SULING EMAS : JILID-12

"Plak-plak-plak!!!" beberapa helai bulu burung rontok.
"Huuuk... huuuuk...!" dan burung itu sendiri mengeluarkan suara, lalu terbang ke atas dan lenyap ke atas pohon, mengeluh kesakitan.
Hidung Kwee Seng sama sekali tidak mengeluarkan kecap dan sepasang pipinya tidak bengkak-bengkak seperti yang diharapkan kakek cebol itu. Kwee Seng masih duduk enak-enakan dan tidak pedulikan lagi kakek di atasnya, melainkan menonton kelanjutan perlombaan di bawah. Tadi ia menggunakan sentilan dan tamparan mengusir burung tanpa membunuhnya karena ia tahu bahwa burung itu tidak bersalah apa-apa, hanya memenuhi perintah si Kakek Cebol.
Saat itu Salinga sudah melarikan kuda putihnya mengelilingi lapangan untuk memperlihatkan ketangkasannya melepas anak panah. Pemuda ini biar pun tidak selihai Bayisan namun ketangkasannya sudah cukup untuk menjadi seorang perwira jagoan di dalam barisan Khitan. Gendewanya yang besar dan berat mengeluarkan suara menjepret, hanya dua kali dan tahu-tahu tujuh batang anak panah telah menancap, empat batang anak panah yang kesemuanya tepat mengenai sasaran di bagian yang penting dan mematikan. Tentu saja para penonton, termasuk Puteri Tayami sendiri, menyambut ketangkasan ini dengan tepuk sorak gemuruh, karena jelas bahwa Salinga telah lulus ujian dan patut menjadi calon panglima!
Akan tetapi, apa yang dilihat penonton selanjutnya benar-benar membuat penonton besorak lebih gemuruh lagi, karena pertunjukan Bayisan benar-benar mengagumkan mereka. Seperti juga Salinga, panglima muda ini melarikan kuda merahnya amat cepat mengelilingi lapangan, demikian cepatnya kuda merah itu lari sehingga merupakan bayangan merah yang bagaikan terbang mengelilingi sasaran.
Ketika larinya kuda tiba di depan sasaran, tiba-tiba tampak sinar berkilauan menyambar dari atas kuda menuju sasaran, dan.... tiga belas batang hui-to (pisau terbang) telah menancap di tiga belas bagian tubuh yang mematikan yaitu di antara kedua alis, ditenggorokan, di kedua pundak, di kanan kiri dada, di pusar, di kanan kiri lambung, dikedua paha dan kedua lutut!. Tentu saja ini merupakan demonstrasi ilmu melempar senjata yang amat hebat, yang belum pernah disaksikan oleh mereka semua.
Memang sebenarnya Bayisan merahasiakan kepandaiannya ini, akan tetapi karena ingin mengalahkan Salinga dan memamerkan kepandaiannya di depan Tayami, kini terpaksa ia perlihatkan.
"Bau... bau...! He, jembel muda yang tengik. Kau berada di bawahku, baumu naik memenuhi hidungku. Hayo kau bersamaku memperlihatkan kepada monyet-monyet itu bahwa tidak ada artinya semua pertunjukan ini. Akan tetapi karena kau bau sekali, kau harus berada di atasku, aku menjadi kuda, kau boleh menunggang punggungku!"
Kwee Seng berdongak, ia terkekeh geli. Kakek itu tidak tampak lagi mukanya, ditutup baju yang ditariknya ke atas, kemudian tubuh kakek itu melayang jauh ke bawah. Ketika sampai di depannya, kakek itu menyambar tangannya untuk ditarik turun bersama ke bawah. Kwee Seng terkejut, namun ia cepat mengerahkan ginkang-nya yang ikut melayang ke bawah.
Kwee Seng merasa gembira karena maklum bahwa kakek ini memang hendak main-main dan cari perkara. Begitu melihat kakek itu tiba di tanah dalam keadaan merangkak, yaitu kedua tangan menjadi kaki depan seekor keledai kecil sekali, ia tidak merasa sungkan-sungkan lagi dan melayani kehendak si Kakek. Cepat ia melompat dan tepat tiba di punggung kakek itu dengan ringan!
Begitu merasa tubuh jembel muda itu tiba-tiba di punggungnya, si Kakek memperdengarkan suara meringkik mirip kuda, lalu ia ‘lari’ dengan empat kakinya, lari congklang ke tengah lapangan! Kwee Seng terkekeh-kekeh, rambutnya riap-riapan. Ia menoleh ke kanan kiri dengan lagak congkak, meniru lagak Bayisan dan lain-lain peserta tadi. Seolah-olah ia juga seorang peserta yang gagah perkasa menunggang kuda yang tangkas.

Ributlah para penonton. Terdengar gelak tawa di sana-sini, lalu pecah terbahak-bahak. Lucu sekali memang. Penunggangnya seorang jembel berpakaian compang-camping penuh tambalan, rambutnya riap-riapan bertelanjang kaki, ‘kudanya’ mirip seekor anjing buduk yang pincang kakinya.
Para prajurit penjaga menjadi marah dan hendak menghalangi si Gila itu membikin kacau, akan tetapi raja mengangkat tangan mencegah. Sambil tertawa-tawa Raja Kulu-khan berkata, "Biarkan! Biarkan! Bukankah ini merupakan pertunjukan lawak yang menarik?"
Diam-diam si Kakek aneh itu kagum ketika tadi merasa tubuh jembel muda itu tiba di punggungnya seperti sehelai daun kering. Rasa kagum yang disusul rasa penasaran, karena biar pun ia sudah tua bangka, namun ia adalah seorang yang memiliki watak yang tidak mau kalah oleh siapa pun juga! Maka kini ia lari mencongklang ke arah barisan tombak. Kemudian sekali ia menggerakkan kaki tangannya, tubuhnya mencelat ke atas dan hinggap di atas tombak! Di atas ujung mata tombak yang runcing, yaitu empat buah tombak pertama. Tangan dan kakinya menekan ujung itu seperti seekor burung hinggap di atas cabang! Kwee Seng terkejut sekali dan diam-diam ia merasa amat kagum.
Gelak tawa dari para penonton seketika terhenti, dan kini para penonton melongok terheran-heran. Senyum Raja Kulu-khan sendiri terhenti di tengah-tengah. Puteri Tayami bangkit berdiri, dan para penglima, termasuk Kalisani dan Bayisan berubah air mukanya. Ini bukan pelawak-pelawak gila lagi, melainkan pertunjukan yang hebat! Bayisan segera lari ke arah barisan panah dan memberi perintah dengan suara perlahan, kemudian kembali lagi di tempat semula sambil memandang penuh perhatian.
Tanpa mempedulikan keadaan sekelilingnya, kakek yang menjadi kuda itu melangkahkan ‘empat kakinya’ setapak demi setapak melalui ujung mata tombak yang berjajar-jajar itu, sedangkan Kwee Seng enak-enak duduk di atas punggungnya. Karena Kwee Seng juga merasa panas perutnya melihat kakek ini seakan-akan memamerkan kepandaiannya, maka diam-diam Kwee Seng tidak menggunakan lagi ginkang-nya, membiarkan tubuhnya memberat dan menindih kakek itu.
Akan tetapi kakek itu cerdik juga karena sekarang ia cepat melompat-lompat di atas mata tombak, tidak menekankan tangan kaki lagi seperti tadi melainkan memegang dengan tangan lalu melompat sehingga akhirnya ia sampai di baris terakhir lalu melompat ke bawah.
Para penonton sudah sadar kembali dari kaget dan heran, maka kini suara sorak-sorai mengalahkan yang tadi karena sorakan itu diseling tawa terbahak saking kagum dan lucu. Akan tetapi, suara ketawa mereka itu hanya sebentar karena ‘orang gila’ bersama ‘kudanya’ yang aneh sekali itu telah mendekati barisan anak panah. Apakah mereka benar-benar hendak memasuki barisan itu? Mencari mampus?
Ketegangan memuncak karena Kwee Seng yang masih enak-enak ‘nongkrong’ di punggung kakek itu seakan-akan tidak melihat bahaya, membiarkan dirinya dibawa ke dalam barisan anak panah, di mana ahli-ahli panah telah siap melepaskan anak panah. Busur telah mereka tarik sepenuhnya! Bahkan di panggung kehormatan tidak ada suara berkelisik, semua mata memandang penuh ketegangan, agaknya napasnya pun ditahan menanti detik-detik yang akan datang itu.
