apa bila ia hendak kembali ke perahu, Suma Boan lalu menyelam dan bersembunyi di bawah perahu dengan hanya mengeluarkan hidung dan mulutnya di permukaan air.
Dari bawah ia melihat perahu itu bergoyang-goyang sedikit, tanda bahwa di atasnya terdapat orang berginkang tinggi sedang bergerak. Tadinya ia mengharap Sian Eng membelanya dan menyerang Liu Hwee. Akan tetapi goyangan perahu itu hanya sebentar saja, lalu diam dan sama sekali tidak bergerak. Maka Suma Boan lalu naik ke perahu melalui tambang yang tergantung ke bawah. Dengan hati-hati ia melompat naik ke atas perahu, takut kalau-kalau ada bahaya mengancam. Terhadap Liu Hwee ia tidak begitu takut, akan tetapi ia ngeri memikirkan sepak terjang Sian Eng.
Namun di perahu itu sunyi saja, tidak terdapat seorang pun manusia. Suma Boan berindap-indap memasuki kamar perahu, menjenguk hati-hati. Kosong! Hatinya serasa tertusuk, penuh kekecewaan, penasaran, dan kemarahan. Tak perlu ia mencari lagi. Terang bahwa dua buah kitab kuno yang dibawa Sian Eng dan kemudian ia rampas, ketika tadi jatuh dari dalam saku bajunya, telah diambil kembali oleh Sian Eng yang sekarang telah pergi entah ke mana!
“Perempuan laknat!” Suma Boan menyumpah-nyumpah sambil menanggalkan pakaiannya yang basah untuk diganti dengan yang kering. Kemudian ia duduk di atas dipan dan termenung.
Sian Eng telah ia nodai dan ada dua akibat yang mungkin menjadi ekor peristiwa ini. Pertama, gadis itu akan merasa menjadi isterinya walau pun tidak sah dan inilah yang ia harapkan ketika ia melakukan perbuatan terkutuk itu. Apa bila begini akibatnya, tentu Sian Eng kelak akan hilang marahnya dan akan datang menyerahkan diri. Kalau sudah begitu, boleh saja ia pura-pura mengawininya dengan sah agar kitab-kitab itu, dan terutama ilmu aneh yang dimiliki Sian Eng dalam waktu dua pekan, terjatuh ke dalam tangannya. Akan tetapi akibat kedua mengerikan hatinya. Mungkin sekali akibatnya sebaliknya sama sekali, dan gadis itu akan merasa sakit hati kepadanya lalu memelihara dendam kesumat yang tiada habisnya terhadap dirinya. Suma Boan bergidik memikirkan akibat kedua ini.
“Dua buah kitab itu telah kulihat sepintas lalu, yang sebuah adalah kitab ilmu silat dan yang sebuah lagi ilmu pedang. Akan tetapi Sian Eng telah memiliki tenaga kecepatan dan gerakan yang luar biasa anehnya yang tak mungkin ia pelajari dari dua buah kitab itu, apa lagi hanya dalam waktu dua pekan. Agaknya banyak rahasia aneh di dalam goa itu. Aku harus memberi tahu suhu... ah, tidak, kalau suhu yang menemukan semua itu, tentu takkan diberikan kepadaku....” Demikianlah, Suma Boan melamun dan memeras pikirannya.
Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mencari kesempatan baik dan kalau kesempatan ini terbuka, ia sendiri yang akan menyelidiki ke dalam goa. Akan tetapi untuk itu ia harus membuat persiapan. Sebelum melakukan tugas penting ini, lebih dulu ia harus menemui gurunya dan kebetulan gurunya akan membuat pertemuan di puncak Thai-san. Maka berangkatlah Suma Boan ke arah Thai-san.
Ada pun Sian Eng, setelah melempar ke luar Suma Boan, sambil terisak-isak lalu menyambar dua buah kitab. Selagi Suma Boan bertanding melawan Liu Hwee, ia mempergunakan kesempatan itu untuk melesat ke luar dari jendela bilik perahu, terus melompat ke darat dan melarikan diri sambil menangis tersedu-sedu sepanjang jalan. Akan tetapi kadang-kadang ia tertawa dan memaki-maki diri sendiri.
Mulai saat itu, apa bila teringat akan nasibnya, teringat kepada Suma Boan, keadaan Sian Eng menjadi berubah tidak normal lagi, suka menangis dan tertawa berganti-ganti. Akan tetapi apa bila ia dalam keadaan tenang, ia hanya menangis perlahan dan termenung-menung, akan tetapi sifat liar itu lenyap. Kini tujuan hatinya hendak mencari kakaknya, Suling Emas, untuk mengadukan semua hal ihwalnya ini, untuk mengadukan penasarannya dan mohon kepada kakak tirinya untuk membalaskan dendamnya. Dengan cepat Sian Eng yang pernah mendengar tentang niat Suling Emas mewakili ibunya ke Thai-san juga menyusul ke Thai-san untuk bertemu dengan Suling Emas.
