CINTA BERNODA DARAH : JILID-26
Sementara itu, Lin Lin tadinya juga pucat sekali mendengar ini, akan
tetapi timbul kemarahannya mendengar pengakuan wanita itu yang mencinta
Suling Emas dan bersumpah untuk membunuh anak dan isteri kekasihnya ini,
membuat ia tak kuat menahan lagi. Dengan seruan yang merupakan lengking
tinggi, hasil yang tak disadarinya dari pada ilmunya yang baru, ia
telah melompat ke depan dan selagi wanita itu membalikkan tubuh dengan
kaget dan heran, Lin Lin secara otomatis sudah melancarkan serangan
berdasarkan ilmunya yang baru. Kedua kepalan tangannya yang kecil halus
saling bertumbukan, namun tepat menghantam tubuh wanita itu secara
berbareng.
Wanita itu menjerit dan terpental ke belakang, menabrak batu nisan ayahnya yang menjadi pecah seketika! Lin Lin sendiri berdiri terbelalak keheranan karena tidak mengira bahwa pukulannya akan sehebat ini, apa lagi kalau diingat betapa wanita ini memiliki kesaktian, terbukti dari ilmu larinya yang luar biasa.
“Lin-moi, jangan...!” Suling Emas berseru namun terlambat.
Andai kata Suling Emas tidak demikian terpengaruh oleh sumpah Tan Lian, agaknya pendekar sakti ini tadi masih sempat mencegah. Ia kini berkelebat dan tahu-tahu sudah membungkuk dan berlutut di depan tubuh Tan Lian yang rebah dengan mata meram dan muka pucat, mulut mengalirkan darah. Cepat Suling Emas memeriksa dan ia mengeluarkan seruan kaget. Ia sendiri kaget bukan main melihat akibat dari pada pukulan Lin Lin, karena setelah memeriksa ia mengerti bahwa keadaan Tan Lian parah sekali dan nyawa wanita ini takkan dapat ditolong lagi.
Pukulan itu telah meracuni darah dan meretakkan tulang-tulang! Kiranya tanpa disadarinya sendiri Lin Lin telah mewarisi ilmu pukulan dahsyat dari Pat-jiu Sin-ong yang disebut pukulan Tok-hiat-coh-kut (Racuni Darah Patahkan Tulang)! Suling Emas maklum bahwa pukulan ini mengandung hawa beracun yang hebat dan satu-satunya jalan untuk menolong Tan Lian hanya membawanya secepat mungkin kepada tabib yang sakti, karena tabib-tabib biasa saja takkan mungkin mampu menolongnya.
“Bocah lancang!” bentaknya kepada Lin Lin. “Mengapa memukul orang tak berdosa?” Setelah berkata demikian, Suling Emas menyambar tubuh Tan Lian dan dibawanya lari berkelebat lenyap dari tempat itu.
“Koko... tunggu...!” Lin Lin berseru keras sambil mengejar, akan tetapi Suling Emas tidak menjawab dan sudah tidak tampak lagi.
Lin Lin memanggil-manggil dan mengejar ke sana ke mari, akhirnya ia menjatuhkan diri di pinggir jalan dengan napas terengah-engah dan air mata membasahi pipi.
“Dia marah kepadaku...,” pikirnya. “Mengapa marah? Perempuan itu musuhnya. Ah, aku harus mencarinya, dia harus menjelaskan sikapnya ini kepadaku. Dia akan ke Thai-san, aku pun akan ke sana, biar kunanti dia di sana.” Pikiran ini menguatkan hati Lin Lin dan menghilangkan kebingungannya, kemudian ia pun pergi dari tempat itu.
Perjalanan ke Thai-san merupakan perjalanan yang jauh dan sukar, lagi amat berbahaya pada masa itu. Akan tetapi Lin Lin melakukan perjalanan dengan tekun, sabar, dan penuh keberanian. Apa lagi setelah ia dengan satu kali pukulan mampu merobohkan seorang yang lihai, seperti wanita di kuburan itu, timbul kepercayaan besar pada dirinya sendiri, kepercayaan bahwa ia mampu menghadapi siapa pun juga karena pada dirinya terdapat sebuah ilmu yang ampuh dan sakti.
Pikiran ini pula yang membuat Lin Lin makin rajin melatih diri dengan jurus-jurus yang hanya berjumlah tiga belas dari ilmu yang ia dapatkan di dalam tongkat pusaka Beng-kauw, serta mempelajari pula petunjuk-petunjuk cara menghimpun tenaga sakti. Karena ia sendiri tidak tahu apa namanya ilmu yang terdiri dari pada tiga belas jurus itu, Lin Lin lalu menamakannya Cap-sha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Sakti).
Berpekan-pekan Lin Lin melakukan perjalanan menuju ke Thai-san, bertanya-tanya kepada para penduduk dusun dan kota yang dilaluinya. Akhirnya pada suatu hari sampailah ia di kaki Gunung Thai-san. Puncak gunung itu menjulang tinggi, tampak agung dan megah. Hati Lin Lin berdebar. Akan berhasilkah ia bertemu dengan Suling Emas di puncak itu? Bagaimana kalau dia tidak berada di sana? Dan wanita yang memusuhi Suling Emas itu, yang roboh karena pukulannya, akan diapakan Suling Emas?
Hatinya tidak enak dan cemburunya makin besar ketika ia teringat betapa wanita itu ternyata masih muda dan cantik jelita. Serasa terbakar isi dadanya kalau ia teringat betapa wanita itu dipondong oleh Suling Emas dan entah untuk berapa lamanya! Dan masih marah hatinya kalau ia mengenangkan bentakan Suling Emas yang marah-marah kepadanya dan memakinya sebagai bocah lancang. Dia lancang? Memukul seorang wanita yang memusuhi Suling Emas tapi juga mengaku cinta, lancangkah itu?
“Ah, Suling Emas, aku cinta kepadamu... demi cintaku maka aku memukul dia yang tidak kukenal.” Ia menghela napas dan duduk di pinggir jalan, menghapus keringatnya dengan sapu tangan. Hari itu ia telah melakukan perjalanan amat jauh dan enak rasanya menyandarkan tubuh pada batang pohon yang tua dan hampir mati, duduk di atas rumput hijau yang empuk dan ditiupi angin sejuk pada sore hari itu.
Tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara derap kaki kuda. Jalan mulai sukar di bagian itu, maka penunggang kuda itu pun menahan kudanya dan maju perlahan-lahan melalui tanah yang tidak rata. Penunggangnya seorang laki-laki yang bertubuh tegap, memakai caping lebar seperti caping petani, akan tetapi dari balik pundaknya tampak gagang pedang. Melihat duduknya yang tegak lurus dan tidak bergoyang-goyang biar pun si kuda naik turun, Lin Lin mengerti bahwa penunggang kuda ini seorang yang berkepandaian. Akan tetapi dari jauh ia tidak dapat melihat muka yang tertutup caping itu.
Kuda makin mendekati tempat Lin Lin duduk. Penunggang kuda itu mengangkat muka, dan....
“Liong-twako...!” Lin Lin berseru sambil melompat bangun.
“Lin-moi...!”
Penunggang kuda itu, Lie Bok Liong, melompat dari atas punggung kudanya, lari menghampiri Lin Lin dan serta merta memeluknya dan mendekap kepala gadis itu pada dadanya. Begitu besar kegirangan hati Bok Liong sehingga ia lupa diri seperti itu. Sedetik Lin Lin kaget dan jengah, akan tetapi mengingat akan pengorbanan pemuda ini untuknya ia membiarkan dirinya dipeluk dan mukanya didekap erat-erat pada dada Bok Liong.
“Lin-moi... ah, Lin-moi... alangkah bahagia hatiku melihat kau, Moi-moi. Syukur kepada Tuhan bahwa kau selamat, bisa terbebas dari pada tangan Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan yang jahat!” seru Bok Liong dengan suara serak dan ketika Lin Lin merenggangkan diri dan memandang, hatinya terharu menyaksikan betapa pipi pemuda itu basah oleh air mata!
Dengan gerakan halus Lin Lin melepaskan diri dari pelukan itu. Ia tidak marah, tidak merasa terhina, bahkan terharu karena ia maklum bahwa pemuda ini benar-benar amat gembira dengan pertemuan ini sehingga berbuat agak melewati batas kesopanan.
“Twako, tenanglah, mari kita bicara yang enak. Aku pun girang sekali melihat kau selamat. Tadinya aku sudah khawatir sekali, mengira kau tentu tewas oleh kenekatanmu melawan Hek-giam-lo dan orang-orangnya.”
Lin Lin menarik tangan pemuda itu, diajak duduk di atas rumput. Sambil berbuat demikian, Lin Lin menoleh ke sana ke mari, khawatir kalau-kalau ada orang melihat dia tadi dipeluk-peluk pemuda ini. Akan tetapi tempat itu amat sunyi, tidak ada orang lain, bahkan tidak tampak makhluk lain kecuali kuda Bok Liong yang kini dengan enaknya makan rumput dengan peluh membasahi tubuh, tanda bahwa kuda itu pun baru saja melakukan perjalanan jauh.
Bok Liong tertawa, menghapus air matanya. “Ah, maafkan aku, saking girangku sampai tak tahan mengeluarkan air mata seperti bocah cengeng,” katanya.
“Bukan begitu, Twako. Kau terlalu baik hati. Kau telah berusaha berkali-kali untuk menolongku tanpa menghiraukan keselamatan dirimu. Betapa hancur hatiku ketika melihat kau tersiksa tanpa mampu menolongmu kembali. Akan tetapi, bagaimana kau dapat selamat? Aku mendengar bahwa kau tertolong oleh suhu-mu yang lucu itu.”
“Betul, Lin-moi. Suhu yang telah menolongku. Beliau merawatku sampai sembuh dan aku diminta tinggal bersama Suhu untuk memperdalam ilmu. Dan kau sendiri, yang sudah membuat aku putus asa, yang membuat aku hari ini tergesa-gesa hendak menemui Hek-giam-lo dan mengadu nyawa kalau tidak mau membebaskanmu, bagaimana kau dapat bebas dan tahu-tahu berada di sini?”
“Aku ditolong oleh Kim-lun Seng-jin.” Dengan singkat Lin Lin menceritakan pengalamannya dan tentu saja ia tidak menceritakan penemuannya tentang ilmu di dalam tongkat Beng-kauw, juga ia tidak mau menyebut-nyebut nama Suling Emas.
“Tapi mengapa kau bisa berada di kaki Gunung Thai-san ini, Lin-moi?” Bok Liong meraba tangan Lin Lin terus digenggamnya. “Tempat ini berbahaya sekali! Thian-te Liok-koai yang tinggal lima orang, Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni, It-gan Kai-ong, Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong, akan bertemu dan mengadu kepandaian di puncak gunung ini. Kalau sampai bertemu dengan seorang di antara mereka, hal itu amat berbahaya karena mereka adalah orang-orang yang sudah bukan manusia lagi, jahat seperti iblis.”
Lin Lin tersenyum dan senyum ini menyambar dan menancap di ulu hati Bok Liong, melebihi runcingnya pedang.
“Twako, justru kedatanganku ini hendak menonton pertandingan mereka. Tentu ramai sekali!”
Bok Liong melongo dan menggaruk-garuk rambutnya dengan sepuluh jari tangannya. “Nonton? Moi-moi, kau terlalu meremehkan mereka! Ketahuilah, kejahatan mereka sudah tersohor di kolong langit. Kadang-kadang mereka menyiksa dan membunuh orang secara begitu saja, secara sembarangan. Dalam gembira bisa saja mereka membunuh orang, apa lagi dalam marah atau duka. Pendeknya, sedikit persoalan saja cukup untuk mereka jadikan alasan menurunkan tangan iblis. Bahkan agaknya mereka berlomba untuk dapat disebut orang yang paling jahat, karena sebutan ini bagi Thian-te Liok-koai merupakan sebutan kehormatan, yaitu orang jahat nomor satu di dunia! Moi-moi, mari kita pergi cepat-cepat dari tempat terkutuk ini!” Kembali Bok Liong memegang tangan gadis itu erat-erat.
Lin Lin kembali merasa tidak enak tangannya dipegang erat oleh pemuda itu, akan tetapi mengingat akan pengorbanan pemuda itu, ia mendiamkannya saja, lalu menjawab, “Liong-twako, kenapa kau sekarang berubah begini penakut? Belum lama ini kau bahkan berani menghadapi Hek-giam-lo dan orang-orangnya, menyerbu berkali-kali dengan keberanian yang membuat orang sedunia boleh merasa kagum. Kenapa sekarang kau takut? Dan pula, bukankah kau juga datang ke tempat ini? Andai kata tidak berjumpa denganku, kau hendak ke manakah?”
“Ah, Lin-moi, sudah kuceritakan kepadamu tadi. Aku sakit hati kepada Hek-giam-lo, mengira bahwa kau tentu celaka di tangan iblis itu. Oleh karena inilah setelah aku menerima gemblengan dari Suhu, aku sengaja datang ke sini karena teringat akan janji pertemuan para iblis di sini. Aku pasti akan bertemu dengan Hek-giam-lo di puncak dan akan kuajak dia bertempur sampai mati kalau dia tidak bisa mengembalikan kau. Moi-moi, sebelum bertemu denganmu, aku menjadi nekat dan tidak ingin hidup lagi kalau kau tewas di tangan Hek-giam-lo. Akan tetapi setelah kini melihat kau selamat, aku pun ingin hidup, Moi-moi!” Ucapan ini terdengar gemetar penuh perasaan dan mata pemuda itu menatap wajah Lin Lin penuh cinta kasih, membuat Lin Lin terharu dan ia pun membalas pegangan itu dengan mesra.
“Hemmm, kau selalu memikirkan tentang keselamatanku tanpa menghiraukan keselamatanmu sendiri, Twako. Andai kata aku menuruti kehendakmu tidak jadi naik ke puncak untuk nonton pertandingan hebat, lalu kau hendak mengajakku ke mana?”
Tiba-tiba Bok Liong berlutut dan memegangi kedua tangan Lin Lin sambil memandang tajam dan suaranya gemetar, “Lin Lin, Moi-moi... aku... aku akan mengajakmu ke Cin-ling-san, menemui bibi gurumu, aku... aku akan meminangmu untuk menjadi isteriku....”
Bukan main kagetnya hati Lin Lin. Memang, tentu saja ia tahu bahwa pemuda ini mencintanya, akan tetapi mendengar bahwa Bok Liong hendak meminangnya dari tangan bibi gurunya, ia benar-benar menjadi kaget dan wajahnya seketika berubah pucat. Ia menarik kedua tangannya dan bangkit berdiri.
“Tidak... tidak... Liong-twako, aku... menganggapmu sebagai kakak sendiri, seorang kakak yang baik. Biarlah kita bersumpah mengangkat saudara... tapi aku tidak... tidak....”
Bok Liong yang masih berlutut memegang kaki kanan Lin Lin, suaranya penuh permohonan, “Lin Lin, dewi pujaan hatiku... aku cinta kepadamu, Lin Lin. Perlukah ini kujelaskan lagi? Aku mencintaimu semenjak pertemuan kita yang pertama, aku rela mati untukmu... sudilah kau menerima cintaku, bukan sebagai adik, melainkan sebagai calon teman hidup selamanya. Aku bersumpah akan membahagiakan hidupmu selamanya Moi-moi....”
Air mata bercucuran dari sepasang mata Lin Lin. Hatinya amat terharu dan ia yakin bahwa andai kata ia menjadi isteri pemuda ini, sudah pasti hidupnya akan terjamin dengan kasih sayang yang suci. Akan tetapi wajah Suling Emas terbayang di depan matanya, membayang di antara air mata dan tak mungkin ia menerima pinangan pemuda lain selama bayangan wajah ini tidak lenyap dari kenangannya. Ia tahu bahwa Lie Bok Liong adalah seorang pendekar muda pilihan, seorang gagah perkasa yang berhati emas, satria sejati. Namun hatinya telah terampas oleh Suling Emas dan ia hanya memiliki sebuah hati untuk diberikan kepada pria idamannya.
“Tidak, Liong-twako...!”
Setelah berkata demikian, Lin Lin menggerakkan kakinya terlepas dari pelukan Bok Liong dan tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan pemuda itu, lari seperti terbang mendaki gunung Thai-san!