Dari mulut Raja Kulu-khan terdengar suara. "Ah, sayang... kalau sampai mereka tewas...." Akan tetapi suara ini hanya seperti bisik-bisik saja. Pula pada saat seperti itu, siapa orangnya tidak ingin menyaksikan bagaimana kelanjutan peristiwa aneh itu? Raja sendiri biar pun mulut berkata demikian, hatinya amat ingin menyaksikan dan tentu akan melarang kalau ada yang hendak menghalangi orang gila itu memasuki barisan anak panah.
Para ahli panah yang telah menerima bisikan dari Bayisan menanti sampai orang gila itu tiba di tengah-tengah lapangan. Tepat pula seperti yang diperintahkan Bayisan, mereka memanah untuk membunuh, maka begitu terdengar suara tali busur menjepret disusul berdesirnya anak panah yang puluhan batang banyaknya, semua anak panah itu selain menuju ke arah bagian-bagian berbahaya dari tubuh Kwee Seng, juga ada yang mengaung lewat di pinggir dan atas kepalanya untuk mencegah orang gila itu mengelak!
"Aduh celaka...!"
"Ahhhh...!"
"Mati dia...!"
Bahkan Raja Kulu-khan sendiri mengeluarkan seruan kecewa, demikian pula puteri Tayami dan yang lain-lain ketika melihat betapa anak-anak panah yang banyak sekali mengenai tubuh ‘orang gila’ itu sehingga tubuhnya seperti penuh anak panah, di kanan kiri dada, bahkan ada yang menancap di mukanya! Akan tetapi anehnya, ‘kuda’ kecil itu masih merayap terus dan orang gila itu masih enak-enak duduk mengantuk, seakan-akan anak-anak panah yang menancap pada dada dan mukanya itu tidak dirasainya sama sekali!
Kembali anak panah yang banyak sekali menyambar, kini menuju kepada ‘kuda’! Berbeda dengan peraturan yang berlaku dalam ujian ketangkasan itu, kini karena telah diberi komando Bayisan yang tahu bahwa dua orang itu adalah orang-orang pandai yang agaknya memancing keributan, mereka lalu menghujani ‘kuda’ itu dengan anak panah pula.
"Anak kecil itu pun mati...!" teriak orang-orang yang menonton yang tentu saja sudah dapat menduga bahwa kuda itu adalah kuda palsu, bukan kuda melainkan seorang manusia. Tentu seorang anak-anak karena kaki tangannya begitu kecil dan pendek.
Aneh pula, seperti halnya penunggangnya, kuda palsu itu pun sama sekali tidak mengelak dan tubuhnya pun penuh dengan anak panah! Akan tetapi, lebih aneh lagi, dia masih saja merangkak-rangkak, bahkan kini menuju ke lapangan di mana tersedia sasaran boneka besar untuk menguji kepandaian memanah!
Barulah kini orang-orang melihat bahwa anak-anak panah yang disangka menancap di dada orang gila itu sama sekali bukan menancap, melainkan di kempit di antara kedua kelek (ketiak) dan di antara jari-jari tangan, malah yang tadinya disangka menancap di muka ternyata adalah anak-anak panah yang kena gigit oleh ‘orang gila’ itu. Entah bagaimana cara ‘kuda’ itu menerima anak-anak panah yang kelihatannya masih menancap pada tubuhnya, karena tubuh itu masih tertutup baju yang dikerobongkan di kepala! Setelah tiba di lapangan memanah, tiba-tiba ‘kuda’ itu lari congklang, bukan main cepatnya, agaknya tidak kalah cepatnya oleh larinya kuda!
Tentu saja kenyataan itu membuat para penonton menjadi kaget, kagum, heran, dan gembira sehingga meledaklah sorak-sorai mereka, melebihi yang sudah-sudah, Raja Kulu-khan sampai bangkit dari kursinya, Puteri Mahkota Tayami bertukar pandang dengan Salinga, para panglima berbisik-bisik. Yang lucu adalah Kalisani. Panglima tua ini meloncat-loncat seperti anak kecil kegirangan dan mulutnya tiada hentinya berteriak.
"Hebat...! Mereka orang-orang sakti! Ah, mana bisa kepandaian kita dibandingkan dengan mereka?"
Hanya Bayisan yang mukanya menjadi pucat dan matanya menyinarkan kemarahan. Pada saat itu ia mendekati seorang pangeran yang juga merupakan putera Raja Kulu-khan dari selir, tapi lebih tua dari pada Bayisan yang bernama Pangeran Kubakan. Pangeran ini pucat mukanya, lalu berbisik-bisik dengan Bayisan.
"Siapakah mereka...?" tanya Kubakan.
"Aku tidak tahu..." jawab Bayisan bingung.
"Jangan-jangan...." Kubakan menoleh ke arah ayahnya yang berdiri dan memandang kagum ke arah lapangan, malah kini kedua tangan raja itu ikut pula bertepuk tangan memuji bersama semua penonton.
"Ah, agaknya Sribaginda pun tidak mengenalnya. Akan tetapi siapa tahu? Malam ini kita harus turun tangan...."
Kembali Kubakan menoleh ke arah ayahnya, lalu mengangguk-angguk. Sekali lagi dua orang pangeran ini bertukar pandang, kemudian mereka berpisah. Bayisan lari ke arah lapangan untuk menyaksikan dua orang aneh itu dari dekat.
Setelah lari cepat seputaran dengan cara berloncatan seperti kuda, kakek yang menggendong Kwee Seng itu tiba di depan sasaran, jaraknya sama dengan jarak para peserta tadi. Tiba-tiba Kwee Seng mengeluarkan seruan bentakan yang nyaring sekali sehingga beberapa orang penonton yang jaraknya terlalu dekat roboh terguling. Berbareng dengan seruan ini tubuhnya meloncat turun dari punggung ‘kuda’ dan sekali kakinya menjejak, tubuhnya itu terbang cepat ke arah sasaran.
"Cap-cap-cap-cap!!!" Cepat sekali anak-anak panah itu terbang susul-menyusul menancap pada sasaran, tak sebatang pun luput.
Akan tetapi para penonton memandang bingung karena tidak tampak bekasnya. Setelah mata yang memandang tidak begitu kabur lagi oleh berkelebatnya anak-anak panah itu, tampaklah oleh mereka betapa semua anak panah yang dilepaskan oleh Kwee Seng itu telah menancap di atas gagang tiga belas buah pisau terbang panglima muda! Gegerlah semua penonton saking kagum dan herannya, akan tetapi diam-diam Bayisan menjadi pucat mukanya. Terang bahwa ‘orang gila’ itu memusuhinya, buktinya anak-anak panah itu menancap di gagang hui-to yang tadi ia lepaskan.
Tiba-tiba terdengar suara berkakakan dan ‘kuda’ itu meloncat berdiri di atas dua kaki belakangnya sehingga tampaklah seorang kakek cebol yang wajahnya seperti wajah patung dewa di kelenteng. Kedua tangannya sudah menggenggam banyak sekali anak panah dan sambil masih tertawa-tawa bergelak, kedua tangannya bergerak ke depan dan meluncurlah anak-anak panah itu beterbangan ke arah sasaran. Anehnya, anak-anak panah itu terbangnya masih berkelompok dan setelah dekat dengan boneka lalu terpisah menjadi lima rombongan yang menyambar ke leher, kedua pundak dan kedua pangkal paha.
“Prak-prak-prak... Brakkk!” tahu-tahu boneka yang dijadikan sasaran telah roboh. Anak-anak panah masih menancap tepat di tengah kepala kedua pangkal lengannya, dan kedua kakinya telah patah!
Tanpa mempedulikan keributan semua orang di situ, Kwee Seng kini berdiri dengan kakek aneh. Kakek itu tertawa bergelak-gelak, Kwee Seng pringas-pringis menyeringai aneh, keduanya orang-orang aneh atau mungkin juga keduanya sudah miring otaknya!
"Hoa-ha-hah, jembel muda bau busuk, kau lumayan juga! Aku harus mencobamu!"
"Kakek cebol menjemukan! Siapa gentar menghadapi kesombonganmu?" Kwee Seng menjawab, karena betapa pun juga, ia mendongkol melihat kakek ini amat jumawa (takabur). Biar pun Kwee Seng berdiri acuh tak acuh, sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti ahli silat, seperti juga kakek itu yang berdiri dengan kaki dibengkokkan secara lucu, namun diam-diam Kwee Seng siap dan waspada karena maklum bahwa seorang sakti seperti kakek ini, sekali menyerang tentulah amat hebat sekali.
