MUTIARA HITAM : JILID-10


Diam-diam pemuda itu kagum sekali. Gadis ini lihai, lincah, wajar dan belum terusak tata susila palsu, di samping ini, juga pemberani sekali dan cerdik. Teringatlah dia akan adegan di warung yang terletak di lereng Bukit Lu-liang-san. Pemuda Thian-liong-pang itu tampan sekali dan lihai. Pantas saja tergila-gila kepada gadis ini. Siapa orangnya yang takkan tergila-gila?
“Betul sekali dugaanmu. Mendiang ayahku adalah Yu Kang Tianglo. Namaku Siang Ki, Yu Siang Ki, pengemis muda sebatang kara, kalau saja Nona sudi mengetahui dan mengenalku.” Ia menjura dengan sikap hormat.
Kwi Lan membalas penghormatan itu sambil tertawa, “Ihh, kau lucu! Mengapa tidak suka berkenalan? Gerakan tongkatmu tadi hebat luar biasa. Biar pun pakaianmu pakaian jembel, namun engkau bukan seorang kotor! Yu Siang Ki, namaku Kwi Lan, Kam Kwi Lan. Akan tetapi ada badut yang menyebutku Mutiara Hitam!”
Pengemis muda itu mengangkat muka memandang, sinar matanya penuh dugaan. “Engkau she Kam, Nona?”
“Benar, kenapakah?”
“Aih, tidak apa-apa, hanya... mengapa begitu kebetulan? Eh, Nona Kwi Lan...”
“Wah, kau menjemukan benar, menyebutku nona-nonaan segala! Semua orang yang menjadi sahabatku menyebutku Kwi Lan begitu saja atau... Mutiara Hitam.”
“Tapi aku... bukan sahabat....”
“Hemm, bagus, ya? Kalau tidak suka bersahabat, mengapa mengobrol sejak tadi? Engkau tak mau bersahabat? Nah, selamat berpisah!” Kwi Lan sudah membalikkan tubuh hendak pergi.
“Eh... maaf, bukan begitu maksudku. Aku... tadinya merasa terlalu rendah menjadi sahabatmu, tapi... baiklah, Kwi Lan, jangan kau marah-marah. Mengapa kau begini gampang marah?”
Kwi Lan tertawa. “Memang aku gampang marah gampang gembira! Nah, sekarang lanjutkan, kalau aku she Kam, mengapa kebetulan?”
“She-mu mengingatkan aku akan seorang yang kujunjung tinggi, seorang pendekar sakti yang selain menjadi sahabat baik mendiang ayahku, juga menjadi tokoh besar dunia kang-ouw yang tadi pun disebut-sebut oleh mereka sebagai musuh nomor satu. Dia adalah Suling Emas!”
“Eh, dia she Kam?”
Siang Ki mengangguk. “Menurut penuturan ayahku, Suling Emas bernama Kam Bu Song. Kwi Lan, melihat keadaanmu yang luar biasa, ilmu kepandaianmu yang lihai, dan shemu Kam, siapa yang takkan menghubungkan engkau dengan Suling Emas? Apakah engkau puterinya? Ataukah keponakannya?”
Kwi Lan menggeleng kepala, mukanya membayangkan kekecewaan. Kalau saja benar demikian, bahwa dia puteri seorang sakti seperti Suling Emas, alangkah akan menyenangkan dan membanggakan! Akan tetapi kenyataannya bukan demikian. Dia puteri Ratu Khitan, dia seorang Khitan yang dianggap bangsa liar!
“Bukan, aku bahkan sama sekali tidak kenal dan tidak pernah melihat bagaimana macamnya Suling Emas.”
“Ah, sayang sekali. Alangkah akan senang hatiku andai kata engkau benar-benar puterinya, karena aku pun sedang mencarinya. Aku sendiri pun belum pernah berjumpa dengan Suling Emas, akan tetapi Ayah berpesan bahwa dalam usahaku membersihkan dunia pengemis dari oknum-oknum jahat, sebaiknya aku mohon pertolongan Suling Emas. Bolehkah aku mengetahui siapa orang tuamu?”
Mereka tiba di depan sebuah anak sungai yang amat jernih airnya. Hutan kecil di kaki gunung Cheng-liong-san itu amat indah dan sunyi. Bunyi air mengalir di antara batu-batu menjadi dendang yang aneh namun merdu. Kwi Lan lalu duduk di tepi sungai, di atas batu yang halus licin. Yu Siang Ki menanggalkan topinya dan mengebut-ngebutkan topi ke arah leher. Sejuk dan nyaman sekali duduk di tepi anak sungai itu.
“Aku sendiri tidak tahu siapa orang tuaku,” kata Kwi Lan sambil memandang air dengan pandang mata melamun. “Semenjak aku masih bayi, aku dirawat guruku.”
Yu Siang Ki memandang dengan hati iba. Dia sendiri sudah tidak punya ayah dan ibu, akan tetapi sedikitnya ia sudah menikmati hidup di samping orang tuanya. Gadis ini sama sekali tidak tahu siapa ayah bundanya, seorang gadis yang patut dikasihani.
“Ah, gurumu tentulah seorang sakti yang luar biasa. Siapakah julukannya yang mulia?”
“Guruku tidak mempunyai julukan apa-apa, selamanya menyembunyikan diri, dan aku hanya mengenalnya sebagai Bibi Sian. ilmu kepandaiannya memang luar biasa hebatnya, akan tetapi dia orang biasa saja.” Kwi Lan memang sengaja tidak mau menyebut nama bibinya karena bibinya adalah seorang aneh yang tidak suka dikenal namanya. Juga ia tidak mau menimbulkan keheranan lagi kepada pengemis muda ini dengan memberitahukan bahwa bibi atau gurunya itu pun she Kam!
Yu Siang Ki menarik napas panjang. “Memang banyak orang sakti aneh di dunia ini yang mengasingkan diri tidak mencampuri urusan dunia ramai. Gurumu tentu seorang di antara mereka dan melihat kepandaianmu, tentu gurumu seorang yang amat pandai.”
Kwi Lan tertawa. “Yu Siang Ki, engkau belum pernah bertanding denganku, belum pernah melihat kepandaianku, akan tetapi sudah berkali-kali memuji! Guruku memang lihai, akan tetapi tidaklah terlalu aneh. Orang-orang sakti seperti Pak-kek Sian-ong dan Lang-kek Sian-ong itu barulah patut disebut orang-orang sakti dan aneh luar biasa.”
Siang Ki terkejut dan cepat menatap wajah gadis itu dengan penuh perhatian. “Apa? Engkau pernah berjumpa dengan kedua Locianpwe itu? Mengenal mereka?”
Kwi Lan mencibirkan bibirnya. Hatinya masih mengkal kalau ia teringat kepada dua orang kakek itu, menganggap mereka itu keterlaluan sekali sikapnya terhadap Siangkoan Li, “Tentu saja aku sudah pernah bertemu dengan dua orang tua bangka seperti monyet!”
“Aiihhh... Kwi Lan, bagaimana engkau berani...?”
“Memaki mereka monyet? Di depan mereka pun aku berani memaki-maki mereka. Boleh jadi mereka lihai dan aneh, akan tetapi mereka itu layak dimaki, dan seandainya aku memiliki ilmu kepandaian seperti Bu Kek Siansu, tentu mereka berdua itu sudah kuberi pukulan seorang satu sampai kapok!”
Kini Siang Ki memandang bengong. Makin lama gadis ini makin mengherankan! “Kau... kau pernah berjumpa pula dengan... dengan Bu Kek Siansu?”
Kwi Lan mengangguk, bangga melihat keheranan pengemis muda ini.
Tanpa disadarinya, Siang Ki memegang lengan gadis itu erat-erat dan dengan penuh gairah ia bertanya. “Benarkah itu, Kwi Lan? Benarkah ada manusia dewa itu? Aku hanya mendengar namanya seperti dongeng yang diceritakan ayah!”
“Mengapa aku berbohong? Aku sudah melihatnya, dan memang kakek tua renta itu lihai dan aneh akan tetapi juga goblok!”
