MUTIARA HITAM : JILID-12
Gak-lokai terkejut. Namun karena ia pun seorang yang lihai, biar pun
tubuhnya mencelat ke atas, ia bergerak di udara dan menghantamkan
tongkatnya ke arah kepala Pak-kek Sian-ong. Kakek muka putih ini
lagi-lagi menyambut dengan telapak tangan dan sekali lagi tubuh
Gak-lokai mencelat ke atas. Berkali-kali hal ini terjadi sehingga tubuh
Gak-lokai bagaikan sebuah bal yang dipermainkan lawan.
“Iblis-iblis tua, berani kau mempermainkan Khong-sim Kai-pang?!” bentakan halus ini keluar dari mulut Yu Siang Ki.
Pemuda ini menjadi marah ketika menyaksikan betapa dua orang kakek aneh itu mengacaukan pertemuan kai-pang yang mempunyai maksud baik itu. Apa lagi ketika melihat betapa Gak-lokai dan Ciam-lokai dipermainkan, ia segera tahu bahwa dua orang tokoh pengemis itu bukanlah lawan dua orang kakek yang datang mengacau. Ia sendiri belum tentu dapat mengalahkan dua orang kakek yang sakti itu, namun melihat usaha persatuan yang diadakan Khong-sim Kai-pang itu terancam bahaya, ia segera meloncat naik, menegur dan sekaligus ia melemparkan hiasan bunga yang biasanya menghias topinya.
Lontaran itu bukanlah sembarang lontaran, melainkan serangan yang hebat dan yang mengancam jalan darah di dekat siku Lam-kek Sian-ong. Siang Ki sengaja menyerang kakek muka merah karena melihat betapa kakek muka merah ini amat dahsyat kedua tangannya dan pada saat itu keadaan Ciam-lokai amat berbahaya. Sekali saja tangan kakek muka merah itu berhasil menonjok tubuh Ciam-lokai, tentu tokoh Khong-sim Kai-pang itu akan roboh tewas!
“Aihh...!” kakek muka merah itu mengeluarkan seruan kaget.
Lengannya terasa kesemutan karena jalan darah di sikunya secara tepat sekali tertusuk gagang hiasan bunga. Tadi ia melihat benda ini menyambar, akan tetapi tentu saja ia memandang rendah. Siapa kira totokan gagang bunga itu cukup mengandung tenaga Iweekang yang dahsyat sehingga lengannya kesemutan. Ia terheran-heran, ini bukan sambitan orang biasa. Maka ia berseru kaget dan memutar tubuh menghadapi Yu Siang Ki.
Keheranannya bertambah ketika ia mendapat kenyataan bahwa yang menyambitnya hanya seorang pemuda tampan yang masih amat muda. Pada saat itu Ciam-lokai yang merasa marah dan penasaran menggunakan sisa tongkatnya menusuk dari belakang, mengarah lambung dan menusuk di bagian yang mematikan.
“Dukk!” Tusukan tongkat itu tepat mengenai lambung, akan tetapi membalik seperti menusuk karet yang keras saja.
Ciam-lokai kaget sekali akan tetapi sebelum hilang kagetnya, tiba-tiba tubuhnya sudah melayang jauh turun ke bawah panggung karena pada saat itu kaki Lam-kek Sian-ong sudah melakukan gerakan menyepak (menendang ke belakang) persis seperti gerakan kaki kuda. Tanpa menoleh kakek muka merah itu mampu menendang Ciam-lokai yang lihai itu sampai terlempar ke bawah panggung. Hal ini benar-benar membuktikan bahwa kesaktiannya memang luar biasa.
Yu Siang Ki maklum akan hal ini, maka pemuda ini tidak berani sembrono. Tadi pun menyaksikan sambitannya yang tepat mengenai jalan darah itu tidak melumpuhkan lengan kakek muka merah, ia sudah tahu bahwa lawannya benar-benar sakti. Kini pemuda itu sudah menyambar tongkatnya dan berseru keras. “Tak seorang pun boleh menghina Khong-sim Kai-pang!” ia lalu menggerakkan tongkat dan menerjang dengan gerakan yang mantap dan penuh tenaga sinkang.
“Hua-ha-ha, bagus, bagus! Eh, Pek-bin-twako (Kakak Muka Putih)! Kau lihat lawanku ini. Biar pun masih muda, baru berharga untuk diajak main-main!” ia bicara sambil menggerakkan tubuh mengelak. Sekali lihat saja Lam-kek Sian-ong mengerti bahwa ilmu tongkat pemuda ini hebat dan tak boleh dipandang ringan, maka timbullah kegembiraannya untuk melayani Yu Siang Ki.
“Eh, Kakek tua, kau mundurlah. Kau bukan lawan iblis ini!”
Inilah suara Kwi Lan. Ketika gadis ini melihat Yu Siang Ki sudah melompat naik ke atas panggung dan turun tangan, ia pun tidak mau tinggal diam. Tentu saja ia pun mengenal dua orang kakek itu. Ia tahu bahwa mereka itu, Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, guru Siangkoan Li, adalah dua orang kakek yang sakti. Tentu Yu Siang Ki tidak mengenal mereka maka pemuda itu secara gegabah berani maju. Kalau tidak ia bantu, mana mungkin Yu Siang Ki dapat menandingi dua orang kakek itu.
Biar pun ia maklum bahwa dengan bantuannya sekali pun amat sukar untuk mendapat kemenangan, namun ia tidak bisa membiarkan sahabatnya menghadapi bahaya seorang diri. Maka ia pun lalu meloncat tinggi ke udara. Ia anggap bahwa gerakan Gak-lokai yang dibuat permainan oleh Pak-kek Sian-ong itu hanya akan menghalangi dan membuatnya tidak leluasa, maka sekali meloncat, ia sudah mengeluarkan ucapan tadi dan tahu-tahu di udara ia sudah menjambret leher baju Gak-lokai dan melemparkan kakek itu ke bawah panggung!
Gerakan ini tentu saja kelihatan hebat luar biasa. Inilah demonstrasi ginkang yang hebat, juga sekali jambret saja ia dapat melemparkan seorang tokoh seperti Gak-lokai sudah membuktikan betapa lihainya gadis ini! Semua pengemis yang menyaksikan ini menjadi makin bengong dan bingung. Bahkan Suling Emas sendiri yang tadi terkejut melihat munculnya pengemis muda yang berani menentang Lam-kek Sian-ong, kini melongo menyaksikan munculnya seorang gadis remaja yang bagaikan seekor naga muda kini sudah menerjang Pak-kek Sian-ong dengan pedangnya!
“Ho-ho-ho, Ang-bin Siauwte kau bilang lawanmu hebat? Kau lihat ini, Nona muda yang galak ini apakah kalah hebatnya?” Pak-kek Sian-ong berkata demikian, akan tetapi cepat mengelak dari gulungan sinar pedang yang menyambar-nyambar dahsyat.
Pertandingan di atas panggung kini benar-benar mengagumkan dan membuat para pengemis terlongong keheranan. Dua orang kakek tua renta itu dengan gerakan-gerakan aneh dan ringan menghadapi seorang pengemis muda yang memutar tongkat secara hebat dan seorang gadis cantik yang memainkan pedang secara ganas.
Gak-lokai dan Ciam-lokai juga sudah bangun. Untung bahwa tadi mereka tidak terbanting hebat dan juga tidak terluka. Hati mereka menjadi gentar karena maklum bahwa orang-orang yang sedang bertanding di atas panggung itu adalah orang-orang sakti yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari pada kepandaian mereka.
Suling Emas sejak tadi sudah bangkit berdiri. Matanya tajam menonton pertandingan, menimbang dan menilainya. Sebentar ia memandang ke arah pengemis muda yang menghadapi Lam-kek Sian-ong, sebentar kemudian ia memandang ke arah gadis cantik yang menerjang Pak-kek Sian-ong. Ia makin terheran-heran. Pengemis muda itu ilmu tongkatnya hebat dan tinggi, tenaganya kuat dan memiliki kecepatan gerak yang membuktikan bahwa dia bukan ahli silat sembarangan. Diam-diam ia menjadi kagum sekali dan ia merasa seperti pernah mengenal ilmu tongkat yang dimainkan pemuda itu. Kalau dasarnya sudah jelas ilmu silat dari pantai timur, akan tetapi siapakah pernah mainkan tongkat seperti ini? Ia lupa lagi.
Namun kekagumannya terhadap pemuda tampan itu tidak ada artinya ketika ia menonton pertempuran antara kakek muka putih dan gadis cantik. Suling Emas melongo dan benar-benar ia terheran-heran menyaksikan sepak terjang gadis itu. Ilmu silat apa gerangan yang dimainkan oleh gadis dengan pedang kayunya itu? Dalam hal ilmu pedang, setidaknya telah mengenal dasar-dasarnya. Akan tetapi gerakan pedang yang dimainkan gadis itu benar-benar membuat ia terlongong.
Gerak kakinya seperti gerak kaki ilmu silat Siauw-lim-pai, tegap dan digeser-geser kuat. Akan tetapi ketika sambaran pedang diimbangi tendangan kaki, maka tendangan itu bukanlah tendangan ilmu sliat Siauw-lim-pai, lebih mirip tendangan ilmu silat utara Gobi-pai. Dan gerakan pedang itu, kacau balau antara ilmu pedang Beng-kauw dan Ilmu pedang Kun-lun. Aneh bukan main, kacau-balau namun justru kekacauannya inilah yang merupakan sifat ilmu silat gadis itu yang benar-benar luar biasa dan dahsyatnya bukan main, keganasannya membuat Suling Emas mengerutkan kening.
Pantas saja Pak-kek Sian-ong berkali-kali mengeluarkan seruan kaget dan kagum, dan agaknya kakek yang doyan berkelahi itu melayaninya dengan sungguh-sungguh sambil memperhatikan ilmu silat gadis itu. Namun sukarlah untuk mengenal atau mempelajari ilmu kacau balau ini sehingga si Kakek merasa sayang kalau cepat-cepat menghentikan pertandingan.
Setelah meneliti sejenak tahulah Suling Emas bahwa dua orang muda itu benar-benar bukan orang sembarangan, tentu murid-murid orang pandai yang memiliki kepandaian luar biasa. Juga ia sudah mengenal sifat-sifat dan keampuhan ilmu silat mereka. Ia sudah tahu pula akan sifat Pak-kek Sian-ong. Dibandingkan dengan Lam-kek Sian-ong, kakek muka putih itu lebih lunak dan agaknya tidak akan tega untuk mencelakai orang muda. Oleh karena itu, ia lalu meloncat ke dekat Lam-kek Sian-kong dan berkata kepada Yu Siang Ki sambil menangkis sebuah pukulan tangan kiri, Lam-kek Sian-ong, “Orang muda, kau bantulah gadis itu. Biarkan dia yang menyerang, kau memperkuat pertahanan kalian!”
“Dukkk...!” dua lengan yang sama-sama mengandung tenaga sinkang yang dahsyat bertemu.
Lam-kek Sian-ong sejak tadi tidak pernah ditangkis Yu Siang Ki karena pemuda yang cerdik itu maklum bahwa ia kalah tenaga. Kini melihat ada orang yang berani menangkis, sengaja Lam-kek Sian-ong mengerahkan tenaga Yang-kang yang menjadi keistimewaannya. Akibatnya, pertemuan kedua lengan itu membuat Suling Emas terhuyung ke belakang, akan tetapi Lam-kek Sian-ong juga terjengkang dan hampir roboh! Bukan main kaget dan herannya sehingga kakek muka merah mengeluarkan seruan seperti seekor singa yang membuat papan panggung tergetar dan sejenak ia hanya berdiri memandang dengan mata melotot.
Sementara itu Yu Siang Ki yang melihat gerakan orang bertopeng yang mengaku ayahnya itu, seketika maklum bahwa orang ini kepandaiannya hebat, maka tanpa ragu-ragu lagi ia menerjang Pak-kek Sian-ong yang sedang melayani Kwi Lan.
“Kau seranglah terus, biar aku yang menahannya!” bisiknya kepada Kwi Lan.
Pertandingan dilanjutkan dengan hebat dan makin gembiralah hati Pak-kek Sian-ong. Setelah kini dikeroyok dua barulah ia merasa seimbang dan tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan kepandaian. Diam-diam ia kagum kepada pemuda yang tadi menjadi lawan Lam-kek Sian-ong ini. Bagaimana pemuda ini dapat mengatur sedemikian tepatnya dengan membagi dua daya tempur mereka?
Memang sifat ilmu pedang gadis ini liar dan ganas bukan main, serangan-serangannya kuat, pendeknya letak kelihaian ilmu pedang ini berada pada daya serangnya. Ada pun ilmu tongkat pemuda itu lebih mengutamakan pertahanannya sehingga amatlah tepat apa bila dipergunakan untuk menjaga diri dan mempertahankan. Gembiralah hatinya menghadapi serangan-serangan pedang yang demikian berbahaya dan menghadapi pertahanan seperti benteng baja kuatnya dari tongkat pemuda itu. Di lain pihak, dua orang muda itu juga berbesar hati karena begitu mereka berdua bertanding dengan sikap seperti yang dianjurkan Suling Emas tadi, ternyata mereka dapat mengimbangi kelihaian kakek muka putih.
Sementara itu, pertandingan antara Suling Emas dan Lam-kek Sian-ong juga bukan main hebatnya. Setelah beberapa kali hawa pukulan mereka saling bertemu dan membuat keduanya terdorong mundur, diam-diam mereka menjadi kaget. Lam-kek Sian-ong bersama Pak-kek Sian-ong selama ‘dalam hukuman’ di lereng Lu-liang-san memperdalam ilmu silat mereka dengan maksud menghadapi Bu Kek Siansu yang sakti. Dapat dimengerti bahwa ilmu kepandaiannya jauh lebih hebat dari pada dua puluh tahun yang lalu ketika ia bertemu dengan Suling Emas di Khitan.
Di jaman itu hanya beberapa orang saja yang memiliki tingkat kepandaian setinggi Lam-kek Sian-ong. Akan tetapi mengapa orang bertopeng ini mampu menandinginya? Sama sekali kakek muka merah ini tidak mengira bahwa yang dihadapinya adalah lawan lama, Suling Emas! Di pihak Suling Emas sendiri juga terheran-heran karena selama ini pun ia memperhebat kepandaiannya, bahkan ia yakin akan kekuatan sinkang di dalam tubuhnya. Namun ternyata bertemu dengan kakek muka merah ini, ia hanya dapat mengimbangi kekuatannya.
Maka ia lalu merobah gerakannya, hendak mencari kemenangan dengan menggunakan ilmu silatnya yang ia yakin lebih murni dan lebih banyak ragamnya dari pada ilmu silat Lam-kek Sian-ong. Ia lalu menggerakkan kedua tangannya, mulai ‘menulis’ hurut-huruf mulia di udara. Tampaknya saja seperti menulis huruf, pada hakekatnya semua gerakan itu mengandung hawa serangan yang amat dahsyat sehingga terdengar anginnya bersiutan, karena inilah Hong-In-bun-hoat (Silat Huruf Angin dan Awan)! Lam-kek Sian-ong yang merasa tergetar oleh angin pukulan gerakan tangan lawan, menjadi kaget sekali dan berulang-ulang ia mengeluarkan seruan keras.
Saat mendengar seruan kawannya, Pak-kek Sian-ong yang sedang gembira melayani dua orang muda yang mengeroyoknya menjadi terheran-heran. Seruan-seruan itu menandakan bahwa kawannya kaget dan terheran, menemui lawan berat. Tidak sembarang orang dapat membuat Lam-kek Sian-ong mengeluarkan seruan-seruan seperti itu. Pak-kek Sian-ong mencari kesempatan, lalu menengok. Alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa kawannya terdesak hebat oleh pengemis berkedok yang gerakannya luar biasa sekali.
Ia berseru keras dan kedua lengannya lalu ia dorongkan ke depan, ke arah Kwi Lan dan Yu Siang Ki. Karena kakek ini mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya dan sekaligus menyerang mereka berdua, tentu saja Siang Ki tidak dapat menahan dua serangan ini sekaligus dan terpaksa Kwi Lan menjaga diri dengan memutar pedangnya. Namun hebat sekali angin pukulan yang keluar dari dorongan kedua tapak tangan yang terbuka itu. Betapa pun Yu Siang Ki dan Kwi Lan mempertahankan diri, tetap saja mereka terhuyung-huyung ke belakang sampai lima enam langkah!