Akan tetapi pada saat itu. Bayisan sudah mengerahkan pasukannya, siap mengurung dan menyerang dua orang ini yang dianggapnya mengacau dan hendak membikin rusuh.
Melihat ini, kakek cebol tertawa bergelak. "Aha-ha-ha! Sudah cukup main-main hari ini, jembel muda bau. Kakekmu tidak ada waktu lagi, sudah lapar dan mengantuk. Biarlah lain hari aku akan mencarimu dan tak mau sudah sebelum kau terkencing-kencing oleh pukulanku!"
Setelah berkata demikian, kakek itu melompat-lompat, makin lama makin tinggi lompatannya yang modelnya seperti katak melompat. Akhirnya ia melompat demikian tingginya sampai melewati kepala orang-orang banyak. Celaka bagi mereka yang terinjak kepala atau pundaknya oleh kaki itu, karena ia lalu dipergunakan seperti batu loncatan oleh si Kakek Aneh sehingga kepala dan pundak mereka menjadi kotor oleh debu dan lumpur. Malah hebat dan lucunya, sambil menjejak kepala dan pundak orang, kadang-kadang si Kakek melepas kentut yang nyaring sekali sambil tertawa terbahak-bahak!
Kwee Seng juga segera melompat, melampaui kepala banyak orang, kemudian mempercepat larinya menjauhkan diri dari tempat itu dan lenyap di antara pohon-pohon yang tumbuh lebat di lembah sungai Huang-ho. Gegerlah keadaan di situ dan Bayisan cepat mengatur pasukannya untuk melakukan penjagaan keras pada hari itu dan seterusnya.
Kalisani mendekatinya dan berkata, "Bayisan, mengapa kau ribut-ribut sendiri? Jelas bahwa dua orang sakti itu adalah petualang-petualang yang tidak mempunyai niat buruk terhadap kita, bahkan agaknya mereka berdua itu pun tidak saling mengenal. Menghadapi orang-orang seperti itu, lebih baik kita menyambut mereka sebagai tamu agung untuk dijadikan sahabat. Mengapa kita harus menjaga dan mengejar-ngejar mereka seperti maling?"
Dengan wajah berkerut Bayisan menjawab, "Paman Kalisani, pandangan kita dalam hal ini berbeda. Betapa pun juga, aku tidak bisa mengabaikan kewajibanku menjaga keamanan Sribaginda. Malam ini harus aku sendiri yang melakukan perondaan di dalam istana. Siapa tahu, mereka itu akan datang dengan niat busuk, dan mereka amatlah lihai."
Setelah berkata demikian, Bayisan meninggalkan Kalisani yang masih terpengaruh oleh kepandaian dua orang itu dan kadang-kadang tertawa sendiri mengingat akan kelucuan sepak terjang mereka. Juga diam-diam ia ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan mereka. Kalisani biar pun seorang tokoh Khitan, namun pengalamannya sudah luas sekali. Sudah bertahun-tahun ia merantau ke selatan, mengenal baik ilmu silat selatan, bahkan ia seorang ahli silat yang pandai pula. Namun belum pernah ia mendengar tentang seorang pemuda gila dan kakek cebol yang begitu aneh.
Malam itu indah sekali. Tiada angin mengusik daun. Alam tenang tenteram pada malam hari itu setelah siangnya tadi terdengar sorak-sorai menggetarkan air sungai. Bulan purnama memenuhi permukaan bumi dengan sinarnya yang tenang redup, membuat air sungai Huang-ho berkilauan seperti kaca. Agaknya sudah terlalu letih semua penduduk Paoto setelah sehari penuh tadi berpesta dan menonton keramaian, sehingga malam ini mereka tidak mempunyai nafsu lagi untuk menikmati keindahan sinar bulan. Kecuali tentu saja, anak-anak dan orang-orang muda yang masih selalu haus akan kesenangan.
Di tepi sungai sebelah barat kota yang sunyi, terdapat dua orang menunggang kuda perlahan-lahan, menyusuri tepi pantai sungai yang amat lebar itu. Mereka itu sepasang orang muda, yang perempuan cantik jelita dengan rambut disanggul ke atas, kudanya berwarna kuning, yang pria tampan gagah, memakai topi terhias bulu, kudanya berbulu seputih salju. Mereka ini adalah Salinga dan Tayami.
"Betapa bahagianya hatiku, hanya bulan yang mengetahuinya, Dinda Tayami," terdengar pemuda itu berkata, suaranya seperti orang bersyair. "Lihat bulan selalu tersenyum-senyum kepadaku!"
"Sudah semestinya kita berbahagia, Kanda Salinga, setelah tadi kita merasa gelisah dan bimbang. Oh, kau tidak tahu betapa tadi aku menggigil ketika kau mengajukan permintaanmu kepada ayah. Aku tahu bahwa yang akan kau minta tentulah diriku namun aku amat khawatir kalau-kalau ayah merubah pendiriannya selama ini. Setelah ayah mengabulkan permintaanmu, barulah hatiku lega sekali." Mereka menghentikan kuda di bawah pohon di tepi sungai, saling pandang penuh mesra.
"Sesungguhnyalah Adinda, aku pun tadi merasa betapa jantungku berdebar, serasa hendak pecah menanti keputusan Sribaginda. Memang kesempatan yang amat bagus. Aku diterima menjadi calon panglima, kemudian disuruh memilih pahala. Di depan semua panglima dan ponggawa, tentu saja aku segera memilih dirimu sehingga persetujuan Sribaginda merupakan keputusan Sang Ayah, banyak saksinya. Alangkah bahagia hatiku...."
Akan tetapi wajah Tayami membayangkan kekhawatiran. "Betapa pun juga Kanda Salinga, kita harus waspada terhadap Kanda Panglima Bayisan. Kau lihat tadi sinar matanya ketika mendengar keputusan ayah menerima kau sebagai calon mantunya? Aku masih merasa ngeri kalau mengingat sinar matanya, seolah-olah memancarkan cahaya berapi."
"Ah, dia kan masih kakak tirimu sendiri. Cinta kasihnya terhadapmu tentu lebih condong kepada cinta kasih seorang kakak terhadap adiknya."
"Kau tidak tahu, Kanda Salinga. Sudahlah, aku teringat akan dua orang aneh tadi. Apakah maksud mereka datang mengacaukan perlombaan bangsa kita? Si Pengemis Muda itu terang seorang Han dari selatan, entah kalau si Kakek Cebol. Betapa pun juga, mereka berdua memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Siapa gerangan mereka?"
"Memang aneh-aneh watak orang sakti di dunia ini. Sudah banyak aku mendengar akan hal itu. Tak perlu khawatir, mereka itu kurasa bukanlah orang-orang jahat. Dinda Tayami, lihat, betapa indahnya air sungai, betapa tenang dan bening seperti kaca. Mari kita berperahu. Di sana ada perahu kecil."
Tanpa menjawab Tayami menuruti permintaan kekasihnya. Mereka berdua meloncat turun dari kuda, menambatkan kendali kuda pada batang pohon, kemudian kembali bergandengan tangan. Sambil berbisik-bisik mesra keduanya berjalan menuju ke pinggir sungai, memasuki perahu kecil, melepaskan ikatan perahu dan tak lama kemudian perahu itu meluncurlah ke tengah. Salinga mendayung perahu, Tayami duduk bersandar kepadanya, merebahkan kepala pada dadanya yang bidang.
Kwee Seng berdiri di belakang pohon, memandang dengan melongo, mata terbelalak lebar dan mulut ternganga. Memang hebat pemandangan itu, muda-mudi berkecimpung dalam madu asmara, di bawah sinar bulan purnama di dalam biduk kecil yang diombang-ambingkan alunan air sungai sehalus kaca, rambut halus juwita terurai di atas dada, kata-kata bermadu dibisikkan, sayup-sayup sampai mendesir di telinga Kwee Seng bagaikan nyanyian sorga-loka.
Tanpa disadarinya, dua titik air mata menetes turun membasahi pipi Kwee Seng. Pikirannya menjadi kabur, ingatannya melayang-layang jauh di masa lampau. Saat membayangkan wajah Liu Lu Sian, wajah Ang-siauw-hwa, membuat ia tersenyum-senyum dengan mata berkaca-kaca basah. Kemudian terbayang wajah nenek di Neraka Bumi dan tiba-tiba Kwee Seng mengeluh, memaki diri sendiri dan menampari mukanya sambil tertawa setengah menangis. Gilanya kumat kalau ia teringat kepada nenek itu, karena tiap kali teringat akan segala yang ia perbuat dengan nenek itu di dalam Neraka Bumi, dadanya seperti diaduk-aduk dengan pelbagai macam perasaan. Ada rasa malu, kecewa, menyesal, bercampur dengan rasa girang, rindu muncul silih berganti, maka tidak heran kalau ia menjadi seperti orang gila.