Kali ini sepasang mata Siang Ki memandangi muka Kwi Lan dengan penuh curiga dan keraguan. Gadis ini berani memaki Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, hal itu sudah merupakan sesuatu yang tak masuk akal dan terlalu luar biasa karena sebagian besar orang kangouw, menyebut nama dua orang kakek ini pun dengan berbisik-bisik. Akan tetapi sekarang gadis ini tidak hanya berani memaki mereka, bahkan berani mengatakan bahwa Bu Kek Siansu goblok!
Ini sudah keterlaluan sekali. Nama Bu Kek Siansu sudah disanjung-sanjung oleh semua pendekar, dianggap guru besar yang setarap dengan Tat Mo Couwsu, dan juga disegani semua tokoh dunia hitam, dianggap seperti manusia dewa yang entah sudah berapa ratus tahun usianya. Akan tetapi gadis ini menyebutnya goblok! Kalau tidak mendengar dengan kedua telinganya sendiri, tak mau Siang Ki mempercayai hal ini.
“Kwi Lan, maukah engkau menceritakan kepadaku tentang perjumpaanmu dengan tiga orang kakek sakti itu?” Dengan penuh gairah pemuda ini berkata sehingga membangkitkan semangat Kwi Lan untuk menceritakan pengalamannya bersama Siangkoan Li.
Ketika mendengar penuturan itu, Yu Siang Ki menghela napas panjang dan berulang kali ia mengangguk. “Ah, kalau begitu keliru persangkaanku. Patut dikasihani keadaan Siangkoan Li dan biarlah kelak aku akan membantunya jika keadaan mengijinkan. Keadaan antara dia dan aku banyak persamaannya. Dia bertugas membangun dan membersihkan Thian-liong-pang sedangkan aku harus membangun kembali dan membersihkan Khong-sim Kai-pang dan kaum pengemis. Kalau benar seperti yang kau ceritakan bahwa kedua orang Sian-ong itu sudah ditundukkan dan berjanji kepada Bu Kek Siansu untuk memihak kebenaran, kita boleh bernapas lega, Kwi Lan. Hanya orang-orang seperti mereka itulah yang kelak akan sanggup membendung datangnya iblis-iblis jahat yang akan menguasai dunia persilatan.”
“Yu Siang Ki, aku sudah terlalu banyak cerita. Sekarang kau ceritakanlah pengalaman dirimu, tentang ayahmu yang terkenal itu dan tentang kau sendiri.”
Memang begitu berjumpa, Yu Siang Ki merasa suka dan cocok sekali dengan gadis yang wajar dan polos ini. Apa lagi ketika mengetahui bahwa Kwi Lan she Kam. Biar pun tidak ada hubungan dengan Kam Bu Song si Suling Emas, namun persamaan she ini saja sudah menambah rasa suka di hatinya karena semenjak kecil memang Siang Ki sudah memuja nama Suling Emas yang dipuji-puji selalu oleh ayahnya. Kini mendengar permintaan gadis ini tanpa ragu-ragu lagi ia lalu bercerita.
Yu Kan Tianglo adalah seorang tokoh partai pengemis Khong-sim Kai-pang. Ia putera Ketua Khong-sim Kai-pang akan tetapi semenjak kecil menghilang dan mempelajari ilmu silat tinggi. Setelah berusia tiga puluh tahun ia muncul dan mencari musuh besar yang membunuh ayahnya, yaitu seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang menjadi raja pengemis, It-gan Kai-ong. Di dalam usahanya yang amat sukar ini karena It-gan Kai-ong memiliki kesaktian yang hebat, ia mendapat bantuan Suling Emas sehingga akhirnya berhasil membunuh tokoh iblis itu.
Semenjak itu, Yu Kang Tianglo tidak pernah lagi muncul di dunia kang-ouw. Biar pun secara diam-diam ia masih suka kadang-kadang mengadakan hubungan dengan para pimpinan kai-pang, namun ia sendiri mengasingkan diri dan beberapa tahun kemudian menikah dengan puteri seorang sahabatnya, juga seorang pendekar silat yang mengasingkan diri. Dari pernikahan ini lahirlah Yu Siang Ki.
Akan tetapi sungguh malang nasib Yu Kang Tianglo. Ketika melahirkan, isterinya meninggal dunia. Hal ini terjadi karena tempat tinggal mereka yang menyendiri di lereng bukit Thai-hang-san, jauh dari tetangga sehingga pada saat melahirkan tidak ada satu orang pun yang membantu nyonya muda yang belum berpengalaman ini.
Yu Kang Tianglo sendiri tidak berada di rumah, sedang pergi mencari pembantu. Ketika ia pulang ke pondok bersama seorang wanita yang biasa membantu orang melahirkan, isterinya telah menggeletak tak bernyawa di samping seorang bayi yang menangis keras. Isterinya mati karena kehabisan darah!
Yu Kang Tianglo hidup dengan hati mengandung kedukaan besar. Ia makin tak mau lagi muncul di dunia ramai. Hidupnya dicurahkan untuk merawat dan mendidik Siang Ki, sehingga ketika pemuda ini berusia dua puluh tahun, ia telah mewarisi semua kepandaian ayahnya! Betapa pun juga, Yu Kang Tianglo tak pernah mau mengingkari asal-usulnya sebagai putera kai-pang (perkumpulan pengemis) sehingga bukan hanya dia, bahkan puteranya pun semenjak kecil diharuskan memakai pakaian yang dihias tambal-tambalan seperti pakaian pengemis.
“Demikianlah, Kwi Lan. Ketika ayah mendengar bahwa dunia pengemis kembali rusak dan terancam hebat oleh tokoh-tokoh sesat sehingga banyak pengemis dibawa menyeleweng, ayah menjadi kaget dan marah sekali. Hal ini sungguh menjadi malapetaka. Jantung ayah yang selalu lemah dan sakit-sakit semenjak ibu meninggal dunia, mendapat serangan yang membawa ayah meninggal dunia pula. Ayah hanya berpesan agar aku mewakili ayah untuk menolong kaum pengemis, terutama sekali Khong-sim Kai-pang.”
Kwi Lan mendengarkan penuturan itu dengan hati penuh iba. Kiranya pemuda ini juga bernasib buruk di waktu kecilnya, tidak ada bedanya dengan Tang Hauw Lam mau pun Siangkoan Li, semenjak kecil sudah dirundung malang dan kini hidup sebatang kara di dunia.
“Saudara Siang Ki, karena engkau selalu melakukan perantuan di dunia kang-ouw, kulihat engkau mengenal semua tokoh kang-ouw yang sakti-sakti dari golongan hitam mau pun putih. Karena ayahmu adalah sahabat baik pendekar sakti Suling Emas, tentu engkau tahu baik tentang riwayat pendekar itu.”
“Aku hanya mendengar dari penuturan mendiang ayah. Biar pun hatiku amat kepingin, namun belum pernah aku mendapat kehormatan berjumpa dengan pendekar itu.”
“Dalam percakapan kaum sesat di puncak Cheng-liong-san tadi, aku mendengar mereka menyebut-nyebut nama Ratu Khitan yang katanya masih sanak dekat dengan Suling Emas, bahkan katanya menjadi... eh, kekasihnya. Tahukah engkau akan hal itu?”
Yu Siang Ki menggeleng kepalanya. “Ayah tidak tahu akan hal itu. Aku pun tidak tahu benar. Yang kutahu bahwa Ratu Khitan kabarnya juga memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, dan aku pernah mendengar pula dari luaran bahwa ratu itu dahulu menjadi adik angkat Suling Emas. Tentang hubungan asmara di antara mereka, aku tidak tahu. Yang pasti, sampai sekarang Suling Emas tidak pernah menikah, juga Ratu Khitan yang kabarnya cantik jelita itu sampai sekarang tak pernah menikah.”
Berdebar jantung Kwi Lan. Berdebar dan merasa tidak enak. Menurut kata Bibi Sian gurunya, dia adalah puteri Khitan. Kalau Ratu Khitan tidak pernah menikah, bagaimana ia bisa menjadi puterinya? Siapakah ayahnya?
“Ah, bagaimana mungkin seorang ratu tidak menikah?” Ia pura-pura merasa heran dan bertanya. “Bukankah seorang raja atau ratu itu membutuhkan keturunan untuk kelak diwarisi tahta kerajaan?”
