SULING EMAS : JILID-09

"Nah, kalian menantangku, aku sudah datang. Majulah!" kakek itu menantang dengan sikap tenang saja, masih bersila, kedua tangannya dileta'
Setelah melangkah maju setindak, hwesio itu mewakili teman-temannya menjawab, "Couw Pa Ong, sebelum kami turun tangan terhadapmu, baiklah kau ketahui lebih dulu bahwa kami bukanlah orang-orang yang tidak tahu bahwa kau seorang bekas raja muda yang setia terhadap rajamu, dan di samping itu seorang yang terkenal di dunia kang-ouw. Kalau kau membunuhi musuh-musuhmu atau membunuhi orang-orang yang kau anggap telah menghianati Kerajaan Tang, itu pinceng dan adik-adik pinceng ini tidak akan ambil peduli. Akan tetapi secara kejam kau membunuhi para pengungsi hanya karena mereka hendak mengungsi ke daerah Kerajaan Liang, hal ini amatlah keji. Dan bukan hanya kami, melainkan semua orang gagah tentu akan menentangmu. Kami berempat sudah mengangkat saudara, bersumpah hendak membasmi kejahatan. Pinceng Houw Hwat Hwesio murid dari Siauw-lim-pai, Toheng ini Liong Sin Cu seorang tosu dari Kun-lun-pai, dia itu Bun-toanio dari Hoa-san-pai beserta Lu Tek Gu adik seperguruannya. Kau lihat, kami adalah murid-murid partai besar yang selalu mentaati perintah perguruan untuk membasmi kejahatan...."
"Cukup! Ha-ha-ha, hwesio mentah! Kau perlu apa berpidato di depanku? Kau tahu apa? Dengan membunuhi para pengungsi itu, aku telah berbuat kebaikan terhadap mereka. Pertama, mereka mengungsi ke daerah pemerintah pemberontakan Liang sama dengan mencari kesengsaraan, maka aku bebaskan mereka sehingga tidak usah menghadapi bencana. Ke dua, mereka itu mudah melupakan pemberontakan Cu Bun yang merebut tahta kerajaan, berarti mereka itu lemah dan pengecut, tidak setia. Apa ada harganya untuk hidup lebih lama lagi?!"
"Benar-benar alasan yang bocengli (tak pakai aturan), seenak perutnya sendiri!" bentak Lo Tek Gu, si murid Hoa-san-pai yang memegang tongkat. "Mari kita hajar tua bangka keji ini!"
Liu Lu Sian yang menonton sambil sembunyi, diam-diam merasa gembira dan kagum terhadap Kong Lo Sengjin si Kakek Lumpuh. Lihai ilmu silatnya, lihai pula kata-katanya, aneh dan juga terlalu sekali! Ia mengharapkan pertandingan yang ramai sehingga tidak percuma ia mengintai dan mengikuti kakek itu sampai sehari lamanya, apalagi kalau diingat bahwa empat orang pengeroyok ini adalah murid-murid partai persilatan besar, Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, dan Hoa-san-pai! Tiga buah partai besar yang sering disebut-sebut dan dikagumi ayahnya.
Mula-mula memang empat orang itu bergerak dengan cepat dan indah sekali mengurung si Kakek Lumpuh. Hwesio Siauw-lim-pai yang telah kehilangan toya itu kini mematahkan dahan pohon dan memutar-mutar dahan ini dengan tenaga besar, menimbulkan angin berderu. Tosu dari Kun-lun-pai yang bernama Liong Sun Cu itu pun meloloskan cambuknya, dan terdengar bunyi keras seperti petir menyambar di atas kepala. Sungguh pun permainan cambuk itu tidak sehebat paman gurunya, Kauw Bian, namun Lu Sian mengagumi keindahannya. Ada pun kakak beradik seperguruan dari Hoa-san-pai, juga tidak kalah hebatnya. Permainan pedang wanita itu amat cepat, pedangnya lenyap berubah sinar pedang bergulung-gulung, sedangkan tongkat sute-nya juga bergerak-gerak laksana seekor naga mengamuk.
Akan tetapi segera Lu Sian kecewa. Entah empat orang itu hanya memiliki gerakan ilmu silat indah yang kosong saja, ataukah si Kakek Lumpuh yang terlalu ampuh bagi mereka? Disambar empat macam senjata dari empat penjuru, tubuh bagian atas kakek itu hanya bergerak-gerak seperti batang padi tertiup angin, maka semua pukulan yang mengancam tubuhnya menyeleweng ke kanan ke kiri.
Tiba-tiba terdengar kakek itu tertawa bergelak, tubuhnya yang masih bersila itu tahu-tahu sudah melayang ke atas, kemudian menyambar ke arah Houw Hwat Hwesio. Hwesio Siauw-lim-pai ini kaget sekali. Cepat ia menyambut dengan sodokan toyanya ke arah ulu hati. Kong Lo Sengjin menangkap toya itu berbareng tangan kirinya menampar dan dilanjutkan dengan tangan kanan yang menangkap toya mendorong keras. Houw Hwat Hwesio berteriak sekali dan tubuhnya sudah terlempar ke bawah. Terdengar air muncrat dan tampaklah tubuh hwesio itu terapung-apung seperti sebatang balok hanyut!
"Siluman tua, berani kau membunuh saudara kami?" bentak Liong Sun Cu si tosu Kun-lun-pai. Cambuknya menyambar-nyambar dengan suara keras.
Kakek tua itu kini sudah duduk bersila lagi di atas bambu setelah tadi menyerang Houw Hwat Hwesio, maka cambuk Liong Sun Cu menyambar ke bawah, ke arah kepalanya. Bun-toanio yang juga marah menerjang dengan tusukan pedang dari belakang, mengarah punggungnya, sedangkan Lu Tek Gu menghantamkan tongkatnya ke arah pundak kiri.
Kong Lo Sengjin kembali mengeluarkan suara ketawa keras. Ia membiarkan cambuk itu mengenai kepalanya. Ujung cambuk menghantam kepalanya terus melibat, akan tetapi ketika tosu Kun-lun-pai yang kegirangan melihat hasil serangannya itu hendak menarik kembali cambuknya, ia kaget setengah mati karena cambuknya seakan-akan telah tumbuh akar di kepala kakek itu, tak dapat ditarik kembali! Pedang yang menusuk punggung dan tongkat yang menghantam pundak juga tidak ditangkis, akan tetapi pedang dan tongkat meleset hanya merobek baju saja, seakan-akan yang diserang adalah baja yang keras dan licin sekali.
Selagi tiga orang pengeroyoknya kaget, kakek itu sudah menyambar cambuk dan tubuhnya kembali mencelat ke atas. Kedua tangannya bergerak, cepat sekali sehingga sukar diikuti dengan pandang mata, menampar tiga kali ke arah kepala para pengeroyoknya. Sambil menampar, ia terus mencengkram dan melempar. Hanya jerit tiga kali terdengar dan tampaklah tiga orang gagah itu berturut-turut melayang dari atas tebing, jatuh ke dalam sungai dan tubuh mereka terapung-apung seperti ikan-ikan mati, hanyut mengikuti mayat Houw Hwat Hwesio!
Dua orang pemikul itu kini menghampiri si Kakek Lumpuh. Mereka itu dengan wajah takut sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Seorang yang lebih tua berkata. "Ong-ya, hamba berdua mohon pembebasan. Sampai di sini saja hamba berdua dapat melayani Ong-ya, harap beri perkenan kepada kami untuk mengambil jalan sendiri."
Kong Lo Sengjin memandang mereka, dan diam-diam Liu Lu Sian sudah menduga bahwa dua orang pemikul itu tentu akan mampus di tangan kakek sakti itu!
"Hemm, kenapa? Apakah kalian takut?"
"Sesungguhnya, Ong-ya, hamba berdua takut menyaksikan sepak terjang Ong-ya yang mudah dan suka membunuh orang banyak. Ong-ya berkepandaian tinggi, tentu saja tidak takut menghadapi pembalasan mereka. Akan tetapi hamba berdua yang bodoh, mana dapat melindungi diri sendiri kalau kelak orang-orang gagah datang kepada kami?"
"Hemm, apakah kalian juga hendak menakluk kepada pemerintah pemberontak?" pertanyaan ini dilakukan dengan suara penuh ancaman.
"Ahh, bagaimana Ong-ya masih dapat menyangsikan kami? Tidak sudi kami menjadi anjing penjilat mengekor kepada raja pemberontak! Hamba berdua malah akan masuk hutan menjadi perampok, mengacaukan wilayah kerajaan Liang!"
"Bagus! Nah, kau perhatikan baik-baik ilmu ini untuk bekal!" kata kakek itu.