Kesempatan yang memang dicari oleh si Muka Putih itu lalu dipergunakan sepenuhnya. Bagaikan kilat cepatnya, tubuhnya sudah mencelat ke arah Suling Emas yang sedang berhantam dengan Lam-kek Sian-ong. Gerakan Pak-kek Sian-ong ini luar biasa cepatnya dan tak terduga-duga sama sekali.
Memang Pak-kek Sian-ong adalah seorang ahli yang memiliki keistimewaan sebaliknya dari pada Lam-kek Sian-ong. Kalau Lam-kek Sian-ong ahli dalam penggunaan tenaga sakti yang ia salurkan menjadi tenaga yang dahsyat, keras dan amat kuat, adalah Pak-kek Sian-ong menyalurkan tenaga saktinya menjadi tenaga yang amat halus dan tidak menimbulkan suara. Akan tetapi kekuatannya tidak kalah oleh kakek muka merah, bahkan melebihinya! Demikian pula ketika ia meloncat, tanpa mengeluarkan suara tahu-tahu lengannya sudah menyelonong ke depan dan jari tangan kirinya mencengkeram kepala didahului oleh jari tangan kanan yang menotok ke arah leher!
“Kepandaianmu boleh juga!” demikian Pak-kek Sian-ong berseru sebagai tanda serangannya.
Suling Emas terkejut sekali. Menghadapi seorang di antara dua kakek ini saja, tidak mudah baginya untuk memperoleh kemenangan. Kalau ia dikeroyok, hal ini bukan main beratnya. Cepat sekali ia menendang lengan tangan Lam-kek Sian-ong yang sudah menyerangnya dan pada detik lain tubuhnya sudah mencelat ke atas. Terpaksa ia akan menyambut serangan Pak-kek Sian-ong dari atas itu dengan cara keras melawan keras. Sambil mengerahkan tenaga, ia menangkis totokan pada lehernya dan balas menghantam dada sambil miringkan kepalanya yang dicengkeram.
“Plak-plak!” Cepat sekali gebrakan yang terjadi di udara ini.
Tubuh Pak-kek Sian-ong terlempar ke belakang dan ketika turun kakek itu terhuyung-huyung dan berseru. “Bagus...!” Di tangannya terdapat sehelai sapu tangan yang tadi menutupi muka Suling Emas.
Suling Emas kaget dan cepat ia berjungkir balik membuat salto sampal lima kali di udara sebelum turun karena ia khawatir akan penyerangan Lam-kek Sian-ong yang tentu akan hebat sekali karena posisi dirinya tidak menguntungkan. Akan tetapi ketika kedua kakinya turun di atas papan, ia melihat betapa dua orang kakek itu hanya berdiri dan memandangnya dengan mata terbelalak.
“Suling Emas...!” dua orang kakek itu berseru heran.
Sungguh tak mereka sangka bahwa mereka akan berhadapan dengan Suling Emas di situ. Saking heran, sejenak mereka tak dapat bicara. Tadinya Pak-kek Sian-ong merasa penasaran sekali. Ia gagal dalam serangannya dan hanya berhasil merenggut sapu tangan penutup muka, akan tetapi ia sendiri menerima pukulan di pundak yang membuat bagian tubuh itu terasa ngilu. Kini setelah mendapat kenyataan bahwa lawan yang amat tangguh itu adalah Suling Emas, penasarannya hilang, terganti rasa heran.
Bukan hanya kedua orang kakek tua renta ini yang terkejut dan terheran melihat Suling Emas, juga semua orang yang berada di situ. Bermacam perasaan teraduk dalam hati mereka. Ada yang merasa kagum dan girang karena maklum bahwa pendekar sakti yang dicinta kawan ditakuti lawan ini adalah seorang pendekar yang sejak dahulu bersahabat dengan kaum kai-pang. Ada pula yang marah dan benci karena memang sejak dahulu mengandung hati dendam kepada Suling Emas, karena Suling Emas adalah putra tunggal iblis betina Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian yang melakukan banyak kejahatan sehingga banyak orang kang-ouw mendendam kepadanya.
Yang paling gentar adalah kaum sesat yang menyelundup menjadi anggota kai-pang. Mereka maklum bahwa bukan saatnya bagi mereka untuk menentang kaum pengemis baju butut setelah Suling Emas berada di situ. Diam-diam para pengemis Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang segera pergi dari situ untuk menyelamatkan diri dan hendak melaporkan peristiwa ini kepada junjungan mereka, yaitu Bu-tek Siu-lam.
Sementara itu Suling Emas yang sudah terbuka rahasianya menarik napas panjang tiga kali, memandang ke sekeliling kemudian mengeluarkan sebatang suling dari balik jubahnya. Sambil melintangkan suling emasnya di depan dada, ia menatap dua orang kakek itu sambil berkata.
“Baiklah, Ji-wi Sian-ong (Sian-ong Berdua). Agaknya memang Ji-wi paling suka mengacau semenjak dahulu, tetapi jangan mengira aku akan diam saja melihat kalian mengacau Khong-sim Kai-pang. Aku akan mewakili sahabat baikku Yu Kang Tianglo untuk melindungi kai-pang dari gangguan kalian,” suara ini jelas dikeluarkan dengan halus akan tetapi jelas terdengar oleh semua pengemis yang hadir di situ.
Gak-lokai dan Ciam-lokai berdiri bengong, sama sekali tidak mengira bahwa mereka betul-betul telah salah sangka. Kiranya orang yang mereka sangka Yu Kang Tianglo itu adalah Suling Emas, pendekar sakti yang namanya menggetarkan jagad selama puluhan tahun!
Yu Siang Ki berdiri dengan muka pucat. Sama sekali di luar persangkaannya bahwa yang memalsukan nama ayahnya adalah Suling Emas, pendekar yang dicari-carinya, pendekar yang selalu dihormati dan dijunjung tinggi oleh ayahnya. Tidaklah salah dugaannya bahwa orang aneh ini memang bermaksud menyelamatkan kai-pang dengan menggunakan nama ayahnya.
Akan tetapi mengapa menggunakan nama ayahnya? Nama Suling Emas sendiri jauh di atas nama Yu Kang Tianglo, jauh lebih terkenal dan ditakuti orang jahat. Mengapa Suling Emas menggunakan nama ayahnya yang sudah meninggal dunia? Mengapa pula memakai kedok sapu tangan seperti orang takut dikenal? Mengapa Suling Emas seakan-akan hendak menyembunyikan diri? Saking heran dan bingungnya, pemuda yang merasa girang di hatinya berdiri memandang dengan bengong.
Kwi Lan memandang dengan sinar mata bercahaya. Ia kagum sekali terhadap Suling Emas. Kagum menyaksikan sepak terjangnya ketika menghadapi dua orang kakek yang sakti itu, dan terutama kagum sekali setelah kini sapu tangan itu terbuka. Wajah laki-laki yang amat gagah dan entah bagaimana, jantungnya berdebar dan ia merasa tertarik sekali. Kini ia tidak akan sesalkan ibu kandungnya andai kata ibu kandungnya itu mencinta laki-laki ini! Makin besar keinginan hatinya untuk bicara dengan Suling Emas, untuk bertanya kepada pendekar ini tentang Ratu Yalina di Khitan.
Pada saat itu ia melihat Suling Emas sudah mencabut sulingnya, melihat pula betapa dua orang kakek itu sambil tertawa-tawa girang sudah mencabut pedang mereka. Si Kakek Muka Putih mencabut pedang putih sedangkan kakek muka merah mencabut pedang merah. Ia maklum betapa lihainya dua orang kakek itu maka timbullah kekhawatiran di hatinya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia meloncat maju menghadapi dua orang kakek itu sambil menudingkan pedangnya ke arah hidung mereka.
“Kalian ini dua orang tua bangka benar-benar tak tahu malu!”
Tidak hanya para pengemis yang kaget setengah mati, bahkan Suling Emas yang sejak tadi sudah kagum dan heran melihat ilmu silat gadis ini, sekarang bengong melihat betapa gadis ini berani memaki-maki dua orang kakek sakti itu. Anehnya, dua orang kakek itu hanya tersenyum lebar dimaki-maki.
“Kalian ini sudah tua bangka seperti kanak-kanak nakal saja! Lupa lagikah kalian betapa secara pengecut kalian memukul Bu Kek Siansu? Lupa lagikah kalian betapa kalian menangis dan menyesali perbuatan, betapa kalian bersumpah akan mentaati pesan beliau sampai mati? Apakah yang dipesan oleh Bu Kek Siansu?”
Pak-kek Sian-ong hanya meringis dan menundukkan muka, akan tetapi, Lam-kek Sian-ong dengan melotot lalu membentak, “Bocah kurang ajar! Siapa bilang kami lupa akan pesan Bu Kek Siansu?”
Sepasang mata yang jeli itu bersinar-sinar tajam, bibir yang merah itu tersenyum mengejek, pedang kayu di tangan masih menuding ke arah hidung Lam-kek Sian-ong ketika gadis itu berkata nyaring. “Tidak lupa mungkin sekali, akan tetapi melanggar sudah jelas! Apa kau kira aku lupa akan pesan itu? Masih terbayang di depan mataku bagaimana kakek suci itu mengatakannya kepada kalian.”
Gadis itu dengan gerakan lincah lalu duduk bersila di atas papan dan berkata lagi, “Dia bersila seperti ini, hanya bedanya, setelah menerima pukulan curang dan pengecut kalian, dari mata, hidung, mulut dan telinganya mengalir darah segar. Kemudian ia berkata begini. Kwi Lan duduk bersila setengah memejamkan mata dan meniru lagak dan suara Bu Kek Siansu sedapatnya. “Anak-anak yang baik. Tidak ada pengorbanan apa-apa. Yang keras kalah oleh yang lunak, itu sudah sewajarnya. Yang lenyap diganti oleh yang muncul, yang mati diganti oleh yang lahir. Apa bedanya? Paling penting, mengenal diri sendiri termasuk kelemahan-kelemahan dan kebodohan-kebodohannya, sadar insyaf dan kembali ke jalan benar. Yang lain-lain tidakkah penting lagi. Selamat berpisah.”
Kwi Lan meloncat bangun dan kembali menudingkan ujung pedangnya ke arah hidung dua orang kakek itu berganti-ganti. “Nah, betul tidakkah demikian?”
“Memang betul. Nah, bagaimana kau bilang kami melanggarnya? Kami memang sudah sadar dan insyaf,” bantah Pak-kek Sian-ong.
“Wah, kalian tebal muka benar-benar! Kalian datang mengacau di sini masih bilang sadar dan insyaf? Bukankah perbuatan kalian hari ini merupakan pelanggaran sumpah itu? Bukankah kalian kembali menggunakan kepandaian untuk berbuat jahat dan mengacau?”
“Tidak! Jembel-jembel busuk ini jahat dan menyeleweng, saling memperebutkan kedudukan, sudah sepatutnya dihajar! Kalau kami yang menjadi raja jembel dan memimpin para jembel busuk ini ke jalan benar, bukankah itu merupakan perbuatan baik?” Lam-kek Sian-ong membantah.
“Tak tahu malu!” Kwi Lan kembali memaki. “Yu Siang Ki ini adalah putera Yu Kang Tianglo dan Suling Emas itu adalah sahabat baik mendiang Yu Kang Tianglo. Dengan cara masing-masing, mereka hendak menyelamatkan Khong-sim Kai-pang dari penyelundupan orang-orang sesat. Kalau kalian membantu mereka dan membasmi kaum sesat, itu barulah benar namanya. Akan tetapi kalian memusuhi orang-orang gagah Khong-sim Kai-pang, bukankah itu berarti kalian lebih sesat dari pada kaum sesat? Baiklah, kalau aku bertemu dengan Bu Kek Siansu, hendak kulaporkan hal ini, minta bagaimana pendapat orang tua suci itu dan hendak kulihat kelak bagaimana kalian masih mempunyai muka untuk bertemu dengan beliau!”
Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek Sian-ong saling pandang dengan muka berubah. Ucapan gadis itu amat berkesan di hati mereka. Akhirnya mereka merasa ngeri juga kalau sampai Bu Kek Siansu mendengar tentang sepak terjang mereka yang mengacau Khong-sim Kai-pang. Apa lagi setelah mereka melihat Suling Emas berada di situ. Mereka tahu bahwa Suling Emas adalah seorang pendekar yang dikasihi Bu Kek Siansu.
“Sudahlah, kami mengaku salah, Nona. Jangan kau bilang apa-apa kepada Bu Kek Siansu orang tua itu. Akan tetapi kesalahan kami tidak sengaja. Kami memang tidak tahu akan urusan kaum jembel ini. Nah mana sekarang golongan jembel sesat? Biar merasa kerasnya kepalan kami!” kata Lam-kek Sian-ong.
“Dasar kalian, tua bangka-tua bangka bodoh! Sudah jelas yang menyeleweng adalah Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Mereka ini sudah pergi jauh. Andai kata kalian mengejar juga, kalau kalian nanti bertemu dengan datuk mereka yang bernama Bu-tek Siu-lam, kalian tentu akan lari terbirit-birit ketakutan!”
“Heh, kau lihat saja!” bentak Pak-kek Sian-ong marah. “Hayo, Ang-bin Siauwte, kita kejar mereka!” Dua orang kakek itu lalu meloncat turun dari panggung dan secepat terbang mereka pergi.
Dari jauh terdengar suara Lam-kek Sian-ong. “Suling Emas, Lain kali kami akan mencarimu untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih unggul!”
Suling Emas hanya tersenyum pahit dan tidak menjawab. Pada saat itu, setelah para pengacau pergi, kembali Suling Emas yang menjadi pusat perhatian.
Keadaan masih tetap tegang karena hal-hal dan perubahan-perubahan baru yang mereka dengar dan hadapi ini tidak kalah gawat dan menegangkan dari pada tadi. Orang yang mereka anggap Yu Kang Tianglo tadi ternyata bukan Yu Kang Tianglo! Ini sudah hebat, akan tetapi lebih hebat lagi, orang itu ternyata Suling Emas. Lalu muncul pengemis muda lihai yang menurut keterangan si Gadis jelita adalah putera Yu Kang Tianglo. Semua pengemis menjadi bingung dengan adanya perubahan-perubahan hebat yang amat cepat terjadi di depan mata mereka. Akan tetapi karena maklum akan lihainya tiga orang yang kini berada di atas panggung itu, mereka tidak berani apa-apa. Juga jelas bahwa dalam sepak terjang mereka tadi, mereka membantu Khong-sim Kai-pang.
Suling Emas yang kini tidak menutupi muka dengan sapu tangannya lagi, berdiri di atas panggung berhadapan dengan Yu Siang Ki dan Kwi Lan. Mereka bertemu pandang untuk beberapa lamanya. Kemudian tanpa ragu-ragu lagi Siang Ki maju ke depan dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan Suling Emas.
“Paman, besar sekali hati saya dapat berjumpa dengan Paman yang memang saya cari-cari, dan lebih bahagia lagi hati saya menyaksikan betapa Paman telah melindungi Khong-sim Kai-pang dari orang-orang jahat. Nama saya Yu Siang Ki. Yu Kang Tianglo adalah mendiang ayah saya. Sebelum meninggal dunia, ayah saya meninggalkan pesan kepada saya untuk membela Khong-sim Kai-pang dari pada pengaruh kaum sesat dan untuk usaha itu, kalau saya menemui kesulitan menghadapi orang jahat yang lihai, saya diharuskan mencari Paman dan mohon pertolongan Paman. Siapa kira dapat berjumpa di sini, harap Paman menerima hormat saya.”
Suling Emas tersenyum dan girang sekali hatinya. Dengan munculnya pemuda yang menjadi putera Yu Kang Tianglo, akan terbebaslah ia dari tugas melindungi Khong-sim Kai-pang. Tadi ia sudah menyaksikan kelihaian pemuda ini dan agaknya pemuda ini sudah mewarisi kepandaian ayahnya. Melihat betapa pemuda ini secara gagah berani turun tangan menghadapi Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong yang sakti untuk membela Khong-sim Kai-pang, ia maklum pula bahwa pemuda ini setia dan mencinta perkumpulan pengemis yang dulu dibangun oleh kakeknya, maka dapat diharapkan pemuda ini menggantikan Yu Kang Tianglo menjadi ketua perkumpulan ini.