Demikianlah, setelah tiba di lereng Thai-san, secara kebetulan sekali ia yang berada di bawah jurang melihat orang jatuh meluncur dari atas. Betapa pun berubahnya watak Sian Eng, tak dapat ia berpeluk tangan melihat orang terancam maut ini, timbul sifat satria keturunan ayahnya. Ia lalu mempergunakan tenaga Ban-kin-pek-ko-chiu dan ternyata ia berhasil menolong Bok Liong. Ketika melihat bahwa yang ia tolong adalah Lie Bok Liong, seketika timbul rasa malu di hatinya karena ia merasa bahwa ia telah menjadi seorang yang terhina, maka tanpa banyak cakap ia lari meninggalkan pemuda yang ditolongnya itu dan terus ia mendaki puncak dengan kecepatan luar biasa.
********************
“Bagus, bagus sekali! Heh-heh-heh-heh!” Suara ini disusul ketawa bergelak yang mengumandang di lain bagian dari lereng gunung Thai-san, keluar dari sebuah hutan yang penuh pohon pek. Hutan kecil ini merupakan hutan yang paling kaya akan tumbuh-tumbuhan obat-obatan yang tumbuh liar di bawah pohon pek itu.
“Bagus, wah-wah-wah! Kalau kita pergi ke pasar dan kau main seperti ini, aku memukul tambur dan canang, tentu kita mendapat banyak uang, heh-heh-heh-heh!” Suara itu berteriak-teriak lagi kegirangan. Ternyata suara ini keluar dari mulut seorang kakek yang pendek lucu, yang bukan lain adalah Gan-lopek.
Dia berdiri menari-nari kegirangan, mengangkat ibu jari menyatakan jempolnya sambil memandang ke arah Lin Lin yang sedang bermain-main di atas sebatang balok yang melintang diikatkan pada dua batang pohon di kanan kiri. Tadinya Lin Lin berloncat-loncatan dan bersilat di atas balok yang tingginya dua meter lebih itu, bersilat dengan gesit dan dengan pengerahan ginkang yang luar biasa. Kini gadis itu dengan kedua kakinya dikaitkan pada balok melintang, tubuhnya berayun-ayun dan berputar-putar seperti baling-baling pesawat terbang!
Mendengar ucapan terakhir dari Gan-lopek, Lin Lin yang tadinya merasa bangga dan girang akan pujian-pujian itu, tiba-tiba tubuhnya melayang dan tahu-tahu ia berdiri di depan Gan-lopek sambil bertolak pinggang dan mulutnya cemberut.
“Apa kau bilang, Kek? Kau mau anggap aku seperti komedi monyet, ya? Terlalu sekali!” Tiba-tiba gadis ini memasang kuda-kuda yang aneh, kedua kakinya
jinjit sambil berkata lagi, “Hayo kau layani hasil latihanku, Kek!” Setelah berkata demikian, dengan gerak langkah perlahan Lin Lin bertindak maju dan kedua tangannya diangkat seperti orang memberi hormat, kemudian tiba-tiba didorongkan ke depan, mengarah dada Gan-lopek.
“Ehhh, jangan...!” Gan-lopek kaget setengah mati dan cepat ia membuang diri ke belakang dan bergulingan ketika mendengar desir angin yang dahsyat keluar dari pukulan gadis itu. Hawa pukulan yang amat berbahaya itu menyambar terus ke depan dan....
“Kraaakkkkk!” patah dan tumbanglah batang pohon yang berdiri di belakang Gan-lopek tadi!
“Eh, ganas! Eh, keji!” Gan-lopek melompat-lompat. “Apakah kau hendak membunuh diriku, bocah liar?”
Sejenak Lin Lin sendiri tertegun menyaksikan betapa hebat akibat pukulannya, akan tetapi kemudian ia menjadi girang sekali, menghampiri dan merangkul pundak si kakek sambil tertawa-tawa.
“Masa aku hendak membunuhmu, Kek? Andai kata aku mau, mana mampu? Jangan kau main-main!”
“Heh-heh-heh-heh, kaulah yang main-main. Lin Lin, pukulan-pukulanmu hebat, jurus-jurusmu luar biasa dan kau sudah berhasil. Selamat, selamat....”