Kakek itu lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya sambil tiada hentinya memberi petunjuk bagaimana kedudukan dan perubahan kaki harus dilakukan. Agaknya kedua orang bekas pemikul itu sudah pernah menerima pelajaran ini, dan sekarang mereka mendapatkan petunjuk tentang rahasia-rahasianya, maka dalam waktu setengah malam mereka sudah berhasil menyelesaikan pelajaran ilmu silat yang luar biasa itu.
Liu Lu Sian demikian tertariknya sehingga ia bertahan untuk mengintai terus sampai semalam suntuk. Ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang diwariskan kakek lumpuh itu kepada dua orang bekas pemikulnya merupakan ilmu pilihan yang termasuk tingkat tinggi. Ia percaya bahwa biar pun baginya sendiri ilmu itu masih tidak usah mendatangkan khawatir, namun menghadapi orang lain, dua orang bekas pemikul ini tentu merupakan dua orang perampok yang amat tangguh dan berbahaya.
Ilmu silat tadi gerakan-gerakannya seperti ilmu silat Sin-coa-kun, agaknya ciptaan si Kakek Lumpuh mengambil contoh ular pula. Teringat ini, ia membayangkan betapa hebatnya kepandaian si Kakek Lumpuh, dan kalau dibandingkan dengan ayahnya, agaknya mereka itu seimbang. Dia sendiri terang tidak akan dapat menangkan Kong Lo Sengjin, akan tetapi kalau di situ ada Kwee Seng, tentu ia akan berani keluar mencoba-coba. Hanya ayahnya atau Kwee Seng, yang agaknya akan dapat menandingi kakek ini dalam pertandingan yang luar biasa tegang dan ramainya.
Menjelang pagi, pada saat ayam ramai berkokok menyambut munculnya matahari yang sudah mengirim lebih dulu cahaya merahnya, dua orang bekas pemikul itu berpamit, kemudian berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu. Kong Lo Sengjin lalu merenggut lepas dua batang bambu bekas pikulan, kemudian ia... berjalan dengan langkah-langkah lebar, dengan kedua kaki masih bersila, tergantung di antara dua batang bambu yang menggantikan sepasang kakinya. Biar pun kedua kakinya terganti bambu yang terpegang kedua tangannya, namun dibandingkan dengan orang yang tidak lumpuh, jalannya jauh lebih sigap dan cepat. Bahkan dibandingkan dengan ahli-ahli ilmu lari cepat, kakek lumpuh ini masih menang jauh! Sebentar saja bayangannya lenyap ke arah timur, dari mana malam tadi dia muncul.
Liu Lu Sian menarik napas panjang. Sayang tidak ada Kwee Seng di situ. Kalau ada, agaknya pemuda sakti itu tidak akan mau melepaskan kakek lumpuh itu begitu saja. Berbeda sekali dengan dia. Andai kata dia selihai Kwee Seng, ia akan mengajak kakek itu bertempur, bukan sekali-kali untuk membalaskan kematian sekian banyaknya pengungsi yang menjadi korban, melainkan untuk diukur kepandaiannya, karena ia memang mempunyai watak tidak mau kalah oleh siapa pun juga. Kalau Kwee Seng tentu lain, tentu menggempur kakek itu karena telah membunuhi orang tak bersalah.
Teringat akan Kwee Seng, wajah Lu Sian menjadi muram dan agaknya ia kecewa. Betapa pun juga, Kwee Seng adalah seorang pemuda tampan dan menyenangkan, apalagi amat mencintainya, merupakan seorang teman seperjalanan yang lumayan, dari pada sekarang ini berjalan tanpa teman! Akan tetapi setelah wajah Kam Si Ek terbayang, lenyaplah segala kekecewaan dan pemikiran tentang Kwee Seng. Tiba-tiba ia teringat akan keadaan Kam Si Ek yang berbahaya, timbul kekhawatirannya dan segera ia meninggalkan tempat itu untuk cepat-cepat pergi ke kota raja dari Kerajaan Liang, yaitu kota raja Lok-yang yang terletak di Propinsi Honan.
Lu Sian sama sekali kehilangan jejak Kam Si Ek dan di sepanjang jalan tak seorang pun pernah melihat jenderal muda ini. Ia menduga bahwa andai kata benar pujaan hatinya itu diculik oleh kaki tangan Kerajaan Liang, agaknya mereka itu membawa Kam Si Ek ke kota raja melalui jalan sungai. Maka ia pun segera mencari tukang perahu dan menyewa perahu itu ke timur. Kota raja Lok-yang letaknya masih di Lembah Sungai Kuning, namun agak jauh dari sungai, di sebelah selatan.
Pada saat itu, Sungai Kuning airnya penuh, bahkan di beberapa bagian membanjir, meluap sampai jauh dari sungai, menyelimuti ratusan hektar sawah ladang. Dusun-dusun yang berada di lembah, yang terlalu dekat sungai, sudah banyak yang dilanda banjir. Namun karena airnya mengalir tenang, si Tukang Perahu berani melayarkan perahunya menurut aliran air. Keadaan di kanan kiri sungai amat menyedihkan dan perjalanan dengan perahu kali ini bagi Lu Sian benar-benar tidak menyenangkan sama sekali. Lenyap pemandangan alam yang biasanya amat indah, terganti keadaan yang mengenaskan, sungguh pun Lu Sian tidak ambil peduli terhadap bencana alam ini. Hatinya sendiri sedang penuh dengan rasa gelisah kalau ia memikirkan nasib Kam Si Ek.
"Tahan perahumu, minggir ke sana...!" tiba-tiba Lu Sian memerintah tukang perahu ketika ia melihat sebuah perahu besar berlabuh di sebelah kanan.
Lu Sian merasa curiga. Perahu itu besar dan mewah, sama sekali bukan perahu nelayan miskin, patutnya perahu bangsawan atau hartawan yang sedang pesiar. Saat seperti itu sama sekali bukan saat yang patut untuk berpesiar, maka adanya perahu di tempat sunyi itu sungguh mencurigakan hatinya. Apalagi ketika ia melihat bahwa dusun di tempat itu juga sudah tenggelam oleh air bah. Hanya satu-satunya rumah gedung di dusun itu yang masih belum kemasukan air karena kebetulan letaknya di tempat agak tinggi. Tak seorang pun manusia tampak di dusun yang kebanjiran itu, agaknya semua penghuninya telah pergi mengungsi. Kalau demikian halnya, mengapa perahu besar berada di situ dan perahu itu pun kosong tidak ada orangnya?
Setelah perahu kecil itu minggir dan Lu Sian mendapat kenyataan bahwa perahu besar itu benar-benar kosong, ia berkata, "Kau tunggu di sini, aku hendak menyelidiki ke mana perginya orang-orang dari perahu ini!"
Tanpa menanti jawaban, Lu Sian menggerakkan tubuhnya meloncat ke atas wuwungan rumah ke rumah yang terendam air. Kemudian dengan kelincahan yang mengagumkan ia berloncatan dari satu rumah ke rumah lain, kadang-kadang melalui pohon yang juga terendam air, menuju ke rumah gedung yang masih belum terendam air.
Tukang perahu itu melongo, lalu bergidik. Ia sudah mengira bahwa penumpangnya adalah seorang wanita kang-ouw yang pandai ilmu silat, kalau tidak demikian tak mungkin gadis muda dan cantik jelita ini berani melakukan perjalanan seorang diri, apalagi gadis ini membawa pedang! Akan tetapi ia hanya mengira Lu Sian seorang gadis yang pandai main pedang seperti biasa dipertunjukkan para penjual obat, siapa kira gadis ini dapat berloncatan seperti itu.
“Jangan-jangan dia bukan manusia,” pikir si Tukang Perahu.
Menurut cerita rakyat, di waktu sungai banjir meluap-luap seperti itu siluman-siluman pada bermunculan, juga para dewi-dewi yang sengaja turun dari khayangan untuk menggempur para siluman yang hendak merusak manusia dengan air banjir. Biar pun rakyat tak pernah melihatnya, akan tetapi selalu terjadi pertarungan hebat antara para dewa-dewi melawan siluman-siluman. Betapa pun juga dewa-dewi yang menang dan air yang digerakkan siluman mengamuk ke dusun-dusun itu akan kembali ke sungai pula seperti biasa! Kini melihat gadis penyewa perahunya pandai ‘terbang’ melayang-layang dari rumah ke rumah, si Tukang Perahu bergidik.
"Tidak tahu dia itu dewi atau siluman, akan tetapi sinar matanya tajam mengerikan. Lebih baik aku pergi sebelum ia kembali!" Melihat Lu Sian berloncatan makin jauh, diam-diam tukang perahu segera mendayung perahunya ke tengah lagi dan melarikan diri dengan perahunya dari tempat itu! Ia tidak peduli bahwa uang sewa perahu belum dibayar. Ia sudah merasa lega dan puas dapat meninggalkan gadis itu, karena siapa tahu, bukan dia menerima pembayaran, malah dia harus membayar nyawa.
