CINTA BERNODA DARAH : JILID-09

“Wah... ular api tak mungkin dapat melayang, tentu ada yang melemparkannya...! Lin-moi, awas, agaknya ada musuh menyerang...”
“Aku tidak takut! Segala pengecut curang, kalau berani muncul akan kupenggal batang lehernya!” teriak Lin Lin dengan marah sekali karena semalam itu selalu diganggu orang-orang yang tidak mau menyerang atau membantu dengan terang-terangan.
Jawaban teriakan Lin Lin ini adalah suara ketawa yang disusul munculnya seorang laki-laki tua berpakaian pengemis. Kaki kiri kakek pengemis ini buntung, sebagai penggantinya ia memegang sebatang tongkat panjang, tongkat yang bengkak-bengkok seperti tubuh ular. Pakaiannya yang penuh tambalan itu serba lorek dan belang-belang seperti kulit ular. Ketika Lin Lin memandang penuh perhatian, baginya muka orang itu pun mirip muka ular!
“Hemmm, kiranya Sin-coa-kai (Pengemis Ular Sakti) yang main-main dengan kami!” kata Bok Liong dengan suara mengejek.
Ia sudah mendengar tentang pengemis ini yang merupakan kepala atau pimpinan dari serombongan pengemis yang suka mengumpulkan racun ular dan menjualnya pada toko-toko obat. Sebagai ahli menangkap ular berbisa, tentu saja pengemis ini amat lihai, malah julukannya juga Pengemis Ular Sakti! Akan tetapi, ia pun sudah mendengar akan praktek-praktek jahat yang dilakukan pengemis ini dan rombongannya, yaitu menjual racun-racun ular pada penjahat-penjahat untuk maksud-maksud keji. Maka ia memandang rendah dan mengejek.
Pengemis buntung itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, orang muda bermata tajam, kiranya mengenal pula Sin-coa-kai! Ha-ha, kalau sudah mengenal nama dan mengetahui kelihaianku, lebih baik menyerah agar kuserahkan kalian kepada Suma-kongcu. Heh, pantas saja Suma-kongcu berusaha keras untuk menangkap kalian, kiranya ada bidadari ini yang begini denok dan can....”
“Swinggggg...!” Pengemis itu berteriak kaget dan menjatuhkan diri bergulingan ke atas tanah ketika tiba-tiba pedang di tangan Lin Lin menyambar, merupakan sinar kuning yang secepat kilat membabat leher pengemis itu.
“Lin-moi, awas belakang...!” Bok Liong memperingatkan, khawatir kalau gadis itu terlalu bernafsu dan marah mengejar si Pengemis Buntung.
Betul saja dugaannya, si Buntung itu tidak datang sendiri, melainkan bersama tujuh orang pembantunya. Pada saat itu, dari tempat-tempat gelap melompat bayangan orang dan terdengar suara mendesis-desis dari semua penjuru. Lin Lin kaget dan terpaksa menunda pengejarannya kepada Sin-coa-kai. Sepasang matanya yang tajam itu terbelalak ketika melihat puluhan ekor ular api merayap datang dari depan dan belakang, digiring oleh Sin-coa-kai dan teman-temannya.
“Lin-moi, serbu...!” Bok Liong sambil memutar pedangnya dan menerjang maju.
Lin Lin mengikuti sepak terjang Bok Liong dan dua orang muda itu dengan gagah menghadapi ular-ular yang telah menjadi nekat karena telah diberi obat perangsang oleh Sin-coa-kai. Dalam beberapa detik saja bangkai ular bergelimpangan diterjang pedang Lin Lin dan Bok Liong.
Akan tetapi kini Sin-coa-kai dan teman-temannya mulai menyerang dari lain jurusan, menggunakan tongkat-tongkat ular yang panjang seperti toya. Lin Lin dan Bok Liong tentu saja tidak gentar, melawan dengan hebat. Akan tetapi mereka menjadi sibuk juga karena ular-ular itu kini menjadi makin banyak, merayap-rayap mengerikan.
“Lin-moi, ikuti aku, ke atas pohon!” kembali Bok Liong memberi tahu temannya.
Sambil memutar pedang untuk menjaga diri dari sambaran tongkat lawan, mereka mengerahkan ginkang dan melayang ke atas pohon. Akan tetapi terdengar suara ketawa Sin-coa-kai disusul teriakan kaget kedua orang muda itu yang cepat-cepat melayang turun kembali karena pohon itu pun penuh dengan ular hijau yaitu ular daun yang biar pun tidak beracun namun cukup menjijikkan dan galak!
“Ha-ha-ha-ha, apakah kalian tidak menyerah saja?”
“Menyerah kakimu!” bentak Lin Lin sambil menerjang penuh amarah. Terjangannya hebat sekali, biar pun si Buntung berhasil menghindarkan bahaya dengan jalan menggulingkan diri, namun seorang pembantunya terbabat pedang sehingga putus lengan kirinya!
Sin-coa-kai memaki marah, lalu bersuit keras. Hebat akibatnya. Ular-ular itu seperti menjadi gila mendengar suitan ini dan menyerbu lebih ganas dari pada tadi. Kewalahan juga Lin Lin dan Bok Liong menghadapi ular-ular kalap itu, apa lagi tongkat-tongkat para pengemis masih selalu mengancam dan mencari kesempatan baik.
Pada saat itu tampak asap tipis dan tercium bau yang pedas. Seketika kedua mata Lin Lin dan Bok Liong mengeluarkan air mata! Inilah semacam asap beracun yang dilepas oleh Sin-coa-kai! Terbuat dari pada daun-daun dicampur racun ular lalu dibakar. Asap dari pada ramuan ini merupakan asap beracun yang akan membuat setiap orang lawan mengeluarkan air mata, semacam ‘gas air mata’ model kuno! Para pengemis sendiri tentu saja sudah memakai obat pemunah sehingga mereka tidak terpengaruh.
“Celaka...!” teriak Bok Liong. “Lin-moi, kita membuka jalan darah!”
Mereka berusaha sedapat mungkin untuk membuka kedua mata yang terus bercucuran air mata, pedang di tangan mereka gerakkan otomatis menjaga tubuh. Akan tetapi, teringat akan ular-ular yang menyerang kaki mereka, kedua orang muda itu menjadi bingung, tidak berani melangkah ke luar dari tempat itu.
Tiba-tiba terdengar pekik Sin-coa-kai marah, “Heeeiiiii, bedebah! Siapa berani main-main dengan ular-ularku?” Akan tetapi bentakan ini disusul rintihan si Buntung itu. Asap yang memerihkan mata juga tidak menyerang lagi.
Lin Lin dan Bok Liong masih terus memutar pedang menjaga diri. Setelah mata mereka tidak pedas lagi dan dapat dibuka, barulah mereka mendapat kenyataan bahwa keadaan mereka itu amat lucu. Di depan tidak ada musuh, bangkai ular bertumpuk-tumpuk di sana-sini, dan mereka tadi masih terus bersilat memutar pedang!
Muka Bok Liong menjadi merah sekali. “Wah, alangkah tolol kita. Sudah ada orang sakti menolong, ular-ular mati dan semua pengemis diusir pergi, dan kita masih terus main pedang seperti wayang tanpa penonton!”
Lin Lin membanting-banting kakinya. “Lagi-lagi penolong tak diundang! Kalau memang sudah menolong, kenapa tidak mau memberi tahu sehingga kita menjadi tontonan yang mentertawakan? Benar-benar dia memandang rendah!”
“Eh, Lin-moi. Berkali-kali dia menyelamatkan nyawa kita, kenapa kau malah marah-marah? Mana bisa kita menjadi tontonan kalau di sini tidak ada siapa-siapa yang akan menonton kita? Sebaliknya kita harus berterima kasih kepada pendekar sakti dan menol....”
“Siapa bilang tidak ada penonton? Apa kau kira dia itu tidak sedang terkekeh-kekeh mentertawakan kita yang bersilat sendiri melawan angin? Benar-benar kau tolol dan dapat dipermainkan orang, Twako!”
