SULING EMAS : JILID-25

Isterinya girang sekali menyambutnya dan terheran-heran melihat suaminya pulang perang membawa seorang anak perempuan kecil yang cantik mungil! Kam Si Ek menceritakan keadaan anak itu dan terharulah hati isterinya.
"Biar kita pelihara dia. Dia pantas menjadi adik Sian Eng," kata isterinya sambil menimang-nimang anak itu. Anak itu memang lincah dan tertawa-tawa manis.
"Siapakah namamu, anak manis?" berkali-kali Nyonya Kam bertanya.
Anak itu adalah anak Khitan, tidak pandai bahasa asing ini. Akan tetapi agaknya ia cerdik dan mengerti maksud orang, buktinya ia menuding dadanya sendiri dan berkata sambil tertawa-tawa, "Lin Lin... Lin Lin...!"
"Ah, agaknya ia bernama Lin!" kata Nyonya Kam gembira. "Baik, Nak. Mulai sekarang kau adalah anak kami dan bernama Kam Lin!"
Seperti telah direncanakannya semula, Kam Si Ek yang melihat gelagat tidak baik dengan sikap Gubernur Li yang agaknya hendak mendirikan kerajaan sendiri, lalu mengajukan permohonan berhenti. Mengingat jasa-jasanya, maka permohonannya dikabulkan dan berangkatlah Kam Si Ek dengan isteri dan tiga orang anaknya, termasuk Kam Lin, ke dusun Ting-chun di kaki bukit Cin-ling-san. Di lembah sungai Han yang tanahnya subur ini, ia hidup bertani dengan aman dan tenteram.
********************
"Ayah, biarkan aku ikut denganmu. Kalau Ayah hendak mencari musuh-musuh yang telah membunuh Ibu dan membasmi keluarga Ibu, sudah menjadi tugasku pula untuk membantumu, Ayah!" dengan suara merengek Kwee Eng membujuk ayahnya. Mereka duduk di bawah pohon besar, tak jauh dari pondok mereka.
"Tidak bisa, Eng-ji (Anak Eng). Musuh-musuh itu terlalu sakti. Aku sendiri belum tentu dapat melawan dan menangkan mereka, apalagi engkau. membawamu berarti membiarkan engkau terancam bahaya maut."
"Aku tidak takut! Bukankah Ayah sering menyatakan bahwa bagi seorang gagah, maut bukanlah apa-apa? Nama baik lebih penting dari pada maut!"
Kwee Seng atau Kim-mo Taisu mengelus rambut anaknya. "Betul sekali! Karena itulah maka aku harus pergi menunaikan tugas, sedangkan engkau harus berada di sini. Engkau sudah dewasa dan untuk menjaga nama baik keluarga kita, terutama nama baikmu, engkau harus berumah tangga."
"Ayah...!!" tiba-tiba sepasang pipi gadis itu menjadi merah sekali dan sepasang matanya terbelalak seperti mata seekor kelinci berhadapan dengan harimau.
Kim-mo Taisu dan menepuk pundak anaknya. "Mengapa kau merasa ngeri? Sudah semestinya seorang gadis menghadapi pernikahan. Bu Song seorang anak yang baik, dan aku yakin kau akan hidup bahagia sebagai isterinya."
Tiba-tiba Eng Eng menundukkan mukanya yang menjadi makin merah, tidak berani ia menentang pandang mata ayahnya. Kim-mo Taisu mengangguk-angguk dan tersenyum gembira.
"Inilah sebabnya mengapa aku hendak menyuruh Bu Song mengikuti ujian di kota raja. Dia anak baik dan soal perjodohan ini sudah kubicarakan dengannya. Kau tahu, Eng Eng. Bu Song sejak dahulu tidak suka belajar ilmu silat sungguh pun aku belum pernah bertemu orang yang memiliki bakat dan tulang lebih baik dari padanya untuk menjadi pendekar. Dia lebih tekun dan suka belajar sastra. Dan dipikir-pikir memang betul dia. Buktinya ahli-ahli silat selalu hanya terlibat dengan permusuhan dan pertempuran belaka, seperti aku ini. Karena itu dia harus menempuh ujian dan mencari kedudukan yang sesuai dengan kepintarannya. Setelah itu baru kalian menikah, dan kalau sudah begitu hatiku tenteram dan kelak aku akan dapat mati meram."
"Ayah...!" kembali Eng Eng memandang ayahnya, kali ini wajahnya agak pucat.
"Ha-ha mengapa kaget? Orang hidup ke mana lagi akhirnya kalau tidak mati? Kepergianku kali ini tidak akan lama, Eng Eng. Ayahmu hanya akan pergi mencarikan tempat untuk Bu Song. Akan kuselidiki lebih dulu bagaimana keadaan kota raja sekarang ini dan bagaimana pula keadaan mereka yang menempuh ujian. Setelah aku kembali, baru Bu Song kusuruh berangkat. Selama Ayah pergi, kau hati-hatilah di sini bersama Bu Song."
"Ahhh, aku... aku malu, Ayah..."
"Malu? Malu kepada siapa?"
"...Siapa lagi? Malu kepada... dia tentu. Habis, Ayah tidak ada... dan kami... hanya berdua..."
"Ha-ha-ha, anak aneh! Sudah sejak dahulu kau seringkali berdua dengan Bu Song, mengapa malu?"
"Dulu lain lagi, sekarang tidak sama, Ayah. Habis..."
"Sstttt!" tiba-tiba Kim-mo Taisu mendorong tubuh anaknya ke samping dan tubuhnya sendiri melesat ke depan. Sesosok bayangan manusia berkelebat dan di depannya telah berdiri Kong Lo Sengjin yang tertawa lebar.
"Kau...? Belum pergikah engkau? Mau apa kau datang lagi ke sini, Kong Lo Sengjin?" Suara Kim-mo Taisu jelas membayangkan ketidak-senangan hatinya. Sebetulnya ia memang membenci kakek ini yang ia tahu memiliki watak aneh dan tidak baik, sungguh pun harus diakui bahwa kakek lumpuh ini seorang yang setia lahir batin kepada Kerajaan Tang.
"Ha-ha-ha, Kim-mo Taisu. Siapa yang sepatutnya bertanya? Akulah yang semestinya bertanya mengapa engkau belum juga pergi! Ha-ha-ha, orang seperti engkau ini memang tiada gunanya hidup. Apa lagi mempunyai cita-cita! Baru berniat hendak menuntut balas saja masih ragu-ragu dan berlambat-lambatan. Heh-heh, Kim-mo Taisu, ingatlah. Sejak dahulu apakah artinya hidupmu? Kau mengaku sebagai seorang pendekar, sejak kecil engkau mengejar ilmu. Setelah kini menjadi orang pandai, kau hanya menyembunyikan diri, menjadi korban perasaanmu sendiri. Apakah engkau lupa bagaimana kewajiban seorang satria, seorang pendekar? Berbakti kepada negara tak pernah! Semenjak muda hanya menjadi korban perasaan dan nafsu, patah hati dan bermain dengan wanita. Ha-ha-ha! Manusia hidup menanti mati, selagi masih hidup tidak mengisi hidup dengan perbuatan-perbuatan berarti, untuk apa hidup lebih lama lagi? Hanya memenuhi dunia belaka!"
Pucat wajah Kwee Seng.
Melihat ini Eng Eng memegang lengan ayahnya dan dengan kedua pipi basah air mata ia berkata kepada kakek itu, "Kong-kong (kakek), mengapa kau terus mengganggu Ayah? Kau tahu betapa hancur hati Ayah karena kematian ibu, akan tetapi engkau malah terus mengganggunya. Kong-kong, harap kau pergi meninggalkan kami!"
"Ha-ha-ha, Eng Eng! Ibumulah wanita yang patut dikasihani. Ibumu adalah keponakanku dan keluarga ibumu seluruhnya habis musnah. Bahkan ibumu sendiri menjadi korban keganasan musuh. Akan tetapi Ibumu tertipu oleh laki-laki yang kini menjadi Ayahmu ini, yang sama sekali tidak dapat membela nama baiknya. Ibumu adalah seorang berdarah Kerajaan Tang yang jaya!"
"Kong Lo Sengjin!" Kim-mo Taisu membentak marah. "Pergilah! Bukankah sudah kujanjikan bahwa aku akan mencari musuh-musuh keluarga isteriku dan takkan berhenti sebelum membasmi mereka? Pergilah, aku takkan melanggar janji. Mengapa kau masih datang untuk menyakiti hati kami Ayah dan Anak?"
Kong Lo Sengjin tertawa bergelak dan tiba-tiba pada saat itu terdengar suara melengking tinggi. Lengking tinggi yang aneh dan mirip orang tertawa, akan tetapi juga seperti suara tangisan. Bukan seperti suara seorang manusia, patutnya lolong srigala, akan tetapi suara itu mengandung daya yang luar biasa. Tubuh Eng Eng menggigil. Kim-mo Taisu cepat memegang pundak puterinya dan mengerahkan sinkang untuk memperkuat daya tahan puterinya. Kong Lo Sengjin tampak kaget dan berdiri di atas sepasang tongkatnya dengan kepala dimiringkan, wajahnya tegang.