Sejenak Lie Bok Liong tercengang, mukanya pucat sekali, pandang matanya sayu mengikuti bayangan gadis pujaannya yang sebentar saja sudah menghilang di balik pepohonan. Ia menghela napas panjang, meramkan kedua matanya, menggigit bibir kemudian bangkit dan berjalan perlahan, mendaki gunung itu pula. Ia merasa hatinya tertusuk, akan tetapi ia tidak putus asa. Lin Lin tidak pernah menyatakan bahwa gadis itu tidak mencintanya, hanya menolak, mungkin karena malu, mungkin karena kaget dan gelisah. Hal ini memang mungkin sekali, sebagai seorang gadis remaja yang mendengar pengakuan cinta dan pinangan dari seorang muda. Ia tidak putus asa dan akan berlaku sabar.
Akan tetapi hatinya khawatir bukan main melihat gadis itu mendaki puncak Thai-san yang ia tahu amat berbahaya pada waktu itu dengan akan hadirnya iblis-iblis itu. Ia harus mengejar, harus menyusul dan siap untuk membela dan melindungi Lin Lin dari pada marabahaya. Gurunya, Gan-lopek, juga telah menyatakan bahwa pada hari-hari pertandingan para iblis di puncak Thai-san, gurunya itu akan datang untuk menonton pula. Dan agaknya hanya orang-orang sakti yang memiliki kepandaian seperti gurunya itulah yang akan berani datang untuk menonton pertandingan berbahaya itu. Maka hatinya menjadi besar dan dengan tabah Lie Bok Liong terus mendaki lereng gunung yang amat curam dan sukar dilalui itu.
Baru sekarang teringat olehnya betapa cepatnya tadi ia menyaksikan gerakan Lin Lin ketika lari dari padanya mendaki gunung. Padahal ia tahu bahwa ilmu kepandaian gadis itu hanya sebanding saja dengan tingkatnya, kalau tidak lebih rendah malah. Bagaimana tadi ia melihat Lin Lin berlari seperti terbang mendaki gunung sedangkan dia sendiri merasa betapa sukar dan berbahayanya sehingga ia harus bergerak dengan hati-hati dan lambat!
Ketika Lie Bok Liong tiba di daerah gunung itu yang penuh batu besar, di sebuah lereng di punggung gunung Thai-san, tiba-tiba ia mendengar suara orang terkekeh ketawa. Kagetnya bukan main karena ia tidak melihat bayangan orang, mengapa tahu-tahu ada suara ketawa yang menyeramkan ini? Ia menengok dan memandang ke sana ke mari, namun tidak juga melihat bayangan orangnya.
Bulu tengkuk pemuda ini berdiri. Biar pun ia tidak percaya akan setan yang dapat muncul di siang hari, ia dapat menduga bahwa tentu ada orang sakti di tempat itu. Masih untung kalau orang sakti yang baik bagi Bok Liong, akan tetapi suara ketawa itu bukan muncul dan mulut seorang sakti yang baik, melainkan dari mulut seorang iblis sakti yang bukan main kejamnya, yaitu It-gan Kai-ong sendiri!
Kini kakek ini muncul dari balik sebuah batu besar dan mukanya lebih buruk dari pada dulu. Punggungnya makin bongkok, rambutnya yang riap-riapan itu kotor sekali, penuh lumpur dan debu. Mukanya keriputan begitu dalamnya seperti tersayat, matanya yang tinggal sebelah itu melotot sedangkan mata yang buta mengeluarkan air lendir, mulutnya terkekeh dan dari ujung bibirnya mengalir air liur. Tangannya memegang sebatang tongkat butut.
“Heh-heh-ho-hah! Orang muda, pakaianmu seperti seorang kang-ouw, kau membawa-bawa pedang. Apa kebisaanmu?”
Di dalam hatinya Bok Liong mendongkol sekali, akan tetapi maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang iblis sakti yang sama sekali tak boleh dipandang ringan, ia segera menjura dalam-dalam dan menjawab dengan sikap sopan. “Kai-ong (Raja Pengemis) yang mulia, harap maafkan bahwa saya tidak tahu Locianpwe (Orang Tua Gagah) berada di sini sehingga terlambat menyampaikan salam.”
“Hua-hah-hah, kau mengenal aku? Akan tetapi aku tidak mengenal kau.”
“Mana mungkin Locianpwe mengenal saya yang tidak ternama dan bodoh ini? Akan tetapi saya kira Locianpwe sudah mengenal Suhu.”
“Heh-heh, tak perlu kau perkenalkan, aku akan tahu sendiri. Terima ini!” Tiba-tiba tongkat butut di tangan itu bergerak dan tahu-tahu sudah mengancam jalan darah maut di dada kiri Bok Liong dengan totokannya!
“Aaaiiihhhhh!” Bok Liong terkejut sekali, akan tetapi sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi, jurus-jurus silatnya sudah mendarah daging di tubuhnya sehingga gerak otomatisnya berjalan dan ia berhasil mengelak dari totokan ini.
Melihat gerakan itu, terutama sekali bagian tubuh belakang yang megal-megol, It-gan Kai-ong tertawa sambil menarik kembali tongkatnya. “Heh-heh, kau murid si tukang gambar edan Gan-lopek! Mana gurumu? Suruh dia muncul!”
“Maaf, Locianpwe. Saya tidak berani memanggil Suhu kalau beliau tidak berkenan muncul atas kehendak sendiri,” jawaban Bok Liong ini mencerminkan kecerdikannya.
Ia tidak tahu apakah gurunya sudah berada di gunung ini, dan ia pun tidak mau membohong dan menyombong bahwa gurunya akan melindunginya. Akan tetapi jawaban itu membayangkan bahwa gurunya mungkin ada dan mungkin tidak, jadi tidak membohong akan tetapi sekaligus merupakan peringatan bagi It-gan Kai-ong, bahwa Gan-lopek berada di situ maka ia tidak boleh mengganggu murid orang sakti itu!
Akan tetapi It-gan Kai-ong adalah seorang manusia iblis yang sukar digertak. “Heh-heh-heh, kalau begitu gurumu tentu belum datang. Sayang sekali, sebetulnya aku hendak membekuk mampus gurumu itu agar kujadikan bukti bahwa korbanku bukan orang biasa. Akan kagumlah iblis-iblis itu kalau aku berhasil membawa orang she Gan si tukang gambar ke puncak. Menangkapmu tiada gunanya, kau orang tiada guna dan tidak berarti. Tapi kau sudah bertemu denganku di Thai-san, maka kau harus mampus!”
Kaget sekali Bok Liong. Ia bersiap-siap. “Locianpwe, di antara Locianpwe dan saya Lie Bok Liong tidak terdapat pertentangan sesuatu, mengapa Locianpwe hendak membunuhku?” Biar pun ia maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, namun suara pemuda gagah ini sama sekali tidak mengandung rasa takut dan tidak gemetar.
“Huah-ha-ha! Semua iblis yang datang ke sini akan membunuh siapa saja yang dihadapinya, besar kecil tua muda laki perempuan.” Kemudian kakek pengemis yang menyeramkan dan menjijikkan ini membuka mulutnya meludah ke arah Bok Liong. “Cuh-cuh!”
Dua gumpal ludah menyambar bagaikan pelor-pelor baja ke arah muka dan dada Bok Liong. Pemuda ini sudah waspada, cepat ia mengelak dengan loncatan ke kiri sambil mencabut pedangnya. Berkat kegesitan dan kewaspadaannya maka dua gumpal ludah itu tidak mengenai dirinya, melainkan lewat cepat dan amblas masuk ke dalam batu besar di belakangnya!
“Heh-heh-heh, Gan-lopek tidak sia-sia mengajarmu. Boleh juga untuk main-main kau!” Kembali kakek itu meludah, kini ludahnya merupakan semprotan air yang lebar, namun setiap titik air menuju ke arah jalan darah dengan kekuatan yang cukup untuk mematikan lawan.
Bok Liong memutar pedangnya dan terbentuklah gulungan sinar pedang merupakan payung bundar di depan tubuhnya yang menangkis semua percikan air ludah itu. Akan tetapi It-gan Kai-ong kembali menyerang dengan ludah kental yang menyambar seperti peluru-peluru baja. Bok Liong menangkis dengan pedangnya dan alangkah kagetnya ketika ia merasa tangannya tergetar hebat dan hampir lumpuh setiap kali senjatanya itu menangkis gumpalan ludah. Bukan main hebatnya tenaga sinkang yang terkandung dalam serangan ludah-ludah itu.
“Heh-heh-heh-hah-hah-hah, menarilah. Cuh-cuh-cuh!” Kakek itu terus menyerang sambil meludah-ludah.
Bok Liong sibuk sekali dan ia mengerahkan sinkang di tubuhnya lalu mainkan pedangnya dengan cepat. Ia tidak berani lagi menangkis ludah dari depan karena kalau terus-menerus mengadu tenaga ia akan celaka. Kini ia menangkis dari samping sehingga ia hanya mengalihkan arah ludah-ludah itu ke samping.
“Biar sampai habis ludahnya, tak mau aku menerima penghinaan ini,” pikir Bok Liong dan menangkis atau mengelak penuh kelincahan. Betapa pun juga, hanya diserang oleh ludah ini saja sudah cukup membuat Bok Liong repot menyelamatkan diri dan tidak mampu balas menyerang!
Namun kelincahan Bok Liong yang selalu dapat menghindarkan serangan ludahnya membuat It-gan Kai-ong marah luar biasa. Ia merasa penasaran juga karena biasanya serangan ludahnya sudah cukup untuk menewaskan lawan yang muda.
“Eh, kau boleh juga. Cukup berharga untuk berkenalan dengan tongkatku!” Tiba-tiba tubuhnya menerjang maju dan tongkat di tangannya bagi pandang mata Bok Liong sudah berubah menjadi puluhan batang banyaknya yang sekaligus menerjang ke arah dirinya.
Pemuda ini terkejut dan berusaha untuk memutar pedang menangkis semua bayangan tongkat itu sambil bergerak mundur dengan loncatanloncatan lincah. Namun akhirnya ia terpaksa berhenti karena di belakangnya terdapat sebuah jurang yang curam dan menganga lebar, siap mencaploknya!
“Heh-heh-heh, kau hendak lari ke mana sekarang?” It-gan Kai-ong mengejek, terkekeh-kekeh, dan tongkat bututnya mendesak makin dahsyat.
Betapa pun dahsyat dan hebatnya ilmu tongkat It-gan Kai-ong yang digerakkan dengan tenaga saktinya, namun Bok Liong bukanlah seorang pemuda sembarangan. Ia murid terkasih dari Gan-lopek yang sudah menurunkan ilmunya kepada murid ini, bahkan akhir-akhir ini mendapat tambahan gemblengan lebih hebat. Maka menghadapi desakan maut di depan dan ancaman maut di belakang, Bok Liong berlaku nekat dan pedangnya bergerak cepat mengeluarkan suara berdesing. Ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus pilihan, tidak lagi hanya menjaga diri, malah kini ia balas menyerang dengan nekat untuk mengadu nyawa! Pertandingan mati-matian terjadi di pinggir jurang ini.
It-gan Kai-ong tidak lagi terkekeh sekarang. Betapa pun juga, balasan serangan pemuda yang sudah nekat ini tak boleh ia hadapi dengan sembrono kalau ia tidak mau mendapat malu. Kakek ini pun mainkan tongkatnya lebih hebat, mendesak hebat sehingga tiap kali kedua senjata bertemu, Bok Liong merasa lengannya seakan-akan serasa patah.
Namun dengan gigih ia melawan terus. Ketika mendapat lowongan, ia menyambar seperti kilat ke depan, menusukkan pedangnya ke arah perut It-gan Kai-ong. Ia tidak peduli lagi bahwa dalam serangan nekat ini, ia membiarkan dirinya ‘terbuka’ dan tidak terlindung. Pedang Goat-kong-kiam (Pedang Sinar Bulan) di tangannya berubah menjadi cahaya redup kekuningan yang mengandung hawa dingin karena memang ditusukkan dengan pengerahan tenaga Im.
Akan tetapi tiba-tiba pedang itu terhenti gerakannya karena sudah menempel pada tongkat butut di tangan It-gan Kai-ong. Bok Liong kaget dan berusaha menarik kembali pedangnya namun terlambat. Tenaga Im-kang yang terkandung di pedangnya itu ternyata membuat dia celaka karena tenaga ini memungkinkan lawannya yang sakti menempel dan ‘menyedot’ sehingga ia merasa betapa tubuhnya menjadi lemas.
Dalam kenekatannya, Bok Liong tidak mau menyerah mentah-mentah. Ia mengerahkan sisa tenaga yang ada. Tiba-tiba tangan kirinya mengirim pukulan berbareng dengan kedudukan kakinya berubah, melangkah maju. Pukulan ini mengarah dahi lawan yang kalau mengenai tepat akan membahayakan keselamatan nyawa. Akan tetapi karena memang kedudukan Bok Liong sudah kalah dan sudah dikuasai, enak saja It-gan Kai-ong menghadapi pukulan ini. Tangan kirinya menangkis dan sekaligus tongkatnya mendorong, maka terjengkanglah tubuh Bok Liong ke belakang, rebah terlentang.
“Heh-heh-heh, mampuslah kau, murid orang she Gan!” Tongkat itu diangkat dan siap menjatuhkan pukulan maut.
Melihat ini, Bok Liong tidak rela mati di tangan kakek iblis itu. Tubuhnya menggelinding ke belakang dan ia bergulingan cepat sehingga ia terlepas dari pada pukulan tongkat, akan tetapi di lain saat tubuhnya sudah terjungkal ke dalam jurang yang menganga lebar!
Pada saat itu sebuah bayangan berkelebat datang dan kiranya bayangan ini adalah seorang kakek pendek yang bukan lain adalah Empek Gan, guru Lie Bok Liong.
“He, pengemis iblis picak! Kau apakan muridku? Mana dia sekarang?”
“Heh-heh-heh, tua bangka she Gan, apa kau hendak menyusul muridmu ke dasar jurang sana?” Dengan tongkatnya It-gan Kai-ong menunding ke arah jurang.
Berubah wajah Empek Gan. Biasanya dia jenaka dan gembira, akan tetapi karena mendengar bahwa muridnya yang ia sayang terjerumus ke dalam jurang, timbullah kemarahannya. “Jembel busuk berhati iblis! Tak tahu malu benar engkau, beraninya hanya terhadap orang muda. Kalau memang laki-laki, akulah lawanmu, tua sama tua!”
“Wah, tutup mulutmu yang busuk. Kau sendiri di Nan-cao telah menghina muridku. Sekarang aku menghajar muridmu, bukankah sudah pantas?”
“Tak perlu banyak bicara, It-gan Kai-ong. Kau telah membunuh muridku, kau harus dapat membunuhku pula, kalau tidak, kaulah yang akan mengganti nyawanya!”
“Majulah, siapa takut kepadamu?”
Kedua orang kakek ini memasang kuda-kuda. Keduanya tidak main-main lagi, maklum bahwa lawan yang dihadapi kini adalah seorang lawan yang amat tangguh. It-gan Kai-ong melintangkan tongkat bututnya di atas kepala, kaki kanannya ditekuk lututnya dan diangkat ke atas, kaki kiri berdiri di ujung jari, tangan kiri disodorkan ke depan dan matanya yang tinggal satu itu memandang lurus ke depan dengan tajamnya. Ada pun Gan-lopek sudah mengeluarkan sepasang senjatanya pula, yaitu senjata yang disebut Hek-pek-mou-pit (Sepasang Pena Bulu Hitam Putih), yang hitam di tangan kanan sedangkan, yang berbulu putih di tangan kiri. Ia berdiri dengan kedua lutut agak ditekuk ke bawah, tubuh belakangnya menonjol dan bergoyang-goyang, kedua lengannya bersilang.
Ada lima menit mereka hanya berdiri berhadapan macam ini, tidak melakukan penyerangan. Seperti dua ekor jago aduan yang saling pandang dan saling taksir kekuatan masing-masing sebelum bergebrak. Kemudian terdengar si raja jembel terkekeh aneh dan tubuhnya sudah menerjang maju didahului tongkat bututnya. Tongkat ini mengandung tenaga dahsyat dan angin pukulannya sampai menggoyangkan daun-daun pohon di sekitar tempat itu.
“Wesssss!” tongkat butut melayang lewat di dekat kepala Gan-lopek.