Mendadak Kwee Seng sadar kembali. Telinganya yang amat tajam menangkap suara-suara yang tidak wajar, suara orang berbisik-bisik tak jauh dari sini. Cepat ia menyelinap, lalu mendekat. Di bawah bayangan pohon yang amat gelap, ia melihat tiga orang laki-laki, orang-orang Khitan yang berpakaian hitam.
"Ah, mengapa justru kita yang mendapat tugas berat ini...?" Seorang di antara mereka mengeluh. "Mereka tidak pandai berenang."
"Goblok! Apa kau hendak membantah perintahnya? Justru mereka tidak pandai berenang, maka memudahkan tugas kita. Ingat, kita menggulingkan perahu, lalu menarik perahu agar hanyut sehingga besok orang-orang hanya akan tahu bahwa mereka berdua yang sedang main-main di perahu tertimpa mala-petaka, perahu terguling dan mereka mati tenggelam...."
"Ahhh...!" kembali yang seorang mengeluh, yaitu orang yang tubuhnya tinggi kurus, tidak seperti yang dua orang temannya, yang bertubuh kokoh kekar.
"Sudahlah, tak usah banyak ribut, mari kita mulai!" Tiga orang itu lalu perlahan-lahan turun ke dalam air, kemudian mereka menyelam dan berenang dengan cepat.
Kwee Seng maklum bahwa mereka bertiga adalah ahli-ahli berenang, dan maklum pula bahwa ada komplotan jahat hendak berkhianat dan membunuh kedua orang muda yang asyik dimabok cinta itu. Ia menarik napas berkali-kali kemudian dengan hati mengkal karena perasaannya amat terganggu oleh peristiwa ini, karena suara hatinya tidak membolehkan dia berpeluk tangan saja, ia lalu menghantam sebatang pohon terdekat dengan tangan dimiringkan.
"Krakkkk!" batang pohon itu tidak dapat menahan hantaman tangan Kwee Seng yang amat ampuh, bagian yang dihantam pecah remuk dan patah, membuat pohon itu tumbang seketika!
"Eh, apa itu...?" terdengar dari jauh suara Salinga ketika mendengar suara keras robohnya batang pohon.
"Aiihhh, Kanda... celaka...!" disusul jeritan Tayami karena pada saat itu perahu mereka tiba-tiba terguling membalik dan mereka berdua terlempar ke dalam air!
Perahu itu meluncur cepat dalam keadaan tertelungkup menuju ke tengah dan diseret arus air menjauhi mereka. Dua orang itu megap-megap, meronta-ronta dengan kaki tangan mereka, akan tetapi karena tidak pandai berenang, banyak sudah air yang memasuki mulut.
"Tolonggg...!" Tayami menjerit akan tetapi suaranya terhenti oleh air yang memasuki hidung dan mulut.
"Dinda...!"
"Kanda Salinga... ooohh...!"
Mereka saling menangkap tangan, akan tetapi justru ini membuat gerakan mereka mengurang dan tubuh mereka tenggelam kembali. Cepat-cepat mereka menendang-nendang dengan kaki dan muncul lagi gelagapan. Pada saat itu, entah dari mana datangnya, sebatang pohon meluncur di dekat mereka.
"Dinda Tayami, cepat pegang ini...!" Salinga berseru girang.
Tak lama kemudian mereka sudah berhasil menangkap batang pohon itu. Dengan bantuan Salinga, Tayami sudah duduk di atas batang pohon sambil muntahkan air yang telah banyak diminumnya. Salinga sendiri memeluk batang pohon itu agar jangan bergulingan. Pakaian mereka basah kuyup, rambut mereka terurai, akan tetapi untuk sementara mereka selamat.
"Kanda... mengapa perahu kita terguling..?"
"Entahlah, tidak perlu dipikirkan sekarang. Paling penting kita harus dapat mendayung batang ini ke pinggir..." Dengan susah payah Salinga berusaha menggerak-gerakkan batang itu ke pinggir akan tetapi karena tidak didayung, batang pohon itu bergerak perlahan menurutkan arus sungai.
Pada saat itu terdengarlah suara, "Huuukk... huuukkk...!" dan menyambarlah seekor burung yang matanya berkilauan seperti mata kucing.
"Ihhh... burung hantu...!" seru Tayami dengan perasaan ngeri. Sudah menjadi kepercayaan di daerah itu bahwa burung hantu ini pembawa berita kematian, maka siapa bertemu dengannya tentu akan kematian seorang keluarga.
"Ia... membawa bungkusan...!" seru pula Salinga terheran-heran.
Betul saja. Kuku burung itu mencengkram tali di mana tergantung sebuah bungkusan kecil. Anehnya, begitu melihat mereka, burung itu menyambar turun dan sayapnya hampir saja mengenai muka Tayami kalau saja gadis ini tidak cepat-cepat mengelak sambil berseru jijik. Akan tetapi burung itu bukannya menyerang, melainkan melepas tali sehingga bungkusan itu jatuhlah ke depan Tayami, tepat di atas batang pohon!
"Ada tulisannya!" Tayami berseru heran melihat tulisan huruf-huruf besar dan jelas di atas bungkusan. Kalau huruf-huruf itu tidak jelas tentu takkan dapat terbaca di bawah sinar bulan.
LEKAS PULANG DAN ISI BUNGKUSAN INI PAKAI SEBAGAI BEDAK, BARU MALA-PETAKA DAPAT DICEGAH.’
Tayami membaca dengan keras sehingga terdengar pula oleh Salinga. "Apa artinya ini?"
"Entahlah, Dinda. Semua terjadi serba aneh. Perahu kita terguling. Kita hampir celaka, lalu tiba-tiba ada batang pohon ini yang menolong kita. Lalu muncul burung hantu yang memberi bungkusan dan surat. Ihhh, benar-benar menyeramkan sekali. Kau simpan bungkusan itu, mari bantu aku mendayung batang pohon itu dengan kaki agar dapat minggir." Mereka segera bekerja dan betul saja, sedikit demi sedikit batang kayu itu bergerak ke pinggir.
Sementara itu, tiga orang Khitan yang telah selesai melakukan pekerjaan jahat itu, cepat-cepat menyelam dan berenang ke pinggir kembali. Akan tetapi begitu mereka muncul di pinggir dan meloncat ke darat, mereka kaget sekali karena di depan mereka telah berdiri seorang yang terkekeh-kekeh dan mereka menjadi ngeri ketika mengenali laki-laki gila yang pagi tadi mengacaukan perlombaan.
"Heh-he-he, setelah membunuh lalu lari, ya?" Kwee Seng menegur.
Tentu saja mereka bertiga terkejut bukan main. Pekerjaan mereka tadi mencelakai dan membunuh Puteri Mahkota adalah perbuatan yang amat berbahaya. Kalau diketahui orang, tentu mereka akan celaka, maka sekarang mendengar bahwa jembel gila ini sudah melihat perbuatan mereka, serentak dua orang yang bertubuh tinggi besar itu mencabut golok dan menerjang Kwee Seng! Cepat gerakan mereka ini, dan cepat pula hasil ayunan golok mereka, yaitu kepala mereka sendiri terbelah oleh golok masing-masing sampai hampir menjadi dua dan tubuh mereka masuk ke dalam sungai dan hanyut. Hanya dengan sentilan jari tangannya Kwee Seng telah membuat golok yang menyerangnya itu membalik dan ‘makan tuan’.
Sejenak ia memandang dua buah mayat yang menggantikan tempat Tayami dan Salinga itu, kemudian sekali berkelebat ia telah meloncat dan menangkap tengkuk orang ke tiga yang melarikan diri ketakutan. "Ke mana kau hendak lari?"
"Am... ampun... hamba tahu pekerjaan itu terkutuk... akan tetapi hamba terpaksa... kalau tidak mau melakukan tentu akan dibunuh...."
"Hemm, aku tadi telah mendengar keraguanmu melakukan perbuatan itu. Siapa yang memaksamu melakukannya?"
"Panglima Muda Bayisan...."
"Mengapa? Mengapa Puteri Mahkota dan Salinga akan dibunuh?"
"Hamba... hamba tidak tahu... mungkin karena cemburu setelah... Sribaginda menerima Salinga menjadi calon mantu...."