Suara melengking itu terhenti, dan terganti suara orang ketawa terkekeh-kekeh. Kim-mo Taisu cepat mendorong tubuh anaknya sambil berbisik, "Bersembunyilah di sana!"
Eng Eng kaget dan mentaati permintaan ayahnya, ia lari bersembunyi di balik semak-semak sambil mengintai. Dilihatnya betapa ayahnya berdiri tenang akan tetapi keningnya berkerut, kedua kakinya terpentang lebar dan kedua tangannya bersedekap, matanya mengerling ke arah datangnya suara ketawa. Ada pun Kong Lo Sengjin juga kelihatan tegang. Sebagai orang-orang berilmu mereka dapat mengukur kelihaian orang yang akan muncul ini dari suaranya saja. Lengking macam itu hanya dapat dikeluarkan oleh orang yang amat tinggi ilmunya. Karena belum tahu siapa yang datang, kawan atau lawan, sambil menduga-duga mereka menanti dengan hati tegang.
"Heh-heh-heh-heh, Kong Lo Sengjin kakek buntung, hayo berikan kepadaku suling emas itu...!" terdengar suara yang seakan-akan bergema dan seperti diucapkan dari tempat amat jauh.
Kong Lo Sengjin kaget, akan tetapi untuk menutupi kekagetan hatinya ia tertawa. Sambil mengerahkan khikangnya ia pun berseru nyaring, "Tak peduli siluman atau manusia, siapa takut kepadamu? Keluarlah, jangan main sembunyi dan menggertak seperti anak kecil!"
Baru saja ucapan Kong Lo Sengjin ini terhenti, terdengar suara ketawa dan tiba-tiba muncul di situ seorang kakek cebol sekali. Bentuk tubuhnya seperti kanak-kanak belasan tahun, akan tetapi kepalanya besar dengan rambut riap-riapan dan cambang-bauk menutupi mulut dan dagu. Kakinya telanjang tak bersepatu, pakaiannya sederhana dan pada pundaknya hinggap seekor burung hantu yang matanya seperti mata harimau, berwarna merah, sedangkan paruhnya runcing kuat berwarna seperti emas. Baik Kong Lo Sengjin mau pun Kim-mo Taisu tidak melihat bagaimana kakek aneh ini datang, hal ini saja sudah menjadi bukti bahwa tingkat ilmu kepandaian kakek cebol ini amatlah tingginya.
Diam-diam Kim-mo Taisu terkejut. Ia segera mengenal kakek cebol ini yang bukan lain adalah Bu Tek Lojin yang pernah ia jumpai di waktu ia berkelana sampai di Khitan! Akan tetapi Kong Lo Sengjin tidak mengenalnya, bahkan belum pernah mendengar tentang seorang tokoh kang-ouw seperti kakek cebol ini. Maka ia hanya dapat memandang dengan heran dan bertanya-tanya dalam hati, siapa gerangan kakek cebol ini dan mengapa datang-datang menuduhnya mengambil suling emas!
Kalau tadi Bu Tek Lojin, menegur Kong Lo Sengjin, kini setelah melihat Kim-mo Taisu ia tertawa bergelak dan menudingkan telunjuknya kepada Kim-mo Taisu sambil memegangi jenggotnya yang panjang, "Ha-ha-ha-ha! Lucu sekali! Apakah kau sudah sembuh dari penyakit gilamu? Apakah kau sekarang bukan jembel lagi, Kim-mo Taisu?"
Kim-mo Taisu menjura dan menjawab, "Lo-cianpwe salah duga. Dahulu itu saya waras dan sekarang inilah saya benar-benar gila."
"Huah-hah-hah! Betul..., betul sekali...! Eh, bukankah kau terkenal sekali dengan permainanmu sepasang senjata, kipas dan suling? Aha! Kalau begitu tentu kakek buntung ini merampas suling emas untuk diberikan kepadamu!"
Kim-mo Taisu tak sempat menjawab karena ia merasa terheran-heran. Adalah Kong Lo Sengjin yang dibiarkan dan seakan-akan tidak dipedulikan itu, tak dapat menahan lagi kemendongkolan hatinya. Ia menghentakkan tongkat kirinya ke atas batu sambil berteriak, "Tua bangka cebol! Apakah otakmu tidak miring? Kau datang-datang menuntut kembalinya suling emas dariku? Hemmm, kalau suling emas berada padaku, apa kau kira aku masih tinggal di tempat ini?"
"Kong Lo Sengjin! Dahulu ketika engkau masih menjadi Sin-jiu Couw Pa Ong memang kau sudah terkenal jahat. Kini engkau masih sama saja! Tiada hentinya mengumbar nafsu, haus akan kedudukan dan kemuliaan. Siapa tidak tahu bahwa engkau telah membunuh sastrawan Ciu Bun? Nah, suling emas berada di tangannya, kalau dia terbunuh olehmu, bukankah itu berarti sulingnya berada di tanganmu? Hayo kembalikan kepadaku kalau kau masih ingin hidup beberapa tahun lagi!"
"Sombong!" kembali Kong Lo Sengjin membanting ujung tongkatnya. "Kau berani bicara macam ini di depanku?"
"Ha-ha-ha-ha, mengapa tidak berani? Macammu ini apa sih? Pangeran atau Raja Muda yang sudah dipensiun! Pelarian yang tiada harganya! Pecundang yang sudah berkali-kali kalah dan keok dalam memperebutkan kerajaan. Kau mau tahu siapa aku? Namaku Bu Tek Lojin, orang tua tiada taranya! Hayo berikan kepadaku suling emas!"
"Orang gila! Suling emas tidak ada padaku!" jawab Kong Lo Sengjin dengan sebal dan marah.
"Ho-ho-ha-ha! Orang lain boleh kau bohongi, akan tetapi aku tidak! Aku tahu bahwa engkaulah orangnya yang membunuh sastrawan Ciu Bun."
"Betul aku membunuhnya. Siapa takut mengaku? Akan tetapi suling emas tidak ada padaku, juga tidak ada padanya."
"Wah-wah engkau bohong! Menjual kentut busuk!" Bu Tek Lojin mencak-mencak dan marah.
Kim-mo Taisu sudah tahu bahwa kakek cebol itu amat sakti, akan tetapi juga amat aneh wataknya, maka segera ia berkata, "Bu Tek Lojin, aku cukup mengenal watak Kong Lo Sengjin. Dia tidak pernah mau menyangkal perbuatannya. Kalau dia mengambil suling emas, tentu dia akan mengaku."
"Ah, kalian bersekongkol! Mungkin tua bangka ini memberikan suling itu kepadamu. Hayo kalian lekas keluarkan suling itu sebelum aku habis sabar dan main paksa...."
"Setan keparat! Siapa takut padamu?" tiba-tiba Kong Lo Sengjin sudah menyambar datang, tongkat kirinya terayun mengemplang kepala kakek cebol itu.
Hebat serangan ini, mendatangkan angin keras. Kim-mo Taisu hendak mencegah, tapi tidak keburu. Namun kakek cebol itu memang amat tinggi tingkat kepandaiannya. Sekali tubuhnya menggelinding, tongkat itu menyambar angin dan tahu-tahu perut Kong Lo Sengjin telah diserangnya dengan serudukan kepalanya yang besar!
"Celaka...!" Kong Lo Sengjin berseru kaget.
Cepat ia mengerahkan tenaga menekan tongkat dan tubuhnya mencelat ke atas. Ia berjungkir balik dan dapat turun kembali ke atas tanah, akan tetapi mukanya pucat sekali dan napasnya terengah, perutnya terasa panas biar pun hanya terkena sambaran hawa serangan yang keluar dari kepala kakek tadi. Ia tahu betul bahwa andai kata ia tadi kurang cepat dan perutnya sempat dibentur kepala si Cebol, tentu nyawanya takkan tertolong lagi!
"Ho-ho-ha-ha! Kong Lo Sengjin kiranya bukan apa-apa, hanya namanya saja yang besar. Hayo kalian maju berdua!" Setelah berkata demikian, kakek cebol itu sudah menerjang Kim-mo Taisu yang terdekat. Kedua tangannya melancarkan serangan dengan pengerahan tenaga sakti sehingga sebelum kepalan tiba, angin pukulannya sudah terasa amat hebatnya.
Kim-mo Taisu tidak bermusuhan dengan kakek cebol ini, akan tetapi karena diserang terpaksa ia melayani. Pula ia tahu bahwa Kong Lo Sengjin pasti tidak mengambil suling emas seperti yang dituduhkan, maka dalam hal ini kalau terjadi pertempuran, ia harus membela pihak yang tidak bersalah. Melihat datangnya pukulan yang amat ampuh, Kim-mo Taisu yang sekarang merasa sudah kuat hawa saktinya sengaja menangkis sambil mengerahkan tenaganya ke arah tangan.
"Dukkkk!!!" dua tangan yang penuh terisi tenaga sakti itu bertemu.