Liu Lu Sian tidak tahu bahwa perahunya telah pergi meninggalkannya, karena ia sedang berloncatan mendekati gedung dengan hati berdebar penuh harapan akan dapat melihat Kam Si Ek. Ia meloncat ke atas genteng gedung itu dan dari atas genteng ia mengintai ke dalam. Ternyata di dalamnya terdapat enam orang anak perahu. Mereka duduk menghangatkan tubuh di dekat tempat perapian sambil makan roti kering dan dendeng. Terdengar mereka bersungut-sungut.
"Kita ditinggalkan di sini, untuk apa? Kalau banjir makin besar, ke mana kita harus bawa perahu? Ah, lebih enak menjadi pegawai di darat kalau begini. Banyak teman dan aman. Masa untuk mengawal seorang tawanan saja harus menggunakan pasukan lima puluh orang lebih? Dan keadaan tawanan itu lebih enak dari pada kita!"
"Sam-lote, kau jangan bilang begitu," cela temannya. "Tawanan itu memang seorang penting. Siapa tidak mengenal Jenderal Kam Si Ek? Malah aku mendengar dari anggota pasukan, bahwa komandan mereka menerima perintah khusus dari kota raja untuk menghormati Kam-goanswe sebagai tamu agung. Kita hanya petugas-petugas biasa, mau apa lagi?"
Lu Sian girang sekali mendengar percakapan mereka ini. Dengan kepandaiannya yang tinggi, ia meninggalkan tempat itu tanpa ada yang mengetahui. Gedung itu letaknya di tempat tinggi maka tidak terlanda banjir. Di bagian belakang gedung merupakan kaki sebuah bukit kecil dan ke sinilah Lu Sian mengambil jalan ke selatan, ke kota raja Lok-yang.
Tak lama kemudian ia sampai di jalan besar dan segera mempercepat larinya. Sayang kudanya ia tinggalkan ketika ia mempergunakan jalan sungai, akan tetapi karena ilmu lari cepatnya juga sudah mencapai tingkat tinggi, Lu Sian segera mempergunakan Ilmu Lari Cepat Liok-te-hui-teng sehingga tubuhnya berkelebat seperti terbang cepatnya, tidak kalah cepatnya, oleh larinya seekor kuda biasa!
Perjalanan selanjutnya melalui pegunungan yang biar pun jalannya lebar, namun banyak naik turun dan amat sunyi. Ini pegunungan Fu-niu yang puncaknya menjulang tinggi. Dari atas puncak ini tampaklah gunung-gunung yang memang banyak mengepung daerah itu. Di utara tampak puncak-puncak pegunungan Luliang-san dan Tai-hang-san, di sebelah barat tampak Pegunungan Cin-ling-san, di selatan samar-samar tampak dibalik mega puncak pegunungan Tapa-san. Biasanya Lu Sian amat suka menikmati tamasya alam di pegunungan, akan tetapi kali ini ia tidak mempunyai perhatian terhadap semua keindahan itu karena hati dan pikirannya penuh oleh bayangan Kam Si Ek yang hendak ditolongnya.
Ketika ia membelok di sebuah lereng, tiba-tiba ia melihat banyak tubuh orang menggeletak di pinggir jalan. Golok dan pedang malang melintang, darah berceceran dan dua belas orang itu sudah menjadi mayat. Mereka ini kelihatan sebagai orang-orang kang-ouw yang gagah. Melihat betapa senjata-senjata mereka tidak berjauhan, malah ada yang masih di dalam cengkeraman tangan, melihat tubuh mereka penuh luka, agaknya orang-orang ini telah melakukan pertandingan mati-matian dan nekat. Jelas kejadian ini belum lewat lama, mungkin pagi tadi dan di situ tampak bekas-bekas pertempuran dahsyat. Lu Sian berdebar. Apakah hubungannya belasan mayat orang ini dengan ditawannya Kam Si Ek? Hatinya makin khawatir dan ia mempercepat larinya mengejar ke depan.
Menjelang senja, ketika ia menuruni lereng, ia mendengar suara hiruk-pikuk di kaki bukit. Jelas terdengar suara banyak orang sedang berkelahi, diselingi ringkik kuda dan denting senjata tajam saling bertemu. Lu Sian mempercepat larinya dan napasnya terengah-engah ketika ia tiba di tempat pertempuran, karena selain terus-menerus ia mengerahkan ginkang untuk berlari cepat juga hatinya selalu penuh ketegangan dan kekhawatiran akan keselamatan pemuda idaman hatinya.
Kiranya banyak sekali orang yang bertanding di depan sebuah danau kecil di kaki bukit itu. Hampir seratus orang banyaknya saling gempur dan merupakan perang kecil yang kacau-balau. Ada yang masih menunggang kuda, ada yang sudah bertanding di atas tanah, bahkan ada yang bergulat sambil bergulingan, saling cekik dan saling jotos. Tidak kurang pula yang terlempar ke danau sedang berusaha berenang minggir. Kacau-balau dan hiruk-pikuk, suara makian diseling teriakan marah, keluh kesakitan dan ketakutan.
Lu Sian dapat menduga bahwa orang-orang yang berpakaian seragam biru itu tentulah pasukan yang mengawal atau yang menawan Kam Si Ek, karena di antara mereka ini masih banyak yang menunggang kuda. Ada pun lawan pasukan ini adalah orang-orang yang berpakaian macam-macam, ada yang berpakaian petani, ada pula yang berpakaian pendeta, akan tetapi sebagian besar berpakaian pengemis. Tentulah segolongan dengan Wei-ho Kai-pang, pikir Lu Sian dan tentu saja hatinya lalu condong membantu para pengemis. Bukankah Kam Si Ek tertawan oleh pasukan itu dan kini para pengemis hendak menolongnya? Akan tetapi, Lu Sian tidak berniat membantu mereka, matanya mencari-cari karena ia tidak melihat Kam Si Ek. Ia tidak mempedulikan pertempuran hebat itu, karena yang ia butuhkan untuk dicari adalah Jenderal Kam.
Dengan sama sekali tidak mengacuhkan pertandingan, Lu Sian berjalan terus memasuki gelangang perang. Kalau ada senjata menyambar, tidak perduli senjata pihak pasukan atau lawan mereka ia mengelak dan kaki tangannya bergerak merobohkan siapa saja yang menghalangi jalannya! Hebat sepak terjang gadis ini. Baik pihak pasukan mau pun pihak pengemis, sekali terkena pukulan mau pun tendangannya pasti roboh!
"Dimana Kam Si Ek?" Berkali-kali Lu Sian bertanya kepada seorang anggota pasukan yang ia robohkan, akan tetapi tak seorangpun mau menjawabnya, bahkan ia segera dikeroyok empat anggota pasukan.
Golok gagang panjang dari dua orang lawan yang masih menunggang kuda menyambar ke arah leher dan pinggang Lu Sian. Cepat gadis itu melompat, menyambar belakang golok, membetot dengan gerakan mendadak sambil menendang ke arah golok ke dua. Golok pertama yang ia tarik itu terlepas dari pegangan dan menghantam kawan sendiri yang menyerang dari kiri, tepat mengenai pahanya dan menembus memasuki perut kuda! Kuda itu meringkik keras dan kabur membawa penunggangnya yang hampir putus paha kakinya. Ada pun orang yang terampas goloknya, hampir saja jatuh terguling karena terbetot.
Pada saat itu dua orang pasukan yang tidak berkuda sudah menyerbu pula dari depan dan belakang dengan menggunakan pedang. Lu Sian tidak pedulikan mereka, tubuhnya meloncat ke atas dan tahu-tahu ia sudah berdiri di atas punggung kuda, tepat di belakang lawan yang terampas goloknya tadi. Sekali menggerakkan tangan, ia sudah mencekik leher lawan dari belakang. Dua orang temannya hendak menolong, akan tetapi Lu Sian mengangkat tubuh lawan dan menggunakannya sebagai perisai! Tentu saja dua orang itu tidak berani menyerang, takut melukai tubuh teman mereka sendiri yang ternyata adalah seorang atasan mereka.
"Hayo, katakan di mana adanya Kam-goanswe!" Lu Sian membentak sambil mempererat cekikan pada tengkuk si Perwira yang sudah tidak berdaya itu.
"Di... di sana..." Perwira itu menuding ke arah batu karang besar.
Lu Sian cepat membanting tubuhnya ke atas tanah, meloncat turun dari kuda dan berloncatan ke arah sekelompok batu karang yang memang terdapat tidak jauh dari tempat itu. Tempat itu terjaga oleh beberapa orang anggota pasukan, dan agaknya orang tawanan itu disembunyikan di belakang batu-batu.