Bok Liong tersenyum. Baru berkenalan sebentar saja, sikap gadis ini sudah amat intim, tidak ragu-ragu mengecapnya tolol segala! “Jadi kau tidak berterima kasih kepadanya, Moi-moi?”
“Tidak! Aku tidak minta dia tolong, perlu apa berterima kasih?”
“Habis, andai kata dia muncul di depanmu, kau mau apa terhadapnya?”
“Mau apa? Menebus penghinaan ini di ujung pedang, apa lagi?”
“Penghinaan?”
“Dia menolong tanpa diundang, bergerak secara sembunyi, ini berarti mempermainkan kita dan amat memandang rendah, apakah yang begini masih belum patut dikatakan penghinaan?”
Tiba-tiba Bok Liong meloncat ke kiri, menyingkap alang-alang sambil berseru, “Harap Locianpwe (Orang Tua Gagah) sudi menjumpai kami...!” Akan tetapi ia kecewa karena di belakang alang-alang itu tidak ada siapa-siapa.
“Eh, apa kau masih terus bermain sandiwara setelah bertanding pedang angin tadi, Twako? Siapa yang kau ajak bicara?”
Bok Liong menggeleng-gelengkan kepalanya. “Jelas benar tadi kulihat bayangan orang di sini! Malah ketika aku melompat sampai di sini, masih kudengar helaan napasnya! Heran benar....”
“Sudahlah, Twako. Kau lagi-lagi melihat serta mendengar setan.”
“Benar, Lin-moi. Kalau dia tidak mau menemui kita, dicari juga sia-sia. Mari kita lanjutkan perjalanan, siapa tahu Suma-kongcu masih mempunyai banyak kaki tangan yang hanya akan mengganggu kita. Lebih cepat sampai di kota raja lebih baik. Kota raja sudah dekat dan sekarang pagi.”
Keduanya lalu berlari meninggalkan tempat itu. Lin Lin bergidik melihat bangkai banyak ular menggeletak di sana-sini, anehnya, sebagaian besar bangkai-bangkai itu pecah kepalanya. Padahal ia tahu benar bahwa pedangnya dan pedang Bok Liong tak mungkin bisa membikin kepala ular remuk, paling-paling membuntungi leher. Diam-diam ia kagum juga akan kepandaian orang yang telah menolong mereka, akan tetapi hatinya tetap tidak puas. Orang itu sombong, pikirnya.
Dugaan Bok Liong memang benar. Yang memenuhi permintaan Suma Boan untuk mencoba menangkap dua orang muda itu ada tiga rombongan. Pertama adalah rombongan Hui-houw-kai-pang, rombongan kedua adalah rombongan Sin-coa-kai-pang. Ada pun ketiga hanya terdiri dari seorang saja. Orang ini adalah seorang tokoh perkumpulan pengemis dari daerah barat yang bemama Hek-i Lo-kai (Pengemis Tua Baju Hitam).
Kepandaian ilmu silatnya tidaklah terlalu tinggi biar pun ia cukup lihai dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain, akan tetapi yang membuat ia amat terkenal adalah kelicikan dan kecurangannya. Ia pandai bicara, pandai bersandiwara dan selain ini ia pun memiliki kepandaian membuat obat peledak yang sukar dapat dilawan oleh seorang ahli silat tinggi sekali pun. Obat peledak itu mengandung racun dan pecahan-pecahan besi berkarat yang amat berbahaya. Semacam granat model kuno! Mengandalkan kecerdikannya, Hek-i Lo-kai ini beroperasi sendirian saja, tidak suka ramai-ramai main keroyokan. Ketika mendengar perintah Suma Boan, ia tergesa-gesa melakukan pengejaran. Karena mendengar bahwa dua orang muda itu lihai dan sedang menuju ke kota raja, ia tidak mau berlaku sembrono seperti dua rombongan yang telah gagal itu, melainkan mendahului pergi ke kota raja dan menanti di luar tembok kota raja.
Demikianlah, ketika Lin Lin dan Bok Liong tiba di luar kota raja, hari telah menjelang siang. Di luar pintu gerbang mereka melihat seorang kakek pengemis duduk bersila di atas tanah di dekat jalan raya, matanya yang meram terus itu agaknya buta, kedua tangannya ditelentangkan di depan dada dan mulutnya tiada hentinya minta-minta kepada orang yang lewat di jalan itu. Beberapa potong uang tembaga telah diperolehnya, bertebaran di depannya.
Melihat seorang pengemis, Bok Liong curiga. Ia menyentuh tangan Lin Lin dan memberi isyarat dengan matanya. Lin Lin menoleh dan tersenyum. “Twako, kau benar-benar seperti seekor burung yang hampir terkena anak panah, menjadi ketakutan pada bayangan sendiri. Masa setelah gangguan para pengemis itu, sekarang kalau melihat setiap orang pengemis kau lalu mencurigainya? Hi-hik, lucu! Dia itu benar-benar seorang jembel. Lihat, dia betul-betul minta-minta, wajahnya pucat matanya buta. Eh... lihat... dia sakit, Twako...!”
Benar kata-kata Lin Lin itu. Pengemis tua berbaju hitam kotor itu merintih-rintih, memegangi perutnya, mukanya menjadi pucat sekali, matanya yang buta mendelik tampak putihnya saja. “Ahhh... auuuhhhhh... aduh, mati aku...,” keluhnya perlahan, keringat besar-besar memenuhi mukanya.
Seorang pedagang tahu yang memikul tahang (keranjang kayu) yang sedang kosong dan sedang menuju pulang ke desanya di luar kota, berhenti di depan pengemis itu, memandang penuh iba. “Lopek, kau kenapakah?”
Pengemis itu mengeluh dan meringis kesakitan, nyata amat sukar ia mengeluarkan suara menjawab. “Aduhhh... napasku... sesak... terpukul... kumat lagi... sesak... auuughhh!” Kakek pengemis itu muntahkan darah segar! Si penjual tahu kaget dan makin iba.
“Wah, kau sakit berat, Lopek. Ah, bagaimana baiknya?” Beberapa orang yang kebetulan lewat, hanya menengok lalu melanjutkan perjalanan mereka. Siapa mau peduli akan nasib seorang jembel tua? Pedagang tahu itu merasa kasihan karena ia sendiri pun seorang miskin, tentu saja ia dapat merasakan penderitaan jembel ini.
Sebagai ahli-ahli silat kelas tinggi, tentu saja Lin Lin dan Bok Liong maklum apa artinya keadaan kakek itu. Kakek itu menderita luka dalam dan keadaannya amat berbahaya. Lukanya mengeluarkan darah dan tentu akan menutup pernapasannya kalau tidak dihentikan. Cara menghentikannya tentu dengan menotok jalan darah di punggung dan mengurut urat di dada dan leher.
Lin Lin adalah seorang gadis remaja yang wataknya polos dan juga aneh. Ia mudah tersinggung, perasaannya halus, mudah marah mudah gembira, mudah kasihan mudah membenci. Dengan langkah lebar ia menghampiri kakek itu, tidak peduli lagi akan pencegahan Bok Liong.
“Kakek, kau terluka di dalam, biar kutolong kau...” kata Lin Lin.
“Auhhhhh... oohhh... terima kasih....”
Lin Lin segera menghampiri punggung kakek itu, menotoknya dengan dua jari tangannya. Gerakannya gesit sekali dan kedua jarinya amat kuat sehingga sekali menotok saja ia berhasil. Kakek itu meringis kesakitan dan napasnya bertambah sengal-sengal. Lin Lin menjadi gugup, cepat ia mengulur tangan hendak meraba leher dan mengurut dada. Tiba-tiba tangan kakek itu yang tadinya menekan-nekan perutnya, bergerak cepat dan tampak sinar berkilat ketika tangan yang telah mencabut pedang pendek ini menusuk ke arah dada Lin Lin!