Untuk menguji Iweekang Yu Siang Ki, Suling Emas menempelkan kedua tangannya di pundak pemuda itu sambil membentak. “Tak usah berlutut!” Pendekar sakti ini mengerahkan sinkang yang disalurkan di kedua tengannya.
Yu Siang Ki terkejut ketika merasa betapa pundaknya seakan-akan ditindih dua buah gunung, kemudian tenaga raksasa membetotnya ke atas. Ia mengerling ke atas dan melihat wajah yang tersenyum-senyum itu maklumlah ia bahwa Suling Emas sedang mengujinya. Maka ia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga sehingga biar pun tubuhnya terbetot dan tertarik ke atas, namun ia masih dalam keadaan berlutut!
“Bagus! Engkau patut menjadi putera Saudara Yu Kang Tianglo!” kata Suling Emas sambil melepaskan kedua tangannya.
Pemuda itu melompat dan berdiri di depan Suling Emas dengan muka agak pucat dan bibir menyeringai menahan sakit. Suling Emas terkejut sekali, tangan kirinya bergerak cepat dan....
“Brettt!” baju Siang Ki sudah robek memperlihatkan pundak kirinya. Ternyata benar seperti dugaannya, di situ terdapat tanda menghitam seperti tapak jari tangan!
“Hemm, kau terkena hawa pukulan jarak jauh yang amat berbahaya. Berputarlah kau dan jangan melawan!”
Yu Siang Ki tadinya terkejut dan heran ketika ia mengerahkan Iweekang untuk menahan ujian, ia merasa betapa dada kirinya sakit seperti ditusuk-tusuk jarum. Ia makin terkejut ketika tiba-tiba Suling Emas merobek bajunya, akan tetapi kini ia merasa bersyukur. Sebagai seorang ahli silat tinggi, tentu saja ia sudah dapat menduga bahwa kakek putih yang sakti tadi ternyata telah melukainya dengan pukulan jarak jauh yang membuat ia terdorong dan terhuyung ke belakang tadi. Maka tanpa banyak pikir lagi ia lalu memutar tubuh membelakangi Suling Emas, melepaskan seluruh urat dan tenaganya sedikit pun tidak melakukan perlawanan. Pada saat itu ia merasa betapa pundak kiri dan punggungnya ditotok, kemudian telapak tangan yang amat panas seperti membara menempel di punggungnya.
“Sekarang bernapaslah panjang-panjang dan rasakan apakah masih sakit.”
Yu Siang Ki menarik napas panjang, hatinya girang sekali karena dada kirinya sudah tidak sakit lagi. Ia menggeleng kepala dan berkata. “Sudah tidak terasa apa-apa lagi, Paman.”
Suling Emas melepaskan tangannya dan menghela napas. “Sungguh berbahaya Pak-kek Sian-ong, tangannya masih keji! Akan tetapi bahayanya sudah lewat, hanya perlu memulihkan tenaganya.”
“He, Nona, ke sinilah engkau!” Tiba-tiba Suling Emas memanggil dan menggapai ke arah Kwi Lan.
Kwi Lan tercengang ketika tadi ia melihat betapa Yu Siang Ki disembuhkan dari lukanya oleh Suling Emas dengan tenaga sinkang. Kemudian ia tersenyum girang. Kiranya kakek muka putih tadi lihai sekali sehingga dorongannya dari jarak jauh telah melukai Yu Siang Ki. Akan tetapi ia tidak terluka! Dan hal ini berarti bahwa dia lebih kuat dari pada pemuda itu, lebih lihai! Ketika Suling Emas memanggilnya, sambil tersenyum ia menghampiri dan menyimpan pedangnya. Memang ia pun ingin sekali bicara dengan Suling Emas yang ia kagumi. Ingin bicara tentang Sang Ratu Khitan, ibu kandungnya!
Begitu Kwi Lan melangkah maju dengan mata bersinar, wajah berseri dan bibir tersenyum, Suling Emas memandang seperti orang terpesona. Dadanya berdenyut keras dan seketika teringatlah ia kepada Lin Lin atau Yalina, kekasihnya. Gadis ini sama benar dengan kekasihnya itu! Seperti itu pula Lin Lin dahulu mengangkat muka dengan leher panjang lurus, dada dibusungkan, pandang mata penuh ketabahan dan semangat. Seperti itu pula lenggang Lin Lin yang halus gemulai namun membayangkan kegagahan. Dan senyum itu! Senyum nakal dan aneh, pembawaan dari suku bangsanya yang asing, suku bangsa Khitan!
Gadis itu sudah berdiri dekat di depannya, namun Suling Emas masih memandang, merasa seperti dalam mimpi. Ia melihat Lin Lin muda kembali, menjadi gadis remaja!
Melihat keadaan Suling Emas ini, Kwi Lan memperlebar senyumnya, merasa lucu dan aneh. Dilihat sikapnya, pendekar sakti yang berjuluk Suling Emas ini tiada ubahnya dengan laki-laki biasa, yang selalu memandangnya dengan sikap tertarik seperti itu. Akan tetapi sinar matanya lain dari pada laki-laki yang lain. Sinar mata yang terpancar keluar dari sepasang mata yang sayu sedih itu tidak mengandung nafsu seperti pada laki-laki lain, melainkan penuh pertanyaan dan keheranan, bukan kekaguman dan bukan pula gairah.
“Jadi engkau inikah orangnya yang berjuluk Suling Emas? Sudah banyak kudengar tentang dirimu dari Yu Siang Ki. Memang aku ingin sekali jumpa denganmu, banyak hal yang hendak kutanyakan. Suling Emas, di manakah kita dapat bicara dengan enak dan leluasa? Kuharap engkau tidak akan merasa keberatan...!”
“Engkau anak siapa?! Siapa ibumu?!” Pertanyaan ini keluar dari mulut Suling Emas secara otomatis seperti di luar kesadarannya dan terdengar keras seperti bentakan sehingga semua orang yang mendengar mengira bahwa pendekar itu menjadi marah-marah.
Kwi Lan tersentak kaget, keningnya berkerut, matanya memandang tajam. Apa maksud pendekar ini? Mengapa begitu jumpa, terus saja bertanya siapa ibunya? Kwi Lan adalah seorang gadis yang amat cerdik. Pertanyaan yang membingungkan semua orang ini sudah dapat diduga maksudnya dalam sekejap mata oleh Kwi Lan. Ia sudah mendengar bahwa orang ini, Suling Emas adalah kakak angkat Ratu Yalina, dan mungkin sekali, kalau tidak hisapan jempol belaka percakapan antara kaum sesat, di antara kakak dan adik angkat ini terjalin kasih sayang. Kalau betul demikian, agaknya kini Suling Emas terkejut melihat dia dan tentu saja hanya satu hal yang menyebabkannya, yaitu bahwa dia tentu mirip dengan ibunya di waktu masih muda! Ia tidak meragukan keterangan bibi dan gurunya, bahwa ibu kandungnya adalah Ratu Yalina.
“Kau tanya namaku? Seperti engkau, namaku hanya nama julukan. Mutiara Hitam! Tentang ibuku... aku sendiri tidak tahu....”
Mendengar jawaban ini, Suling Emas baru sadar betapa tidak pantasnya pertanyaannya tadi. Wajahnya menjadi merah sekali dan ia cepat berkata. “Nona, kau bukalah baju bagian dadamu!”
Kini wajah Kwi Lan yang menjadi merah sekali, merah karena marah. Sepasang matanya memancarkan kemarahan, sinarnya menyambar wajah Suling Emas dan tangan kanannya bertolak pinggang, telunjuk kiri menuding ke arah hidung Suling Emas sambil mulutnya membentak.
“Apakah kau kira setelah kau bernama Suling Emas dan terkenal sebagai pendekar besar yang sakti, boleh saja engkau menghina seorang seperti aku? Cih, manusia kurang ajar tak tahu malu!” Setelah berkata demikian, ia membanting kakinya dengan gemas kemudian sekali bergerak, tubuhnya sudah melayang turun dari atas panggung.
“Kwi Lan...! Kwi Lan, kembalilah! Engkau hendak ke mana...?” Yu Siang Ki berseru memanggil.
Kwi Lan tidak menoleh, hanya menjawab dengan suara menyatakan kekesalan hatinya. “Aku pergi, uruslah dunia pengemismu, sampai jumpa!”
“Kwi Lan...!” Yu Siang masih berusaha menahan.
“Percuma, gadis seperti dia itu tak mungkin mau dicegah kehendaknya...!” Suling Emas berkata lirih dan berkali-kali pendekar ini menarik napas panjang dan berkata. “Aneh... benar aneh...,” Di dalam hatinya ia benar-benar makin heran menyaksikan sikap gadis pemarah itu yang sama dengan watak Lin Lin.
Kemudian ia bertanya kepada Yu Siang Ki, “Kwi Lan namanya? Mutiara Hitam? Dari manakah datangnya? Ilmunya hebat....“
“Entahlah, Paman. Saya bertemu di tengah jalan, dia sebatang-kara namanya Kwi Lan dan shenya Kam....”
“Heh...?” Suling Emas benar-benar terkejut, memandang wajah tampan itu dengan mata penuh selidik.
“Benar, Paman. Ketika pertama kali mendengar saya pun terkejut dan melihat kelihaiannya, saya mengira dia mempunyai hubungan keluarga dengan Paman. Akan tetapi ternyata bukan dia... dia bahkan tidak tahu siapa orang tuanya. Kiranya, semenjak bayi dia dirawat gurunya yang ia sebut-sebut Bibi Sian.”
Suling Emas berdiri tegak seperti arca. Penuturan singkat tentang gadis itu membuat pikirannya melayang-layang dan mengenangkan masa lalu. Bibi Sian? Kalau gadis yang sama benar wajah dan wataknya dengan Lin Lin itu puteri Lin Lin, memang dia mempunyai seorang ‘Bibi Sian’, yaitu Kam Sian Eng! Dan ilmu kepandaian Sian Eng memang hebat luar biasa, karena Sian Eng telah mewarisi pusaka ibu kandungnya, Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian!
Benarkah sangkaannya ini? Akan tetapi, ahh... mana mungkin Lin Lin mempunyai puteri? Ia hanya mendengar bahwa sampai kini Lin Lin yang kini menjadi Ratu Yalina di Khitan tidak pernah menikah dan hanya mempunyai seorang putera angkat, yaitu anak panglimanya sendiri yang setia, Kayabu.
Pada saat itu, Gak-lokai dan Ciam-lokai sudah meloncat ke atas panggung. Tadi ketika semua orang mendengar bahwa orang yang mereka sangka Yu Kang Tianglo itu ternyata palsu dan Suling Emas adanya, mereka menjadi gaduh dan ramailah mereka mengeluarkan pendapat masing-masing.
Gak-lokai dan Ciam-lokai segera merundingkan hal itu dengan anak buahnya. Mereka kini sudah mendengar bahwa Yu Kang Tianglo telah meninggal dunia dan karena mereka tahu bahwa Suling Emas dahulu sahabat baik Yu Kang Tianglo, maka mereka tidak akan menuntut, bahkan berterima kasih. Apa lagi di situ ada terdapat pemuda lihai yang mengaku putera Yu Kang Tianglo, hal ini harus dibuktikan lebih dahulu kebenarannya.
Setelah mendapat persetujuan rekan-rekan mereka, dua orang kakek pengemis itu lalu melompat ke atas panggung. Langsung mereka berdua menghadapi Suling Emas dan memberi hormat. “Kiranya Taihiap (Pendekar Besar) yang semenjak dahulu telah menjadi sahabat baik para kai-pang. Harap Taihiap sudi memaafkan kesalahan kami yang menyangka Taihiap adalah Yu Kang Tianglo,” kata Gak-lokai.
Suling Emas balas menjura dan menarik napas panjang. “Sama-sama salah, Lokai. Aku pun bersalah, telah berani mengaku sebagai Yu Kang Tianglo. Syukurlah kalian semua percaya bahwa perbuatanku ini sama sekali bukan untuk merampas kedudukan, melainkan untuk mewakili sahabatku itu membersihkan Khong-sim Kai-pang. Sekarang rahasiaku telah terbuka, dan kebetulan sekali muncul putera Yu Kang Tianglo yang bernama Yu Siang Ki ini. Melihat kepandaiannya, kiranya tidak ada orang lain yang tepat untuk memimpin Khong-sim Kai-pang dan bersama kai-pang-kai-pang lain bersatu menghadapi ancaman kaum sesat.”
“Ucapan Taihiap tepat sekali dan kami bergembira bertemu dengan putera Yu Kang Kai-pangcu, sungguh pun merasa sedih mendengar berita kematiannya. Akan tetapi, Taihiap, siapakah berani tanggung bahwa orang muda ini benar-benar putera Yu Kang Tianglo yang sudah puluhan tahun tiada berita?” kata Ciam-lokai.
“Pendapat rekan Ciam-lokai benar. Kalau yang memalsukan nama Yu Kang Tianglo itu Taihiap, hal ini masih tidak ada buruknya, bahkan lebih baik mengingat bahwa Taihiap seorang pendekar sakti yang selalu membela kaum lemah. Akan tetapi kalau sampai dipalsukan orang lain yang kemudian menyelewengkan kai-pang seperti halnya lima pangcu yang telah tewas di tangan Taihiap, bukankah hal ini akan menimbulkan mala-petaka? Karena itu, kami minta bukti dari orang muda ini bahwa dia betul-betul putera Yu Kang Tianglo!”
“Bagus...! Benar sekali...!” terdengar para pengemis berteriak-teriak.
Suling Emas hanya memandang kepada Yu Siang Ki. Di dalam hatinya ia percaya kepada pemuda ini yang dapat ia nilai kejujuran dan kesetiaannya dari sikap dan sepak terjangnya tadi. Akan tetapi ia pun tidak berani memastikan apakah pemuda ini benar-benar putera Yu Kang Tianglo, karena ketika bertemu dengan tokoh pengemis itu dahulu, Yu Kang Tianglo tidak menyebut-nyebut tentang keadaan keluarganya. Oleh karena inilah ia diam saja dan menyerahkan kepada Yu Siang Ki sendiri untuk membuktikan kebenaran pengakuan sebagai putera Yu Kang Tianglo.
Pemuda itu dengan sikap tenang, tanpa ragu-ragu menghadapi Cak-lokai dan Ciam-lokai sambil berkata, “Kalau saya tidak salah duga, Ji-wi (Anda Berdua) tentulah Gak-lokai dan Ciam-lokai. Ayah pernah menyebut nama Ji-wi kepada saya. Apa yang Ji-wi kemukakan tadi memang benar. Saya harus dapat membuktikan bahwa saya Yu Siang Ki, benar-benar adalah putera tunggal Yu Kang Tianglo. Saya mempunyai tiga macam bukti, harap Ji wi dan semua Saudara anggota Khong-sim Kai-pang mendengar dan menyaksikannya!”
Yu Siang Ki berhenti sejenak, kemudian ia berkata lagi dengan suara lantang sambil menggerakkan kedua tangannya, yang kiri menekan di dada kiri arah tempat jantung dan tangan kanan diangkat ke atas membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari tengah. “Beginilah tanda rahasia perkumpulan kita Khong-sim Kai-pang! Kakekku, Yu Jin Tianglo, yang menciptakan tanda rahasia ini. Bukan hanya sekedar tanda, melainkan memiliki tiga kegunaan, yaitu pertama sebagai tanda pengenal sesama anggota. Kedua mempunyai arti yaitu Kosong dan Hati, sesuai dengan nama perkumpulan kita, Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong). Kosong adalah kosong lahir batin. Lahirnya kosong dan miskin tidak memiliki apa-apa, dalamnya juga kosong dan polos tidak mempunyai watak dan pikiran kotor. Ada pun hati dimaksudkan bahwa setiap anggota harus memiliki hati yang bersih dan penuh kesetiaan terhadap perkumpulan. Kemudian arti ke tiga dan hal ini hanya dikenal oleh para pimpinan Khong-sim Kai-pang, yaitu gerakan ini adalah jurus pembukaan dari pada ilmu silat yang harus dimiliki oleh para pimpinan Khong-sim Kai-pang. Nama ilmu silatnya pun Khong-sim-kun (Ilmu Silat Hati Kosong)!”
Mendengar ini, berisiklah semua pengemis dan semua terheran-heran. Yang sudah tahu jelas akan arti tanda rahasia mereka itu mengangguk-angguk membenarkan, yang belum tahu kini menjadi tahu dan tercengang, tidak mengira bahwa tanda rahasia itu mempunyai arti yang begitu luas.
