SULING EMAS : JILID-30
Seorang panglima muda melangkah maju dengan pedang di tangan. "Engkau siapa? Berani memasuki tenda kami tanpa ijin?"
"Ha-ha-ha! Ciangkun (Panglima), engkau masih terlalu muda untuk
mengenalku. Akan tetapi di antara kalian yang sudah tua tentu pernah
mendengar namaku. Dahulu aku disebut Sin-jiu Couw Pa Ong seorang putera
pangeran Kerajaan Tang dan aku masih ingat akan Cao Beng, Jenderal
Kerajaan Tang yang menjadi kakek Jenderal Cao Kuang Yin sekarang! Akan
tetapi sekarang aku hanya seorang kakek biasa saja yang disebut Kong Lo
Sengjin!"
Kagetlah semua orang yang berada di dalam tenda itu. Nama Sin-jiu Couw Pa Ong memang amat terkenal. "Dengan cara bagaimana kau hendak mencampuri urusan kami, urusan tentara?"
Kembali kakek itu tertawa. "Dalam urusan perang memang kalian ahli, dan menghadapi barisan tentu saja aku tidak berarti. Akan tetapi menghadapi kekerasan lawan, kiranya aku dapat banyak membantu. Misalnya, dengan mudah aku dapat melucuti belasan orang lawan. Kalian lihat baik-baik!"
Tiba-tiba tubuh kakek itu berkelebat menyerbu mereka! Kagetlah belasan orang itu. Mereka juga bukan orang-orang biasa, melainkan panglima-panglima yang sudah biasa bertempur, maka tentu saja mereka itu pandai ilmu silat. Melihat bayangan kakek itu berkelebat dekat, tanpa ragu-ragu lagi mereka lalu menggerakkan senjata mereka menerjang. Terdengar suara kaget bergantian dan dalam sekejap mata saja semua panglima dan perwira sudah kehilangan senjata mereka. Ketika mereka memandang, ternyata pedang dan golok mereka yang terampas secara aneh itu telah tertumpuk di atas meja dan kakek itu pun sudah duduk di atas bangku dekat meja sambil tersenyum-senyum.
"Bagaimana? Cukup berhargakah aku menjadi sekutu kalian?"
Mereka lalu duduk kembali mengelilingi meja.
"Mengapa Lo-cianpwe hendak membantu kami? Dengan maksud apa?" tanya seorang panglima tua, kini menyebut lo-cianpwe karena maklum bahwa kakek lumpuh itu benar-benar sakti luar biasa.
"Dengan maksud apa? Tentu saja dengan maksud menegakkan kembali kekuasaan Tang yang sudah runtuh. Jenderal Cao adalah keturunan dari pembesar tinggi bangsawan Tang, maka sudah sepatutnya jika beliau diangkat. Akan tetapi kalau dia menolak, kita bisa memilih lain orang. Bukan Cao-goanswe seorang di antara kita yang cakap menggantikan raja kanak-kanak dan ibunya!"
Karena tertarik oleh kesaktian Kong Lo Sengjin yang tentu saja akan dapat merupakan pembantu yang amat berharga, akhirnya belasan orang komandan itu menerima Kong Lo Sengjin menjadi sekutu dan berundinglah mereka tentang niat mereka memaksa Cao Kuang Yin untuk memberontak.
Pada saat itu Jenderal Cao Kuang Yin sendiri tidak berada dalam tendanya. Panglima ini keluar seorang diri dan kini ia berdiri termenung di atas sebuah gunung kecil, menatap angkasa yang dihias bintang-bintang gemerlapan. Bulan seperempat tampak doyong di angkasa. Berkali-kali panglima ini menarik napas panjang, kemudian ia menengadah ke langit dan keluarlah keluhan hatinya yang tanpa ia sadari terucapkan dari mulutnya.
"Liang, Tang, Cin, Han Cou... lima kerajaan bermunculan, namun semua tidak berhasil mengamankan negara dan memakmurkan rakyat jelata. Ahhh, sekian banyaknya bintang bermunculan dan berjatuhan, tiada satu yang menyinarkan cahaya menerangi jagad. Bilakah akan muncul sebuah bintang yang demikian?"
Tiba-tiba terdengar keluhan orang lain yang disambung dengan kata-kata seperti sajak. "Bila kepalanya benar, kaki tangan yang tidak baik pun dapat dimanfaatkan. Bila kepalanya tidak benar, kaki tangan yang betapa baik pun tidak ada manfaatnya! Segala sesuatu memang sudah dikehendaki Tuhan maka dapat terjadi, akan tetapi jika manusia tidak berusaha dan hanya mengandalkan kehendak Tuhan, tiada bedanya ia dengan pohon atau hewan!"
Cao Kuang Yin terkejut, apalagi setelah menengok ia melihat seorang laki-laki gagah perkasa yang berpakaian seperti tosu berdiri tak jauh dari situ, juga menengadah sambil menuangkan arak dari sebuah guci arak. Ucapan tadi bukanlah kata-kata biasa, maka Cao Kuang Yin dapat menduga bahwa tentu orang ini bukan orang biasa pula. Cepat ia menghadapinya sambil menjura dan berkata, "Saudara yang baik, ucapanmu benar-benar mengagumkan hatiku, akan tetapi juga mengherankan. Sudilah kiranya memberi penjelasan."
Orang tua gagah itu bukan lain adalah Kim-mo Taisu. Setelah menurunkan semua ilmunya kepada Bu Song selama hampir tiga tahun, ia lalu berpisah dari muridnya itu yang ia suruh pergi mencari suling emas di Pulau Pek-coa-to seperti yang diceritakan sastrawan Ciu Gwan Liong kepada Bu Song. Ada pun dia sendiri lalu mulai pergi mencari Kong Lo Sengjin. Inilah sebabnya maka ia pada saat itu berada di atas bukit kecil, diam-diam membayangi Cao Kuang Yin yang ia kenal sebagai seorang panglima besar Kerajaan Cou.
Kim-mo Taisu sudah mendengar akan semua urusan di kota raja, maka ia pun tahu bahwa jenderal ini memimpin pasukan besar menuju ke utara. Ia merasa heran ketika dalam penyelidikannya mendapat kenyataan bahwa orang yang dikejar-kejarnya, yaitu Kong Lo Sengjin berada pula di dalam pasukan itu. Tentu saja ia tidak berani turun tangan secara sembrono dalam barisan yang begitu besar.
Kini ia sengaja mendekati Cao Kuang Yin dan sengaja menjawab keluhan jenderal itu untuk mengukur isi hatinya. Kini mendengar pertanyaan komandan itu dan melihat sikapnya yang wajar dan jujur sopan, diam-diam ia merasa kagum sekali. Segera Kim-mo Taisu menghadapinya dan membalas hormat selayaknya.
"Cao-goanswe, harap maafkan kalau saya menganggu. Tadi saya mendengar keluhan Goanswe tentang lima kerajaan yang tidak berhasil mengamankan negara dan memakmurkan rakyat jelata. Saya merasa cocok dan tanpa disengaja mengeluarkan kata-kata yang mengagetkan Goanswe. Sesungguhnya, negara kita banyak memiliki patriot-patriot, pahlawan-pahlawan yang cinta tanah air dan bangsa, yang setia kepada negara. Akan tetapi, kalau yang menjabat kaisar tidak bijaksana dan mementingkan kesenangan pribadi, tentu saja para pahlawan itu akan disalah-gunakan tenaganya. Akibatnya, pemimpin-pemimpin yang baik akan dikesampingkan, pembesar-pembesar korup penjilat akan terpakai. Turunnya bintang cemerlang sebagai kaisar tentu saja adalah kehendak Thian, akan tetapi semua itu hanya akan terjadi melalui ikhtiar dan usaha manusia sendiri. Inilah pendapat saya pribadi, Goanswe, kalau keliru harap dimaafkan." Kim-mo Taisu menenggak araknya kembali.
"Ah, tidak... tidak keliru! Benar sekali pendapat Saudara. Ah, bukankah saya berhadapan dengan Kim-mo Taisu...?"
"Cao-goanswe bermata tajam, benar-benar saya kagum sekali," kata Kim-mo Taisu.
Jenderal itu tertawa. "Nama Taisu menjulang setinggi gunung Thai-san. Kipas di pinggang, pedang di punggung dan guci arak di tangan, kemudian mengeluarkan pendapat sedemikian bijaksana, siapa lagi orangnya kalau bukan Kim-mo Taisu?"
Tiba-tiba terdengar suara berisik dan muncullah belasan orang yang serta merta menerjang Cao Kuang Yin dengan senjata mereka!
"Bunuh! Serbu cepat selagi ada kesempatan baik!" begitulah teriakan-teriakan mereka. Gerakan mereka cepat dan ringan, tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi.
Cao Kuang Yin kaget sekali. Cepat ia mengelak dari dua buah sambaran golok sambil melompat mundur dan mencabut pedangnya. "Kalian siapakah? Tidak melihat bahwa aku Jenderal Cao? Mundur!!"
"Ha-ha-ha, justru kami mencari dan harus membunuh Jenderal Cao!" seorang di antara mereka berseru. Mereka semua ada dua belas orang yang kini mengurung.
Ketika jenderal itu hendak menerjang mencari jalan ke luar, tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata, "Tenanglah, Goanswe, dan serahkan mereka kepadaku!"
Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu yang tadi menenggak araknya, menurunkan gucinya, kemudian tiba-tiba ia menyemburkan arak sambil memutar-mutar tubuhnya. Terdengar teriakan-teriakan kaget ketika dua belas orang itu merasakan sambaran arak yang seperti jarum-jarum disebar. Sebelum hilang kekagetan mereka, tiba-tiba Kim-mo Taisu sudah bergerak cepat sekali menggunakan kipasnya. Setiap kali kipasnya bergerak, seorang pengeroyok lantas roboh. Hiruk-pikuk suara mereka, golok dan pedang beterbangan, dan dalam waktu beberapa menit saja dua belas orang itu sudah roboh tak berkutik!
"Jangan bunuh semua!" Cao Kuang Yin mencegah, namun terlambat. Orang terakhir sudah roboh pula.
Jenderal itu cepat melompat ke dekat orang terakhir yang masih bergerak-gerak, kemudian ia menjambak leher baju orang itu dan membentak. "Hayo mengaku! Siapa menyuruh kalian?!"
Orang itu berusaha membuka mulut, akan tetapi suara yang keluar hanyalah suara seperti babi disembelih karena jalan darahnya sudah putus oleh ketukan gagang kipas dan ia hanya dapat menuding-nudingkan telunjuknya, lalu lemas dan nyawanya melayang.
"Cao-goanswe, orang-orang yang berbuat khianat macam mereka ini sudah sepatutnya dibunuh semua," kata Kim-mo Taisu.
"Ah, akan tetapi saya ingin mengetahui siapakah yang menyuruh mereka?"
"Dia tadi menunjuk ke arah selatan, ke arah kota raja. Agaknya dari kota raja datangnya perintah."
Cao Kuang Yin mengerutkan keningnya. Ia mengingat-ingat dan merasa bahwa di kota raja dia tidak mempunyai musuh, kecuali ibu suri tentunya karena ia telah mengajukan protes. Mungkinkah ibu suri yang mengirim pembunuh-pembunuh ini?
"Taisu telah menyelamatkan nyawa saya, sungguh merupakan budi besar."
"Penyelamat atau pencabut nyawa hanyalah menjadi kekusaan Thian! Sungguh pun kebetulan saya berada di sini ketika Goanswe diserang orang-orang itu, akan tetapi sesungguhnya bukan karena kebetulan saya mendekati Goanswe. Saya memang sengaja membayangi Goanswe ke tempat ini karena maksud tertentu."
"Ahh...?" Jenderal Cao kaget dan memandang tajam. "Maksud apakah?"
"Saya mempunyai urusan pribadi dengan orang yang kini kebetulan berada dalam barisan Goanswe. Tanpa perkenan Goanswe saya tidak berani mencari keributan dalam pasukan Goanswe."
Jenderal itu mengelus jenggotnya. "Hemm, siapakah orang itu?"
"Dia adalah Kong Lo Sengjin, atau dahulu terkenal dengan nama Sin-jiu Couw Pa Ong!"
"Hah? Sin-jiu Couw Pa Ong? Akan tetapi dalam barisanku tidak ada Kakek terkenal itu!"
"Sudah lama saya mengejarnya dan tidak salah lagi, dia berada dalam barisan Goanswe."
"Kalau begitu, biarlah kita periksa besok. Marilah Taisu ikut bersama saya. Malam ini harap Taisu suka menemani saya dan besok kita sama-sama memeriksa. Kalau betul ada Kakek itu dengan barisan, sudah tentu saya perkenankan Taisu untuk menyelesaikan urusan pribadi Taisu dengan dia tanpa campur tangan kami."
"Terima kasih. Goanswe benar-benar bijaksana." Kim-mo Taisu memberi hormat, kemudian mereka berdua berjalan bersama kembali ke perkemahan.
Jenderal Cao bercakap-cakap dan merasa cocok sekali dengan pendekar itu sehingga mereka bercakap-cakap sampai jauh malam. Kim-mo Taisu diberi tempat mengaso dekat tenda besar dan lewat tengah malam barulah keduanya menghentikan percakapan, lalu tidur di kemah masing-masing.
Peristiwa bersejarah itu terjadi pada pagi hari benar, ketika matahari belum muncul, baru sinarnya kemerahan yang nampak. Pada saat itu, Panglima Besar Cao Kuang Yin masih tidur nyenyak. Tiba-tiba ia terbangun dengan kaget dan tahu-tahu di dalam kemahnya telah penuh orang. Di sana telah hadir tujuh orang panglima bawahannya dan sebelas orang perwira, kesemuanya adalah komandan-komandan pasukan dalam barisan yang ia pimpin, dan di antara mereka tampak seorang kakek lumpuh bertongkat. Panglima tertua membawa sebuah baki perak yang ditutup sutera kuning dan para komandan yang lain berdiri dengan pedang di tangan!
"Heee! Apa artinya ini? Apa kehendak kalian sepagi ini tanpa dipanggil memasuki kemahku dan mengganggu orang tidur?" Cao Kuang Yin berseru sambil melompat turun dari permbaringannya. Ia sama sekali tidak merasa khawatir karena ia percaya penuh kepada semua pembantunya ini yang ia tahu amat setia dan sayang kepadanya.
"Kami menghadap Goanswe untuk mempersilakan Goanswe mengenakan pakaian ini, kemudian memimpin kami semua kembali ke kota raja," kata panglima tertua itu sambil menyodorkan baki.
Cao Kuang Yin merasa heran, mengerutkan keningnya dan membuka sutera kuning yang menutupi baki. Di atas baki itu tampak terlipat rapi satu stel pakaian berwarna kuning bersulamkan naga. Kagetlah Cao Kuang Yin. Pakaian seperti itu adalah pakaian kaisar! Pakaian seorang raja besar! Mereka ini menghendaki ia mengenakan pakaian kaisar dan memimpin mereka kembali ke kota raja. Itu berarti bahwa mereka ini menghendaki ia memberontak dan menggantikan kedudukan raja!
"Ah, mana mungkin...?" Ia membantah dan undur dua langkah.
Kakek lumpuh itu menggerakkan tongkatnya maju, akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Kim-mo Taisu telah menerobos dari belakang Cao Kuang Yin dengan merobek tenda. Dengan sikap tenang ia berdiri di sebelah kiri panglima itu dan berkata, "Coa-goanswe, apakah mereka ini perlu dibasmi?"
Akan tetapi Cao Kuang Yin menggeleng kepala. "Biarkan mereka bicara dulu."
Kakek itu yang bukan lain adalah Kong Lo Sengjin kaget sekali melihat munculnya Kim-mo Taisu, akan tetapi setelah mengenalnya ia pun tersenyum, dan kemudian berkata, "Bagus! Hadirnya Kim-mo Taisu merupakan penambahan kekuatan kita. Cao-goanswe, perkenalkanlah, aku adalah Sinjiu Couw Pa Ong. Aku mengenal baik kakekmu yang menjadi panglima ketika masa jayanya Kerajaan Tang. Semenjak Kerajaan Tang roboh oleh para pengkhianat bangsa, raja-raja bermunculan akan tetapi sampai sekarang pun tidak ada raja yang cukup bijaksana seperti dikala Kerajaan Tang. Oleh karena itu para Ciangkun ini bermufakat untuk mengangkat Goanswe menjadi raja baru dan kita semua kembali ke kota raja untuk mengambil alih kekuasaan. Harap saja Goanswe tidak menolak oleh karena keputusan para Ciangkun ini sudah bulat. Dan karena hal ini cocok dengan cita-citaku, maka aku pun memasuki persekutuan ini. Kuharap saja tidak perlu aku harus menghadapi cucu bekas sahabatku sebagai musuh!"