Pelukis sakti ini mengerjakan senjatanya, melakukan dua kali totokan maut selagi serangan lawan lewat. Akan tetapi dengan gerakan tubuh yang tepat raja pengemis itu pun dapat menghindarkan diri. Karena gerakan keduanya, mereka sekarang bertukar tempat dan kembali mereka berdiri tak bergerak, saling pandang dengan seluruh urat syaraf di tubuh menegang.
Bagi orang yang belum begitu tinggi ilmu silatnya, mungkin ia lebih suka melakukan penyerangan lebih dulu dalam pertempuran, karena ia tentu menganggap bahwa dalam pertempuran, siapa lebih cepat atau lebih dulu menyerang berarti menang kedudukan. Akan tetapi bagi orang-orang sakti seperti Gan-lopek dan It-gan Kai-ong, malah sebaliknya. Yang menyerang lebih dulu sebetulnya malah lebih lemah kedudukannya, karena setiap serangan berarti melemahkan pertahanan sendiri dan kadang-kadang kalau lawan melihat bagiannya yang lemah, terbukalah ‘lubang’ dan hal ini berbahaya.
Inilah sebabnya maka keduanya sekarang sedang menaksir-naksir dan seakan-akan segan untuk mulai menyerang lebih dulu. Akan tetapi karena tadi It-gan Kaiong sudah menyerang sebagai pembukaan pertandingan, Gan-lopek yang tidak mau dianggap takut, kini membalas dengan penyerangannya. Ia berseru keras dan tubuhnya bergerak ke depan, sepasang mou-pit di tangannya berubah menjadi dua gulung sinar putih hitam yang kecil tapi terang menyambar-nyambar ke depan mengancam tubuh It-gan Kai-ong bagian atas dan bawah.
Biar pun sepasang pena bulu itu menotok bertubi-tubi ke arah tujuh belas jalan darah, It-gan Kai-ong dapat menghindarkan diri dengan gerakan tongkatnya yang menjadi gulungan sinar melingkarlingkar dan seperti seekor ular yang melindungi seluruh tubuhnya. Kemudian tiba-tiba tongkatnya membalas dengan babatan ke bawah, mengancam kedua kaki Gan-lopek.
Tubuh kakek ini, dengan pantatnya tetap megal-megol seperti ikan emas berenang, tiba-tiba mumbul ke atas sehingga babatan tongkat hanya lewat di bawah kedua kakinya. Dari atas Gan-lopek meluncur turun didahului pena bulu hitam menotok leher, ketika lawan menangkis, pena bulu putih menerjang dan sasarannya kini adalah pusar! Hebat bukan main sepak terjang kakek pelukis ini sehingga It-gan Kai-ong harus menggunakan segala kepandaiannya untuk menghindarkan diri. Gerakan Empek Gan gesit dan aneh, apa lagi dengan gerakan khusus pantatnya yang megal-megol ini membingungkan lawannya.
Namun It-gan Kai-ong adalah seorang di antara Thian-te Liok-koai. Tentu saja kepandaiannya sudah amat tinggi dan betapa pun lihainya Empek Gan, kiranya tidak akan dapat mengalahkannya dengan mudah dan paling-paling hanya dapat mengimbanginya saja. Begitu rapat dan kuat pertahanan masing-masing sehingga setelah saling serang dan saling keluarkan ilmu-ilmu simpanan selama seratus jurus, belum juga ada yang tampak terdesak.
Memang harus diakui bahwa pihak Empek Gan lebih banyak menyerang, namun serangan-serangannya yang lihai selalu gagal! Di lain pihak, It-gan Kai-ong juga merasa penasaran sekali. Ia telah mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang pilihan, bahkan telah mengerahkan sinkang-nya yang simpanan, namun tetap tak mampu ia mendesak kakek pelukis itu, apa lagi menjatuhkan! Karena penasaran, ia menjadi marah dan tiba-tiba ia meludah, menggunakan senjatanya yang kotor dan licik ke arah muka Empek Gan.
“Heh, jembel busuk!” Empek Gan memaki, pena bulunya mengebut dan... air itu menyambar balik, kembali ke arah tuannya.
Akan tetapi It-gan Kai-ong memang tidak bermaksud menggunakan ‘ilmu’ meludah ini yang ia tahu takkan ada gunanya terhadap seorang lawan seperti Empek Gan. Ia tadi meludah hanya untuk melampiaskan hatinya yang gemas. Kini ia berteriak nyaring, suaranya melengking tinggi dan tiba-tiba gerakan tongkatnya berubah sama sekali. Angin dari empat penjuru menyambar dan berputar-putar seperti angin puyuh yang menyerang ke arah Gan-lopek.
“Ayaaa...!” Gan-lopek berseru terkejut.
Baru kali ini ia menyaksikan daya serangan sehebat dan seaneh ini. Ia memaksa diri untuk menangkis dan mengerahkan lweekang-nya, namun tetap saja ia ikut terputar oleh daya serang tongkat yang menimbulkan kekuatan seperti angin puyuh ini sehingga tubuhnya berpusing tak tertahankan lagi! Ia tidak tahu bahwa inilah ilmu yang telah dipelajari oleh It-gan Kai-ong dari kitab rampasannya dari tangan Bu Kek Siansu, yaitu kitab yang separuh terampas olehnya sedangkan separuhnya lagi terampas oleh Hek-giam-lo.
Tadinya It-gan Kai-ong tidak ingin mengeluarkan ilmu ini sebelum ia berada di puncak Thai-san dan berhadapan dengan anggota-anggota Thian-te Liok-koai yang lain, hendak menggunakannya sebagai ilmu simpanan untuk senjata terakhir. Akan tetapi karena Gan-lopek merupakan lawan yang ampuh dan ulet bukan main, saking mendongkolnya, It-gan Kai-ong segera mengeluarkannya dan hasilnya bukan main!
Sayang bagi It-gan Kai-ong, ilmu itu hanya sebagian saja ia miliki, sedangkan bagian lain berada di tangan Hek-giam-lo, maka ia seperti kenal kepala tidak kenal buntut, tahu awal tidak tahu akhir. Lawannya sudah ‘tertawan’ oleh daya serangannya, sudah ikut berpusing, akan tetapi ia tidak tahu bagaimana untuk melanjutkan ilmunya dan merobohkan lawan. Betapa pun juga, dalam keadaan berpusing seperti itu banyak lowongan terdapat dalam kedudukan Gan-lopek. Dengan terkekeh-kekeh beringas It-gan Kai-ong menggerakkan tongkathya untuk memberi pukulan maut kepada lawannya ini. Tongkatnya sudah berkelebat menusuk ke arah lambung!
“Trakkkkk...!” tiba-tiba segulung sinar kuning menyambar dan menangkis tongkat It-gan Kai-ong yang menusuk lambung Gan-lopek, disusul ucapan nyaring. “Gan-lopek, jangan takut, biarkan kutusuk matanya yang sebelah dan kau coret-coret mukanya dengan tinta hitam putih!”
It-gan Kai-ong kaget sekali karena tangkisan pedang itu membuat kakinya tergeser. Tidak hebat tenaga orang yang baru datang ini, akan tetapi gerakannya benar-benar luar biasa sekali. Ia terbelalak heran dan matanya yang tinggal satu itu mengeluarkan sinar berapi ketika ia mengenal bahwa yang datang menolong Gan-lopek ini ternyata hanya seorang gadis remaja yang bukan lain adalah Lin Lin.
Lebih-lebih kaget dan herannya ketika Lin Lin sudah mengerjakan pedangnya, Pedang Besi Kuning menerjang dengan gerakan-gerakan yang luar biasa sekali. Karena tadinya ia memandang rendah, menyangka bahwa gadis ini masih seperti dulu yang tidak seberapa kepandaiannya, It-gan Kai-ong tadinya berlaku lambat. Siapa tahu kesalahan menduga ini hampir mencelakakannya. Tahu-tahu pedang itu dengan gerakan melingkar sudah mendekati tenggorokan dan ketika ia mengelak, tahu-tahu ujung pedang sudah dekat sekali dengan matanya yang tidak buta, merupakan serangan yang luar biasa sekali dan agaknya matanya akan benar-benar ditusuk!
Baiknya It-gan Kai-ong memiliki kepandaian yang amat tinggi. Dalam keadaan berbahaya ini, menangkis atau mengelak sudah tak keburu, ia meludah dan... air ludahnya muncrat ketika bertemu pedang. Kekuatan air ludah ini hebat karena ternyata sudah dapat menahan pedang sehingga ia berhasil menggerakkan tongkatnya menangkis pedang yang datang agak terlambat karena tangkisan air ludah tadi.
“Wah, kotor! Keparat busuk, manusia jorok! Pedangku kena ludahnya! Celaka...!” Lin Lin melompat mundur dan menggosok-gosokkan pedangnya pada batang pohon untuk menghapus air ludah yang menempel di situ!
Ada pun It-gan Kai-ong yang merasa kaget sekali menyaksikan gerakan pedang Lin Lin, maklum bahwa kalau ia dikeroyok, akan berbahaya baginya. Ia seorang sakti, akan tetapi sebagai seorang manusia iblis tentu saja ia tidak segan-segan menggunakan kecurangan dan kelicikan. Melihat bahwa keadaan dirinya berada di pihak lemah, selagi Lin Lin ribut membersihkan pedang, ia cepat menggunakan kesempatan untuk melesat pergi sambil berseru.
“Gan-lopek, kegembiraanku lenyap dengan datangnya gangguan seorang bocah. Lain kali kita lanjutkan!”
“Dia curang, dia licik, main kotor!” Lin Lin memaki-maki, kemudian menoleh kepada Gan-lopek dan berkata, “Gan-lopek, apakah kau juga datang hendak menonton pertandingan para iblis itu?”
Sejenak, seperti juga It-gan Kai-ong tadi, Gan-lopek tertegun, dan tercengang menyaksikan gerakan pedang Lin Lin. Akan tetapi ia segera tertawa. “Ha-ha-ha, si iblis mata satu itu kiranya jeri menghadapi seorang nona!” Lalu kegembiraannya mereda ketika ia teringat akan muridnya.
“Nona yang baik, muridku terjerumus ke dalam jurang. Kau sahabat baiknya, bukan? Mari bantu aku mencarinya, mudah-mudahan dia masih hidup!”
Bukan main kagetnya hati Lin Lin mendengar ini dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu ikut kakek itu menuruni jurang dengan hati-hati melalui jalan memutar yang tidak begitu terjal. Jurang itu amat curam dan betapa pun pandainya seorang manusia biasa yang tidak pandai terbang seperti burung tak mungkin dapat menuruninya tanpa memilih jalan memutar. Oleh karena jalan memutar inilah maka sejam lebih kemudian baru mereka berdua dapat sampai ke dasar jurang dan mulai mencari-cari. Namun tidak ada jejak mau pun bayangan Lie Bok Liong!
Ke manakah pemuda yang tadi terjungkal masuk ke dalam jurang itu? Apakah tubuhnya sudah hancur lebur terbanting dari tempat yang amat tinggi sehingga tidak ada bekasnya lagi? Agaknya akan begitulah kalau tidak terjadi hal yang kebetulan dan aneh, dan yang menyelamatkan nyawanya.....
Ketika tubuhnya terjungkal dan melayang turun dengan kecepatan mengerikan, Bok Liong sudah yakin bahwa ia tentu akan tewas. Namun sebagai seorang yang berjiwa gagah, ia menggigit bibirnya dan menahan diri agar tidak berteriak ketakutan. Bahkan kedua tangannya lalu mencengkeram sana-sini, mencari pegangan. Tentu saja ia tidak dapat mencari apa yang akan dipegang atau disambarnya, karena ia hanya melihat bayangan-bayangan batu terbang ke atas di sampingnya, amat cepat memusingkan kepala. Akhirnya, tubuhnya yang melayang terlampau dekat dengan batu menonjol terbentur pada batu itu. Karena yang terbentur itu adalah pundaknya dan kepalanya juga sedikit menyerempet batu, Bok Liong merasa kepalanya seolah-olah pecah dan seketika pandang matanya dan pikirannya menjadi gelap, ia pingsan tapi masih melayang terus ke bawah.
Ia tidak tahu betapa sebelum tubuhnya menimpa batu-batu di dasar jurang, tiba-tiba berkelebat bayangan yang berseru aneh, lalu bayangan ini melesat ke arah ia akan jatuh, menggerakkan kedua tangannya dan tubuhnya terayun naik lagi. Karena kekuatan luncuran tubuhnya tadi amat keras, kini oleh bayangan itu dibelokkan dan membalik ke atas lagi, maka ada empat lima meter tubuhnya melayang ke atas, lalu turun kembali dan disambut oleh kedua tangan bayangan itu.
Hanya sebentar Bok Liong pingsan. Ketika ia membuka kedua matanya, ia merasa kepala dan lehernya basah semua. Ia gelagapan dan membuka matanya, seketika ingat bahwa ia tadi melayang jatuh. Ketika ia bangun, kiranya ia sudah duduk di atas batu. Dan tak jauh dari situ ia melihat seorang wanita muda berjalan pergi. Melihat tubuhnya tidak hancur, biar pun ada luka-luka sedikit dan pundaknya sakit, Bok Liong menjadi heran dan mengira bahwa dia tentu sudah mati. Inikah neraka? Ia menjadi bingung dan melihat wanita muda itu cepat ia memanggil.
“Heeeiii, Nona, tunggu...!”
Gadis itu menengok sebentar, akan tetapi lalu lari pergi.
“Eh, kau Sian Eng...!” Bok Liong begitu heran sampai ia meloncat berdiri, tidak mempedulikan rasa nyeri di pundaknya dan melompat lari mengejar. Biar pun hanya sekali menoleh, ia mengenal wajah itu, wajah Sian Eng! Akan tetapi dalam sekejap mata saja bayangan gadis itu sudah lenyap dan kecepatan yang luar biasa ini membuat Bok Liong berhenti termangu-mangu.
“Aku tentu sudah mati... dan agaknya Sian Eng juga sudah mati... tentu ini alam baka...,” pikirnya sambil kembali duduk di atas batu.
Akan tetapi sedikit demi sedikit pikirannya menjadi terang kembali. Ia masih dapat merasa, tubuhnya masih lengkap, pikirannya masih utuh dan ia tahu bahwa ia berada di dalam jurang, bahwa It-gan Kai-ong berada di atas jurang sana dan kakek itulah yang membuat ia terguling ke dalam jurang. Entah bagaimana ia tidak terbanting remuk. Agaknya Sian Eng yang telah menolongnya, betapa tidak mungkinnya hal ini terjadi.
Sian Eng cukup ia kenal. Tidak hanya orangnya, malah ia kenal pula kepandaiannya, tidak lebih tinggi dari pada tingkatnya, malah jauh lebih rendah. Bagaimana gadis itu mau menolongnya? Bagaimana caranya? Dan andai kata benar Sian Eng gadis itu tadi, dan Sian Eng menolongnya, mengapa tadi terus pergi dan mengapa ada bayangan yang begitu aneh pada wajah gadis yang biasanya halus peramah itu?
Ketika teringat lagi bahwa It-gan Kai-ong masih di atas dan mungkin sekali kakek itu akan mencari jalan ke bawah dan melihatnya masih hidup, Bok Liong segera menguatkan diri, berdiri dan pergi cepat-cepat dari tempat itu. Untung pundaknya tidak patah tulangnya, hanya luka kulit dan daging di bahu saja.
Inilah sebabnya mengapa Lin Lin dan Gan-lopek tidak dapat menemukan Bok Liong, bekas-bekasnya pun tidak. Hal ini membuat Gan-lopek terheran-heran, akan tetapi Lin Lin segera menjatuhkan diri di atas batu dan menangis tersedu-sedu.
“Eh-eh, mengapa kau menangis?” Gan-lopek bertanya heran.
Lin Lin tidak menjawab, tetapi terus menangis keras dan akhirnya dengan kata-kata bercampur isak ia berkata, “Kasihan... Liong-twako... tentu telah hancur lebur... ah, Liong-twako kau orang yang amat baik... mengapa mengalami nasib begini buruk? Mati pun tidak ada kuburnya... ah, Liong-twako...!” Lin Lin menangis makin keras karena memang gadis ini merasa kasihan dan berduka.
“Hush, bocah tolol, kenapa kau bicara yang bukan-bukan? Siapa bilang Bok Liong sudah mati?”
Seketika terhenti tangis Lin Lin dan ia berdongak memandang wajah kakek itu dengan mata merah. Diam-diam si kakek girang sekali melihat bahwa gadis ini betul-betul menangisi Bok Liong muridnya, tanda bahwa gadis ini betul-betul mencinta muridnya.