“Sekarang bukti ke dua bahwa saya adalah putera tunggal Yu Kang Tianglo. Mungkin di antara saudara anggota Khong-sim Kai-pang tidak ada yang mengetahui siapa nama Gak-lokai dan Ciam-lokai! Adakah di antara saudara yang mengetahui nama mereka berdua?”
Yu Siang Ki menanti sampai beberapa lama. Para pengemis itu kembali berisik sekali sehingga keadaan di situ menjadi seperti pasar. Namun tidak ada yang tahu akan nama dua orang tokoh yang selalu hanya dikenal sebagai Gak-lokai dan Ciam-lokai saja. Kemudian terdengar suara mereka. “Tidak ada yang tahu...!”
Yu Siang Ki menjura kepada Gak-lokai dan Ciam-lokai. “Maafkan saya, Ji wi Lokai, untuk menjadi bukti, terpaksa saya memperkenalkan nama Ji wi.” Kemudian pemuda ini menghadapi para pengemis dan berkata lantang. “Mendiang ayah pernah mengatakan bahwa di antara para tokoh Khong-sim Kai-pang, yang boleh saya percaya adalah dua orang, yaitu Paman Gak Lun dan Paman Ciam Hie inilah!”
Dua orang lokai itu saling pandang dengan muka pucat. Sudah puluhan tahun mereka tidak pernah memperkenalkan nama, bahkan tidak pernah ada yang menyebut nama mereka. Memang hanya Yu Kang Tianglo yang mereka beritahu tentang nama mereka.
Kembali para pengemis menjadi berisik, bahkan ada yang bersorak karena kedua orang lokai itu sama sekali tidak membantah. Hal ini hanya berarti bahwa bukti kedua ini pun cocok.
“Sekarang bukti ke tiga. Seperti kukatakan tadi, setiap pimpinan Khong-sim Kai-pang tentu diberi pelajaran ilmu silat Khong-sim-kun. Ayah pernah bercerita bahwa pada masa ini, di antara semua anggota Khong-sim Kai-pang, hanya Gak-lokai dan Ciam-lokai berdua sajalah yang faham akan ilmu silat itu, karena dahulu ketika ayah datang ke sini untuk memimpin saudara-saudara menghadapi Pouw Kai-ong, sebelum pergi lagi ayah telah menurunkan ilmu itu kepada dua orang tua ini. Benarkah, Ji-wi Lokai?”
Gak-lokai dan Ciam-lokai berseri-seri wajahnya dan mengangguk-angguk. Kini mereka tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang tahu semua kejadian rahasia ini tentulah benar putera Yu Kang Tianglo. Akan tetapi mereka masih belum puas. Kalau ketua mereka selihai Suling Emas, hati mereka akan menjadi lega. Akan tetapi Yu Siang Ki masih amat muda. Biar pun tadi kelihatan kelihaiannya, bahkan dipuji oleh Suling Emas, namun cukup kuatkah pemuda ini menjadi ketua kai-pang yang kini menghadapi banyak musuh tangguh?
“Nah, kalau benar demikian,” Siang Ki menyambung kata-katanya, “sekarang saya persilakan Ji-wi untuk menguji aku dengan ilmu silat itu. Kalau aku dapat memecahkan Khong-sim-kun, jelaslah bahwa hanya ayahku Yu Kang Tianglo yang bisa mengajarkan ilmu itu kepadaku.”
“Setuju! Baik begitu!” Semua pengemis bersorak.
Gak-lokai dan Ciam-lokai juga menjadi girang karena kini terbuka kesempatan bagi mereka untuk memuaskan hati mereka dengan menguji sampai di mana kelihaian putera Yu Kang Tianglo ini. Akan tetapi karena kini mereka yakin bahwa pemuda ini adalah putera Yu Kang Tianglo, maka mereka menjadi segan juga. Gak-lokai lalu menjura dan berkata.
“Yu Siauw-pangcu (Ketua Yu Muda) yang memerintah, harap suka maafkan kami dua orang tua berani kurang ajar!”
Yu Siang Ki tertawa. Senang hatinya melihat sikap dua orang yang pernah dipuji ayahnya ini. “Ji-wi harap jangan sungkan-sungkan. Mulailah!”
Gak-lokai dan Ciam-lokai bergerak maju dan benar saja, sebagai pembukaan mereka telah bergerak seperti yang dilakukan Yu Siang Ki tadi, yaitu tangan kiri menekan dada kiri sedangkan tangan kanan diangkat di atas kepala membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari tengah. Juga pemuda itu melakukan gerak yang sama, setelah itu barulah dua orang kakek itu menyerang dengan jurus-jurus yang aneh, namun amat cepat dan menimbulkan angin pukulan halus.
Diam-diam Suling Emas memperhatikan dan menjadi kagum. Ilmu Khong-sim-kun yang diciptakan kakek pemuda itu memang benar hebat, gerakannya halus dan indah, namun mengandung kecepatan gerak dan tenaga kuat. Begitu menyaksikan cara pemuda itu menyambut serangan, tahulah Suling Emas bahwa dalam ilmu silat ini, si Pemuda jauh lebih matang dan sempurna gerakannya dari pada kedua orang lawannya. Hal ini adalah karena Gak-lokai dan Ciam-lokai hanya beberapa hari saja berkumpul dengan Yu Kang Tianglo sehingga hanya menerima teori dan menerima bimbingan sebentar, sebaliknya Yu Siang Ki berlatih di bawah pengawasan ayahnya, tentu saja gerakannya lebih mahir dan sempurna.
Dua orang kakek itu girang bukan main. Mereka pun tahu bahwa pemuda ini benar-benar mahir ilmu silat Khong-sim-kun dan semua jurus yang mereka keluarkan untuk menyerangnya, semua dapat dikembalikan, ditangkis atau dielakkan dengan baik sekali. Sampai habis semua jurus Khong-sim-kun mereka jalankan dan belum pernah mereka dapat menyentuh tubuh Yu Siang Ki, sebaliknya setiap kali pemuda itu menangkis, tentu tangan mereka terpental dan pangkal lengan mereka terasa kesemutan dan setengah lumpuh. Mereka maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, dalam beberapa jurus saja mereka tentu akan dapat dirobohkan!
Keduanya lalu melompat mundur, menghadapi para pengemis di bawah panggung dan bersorak, “Saudara-saudara semua! Dia ini betul-betul putera Yu Kang Kai-pangcu! Dialah yang patut menjadi ketua kita!”
Setelah berkata demikian, Gak-lokai dan Ciam-lokai lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Yu Siang Ki sambil berkata, “Yu-pangcu, kami mohon pimpinan Pangcu!”
Pemuda itu terharu ketika melihat semua pengemis di bawah panggung juga berlutut. Ia tersenyum dan mengangkat bangun Gak-lokai dan Ciam-lokai. “Harap Saudara sekalian jangan terlalu merendahkan diri. Aku tentu saja suka sekali memimpin kalian dan melindungi perkumpulan kita, asal mendapat bantuan Gak-lokai dan Ciam-lokai yang sudah lebih berpengalaman.”
Para pengemis bersorak gembira, ada yang menari-nari dan ada yang tertawa-tawa. Para pimpinan kai-pang yang menjadi tamu segera maju dan memberi hormat serta memberi selamat kepada pangcu baru dari Khong-sim Kai-pang. Timbul harapan mereka bahwa bersama pemuda yang lihai ini mereka akan lebih kuat menghadapi penyelundupan kaum sesat.
“Eh, ke mana dia...?” Tiba-tiba Yu Siang Ki menengok, terkejut karena tidak melihat Suling Emas di belakangnya.
Gak-lokai dan Ciam-lokai juga terkejut dan heran. “Ke mana perginya Kim-siauw Taihiap?”
“Lihat itu ada tulisan!” kata pula Yu Siang Ki yang melihat tulisan terukir di atas papan panggung di mana tadi Suling Emas berdiri. Beramai-ramai mereka mendatangi tempat itu dan pembaca tulisan yang terukir, amat indahnya, agaknya diukir dengan ujung sepatu!
Selamat kepada pangcu baru,
Suling Emas akan selalu mengamati
dan melindungi dari jauh!
Mereka menarik napas panjang. Gak-lokai dan Ciam-lokai cepat lari meloncat turun menuju ke kandang kuda, namun kuda kurus tunggangan Suling Emas juga tidak ada pula di situ. Semua orang menjadi makin kagum. Di depan mata sekian banyaknya orang, Suling Emas dapat menghilang begitu saja, bahkan meninggalkan tulisan yang diukir dengan ujung kaki.
Namun di dalam hatinya, Yu Siang Ki, Gak-lokai, dan Ciam-lokai girang karena di dalam tulisan yang ditinggalkan Suling Emas itu, si Pendekar Sakti menjanjikan pengamatan dan perlindungan, biar pun dari jauh. Hal ini berarti bahwa dalam menghadapi bahaya dan kesukaran, mereka masih dapat mengharapkan bantuan pendekar sakti itu. Biar pun di dalam hatinya Yu Siang Ki berduka sekali karena ia kehilangan Kwi Lan yang pergi secara mendadak, namun sebagai seorang ketua yang amat setia kepada Khong-sim Kai-pang, ia mengesampingkan perasaan pribadi yang jatuh cinta kepada gadis itu, dan mulailah ia mengatur segala usaha dan perbaikan untuk Khong-sim Kai-pang.
********************
Suling Emas menarik napas panjang berkali-kali, hanya kecewa dan menyesal karena ia tidak berhasil mengejar gadis yang bernama Kam Kwi Lan itu. Biar pun ia membalapkan kudanya mengejar keempat penjuru, ia tetap saja tak dapat melihat Kwi Lan. Mengertilah ia bahwa gadis itu memang sengaja tidak mau menjumpainya. Ia mengingat-ingat dan mengangguk-angguk. Gadis itu wataknya aneh dan keras sekali.
Dan ia memang kurang hati-hati dengan ucapannya tadi. Ia menyuruh gadis itu membuka baju. Tentu saja ia maksudkan agar gadis itu melihat sendiri pada dadanya karena seperti juga Siang Ki, ia tahu bahwa gadis itu menderita luka akibat pukulan rahasia Pak-kek Sian-ong. Gadis itu salah kira, menyangka dia bersikap kurang ajar!
“Hemm, patut menjadi murid Sian Eng,” ia menggereneng. “Akan tetapi wataknya lebih mirip dengan Lin-moi, juga wajah dan bentuk tubuhnya. Heran sekali... siapakah bocah itu?”
Karena dapat menduga watak Kwi Lan yang mirip Lin Lin, maka ia tahu bahwa percuma saja mencari terus. Kalau gadis itu tidak mau menjumpainya dan bersembunyi, mana mungkin ia mencari dan menemukannya? Suling Emas menjalankan kudanya lagi, perlahan-lahan. Ia telah dikenal orang. Rahasianya telah bocor karena munculnya Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Hatinya menjadi risau.
Untuk menghilangkan perasaan tidak enak ini ia mengeluarkan sulingnya dan ditiupnya sulingnya itu dan berusaha melenyapkan segala perasaan yang tidak menyenangkan. Namun tetap saja pikirannya tak dapat ia diamkan. Dunia mulai kacau lagi. Orang-orang jahat bermunculan. Bahkan dua orang seperti Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong juga mulai main gila di dunia ramai. Bagaimana dia akan dapat menyembunyikan dan mengasingkan diri, berpeluk tangan saja? Tak mungkin, bisik hatinya. Tak mungkin aku dapat menjadi penonton saja. Haruskah dia turun tangan kembali, seperti dulu-dulu? Haruskah ia mengisi hidupnya dengan pertandingan-pertandingan lagi? Mengganggu ketenangan dan kesunyian dengan urusan dunia yang tiada habisnya?
Tiba-tiba ia menahan kudanya dan otomatis tangan kirinya menarik sapu tangan yang tergantung di leher ke atas, menutupi mulut dan hidungnya. Telinganya mendengar suara makian dari jauh, dari arah belakangnya.
“Setan biadab, siapa sudi menuruti kehendakmu? Bunuh saja aku!”
“Iblis Khitan, kalau bisa kau cari sendiri orangnya, mengapa memaksa kami? Kau berani menghina pengemis miskin?”
Itulah suara Gak-lokai dan Ciam-lokai! Biar pun ia tidak menengok dan tidak melihat, namun telinganya mendengar betapa dari belakang terdapat dua orang yang mendatangi dengan ilmu lari cepat yang amat hebat. Ia terkejut dan tadinya ia mengira tentu Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek Sian-ong yang datang, akan tetapi kalau mereka, mengapa suara makian Ciam-lokai tadi menyebut-nyebut iblis Khitan? Suling Emas lalu memutar kudanya dan karena harus siap menjaga kalau yang datang betul Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, maka masih memegang suling di tangan kanannya.
Akan tetapi setelah kini ia memutar kuda, ia terheran-heran. Yang datang berlari cepat sekali adalah dua orang Khitan, dua orang kakek yang datang membawa Gak-lokai seperti orang menenteng kelinci saja. Dua orang kakek pengemis yang cukup lihai itu dicengkeram punggung bajunya dan sama sekali tidak dapat melepaskan diri. Ini saja sudah membuktikan betapa lihainya dua orang Khitan itu.
Suling Emas diam-diam terkejut. Bukan terkejut melihat kelihaian mereka karena ia pun maklum bahwa banyak orang-orang kuat di Khitan. Akan tetapi ia terkejut karena melihat bahwa yang datang ini bukan orang sembarangan, melainkan dua orang yang berpangkat tinggi dalam ketentaraan, dua orang panglima! Hal ini dapat dilihat dari pakaiannya. Para panglima Khitan dapat dikenal dari tanda sulaman bundar di dada mereka. Dua orang kakek ini pada dadanya terdapat gambar pilar besar, berarti bahwa mereka adalah panglima-panglima benteng. Hemm, kalau Lin Lin sampai mengutus panglima-panglimanya datang, berarti Ratu Khitan itu tidak main-main lagi, tidak sekedar rindu dan mengundangnya begitu saja!
Setelah dua orang panglima Khitan itu tiba dekat, Gak-lokai berkata sambil memandang Suling Emas, “Taihiap, bukan kami yang menunjukkan tempat Taihiap, melainkan kami dibawa dengan paksa oleh dua ekor monyet Khitan ini!”
Suling Emas berkata dari balik sapu tangannya, suaranya perlahan dan halus, namun berpengaruh, “Sepanjang pengetahuanku, panglima-panglima Khitan adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan juga menjunjung keadilan dan kegagahan. Mengapa mengganggu pengemis-pengemis seperti kami? Apakah Khitan sudah melupakan persahabatan dan hendak mengganas di selatan?”
Muka kedua orang panglima Khitan itu menjadi merah karena teguran itu langsung menusuk hati mereka. Sejenak mereka saling pandang dengan sangsi karena mereka sendiri pun tidak tahu apakah benar orang berkuda yang menutupi mukanya itu adalah orang yang dicarinya. Namun, karena perintah dari atasan mereka menyatakan bahwa orang yang dicarinya itu menyamar sebagai pengemis dan berada di antara para pengemis Khong-sim Kai-pang, serta memiliki seekor kuda merah yang kurus kering, hilang keraguan mereka.
Seorang di antara mereka berkata, “Maafkan jika terpaksa kami menangkap dua manusia bandel ini, karena dimintai tolong menunjukkan tempat Taihiap mereka tidak mau malah memaki-maki. Taihiap, jauh-jauh kami datang sengaja untuk menemui Taihiap, menempuh perjalanan ribuan li, mengalami segala macam kesukaran dan rintangan. Sama sekali bukan maksud kami untuk mengganggu saudara-saudara kai-pang. Hanya dua orang manusia ini terlalu bandel tidak suka membantu.”
“Di antara kalian dan aku tidak ada urusan apa-apa, tak pernah saling bertemu dan tidak saling mengenal. Mengapa kalian bersusah payah mencariku?”
Panglima yang bicara tadi mengambil sesuatu dari sakunya, kemudian berkata, “Kami datang sebagai utusan ratu kami untuk menyampaikan surat ini kepada Taihiap. Harap Taihiap sudi menerimanya!”. Setelah berkata demikian, tangannya yang memegang surat itu bergerak menyambit dan gulungan surat itu bagaikan peluru menyambar ke arah Suling Emas.