"Hemmm...." Kwee Seng mengangguk-angguk, kemudian tangannya bergerak cepat, tahu-tahu orang Khitan itu telah roboh tertotok, lumpuh seluruh tubuhnya. Kemudian tubuhnya berkelebat lenyap dalam kegelapan malam.
Setelah berhasil mendarat, Salinga dan Tayami segera lari ke arah kuda mereka, meloncat ke punggung kuda setelah melepaskan kendali dari pohon, lalu membalapkan kuda kembali ke kota raja.
"Aku merasa khawatir sekali akan terjadi sesuatu di kota raja," kata Salinga.
Akan tetapi ketika mereka tiba di kota raja, keadaan sunyi saja dan biasa, tidak ada tanda-tanda terjadi sesuatu yang luar biasa. Karena pakaian mereka masih basah dan hati mereka masih tegang oleh peristiwa tadi, mereka langsung melarikan kuda sampai depan istana.
"Kau pulanglah, Kanda Salinga. Urusan tadi tak perlu kau ceritakan siapa pun juga. Biar besok kita bertemu lagi dan kita bicarakan peristiwa itu!"
Salinga mengangguk. Tentu saja ia tidak mau bicara dengan siapa pun juga tentang peristiwa itu sebelum ia dapat membuka rahasianya. Peristiwa yang penuh keanehan. Akan tetapi sebelum ia memutar kudanya pergi, ia berkata, "Adinda, sebaiknya kau jangan tergesa-gesa memakai isi bungkusan sebagai bedak. Lebih baik suruh selidiki dulu oleh ahli obat."
Tayami mengangguk dan mereka pun berpisah. Tayami menyerahkan kuda kepada pelayan, lalu berlari-lari memasuki istana, langsung ke kamarnya untuk bertukar pakaian. Sedangkan Salinga melarikan kuda menuju ke rumahnya.
Setelah itu para pelayan sibuk membuka pakaian basah sang puteri cantik ini, menyusuti tubuhnya sampai kering kemudian menggantikan dengan pakaian bersih. Ketika mereka hendak menyanggul rambut yang belum kering benar itu, Tayami mengusir mereka, "Keluarlah kalian semua, aku ingin mengaso seorang diri."
Sambil tersenyum-senyum maklum para pelayan itu berlari-lari ke luar dan Tayami duduk di atas pembaringan dengan rambut terurai, seluruh tubuh terasa segar karena habis digosoki. Bungkusan yang dijatuhkan burung hantu tadi ia buka perlahan-lahan. Ternyata isinya adalah sejenis obat bubuk yang halus sekali berwarna kuning. Begitu dibuka tercium bau yang amat harum oleh Tayami. Ganda harum ini dan tulisan yang menganjurkan agar ia memakainya sebagai bedak untuk mencegah mala-petaka, membuat tangannya gatal-gatal untuk memakainya. Akan tetapi pesan kekasihnya Salinga, bergema di telinganya.
“Salinga benar juga,” pikirnya. “Aku tidak tahu siapa yang memberi bedak ini, dan mencegah mala-petaka apakah? Di sini aman saja.” Puteri Tayami bimbang antara kepercayaannya akan tahyul dan pesan kekasihnya. Bungkusannya yang sudah terbuka itu ia taruh di atas meja dekat pembaringan.
Gadis puteri raja ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada dua pasang mata mengintai penuh kekaguman. Mana ia bisa tahu kalau dua orang yang mengintainya itu datang seperti setan tanpa menimbulkan suara sedikit pun ketika kaki mereka menginjak genteng? Dan dua pasang mata yang memandang kagum ke dalam kamar itu pun tak dapat dipersalahkan. Siapa orangnya, apalagi kalau ia laki-laki, takkan terpesona dan kagum melihat gadis Puteri Mahkota yang cantik jelita itu? Melihat pakaiannya ditukar oleh para dayang keraton, kemudian kini dengan pakaian tidur yang longgar dan tipis, duduk termenung seorang diri di dalam kamar yang indah.
Kwee Seng datang terlebih dulu karena sejak tadi dari jauh ia mengikuti puteri ini. Ia bersembunyi di sudut atas, maka ia pun tahu akan kedatangan sesosok bayangan yang gesit dan ringan sekali, bayangan yang membuka genting dan mengintai ke dalam pula, seperti dia! Berdebar hatinya ketika mengenal orang itu, yang bukan lain adalah Bayisan, orang yang dicarinya untuk dibalas kecurangannya beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi karena ia pun terpesona oleh keindahan di dalam kamar itu, Kwee Seng tidak segera turun tangan, ingin melihat dulu apa yang dikehendaki Bayisan. Pula, melihat kecantikan Puteri Khitan, teringatlah ia kepada Liu Lu Sian dan Ang-siauw-hwa, membuatnya termenung dan penyakitnya hampir kumat!
Tayami sedang termenung di dalam kamarnya, mengenang peristiwa di sungai tadi. Teringat akan kekasihnya, ia tersenyum. Akan tetapi ketika ia teringat akan peristiwa yang amat berbahaya, ia bergidik, lalu ia memandang bubukan obat. Apakah maksudnya pengirim obat ini? Benarkah burung itu bukan burung biasa? Ataukah disuruh oleh orang sakti? Sungguh harum baunya bedak ini. Dan kalau memang bedak ini dipakai untuk menolak mala-petaka, apa salahnya? Tentu pengirimannya berniat baik. Tidak akan ada salahnya kalau aku pakai sedikit untuk coba-coba. Berpikir demikian, jari-jari tangan yang halus runcing itu bergerak mendekati kertas, hendak menjumput bedak.
Akan tetapi tiba-tiba gerakannya tertahan karena melihat bayangan berkelebat, api lilin bergoyang-goyang. Cepat Tayami menggunakan tangan kiri merapatkan bajunya yang terbuka lebar sambil membalikkan tubuhnya. Terbelalak matanya saking kaget melihat bahwa di dalam kamar itu telah berdiri seorang laki-laki yang tersenyum-senyum, Bayisan!
"Kanda Panglima Bayisan...! Apa artinya ini? Mengapa kau masuk ke sini secara begini?" Tayami bertanya gagap.
Bayisan memandang dengan sinar mata seakan-akan hendak menelan bulat-bulat gadis di depannya. Mulutnya menyeringai lalu terdengar ia berkata, suaranya gemetar penuh perasaan, "Alangkah indahnya rambutmu, Tayami... alangkah cantik engkau...., bisa gila aku karena birahi melihatmu...."
Tiba-tiba Tayami bangkit dan matanya memancarkan sinar kemarahan. "Kanda Panglima! Apakah kau sudah gila? Berani kau bersikap kurang ajar seperti ini di depanku? Pergi kau keluar! Kau tahu apa yang akan kau hadapi kalau kuadukan kekurang-ajaranmu ini kepada ayah?!"
Bayisan tertawa mengejek. "Huh! Ayahmu juga ayahku. Biarlah ia tahu asal malam ini kau sudah menjadi milikku. Tayami, kita sama-sama memiliki darah Raja Khitan, kau lebih patut menjadi isteriku dari pada menjadi isteri seorang berdarah pelayan rendah. Tayami, kekasihku, marilah... aku sudah terlalu lama menahan rindu birahiku...!" Bayisan melangkah maju, kedua tangannya dikembangkan seperti akan memeluk, matanya yang agak kemerahan karena nafsu itu disipitkan, mulutnya menyeringai.
"Bayisan, berhenti! Kalau tidak, sekali aku menjerit kamar ini akan penuh pelayan dan penjaga. Ke mana hendak kau taruh mukamu?"
"Heh-heh-heh, menjeritlah manis. Para pelayan dan penjaga sudah kutidurkan pulas dengan totokan-totokanku yang lihai. Lebih baik kau menurut saja kepadaku, kau layani cinta kasihku dengan suka rela karena... karena terhadapmu aku tidak suka menggunakan kekerasan."
Tayami menjadi makin panik mengingat akan kemungkinan ucapan Bayisan yang memang ia tahu amat lihai. Sambil berseru keras ia melompat ke samping, menyambar pedangnya, yaitu pedang Besi Kuning yang tergantung di dinding, lalu tanpa banyak cakap lagi ia menerjang Bayisan dengan bacokan maut mengarah leher. Cepat bacokan ini dan dilakukan dengan tenaga yang cukup hebat karena Tayami adalah seorang Puteri Mahkota yang terlatih, menguasai ilmu pedang yang cukup tinggi. Akan tetapi, tentu saja silat Puteri Mahkota ini tak ada artinya.
"Heh-heh, Tayami yang manis. Kau seranglah, makin ganas kau menyerang, akan makin sedap rasanya kalau nanti kau menyerahkan diri kepadaku!"