Kuda-kuda kaki Kim-mo Taisu tergempur sehingga tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, akan tetapi tubuh kakek cebol itu melayang bagaikan sebuah layangan putus talinya. Namun jangan disangka bahwa kakek ini terlempar karena kalah tenaga. Sama sekali bukan. Namun kakek sakti ini jauh lebih cerdik dan lebih berpengalaman dari pada Kim-mo Taisu.
Melihat Kim-mo Taisu berani menangkis dan menghadapi pukulannya secara keras lawan keras, kakek ini sudah menduga bahwa Kim-mo Taisu memiliki tenaga sakti yang ampuh pula. Apalagi dahulu ia pernah pula melihat sepak terjang Kim-mo Taisu. Maka ia mempergunakan kecerdikannya. Di samping menggunakan tangkisan untuk mengadu tenaga, ia pun meminjam tenaga gempuran itu untuk membuat tubuhnya melayang. Melayang bukan sekedar melayang, melainkan melayang ke arah Kong Lo Sengjin yang dipukulnya selagi tubuhnya melayang itu!
Kong Lo Sengjin terkejut. Akan tetapi ia pun seorang yang sakti dan berpengalaman. Maklum bahwa pukulan dari udara ini amat berbahaya, tidak kalah bahayanya oleh serudukan kepalanya ke perut tadi, kakek lumpuh ini lalu mengangkat tongkat kanannya dan menyapu tubuh kakek cebol itu dengan tongkat sambil mengerahkan tenaga.
"Aiiihhh!" si Kakek Cebol berseru.
Tubuhnya yang masih melayang di udara itu tiba-tiba dapat mengelak dan seperti seekor burung saja tubuhnya sudah menyambar turun menghantam tubuh Kong Lo Sengjin bagian kiri. Tentu saja hal ini membuat Kong Lo Sengjin menjadi sibuk sekali. Kedua kakinya sudah lumpuh dan diganti dengan dua tongkat yang di pegangnya. Kini tongkat kanannya masih terangkat untuk menyerang tadi sehingga keadaannya seakan-akan seperti orang menendang dengan kaki kanan. Maka kini diserang bagian tubuh kiri, ia tentu saja menjadi repot.
Namun dasar ia lihai sekali. Secepat kilat tongkat kanannya menyambar turun dan memukul tanah. Tenaga pukulan ini membuat tubuhnya dapat melompat sambil menggerakkan tongkat kiri menangkis. Namun karena agak terlambat dan kalah duluan, tangkisannya kurang kuat sehingga begitu tongkatnya terbentur lengan Bu Tek Lojin, tubuh kakek lumpuh ini mencelat dan terhuyung-huyung hampir roboh terguling.
"Hua-ha-ha-ha, bagus... bagus....!" Bu Tek Lojin bersorak-sorak, tertawa-tawa dan menepuk-nepuk kedua pahanya dengan girang sekali, sikapnya jelas mengejek si Kakek Lumpuh.
Kemudian tiba-tiba ia sudah meloncat lagi menyerang Kim-mo Taisu yang sudah sempat memperbaiki kedudukannya. Serangan ini merupakan serangan jurus yang amat aneh dan cepat. Kelihatannya kedua lengannya itu tidak mengandung tenaga ketika bergerak, seperti orang menari saja, akan tetapi begitu dekat dengan tubuh lawan, terasa betapa gerakan itu mengandung tenaga pukulan yang dahsyat. Ternyata kakek cebol ini menggunakan Ilmu Khong-in yang sakti, yaitu ilmu pukulan yang kelihatan kosong, akan tetapi kekuatannya dapat merobohkan gunung, maka disebut Khong-in-liu-san.
Biar pun Kim-mo taisu juga seorang yang berilmu tinggi, namun belum pernah ia menghadapi ilmu seperti ini, maka ia terjebak dan mengira si Kakek Cebol hanya main-main dan tidak menyerang sungguh-sungguh. Maka ia pun hanya menggunakan kegesitannya mengelak dan siap pula menangkis kalau ada susulan pukulan yang berat. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa begitu pukulan kakek itu mendekati tubuhnya, ia merasa dorongan yang hebat ke arah dada. Cepat ia mengerahkan tenaga pula dan hendak menangkis akan tetapi tubuh lawannya tiba-tiba miring seperti orang jatuh dan dari pinggirlah datangnya pukulan yang sesungguhnya! Kim-mo Taisu terkejut dan cepat meloncat, namun tidak keburu atau kurang cepat.
“Brettt!” terdengar suara dan ujung baju Kim-mo Taisu telah robek dan hancur kena sambaran pukulan sakti si Kakek Cebol.
"He-he-ha-ha!" Bu Tek Lojin bersorak-sorak dan bertepuk-tepuk tangan saking girangnya karena dalam dua jurus berturut-turut ia telah memperoleh kemenangan terhadap kedua orang lawannya.
Mendongkollah hati Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin. Kakek cebol ini selain lihai juga cerdik, sengaja melayani mereka berdua secara bergantian dan mengirim serangan-serangan yang tak terduga-duga. Maka kedua orang itu sekarang melangkah maju dan mengurung Bu Tek Lojin yang masih terkekeh-kekeh dan enak-enak saja.
Bu Tek Lojin melihat betapa sinar mata Kong Lo Sengjin mengeluarkan sinar maut, sedangkan Kim-mo Taisu sudah mengeluarkan sebuah kipas. Sedangkan untuk mengganti pedang atau suling, Kim-mo Taisu mengeluarkan sebuah guci arak yang selalu tergantung di punggungnya. Jangan dipandang remeh sepasang senjata yang menjadi lambang sastrawan pemabokan ini, karena dengan sepasang senjata aneh ini, Kim-mo Taisu jarang menemui tanding!
Akan tetapi si Kakek Cebol masih enak-enak tertawa, malah kini mengelus-ngelus kepala burung hantu yang sejak tadi masih saja duduk di pundaknya, seakan-akan tidak tahu menahu akan pertempuran itu.
"Bu Tek Lojin, kau memang lihai sekali. Akan tetapi di antara kita tidak ada permusuhan, mengapa engkau memancing pertempuran?" Kim-mo Taisu masih menahan kemarahannya dan memberi peringatan. "Harap kau orang tua suka pergi meninggalkan kami dan jangan melanjutkan pertempuran yang tidak ada gunanya ini."
"Heh-heh, siapa bilang tidak ada permusuhan? Kalau kalian tidak mengembalikan suling emas, aku tidak mau sudah! Eh, Kim-mo Taisu, apakah kau takut? Heh-heh-heh!"
Mendongkol rasa hati Kim-mo Taisu. Kakek cebol ini boleh jadi lihai sekali, akan tetapi sama sekali dia tidak takut. "Siapa takut? Aku hanya mengingatkan kepadamu bahwa pertandingan ini tidak ada gunanya. Aku tidak tahu menahu tentang suling emas yang kau tanyakan, juga aku berani tanggung bahwa Kong Lo Sengjin tidak menyimpannya."
"Ah, mengapa banyak cakap? Kakek cebol ini terlalu sombong dan sudah bosan hidup!" berkata demikian Kong Lo Sengjin sudah menerjang maju lagi, kini selain menerjang hebat, juga mengarahkan tongkatnya pada bagian berbahaya. Pendeknya, serangannya kini adalah serangan maut yang amat dahsyat.
Kembali tubuh si Kakek Cebol meyelinap dan menyambar lewat samping tongkat, mendekati Kim-mo Taisu dan mengirim tendangan ke arah Kim-mo Taisu. Terpaksa Kim-mo Taisu menggerakkan kipasnya dan dengan menutup kipas ia menyambut tendangan itu dengan sebuah totokan. Namun Bu Tek Lojin yang lincah gerakannya itu telah menarik kembali kakinya, tertawa-tawa dan tiba-tiba tubuhnya membalik. Kini ia ganti menerjang Kong Lo Sengjin dengan pukulan jarak jauh yang dilakukan secara mendadak! Angin menyambar hebat dan biar pun kakek lumpuh ini sudah bersiap-siap menahan serangan itu, tidak urung tubuhnya bergoyang-goyang seperti pohon besar tertiup angin.
Dengan rasa penasaran Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin lalu menerjang dari depan dan belakang. Kakek cebol itu tubuhnya melesat ke sana ke mari, menyelinap di antara sinar senjata lawan. Burung hantu itu mengeluarkan suara keras dan menyambar-nyambar bergantian berusaha mematuk mata kedua orang yang mengeroyok majikannya!
Kong Lo Sengjin mengeluarkan suara menggereng seperti harimau. Hatinya geram dan penasaran sekali. Dia adalah seorang tokoh yang terkenal, ditakuti di dunia kang-ouw. Dalam perang mempertahankan dan membela Dinasti Tang, kakek ini hanya kalah kalau menghadapi pengeroyokan banyak tokoh sakti. Akan tetapi sekarang, menghadapi seorang kakek cebol, masih dibantu Kim-mo Taisu yang dalam hal ilmu kepandaian belum tentu kalah olehnya, masih tidak mampu merobohkan setelah menerjang terus sampai belasan jurus!