Suling Emas mengerti bahwa tidak perlu ia berpura-pura terus. Sambitan itu saja sudah merupakan ujian karena tidak sembarang orang dapat menyambit seperti itu dan tidak sembarangan orang pula dapat menerimanya. Ia mengangsurkan tangan kiri, dengan tenang ia menangkap gulungan surat itu. Tubuhnya sedikit pun tidak bergoyang dari atas panggung kudanya.....
“Iblis-iblis tua, berani kau mempermainkan Khong-sim Kai-pang?!” bentakan halus ini keluar dari mulut Yu Siang Ki.
Pemuda ini menjadi marah ketika menyaksikan betapa dua orang kakek aneh itu mengacaukan pertemuan kai-pang yang mempunyai maksud baik itu. Apa lagi ketika melihat betapa Gak-lokai dan Ciam-lokai dipermainkan, ia segera tahu bahwa dua orang tokoh pengemis itu bukanlah lawan dua orang kakek yang datang mengacau. Ia sendiri belum tentu dapat mengalahkan dua orang kakek yang sakti itu, namun melihat usaha persatuan yang diadakan Khong-sim Kai-pang itu terancam bahaya, ia segera meloncat naik, menegur dan sekaligus ia melemparkan hiasan bunga yang biasanya menghias topinya.
Lontaran itu bukanlah sembarang lontaran, melainkan serangan yang hebat dan yang mengancam jalan darah di dekat siku Lam-kek Sian-ong. Siang Ki sengaja menyerang kakek muka merah karena melihat betapa kakek muka merah ini amat dahsyat kedua tangannya dan pada saat itu keadaan Ciam-lokai amat berbahaya. Sekali saja tangan kakek muka merah itu berhasil menonjok tubuh Ciam-lokai, tentu tokoh Khong-sim Kai-pang itu akan roboh tewas!
“Aihh...!” kakek muka merah itu mengeluarkan seruan kaget.
Lengannya terasa kesemutan karena jalan darah di sikunya secara tepat sekali tertusuk gagang hiasan bunga. Tadi ia melihat benda ini menyambar, akan tetapi tentu saja ia memandang rendah. Siapa kira totokan gagang bunga itu cukup mengandung tenaga Iweekang yang dahsyat sehingga lengannya kesemutan. Ia terheran-heran, ini bukan sambitan orang biasa. Maka ia berseru kaget dan memutar tubuh menghadapi Yu Siang Ki.
Keheranannya bertambah ketika ia mendapat kenyataan bahwa yang menyambitnya hanya seorang pemuda tampan yang masih amat muda. Pada saat itu Ciam-lokai yang merasa marah dan penasaran menggunakan sisa tongkatnya menusuk dari belakang, mengarah lambung dan menusuk di bagian yang mematikan.
“Dukk!” Tusukan tongkat itu tepat mengenai lambung, akan tetapi membalik seperti menusuk karet yang keras saja.
Ciam-lokai kaget sekali akan tetapi sebelum hilang kagetnya, tiba-tiba tubuhnya sudah melayang jauh turun ke bawah panggung karena pada saat itu kaki Lam-kek Sian-ong sudah melakukan gerakan menyepak (menendang ke belakang) persis seperti gerakan kaki kuda. Tanpa menoleh kakek muka merah itu mampu menendang Ciam-lokai yang lihai itu sampai terlempar ke bawah panggung. Hal ini benar-benar membuktikan bahwa kesaktiannya memang luar biasa.
Yu Siang Ki maklum akan hal ini, maka pemuda ini tidak berani sembrono. Tadi pun menyaksikan sambitannya yang tepat mengenai jalan darah itu tidak melumpuhkan lengan kakek muka merah, ia sudah tahu bahwa lawannya benar-benar sakti. Kini pemuda itu sudah menyambar tongkatnya dan berseru keras. “Tak seorang pun boleh menghina Khong-sim Kai-pang!” ia lalu menggerakkan tongkat dan menerjang dengan gerakan yang mantap dan penuh tenaga sinkang.
“Hua-ha-ha, bagus, bagus! Eh, Pek-bin-twako (Kakak Muka Putih)! Kau lihat lawanku ini. Biar pun masih muda, baru berharga untuk diajak main-main!” ia bicara sambil menggerakkan tubuh mengelak. Sekali lihat saja Lam-kek Sian-ong mengerti bahwa ilmu tongkat pemuda ini hebat dan tak boleh dipandang ringan, maka timbullah kegembiraannya untuk melayani Yu Siang Ki.
“Eh, Kakek tua, kau mundurlah. Kau bukan lawan iblis ini!”
Inilah suara Kwi Lan. Ketika gadis ini melihat Yu Siang Ki sudah melompat naik ke atas panggung dan turun tangan, ia pun tidak mau tinggal diam. Tentu saja ia pun mengenal dua orang kakek itu. Ia tahu bahwa mereka itu, Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, guru Siangkoan Li, adalah dua orang kakek yang sakti. Tentu Yu Siang Ki tidak mengenal mereka maka pemuda itu secara gegabah berani maju. Kalau tidak ia bantu, mana mungkin Yu Siang Ki dapat menandingi dua orang kakek itu.
Biar pun ia maklum bahwa dengan bantuannya sekali pun amat sukar untuk mendapat kemenangan, namun ia tidak bisa membiarkan sahabatnya menghadapi bahaya seorang diri. Maka ia pun lalu meloncat tinggi ke udara. Ia anggap bahwa gerakan Gak-lokai yang dibuat permainan oleh Pak-kek Sian-ong itu hanya akan menghalangi dan membuatnya tidak leluasa, maka sekali meloncat, ia sudah mengeluarkan ucapan tadi dan tahu-tahu di udara ia sudah menjambret leher baju Gak-lokai dan melemparkan kakek itu ke bawah panggung!
Gerakan ini tentu saja kelihatan hebat luar biasa. Inilah demonstrasi ginkang yang hebat, juga sekali jambret saja ia dapat melemparkan seorang tokoh seperti Gak-lokai sudah membuktikan betapa lihainya gadis ini! Semua pengemis yang menyaksikan ini menjadi makin bengong dan bingung. Bahkan Suling Emas sendiri yang tadi terkejut melihat munculnya pengemis muda yang berani menentang Lam-kek Sian-ong, kini melongo menyaksikan munculnya seorang gadis remaja yang bagaikan seekor naga muda kini sudah menerjang Pak-kek Sian-ong dengan pedangnya!
“Ho-ho-ho, Ang-bin Siauwte kau bilang lawanmu hebat? Kau lihat ini, Nona muda yang galak ini apakah kalah hebatnya?” Pak-kek Sian-ong berkata demikian, akan tetapi cepat mengelak dari gulungan sinar pedang yang menyambar-nyambar dahsyat.
Pertandingan di atas panggung kini benar-benar mengagumkan dan membuat para pengemis terlongong keheranan. Dua orang kakek tua renta itu dengan gerakan-gerakan aneh dan ringan menghadapi seorang pengemis muda yang memutar tongkat secara hebat dan seorang gadis cantik yang memainkan pedang secara ganas.
Gak-lokai dan Ciam-lokai juga sudah bangun. Untung bahwa tadi mereka tidak terbanting hebat dan juga tidak terluka. Hati mereka menjadi gentar karena maklum bahwa orang-orang yang sedang bertanding di atas panggung itu adalah orang-orang sakti yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari pada kepandaian mereka.
Suling Emas sejak tadi sudah bangkit berdiri. Matanya tajam menonton pertandingan, menimbang dan menilainya. Sebentar ia memandang ke arah pengemis muda yang menghadapi Lam-kek Sian-ong, sebentar kemudian ia memandang ke arah gadis cantik yang menerjang Pak-kek Sian-ong. Ia makin terheran-heran. Pengemis muda itu ilmu tongkatnya hebat dan tinggi, tenaganya kuat dan memiliki kecepatan gerak yang membuktikan bahwa dia bukan ahli silat sembarangan. Diam-diam ia menjadi kagum sekali dan ia merasa seperti pernah mengenal ilmu tongkat yang dimainkan pemuda itu. Kalau dasarnya sudah jelas ilmu silat dari pantai timur, akan tetapi siapakah pernah mainkan tongkat seperti ini? Ia lupa lagi.
Namun kekagumannya terhadap pemuda tampan itu tidak ada artinya ketika ia menonton pertempuran antara kakek muka putih dan gadis cantik. Suling Emas melongo dan benar-benar ia terheran-heran menyaksikan sepak terjang gadis itu. Ilmu silat apa gerangan yang dimainkan oleh gadis dengan pedang kayunya itu? Dalam hal ilmu pedang, setidaknya telah mengenal dasar-dasarnya. Akan tetapi gerakan pedang yang dimainkan gadis itu benar-benar membuat ia terlongong.
Gerak kakinya seperti gerak kaki ilmu silat Siauw-lim-pai, tegap dan digeser-geser kuat. Akan tetapi ketika sambaran pedang diimbangi tendangan kaki, maka tendangan itu bukanlah tendangan ilmu sliat Siauw-lim-pai, lebih mirip tendangan ilmu silat utara Gobi-pai. Dan gerakan pedang itu, kacau balau antara ilmu pedang Beng-kauw dan Ilmu pedang Kun-lun. Aneh bukan main, kacau-balau namun justru kekacauannya inilah yang merupakan sifat ilmu silat gadis itu yang benar-benar luar biasa dan dahsyatnya bukan main, keganasannya membuat Suling Emas mengerutkan kening.
Pantas saja Pak-kek Sian-ong berkali-kali mengeluarkan seruan kaget dan kagum, dan agaknya kakek yang doyan berkelahi itu melayaninya dengan sungguh-sungguh sambil memperhatikan ilmu silat gadis itu. Namun sukarlah untuk mengenal atau mempelajari ilmu kacau balau ini sehingga si Kakek merasa sayang kalau cepat-cepat menghentikan pertandingan.
Setelah meneliti sejenak tahulah Suling Emas bahwa dua orang muda itu benar-benar bukan orang sembarangan, tentu murid-murid orang pandai yang memiliki kepandaian luar biasa. Juga ia sudah mengenal sifat-sifat dan keampuhan ilmu silat mereka. Ia sudah tahu pula akan sifat Pak-kek Sian-ong. Dibandingkan dengan Lam-kek Sian-ong, kakek muka putih itu lebih lunak dan agaknya tidak akan tega untuk mencelakai orang muda. Oleh karena itu, ia lalu meloncat ke dekat Lam-kek Sian-kong dan berkata kepada Yu Siang Ki sambil menangkis sebuah pukulan tangan kiri, Lam-kek Sian-ong, “Orang muda, kau bantulah gadis itu. Biarkan dia yang menyerang, kau memperkuat pertahanan kalian!”
“Dukkk...!” dua lengan yang sama-sama mengandung tenaga sinkang yang dahsyat bertemu.
Lam-kek Sian-ong sejak tadi tidak pernah ditangkis Yu Siang Ki karena pemuda yang cerdik itu maklum bahwa ia kalah tenaga. Kini melihat ada orang yang berani menangkis, sengaja Lam-kek Sian-ong mengerahkan tenaga Yang-kang yang menjadi keistimewaannya. Akibatnya, pertemuan kedua lengan itu membuat Suling Emas terhuyung ke belakang, akan tetapi Lam-kek Sian-ong juga terjengkang dan hampir roboh! Bukan main kaget dan herannya sehingga kakek muka merah mengeluarkan seruan seperti seekor singa yang membuat papan panggung tergetar dan sejenak ia hanya berdiri memandang dengan mata melotot.
Sementara itu Yu Siang Ki yang melihat gerakan orang bertopeng yang mengaku ayahnya itu, seketika maklum bahwa orang ini kepandaiannya hebat, maka tanpa ragu-ragu lagi ia menerjang Pak-kek Sian-ong yang sedang melayani Kwi Lan.
“Kau seranglah terus, biar aku yang menahannya!” bisiknya kepada Kwi Lan.
Pertandingan dilanjutkan dengan hebat dan makin gembiralah hati Pak-kek Sian-ong. Setelah kini dikeroyok dua barulah ia merasa seimbang dan tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan kepandaian. Diam-diam ia kagum kepada pemuda yang tadi menjadi lawan Lam-kek Sian-ong ini. Bagaimana pemuda ini dapat mengatur sedemikian tepatnya dengan membagi dua daya tempur mereka?
Memang sifat ilmu pedang gadis ini liar dan ganas bukan main, serangan-serangannya kuat, pendeknya letak kelihaian ilmu pedang ini berada pada daya serangnya. Ada pun ilmu tongkat pemuda itu lebih mengutamakan pertahanannya sehingga amatlah tepat apa bila dipergunakan untuk menjaga diri dan mempertahankan. Gembiralah hatinya menghadapi serangan-serangan pedang yang demikian berbahaya dan menghadapi pertahanan seperti benteng baja kuatnya dari tongkat pemuda itu. Di lain pihak, dua orang muda itu juga berbesar hati karena begitu mereka berdua bertanding dengan sikap seperti yang dianjurkan Suling Emas tadi, ternyata mereka dapat mengimbangi kelihaian kakek muka putih.
Sementara itu, pertandingan antara Suling Emas dan Lam-kek Sian-ong juga bukan main hebatnya. Setelah beberapa kali hawa pukulan mereka saling bertemu dan membuat keduanya terdorong mundur, diam-diam mereka menjadi kaget. Lam-kek Sian-ong bersama Pak-kek Sian-ong selama ‘dalam hukuman’ di lereng Lu-liang-san memperdalam ilmu silat mereka dengan maksud menghadapi Bu Kek Siansu yang sakti. Dapat dimengerti bahwa ilmu kepandaiannya jauh lebih hebat dari pada dua puluh tahun yang lalu ketika ia bertemu dengan Suling Emas di Khitan.
Di jaman itu hanya beberapa orang saja yang memiliki tingkat kepandaian setinggi Lam-kek Sian-ong. Akan tetapi mengapa orang bertopeng ini mampu menandinginya? Sama sekali kakek muka merah ini tidak mengira bahwa yang dihadapinya adalah lawan lama, Suling Emas! Di pihak Suling Emas sendiri juga terheran-heran karena selama ini pun ia memperhebat kepandaiannya, bahkan ia yakin akan kekuatan sinkang di dalam tubuhnya. Namun ternyata bertemu dengan kakek muka merah ini, ia hanya dapat mengimbangi kekuatannya.
Maka ia lalu merobah gerakannya, hendak mencari kemenangan dengan menggunakan ilmu silatnya yang ia yakin lebih murni dan lebih banyak ragamnya dari pada ilmu silat Lam-kek Sian-ong. Ia lalu menggerakkan kedua tangannya, mulai ‘menulis’ hurut-huruf mulia di udara. Tampaknya saja seperti menulis huruf, pada hakekatnya semua gerakan itu mengandung hawa serangan yang amat dahsyat sehingga terdengar anginnya bersiutan, karena inilah Hong-In-bun-hoat (Silat Huruf Angin dan Awan)! Lam-kek Sian-ong yang merasa tergetar oleh angin pukulan gerakan tangan lawan, menjadi kaget sekali dan berulang-ulang ia mengeluarkan seruan keras.
Saat mendengar seruan kawannya, Pak-kek Sian-ong yang sedang gembira melayani dua orang muda yang mengeroyoknya menjadi terheran-heran. Seruan-seruan itu menandakan bahwa kawannya kaget dan terheran, menemui lawan berat. Tidak sembarang orang dapat membuat Lam-kek Sian-ong mengeluarkan seruan-seruan seperti itu. Pak-kek Sian-ong mencari kesempatan, lalu menengok. Alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa kawannya terdesak hebat oleh pengemis berkedok yang gerakannya luar biasa sekali.
Ia berseru keras dan kedua lengannya lalu ia dorongkan ke depan, ke arah Kwi Lan dan Yu Siang Ki. Karena kakek ini mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya dan sekaligus menyerang mereka berdua, tentu saja Siang Ki tidak dapat menahan dua serangan ini sekaligus dan terpaksa Kwi Lan menjaga diri dengan memutar pedangnya. Namun hebat sekali angin pukulan yang keluar dari dorongan kedua tapak tangan yang terbuka itu. Betapa pun Yu Siang Ki dan Kwi Lan mempertahankan diri, tetap saja mereka terhuyung-huyung ke belakang sampai lima enam langkah!
Kesempatan yang memang dicari oleh si Muka Putih itu lalu dipergunakan sepenuhnya. Bagaikan kilat cepatnya, tubuhnya sudah mencelat ke arah Suling Emas yang sedang berhantam dengan Lam-kek Sian-ong. Gerakan Pak-kek Sian-ong ini luar biasa cepatnya dan tak terduga-duga sama sekali.