Sebelum Cao Kuang Yin menjawab. Kim-mo Taisu yang sudah mendahuluinya, berkata kepada Kong Lo Sengjin atau Couw Pa Ong, "Kong Lo Sengjin, tak perlu kau ikut bicara karena kata-kata dan perbuatanmu hanya berdasarkan kepalsuan belaka, sama seperti pengkhianatanmu menyuruh bunuh isteriku! Biarkan Cao-goanswe berurusan sendiri dengan para panglimanya, dan nanti setelah selesai, akulah yang akan berurusan dengan kau!"
Berubah wajah Kong Lo Sengjin mendengar ucapan ini, akan tetapi ia lalu mundur dan matanya memancarkan kemarahan besar.
Sementara itu panglima tua yang membawa baki sudah menekuk lutut di depan Cao Kuang Yin sambil berkata, "Kami semua mengharap agar Goanswe tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Kota raja sedang kosong, mengambil alih kekuasaan amatlah mudah bagi kita. Kami semua mengharapkan pimpinan seorang raja yang kuat, bukan seorang anak-anak di pangkuan ibunya yang lemah! Kami telah bertekad bulat mengangkat Goanswe menjadi kaisar baru dan memimpin kami menyerbu ke kota raja."
"Kami landasi ketekatan ini dengan nyawa kami!" terdengar riuh para panglima dan perwira itu menyambung ucapan panglima tua ini.
Suasana menjadi sunyi dan tegang. Otot-otot di tubuh mereka semua, termasuk Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, menegang dan mereka sudah siap. Mati hidup dan bertanding mati-matian hanya tergantung dari pada jawaban Cao Kuang Yin yang masih berdiri termenung, memandang pakaian kuning yang berada di atas baki. Wajahnya menjadi pucat, keningnya berkerut-kerut, matanya memancarkan sinar aneh.
Di dalam hatinya timbul bermacam perasaan, dalam otaknya berkelebat macam-macam pikiran. Memang berat baginya, bagi seorang patriot yang semenjak nenek moyangnya dahulu terkenal sebagai panglima-panglima dan pembesar-pembesar yang setia kepada raja. Bagi seorang pejabat kesetiaan adalah nomor satu. Namun sebagai seorang bijaksana, ia maklum bahwa semenjak Kerajaan Tang roboh, rakyat tidak pernah mengalami ketenteraman dan perdamaian dalam hidupnya. Perang saudara terjadi terus menerus, perebutan kekuasaan tak kunjung henti. Untuk mengakhiri semua penderitaan rakyat itu, perlu adanya tangan besi seorang pemimpin yang dapat menyatukan mereka dan menumpas yang ingkar dan para pengacau.
Ia maklum bahwa para panglima dan perwira ini mengangkatnya sebagai kaisar bukan semata-mata karena mengaguminya dan ingin mengagungkannya, melainkan karena rasa benci mereka kepada pucuk pimpinan yang berada di tangan seorang kanak-kanak di atas pangkuan seorang ibu yang gila kuasa. Karena mereka ini melihat bahwa jalan satu-satunya agar pemberontakan mereka berhasil adalah mengangkat dia sebagai komandan tertinggi barisan, menjadi raja. Akan tetapi ia pun maklum bahwa kalau ia menolak, tentu mereka ini akan menjadi nekat dan menyerangnya, berusaha membunuhnya. Ia tidak takut, apalagi di sampingnya terdapat Kim-mo Taisu yang sakti. Akan tetapi kalau hal itu terjadi, maka akan menjadi rusaklah semua. Bagaimana sebuah barisan besar ditinggalkan para pimpinannya yang saling bermusuhan sendiri?
Jenderal Cao Kuang Yin menarik napas panjang, lalu terdengar ia berkata, suaranya nyaring dan berwibawa, "Aku hanya dapat menerima dan memakai pakaian ini setelah kalian semua bersumpah akan mentaati segala perintahku mulai detik ini juga!"
Delapan belas orang komandan pasukan itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan seperti telah dikomando mereka berbareng lalu menyatakan sumpah setia dan taat kepada kaisar baru!
Kembali Cao Kuang Yin menarik napas panjang. Sebelum menjemput pakaian kuning itu, ia lebih dulu melirik ke arah Kim-mo Taisu. Akan tetapi pendekar sakti ini hanya tersenyum, sama sekali tidak memperlihatkan sikap menentang. Memang di dalam hati Kim-mo Taisu juga menyetujui usul para komandan itu dan ia tahu bahwa hanya dengan jalan ini agaknya negara akan dapat diselamatkan dan dibebaskan dari pada perang saudara yang berlarut-larut. Cao Kuang Yin adalah seorang jenderal yang cakap, bertangan besi dan disegani.
Pakaian itu diambil oleh Cao Kuang Yin, lalu dipakainya, di luar pakaian tidurnya karena ketika itu ia masih berpakaian tidur. Seorang panglima mengambilkan topinya, topi jenderal sehingga Cao Kuang Yin kelihatan sebagai seorang raja yang sedang memimpin pasukan untuk maju perang. Melihat betapa angker dan gagah raja baru mereka itu, para komandan ini lalu berlutut memberi hormat dan meneriakkan "Banswee!" berkali-kali.
Kim-mo Taisu maju dan memberi hormat kepada Cao Kuang Yin. "Mohon perkenan Hong-siang (Kaisar) agar hamba menyelesaikan urusan pribadi hamba dengan Kong Lo Sengjin."
Cao Kuang Yin melirik ke arah kakek lumpuh yang masih berdiri di sudut, lalu mengangguk dan berkata lirih, "Terserah, akan tetapi kami masih membutuhkan bantuan Taisu, harap suka menemui kami di kota raja."
Kim-mo Taisu menyanggupi, lalu menoleh ke arah Kong Lo Sengjin dan berkata nyaring, "Kong Lo Sengjin, urusan di sini telah selesai. Mari kita bereskan perhitungan kita di luar!" Inilah tantangan yang tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh seorang sakti seperti Kong Lo Sengjin.
Akan tetapi pada saat itu di luar tenda terdengar suara hiruk-pikuk, suara banyak sekali orang dan mulailah terdengar teriakan-teriakan. "Hidup Kaisar! Hidup Kaisar! Hidup Kaisar!"
Cao Kuang Yin melirik ke arah para komandannya, dan melihat mereka masih berlutut dan tersenyum, tahulah ia bahwa para komandannya itu memang sudah mengatur sebelumnya agar usul mereka diperkuat oleh para anak buah mereka! Ia lalu berkata, "Para Ciangkun boleh keluar dan mempersiapkan barisan. Hari ini juga kita kembali ke kota raja. Akan tetapi perintahku pertama kepada kalian dan kepada semua anggota barisan adalah, dilarang keras untuk melakukan kekerasan kepada siapa saja di kota raja, karena tidak mungkin akan ada perlawanan. Tidak ada seorang pun keluarga raja boleh diganggu, juga para pembesar dan pejabat lama, atau para penduduk, sama sekali tidak boleh diganggu harta benda atau nyawanya. Siapa melanggar perintah laranganku ini akan dihukum mati!"
Para komandan menyatakan taat, dan setelah memberi hormat keluarlah mereka bersama Kong Lo Sengjin. Kim-mo Taisu menjura ke arah Cao Kuang Yin dan keluar pula. Akan tetapi ternyata di luar tenda itu telah penuh dengan tentara, keadaan menjadi ribut sekali, apalagi setelah mereka itu diberi tahu bahwa Cao Kuang Yin telah menerima menjadi kaisar baru, mereka berteriak-teriak, bersorak-sorak dan bertepuk tangan.
Gegap-gempita keadaan di saat itu dan Kim-mo Taisu menjadi bingung ke mana harus mencari Kong Lo Sengjin yang tidak tampak batang hidungnya. Ia menjadi penasaran dan mendongkol sekali, dan makin yakinlah hatinya bahwa kakek itu benar-benar seorang yang curang dan licik. Lain kali apabila ia mendapat kesempatan bertemu muka, tentu ia takkan menyia-nyiakan waktu lagi dan memaksanya bertanding mati-matian.
Karena tidak ingin terlibat dalam urusan ketentaraan, maka ia segera menjauhkan diri, akan tetapi diam-diam ia berjanji dalam hati bahwa ia harus dan akan membantu kaisar baru ini apabila kelak ternyata kaisar baru ini berlaku bijaksana dan adil. Mendengar perintah pertamanya tadi, banyak hal-hal baik dapat diharapkan dari kaisar baru ini.
Demikianlah seperti tercatat dalam sejarah, Cao Kuang Yin berhasil mengambil alih kekuasaan tanpa pertumpahan darah. Cao Kuang Yin mendirikan Kerajaan Song (Sung) dan ia menjadi kaisar pertama berjuluk Sung Thai Cu. Dengan cerdik kaisar ini dapat mengambil hati para pembesar dan bangsawan yang ia pilih untuk menjadi pembantu-pembantunya. Yang jujur dan pandai tetap mendapatkan jabatan lama. Yang curang dan korup dipensiun dan diberi gelar. Juga delapan belas komandan yang memaksanya menjadi kaisar itu, dengan alasan cerdik sekali telah diangkat oleh kaisar, diberi gelar kehormatan dan banyak hadiah, akan tetapi mereka tidak aktif lagi memimpin pasukan, dan diganti dengan tenaga-tenaga baru. Mulailah Dinasti Sung yang kuat memerintah dan berhasil menyatukan bangsa. Buktinya dinasti ini dapat bertahan sampai tiga abad lebih (960-1279).
********************
Seorang pemuda yang tampan gagah, bertubuh tinggi besar dan berpakaian sederhana, berjalan dengan langkah tegap menuruni lereng bukit terakhir di lembah Sungai Mutiara. Dari puncak bukit tadi sudah tampaklah Laut Selatan, di mana air Sungai Mutiara mengakhiri perjalanannya dan tampak pula samar-samar pulau-pulau kecil tidak jauh dari pantai.
Pemuda ini bukan lain adalah Bu Song. Dia bukanlah Bu Song beberapa bulan yang lalu! Biar pun orangnya masih sama, akan tetapi keadaannya sudah jauh berbeda, seperti bumi dengan langit. Perubahan yang nampak pada wajahnya hanyalah bahwa kini timbul guratan-guratan pada wajahnya yang tampan, di kanan kiri kedua matanya, di dahi dan dekat mulut, juga di dagunya. Guratan yang timbul dari penderitaan batin. Guratan-guratan pada muka yang membuat ia tampak dewasa dan matang, akan tetapi juga membuat mukanya tampak murung dan tertutup awan, membuat wajahnya seperti topeng yang tidak lagi mencerminkan isi hatinya. Pandang matanya jauh, dilindungi kelopak mata dan bulu mata yang seringkali bergetar dan setengah terpejam.
Bu Song masih muda akan tetapi pengalaman-pengalaman pahit membuat ia berpemandangan seperti orang tua. Perubahan lebih lagi terjadi dalam tubuhnya. Ia kini bukanlah Bu Song beberapa bulan yang lalu, yang lemah dan tidak tahu bagaimana caranya menjaga diri dari pada serangan orang lain. Dia sekarang adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dalam beberapa bulan saja ia sudah mewarisi semua ilmu kepandaian suhu-nya, ilmu yang ia latih siang malam tanpa bosan. Dia kini sudah menjadi seorang pendekar.
Ketika Bu Song menceritakan semua pengalamannya kepada suhu-nya, ada dua hal yang dianggap penting oleh Kim-mo Taisu. Pertama tentang kekejian Kong Lo Sengjin yang menyuruh anggota Hui-to-pang membunuh isteri Kim-mo Taisu. Kedua adalah tentang kitab kuno pemberian sastrawan Ciu Gwan Liong dan cerita kakek sastrawan itu akan suling emas yang berada di tangan sastrawan Ciu Bun dan yang menurut kakek itu berada di Pulau Pek-coa-to di Lam-hai. Melihat kitab itu, Kim-mo Taisu menarik napas panjang dan berkata kepada muridnya yang telah ia gembleng selama beberapa bulan dengan hasil baik sekali.
"Bu Song, kitab ini biar pun hanya terisi sajak-sajak kuno, akan tetapi sesungguhnya merupakan pelajaran ilmu yang luar biasa. Kuncinya berada pada suling emas itulah. Hal ini pun sudah kuketahui dan juga diketahui oleh semua orang kang-ouw. Memang aneh sekali mengapa Bu Kek Siansu menghadiahkan benda-benda seperti itu kepada dua orang sastrawan lemah. Memang suling dan kitab itu adalah pegangan para sastrawan, akan tetapi di balik sajak dan suara suling, terdapat daya yang hebat sekali dan yang dapat dipergunakan orang jahat untuk memperhebat kepandaiannya. Kau telah berjodoh dengan kitab ini dan sudah dipilih oleh mendiang sastrawan Ciu Gwan Liong, maka sudah menjadi kewajibanmu untuk mencari suling emas itu ke Pulau Pek-coa-to di Lam Hai."
Pesan Kim-mo Taisu inilah yang menjadi sebab mengapa pada pagi hari itu Bu Song telah menuruni bukit di lembah Sungai Mutiara. Pulau Pek-coa-to adalah sebuah di antara pulau-pulau kecil di muara Sungai Mutiara itu, di Lam-hai (Laut Selatan). Dengan kepandaiannya, Bu Song dapat melakukan perjalanan cepat sekali dan menjelang tengah hari ia telah tiba di pantai muara Sungai Mutiara. Suhu-nya telah memberi tahu bahwa Pulau Pek-coa-to adalah pulau yang ke tiga dari timur, yang tampak dari situ sebagai pulau yang paling kecil, akan tetapi agak panjang dan bentuknya berliku seperti tubuh ular. Juga dibandingkan dengan pulau lain, pulau ini tampak putih warnanya, atau lebih muda warnanya, maka inilah agaknya pulau ini disebut Pek-coa-to (Pulau Ular Putih). Demikian pikir Bu Song. Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa bukan hanya karena bentuknya seperti ular putih maka pulau itu disebut Pulau Ular Putih, melainkan karena di atas pulau itu memang terdapat semacam ular berkulit putih yang tidak terdapat di tempat lain, ular yang amat berbisa!
Selagi Bu Song bingung karena tidak tahu bagaimana ia harus menyeberang ke pulau itu, tiba-tiba hatinya girang melihat seorang nelayan mendorong-dorong perahu kecilnya di atas pantai berpasir. Agaknya nelayan ini hendak berlayar mencari ikan.
Bu Song segera berlari menghampiri lalu berkata, "Twako, apakah kau hendak berlayar?"
Nelayan itu kaget. Daerah ini amat sepi, biasanya tidak pernah ada orang. Maka heranlah ia melihat seorang pemuda yang bersikap halus seperti orang kota dan suaranya agak asing, dengan lidah orang utara.
"Betul. Seperti biasa saya hendak mencari ikan," jawab nelayan itu sambil memasang tali layar dan bersiap-siap.
"Kebetulan sekali, Twako. Kau tolonglah aku menyeberang ke pulau itu. Berapa biayanya pulang pergi?"
Nelayan itu tidak segera menjawab, melainkan memandang ke arah pulau yang ditunjuk Bu Song. Berkali-kali ia menoleh dari Bu Song ke pulau itu, memandangnya bergantian lalu bertanya, "Kongcu, pulau yang mana...?"
"Itu yang ke tiga dari kiri, Pulau Pek-coa-to...."
"Wah...!" tiba-tiba wajah nelayan itu menjadi pucat dan ia memandang Bu Song dengan mata terbelalak.
Bu Song merasa tidak enak hatinya. "Twako, kenapa?"
Dengan suara tergagap nelayan yang berusia hampir empat puluh tahun itu bertanya, "Kongcu... mau apakah... pergi ke... pulau itu...?" Sungguh aneh, muka yang menghitam karena sering dipanggang terik matahari itu kelihatan ketakutan ketika memandang Bu Song.
"Ah, aku hanya ingin pesiar, Twako."
