CINTA BERNODA DARAH : JILID-32

“Mari masuk, kusembunyikan di dalam situ.” Mereka lalu memasuki goa yang cukup besar itu dengan jalan berindap-indap.
Suma Boan mulai curiga dan ber­sikap waspada, akan tetapi karena tidak mendengar suara apa-apa, ia ikut dengan Sian Eng melangkah masuk ke dalam goa. Setelah mereka melangkah maju sejauh lima meter, mereka bertemu dengan dinding goa.
“Di mana kitab-kitabnya?” Suma Boan berbisik.
Akan tetapi tiba-tiba Sian Eng merenggutkan tangannya sehingga Suma Boan amat kaget. Goa itu gelap, ia melihat bayangan Sian Eng menjauhkan dirinya.
“Moi-moi... di mana kau? Mana kitabnya...?”
Tiba-tiba matanya silau oleh sinar api yang dibuat orang dari luar dan beberapa detik kemudian, Lin Lin yang membawa obor di tangannya telah meloncat masuk, obor di tangan kiri, pedang bersinar kuning di tangan kanan! Juga Sian Eng menyambar sebuah obor, dinyalakannya dan menaruh obor itu di sudut goa. Keadaan menjadi terang menyeramkan.
Suma Boan berdiri terbelalak. Matanya mencari-cari dan ternyata goa itu kosong sama sekali. Luasnya lima meter persegi. Di depannya kini berdiri dua orang gadis berdampingan dan menutup jalan ke luar. Lin Lin dengan pedang bersinar kuning di tangannya. Sian Eng dengan kedua tangan terbuka, jari tangannya menegang, matanya terbelalak penuh kebencian. Diam-diam Suma Boan merasa ngeri juga, akan tetapi karena ia seorang laki-laki yang tabah dan berilmu tinggi, ia dapat menekan perasaannya dan pura-pura tidak dapat menduga kehendak mereka.
“Moi-moi... adikku Sian Eng yang manis, mengapa tiba-tiba adikmu ini muncul? Dan manakah kitab-kitab yang kau janjikan?”
“Suma Boan manusia iblis! Kematian sudah di depan mata, masih pura-pura tidak tahu akan dosa-dosamu?” bentak Sian Eng dengan suara gemetar saking menahan kemarahan yang meluap-luap, kemarahan dan kebencian yang selama ini memenuhi dadanya, yang selalu ditahan-tahan dan ditutupi sikap kasih sayang untuk dapat memancing dan menipu Suma Boan.
“Apa...? Eng-moi... apakah maksudmu? Bukankah kau juga mencintaku seperti aku mencintamu? Bukankah tadi... kau menyerahkan diri sepenuhnya dengan rela dan suka kepadaku?”
“Tutup mulutmu yang kotor!” bentak Sian Eng sambil melangkah maju penuh ancaman. “Ooooohhh, betapa bencinya aku! Makin benci mendengar kata-katamu. Suma Boan manusia berhati binatang, perbuatanmu yang biadab terhadap diriku di dalam perahu telah menodai cinta kasihku, telah merobek-robek hatiku, telah mengubah cintaku menjadi benci yang sebesar-besarnya. Aku ingin mengganyang jantungmu, ingin kuhirup darahmu dan kukeluarkan isi perutmu!”
Suma Boan kaget bukan main, merasa ngeri dan gentar. Mulai menyesallah hatinya mengapa ia terburu-buru menodai gadis ini yang ternyata tadinya benar-benar mencintanya. Akan tetapi semua itu telah terlanjur dan melihat bahwa yang menentangnya hanya dua orang gadis ini, tentu ia segera dapat mengusir rasa jerinya. Ia tersenyum mengejek dan berkata.
“Hemmm, Sian Eng. Dengan kepandaianmu dan dibantu adikmu, apa kau kira akan mudah saja mengalahkan aku? Kau tahu, tingkat ilmu kepandaianku jauh melebihimu. Juga jauh melebihi kepandaian adikmu. Insyaflah akan hal ini dan kalian ini nona-nona manis, sayang sekali kalau sampai tewas di tanganku. Lebih baik kalian hayo ikut denganku, hidup penuh kesenangan di istanaku sambil memperdalam ilmu silat....”
“Laki-laki ceriwis...!” Lin Lin membentak dan pedangnya berubah menjadi sinar kuning, menyambar ke arah leher Suma Boan.
Pemuda ini terkejut. Tak disangkanya gerakan Lin Lin demikian cepatnya, maka ia segera mengelak dengan meliukkan tubuh ke bawah sambil mendorong dengan tangannya ke arah siku yang memegang pedang ketika pedang itu lewat di atas kepalanya. Namun Lin Lin yang bersilat dengan ilmu saktinya yang baru, yaitu Cap-sha Sin-kun, segera dapat merubah letak pedangnya yang kini membalik ke bawah, menyambar dengan gerakan pergelangan tangan sehingga tangan Suma Boan yang tadinya hendak mencengkeram siku, kini berbalik disambar mata pedang!
“Aaaiiihhh!” Suma Boan yang sudah menarik lengannya itu kini menjerit sambil melompat ke atas dan berjungkir balik ke belakang karena kembali sinar pedang Lin Lin yang tadi dapat dielakkannya itu sudah berubah menjadi segulungan sinar kuning yang berpusing di sekitar dada dan lehernya! Hanya dengan cara berjungkir balik seperti tadi maka ia selamat.
“Bersiaplah menerima hukuman!” bentak Sian Eng.
Kembali Suma Boan terkejut sekali karena tiba-tiba angin menyambar berputaran dari arah Sian Eng ketika gadis itu menerjangnya dengan pukulan yang gerakan-gerakannya aneh sekali. Suma Boan baru saja terbebas dari ancaman maut pedang Lin Lin, kini ia cepat menggerakkan tubuhnya miring ke kiri sambil mengibaskan tangannya dengan tenaga sinkang sepenuhnya untuk menangkis.
“Wuuuttt! Wuuuttttt!” Angin pukulan kedua pihak yang disertai tenaga sinkang itu saling sambar dan baiknya Suma Boan adalah seorang jagoan yang terlatih, maka biar pun ia merasa tergetar oleh hawa pukulan mukjijat dari Sian Eng, namun tidak membuatnya roboh dan tangkisannya tadi berhasil.