Yu Siang Ki mengangguk-angguk. “Aku tidak tahu mengapa Ratu Khitan yang terkenal itu tidak menikah. Akan tetapi aku mendengar dari para pedagang keliling yang sering kali mengembara ke Khitan bahwa sesungguhnya ia tidak menikah namun Ratu Khitan mempunyai seorang putera angkat. Agaknya putera angkatnya itu pun telah mewarisi kepandaian ibunya. Namanya Pangeran Talibu, dan sudah beberapa kali pangeran itu mengadakan perjalanan ke selatan. Ilmu silatnya tinggi, orangnya tampan bukan main dan sebentar saja namanya pun terkenal sebagai seorang yang tangguh.”
Makin tidak nyaman rasa hati Kwi Lan. Kalau benar seperti yang dituturkan gurunya secara singkat sekali bahwa dia puteri Ratu Khitan, mengapa ia sejak kecil ikut Bibi Sian? Mengapa Ibu kandungnya sendiri tidak merawat dan mendidiknya, bahkan mengangkat seorang putera? Apakah karena aku perempuan? Makin penasaran rasa hati Kwi Lan sehingga tampak mukanya kemerahan, matanya menyinarkan api kemarahan.
“Kau kenapakah?” Siang Ki yang berpemandangan tajam itu menegurnya.
“Tidak apa-apa. Tahukah kau di mana aku bisa bertemu dengan Suling Emas?”
Siang Ki makin terheran. “Kau tadi bilang bahwa kau tidak mempunyai hubungan dengan Suling Emas, mengapa sekarang hendak bertemu dengannya?”
Kwi Lan sudah dapat menekan perasaannya. Ia tersenyum dan menjawab. “Puji-pujian yang kudengar mendorong hatiku untuk melihat bagaimana macamnya pendekar besar itu. Di manakah dia berada sekarang?”
“Aku sendiri pun mencari-carinya, Kwi Lan. Tidak mudah mencari seorang tokoh penuh rahasia seperti Suling Emas. Aku hendak pergi ke Kang-hu, mengunjungi pusat dari Khong-sim Kai-pang. Setelah aku memperkenalkan diri, kiranya para tokoh Khong-sim Kai-pang ada yang tahu di mana adanya Suling Emas yang merupakan sahabat baik itu.”
Hati Kwi Lan kecewa mendengar bahwa pemuda yang luas pengalamannya ini pun tidak tahu di mana adanya Suling Emas. Ia harus bertemu dengan Suling Emas. Harus ia tanyai pendekar itu tentang ibu kandungnya. Kalau memang betul bahwa ibu kandungnya itu seorang wanita tak tahu malu seperti yang dibicarakan oleh para kaum sesat, ia tidak usah melanjutkan keinginan hatinya pergi menemui ibunya itu. Di samping ini, ia pun tertarik untuk menyaksikan bagaimana keadaan perkumpulan pengemis golongan putih yang menjadi musuh pengemis-pengemis golongan hitam. Ingin ia bertemu dengan tokoh-tokoh dan pendekar-pendekar besar yang ia percaya tentu akan ia jumpai kalau ia mengikuti pengemis muda ini.
“Aku ikut!” Tiba-tiba ia berkata.
Siang Ki memandang terkejut. “Apa maksudmu? Ikut...?”
“Ya, aku ikut bersamamu dengan harapan agar kau dan Khong-sim Kai-pang akan dapat membantuku mempertemukan dengan Suling Emas. Atau... barangkali engkau tidak suka mengajak aku.” Sepasang mata gadis itu memandang penuh selidik, bahkan mengandung tantangan.
Mau tidak mau Siang Ki tersenyum. Gadis ini benar-benar lincah dan wajar, asli dan menyenangkan. Ia mengangguk dan berkata lirih, “Bukan aku yang tidak suka melakukan perjalanan bersamamu, Kwi Lan. Sebaliknya aku bersangsi apakah engkau akan betah melakukan perjalanan di samping seorang pengemis sehingga derajatmu terseret turun dan dipandang rendah serta dihina orang.”
“Karena kau seorang yang berpakaian pengemis? Huh, hendak kulihat siapa berani menghinaku kalau aku berjalan bersamamu! Mengukur manusia bukan dari pakaiannya, bukan pula dari kata-katanya, melainkan dari perbuatannya! Hal ini kuketahui benar setelah merantau.”
Pengemis muda itu memandang dengan wajah berseri dan mulut tersenyum. “Dan engkau akan masih belajar banyak, Kwi Lan, dan akan mendapatkan kenyataan-kenyataan yang banyak pula. Hidup ini belajar, dan sebelum mati takkan pernah habis hal-hal yang perlu kita pelajari. Nah, mari kita berangkat ke kota Kang-hu.”
Demikianlah, untuk ke tiga kalinya Kwi Lan melakukan perjalanan bersama seorang pengemis tampan yang lihai dan sifatnya jauh lagi bedanya dengan dua orang pemuda yang pernah dikenalnya. Kalau Tang Hauw Lam pemuda berandalan yang selalu riang gembira itu memandang hidup dari segi yang lucu dan menggembirakan, sedangkan Siangkoan Li memandang hidup dari segi yang penuh kedukaan, kekecewaan dan penuh perjuangan, adalah pemuda ke tiga ini seorang pemuda yang sikapnya seperti orang tua, sudah masak, berpemandangan luas banyak pengalaman hidup dan memandang dunia dengan sepasang mata yang penuh pengertian. Tiga orang pemuda yang ketiganya sama lihai, entah mana yang paling tinggi ilmunya, dan yang masing-masing memiliki sifat-sifat menarik dan baik. Tiga pemuda perkasa yang begitu berjumpa dengan Kwi Lan telah memperlihatkan rasa suka dan sayang.....
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Suling Emas, semenjak dalam buku jilid pertama. Dua orang tokoh pengemis Khong-sim Kai-pang yang bernama Gak-lokai dan Ciam-lokai, dengan penuh keyakinan mengira bahwa Suling Emas adalah Yu Kang Tianglo dan mohon kepada ‘Yu Kang Tianglo’ ini untuk menolong kaum pengemis yang terancam keselamatannya oleh kaum sesat. Setelah mendengar permintaan mereka berdua, akhirnya Suling Emas menyanggupi untuk datang ke Kang-hu mengunjungi Khong-sim Kai-pang sebagai Yu Kang Tianglo!
Ada dua hal yang menyebabkan Suling Emas menerima permintaan ini. Pertama karena mengingat akan persahabatannya dengan Yu Kang Tianglo sehingga ia ingin sekali menyelamatkan Khong-sim Kai-pang dari tangan orang-orang sesat. Ke dua, karena ia sedang dikejar-kejar oleh para orang-orang suruhan Ratu Yalina dari Khitan yang minta kepadanya untuk datang ke Khitan. Hatinya ingin sekali pergi ke Khitan melepaskan rindu terhadap kekasihnya, Lin Lin atau Ratu Yalina. Akan tetapi keinginan ini ia tekan dengan anggapan bahwa kepergiannya ke Khitan berarti merendahkan derajat ratu yang di junjung tinggi oleh bangsa Khitan itu. Tidak, ia harus berkorban.
Dengan menyamar menjadi Yu Kang Tianglo dan menutupi mukanya dengan sapu tangan, tentu akan membebaskannya dari pada pengejaran orang-orang Khitan itu. Karena kini menghadapi sebuah tugas yang penting, maka hati dan pikiran Suling Emas tidak lagi terlalu ditekan oleh kenang-kenangan pahit sehingga tubuhnya menjadi lebih segar dan bersemangat.
Memang tubuh pendekar sakti ini sudah amat kuat dan kebal terhadap segala penderitaan. Hanya kalau terlalu merana hatinya, teringat akan kegagalan-kegagalan cinta kasih yang meremukkan jiwanya, maka jantungnya menjadi tidak kuat dan ia suka terbatuk-batuk. Akan tetapi sekali ia sudah dapat mengatasi kedukaan ini, tubuhnya menjadi sehat kembali.
Kuda merah kurus yang menjadi kawan satu-satunya dan menjadi kuda tunggangan Suling Emas yang setia, berjalan perlahan. Setelah tiba di depan pintu gerbang kota Kang-hu sebelah barat, Suling Emas menarik napas panjang. Entah sudah berapa belas tahun ia tak pernah lewat kota ini yang dahulu dikenalnya amat baik.