Memang Pak-kek Sian-ong adalah seorang ahli yang memiliki keistimewaan sebaliknya dari pada Lam-kek Sian-ong. Kalau Lam-kek Sian-ong ahli dalam penggunaan tenaga sakti yang ia salurkan menjadi tenaga yang dahsyat, keras dan amat kuat, adalah Pak-kek Sian-ong menyalurkan tenaga saktinya menjadi tenaga yang amat halus dan tidak menimbulkan suara. Akan tetapi kekuatannya tidak kalah oleh kakek muka merah, bahkan melebihinya! Demikian pula ketika ia meloncat, tanpa mengeluarkan suara tahu-tahu lengannya sudah menyelonong ke depan dan jari tangan kirinya mencengkeram kepala didahului oleh jari tangan kanan yang menotok ke arah leher!
“Kepandaianmu boleh juga!” demikian Pak-kek Sian-ong berseru sebagai tanda serangannya.
Suling Emas terkejut sekali. Menghadapi seorang di antara dua kakek ini saja, tidak mudah baginya untuk memperoleh kemenangan. Kalau ia dikeroyok, hal ini bukan main beratnya. Cepat sekali ia menendang lengan tangan Lam-kek Sian-ong yang sudah menyerangnya dan pada detik lain tubuhnya sudah mencelat ke atas. Terpaksa ia akan menyambut serangan Pak-kek Sian-ong dari atas itu dengan cara keras melawan keras. Sambil mengerahkan tenaga, ia menangkis totokan pada lehernya dan balas menghantam dada sambil miringkan kepalanya yang dicengkeram.
“Plak-plak!” Cepat sekali gebrakan yang terjadi di udara ini.
Tubuh Pak-kek Sian-ong terlempar ke belakang dan ketika turun kakek itu terhuyung-huyung dan berseru. “Bagus...!” Di tangannya terdapat sehelai sapu tangan yang tadi menutupi muka Suling Emas.
Suling Emas kaget dan cepat ia berjungkir balik membuat salto sampal lima kali di udara sebelum turun karena ia khawatir akan penyerangan Lam-kek Sian-ong yang tentu akan hebat sekali karena posisi dirinya tidak menguntungkan. Akan tetapi ketika kedua kakinya turun di atas papan, ia melihat betapa dua orang kakek itu hanya berdiri dan memandangnya dengan mata terbelalak.
“Suling Emas...!” dua orang kakek itu berseru heran.
Sungguh tak mereka sangka bahwa mereka akan berhadapan dengan Suling Emas di situ. Saking heran, sejenak mereka tak dapat bicara. Tadinya Pak-kek Sian-ong merasa penasaran sekali. Ia gagal dalam serangannya dan hanya berhasil merenggut sapu tangan penutup muka, akan tetapi ia sendiri menerima pukulan di pundak yang membuat bagian tubuh itu terasa ngilu. Kini setelah mendapat kenyataan bahwa lawan yang amat tangguh itu adalah Suling Emas, penasarannya hilang, terganti rasa heran.
Bukan hanya kedua orang kakek tua renta ini yang terkejut dan terheran melihat Suling Emas, juga semua orang yang berada di situ. Bermacam perasaan teraduk dalam hati mereka. Ada yang merasa kagum dan girang karena maklum bahwa pendekar sakti yang dicinta kawan ditakuti lawan ini adalah seorang pendekar yang sejak dahulu bersahabat dengan kaum kai-pang. Ada pula yang marah dan benci karena memang sejak dahulu mengandung hati dendam kepada Suling Emas, karena Suling Emas adalah putra tunggal iblis betina Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian yang melakukan banyak kejahatan sehingga banyak orang kang-ouw mendendam kepadanya.
Yang paling gentar adalah kaum sesat yang menyelundup menjadi anggota kai-pang. Mereka maklum bahwa bukan saatnya bagi mereka untuk menentang kaum pengemis baju butut setelah Suling Emas berada di situ. Diam-diam para pengemis Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang segera pergi dari situ untuk menyelamatkan diri dan hendak melaporkan peristiwa ini kepada junjungan mereka, yaitu Bu-tek Siu-lam.
Sementara itu Suling Emas yang sudah terbuka rahasianya menarik napas panjang tiga kali, memandang ke sekeliling kemudian mengeluarkan sebatang suling dari balik jubahnya. Sambil melintangkan suling emasnya di depan dada, ia menatap dua orang kakek itu sambil berkata.
“Baiklah, Ji-wi Sian-ong (Sian-ong Berdua). Agaknya memang Ji-wi paling suka mengacau semenjak dahulu, tetapi jangan mengira aku akan diam saja melihat kalian mengacau Khong-sim Kai-pang. Aku akan mewakili sahabat baikku Yu Kang Tianglo untuk melindungi kai-pang dari gangguan kalian,” suara ini jelas dikeluarkan dengan halus akan tetapi jelas terdengar oleh semua pengemis yang hadir di situ.
Gak-lokai dan Ciam-lokai berdiri bengong, sama sekali tidak mengira bahwa mereka betul-betul telah salah sangka. Kiranya orang yang mereka sangka Yu Kang Tianglo itu adalah Suling Emas, pendekar sakti yang namanya menggetarkan jagad selama puluhan tahun!
Yu Siang Ki berdiri dengan muka pucat. Sama sekali di luar persangkaannya bahwa yang memalsukan nama ayahnya adalah Suling Emas, pendekar yang dicari-carinya, pendekar yang selalu dihormati dan dijunjung tinggi oleh ayahnya. Tidaklah salah dugaannya bahwa orang aneh ini memang bermaksud menyelamatkan kai-pang dengan menggunakan nama ayahnya.
Akan tetapi mengapa menggunakan nama ayahnya? Nama Suling Emas sendiri jauh di atas nama Yu Kang Tianglo, jauh lebih terkenal dan ditakuti orang jahat. Mengapa Suling Emas menggunakan nama ayahnya yang sudah meninggal dunia? Mengapa pula memakai kedok sapu tangan seperti orang takut dikenal? Mengapa Suling Emas seakan-akan hendak menyembunyikan diri? Saking heran dan bingungnya, pemuda yang merasa girang di hatinya berdiri memandang dengan bengong.
Kwi Lan memandang dengan sinar mata bercahaya. Ia kagum sekali terhadap Suling Emas. Kagum menyaksikan sepak terjangnya ketika menghadapi dua orang kakek yang sakti itu, dan terutama kagum sekali setelah kini sapu tangan itu terbuka. Wajah laki-laki yang amat gagah dan entah bagaimana, jantungnya berdebar dan ia merasa tertarik sekali. Kini ia tidak akan sesalkan ibu kandungnya andai kata ibu kandungnya itu mencinta laki-laki ini! Makin besar keinginan hatinya untuk bicara dengan Suling Emas, untuk bertanya kepada pendekar ini tentang Ratu Yalina di Khitan.
Pada saat itu ia melihat Suling Emas sudah mencabut sulingnya, melihat pula betapa dua orang kakek itu sambil tertawa-tawa girang sudah mencabut pedang mereka. Si Kakek Muka Putih mencabut pedang putih sedangkan kakek muka merah mencabut pedang merah. Ia maklum betapa lihainya dua orang kakek itu maka timbullah kekhawatiran di hatinya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia meloncat maju menghadapi dua orang kakek itu sambil menudingkan pedangnya ke arah hidung mereka.
“Kalian ini dua orang tua bangka benar-benar tak tahu malu!”
Tidak hanya para pengemis yang kaget setengah mati, bahkan Suling Emas yang sejak tadi sudah kagum dan heran melihat ilmu silat gadis ini, sekarang bengong melihat betapa gadis ini berani memaki-maki dua orang kakek sakti itu. Anehnya, dua orang kakek itu hanya tersenyum lebar dimaki-maki.
“Kalian ini sudah tua bangka seperti kanak-kanak nakal saja! Lupa lagikah kalian betapa secara pengecut kalian memukul Bu Kek Siansu? Lupa lagikah kalian betapa kalian menangis dan menyesali perbuatan, betapa kalian bersumpah akan mentaati pesan beliau sampai mati? Apakah yang dipesan oleh Bu Kek Siansu?”
Pak-kek Sian-ong hanya meringis dan menundukkan muka, akan tetapi, Lam-kek Sian-ong dengan melotot lalu membentak, “Bocah kurang ajar! Siapa bilang kami lupa akan pesan Bu Kek Siansu?”
Sepasang mata yang jeli itu bersinar-sinar tajam, bibir yang merah itu tersenyum mengejek, pedang kayu di tangan masih menuding ke arah hidung Lam-kek Sian-ong ketika gadis itu berkata nyaring. “Tidak lupa mungkin sekali, akan tetapi melanggar sudah jelas! Apa kau kira aku lupa akan pesan itu? Masih terbayang di depan mataku bagaimana kakek suci itu mengatakannya kepada kalian.”
Gadis itu dengan gerakan lincah lalu duduk bersila di atas papan dan berkata lagi, “Dia bersila seperti ini, hanya bedanya, setelah menerima pukulan curang dan pengecut kalian, dari mata, hidung, mulut dan telinganya mengalir darah segar. Kemudian ia berkata begini. Kwi Lan duduk bersila setengah memejamkan mata dan meniru lagak dan suara Bu Kek Siansu sedapatnya. “Anak-anak yang baik. Tidak ada pengorbanan apa-apa. Yang keras kalah oleh yang lunak, itu sudah sewajarnya. Yang lenyap diganti oleh yang muncul, yang mati diganti oleh yang lahir. Apa bedanya? Paling penting, mengenal diri sendiri termasuk kelemahan-kelemahan dan kebodohan-kebodohannya, sadar insyaf dan kembali ke jalan benar. Yang lain-lain tidakkah penting lagi. Selamat berpisah.”
Kwi Lan meloncat bangun dan kembali menudingkan ujung pedangnya ke arah hidung dua orang kakek itu berganti-ganti. “Nah, betul tidakkah demikian?”
“Memang betul. Nah, bagaimana kau bilang kami melanggarnya? Kami memang sudah sadar dan insyaf,” bantah Pak-kek Sian-ong.
“Wah, kalian tebal muka benar-benar! Kalian datang mengacau di sini masih bilang sadar dan insyaf? Bukankah perbuatan kalian hari ini merupakan pelanggaran sumpah itu? Bukankah kalian kembali menggunakan kepandaian untuk berbuat jahat dan mengacau?”
“Tidak! Jembel-jembel busuk ini jahat dan menyeleweng, saling memperebutkan kedudukan, sudah sepatutnya dihajar! Kalau kami yang menjadi raja jembel dan memimpin para jembel busuk ini ke jalan benar, bukankah itu merupakan perbuatan baik?” Lam-kek Sian-ong membantah.
“Tak tahu malu!” Kwi Lan kembali memaki. “Yu Siang Ki ini adalah putera Yu Kang Tianglo dan Suling Emas itu adalah sahabat baik mendiang Yu Kang Tianglo. Dengan cara masing-masing, mereka hendak menyelamatkan Khong-sim Kai-pang dari penyelundupan orang-orang sesat. Kalau kalian membantu mereka dan membasmi kaum sesat, itu barulah benar namanya. Akan tetapi kalian memusuhi orang-orang gagah Khong-sim Kai-pang, bukankah itu berarti kalian lebih sesat dari pada kaum sesat? Baiklah, kalau aku bertemu dengan Bu Kek Siansu, hendak kulaporkan hal ini, minta bagaimana pendapat orang tua suci itu dan hendak kulihat kelak bagaimana kalian masih mempunyai muka untuk bertemu dengan beliau!”
Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek Sian-ong saling pandang dengan muka berubah. Ucapan gadis itu amat berkesan di hati mereka. Akhirnya mereka merasa ngeri juga kalau sampai Bu Kek Siansu mendengar tentang sepak terjang mereka yang mengacau Khong-sim Kai-pang. Apa lagi setelah mereka melihat Suling Emas berada di situ. Mereka tahu bahwa Suling Emas adalah seorang pendekar yang dikasihi Bu Kek Siansu.
“Sudahlah, kami mengaku salah, Nona. Jangan kau bilang apa-apa kepada Bu Kek Siansu orang tua itu. Akan tetapi kesalahan kami tidak sengaja. Kami memang tidak tahu akan urusan kaum jembel ini. Nah mana sekarang golongan jembel sesat? Biar merasa kerasnya kepalan kami!” kata Lam-kek Sian-ong.
“Dasar kalian, tua bangka-tua bangka bodoh! Sudah jelas yang menyeleweng adalah Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Mereka ini sudah pergi jauh. Andai kata kalian mengejar juga, kalau kalian nanti bertemu dengan datuk mereka yang bernama Bu-tek Siu-lam, kalian tentu akan lari terbirit-birit ketakutan!”
“Heh, kau lihat saja!” bentak Pak-kek Sian-ong marah. “Hayo, Ang-bin Siauwte, kita kejar mereka!” Dua orang kakek itu lalu meloncat turun dari panggung dan secepat terbang mereka pergi.
Dari jauh terdengar suara Lam-kek Sian-ong. “Suling Emas, Lain kali kami akan mencarimu untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih unggul!”
Suling Emas hanya tersenyum pahit dan tidak menjawab. Pada saat itu, setelah para pengacau pergi, kembali Suling Emas yang menjadi pusat perhatian.
Keadaan masih tetap tegang karena hal-hal dan perubahan-perubahan baru yang mereka dengar dan hadapi ini tidak kalah gawat dan menegangkan dari pada tadi. Orang yang mereka anggap Yu Kang Tianglo tadi ternyata bukan Yu Kang Tianglo! Ini sudah hebat, akan tetapi lebih hebat lagi, orang itu ternyata Suling Emas. Lalu muncul pengemis muda lihai yang menurut keterangan si Gadis jelita adalah putera Yu Kang Tianglo. Semua pengemis menjadi bingung dengan adanya perubahan-perubahan hebat yang amat cepat terjadi di depan mata mereka. Akan tetapi karena maklum akan lihainya tiga orang yang kini berada di atas panggung itu, mereka tidak berani apa-apa. Juga jelas bahwa dalam sepak terjang mereka tadi, mereka membantu Khong-sim Kai-pang.
Suling Emas yang kini tidak menutupi muka dengan sapu tangannya lagi, berdiri di atas panggung berhadapan dengan Yu Siang Ki dan Kwi Lan. Mereka bertemu pandang untuk beberapa lamanya. Kemudian tanpa ragu-ragu lagi Siang Ki maju ke depan dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan Suling Emas.
“Paman, besar sekali hati saya dapat berjumpa dengan Paman yang memang saya cari-cari, dan lebih bahagia lagi hati saya menyaksikan betapa Paman telah melindungi Khong-sim Kai-pang dari orang-orang jahat. Nama saya Yu Siang Ki. Yu Kang Tianglo adalah mendiang ayah saya. Sebelum meninggal dunia, ayah saya meninggalkan pesan kepada saya untuk membela Khong-sim Kai-pang dari pada pengaruh kaum sesat dan untuk usaha itu, kalau saya menemui kesulitan menghadapi orang jahat yang lihai, saya diharuskan mencari Paman dan mohon pertolongan Paman. Siapa kira dapat berjumpa di sini, harap Paman menerima hormat saya.”
Suling Emas tersenyum dan girang sekali hatinya. Dengan munculnya pemuda yang menjadi putera Yu Kang Tianglo, akan terbebaslah ia dari tugas melindungi Khong-sim Kai-pang. Tadi ia sudah menyaksikan kelihaian pemuda ini dan agaknya pemuda ini sudah mewarisi kepandaian ayahnya. Melihat betapa pemuda ini secara gagah berani turun tangan menghadapi Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong yang sakti untuk membela Khong-sim Kai-pang, ia maklum pula bahwa pemuda ini setia dan mencinta perkumpulan pengemis yang dulu dibangun oleh kakeknya, maka dapat diharapkan pemuda ini menggantikan Yu Kang Tianglo menjadi ketua perkumpulan ini.
Untuk menguji Iweekang Yu Siang Ki, Suling Emas menempelkan kedua tangannya di pundak pemuda itu sambil membentak. “Tak usah berlutut!” Pendekar sakti ini mengerahkan sinkang yang disalurkan di kedua tengannya.