Sebelum Lu Sian sempat turun tangan, tiba-tiba ia mendengar gaduh luar biasa di antara orang-orang yang bertanding. Alangkah heran dan kagetnya ketika ia melihat seorang laki-laki tinggi besar seperti raksasa, berkepala gundul menggunakan kedua lengan bajunya mengamuk. Seperti sepak terjangnya sendiri tadi, laki-laki gundul itu tidak peduli siapa saja, asal berada dekatnya, lalu disapu roboh oleh ujung kedua lengan bajunya. Akan tetapi gerakan laki-laki ini jauh lebih hebat, lebih ganas dan sebentar saja tubuh orang-orang bergelimpangan di sekitarnya.
Kemudian laki-laki itu melompat dan bagaikan terbang saja tahu-tahu ia sudah tiba di depan batu-batu karang besar. Lima orang penjaganya segera mencegat dengan senjata di tangan, akan tetapi sekali laki-laki tinggi besar itu menggerakkan tangan kakinya, lima orang itu terlempar semua, terbanting pada batu karang dan hebatlah kesudahannya. Dua di antaranya pecah-pecah kepalanya, yang tiga mungkin patah-patah tulang iganya karena mereka roboh tak dapat berkutik lagi!
Raksasa gundul itu tertawa ha-ha-he-heh, lalu melangkah lebar memasuki sekelompok batu karang itu dan di lain saat ia telah melesat ke luar sambil mengempit tubuh Kam Si Ek!
Kagetlah Lu Sian. Cepat ia menggerakkan kakinya menjejak tanah dan tubuhnya melesat pula mengejar. Akan tetapi gerakan si Raksasa Gundul itu benar-benar hebat karena sebentar saja ia sudah jauh meninggalkan tempat pertempuran. Betapa pun juga Lu Sian tidak mau mengalah, gadis ini mengeluarkan ilmunya berlari cepat sehingga kedua kakinya seakan-akan tidak menyentuh tanah lagi!
"Lepaskan dia!!" ia membentak setelah dapat menyusul sehingga jarak mereka hanya tinggal lima meter lagi.
Kedua tangan gadis ini bergerak dan serangkum sinar kemerahan menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum rahasia yang amat hebat. Gadis ini amat suka akan bunga-bunga yang harum, maka sejak kecil ia mempelajari keadaan segala macam bunga. Setelah ia pandai ilmu silat dan banyak mendapat petunjuk ayahnya tentang pelbagai macam racun, maka ia lalu dapat mencampur racun-racun berbahaya dengan sari keharuman bunga, maka terciptalah jarum-jarumnya yang ia namakan Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum). Memang amat harum baunya jarum-jarum ini, bahkan ketika menyambar dengan sinar merah, sudah tercium baunya yang amat harum, begitu harumnya sehingga dapat memabokkan orang. Tidak terkena jarumnya, baru mencium baunya saja sudah cukup berbahaya, apalagi kalau sampai jarum itu menembus kulit memasuki jalan darah!
Akan tetapi, raksasa gundul itu benar-benar lihai sekali. Tanpa menoleh ia sudah mengebutkan lengan bajunya dan... jarum-jarum itu memasuki lubang tangan baju dan menancap di situ. Tiba-tiba raksasa gundul itu berseru keras, tangannya bergerak dan jarum-jarum itu menyambar ke luar, kembali ke pemiliknya!
Tentu saja Lu Sian terkejut sekali. Cepat ia menyampok jarum-jarumnya sendiri dengan pedangnya yang sudah ia cabut ke luar. Lawan ini benar lihai, pikirnya dan terkejutlah ia ketika teringat bahwa raksasa gundul selihai ini kiranya hanya ada seorang saja di dunia, yaitu Ban-pi Lo-cia! Ban-pi Lo-cia tokoh utara yang sudah bertanding dua hari dua malam melawan ayahnya dan berkesudahan seri! Bahkan Kwee Seng sendiri yang begitu sakti, sampai dapat dihancurkan sulingnya oleh raksasa gundul ini.
Sejenak Lu Sian meragu. Terang bahwa dia bukan lawan kakek itu. Akan tetapi Kam Si Ek telah dikempit dan dibawa lari, bagaimana ia dapat mendiamkannya saja? Gadis ini sudah mempersiapkan jarum-jarumnya lagi. Akan tetapi melihat kakek itu tidak mempedulikannya dan malah lari makin cepat, ia berpikir dan tidak jadi menyerang, melainkan terus mengikuti dengan cepat pula, takut kalau-kalau tak dapat menyusul.
"Ia tentu tidak berniat membunuh Kam Si Ek. Kalau hendak membunuhnya, perlu apa dibawa lari-lari? Agaknya Kam Si Ek tidak berdaya, tentu sudah terkena totokan sehingga terlihat lemas. Kalau mau dibunuh, sekali pukul juga mati." Karena berpikir demikian maka Lu Sian tidak jadi menyerang secara nekat, melainkan kini ia membayangi Ban-pi Lo-cia yang terus lari memasuki sebuah hutan di kaki bukit.
Dengan hati-hati sekali Lu Sian menghampiri sebuah bangunan kuil tua yang berada di dalam hutan. Ia tahu bahwa Ban-pi Lo-cia memasuki kuil itu, maka ia tidak berani menerjang masuk secara sembrono. Bukan ia takut menghadapi bahaya, melainkan Lu Sian seorang gadis yang cerdik.
Sia-sia saja kalau harus menempuh bahaya dan membiarkan dirinya dirobohkan atau ditangkap pula, akan gagallah usahanya menolong Kam Si Ek. Ia berindap menghampiri kuil dan mengintai. Senja telah datang akan tetapi cuaca di luar kuil belum gelap benar. Hanya di sebelah dalam kuil yang tua dan rusak itu sudah gelap. Akan tetapi ia dapat mendengar suara Ban-pi Lo-cia yang parau diselingi suara ketawanya penuh ejekan.
"Heh-heh-heh, Kam-goanswe tentu banyak kaget. Untung saya keburu datang, kalau tidak tentu keselamatan Goanswe takkan dapat dipertahankan lagi." Kembali kakek itu tertawa.
Lu Sian merasa heran mendengar kata-kata ini. Ia mengarahkan pandang matanya untuk melihat sebelah dalam yang agak gelap. Setelah matanya terbiasa, ia dapat melihat bayangan Kam Si Ek duduk bersila di atas lantai, agaknya mengatur napas dan tenaga, sedangkan Ban-pi Lo-cia juga duduk bersandar tembok.
Kam Si Ek menggerakkan kedua lengannya menjura, masih sambil bersila. Terdengar suaranya yang nyaring, "Losuhu (Bapak Pendeta) siapakah? Harap suka memperkenalkan diri agar aku yang sudah menerima budi pertolongan akan dapat mengingat nama besar Losuhu."
Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha! Kam Si Ek, dengarlah. Aku bukan seorang hwesio seperti kau sangka, aku orang biasa. Sebaliknya kau seorang jenderal yang amat dibutuhkan orang pada saat seperti sekarang ini. Oleh karena itu, aku menolongmu tentu sama sekali bukan untuk melepas budi, melainkan untuk keperluan yang tiada bedanya dengan para penculikmu. Ha-ha-ha!"
"Hemmm, kiranya begitulah? Kalau begitu, siapa pun adanya kau, dan betapa pun tinggi kepandaianmu, tak mungkin kau akan dapat memaksa aku untuk tunduk dan mentaati perintahmu. Raja Liang bermaksud menculikku, akan tetapi kau lihat sendiri, banyak orang mencoba menggagalkan penculikannya. Kulihat pendeta, orang-orang kang-ouw, dan para pengemis yang menyerbu. Aku boleh jadi terkenal dalam perang, akan tetapi aku sama sekali tidak terkenal di antara mereka. Kalau mereka juga berusaha menolongku, tentu juga bermaksud menguasaiku. Ah, alangkah bodoh dan sia-sia! Selama negara terpecah-pecah seperti sekarang, selama orang-orang besar dan pemimpin rakyat main berebutan kemuliaan dan kedudukan, selama tentara dipergunakan untuk memerangi saudara sebangsa, aku Kam Si Ek takkan sudi mengeluarkan setetes pun keringat untuk membantu!"
Ban-pi Lo-cia bangkit berdiri, bertolak pinggang dan menundukkan muka memandang orang muda yang sedang duduk bersila itu. "Ah, Kam Si Ek, tahukah kau siapa aku?"
"Kau seorang tua yang berilmu tinggi, sayang...."
"Eh, kenapa sayang?"
"Sayang bahwa seorang tua yang lihai seperti kau ini masih dapat diperalat oleh orang-orang yang haus akan kedudukan tinggi, yang ingin memperoleh kekuasaan dan kemuliaan di atas ratusan ribu mayat dari rakyat!"
"Ha-ha-ha! Kalau aku memperkenalkan diriku, tentu kau juga takkan mengenal namaku karena kau bukan orang kang-ouw, melainkan seorang ahli perang. Akan tetapi agaknya menarik bagimu kalau kukatakan bahwa aku menangkapmu untuk kuserahkan kepada rajaku di Khitan."