“Keparat!” Bok Liong yang sudah waspada cepat menerjang maju dan mengirim tendangan, sedangkan Lin Lin yang menjadi kaget sekali namun tak kehilangan akal segera membuang diri ke belakang sambil berjungkir-balik. Tendangan Bok Liong keras sekali, membuat tubuh kakek pengemis itu terpental dan bergulingan sampai sepuluh meter jauhnya, pedang pendeknya terlempar entah ke mana. Akan tetapi kakek pengemis yang sekarang sudah tidak buta lagi itu, mengeluarkan dua buah benda sebesar kepalan tangan.
Pada saat itu, dari barat datang seekor kuda membalap cepat. Penunggangnya seorang pemuda berpakaian hitam, jubah panjang berwarna hitam menutup celana sutera putih. Tepat sekali kudanya datang lewat ketika kakek pengemis yang bukan lain adalah Hek-i Lo-kai itu melontarkan dua buah granatnya ke arah Lin Lin dan Bok Liong.
“Tiarap semua...!” Nyaring sekali suara ini dan tubuh jangkung di atas kuda itu menyambar ke arah dua buah alat peledak, sekali sambar dua buah benda berbahaya itu telah berhasil ia tangkap! Bukan main hebatnya gerakan ini, terlihat oleh Lin Lin dan Bok Liong yang otomatis sudah rebah di atas tanah. Kuda itu berhenti sebentar dan penunggangnya menoleh ke arah Hek-i Lo-kai yang berdiri dengan muka pucat dan kedua kaki menggigil.
“Am... pun... ampunkan...”
“Hek-i Lo-kai, kali ini tidak ada ampun!” Tampak sinar hitam dari cambuk di tangan penunggang kuda itu bergerak, terdengar suara “tar-tar-tar” tiga kali dan robohlah Hek-i Lo-kai! Penunggang kuda itu membedal kudanya, tanpa bicara sesuatu kudanya membalap memasuki pintu gerbang. Akan tetapi, setibanya di pintu gerbang, penunggangnya menoleh ke arah Lin Lin.
Lin Lin dan Bok Liong melompat bangun dan menghampiri Hek-i Lo-kai yang merintih-rintih dan mencoba bangun. Alangkah kaget dan ngeri hati Lin Lin dan Bok Liong melihat betapa punggung kakek itu telah melengkung dan di situ tampak tiga garis melintang berwarna hitam, menembus baju, kulit dan daging sampai tampak tulangnya!
“Aduh... ampun... Suling Emas....”
Mendengar ini, Lin Lin dan Bok Liong terkejut. Terutama Lin Lin. Jadi penunggang kuda yang gagah perkasa, seorang laki-laki yang belum tua, tampan dan gagah, dia tadi Suling Emas?
“Jembel tua jahat, kau bilang dia Suling Emas? Betulkah itu?” Lin Lin bertanya.
“Sul... Suling Emas... tak kenal... ampun....” Kakek ini roboh lagi, muntah darah dan tanpa berkelojotan lagi ia menghembuskan napas terakhir!
Melihat terjadi peristiwa pembunuhan, si pedagang tahu cepat-cepat mengangkat pikulannya dan pergi meninggalkan tempat itu, juga mereka yang menyaksikan peristiwa itu segera pergi dari situ setelah mendengar disebutnya nama Suling Emas. Nama ini meyakinkan mereka bahwa kakek jembel yang tadi pura-pura buta dan mengemis tentulah seorang penjahat besar.
“Berbahaya...” kata Bok Liong. “Dia ini kiranya Hek-i Lo-kai dan tentulah dua buah benda tadi adalah dua senjata peledak yang kalau tadi tidak disambar Suling Emas, tentu menghancurkan tubuh kita berdua. Hebat...!”
Tiba-tiba seorang hwesio muda menghampiri mereka dan memberi hormat. Hwesio muda inilah satu-satunya orang yang tidak pergi dan sejak tadi ia menatap wajah Lin Lin. “Maaf kalau pinceng (aku) mengganggu. Apakah Lihiap (Pendekar Wanita) yang bernama Kam Lin Lin?”
Lin Lin menengok, tercengang dan Bok Liong sudah mengerutkan kedua alisnya yang tebal, siap menghadapi segala kemungkinan. Dalam keadaan seperti itu ia menaruh curiga kepada setiap orang.
“Maaf,” kata hwesio itu lagi. “Tentu Lihiap merasa heran, akan tetapi pinceng mencari Lihiap atas suruhan Nona Kam Sian Eng. Menurut gambarannya, Lihiap tentu yang bernama Kam Lin Lin, hanya entah, apakah Sicu ini yang bernama Kam Bu Sin...”
Lenyap kecurigaan kedua orang muda itu. Malah Lin Lin berjingkrak gembira sambil bertanya, “Di manakah Enci Siang Eng?”
“Silakan Ji-wi ikut pinceng, dia berada di kelenteng kami.”
“Bagaimana dia? Selamatkah? Dan di mana Sin-ko? Bagaimana Enci Sian Eng bisa berada di kelentengmu?”
Diberondong pertanyaan-pertanyaan ini, hwesio itu hanya tersenyum, lalu menjawab. “Tidak leluasa kita bicara di tengah jalan. Marilah, nanti di kelenteng tentu Ji-wi akan mendengar sejelasnya dari Nona Sian Eng sendiri.”
Mereka bertiga segera memasuki kota raja dan menuju ke kelenteng. Lin Lin yang sudah tidak sabar itu lari saja memasuki kelenteng hampir menabrak seorang hwesio tua yang menyapu lantai sehingga hwesio itu menggeleng-geleng kepalanya dan mulutnya bersungut-sungut, “Omitohud... cantik liar, jangan-jangan siluman musang...!”
Pada saat itu, Sian Eng keluar dari ruangan dalam. Melihat siapa orangnya yang berlari-lari datang dari luar, ia berteriak girang dan lari menyambutnya. Di lain saat enci adik itu sudah saling rangkul dan saling cium sambil tertawa-tawa gembira.
“Lin Lin, bocah nakal kau!” Siang Eng berseru sambil menciumi adiknya.
“Enci Eng, kau tahu siapa yang kutemui di jalan tadi? Sampai mati kau tentu tidak akan dapat menduga,” bisik Lin Lin dengan wajah tegang, “dia bukan lain adalah Suling Emas!”
Akan tetapi Lin Lin keliru dan kecewa. Kiranya encinya sama sekali tidak kelihatan terkejut, hanya menggumam perlahan, “Hemmm, ya?” kemudian Sian Eng melihat seorang pemuda berdiri termangu-mangu dan canggung menghadapi pertemuan enci adik yang mesra itu. “Lin Lin, kau maksudkan dia itukah Suling Emas?” Tentu saja Sian Eng bertanya dengan suara berbisik agar tidak terdengar pemuda itu.
“Hi-hik, bukan... bukan dia. Dia itu sahabat baikku, orangnya baik, kepandaiannya lihai, tapi dia bukan Suling Emas, dia Lie Bok Liong Koko. Oya Liong-twako, mari sini! Mari kuperkenalkan dengan Enci-ku yang lihai dan cantik!”
Bok Liong menjadi merah wajahnya, apa lagi melihat betapa Sian Eng dan Lin Lin tadi kasak-kusuk dan sekarang enci itu mencubit adiknya yang tersenyum-senyum nakal. Akan tetapi karena Lin Lin melambaikan tangan memanggilnya dan enci adik itu memandang kepadanya, tidak enak kalau ia tidak menghampiri. Dengan jantung berdebar ia menghampiri mereka lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil menundukkan muka, tidak berani menatap wajah Siang Eng karena merasa sungkan dan malu.
“Liong-twako, betul tidak kataku? Enciku cantik jelita dan... aduhhh! Galaknya yang tidak nguati (tak tertahankan)!” Kemudian sambil tertawa ia berkata kepada Sian Eng, “Enci Eng, Liong-twako ini baik sekali, menemaniku sepanjang jalan, mengantarku sampai di sini, malah di jalan membantu aku menghadapi pengemis-pengemis jahat. Orangnya jujur, sopan, tidak kurang ajar, dan...”