Ia menaikkan sapu tangan dan menundukkan topi bututnya untuk menyembunyikan muka, kemudian melanjutkan perjalanan untuk pergi ke kuil yang menjadi markas besar perkumpulan pengemis, Khong-sim Kai-pang. Ia harus memasuki kota Kang-hu dan keluar lagi dari kota itu melalui pintu sebelah timur karena kuil itu berada di luar kota sebelah timur.
Kota Kang-hu tidak ada perubahan. Bangunan-bangunannya, toko-tokonya, masih seperti dulu saja. Namun ia tahu bahwa penduduknya sudah berubah. Orang-orang muda yang dahulu telah menjadi tua, seperti dia. Pekerjaan orang-orang tua sudah diganti yang muda, yang dahulu masih kanak-kanak atau bahkan belum terlahir. Oleh karena penggantian satu generasi ini, maka Suling Emas melihat betapa ia tidak mengenal seorang pun di antara orang-orang yang lalu-lalang atau berada di dalam warung dan toko.
Hatinya menjadi lega, maka ia melepas sapu tangan yang menutupi mukanya. Hanya kalau perlu saja, agar jangan dikenal orang, ia menutupi mukanya. Kalau memang tidak ada yang mengenalnya, ia tidak perlu menutupi mukanya karena hal ini malah akan menimbulkan kecurigaan.
Seorang laki-laki tua di atas kuda kurus dan buruk bukanlah penglihatan yang aneh di kota itu, maka tak seorang pun memperhatikan Suling Emas. Semua orang menganggap dia ini seorang petani tua miskin yang mungkin hendak mencari sanaknya di kota atau hendak berbelanja.
Ketika tiba di sebuah jalan simpang tiga di dekat pintu gerbang timur, Suling Emas menghentikan kudanya di depan sebuah warung. Ia teringat bahwa warung ini dahulu amat terkenal dengan masakan bakminya yang lezat dan murah. Perutnya memang sudah lapar, maka ia ingin makan di warung ini. Seperti yang telah diduganya, juga penjaga kedai bakmi ini sudah terganti orang lain semua. Akan tetapi meja-mejanya masih seperti dahulu, menjadi hitam mengkilap saking tuanya dan setiap hari terkena minyak. Dengan hati lega Suling Emas mengambil tempat duduk di sudut menghadap ke pintu masuk. Senang juga melihat betapa dugaannya tepat, kedai bakmi itu masih dikunjungi banyak tamu karena bakminya. Buktinya, belasan orang tamu yang memenuhi tempat itu semua menggerakkan sumpit makan bakmi!
Ia memesan bakmi dan arak, kemudian makan dengan enaknya. Betapa pun juga, karena ia berada dekat markas Khong-sim Kai-pang dan maklum bahwa mulai dari kota inilah ia akan menghadapi hal-hal yang pelik, Suling Emas memasang mata dengan waspada. Ia sengaja tidak menurunkan topi bututnya dan mengintai dari balik topinya sambil makan bakmi dan minum arak. Tidak ada sesuatu yang ganjil di antara para tamu yang makan bakmi.
Hanya di sudut kanan ada tiga orang laki-laki berpakaian seperti ahli-ahli silat, agaknya mereka ini adalah piauwsu-piauwsu (pengantar kiriman) yang lewat di Kang-hu dan makan di kedai ini. Yang seorang sudah berusia lima puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka merah. Yang dua orang adalah pemuda-pemuda berusia dua puluh lima tahun, bersikap gagah dan hormat terhadap yang tua itu. Di pinggang mereka tampak gagang pedang. Melihat sikap mereka itu tidak sombong dan bicara dengan sopan dan perlahan, Suling Emas tahu bahwa mereka ini adalah orang baik-baik. Logat bicara mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang selatan.
Setelah habis semangkok bakmi, Suling Emas minta semangkok lagi. Perutnya amat lepar, sudah dua hari ia tidak makan. Juga ia minta tambah arak. Pelayan kedai curiga. Orang tua ini pelahap benar, dan pakaiannya seperti pengemis, atau paling hebat juga seorang dusun yang miskin.
“Lopek harap bayar dulu,” kata si Pelayan dengan suara perlahan. Kalau sampai orang ini terlalu banyak makan minum kemudian tidak dapat membayarnya, dia juga tidak terlepas dari tanggung jawab dan selain mendapat teguran, sedikitnya ia harus menanggung separoh harga makanan dan minuman itu!
Suling Emas tersenyum. Ia dihina, akan tetapi ia maklum mengapa pelayan mencurigainya. Ia tidak merasa terhina karena ia tahu akan dasar sikap pelayan itu. Tanpa berkata sesuatu ia mengeluarkan sepotong perak dan memberikannya kepada si Pelayan.
Melihat perak yang cukup besar ini, si Pelayan mengubah sikap membungkuk-bungkuk dan berkata, “Biar nanti sajalah, Lopek. Saya ambilkan tambahanmu.”
Si Pelayan pergi dan Suling Emas menyimpan peraknya sambil tersenyum pula. Semenjak ia muda dahulu sampai sekarang, generasi telah berganti namun watak manusia masih sama saja. Hidup manusia sudah tidak sewajarnya lagi. Hati dan pikiran manusia diselubungi hawa keduniaan sehingga orang mempercaya orang lain bukan berdasarkan pribadinya, namun berdasarkan harta dan kedudukannya. Orang menghormat orang lain bukan berdasarkan sikap pribadinya, melainkan berdasarkan bagusnya pakaian dan padatnya kantung. Manusia sudah tidak dapat menguasai dirinya sendiri yang sudah sepenuhnya dikuasai harta benda dan kedudukan. Manusia hanyalah abdi-abdi nafsu kesenangan yang amat lemah dan menyedihkan!
Ketika pelayan itu membawa bakmi dan arak tambahan yang dipesannya, tiba-tiba terdengar ribut-ribut di pintu kedai. Si Pelayan menoleh dan ketika ia melihat dua orang pengemis di pintu itu yang marah-marah dan memaki-maki, ia cepat-cepat lari ke dalam dengan muka pucat. Suling Emas menoleh dan diam-diam ia terkejut ketika melihat dua orang pengemis setengah tua yang berdiri di depan pintu itu.
Dua orang pengemis ini menaruh tangan kiri di atas dada sedangkan tangan kanan membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuk di atas kepala. Itulah tanda bahwa mereka berdua adalah anggota-anggota Khong-sim Kai-pang! Mau apakah dua orang Khong-sim Kai-pang datang ke kedai ini dengan sikap demikian aneh?
“Mana pemilik kedai? Hayo lekas keluar!” bentak seorang di antara mereka dengan suara galak. Kini mereka sudah menurunkan kedua tangan, memegang tongkat yang tadi mereka kempit.
Tak lepas dari pandang mata Suling Emas betapa para tamu kelihatan gelisah melihat dua orang pengemis ini, seperti takut-takut. Sejak kapankah anggota-anggota Khong-sim Kai-pang bersikap galak seperti ini dan ditakuti orang?
Dari dalam kedai berlari-lari keluar seorang berjubah hitam panjang, tubuhnya kecil kurus dan kumisnya panjang sampai ke dagunya. Jelas tampak orang ini ketakutan. Sambil membungkuk-bungkuk dan memaksa senyum sehingga tampak giginya yang hitam karena tembakau, ia menghampiri dua orang pengemis itu sambil berkata, “Ah, kiranya Ji-wi dari Khong-sim Kai-pang! Silakan duduk!”
“Tak usah banyak jual omongan manis. Kami datang bukan menghendaki bakmimu yang busuk dan arakmu yang bau! Engkau Lai Keng pemilik kedai ini?”
“Be... betul..., ada apakah, Taihiap...?”
Diam-diam Suling Emas geli juga mendengar, si Pemilik Kedai menyebut Taihiap (Pendekar Besar) kepada anggota Khong-sim Kai-pang itu.
“Huh, engkau benar-benar memandang rendah kepada kami, ya? Ketika kemarin seorang anggota rendahan kami datang minta derma sepuluh tail, kenapa hanya kau beri uang kecil? Engkau berani menghina kami?”