Melihat pandang mata Lin Lin penuh pertanyaan seakan-akan heran mendengar kata-katanya tadi, Gan-lopek segera tertawa dan berkata, “Ha-ha-ha, anak baik, tenangkan hatimu dan bergembiralah. Bok Liong belum mati. Kalau tubuhnya terbanting ke dasar ini, biar pun akan hancur berantakan, sedikitnya kita tentu akan menemukan daging atau tulangnya, atau tentu ada tanda-tanda darahnya. Akan tetapi tidak terdapat tanda-tanda itu, hal ini hanya bisa berarti bahwa Bok Liong telah selamat, entah bagaimana cara Tuhan menyelamatkan seorang yang membela kebenaran, akan tetapi percayalah, aku yakin bahwa Bok Liong pasti masih hidup dan selamat di saat itu.”
Bukan main girangnya hati Lin Lin. Kegirangan luar biasa yang tidak dibuat-buat. Seketika ia melompat bangun dan merangkul kakek itu dan... menangis lagi.
“Eh-eh, bagaimana ini? Kenapa kau begini cengeng, hah?” Akan tetapi diam-diam Gan-lopek mengangguk-angguk dan hatinya sudah setuju seratus prosen kalau muridnya berjodoh dengan gadis ini. Ia tahu betul betapa besar cinta kasih Bok Liong terhadap Lin Lin. Hal ini diucapkan sendiri oleh Bok Liong dalam keadaan tidak sadar ketika ia merawat muridnya itu setelah menyelamatkannya dari tangan Hek-giam-lo. Dan sekarang, melihat sikap Lin Lin, agaknya muridnya tidak bertepuk sebelah tangan, cinta kasih muridnya terhadap Lin Lin bukan tiada terbalas.
Tiba-tiba Lin Lin mengundurkan diri dan tertawa. Gan-lopek membelalakkan matanya, tapi kemudian ia pun tertawa, girang bukan main karena ternyata calon ‘mantu murid’ ini memiliki watak yang aneh. Keduanya tertawa-tawa di dasar jurang, seperti dua orang yang sama-sama menonton dagelan (badut) di panggung. Akan tetapi kalau ada orang lain melihat mereka, tentu mengira mereka berdua itu sudah menjadi gila atau mungkin juga mereka disangka iblis-iblis penjaga jurang!
“Eh, nanti dulu. Kenapa kau tertawa?” Akhirnya Gan-lopek berhenti dan bertanya karena merasa betapa suara ketawanya kalah merdu oleh nona itu. Ia seakan-akan merasa seorang penyanyi yang merasa kalah indah suaranya.
Lin Lin akhirnya dapat menghentikan ketawanya pula. Sambil tersenyum dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju, gadis ini berkata, “Banyak sekali hal yang patut membikin aku tertawa, Kek,” tanpa ragu-ragu ia menyebut kakek kepada Gan-lopek.
“Apa itu? Kukira kau tertawa saking bahagia mendengar Bok Liong belum mati.”
“Itulah yang pertama kali memang. Aku girang sekali bahwa Liong-twako belum mati. Benar sekali dugaanmu, Kek, agaknya memang Liong-twako tertolong secara ajaib dan belum tewas. Hal ini amat menggirangkan hatiku, karena muridmu itu seorang yang amat baik terhadap aku, sehingga kalau ia mati aku akan merasa sedih sekali.”
“Hemmm, lalu hal apa lagi yang membikin kau tertawa selain hal yang kau sebutkan tadi?”
Kembali Lin Lin tertawa dan tak segera menjawab. Ia ketawa geli terpingkal-pingkal sambil menudingkan telunjuknya ke arah Gan-lopek. Kakek ini tercengang keheranan, memandang ke sana ke mari, berputaran berkeliling untuk mencari apa yang menyebabkan Lin Lin tertawa. Agaknya perbuatannya ini makin menggelikan hati Lin Lin yang makin terpingkal-pingkal. Akhirnya kakek itu juga tertawa menandingi Lin Lin.
Gadis ini terkejut dan tentu ia akan segera berhenti tertawa saking kagetnya karena suara ketawa kakek itu kali ini bukanlah suara ketawa wajar, melainkan suara ketawa yang mengandung khikang dan yang membuat ia hampir terjengkang karena suara itu mendebarkan jantungnya dan membuatnya seperti lumpuh. Akan tetapi, gadis nakal ini tidak menghentikan suara ketawanya, bahkan kini pun ia mengerahkan khikang dan sinkang-nya, disalurkan ke dalam suara ketawanya untuk menandingi Gan-lopek.
Maka terjadilah hal aneh dan terdengarlah hal aneh pula. Suara ketawa mereka, yang satu merdu tinggi yang lain rendah parau, terbahak-bahak dan bergema dari dasar jurang membubung naik sampai keluar jurang, suara yang tentu akan dianggap orang yang tak melihat mereka sebagai suara ketawa raja iblis dan kuntilanak sendiri! Lebih aneh lagi melihat keadaan tubuh mereka. Tidak seperti orang bergirang tertawa karena keduanya berdiri tegak, lutut sedikit ditekuk seperti orang memasang kuda-kuda, wajah sama sekali tidak seperti orang kegirangan, melainkan sungguh-sungguh dan seperti orang mengerahkan tenaga ketika sedang buang air dan sukar keluar!
“Stop...! Stop...!” Akhirnya Gan-lopek berseru sambil meloncat ke atas.
Lin Lin hampir terjengkang dan hal ini adalah karena Empek Gan telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk ‘mendorong’ gadis itu dalam ‘pergulatan’ tenaga suara yang kalau dilanjutkan akan berbahaya itu. Setelah berhasil mendorong, ia melompat dan terbebaslah mereka dari pada pertandingan khikang yang hebat itu. Kini Gan-lopek memandang dengan bengong, hanya bibirnya yang bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara sehingga kumis dan jenggotnya saja yang bergerak-gerak.
Lin Lin juga mengerahkan hawa murni untuk mengembalikan tenaga, kemudian ia memandang dan berkata, “Kau hebat, Kek!”
Si tua menarik napas panjang, mengelus-elus jenggot dan mengangguk-angguk. “Siapa bilang aku hebat? Tidak, anak baik, aku tua bangka dan tiada gunanya lagi. Akan tetapi engkau... ah, hampir aku tidak percaya bahwa kau memiliki khikang yang begitu hebat. Hampir aku tidak kuat menahannya. Kau anak nakal, apa kau tadi bermaksud membunuh aku si tua bangka, yang biar pun jelek-jelek masih guru Bok Liong?”
Lin Lin kaget. “Ah, mana mungkin aku mencelakakanmu, Kek? Andai kata ada maksud yang buruk itu, tak mungkin aku mampu. Menghadapi seorang sakti seperti kau ini, Kek, aku tiada ubahnya seekor semut melawan gajah!”
“Huh-huh, kadang-kadang si semut berhasil memasuki telinga gajah dan si gajah tua bangka mampus sendiri! Anak baik, aku pernah melihatmu, pernah mendengar dari Bok Liong, akan tetapi kepandaianmu tidak seperti yang kau perlihatkan tadi. Anak nakal, kau memiliki ilmu begini hebat, mengapa berpura-pura bodoh?”
Kini Lin Lin benar-benar merasa heran. Akan tetapi segera ia menjadi girang sekali karena ia dapat menduga bahwa ilmu yang ia dapatkan di dalam tongkat Pusaka Beng-kauw itulah agaknya yang tadi mendatangkan khikang luar biasa yang membuat Empek Gan kaget setengah mati dan keheranan. Akan tetapi, teringat akan nasihat Suling Emas, Lin Lin tidak mau membuka rahasia ini dan ia hanya berkata.
“Kakek Gan, kau orang tua harap jangan mengejek orang muda. Kepandaian apa yang kupunyai? Dari pada mengejek dan membikin panas perut orang muda, lebih baik kau orang tua memberi petunjuk-petunjuk sehingga ilmuku yang mentah akan menjadi matang dan berguna!”
Empek Gan tertawa. “Wah, boleh... boleh... memang aku tahu bahwa kalau ilmumu sudah matang, aku si tua mana mampu menandingimu? Tapi, kau tadi bicara tentang perut panas, tidak demikian dengan perutku. Perutku perih sekali!” Tiba-tiba terdengar ‘ayam berkokok’ dari dalam perut kakek itu sehingga Lin Lin tertawa geli.
“Tunggulah, Kek. Betapa pun juga, aku adalah seorang wanita dan aku tahu bagaimana caranya menyembuhkan perut perih.” Setelah berkata demikian, gadis ini berlari memasuki hutan dan tak lama kemudian ia sudah kembali membawa seekor kelinci yang gemuk sekali.
Di dalam hatinya, Lin Lin girang dan gembira karena ia mendapat jalan untuk menyempurnakan ilmu yang baru ia dapat, yaitu dengan minta petunjuk-petunjuk Empek Gan pada bagian yang sulit. Maklum bahwa kakek ini seorang sakti, maka ia segera menggunakan kecerdikannya untuk ‘mengambil hati’ melalui perut lapar Kakek Gan.
********************
Kita tinggalkan dulu Lin Lin dan Empek Gan, dan mari kita selidiki siapakah gerangan gadis yang telah menolong Bok Liong secara aneh itu? Menurut pandangan Bok Liong, gadis itu mirip benar dengan Sian Eng, akan tetapi tidak mau berhenti ketika ia dipanggil.
Siapakah gadis itu sesungguhnya? Pandang mata Bok Liong yang tajam memang tidak salah. Gadis itu adalah Sian Eng! Akan tetapi kita tahu bahwa ilmu kepandaian Sian Eng tidaklah amat tinggi, dan sebaliknya, cara menolong Bok Liong yang melayang jatuh dari atas jurang itu hanya akan dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kesaktian luar biasa. Untuk mengetahui rahasia ini, mari kita ikuti perjalanan dan pengalaman Sian Eng.
Telah kita ketahui bahwa Sian Eng dapat dibujuk oleh laki-laki yang dikasihinya, Suma Boan, untuk memasuki lorong rahasia di bawah tanah bekas tempat sembunyi Tok-siauw-kui yang belasan tahun lamanya bertapa dan bersembunyi di tempat ini. Dan kemudian betapa Sian Eng terjebak ke dalam ruangan di bawah tanah oleh alat-alat rahasia yang agaknya telah dipasang orang sehingga ia terkurung oleh empat dinding batu tanpa dapat mencari jalan ke luar karena jalan ke luar satu-satunya hanya mendorong batu yang menutup lorong, padahal batu itu beratnya ribuan kati dan ternyata Suma Boan sendiri dari luar ruangan itu tak mampu menggerakkan batu ini!
Di bagian depan cerita ini, kita tinggalkan Sian Eng dalam keadaan roboh dan dikeroyok oleh kelelawar-kelelawar kecil beracun yang menyerangnya dengan gigitan, lalu menyedot darahnya. Setelah roboh dan merasa betapa kelelawar-kelelawar itu menyerbunya, Sian Eng diserang rasa takut dan ngeri yang bercampuran dengan sakit di seluruh tubuhnya. Gigitan binatang-binatang kecil itu mendatangkan rasa panas, gatal dan perih. Ia bergulingan ke sana ke mari, menjerit-jerit seperti orang gila, kemudian di dalam gelombang kengerian dan ketakutan itu timbullah suatu kenekatan yang luar biasa, kemarahan yang secara aneh membuat ia tiba-tiba mendapatkan kekuatan baru.
Sian Eng meloncat bangun, kedua tangannya mencengkeram kelelawar-kelelawar yang masih menempel di tubuhnya, membanting, menginjak, bahkan ia lalu menggigit kepala binatang-binatang kecil itu, meremukkan kepala dan menghisap darahnya. Rasa sakit yang amat hebat membuat gadis ini seperti tidak ingat lagi akan keadaan sekitarnya, yang ada di dalam ingatan hanya membalas, membunuh, mengamuk!
Pergulatan menyeramkan di gelap ini, seandainya terjadi di tempat terang dan kelihatan orang lain tentu akan membuat orang merasa ngeri dan seram. Gadis itu sudah tidak karuan lagi pakaiannya, robek sana-sini, rambutnya terurai awut-awutan. Juga tingkah lakunya seperti orang gila. Ia bergulingan, kadang-kadang meloncat berjingkrak-jingkrak, kadang-kadang tertawa, lalu menangis, semua ini karena penderitaan rasa nyeri yang hebat ditambah rasa takut dan ngeri. Akan tetapi tiada hentinya ia membunuh kelelawar dan bahkan mulai makan dagingnya dan minum darahnya.
Semalam suntuk Sian Eng bergulat. Bangkai kelelawar bertumpuk-tumpuk di ruangan itu dan entah sudah berapa banyak darah yang diminumnya, daging yang ditelannya. Akhirnya malam pun berakhir berganti pagi dengan ditandai seberkas cahaya memasuki ruangan. Cahaya ini membantu Sian Eng mengusir kelelawar-kelelawar. Akan tetapi Sian Eng juga kehabisan tenaga, menggeletak terlentang pingsan di atas bangkai-bangkai kelelawar! Pakaiannya robek-robek, kulitnya penuh bintik-bintik merah dari darah yang keluar dari luka-lukanya.
Sehari penuh Sian Eng menggeletak di atas bangkai-bangkai kelelawar di dalam ruangan di bawah tanah itu, setengah pingsan setengah tidur, atau seperti telah mati. Akan tetapi setelah matahari tenggelam dan ruangan itu menjadi gelap, kelelawar-kelelawar kecil mulai beterbangan kemudian menyerangnya. Sian Eng seperti dibangunkan dan seakan-akan seekor hantu betina atau kuntilanak yang hanya ‘hidup’ di waktu malam, ia bangkit lagi dan seperti malam kemarin, kembali terjadi pertandingan dengan kelelawar-kelelawar kecil yang menyerang dan mengeroyoknya secara ganas sekali.
Kembali Sian Eng menjadi korban gigitan, akan tetapi anehnya gerakan-gerakannya lebih tangkas dan lebih ganas dari pada kemarin. Kini lebih banyak lagi kelelawar yang mati, dan lebih banyak lagi yang darah dan dagingnya memasuki perut Sian Eng! Kembali semalam suntuk terjadi perang kecil yang ganas mengerikan di dalam ruangan gelap, akan tetapi kali ini Sian Eng kelihatannya makin kuat saja sehingga menjelang pagi, binatang-binatang itu mulai gentar dan hanya satu dua ekor yang berani menerjangnya. Namun sekali sambar, Sian Eng menangkapnya, merobeknya menjadi dua dan mengisap darah yang menyembur ke luar. Agaknya rasa darah, sakit hati, dan ditambah lapar dan haus membuat Sian Eng berubah seperti seorang kuntilanak! Anehnya, begitu sinar matahari menerangi ruangan, Sian Eng baru merasa lemas dan letih, lalu terguling dan menggeletak telentang setengah telanjang di atas ‘kasur’ yang terbuat dari bangkai kelelawar yang bertumpuk-tumpuk.
Seperti juga kemarin, sehari penuh Sian Eng tidur setengah pingsan. Luka-luka kecil di kulitnya yang putih kuning dan halus, yang kemarin tampak berbintik-bintik merah, kini mulai menghilang, akan tetapi tubuhnya sebentar terasa panas membara, sebentar kemudian dingin seperti salju!
Memang terjadi sesuatu yang hebat pada diri gadis ini. Kelelawar-kelelawar itu ternyata adalah sebangsa kelelawar yang beracun, yang biasanya sekali menggigit orang tentu meninggalkan racun yang akan cukup merampas nyawa orang itu dalam waktu dua tiga hari. Sedangkan Sian Eng telah menerima gigitan yang bertubi-tubi dari kelelawar-kelelawar itu, gigitan ganas yang disertai kemarahan sehingga racun yang jahat dan berbahaya banyak sekali memasuki tubuh dan meracuni darahnya.
Akan tetapi, secara kebetulan sekali keadaan yang mengerikan itu membuat Sian Eng menggila dan mengganas, membuat ia marah dan makan daging kelelawar serta minum darahnya. Justru inilah yang menjadi obat penawar, obat penawar yang tiada keduanya di dunia ini! Di luar pengetahuan dan kesadarannya sendiri, selain dapat mengisi perut untuk menahan lapar dan haus, Sian Eng telah mengobati dirinya sendiri. Tidak saja mengobati dan menghalau bahaya dari racun gigitan kelelawar-kelelawar, bahkan jauh lebih dari itu, ia telah memasukkan sumber tenaga yang amat hebat, karena racun kelelawar itu mengandung hawa panas yang biasanya akan menghanguskan jantung, mengeringkan darah, sebaliknya, racun penawar yang terdapat dalam daging dan darah kelelawar itu mengandung hawa dingin.....