Orang itu menarik napas panjang, agaknya lega hatinya mendengar bahwa pemuda kota ini bukan sengaja hendak ke pulau itu, dan agaknya tidak mengenal keadaan maka ingin pesiar ke tempat itu.
"Kongcu salah pilih! Kalau ingin pesiar, banyak tempat yang indah, mengapa memilih pulau... maut... itu?"
"Pulau maut? Apa maksudmu, Twako?"
"Ah, Kongcu tentu saja tidak tahu. Pulau Pek-coa-to itu adalah pulau angker sekali. Karena keangkeran pulau itulah maka tempat ini sekarang menjadi sepi. Para nelayan merasa takut mencari ikan di muara ini, karena adanya pulau itulah. Jangankan mendarat, mendekati pulau itu saja sudah cukup untuk kehilangan nyawa!"
"Mengapa begitu?"
"Entahlah. Pulau itu penuh binatang-binatang yang luar biasa, berbisa dan buas. Selain itu, agaknya juga... iblis dan siluman menjadi penghuninya. Sudahlah, Kongcu, membicarakannya saja merupakan pantangan di sini. Saya seorang pelayan yang terpaksa mencari ikan di sini, karena satu-satunya sumber nafkah saya adalah pekerjaan ini. Akan tetapi saya selalu menjauhkan diri dari pulau itu. Kongcu benar-benar salah pilih kalau hendak bersenang-senang dan berpesiar di daerah ini."
"Tidak salah pilih, Twako. Aku benar-benar ingin pergi ke pulau itu. Jangan kau khawatir, aku dapat menjaga diri dengan baik. Dan ini untuk biaya kalau kau suka mengantarku ke sana." Bu Song sengaja mengeluarkan lima potong perak yang ia dapat dari suhu-nya sebagai bekal di perjalanan. Ia mempunyai sekantung uang perak dan beberapa potong uang emas.
Melihat lima potong perak ini, si Nelayan memandang terbelalak. Bukan sedikit perak itu! Mencari ikan sebulan belum tentu akan menghasilkan sebanyak itu. Akan tetapi ia memandang Bu Song dan berkata lagi, "Bukan saya tidak mau menyeberangkan ke sana, Kongcu. Akan tetapi aku takut."
"Tidak usah takut, aku menjamin keselamatanmu."
"Kongcu kelihatan kuat akan tetapi... banyak temanku nelayan yang lebih besar dan kuat dari pada Kongcu tewas secara aneh di dekat pulau itu...."
"Kau tidak usah ikut mendarat. Cukup asal kau antar aku ke pulau itu dan kau boleh berlayar mencari ikan. Nanti menjelang senja, kau jemput aku. Bagaimana?"
Si Nelayan ragu-ragu. Bu Song maklum bahwa perlu ia memperlihatkan kepandaiannya agar nelayan ini hilang rasa takutnya. Ia menghampiri sebuah batu karang besar dan berkata, "Twako, apakah penghuni pulau itu kepalanya lebih kuat dari pada batu karang ini?" Ia menggerakkan tangan kanannya menampar. Terdengar suara keras dan debu mengebul. Ujung batu karang itu pecah berantakan!
Si Nelayan melongo dan mengangguk-angguk. "Ah, kiranya Kongcu adalah seorang demikian kuat. Baiklah, akan tetapi seperti yang Kongcu katakan tadi, saya hanya mengantar dan menjemput, tidak ikut mendarat di sana."
"Jangan khawatir, asal perahumu sudah dekat dengan daratan pulau itu, tidak perlu terlalu dekat, dan kau boleh tinggalkan aku untuk dijemput senja nanti."
Nelayan itu menyeret perahunya dan tak lama kemudian, setelah dapat melalui ombak yang memecah di pantai, lajulah perahu itu membawa Bu Song dan si Nelayan berlayar ke tengah laut. Berdebar jantung Bu Song. Ia sama sekali tidak tahu akan keadaan pulau itu. Mendiang Ciu Gwan Liong hanya menceritakan bahwa kakak sastrawan itu yang bernama Ciu Bun bersembunyi di pulau kosong yang bernama Pek-coa-to ini. Kenapa sekarang si Nelayan menceritakan hal yang aneh-enah dan seram? Kalau memang pulau itu sedemikian hebat dan berbahaya, apakah Ciu Bun sastrawan tua itu dapat hidup di sana? Bu Song tidak menjadi gentar, malah keanehan perkara ini makin menarik hatinya untuk segera mendarat di pulau itu, membuktikan omongan si Nelayan dan pesan mendiang Ciu Gwan Liong.
Dengan perahu layar yang mendapat angin penuh dan amat laju, sebentar saja mereka sudah tiba di dekat pulau itu. Kiranya yang membuat pulau itu tampak putih dari jauh adalah bukit-bukit atau batu-batu karang besar yang mengandung kapur. Pulau itu tampak sunyi dan kosong, sama sekali tidak kelihatan ada bahaya mengancam. Akan tetapi jelas tampak tubuh si Nelayan menggigil ketakutan. Maka Bu Song lalu meloncat ke darat.
"Kau pergilah mencari ikan, Twako. Nanti sore jemput aku di tempat ini!"
Si Nelayan hanya mengangguk-angguk dan cepat-cepat memutar perahunya untuk menjauhi tempat yang ditakuti ini.
Bu Song tersenyum ketika membalikkan tubuhnya memandang ke tengah pulau. Nelayan itu agaknya menjadi korban kepercayaan tahyul maka ia ketakutan seperti itu. Pulau ini agaknya sunyi dan tenteram, sama sekali tidak ada bahaya mengancam kecuali keadaannya yang liar dan agaknya tak pernah didatangi manusia. Ia melompat ke atas batu karang dan mendaki tempat yang paling tinggi untuk mengadakan pemeriksaan dari atas tentang keadaan pulau itu.
Setelah tiba di puncaknya, ia memandang ke bawah. Kiranya di tengah pulau itu tanahnya cukup subur, banyak pohon-pohon yang merupakan hutan. Akan tetapi sekeliling pulau itu adalah pantai batu karang sehingga dari jauh yang tampak hanyalah karang putih. Beberapa menit lamanya Bu Song mengintai dari atas, akan tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa di pulau itu ada orangnya. Ke mana ia harus mencari Ciu Bun? Benarkah kakek sastrawan itu berada di situ? Pulau ini hanya kecil saja. Ia tentu dapat menjelajahi sampai habis dan kembali ke tempat ia mendarat sebelum senja.
Bu Song turun dari batu karang itu dan berloncatan dari batu ke batu menuju ke tengah pulau. Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan sinar putih menyambar lehernya. Cepat Bu Song miringkan tubuh mengelak. Sinar itu lewat dan ketika ia menengok ke belakang, sinar itu telah lenyap sehingga ia tidak tahu senjata rahasia apakah yang menyambarnya tadi. Jantungnya berdebar. Kiranya benar ada orangnya dan agaknya orang itu berwatak keji, karena buktinya tanpa ada angin atau hujan tahu-tahu sudah menyerang dengan senjata rahasia!
Ia memandang ke kanan dari mana senjata rahasia tadi menyambar. Akan tetapi di sebelah kanannya hanya tampak batu karang dan tidak ada tanda-tanda manusia di situ. Ia kaget sekali. Tiba-tiba ia diserang lagi, dan kini bahkan serangan itu datang dari tiga jurusan, depan, kanan dan kiri. Juga menggunakan senjata rahasia seperti tadi, putih kecil yang menyerang leher, perut dan kaki. Untung ia dapat bergerak cepat dan loncatannya tadi menggagalkan serangan. Celaka, pikirnya. Agaknya sedikitnya ada tiga orang manusia yang memusuhinya.
"Cu-wi sekalian harap jangan turun tangan! Saya datang dengan maksud baik, bukan untuk bermusuhan dengan siapa pun juga."
Pada saat itu, dari sebelah kanan menyambar lagi benda putih. Bu Song penasaran dan ingin memperlihatkan kepandaiannya. Dengan dua jari tangan ia menyambar benda putih itu dan berhasil menjepitnya. Akan tetapi hampir saja ia berteriak saking kagetnya. Benda yang disangkanya senjata rahasia itu kiranya adalah seekor ular putih yang kini terjepit di antara dua jarinya, akan tetapi ular itu telah menggigit telapak tangannya! Bu Song gemas dan sekali remas kepala ular itu hancur.
Telapak tangannya mengeluarkan darah sedikit, tapi Bu Song tidak khawatir. Tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Akan tetapi ia tidak mau mengambil resiko, maka dengan pengerahan hawa sakti ke arah tangannya, ia berhasil mendorong ke luar darahnya melalui luka. Darahnya yang keluar dari luka berubah putih, tanda keracunan! Akan tetapi hanya sedikit, dan setelah yang mengucur ke luar adalah darah merah bersih, ia menghentikan usahanya. Luka tidak berarti, dan ia diam-diam merasa geli.
Kiranya ia tadi bicara terhadap ular-ular putih kecil yang menyerang orang sambil ‘terbang’ atau lebih tepat, meluncur dan melayang. Benar-benar amat berbahaya ular-ular itu. Kalau bukan dia yang digigit, bisa mendatangkan maut. Mulai mengertilah kini Bu Song mengapa si Nelayan itu takut setengah mati terhadap pulau ini. Dan ia pun menduga bahwa tentu masih ada bahaya-bahaya lainnya di pulau ini. Dengan hati-hati ia berjalan terus ke depan. Serangan ular-ular putih ia hindarkan dengan mengelak atau kadang-kadang mengebutnya dengan ujung baju lengan.
Tiba-tiba jantungnya berdebar keras dan ia menghentikan langkahnya. Ia menahan napas dan mendengarkan penuh perhatian. Tidak salah lagi! Itulah tiupan suling! Suara suling yang luar biasa sekali. Dia sendiri seorang ahli meniup suling, akan tetapi tiupan suling yang terdengar itu benar-benar mengagumkan. Dan suara itu datang dari depan sebelah kiri, dari pinggir hutan di mana terdapat bukit-bukit dengan batu-batu hitam.
Girang sekali hati Bu Song. Kiranya mendiang Ciu Gwan Liong tidak menipunya. Ia tidak ragu bahwa yang meniup suling itu tentulah sastrawan Ciu Bun yang dicarinya! Cepat ia berlari menuju ke bukit dekat hutan itu. Kini ia tiba di daerah penuh pasir, dan tiba-tiba ia roboh terguling karena pasir yang diinjaknya itu bergerak memutar!
Begitu jatuh, pasir yang menerima tubuhnya itu mengisap dan berputaran. Bu Song kaget bukan main. Cepat ia mengerahkan tenaganya dan memukulkan kedua telapak tangan ke atas pasir, menggunakan daya dorongan ini untuk mengangkat tubuh ke atas dan sambil berjungkir balik ia meloncat jauh ke depan. Mukanya pucat melihat pasir itu masih bergerak-gerak seperti air! Bukan main! Kalau ia tadi tidak cepat membebaskan diri, tentu tubuhnya akan terisap terus ke bawah dan sekali tubuhnya terisap, sukarlah melepaskan diri lagi. Benar-benar tempat yang amat berbahaya.
Kini ia melangkah dengan hati-hati sekali. Kiranya daerah berpasir ini banyak sekali pasir berpusing seperti itu. Akan tetapi karena ia sudah hati-hati, begitu kakinya menginjak pasir bergerak, ia segera meloncat dan dengan demikian terhindarlah ia dari bahaya itu. Akhirnya ia tiba di dekat bukit dari mana suara suling kini terdengar jelas.
Suara suling itu keluar dari sebuah goa. Dengan hati girang Bu Song terus berjalan menghampiri. Goa itu merupakan terowongan yang dalam dan gelap. Merasa bahwa ia berada di tempat orang, Bu Song tidak berani masuk dan hanya berdiri di depan goa, menanti sampai suara suling itu habis dilagukan. Akhirnya suara suling berhenti dan Bu Song segera berseru.
"Apakah Paman Ciu Bun berada di dalam?" Hening, tiada jawaban sampai lama.
"Saya datang membawa pesan mendiang Paman Ciu Gwan Liong!"
Segera terdengar jawaban dari dalam, suaranya penuh ejekan, "Sin-jiu Couw Pa Ong, apa artinya semua lelucon ini? Kalau kau mau coba memaksaku, mau menyiksaku atau membunuhku, kau masuk saja. Perlu apa menyebut-nyebut nama Gwan Liong?"
Bu Song terkejut. Mengapa orang di dalam itu menyebut-nyebut nama Sin-jiu Couw Pa Ong? "Paman Ciu Bun, saya bukan Sin-jiu Couw pa Ong. Nama saya Liu Bu Song!" teriaknya. Ia sengaja menggunakan she ibunya, karena ia masih merasa tak senang kepada ayahnya yang dianggap telah menceraikan ibunya dan menikah lagi.
"Orang muda, apakah kau bukan kaki tangan Couw Pa Ong?" Agaknya orang di dalam goa yang gelap itu dapat melihatnya yang berada di luar goa, buktinya dapat mengetahui bahwa dia adalah seorang pemuda.
"Sama sekali bukan, Paman."
"Kau membawa pesan apa dari Ciu Gwan Liong?"
"Sebelum Paman Ciu Gwan Liong meninggal, dia menyerahkan sebuah kitab kepada saya dan menyuruh saya mencari Paman Ciu Bun di pulau ini."
"Aaahhh...!" Orang itu mengeluarkan seruan kaget, diam sampai lama lalu berkata, "Orang muda, coba kau bacakan sajak ke tiga dari dalam kitab itu!"
Bu Song sudah sering membaca kitab pemberian Ciu Gwan Liong, maka tanpa membaca pun ia sudah hafal. Maka ia lalu membacakan kalimat dalam sajak ke tiga.
Matahari bersinar miring di tengah hari.
Sesuatu mati begitu lahir.
Selatan tiada batas dan ada ujungnya.
Aku pergi ke selatan hari ini dan tiba di sana kemarin!
Cintalah semua benda dengan sama.
Alam adalah satu.
Kitab kecil kuno itu memang mengandung sajak-sajak yang amat aneh dan sukar dimengerti. Sajak ke tiga yang dibacakan oleh Bu Song itu adalah sajak dari seorang menteri Kerajaan Wei bernama Hui Su (370-319 BC), seorang tokoh Mohism, yaitu pengikut ajaran-ajaran Mo Cu. Keistimewaan Mohism adalah kata-kata yang saling bertentangan atau saling berlawanan.
Begitu mendengar Bu Song membacakan sajak itu, orang di sebelah dalam goa berseru girang, "Tepat...! Orang muda, engkau dapat sampai di sini tentu memiliki kepandaian, siapakah gurumu?"
"Suhu bernama Kim-mo Taisu."
"Wah, pantas... pantas saja adikku mempercayaimu. Kau masuklah dan suling ini tentu akan kuberikan kepadamu. Akan tetapi engkau harus bisa menghalau perintang yang menyeramkan itu lebih dulu. Ingin kulihat apakah kepercayaan Gwan Liong kepadamu tidak sia-sia! Masuklah, orang muda, akan tetapi awas terhadap binatang-binatang itu. mereka amat buas!"
Bu Song melangkah masuk. Karena orang di dalam goa sudah memberi peringatan, ia bersikap hati-hati sekali, melangkah perlahan-lahan dan mata serta telinganya siap sedia. Tiba-tiba ia mendengar desis keras dan hidungnya mencium bau yang amis. Baiknya cahaya matahari masih cukup terang memasuki goa itu sehingga ia dapat melihat bayangan hitam merayap datang di depannya dan ternyata yang merayap itu adalah seekor binatang seperti buaya yang luar biasa! Kulitnya tebal, matanya besar bersinar hijau, lidahnya panjang bercabang seperti lidah ular dan dari mulutnya yang mendesis-desis itu keluar uap putih yang berbau amis. Suara mendesis makin hebat dan ternyata binatang itu bukan seekor saja, melainkan ada empat ekor! Mereka datang dari depan, kanan dan kiri dengan sikap mengancam.
Bu Song berdiri memasang kuda-kuda. Begitu melihat binatang yang paling dekat dengannya menyergap dengan kedua kaki depan terangkat dan mulut terbuka lebar, Bu Song segera mengerahkan tenaga ke tangan kanan dan ia memukul dengan jari terbuka.
"Desss!!" binatang seperti buaya itu terlempar, mengeluarkan suara keras akan tetapi lalu merayap pergi, gerakannya lemah dan limbung.