“Singgg...!” Kembali sinar kuning pedang Lin Lin menyambar, disusul pukulan Sian Eng yang tidak kalah mengerikan dari pada sambaran pedang. Kedua orang gadis itu menerjangnya susul-menyusul dan bertubi-tubi dengan kecepatan yang luar biasa dan gerakan yang amat aneh.
“Kalian hendak mengadu nyawa? Boleh!” Akhirnya Suma Boan memekik marah karena ia tidak melihat jalan ke luar lagi.
Betapa pun juga, dalam hal ilmu silat ia lebih banyak pengalaman kalau dibandingkan dengan dua orang gadis ini. Maka cepat ia mengerahkan tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang ia dapat dari beberapa orang guru pandai, di antaranya terutama sekali It-gan Kai-ong. Bertahun-tahun putera pangeran ini menjagoi daerah An-sui, bahkan namanya terkenal sampai di kota raja, ditakuti orang dan pengaruhnya besar sekali.
Saking lihainya, ia sampai mendapat julukan Lui-kong-sian atau Dewa Geledek karena pukulan tangannya selalu ampuh dan sekali pukul cukup untuk mengantar nyawa lawan ke akherat. Entah berapa banyaknya lawan yang sudah terbunuh oleh pukulannya. Ketenaran namanya dan kehebatan ilmunya inilah yang membuat Suma Boan menjadi manusia sombong, memandang rendah orang lain, dan ke mana pun ia pergi, ia tidak pernah membawa senjata karena ia menganggap bahwa kedua pukulannya sudah cukup untuk mengalahkan musuh yang bagaimana pun juga.
Di antara banyak macam kepandaiannya menggunakan tangan kosong, yang paling hebat adalah ilmu pukulan yang ia pelajari dari It-gan Kai-ong yaitu yang disebut Ho-tok-ciang (Tangan Racun Api). Kalau dipergunakan pukulan ini hebatnya bukan kepalang karena dapat membuat badan lawan yang terpukul menjadi hangus! Jarang sekali Suma Boan menggunakan ilmu pukulan ini, karena sungguh pun hebat akibatnya kalau mengenai tubuh lawan, juga merugikan diri sendiri. Pengerahan sinkang di tubuhnya yang dibarengi dengan penggunaan racun yang panas seperti api dapat merangsang dirinya sendiri sehingga dapat mendatangkan luka pada kedua lengannya.
Menghadapi pengeroyokan Lin Lin dan Sian Eng yang mempunyai gerakan-gerakan aneh mukjijat itu, mula-mula Suma Boan menggunakan semua ilmu silat yang ada untuk melawan. Namun baru dua puluh jurus lewat saja ujung pedang Lin Lin sudah menggurat pahanya dan pukulan Sian Eng yang ditangkisnya meleset mengenai pundak sehingga membuatnya terhuyung-huyung. Kagetlah Suma Boan dan tahulah ia sekarang bahwa ia berada dalam bahaya. Kiranya dua orang gadis ini bukanlah Lin Lin dan Sian Eng setahun yang lalu, jauh selisihnya. Dua orang gadis ini mainkan ilmu silat yang amat aneh, ganas dan selain itu, tenaga mereka secara ajaib telah menjadi berpuluh kali lebih kuat dari pada dahulu.
“Hiaaattt!” Ketika Sian Eng menerjang lagi, Suma Boan memekik dan meloncat ke kanan sampai mepet dinding goa.
Secepat kilat pemuda ini mengeluarkan racun dari sakunya. Kedua telapak tangannya digosok-gosokkan dengan racun bubuk itu sehingga bubuk itu hancur memasuki telapak tangannya. Ketika ia membuka kedua lengannya, telapak tangan itu kelihatan menyala! Menyala dan mengeluarkan asap seperti arang dibakar. Hawa panas segera memenuhi goa.
“Awas tangannya, Enci!” Lin Lin ber­seru dengan kaget.
Akan tetapi gadis ini tidaklah menjadi gentar sungguh pun lawan menggunakan ilmu yang begitu aneh. Malah khawatir kalau-kalau Sian Eng celaka oleh tangan api itu, Lin Lin sudah menerjang maju lebih dulu, memutar pedangnya dan sekaligus ia menggunakan jurus Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Mengeluarkan Kilat), sebuah di antara tiga belas jurus ilmu saktinya.
Sian Eng juga mengeluarkan suara melengking tinggi, tubuhnya mencelat ke atas dan dari atas ia menyambar turun dengan kedua tangan terbuka jari-jarinya seperti hendak mencengkeram kepala lawannya.
Di antara kedua orang pengeroyoknya, Sian Englah yang amat dibuat ngeri oleh Suma Boan. Ia maklum bahwa gadis ini menaruh kebencian besar kepadanya, menaruh dendam yang hanya dapat diredakan oleh darah dan nyawa. Oleh karena itu, begitu melihat datangnya serangan mereka yang demikian dahsyatnya, Suma Boan segera mendahului menggempur Sian Eng yang menyambar turun dari atas dengan dorongan kedua tangannya yang mengandung tenaga Ho-tok-ciang.
Melihat ini, Sian Eng nekat. Ia segera mengerahkan tenaga menurut ajaran kitab-kitab yang ia temukan di goa rahasia bawah tanah, lalu memekik tinggi. Belum juga kedua pasang tangan itu bertemu, hawanya sudah menyusup ke tulang sumsum. Sian Eng merasa betapa hawa panas memasuki kedua lengannya, sebaliknya Suma Boan kaget sekali karena serasa kedua lengannya dingin dengan mendadak.
Tiba-tiba mata Suma Boan menjadi silau oleh cahaya kuning. Ia menjerit dan cepat mempergunakan tangan kiri untuk mencengkeram pedang Lin Lin yang menyambar. Kalau tangannya sudah dimasuki tenaga Ho-tok-ciang macam itu, ia tidak takut untuk menangkis atau mencengkeram senjata tajam.
Gerakan inilah yang mencelakakan Suma Boan. Andai kata ia menggunakan seluruh tenaganya menyambut Sian Eng, tentu gadis itu akan kalah kuat dan celaka oleh hebatnya hawa pukulan Ho-tok-ciang. Atau andai kata ia menggunakan kedua tangannya dan mengerahkan seluruh tenaga untuk menyambut pedang Lin Lin, tentu pedang itu akan terampas dan Lin Lin akan menemui bahaya maut. Akan tetapi setelah Suma Boan membagi perhatian dan tenaga, juga membagi kedua tangannya, kini berbalik ia yang kalah kuat.