Di lain pihak, Kim-mo Taisu juga merasa penasaran. Akan tetapi pendekar ini tidaklah begitu bernafsu untuk membunuh kakek cebol ini karena sesungguhnya di antara mereka tidaklah terdapat permusuhan. Pula ia memang telah maklum bahwa kakek ini adalah seorang sakti yang luar biasa.
Selagi tiga orang sakti ini sibuk bertanding, tak mau saling mengalah, tiba-tiba terdengar suara dentang-denting yang amat merdu. Suara itu tak salah lagi adalah suara musik yang-khim (semacam siter) yang suaranya nyaring dan iramanya tenang, lagunya merdu. Akan tetapi pengaruhnya benar-benar luar biasa sekali. Seketika tiga orang yang sedang bertempur dengan hati panas itu seperti disiram air dingin.
Yang hebat adalah kakek cebol itu. Matanya terbelalak, berputar-putar, mukanya menoleh ke kanan kiri seperti orang ketakutan, kemudian ia melompat dan melarikan diri, diikuti burung hantunya setelah berkata gemetar, "Dia datang...! Benar-benar datang... Bu Kek Siansu...!"
Mendengar disebutnya nama ini, seketika wajah Kong Lo Sengjin berubah. Di dunia ini tidak ada orang yang ia takuti, akan tetapi mendengar nama Bu Kek Siansu, ia merasa tidak enak. Sudah terlalu banyak ia mendengar akan nama kakek yang dikabarkan setengah dewa ini dan ia merasa betapa sepak terjangnya selama ini merupakan modal yang amat tidak menyenangkan untuk dibawa berjumpa dengan Bu Kek Siansu. Apalagi melihat betapa seorang sedemikian lihainya seperti kakek cebol itu saja lari ketakutan, hatinya makin jeri. Tanpa berkata apa-apa kakek lumpuh ini lalu melompat dan sebentar saja lenyap dari tempat itu.
Eng Eng yang melihat dua orang itu telah pergi meninggalkan ayahnya lalu melompat ke luar dari tempat sembunyinya dan memeluk ayahnya. Kim-mo Taisu menyimpan kembali kipas dan guci araknya. "Benar-benar berbahaya sekali...," katanya sambil menarik napas panjang, kemudian ia pun celingukan memandang ke kanan kiri, pandang matanya mencari-cari.
Suara denting tadi masih terdengar terus, makin lama makin jelas. Eng Eng yang mendengar ini membelalakkan matanya dan memegang lengan ayahnya makin erat. "Ayah, kau dengarkah itu? Suara yang-khim di tengah hutan! Siapa gerangan...?"
"Sssstt, diamlah, Eng Eng. Agaknya kita mendapat anugerah dan kehormatan berjumpa dengan seorang suci. Mari kita menyongsong beliau."
Dengan perasaan heran dan takut-takut Eng Eng mengikuti ayahnya menuju ke arah suara yang-khim, tanpa melepaskan lengan ayahnya yang ia ganduli. Tak lama kemudian tibalah mereka di tempat terbuka di hutan itu dan tampaklah seorang kakek duduk di atas batu, duduk bersila dan memangku sebuah yang-khim yang ditabuhnya dengan cara memetik senar-senar itu dengan jari-jari tangan.
Kakek itu duduk membelakangi mereka dan ketika mendengar kakek itu kini mulai bernyanyi sambil asyik memetik yang-khim, Kim-mo Taisu tidak berani menegur, bahkan lalu berdiri tegak bersedekap dan mendengarkan dengan teliti. Eng Eng juga ikut pula mendengarkan. Suara yang-khim itu sungguh merdu dan sedap didengar, kini mengiringi suara kakek yang bernyanyi perlahan, suaranya lembut seperti orang membaca doa.
Bahagialah kita sesungguhnya,
tidak membenci mereka yang membenci kita!
Bahagialah kita sesungguhnya,
bebas dari pada penyakit di antara mereka yang sakit!
Bahagialah kita sesungguhnya,
bebas dari pada tamak di antara mereka yang tamak!
Bahagialah kita sesungguhnya,
biar pun kita tidak memiliki apa-apa!
Kemenangan mengakibatkan kebencian,
karena yang dikalahkan takkan senang.
Bahagialah dia sesungguhnya,
yang telah dapat membuang kemenangan dan kekalahan!

Kim-mo Taisu yang mendengarkan nyanyian ini gemetar tubuhnya. Eng Eng kurang mengerti akan isi nyanyian, maka ia sebentar-sebentar memandang ayahnya, sebentar-sebentar menoleh ke arah kakek yang hanya tampak punggungnya saja itu.
Kakek tua yang rambutnya sudah putih semua itu bernyanyi lagi, lagu dan iramanya berbeda dari pada tadi, akan tetapi suaranya masih tetap halus merdu seperti orang berdoa.
Penyelesaian kebencian besar yang masih meninggalkan sisa dendam,
bagaimanakah dapat dianggap memuaskan?
Itulah sebabnya seorang bijaksana memegang teguh perjanjian,
tapi tidak menagih orang yang berhutang.
Maka seorang budiman memilih persetujuan,
seorang sesat menuntut dengan paksaan.
Jalan langit tidak memandang bulu,
namun orang baik selalu dibantu!

Kim-mo Taisu mengenal kata-kata yang dinyanyikan itu. Yang pertama adalah pelajaran dalam kitab Agama Buddha, ada pun yang terakhir adalah pelajaran dalam kitab Agama To. Yang membuat perasaan Kim-mo Taisu terguncang adalah isi pelajaran itu yang seakan-akan menamparnya karena cocok sekali dengan keadaan dirinya sehingga ia merasa tersindir.
Cepat ia melangkah maju, menjura dan berani mengeluarkan suara setelah suara yang-khim terhenti. "Terima kasih atas nasehat-nasehat Siansu, dan selanjutnya saya mohon petunjuk!"
Hening sejenak, tubuh yang duduk di atas batu itu tidak bergerak. Kemudian batu yang diduduki itu terputar, tubuh yang duduk di atasnya ikut pula terputar dan kakek itu telah berhadapan muka dengan Kim-mo Taisu. Melihat ini Eng Eng menjadi heran sekali, heran dan kagum. Ia adalah seorang gadis yang semenjak kecil menerima gemblengan ilmu silat tinggi, tahu pula akan tenaga-tenaga mukjijat dalam tubuh manusia, sudah melatih diri dengan sinkang, lweekang, khi-kang, dan ginkang. Akan tetapi melihat kakek yang bersila di atas batu besar itu tanpa bergerak dapat memutar batu yang didudukinya, benar-benar ia merasa seperti berhadapan dengan ilmu sihir!
Kakek tua renta itu wajahnya membayangkan ketenangan luar biasa dan sinar matanya yang lembut itu seakan-akan telah waspada akan segala hal di sekelilingnya. Sejenak kakek itu memandang Kim-mo Taisu, kemudian melirik ke arah Eng Eng dan alis matanya yang putih bergerak-gerak. Kemudian terdengar ia menarik napas panjang dan berkata perlahan, "Segala sesuatu pun terjadilah sesuai dengan kehendak-Mu! Namun kewajiban manusia untuk berusaha....."
Setelah berkata demikian, matanya bersinar dan wajahnya berseri ketika ia menatap muka Kim-mo Taisu. Dengan tenang tapi ramah kakek itu menegur, "Kwee-sicu (Orang Gagah she Kwee), puluhan tahun tak bertemu, kiranya Sicu telah dimatangkan oleh pengalaman hidup. Aku mendengar pula bahwa Sicu telah menggunakan nama Kim-mo Taisu. Bagus sekali, dengan demikian berarti Sicu menempatkan diri sebagai orang yang telah sadar dari pada segala ikatan karma."
Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepalanya dengan muka sedih, lalu berkata, "Siansu, dalam pertemuan kita pertama dahulu, Siansu telah memberi petunjuk dan saya telah berhutang budi kepada Siansu. Sekarang pun, Siansu telah menunjukkan jalan yang terang, akan tetapi terpaksa sekali saya harus mengecewakan hati Siansu dengan memilih jalan gelap."
Muka yang tua akan tetapi masih tampak bercahaya dan segar berseri di balik keriput dan jenggot putih itu tersenyum lebar. "Yang tidak mengharapkan takkan kecewa, Sicu. Aku tidak mengharapkan apa-apa maka tidak mengenal rasa kecewa. Aku tidak merasa melepas budi, maka tidak pernah menghutangkan. Jalan terang atau gelap hanyalah tergantung anggapan si pemandang dan si pelaku. Sicu masih menganggapnya gelap, apakah gerangan yang mendorong Sicu?"
Kim-mo Taisu menjawab, "Bu Kek Siansu yang mulia, sungguh saya malu untuk mengaku. Akan tetapi sesungguhnya saya merasa sebagai seorang manusia yang selalu diperhamba nafsu, hidup yang lalu hanya semata untuk diperhamba nafsu dan mementingkan diri pribadi. Oleh karena itulah, Siansu, sisa hidup saya akan saya isi dengan pelaksanaan kewajiban-kewajiban sebagai seorang yang telah mempelajari ilmu. Banyak orang pandai telah mengkhianati negara, membantu pemberontak-pemberontak sehingga raja-raja jatuh bangun silih berganti. Orang-orang pandai itulah yang mengacaukan negara, dosa mereka telah bertumpuk-tumpuk dan perlu dibasmi. Sudah menjadi kewajiban saya untuk menghadapi mereka, karena bukankah tugas seorang gagah untuk membela negara?"