Lega hati Bu Song. Kiranya binatang-binatang ini lebih menakutkan dari pada membahayakan. Ia tidak menanti sampai binatang-binatang itu menyerbunya, melainkan mendahului menerjang maju dan dengan gerakan cepat sekali kedua tangannya membagi-bagi pukulan yang diarahkan kepada tiga ekor binatang yang lain. Terdengar suara keras dan binatang-binatang itu menjerit-jerit lalu lari kacau-balau, bersembunyi di balik batu karang yang gelap di kanan kiri goa.
"Bagus! Kau tidak kecewa menjadi murid Kim-mo Taisu dan kepercayaan adikku Gwan Liong. Tunggulah, orang muda. Setelah empat ekor binatang buruk itu pergi aku dapat keluar sendiri!" Suara orang itu terdengar girang dan tak lama kemudian muncullah sesosok bayangan hitam dari dalam gelap.
Ketika tiba di tempat yang diterangi sinar matahari dari luar, Bu Song melihat seorang laki-laki tua tinggi kurus bermuka pucat. Tubuh dan mukanya menyatakan bahwa kakek ini tidak sehat, atau bahkan sakit, akan tetapi ketika ia berjalan ke luar, langkahnya dan sikapnya membayangkan keangkuhan seorang terpelajar tinggi. Di tangan kanannya terdapat sebatang suling yang berkilauan ketika terkena sinar matahari, sebatang suling berwarna kuning. Tidak salah lagi, itulah suling emas, pikir Bu Song dengan hati penuh ketegangan.
Kakek itu pun memandang Bu Song penuh perhatian. Agaknya ia puas melihat Bu Song. "Mari kita keluar. Kau harus cepat-cepat mempelajari cara meniup suling ini dan menyesuaikan bunyinya dengan sajak-sajak di dalam kitab. Hayo cepat, jangan sampai ia keburu datang!" Tergesa-gesa kakek ini mengajak Bu Song keluar dari dalam goa.
"Apakah Paman maksudkan Kong Lo Sengjin?"
Kakek itu berhenti di depan goa dan memandang. Matanya yang tajam penuh selidik dan membayangkan kecurigaan. "Kau mengenal dia?"
"Tentu saja saya mengenal Kong Lo Sengjin, Paman. Isteri Suhu adalah keponakan Kong Lo Seng Jin, akan tetapi anehnya, kakek yang sakti tapi kejam itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri untuk menipu Suhu."
Kakek yang bukan lain adalah sastrawan Ciu Bun yang selama bertahun-tahun dicari-cari oleh tokoh-tokoh kang-ouw itu tercengang. "Apa...? Kim-mo Taisu menjadi mantu keponakan Couw Pa Ong? Sungguh aneh! Dan tua bangka itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri? Orang muda, eh... siapa namamu tadi? Bu Song? Bu Song, kau ceritakan semua kepadaku!"
Mereka pergi ke belakang tumpukan karang tak jauh dari goa. Di situ Kakek Ciu Bun duduk dan Bu Song segera menceritakan keadaan suhu-nya dan Kong Lo Sengjin menipu Kim-mo Taisu bahwa pembunuhnya adalah musuh-musuh Kong Lo Sengjin. Kemudian betapa secara tidak sengaja ia mendengar percakapan antara Kong Lo Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang maka ia tahu akan rahasia itu. Kemudian ia bercerita juga sedikit tentang keadaan dirinya, bahwa selain murid Kim-mo Taisu, dia pun bekas calon mantunya dan betapa calon isterinya puteri Kim-mo Taisu tewas di dalam jurang.
Mendengar penuturan itu, Ciu Bun bengong lalu memaki gemas, "Tua bangka itu benar-benar telah menyeleweng jauh dari pada kebenaran! Untung bukan dia yang mendapatkan kitab di tangan Gwan Liong. Kau tadi bilang Gwan Liong sudah meninggal, bagaimana kau tahu?"
"Bukan hanya tahu, Paman. Bahkan saya yang mengubur jenazahnya." Kembali Bu Song bercerita tentang nasib Ciu Gwan Liong yang buruk dan betapa kakek sastrawan itu agaknya membunuh diri agar jangan sampai terjatuh ke tangan Kong Lo Sengjin.
Ciu Bun membanting-banting kaki kanannya. "Couw Pa Ong, kau benar-benar patut dimaki dan dikutuk!"
Hening sejenak, kemudian Ciu Bun berkata, "Nah, kau ambil kitab itu, kau baca sajaknya dan aku akan meniup suling itu disesuaikan dengan isi sajak. Kau tahu, setiap huruf itu mengandung bunyi tertentu sesuai dengan maknanya. Suara suling ini harus ditiup sesuai dengan bunyi huruf sehingga merupakan lagu tertentu sesuai dengan bunyi sajak. Kami, yaitu aku dan adikku yang telah meninggal adalah sastrawan-sastrawan yang mengutamakan keindahan seni, maka pemberian anugerah dari Bu Kek Siansu berupa dua buah benda berharga ini bagi kami semata-mata hanyalah mengandung keindahan yang luar biasa. Keindahan seni sastra diselaraskan dengan seni suara. Menurut Bu Kek Siansu, kalau bunyi sajak dan suara suling ini sudah dapat diselaraskan seperti mestinya, maka akan mendatangkan hikmat luar biasa, menenangkan batin, menjernihkan pikiran dan menghalau segala macam pikiran jahat, menindih nafsu dan membawa orang ke tingkat batin yang lebih tinggi. Akan tetapi, selain itu aku yakin bahwa dua benda ini pun mengandung sesuatu yang amat hebat bagi dunia persilatan, karena buktinya tokoh-tokoh kang-ouw dari segala penjuru mencari-cari dan mengejar-ngejar kami. Nah, kau bacakan sajak yang mana saja, biar kutimpali dengan suling ini!"
Mendengar penjelasan itu Bu Song merasa betapa sulitnya mempelajari ilmu menyesuaikan bunyi huruf dan bunyi suling, namun ia menaruh perhatian besar dan segera ia membaca lambat-lambat sederet sajak. Kakek Ciu Bun sudah meniup sulingnya dan terdengarlah bunyi suling mengalun aneh, akan tetapi lebih aneh lagi bagi Bu Song, suara suling itu demikian enak dan cocok dengan suaranya yang membaca huruf-huruf secara lambat.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan suara aneh lucu. "Ngieeehhh... ngieeehhh!"
Seketika Ciu Bun menghentikan tiupan sulingnya. Karena ini Bu Song juga menghentikan bacaannya dan menoleh ke arah suara. Kiranya di depan goa tadi kini tampak sekor kuda yang ditunggangi oleh dua orang. Dua orang laki-laki aneh sekali, karena mereka itu menunggang kuda dengan menghadap ke belakang dan laki-laki yang di belakang memegang ekor kuda sambil mengeluarkan suara "ngieeeeh-ngieeeeh" tadi.
Dua orang laki-laki ini benar-benar luar biasa sekali. Yang seorang bertubuh tinggi kurus seperti rangka terbungkus kulit, berkepala gundul dan bertelanjang baju, hanya memakai celana sebatas lutut dan bertelanjang kaki. Orang ke dua yang memegangi ekor kuda tidak kalah anehnya. Tubuhnya gemuk sekali, punggungnya berpunuk mulutnya besar dan dan kepalanya juga gundul bertelanjang baju dan bercelana seperti orang yang pertama.
"Kiu-ji dan Ciu-ji (Anak Kiu dan Anak Ciu)! Berani kalian mengganggu aku selagi meniup suling? Awas, kuadukan nanti kepada Ong-ya!"
Muka kedua orang gundul itu menjadi ketakutan. Si Gendut lalu menggerak-gerakkan ekor kuda agar kudanya berlari cepat. "Tidak... tidak... tidak...!" Mereka berkata ketakutan.
Benar-benar pemandangan yang luar biasa sekali. Tak dapat Bu Song menahan keingin-tahuan hatinya. "Paman, siapakah mereka tadi?"
"Mereka itu dua orang pelayan dan juga murid Couw Pa Ong. Gigitan-gigitan beracun dari binatang-binatang berbisa membuat mereka tidak waras otaknya. Akan tetapi mereka itu hebat kepandaiannya, mewarisi ilmunya Couw Pa Ong. Memang tua bangka itu aneh sekali, menurunkan ilmunya kepada dua orang gila macam itu."
"Jadi Kong Lo Sengjin tinggal di pulau ini?" Bu Song bertanya kaget karena hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya.
Ciu Bun mengangguk. "Tentu saja tinggal di sini! Dengarlah, Couw Pa Ong adalah sahabat baikku semenjak dahulu. Kami berdua orang-orang yang setia kepada Kerajaan Tang. Dia banyak belajar ilmu kesusateraan dari aku yang dulu menjabat kedudukan guru sastra di kota raja! Atas ajakannyalah aku tinggal di sini untuk menyembunyikan diri dari orang-orang jahat yang hendak merampas suling ini. Mula-mula Couw Pa Ong memang tetap menjadi sahabat baikku. Akan tetapi agaknya kegilaan kedua orang murid atau pelayannya itu menular kepadanya. Sikapnya mulai berubah dan dia mulai membujuk-bujukku untuk menurunkan rahasia suling dan kitab pemberian Bu Kek Siansu kepadanya! Akan tetapi setelah kutahu bahwa pikiran dan wataknya telah berubah, aku selalu mengatakan bahwa suling ini tidak ada artinya baginya, hanya untuk ditiup melagu menghibur diri. Ia penasaran lalu memasukkan aku ke dalam goa itu, dijaga oleh binatang-binatang liar. Tentu saja aku tidak berani keluar dan yang berani memasuki goa hanyalah dua orang bocah edan tadi yang mengantar makanan setiap hari kepadaku. Kau tahu bahwa Couw Pa Ong tentu hendak mencari dan menangkap adikku untuk memaksa kami kakak beradik membuka rahasia kitab dan suling. Untung sekali adikku bertemu dengan engkau. Nah, tahukah kau sekarang? Hayo kita berlatih lagi. Kau sudah dapat menangkap contohku tadi?"
"Sudah, Paman. Memang mendatangkan perasaan yang hebat, tapi aku masih bingung karena hal ini memang amat sukar dimengerti."
"Memang. Sekarang biarlah kau belajar meniup suling..."
"Paman, saya sudah biasa bersuling dan mendapat petunjuk Suhu..."
"Bagus! Ah, agaknya memang sudah jodoh. Nah, lekas kau meniup suling ini dan usahakan agar suara sulingmu dapat sesuai dengan bunyi dan sifat huruf yang kubaca!"
Mereka bertukar benda. Kakek itu menyerahkan suling emas dan menerima kitab dari tangan Bu Song. Sastrawan Ciu Bun membacakan sajak terakhir dari kitab itu dan Bu Song segera meniup sulingnya. Hebat tiupan suling anak muda ini. Memang ia berbakat sekali sehingga tiupannya mengandung getaran perasaannya. Pula, karena Bu Song sendiri sudah hafal akan isi kitab, ia segera dapat menyesuaikan bunyi sulingnya, mengarah bunyi huruf. Ketika meniup suling, seluruh perhatiannya dicurahkan kepada makna dari huruf yang ditiupnya. Terdengar perpaduan suara sajak dan suling yang luar biasa, mengalun-alun dan merayu-rayu.
ADA muncul dari TIADA.
Betapa mungkin mencari sumber TIADA?
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!
Demikianlah bunyi sajak terakhir itu. Sampai tiga kali Ciu Bun membaca sajak itu, terus diikuti oleh tiupan suling Bu Song. Setelah habis, terdengar Ciu Bun berseru, "Ya Tuhan....!!"
Bu Song memegang suling itu dan memandang Kakek Ciu Bun. Ia terkejut melihat wajah kakek itu makin pucat, seperti kehijauan, akan tetapi mata kakek itu bersinar-sinar, mulutnya tersenyum sehingga biar pun wajah itu amat pucat, namun seperti berseri-seri. Kedua kakinya ditekuk dan bersila, kedua tangan memegang kitab, lalu bibirnya bergerak. "Dapat sudah sekarang... ya Tuhan, dapat sudah..."
Bu Song tidak mengerti, lalu bertanya hormat, "Paman, apakah yang Paman maksudkan?"
"Bu Song, kau sudah hafal akan isi kitab?" tiba-tiba kakek itu bertanya, suaranya biasa kembali.
"Sudah, Paman."
"Kalau begitu tinggalkan kitab ini padaku dan kau bawalah suling itu pergi dari sini, cepat! Kau sudah tahu akan rahasia isi kitab dan suara suling. Bahagialah kau, Bu Song."
Bu Song mendekati. "Akan tetapi, kalau Paman di sini tertawan, marilah Paman ikut pergi dengan saya. Untuk apa tinggal di pulau berbahaya ini?"
"Tertawan? Berbahaya? Ahh, tidak sama sekali. Sudahlah, kau cepat pergi, jangan sampai dia datang mendapatkan kau di sini."
"Tapi, Paman..."
"Keraguan hati akan merintangi kemajuanmu, orang muda. Pergilah!" Kakek itu berkata dengan suara tegas sehingga Bu Song tidak berani membantah lagi.
Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang bersila di atas batu, menghaturkan terima kasih lalu bangkit berdiri dan berjalan pergi dari situ, menuju ke tempat ia mendarat tadi. Di belakangnya ia mendengar suara kakek itu membaca sajak terakhir dan ketika tiba di dua kalimat terakhir, suara itu seperti berteriak girang.
Akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!
Ketika Bu Song tiba di tepi pulau, di atas batu karang, ia melihat layar perahu nelayan itu dari jauh. Bu Song menaruh kedua tangan di pinggir mulutnya lalu berseru sambil mengerahkan khikang di dadanya, "Kakak nelayan...! Kemarilah...!!"
Layar itu makin besar dan kini tampaklah perahu kecil itu bersama si Nelayan yang berwajah ketakutan. Setelah perahu itu dekat, dalam jarak lima meter Bu Song lalu meloncat ke atas perahu. Akan tetapi si Nelayan memandang ke arah pulau dengan muka pucat dan tubuh menggigil, sehingga kedua tangannya tidak dapat lagi mengemudi perahu. Bu Song terheran dan cepat menoleh. Untung ia sudah berada di atas perahu karena ternyata di tepi pulau itu berdiri dua orang manusia aneh yang tadi menunggang kuda dan mereka itu membawa sebuah batu karang besar yang kini mereka lemparkan ke arah perahu. Dua batu karang itu besarnya seperut kerbau dan dilempar dengan kekuatan dahsyat ke arah perahu!
"Cepat jalankan perahu ke tengah!" Bu Song masih sempat berteriak dan ia melompat ke buntut perahu, memasang kuda-kuda dan ketika dua batu karang itu datang menyambar, ia menggunakan kedua tangannya mendorong sambil mengerahkan sinkang-nya.
"Byurrr...!" dua batu karang itu dapat terdorong menyeleweng dan jatuh ke air, akan tetapi saking hebatnya tenaga lemparan itu, kedua kaki Bu Song melesak ke bawah karena papan atas perahu yang diinjaknya jebol! Selain itu, dua batu karang yang terbanting ke air itu menimbulkan gelombang hebat sehingga perahunya miring dan hampir saja terbalik. Baiknya nelayan itu tahu akan bahaya dan sudah cepat-cepat mengatur keseimbangan perahunya, mengemudi layar dan cepat sekali angin besar mendorong perahu menjauhi pulau! Dua manusia aneh itu meloncat-loncat di tepi pulau dan sebentar saja lenyap.
"Kongcu.... Mereka itu tadi.... siluman.... atau ibliskah.....?"
Bu Song tersenyum. Biarkan para nelayan ini ketakutan agar tidak berani mendekati pulau Pek-coa-to, karena kalau mendekati pulau itu memang besar kemungkinan mereka akan tewas. Selain di pulau itu terdapat banyak binatang buas dan berbisa. Juga di situ tinggal Kong Lo Sengjin dan dua orang pelayannya yang gila dan kejam.
"Agaknya mereka itu iblis pulau. Akan tetapi untung kita dapat melarikan diri!" jawab Bu Song.
Jawaban ini membuat nelayan itu makin ketakutan dan ia mengerahkan seluruh kecakapannya untuk berlayar secepat mungkin menyeberang ke daratan yang aman.