Yu Siang Ki terkejut ketika merasa betapa pundaknya seakan-akan ditindih dua buah gunung, kemudian tenaga raksasa membetotnya ke atas. Ia mengerling ke atas dan melihat wajah yang tersenyum-senyum itu maklumlah ia bahwa Suling Emas sedang mengujinya. Maka ia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga sehingga biar pun tubuhnya terbetot dan tertarik ke atas, namun ia masih dalam keadaan berlutut!
“Bagus! Engkau patut menjadi putera Saudara Yu Kang Tianglo!” kata Suling Emas sambil melepaskan kedua tangannya.
Pemuda itu melompat dan berdiri di depan Suling Emas dengan muka agak pucat dan bibir menyeringai menahan sakit. Suling Emas terkejut sekali, tangan kirinya bergerak cepat dan....
“Brettt!” baju Siang Ki sudah robek memperlihatkan pundak kirinya. Ternyata benar seperti dugaannya, di situ terdapat tanda menghitam seperti tapak jari tangan!
“Hemm, kau terkena hawa pukulan jarak jauh yang amat berbahaya. Berputarlah kau dan jangan melawan!”
Yu Siang Ki tadinya terkejut dan heran ketika ia mengerahkan Iweekang untuk menahan ujian, ia merasa betapa dada kirinya sakit seperti ditusuk-tusuk jarum. Ia makin terkejut ketika tiba-tiba Suling Emas merobek bajunya, akan tetapi kini ia merasa bersyukur. Sebagai seorang ahli silat tinggi, tentu saja ia sudah dapat menduga bahwa kakek putih yang sakti tadi ternyata telah melukainya dengan pukulan jarak jauh yang membuat ia terdorong dan terhuyung ke belakang tadi. Maka tanpa banyak pikir lagi ia lalu memutar tubuh membelakangi Suling Emas, melepaskan seluruh urat dan tenaganya sedikit pun tidak melakukan perlawanan. Pada saat itu ia merasa betapa pundak kiri dan punggungnya ditotok, kemudian telapak tangan yang amat panas seperti membara menempel di punggungnya.
“Sekarang bernapaslah panjang-panjang dan rasakan apakah masih sakit.”
Yu Siang Ki menarik napas panjang, hatinya girang sekali karena dada kirinya sudah tidak sakit lagi. Ia menggeleng kepala dan berkata. “Sudah tidak terasa apa-apa lagi, Paman.”
Suling Emas melepaskan tangannya dan menghela napas. “Sungguh berbahaya Pak-kek Sian-ong, tangannya masih keji! Akan tetapi bahayanya sudah lewat, hanya perlu memulihkan tenaganya.”
“He, Nona, ke sinilah engkau!” Tiba-tiba Suling Emas memanggil dan menggapai ke arah Kwi Lan.
Kwi Lan tercengang ketika tadi ia melihat betapa Yu Siang Ki disembuhkan dari lukanya oleh Suling Emas dengan tenaga sinkang. Kemudian ia tersenyum girang. Kiranya kakek muka putih tadi lihai sekali sehingga dorongannya dari jarak jauh telah melukai Yu Siang Ki. Akan tetapi ia tidak terluka! Dan hal ini berarti bahwa dia lebih kuat dari pada pemuda itu, lebih lihai! Ketika Suling Emas memanggilnya, sambil tersenyum ia menghampiri dan menyimpan pedangnya. Memang ia pun ingin sekali bicara dengan Suling Emas yang ia kagumi. Ingin bicara tentang Sang Ratu Khitan, ibu kandungnya!
Begitu Kwi Lan melangkah maju dengan mata bersinar, wajah berseri dan bibir tersenyum, Suling Emas memandang seperti orang terpesona. Dadanya berdenyut keras dan seketika teringatlah ia kepada Lin Lin atau Yalina, kekasihnya. Gadis ini sama benar dengan kekasihnya itu! Seperti itu pula Lin Lin dahulu mengangkat muka dengan leher panjang lurus, dada dibusungkan, pandang mata penuh ketabahan dan semangat. Seperti itu pula lenggang Lin Lin yang halus gemulai namun membayangkan kegagahan. Dan senyum itu! Senyum nakal dan aneh, pembawaan dari suku bangsanya yang asing, suku bangsa Khitan!
Gadis itu sudah berdiri dekat di depannya, namun Suling Emas masih memandang, merasa seperti dalam mimpi. Ia melihat Lin Lin muda kembali, menjadi gadis remaja!
Melihat keadaan Suling Emas ini, Kwi Lan memperlebar senyumnya, merasa lucu dan aneh. Dilihat sikapnya, pendekar sakti yang berjuluk Suling Emas ini tiada ubahnya dengan laki-laki biasa, yang selalu memandangnya dengan sikap tertarik seperti itu. Akan tetapi sinar matanya lain dari pada laki-laki yang lain. Sinar mata yang terpancar keluar dari sepasang mata yang sayu sedih itu tidak mengandung nafsu seperti pada laki-laki lain, melainkan penuh pertanyaan dan keheranan, bukan kekaguman dan bukan pula gairah.
“Jadi engkau inikah orangnya yang berjuluk Suling Emas? Sudah banyak kudengar tentang dirimu dari Yu Siang Ki. Memang aku ingin sekali jumpa denganmu, banyak hal yang hendak kutanyakan. Suling Emas, di manakah kita dapat bicara dengan enak dan leluasa? Kuharap engkau tidak akan merasa keberatan...!”
“Engkau anak siapa?! Siapa ibumu?!” Pertanyaan ini keluar dari mulut Suling Emas secara otomatis seperti di luar kesadarannya dan terdengar keras seperti bentakan sehingga semua orang yang mendengar mengira bahwa pendekar itu menjadi marah-marah.
Kwi Lan tersentak kaget, keningnya berkerut, matanya memandang tajam. Apa maksud pendekar ini? Mengapa begitu jumpa, terus saja bertanya siapa ibunya? Kwi Lan adalah seorang gadis yang amat cerdik. Pertanyaan yang membingungkan semua orang ini sudah dapat diduga maksudnya dalam sekejap mata oleh Kwi Lan. Ia sudah mendengar bahwa orang ini, Suling Emas adalah kakak angkat Ratu Yalina, dan mungkin sekali, kalau tidak hisapan jempol belaka percakapan antara kaum sesat, di antara kakak dan adik angkat ini terjalin kasih sayang. Kalau betul demikian, agaknya kini Suling Emas terkejut melihat dia dan tentu saja hanya satu hal yang menyebabkannya, yaitu bahwa dia tentu mirip dengan ibunya di waktu masih muda! Ia tidak meragukan keterangan bibi dan gurunya, bahwa ibu kandungnya adalah Ratu Yalina.
“Kau tanya namaku? Seperti engkau, namaku hanya nama julukan. Mutiara Hitam! Tentang ibuku... aku sendiri tidak tahu....”
Mendengar jawaban ini, Suling Emas baru sadar betapa tidak pantasnya pertanyaannya tadi. Wajahnya menjadi merah sekali dan ia cepat berkata. “Nona, kau bukalah baju bagian dadamu!”
Kini wajah Kwi Lan yang menjadi merah sekali, merah karena marah. Sepasang matanya memancarkan kemarahan, sinarnya menyambar wajah Suling Emas dan tangan kanannya bertolak pinggang, telunjuk kiri menuding ke arah hidung Suling Emas sambil mulutnya membentak.
“Apakah kau kira setelah kau bernama Suling Emas dan terkenal sebagai pendekar besar yang sakti, boleh saja engkau menghina seorang seperti aku? Cih, manusia kurang ajar tak tahu malu!” Setelah berkata demikian, ia membanting kakinya dengan gemas kemudian sekali bergerak, tubuhnya sudah melayang turun dari atas panggung.
“Kwi Lan...! Kwi Lan, kembalilah! Engkau hendak ke mana...?” Yu Siang Ki berseru memanggil.
Kwi Lan tidak menoleh, hanya menjawab dengan suara menyatakan kekesalan hatinya. “Aku pergi, uruslah dunia pengemismu, sampai jumpa!”
“Kwi Lan...!” Yu Siang masih berusaha menahan.
“Percuma, gadis seperti dia itu tak mungkin mau dicegah kehendaknya...!” Suling Emas berkata lirih dan berkali-kali pendekar ini menarik napas panjang dan berkata. “Aneh... benar aneh...,” Di dalam hatinya ia benar-benar makin heran menyaksikan sikap gadis pemarah itu yang sama dengan watak Lin Lin.
Kemudian ia bertanya kepada Yu Siang Ki, “Kwi Lan namanya? Mutiara Hitam? Dari manakah datangnya? Ilmunya hebat....“
“Entahlah, Paman. Saya bertemu di tengah jalan, dia sebatang-kara namanya Kwi Lan dan shenya Kam....”
“Heh...?” Suling Emas benar-benar terkejut, memandang wajah tampan itu dengan mata penuh selidik.
“Benar, Paman. Ketika pertama kali mendengar saya pun terkejut dan melihat kelihaiannya, saya mengira dia mempunyai hubungan keluarga dengan Paman. Akan tetapi ternyata bukan dia... dia bahkan tidak tahu siapa orang tuanya. Kiranya, semenjak bayi dia dirawat gurunya yang ia sebut-sebut Bibi Sian.”
Suling Emas berdiri tegak seperti arca. Penuturan singkat tentang gadis itu membuat pikirannya melayang-layang dan mengenangkan masa lalu. Bibi Sian? Kalau gadis yang sama benar wajah dan wataknya dengan Lin Lin itu puteri Lin Lin, memang dia mempunyai seorang ‘Bibi Sian’, yaitu Kam Sian Eng! Dan ilmu kepandaian Sian Eng memang hebat luar biasa, karena Sian Eng telah mewarisi pusaka ibu kandungnya, Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian!
Benarkah sangkaannya ini? Akan tetapi, ahh... mana mungkin Lin Lin mempunyai puteri? Ia hanya mendengar bahwa sampai kini Lin Lin yang kini menjadi Ratu Yalina di Khitan tidak pernah menikah dan hanya mempunyai seorang putera angkat, yaitu anak panglimanya sendiri yang setia, Kayabu.
Pada saat itu, Gak-lokai dan Ciam-lokai sudah meloncat ke atas panggung. Tadi ketika semua orang mendengar bahwa orang yang mereka sangka Yu Kang Tianglo itu ternyata palsu dan Suling Emas adanya, mereka menjadi gaduh dan ramailah mereka mengeluarkan pendapat masing-masing.
Gak-lokai dan Ciam-lokai segera merundingkan hal itu dengan anak buahnya. Mereka kini sudah mendengar bahwa Yu Kang Tianglo telah meninggal dunia dan karena mereka tahu bahwa Suling Emas dahulu sahabat baik Yu Kang Tianglo, maka mereka tidak akan menuntut, bahkan berterima kasih. Apa lagi di situ ada terdapat pemuda lihai yang mengaku putera Yu Kang Tianglo, hal ini harus dibuktikan lebih dahulu kebenarannya.
Setelah mendapat persetujuan rekan-rekan mereka, dua orang kakek pengemis itu lalu melompat ke atas panggung. Langsung mereka berdua menghadapi Suling Emas dan memberi hormat. “Kiranya Taihiap (Pendekar Besar) yang semenjak dahulu telah menjadi sahabat baik para kai-pang. Harap Taihiap sudi memaafkan kesalahan kami yang menyangka Taihiap adalah Yu Kang Tianglo,” kata Gak-lokai.
Suling Emas balas menjura dan menarik napas panjang. “Sama-sama salah, Lokai. Aku pun bersalah, telah berani mengaku sebagai Yu Kang Tianglo. Syukurlah kalian semua percaya bahwa perbuatanku ini sama sekali bukan untuk merampas kedudukan, melainkan untuk mewakili sahabatku itu membersihkan Khong-sim Kai-pang. Sekarang rahasiaku telah terbuka, dan kebetulan sekali muncul putera Yu Kang Tianglo yang bernama Yu Siang Ki ini. Melihat kepandaiannya, kiranya tidak ada orang lain yang tepat untuk memimpin Khong-sim Kai-pang dan bersama kai-pang-kai-pang lain bersatu menghadapi ancaman kaum sesat.”
“Ucapan Taihiap tepat sekali dan kami bergembira bertemu dengan putera Yu Kang Kai-pangcu, sungguh pun merasa sedih mendengar berita kematiannya. Akan tetapi, Taihiap, siapakah berani tanggung bahwa orang muda ini benar-benar putera Yu Kang Tianglo yang sudah puluhan tahun tiada berita?” kata Ciam-lokai.
“Pendapat rekan Ciam-lokai benar. Kalau yang memalsukan nama Yu Kang Tianglo itu Taihiap, hal ini masih tidak ada buruknya, bahkan lebih baik mengingat bahwa Taihiap seorang pendekar sakti yang selalu membela kaum lemah. Akan tetapi kalau sampai dipalsukan orang lain yang kemudian menyelewengkan kai-pang seperti halnya lima pangcu yang telah tewas di tangan Taihiap, bukankah hal ini akan menimbulkan mala-petaka? Karena itu, kami minta bukti dari orang muda ini bahwa dia betul-betul putera Yu Kang Tianglo!”
“Bagus...! Benar sekali...!” terdengar para pengemis berteriak-teriak.
Suling Emas hanya memandang kepada Yu Siang Ki. Di dalam hatinya ia percaya kepada pemuda ini yang dapat ia nilai kejujuran dan kesetiaannya dari sikap dan sepak terjangnya tadi. Akan tetapi ia pun tidak berani memastikan apakah pemuda ini benar-benar putera Yu Kang Tianglo, karena ketika bertemu dengan tokoh pengemis itu dahulu, Yu Kang Tianglo tidak menyebut-nyebut tentang keadaan keluarganya. Oleh karena inilah ia diam saja dan menyerahkan kepada Yu Siang Ki sendiri untuk membuktikan kebenaran pengakuan sebagai putera Yu Kang Tianglo.
Pemuda itu dengan sikap tenang, tanpa ragu-ragu menghadapi Cak-lokai dan Ciam-lokai sambil berkata, “Kalau saya tidak salah duga, Ji-wi (Anda Berdua) tentulah Gak-lokai dan Ciam-lokai. Ayah pernah menyebut nama Ji-wi kepada saya. Apa yang Ji-wi kemukakan tadi memang benar. Saya harus dapat membuktikan bahwa saya Yu Siang Ki, benar-benar adalah putera tunggal Yu Kang Tianglo. Saya mempunyai tiga macam bukti, harap Ji wi dan semua Saudara anggota Khong-sim Kai-pang mendengar dan menyaksikannya!”
Yu Siang Ki berhenti sejenak, kemudian ia berkata lagi dengan suara lantang sambil menggerakkan kedua tangannya, yang kiri menekan di dada kiri arah tempat jantung dan tangan kanan diangkat ke atas membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari tengah. “Beginilah tanda rahasia perkumpulan kita Khong-sim Kai-pang! Kakekku, Yu Jin Tianglo, yang menciptakan tanda rahasia ini. Bukan hanya sekedar tanda, melainkan memiliki tiga kegunaan, yaitu pertama sebagai tanda pengenal sesama anggota. Kedua mempunyai arti yaitu Kosong dan Hati, sesuai dengan nama perkumpulan kita, Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong). Kosong adalah kosong lahir batin. Lahirnya kosong dan miskin tidak memiliki apa-apa, dalamnya juga kosong dan polos tidak mempunyai watak dan pikiran kotor. Ada pun hati dimaksudkan bahwa setiap anggota harus memiliki hati yang bersih dan penuh kesetiaan terhadap perkumpulan. Kemudian arti ke tiga dan hal ini hanya dikenal oleh para pimpinan Khong-sim Kai-pang, yaitu gerakan ini adalah jurus pembukaan dari pada ilmu silat yang harus dimiliki oleh para pimpinan Khong-sim Kai-pang. Nama ilmu silatnya pun Khong-sim-kun (Ilmu Silat Hati Kosong)!”
Mendengar ini, berisiklah semua pengemis dan semua terheran-heran. Yang sudah tahu jelas akan arti tanda rahasia mereka itu mengangguk-angguk membenarkan, yang belum tahu kini menjadi tahu dan tercengang, tidak mengira bahwa tanda rahasia itu mempunyai arti yang begitu luas.
“Sekarang bukti ke dua bahwa saya adalah putera tunggal Yu Kang Tianglo. Mungkin di antara saudara anggota Khong-sim Kai-pang tidak ada yang mengetahui siapa nama Gak-lokai dan Ciam-lokai! Adakah di antara saudara yang mengetahui nama mereka berdua?”