"Ahhh...!" Kam Si Ek benar-benar terkejut mendengar ini.
Ia sudah amat terkenal sebagai pemukul orang-orang Khitan sehingga di kalangan musuh besar ini, yaitu para prajurit Khitan, menjulukinya Im-kan-ciangkun (Panglima Akhirat)! Ia tahu bahwa orang-orang Khitan paling membencinya, maka tahulah Kam Si Ek bahwa kali ini ia tentu akan tewas. Akan tetapi ia sama sekali tidak sudi memperlihatkan rasa takut, maka ia lalu tertawa mengejek.
"Hemm, sejak dahulu aku tahu bahwa orang-orang Khitan amat licik dan pengecut...."
Ban-pi Lo-cia berseru keras, sementara itu di luar kuil Lu Sian sudah siap dengan jarum-jarum dan pedangnya. Kalau kakek itu turun tangan membunuh Kam Si Ek, ia akan mendahuluinya dengan serangan jarum beracun disusul serbuannya ke dalam untuk mengadu nyawa!
"Apa kau bilang?! Bangsa Khitan adalah bangsa yang paling besar, bangsa paling gagah perkasa. Bagaimana kau berani menyebut licik dan pengecut?"
"Mereka kalah perang, entah sudah berapa kali mereka terpukul mundur dalam perang melawan pasukanku. Mengapa sekarang mereka menggunakan akal keji untuk menculikku? Bukankah ini cara yang licik sekali? Kalau memang gagah, mengapa tidak mengajukan panglima perang yang ulung untuk melawanku mengatur barisan?"
"Ha-ha-ha! Kalau kau katakan itu licik, kau gila! Justru karena kami membutuhkan kepandaianmu mengatur, maka kami sengaja menculikmu. He, Kam Si Ek. Tinggal kau pilih sekarang. Kau sudah menumpuk hutang terhadap kami bangsa Khitan. Untuk membalas dendam, membunuhmu sama mudahnya dengan membunuh seekor cacing. Akan tetapi rajaku tidak menghendaki demikian. Kau ikut denganku ke Khitan dan bekerja untuk rajaku. Kelak kau tentu akan menjadi panglima tertinggi dan hidup penuh kemuliaan."
"Tidak sudi! Lebih baik mati ditanganmu!"
Tiba-tiba Kam Si Ek melompat bangun dan goloknya menyambar dalam serangannya kepada Ban-pi Lo-cia. Kiranya, tadi ketika ia ditawan oleh pasukan Kerajaan Liang, ia diperlakukan baik dan golok emasnya pun tidak dirampas. Akan tetapi Kam Si Ek tidak melawan karena ia tidak mungkin dapat melawan puluhan orang, pula karena ia belum mendengar apa kehendak Raja Liang memanggilnya secara diculik. Kini menghadapi seorang Khitan yang hanya memberi dua jalan, yaitu mati dibunuh kakek ini atau takluk dan membantu Khitan, tentu saja ia lebih senang memilih mati dari pada harus menjadi penghianat bangsa.
Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. Lu Sian tidak dapat melihat jelas lagi apa yang terjadi di dalam kuil itu. Selagi ia hendak meloncat masuk membantu Kam Si Ek, tiba-tiba ia mendengar desir angin dari dalam. Cepat ia mengelak dan kiranya golok emas di tangan Kam Si Ek tadi sudah terlepas dari pegangan pemiliknya dan menyambar ke luar mengarah Lu Sian! Gadis itu terkejut dan cepat meloncat ke luar kuil, maklum bahwa kakek itu agaknya sejak tadi sudah tahu bahwa ada orang mengintai.
Benar saja, bayangan kakek gundul itu berkelebat dan tahu-tahu sudah berhadapan dengan Lu Sian. Kakek itu menyeringai, matanya terbelalak lebar, dan sepasang biji matanya yang bundar itu melotot. Memang ia sudah tahu bahwa ada orang mengintai, akan tetapi karena ia memang ‘besar kepala’ dan memandang rendah semua orang, ia tidak peduli.
Baru setelah Kam Si Ek menyerangnya, ia ‘menangkap’ golok emas itu dengan ujung lengan baju dan menghentak golok emas itu terlepas dari tangan Kam Si Ek, lalu melontarkannya langsung menyerang si Pengintai. Sama sekali tidak disangkanya bahwa pengintainya adalah seorang gadis yang begini cantik jelita sehingga membuat matanya melotot dan mulutnya mengiler. Biar pun sudah banyak sekali kakek gundul ini mempermainkan wanita cantik, namun harus ia akui selama itu belum pernah ia berjumpa dengan seorang gadis yang seperti ini jelitanya. Tentu saja hatinya girang bukan main.
"Ha-ha-ha, cantik jelita! Aduh, bidadari manis. Hampir saja aku kesalahan tangan membunuhmu. Untung...." Ia melangkah maju jari tangannya yang besar-besar dan berbulu itu bergerak hendak mengelus pipi Lu Sian.
Gadis ini mencelat mundur dan wajahnya pucat ketika ia memikirkan Kam Si Ek. "Kau apakan dia...? Kau... kau bunuh dia...?” Ia berseru dan kakinya, bergerak hendak meloncat ke dalam kuil. "Kalau kau membunuh Kam Si Ek, aku akan mengadu nyawa denganmu, Ban-pi Lo-cia!"
"Eh-eh, juwita... kau tahu namaku...?" Ban-pi Lo-cia merasa heran.
Lu Sian tidak memperdulikannya dan melangkah masuk ke dalam kuil, akan tetapi cepat ia menghindar karena hampir ia bertumbukan dengan Kam Si Ek yang berlari ke luar dari dalam untuk mengejar lawannya. Ia terheran-heran melihat Lu Sian yang segera dikenalnya. Ia mendengar ucapan gadis itu tadi, maka alangkah herannya karena sama sekali ia tidak menyangka bahwa yang pertama datang untuk menolongnya adalah... puteri ketua Beng-kauw yang pernah membuat ia tergila-gila begitu berjumpa!
Juga Lu Sian tercengang dan girang sekali. "Lekas..." katanya. "Lekas kau ambil golokmu di sana. Kita keroyok, dia lihai sekali!"
Tentu saja Kam Si Ek tahu akan kelihaian kakek gundul itu. Tadi saja di dalam gelap, sekali gebrak goloknya sudah kena dirampas! Akan tetapi karena tidak ada jalan lain kecuali nekat melawan, ia mengangguk dan cepat ia lari dan mencabut goloknya yang menancap pada sebatang pohon. Setelah itu ia kembali berlari menghampiri lawannya yang sudah berhadapan dengan Lu Sian.
Agaknya kecantikan Lu Sian yang luar biasa itu seakan-akan menyilaukan pandangan mata yang lebar melotot itu, membetot semangatnya dan membuat si Kakek Gundul berdiri seperti patung, menikmati wajah ayu lalu merayap-rayap turun. Lu Sian menjadi merah mukanya. Pandang mata itu seakan-akan mulut besar yang melahapnya dengan rakus!
"Monyet tua, kau melihat apa?!" Lu Sian membentak marah dan pedangnya berkelebat dengan serangan jurus Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat. Karena maklum bahwa lawannya ini amat lihai, maka begitu bergerak ia segera menggunakan ilmu pedang ciptaan ayahnya itu. Pedangnya berkelebat menyambar menimbulkan angin berdesir diikuti suara mengaung.
"Aihh, bagus ilmu pedangmu!" Ban-pi Lo-cia berseru kaget.
Tentu saja ia dapat mengenal ilmu pedang yang baik. Cepat ia mengebutkan ujung lengan bajunya yang kiri. Biar pun hanya ujung lengan baju, akan tetapi karena digerakkan oleh seorang yang berkepandaian tinggi, lengan baju itu menjadi senjata yang amat ampuh. Ketika ujungnya menangkis pedang, Lu Sian merasa betapa tangannya panas. Itulah tanda betapa besarnya tenaga sinkang dari lawannya. Di lain pihak, Ban-pi Lo-cia juga heran. Ia tadi sudah mengerahkan tenaganya dengan maksud memukul runtuh pedang Si Nona, siapa kira pedang itu tidak runtuh. Dari rasa kaget ia menjadi gembira.
"Heh-heh-heh, cantik jelita dan manis seperti bidadari, ilmu pedangnya lumayan pula. Heh-heh, sukar dicari keduanya...!"
Pada saat itu, golok di tangan Kam Si Ek sudah menyambar, membacok ke arah kepalanya yang gundul. Kepala itu gundul plontos seperti labu, agaknya akan terbelah dua kalau bacokan golok itu mengenainya. Akan tetapi Ban-pi Lo-cia adalah seorang tokoh besar yang sakti. Tanpa menoleh atau membalikkan tubuhnya, ia sudah menundukkan kepalanya sehingga golok itu berdesing hanya beberapa senti di sebelah kanan kepalanya.