Bu Song menyimpan sulingnya diselipkan di ikat pinggang dan tertutup baju. Ia maklum bahwa suling itu tentu akan menimbulkan perkara kalau sampai terlihat orang jahat. Orang-orang kang-ouw mencarinya, tentu mengharapkan hikmatnya, sedangkan orang-orang jahat tentu juga menginginkannya karena harganya. Suling ini terbuat dari emas yang tentu saja mahal harganya.....
Kagetlah semua orang yang berada di dalam tenda itu. Nama Sin-jiu Couw Pa Ong memang amat terkenal. "Dengan cara bagaimana kau hendak mencampuri urusan kami, urusan tentara?"
Kembali kakek itu tertawa. "Dalam urusan perang memang kalian ahli, dan menghadapi barisan tentu saja aku tidak berarti. Akan tetapi menghadapi kekerasan lawan, kiranya aku dapat banyak membantu. Misalnya, dengan mudah aku dapat melucuti belasan orang lawan. Kalian lihat baik-baik!"
Tiba-tiba tubuh kakek itu berkelebat menyerbu mereka! Kagetlah belasan orang itu. Mereka juga bukan orang-orang biasa, melainkan panglima-panglima yang sudah biasa bertempur, maka tentu saja mereka itu pandai ilmu silat. Melihat bayangan kakek itu berkelebat dekat, tanpa ragu-ragu lagi mereka lalu menggerakkan senjata mereka menerjang. Terdengar suara kaget bergantian dan dalam sekejap mata saja semua panglima dan perwira sudah kehilangan senjata mereka. Ketika mereka memandang, ternyata pedang dan golok mereka yang terampas secara aneh itu telah tertumpuk di atas meja dan kakek itu pun sudah duduk di atas bangku dekat meja sambil tersenyum-senyum.
"Bagaimana? Cukup berhargakah aku menjadi sekutu kalian?"
Mereka lalu duduk kembali mengelilingi meja.
"Mengapa Lo-cianpwe hendak membantu kami? Dengan maksud apa?" tanya seorang panglima tua, kini menyebut lo-cianpwe karena maklum bahwa kakek lumpuh itu benar-benar sakti luar biasa.
"Dengan maksud apa? Tentu saja dengan maksud menegakkan kembali kekuasaan Tang yang sudah runtuh. Jenderal Cao adalah keturunan dari pembesar tinggi bangsawan Tang, maka sudah sepatutnya jika beliau diangkat. Akan tetapi kalau dia menolak, kita bisa memilih lain orang. Bukan Cao-goanswe seorang di antara kita yang cakap menggantikan raja kanak-kanak dan ibunya!"
Karena tertarik oleh kesaktian Kong Lo Sengjin yang tentu saja akan dapat merupakan pembantu yang amat berharga, akhirnya belasan orang komandan itu menerima Kong Lo Sengjin menjadi sekutu dan berundinglah mereka tentang niat mereka memaksa Cao Kuang Yin untuk memberontak.
Pada saat itu Jenderal Cao Kuang Yin sendiri tidak berada dalam tendanya. Panglima ini keluar seorang diri dan kini ia berdiri termenung di atas sebuah gunung kecil, menatap angkasa yang dihias bintang-bintang gemerlapan. Bulan seperempat tampak doyong di angkasa. Berkali-kali panglima ini menarik napas panjang, kemudian ia menengadah ke langit dan keluarlah keluhan hatinya yang tanpa ia sadari terucapkan dari mulutnya.
"Liang, Tang, Cin, Han Cou... lima kerajaan bermunculan, namun semua tidak berhasil mengamankan negara dan memakmurkan rakyat jelata. Ahhh, sekian banyaknya bintang bermunculan dan berjatuhan, tiada satu yang menyinarkan cahaya menerangi jagad. Bilakah akan muncul sebuah bintang yang demikian?"
Tiba-tiba terdengar keluhan orang lain yang disambung dengan kata-kata seperti sajak. "Bila kepalanya benar, kaki tangan yang tidak baik pun dapat dimanfaatkan. Bila kepalanya tidak benar, kaki tangan yang betapa baik pun tidak ada manfaatnya! Segala sesuatu memang sudah dikehendaki Tuhan maka dapat terjadi, akan tetapi jika manusia tidak berusaha dan hanya mengandalkan kehendak Tuhan, tiada bedanya ia dengan pohon atau hewan!"
Cao Kuang Yin terkejut, apalagi setelah menengok ia melihat seorang laki-laki gagah perkasa yang berpakaian seperti tosu berdiri tak jauh dari situ, juga menengadah sambil menuangkan arak dari sebuah guci arak. Ucapan tadi bukanlah kata-kata biasa, maka Cao Kuang Yin dapat menduga bahwa tentu orang ini bukan orang biasa pula. Cepat ia menghadapinya sambil menjura dan berkata, "Saudara yang baik, ucapanmu benar-benar mengagumkan hatiku, akan tetapi juga mengherankan. Sudilah kiranya memberi penjelasan."
Orang tua gagah itu bukan lain adalah Kim-mo Taisu. Setelah menurunkan semua ilmunya kepada Bu Song selama hampir tiga tahun, ia lalu berpisah dari muridnya itu yang ia suruh pergi mencari suling emas di Pulau Pek-coa-to seperti yang diceritakan sastrawan Ciu Gwan Liong kepada Bu Song. Ada pun dia sendiri lalu mulai pergi mencari Kong Lo Sengjin. Inilah sebabnya maka ia pada saat itu berada di atas bukit kecil, diam-diam membayangi Cao Kuang Yin yang ia kenal sebagai seorang panglima besar Kerajaan Cou.
Kim-mo Taisu sudah mendengar akan semua urusan di kota raja, maka ia pun tahu bahwa jenderal ini memimpin pasukan besar menuju ke utara. Ia merasa heran ketika dalam penyelidikannya mendapat kenyataan bahwa orang yang dikejar-kejarnya, yaitu Kong Lo Sengjin berada pula di dalam pasukan itu. Tentu saja ia tidak berani turun tangan secara sembrono dalam barisan yang begitu besar.
Kini ia sengaja mendekati Cao Kuang Yin dan sengaja menjawab keluhan jenderal itu untuk mengukur isi hatinya. Kini mendengar pertanyaan komandan itu dan melihat sikapnya yang wajar dan jujur sopan, diam-diam ia merasa kagum sekali. Segera Kim-mo Taisu menghadapinya dan membalas hormat selayaknya.
"Cao-goanswe, harap maafkan kalau saya menganggu. Tadi saya mendengar keluhan Goanswe tentang lima kerajaan yang tidak berhasil mengamankan negara dan memakmurkan rakyat jelata. Saya merasa cocok dan tanpa disengaja mengeluarkan kata-kata yang mengagetkan Goanswe. Sesungguhnya, negara kita banyak memiliki patriot-patriot, pahlawan-pahlawan yang cinta tanah air dan bangsa, yang setia kepada negara. Akan tetapi, kalau yang menjabat kaisar tidak bijaksana dan mementingkan kesenangan pribadi, tentu saja para pahlawan itu akan disalah-gunakan tenaganya. Akibatnya, pemimpin-pemimpin yang baik akan dikesampingkan, pembesar-pembesar korup penjilat akan terpakai. Turunnya bintang cemerlang sebagai kaisar tentu saja adalah kehendak Thian, akan tetapi semua itu hanya akan terjadi melalui ikhtiar dan usaha manusia sendiri. Inilah pendapat saya pribadi, Goanswe, kalau keliru harap dimaafkan." Kim-mo Taisu menenggak araknya kembali.
"Ah, tidak... tidak keliru! Benar sekali pendapat Saudara. Ah, bukankah saya berhadapan dengan Kim-mo Taisu...?"
"Cao-goanswe bermata tajam, benar-benar saya kagum sekali," kata Kim-mo Taisu.
Jenderal itu tertawa. "Nama Taisu menjulang setinggi gunung Thai-san. Kipas di pinggang, pedang di punggung dan guci arak di tangan, kemudian mengeluarkan pendapat sedemikian bijaksana, siapa lagi orangnya kalau bukan Kim-mo Taisu?"
Tiba-tiba terdengar suara berisik dan muncullah belasan orang yang serta merta menerjang Cao Kuang Yin dengan senjata mereka!
"Bunuh! Serbu cepat selagi ada kesempatan baik!" begitulah teriakan-teriakan mereka. Gerakan mereka cepat dan ringan, tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi.
Cao Kuang Yin kaget sekali. Cepat ia mengelak dari dua buah sambaran golok sambil melompat mundur dan mencabut pedangnya. "Kalian siapakah? Tidak melihat bahwa aku Jenderal Cao? Mundur!!"
"Ha-ha-ha, justru kami mencari dan harus membunuh Jenderal Cao!" seorang di antara mereka berseru. Mereka semua ada dua belas orang yang kini mengurung.
Ketika jenderal itu hendak menerjang mencari jalan ke luar, tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata, "Tenanglah, Goanswe, dan serahkan mereka kepadaku!"
Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu yang tadi menenggak araknya, menurunkan gucinya, kemudian tiba-tiba ia menyemburkan arak sambil memutar-mutar tubuhnya. Terdengar teriakan-teriakan kaget ketika dua belas orang itu merasakan sambaran arak yang seperti jarum-jarum disebar. Sebelum hilang kekagetan mereka, tiba-tiba Kim-mo Taisu sudah bergerak cepat sekali menggunakan kipasnya. Setiap kali kipasnya bergerak, seorang pengeroyok lantas roboh. Hiruk-pikuk suara mereka, golok dan pedang beterbangan, dan dalam waktu beberapa menit saja dua belas orang itu sudah roboh tak berkutik!
"Jangan bunuh semua!" Cao Kuang Yin mencegah, namun terlambat. Orang terakhir sudah roboh pula.
Jenderal itu cepat melompat ke dekat orang terakhir yang masih bergerak-gerak, kemudian ia menjambak leher baju orang itu dan membentak. "Hayo mengaku! Siapa menyuruh kalian?!"
Orang itu berusaha membuka mulut, akan tetapi suara yang keluar hanyalah suara seperti babi disembelih karena jalan darahnya sudah putus oleh ketukan gagang kipas dan ia hanya dapat menuding-nudingkan telunjuknya, lalu lemas dan nyawanya melayang.
"Cao-goanswe, orang-orang yang berbuat khianat macam mereka ini sudah sepatutnya dibunuh semua," kata Kim-mo Taisu.
"Ah, akan tetapi saya ingin mengetahui siapakah yang menyuruh mereka?"
"Dia tadi menunjuk ke arah selatan, ke arah kota raja. Agaknya dari kota raja datangnya perintah."
Cao Kuang Yin mengerutkan keningnya. Ia mengingat-ingat dan merasa bahwa di kota raja dia tidak mempunyai musuh, kecuali ibu suri tentunya karena ia telah mengajukan protes. Mungkinkah ibu suri yang mengirim pembunuh-pembunuh ini?
"Taisu telah menyelamatkan nyawa saya, sungguh merupakan budi besar."
"Penyelamat atau pencabut nyawa hanyalah menjadi kekusaan Thian! Sungguh pun kebetulan saya berada di sini ketika Goanswe diserang orang-orang itu, akan tetapi sesungguhnya bukan karena kebetulan saya mendekati Goanswe. Saya memang sengaja membayangi Goanswe ke tempat ini karena maksud tertentu."
"Ahh...?" Jenderal Cao kaget dan memandang tajam. "Maksud apakah?"
"Saya mempunyai urusan pribadi dengan orang yang kini kebetulan berada dalam barisan Goanswe. Tanpa perkenan Goanswe saya tidak berani mencari keributan dalam pasukan Goanswe."
Jenderal itu mengelus jenggotnya. "Hemm, siapakah orang itu?"
"Dia adalah Kong Lo Sengjin, atau dahulu terkenal dengan nama Sin-jiu Couw Pa Ong!"
"Hah? Sin-jiu Couw Pa Ong? Akan tetapi dalam barisanku tidak ada Kakek terkenal itu!"
"Sudah lama saya mengejarnya dan tidak salah lagi, dia berada dalam barisan Goanswe."
"Kalau begitu, biarlah kita periksa besok. Marilah Taisu ikut bersama saya. Malam ini harap Taisu suka menemani saya dan besok kita sama-sama memeriksa. Kalau betul ada Kakek itu dengan barisan, sudah tentu saya perkenankan Taisu untuk menyelesaikan urusan pribadi Taisu dengan dia tanpa campur tangan kami."
"Terima kasih. Goanswe benar-benar bijaksana." Kim-mo Taisu memberi hormat, kemudian mereka berdua berjalan bersama kembali ke perkemahan.
Jenderal Cao bercakap-cakap dan merasa cocok sekali dengan pendekar itu sehingga mereka bercakap-cakap sampai jauh malam. Kim-mo Taisu diberi tempat mengaso dekat tenda besar dan lewat tengah malam barulah keduanya menghentikan percakapan, lalu tidur di kemah masing-masing.
Peristiwa bersejarah itu terjadi pada pagi hari benar, ketika matahari belum muncul, baru sinarnya kemerahan yang nampak. Pada saat itu, Panglima Besar Cao Kuang Yin masih tidur nyenyak. Tiba-tiba ia terbangun dengan kaget dan tahu-tahu di dalam kemahnya telah penuh orang. Di sana telah hadir tujuh orang panglima bawahannya dan sebelas orang perwira, kesemuanya adalah komandan-komandan pasukan dalam barisan yang ia pimpin, dan di antara mereka tampak seorang kakek lumpuh bertongkat. Panglima tertua membawa sebuah baki perak yang ditutup sutera kuning dan para komandan yang lain berdiri dengan pedang di tangan!
"Heee! Apa artinya ini? Apa kehendak kalian sepagi ini tanpa dipanggil memasuki kemahku dan mengganggu orang tidur?" Cao Kuang Yin berseru sambil melompat turun dari permbaringannya. Ia sama sekali tidak merasa khawatir karena ia percaya penuh kepada semua pembantunya ini yang ia tahu amat setia dan sayang kepadanya.
"Kami menghadap Goanswe untuk mempersilakan Goanswe mengenakan pakaian ini, kemudian memimpin kami semua kembali ke kota raja," kata panglima tertua itu sambil menyodorkan baki.
Cao Kuang Yin merasa heran, mengerutkan keningnya dan membuka sutera kuning yang menutupi baki. Di atas baki itu tampak terlipat rapi satu stel pakaian berwarna kuning bersulamkan naga. Kagetlah Cao Kuang Yin. Pakaian seperti itu adalah pakaian kaisar! Pakaian seorang raja besar! Mereka ini menghendaki ia mengenakan pakaian kaisar dan memimpin mereka kembali ke kota raja. Itu berarti bahwa mereka ini menghendaki ia memberontak dan menggantikan kedudukan raja!
"Ah, mana mungkin...?" Ia membantah dan undur dua langkah.
Kakek lumpuh itu menggerakkan tongkatnya maju, akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Kim-mo Taisu telah menerobos dari belakang Cao Kuang Yin dengan merobek tenda. Dengan sikap tenang ia berdiri di sebelah kiri panglima itu dan berkata, "Coa-goanswe, apakah mereka ini perlu dibasmi?"
Akan tetapi Cao Kuang Yin menggeleng kepala. "Biarkan mereka bicara dulu."
Kakek itu yang bukan lain adalah Kong Lo Sengjin kaget sekali melihat munculnya Kim-mo Taisu, akan tetapi setelah mengenalnya ia pun tersenyum, dan kemudian berkata, "Bagus! Hadirnya Kim-mo Taisu merupakan penambahan kekuatan kita. Cao-goanswe, perkenalkanlah, aku adalah Sinjiu Couw Pa Ong. Aku mengenal baik kakekmu yang menjadi panglima ketika masa jayanya Kerajaan Tang. Semenjak Kerajaan Tang roboh oleh para pengkhianat bangsa, raja-raja bermunculan akan tetapi sampai sekarang pun tidak ada raja yang cukup bijaksana seperti dikala Kerajaan Tang. Oleh karena itu para Ciangkun ini bermufakat untuk mengangkat Goanswe menjadi raja baru dan kita semua kembali ke kota raja untuk mengambil alih kekuasaan. Harap saja Goanswe tidak menolak oleh karena keputusan para Ciangkun ini sudah bulat. Dan karena hal ini cocok dengan cita-citaku, maka aku pun memasuki persekutuan ini. Kuharap saja tidak perlu aku harus menghadapi cucu bekas sahabatku sebagai musuh!"