"Keparat! Jahanam berhati iblis! Tak ingatkah kau bahwa kita ini seayah? Tak ingatkah kau bahwa aku ini Puteri Mahkota dan kau ini Panglima Muda? Lupakah kau bahwa pagi tadi ayah telah menjodohkan aku dengan Salinga? Bayisan, sadarlah dan pergi dari sini sebelum kupenggal lehermu!"
"Heh-heh-heh, Tayami bidadari jelita. Kau hendak memenggal leherku, kau penggallah, sayang. Tanpa kepala pun aku masih akan mencintaimu!" Bayisan mengejek dan betul-betul ia mengulur leher mendekatkan kepalanya, malah mukanya akan mencium pipi gadis itu.
Tayami marah sekali. Pedangnya berkelebat, benar-benar hendak memenggal leher itu dengan gerakan cepat sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Bayisan tertawa, miringkan tubuh menarik kembali kepalanya. Pedang menyambar lewat, jari tangan Bayisan bergerak menotok pergelangan lengan dan... pedang itu terlepas dari pegangan Tayami, terlempar ke sudut kamar!
Bayisan sudah mencengkeram rambut yang panjang riap-riapan itu ke depan mukanya, mencium rambut sambil berkata lirih, "Alangkah indahnya rambutmu... halus... ah, harumnya...."
Tayami kaget sekali, tangan kirinya diayun memukul kepala, akan tetapi dengan mudah saja Bayisan menangkap tangan ini dan ketika tangan kanan Tayami juga datang memukul, kembali tangan ini ditangkap. Kedua tangan gadis itu kini tertangkap oleh tangan kanan Bayisan yang tertawa menyeringai.
"Kau lihat, alangkah mudahnya aku membuat kau tidak berdaya!" Tangan kirinya mengelus-elis dagu yang halus. "Kau baru tahu sekarang bahwa aku amat kuat, amat kosen, jauh lebih lihai dari Salinga, dari laki-laki mana pun juga di Khitan ini!" Sekali mendorong, ia melepaskan pegangan tangannya dan tubuh Tayami terguling ke atas pembaringan.
Gadis itu takut setengah mati, lalu nekat menerjang maju lagi sambil melompat dari atas pembaringan. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas ketika jari tangan Bayisan menotok jalan darah bagian thian-hu-hiat yang membuat seluruh tubuhnya menjadi seperti lumpuh! Dengan lagak tengik Bayisan kembali mengusap pipi gadis itu sambil tertawa.
"Heh-heh, betapa mudahnya kalau aku mau menggunakan kekerasan. Kau tak dapat bergerak sama sekali, bukan? Akan tetapi aku tidak menghendaki demikian, juwitaku. Aku ingin kau menyerahkan diri secara sukarela kepadaku, ingin kau membalas cinta kasihku, bukan menyerah karena terpaksa dan tak berdaya. Nah, bebaslah dan kuberi kesempatan berpikir."
Tangannya menotok lagi dan benar saja, Tayami dapat bergerak kembali. Muka gadis ini sudah pucat sekali, akan tetapi sepasang matanya berapi-api saking marahnya. Ia akan melawan sampai mati, tidak nanti ia mau menyerah! Baru sekarang ia teringat untuk menjerit. Tadinya, selain terpengaruh oleh ucapan Bayisan yang katanya telah merobohkan semua penjaga dan pelayan, juga ia merasa malu kalau peristiwa ini diketahui orang luar. Akan tetapi melihat kenekatan Bayisan yang seperti gila itu, ia tidak peduli lagi dan tiba-tiba Tayami menjerit sekuatnya. Aneh dan kagetlah ia ketika tiba-tiba lehernya terasa sakit dan sama sekali ia tidak dapat mengeluarkan suara!
"Heh-heh-heh, jalan darahmu di leher kutotok, membuat kau menjadi gagu! Nah, insyaflah, Tayami, betapa mudahnya bagiku. Dengan tertotok lemas dan gagu, apa yang dapat kau lakukan untuk menolak kehendakku? Akan tetapi aku tidak mau begitu... aku ingin memiliki dirimu sepenuhnya, berikut hatimu. Manis, kau balaslah cintaku...." Bayisan melangkah maju lalu memeluk.
Tayami memukul-mukulkan kedua tangannya, akan tetapi pukulan-pukulan itu agaknya sama sekali tidak terasa oleh Bayisan. Pemuda Khitan yang seperti gila ini menciumi muka Tayami, membujuk-bujuk dan terdengar kain robek. Terengah-engah Tayami ketika Bayisan untuk sejenak melepaskannya sambil memandang dengan mulut menyeringai. Baju Tayami bagian atas sudah robek, wajah gadis ini pucat sekali.
“Celaka,” pikirnya. “Tidak ada senjata lagi.”
Tiba-tiba Tayami teringat akan bungkusan bedak di atas meja. Kalau bedak itu mengenai mata, tentu untuk sesaat Bayisan takkan dapat membuka matanya, mungkin ada kesempatan baginya untuk lari ke luar kamar.
Bayisan sudah hendak memeluk lagi. "Tayami sayang, aku cinta kepadamu... kau layanilah hasratku...."
Tiba-tiba Tayami memukulkan tangan kirinya ke arah ulu hati Bayisan. Melihat pukulan itu keras juga dan mengarah bagian berbahaya, sambil tertawa Bayisan menangkap tangan ini dan hendak mendekap tubuh Tayami. Mendadak tangan Tayami yang kanan menyambar, dan segumpal uap putih menghantam muka Bayisan yang sama sekali tidak menyangka-nyangka itu. Begitu melihat sambitannya mengenai sasaran, Tayami cepat melompat ke belakang sampai mepet dinding belakang pembaringan.
"Kau... kau apakan mukaku? Tayami... kau gunakan apa ini...?" Ia terhuyung-huyung menuju ke meja rias di mana terdapat sebuah cermin. Ketika ia memandang wajahnya pada cermin itu, keluar teriakan liar seperti bukan suara manusia lagi.
Tayami yang sudah tak dapat menahan ngerinya, menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Tak sanggup ia melihat lebih lama lagi. Ia memang seorang gadis perkasa, tak gentar menghadapi perang, sudah biasa melihat mayat bertumpukan sebagai korban perang, melihat orang terluka parah. Akan tetapi peristiwa yang mereka hadapi sekarang ini benar-benar mengerikan sekali, apalagi kalau ia ingat betapa tadi sebelum Bayisan datang, hampir saja ia menggunakan bedak beracun itu untuk membedaki mukanya. Menggigil kengerian ia kalau membayangkan betapa kulit mukanya yang halus itu akan digerogoti perlahan-lahan oleh racun itu, betapa mukanya akan tak berkulit lagi, seperti muka iblis yang seburuk-buruknya.
Kembali Bayisan menggereng seperti binatang liar ketika ia membalikkan tubuh menghadapi pembaringan di mana Tayami duduk bersimpuh kengerian dan ketakutan. "Kau... kau... setan betina... kucekik lehermu sampai mampus..."
Ia menubruk maju, akan tetapi tiba-tiba ia berseru kesakitan dan terhuyung ke belakang. Tangan kirinya meraih ke arah pundak kanannya yang terasa sakit, lumpuh dan gatal panas. Ketika ia berhasil mencabut jarum hitam yang menancap di pundak kanannya, ia berteriak kaget, mundur beberapa langkah dan berdongak ke atas. Di sana, di celah-celah genteng, tampaklah sebuah muka menyeringai, muka seorang muda yang rambutnya riap-riapan.
Bayisan tentu saja mengenal jarum hitamnya, maka tadi ia kaget setengah mati melihat pundaknya dilukai orang dengan jarumnya sendiri. Kini melihat muka itu, muka jembel muda yang siang tadi membikin kacau, teringatlah ia akan muka Kwee Seng, teringatlah ia akan semua peristiwa di puncak Liong-kwi-san.
"Liong... kwi.... san...." Bayisan mengeluh, mukanya pucat sekali dan tahulah ia bahwa tidak harapan baginya untuk menghadapi pemuda gila yang ternyata Kwee Seng adanya itu. Tahu pula ia bahwa tak mungkin ia dapat tinggal di istana setelah apa yang ia lakukan terhadap Tayami, setelah kini mukanya menjadi seperti muka iblis yang mengerikan. Terdengar ia melengking panjang seperti lolong seekor srigala hutan yang kelaparan ketika tubuhnya berkelebat ke arah jendela dan lenyaplah Bayisan di dalam kegelapan malam.