Terdengar jerit mengerikan ketika mereka bertiga itu dalam detik yang sama saling berbenturan. Siang Eng terhuyung mundur, juga Lin Lin terhuyung mundur, akan tetapi Suma Boan terlempar ke belakang, dan hanya dapat berdiri sambil bersandar dinding goa. Tangan kanannya lumpuh, tangan kirinya luka berdarah dan hilang dua buah jarinya. Sejenak ia tertegun, akan tetapi tiba-tiba rasa sakit dari kedua tangannya tak tertahankan lagi.
Tangan kanannya yang kalah kuat ketika bertemu dengan kedua tangan Sian Eng membuat tenaga beracun Ho-tok-ciang membalik dan kini rasa panas berselubung rasa dingin akibat hawa pukulan Sian Eng memasuki dan menjalar perlahan-lahan dalam lengannya. Bukan main nyerinya, sampai seperti menusuk-nusuk jantung. Ada pun tangan kirinya yang termakan Pedang Besi Kuning juga terasa perih dan gatal. Pedang Besi Kuning adalah pedang pusaka yang tidak beracun, akan tetapi mengandung khasiat anti racun. Karena lengan kiri Suma Boan tadinya penuh hawa beracun, begitu termakan oleh pedang ini, maka hawa yang anti racun itu memerangi racun di tangan itu, maka mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa.
“Aduh... aduh... mati aku... aduh tanganku...!” Suma Boan tidak kuat menahan. Tubuhnya terguling, ia merintih-rintih lalu bergulingan ke sana ke mari seperti cacing kepanasan, mengaduh-aduh dan minta-minta ampun. Pakaiannya robek semua ketika ia bergulingan, mukanya menjadi kotor dan matanya mendelik serta mulutnya berbusa.
“Lin-moi, pinjam pedangmu!”
Lin Lin merasa ngeri dan ragu-ragu untuk memberikan pedangnya. Ia pernah menyaksikan kekejaman hati Sian Eng ketika mereka membunuh It-gan Kai-ong. Akan tetapi mendadak tangan kiri Sian Eng mencengkeram ke arah mukanya dengan ganas. Lin Lin terkejut sekali dan mengelak, akan tetapi pada detik selanjutnya Pedang Besi Kuning sudah terampas dari tangannya. Terpaksa ia hanya dapat berdiri memandang dengan hati ngeri.
“Eng-moi... jangan... ampunkan aku!”
“Ampun? Hi-hi-hik, ampun kau bilang?” Pedang itu berkelebat dan....
“Crok! Crok!” dua kali pedang menyambar dan putuslah kedua lengan Suma Boan sebatas pundak!
“Aduhhh...!” Suma Boan menjerit dan bergulingan. Darah bercucuran keluar dari kedua pundaknya yang buntung. Celaka baginya, pemuda bangsawan ini telah melatih diri sedemikian rupa sehingga daya tahan tubuhnya amat kuat. Lain orang tentu sudah roboh pingsan dan takkan merasakan sakit lagi. Akan tetapi dia tidak pingsan dan dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan yang ia rasakan.
“Hi-hi-hik! Kau jadi buntung! Hayo coba kulihat apakah kau masih mampu berbuat keji kepada wanita!” Sambil tertawa-tawa menyeramkan kembali Sian Eng menggerakkan pedangnya membacok Suma Boan yang ketakutan itu.
Muka Suma Boan pucat penuh peluh. Ia masih mampu menggulingkan ke sana ke mari untuk membebaskan diri dari pada bacokan pedang. Namun pedang itu membayanginya terus dan akhirnya....
“Crok! Crok!” disusul jeritan panjang dari mulut Suma Boan.
“Aduh... ampun... ampun...!” Biar pun kedua kakinya sudah terbacok putus sebatas paha, tubuh Suma Boan masih mampu bergerak-gerak dan sepasang matanya melotot seakan-akan hendak meloncat ke luar dari dalam rongga matanya.
“Hi-hi-hi-hik! Kau begitu ingin menjadi jago nomor satu di dunia dan untuk itu kau rela menipuku? Nah, setelah kaki tanganmu buntung, apa kau masih ingin menjadi jagoan?”
“Eng... moi..., ampun...,” Suma Boan masih dapat mengeluarkan kata-kata dengan suara serak.
Akan tetapi agaknya sebutan terhadap dirinya ini menambah keganasan Sian Eng karena kembali pedangnya menyambar dan terbukalah perutnya. Tangan kiri Sian Eng menyusul, cepat membetot ke luar jantung yang basah oleh darah sehingga tangan kirinya berlepotan darah. Tubuh Suma Boan berkelojotan sebentar lalu diam terkulai.
Sian Eng tertawa-tawa lagi sambil menjilati darah di tangannya, kemudian ia makan jantung itu. “Hi-hik, kuminum darahmu, kuganyang jantungmu...!”
“Enci Sian Eng...!” Lin Lin menjerit penuh kengerian sambil melompat mendekati, tangannya merampas pedang. “Enci Eng, apakah kau telah menjadi gila? Kau kejam dan liar!”
Jantung itu sudah memasuki perut Sian Eng. Kini ia menunduk, memandang tubuh Suma Boan yang sudah tidak karuan macamnya, kaki tangan buntung, perut robek dan isinya berceceran ke luar. Tiba-tiba Sian Eng menubruk dan menangis sambil memeluk Suma Boan.
“Suma-koko... kenapa kau menyia-nyiakan cintaku...?” Ia menangis menggerung-gerung, membuat Lin Lin berdiri tertegun dengan bulu roma berdiri. Hatinya tidak karuan rasanya. Jelas bahwa enci-nya ini tidak beres lagi otaknya.
“Enci Sian Eng, ingatlah! Dia memang jahat, akan tetapi kita sudah berhasil membunuhnya. Mari kita pergi dari sini!”
Tiba-tiba Sian Eng mengangkat mukanya yang basah air mata, lalu membentak, “Pergi dari sini? Tak tahukah kau bahwa aku tak dapat meninggalkan kekasihku? Dialah satu-satunya pria yang kucinta. Kau pergilah, jangan ganggu kami!”