Sebelum Cao Kuang Yin menjawab. Kim-mo Taisu yang sudah mendahuluinya, berkata kepada Kong Lo Sengjin atau Couw Pa Ong, "Kong Lo Sengjin, tak perlu kau ikut bicara karena kata-kata dan perbuatanmu hanya berdasarkan kepalsuan belaka, sama seperti pengkhianatanmu menyuruh bunuh isteriku! Biarkan Cao-goanswe berurusan sendiri dengan para panglimanya, dan nanti setelah selesai, akulah yang akan berurusan dengan kau!"
Berubah wajah Kong Lo Sengjin mendengar ucapan ini, akan tetapi ia lalu mundur dan matanya memancarkan kemarahan besar.
Sementara itu panglima tua yang membawa baki sudah menekuk lutut di depan Cao Kuang Yin sambil berkata, "Kami semua mengharap agar Goanswe tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Kota raja sedang kosong, mengambil alih kekuasaan amatlah mudah bagi kita. Kami semua mengharapkan pimpinan seorang raja yang kuat, bukan seorang anak-anak di pangkuan ibunya yang lemah! Kami telah bertekad bulat mengangkat Goanswe menjadi kaisar baru dan memimpin kami menyerbu ke kota raja."
"Kami landasi ketekatan ini dengan nyawa kami!" terdengar riuh para panglima dan perwira itu menyambung ucapan panglima tua ini.
Suasana menjadi sunyi dan tegang. Otot-otot di tubuh mereka semua, termasuk Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin, menegang dan mereka sudah siap. Mati hidup dan bertanding mati-matian hanya tergantung dari pada jawaban Cao Kuang Yin yang masih berdiri termenung, memandang pakaian kuning yang berada di atas baki. Wajahnya menjadi pucat, keningnya berkerut-kerut, matanya memancarkan sinar aneh.
Di dalam hatinya timbul bermacam perasaan, dalam otaknya berkelebat macam-macam pikiran. Memang berat baginya, bagi seorang patriot yang semenjak nenek moyangnya dahulu terkenal sebagai panglima-panglima dan pembesar-pembesar yang setia kepada raja. Bagi seorang pejabat kesetiaan adalah nomor satu. Namun sebagai seorang bijaksana, ia maklum bahwa semenjak Kerajaan Tang roboh, rakyat tidak pernah mengalami ketenteraman dan perdamaian dalam hidupnya. Perang saudara terjadi terus menerus, perebutan kekuasaan tak kunjung henti. Untuk mengakhiri semua penderitaan rakyat itu, perlu adanya tangan besi seorang pemimpin yang dapat menyatukan mereka dan menumpas yang ingkar dan para pengacau.
Ia maklum bahwa para panglima dan perwira ini mengangkatnya sebagai kaisar bukan semata-mata karena mengaguminya dan ingin mengagungkannya, melainkan karena rasa benci mereka kepada pucuk pimpinan yang berada di tangan seorang kanak-kanak di atas pangkuan seorang ibu yang gila kuasa. Karena mereka ini melihat bahwa jalan satu-satunya agar pemberontakan mereka berhasil adalah mengangkat dia sebagai komandan tertinggi barisan, menjadi raja. Akan tetapi ia pun maklum bahwa kalau ia menolak, tentu mereka ini akan menjadi nekat dan menyerangnya, berusaha membunuhnya. Ia tidak takut, apalagi di sampingnya terdapat Kim-mo Taisu yang sakti. Akan tetapi kalau hal itu terjadi, maka akan menjadi rusaklah semua. Bagaimana sebuah barisan besar ditinggalkan para pimpinannya yang saling bermusuhan sendiri?
Jenderal Cao Kuang Yin menarik napas panjang, lalu terdengar ia berkata, suaranya nyaring dan berwibawa, "Aku hanya dapat menerima dan memakai pakaian ini setelah kalian semua bersumpah akan mentaati segala perintahku mulai detik ini juga!"
Delapan belas orang komandan pasukan itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan seperti telah dikomando mereka berbareng lalu menyatakan sumpah setia dan taat kepada kaisar baru!
Kembali Cao Kuang Yin menarik napas panjang. Sebelum menjemput pakaian kuning itu, ia lebih dulu melirik ke arah Kim-mo Taisu. Akan tetapi pendekar sakti ini hanya tersenyum, sama sekali tidak memperlihatkan sikap menentang. Memang di dalam hati Kim-mo Taisu juga menyetujui usul para komandan itu dan ia tahu bahwa hanya dengan jalan ini agaknya negara akan dapat diselamatkan dan dibebaskan dari pada perang saudara yang berlarut-larut. Cao Kuang Yin adalah seorang jenderal yang cakap, bertangan besi dan disegani.
Pakaian itu diambil oleh Cao Kuang Yin, lalu dipakainya, di luar pakaian tidurnya karena ketika itu ia masih berpakaian tidur. Seorang panglima mengambilkan topinya, topi jenderal sehingga Cao Kuang Yin kelihatan sebagai seorang raja yang sedang memimpin pasukan untuk maju perang. Melihat betapa angker dan gagah raja baru mereka itu, para komandan ini lalu berlutut memberi hormat dan meneriakkan "Banswee!" berkali-kali.
Kim-mo Taisu maju dan memberi hormat kepada Cao Kuang Yin. "Mohon perkenan Hong-siang (Kaisar) agar hamba menyelesaikan urusan pribadi hamba dengan Kong Lo Sengjin."
Cao Kuang Yin melirik ke arah kakek lumpuh yang masih berdiri di sudut, lalu mengangguk dan berkata lirih, "Terserah, akan tetapi kami masih membutuhkan bantuan Taisu, harap suka menemui kami di kota raja."
Kim-mo Taisu menyanggupi, lalu menoleh ke arah Kong Lo Sengjin dan berkata nyaring, "Kong Lo Sengjin, urusan di sini telah selesai. Mari kita bereskan perhitungan kita di luar!" Inilah tantangan yang tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh seorang sakti seperti Kong Lo Sengjin.
Akan tetapi pada saat itu di luar tenda terdengar suara hiruk-pikuk, suara banyak sekali orang dan mulailah terdengar teriakan-teriakan. "Hidup Kaisar! Hidup Kaisar! Hidup Kaisar!"
Cao Kuang Yin melirik ke arah para komandannya, dan melihat mereka masih berlutut dan tersenyum, tahulah ia bahwa para komandannya itu memang sudah mengatur sebelumnya agar usul mereka diperkuat oleh para anak buah mereka! Ia lalu berkata, "Para Ciangkun boleh keluar dan mempersiapkan barisan. Hari ini juga kita kembali ke kota raja. Akan tetapi perintahku pertama kepada kalian dan kepada semua anggota barisan adalah, dilarang keras untuk melakukan kekerasan kepada siapa saja di kota raja, karena tidak mungkin akan ada perlawanan. Tidak ada seorang pun keluarga raja boleh diganggu, juga para pembesar dan pejabat lama, atau para penduduk, sama sekali tidak boleh diganggu harta benda atau nyawanya. Siapa melanggar perintah laranganku ini akan dihukum mati!"
Para komandan menyatakan taat, dan setelah memberi hormat keluarlah mereka bersama Kong Lo Sengjin. Kim-mo Taisu menjura ke arah Cao Kuang Yin dan keluar pula. Akan tetapi ternyata di luar tenda itu telah penuh dengan tentara, keadaan menjadi ribut sekali, apalagi setelah mereka itu diberi tahu bahwa Cao Kuang Yin telah menerima menjadi kaisar baru, mereka berteriak-teriak, bersorak-sorak dan bertepuk tangan.
Gegap-gempita keadaan di saat itu dan Kim-mo Taisu menjadi bingung ke mana harus mencari Kong Lo Sengjin yang tidak tampak batang hidungnya. Ia menjadi penasaran dan mendongkol sekali, dan makin yakinlah hatinya bahwa kakek itu benar-benar seorang yang curang dan licik. Lain kali apabila ia mendapat kesempatan bertemu muka, tentu ia takkan menyia-nyiakan waktu lagi dan memaksanya bertanding mati-matian.
Karena tidak ingin terlibat dalam urusan ketentaraan, maka ia segera menjauhkan diri, akan tetapi diam-diam ia berjanji dalam hati bahwa ia harus dan akan membantu kaisar baru ini apabila kelak ternyata kaisar baru ini berlaku bijaksana dan adil. Mendengar perintah pertamanya tadi, banyak hal-hal baik dapat diharapkan dari kaisar baru ini.
Demikianlah seperti tercatat dalam sejarah, Cao Kuang Yin berhasil mengambil alih kekuasaan tanpa pertumpahan darah. Cao Kuang Yin mendirikan Kerajaan Song (Sung) dan ia menjadi kaisar pertama berjuluk Sung Thai Cu. Dengan cerdik kaisar ini dapat mengambil hati para pembesar dan bangsawan yang ia pilih untuk menjadi pembantu-pembantunya. Yang jujur dan pandai tetap mendapatkan jabatan lama. Yang curang dan korup dipensiun dan diberi gelar. Juga delapan belas komandan yang memaksanya menjadi kaisar itu, dengan alasan cerdik sekali telah diangkat oleh kaisar, diberi gelar kehormatan dan banyak hadiah, akan tetapi mereka tidak aktif lagi memimpin pasukan, dan diganti dengan tenaga-tenaga baru. Mulailah Dinasti Sung yang kuat memerintah dan berhasil menyatukan bangsa. Buktinya dinasti ini dapat bertahan sampai tiga abad lebih (960-1279).
********************
Seorang pemuda yang tampan gagah, bertubuh tinggi besar dan berpakaian sederhana, berjalan dengan langkah tegap menuruni lereng bukit terakhir di lembah Sungai Mutiara. Dari puncak bukit tadi sudah tampaklah Laut Selatan, di mana air Sungai Mutiara mengakhiri perjalanannya dan tampak pula samar-samar pulau-pulau kecil tidak jauh dari pantai.
Pemuda ini bukan lain adalah Bu Song. Dia bukanlah Bu Song beberapa bulan yang lalu! Biar pun orangnya masih sama, akan tetapi keadaannya sudah jauh berbeda, seperti bumi dengan langit. Perubahan yang nampak pada wajahnya hanyalah bahwa kini timbul guratan-guratan pada wajahnya yang tampan, di kanan kiri kedua matanya, di dahi dan dekat mulut, juga di dagunya. Guratan yang timbul dari penderitaan batin. Guratan-guratan pada muka yang membuat ia tampak dewasa dan matang, akan tetapi juga membuat mukanya tampak murung dan tertutup awan, membuat wajahnya seperti topeng yang tidak lagi mencerminkan isi hatinya. Pandang matanya jauh, dilindungi kelopak mata dan bulu mata yang seringkali bergetar dan setengah terpejam.
Bu Song masih muda akan tetapi pengalaman-pengalaman pahit membuat ia berpemandangan seperti orang tua. Perubahan lebih lagi terjadi dalam tubuhnya. Ia kini bukanlah Bu Song beberapa bulan yang lalu, yang lemah dan tidak tahu bagaimana caranya menjaga diri dari pada serangan orang lain. Dia sekarang adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dalam beberapa bulan saja ia sudah mewarisi semua ilmu kepandaian suhu-nya, ilmu yang ia latih siang malam tanpa bosan. Dia kini sudah menjadi seorang pendekar.
Ketika Bu Song menceritakan semua pengalamannya kepada suhu-nya, ada dua hal yang dianggap penting oleh Kim-mo Taisu. Pertama tentang kekejian Kong Lo Sengjin yang menyuruh anggota Hui-to-pang membunuh isteri Kim-mo Taisu. Kedua adalah tentang kitab kuno pemberian sastrawan Ciu Gwan Liong dan cerita kakek sastrawan itu akan suling emas yang berada di tangan sastrawan Ciu Bun dan yang menurut kakek itu berada di Pulau Pek-coa-to di Lam-hai. Melihat kitab itu, Kim-mo Taisu menarik napas panjang dan berkata kepada muridnya yang telah ia gembleng selama beberapa bulan dengan hasil baik sekali.
"Bu Song, kitab ini biar pun hanya terisi sajak-sajak kuno, akan tetapi sesungguhnya merupakan pelajaran ilmu yang luar biasa. Kuncinya berada pada suling emas itulah. Hal ini pun sudah kuketahui dan juga diketahui oleh semua orang kang-ouw. Memang aneh sekali mengapa Bu Kek Siansu menghadiahkan benda-benda seperti itu kepada dua orang sastrawan lemah. Memang suling dan kitab itu adalah pegangan para sastrawan, akan tetapi di balik sajak dan suara suling, terdapat daya yang hebat sekali dan yang dapat dipergunakan orang jahat untuk memperhebat kepandaiannya. Kau telah berjodoh dengan kitab ini dan sudah dipilih oleh mendiang sastrawan Ciu Gwan Liong, maka sudah menjadi kewajibanmu untuk mencari suling emas itu ke Pulau Pek-coa-to di Lam Hai."
Pesan Kim-mo Taisu inilah yang menjadi sebab mengapa pada pagi hari itu Bu Song telah menuruni bukit di lembah Sungai Mutiara. Pulau Pek-coa-to adalah sebuah di antara pulau-pulau kecil di muara Sungai Mutiara itu, di Lam-hai (Laut Selatan). Dengan kepandaiannya, Bu Song dapat melakukan perjalanan cepat sekali dan menjelang tengah hari ia telah tiba di pantai muara Sungai Mutiara. Suhu-nya telah memberi tahu bahwa Pulau Pek-coa-to adalah pulau yang ke tiga dari timur, yang tampak dari situ sebagai pulau yang paling kecil, akan tetapi agak panjang dan bentuknya berliku seperti tubuh ular. Juga dibandingkan dengan pulau lain, pulau ini tampak putih warnanya, atau lebih muda warnanya, maka inilah agaknya pulau ini disebut Pek-coa-to (Pulau Ular Putih). Demikian pikir Bu Song. Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa bukan hanya karena bentuknya seperti ular putih maka pulau itu disebut Pulau Ular Putih, melainkan karena di atas pulau itu memang terdapat semacam ular berkulit putih yang tidak terdapat di tempat lain, ular yang amat berbisa!
Selagi Bu Song bingung karena tidak tahu bagaimana ia harus menyeberang ke pulau itu, tiba-tiba hatinya girang melihat seorang nelayan mendorong-dorong perahu kecilnya di atas pantai berpasir. Agaknya nelayan ini hendak berlayar mencari ikan.
Bu Song segera berlari menghampiri lalu berkata, "Twako, apakah kau hendak berlayar?"
Nelayan itu kaget. Daerah ini amat sepi, biasanya tidak pernah ada orang. Maka heranlah ia melihat seorang pemuda yang bersikap halus seperti orang kota dan suaranya agak asing, dengan lidah orang utara.
"Betul. Seperti biasa saya hendak mencari ikan," jawab nelayan itu sambil memasang tali layar dan bersiap-siap.
"Kebetulan sekali, Twako. Kau tolonglah aku menyeberang ke pulau itu. Berapa biayanya pulang pergi?"
Nelayan itu tidak segera menjawab, melainkan memandang ke arah pulau yang ditunjuk Bu Song. Berkali-kali ia menoleh dari Bu Song ke pulau itu, memandangnya bergantian lalu bertanya, "Kongcu, pulau yang mana...?"
"Itu yang ke tiga dari kiri, Pulau Pek-coa-to...."
"Wah...!" tiba-tiba wajah nelayan itu menjadi pucat dan ia memandang Bu Song dengan mata terbelalak.
Bu Song merasa tidak enak hatinya. "Twako, kenapa?"
Dengan suara tergagap nelayan yang berusia hampir empat puluh tahun itu bertanya, "Kongcu... mau apakah... pergi ke... pulau itu...?" Sungguh aneh, muka yang menghitam karena sering dipanggang terik matahari itu kelihatan ketakutan ketika memandang Bu Song.
"Ah, aku hanya ingin pesiar, Twako."
Orang itu menarik napas panjang, agaknya lega hatinya mendengar bahwa pemuda kota ini bukan sengaja hendak ke pulau itu, dan agaknya tidak mengenal keadaan maka ingin pesiar ke tempat itu.
"Kongcu salah pilih! Kalau ingin pesiar, banyak tempat yang indah, mengapa memilih pulau... maut... itu?"
"Pulau maut? Apa maksudmu, Twako?"