“Hushhh, terlalu kau, Lin Lin!” Sian Eng membentak adiknya, lalu mengangkat kedua tangan di depan dada membalas penghormatan Bok Liong sambil berkata halus, “Harap Lie Bok Liong Taihiap (Pendekar Besar) sudi memaafkan adikku yang nakal dan suka menggoda orang ini. Terima kasih saya haturkan atas kebaikan Taihiap terhadap adikku...”
“Wah-wah-wah, apa-apaan ini? Taihiap-taihiapan segala macam! Aduh, bisa mekar hidung Liong-twako kau sebut Taihiap. Sebut saja Twako, mengapa sih? Terhadap sahabat baik masih banyak sungkan dan peraturan, itu palsu namanya!”
“Eh... oh... maaf, Nona... eh, saya...”
“Nah-nah-nah, Taihiap dan Nona, Tuan dan Nyonya, jemu aku mendengarnya! Liong-twako, dia ini Enci Siang Eng, Enci­ku sendiri, tahu kau? Kalau kau menyebut aku Lin-moi, Moi-moi, kadang-kadang Siauw-moi, mengapa kepada Enciku kau menyebut Nona? Kalau begitu kau pun harus menyebut aku Nona Besar dan aku akan menyebutmu Tuan Besar. Hayo, bagaimana?”
Memang nakal sekali Lin Lin. Ia tidak peduli akan segala perasaan sungkan, bingung dan malu yang dirasakan oleh Bok Liong di saat itu. Sian Eng merasa kasihan terhadap korban kenakalan adiknya ini. Hemmm, pikirnya, pemuda ini agaknya pendiam dan baik, tentu saja bukan lawan Lin Lin. Teringat ia akan Suling Emas yang aneh wataknya dan tidak pedulian itu. Rasakan kau nanti Suling Emas, kalau sampai jumpa dengan adikku Lin Lin, bisa mati berdiri kau dipermainkan! Tiba-tiba ia teringat akan pemberitahuan Lin Lin tentang Suling Emas tadi, wajahnya berubah serius.
“Lin Lin, jangan mengganggu orang. Kita masih harus bicara banyak. Sin-ko sampai sekarang belum juga datang.”
Lin Lin sadar lalu menoleh kepada Bok Liong. “Liong-twako, jangan marah, ya? Aku juga berterima kasih padamu, lho! Kau memang baik sekali kepadaku. Sekarang aku sudah bertemu dengan Enci Sian Eng, hanya tinggal kakakku Bu Sin yang masih belum kami ketahui berada di mana. Apakah kau suka menolongku mencarinya, Twako?”
“Aku akan girang sekali kalau dapat membantumu mencari kakakmu, Lin-moi. Tentu akan kutanya-tanyakan kepada kenalanku, harap jangan khawatir.”
“Kalau begitu, aku dan Enci Sian Eng akan menanti di sini beberapa hari, menanti berita darimu tentang Sin-ko.”
“Lin Lin, Lie Bok Liong Ta...”
“... Twako...!” Lin Lin memotong.
Siang Eng merah mukanya dan memandang tamunya, kebetulan Bok Liong juga memandang. Terpaksa dua orang muda yang menjadi malu dan jengah ini tersenyum dan seketika suasana menjadi lebih wajar, rasa malu menipis.
“Baiklah! Liong-twako masih lelah, baru saja datang masa sudah kau serahi tugas lagi. Jangan keterlaluan, dumeh (mentang-mentang) orang suka menolong kau lalu menekan.”
“Ah, tidak... sama sekali tidak!” Bok Liong cepat membantah. “Ji-wi Moi-moi (Adik Berdua) tak usah sungkan. Aku sudah mendengar semua dari Lin-moi dan aku pasti akan berusaha sedapat mungkin untuk mencari berita tentang kakak kalian. Harap saja dalam waktu dua pekan ini kalian tidak pergi dari tempat ini, atau andai kata pergi dan pindah juga, memberi tahu kepada para Lo-suhu di sini sehingga kalau aku datang, aku akan dapat tahu ke mana harus menjumpai kalian untuk menyampaikan hasil usahaku mencari kakak kalian. Sekarang aku pamit dulu.”
Melihat Bok Liong memberi hormat lalu mundur dan hendak pergi, Lin Lin cepat berseru. “Twako, nanti dulu!”
“Ada apa?” Terlalu cepat Bok Liong membalikkan tubuh dan sinar yang memancarkan kasih mesra terlepas dari pada pandang mata yang awas.
“Aku pesan... kalau kau bertemu dengan jembel-jembel jahat itu....”
“Ya, lalu bagaimana?”
“Aku titip tiga pukulan atau sekali tusukan pedang.”
Bok Liong tertawa dan mengangguk-angguk.
“Dan jangan lupa, kalau kau berjumpa dia di jalan katakan...”
“Dia siapa?”
“Siapa lagi kalau bukan Suling Emas? Katakan bahwa aku menanti di kelenteng ini dan sampaikan tantanganku kepadanya!”
Sian Eng terkejut bukan main akan tetapi ia masih sempat melihat betapa wajah pemuda itu membayangkan ketidak­senangan hati. Akan tetapi Bok Liong kembali mengangguk-angguk, lalu berkata, “Baiklah, Lin-moi, dan kau... kau yang baik-baik menjaga diri... selamat berpisah sampai jumpa lagi.” Ia melompat dan pergi dari situ.
Sian Eng memperkenalkan Lin Lin kepada para hwesio kepala di kelenteng itu, kemudian mengajak adiknya masuk kamar untuk bercakap-cakap. Begitu memasuki kamar, Sian Eng menegur adiknya. “Lin Lin, kau terlalu sekali terhadap pemuda itu. Tak tahukah kau betapa dia amat mencintamu? Tapi kau selalu mempermainkan dia. Terlalu!”
“Liong-ko? Mencintaku? Tentu saja! Aku pun mencintanya, dia seperti kakakku sendiri.”
“Hush, bukan begitu. Dia mencintamu, hal ini kuyakini benar. Tapi kau... ah, kau masih anak-anak, adikku. Sudahlah, kelak kau mengerti sendiri. Eh, kau tadi bilang bertemu dengan Suling Emas. Betulkah itu? Di mana?”
“Di dekat pintu gerbang kota. Dia naik kuda, jubahnya hitam, orangnya tinggi besar, tampan dan gagah, tapi sombong!”
“Sombong?”
“Ya, sombongnya setengah mati! Agaknya dia yang telah berkali-kali menolong aku dan Liong-twako, akan tetapi dengan sembunyi-sembunyi, tidak sudi menemui kami. Uhhhhh, sombong sekali agaknya mengandalkan kepandaian dan memamerkan tampannya!”
Tiba-tiba Siang Eng memegang lengan Lin Lin. “Adikku, kau bilang dia telah menolongmu berkali-kali, akan tetapi kau memaki-maki dia dan kau malah menantangnya berkelahi? Adakah yang lebih gila dari ini? Jangan begitu, Lin Lin, pula... kau menantang seorang yang berilmu tinggi seperti Suling Emas, apamukah yang kau andalkan? Lin-moi, ketahuilah, dahulu kita mengira bahwa kita sudah memiliki kepandaian silat, kiranya sekarang kenyataan membuktikan bahwa apa yang kita miliki tidak ada artinya sama sekali.”
“Wah-wah, jangan merendah, Enci Eng! Aku tidak takut kepada Suling Emas. Ya, aku akan mencarinya, menantangnya berkelahi sampai seribu jurus. Aku tidak akan kalah. Lihat, Enci, aku bukanlah Lin Lin yang dahulu lagi!” Lin Lin menggerakkan tangan kirinya seperti melambai ke arah sebuah patung batu. Sebetulnya ia mengerahkan Khong-in-ban-kin dan melakukan jurus pukulan jarak jauh dan... patung itu terjengkang ke belakang seperti didorong oleh tenaga raksasa yang tidak tampak.
“Lihat, Enci, apa kau bisa mengikuti gerakanku?”