Lin Lin menggeleng kepalanya. Watak enci-nya sudah amat berubah dan kalau ia menggunakan kekerasan tentu enci-nya akan mengamuk. Ia ngeri memikirkan akibatnya kalau mereka berdua sampai bentrok. Biar pun ia menguasai ilmu silat tinggi, namun enci-nya juga mewarisi ilmu yang biar pun sama halnya dengan dia sendiri, belum masak latihannya, namun harus ia akui bahwa enci-nya memiliki ilmu yang aneh mukjijat. Pertempuran antara mereka akan hebat sekali akibatnya. Maka dengan perasaan ngeri dan apa boleh buat ia meninggalkan tempat itu, cepat lari menuju ke kota raja. Biarlah, kalau enci-nya sudah kumat penyakit gilanya, ia akan pergi sendiri mencari Suma Ceng, wanita yang menjadi kekasih Suling Emas, yang menghalangi pertalian kasih antara dia dan Suling Emas.
Karena Lin Lin melakukan perjalanan cepat sekali maka pada keesokan harinya pada senja hari ia telah tiba di kota raja. Sungguh pun kini kaisar yang memegang tampuk kerajaan sudah diganti, namun keadaan di kota raja tampaknya biasa saja, tidak ada perubahan. Bahkan Lin Lin melihat bahwa di dalam kota tidak tampak berkeliaran anggota-anggota pasukan seperti keadaan dulu.
Hal ini memang satu-satunya perubahan yang diadakan oleh kaisar yang baru, yaitu Sung Thai Cung. Setelah kaisar baru ini menggantikan kedudukan kakaknya, ia memperkuat keadaan pasukannya dan memperkuat penjagaan tapal batas atau wilayah Kerajaan Sung, mengerahkan seluruh bala tentara yang ada untuk menjaga di perbatasan dan mencegah gangguan dari kerajaan tetangga.
Malam hari itu, dengan menggunakan ilmunya Lin Lin berkelebat di atas genteng rumah gedung besar Pangeran Kiang, suami Suma Ceng. Mudah saja bagi Lin Lin mendapatkan rumah Pangeran Kiang karena ketika ia bertanya tentang rumah ipar dari Suma Boan, tidak ada orang di kota raja yang tidak tahu. Seperti juga dahulu, rumah gedung ini masih indah dan mewah. Akan tetapi keadaannya sunyi, padahal waktu itu malam baru saja tiba dan bulan hampir penuh menghias angkasa menciptakan malam indah.
Tiba-tiba Lin Lin yang berada di atas genteng rumah itu mendengar suara anak-anak yang bermain-main sambil tertawa-tawa. Cepat ia melompat ke arah belakang dan ternyata dalam sebuah taman tampak tiga orang anak sedang bermain-main, diasuh oleh dua orang pelayan. Ada pun di dekat kolam ikan duduk seorang wanita cantik yang termenung memandang bayangan bulan di dalam air. Hanya kadang-kadang saja wanita ini menoleh ke arah anak-anak yang bermain-main dengan gembira, akan tetapi segera ia tenggelam pula dalam lamunannya.
Dari atas genteng Lin Lin memperhatikan wanita itu. Lampu taman yang diselubungi kertas berwarna-warni menjatuhkan cahayanya pada wajah yang ayu dan tubuh yang bentuknya ramping, gerak gerik yang halus. Makin panas hati Lin Lin. Kalau benar inilah wanita yang bernama Suma Ceng, pantas jika Suling Emas jatuh cinta. Wanita ini cantik dan memiliki sikap agung seperti biasa dimiliki puteri bangsawan. Tentu saja Suling Emas lebih memilih wanita ini dari pada dia. Dia seorang gadis kang-ouw yang kasar dan liar! Makin dipandang, makin panas hati Lin Lin dan tiba-tiba tubuhnya sudah melayang turun dan langsung ia lari ke depan wanita itu.
Wanita itu memang betul Suma Ceng adanya. Semenjak peristiwa dengan Suling Emas yang menyerang suaminya dan ia membela suaminya mati-matian, sering kali wanita ini duduk melamun. Kadang-kadang ia menyesali perbuatannya, karena sesungguhnya harus ia akui di dalam hati bahwa cintanya terhadap pendekar itu tak pernah lenyap, tak pernah luntur dari hatinya, maka perlawanannya terhadap Suling Emas untuk membela suaminya itu tentu saja menghancurkan hatinya. Ia maklum bahwa perbuatannya itu tentu merupakan tusukan yang menyakitkan hati terhadap bekas kekasihnya.
Akan tetapi pikiran ini segera ia usir dengan kesadaran bahwa sesungguhnya hal itu merupakan jalan terbaik baiknya. Lebih baik membiarkan Suling Emas pergi dan membencinya, tidak akan kembali lagi selamanya agar pendekar itu dapat melupakannya, tidak tersiksa lagi hatinya. Juga dia sendiri dapat menjaga nama baik sebagai seorang isteri yang setia kepada suaminya. Dan yang jelas, semenjak peristiwa itu terjadi, suaminya, Pangeran Kiang bersikap manis dan baik kepadanya.
Ketika Suma Ceng melihat berkelebatnya orang dan secara tiba-tiba melihat seorang gadis berdiri di depannya, ia kaget sekali dan cepat bangkit berdiri. Tadinya ia kaget dan mengira Suling Emas yang datang lagi, akan tetapi setelah melihat bahwa yang datang seorang gadis, ia terheran-heran. Akan tetapi ketabahannya kembali ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang gadis muda yang cantik sekali. Dengan senyum tenang Suma Ceng bertanya.
“Siapakah kau dan apa kehendakmu datang secara begini?”
Lin Lin meraba gagang pedang, sejenak ia menentang pandang mata wanita itu sehingga dua pasang mata yang sama jeli dan sama tajam itu saling tatap penuh selidik. Kemudian Lin Lin bertanya, suaranya lantang.
“Apakah kau yang bernama Suma Ceng?”
Suma Ceng mengerutkan keningnya. Sebagai seorang nyonya yang selalu menjunjung tinggi nama suaminya, segera ia menjawab, “Aku adalah Nyonya Pangeran Kiang dan siapakah kau?”
“Tapi dulu sebelum menikah bernama Suma Ceng?” Lin Lin mendesak lagi.
Terpaksa Suma Ceng mengangguk. “Betul, dahulu aku bernama Suma Ceng, dan kau mau apakah tanya-tanya nama kecil orang lain?”
“Srettt!” Pedang Besi Kuning sudah berada di tangan Lin Lin.
“Mau membunuh engkau!” bentak Lin Lin dan pedangnya berubah menjadi sinar kuning yang menyambar ke arah leher Suma Ceng. Gerakan ini demikian cepat dan tidak terduga sehingga nyonya muda itu biar pun pandai silat tak sempat untuk menyelamatkan diri lagi, hanya berdiri terkesima dengan mata terbuka lebar. Pedang Besi Kuning menyambar ganas!