"Ah, Kongcu tentu saja tidak tahu. Pulau Pek-coa-to itu adalah pulau angker sekali. Karena keangkeran pulau itulah maka tempat ini sekarang menjadi sepi. Para nelayan merasa takut mencari ikan di muara ini, karena adanya pulau itulah. Jangankan mendarat, mendekati pulau itu saja sudah cukup untuk kehilangan nyawa!"
"Mengapa begitu?"
"Entahlah. Pulau itu penuh binatang-binatang yang luar biasa, berbisa dan buas. Selain itu, agaknya juga... iblis dan siluman menjadi penghuninya. Sudahlah, Kongcu, membicarakannya saja merupakan pantangan di sini. Saya seorang pelayan yang terpaksa mencari ikan di sini, karena satu-satunya sumber nafkah saya adalah pekerjaan ini. Akan tetapi saya selalu menjauhkan diri dari pulau itu. Kongcu benar-benar salah pilih kalau hendak bersenang-senang dan berpesiar di daerah ini."
"Tidak salah pilih, Twako. Aku benar-benar ingin pergi ke pulau itu. Jangan kau khawatir, aku dapat menjaga diri dengan baik. Dan ini untuk biaya kalau kau suka mengantarku ke sana." Bu Song sengaja mengeluarkan lima potong perak yang ia dapat dari suhu-nya sebagai bekal di perjalanan. Ia mempunyai sekantung uang perak dan beberapa potong uang emas.
Melihat lima potong perak ini, si Nelayan memandang terbelalak. Bukan sedikit perak itu! Mencari ikan sebulan belum tentu akan menghasilkan sebanyak itu. Akan tetapi ia memandang Bu Song dan berkata lagi, "Bukan saya tidak mau menyeberangkan ke sana, Kongcu. Akan tetapi aku takut."
"Tidak usah takut, aku menjamin keselamatanmu."
"Kongcu kelihatan kuat akan tetapi... banyak temanku nelayan yang lebih besar dan kuat dari pada Kongcu tewas secara aneh di dekat pulau itu...."
"Kau tidak usah ikut mendarat. Cukup asal kau antar aku ke pulau itu dan kau boleh berlayar mencari ikan. Nanti menjelang senja, kau jemput aku. Bagaimana?"
Si Nelayan ragu-ragu. Bu Song maklum bahwa perlu ia memperlihatkan kepandaiannya agar nelayan ini hilang rasa takutnya. Ia menghampiri sebuah batu karang besar dan berkata, "Twako, apakah penghuni pulau itu kepalanya lebih kuat dari pada batu karang ini?" Ia menggerakkan tangan kanannya menampar. Terdengar suara keras dan debu mengebul. Ujung batu karang itu pecah berantakan!
Si Nelayan melongo dan mengangguk-angguk. "Ah, kiranya Kongcu adalah seorang demikian kuat. Baiklah, akan tetapi seperti yang Kongcu katakan tadi, saya hanya mengantar dan menjemput, tidak ikut mendarat di sana."
"Jangan khawatir, asal perahumu sudah dekat dengan daratan pulau itu, tidak perlu terlalu dekat, dan kau boleh tinggalkan aku untuk dijemput senja nanti."
Nelayan itu menyeret perahunya dan tak lama kemudian, setelah dapat melalui ombak yang memecah di pantai, lajulah perahu itu membawa Bu Song dan si Nelayan berlayar ke tengah laut. Berdebar jantung Bu Song. Ia sama sekali tidak tahu akan keadaan pulau itu. Mendiang Ciu Gwan Liong hanya menceritakan bahwa kakak sastrawan itu yang bernama Ciu Bun bersembunyi di pulau kosong yang bernama Pek-coa-to ini. Kenapa sekarang si Nelayan menceritakan hal yang aneh-enah dan seram? Kalau memang pulau itu sedemikian hebat dan berbahaya, apakah Ciu Bun sastrawan tua itu dapat hidup di sana? Bu Song tidak menjadi gentar, malah keanehan perkara ini makin menarik hatinya untuk segera mendarat di pulau itu, membuktikan omongan si Nelayan dan pesan mendiang Ciu Gwan Liong.
Dengan perahu layar yang mendapat angin penuh dan amat laju, sebentar saja mereka sudah tiba di dekat pulau itu. Kiranya yang membuat pulau itu tampak putih dari jauh adalah bukit-bukit atau batu-batu karang besar yang mengandung kapur. Pulau itu tampak sunyi dan kosong, sama sekali tidak kelihatan ada bahaya mengancam. Akan tetapi jelas tampak tubuh si Nelayan menggigil ketakutan. Maka Bu Song lalu meloncat ke darat.
"Kau pergilah mencari ikan, Twako. Nanti sore jemput aku di tempat ini!"
Si Nelayan hanya mengangguk-angguk dan cepat-cepat memutar perahunya untuk menjauhi tempat yang ditakuti ini.
Bu Song tersenyum ketika membalikkan tubuhnya memandang ke tengah pulau. Nelayan itu agaknya menjadi korban kepercayaan tahyul maka ia ketakutan seperti itu. Pulau ini agaknya sunyi dan tenteram, sama sekali tidak ada bahaya mengancam kecuali keadaannya yang liar dan agaknya tak pernah didatangi manusia. Ia melompat ke atas batu karang dan mendaki tempat yang paling tinggi untuk mengadakan pemeriksaan dari atas tentang keadaan pulau itu.
Setelah tiba di puncaknya, ia memandang ke bawah. Kiranya di tengah pulau itu tanahnya cukup subur, banyak pohon-pohon yang merupakan hutan. Akan tetapi sekeliling pulau itu adalah pantai batu karang sehingga dari jauh yang tampak hanyalah karang putih. Beberapa menit lamanya Bu Song mengintai dari atas, akan tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa di pulau itu ada orangnya. Ke mana ia harus mencari Ciu Bun? Benarkah kakek sastrawan itu berada di situ? Pulau ini hanya kecil saja. Ia tentu dapat menjelajahi sampai habis dan kembali ke tempat ia mendarat sebelum senja.
Bu Song turun dari batu karang itu dan berloncatan dari batu ke batu menuju ke tengah pulau. Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan sinar putih menyambar lehernya. Cepat Bu Song miringkan tubuh mengelak. Sinar itu lewat dan ketika ia menengok ke belakang, sinar itu telah lenyap sehingga ia tidak tahu senjata rahasia apakah yang menyambarnya tadi. Jantungnya berdebar. Kiranya benar ada orangnya dan agaknya orang itu berwatak keji, karena buktinya tanpa ada angin atau hujan tahu-tahu sudah menyerang dengan senjata rahasia!
Ia memandang ke kanan dari mana senjata rahasia tadi menyambar. Akan tetapi di sebelah kanannya hanya tampak batu karang dan tidak ada tanda-tanda manusia di situ. Ia kaget sekali. Tiba-tiba ia diserang lagi, dan kini bahkan serangan itu datang dari tiga jurusan, depan, kanan dan kiri. Juga menggunakan senjata rahasia seperti tadi, putih kecil yang menyerang leher, perut dan kaki. Untung ia dapat bergerak cepat dan loncatannya tadi menggagalkan serangan. Celaka, pikirnya. Agaknya sedikitnya ada tiga orang manusia yang memusuhinya.
"Cu-wi sekalian harap jangan turun tangan! Saya datang dengan maksud baik, bukan untuk bermusuhan dengan siapa pun juga."
Pada saat itu, dari sebelah kanan menyambar lagi benda putih. Bu Song penasaran dan ingin memperlihatkan kepandaiannya. Dengan dua jari tangan ia menyambar benda putih itu dan berhasil menjepitnya. Akan tetapi hampir saja ia berteriak saking kagetnya. Benda yang disangkanya senjata rahasia itu kiranya adalah seekor ular putih yang kini terjepit di antara dua jarinya, akan tetapi ular itu telah menggigit telapak tangannya! Bu Song gemas dan sekali remas kepala ular itu hancur.
Telapak tangannya mengeluarkan darah sedikit, tapi Bu Song tidak khawatir. Tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Akan tetapi ia tidak mau mengambil resiko, maka dengan pengerahan hawa sakti ke arah tangannya, ia berhasil mendorong ke luar darahnya melalui luka. Darahnya yang keluar dari luka berubah putih, tanda keracunan! Akan tetapi hanya sedikit, dan setelah yang mengucur ke luar adalah darah merah bersih, ia menghentikan usahanya. Luka tidak berarti, dan ia diam-diam merasa geli.
Kiranya ia tadi bicara terhadap ular-ular putih kecil yang menyerang orang sambil ‘terbang’ atau lebih tepat, meluncur dan melayang. Benar-benar amat berbahaya ular-ular itu. Kalau bukan dia yang digigit, bisa mendatangkan maut. Mulai mengertilah kini Bu Song mengapa si Nelayan itu takut setengah mati terhadap pulau ini. Dan ia pun menduga bahwa tentu masih ada bahaya-bahaya lainnya di pulau ini. Dengan hati-hati ia berjalan terus ke depan. Serangan ular-ular putih ia hindarkan dengan mengelak atau kadang-kadang mengebutnya dengan ujung baju lengan.
Tiba-tiba jantungnya berdebar keras dan ia menghentikan langkahnya. Ia menahan napas dan mendengarkan penuh perhatian. Tidak salah lagi! Itulah tiupan suling! Suara suling yang luar biasa sekali. Dia sendiri seorang ahli meniup suling, akan tetapi tiupan suling yang terdengar itu benar-benar mengagumkan. Dan suara itu datang dari depan sebelah kiri, dari pinggir hutan di mana terdapat bukit-bukit dengan batu-batu hitam.
Girang sekali hati Bu Song. Kiranya mendiang Ciu Gwan Liong tidak menipunya. Ia tidak ragu bahwa yang meniup suling itu tentulah sastrawan Ciu Bun yang dicarinya! Cepat ia berlari menuju ke bukit dekat hutan itu. Kini ia tiba di daerah penuh pasir, dan tiba-tiba ia roboh terguling karena pasir yang diinjaknya itu bergerak memutar!
Begitu jatuh, pasir yang menerima tubuhnya itu mengisap dan berputaran. Bu Song kaget bukan main. Cepat ia mengerahkan tenaganya dan memukulkan kedua telapak tangan ke atas pasir, menggunakan daya dorongan ini untuk mengangkat tubuh ke atas dan sambil berjungkir balik ia meloncat jauh ke depan. Mukanya pucat melihat pasir itu masih bergerak-gerak seperti air! Bukan main! Kalau ia tadi tidak cepat membebaskan diri, tentu tubuhnya akan terisap terus ke bawah dan sekali tubuhnya terisap, sukarlah melepaskan diri lagi. Benar-benar tempat yang amat berbahaya.
Kini ia melangkah dengan hati-hati sekali. Kiranya daerah berpasir ini banyak sekali pasir berpusing seperti itu. Akan tetapi karena ia sudah hati-hati, begitu kakinya menginjak pasir bergerak, ia segera meloncat dan dengan demikian terhindarlah ia dari bahaya itu. Akhirnya ia tiba di dekat bukit dari mana suara suling kini terdengar jelas.
Suara suling itu keluar dari sebuah goa. Dengan hati girang Bu Song terus berjalan menghampiri. Goa itu merupakan terowongan yang dalam dan gelap. Merasa bahwa ia berada di tempat orang, Bu Song tidak berani masuk dan hanya berdiri di depan goa, menanti sampai suara suling itu habis dilagukan. Akhirnya suara suling berhenti dan Bu Song segera berseru.
"Apakah Paman Ciu Bun berada di dalam?" Hening, tiada jawaban sampai lama.
"Saya datang membawa pesan mendiang Paman Ciu Gwan Liong!"
Segera terdengar jawaban dari dalam, suaranya penuh ejekan, "Sin-jiu Couw Pa Ong, apa artinya semua lelucon ini? Kalau kau mau coba memaksaku, mau menyiksaku atau membunuhku, kau masuk saja. Perlu apa menyebut-nyebut nama Gwan Liong?"
Bu Song terkejut. Mengapa orang di dalam itu menyebut-nyebut nama Sin-jiu Couw Pa Ong? "Paman Ciu Bun, saya bukan Sin-jiu Couw pa Ong. Nama saya Liu Bu Song!" teriaknya. Ia sengaja menggunakan she ibunya, karena ia masih merasa tak senang kepada ayahnya yang dianggap telah menceraikan ibunya dan menikah lagi.
"Orang muda, apakah kau bukan kaki tangan Couw Pa Ong?" Agaknya orang di dalam goa yang gelap itu dapat melihatnya yang berada di luar goa, buktinya dapat mengetahui bahwa dia adalah seorang pemuda.
"Sama sekali bukan, Paman."
"Kau membawa pesan apa dari Ciu Gwan Liong?"
"Sebelum Paman Ciu Gwan Liong meninggal, dia menyerahkan sebuah kitab kepada saya dan menyuruh saya mencari Paman Ciu Bun di pulau ini."
"Aaahhh...!" Orang itu mengeluarkan seruan kaget, diam sampai lama lalu berkata, "Orang muda, coba kau bacakan sajak ke tiga dari dalam kitab itu!"
Bu Song sudah sering membaca kitab pemberian Ciu Gwan Liong, maka tanpa membaca pun ia sudah hafal. Maka ia lalu membacakan kalimat dalam sajak ke tiga.
Matahari bersinar miring di tengah hari.
Sesuatu mati begitu lahir.
Selatan tiada batas dan ada ujungnya.
Aku pergi ke selatan hari ini dan tiba di sana kemarin!
Cintalah semua benda dengan sama.
Alam adalah satu.
Kitab kecil kuno itu memang mengandung sajak-sajak yang amat aneh dan sukar dimengerti. Sajak ke tiga yang dibacakan oleh Bu Song itu adalah sajak dari seorang menteri Kerajaan Wei bernama Hui Su (370-319 BC), seorang tokoh Mohism, yaitu pengikut ajaran-ajaran Mo Cu. Keistimewaan Mohism adalah kata-kata yang saling bertentangan atau saling berlawanan.
Begitu mendengar Bu Song membacakan sajak itu, orang di sebelah dalam goa berseru girang, "Tepat...! Orang muda, engkau dapat sampai di sini tentu memiliki kepandaian, siapakah gurumu?"
"Suhu bernama Kim-mo Taisu."
"Wah, pantas... pantas saja adikku mempercayaimu. Kau masuklah dan suling ini tentu akan kuberikan kepadamu. Akan tetapi engkau harus bisa menghalau perintang yang menyeramkan itu lebih dulu. Ingin kulihat apakah kepercayaan Gwan Liong kepadamu tidak sia-sia! Masuklah, orang muda, akan tetapi awas terhadap binatang-binatang itu. mereka amat buas!"
Bu Song melangkah masuk. Karena orang di dalam goa sudah memberi peringatan, ia bersikap hati-hati sekali, melangkah perlahan-lahan dan mata serta telinganya siap sedia. Tiba-tiba ia mendengar desis keras dan hidungnya mencium bau yang amis. Baiknya cahaya matahari masih cukup terang memasuki goa itu sehingga ia dapat melihat bayangan hitam merayap datang di depannya dan ternyata yang merayap itu adalah seekor binatang seperti buaya yang luar biasa! Kulitnya tebal, matanya besar bersinar hijau, lidahnya panjang bercabang seperti lidah ular dan dari mulutnya yang mendesis-desis itu keluar uap putih yang berbau amis. Suara mendesis makin hebat dan ternyata binatang itu bukan seekor saja, melainkan ada empat ekor! Mereka datang dari depan, kanan dan kiri dengan sikap mengancam.
Bu Song berdiri memasang kuda-kuda. Begitu melihat binatang yang paling dekat dengannya menyergap dengan kedua kaki depan terangkat dan mulut terbuka lebar, Bu Song segera mengerahkan tenaga ke tangan kanan dan ia memukul dengan jari terbuka.
"Desss!!" binatang seperti buaya itu terlempar, mengeluarkan suara keras akan tetapi lalu merayap pergi, gerakannya lemah dan limbung.
Lega hati Bu Song. Kiranya binatang-binatang ini lebih menakutkan dari pada membahayakan. Ia tidak menanti sampai binatang-binatang itu menyerbunya, melainkan mendahului menerjang maju dan dengan gerakan cepat sekali kedua tangannya membagi-bagi pukulan yang diarahkan kepada tiga ekor binatang yang lain. Terdengar suara keras dan binatang-binatang itu menjerit-jerit lalu lari kacau-balau, bersembunyi di balik batu karang yang gelap di kanan kiri goa.