Kakek ini tentu saja tidak mendiamkan orang yang menyerangnya. Tangan kanannya mencengkram ke belakang dan biar pun ia masih tetap memandang penuh kekaguman kepada Lu Sian, namun tangan yang digerakkan ke belakang itu dengan cepat sekali telah menyerang ke arah pergelangan tangan kanan Kam Si Ek yang memegang golok. Jenderal muda ini kaget. Ternyata kakek yang diserang ini tanpa merobah kedudukan badan telah dapat mengelak dan sekaligus mengancam lengannya. Cepat ia menarik kembali goloknya dan meloncat ke samping untuk menghindarkan cengkeraman yang amat hebat itu.
Lu Sian sudah menerjang pula. Kini gerakan kakinya membentuk pat-kwa mengelilingi si Kakek Gundul, pedangnya menyambar-nyambar dari delapan penjuru. Inilah Pat-mo Kiam-hoat yang dimainkan sepenuhnya oleh gadis itu, karena ia tahu betul, tanpa usaha keras dan sungguh-sungguh, dia dan Kam Si Ek pasti akan celaka menghadapi lawan tangguh ini. Kam Si Ek yang masih merasa heran mengapa gadis puteri Beng-kauwcu ini bisa tiba-tiba muncul di tempat ini dan berusaha menolongnya, juga maklum bahwa mereka berdua menghadapi seorang lawan tangguh. Ia tidak pernah mendengar nama Ban-pi Lo-cia, akan tetapi kakek gundul itu sudah membuktikan kelihaiannya. Cepat Kam Si Ek juga memutar golok emasnya dan kini ia berhati-hati sekali, mengeluarakan jurus-jurus berbahaya mendesak dari belakang.
Kam Si Ek adalah murid dari ayahnya sendiri, seorang panglima perang yang ulung. Akan tetapi karena ayahnya juga seorang ahli perang, dengan sendirinya ia lebih suka mempelajari ilmu perang dan memimpin barisan dari pada ilmu silat. Dalam hal menunggang kuda, melepas panah dan mencari siasat dalam memimpin barisan, ia jauh lebih hebat dari pada ilmu silatnya. Betapa pun juga, golok emasnya yang digerakkan dengan tenaganya yang besar, cukup berbahaya.
Ban-pi Lo-cia agak tertegun ketika tubuhnya terpaksa bergerak ke sana kemari dan kedua lengan bajunya berkibar-kibar karena ia gunakan sebagai senjata untuk menghadapi hujan serangan pedang Lu Sian. Ia tertegun karena mengenal ilmu pedang itu.
"Kau... murid Pat-jiu Sin-ong...?" tanyanya sambil miringkan tubuh ke kiri disusul kebutan lengan bajunya ke belakang untuk menghalau golok Kam Si Ek.
Lu Sian tersenyum mengejek. "Ban-pi Lo-cia manusia liar, kau berhadapan dengan puteri tunggalnya!"
"Ahh... ha-ha-ha, bagus sekali!" Ban-pi Lo-cia tertawa keras dan tiba-tiba ia menghentikan semua gerakannya.
Melihat hal ini, Lu Sian dan Kam Si Ek cepat menerjang, pedang Lu Sian membabat ke arah leher disusul dengan tangan kiri, sedangkan Kam Si Ek dari belakang membacokkan goloknya ke arah pinggang. Hebat sekali serangan dua orang muda ini.
Akan tetapi tiba-tiba berkelebat sinar hitam kecil panjang, seperti seekor ular terbang mengitari tubuh Ban-pi Lo-cia. Hebat sekali sinar hitam ini yang ternyata merupakan sehelai cambuk atau tali hitam panjang berkelebatan sambil mengeluarkan suara meledak-ledak seperti petir menyambar. Kam Si Ek berseru kaget. Goloknya sudah terlepas dari tangannya karena lengan kanannya tiba-tiba menjadi lumpuh terkena totokan ujung cambuk!
Lu Sian marah sekali, melihat cambuk itu masih mengancam Kam Si Ek ia menubruk maju dengan nekat, menggerakkan pedangnya menusuk ke arah tenggorokan kakek itu untuk dilanjutkan dengan gerakan mengiris ke arah cambuk. Serangan ini benar-benar amat berbahaya dan Ban-pi Lo-cia maklum akan hal ini. Dengan gerakan kaki ringan, kakek itu meloncat ke belakang sampai dua meter lebih dan ketika Lu Sian menerjang maju. Tiba-tiba cambuknya mengeluarkan suara keras lalu menyambar ke depan, ujungnya menghantam ke arah muka yang cantik jelita itu.
Kini Lu Sian yang menjadi kaget setengah mati. Bunyi seperti petir dari ujung cambuk itu membingungkannya, apalagi melihat sinar hitam itu berputaran di depan mukanya. Celakalah ia kalau menerima lecutan cambuk ini, tentu akan bercacat! Karena ini ia menggerakkan pedang dan tangan kirinya ke depan, pedangnya berusaha membabat cambuk, tangan kirinya menggunakan gerakan Houw-jiauw-kang (Ilmu Mencengkram Kuku Harimau) untuk menangkap cambuk.
Ban-pi Lo-cia terkekeh dan tahu-tahu sinar cambuknya melingkar-lingkar makin lama makin mengecil. Tanpa dapat dihindarkan lagi oleh Lu Sian, kedua lengan gadis itu sudah terlibat cambuk, terus berputar-putar melibat dan membelenggu kedua pergelangan tangannya. Lu Sian mengeluh kaget, pedangnya terlepas dari tangannya dan betapa pun ia mengerahkan tenaga untuk membebaskan kedua lengannya, namun sia-sia belaka.
"Huah-hah-hah, manisku, kau hendak lari ke manakah?" Ban-pi Lo-cia memegangi cambuk atau tali hitamnya itu dengan tangan kiri, kemudian ia melangkah maju dan tangan kanannya dengan jari besar-besar dan penuh bulu itu diulur ke depan, agaknya hendak menangkap tubuh Lu Sian, matanya melotot penuh nafsu.
Melihat muka yang berkulit kasar, mata yang bijinya kemerahan, mulut dengan bibir tebal menyeringai makin mendekatinya, Lu Sian hampir menjerit saking ngeri dan seramnya.
"Binatang, kau lepaskan dia!" Tiba-tiba Kam Si Ek yang sudah kehilangan goloknya itu meloncat dan menubruk Ban-pi Lo-cia dari belakang!
Tadi jenderal muda ini merasa lengan kanannya lumpuh setelah tertotok ujung cambuk sehingga goloknya terlepas. Akan tetapi setelah cambuk itu menyambar ke arah Lu Sian, ia cepat mengerahkan sinkang ke arah lengan untuk mengusir kelumpuhan. Betapa kagetnya melihat kini Lu Sian yang tertangkap dan agaknya si Kakek Iblis itu hendak berbuat kurang ajar. Rasa khawatir membuat Kam Si Ek menjadi nekat dan seperti seekor singa muda ia meloncat dan menerkam dari belakang.
Kalau saja berada dalam keadaan biasa, tak mungkin Ban-pi Lo-cia dapat diserang secara kasar begini. Akan tetapi pada saat itu Ban-pi Lo-cia seakan-akan dalam keadaan mabok, mabok kecantikan Lu Sian yang membuat semangatnya melayang-layang, apalagi setelah ia berhasil mengikat kedua tangan gadis itu dengan cambuknya. Bagaikan seorang kelaparan melihat panggang ayam di depannya. Ban-pi Lo-cia tidak ingat apa-apa lagi kecuali korbannya. Inilah sebabnya mengapa Kam Si Ek berhasil menerkamnya dan menggulatnya dari belakang. Pemuda yang bertenaga kuat itu sudah memiting lehernya dari belakang dan menggunakan ilmu gulat yang memang pernah ia pelajari untuk memiting dan mencekik leher Ban-pi Lo-cia!
Kagetlah Ban-pi Lo-cia ketika tahu-tahu punggungnya diterkam dan lehernya dicekik lingkaran tangan yang kuat! Karena jalan pernapasannya terancam, Ban-pi Lo-cia marah sekali. Sesaat ia melupakan Lu Sian, cambuknya ia tarik kembali dan kedua tangannya bergerak memukul kepala Kam Si Ek di belakangnya dan merenggut lengan yang mencekiknya.
Akan tetapi Kam Si Ek menyembunyikan kepalanya di belakang punggung, memiting dan mencekik terus, bahkan melingkarkan kedua kakinya pada pinggang dan paha lawannya dari belakang. Ia seakan-akan menjadi seekor lintah yang sudah menempel dan lekat, tak dapat dilepaskan lagi! Menghadapi ilmu gulat macam ini Ban-pi Lo-cia kelabakan. Ia bisa dan berani menghadapi tata kelahi (ilmu silat) dari aliran mana pun juga, akan tetapi menghadapi cara berkelahi yang ngawur dan tanpa aturan ini ia benar-benar terkejut sekali.