“Ah, tidak sama sekali.... Mana saya berani? Ketahuilah, harap Ji-wi suka mempertimbangkan. Perdagangan sekarang sepi, dan pula keuntungannya habis dipakai bayar pajak pemerintah, bagaimana saya sanggup menderma sepuluh tail perak? Harap Ji-wi sudi mempertimbangkan....”
“Tidak laku, ya? Sepi kau bilang? Begini banyak tamu kau bilang sepi!” bentak pengemis kedua.
“Benar, ada juga yang datang berbelanja, namun keuntungannya tipis sekali....“
“Banyak alasan! Kalau kau naikkan harganya setiap mangkuk, bukankah kau bisa mendapatkan banyak untung dan tidak berat menyumbang sepuluh tail? Pendeknya, tak usah banyak cerewet. Kami Khong-sim Kai-pang bukannya orang-orang yang boleh dihina. Kalau kau sekarang tidak mengeluarkan sepuluh tail, jangan harap kau akan dapat membuka lagi kedaimu ini!” Sambil berkata demikian, seorang di antara para pengemis itu menggerakkan tongkatnya ke bawah dan....
“Ceppp...!” tongkat itu amblas masuk ke dalam lantai sampai setengahnya lebih!
Si Pemillk Kedai menjadi pucat wajahnya dan tubuhnya menggigil. Dengan suara bercampur isak ia berkata, “Kalau begini... bakal bangkrut....”
“Kau pilih saja. Bangkrut atau mampus!”
Keadaan sudah memuncak dan pada saat itu terdengar orang menggebrak meja sambil berseru, “Bangsat tak tahu malu! Dari mana datangnya pengemis-pengemis yang begini kurang ajar?!”
Ternyata yang menggebrak meja dan marah-marah ini adalah tiga orang piauwsu tadi yang kini sudah bangkit berdiri dan menghampiri dua orang pengemis yang berdiri di luar pintu. Piauwsu setengah tua bermuka merah tadi kini menudingkan telunjuknya kepada dua orang pengemis sambil membentak,
“Kalian ini golongan apakah? Melihat sikap dan pakaian seperti pengemis-pengemis yang biasanya mencari sisa makanan di kedai-kedai atau minta sedekah kepada orang yang lewat. Akan tetapi ternyata kalian lebih rendah dari pada pengemis mau pun perampok. Pengemis tidak minta secara paksa sedangkan perampok tidak akan berkedok pengemis!”
Dua orang pengemis itu saling pandang, kemudian mereka memandang piauwsu itu dengan mata melotot lebar. “Apa kamu mencari mampus berani mencampuri urusan kami dua orang anggota Khong-sim Kai-pang?” Sebutan Khong-sim Kai-pang ini dikatakan oleh seorang di antara pengemis itu dengan keras-keras, agaknya ia hendak mempergunakan pengaruh nama ini untuk mendatangkan kesan.
“Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) semestinya mempunyai anggota-anggota yang berhati kosong tanpa pamrih, akan tetapi kalian ini perampok-perampok berkedok pengemis amat menjemukan! Kami adalah tamu-tamu yang sedang makan di kedai ini, memang tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan pemilik kedai. Akan tetapi kami sedang makan kalian berani datang mengganggu! Huh, melihat saja membuat perut kami muak dan tidak ada nafsu makan. Hayo enyah dari sini!” bentak piauwsu setengah tua muka merah. Dua orang piauwsu muda di kanan kirinya juga bersikap galak. Malah seorang di antara dua orang muda ini segera mengulur tangan ke depan, menggunakan dua buah jari menjepit tongkat yang tertancap di lantai kemudian sekali berseru keras, tongkat itu sudah tercabut keluar dari lantai.
“Phuhh! Yang macam ini dipakai menakut-nakuti orang? Menyebalkan!” katanya sambil melempar tongkat itu sehingga tongkat besi itu jatuh berkerontangan di atas lantai.
Semua tamu kedai itu terkejut dan kagum. Sebaliknya dua orang pengemis itu menjadi marah sekali. Pemilik tongkat sudah menyambar tongkatnya, kemudian mereka berdua meloncat mundur lalu berdiri di jalan sambil menantang.
“Pengacau dari mana begitu buta matanya berani memusuhi Khong-sim Kai-pang?”
Piauwsu setengah tua sudah meloncat maju pula diikuti dua orang piauwsu muda. “Tak tahu malu, menggunakan nama perkumpulan yang begitu muluk, kiranya Khong-sim Kai-pang hanyalah sarang sekumpulan manusia jahat. Kami datang dan pergi tak pernah menyembunyikan nama. Di selatan kami terkenal piauwsu-piauwsu yang paling benci terhadap penjahat-penjahat berkedok pengemis, seperti srigala-srigala berkedok domba! Aku Lim Kiang atau Lim-piauwsu, dan ini kedua orang puteraku. Lekas kalian enyah dari sini, atau perlukah kalian kuusir dengan gebukan seperti orang mengusir anjing-anjing rendah?”
Dua orang pengemis itu marah bukan main. “Keparat she Lim! Kau dan anak-anakmu sudah bosan hidup rupanya. Majulah, hendak kami lihat sampai di mana hebatnya kepandaianmu, apakah sehebat mulutmu yang lebar itu?”
“Ayah, biarkan kami menghajar dua penjahat ini!” seru dua orang muda sambil meloncat ke depan dan pedang mereka sudah berada di tangan. Sang ayah yang agaknya cukup percaya akan kepandaian putera-puteranya lalu mengangguk dan tersenyum mengejek, mundur berdiri sambil bertolak pinggang.
Dua orang pengemis itu sudah berseru nyaring sambil memutar tongkat besi mereka, menyerang dua orang piauwsu muda yang sudah menangkis dengan pedang mereka pula. Terjadilah pertandingan yang seru, di atas jalan raya di depan kedai bakmi! Mereka yang tadinya enak-enak makan bakmi, kini sudah keluar pula dari kedai untuk menonton. Wajah mereka tegang dan khawatir karena semua orang di Kang-hu tahu belaka akan pengaruh Khong-sim Kai-pang yang akhir-akhir ini berlaku sewenang-wenang. Tentu saja diam-diam mereka mengharapkan kemenangan bagi piauwsu-piauwsu asing dari selatan itu.
Pengharapan mereka itu ternyata terkabul. Dua orang piauwsu muda dari selatan ini memiliki ilmu pedang yang hebat. Tidak sampai lima puluh jurus mereka berempat bertanding dan dua orang pengemis Khong-sim Kai-pang itu sudah roboh dengan pundak terluka tusukan pedang dan tongkat mereka runtuh. Suling Emas yang ikut menonton menjadi terkejut ketika melihat ilmu pedang dua orang piauwsu itu yang segera ia kenali. Itulah ilmu pedang Beng-kauw!
Tak disangsikan lagi bahwa piauwsu-piauwsu itu adalah anak murid Beng-kauw dan melihat sepak terjang mereka, ia menjadi bangga. Mereka ini murid-murid Bengkauw yang baik, bukan hanya terbukti dari sikap mereka memberi hajaran dua orang pengemis jahat, juga melihat betapa dua orang piauwsu muda itu hanya melukai pundak lawan, tidak membunuhnya.
Beberapa orang di antara penonton yang tadi makan bakmi segera menghampiri tiga orang piauwsu itu sambil berbisik, “Sam-wi harap lekas-lekas pergi dari sini. Kalau terlambat, bisa celaka. Khong-sim Kai-pang bermarkas di luar kota ini dan selain anggotanya banyak, juga mereka mempunyai pemimpln-pemimpin yang pandai dan amat kejam! Lekas, Sam-wi (Tuan Bertiga) pergilah dari sini.”
Piauwsu tua mengerutkan alisnya dan berkata lantang, “Kami bukan golongan pengecut yang berani berbuat tidak berani bertanggung jawab! Kami memberi hajaran kepada dua orang pengemis ini karena kelakuan mereka yang jahat. Kalau teman-temannya datang menuntut balas, biarlah kami hadapi mereka itu dengan pedang kami.” Ucapan ini dikeluarkan dengan nada marah akan tetapi sama sekali tidak membayangkan kesombongan.