"Bagus! Kau tidak kecewa menjadi murid Kim-mo Taisu dan kepercayaan adikku Gwan Liong. Tunggulah, orang muda. Setelah empat ekor binatang buruk itu pergi aku dapat keluar sendiri!" Suara orang itu terdengar girang dan tak lama kemudian muncullah sesosok bayangan hitam dari dalam gelap.
Ketika tiba di tempat yang diterangi sinar matahari dari luar, Bu Song melihat seorang laki-laki tua tinggi kurus bermuka pucat. Tubuh dan mukanya menyatakan bahwa kakek ini tidak sehat, atau bahkan sakit, akan tetapi ketika ia berjalan ke luar, langkahnya dan sikapnya membayangkan keangkuhan seorang terpelajar tinggi. Di tangan kanannya terdapat sebatang suling yang berkilauan ketika terkena sinar matahari, sebatang suling berwarna kuning. Tidak salah lagi, itulah suling emas, pikir Bu Song dengan hati penuh ketegangan.
Kakek itu pun memandang Bu Song penuh perhatian. Agaknya ia puas melihat Bu Song. "Mari kita keluar. Kau harus cepat-cepat mempelajari cara meniup suling ini dan menyesuaikan bunyinya dengan sajak-sajak di dalam kitab. Hayo cepat, jangan sampai ia keburu datang!" Tergesa-gesa kakek ini mengajak Bu Song keluar dari dalam goa.
"Apakah Paman maksudkan Kong Lo Sengjin?"
Kakek itu berhenti di depan goa dan memandang. Matanya yang tajam penuh selidik dan membayangkan kecurigaan. "Kau mengenal dia?"
"Tentu saja saya mengenal Kong Lo Sengjin, Paman. Isteri Suhu adalah keponakan Kong Lo Seng Jin, akan tetapi anehnya, kakek yang sakti tapi kejam itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri untuk menipu Suhu."
Kakek yang bukan lain adalah sastrawan Ciu Bun yang selama bertahun-tahun dicari-cari oleh tokoh-tokoh kang-ouw itu tercengang. "Apa...? Kim-mo Taisu menjadi mantu keponakan Couw Pa Ong? Sungguh aneh! Dan tua bangka itu menyuruh bunuh keponakannya sendiri? Orang muda, eh... siapa namamu tadi? Bu Song? Bu Song, kau ceritakan semua kepadaku!"
Mereka pergi ke belakang tumpukan karang tak jauh dari goa. Di situ Kakek Ciu Bun duduk dan Bu Song segera menceritakan keadaan suhu-nya dan Kong Lo Sengjin menipu Kim-mo Taisu bahwa pembunuhnya adalah musuh-musuh Kong Lo Sengjin. Kemudian betapa secara tidak sengaja ia mendengar percakapan antara Kong Lo Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang maka ia tahu akan rahasia itu. Kemudian ia bercerita juga sedikit tentang keadaan dirinya, bahwa selain murid Kim-mo Taisu, dia pun bekas calon mantunya dan betapa calon isterinya puteri Kim-mo Taisu tewas di dalam jurang.
Mendengar penuturan itu, Ciu Bun bengong lalu memaki gemas, "Tua bangka itu benar-benar telah menyeleweng jauh dari pada kebenaran! Untung bukan dia yang mendapatkan kitab di tangan Gwan Liong. Kau tadi bilang Gwan Liong sudah meninggal, bagaimana kau tahu?"
"Bukan hanya tahu, Paman. Bahkan saya yang mengubur jenazahnya." Kembali Bu Song bercerita tentang nasib Ciu Gwan Liong yang buruk dan betapa kakek sastrawan itu agaknya membunuh diri agar jangan sampai terjatuh ke tangan Kong Lo Sengjin.
Ciu Bun membanting-banting kaki kanannya. "Couw Pa Ong, kau benar-benar patut dimaki dan dikutuk!"
Hening sejenak, kemudian Ciu Bun berkata, "Nah, kau ambil kitab itu, kau baca sajaknya dan aku akan meniup suling itu disesuaikan dengan isi sajak. Kau tahu, setiap huruf itu mengandung bunyi tertentu sesuai dengan maknanya. Suara suling ini harus ditiup sesuai dengan bunyi huruf sehingga merupakan lagu tertentu sesuai dengan bunyi sajak. Kami, yaitu aku dan adikku yang telah meninggal adalah sastrawan-sastrawan yang mengutamakan keindahan seni, maka pemberian anugerah dari Bu Kek Siansu berupa dua buah benda berharga ini bagi kami semata-mata hanyalah mengandung keindahan yang luar biasa. Keindahan seni sastra diselaraskan dengan seni suara. Menurut Bu Kek Siansu, kalau bunyi sajak dan suara suling ini sudah dapat diselaraskan seperti mestinya, maka akan mendatangkan hikmat luar biasa, menenangkan batin, menjernihkan pikiran dan menghalau segala macam pikiran jahat, menindih nafsu dan membawa orang ke tingkat batin yang lebih tinggi. Akan tetapi, selain itu aku yakin bahwa dua benda ini pun mengandung sesuatu yang amat hebat bagi dunia persilatan, karena buktinya tokoh-tokoh kang-ouw dari segala penjuru mencari-cari dan mengejar-ngejar kami. Nah, kau bacakan sajak yang mana saja, biar kutimpali dengan suling ini!"
Mendengar penjelasan itu Bu Song merasa betapa sulitnya mempelajari ilmu menyesuaikan bunyi huruf dan bunyi suling, namun ia menaruh perhatian besar dan segera ia membaca lambat-lambat sederet sajak. Kakek Ciu Bun sudah meniup sulingnya dan terdengarlah bunyi suling mengalun aneh, akan tetapi lebih aneh lagi bagi Bu Song, suara suling itu demikian enak dan cocok dengan suaranya yang membaca huruf-huruf secara lambat.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan suara aneh lucu. "Ngieeehhh... ngieeehhh!"
Seketika Ciu Bun menghentikan tiupan sulingnya. Karena ini Bu Song juga menghentikan bacaannya dan menoleh ke arah suara. Kiranya di depan goa tadi kini tampak sekor kuda yang ditunggangi oleh dua orang. Dua orang laki-laki aneh sekali, karena mereka itu menunggang kuda dengan menghadap ke belakang dan laki-laki yang di belakang memegang ekor kuda sambil mengeluarkan suara "ngieeeeh-ngieeeeh" tadi.
Dua orang laki-laki ini benar-benar luar biasa sekali. Yang seorang bertubuh tinggi kurus seperti rangka terbungkus kulit, berkepala gundul dan bertelanjang baju, hanya memakai celana sebatas lutut dan bertelanjang kaki. Orang ke dua yang memegangi ekor kuda tidak kalah anehnya. Tubuhnya gemuk sekali, punggungnya berpunuk mulutnya besar dan dan kepalanya juga gundul bertelanjang baju dan bercelana seperti orang yang pertama.
"Kiu-ji dan Ciu-ji (Anak Kiu dan Anak Ciu)! Berani kalian mengganggu aku selagi meniup suling? Awas, kuadukan nanti kepada Ong-ya!"
Muka kedua orang gundul itu menjadi ketakutan. Si Gendut lalu menggerak-gerakkan ekor kuda agar kudanya berlari cepat. "Tidak... tidak... tidak...!" Mereka berkata ketakutan.
Benar-benar pemandangan yang luar biasa sekali. Tak dapat Bu Song menahan keingin-tahuan hatinya. "Paman, siapakah mereka tadi?"
"Mereka itu dua orang pelayan dan juga murid Couw Pa Ong. Gigitan-gigitan beracun dari binatang-binatang berbisa membuat mereka tidak waras otaknya. Akan tetapi mereka itu hebat kepandaiannya, mewarisi ilmunya Couw Pa Ong. Memang tua bangka itu aneh sekali, menurunkan ilmunya kepada dua orang gila macam itu."
"Jadi Kong Lo Sengjin tinggal di pulau ini?" Bu Song bertanya kaget karena hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya.
Ciu Bun mengangguk. "Tentu saja tinggal di sini! Dengarlah, Couw Pa Ong adalah sahabat baikku semenjak dahulu. Kami berdua orang-orang yang setia kepada Kerajaan Tang. Dia banyak belajar ilmu kesusateraan dari aku yang dulu menjabat kedudukan guru sastra di kota raja! Atas ajakannyalah aku tinggal di sini untuk menyembunyikan diri dari orang-orang jahat yang hendak merampas suling ini. Mula-mula Couw Pa Ong memang tetap menjadi sahabat baikku. Akan tetapi agaknya kegilaan kedua orang murid atau pelayannya itu menular kepadanya. Sikapnya mulai berubah dan dia mulai membujuk-bujukku untuk menurunkan rahasia suling dan kitab pemberian Bu Kek Siansu kepadanya! Akan tetapi setelah kutahu bahwa pikiran dan wataknya telah berubah, aku selalu mengatakan bahwa suling ini tidak ada artinya baginya, hanya untuk ditiup melagu menghibur diri. Ia penasaran lalu memasukkan aku ke dalam goa itu, dijaga oleh binatang-binatang liar. Tentu saja aku tidak berani keluar dan yang berani memasuki goa hanyalah dua orang bocah edan tadi yang mengantar makanan setiap hari kepadaku. Kau tahu bahwa Couw Pa Ong tentu hendak mencari dan menangkap adikku untuk memaksa kami kakak beradik membuka rahasia kitab dan suling. Untung sekali adikku bertemu dengan engkau. Nah, tahukah kau sekarang? Hayo kita berlatih lagi. Kau sudah dapat menangkap contohku tadi?"
"Sudah, Paman. Memang mendatangkan perasaan yang hebat, tapi aku masih bingung karena hal ini memang amat sukar dimengerti."
"Memang. Sekarang biarlah kau belajar meniup suling..."
"Paman, saya sudah biasa bersuling dan mendapat petunjuk Suhu..."
"Bagus! Ah, agaknya memang sudah jodoh. Nah, lekas kau meniup suling ini dan usahakan agar suara sulingmu dapat sesuai dengan bunyi dan sifat huruf yang kubaca!"
Mereka bertukar benda. Kakek itu menyerahkan suling emas dan menerima kitab dari tangan Bu Song. Sastrawan Ciu Bun membacakan sajak terakhir dari kitab itu dan Bu Song segera meniup sulingnya. Hebat tiupan suling anak muda ini. Memang ia berbakat sekali sehingga tiupannya mengandung getaran perasaannya. Pula, karena Bu Song sendiri sudah hafal akan isi kitab, ia segera dapat menyesuaikan bunyi sulingnya, mengarah bunyi huruf. Ketika meniup suling, seluruh perhatiannya dicurahkan kepada makna dari huruf yang ditiupnya. Terdengar perpaduan suara sajak dan suling yang luar biasa, mengalun-alun dan merayu-rayu.
ADA muncul dari TIADA.
Betapa mungkin mencari sumber TIADA?
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!
Demikianlah bunyi sajak terakhir itu. Sampai tiga kali Ciu Bun membaca sajak itu, terus diikuti oleh tiupan suling Bu Song. Setelah habis, terdengar Ciu Bun berseru, "Ya Tuhan....!!"
Bu Song memegang suling itu dan memandang Kakek Ciu Bun. Ia terkejut melihat wajah kakek itu makin pucat, seperti kehijauan, akan tetapi mata kakek itu bersinar-sinar, mulutnya tersenyum sehingga biar pun wajah itu amat pucat, namun seperti berseri-seri. Kedua kakinya ditekuk dan bersila, kedua tangan memegang kitab, lalu bibirnya bergerak. "Dapat sudah sekarang... ya Tuhan, dapat sudah..."
Bu Song tidak mengerti, lalu bertanya hormat, "Paman, apakah yang Paman maksudkan?"
"Bu Song, kau sudah hafal akan isi kitab?" tiba-tiba kakek itu bertanya, suaranya biasa kembali.
"Sudah, Paman."
"Kalau begitu tinggalkan kitab ini padaku dan kau bawalah suling itu pergi dari sini, cepat! Kau sudah tahu akan rahasia isi kitab dan suara suling. Bahagialah kau, Bu Song."
Bu Song mendekati. "Akan tetapi, kalau Paman di sini tertawan, marilah Paman ikut pergi dengan saya. Untuk apa tinggal di pulau berbahaya ini?"
"Tertawan? Berbahaya? Ahh, tidak sama sekali. Sudahlah, kau cepat pergi, jangan sampai dia datang mendapatkan kau di sini."
"Tapi, Paman..."
"Keraguan hati akan merintangi kemajuanmu, orang muda. Pergilah!" Kakek itu berkata dengan suara tegas sehingga Bu Song tidak berani membantah lagi.
Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang bersila di atas batu, menghaturkan terima kasih lalu bangkit berdiri dan berjalan pergi dari situ, menuju ke tempat ia mendarat tadi. Di belakangnya ia mendengar suara kakek itu membaca sajak terakhir dan ketika tiba di dua kalimat terakhir, suara itu seperti berteriak girang.
Akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!
Ketika Bu Song tiba di tepi pulau, di atas batu karang, ia melihat layar perahu nelayan itu dari jauh. Bu Song menaruh kedua tangan di pinggir mulutnya lalu berseru sambil mengerahkan khikang di dadanya, "Kakak nelayan...! Kemarilah...!!"
Layar itu makin besar dan kini tampaklah perahu kecil itu bersama si Nelayan yang berwajah ketakutan. Setelah perahu itu dekat, dalam jarak lima meter Bu Song lalu meloncat ke atas perahu. Akan tetapi si Nelayan memandang ke arah pulau dengan muka pucat dan tubuh menggigil, sehingga kedua tangannya tidak dapat lagi mengemudi perahu. Bu Song terheran dan cepat menoleh. Untung ia sudah berada di atas perahu karena ternyata di tepi pulau itu berdiri dua orang manusia aneh yang tadi menunggang kuda dan mereka itu membawa sebuah batu karang besar yang kini mereka lemparkan ke arah perahu. Dua batu karang itu besarnya seperut kerbau dan dilempar dengan kekuatan dahsyat ke arah perahu!
"Cepat jalankan perahu ke tengah!" Bu Song masih sempat berteriak dan ia melompat ke buntut perahu, memasang kuda-kuda dan ketika dua batu karang itu datang menyambar, ia menggunakan kedua tangannya mendorong sambil mengerahkan sinkang-nya.
"Byurrr...!" dua batu karang itu dapat terdorong menyeleweng dan jatuh ke air, akan tetapi saking hebatnya tenaga lemparan itu, kedua kaki Bu Song melesak ke bawah karena papan atas perahu yang diinjaknya jebol! Selain itu, dua batu karang yang terbanting ke air itu menimbulkan gelombang hebat sehingga perahunya miring dan hampir saja terbalik. Baiknya nelayan itu tahu akan bahaya dan sudah cepat-cepat mengatur keseimbangan perahunya, mengemudi layar dan cepat sekali angin besar mendorong perahu menjauhi pulau! Dua manusia aneh itu meloncat-loncat di tepi pulau dan sebentar saja lenyap.
"Kongcu.... Mereka itu tadi.... siluman.... atau ibliskah.....?"
Bu Song tersenyum. Biarkan para nelayan ini ketakutan agar tidak berani mendekati pulau Pek-coa-to, karena kalau mendekati pulau itu memang besar kemungkinan mereka akan tewas. Selain di pulau itu terdapat banyak binatang buas dan berbisa. Juga di situ tinggal Kong Lo Sengjin dan dua orang pelayannya yang gila dan kejam.
"Agaknya mereka itu iblis pulau. Akan tetapi untung kita dapat melarikan diri!" jawab Bu Song.
Jawaban ini membuat nelayan itu makin ketakutan dan ia mengerahkan seluruh kecakapannya untuk berlayar secepat mungkin menyeberang ke daratan yang aman.
Bu Song menyimpan sulingnya diselipkan di ikat pinggang dan tertutup baju. Ia maklum bahwa suling itu tentu akan menimbulkan perkara kalau sampai terlihat orang jahat. Orang-orang kang-ouw mencarinya, tentu mengharapkan hikmatnya, sedangkan orang-orang jahat tentu juga menginginkannya karena harganya. Suling ini terbuat dari emas yang tentu saja mahal harganya.....
Jilid 31»
Komentar
Posting Komentar