“Tranggggg!”
Lin Lin terpental ke belakang, berputar-putar sampai lima kali putaran baru ia dapat menghentikan kakinya ketika pedangnya bertemu dengan sesuatu yang amat hebat tenaganya, membuat pedangnya itu terpental dam membawa pula dirinya berputaran. Ia kaget dan marah sekali, namun tidak gentar karena ia memang sudah siap untuk bertempur mati-matian dalam usahanya membunuh wanita yang dibencinya. Cepat ia meloncat dan membalikkan tubuh, siap dengan pedang di depan dada. Tapi mendadak tubuhnya gemetar, wajahnya pucat dan tangan yang memegang pedang menggigil. Kiranya yang menangkis pedangnya, yang kini berdiri tegak di depan Suma Ceng dengan suling di tangan, yang memandangnya dengan kening berkerut dan mata sayu, adalah... Suling Emas!
“Lin Lin, terlalu sekali engkau... hendak membunuh orang yang tidak bersalah apa-apa?” Suling Emas menegur sambil menggeleng-geleng kepalanya, wajahnya yang tampan itu kelihatan sedih sekali.
Teguran ini meledakkan gunung berapi kemarahan yang mendesak di hati Lin Lin. Tiba-tiba saja air matanya keluar bercucuran dan ia menudingkan pedangnya ke arah Suling Emas. “Kau...! Kau...! Kau yang telah menghinaku... kini membela dia...! Ah, aku benci padamu! Benci...!” Sambil terisak menangis Lin Lin meloncat dan lari pergi secepatnya.
“Lin Lin, tunggu...!” Suling Emas mengejar.
Di taman itu tinggal Suma Ceng yang berdiri terlongong, sedangkan anak-anaknya ketakutan dan dua orang pelayan sibuk menghibur mereka dengan muka pucat karena takut pula.
“Mari kita masuk, dan jangan ceritakan kepada siapa pun juga tentang peristiwa tadi,” akhirnya Suma Ceng berkata, kemudian ketika berada di dalam kamarnya, tak tertahankan lagi nyonya ini menjatuhkari diri di atas pembaringan dan menelungkup sambil menangis.
“Lin Lin, tunggu...!” Suling Emas berteriak dan mempercepat pengejarannya.
Lin Lin seperti orang gila, berlari cepat sekali karena ia mengerahkan ilmu lari berdasarkan tenaga yang ia peroleh dari latihan ilmunya yang baru di bawah petunjuk Empek Gan. Betapa pun juga latihannya yang masih belum masak itu tidak memungkinkan ia dapat melarikan diri dari pada pengejaran Suling Emas. Akhirnya, jauh di luar kota raja ia dapat disusul oleh Suling Emas yang mendahuluinya dan membalik, menghadang di tengah jalan.
“Lin-moi, berhenti sebentar, mari kita bicara baik-baik....”
Dengan air mata membasahi pipinya, Lin Lin melintangkan pedangnya di depan dada dan matanya yang tajam menatap wajah pendekar itu sambil berkata ketus, “Bicara apa lagi? Kau sudah puas menghinaku dua kali! Kau menyusul aku apakah hendak menghina lagi dan melihat aku mampus?” air matanya makin deras bercucuran.
Dengan suara sedih Suling Emas berkata, “Lin Lin... Lin-moi, mengapa kau berkata demikian? Tidak sekali-kali aku berani menghinamu. Ah, Lin Lin, tidak tahukah kau betapa hancur hatiku menghadapi semua ini? Kau agaknya tahu sekarang, bahwa... bahwa aku adalah kakakmu sendiri. Tidak saja aku jauh lebih tua darimu, tapi juga aku... aku adalah kakakmu, Lin Lin. Aku tidak menghina....”
“Cukup!” Lin Lin membentak di antara isak tangisnya, “Katakanlah bahwa kau memandang aku sebagai seorang gadis yang tak tahu malu, seorang gadis yang rendah! Kau bukan kakakku, ini kau pun tahu jelas. Aku seorang puteri Khitan, aku hanya anak pungut ayahmu, aku bukan she Kam! Kita bukan sedarah daging, bukan seketurunan. Tentang usia... sudahlah, tentu saja kau menganggap aku seorang gadis tak berharga! Kau... kau mencinta Suma Ceng yang sudah bersuami dan mempunyai anak. Ah, mengapa kau tidak bunuh saja aku?” Kembali Lin Lin menangis.
Suling Emas menarik napas panjang. “Kau betul. Memang aku pernah mencintanya, mencintanya sebelum ia menikah dengan Pangeran Kiang. Namun kami tidak beruntung, dan dia sudah bahagia di samping suaminya, aku... aku sudah melupakan perhubungan kami yang lalu. Karena inilah Lin-moi... karena aku merasa bahwa aku sudah pernah mencinta orang lain, ditambah lagi kenyataan bahwa kau sejak kecil menjadi puteri ayahku, diperkuat dengan kenyataan bahwa aku jauh lebih tua dari padamu, bagaimana pun juga... tak mungkin aku mau merusak hidupmu. Kau masih muda, jelita, dan perkasa, lagi pula kau Puteri Khitan. Di dunia ini banyak pria yang jauh melebihi aku segala-galanya, menantimu....”
“Cukup! Kau hendak menambah luka di hatiku? Kau sengaja menghancurkan hatiku yang sudah sakit ini? Alangkah kejamnya kau! Alangkah bencinya aku kepadamu!” Lin Lin menggerakkan pedangnya dengan ancaman hendak menusukkan senjata ini di dada Suling Emas.
“Bagus begitu... kau tusuklah dada ini! Lebih baik begitu, Lin-moi. Untuk apa aku hidup lebih lama lagi kalau hidupku hanya mendatangkan sengsara bagi banyak orang?” Suling Emas berhenti sejenak, meramkan matanya membayangkan wajah Suma Ceng, juga wajah Tan Lian yang menjadi korban asmara, kemudian ia membuka lagi matanya. “Sudah kupenuhi kewajibanku mewakili ibu menghadapi Thian-te Liok-koai, sudah kupenuhi kewajibanku bertemu dengan adik-adikku seperti pesan ayah. Kau tusuklah dadaku!”