Bu Kek Siansu mengangguk-angguk dan tertawa. "Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia (Bekerja untuk rakyat dan negara, itulah paling mulia)! Memang kebenaran ini bagi seorang gagah tak dapat disangkal pula, Sicu. Akan tetapi rakyat yang mana? Negara yang mana? Semenjak Kerajaan Tang roboh, diganti Kerajaan Liang Muda, Tang Muda, Cin Muda, dan sekarang Han Muda, apakah rakyatnya berganti? Raja-raja yang memegang tahta kerajaan semenjak jatuhnya Kerajaan Tang, apakah juga berganti bangsa? Kemudian muncul Kerajaan-kerajaan Hou-han, Wu-yue, Nan-cao, Shu, Nan-han, Min dan lain-lain, apakah rajanya dan rakyatnya juga bangsa lain? Siapakah yang benar di antara orang-orang gagah? Mereka yang membela Tang lama, ataukah yang membela Hou-han, Wu-yue dan lain-lain? Semua itu juga berdasarkan bekerja untuk rakyat dan raja. Kebetulan Sicu hendak membela Kerajaan Tang lama, karena Sicu merasa sebagai warga Dinasti Tang, dan karena Sicu ada hubungan keluarga dengan Kerajaan Tang!"
Kim-mo Taisu terkejut. Seperti dibuka matanya, dan ia menjadi bingung. Perang dan permusuhan tiada hentinya, kerajaan-kerajaan mucul, mereka semua berperang dengan dalih membela kebenaran. Siapakah yang sesungguhnya benar?
"Siansu, mohon petunjuk...!" Kim-mo Taisu menjatuhkan diri berlutut dan Eng Eng ikut pula berlutut. Gadis ini bingung dan sama sekali tidak mengerti jelas apa yang dibicarakan ayahnya dan kakek tua itu, hanya merasa tak senang karena agaknya si Kakek ini hendak mencela ayahnya yang hendak membela Kerajaan Tang yang sudah roboh.
Bu Kek Siansu tersenyum. Sekali lagi ia menatap tajam ke arah wajah Eng Eng dan Kim-mo Taisu, kemudian ia menghela napas panjang. "Kewajiban manusia untuk berusaha, namun Tuhan berkuasa menentukan. Kewajiban manusia untuk memenuhi tugas tanpa melibatkan diri pribadi dalam tugas yang dilaksanakannya, ini berarti memenuhi perintah Tuhan dengan setulus hati. Sekali melibatkan diri dalam tugas, berarti bekerja untuk nafsu dirinya dan pekerjaan itu menjadi kotor ternoda nafsu-nafsu mementingkan diri pribadi. Manusia hidup di dunia sudah mempunyai tugas kewajiban masing-masing. Penuhilah kewajibanmu dengan tulus ikhlas, lakukanlah apa yang menjadi kewajibanmu masing-masing dan segala apa akan berjalan beres lancar dan baik. Jangan sekali-kali meninggalkan tugasnya sendiri lalu hendak melakukan tugas orang lain, hal ini tentu akan menimbulkan kekacauan dan kerusakan. Tugas guru ialah mengajar, tugas murid belajar, tugas tentara berperang membela negara, tugas orang tua mendidik, tugas anak berbakti, tugas pemimpin ialah memimpin. Masing-masing mempunyai tempat sendiri dan kalau masing-masing memenuhi tugasnya dengan baik dan sempurna tanpa ditunggangi nafsu mementingkan diri pribadi, alangkah akan baiknya keadaan dunia ini. Akan tetapi sekali orang meninggalkan tugas sendiri mencampuri tugas orang lain, rusaklah!"
Kim-mo Taisu mengangguk-angguk. "Mohon petunjuk apa yang harus saya lakukan, Siansu?"
"Sicu bukan tentara, jangan mencampuri urusan tentara! Kalau Sicu ingin melakukan tugas tentara, masuklah dulu menjadi tentara. Setelah masuk sekali pun, bukan tugas Sicu untuk bertindak menurut kehendak sendiri karena tugas seorang tentara mentaati perintah pimpinan! Kalau Sicu merasa menjadi pendekar silat, tugas Sicu sudah jelas, menegakkan kebenaran dan keadilan, membela si lemah tertindas menentang si kuat yang jahat. Kalau Sicu merasa diri sebagai seorang pendeta, tugas Sicu sudah jelas pula, memberi penerangan kepada yang gelap, memberi tuntunan bagi mereka yang sesat. Karena itu, kalau boleh aku memberi nasehat, marilah Sicu ikut dengan saya, memperdalam ilmu kebatinan agar dalam menjalankan tugas kelak, Sicu takkan sesat jalan. Pengertian tentang ini amat penting karena banyak orang yang menyeleweng dari pada tugas hidupnya tanpa ia sadari!"
Kim-mo Taisu mengerutkan kening dan menggeleng kepala. "Maaf, Siansu. Betapa pun juga, saya harus melaksanakan kehendak hati saya lebih dulu. Orang-orang seperti Ban-pi Lo-cia dan kawan-kawannya terlalu jahat untuk dibiarkan saja merajalela. Setelah saya melaksanakan tugas ini, barulah saya akan menghadap Siansu."
Bu Kek Siansu menggeleng-geleng kepala, menarik napas panjang. "Sicu banyak menderita, isteri dan semua keluarga isteri terbunuh, kebencian berakar di hati, berdaun dendam, berbunga sakit hati dan berbuah saling bunuh! Sekali lagi, Sicu, bawalah puterimu pergi dari tempat ini dan mari ikut dengan aku ke tempat terang..."
"Sekali lagi maaf, Siansu. Biarlah kelak saya akan mencari dan menghadap Siansu...."
Bu Kek Siansu berdiri, memanggul yang-khim, dan tertawa sambil menengadahkan muka ke atas. "Seorang manusia kecil macam aku ini, apa artinya dibanding dengan kekuasaan Tuhan? Segala kehendak-Mu pasti terjadi, tiada kekuasaan di dunia mau pun akhirat yang mampu merubahnya...." Kakek itu lalu bernyanyi dan turun dari batu karang, berjalan perlahan meninggalkan tempat itu. Suara nyanyiannya terdengar makin perlahan dan akhirnya lenyap.
Setelah suara kakek itu tak terdengar lagi, barulah Kim-mo Taisu bangkit berdiri sambil menarik tangan puterinya. Ia menarik napas panjang dan wajahnya membayangkan penyesalan dan kekecewaan hebat. "Sayang sekali bahwa aku tidak dapat menaati nasehatnya dan ikut pergi dengannya, Eng Eng...."
"Siapakah dia, Ayah?"
"Dia seorang yang bahagia, Anakku. Seorang yang sudah dapat membabaskan diri dari segala-galanya, dia disebut orang Bu Kek Siansu, manusia setengah dewa."
"Akan tetapi dia begitu peramah dan halus sikapnya, mengapa Kakek Cebol dan Kong-kong yang sakti lari ketakutan?"
Kim-mo Taisu tersenyum. "Bicara tentang kesaktian, Bu Kek Siansu sukar dicari keduanya, dan sukar diukur sampai di mana tingkatnya. Akan tetapi yang membuat ia disegani semua tokoh bukan hanya kesaktiannya, terutama sekali karena sikapnya. Ia tidak pernah melawan, tidak pernah mendendam, tidak pernah membenci, dan selalu mengulurkan tangan kepada siapa pun juga, tidak peduli orang baik mau pun jahat. Inilah yang membuat Bu Kek Siansu menjadi manusia sakti yang ditakuti. Orang-orang yang merasa telah berbuat sewenang-wenang mengandalkan kepandaiannya, segan dan malu berjumpa dengannya."
"Ayah, tadi Bu Kek Siansu menganjurkan Ayah supaya mengundurkan diri dan tidak melibatkan diri dengan urusan perang. Bukankah begitu? Kalau Ayah menganggap dia seorang yang amat mulia dan sakti patut diturut nasehatnya, mengapa Ayah masih melanjutkan niat Ayah mencari dan membasmi musuh?"
Kim-mo Taisu menarik napas panjang sebelum menjawab, lalu memegang lengan puterinya, diajak kembali ke pondok sambil berkata, "Engkau tentu tahu akan semua penderitaan ibumu. Sesungguhnyalah, tadinya tidak sedikit pun hatiku tertarik akan persoalan perang. Akan tetapi mengingat betapa ibumu menderita, mengingat pula akan harapan ibumu, maka aku harus membalaskan semua penderitaan itu kepada mereka yang menjadi sebabnya. Hanya dengan jalan ini sajalah aku dapat membalas budi ibumu, Eng Eng. Seperti telah kukatakan tadi sebelum datang gangguan, aku akan pergi mencarikan tempat untuk Bu Song. Kau baik-baiklah di sini bersama Bu Song. Paling lama dua tiga bulan aku tentu datang kembali."