Pada saat itu, Lu Sian yang sudah terbebas dari belenggu ujung cambuk. Sejenak ia mengurut-ngurut kedua lengannya yang terasa sakit, kemudian menyambar pedangnya lagi dan cepat melakukan serangan tusukan bertubi-tubi, juga membabat lengan kakek itu untuk mencegah si Kakek lihai ini memukul Kam Si Ek.
Repot juga Ban-pi Lo-cia. Kedua tangannya harus menghadapi pedang Lu Sian di depan yang menyerang seperti seekor burung walet menyambar-nyambar, sedangkan cekikan Kam Si Ek pada lehernya makin mengeras dan kuat sekali. Sebetulnya dengan mudah Ban-pi Lo-cia akan dapat mengalahkan Lu Sian. Akan tetapi saking gugup dan khawatirnya akan cekikan yang ketat, ia jadi terburu-buru sehingga menjadi bingung sendiri. Ia mengebut-ngebutkan kedua lengan baju untuk menghalau pedang Lu Sian tanpa mendapat kesempatan untuk memikirkan daya agar ia terbebas dari cekikan orang muda itu.
Kam Si Ek mengerahkan seluruh tenaganya. Niatnya hanya satu, yakni mematahkan tulang leher lawannya! Tenaga jenderal muda ini memang besar sekali! Kalau yang ia piting lehernya itu bukan Ban-pi Lo-cia, tentu leher itu sudah patah tulangnya karena tenaga pitingan Kam si Ek ini mampu mematahkan tulang seekor harimau!
Akan tetapi Ban-pi Lo-cia bukan seekor harimau, bukan pula manusia biasa, melainkan seorang tokoh persilatan yang tinggi ilmunya dan amat kuat tenaganya. Ia pun cerdik. Hanya sebentar saja ia bingung. Segera ia mengerti bahwa kalau ia gugup, akan celakalah dia. Maka kini cambuknya kembali melecut-lecut dan mengeluarkan bunyi seperti petir menyambar, membentuk lingkaran-lingkaran dan di lain saat ujung cambuknya telah melibat pedang Lu Sian dan merampas pedang itu, kemudian ujung cambuk yang melibat pedang itu menyambar pula sehingga pedang itu seakan-akan dimainkan tangan menikam ke arah Lu Sian.
"Ayaaaa....!" Lu Sian terpaksa mengelak mundur, akan tetapi pedang itu terus mengejarnya, menikam bertubi-tubi sehingga gadis ini terpaksa menggulingkan dirinya dan menjauhi lawan.
Saat inilah dipergunakan Ban-pi Lo-cia untuk menggunakan tangan kirinya menotok jalan darah di dekat siku lengan Kam Si Ek yang mengempit lehernya. Ditotok jalan darahnya, seketika lumpuhlah lengan Kam Si Ek dan otomatis kempitannya pada leher juga terlepas. Dengan penuh amarah Ban-pi Lo-cia merenggutkan diri terlepas, lalu membalik dan sekali tangan kirinya menampar, pundak Kam Si Ek kena pukulan dan pemuda itu terguling roboh!
"Bocah setan! Ditawari kemuliaan kau memilih kematian. Kau hendak mencekik aku, hendak membuatku menjadi mayat dengan mata melotot dan lidah keluar, ya? Mari kita lihat, siapa yang akan mampus menjadi setan penasaran!" Ia menubruk maju dan di lain saat ia sudah menindih tubuh Kam Si Ek dan mencekik leher pemuda itu dengan lengan kanannya yang berjari besar-besar dan berbulu! Tangan kirinya memegang cambuk dan ia tertawa bergelak-gelak ketika kedua tangan Kam Si Ek berusaha melepaskan cekikannya.
"Iblis tua, lepaskan dia!" Liu Lu Sian terkejut sekali melihat pemuda itu tercekik. Maka cepat ia menyambar pedangnya yang tadi dilepaskan libatan cambuk, lalu ia menerjang maju dengan nekat untuk menolong pemuda pujaan hatinya.
“He-he-he, kau bersabar dan tunggulah, manis! Nanti kita bersenang-senang kalau bocah ini sudah kucekik sampai melotot matanya, keluar lidahnya dan melayang nyawanya! Ha-ha-ha!" Kakek gundul ini menggunakan cambuk di tangan kirinya untuk menangkis setiap kali pedang Lu Sian menyambar.
Kam Si Ek tahu bahwa nyawanya berada dalam cengkeraman maut. Ia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya, berusaha sekuatnya untuk merenggut lepas lengan tangan yang mencekiknya. Namun hasilnya sia-sia belaka karena tangan kakek yang kuat itu tidak dapat direnggutnya. Ia sudah hampir tidak tahan lagi, tak dapat bernapas, pandang matanya sudah berkunang, telinganya penuh suara melengking tinggi, kepalanya serasa membesar dan hampir meledak.
Tadinya ia mengharapkan bantuan Lu Sian. Akan tetapi gadis itu pun tidak berdaya menolongnya, pedangnya selalu tertangkis cambuk. Habislah harapan Kam Si Ek. Ia merasa menyesal sekali, bukan menyesal harus mati. Bagi seorang gagah, kematian bukanlah apa-apa. Akan tetapi sebagai seorang panglima perang, ia ingin mati di dalam perang, bukan mati di tangan kakek ini yang berarti mati konyol bagi seorang pejuang. Lebih menyesal lagi hatinya mengingat gadis penolongnya itu pun menghadapi bencana yang agaknya akan lebih hebat dari pada maut!
Tiba-tiba wajah Kam Si Ek yang sudah merah itu membayangkan kekagetan. Pada saat itu ia tengah memandang ke arah Liu Lu Sian dan kini hendak melihat apa yang akan dilakukan oleh gadis itu. Ia berteriak sekuatnya, "Jangan...!!" akan tetapi teriakannya terhenti di tenggorokan yang terjepit erat oleh jari tangan Ban-pi Lo-cia.
"Brett...! Breettt!"
"Ban-pi Lo-cia, kau lihatlah ke sini dan lepaskan dia...!"
https://ssepul01.blogspot.com/p/blog-page_5.html?m=1
Mendengar suara kain robek dan suara Lu Sian menggetar, Ban-pi Lo-cia tertarik dan menoleh. Matanya yang sudah lebar makin melebar, mulutnya terbuka dan ujung bibirnya penuh air liur ketika ia melihat nona itu merobek bajunya sendiri sehingga baju bagian dada terobek lebar memperlihatkan baju dalam berwarna merah muda yang membayangkan kulit tubuh putih dengan bentuk menggiurkan.
"Kau masih belum mau melepaskannya?" Suara Lu Sian merdu dan diucapkan dengan mulut menyungging senyum manis ditambah lirikan mata memikat.
"Heh-heh-heh... ah, hebat kau...!" Ban-pi Lo-cia lupa kepada Kam Si Ek dan bagaikan dalam mimpi ia bangkit meninggalkan pemuda itu. Kini ia terkekeh, matanya tak pernah berkedip menelan gadis di depannya, kakinya melangkah ke depan dan kedua tangannya dikembangkan siap untuk menubruk dan memeluk.
Lu Sian masih tersenyum-senyum, menyembunyikan pedang di tangannya di belakang tubuh, melangkah mundur dengan gerakan lemah gemulai seperti orang menari sehingga makin menonjollah keelokkan tubuhnya, terus mundur dan kadang-kadang melirik kepada Kam Si Ek yang masih rebah di belakang kakek itu. Ketika ia melihat Kam Si Ek sudah merayap bangun, meraba-raba dan menemukan kembali goloknya kemudian bangkit berdiri, tangan kanan memegang gagang golok, tangan kiri mengelus-ngelus lehernya yang terasa kaku dan sakit, tiba-tiba Lu Sian menggerakkan tangan kirinya yang tadinya bersembunyi di belakang tubuhnya, dibarengi teriakan nyaring.
"Bangsat tua, makanlah ini!" Sinar merah menyambar ke seluruh tubuh Ban-pi Lo-cia disusul terjangan pedang yang menusuk ke arah muka di antara sepasang alisnya.
Inilah serangan hebat sekali! Ban-pi Lo-cia tengah terpesona oleh kecantikan Lu Sian, maka hampir saja ia menjadi korban serangan ini. Baiknya ia memang amat lihai. Begitu melihat kelebatan jarum dan pedang, kesadarannya pulih kembali. Sambil berseru kaget ia mencelat ke belakang, menyampok jarum-jarum dengan lengan bajunya dan menggerakkan cambuk untuk melibat pedang Lu Sian.