Karena Lin Lin memegang pedangnya dengan gerakan menusuk, maka ketika Suling Emas menubruk ke depan, tak dapat dicegah lagi pedangnya menusuk dada Suling Emas. Lin Lin terkejut dan membuang muka sambil menutupinya dengan tangan kiri. Tangannya yang memegang pedang gemetar sehingga pedang itu menyeleweng, menggores kulit dada kemudian ujung pedang menancap di pundak kanan Suling Emas!
Ketika merasa betapa pedangnya menusuk daging, Lin Lin menjerit kecil dan menarik pedangnya, berdiri terbelalak dengan muka pucat. Suling Emas masih berdiri, mulutnya tersenyum sedih, darah mengucur ke luar membasahi bajunya.
“Mengapa kepalang tanggung, adikku? Tusuklah lagi, yang tepat... ini dadaku, aku rela mati untuk membebaskanmu dari derita....”
Makin besar mata Lin Lin terbelalak, kemudian ia menjerit lagi dan terisak lari meninggalkan tempat itu. Suling Emas terhuyung-huyung kemudian roboh pingsan.
********************
“Berhenti! Menyerahlah untuk menjadi tawanan kami!” terdengar bentakan keras dan belasan orang berloncatan ke luar dari balik pohon dan segera mereka mengurung Lin Lin yang berdiri tenang. Sekali pandang tahulah Lin Lin bahwa ia dikurung oleh para prajurit Khitan, bahkan di antaranya ada yang ia kenal sebagai perwira-perwira yang pernah ikut rombongan ke Nan-cao menghadiri perayaan Beng-kauw. Dan di belakang belasan orang ini muncul pula rombongan yang merupakan pasukan berjumlah lima puluh orang lebih, lengkap dengan senjata tajam. Sikap mereka rata-rata galak dan tangkas, dan memang suku bangsa Khitan terkenal sebagai orang-orang yang berjiwa gagah perkasa, sudah biasa akan kesulitan hidup yang membuat mereka kuat lahir batin.
Namun menghadapi pengurungan banyak orang itu Lin Lin tidak menjadi gentar. Di dalam hatinya timbul perasaan bahwa mereka ini adalah orang-orangnya, bukan musuh. Maka sambil berdiri tegak dan bertolak pinggang ia menghardik. “Kalian ini mau apa? Mengapa hendak menawan aku? Tidak tahukah siapa aku? Aku adalah Puteri Yalin, puteri mahkota yang berhak akan mahkota Kerajaan Khitan!”
Sikapnya yang agung dan kata-katanya yang mantap ini meragukan para prajurit. Akan tetapi seorang komandan berkata keras, biar pun kata-katanya tidak kasar. “Kami hanya menerima perintah dari Lo-ciangkun, bahwa apa bila Nona muncul di wilayah ini, kami harus menawan Nona.”
Lin Lin tahu siapa yang dimaksudkan dengan Lo-ciangkun (panglima tua) itu. Ia tersenyum mengejek. “Hemmm, siapa takut iblis Hek-giam-lo? Kalian ini bangsa Khitan yang terkenal gagah perkasa, yang sejak dahulu setia kepada nenek moyangku, menjadi abdi-abdi setia dari kakekku, raja besar Kulukan, mengapa sekarang bersikap pengecut dan tunduk kepada perintah seorang iblis seperti Hek-giam-lo?”
“Kami bukan pengecut!” bantah komandan itu dengan muka merah. “Akan tetapi kami harus tunduk terhadap perintah Lo-ciangkun yang menjadi kepercayaan Sri Baginda. Kalau kami tidak melakukan perintah, tentu kami dihukum mati. Sudah banyak contohnya pembangkang yang dihukum mati secara mengerikan. Oleh karena itu, selain kami takut dihukum, juga kami sayangkan kalau sampai Nona menerima hukuman dari Lo-ciangkun.”
“Hemmm, siapa takut? Kalian tahu betapa kejamnya iblis Hek-giam-lo, kejam dan menjadi tokoh penjahat di dunia yang hanya menodai nama besar Khitan! Apakah dahulu kakekku, raja besar Kulukan sekejam itu? Baru sekarang terjadi kekejaman-kekejaman, setelah paman tiriku Kubakan menjadi raja dan dibantu Hek-giam-lo. Hek-giam-lo adalah pengkhianat. Dahulu juga seorang panglima kakekku, akan tetapi karena berdosa kepada mendiang ibuku, maka mukanya menjadi seperti iblis, dan dia membantu paman tiriku yang tidak berhak akan kedudukan raja. Lihat, kalau aku yang mewarisi mahkota yang menjadi hakku, aku tidak akan berlaku kejam. Kalian sudah menghinaku, hendak menawanku, akan tetapi aku tidak akan membunuh kalian.”
Mau tidak mau komandan itu tersenyum. “Nona, Lo-ciangkun mengandalkan kepandaiannya yang setinggi langit. Nona hendak mengandalkan apa untuk melakukan kekejaman?”
“Eh, kau memandang rendah? Keparat! Lihat baik-baik!”
Dengan kecepatan kilat Lin Lin menggerakkan tubuhnya, melakukan jurus sakti memukul dan menendang ke depan. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan... enam orang Khitan berikut komandan tadi berjungkir-balik dan jatuh tumpang tindih, tanpa mereka ketahui mengapa mereka dapat jatuh bangun seperti itu!
“Nah, kau kira aku tidak dapat menyiksa kalian dan membunuh kalian secara kejam kalau kukehendaki? Akan tetapi biar pun kalian keterlaluan, aku tetap memaafkan kalian karena kalian adalah bangsaku dan orang-orangku. Bangunlah!”
Enam orang itu meringis-ringis dan bangun, akan tetapi kesetia-kawanan mereka membuat pasukan itu bergerak dan merapatkan pengepungan. Melihat enam orang kawan mereka dirobohkan Lin Lin, mereka yang tidak mendengar kata-kata Lin Lin tadi kini maju mendesak dan siap untuk mengeroyok gadis itu dalam kepungan itu.
Melihat ini Lin Lin membentak. “Mundur kalian! Benar-benarkah kalian ini akan melupakan darah nenek moyangku dan membantu pengkhianat? Belum cukupkah bukti tadi bahwa aku cukup kuat akan tetapi tidak mau membunuh kalian yang kusayang sebagai rakyatku? Awas, kalau memang kalian ini hanya terdiri dari orang-orang yang hanya tunduk kalau diperlakukan kejam, jangan salahkan aku terpaksa menggunakan kekerasan!”