Banyak orang yang sudah tahu akan kekejaman orang-orang Khong-sim Kai-pang yang akhir-akhir ini berubah banyak sekali, membujuk-bujuk agar mereka bertiga lekas pergi saja karena kalau tidak, mana mungkin mereka dapat melawan banyak anggota Khong-sim Kai-pang. Namun bujukan-bujukan itu sia-sia belaka. Si Piauwsu Tua bersama dua orang puteranya bahkan menyatakan hendak mendatangi markas besar Khong-sim Kai-pang dan mengancam perkumpulan itu agar jangan berbuat sewenang-wenang kepada penduduk Kang-hu!
Tiba-tiba terdengar suara orang yang amat jelas mengatasi semua suara orang yang sedang membujuk-bujuk, “Ah, orang yang sudah mabok kemenangan mana bisa dibujuk-bujuk? Kalau mereka sudah bosan hidup, biarkanlah mereka mati!”
Semua orang menoleh. Ketika orang-orang di situ melihat bahwa yang mengucapkan kata-kata nyaring ini adalah seorang berpakaian pengemis bertopi butut dengan muka bagian bawah tertutup sehelai kain, mereka menjadi kaget sekali dan cepat-cepat menyingkir. Ada suara bisikan-bisikan terdengar. “Nah, mereka sudah mulai datang...!”
Piauwsu setengah tua dan dua orang puteranya she Lim cepat membalikkan tubuh dan memandang Suling Emas dengan tajam. Melihat pakaian orang ini tentu seorang di antara pemimpin-pemimpin Khong-sim Kai-pang, maka Lim Kiang segera melangkah maju dan hendak menegur.
Akan tetapi Suling Emas sudah menghampiri mereka sambil mendorong-dorong dengan tangan kirinya dan menegur, “Kalian ini orang-orang apa berani hendak mengancam Khong-sim Kai-pang? Kalau ada satu dua orang pencuri di kota ini, apakah bisa dikatakan semua orang kota ini pencuri belaka? Kalau ada satu dua orang piauwsu menyeleweng, apakah boleh dibilang bahwa semua piauwsu adalah penjahat belaka? Demikian pula, kalau ada seorang dua orang Khong-sim Kai-pang menyeleweng, apakah benar kalau dikatakan bahwa Khong-sim Kai-pang perkumpulan orang jahat? Setelah memperoleh kemenangan berlaku merendah dan waspada, tidak mabok akan kemenangannya, itulah sikap seorang bijaksana. Kalian bertiga tidak lekas pergi, mengandalkan apakah? Hayo pergi... pergi... pergi...!” Ia mendorong-dorong sehingga jari-jari tangannya menyentuh pundak dan punggung tiga orang piauwsu itu.
Lim Kiang adalah seorang anak murid Beng-kauw yang menjunjung tinggi kebenaran dan kegagahan. Untuk membela yang tertindas dan menghadapi yang jahat, ia tidak ragu-ragu bertindak dan tidak akan ragu-ragu mengorbankan nyawanya. Juga dua orang puteranya mewarisi watak gagah ini. Melihat Suling Emas dan mendengarkan ucapannya, tentu saja beranggapan bahwa pengemis ini adalah seorang tokoh Khong-sim Kai-pang yang membela perkumpulan itu, akan tetapi ia pun dapat menduga bahwa pengemis ini bukan orang sembarangan. Karena itulah ia memberi tanda kepada dua orang puteranya untuk mundur, kemudian ia sendiri tersenyum dan berkata.
“Setiap orang manusia tentu mencari kebenarannya sendiri. Betapa pun jahatnya Khong-sim Kai-pang, tentu seorang anggotanya akan melihatnya sebagai perkumpulan yang baik. Sahabat, kalau kau merasa penasaran karena dihajarnya dua orang temanmu, kau majulah!” Sambil berkata demikian Lim Kiang meraba gagang pedangnya.
“Aihh...!” ia berseru kaget dan tangannya meraba-raba pinggang, kemudian ia menunduk untuk melihat ke arah pinggangnya. Namun tetap saja ia tak dapat menemukan gagang pedangnya karena pedang itu sudah lenyap, yang ada hanya sarung pedangnya saja!
Dua orang piauwsu muda itu pun berteriak kaget. Muka mereka menjadi pucat dan mereka saling pandang dengan mata terbelalak.
“Pe... pedangku...!” Mereka berkata lirih dan tahulah piauwsu setengah tua itu bahwa pedang kedua orang puteranya juga sudah lenyap!
“Ada kalanya orang tidak dapat mengandalkan pedangnya.” Suling Emas berkata lagi, “Tapi lebih tepat mempergunakan akal dan kewaspadaan. Alangkah bodohnya menganggap bahwa ketajaman pedang akan selalu membawa kemenangan. Sam-wi mencari inikah?”
Tiga orang piauwsu itu melongo ketika melihat pengemis yang mukanya ditutupi sapu tangan itu mengangsurkan tiga batang pedang mereka! Cepat mereka menyambut pedang mereka dan tidak berani sembarangan bergerak. Orang yang sudah dapat merampas pedang mereka bertiga tanpa mereka ketahui sama sekali adalah orang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa sekali dan bukanlah lawan mereka! Betapa pun juga, Lim Kiang adalah seorang gagah yang tidak mau menyerah kepada orang jahat sebelum ia dikalahkan.
“Boleh jadi engkau seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, akan tetapi jangan kira bahwa kami takut untuk coba-coba memberantas kejahatanmu!” Setelah berkata demikian, Lim Kiang menggerakkan pedangnya hendak menyerang, demikian pula dua orang puteranya sudah bergerak hendak menerjang Suling Emas.
Pada saat itu berkelebat dua bayangan hitam. Gerakan mereka ini cepat bukan main, padahal keduanya hanya dua orang kakek pengemis yang sudah amat tua, bahkan yang seorang bertubuh bongkok kurus. Namun si Bongkok ini sekali sambar sudah mencengkeram leher baju Lim Kiang yang dilemparkannya ke belakang sehingga piauwsu itu terhuyung-huyung. Sedangkan kakek pengemis ke dua sudah pula melemparkan dua orang piauwsu muda dengan sama mudahnya.
“Hemm, kalian ini piauwsu-piauwsu cilik berani bersikap kurang ajar terhadap ketua Khong-sim Kai-pang kami, Yu Kang Tianglo yang mulia?” bentak si Pengemis Bongkok yang bukan lain adalah Gak-lokai. Ada pun pengemis ke dua adalah Ciam-lokai.
Lim Kiang adalah seorang piauwsu yang sudah banyak pengalaman. Ia terkejut dan maklum bahwa dua orang pengemis tua itu pun lihai bukan main. Akan tetapi ia makin kaget ketika mendengar disebutnya nama Yu Kang Tianglo. Ia memandang terbelalak kepada Suling Emas lalu berkata, “Locianpwe ini... Yu Kang Tianglo...? Akan tetapi... mereka itu....” Ia menoleh kepada dua orang pengemis yang tadi dihajar dua orang puteranya dan masih rebah merintih-rintih di atas tanah.
Suling Emas mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan kepada Lim Kiang dan dua orang puteranya. “Terima kasih kami ucapkan atas pengajaran Sam-wi piauwsu kepada dua orang penyeleweng itu. Memang di antara anggota Khong-sim Kai-pang ada yang menyeleweng, namun itu bukan berarti bahwa Khong-sim Kai-pang telah menjadi sebuah perkumpukan penjahat, Harap Sam-wi menjadi puas dan sampaikanlah hormatnya Yu Kang Tianglo kepada para tokoh Beng-kauw di selatan yang amat kami hormati!”
Diam-diam Lim Kiang terkejut dan heran. Ia memang lama mendengar nama besar Yu Kang Tianglo, akan tetapi sama sekali tak pernah disangkanya bahwa tokoh pengemis itu dapat mengenal gerakan pedang putera-puteranya sehingga tahu bahwa mereka bertiga memiliki ilmu pedang dari Beng-kauw. Cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut, diturut kedua orang puteranya.
“Mohon maaf bahwa kami berani bersikap kurang hormat kepada Locianpwe.” Setelah berkata demikian, Lim Kiang cepat-cepat mengajak kedua orang puteranya pergi meninggalkan Kang-hu.
“Kalian sudah datang? Bagus! Bagaimana kalian dapat membiarkan dua orang jahat itu melakukan hal yang amat memalukan Khong-sim Kai-pang?” Suling Emas menegur Gak-lokai dan Ciam-lokai.