“Kek, banyak terima kasih. Kaulah yang memberi petunjuk caraku berlatih sehingga aku dapat menguasai tenaga sinkang yang selalu mendesak di dalam diriku semenjak aku melatih ilmu-ilmu pukulan ini.”
“Hemmm, entah iblis mana yang sudah menurunkan ilmu iblis ini kepadamu. Biar pun kau tidak memberi tahu dan aku pun tidak tertarik untuk mengetahui, namun jurus-jurus yang kau latih ini adalah jurus-jurus iblis yang hanya sejajar dengan ilmu-ilmu yang dimiliki Thian-te Liok-koai. Mengerikan!” Tiba-tiba empek ini meloncat dan memukul-mukul kepalanya sendiri.
“Wah-wah-wah, keenakan bersenang-senang dengan gadis cantik di hutan ini sampai lupa bahwa waktunya telah tiba. Hayo kita ke puncak, jangan-jangan kita akan terlambat menonton pertunjukan yang terhebat di kolong langit!” Setelah berkata demikian, ia menggandeng tangan gadis itu dan diseretnya diajak lari cepat.
Akan tetapi sambil tertawa-tawa Lin Lin merenggut lepas tangannya dan berkata, “Kakek Gan, hayo kita berlomba lari cepat ke puncak!”
Maka berlari-larilah kakek dan gadis itu seperti dua orang iblis beterbangan, cepat bukan main, berloncat-loncatan sambil tertawa-tawa. Diam-diam kakek ini kagum bukan main, mulailah ia meragu apakah pilihan muridnya ini tepat, karena ia melihat sifat-sifat liar dan tak mau ditundukkan dalam diri Lin Lin, sedangkan muridnya, Lie Bok Liong, adalah seorang pemuda yang sabar dan tidak berandalan.
Sementara itu dalam benak Lin Lin timbul pikiran lain dari pada yang dipikirkan Gan-lopek. Gadis ini memikirkan Suling Emas. Selama ini memang ia selalu memikirkan Suling Emas dengan hati mengandung bermacam-macam perasaan. Ia marah dan penasaran karena Suling Emas meninggalkannya dan seperti marah-marah kepadanya, padahal ia memukul roboh seorang perempuan yang menjadi musuh besar Suling Emas.
Mengapa Suling Emas marah-marah kepadanya? Mengapa Suling Emas menolong perempuan yang hampir mampus terkena pukulan saktinya itu? Bukankah perempuan itu bersumpah hendak membunuhi isteri dan anak-anak Suling Emas? Bukankah perempuan yang keji itu di depan kuburan ayahnya menyatakan cintanya kepada Suling Emas? Perempuan macam itu harus dibunuh! Berani mencinta Suling Emas! Dan berani bersumpah hendak membunuh isteri Suling Emas. Padahal isteri Suling Emas, kalau kelak ada tentu... dirinya!
Berpikir sampai di sini, merahlah kedua pipi Lin Lin dan ia menarik napas panjang. Pandang matanya mesra teringat akan peristiwa di gedung perpustakaan kaisar ketika ia dipeluk dan diciumi Suling Emas. Akan tetapi wajahnya menjadi muram karena seketika ia teringat bahwa perbuatan itu dilakukan Suling Emas karena salah duga, mengira dia orang lain! Panaslah perutnya memikirkan hal ini.
Selain marah dan penasaran terhadap pendekar yang dipujanya itu, ia pun merasa khawatir dan gelisah. Oleh karena itu ingin sekali ia lekas-lekas bertemu dengan Suling Emas. Maka setelah Gan-lopek mengajaknya ke puncak, ia seakan-akan hendak terbang agar dapat cepat­cepat sampai ke puncak dan bertemu dengan pujaan hatinya. Sama sekali ia tidak peduli akan pertandingan antara Thian-te Liok-koai yang oleh Gan-lopek disebut sebagai pertunjukkan terhebat di kolong langit itu.
********************
Baik kita tinggalkan dulu Lin Lin dan Gan-lopek yang berlari-larian cepat menuju puncak itu untuk sejenak menengok keadaan Suling Emas yang sudah lama kita tinggalkan.
Ketika Suling Emas menyaksikan dan mendengar sumpah yang diucapkan oleh Bu-eng-sin-kiam Tan Lian di depan kuburan mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui, ia sampai pucat saking tergetarnya perasaannya. Benar-benar hidupnya telah menimbulkan banyak hal-hal yang merupakan mala-petaka besar. Persoalan antara ayah gadis itu dan ibunya sudah dibentangkan oleh Bu Kek Siansu dan merupakan persoalan antara mereka sendiri yang sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya dengan Tan Lian dan dia.