Sian Eng melongo menyaksikan adiknya merobohkan patung tanpa menyentuhnya, dan menjadi makin terheran-heran ketika melihat tubuh Lin Lin berkelebatan di dalam kamar yang luas itu, demikian cepat sehingga bayangannya lenyap terbungkus sinar kuning yang bergulung-gulung! Ia masih melongo dan tidak dapat mengucapkan kata-kata ketika Lin Lin sudah selesai bermain pedang dan berdiri di depan encinya sambil tersenyum bangga.
“Kau lihatlah, Enci. Adikmu ini sekarang tidak takut lagi menghadapi Suling Emas, biar pun ia berkepala tiga berlengan enam!”
“Astaga, Lin Lin, dari mana kau peroleh kepandaian itu?”
Lin Lin merangkul encinya dan sambil duduk berendeng di atas pembaringan, berceritalah Lin Lin tentang pertemuannya dengan Kim-lun Seng-jin yang ia sebut si gundul pacul, kemudian tentang pertemuannya dengan Lie Bok Liong sampai akhirnya bertemu dengan Sian Eng di kota raja. Sian Eng mendengarkan dengan penuh kekaguman, kemudian merangkul Lin Lin sambil berkata.
“Ah, aku girang sekali, Lin-moi. Kiranya orang sakti yang menolongmu telah mewariskan ilmu kepandaian hebat kepadamu! Dan kau memperoleh pula seorang sahabat yang setia dan perkasa seperti Lie Bok Liong. Syukurlah. Akan tetapi, aku masih tidak setuju akan sikapmu terhadap Suling Emas. Ketahuilah, dia itu bukan musuh kita, bukan pembunuh ayah bunda kita, malah dialah yang telah menolong Sin-ko dan aku sendiri, bahkan menurut ceritamu, dia telah pula menolong engkau dan Liong-twako.”
“Dia menolongmu dan Sin-ko? Bukan pembunuh ayah bunda kita? Coba ceritakan semua, Eng-cici!”
Sian Eng lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak mereka berpisah di atas gedung Pangeran Suma. Lin Lin merasa ngeri ketika mendengar cicinya bercerita tentang Hek-giam-lo dan ‘istana’ di bawah kuburan. Akan tetapi ia membelalakkan kedua matanya, wajahnya berubah dan meremang bulu tengkuknya ketika ia mendengar pengalaman Siang Eng di antara bangsa Khitan, betapa Sian Eng disangka Puteri Khitan. Jantungnya berdebar-debar dan tulang punggungnya terasa dingin.
“Apa yang kau alami di sana, Enci Eng? Ceritakanlah yang jelas!” desaknya dengan suara gemetar. Dan ia mendengar penuturan yang membuat degup jantungnya mengeras dan membuat hatinya yakin siapa sebetulnya dirinya, dan bahwa semua kata-kata Kim-lun Seng-jin adalah benar belaka.
“Mereka itu orang-orang yang kelihatan gagah perkasa, akan tetapi kasar dan liar, adikku. Dan anehnya... banyak wanitanya, terutama yang berada di istana rajanya, mirip... mirip dengan kau! Aku mereka sangka seorang Puteri Khitan dan... dan aku ditelanjangi untuk diperiksa punggungku, katanya Puteri Khitan mempunyai tanda di pung.... astaga, Lin Lin!” Sian Eng menjadi pucat sekali dan melompat berdiri, memandang wajah adiknya dengan mata terbelalak. “Kau... kau... punggungmu...”
“Tenanglah, Enci Eng, dan duduklah. Kau berceritalah baik-baik dan sejelasnya. Memang ada tanda tahi lalat merah di punggungku, dan agaknya, memang akulah Puteri Khitan yang mereka cari-cari itu. Aku sudah mendengar dari Kim-lun Seng-jin, tadi sengaja tidak kuceritakan kepadamu akan hal ini karena kuanggap masih rahasia. Akan tetapi, setelah mendengar ceritamu, jelas siapa yang mereka maksudkan dengan Puteri Khitan. Agaknya dahulu Ayah memungutku dari keluarga Khitan, agaknya Ibuku Puteri Mahkota Khitan yang tewas dalam perang melawan Ayah, lalu aku dipungut anak. Nah, sederhana sekali, bukan? Lanjutkanlah.”
Untuk beberapa lama Sian Eng tak dapat bicara. Dipandangnya wajah Lin Lin, kemudian dirangkul dan diciuminya adiknya itu sambil berlinang air mata. “Kau bukan seorang di antara mereka. Kau adikku! Ah, mereka begitu kejam, begitu kasar dan liar....”
Lin Lin tertawa. “Kau lihat aku baik-baik. Aku memang berbeda denganmu, Cici. Aku juga kasar dan liar, seringkali kau katakan begitu, akan tetapi aku tetap adikmu. Jangan khawatir dan teruskan ceritamu.”
Sian Eng melanjutkan ceritanya sampai ia dikubur hidup-hidup sebatas leher dan ditolong oleh Suling Emas, melakukan perjalanan dengan Suling Emas sampai ke kelenteng di kota raja ini.
Lin Lin amat tertarik dan beberapa kali ia menarik napas panjang. “Ah, alangkah senangnya melakukan perjalanan bersama orang aneh itu. Dia orang macam apa, Enci Eng? Ramahkah dia? Atau galak? Sombongkah dia seperti yang kusangka? Dan kepandaiannya bagaimana?”
Diam-diam Siang Eng terkejut. Nada suara adiknya ini demikian penuh perhatian. Ada apakah gerangan? Ia merasa khawatir kalau-kalau adiknya ini nekat saja menuduh Suling Emas membunuh ayah bunda mereka dan nekat mencari dan menentangnya bertempur.
“Dia memang orang aneh, Lin Lin. Aneh sekali dan sepak terjangnya tidak seperti manusia biasa. Kepandaiannya sukar diukur sampai di mana tingginya karena aku tidak dapat mengikuti gerak-gerik­nya. Ia pendiam, tak pernah bicara kalau tidak menjawab pertanyaan, itu pun singkat saja, hanya ya atau tidak. Wajahnya sering kali suram-muram seperti ada sesuatu yang menekan batinnya, ia sama sekali tidak ramah. Aku tak pernah melihat ia tersenyum, apa lagi tertawa. Ada satu kali dia bersenandung, suaranya cukup baik tapi menggetar penuh kesedihan. Ia tidak pernah mengajak aku bicara tentang dirinya, akan tetapi harus kunyatakan bahwa dia adalah sesopan-sopannya lelaki.”
Lin Lin amat tertarik dan matanya sayu merenung, bibirnya bergerak seperti bicara kepada diri sendiri, “Wajahnya tampan dan gagah, sikapnya angkuh... seperti raja saja dia....”
“Kau bilang apa, Lin Lin? Mengapa seperti raja?”
Lin Lin sadar dan tersenyum, “Enci Eng, bagaimana tentang Sin-ko? Katanya juga ditolong Suling Emas, tapi mana Sin-ko sekarang?”
“Menurut Suling Emas, Sin-ko berada dalam keadaan selamat, bebas dari tangan Suma Boan yang jahat. Katanya Sin-ko tentu akan ke kota raja, maka aku disuruh menanti di kelenteng ini. Tapi sampai sekarang Sin-ko belum juga muncul, malah kau yang muncul lebih dulu.”
“Mudah-mudahan Sin-ko selamat dan kita bertiga dapat berkumpul pula. Eh, bagaimana tentang kakak sulung kita, Enci Eng? Apakah kau sudah mendengar tentang dia?”
Sian Eng mengerutkan kening dan menarik napas panjang. “Berita yang kudengar tentang Kakak Bu Song tidak baik. Ketika aku dan Sin-ko diserang di rumah Suma Boan, putera pangeran itu agaknya dahulu bermusuhan dengan kakak sulung kita itu dan kemarahannya kepada kakak sulung kita ia tumpahkan kepada aku dan Sin-ko. Dan menurut Suling Emas, Kakak Bu Song itu sudah... sudah mati, katanya. Akan tetapi ia pun tidak mau bicara dengan jelas, hanya ia kelihatan seperti seorang yang membenci Kakak Bu Song.”