“Maaf, Pangcu. Panjang ceritanya. Marilah kita keluar kota, di sana para anggota yang setia sudah menanti. Akan saya ceritakan kepada Pangcu,” kata Gak-lokai, sedangkan Ciam-lokai mengambilkan kuda Suling Emas.
Ketiganya lalu pergi dari situ. Suling Emas menunggang kuda, Ciam-lokai menyeret dua orang pengemis yang terluka tadi, sedangkan Gak-lokai sibuk menuturkan apa yang terjadi di Khong-sim Kai-pang selama ini.
Sementara itu, berita tentang munculnya Yu Kang Tianglo seperti tadi terdengar oleh beberapa orang penonton, telah tersiar luas dan orang-orang di Kang-hu menjadi girang sekali. Mereka menaruh kepercayaan bahwa setelah tokoh besar itu muncul, Khong-sim Kai-pang akan bersih dari oknum-oknum jahat dan tidak lagi ada gangguan di kota Kang-hu dan sekitarnya.
Mendengar penuturan Gak-lokai, Suling Emas menjadi marah. Ternyata bahwa kaum sesat yang menyelundup di Khong-sim Kai-pang telah berhasil memecah belah perkumpulan itu, bahkan sebagian besar anggotanya kena mereka bujuk dan menjadi anak buah mereka. Hal ini tidak mengherankan karena oknum-oknum jahat itu menjanjikan hal-hal yang menyenangkan seperti hidup mewah, makan enak dan lain kesenangan dunia.
Gak-lokai dan Ciam-lokai yang melihat gejala-gejala buruk ini maklum, bahwa kalau mereka berdua berkeras, tentu akan terjadi perang di antara para anggota sendiri yang akan mengorbankan banyak nyawa. Padahal mereka yang kini terbujuk bukanlah orang-orang yang pada dasarnya jahat, melainkan karena tergoda oleh bujukan-bujukan menyesatkan. Di samping itu, ada lima orang kaum sesat yang kini terpilih menjadi pemimpin mereka yang menyeleweng, dan lima orang itu memiliki ilmu kepandaian yang lihai sehingga dua orang kakek ini tidak berani turun tangan secara serampangan dan menanti datangnya Yu Kang Tianglo yang mereka andalkan.
“Mereka yang menyeleweng kini menduduki markas karena para anggota yang setia rela mengikuti kami mengundurkan diri bersembunyi di tempat-tempat sunyi sambil menanti kedatangan Pangcu.” Gak-lokai menutup ceritanya. “Mereka kini mengganti pakaian mereka dengan baju-baju bersih dan tongkat bambu mereka dengan tongkat besi. Hanya dengan menundukkan para pimpinan mereka yang jumlahnya dua puluh orang lebih maka anggota-anggota yang menyeleweng akan dapat disadarkan kembali.”
Ketika mereka keluar dari Kang-hu melalui pintu gerbang sebelah timur, pandang mata Suling Emas yang tajam melihat bayangan-bayangan yang cepat berkelebat menyelinap di antara pohon-pohon mendahului mereka. Ia dapat menduga bahwa itu tentulah mata-mata golongan sesat yang kini menguasai markas Khong-sim Kai-pang.
Ketika mereka bertiga sambil membawa dua orang pengemis terluka itu tiba di depan kuil besar yang semenjak dahulu menjadi markas besar partai pengemis Khong-sim Kai-pang, mereka melihat betapa dari belakang mereka datang berbondong-bondong puluhan orang pengemis yang berpakaian butut dan membawa tongkat bambu. Jumlah mereka ada empat puluh orang lebih dan begitu Suling Emas menghentikan kudanya untuk menengok, mereka serentak menjatuhkan diri berlutut dan seperti dlkomando saja mereka berseru. “Hidup Yu Kang Tianglo, Pangcu kita!”
Kemudian tampak dari dalam kuil keluar beberapa orang yang diikuti barisan pengemis pula, pengemis dengan pakaian bersih dan bersenjata tongkat besi. Melihat ini Suling Emas berkata kepada pengikut Gak-lokai dan Cam-lokai, suaranya nyaring.
“Saudara-saudara semua tidak boleh sembarangan bergerak. Kita tidak berniat memerangi golongan sendiri, hanya ingin menyadarkan mereka dan menghalau oknum-oknum jahat yang mengotori kai-pang!”
Demikianlah, empat puluh orang pengemis itu disuruh menanti di luar, sedangkan Suling Emas dengan diantar Gak-lokai dan Ciam-lokai, memasuki ruangan kuil dan kini berjalan masuk dengan langkah tenang. Kuda kurusnya ditinggalkan di luar pekarangan. Ia memandang ke depan dan melihat bahwa yang memimpin barisan pengemis baju bersih yang jumlahnya ada lima puluh orang lebih itu adalah tujuh orang.
Lima di antara mereka yang usianya rata-rata sudah lima puluh tahun memakai pakaian pengemis tambal-tambalan dan berkembang-kembang, di tangan mereka tampak senjata tongkat yang berat dan jelas bukan tongkat bambu, entah logam apa. Dua orang yang tidak berpakaian pengemis, melainkan berpakaian pendeta, dan agaknya mereka berdua itu adalah tosu-tosu pengembara yang usianya sudah enam puluh lebih.
Suling Emas memandang tajam, namun tidak mengenal tujuh orang ini. Dari pekarangan, ia naik anak tangga yang tingginya ada dua meter, menyambung ke ruangan depan yang cukup luas. Tempat inilah yang biasanya dipakai untuk pertemuan umum para anggota, di udara terbuka dan letaknya di depan kuil.
Lima orang pengemis berpakaian penuh kembang-kembang itu melangkah maju dan berdiri tegak dengan sikap angkuh, sedangkan dua orang pendeta berdiri di belakang mereka. Gak-lokai dan Ciam-lokai lalu melemparkan dua orang pengemis terluka pundaknya itu ke depan sehingga dua orang itu jatuh tersungkur ke depan kaki lima orang kepala pengemis baru.
“Siapakah yang bertanggung jawab atas perbuatan jahat dua orang anggota Khong-sim Kai-pang ini?” terdengar suara Suling Emas memecah kesunyian. Suaranya halus, namun penuh wibawa. “Mereka yang merasa bersalah, telah menyelewengkan Khong-sim Kai-pang ke jalan sesat, hayo lekas maju mengaku agar menerima hukuman!”
Seorang di antara lima pimpinan pengemis itu, yang matanya juling, dan agaknya ia yang tua di antara mereka, sudah melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Suling Emas.
“Siapakah kau? Apa hubunganmu dengan perkumpulan kami sehingga kau berani mengucapkan kata-kata kurang ajar? Apakah engkau ini sekutu para pengkhianat macam dua orang jembel tua bangka itu?” ia menudingkan telunjuknya kepada Gak-lokai dan Ciam-lokai.
Gak-lokai tak dapat menahan kemarahannya. “Sungguh kalian ini tak tahu diri! Kalian adalah orang-orang baru di Khong-sim Kai-pang, namun kalian seperti buta tidak mau membuka mata, seperti tuli tak mau membuka telinga. Kalian berhadapan dengan Yu Kang Tianglo, seorang tokoh terbesar dari golongan Khong-sim Kai-pang. Hayo lekas kalian berlutut!”
Lima orang itu agaknya sudah mendengar laporan maka mereka tidak menjadi kaget, bahkan tersenyum-senyum. Akan tetapi di antara lima puluh lebih anggota Khong-sim Kai-pang yang sudah dibawa menyeleweng, ada yang sudah menjatuhkan diri berlutut dan ada yang menjadi pucat mukanya, menggigil tubuhnya. Kawan-kawannya yang percaya kepada pemimpin baru segera menyeret mereka itu berdiri lagi.