Kwee Seng tersenyum puas. Tak perlu ia membunuh Bayisan, cukup dengan mengembalikan jarumnya di tempat yang sama. Ia puas melihat Bayisan sudah cukup terhukum oleh perbuatannya sendiri yang jahat. Siapa kira, bungkusan yang ia duga dikirim kakek cebol untuk Puteri Mahkota Khitan itu, ternyata berisi bedak beracun dan secara tidak sengaja telah dapat memberi hukuman mengerikan kepada Bayisan si manusia jahat!
Akan tetapi kakek cebol itu juga jahat. Bagaimana seandainya bedak itu dipergunakan oleh Puteri Mahkota? Kwee Seng bergidik. Tak sampai hatinya membayangkan hal ini. Dia amat sayang akan segala yang indah-indah, kalau sampai wajah yang jelita itu, dikupas kulitnya oleh bedak beracun, hiiiih!
"Kakek cebol, kau iblis tua bangka, tak dapat kudiamkan saja perbuatanmu ini!" kata Kwee Seng di dalam hatinya dan ia pun meloncat turun dari atas genteng, menghilang di dalam gelap.
Pada keesokan harinya, kota raja bangsa Khitan itu geger ketika Pangeran Kubakan mengumumkan bahwa Raja Kulu-khan telah meninggal dunia secara mendadak karena terserang sakit setelah menghadiri pesta perlombaan kemarin. Tentu saja hal ini mengejutkan bangsa Khitan yang merasa sayang kepada raja yang adil itu. Semua orang berkabung untuk kematian yang tak tersangka-sangka ini.
Ada pun di dalam istana sendiri, tidak kurang hebatnya pukulan yang tak tersangka-sangka ini. Tayami menangisi jenazah ayahnya dan para panglima hanya saling pandang dengan penuh pengertian. Tidak ada tanda-tanda penganiayaan, akan tetapi tahu-tahu raja telah meninggal dunia di atas pembaringannya, tidak ada tanda luka, tidak ada tanda minuman atau makanan beracun.
Akan tetapi bagi pandang mata yang awas dari para panglima yang tahu akan ilmu silat tinggi, yaitu misalnya Kalisani Si Panglima Tua, atau juga panglima-panglima kosen seperti Pek-bin Ciangkun (Panglima Muka Putih) dan Salinga, dapat menduga bahwa kematian raja mereka itu adalah akibat pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sinkang dengan hawa beracun. Dari sembilan lubang di tubuh raja itu keluar darah menghitam, ini tandanya keracunan hebat oleh pukulan yang merusak tubuh sebelah dalam.
Ketidak hadiran Bayisan menimbulkan dugaan mereka ini bahwa Bayisan itulah yang telah membunuh raja, ayahnya sendiri! Mungkin karena tak senang dengan pengangkatan Salinga sebagai calon panglima dan mantu raja. Akan tetapi, setelah mereka mendengar penuturan Puteri Mahkota tentang kekurang-ajaran Bayisan memasuki kamar Sang Puteri lalu dapat diusir oleh Puteri Tayami dengan bubuk beracun sehingga Bayisan menghilang, para panglima itu tidak mau lagi membicarakan hal ini di luaran. Hanya diam-diam mereka mencari Bayisan untuk membalas dendam atas kematian raja, namun semenjak saat itu Bayisan menghilang sehingga orang menyangka bekas panglima itu tentu telah tewas oleh racun.
Sejak kematian Raja Kulu-khan itulah timbul perebutan kedudukan raja di Khitan. Tentu saja menurut sepatutnya karena yang menjadi Puteri Mahkota adalah Tayami, maka puteri inilah yang menggantikan kedudukan raja. Akan tetapi ia seorang wanita yang merasa kurang mampu mengendalikan pemerintahan, sedangkan calon suaminya hanyalah keturunan pelayan, maka hal ini menjadi perdebatan sengit di antara mereka yang pro dan yang kontra. Sayangnya bagi Tayami, yang pro dengannya tidaklah banyak. Terutama sekali yang mendukungnya adalah panglima tua Kalisani, yang bicara penuh semangat di depan sidang.
"Biar pun tak dapat disangkal bahwa pimpinan puteri tidaklah sekuat pimpinan putera, akan tetapi apa gunanya kita semua menjadi pembantu raja? Kalau ada urusan, cukup ada kita yang akan maju dengan persetujuan raja. Puteri Tayami adalah Puteri Mahkota, hal ini mendiang raja sendiri yang menetapkan. Kalau kita sekarang tidak mengangkat beliau menjadi pengganti raja, bukankah itu berarti kita tidak mentaati perintah mendiang raja kita?" demikian antara lain Kalisani membela kedudukan Puteri Tayami!
Akan tetapi pihak lain membantah dengan sama kerasnya. "Kita semua maklum bahwa bangsa Khitan menghadapi banyak tantangan di selatan. Kalau kita sebagai bangsa yang gagah perkasa tidak sekarang mencari tempat di selatan, mau tunggu sampai kapan lagi? Dan penyerbuan itu membutuhkan bimbingan seorang raja yang gagah berani, seorang laki-laki sejati. Kita percaya bahwa Paduka Puteri Tayami juga seorang wanita jantan yang gagah perkasa, akan tetapi betapa pun juga, langkah seorang wanita tidak selebar laki-laki. Biarlah Puteri Tayami juga tinggal dalam kedudukannya sebagai Puteri Mahkota yang kita hormati, akan tetapi pimpinan kerajaan harus berada di tangan seorang pangeran."
Perdebatan sengit terjadi, akan tetapi akhirnya Kalisani kalah suara. Sebagian besar para panglima dan ponggawa memilih Pangeran Kubakan untuk mengganti kedudukan ayahnya menjadi raja di Khitan! Hal ini mengecewakan hati Kalisani yang amat tidak suka melihat perebutan kekuasaan yang bukan haknya itu, apalagi karena dengan adanya perdebatan itu, setelah ia mengalami kekalahan, tentu saja golongan raja ini akan membencinya. Maka pada hari itu juga ia meletakkan jabatan dan meninggalkan Khitan untuk melakukan perantauan yang menjadi kesukaannya sejak dahulu. Karena kesukaannya akan merantau ini pula agaknya yang membuat Kalisani tidak juga mau menikah. Sebelum pergi meninggalkan Khitan, Kalisani hanya minta diri kepada Puteri Tayami.
"Harap Paduka menjaga diri baik-baik. Setelah ayah Paduka wafat, belum tentu keadaan pemerintahan akan sebaik sebelumnya. Terutama sekali, harap Paduka berhati-hati terhadap Bayisan, kalau-kalau dia kembali lagi. Selamat tinggal, Tuan Puteri. Selamanya saya akan berdoa untuk kebaikan Paduka."
Tentu saja Tayami telah maklum bahwa Kalisani sejak dahulu juga menaruh hati cinta kepadanya. Ia menjadi terharu sekali karena maklum bahwa perasaan cinta panglima tua ini benar-benar perasaan yang jujur dan tulus ihklas, yang murni. Ia maklum pula akan pembelaan Kalisani kepadanya di dalam sidang. Mengingat betapa sekaligus ia ditinggal pergi ayahnya dan Kalisani, dua orang yang benar-benar menaruh sayang kepadanya, tak terasa pula Tayami menangis.
Puteri ini lalu mengambil dua buah roda emas yang menjadi barang permainan dan kesayangannya sejak kecil, lalu menyerahkannya kepada Kalisani sambil berkata, "Terima kasih atas segala kebaikan yang telah kau limpahkan kepadaku, Kalisani. Semoga para dewa yang akan membalasnya dan terimalah sepasang roda emas milikku ini sebagai kenangan-kenangan."
Kalisani mengejap-mengejapkan kedua matanya yang menjadi basah, menerima sepasang roda emas, mencium kedua benda mengkilap itu, lalu mengundurkan diri sambil berkata, "Sampai mati aku takkan berpisah dari sepasang roda emas ini...."
Biar pun kemudian Kubakan menjadi raja bangsa Khitan, namun Puteri Tayami masih mendampingi kakak tirinya ini dan kekuasaan Puteri Mahkota ini masih besar sekali. Raja Kubakan yang baru tidak berani mengganggu Tayami, karena sungguh pun para panglima membenarkan dia yang menggantikan raja, namun boleh dibilang semua panglima masih bersetia penuh kepada Puteri Mahkota. Raja Kubakan merasa kehilangan sekali karena Bayisan pergi tanpa pamit dan tidak ada orang yang tahu ke mana perginya. Kalau seandainya ada Bayisan di sampingnya, tentu rasa ini akan merasa lebih kuat dan ada yang diandalkan.