Akan tetapi orang-orang Khitan itu tidak mengenal takut. Mereka mendesak makin dekat dan sikap mereka mengancam. Tiba-tiba mata mereka menjadi silau oleh sinar kuning terang yang bergulung-gulung ketika Lin Lin mencabut pedangnya dan menggerak-gerakkannya dengan cepat di atas kepalanya.
“Mundur! Kalian tidak melihat ini? Pedang pusaka Besi Kuning, pedang mendiang ibuku Puteri Tayami, siapa berani melawan ini? Hayo maju, siapa maju akan kupenggal kepalanya!”
Semua orang Khitan mengenal belaka pedang ini. Mereka yang masih muda dan belum pernah menyaksikan pedang ini, setidaknya pernah mendengar dongeng bermacam-macam tentang pedang ini yang katanya dahulu adalah pemberian raja dewa kepada nenek moyang Raja Khitan. Mereka serentak mundur dan muka mereka menjadi pucat.
“Kalian tahu, hanya pedang pusaka inilah yang menjadi tanda. Siapa memegangnya dialah yang patut menjadi raja di Khitan. Dahulu pedang ini terlepas dari tangan Kubakan, terampas oleh Kaisar Sung. Raja macam apa dia itu sehingga melepaskan pusaka kerajaan? Dia tidak patut menjadi raja dan dia hanyalah anak dari selir kakek Kulukan. Ibukulah puteri mahkota, dan karena aku anaknya, maka akulah keturunan langsung dari kakek Kulukan, dan aku, Puteri Yalin, yang berhak memakai mahkota Kerajaan Khitan. Hayo, siapa berdiri di pihakku dan siapa berani menentangku?”
Sambil berkata Lin Lin mengacungkan pedangnya ke atas, berdiri tegak dan sikapnya gagah dan agung. Anehnya, biar pun belum banyak ia mempelajari bahasa Khitan ketika ia ditawan Hek-giam-lo, namun kini dia dapat bicara dengan lancar dalam bahasa itu. Memang panggilan darah agaknya yang membuat ia merasa tidak asing dengan suku bangsa dan bahasa Khitan. Apa lagi ia adalah keturunan dari orang-orang yang berdarah Kerajaan Khitan.
Pada saat orang-orang Khitan itu ragu-ragu dan tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap gadis ini, tiba-tiba di bagian kiri orang-orang itu bergerak minggir, memberi jalan kepada rombongan yang datang. Di antara mereka ada yang berkata dengan suara membayangkan kelegaan hati.
“Bagus, Pek-bin-ciangkun tiba! Hanya dialah yang dapat memberi keputusan, kita ini prajurit biasa yang tunduk perintah!”
Lin Lin cepat menengok dan ia melihat bahwa yang datang betul adalah Panglima Khitan yang terkenal itu, yang dahulu mewakili Kerajaan Khitan ketika datang pada pesta Beng-kauw. Panglima yang berwajah putih ini datang bersama belasan orang perwira pembantunya dan mereka semua memandang ke arah Lin Lin dengan pandang mata penuh selidik dan wajah kereng. Namun Lin Lin tidak menjadi gentar dan ia cepat menghadapi Pek-bin-ciangkun dengan sikap agung dan gagah. Sengaja ia tidak mengucapkan kata-kata seakan-akan sikap seorang puteri yang menerima laporan dari panglimanya!
Pek-bin-ciangkun tentu saja mengenal siapa Lin Lin dan panglima ini sudah pula mendengar tentang asal-usul gadis ini. Maka ia bersikap hormat sungguh pun ia tidak merendahkan diri. Tadi ia sudah menerima laporan lengkap, bahkan ucapan Lin Lin yang terakhir tadi didengarnya pula. Hal ini mengejutkan hatinya. Terang bahwa gadis keturunan langsung dari raja lama ini menuntut haknya dan kalau gadis ini berhasil menghasut, pasti akan terjadi perang saudara!
“Nona, kami sudah mendengar semua laporan dan mendengar pula ucapan Nona yang amat berbahaya. Ketahuilah, Nona. Kami hanya menjalankan tugas kami, taat kepada perintah raja besar kami. Lebih baik Nona menurut saja kami bawa menghadap raja dan percuma membujuk kami yang semenjak dahulu merupakan prajurit-prajurit setia sampai mati terhadap junjungan kami.” Ucapan yang bersemangat dan gagah ini berhasil menggugah semangat para prajurit dan menghilangkan keraguan mereka.
Lin Lin melihat hal ini menjadi gemas. Dengan sinar mata tajam ia menentang wajah Pek-bin-ciangkun dan berkata lantang. “Pek-bin-ciangkun! Melihat usiamu yang sudah lanjut, tentu kau dahulu pernah mengenal ibuku. Tahukah kau siapa mendiang ibuku?”
Sambil menunduk hormat panglima itu menjawab. “Ibunda Nona yang mulia adalah mendiang Puteri Mahkota Tayami yang gagah perkasa.”
“Dan kau tentu tahu pula siapakah kakekku, ayah dari ibuku?”
Kembali panglima itu membungkuk lebih hormat lagi, “Beliau adalah mendiang raja terbesar kami yang amat mulia, yaitu mendiang Kulukan yang besar!”
“Hemmm, agaknya ingatanmu masih baik. Dan kau tahu, rajamu yang sekarang itu, Raja Kubakan, dia itu terhitung apa dengan aku...?”
“Dengan Nona, beliau terhitung paman tiri, karena Sri Baginda adalah putera mendiang Maha Raja Kulukan dari seorang selir.”
“Hemmm, paman tiri, namun masih ada hubungan darah, masih sama-sama keturunan kakek Raja Kulukan, sungguh pun ibuku puteri permaisuri dan dia hanya putera selir. Akan tetapi tahukah kalian semua apa maksud hati paman tiriku itu hendak menangkapku? Aku hendak dipaksanya menjadi isterinya! Bukankah amat gila ini? Tidakkah jelas menunjukkan betapa bejat moral Kubakan yang kini menjadi raja kalian, raja yang tak berhak?”
“Kami tidak mau mencampuri urusan pribadi orang lain, apa lagi urusan pribadi raja kami yang kami junjung tinggi,” bantah Pek-bin-ciangkun sambil mengerutkan keningnya.
“Bagus!” Lin Lin berseru marah sambil melintangkan pedangnya. “Kau juga tidak memandang pedang pusaka ini?”