“Ha-ha-ha, bagus sekali! Puluhan tahun Yu Kang Tianglo tidak memperlihatkan diri, membiarkan Khong-sim Kai-pang dalam keadaan terlantar dan hampir bangkrut. Setelah kami muncul dan mengangkat keadaan kai-pang, tiba-tiba engkau muncul dan berlagak seperti seorang kawakan yang berkuasa! Cih, sungguh tidak tahu malu! Pada saat ini memang Khong-sim Kai-pang belum ada ketuanya, dan untuk sementara ini kami lima oranglah yang berkuasa sampai diadakan pemilihan ketua pada pertemuan antara kai-pang-kai-pang di seluruh daerah. Adakah engkau ini Yu Kang Tianglo atau bukan, bukan urusan kami, juga apakah engkau ini seorang tokoh kawakan Khong-sim Kai-pang atau bukan, kami tidak peduli. Engkau tidak ada sangkut pautnya dengan kami, lebih baik lekas pergi jangan membadut di sini!”
Merah wajah Gak-lokai dan Ciam-lokai, namun Suling Emas memberi isyarat dengan tangan agar mereka diam. Ia sendiri lalu melangkah maju dan dengan sikap tenang ia berkata. “Yu Kang Tianglo bukan seorang yang haus akan kedudukan ketua kai-pang. Semenjak ayahku menjadi Pangcu di sini, Khong-sim Kai-pang terkenal sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang membela orang-orang terlantar dan jembel-jembel kelaparan, membimbing mereka kembali ke dalam masyarakat terhormat dan mengangkat derajat mereka, paling anti akan kejahatan. Siapa pun dia boleh menjadi pimpinan Khong-sim Kai-pang dan siapa pun dia orangnya boleh menjadi anggota, asal saja mereka itu orang baik-baik dan wataknya sesuai dengan jalan yang selama puluhan tahun ditempuh Khong-sim Kai-pang. Aku pun tidak akan muncul di sini sekiranya keadaan Khong-sim Kai-pang masih sebaik dan sebersih biasanya. Akan tetapi sayang sekali, Khong-sim Kai-pang diselewengkan. Dengan mata kepala, sendiri aku menyaksikan dua orangmu melakukan pemerasan seperti perampok. Melihat ini, mau tidak mau Yu Kang Tianglo harus bertindak membersihkan kai-pang dari orang-orang jahat!”
Mendengar ini, banyak di antara para anggota Khong-sim Kai-pang yang kini berbaju kembang-kembang dan memegang tongkat besi menjadi ketakutan. Melihat ini lima orang pengemis yang memimpin mereka itu meloncat maju mengurung Suling Emas dan si Juling membentak.
“Keparat busuk, enak saja kau mengobrol di sini! Kami yang berkuasa di Khong-sim Kai-pang dan kami yang berhak menentukan bagaimana cara kami mengumpulkan dana demi kemajuan perkumpulan dan kebahagiaan semua anggota kami. Kau berani datang menghina, berarti engkau mencari mampus sendiri!” Sambil berkata demikian, si Juling dan empat orang adik seperguruannya mengangkat tinggi tongkat-tongkat mereka. Ada yang memegang tongkat besi, ada tongkat baja, kuningan bahkan ada yang memegang tongkat dari perak murni!
“Hemm... hemm... semenjak dahulu Khong-sim Kai-pang mengutamakan kebenaran dan selalu mengambil jalan halus, maka bawaannya pun hanya sebatang tongkat bambu yang butut sebagai lambang mencari jalan benar agar jangan menyeleweng. Akan tetapi kalian ini pemimpin-pemimpin murtad bermewah-mewahan dan berlomba memegang tongkat yang membayangkan kekerasan dan kekejaman. Sungguh menyeleweng sekali!”
“Tak usah banyak cakap! Satu di antara syarat menjadi pimpinan Khong-sim Kai-pang adalah dia harus mempunyai kepandaian yang paling tinggi di antara para anggota. Beranikah engkau melawan kami berlima?”
“Eh, kiranya kalian masih mengenal juga akan peraturan itu? Bagus, hanya sayangnya, kalian memperlihatkan kecurangan dengan maju bersama. Bagiku, sama saja, maju bersama atau ditambah lagi dua orang sekutumu itu, boleh saja. Gak-lokai tolong beri pinjam tongkatmu!” kata Suling Emas, menoleh kepada dua orang tokoh lama itu.
“Harap Pangcu pakai saja tongkat ini. Tongkat bambu ini dahulu adalah hadiah dari mendiang Yu Jin Tianglo,” kata Ciam-lokai sambil menyerahkan tongkatnya, sebatang tongkat bambu yang sudah amat tua.
Yu Jin Tianglo adalah ketua Khong-sim Kai-pang puluhan tahun yang lalu, ayah Yu Kang Tianglo, maka tentu saja semua anggota yang tahu akan hal ini menjadi terharu dan juga gelisah. Mereka semua tahu betapa lihainya lima orang pimpinan baru itu sehingga kedua kakek pengemis Gak-lokai dan Ciam-lokai sendiri tidak berani sembrono turun tangan menantang mereka. Bagaimana kalau Yu Kang Tianglo kalah oleh pengeroyokan mereka berlima?
Namun Suling Emas dengan langkah lebar dan tenang sudah berdiri di tengah-tengah lapangan yang tinggi dan luas itu, menanti datangnya lawan. Ia melihat betapa si Juling berbisik-bisik kepada dua orang pendeta, akan tetapi kemudian si Juling bersama empat orang kawannya meloncat dan sekaligus mengurung.
“Yu Kang Tianglo, engkau terlalu sombong, Sesungguhnya kami berniat untuk memperkuat Khong-sim Kai-pang menjadi perkumpulan yang paling hebat di antara semua kai-pang. Maksud baik kami ini kiranya malah kau hina! Sungguh kau mencari mati sendiri.”
Suling Emas tertawa di balik sapu tangannya. “Kalian ini pengemis-pengemis macam apa? Pakaiannya saja berlomba mewah! Terang bahwa kalian ini dahulunya tentu orang-orang golongan sesat yang hendak menyelundup ke kai-pang-kai-pang mencari anak buah dan kedudukan. Hayo majulah karena hari ini tamat riwayat kalian!”
“Manusia sombong!”
Lima orang itu membentuk barisan mengurung Suling Emas yang masih berdiri tegak tanpa memasang kuda-kuda, berdiri seenaknya dan tongkat bambu itu malah ia panggul di pundaknya. Itu sama sekali bukan sikap seorang jago silat menghadapi lawan! Tongkat dipanggul di pundak, berdiri seenaknya dan pandang mata tidak acuh sama sekali!
Diam-diam Gak-lokai dan Ciam-lokai, dua orang ahli silat kelas berat, menjadi khawatir sekali. Akan tetapi lima orang pengemis baju kembang itu menjadi girang. Mereka terus bergerak mengitari Suling Emas dan mulai tertawa-tawa mengejek. Tiba-tiba si Mata Juling yang menjadi pimpinan mereka berteriak keras dan serentak lima batang tongkat logam yang keras dan bermacam-macam itu berubah menjadi gulungan sinar yang menerjang Suling Emas secara dahsyat sekali!
Gak-lokai dan Ciam-lokai menahan napas. Tepat seperti dugaan mereka, lima orang pengemis baju kembang itu benar-benar memiliki kepandaian tinggi, jelas terbukti dari serangan mereka yang seperti kilat cepatnya, dan amat berat sehingga terdengar angin bersiutan. Betapa mungkin ketua mereka yang berdiri enak-enak itu dapat menghindarkan diri dari hantaman lima batang tongkat dari semua penjuru ini?
“Singgggg... Krak-krak-krak-krak-krak...!”
Semua orang kaget dan berdongak melihat lima batang tongkat yang kini terbang di udara dan jatuh jauh dari tempat itu. Ketika mereka memandang ke depan, lima orang pengemis baju kembang itu sudah roboh tak berkutik lagi, sedangkan Suling Emas masih berdiri enak-enak seperti tadi memanggul tongkatnya!
Sampai lama keadaan menjadi sunyi. Pihak lawan tak berani bersuara saking kaget dan gentar, sebaliknya pihak kawan juga sampai tak dapat bersuara saking heran dan kagum. Kemudian meledaklah sorak-sorai penuh kegembiraan dari beberapa puluh orang pengemis anggota Khong-sim Kai-pang yang setia, sedangkan para anggota Khong-sim Kai-pang yang menyeleweng atau setidaknya telah takluk kepada lima orang ketua baru itu kini menjadi pucat mukanya dan makin banyak pula kini yang menjatuhkan diri berlutut.....
selanjutnya >>>>>>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)