Demikianlah, secara singkat dituturkan di sini bahwa Puteri Mahkota Tayami menikah dengan Salinga dan mereka berdua hidup rukun dan saling mencinta. Tidak terjadi sesuatu di antara raja baru dan Puteri Tayami mau pun suaminya karena mereka tidak saling mengganggu, bahkan di waktu bangsa Khitan berperang menghadapi musuh, keduanya berjuang bersama-sama. Akan tetapi sesungguhnya di dalam hati mereka itu terdapat semacam ‘perang dingin’.
Kita kembali kepada Kwee Seng yang meninggalkan istana dan terus keluar dari kota raja. Sambil menggerogoti sepotong paha kambing panggang yang ia sambar secara sambil lalu dari dapur istana sebelum keluar, ia berjalan seenaknya di malam hari itu. Tak pernah ia mengaso karena bagi Kwee Seng yang kondisi tubuhnya sudah luar biasa anehnya itu, tidak tidur selama seminggu atau tidak makan selama sebulan bukan apa-apa lagi, juga sebaliknya ia bisa saja tidur tiga hari tiga malam terus-menerus atau sekali makan menghabiskan makanan sepuluh orang!
Kwee Seng masih enak-enak berjalan memasuki hutan setelah matahari muncul mengusir kegelapan malam. Dan pada saat itulah ia mendengar suara orang tertawa-tawa, suara tergelak-gelak yang amat dikenalnya karena itulah suara si Kakek Cebol! Mendengar suara si Cebol, bangkitlah amarah di hati Kwee Seng. Si Kakek Cebol yang kejam! Sekejam-kejamnyalah orang yang berniat merusak muka yang demikian cantiknya seperti muka Puteri Mahkota Tayami! Kakek iblis itu harus diberi hajaran. Dengan tangan kanan memegang tulang paha kambing, tangan kiri menyambar sehelai daun yang kaku dan lebar, Kwee Seng lalu mempercepat langkahnya menghampiri arah suara ketawa.
Kakek cebol itu tampak berdiri dibawah sebatang pohon besar, tertawa-tawa sambil memeriksa muka seorang yang menggeletak di depan kakinya. Ketika Kwee Seng mengenal orang yang menggeletak itu, ia terheran-heran dan kaget, karena orang itu bukan lain adalah Bayisan! Memang aneh kakek itu. Ia membungkuk, mengamat-amati muka Bayisan yang rusak, lalu terpingkal-pingkal ketawa lagi, membungkuk lagi, memeriksa dengan jari-jari tangan, lalu terkekeh-kekeh lagi seperti orang gila.
"Huah-hah-hah, lucu perbuatan si tangan jahil iblis siluman! Muka si Cantik halus yang aku arah, kiranya malah bocah tolol ini yang terkena! Heh-heh-heh!"
Makin yakin kini hati Kwee Seng bahwa kakek cebol ini sengaja mengirim obat bubuk beracun untuk merusak muka Tayami, maka ia menjadi makin marah. Di samping kemarahannya, ia pun ingin sekali mengerti mengapa kakek itu hendak berbuat sedemikian kejinya terhadap Tayami. Kwee Seng menanti sesaat untuk melihat apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh kakek itu. Bayisan agaknya pingsan, atau mungkin sudah mati, karena tubuhnya tidak bergerak sama sekali.
Tiba-tiba kakek itu berseru. "Aiiihhh, bau... bau...! Bau jembel tengik...!"
Terkejutlah Kwee Seng. Dengan kening berkerut ia menggerakkan muka ke kanan kiri, hidungnya kembang-kempis mencium-cium. Benar-benarkah ia berbau begitu tengik sehingga kehadirannya tercium oleh kakek itu? Tentu saja pakaiannya yang sudah butut itu tak enak baunya, akan tetapi tidaklah begitu tengik sehingga dapat tercium dari jarak sepuluh meter jauhnya. Ia mendongkol dan berbareng juga kagum. Kakek cebol itu tentu sengaja memakinya dan kenyataan bahwa kakek itu dapat mengetahui kehadirannya menunjukkan kelihaiannya. Terpaksa ia muncul dari balik pohon dan melangkah maju menghampiri.
Kakek itu berdiri membelakanginya dan kini kakek itu mencak-mencak berjingkrakan sambil mengoceh. "Wah, baunya, baunya makin keras! Jembel busuk tengik ini kalau tidak cepat dicuci bersih, bisa meracuni keadaan sekelilingnya. Wah, bau... bau... tak tertahankan...!" Kakek itu lalu berbangkis-bangkis.
Rasa mendongkol di dalam hati Kwee Seng seperti membakar, "Kakek cebol tua bangka tak sedap dipandang!" Ia memaki. "Sudah mukamu seperti monyet tua, tubuhmu cebol, mulutmu kotor, watakmu pun keji seperti ular berbisa!"
Kakek itu kini membalikkan tubuhnya dan menghadapi Kwee Seng, matanya dibelalakkan lebar, mengintai dari balik alisnya yang panjang dan berjuntai ke bawah menutupi mata. "Jembel tengik, jembel bau, kiranya benar engkau yang mengotori hawa udara di sini! Ucapanmu tentang muka, tubuh dan mulutku tidak keliru. Memang mukaku seperti monyet, apakah kau mengira bahwa muka monyet itu lebih buruk dari pada muka orang? Hah-hah-hah, coba kau tanya kepada monyet betina, muka siapa yang lebih gagah menarik, muka monyet jantan berbulu ataukah mukamu yang licin menjijikkan! Tubuhku memang cebol, lebih baik cebol dari pada merasa tubuhnya besar dan gagah sendiri tapi tanpa isi seperti tubuh yang menggeletak di sini. Tentang mulut kotor, memang kau benar. Mulut manusia mana yang tidak kotor? Segala macam bangkai dimasukkan ke mulut, sedangkan yang keluar dari mulut pun selalu kotoran-kotoran melulu. Bukankah segala penyakit disebabkan oleh yang masuk melalui mulut, dan bukankah segala cekcok dan ribut disebabkan oleh apa yang keluar melalui mulut? Memang mulut manusia kotor dan bau pula! Huah-hah-hah! Tapi tentang watak keji seperti ular berbisa? Eh, jangan kau menuduh dan memaki sembarangan, bocah jembel!"
Kwee Seng tersenyum mengejek dan menggerogoti sisa daging yang menempel di tulang paha, sedangkan dengan daun lebar ia mengipasi lehernya, padahal hawa udara di pagi hari itu amat dingin. "Kakek cebol, omonganmu memang tidak keliru dan mendengar omonganmu tadi, agaknya kau tahu juga akan kebenaran. Akan tetapi, kau menyangkal watakmu yang keji berbisa, padahal sudah ada dua macam bukti di depan mata."
Kakek itu meloncat-loncat dan membanting-bantingkan kakinya di atas tanah, mukanya memperlihatkan kejengkelan dan kemarahan. "Iihh... oohh... aku adalah Bu Tek Lojin! Selamanya belum pernah ada orang berani memaki kepada Bu Tek Lojin. Tapi hari ini kau jembel muda busuk tengik berani bilang bahwa Bu Tek Lojin berwatak keji dan dua buktinya. Heh, bocah, jangan main-main dengan Bu Tek Lojin. Hayo katakan, apa buktinya?"
Diam-diam Kwee Seng terheran-heran. Kakek ini memiliki nama yang hampir sama dengan Bu Kek Siansu, manusia setengah dewa yang suci dan yang tidak membutuhkan apa-apa lagi, yang sudah hampir dapat membebaskan diri sepenuhnya dari pada ikatan lahir. Akan tetapi kakek ini namanya saja sudah membayangkan kesombongan. Bu Tek Lojin! Orang Tua Tanpa Tanding!
Belum pernah Kwee Seng mendengar nama ini. Banyak tokoh-tokoh kang-ouw sakti yang ia kenal, baik mengenal muka mau pun hanya mengenal nama, akan tetapi tak pernah ia mendengar nama Bu Tek Lojin! Ada Sin-jiu Couw Pa Ong, Ban-pi Lo-cia, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, Hui-kiam-eng Tan Hui, Kim-tung Lo-kai, di samping tokoh-tokoh besar yang menjadi ketua partai persilatan seperti Kian Hi Hosiang Ketua Siauw-lim-pai, Kim Gan Sianjin Ketua Kun-lun pai, dan lain-lain. Dari mana munculnya kakek cebol yang mengaku bernama Orang Tua Tanpa Tanding ini????
 Jilid 13>>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)