Maka berangkatlah pendekar ini meninggalkan puncak Min-san. Niatnya hendak lebih dulu mengunjungi Shan-si di mana kini telah berdiri Kerajaan Hou-han. Selain hendak menyelidiki tentang kerajaan baru ini dan tentang kemungkinan masa depan yang baik bagi calon mantunya, juga ia hendak menemui Tok-siauw-kwi yang oleh Kong Lo Sengjin di sebut-sebut sebagai seorang di antara musuh-musuh mereka! Dari Hou-han ia akan mengunjungi kerajaan-kerajaan lain, mencarikan tempat untuk calon mantunya menempuh ujian dan mendapatkan kedudukan.
Sementara itu Eng Eng yang ditinggal ayahnya dan kini sudah tahu bahwa dia ditunangkan dengan Bu Song, menanti pulangnya pemuda itu dengan hati berdebar-debar. Ia merasa malu, bingung dan takut bertemu muka dengan pemuda itu, pemuda yang biasanya menjadi kawan bermain sejak kecil, yang ia anggap seperti saudara atau kakak sendiri.
Sejenak ia tersipu-sipu ketika teringat betapa beberapa hari yang lalu Bu Song pernah menciumnya, biar pun bukan hal aneh kalau Bu Song menciumnya, seperti sering dilakukannya sejak mereka masih kanak-kanak. Dan Bu Song agaknya telah tahu akan perjodohan mereka ketika menciumnya kemarin dulu! Teringat akan ini, gemetar tubuh Eng Eng dan membuatnya gelisah ketika menanti pulangnya Bu Song. Entah sudah berapa kali ia meneliti bayangannya di cermin, akan tetapi selalu ia masih khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang tidak beres pada rambut atau pakaiannya.
********************
Lu Sian duduk termenung di dalam kamarnya dalam istana Kerajaan Hou-han yang indah dan mewah. Keadaan mewah, kehidupan yang serba cukup, berenang dalam lautan kemewahan dan kedudukan tinggi mulia yang diperoleh semenjak ia tinggal di dalam istana ini mulai membosankannya. Kini hatinya risau. Ternyata pemuasan nafsu-nafsunya selama ini, memilih pangeran dan orang-orang muda sesuka hatinya, hanya merupakan kesenangan lahir yang sementara saja. Ia tetap merasa kurang puas, tetap belum dapat merasakan kebahagiaan hidup. Kesenangan tak pernah dapat puas, makin dikejar makin hauslah ia, dan akhirnya malah menimbulkan rasa muak dan jemu. Kebosanan menggerogoti hatinya setiap malam sunyi kalau ia sudah tidak ada hasrat pula memilih teman.
Memang tiada kesenangan di dunia ini yang akan dapat mendatangkan bahagia. Kesenangan lahir hanya akan dinikmati oleh tubuh dalam waktu singkat saja. Kesenangan lahir hanya indah apabila dikejar dan belum dapat diperoleh. Namun, sekali berada di tangan, kesenangan itu bukan kesenangan lagi, malah menimbulkan bosan.
Lu Sian duduk menghadapi meja, memandang lilin yang bernyala tenang karena terlindung dari gangguan angin. Ia merenung memikirkan keadaan dirinya. Dalam keadaan seperti itu, rindu yang hebat menggoda hatinya, rindu kepada puteranya! Belasan tahun sudah ia meninggalkan puteranya. Kini usianya sudah empat puluh tahun lebih. Puteranya tentu telah menjadi seorang pemuda dewasa. Alangkah rindu hatinya untuk dapat berjumpa dengan puteranya, dengan Bu Song! Seringkali air matanya bertitik turun apabila ia mengenangkan puteranya dan penyesalan menusuk-nusuk hatinya.
Di dalam istana ia selalu dilayani amat baik oleh Coa Kim Bwee, sahabat dan muridnya yang setia. Banyak sudah ilmu ia turunkan kepada wanita selir raja itu dan sekarang Kim Bwee telah menjadi seorang wanita yang berilmu tinggi pula. Namun Kim Bwee selalu bersikap hormat dan manis kepadanya.
"Aku harus pergi dari sini," keluhnya dalam hati. Ia sudah bosan! Ingin ia bebas lagi, terbang melayang tanpa tujuan. Alangkah nikmatnya hidup bebas.
Kasihan Liu Lu Sian. Ia dipermainkan nafsunya sendiri. ia tidak tahu bahwa kebebasan liar seperti itu pun hanya indah dan nikmat dalam khayalan belaka. Kenyataannya tentu akan jauh berbeda dengan khayalan. Ia kini merasa rindu kepada puteranya, ingin ia mencari puteranya dan hidup di samping puteranya. Ia kini maklum bahwa usia tua akan menelannya, perlahan akan tetapi pasti ia akan diseret ke jurang kematian yang tak dapat dielakkan lagi. Biar pun ia dapat mempertahankan wajah dan tubuhnya sehingga tetap kelihatan muda, namun ia tahu bahwa ia tidak akan dapat mempertahankan usia mudanya.
"Bu Song...!" ia mengeluh lagi, teringat betapa kini namanya sudah menjadi buah bibir orang. Betapa sebagian besar orang kang-ouw memusuhinya.
Dia tidak takut. Apalagi selama berada dalam istana ini, ia berada di tempat yang aman dan kuat. Sukar bagi musuh-musuhnya untuk mencapainya. Jangankan di dalam istana di mana ia mempunyai banyak teman dan pembela, bahkan andai kata ia berada di luar sekali pun, ia tidak akan gentar menghadapi musuh-musuhnya. Akan tetapi kalau ia teringat akan puteranya, mau tak mau ia menjadi menyesal sekali. Bagaimana perasaan puteranya kalau tahu bahwa ibunya adalah seorang wanita yang dianggap iblis betina? Seorang wanita gila laki-laki dan suka mencari musuh?
Padahal ia dapat menduga bahwa Bu Song tentu terdidik sebagai seorang laki-laki yang baik oleh ayahnya, Kam Si Ek! Ia teringat akan bekas suaminya ini, seorang laki-laki gagah perkasa yang menjujung tinggi kebajikan dan kesetiaan. Seorang laki-laki yang anti seratus prosen akan perbuatan maksiat!
Tiba-tiba Lu Sian tersentak kaget dan sadar dari pada lamunannya yang menggores perasaan. Suara gaduh jauh di luar menyatakan bahwa di sana terjadi pertempuran. Agaknya perusuh-perusuh itu datang lagi. Ia menarik napas panjang. Sudah banyak ia membunuh orang-orang yang menyerang istana. Sesungguhnya sama sekali tidak ada permusuhan antara dia dan penyerbu-penyerbu itu, karena mereka itu menyerbu dengan dasar permusuhan pengikut kerajan-kerajaan.
Sudah banyak ia membunuh mata-mata dari Cin, kemudian Kerajaan Han Muda. Banyak pula pengikut-pengikut yang ia tahu adalah kaki tangan Kong Lo Sengjin, orang-orang yang menamakan dirinya pengikut setia Kerajaan Tang. Ia tidak senang melakukan pembunuhan ini, karena sesungguhnya ia hanya turun tangan untuk membela Kerajaan Hou-han. Padahal ia sama sekali tidak menempatkan dirinya sebagai pembela Kerajaan Hou-han. Akan tetapi ia tinggal di istana Hou-han, menerima kebaikan dari raja sendiri berikut keluarganya. Bagaimana ia dapat tinggal diam saja?
Suara di luar makin gaduh. Lu Sian tetap duduk tenang. Mudah-mudahan saja para pengawal akan dapat mengatasi perusuh-perusuh itu, atau andai kata para pengawal itu kalah, di sana masih ada Coa Kim Bwee yang ia tahu memiliki kepandaian tinggi. Ia mengharap agar malam ini ia tidak terganggu, tidak usah turun tangan menghadapi perusuh yang hendak mengacau istana Hou-han.
Sebetulnya, baginya sendiri ia tidak peduli akan keselamatan Raja Hou-han sekeluarga. Akan tetapi ia ingat akan kebaikan Coa Kim Bwee dan karenanya merasa tidak enak hati kalau tidak membantu. Maka biar pun suara gaduh itu jelas membayangkan betapa para pengawal agaknya kewalahan menghadapi perusuh yang datang, ia tidak ambil peduli dan tetap tenang-tenang saja di dalam kamarnya. Akan tetapi kini ia tidak dapat melanjutkan lamunannya seperti tadi lagi.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dari luar dan Coa Kim Bwee masuk terhuyung-huyung, rambutnya riap-riapan, mukanya pucat dan kakinya terpincang-pincang. "Cici... tolonglah dia amat lihai...!" katanya terengah-engah.
Lu Sian mengerutkan keningnya. Dari cermin di sudut ia dapat melihat betapa Kim Bwee terluka kakinya, berdarah paha kirinya. Melihat rambut Kim Bwee yang awut-awutan itu, ia tahu bahwa selir raja ini telah mempergunakan ilmu mainkan rambut yang sudah lihai. Akan tetapi kalau sampai kalah, padahal terang bahwa selir ini dibantu para pengawal yang cukup kuat pula, hal ini membuktikan betapa lihainya lawan yang datang menyerbu.