Tiba-tiba terdengar angin mendesir di belakangnya, ia cepat mengelebatkan cambuknya membentuk lingkaran lebar dan sekaligus ia sudah dapat menangkis golok di belakangnya dan pedang di depannya. Segera Lu Sian dan Si Ek, tanpa dikomando lagi, telah mengeroyok si kakek lihai sambil mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaga. Maklum bahwa mereka berdua terancam bahaya maut yang hebat, maka mereka menjadi nekat. Mau melarikan diri tak mungkin. Walau pun akan kalah, maka mereka kini menyerang dengan jurus-jurus berbahaya, kalau perlu siap mengadu nyawa!
Liu Lu Sian adalah puteri tunggal Pat-jiu Sin-ong. Biar pun tingkat kepandaiannya jauh kalah kalau dibandingkan dengan Ban-pi Lo-cia, namun ia bukan sembarang lawan dan dapat berbahaya kalau maju secara nekat seperti itu. Ada pun Kam Si Ek, biar pun ilmu silatnya tidak seganas ilmu silat Lu Sian, namun pemuda ini bertenaga besar dan tak mengenal takut. Oleh karena inilah maka tidak mudah bai Ban-pi Lo-cia untuk merobohkan mereka tanpa melukai berat atau membunuh.
Padahal Ban-pi Lo-cia tidak sekali-kali bermaksud membunuh Lu Sian yang membuatnya tergila-gila, ada pun Kam Si Ek tentu akan dibunuhnya kalau memang tidak dapat ia bujuk. Setelah mencari akal, tiba-tiba cambuknya yang bernama Lui-kong-pian (Cambuk Kilat) membuat gerakan melingkar-lingkar ke atas dan terdengarlah suara cambuk meledak-ledak seperti petir, kemudian ujung cambuk menyambar bertubi-tubi ke arah kepala Kam Si Ek dan Liu Lu Sian.
Dua orang muda itu kaget sekali. Suara meledaknya cambuk itu seakan-akan memecahkan telinga, maka begitu melihat sinar menyambar ke atas kepala, mereka cepat menangkis dengan senjata. Akan tetapi golok dan pedang seperti terhisap oleh cambuk, lekat dan tak dapat ditarik kembali. Mereka berdua mengerahkan tenaga untuk dapat menarik kembali senjata mereka, dan saat ini dipergunakan oleh Ban-pi Lo-cia untuk secara tiba-tiba melepaskan cambuk Lui-kong-pian, tubuhnya segera berjongkok dan kedua lengannya memukul ke depan dengan jari-jari tangan terbuka. Inilah pukulan Hek-see-ciang (Tangan Pasir Hitam) yang luar biasa ampuhnya. Biar pun jarak mereka terpisah antara dua meter, namun begitu angin pukulan menghantam, dua orang muda itu terpental dan terjengkang lalu roboh!
"Hemm, tua bangka tak tahu malu! Berani kau merobohkan Kam-goanswe yang gagah perkasa?" tiba-tiba terdengar angin mendesing dari kiri.
Maklum bahwa ini adalah pukulan yang amat hebat. Ban-pi Lo-cia dengan kaget cepat memutar tubuh ke kiri dan menangkis. Dua macam tenaga pukulan sakti bertemu di udara, tidak mengeluarkan suara, akan tetapi akibatnya Ban-pi Lo-cia terhuyung mundur sampai empat langkah. Dan di depannya kini berdiri seorang kakek tua yang rambutnya riap-riapan, berdiri secara aneh karena bukan kedua kakinya yang berdiri, melainkan sepasang tongkat bambu yang menggantikan kedua kakinya yang ditekuk bersila.
"Eh... kau... kau Sin-jiu Couw Pa Ong? Ha-ha, aku mendengar kau menjadi orang buronan yang lari ke sana ke mari seperti anjing terkena gebuk! Ha-ha-ha, kedua kakimu lumpuh? Aduh kasihan, Raja Muda yang malang kini menjadi pengemis lumpuh." Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak.
Ia tidak gentar menhadapi Couw Pa Ong yang kini berjuluk Kong Lo Sengjin karena melihat orang itu sudah lumpuh. Ia maklum bahwa kakek bekas raja muda ini terkenal sekali dengan sepasang tangannya sehingga dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti). Akan tetapi, andai kata kakek itu belum lumpuh sekali pun ia tidak takut, apalagi sudah lumpuh. Segera ia memegang cambuk kilatnya erat-erat, siap untuk menggempur.
Kong Lo Sengjin tidak menjadi marah mendengar makian ini. "Ban-pi Lo-cia, kau tikus Khitan yang busuk. Mana aku ada waktu melayani segala tikus yang tiada harganya? Akan tetapi jangan kau mencoba menganggu Kam-goanswe. Dia seorang patriot Ahala Tang, dan aku akan membelanya sampai mati!"
Ban-pi Lo-cia cukup maklum bahwa menghadapi kakek lumpuh ini, biar pun ia tidak akan kalah, namun ia merasa sangsi apakah ia akan dapat merobohkannya cepat-cepat, apalagi kalau dua orang muda itu nanti membantu si Kakek Lumpuh. Ia memang cerdik. Perlu apa meributkan Kam Si Ek? Terang bahwa jenderal muda itu tidak akan suka membantu Khitan, walau pun ia paksa bawa ke Khitan, akhirnya tentu akan nekat tidak mau membantu. Tadi pun sudah tampak jelas kekerasan hati pemuda ini. Membunuhnya pun kalau resikonya harus dikeroyok, tidak menguntungkan. Kerajaan di selatan tidaklah berbahaya lagi, mereka saling gempur, saling berebutan kekuasaan, apa perlunya takut akan barisan yang dipimpin Kam Si Ek?
Ia lalu tertawa menyeringai. "Kakek lumpuh, raja jembel! Siapa butuh dia? Kau bawalah jenderalmu itu, yang kubutuhkan adalah si Bidadari!" Ia menoleh dan memandang kepada Liu Lu Sian dengan mata melotot dan mulut terbuka lebar.
Pada saat itu, Liu Lu Sian yang sudah sadar lebih dulu telah lari kepada Kam Si Ek. Pemuda itu masih pingsan, akan tetapi setelah Lu Sian mengurut dada dan menotok tiga jalan darah terpenting, pemuda itu pun siuman dari pingsannya. Untung bahwa mereka tadi tidak terkena pukulan secara langsung, hanya terpukul oleh anginnya saja yang membuat mereka pingsan. Kalau tersentuh tangan Ban-pi Lo-cia dengan pukulannya Hek-see-ciang tentu nyawa mereka sukar ditolong.
Mendengar ucapan dua orang kakek sakti itu, Liu Lu Sian terkejut bukan main. Menghadapi seorang kakek saja sudah repot, apalagi kalau mereka berdua itu maju bersama, seorang menculik Kam Si Ek dan yang seorang pula menculik dia! Ia tertawa cekikikan sambil menutup mulutnya dan matanya memandang ke arah Kong Lo Sengjin. Dua orang kakek itu terheran.
Segera Lu Sian meloncat berdiri, menudingkan telunjuknya ke arah Kong Lo Sengjin sambil berkata, "Ayahku Pat-jiu Sin-ong pernah bilang bahwa Sin-jiu Couw Pa Ong adalah seorang patriot yang gagah perkasa dan seorang di antara tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, tidak takut akan setan dan iblis sehingga ayahku kagum sekali. Akan tetapi setelah aku menyaksikan sendiri, hi-hi-hik...." Liu Lu Sian tidak melanjutkan kata-katanya melainkan tertawa lagi terkekeh.
Kong Lo Sengjin mengerutkan keningnya, hatinya serasa dibakar. Maka ia membentak, "Budak rendah! Biar pun kau puteri Pat-jiu Sin-ong aku takut apa? Mengapa kau mentertawakan aku? Apanya yang tidak cocok?"
"Kau ternyata seorang yang licik, beraninya hanya membunuhi para pengungsi! Orang-orang yang tidak bersalah, masih bangsa sendiri pula, karena mereka itu tidak kuat melawanmu, kau bunuhi seperti orang membunuh lalat saja. Akan tetapi sekali ini kau menghadapi seorang Khitan, musuh lama Kerajaan Tang, karena kau tahu bahwa Ban-pi Lo-cia orangnya lihai bukan main, kau lalu mengkeret nyalimu, nyali tikus yang beraninya hanya kepada si lemah. Orang Khitan ini hampir membunuh Jenderal Kam, tapi kau mengalah dan ketakutan. Cihh, mana itu darah pahlawan? Hi-hi-hik!"
Sin-jiu Couw Pa Ong yang sekarang bernama Kong Lo Sengjin adalah seorang bekas raja muda yang selalu dihormati orang. Selama hidupnya baru sekarang ia mendengar olok-olok macam itu terhadap dirinya, maka mukanya segera menjadi merah, dan ia mencak-mencak seperti orang kebakaran jenggot. Matanya bernyala jalang ketika ia menghadapi Ban-pi Lo-cia yang hanya menyeringai penuh ejekan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)