Yu Siang Ki menanti sampai beberapa lama. Para pengemis itu kembali berisik sekali sehingga keadaan di situ menjadi seperti pasar. Namun tidak ada yang tahu akan nama dua orang tokoh yang selalu hanya dikenal sebagai Gak-lokai dan Ciam-lokai saja. Kemudian terdengar suara mereka. “Tidak ada yang tahu...!”
Yu Siang Ki menjura kepada Gak-lokai dan Ciam-lokai. “Maafkan saya, Ji wi Lokai, untuk menjadi bukti, terpaksa saya memperkenalkan nama Ji wi.” Kemudian pemuda ini menghadapi para pengemis dan berkata lantang. “Mendiang ayah pernah mengatakan bahwa di antara para tokoh Khong-sim Kai-pang, yang boleh saya percaya adalah dua orang, yaitu Paman Gak Lun dan Paman Ciam Hie inilah!”
Dua orang lokai itu saling pandang dengan muka pucat. Sudah puluhan tahun mereka tidak pernah memperkenalkan nama, bahkan tidak pernah ada yang menyebut nama mereka. Memang hanya Yu Kang Tianglo yang mereka beritahu tentang nama mereka.
Kembali para pengemis menjadi berisik, bahkan ada yang bersorak karena kedua orang lokai itu sama sekali tidak membantah. Hal ini hanya berarti bahwa bukti kedua ini pun cocok.
“Sekarang bukti ke tiga. Seperti kukatakan tadi, setiap pimpinan Khong-sim Kai-pang tentu diberi pelajaran ilmu silat Khong-sim-kun. Ayah pernah bercerita bahwa pada masa ini, di antara semua anggota Khong-sim Kai-pang, hanya Gak-lokai dan Ciam-lokai berdua sajalah yang faham akan ilmu silat itu, karena dahulu ketika ayah datang ke sini untuk memimpin saudara-saudara menghadapi Pouw Kai-ong, sebelum pergi lagi ayah telah menurunkan ilmu itu kepada dua orang tua ini. Benarkah, Ji-wi Lokai?”
Gak-lokai dan Ciam-lokai berseri-seri wajahnya dan mengangguk-angguk. Kini mereka tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang tahu semua kejadian rahasia ini tentulah benar putera Yu Kang Tianglo. Akan tetapi mereka masih belum puas. Kalau ketua mereka selihai Suling Emas, hati mereka akan menjadi lega. Akan tetapi Yu Siang Ki masih amat muda. Biar pun tadi kelihatan kelihaiannya, bahkan dipuji oleh Suling Emas, namun cukup kuatkah pemuda ini menjadi ketua kai-pang yang kini menghadapi banyak musuh tangguh?
“Nah, kalau benar demikian,” Siang Ki menyambung kata-katanya, “sekarang saya persilakan Ji-wi untuk menguji aku dengan ilmu silat itu. Kalau aku dapat memecahkan Khong-sim-kun, jelaslah bahwa hanya ayahku Yu Kang Tianglo yang bisa mengajarkan ilmu itu kepadaku.”
“Setuju! Baik begitu!” Semua pengemis bersorak.
Gak-lokai dan Ciam-lokai juga menjadi girang karena kini terbuka kesempatan bagi mereka untuk memuaskan hati mereka dengan menguji sampai di mana kelihaian putera Yu Kang Tianglo ini. Akan tetapi karena kini mereka yakin bahwa pemuda ini adalah putera Yu Kang Tianglo, maka mereka menjadi segan juga. Gak-lokai lalu menjura dan berkata.
“Yu Siauw-pangcu (Ketua Yu Muda) yang memerintah, harap suka maafkan kami dua orang tua berani kurang ajar!”
Yu Siang Ki tertawa. Senang hatinya melihat sikap dua orang yang pernah dipuji ayahnya ini. “Ji-wi harap jangan sungkan-sungkan. Mulailah!”
Gak-lokai dan Ciam-lokai bergerak maju dan benar saja, sebagai pembukaan mereka telah bergerak seperti yang dilakukan Yu Siang Ki tadi, yaitu tangan kiri menekan dada kiri sedangkan tangan kanan diangkat di atas kepala membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari tengah. Juga pemuda itu melakukan gerak yang sama, setelah itu barulah dua orang kakek itu menyerang dengan jurus-jurus yang aneh, namun amat cepat dan menimbulkan angin pukulan halus.
Diam-diam Suling Emas memperhatikan dan menjadi kagum. Ilmu Khong-sim-kun yang diciptakan kakek pemuda itu memang benar hebat, gerakannya halus dan indah, namun mengandung kecepatan gerak dan tenaga kuat. Begitu menyaksikan cara pemuda itu menyambut serangan, tahulah Suling Emas bahwa dalam ilmu silat ini, si Pemuda jauh lebih matang dan sempurna gerakannya dari pada kedua orang lawannya. Hal ini adalah karena Gak-lokai dan Ciam-lokai hanya beberapa hari saja berkumpul dengan Yu Kang Tianglo sehingga hanya menerima teori dan menerima bimbingan sebentar, sebaliknya Yu Siang Ki berlatih di bawah pengawasan ayahnya, tentu saja gerakannya lebih mahir dan sempurna.
Dua orang kakek itu girang bukan main. Mereka pun tahu bahwa pemuda ini benar-benar mahir ilmu silat Khong-sim-kun dan semua jurus yang mereka keluarkan untuk menyerangnya, semua dapat dikembalikan, ditangkis atau dielakkan dengan baik sekali. Sampai habis semua jurus Khong-sim-kun mereka jalankan dan belum pernah mereka dapat menyentuh tubuh Yu Siang Ki, sebaliknya setiap kali pemuda itu menangkis, tentu tangan mereka terpental dan pangkal lengan mereka terasa kesemutan dan setengah lumpuh. Mereka maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, dalam beberapa jurus saja mereka tentu akan dapat dirobohkan!
Keduanya lalu melompat mundur, menghadapi para pengemis di bawah panggung dan bersorak, “Saudara-saudara semua! Dia ini betul-betul putera Yu Kang Kai-pangcu! Dialah yang patut menjadi ketua kita!”
Setelah berkata demikian, Gak-lokai dan Ciam-lokai lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Yu Siang Ki sambil berkata, “Yu-pangcu, kami mohon pimpinan Pangcu!”
Pemuda itu terharu ketika melihat semua pengemis di bawah panggung juga berlutut. Ia tersenyum dan mengangkat bangun Gak-lokai dan Ciam-lokai. “Harap Saudara sekalian jangan terlalu merendahkan diri. Aku tentu saja suka sekali memimpin kalian dan melindungi perkumpulan kita, asal mendapat bantuan Gak-lokai dan Ciam-lokai yang sudah lebih berpengalaman.”
Para pengemis bersorak gembira, ada yang menari-nari dan ada yang tertawa-tawa. Para pimpinan kai-pang yang menjadi tamu segera maju dan memberi hormat serta memberi selamat kepada pangcu baru dari Khong-sim Kai-pang. Timbul harapan mereka bahwa bersama pemuda yang lihai ini mereka akan lebih kuat menghadapi penyelundupan kaum sesat.
“Eh, ke mana dia...?” Tiba-tiba Yu Siang Ki menengok, terkejut karena tidak melihat Suling Emas di belakangnya.
Gak-lokai dan Ciam-lokai juga terkejut dan heran. “Ke mana perginya Kim-siauw Taihiap?”
“Lihat itu ada tulisan!” kata pula Yu Siang Ki yang melihat tulisan terukir di atas papan panggung di mana tadi Suling Emas berdiri. Beramai-ramai mereka mendatangi tempat itu dan pembaca tulisan yang terukir, amat indahnya, agaknya diukir dengan ujung sepatu!
Selamat kepada pangcu baru,
Suling Emas akan selalu mengamati
dan melindungi dari jauh!
Mereka menarik napas panjang. Gak-lokai dan Ciam-lokai cepat lari meloncat turun menuju ke kandang kuda, namun kuda kurus tunggangan Suling Emas juga tidak ada pula di situ. Semua orang menjadi makin kagum. Di depan mata sekian banyaknya orang, Suling Emas dapat menghilang begitu saja, bahkan meninggalkan tulisan yang diukir dengan ujung kaki.
Namun di dalam hatinya, Yu Siang Ki, Gak-lokai, dan Ciam-lokai girang karena di dalam tulisan yang ditinggalkan Suling Emas itu, si Pendekar Sakti menjanjikan pengamatan dan perlindungan, biar pun dari jauh. Hal ini berarti bahwa dalam menghadapi bahaya dan kesukaran, mereka masih dapat mengharapkan bantuan pendekar sakti itu. Biar pun di dalam hatinya Yu Siang Ki berduka sekali karena ia kehilangan Kwi Lan yang pergi secara mendadak, namun sebagai seorang ketua yang amat setia kepada Khong-sim Kai-pang, ia mengesampingkan perasaan pribadi yang jatuh cinta kepada gadis itu, dan mulailah ia mengatur segala usaha dan perbaikan untuk Khong-sim Kai-pang.
********************
Suling Emas menarik napas panjang berkali-kali, hanya kecewa dan menyesal karena ia tidak berhasil mengejar gadis yang bernama Kam Kwi Lan itu. Biar pun ia membalapkan kudanya mengejar keempat penjuru, ia tetap saja tak dapat melihat Kwi Lan. Mengertilah ia bahwa gadis itu memang sengaja tidak mau menjumpainya. Ia mengingat-ingat dan mengangguk-angguk. Gadis itu wataknya aneh dan keras sekali.
Dan ia memang kurang hati-hati dengan ucapannya tadi. Ia menyuruh gadis itu membuka baju. Tentu saja ia maksudkan agar gadis itu melihat sendiri pada dadanya karena seperti juga Siang Ki, ia tahu bahwa gadis itu menderita luka akibat pukulan rahasia Pak-kek Sian-ong. Gadis itu salah kira, menyangka dia bersikap kurang ajar!
“Hemm, patut menjadi murid Sian Eng,” ia menggereneng. “Akan tetapi wataknya lebih mirip dengan Lin-moi, juga wajah dan bentuk tubuhnya. Heran sekali... siapakah bocah itu?”
Karena dapat menduga watak Kwi Lan yang mirip Lin Lin, maka ia tahu bahwa percuma saja mencari terus. Kalau gadis itu tidak mau menjumpainya dan bersembunyi, mana mungkin ia mencari dan menemukannya? Suling Emas menjalankan kudanya lagi, perlahan-lahan. Ia telah dikenal orang. Rahasianya telah bocor karena munculnya Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Hatinya menjadi risau.
Untuk menghilangkan perasaan tidak enak ini ia mengeluarkan sulingnya dan ditiupnya sulingnya itu dan berusaha melenyapkan segala perasaan yang tidak menyenangkan. Namun tetap saja pikirannya tak dapat ia diamkan. Dunia mulai kacau lagi. Orang-orang jahat bermunculan. Bahkan dua orang seperti Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong juga mulai main gila di dunia ramai. Bagaimana dia akan dapat menyembunyikan dan mengasingkan diri, berpeluk tangan saja? Tak mungkin, bisik hatinya. Tak mungkin aku dapat menjadi penonton saja. Haruskah dia turun tangan kembali, seperti dulu-dulu? Haruskah ia mengisi hidupnya dengan pertandingan-pertandingan lagi? Mengganggu ketenangan dan kesunyian dengan urusan dunia yang tiada habisnya?
Tiba-tiba ia menahan kudanya dan otomatis tangan kirinya menarik sapu tangan yang tergantung di leher ke atas, menutupi mulut dan hidungnya. Telinganya mendengar suara makian dari jauh, dari arah belakangnya.
“Setan biadab, siapa sudi menuruti kehendakmu? Bunuh saja aku!”
“Iblis Khitan, kalau bisa kau cari sendiri orangnya, mengapa memaksa kami? Kau berani menghina pengemis miskin?”
Itulah suara Gak-lokai dan Ciam-lokai! Biar pun ia tidak menengok dan tidak melihat, namun telinganya mendengar betapa dari belakang terdapat dua orang yang mendatangi dengan ilmu lari cepat yang amat hebat. Ia terkejut dan tadinya ia mengira tentu Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek Sian-ong yang datang, akan tetapi kalau mereka, mengapa suara makian Ciam-lokai tadi menyebut-nyebut iblis Khitan? Suling Emas lalu memutar kudanya dan karena harus siap menjaga kalau yang datang betul Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, maka masih memegang suling di tangan kanannya.
Akan tetapi setelah kini ia memutar kuda, ia terheran-heran. Yang datang berlari cepat sekali adalah dua orang Khitan, dua orang kakek yang datang membawa Gak-lokai seperti orang menenteng kelinci saja. Dua orang kakek pengemis yang cukup lihai itu dicengkeram punggung bajunya dan sama sekali tidak dapat melepaskan diri. Ini saja sudah membuktikan betapa lihainya dua orang Khitan itu.
Suling Emas diam-diam terkejut. Bukan terkejut melihat kelihaian mereka karena ia pun maklum bahwa banyak orang-orang kuat di Khitan. Akan tetapi ia terkejut karena melihat bahwa yang datang ini bukan orang sembarangan, melainkan dua orang yang berpangkat tinggi dalam ketentaraan, dua orang panglima! Hal ini dapat dilihat dari pakaiannya. Para panglima Khitan dapat dikenal dari tanda sulaman bundar di dada mereka. Dua orang kakek ini pada dadanya terdapat gambar pilar besar, berarti bahwa mereka adalah panglima-panglima benteng. Hemm, kalau Lin Lin sampai mengutus panglima-panglimanya datang, berarti Ratu Khitan itu tidak main-main lagi, tidak sekedar rindu dan mengundangnya begitu saja!
Setelah dua orang panglima Khitan itu tiba dekat, Gak-lokai berkata sambil memandang Suling Emas, “Taihiap, bukan kami yang menunjukkan tempat Taihiap, melainkan kami dibawa dengan paksa oleh dua ekor monyet Khitan ini!”
Suling Emas berkata dari balik sapu tangannya, suaranya perlahan dan halus, namun berpengaruh, “Sepanjang pengetahuanku, panglima-panglima Khitan adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan juga menjunjung keadilan dan kegagahan. Mengapa mengganggu pengemis-pengemis seperti kami? Apakah Khitan sudah melupakan persahabatan dan hendak mengganas di selatan?”
Muka kedua orang panglima Khitan itu menjadi merah karena teguran itu langsung menusuk hati mereka. Sejenak mereka saling pandang dengan sangsi karena mereka sendiri pun tidak tahu apakah benar orang berkuda yang menutupi mukanya itu adalah orang yang dicarinya. Namun, karena perintah dari atasan mereka menyatakan bahwa orang yang dicarinya itu menyamar sebagai pengemis dan berada di antara para pengemis Khong-sim Kai-pang, serta memiliki seekor kuda merah yang kurus kering, hilang keraguan mereka.
Seorang di antara mereka berkata, “Maafkan jika terpaksa kami menangkap dua manusia bandel ini, karena dimintai tolong menunjukkan tempat Taihiap mereka tidak mau malah memaki-maki. Taihiap, jauh-jauh kami datang sengaja untuk menemui Taihiap, menempuh perjalanan ribuan li, mengalami segala macam kesukaran dan rintangan. Sama sekali bukan maksud kami untuk mengganggu saudara-saudara kai-pang. Hanya dua orang manusia ini terlalu bandel tidak suka membantu.”
“Di antara kalian dan aku tidak ada urusan apa-apa, tak pernah saling bertemu dan tidak saling mengenal. Mengapa kalian bersusah payah mencariku?”
Panglima yang bicara tadi mengambil sesuatu dari sakunya, kemudian berkata, “Kami datang sebagai utusan ratu kami untuk menyampaikan surat ini kepada Taihiap. Harap Taihiap sudi menerimanya!”. Setelah berkata demikian, tangannya yang memegang surat itu bergerak menyambit dan gulungan surat itu bagaikan peluru menyambar ke arah Suling Emas.
Suling Emas mengerti bahwa tidak perlu ia berpura-pura terus. Sambitan itu saja sudah merupakan ujian karena tidak sembarang orang dapat menyambit seperti itu dan tidak sembarangan orang pula dapat menerimanya. Ia mengangsurkan tangan kiri, dengan tenang ia menangkap gulungan surat itu. Tubuhnya sedikit pun tidak bergoyang dari atas panggung kudanya.....
Komentar
Posting Komentar