Ia menjadi marah. Bukan marah karena musuh menyerbu istana dan melukai Kim Bwee, melainkan marah karena penyerbuan musuh itu mengganggunya dari lamunan. Tanpa menjawab tubuhnya berkelebat ke luar dari kamarnya setelah menyambar pedang dan menyelipkan pedang di punggung. Dengan ilmunya yang hebat, sebentar saja Lu Sian tiba di tempat pertempuran. Ia mengira bahwa yang datang tentulah musuh dalam jumlah banyak. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat bahwa di tempat pertempuran itu, para pengawal mengeroyok seorang lawan saja!
Lawan itu seorang laki-laki bertubuh sedang, wajahnya tidak begitu jelas karena gerakannya sangat gesit dan keadaan di situ pun tidak terang, hanya remang-remang. Akan tetapi melihat laki-laki itu menghadapi lawan hanya mempergunakan sebatang kipas yang kadang-kadang terbuka kadang-kadang tertutup, hati Lu Sian berdebar keras. Mungkinkah? Mungkinkah orang mati dapat hidup kembali? Mungkinkah orang terjungkal ke dalam jurang yang tak tampak dasarnya tidak mati? Mungkinkah Kwee Seng hidup kembali? Senjata kipas sehebat itu hanya Kwee Seng seorang yang dapat memainkannya, dan bentuk tubuhnya pun ia dapat mengenal.
Karena penasaran, ia melompat dekat. Beberapa orang pengawal yang melihat munculnya Lu Sian, menjadi girang dan cepat berseru, "Minggir! Sian-toanio sudah tiba!"
Mendengar seruan ini, para pengawal yang jumlahnya dua puluh orang lebih dan ramai-ramai mengeroyok seorang laki-laki berpakaian putih itu mundur dengan girang. Sudah terlalu banyak teman mereka terluka oleh pemegang kipas yang lihai ini, dan mereka tadi pun mengeroyok dari jarak jauh saja karena gentar. Cepat mereka mengundurkan diri, memberi jalan kepada Lu Sian yang cepat melangkah maju.
Mereka berdiri berhadapan, tak bergerak seperti arca, saling pandang dengan sinar mata penuh perasaan bercampur aduk. Karena jarak antara mereka kini hanya empat meter dan kebetulan sinar obor dan lampu terarah ke muka mereka, Lu Sian dapat mengenal laki-laki ini. Memang Kwee Seng! Sudah tampak agak tua, akan tetapi masih sama dengan dahulu! Malah lebih matang dan sinar matanya langsung menembus hati.
Kwee Seng? Terdapat dorongan di hati Lu Sian untuk lari menubruk dan memeluknya! Begitu berhadapan, terjadi keanehan di dalam hati Lu Sian. Seakan-akan seorang yang sudah lama merantau jauh dan merindukan kampung halaman kini bertemu dengan sahabat baik sekampung halaman. Seakan-akan ia menemukan sesuatu yang sudah lama terhilang dari dalam hatinya. Terasa kegembiraan mendalam yang belum pernah ia rasakan.
Di lain pihak, Kim-mo Taisu bengong terlongong karena terheran-heran. Benarkah wanita jelita yang berdiri dengan sikap penuh wibawa di depannya ini adalah Liu Lu Sian, gadis lincah jenaka dan yang pernah menawan hatinya kemudian menghancurkan hatinya itu? Memang ia sudah mengharapkan bertemu dengan Lu Sian di dalam istana ini karena ia sudah mendengar dari Kong Lo Sengjin bahwa Tok-siauw-kwi adalah Lu Sian. Akan tetapi kalau benar wanita ini Lu Sian, mengapa masih begini muda dan sama sekali tidak berubah sejak hampir dua puluh tahun yang lalu? Kalau wanita ini Lu Sian, tentu sudah berusia empat puluh tahun, akan tetapi mengapa masih tampak seperti baru dua puluh tahun usianya?
Para pengawal merasa heran pula karena kedua orang sakti itu tidak lekas-lekas bertanding mengadu ilmu, melainkan hanya berdiri saling pandang tanpa bergerak. Ada di antara mereka mengira bahwa kedua orang ini tentu sedang mengadu ilmu melalui pandangan mata!
Tiba-tiba tubuh Lu Sian melesat cepat sekali menyambar ke arah Kim-mo Taisu, akan tetapi mereka tidak saling serang. Bagaikan seekor burung terbang, tubuh Lu Sian mencelat lagi ke atas langsung melompat ke atas genteng istana dan di lain detik tubuh musuh aneh itu pun melesat lenyap mengejar. Karena cepatnya gerakan mereka berdua, para pengawal itu tidak tahu bahwa tadi Lu Sian membisikkan kata-kata kepada Kim-mo Taisu. Memang hal ini disengaja oleh Lu Sian. Dengan kepandaiannya, ia tadi berbisik ketika tubuhnya menyambar, "Kwee-twako, kau ikutlah aku!"
Kedatangan Kwee Seng atau Kim-mo Taisu ke istana ini memang dengan niat menjumpai Tok-siauw-kwi yang menurut penuturan Kong Lo Sengjin adalah seorang di antara musuh-musuh isterinya, bahkan yang mengirim pembunuh itu ke Min-san. Maka kini mendengar bisikan Lu Sian, ia cepat mengejar. Memang lebih baik lagi kalau ia dapat bicara dengan wanita itu tanpa terganggu orang lain. Namun ia merasa kaget dan kagum juga melihat gerakan Lu Sian. Bukan main hebatnya ilmu meringankan tubuh itu! Sama sekali tidak boleh dikatakan kalah atau di bawah tingkatnya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa Lu Sian sekarang bukanlah Lu Sian dua puluh tahun lebih yang lalu! Lu Sian sekarang telah mewarisi ilmu ginkang yang tiada keduanya dari Hui-kiam-eng Tan Hui.
Agaknya Lu Sian juga ingin memamerkan kepandaiannya, maka wanita ini menggunakan ilmu lari cepat sambil mengerahkan ilmunya. Larinya cepat sekali seperti terbang. Namun ia sama sekali tidak merasa heran melihat kenyataan bahwa Kim-mo Taisu dapat mengejar dan mengimbangi kecepatannya. Memang ia sudah tahu betul bahwa Kwee Seng memiliki kepandaian yang amat tinggi. Hanya ia tidak tahu bahwa untuk dapat mengimbangi kecepatannya, Kim-mo Taisu juga telah mempergunakan seluruh kepandaiannya!
Karena kecepatan yang luar biasa ini, sebentar mereka telah berada jauh di luar kota raja, di luar sebuah hutan yang sunyi dan jauh dari perkampungan. Kembali mereka berdiri saling berhadapan, di bawah sinar bulan yang muncul lewat tengah malam. Berdiri saling pandang tanpa bergerak mau pun bicara sampai lama sekali.
"Kwee-twako...!" akhirnya Lu Sian mengeluarkan suara, setengah menjerit setengah mengeluh, lari menubruk dan merangkul leher Kim-mo Taisu lalu menangis terisak-isak di dadanya.
Semua rindu dendamnya akan kebahagiaan, rindu terhadap puteranya, semua ia tumpahkan di dada laki-laki itu. Semua kekecewaan hidupnya selama ini, ia carikan hiburan di atas dada yang lapang itu. Semua rasa kasih sayang yang bebas dari pada nafsu, ia rasakan kini bergelora dalam hatinya terhadap laki-laki ini. Selama ini ia menganggap semua laki-laki sebagai hiburan dan permainannya sehingga ia merasa muak dan bosan. Ia haus dan rindu akan kasih sayang mulus dan murni di samping perlindungan seorang pria.
Kini ia sadar bahwa andai kata dahulu ia menjadi isteri Kwee Seng, kiranya hidupnya tidak akan serusak sekarang ini. Dan kini ia telah bertemu Kwee Seng yang disangkanya telah mati. Belum terlambatkah dia? Masih terbukakah pintu kebahagiaan baginya, setelah terombang-ambing gelombang permainan nafsu selama ini? Sudah terlalu banyak dosa-dosa dan penyelewengannya. Kalau saja Kwee Seng tahu akan semua sepak terjangnya, tentu... tentu...! Tiba-tiba ia sadar betapa hanya seketika tadi saja jari-jari tangan Kwee Seng membelai rambutnya, kini laki-laki itu sama sekali tidak membelai rambutnya, bahkan urat-urat tubuh itu menegang, kaku dan dingin.
Tiba-tiba teringatlah Lu Sian bahwa kedatangan Kwee Seng malam hari itu adalah untuk mengacau istana. Padahal semua orang tahu bahwa Tok-siauw-kwi berada di dalam istana itu! Jadi kedatangan Kwee Seng adalah untuk memusuhinya! Seketika ia merenggutkan diri meloncat ke belakang, lalu bertanya dengan suara ketus. "Kwee-twako! Dengan maksud apakah kau menyerbu istana Hou-han?"
Sikap dan pandang mata Kim-mo Taisu dingin ketika menjawab, "Dengan maksud mencarimu, Tok-siauw-kwi."