Lin Lin mengerutkan keningnya. “Hemm, pesan Ayah itu harus kita penuhi. Bagaimana pun juga kita harus dapat bertemu dengan Kakak Bu Song. Kalau Suma Boan membenci kakak kita itu dan membalas dendam kepada kau dan Sin-ko, berarti dia tidak tahu di mana adanya Kakak Bu Song sekarang. Sebaliknya, Suling Emas bisa mengatakan bahwa kakak kita itu mati, berarti dia tahu di mana adanya Kakak Bu Song, atau kalau memang betul sudah mati, bagaimana matinya dan di mana kuburnya. Aku akan mencarinya dan bertanya tentang kakak kita, Enci Eng.”
“Apa? Kau hendak menjumpai Suling Emas? Tak seorang pun, juga semua hwesio di sini yang memujanya, tak seorang pun tahu di mana adanya Suling Emas. Mana kau bisa mencarinya, Lin-moi? Dia seorang yang luar biasa sekali, kalau dia tidak menghendaki, tak seorang pun dapat menemuinya.”
“Wah-wah, apa dia itu melebihi raja dan malaikat? Enci Eng, kita tidak boleh mendewa-dewakan siapa pun juga. Biar seribu kali dia menolong kita kalau dia menghendaki dipuja-puja karena pertolongannya, aku tidak sudi ditolong. Kalau dia manusia biasa, kurasa aku akan dapat mencarinya!”
Sian Eng merasa khawatir sekali. Ia percaya bahwa adiknya ini sekarang telah memiliki kepandaian tinggi, jauh lebih tinggi dari pada dia atau Bu Sin sekali pun, akan tetapi karena malam itu Lin Lin memaksa hendak pergi mencari Suling Emas, timbullah rasa khawatir di hatinya. Ia cukup mengenal watak Lin Lin yang aneh dan angin-anginan. Bagaimana kalau adiknya ini kambuh gilanya dan melakukan hal yang bukan-bukan andai kata benar dapat berjumpa dengan Suling Emas? Siapa tahu Lin Lin akan menantangnya, akan menghinanya! Akan tetapi, mencegah pun ia tahu akan sia-sia belaka, apa lagi sekarang Lin Lin sudah demikian lihainya.
“Enci Eng, jangan gelisah. Aku tentu akan dapat bertemu dengannya. Kalau berjumpa, akan kusampaikan kepadanya betapa kau memuja-mujanya seperti dewa! Dan pesanku, kalau sebelum aku pulang Liong-twako datang berkunjung, sambutlah dia dan ajak ia bercakap-cakap. Dia baik sekali, Eng-cici, kiraku jauh lebih baik dari pada Suling Emas.”
“Ihhhhh, kau bicara apa itu, Lin-moi? Apa perlunya kau membanding-bandingkan dua orang laki-laki itu? Cih, tak bermalu!”
“Hik-hik, kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu! Tapi aku tahu, Enci-ku yang manis ayu, setiap detik kau membayangkan Suling Emas yang gagah perkasa!”
“Idihhhhh, genit kau!” Sian Eng mengejar hendak mencubit, akan tetapi sekali berkelebat Lin Lin lenyap di atas genteng. Hanya suaranya terdengar dari tempat gelap di atas.
“Enci Sian Eng, aku pergi dulu!”
Siang Eng menjatuhkan diri di atas pembaringan, duduk termenung. Ucapan Lin Lin yang menggodanya tadi menikam jantungnya. Benarkah bahwa dia memuja Suling Emas? Ah, bocah itu terlalu lancang, menduga yang bukan-bukan. Tentu saja ia amat kagum, dan bolehlah dikatakan ia setengah memujanya, akan tetapi hal ini adalah karena pengaruh pribadi Suling Emas yang memang hebat ditambah lagi karena ia melihat betapa seisi kelenteng memujanya. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa dia... eh, tergila-gila kepada Suling Emas. Dan ia merasa betapa dalam godaan Lin Lin tadi, oleh adiknya itu ia dianggap tergila-gila dan jatuh cinta kepada Suling Emas. Gila benar!
Bukan laki-laki luar biasa, aneh dan kadang-kadang menyeramkan itu yang menjadi pria idamannya. Suling Emas terlalu tinggi, seperti manusia setengah dewa, bukan... bukan pria macam itu yang dapat merampas kasih sayangnya. Tiba-tiba muka Sian Eng menjadi merah sekali, kedua pipinya terasa panas. Pikirannya membayangkan adegan ketika ia bertemu dengan Suma Boan, ketika ia tertawan... dan tiba-tiba Siang Eng menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu!
********************
Kita tinggalkan Sian Eng yang menangis tergoda rahasia perasaannya sendiri dan mari kita ikuti Lin Lin yang lincah, jenaka, dan tak kenal arti takut itu. Siang tadi ia melihat Suling Emas menunggang kuda memasuki kota raja dan ia merasa yakin bahwa tentu Suling Emas berada di dalam gedung perpustakaan istana, seperti yang ia dengar dari percakapan Suma Boan dan kaki tangannya bahwa kalau berada di kota raja, Suling Emas biasanya bersembunyi di dalam gedung perpustakaan istana.
Pengalamannya dengan Kim-lun Seng-jin ketika memasuki istana menyerbu dapur dan gedung pusaka merupakan pelajaran yang sekarang amat berguna bagi Lin Lin karena sekarang ia telah tahu jalan masuk yang paling aman, yaitu melalui pohon tinggi yang tumbuh di luar pagar tembok. Berkat latihan yang tak kenal lelah kini ia telah memperoleh kemajuan hebat semenjak ia menyerbu istana dengan Kim-lun Seng-jin. Oleh karena itu dengan amat mudahnya Lin Lin melompati pagar tembok dan berada di daerah istana kaisar yang amat luas itu. Ia menyelinap di dalam gelap, lalu menyusup di antara bangunan-bangunan besar.
Beberapa lama ia berputaran di antara gedung-gedung besar dan ia menjadi bingung. Teringatlah ia bahwa ia sama sekali tidak tahu di mana adanya gedung perpustakaan. Kompleks istana ini begitu luasnya sehingga untuk mencari dapur dan gedung pusaka yang dahulu pernah ia kunjungi pun sekarang ia tak sanggup lagi, sudah lupa! Celaka, pikirnya. Mengapa begini luasnya dan begini banyaknya gedung-gedung besar? Tak mungkin ia harus memeriksa setiap gedung! Apa lagi kalau diingat bahwa di daerah istana ini terdapat banyak sekali pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi seperti pernah ia dengar dari Kim-lun Seng-jin.
Karena kebingungan, akhirnya secara ngawur Lin Lin melompati sebuah pagar tembok yang tidak terlalu tinggi. Ketika ia tiba di sebelah dalam, kiranya di belakang tembok itu merupakan sebuah taman bunga yang amat indah, di mana-mana tergantung lampu-lampu teng beraneka warna, seperti kalau orang merayakan hari raya musim semi saja. Taman yang penuh bunga beraneka warna, harum semerbak baunya dan lampu-lampu itu diatur secara nyeni (artistik) sekali. Ada yang menempel pada pohon, ada yang berbentuk burung hijau hinggap di atas cabang, ada yang seperti bulan sabit tergantung di awang-awang. Jumlahnya banyak sehingga taman itu tampak terang dan indah. Di tengah-tengah taman bunga terdapat sebuah kolam ikan yang dihias bunga teratai merah putih. Air yang menyembur keluar di tengah-tengah kolam itu pun seakan-akan berwarna karena tertimpa sinar dari sekelilingnya, sinar lampu warna pelangi!