Akan tetapi agaknya kini timbul lagi hal lain yang mencelakakan, yaitu kenyataan pahit bahwa gadis baju hijau, ahli pedang itu, ternyata jatuh cinta kepadanya! Celaka dua belas! Dan Tan Lian bersumpah di depan kuburan ayahnya untuk membunuh isteri dan anak-anaknya!
Dapat dibayangkan betapa hancur hati Suling Emas, betapa duka dan menyesalnya. Akan tetapi percobaan yang menimpa hatinya ini menjadi lebih hebat ketika Lin Lin tiba-tiba muncul dan menyerang Tan Lian tanpa ia mampu mencegahnya. Pukulan yang dahsyat itu tak bisa lain adalah hasil mempelajari ilmu pukulan peninggalan Pat-jiu Sin-ong, hebatnya bukan kepalang dan sekali memeriksa saja tahulah Suling Emas bahwa ia tidak mampu menolong keselamatan nyawa Tan Lian. Tak seorang pun di dunia ini akan mampu, kecuali tentu saja di Raja Obat di lereng Thai-san.
Maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu memondong tubuh Tan Lian. Setelah menegur Lin Lin, ia melesat pergi meninggalkan gadis itu. Ada tiga hal yang membuat ia sengaja meninggalkan Lin Lin sambil memondong tubuh Tan Lian yang terluka hebat, yaitu pertama-tama untuk pergi mencari Yok-ong (Raja Obat) di lereng Thai-san, kedua untuk mewakili mendiang ibunya bertemu dan menguji ilmu dengan para anggota Thian-te Liok-koai. Dan hal yang ketiga adalah karena ia sengaja hendak menjauhi Lin Lin! Ia merasa betapa besar bahayanya kalau ia terus melakukan perjalanan bersama gadis itu.
Gadis remaja itu secara jelas sekali membayangkan kasih sayang kepadanya, membayangkan cinta birahi dan agaknya mempunyai keyakinan bahwa ia pun membalas cinta kasih Lin Lin. Dan inilah yang amat ia khawatirkan. Dekat dengan Lin Lin sama dengan dekat dengan setangkai bunga yang indah jelita, yang semerbak mengharum, yang mendatangkan rasa suka di hati, mendatangkan rasa gembira. Beratlah rasanya untuk mempertahankan hati. Lebih berat dari pada menghadapi seratus orang lawan tangguh.
Ia maklum bahwa lambat-laun ia akan jatuh pula, tak mungkin seorang laki-laki yang normal takkan runtuh hatinya menghadapi seorang gadis yang begitu cantik jelita, dengan muka yang mirip dengan muka bekas kekasihnya, Suma Ceng, dengan watak yang demikian jenaka, gembira, lincah dan dengan hati yang putih bersih tak ternoda sedikit pun kekotoran duniawi. Kalau dilanjutkan pergaulannya dengan Lin Lin, akhirnya sifat
ego-nya akan mengalahkannya, dan kalau sudah terjadi demikian, mau tak mau ia akan mengisi kekosongan hatinya dengan Lin Lin, sebagai pengganti Suma Ceng.
Akan tetapi bukanlah demikian dasar perasaan Suling Emas. Ia tidak ingin merusak hidup Lin Lin. Gadis itu masih seorang remaja, sedangkan dia sudah cukup dewasa, terlalu tua untuk Lin Lin. Hatinya telah terlalu kering untuk bermain cinta. Apa lagi setelah timbul peristiwa semacam sumpah Tan Lian, ia tidak ingin menyeret orang lain, apa lagi Lin Lin yang ia sayang, ke dalam rantai dendam yang mengerikan itu.
Demikianlah, dengan batin menderita Suling Emas berlari cepat membawa Tan Lian ke Thai-san. Harus ia akui bahwa perjalanan beberapa hari bersama Lin Lin cukup membuat ia kini merasa rindu, merasa kehilangan sehingga ia maklum betapa besar bahayanya kalau perjalanan bersama itu dilakukan lebih lama lagi. Suling Emas yang berpandangan luas, tidak marah kepada Lin Lin karena gadis itu memukul Tan Lian secara demikian ganas.
Sebagai seorang yang berpengalaman ia dapat mengerti mengapa Lin Lin melakukan hal itu dan hal ini menambah keyakinannya bahwa tidak salah, Lin Lin mencintanya! Inilah yang membuat Lin Lin memukul Tan Lian. Bukankah Lin Lin ikut pula mendengar sumpah itu? Sumpah yang menjelaskan bahwa Tan Lian mencinta Suling Emas dan akan membunuh isteri dan anak-anaknya? Inilah sebabnya mengapa Lin Lin memukul Tan Lian, karena hendak membelanya, karena... cemburu pula.....

Lanjut ke jilid 28

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)