Wanita itu menjerit dan terpental ke belakang, menabrak batu nisan ayahnya yang menjadi pecah seketika! Lin Lin sendiri berdiri terbelalak keheranan karena tidak mengira bahwa pukulannya akan sehebat ini, apa lagi kalau diingat betapa wanita ini memiliki kesaktian, terbukti dari ilmu larinya yang luar biasa.
“Lin-moi, jangan...!” Suling Emas berseru namun terlambat.
Andai kata Suling Emas tidak demikian terpengaruh oleh sumpah Tan Lian, agaknya pendekar sakti ini tadi masih sempat mencegah. Ia kini berkelebat dan tahu-tahu sudah membungkuk dan berlutut di depan tubuh Tan Lian yang rebah dengan mata meram dan muka pucat, mulut mengalirkan darah. Cepat Suling Emas memeriksa dan ia mengeluarkan seruan kaget. Ia sendiri kaget bukan main melihat akibat dari pada pukulan Lin Lin, karena setelah memeriksa ia mengerti bahwa keadaan Tan Lian parah sekali dan nyawa wanita ini takkan dapat ditolong lagi.
Pukulan itu telah meracuni darah dan meretakkan tulang-tulang! Kiranya tanpa disadarinya sendiri Lin Lin telah mewarisi ilmu pukulan dahsyat dari Pat-jiu Sin-ong yang disebut pukulan Tok-hiat-coh-kut (Racuni Darah Patahkan Tulang)! Suling Emas maklum bahwa pukulan ini mengandung hawa beracun yang hebat dan satu-satunya jalan untuk menolong Tan Lian hanya membawanya secepat mungkin kepada tabib yang sakti, karena tabib-tabib biasa saja takkan mungkin mampu menolongnya.
“Bocah lancang!” bentaknya kepada Lin Lin. “Mengapa memukul orang tak berdosa?” Setelah berkata demikian, Suling Emas menyambar tubuh Tan Lian dan dibawanya lari berkelebat lenyap dari tempat itu.
“Koko... tunggu...!” Lin Lin berseru keras sambil mengejar, akan tetapi Suling Emas tidak menjawab dan sudah tidak tampak lagi.
Lin Lin memanggil-manggil dan mengejar ke sana ke mari, akhirnya ia menjatuhkan diri di pinggir jalan dengan napas terengah-engah dan air mata membasahi pipi.
“Dia marah kepadaku...,” pikirnya. “Mengapa marah? Perempuan itu musuhnya. Ah, aku harus mencarinya, dia harus menjelaskan sikapnya ini kepadaku. Dia akan ke Thai-san, aku pun akan ke sana, biar kunanti dia di sana.” Pikiran ini menguatkan hati Lin Lin dan menghilangkan kebingungannya, kemudian ia pun pergi dari tempat itu.
Perjalanan ke Thai-san merupakan perjalanan yang jauh dan sukar, lagi amat berbahaya pada masa itu. Akan tetapi Lin Lin melakukan perjalanan dengan tekun, sabar, dan penuh keberanian. Apa lagi setelah ia dengan satu kali pukulan mampu merobohkan seorang yang lihai, seperti wanita di kuburan itu, timbul kepercayaan besar pada dirinya sendiri, kepercayaan bahwa ia mampu menghadapi siapa pun juga karena pada dirinya terdapat sebuah ilmu yang ampuh dan sakti.
Pikiran ini pula yang membuat Lin Lin makin rajin melatih diri dengan jurus-jurus yang hanya berjumlah tiga belas dari ilmu yang ia dapatkan di dalam tongkat pusaka Beng-kauw, serta mempelajari pula petunjuk-petunjuk cara menghimpun tenaga sakti. Karena ia sendiri tidak tahu apa namanya ilmu yang terdiri dari pada tiga belas jurus itu, Lin Lin lalu menamakannya Cap-sha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Sakti).
Berpekan-pekan Lin Lin melakukan perjalanan menuju ke Thai-san, bertanya-tanya kepada para penduduk dusun dan kota yang dilaluinya. Akhirnya pada suatu hari sampailah ia di kaki Gunung Thai-san. Puncak gunung itu menjulang tinggi, tampak agung dan megah. Hati Lin Lin berdebar. Akan berhasilkah ia bertemu dengan Suling Emas di puncak itu? Bagaimana kalau dia tidak berada di sana? Dan wanita yang memusuhi Suling Emas itu, yang roboh karena pukulannya, akan diapakan Suling Emas?
Hatinya tidak enak dan cemburunya makin besar ketika ia teringat betapa wanita itu ternyata masih muda dan cantik jelita. Serasa terbakar isi dadanya kalau ia teringat betapa wanita itu dipondong oleh Suling Emas dan entah untuk berapa lamanya! Dan masih marah hatinya kalau ia mengenangkan bentakan Suling Emas yang marah-marah kepadanya dan memakinya sebagai bocah lancang. Dia lancang? Memukul seorang wanita yang memusuhi Suling Emas tapi juga mengaku cinta, lancangkah itu?
“Ah, Suling Emas, aku cinta kepadamu... demi cintaku maka aku memukul dia yang tidak kukenal.” Ia menghela napas dan duduk di pinggir jalan, menghapus keringatnya dengan sapu tangan. Hari itu ia telah melakukan perjalanan amat jauh dan enak rasanya menyandarkan tubuh pada batang pohon yang tua dan hampir mati, duduk di atas rumput hijau yang empuk dan ditiupi angin sejuk pada sore hari itu.
Tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara derap kaki kuda. Jalan mulai sukar di bagian itu, maka penunggang kuda itu pun menahan kudanya dan maju perlahan-lahan melalui tanah yang tidak rata. Penunggangnya seorang laki-laki yang bertubuh tegap, memakai caping lebar seperti caping petani, akan tetapi dari balik pundaknya tampak gagang pedang. Melihat duduknya yang tegak lurus dan tidak bergoyang-goyang biar pun si kuda naik turun, Lin Lin mengerti bahwa penunggang kuda ini seorang yang berkepandaian. Akan tetapi dari jauh ia tidak dapat melihat muka yang tertutup caping itu.
Kuda makin mendekati tempat Lin Lin duduk. Penunggang kuda itu mengangkat muka, dan....
“Liong-twako...!” Lin Lin berseru sambil melompat bangun.
“Lin-moi...!”
Penunggang kuda itu, Lie Bok Liong, melompat dari atas punggung kudanya, lari menghampiri Lin Lin dan serta merta memeluknya dan mendekap kepala gadis itu pada dadanya. Begitu besar kegirangan hati Bok Liong sehingga ia lupa diri seperti itu. Sedetik Lin Lin kaget dan jengah, akan tetapi mengingat akan pengorbanan pemuda ini untuknya ia membiarkan dirinya dipeluk dan mukanya didekap erat-erat pada dada Bok Liong.
“Lin-moi... ah, Lin-moi... alangkah bahagia hatiku melihat kau, Moi-moi. Syukur kepada Tuhan bahwa kau selamat, bisa terbebas dari pada tangan Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan yang jahat!” seru Bok Liong dengan suara serak dan ketika Lin Lin merenggangkan diri dan memandang, hatinya terharu menyaksikan betapa pipi pemuda itu basah oleh air mata!
Dengan gerakan halus Lin Lin melepaskan diri dari pelukan itu. Ia tidak marah, tidak merasa terhina, bahkan terharu karena ia maklum bahwa pemuda ini benar-benar amat gembira dengan pertemuan ini sehingga berbuat agak melewati batas kesopanan.
“Twako, tenanglah, mari kita bicara yang enak. Aku pun girang sekali melihat kau selamat. Tadinya aku sudah khawatir sekali, mengira kau tentu tewas oleh kenekatanmu melawan Hek-giam-lo dan orang-orangnya.”
Lin Lin menarik tangan pemuda itu, diajak duduk di atas rumput. Sambil berbuat demikian, Lin Lin menoleh ke sana ke mari, khawatir kalau-kalau ada orang melihat dia tadi dipeluk-peluk pemuda ini. Akan tetapi tempat itu amat sunyi, tidak ada orang lain, bahkan tidak tampak makhluk lain kecuali kuda Bok Liong yang kini dengan enaknya makan rumput dengan peluh membasahi tubuh, tanda bahwa kuda itu pun baru saja melakukan perjalanan jauh.
Bok Liong tertawa, menghapus air matanya. “Ah, maafkan aku, saking girangku sampai tak tahan mengeluarkan air mata seperti bocah cengeng,” katanya.
“Bukan begitu, Twako. Kau terlalu baik hati. Kau telah berusaha berkali-kali untuk menolongku tanpa menghiraukan keselamatan dirimu. Betapa hancur hatiku ketika melihat kau tersiksa tanpa mampu menolongmu kembali. Akan tetapi, bagaimana kau dapat selamat? Aku mendengar bahwa kau tertolong oleh suhu-mu yang lucu itu.”
“Betul, Lin-moi. Suhu yang telah menolongku. Beliau merawatku sampai sembuh dan aku diminta tinggal bersama Suhu untuk memperdalam ilmu. Dan kau sendiri, yang sudah membuat aku putus asa, yang membuat aku hari ini tergesa-gesa hendak menemui Hek-giam-lo dan mengadu nyawa kalau tidak mau membebaskanmu, bagaimana kau dapat bebas dan tahu-tahu berada di sini?”
“Aku ditolong oleh Kim-lun Seng-jin.” Dengan singkat Lin Lin menceritakan pengalamannya dan tentu saja ia tidak menceritakan penemuannya tentang ilmu di dalam tongkat Beng-kauw, juga ia tidak mau menyebut-nyebut nama Suling Emas.
“Tapi mengapa kau bisa berada di kaki Gunung Thai-san ini, Lin-moi?” Bok Liong meraba tangan Lin Lin terus digenggamnya. “Tempat ini berbahaya sekali! Thian-te Liok-koai yang tinggal lima orang, Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni, It-gan Kai-ong, Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong, akan bertemu dan mengadu kepandaian di puncak gunung ini. Kalau sampai bertemu dengan seorang di antara mereka, hal itu amat berbahaya karena mereka adalah orang-orang yang sudah bukan manusia lagi, jahat seperti iblis.”
Lin Lin tersenyum dan senyum ini menyambar dan menancap di ulu hati Bok Liong, melebihi runcingnya pedang.
“Twako, justru kedatanganku ini hendak menonton pertandingan mereka. Tentu ramai sekali!”
Bok Liong melongo dan menggaruk-garuk rambutnya dengan sepuluh jari tangannya. “Nonton? Moi-moi, kau terlalu meremehkan mereka! Ketahuilah, kejahatan mereka sudah tersohor di kolong langit. Kadang-kadang mereka menyiksa dan membunuh orang secara begitu saja, secara sembarangan. Dalam gembira bisa saja mereka membunuh orang, apa lagi dalam marah atau duka. Pendeknya, sedikit persoalan saja cukup untuk mereka jadikan alasan menurunkan tangan iblis. Bahkan agaknya mereka berlomba untuk dapat disebut orang yang paling jahat, karena sebutan ini bagi Thian-te Liok-koai merupakan sebutan kehormatan, yaitu orang jahat nomor satu di dunia! Moi-moi, mari kita pergi cepat-cepat dari tempat terkutuk ini!” Kembali Bok Liong memegang tangan gadis itu erat-erat.
Lin Lin kembali merasa tidak enak tangannya dipegang erat oleh pemuda itu, akan tetapi mengingat akan pengorbanan pemuda itu, ia mendiamkannya saja, lalu menjawab, “Liong-twako, kenapa kau sekarang berubah begini penakut? Belum lama ini kau bahkan berani menghadapi Hek-giam-lo dan orang-orangnya, menyerbu berkali-kali dengan keberanian yang membuat orang sedunia boleh merasa kagum. Kenapa sekarang kau takut? Dan pula, bukankah kau juga datang ke tempat ini? Andai kata tidak berjumpa denganku, kau hendak ke manakah?”
“Ah, Lin-moi, sudah kuceritakan kepadamu tadi. Aku sakit hati kepada Hek-giam-lo, mengira bahwa kau tentu celaka di tangan iblis itu. Oleh karena inilah setelah aku menerima gemblengan dari Suhu, aku sengaja datang ke sini karena teringat akan janji pertemuan para iblis di sini. Aku pasti akan bertemu dengan Hek-giam-lo di puncak dan akan kuajak dia bertempur sampai mati kalau dia tidak bisa mengembalikan kau. Moi-moi, sebelum bertemu denganmu, aku menjadi nekat dan tidak ingin hidup lagi kalau kau tewas di tangan Hek-giam-lo. Akan tetapi setelah kini melihat kau selamat, aku pun ingin hidup, Moi-moi!” Ucapan ini terdengar gemetar penuh perasaan dan mata pemuda itu menatap wajah Lin Lin penuh cinta kasih, membuat Lin Lin terharu dan ia pun membalas pegangan itu dengan mesra.
“Hemmm, kau selalu memikirkan tentang keselamatanku tanpa menghiraukan keselamatanmu sendiri, Twako. Andai kata aku menuruti kehendakmu tidak jadi naik ke puncak untuk nonton pertandingan hebat, lalu kau hendak mengajakku ke mana?”
Tiba-tiba Bok Liong berlutut dan memegangi kedua tangan Lin Lin sambil memandang tajam dan suaranya gemetar, “Lin Lin, Moi-moi... aku... aku akan mengajakmu ke Cin-ling-san, menemui bibi gurumu, aku... aku akan meminangmu untuk menjadi isteriku....”
Bukan main kagetnya hati Lin Lin. Memang, tentu saja ia tahu bahwa pemuda ini mencintanya, akan tetapi mendengar bahwa Bok Liong hendak meminangnya dari tangan bibi gurunya, ia benar-benar menjadi kaget dan wajahnya seketika berubah pucat. Ia menarik kedua tangannya dan bangkit berdiri.
“Tidak... tidak... Liong-twako, aku... menganggapmu sebagai kakak sendiri, seorang kakak yang baik. Biarlah kita bersumpah mengangkat saudara... tapi aku tidak... tidak....”
Bok Liong yang masih berlutut memegang kaki kanan Lin Lin, suaranya penuh permohonan, “Lin Lin, dewi pujaan hatiku... aku cinta kepadamu, Lin Lin. Perlukah ini kujelaskan lagi? Aku mencintaimu semenjak pertemuan kita yang pertama, aku rela mati untukmu... sudilah kau menerima cintaku, bukan sebagai adik, melainkan sebagai calon teman hidup selamanya. Aku bersumpah akan membahagiakan hidupmu selamanya Moi-moi....”
Air mata bercucuran dari sepasang mata Lin Lin. Hatinya amat terharu dan ia yakin bahwa andai kata ia menjadi isteri pemuda ini, sudah pasti hidupnya akan terjamin dengan kasih sayang yang suci. Akan tetapi wajah Suling Emas terbayang di depan matanya, membayang di antara air mata dan tak mungkin ia menerima pinangan pemuda lain selama bayangan wajah ini tidak lenyap dari kenangannya. Ia tahu bahwa Lie Bok Liong adalah seorang pendekar muda pilihan, seorang gagah perkasa yang berhati emas, satria sejati. Namun hatinya telah terampas oleh Suling Emas dan ia hanya memiliki sebuah hati untuk diberikan kepada pria idamannya.
“Tidak, Liong-twako...!”
Setelah berkata demikian, Lin Lin menggerakkan kakinya terlepas dari pelukan Bok Liong dan tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan pemuda itu, lari seperti terbang mendaki gunung Thai-san!
Sejenak Lie Bok Liong tercengang, mukanya pucat sekali, pandang matanya sayu mengikuti bayangan gadis pujaannya yang sebentar saja sudah menghilang di balik pepohonan. Ia menghela napas panjang, meramkan kedua matanya, menggigit bibir kemudian bangkit dan berjalan perlahan, mendaki gunung itu pula. Ia merasa hatinya tertusuk, akan tetapi ia tidak putus asa. Lin Lin tidak pernah menyatakan bahwa gadis itu tidak mencintanya, hanya menolak, mungkin karena malu, mungkin karena kaget dan gelisah. Hal ini memang mungkin sekali, sebagai seorang gadis remaja yang mendengar pengakuan cinta dan pinangan dari seorang muda. Ia tidak putus asa dan akan berlaku sabar.