"Kwee-twako! Kau sudah tahu bahwa Tok-siauw-kwi adalah aku. Apakah kau juga seperti mereka, memusuhi aku dan menyebutku Tok-siauw-kwi? Lupakah engkau bahwa aku ini Liu Lu Sian?"
Sejenak jantung Kim-mo Taisu terguncang keras. Memang inilah Lu Sian, satu-satunya wanita yang pernah merampas cinta kasihnya secara mendalam! Akan tetapi ia mengeraskan hati dan dengan suara dingin ia menjawab, "Tidak ada Lu Sian lagi di dunia ini, dia sudah mati...."
"Kwee Seng...!!"
"Juga Kwee Seng sudah mati, yang ada sekarang Tok-siauw-kwi dan Kim-mo Taisu."
Watak Lu Sian memang keras. Biar pun ia sudah bukan orang muda lagi, namun kekerasan wataknya tak pernah hilang. Kini pandang matanya tajam, alisnya berdiri. Dibandingkan dengan Kwee Seng, ia dahulu bukan apa-apanya dan sama sekali bukan tandingannya, akan tetapi sekarang ia tidak takut. Bahkan ada keinginan hatinya untuk menguji kepandaiannya yang telah maju dengan hebat selama dua puluh tahun lebih ini.
"Hemmm, begitukah? Jadi selama ini engkau mendendam kepadaku karena peristiwa dua puluh tahun yang lalu itu? Dan sekarang engkau mencariku untuk membikin beres perhitungan lama?"
"Sudah kukatakan, tidak ada lagi urusan dahulu. Yang ada hanya urusan antara Tok-siauw-kwi dan Kim-mo Taisu."
"Bagus!" kata Lu Sian dengan suara mendongkol. "Aku Tok-siauw-kwi, selamanya baru sekarang ini bertemu dengan Kim-mo Taisu. Apakah kehendakmu mencariku?"
"Tok-siauw-kwi, apakah engkau bersekutu dengan musuh-musuh keluarga Kerajaan Tang lama?"
"Siapakah mereka?"
"Di antaranya ada orang-orang Khitan, juga Ma Thai Kun, Pouw Kee Lui, dan terutama sekali Ban-pi Lo-cia."
"Cih! Mengapa aku harus bersekutu dengan orang-orang macam itu? Kim-mo Taisu, tuduhanmu ini sama sekali tidak masuk akal!"
"Tok-siauw-kwi, mengapa engkau memusuhi Kong Lo Sengjin?"
Lu Sian mengerutkan kening dan memandang tajam, kemudian tersenyum lebar dan diam-diam Kim-mo Taisu terheran-heran melihat deretan gigi putih di balik bibir merah itu. Benar-benar tidak ada perubahan sedikit pun juga pada diri Lu Sian, pikirnya.
"Hik-hik! Kakek lumpuh menjemukan itu? Heh, Kim-mo Taisu, aku tidak tahu hubungan apa adanya antara engkau dengan kakek lumpuh itu, dan aku tidak tahu pula mengapa engkau memeriksaku seperti seorang hakim memeriksa pesakitan. Akan tetapi dengarlah baik-baik. Secara pribadi aku tidak mempunyai permusuhan dengan Kong Lo Sengjin si kakek lumpuh. Akan tetapi karena aku tinggal di istana Hou-han dan dia datang menyerbu istana, tentu saja aku menghadapinya! Kalau kakek lumpuh itu tidak kuat menghadapi aku lalu minta bantuanmu, benar-benar lucu dan tak tahu malu!"
"Tok-siauw-kwi, mengapa engkau mengirim seorang pembunuh ke Min-san untuk membunuh keponakan perempuan Kong Lo Sengjin?" Kim-mo Taisu bertanya memancing.
Lu Sian bangkit kemarahannya. Ia membanting-banting kakinya ke tanah, dan diam-diam Kim-mo Taisu merasa terharu. Benar-benar tidak ada perubahan pada diri Lu Sian. Kebiasaan membanting kaki kalau marah-marah pun masih sama dengan dulu!
"Kim-mo Taisu! Apakah engkau ini seorang gila? Kalau aku memang menghendaki nyawa seseorang, perlu apa aku menyuruh orang lain? Kalau aku ingin membunuh keponakan Kong Lo Sengjin, biar pun ada seratus orang keponakannya itu, apa kau kira aku tidak bisa melakukannya sendiri? Entah macam apa siluman betina itu sehingga engkau sampai bersusah payah mencari pembunuhnya dan menuduh aku pula."
"Siluman betina itu adalah isteriku..."
"Ohhh...?!?" Mata Lu Sian terbelalak kaget dan sejenak ia hanya memandang wajah Kim-mo Taisu yang suram muram itu.
Rasa terharu mengusap perasaan Lu Sian, kemudian rasa gembira timbul, dan tak tertahankan lagi ia tertawa. Mula-mula tertawa lirih, terkekeh-kekeh sampai menutupkan punggung tangan kanan di depan mulut sambil menundukkan muka, kemudian kakinya bergerak maju dan di lain saat ia telah merangkul pinggang Kim-mo Taisu dan menyembunyikan muka di dadanya seperti tadi lagi. Hanya kalau tadi ia menangis terisak-isak, kini ia tertawa terkekeh-kekeh, tubuhnya berguncang-guncang menahan ketawa.
Kim-mo Taisu berdiri tegak, mengerutkan keningnya. Ia amat mengkhawatirkan ini. Menghadapi lawan yang bagaimana berat dan lihai pun ia tidak gentar. Akan tetapi menghadapi Lu Sian, melihat wajah yang masih cantik jelita, pandang mata yang bersinar-sinar, mulut yang amat manis, mencium bau harum yang aneh dan khas dari tubuh wanita ini, benar-benar merupakan hal yang amat berat baginya. Ia bukan seorang yang mudah tergila-gila kepada wanita, akan tetapi tak disangkalnya pula bahwa hatinya lemah apabila berhadapan dengan Lu Sian, wanita yang pernah merampas cinta kasihnya. Akan tetapi, ia teringat akan isterinya, maka ia mengeraskan hati dan meramkan mata.
"...ah, nasib kita sama... hi-hik, tidak bahagia dalam pernikahan...," suara Lu Sian ini membuat Kim-mo Taisu membuka matanya.
Pada saat itu Lu Sian yang masih tertawa-tawa kecil, mengangkat muka dan ternyata dari kedua mata wanita itu bercucuran air mata. Lu Sian yang terdengar ketawa terkekeh-kekeh itu mengucurkan air mata seperti orang menangis!
Mereka saling pandang, muka mereka berdekatan. Sedetik timbul hasrat dalam hati Kim-mo Taisu untuk mendekap wajah yang pernah ia rindukan ini, untuk mencium kering air mata yang membasahi sepasang pipi itu. Akan tetapi kembali kematian isterinya terbayang di depan mata. Air mata di kedua pipi Lu Sian seakan-akan berubah menjadi merah terkena sinar bulan, semerah darah isterinya yang bercucuran. Dengan kasar ia lalu merenggut kedua pundak Lu Sian, didorongnya menjauhi dirinya.
Seketika terhenti tawa atau tangis Lu Sian. Sinar matanya tajam dan dingin kembali. Lalu ia bertanya, sikapnya menantang. "Kim-mo Taisu, andai kata benar aku yang menyuruh bunuh isterimu, habis kau mau apa?"
Dengan suara sama dinginnya Kim-mo Taisu menjawab, "Kau pun akan kubunuh!"
Lu Sian mencelat mundur lalu tertawa. Kim-mo Taisu bergidik. Benar-benar seperti setan kalau Lu Sian sudah tertawa seperti itu.
"Hi-hi-hi-hik! Kim-mo Taisu! Apakah engkau masih menganggap aku seperti Lu Sian dua puluh tahun yang lalu, yang merengek-rengek minta kau ajari ilmu silat?"
Kim-mo Taisu menggeleng kepala. "Tidak. Aku tahu bahwa engkau sekarang telah menjadi seorang yang berilmu tinggi. Sudah banyak aku mendengar tentang Tok-siauw-kwi yang menggegerkan dunia persilatan. Akan tetapi aku tidak takut."
"Aku pun tidak takut!" Lu Sian membentak, sambil mencabut pedangnya, pedang Toa-hong-kiam. Sekali tubuhnya berkelebat, ia telah mengirim serangan kilat ke arah leher Kim-mo Taisu. Cepat dan kuat sekali serangan ini, tak boleh dipandang ringan.
Kim-mo Taisu cepat melompat ke kanan untuk menghindari serangan kilat ini, sambil berkata, "Kalau kau yang menyuruh orang membunuh isteriku, baru aku akan memusuhimu, Tok-siauw-kwi."
"Tidak peduli! Membunuh atau tidak, engkau harus menahan seranganku, jangan kira aku takut!" Lu Sian membentak, kemarahannya sudah memuncak dan kembali pedangnya berkelebat. Demikian hebatnya gerakannya sehingga tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar pedangnya. Terdengar bunyi angin menderu dan gulungan pedang itu merupakan segumpal awan yang melayang-layang....

Jilid 26»

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)