Lin Lin berdiri terpaku di atas tanah, terbelalak kagum, merasa seakan-akan berada di alam mimpi. Melihat taman itu sunyi tanpa ada seorang pun manusia di situ, ia berjalan perlahan menoleh ke kanan kiri, mengagumi keindahan yang luar biasa ini. Setiap tanaman diatur baik-baik, bahkan batu-batu yang menghias jalan kecil di taman, semua merupakan hasil seni yang hebat. Menghadapi keindahan ini, Lin Lin lupa akan maksud kunjungannya ke kompleks istana, malah ia lalu duduk termenung menghadapi kolam ikan, terkikik-kikik ketawa sendirian melihat tingkah polah ikan-ikan yang ekornya mekar dan berenang dengan gerakan megal-megol lucu sekali. Ia melihat seekor ikan emas merah mengejar-ngejar seekor ikan emas betina berwarna kuning. Ke mana-mana dikejarnya dan mereka itu berkejaran dengan megal-megol.
“Hi-hik, renangmu begitu kaku, mana mampu menyusulnya?” Ia tertawa-tawa menggunakan jari-jari tangannya yang runcing mungil untuk menggerak-gerakkan air sehingga bayangannya sendiri yang tampak di air menjadi kacau dan bergoyang-goyang. Pemandangan ini mendatangkan rasa geli di hatinya dan kembali ia tertawa.
“Kau... siapakah?”
Teguran ini halus, akan tetapi membuat Lin Lin terkejut bukan main. Ia melompat dan membalik. Seorang laki-laki yang berpakaian amat indah, berusia tiga puluh lebih, wajahnya tampan gerak-geriknya halus, berdiri di depannya sambil memandang penuh perhatian. Belum pernah selamanya Lin Lin melihat seorang pria berpakaian seindah ini. Bahkan Suma Boan putera pangeran itu pun tidak seindah ini pakaiannya, seperti pakaian anak wayang hendak main sandiwara di panggung. Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu dan wajahnya pucat, hatinya berdebar. Agaknya orang ini kaisar!
Laki-laki itu menjadi makin kagum melihat Lin Lin berdiri dengan sepasang matanya yang lebar terbelalak. Senyumnya melebar dan kembali ia bertanya. “Kau siapakah? Belum pernah aku melihatmu. Apakah kau seorang dayang baru?”
“Kau... kau...?” Lin Lin balas bertanya dengan gagap.
Laki-laki itu tertawa, suara ketawanya nyaring dan bening. “Bukan, aku bukan Kaisar, hanya Thaicu (Putera Mahkota).”
“Ahhhhh...!” Lin Lin mundur selangkah.
“Kenapa kaget? Kau siapa?” kembali pangeran itu bertanya, kini perhatiannya makin terpikat karena gadis ini sama sekali tidak menjatuhkan diri berlutut setelah mendengar bahwa dia adalah putera mahkota. Ini benar-benar aneh sekali!
“Kau... kau Pangeran yang kelak mengganti Kaisar? Kau calon Kaisar?” Sepasang mata jeli itu menjadi bundar, bening mengeluarkan sinar seperti bintang timur.
Pangeran itu tersenyum dan mengangguk, masih terheran-heran menyaksikan sikap gadis aneh ini.
“Ohhh...!”
“Kenapa?” Hampir pangeran itu meledak ketawanya yang ditahan-tahan melihat sikap dan mendengar mulut kecil mungil itu ah-ah-oh-oh seperti itu.
“Aku... aku salah masuk... aku... apakah aku harus berlutut di depanmu? Kalau diharuskan, lebih baik kau lekas minggir, biarkan aku pergi saja karena tidak biasa aku berlutut di depan orang lain kecuali ayah bundaku yang... yang sudah tiada...”
Sepasang mata pangeran itu bersinar-sinar penuh kegembiraan. Baru kali ini selama hidupnya ada orang bersikap begini ‘biasa’ kepadanya, dan hal ini menggembirakan sekali. Ia sudah jemu dan kadang-kadang muak akan sikap menjilat-jilat, sikap menghormat melewati batas yang setiap hari dilimpahkan terhadap dirinya. Sekarang menghadapi seorang gadis yang tak dikenalnya, gadis remaja cantik jelita dan betul-betul masih asli belum bau kepalsuan tata krama istana yang menjemukan, ia menjadi tertarik bukan main.
“Ah, tak usah berlutut. Kita sama-sama manusia, kan? Kau tadi bilang siapa namamu dan dari mana datangmu?”
Lin Lin menggeleng-geleng kepalanya. “Aku belum pernah bilang tentang itu kepadamu.”
Pangeran itu tersenyum geli. Cerdik juga bocah ini, pikirnya, tidak berhasil pancingannya. “Betul juga. Bolehkah aku mengetahui namamu?”
“Namaku Lin Lin.”
“Wah, nama yang indah sekali! Kau datang dari mana? Mencari siapa di sini?”
“Sebetulnya aku mau mencari gedung perpustakaan, tapi tidak tahu di mana adanya gedung itu, aku tersesat ke mari dan terpesona oleh keindahan taman ini. Apakah ini tamanmu, Pargeran?”
Bukan main! Pangeran mahkota gembira sekali. Alangkah murni dan polosnya anak ini. Segar dan menyenangkan sekali. “Betul, ini memang tamanku. Kau senang melihat ikan emas? Yang di dalam pagoda itu lebih indah, di dalam bak kaca, kau dapat melihat ikan-ikan emas pilihan yang bermain-main di dalam air dengan jelas sekali. Mari, mau lihat?”
Sikap dan suara pangeran itu amat ramah dan manis, lagi wajar sehingga Lin Lin yang masih mempunyai sifat kekanak-kanakan itu tidak dapat menahan keinginan hatinya. Akan tetapi kenyataan bahwa ia berhadapan dan bicara dengan putera mahkota calon kaisar masih membuat ia gugup, maka ia tidak menjawab hanya mengangguk.
Dengan langkah tenang perlahan pangeran itu mengajak Lin Lin menuju ke sebuah bangunan pagoda yang kecil dan indah di sebelah kiri kolam ikan, seakan-akan berjalan di dalam taman bersama seorang gadis yang sama sekali tidak memperlakukannya sebagai pangeran mahkota ini merupakan hal biasa, seakan-akan Lin Lin memang merupakan sahabatnya yang bebas dari pada segala aturan protokol. Pangeran mahkota memang mempunyai ‘hobby’ taman bunga yang indah berikut peliharaan ikan-ikan emasnya. Kalau ia berjalan-jalan menikmati keindahan taman, baik siang mau pun malam, ia tidak mau diganggu oleh para pelayan. Peraturan ini ia jalankan keras sekali karena ia paling pantang diganggu ketenteramannya bersunyi diri dan minum arak atau menulis sajak di taman sehingga pada saat itu pun tak seorang pun pelayan berani muncul di taman itu.
Begitu memasuki pagoda yang oleh pangeran mahkota disebut ‘Pagoda Ikan’, Lin Lin membelalakkan kedua matanya dan mulutnya tiada hentinya berseru kagum. Pangeran itu tersenyum gembira karena kekaguman gadis ini wajar dan sungguh-sungguh, sama sekali berbeda dengan kekaguman para tamu yang pernah diajak ke situ, yaitu kekaguman yang lebih banyak bersifat membangkitkan kesenangan dan kebanggaan hati pangeran mahkota.
Memang indah di dalam pagoda itu. Di sekelilingnya terdapat aquarium atau tempat-tempat ikan terbuat dari pada kaca, di atas dan belakangnya diterangi lampu beraneka warna sehingga di dalam air itu berubah menjadi dunia mimpi yang luar biasa. Ada pondok kecilnya, ada rumpun bambu, ada alang-alang, bahkan ada patung kecil merupakan kakek-kakek yang sedang memancing ikan. Adapun ikan-ikan emas dengan sisik beraneka warna, hilir mudik bermain-main, sisik mereka berkilauan tertimpa sinar lampu. Lin Lin sampai ternganga memandangi itu semua.
Pangeran itu menjatuhkan diri duduk di atas sebuah kursi di pojok dan ia pun menikmati pemandangan baru yang baginya tak kalah menariknya dari pada ikan-ikan di dalam kaca yang setiap malam sudah dilihatnya itu. Ia melihat keadaan gadis remaja, masih murni dan bebas lepas setengah liar, gadis yang terpesona oleh keindahan isi pagoda, tanpa sadar bahwa dirinya sendiri merupakan keindahan tersendiri yang pada saatnya akan lebih menggairahkan dari pada isi pagoda.