Akan tetapi hatinya khawatir bukan main melihat gadis itu mendaki puncak Thai-san yang ia tahu amat berbahaya pada waktu itu dengan akan hadirnya iblis-iblis itu. Ia harus mengejar, harus menyusul dan siap untuk membela dan melindungi Lin Lin dari pada marabahaya. Gurunya, Gan-lopek, juga telah menyatakan bahwa pada hari-hari pertandingan para iblis di puncak Thai-san, gurunya itu akan datang untuk menonton pula. Dan agaknya hanya orang-orang sakti yang memiliki kepandaian seperti gurunya itulah yang akan berani datang untuk menonton pertandingan berbahaya itu. Maka hatinya menjadi besar dan dengan tabah Lie Bok Liong terus mendaki lereng gunung yang amat curam dan sukar dilalui itu.
Baru sekarang teringat olehnya betapa cepatnya tadi ia menyaksikan gerakan Lin Lin ketika lari dari padanya mendaki gunung. Padahal ia tahu bahwa ilmu kepandaian gadis itu hanya sebanding saja dengan tingkatnya, kalau tidak lebih rendah malah. Bagaimana tadi ia melihat Lin Lin berlari seperti terbang mendaki gunung sedangkan dia sendiri merasa betapa sukar dan berbahayanya sehingga ia harus bergerak dengan hati-hati dan lambat!
Ketika Lie Bok Liong tiba di daerah gunung itu yang penuh batu besar, di sebuah lereng di punggung gunung Thai-san, tiba-tiba ia mendengar suara orang terkekeh ketawa. Kagetnya bukan main karena ia tidak melihat bayangan orang, mengapa tahu-tahu ada suara ketawa yang menyeramkan ini? Ia menengok dan memandang ke sana ke mari, namun tidak juga melihat bayangan orangnya.
Bulu tengkuk pemuda ini berdiri. Biar pun ia tidak percaya akan setan yang dapat muncul di siang hari, ia dapat menduga bahwa tentu ada orang sakti di tempat itu. Masih untung kalau orang sakti yang baik bagi Bok Liong, akan tetapi suara ketawa itu bukan muncul dan mulut seorang sakti yang baik, melainkan dari mulut seorang iblis sakti yang bukan main kejamnya, yaitu It-gan Kai-ong sendiri!
Kini kakek ini muncul dari balik sebuah batu besar dan mukanya lebih buruk dari pada dulu. Punggungnya makin bongkok, rambutnya yang riap-riapan itu kotor sekali, penuh lumpur dan debu. Mukanya keriputan begitu dalamnya seperti tersayat, matanya yang tinggal sebelah itu melotot sedangkan mata yang buta mengeluarkan air lendir, mulutnya terkekeh dan dari ujung bibirnya mengalir air liur. Tangannya memegang sebatang tongkat butut.
“Heh-heh-ho-hah! Orang muda, pakaianmu seperti seorang kang-ouw, kau membawa-bawa pedang. Apa kebisaanmu?”
Di dalam hatinya Bok Liong mendongkol sekali, akan tetapi maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang iblis sakti yang sama sekali tak boleh dipandang ringan, ia segera menjura dalam-dalam dan menjawab dengan sikap sopan. “Kai-ong (Raja Pengemis) yang mulia, harap maafkan bahwa saya tidak tahu Locianpwe (Orang Tua Gagah) berada di sini sehingga terlambat menyampaikan salam.”
“Hua-hah-hah, kau mengenal aku? Akan tetapi aku tidak mengenal kau.”
“Mana mungkin Locianpwe mengenal saya yang tidak ternama dan bodoh ini? Akan tetapi saya kira Locianpwe sudah mengenal Suhu.”
“Heh-heh, tak perlu kau perkenalkan, aku akan tahu sendiri. Terima ini!” Tiba-tiba tongkat butut di tangan itu bergerak dan tahu-tahu sudah mengancam jalan darah maut di dada kiri Bok Liong dengan totokannya!
“Aaaiiihhhhh!” Bok Liong terkejut sekali, akan tetapi sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi, jurus-jurus silatnya sudah mendarah daging di tubuhnya sehingga gerak otomatisnya berjalan dan ia berhasil mengelak dari totokan ini.
Melihat gerakan itu, terutama sekali bagian tubuh belakang yang megal-megol, It-gan Kai-ong tertawa sambil menarik kembali tongkatnya. “Heh-heh, kau murid si tukang gambar edan Gan-lopek! Mana gurumu? Suruh dia muncul!”
“Maaf, Locianpwe. Saya tidak berani memanggil Suhu kalau beliau tidak berkenan muncul atas kehendak sendiri,” jawaban Bok Liong ini mencerminkan kecerdikannya.
Ia tidak tahu apakah gurunya sudah berada di gunung ini, dan ia pun tidak mau membohong dan menyombong bahwa gurunya akan melindunginya. Akan tetapi jawaban itu membayangkan bahwa gurunya mungkin ada dan mungkin tidak, jadi tidak membohong akan tetapi sekaligus merupakan peringatan bagi It-gan Kai-ong, bahwa Gan-lopek berada di situ maka ia tidak boleh mengganggu murid orang sakti itu!
Akan tetapi It-gan Kai-ong adalah seorang manusia iblis yang sukar digertak. “Heh-heh-heh, kalau begitu gurumu tentu belum datang. Sayang sekali, sebetulnya aku hendak membekuk mampus gurumu itu agar kujadikan bukti bahwa korbanku bukan orang biasa. Akan kagumlah iblis-iblis itu kalau aku berhasil membawa orang she Gan si tukang gambar ke puncak. Menangkapmu tiada gunanya, kau orang tiada guna dan tidak berarti. Tapi kau sudah bertemu denganku di Thai-san, maka kau harus mampus!”
Kaget sekali Bok Liong. Ia bersiap-siap. “Locianpwe, di antara Locianpwe dan saya Lie Bok Liong tidak terdapat pertentangan sesuatu, mengapa Locianpwe hendak membunuhku?” Biar pun ia maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, namun suara pemuda gagah ini sama sekali tidak mengandung rasa takut dan tidak gemetar.
“Huah-ha-ha! Semua iblis yang datang ke sini akan membunuh siapa saja yang dihadapinya, besar kecil tua muda laki perempuan.” Kemudian kakek pengemis yang menyeramkan dan menjijikkan ini membuka mulutnya meludah ke arah Bok Liong. “Cuh-cuh!”
Dua gumpal ludah menyambar bagaikan pelor-pelor baja ke arah muka dan dada Bok Liong. Pemuda ini sudah waspada, cepat ia mengelak dengan loncatan ke kiri sambil mencabut pedangnya. Berkat kegesitan dan kewaspadaannya maka dua gumpal ludah itu tidak mengenai dirinya, melainkan lewat cepat dan amblas masuk ke dalam batu besar di belakangnya!
“Heh-heh-heh, Gan-lopek tidak sia-sia mengajarmu. Boleh juga untuk main-main kau!” Kembali kakek itu meludah, kini ludahnya merupakan semprotan air yang lebar, namun setiap titik air menuju ke arah jalan darah dengan kekuatan yang cukup untuk mematikan lawan.
Bok Liong memutar pedangnya dan terbentuklah gulungan sinar pedang merupakan payung bundar di depan tubuhnya yang menangkis semua percikan air ludah itu. Akan tetapi It-gan Kai-ong kembali menyerang dengan ludah kental yang menyambar seperti peluru-peluru baja. Bok Liong menangkis dengan pedangnya dan alangkah kagetnya ketika ia merasa tangannya tergetar hebat dan hampir lumpuh setiap kali senjatanya itu menangkis gumpalan ludah. Bukan main hebatnya tenaga sinkang yang terkandung dalam serangan ludah-ludah itu.
“Heh-heh-heh-hah-hah-hah, menarilah. Cuh-cuh-cuh!” Kakek itu terus menyerang sambil meludah-ludah.
Bok Liong sibuk sekali dan ia mengerahkan sinkang di tubuhnya lalu mainkan pedangnya dengan cepat. Ia tidak berani lagi menangkis ludah dari depan karena kalau terus-menerus mengadu tenaga ia akan celaka. Kini ia menangkis dari samping sehingga ia hanya mengalihkan arah ludah-ludah itu ke samping.
“Biar sampai habis ludahnya, tak mau aku menerima penghinaan ini,” pikir Bok Liong dan menangkis atau mengelak penuh kelincahan. Betapa pun juga, hanya diserang oleh ludah ini saja sudah cukup membuat Bok Liong repot menyelamatkan diri dan tidak mampu balas menyerang!
Namun kelincahan Bok Liong yang selalu dapat menghindarkan serangan ludahnya membuat It-gan Kai-ong marah luar biasa. Ia merasa penasaran juga karena biasanya serangan ludahnya sudah cukup untuk menewaskan lawan yang muda.
“Eh, kau boleh juga. Cukup berharga untuk berkenalan dengan tongkatku!” Tiba-tiba tubuhnya menerjang maju dan tongkat di tangannya bagi pandang mata Bok Liong sudah berubah menjadi puluhan batang banyaknya yang sekaligus menerjang ke arah dirinya.
Pemuda ini terkejut dan berusaha untuk memutar pedang menangkis semua bayangan tongkat itu sambil bergerak mundur dengan loncatanloncatan lincah. Namun akhirnya ia terpaksa berhenti karena di belakangnya terdapat sebuah jurang yang curam dan menganga lebar, siap mencaploknya!
“Heh-heh-heh, kau hendak lari ke mana sekarang?” It-gan Kai-ong mengejek, terkekeh-kekeh, dan tongkat bututnya mendesak makin dahsyat.
Betapa pun dahsyat dan hebatnya ilmu tongkat It-gan Kai-ong yang digerakkan dengan tenaga saktinya, namun Bok Liong bukanlah seorang pemuda sembarangan. Ia murid terkasih dari Gan-lopek yang sudah menurunkan ilmunya kepada murid ini, bahkan akhir-akhir ini mendapat tambahan gemblengan lebih hebat. Maka menghadapi desakan maut di depan dan ancaman maut di belakang, Bok Liong berlaku nekat dan pedangnya bergerak cepat mengeluarkan suara berdesing. Ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus pilihan, tidak lagi hanya menjaga diri, malah kini ia balas menyerang dengan nekat untuk mengadu nyawa! Pertandingan mati-matian terjadi di pinggir jurang ini.
It-gan Kai-ong tidak lagi terkekeh sekarang. Betapa pun juga, balasan serangan pemuda yang sudah nekat ini tak boleh ia hadapi dengan sembrono kalau ia tidak mau mendapat malu. Kakek ini pun mainkan tongkatnya lebih hebat, mendesak hebat sehingga tiap kali kedua senjata bertemu, Bok Liong merasa lengannya seakan-akan serasa patah.
Namun dengan gigih ia melawan terus. Ketika mendapat lowongan, ia menyambar seperti kilat ke depan, menusukkan pedangnya ke arah perut It-gan Kai-ong. Ia tidak peduli lagi bahwa dalam serangan nekat ini, ia membiarkan dirinya ‘terbuka’ dan tidak terlindung. Pedang Goat-kong-kiam (Pedang Sinar Bulan) di tangannya berubah menjadi cahaya redup kekuningan yang mengandung hawa dingin karena memang ditusukkan dengan pengerahan tenaga Im.
Akan tetapi tiba-tiba pedang itu terhenti gerakannya karena sudah menempel pada tongkat butut di tangan It-gan Kai-ong. Bok Liong kaget dan berusaha menarik kembali pedangnya namun terlambat. Tenaga Im-kang yang terkandung di pedangnya itu ternyata membuat dia celaka karena tenaga ini memungkinkan lawannya yang sakti menempel dan ‘menyedot’ sehingga ia merasa betapa tubuhnya menjadi lemas.
Dalam kenekatannya, Bok Liong tidak mau menyerah mentah-mentah. Ia mengerahkan sisa tenaga yang ada. Tiba-tiba tangan kirinya mengirim pukulan berbareng dengan kedudukan kakinya berubah, melangkah maju. Pukulan ini mengarah dahi lawan yang kalau mengenai tepat akan membahayakan keselamatan nyawa. Akan tetapi karena memang kedudukan Bok Liong sudah kalah dan sudah dikuasai, enak saja It-gan Kai-ong menghadapi pukulan ini. Tangan kirinya menangkis dan sekaligus tongkatnya mendorong, maka terjengkanglah tubuh Bok Liong ke belakang, rebah terlentang.
“Heh-heh-heh, mampuslah kau, murid orang she Gan!” Tongkat itu diangkat dan siap menjatuhkan pukulan maut.
Melihat ini, Bok Liong tidak rela mati di tangan kakek iblis itu. Tubuhnya menggelinding ke belakang dan ia bergulingan cepat sehingga ia terlepas dari pada pukulan tongkat, akan tetapi di lain saat tubuhnya sudah terjungkal ke dalam jurang yang menganga lebar!
Pada saat itu sebuah bayangan berkelebat datang dan kiranya bayangan ini adalah seorang kakek pendek yang bukan lain adalah Empek Gan, guru Lie Bok Liong.
“He, pengemis iblis picak! Kau apakan muridku? Mana dia sekarang?”
“Heh-heh-heh, tua bangka she Gan, apa kau hendak menyusul muridmu ke dasar jurang sana?” Dengan tongkatnya It-gan Kai-ong menunding ke arah jurang.
Berubah wajah Empek Gan. Biasanya dia jenaka dan gembira, akan tetapi karena mendengar bahwa muridnya yang ia sayang terjerumus ke dalam jurang, timbullah kemarahannya. “Jembel busuk berhati iblis! Tak tahu malu benar engkau, beraninya hanya terhadap orang muda. Kalau memang laki-laki, akulah lawanmu, tua sama tua!”
“Wah, tutup mulutmu yang busuk. Kau sendiri di Nan-cao telah menghina muridku. Sekarang aku menghajar muridmu, bukankah sudah pantas?”
“Tak perlu banyak bicara, It-gan Kai-ong. Kau telah membunuh muridku, kau harus dapat membunuhku pula, kalau tidak, kaulah yang akan mengganti nyawanya!”
“Majulah, siapa takut kepadamu?”
Kedua orang kakek ini memasang kuda-kuda. Keduanya tidak main-main lagi, maklum bahwa lawan yang dihadapi kini adalah seorang lawan yang amat tangguh. It-gan Kai-ong melintangkan tongkat bututnya di atas kepala, kaki kanannya ditekuk lututnya dan diangkat ke atas, kaki kiri berdiri di ujung jari, tangan kiri disodorkan ke depan dan matanya yang tinggal satu itu memandang lurus ke depan dengan tajamnya. Ada pun Gan-lopek sudah mengeluarkan sepasang senjatanya pula, yaitu senjata yang disebut Hek-pek-mou-pit (Sepasang Pena Bulu Hitam Putih), yang hitam di tangan kanan sedangkan, yang berbulu putih di tangan kiri. Ia berdiri dengan kedua lutut agak ditekuk ke bawah, tubuh belakangnya menonjol dan bergoyang-goyang, kedua lengannya bersilang.
Ada lima menit mereka hanya berdiri berhadapan macam ini, tidak melakukan penyerangan. Seperti dua ekor jago aduan yang saling pandang dan saling taksir kekuatan masing-masing sebelum bergebrak. Kemudian terdengar si raja jembel terkekeh aneh dan tubuhnya sudah menerjang maju didahului tongkat bututnya. Tongkat ini mengandung tenaga dahsyat dan angin pukulannya sampai menggoyangkan daun-daun pohon di sekitar tempat itu.
“Wesssss!” tongkat butut melayang lewat di dekat kepala Gan-lopek.
Pelukis sakti ini mengerjakan senjatanya, melakukan dua kali totokan maut selagi serangan lawan lewat. Akan tetapi dengan gerakan tubuh yang tepat raja pengemis itu pun dapat menghindarkan diri. Karena gerakan keduanya, mereka sekarang bertukar tempat dan kembali mereka berdiri tak bergerak, saling pandang dengan seluruh urat syaraf di tubuh menegang.