Setelah Lin Lin puas memandangi semua ikan, mengikuti gerak-gerik mereka sampai lebih dari satu jam lamanya, barulah ia berpaling kepada pangeran itu, menarik napas panjang melampiaskan kekagumannya dan berkata, “Hebat sekali! Aku merasa seakan-akan berada di dasar lautan!”
Pangeran itu tertawa. Perumpamaan yang tepat dan hebat. Bagus untuk permulaan sajak! Dan teringat akan pengakuan Lin Lin yang tadi hendak mencari gedung perpustakaan, tiba-tiba timbullah kecurigaan dan keheranannya. Dengan suara ramah ia bertanya, “Nona Lin Lin, kau tadi bilang bahwa kau hendak mencari gedung perpustakaan istana! Mau apakah kau mencari gedung itu? Apakah kau termasuk seorang kutu buku?”
Lin Lin cemberut. “Kutu? Aku dianggap kutu? Kalau kutunya saja besarnya seperti aku, bukunya sebesar apa?”
“Ha-ha-ha-ha-ha! Ah, Nona yang lucu, masa kau tidak tahu apa yang kumaksudkan? Kutu buku adalah sebutan bagi seorang yang hobby-nya membaca buku. Jangan kau bilang bahwa kau buta huruf.”
“Tentu saja aku bisa membaca dan menulis, akan tetapi aku tidak suka banyak baca. Terlalu lama membaca kepalaku pusing. Aku mencari perpustakaan bukan untuk membaca buku, melainkan....” Lin Lin menjadi ragu-ragu.
“Melainkan apa? Hendak mencari kitab rahasia?”
Lin Lin menganggap putera mahkota ini amat baik orangnya, maka ia pikir tidak ada salahnya mengaku terus terang, sekalian melihat apa sikap putera kaisar ini kalau tahu bahwa Suling Emas suka bersembunyi di dalam gedung perpustakaan istana kalau berada di kota raja. “Bukan, Pangeran. Sebetulnya, aku hendak mencari Suling Emas yang kurasa berada di gedung perpustakaan istana.”
Betul saja dugaan Lin Lin, pangeran itu terkejut. Akan tetapi bukan terkejut mendengar bahwa Suling Emas berada di istana, melainkan terkejut mendengar bahwa gadis ini mencari tokoh aneh itu. “Kau mencari... dia? Ah, kiranya kau seorang gadis petualang dari dunia kang-ouw! Hemmm, betul juga, kau membawa pedang. Tentu kau lihai sekali, Nona, kalau kau mengenal Suling Emas. Ya, kiranya tak perlu diragukan lagi. Kau dapat memasuki istana ini saja sudah menjadi bukti akan kelihaianmu....”
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, “Thaicu, saat kematianmu tiba!” tampak sinar menyilaukan mata menyambar ketika orang berpakaian hitam ini menerjang maju dengan pedang di tangan, langsung menyerang pangeran mahkota!
“Jangan takut!” Lin Lin berseru dan sinar kuning bergulung-gulung menyambut pedang orang itu. Terdengar suara nyaring berkali-kali ketika kedua pedang bertemu dan orang itu memekik, pedangnya patah menjadi dua bertemu dengan Pedang Besi Kuning, disusul robohnya orang itu dengan dada tertembus pedang Lin Lin!
Pangeran itu membungkuk, memungut pedang buntung penyerangnya tadi sambil berkata perlahan, “Menjemukan benar....” Ia melangkah ke luar dan saat tangannya bergerak, buntungan pedang itu meluncur ke dalam taman, lenyap di balik gerombolan bunga. Terdengar pekik kesakitan di tempat yang gelap itu.
Lin Lin terkejut dan sekali melompat ia sudah sampai di tempat itu. Apa yang dilihatnya? Seorang laki-laki berpakaian hitam, agaknya teman penyerang tadi, sudah menggeletak tewas dengan tenggorokan ditembus buntungan pedang yang disambitkan oleh pangeran mahkota!
Ketika Lin Lin kembali ke dalam pagoda, pangeran itu masih berdiri, keningnya berkerut. “Tidak enaknya menjadi keluarga istana,” katanya ketika melihat Lin Lin kembali, “sejak jaman dahulu sampai kini, selalu terjadi perebutan kekuasaan, selalu muncul pengkhianat-pengkhianat, muncul pembunuh-pembunuh gelap macam ini. Uhhh, menjemukan sekali!”
“Tapi dengan kepandaian seperti yang kau miliki, tak usah kau takut, Pangeran. Wah, kiranya kau pun amat lihai, sungguh tak kusangka!” Lin Lin memuji.
Pangeran mahkota memandang tajam. “Dan kiranya kau adalah gadis yang melakukan pencurian pedang di gedung pusaka, juga sama sekali tak kusangka!”
Lin Lin kaget. Pedang Besi Kuning yang belum ia sarungkan tadi digenggamnya erat-erat, dan ia menatap wajah pangeran itu penuh selidik. Pangeran itu tersenyum akan tetapi senyumnya mengandung kepahitan.
“Nona Lin Lin, terus terang saja, pertemuan ini mendatangkan kegembiraan besar yang belum pernah kurasai selama hidupku. Kau baik sekali, kau bagaikan bunga mawar hutan yang belum terjamah tangan dan masih segar oleh embun. Kalau saja kau dapat menjadi sahabatku selamanya. Tapi... aaah, tak mungkin itu. Kalau kau berada di sini, tentu kau pun akan menjadi seperti mereka. Karena itu, lebih baik begini saja, kita asing satu kepada yang lain. Hanya harapanku, semoga kelak kita akan masih dapat bertemu seperti sekarang ini.”
Lin Lin mendengarkan ucapan yang baginya tidak karuan ini dengan bingung. Ia tidak mengerti dan ia tidak ingin lebih lama lagi berada di tempat itu setelah pangeran itu berubah sikapnya. Ia mulai curiga.
“Lin Lin, pertemuan ini telah menjalin persahabatan kita. Sebagai sahabat yang akan sering kali mengenangmu, aku bebaskan kau. Apakah artinya sebuah pedang dibandingkan dengan persahabatan sejati? Kuhadiahkan pedang itu kepadamu! Akan tetapi, sebagai seorang Pangeran Mahkota yang harus menjaga kehormatannya, aku tidak dapat bertindak lebih jauh dan lebih banyak dari pada ini. Kau harus dapat keluar sendiri dari lingkungan Istana dengan selamat. Akan tetapi jangan harap hal itu akan mudah karena kurasa para pengawal istana sekarang sudah tahu akan kehadiranmu. Nah, selamat malam.”
“Tapi... tapi... aku hendak ke gedung perpustakaan. Di mana itu...?”
Pangeran itu tersenyum. “Kau tidak takut? Benar-benar besar nyalimu. Gedung perpustakaan berada di sebelah kiri taman ini, melalui tiga bangunan. Atapnya dari kayu besi berwarna putih, kau cari saja, tentu dapat.”
Lin Lin menyarungkan pedangnya. “Pangeran, kau seorang yang baik sekali. Sekarang berubah pendapatku bahwa semua pangeran adalah jahat belaka model Suma Boan....”
“Kau kenal Suma Boan?”
“Pedangku yang akan mengenalnya, dia musuhku!”
Pangeran itu mengangguk-angguk dan memandang dengan termenung sampai bayangan Lin Lin lenyap di balik pagar tembok. Ia lalu menoleh kepada ikan-ikannya dan berbisik. “Mudah-mudahan ia selamat!”
Pertemuan antara putera mahkota dan Lin Lin tanpa disengaja ini diceritakan di sini karena hal yang kelihatan remeh inilah yang menjadi sebab mengapa kelak setelah pangeran ini menjadi kaisar, permusuhan antara pemerintahnya dan Kerajaan Khitan berhenti dan berubah menjadi persahabatan.....
Lanjut ke jilid 10

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)