Bagi orang yang belum begitu tinggi ilmu silatnya, mungkin ia lebih suka melakukan penyerangan lebih dulu dalam pertempuran, karena ia tentu menganggap bahwa dalam pertempuran, siapa lebih cepat atau lebih dulu menyerang berarti menang kedudukan. Akan tetapi bagi orang-orang sakti seperti Gan-lopek dan It-gan Kai-ong, malah sebaliknya. Yang menyerang lebih dulu sebetulnya malah lebih lemah kedudukannya, karena setiap serangan berarti melemahkan pertahanan sendiri dan kadang-kadang kalau lawan melihat bagiannya yang lemah, terbukalah ‘lubang’ dan hal ini berbahaya.
Inilah sebabnya maka keduanya sekarang sedang menaksir-naksir dan seakan-akan segan untuk mulai menyerang lebih dulu. Akan tetapi karena tadi It-gan Kaiong sudah menyerang sebagai pembukaan pertandingan, Gan-lopek yang tidak mau dianggap takut, kini membalas dengan penyerangannya. Ia berseru keras dan tubuhnya bergerak ke depan, sepasang mou-pit di tangannya berubah menjadi dua gulung sinar putih hitam yang kecil tapi terang menyambar-nyambar ke depan mengancam tubuh It-gan Kai-ong bagian atas dan bawah.
Biar pun sepasang pena bulu itu menotok bertubi-tubi ke arah tujuh belas jalan darah, It-gan Kai-ong dapat menghindarkan diri dengan gerakan tongkatnya yang menjadi gulungan sinar melingkarlingkar dan seperti seekor ular yang melindungi seluruh tubuhnya. Kemudian tiba-tiba tongkatnya membalas dengan babatan ke bawah, mengancam kedua kaki Gan-lopek.
Tubuh kakek ini, dengan pantatnya tetap megal-megol seperti ikan emas berenang, tiba-tiba mumbul ke atas sehingga babatan tongkat hanya lewat di bawah kedua kakinya. Dari atas Gan-lopek meluncur turun didahului pena bulu hitam menotok leher, ketika lawan menangkis, pena bulu putih menerjang dan sasarannya kini adalah pusar! Hebat bukan main sepak terjang kakek pelukis ini sehingga It-gan Kai-ong harus menggunakan segala kepandaiannya untuk menghindarkan diri. Gerakan Empek Gan gesit dan aneh, apa lagi dengan gerakan khusus pantatnya yang megal-megol ini membingungkan lawannya.
Namun It-gan Kai-ong adalah seorang di antara Thian-te Liok-koai. Tentu saja kepandaiannya sudah amat tinggi dan betapa pun lihainya Empek Gan, kiranya tidak akan dapat mengalahkannya dengan mudah dan paling-paling hanya dapat mengimbanginya saja. Begitu rapat dan kuat pertahanan masing-masing sehingga setelah saling serang dan saling keluarkan ilmu-ilmu simpanan selama seratus jurus, belum juga ada yang tampak terdesak.
Memang harus diakui bahwa pihak Empek Gan lebih banyak menyerang, namun serangan-serangannya yang lihai selalu gagal! Di lain pihak, It-gan Kai-ong juga merasa penasaran sekali. Ia telah mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang pilihan, bahkan telah mengerahkan sinkang-nya yang simpanan, namun tetap tak mampu ia mendesak kakek pelukis itu, apa lagi menjatuhkan! Karena penasaran, ia menjadi marah dan tiba-tiba ia meludah, menggunakan senjatanya yang kotor dan licik ke arah muka Empek Gan.
“Heh, jembel busuk!” Empek Gan memaki, pena bulunya mengebut dan... air itu menyambar balik, kembali ke arah tuannya.
Akan tetapi It-gan Kai-ong memang tidak bermaksud menggunakan ‘ilmu’ meludah ini yang ia tahu takkan ada gunanya terhadap seorang lawan seperti Empek Gan. Ia tadi meludah hanya untuk melampiaskan hatinya yang gemas. Kini ia berteriak nyaring, suaranya melengking tinggi dan tiba-tiba gerakan tongkatnya berubah sama sekali. Angin dari empat penjuru menyambar dan berputar-putar seperti angin puyuh yang menyerang ke arah Gan-lopek.
“Ayaaa...!” Gan-lopek berseru terkejut.
Baru kali ini ia menyaksikan daya serangan sehebat dan seaneh ini. Ia memaksa diri untuk menangkis dan mengerahkan lweekang-nya, namun tetap saja ia ikut terputar oleh daya serang tongkat yang menimbulkan kekuatan seperti angin puyuh ini sehingga tubuhnya berpusing tak tertahankan lagi! Ia tidak tahu bahwa inilah ilmu yang telah dipelajari oleh It-gan Kai-ong dari kitab rampasannya dari tangan Bu Kek Siansu, yaitu kitab yang separuh terampas olehnya sedangkan separuhnya lagi terampas oleh Hek-giam-lo.
Tadinya It-gan Kai-ong tidak ingin mengeluarkan ilmu ini sebelum ia berada di puncak Thai-san dan berhadapan dengan anggota-anggota Thian-te Liok-koai yang lain, hendak menggunakannya sebagai ilmu simpanan untuk senjata terakhir. Akan tetapi karena Gan-lopek merupakan lawan yang ampuh dan ulet bukan main, saking mendongkolnya, It-gan Kai-ong segera mengeluarkannya dan hasilnya bukan main!
Sayang bagi It-gan Kai-ong, ilmu itu hanya sebagian saja ia miliki, sedangkan bagian lain berada di tangan Hek-giam-lo, maka ia seperti kenal kepala tidak kenal buntut, tahu awal tidak tahu akhir. Lawannya sudah ‘tertawan’ oleh daya serangannya, sudah ikut berpusing, akan tetapi ia tidak tahu bagaimana untuk melanjutkan ilmunya dan merobohkan lawan. Betapa pun juga, dalam keadaan berpusing seperti itu banyak lowongan terdapat dalam kedudukan Gan-lopek. Dengan terkekeh-kekeh beringas It-gan Kai-ong menggerakkan tongkathya untuk memberi pukulan maut kepada lawannya ini. Tongkatnya sudah berkelebat menusuk ke arah lambung!
“Trakkkkk...!” tiba-tiba segulung sinar kuning menyambar dan menangkis tongkat It-gan Kai-ong yang menusuk lambung Gan-lopek, disusul ucapan nyaring. “Gan-lopek, jangan takut, biarkan kutusuk matanya yang sebelah dan kau coret-coret mukanya dengan tinta hitam putih!”
It-gan Kai-ong kaget sekali karena tangkisan pedang itu membuat kakinya tergeser. Tidak hebat tenaga orang yang baru datang ini, akan tetapi gerakannya benar-benar luar biasa sekali. Ia terbelalak heran dan matanya yang tinggal satu itu mengeluarkan sinar berapi ketika ia mengenal bahwa yang datang menolong Gan-lopek ini ternyata hanya seorang gadis remaja yang bukan lain adalah Lin Lin.
Lebih-lebih kaget dan herannya ketika Lin Lin sudah mengerjakan pedangnya, Pedang Besi Kuning menerjang dengan gerakan-gerakan yang luar biasa sekali. Karena tadinya ia memandang rendah, menyangka bahwa gadis ini masih seperti dulu yang tidak seberapa kepandaiannya, It-gan Kai-ong tadinya berlaku lambat. Siapa tahu kesalahan menduga ini hampir mencelakakannya. Tahu-tahu pedang itu dengan gerakan melingkar sudah mendekati tenggorokan dan ketika ia mengelak, tahu-tahu ujung pedang sudah dekat sekali dengan matanya yang tidak buta, merupakan serangan yang luar biasa sekali dan agaknya matanya akan benar-benar ditusuk!
Baiknya It-gan Kai-ong memiliki kepandaian yang amat tinggi. Dalam keadaan berbahaya ini, menangkis atau mengelak sudah tak keburu, ia meludah dan... air ludahnya muncrat ketika bertemu pedang. Kekuatan air ludah ini hebat karena ternyata sudah dapat menahan pedang sehingga ia berhasil menggerakkan tongkatnya menangkis pedang yang datang agak terlambat karena tangkisan air ludah tadi.
“Wah, kotor! Keparat busuk, manusia jorok! Pedangku kena ludahnya! Celaka...!” Lin Lin melompat mundur dan menggosok-gosokkan pedangnya pada batang pohon untuk menghapus air ludah yang menempel di situ!
Ada pun It-gan Kai-ong yang merasa kaget sekali menyaksikan gerakan pedang Lin Lin, maklum bahwa kalau ia dikeroyok, akan berbahaya baginya. Ia seorang sakti, akan tetapi sebagai seorang manusia iblis tentu saja ia tidak segan-segan menggunakan kecurangan dan kelicikan. Melihat bahwa keadaan dirinya berada di pihak lemah, selagi Lin Lin ribut membersihkan pedang, ia cepat menggunakan kesempatan untuk melesat pergi sambil berseru.
“Gan-lopek, kegembiraanku lenyap dengan datangnya gangguan seorang bocah. Lain kali kita lanjutkan!”
“Dia curang, dia licik, main kotor!” Lin Lin memaki-maki, kemudian menoleh kepada Gan-lopek dan berkata, “Gan-lopek, apakah kau juga datang hendak menonton pertandingan para iblis itu?”
Sejenak, seperti juga It-gan Kai-ong tadi, Gan-lopek tertegun, dan tercengang menyaksikan gerakan pedang Lin Lin. Akan tetapi ia segera tertawa. “Ha-ha-ha, si iblis mata satu itu kiranya jeri menghadapi seorang nona!” Lalu kegembiraannya mereda ketika ia teringat akan muridnya.
“Nona yang baik, muridku terjerumus ke dalam jurang. Kau sahabat baiknya, bukan? Mari bantu aku mencarinya, mudah-mudahan dia masih hidup!”
Bukan main kagetnya hati Lin Lin mendengar ini dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu ikut kakek itu menuruni jurang dengan hati-hati melalui jalan memutar yang tidak begitu terjal. Jurang itu amat curam dan betapa pun pandainya seorang manusia biasa yang tidak pandai terbang seperti burung tak mungkin dapat menuruninya tanpa memilih jalan memutar. Oleh karena jalan memutar inilah maka sejam lebih kemudian baru mereka berdua dapat sampai ke dasar jurang dan mulai mencari-cari. Namun tidak ada jejak mau pun bayangan Lie Bok Liong!
Ke manakah pemuda yang tadi terjungkal masuk ke dalam jurang itu? Apakah tubuhnya sudah hancur lebur terbanting dari tempat yang amat tinggi sehingga tidak ada bekasnya lagi? Agaknya akan begitulah kalau tidak terjadi hal yang kebetulan dan aneh, dan yang menyelamatkan nyawanya.....
Ketika tubuhnya terjungkal dan melayang turun dengan kecepatan mengerikan, Bok Liong sudah yakin bahwa ia tentu akan tewas. Namun sebagai seorang yang berjiwa gagah, ia menggigit bibirnya dan menahan diri agar tidak berteriak ketakutan. Bahkan kedua tangannya lalu mencengkeram sana-sini, mencari pegangan. Tentu saja ia tidak dapat mencari apa yang akan dipegang atau disambarnya, karena ia hanya melihat bayangan-bayangan batu terbang ke atas di sampingnya, amat cepat memusingkan kepala. Akhirnya, tubuhnya yang melayang terlampau dekat dengan batu menonjol terbentur pada batu itu. Karena yang terbentur itu adalah pundaknya dan kepalanya juga sedikit menyerempet batu, Bok Liong merasa kepalanya seolah-olah pecah dan seketika pandang matanya dan pikirannya menjadi gelap, ia pingsan tapi masih melayang terus ke bawah.
Ia tidak tahu betapa sebelum tubuhnya menimpa batu-batu di dasar jurang, tiba-tiba berkelebat bayangan yang berseru aneh, lalu bayangan ini melesat ke arah ia akan jatuh, menggerakkan kedua tangannya dan tubuhnya terayun naik lagi. Karena kekuatan luncuran tubuhnya tadi amat keras, kini oleh bayangan itu dibelokkan dan membalik ke atas lagi, maka ada empat lima meter tubuhnya melayang ke atas, lalu turun kembali dan disambut oleh kedua tangan bayangan itu.
Hanya sebentar Bok Liong pingsan. Ketika ia membuka kedua matanya, ia merasa kepala dan lehernya basah semua. Ia gelagapan dan membuka matanya, seketika ingat bahwa ia tadi melayang jatuh. Ketika ia bangun, kiranya ia sudah duduk di atas batu. Dan tak jauh dari situ ia melihat seorang wanita muda berjalan pergi. Melihat tubuhnya tidak hancur, biar pun ada luka-luka sedikit dan pundaknya sakit, Bok Liong menjadi heran dan mengira bahwa dia tentu sudah mati. Inikah neraka? Ia menjadi bingung dan melihat wanita muda itu cepat ia memanggil.
“Heeeiii, Nona, tunggu...!”
Gadis itu menengok sebentar, akan tetapi lalu lari pergi.
“Eh, kau Sian Eng...!” Bok Liong begitu heran sampai ia meloncat berdiri, tidak mempedulikan rasa nyeri di pundaknya dan melompat lari mengejar. Biar pun hanya sekali menoleh, ia mengenal wajah itu, wajah Sian Eng! Akan tetapi dalam sekejap mata saja bayangan gadis itu sudah lenyap dan kecepatan yang luar biasa ini membuat Bok Liong berhenti termangu-mangu.
“Aku tentu sudah mati... dan agaknya Sian Eng juga sudah mati... tentu ini alam baka...,” pikirnya sambil kembali duduk di atas batu.
Akan tetapi sedikit demi sedikit pikirannya menjadi terang kembali. Ia masih dapat merasa, tubuhnya masih lengkap, pikirannya masih utuh dan ia tahu bahwa ia berada di dalam jurang, bahwa It-gan Kai-ong berada di atas jurang sana dan kakek itulah yang membuat ia terguling ke dalam jurang. Entah bagaimana ia tidak terbanting remuk. Agaknya Sian Eng yang telah menolongnya, betapa tidak mungkinnya hal ini terjadi.
Sian Eng cukup ia kenal. Tidak hanya orangnya, malah ia kenal pula kepandaiannya, tidak lebih tinggi dari pada tingkatnya, malah jauh lebih rendah. Bagaimana gadis itu mau menolongnya? Bagaimana caranya? Dan andai kata benar Sian Eng gadis itu tadi, dan Sian Eng menolongnya, mengapa tadi terus pergi dan mengapa ada bayangan yang begitu aneh pada wajah gadis yang biasanya halus peramah itu?
Ketika teringat lagi bahwa It-gan Kai-ong masih di atas dan mungkin sekali kakek itu akan mencari jalan ke bawah dan melihatnya masih hidup, Bok Liong segera menguatkan diri, berdiri dan pergi cepat-cepat dari tempat itu. Untung pundaknya tidak patah tulangnya, hanya luka kulit dan daging di bahu saja.
Inilah sebabnya mengapa Lin Lin dan Gan-lopek tidak dapat menemukan Bok Liong, bekas-bekasnya pun tidak. Hal ini membuat Gan-lopek terheran-heran, akan tetapi Lin Lin segera menjatuhkan diri di atas batu dan menangis tersedu-sedu.
“Eh-eh, mengapa kau menangis?” Gan-lopek bertanya heran.
Lin Lin tidak menjawab, tetapi terus menangis keras dan akhirnya dengan kata-kata bercampur isak ia berkata, “Kasihan... Liong-twako... tentu telah hancur lebur... ah, Liong-twako kau orang yang amat baik... mengapa mengalami nasib begini buruk? Mati pun tidak ada kuburnya... ah, Liong-twako...!” Lin Lin menangis makin keras karena memang gadis ini merasa kasihan dan berduka.
“Hush, bocah tolol, kenapa kau bicara yang bukan-bukan? Siapa bilang Bok Liong sudah mati?”
Seketika terhenti tangis Lin Lin dan ia berdongak memandang wajah kakek itu dengan mata merah. Diam-diam si kakek girang sekali melihat bahwa gadis ini betul-betul menangisi Bok Liong muridnya, tanda bahwa gadis ini betul-betul mencinta muridnya.
Melihat pandang mata Lin Lin penuh pertanyaan seakan-akan heran mendengar kata-katanya tadi, Gan-lopek segera tertawa dan berkata, “Ha-ha-ha, anak baik, tenangkan hatimu dan bergembiralah. Bok Liong belum mati. Kalau tubuhnya terbanting ke dasar ini, biar pun akan hancur berantakan, sedikitnya kita tentu akan menemukan daging atau tulangnya, atau tentu ada tanda-tanda darahnya. Akan tetapi tidak terdapat tanda-tanda itu, hal ini hanya bisa berarti bahwa Bok Liong telah selamat, entah bagaimana cara Tuhan menyelamatkan seorang yang membela kebenaran, akan tetapi percayalah, aku yakin bahwa Bok Liong pasti masih hidup dan selamat di saat itu.”
Bukan main girangnya hati Lin Lin. Kegirangan luar biasa yang tidak dibuat-buat. Seketika ia melompat bangun dan merangkul kakek itu dan... menangis lagi.
“Eh-eh, bagaimana ini? Kenapa kau begini cengeng, hah?” Akan tetapi diam-diam Gan-lopek mengangguk-angguk dan hatinya sudah setuju seratus prosen kalau muridnya berjodoh dengan gadis ini. Ia tahu betul betapa besar cinta kasih Bok Liong terhadap Lin Lin. Hal ini diucapkan sendiri oleh Bok Liong dalam keadaan tidak sadar ketika ia merawat muridnya itu setelah menyelamatkannya dari tangan Hek-giam-lo. Dan sekarang, melihat sikap Lin Lin, agaknya muridnya tidak bertepuk sebelah tangan, cinta kasih muridnya terhadap Lin Lin bukan tiada terbalas.
Tiba-tiba Lin Lin mengundurkan diri dan tertawa. Gan-lopek membelalakkan matanya, tapi kemudian ia pun tertawa, girang bukan main karena ternyata calon ‘mantu murid’ ini memiliki watak yang aneh. Keduanya tertawa-tawa di dasar jurang, seperti dua orang yang sama-sama menonton dagelan (badut) di panggung. Akan tetapi kalau ada orang lain melihat mereka, tentu mengira mereka berdua itu sudah menjadi gila atau mungkin juga mereka disangka iblis-iblis penjaga jurang!
“Eh, nanti dulu. Kenapa kau tertawa?” Akhirnya Gan-lopek berhenti dan bertanya karena merasa betapa suara ketawanya kalah merdu oleh nona itu. Ia seakan-akan merasa seorang penyanyi yang merasa kalah indah suaranya.
Lin Lin akhirnya dapat menghentikan ketawanya pula. Sambil tersenyum dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju, gadis ini berkata, “Banyak sekali hal yang patut membikin aku tertawa, Kek,” tanpa ragu-ragu ia menyebut kakek kepada Gan-lopek.
“Apa itu? Kukira kau tertawa saking bahagia mendengar Bok Liong belum mati.”
“Itulah yang pertama kali memang. Aku girang sekali bahwa Liong-twako belum mati. Benar sekali dugaanmu, Kek, agaknya memang Liong-twako tertolong secara ajaib dan belum tewas. Hal ini amat menggirangkan hatiku, karena muridmu itu seorang yang amat baik terhadap aku, sehingga kalau ia mati aku akan merasa sedih sekali.”
“Hemmm, lalu hal apa lagi yang membikin kau tertawa selain hal yang kau sebutkan tadi?”
Kembali Lin Lin tertawa dan tak segera menjawab. Ia ketawa geli terpingkal-pingkal sambil menudingkan telunjuknya ke arah Gan-lopek. Kakek ini tercengang keheranan, memandang ke sana ke mari, berputaran berkeliling untuk mencari apa yang menyebabkan Lin Lin tertawa. Agaknya perbuatannya ini makin menggelikan hati Lin Lin yang makin terpingkal-pingkal. Akhirnya kakek itu juga tertawa menandingi Lin Lin.
Gadis ini terkejut dan tentu ia akan segera berhenti tertawa saking kagetnya karena suara ketawa kakek itu kali ini bukanlah suara ketawa wajar, melainkan suara ketawa yang mengandung khikang dan yang membuat ia hampir terjengkang karena suara itu mendebarkan jantungnya dan membuatnya seperti lumpuh. Akan tetapi, gadis nakal ini tidak menghentikan suara ketawanya, bahkan kini pun ia mengerahkan khikang dan sinkang-nya, disalurkan ke dalam suara ketawanya untuk menandingi Gan-lopek.
Maka terjadilah hal aneh dan terdengarlah hal aneh pula. Suara ketawa mereka, yang satu merdu tinggi yang lain rendah parau, terbahak-bahak dan bergema dari dasar jurang membubung naik sampai keluar jurang, suara yang tentu akan dianggap orang yang tak melihat mereka sebagai suara ketawa raja iblis dan kuntilanak sendiri! Lebih aneh lagi melihat keadaan tubuh mereka. Tidak seperti orang bergirang tertawa karena keduanya berdiri tegak, lutut sedikit ditekuk seperti orang memasang kuda-kuda, wajah sama sekali tidak seperti orang kegirangan, melainkan sungguh-sungguh dan seperti orang mengerahkan tenaga ketika sedang buang air dan sukar keluar!
“Stop...! Stop...!” Akhirnya Gan-lopek berseru sambil meloncat ke atas.
Lin Lin hampir terjengkang dan hal ini adalah karena Empek Gan telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk ‘mendorong’ gadis itu dalam ‘pergulatan’ tenaga suara yang kalau dilanjutkan akan berbahaya itu. Setelah berhasil mendorong, ia melompat dan terbebaslah mereka dari pada pertandingan khikang yang hebat itu. Kini Gan-lopek memandang dengan bengong, hanya bibirnya yang bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara sehingga kumis dan jenggotnya saja yang bergerak-gerak.
Lin Lin juga mengerahkan hawa murni untuk mengembalikan tenaga, kemudian ia memandang dan berkata, “Kau hebat, Kek!”
Si tua menarik napas panjang, mengelus-elus jenggot dan mengangguk-angguk. “Siapa bilang aku hebat? Tidak, anak baik, aku tua bangka dan tiada gunanya lagi. Akan tetapi engkau... ah, hampir aku tidak percaya bahwa kau memiliki khikang yang begitu hebat. Hampir aku tidak kuat menahannya. Kau anak nakal, apa kau tadi bermaksud membunuh aku si tua bangka, yang biar pun jelek-jelek masih guru Bok Liong?”
Lin Lin kaget. “Ah, mana mungkin aku mencelakakanmu, Kek? Andai kata ada maksud yang buruk itu, tak mungkin aku mampu. Menghadapi seorang sakti seperti kau ini, Kek, aku tiada ubahnya seekor semut melawan gajah!”
“Huh-huh, kadang-kadang si semut berhasil memasuki telinga gajah dan si gajah tua bangka mampus sendiri! Anak baik, aku pernah melihatmu, pernah mendengar dari Bok Liong, akan tetapi kepandaianmu tidak seperti yang kau perlihatkan tadi. Anak nakal, kau memiliki ilmu begini hebat, mengapa berpura-pura bodoh?”
Kini Lin Lin benar-benar merasa heran. Akan tetapi segera ia menjadi girang sekali karena ia dapat menduga bahwa ilmu yang ia dapatkan di dalam tongkat Pusaka Beng-kauw itulah agaknya yang tadi mendatangkan khikang luar biasa yang membuat Empek Gan kaget setengah mati dan keheranan. Akan tetapi, teringat akan nasihat Suling Emas, Lin Lin tidak mau membuka rahasia ini dan ia hanya berkata.
“Kakek Gan, kau orang tua harap jangan mengejek orang muda. Kepandaian apa yang kupunyai? Dari pada mengejek dan membikin panas perut orang muda, lebih baik kau orang tua memberi petunjuk-petunjuk sehingga ilmuku yang mentah akan menjadi matang dan berguna!”
Empek Gan tertawa. “Wah, boleh... boleh... memang aku tahu bahwa kalau ilmumu sudah matang, aku si tua mana mampu menandingimu? Tapi, kau tadi bicara tentang perut panas, tidak demikian dengan perutku. Perutku perih sekali!” Tiba-tiba terdengar ‘ayam berkokok’ dari dalam perut kakek itu sehingga Lin Lin tertawa geli.
“Tunggulah, Kek. Betapa pun juga, aku adalah seorang wanita dan aku tahu bagaimana caranya menyembuhkan perut perih.” Setelah berkata demikian, gadis ini berlari memasuki hutan dan tak lama kemudian ia sudah kembali membawa seekor kelinci yang gemuk sekali.
Di dalam hatinya, Lin Lin girang dan gembira karena ia mendapat jalan untuk menyempurnakan ilmu yang baru ia dapat, yaitu dengan minta petunjuk-petunjuk Empek Gan pada bagian yang sulit. Maklum bahwa kakek ini seorang sakti, maka ia segera menggunakan kecerdikannya untuk ‘mengambil hati’ melalui perut lapar Kakek Gan.
********************
Kita tinggalkan dulu Lin Lin dan Empek Gan, dan mari kita selidiki siapakah gerangan gadis yang telah menolong Bok Liong secara aneh itu? Menurut pandangan Bok Liong, gadis itu mirip benar dengan Sian Eng, akan tetapi tidak mau berhenti ketika ia dipanggil.
Siapakah gadis itu sesungguhnya? Pandang mata Bok Liong yang tajam memang tidak salah. Gadis itu adalah Sian Eng! Akan tetapi kita tahu bahwa ilmu kepandaian Sian Eng tidaklah amat tinggi, dan sebaliknya, cara menolong Bok Liong yang melayang jatuh dari atas jurang itu hanya akan dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kesaktian luar biasa. Untuk mengetahui rahasia ini, mari kita ikuti perjalanan dan pengalaman Sian Eng.
Telah kita ketahui bahwa Sian Eng dapat dibujuk oleh laki-laki yang dikasihinya, Suma Boan, untuk memasuki lorong rahasia di bawah tanah bekas tempat sembunyi Tok-siauw-kui yang belasan tahun lamanya bertapa dan bersembunyi di tempat ini. Dan kemudian betapa Sian Eng terjebak ke dalam ruangan di bawah tanah oleh alat-alat rahasia yang agaknya telah dipasang orang sehingga ia terkurung oleh empat dinding batu tanpa dapat mencari jalan ke luar karena jalan ke luar satu-satunya hanya mendorong batu yang menutup lorong, padahal batu itu beratnya ribuan kati dan ternyata Suma Boan sendiri dari luar ruangan itu tak mampu menggerakkan batu ini!
Di bagian depan cerita ini, kita tinggalkan Sian Eng dalam keadaan roboh dan dikeroyok oleh kelelawar-kelelawar kecil beracun yang menyerangnya dengan gigitan, lalu menyedot darahnya. Setelah roboh dan merasa betapa kelelawar-kelelawar itu menyerbunya, Sian Eng diserang rasa takut dan ngeri yang bercampuran dengan sakit di seluruh tubuhnya. Gigitan binatang-binatang kecil itu mendatangkan rasa panas, gatal dan perih. Ia bergulingan ke sana ke mari, menjerit-jerit seperti orang gila, kemudian di dalam gelombang kengerian dan ketakutan itu timbullah suatu kenekatan yang luar biasa, kemarahan yang secara aneh membuat ia tiba-tiba mendapatkan kekuatan baru.
Sian Eng meloncat bangun, kedua tangannya mencengkeram kelelawar-kelelawar yang masih menempel di tubuhnya, membanting, menginjak, bahkan ia lalu menggigit kepala binatang-binatang kecil itu, meremukkan kepala dan menghisap darahnya. Rasa sakit yang amat hebat membuat gadis ini seperti tidak ingat lagi akan keadaan sekitarnya, yang ada di dalam ingatan hanya membalas, membunuh, mengamuk!
Pergulatan menyeramkan di gelap ini, seandainya terjadi di tempat terang dan kelihatan orang lain tentu akan membuat orang merasa ngeri dan seram. Gadis itu sudah tidak karuan lagi pakaiannya, robek sana-sini, rambutnya terurai awut-awutan. Juga tingkah lakunya seperti orang gila. Ia bergulingan, kadang-kadang meloncat berjingkrak-jingkrak, kadang-kadang tertawa, lalu menangis, semua ini karena penderitaan rasa nyeri yang hebat ditambah rasa takut dan ngeri. Akan tetapi tiada hentinya ia membunuh kelelawar dan bahkan mulai makan dagingnya dan minum darahnya.
Semalam suntuk Sian Eng bergulat. Bangkai kelelawar bertumpuk-tumpuk di ruangan itu dan entah sudah berapa banyak darah yang diminumnya, daging yang ditelannya. Akhirnya malam pun berakhir berganti pagi dengan ditandai seberkas cahaya memasuki ruangan. Cahaya ini membantu Sian Eng mengusir kelelawar-kelelawar. Akan tetapi Sian Eng juga kehabisan tenaga, menggeletak terlentang pingsan di atas bangkai-bangkai kelelawar! Pakaiannya robek-robek, kulitnya penuh bintik-bintik merah dari darah yang keluar dari luka-lukanya.
Sehari penuh Sian Eng menggeletak di atas bangkai-bangkai kelelawar di dalam ruangan di bawah tanah itu, setengah pingsan setengah tidur, atau seperti telah mati. Akan tetapi setelah matahari tenggelam dan ruangan itu menjadi gelap, kelelawar-kelelawar kecil mulai beterbangan kemudian menyerangnya. Sian Eng seperti dibangunkan dan seakan-akan seekor hantu betina atau kuntilanak yang hanya ‘hidup’ di waktu malam, ia bangkit lagi dan seperti malam kemarin, kembali terjadi pertandingan dengan kelelawar-kelelawar kecil yang menyerang dan mengeroyoknya secara ganas sekali.
Kembali Sian Eng menjadi korban gigitan, akan tetapi anehnya gerakan-gerakannya lebih tangkas dan lebih ganas dari pada kemarin. Kini lebih banyak lagi kelelawar yang mati, dan lebih banyak lagi yang darah dan dagingnya memasuki perut Sian Eng! Kembali semalam suntuk terjadi perang kecil yang ganas mengerikan di dalam ruangan gelap, akan tetapi kali ini Sian Eng kelihatannya makin kuat saja sehingga menjelang pagi, binatang-binatang itu mulai gentar dan hanya satu dua ekor yang berani menerjangnya. Namun sekali sambar, Sian Eng menangkapnya, merobeknya menjadi dua dan mengisap darah yang menyembur ke luar. Agaknya rasa darah, sakit hati, dan ditambah lapar dan haus membuat Sian Eng berubah seperti seorang kuntilanak! Anehnya, begitu sinar matahari menerangi ruangan, Sian Eng baru merasa lemas dan letih, lalu terguling dan menggeletak telentang setengah telanjang di atas ‘kasur’ yang terbuat dari bangkai kelelawar yang bertumpuk-tumpuk.
Seperti juga kemarin, sehari penuh Sian Eng tidur setengah pingsan. Luka-luka kecil di kulitnya yang putih kuning dan halus, yang kemarin tampak berbintik-bintik merah, kini mulai menghilang, akan tetapi tubuhnya sebentar terasa panas membara, sebentar kemudian dingin seperti salju!
Memang terjadi sesuatu yang hebat pada diri gadis ini. Kelelawar-kelelawar itu ternyata adalah sebangsa kelelawar yang beracun, yang biasanya sekali menggigit orang tentu meninggalkan racun yang akan cukup merampas nyawa orang itu dalam waktu dua tiga hari. Sedangkan Sian Eng telah menerima gigitan yang bertubi-tubi dari kelelawar-kelelawar itu, gigitan ganas yang disertai kemarahan sehingga racun yang jahat dan berbahaya banyak sekali memasuki tubuh dan meracuni darahnya.
Akan tetapi, secara kebetulan sekali keadaan yang mengerikan itu membuat Sian Eng menggila dan mengganas, membuat ia marah dan makan daging kelelawar serta minum darahnya. Justru inilah yang menjadi obat penawar, obat penawar yang tiada keduanya di dunia ini! Di luar pengetahuan dan kesadarannya sendiri, selain dapat mengisi perut untuk menahan lapar dan haus, Sian Eng telah mengobati dirinya sendiri. Tidak saja mengobati dan menghalau bahaya dari racun gigitan kelelawar-kelelawar, bahkan jauh lebih dari itu, ia telah memasukkan sumber tenaga yang amat hebat, karena racun kelelawar itu mengandung hawa panas yang biasanya akan menghanguskan jantung, mengeringkan darah, sebaliknya, racun penawar yang terdapat dalam daging dan darah kelelawar itu mengandung hawa dingin.....
Lanjut ke jilid 27
Komentar
Posting Komentar