Pek-bin-ciangkun menghela napas panjang. “Tentu saja kami menaruh hormat kepada pedang pusaka yang sudah banyak berjasa terhadap bangsa kita itu. Akan tetapi, sebagai kepala pasukan pengawal raja kami harus mentaati perintah yang diberikan atasan kami, yaitu yang terhormat Lo-ciangkun. Menyerahlah Nona, kami akan memperlakukanmu dengan hormat dan baik.”
Lin Lin mengedikkan kepalanya, matanya bersinar-sinar marah. “Kalau kalian tunduk dan menjadi kaki tangan Hek-giam-lo si iblis jahanam, biarlah sekarang mengeroyok dan membunuhku. Aku tidak takut!”
“Ah, Nona Muda. Sesungguhnya kami bukan tidak tahu bahwa kau adalah tuan puteri, keturunan langsung dari Yang Mulia Kulukan. Kami merasa sayang dan segan untuk memusuhimu. Akan tetapi apakah daya seorang anak perempuan muda seperti kau ini? Apakah artinya melawan dengan kekerasan? Siapa tidak tahu bahwa Lo-ciangkun memiliki kesaktian yang tak terlawan? Kuharap saja kau dapat menyadari hal ini dan mari ikut kami menghadap raja. Mungkin hubungan darah kekeluargaan akan menyelamatkan dirimu.”
“Aku tidak takut terhadap Hek-giam-lo si iblis! Aku tidak takut kepada si muka buruk Bayisan itu, seorang perwira yang berani menghina mendiang ibuku. Suruh dia datang, biar kami mengadu nyawa di sini!” teriaknya nekat.
“Bayisan...? Apa maksudmu, Nona?” tanya Pek-bin-ciangkun dengan suara kaget.
“Siapa lagi kalau bukan Hek-giam-lo? Dia adalah Bayisan, apakah kalian masih pura-pura tidak tahu bahwa Hek-giam-lo adalah Bayisan yang dahulu adalah perwira kakek Raja Kulukan yang berani menghina ibuku?”
“Aaahhh...!” Jelas sekali kelihatan Pek-bin-ciangkun kaget bukan main, wajahnya yang putih itu mendadak menjadi merah dan matanya terbelalak tak percaya.
Bukan panglima ini saja yang terkejut, juga semua perwira yang mengiringkannya kelihatan kaget dan para prajurit juga ribut mendengar ucapan Lin Lin itu. Suasana menjadi gaduh karena mereka kini saling bicara sendiri dan keadaan baru tenang kembali setelah Pek-bin-ciangkun membentak, menyuruh mereka diam. Kemudian panglima ini menghadapi Lin Lin dan bertanya.
“Nona, semenjak kecil Nona terpisah dari lingkungan kami, bagaimana Nona bisa mengatakan bahwa lo-ciangkun adalah... Bayisan?” Panglima yang sudah banyak pengalaman ini tidak mau percaya begitu saja.
Sebaliknya, menyaksikan sikap mereka yang kaget dan mendengar pertanyaan Pek-bin-ciangkun yang demikian sungguh-sungguh, diam-diam Lin Lin menjadi heran tak mengerti. Mengapa mereka semua tidak tahu bahwa Hek-giam-lo adalah Bayisan seperti yang ia dengar dari iblis itu sendiri, dan mengapa pula hal itu membuat mereka kaget? Tentu ada rahasia hebat yang ia tidak ketahui. Dengan hati berdebar penuh harapan Lin Lin bergantung kepada kesempatan ini, lalu ia bercerita dengan suara sungguh-sungguh.
“Pek-bin-ciangkun, memang tadinya aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi ketika aku menjadi tawanan Hek-giam-lo dan kutanya mengapa dia begitu membenciku, dia membuka kedok iblisnya, memperlihatkan muka yang lebih buruk mengerikan dari pada kedoknya sendiri, muka yang rusak sama sekali. Hanya sebentar dia memperlihatkan mukanya yang rusak sambil mengaku bahwa namanya Bayisan, dan bahwa di waktu mudanya dahulu ia jatuh cinta kepada ibuku, akan tetapi ibu menolaknya. Menurut cerita dia, ibu malah menyiram mukanya dengan racun yang membuat mukanya menjadi terbakar dan rusak. Akan tetapi aku dapat menduga bahwa tentu ia bermaksud hendak kurang ajar terhadap ibu, maka ibuku melakukan hal itu kepadanya.”
Kembali suasana menjadi gaduh. Dan akhirnya Pek-bin-ciangkun berkata, suaranya berubah lunak dan panggilannya juga berubah, “Tuan Puteri Yalin, kami mohon maaf atas kekasaran kami tadi dan mulai saat ini, hamba dan sekalian anak buah hamba berdiri di belakang Paduka untuk menggempur pengkhianat Bayisan beserta raja paman tiri Paduka yang ternyata telah menipu kami semua, mempergunakan pengkhianat untuk membunuh ayah sendiri dan merampas tahta kerajaan.”
Setelah berkata demikian, Pek-bin-ciangkun menjatuhkan diri berlutut di depan Lin Lin. Para perwira lainnya juga ikut berlutut, sedangkan para prajurit sambil berteriak, “Hidup Tuan Puteri Yalin. Puteri Mahkota Khitan!”
Sejenak Lin Lin berdiri tegak. Pedang Besi Kuning di tangan kanan, tangan kiri bertolak pingang, kepala dikedikkan, dada dibusungkan dan matanya menyambar-nyambar ke kanan kiri penuh wibawa. Kemudian ia berkata lantang, “Harap kalian suka berdiri. Syukurlah bahwa kalian dapat memilih pihak yang benar untuk bersama menghancurkan pihak yang salah. Aku minta Pek-bin-ciangkun suka mengumpulkan para perwira untuk mengatur siasat bersamaku.”
Pek-bin-ciangkun bangkit berdiri, diturut oleh semua anak buahnya yang ternyata berjumlah seratus orang lebih. Kini mereka berkumpul dan berdiri di sekeliling tempat itu dengan harapan baru. Sudah terlalu lama mereka bekerja di bawah tekanan yang menakutkan dari Hek-giam-lo yang mempunyai kekuasaan tertinggi, agaknya malah lebih tinggi dari pada raja sendiri. Pek-bin-ciangkun mengajak perwira yang semua ada enam belas orang untuk mengadakan perundingan dengan Lin Lin di bawah pohon-pohon yang rindang daunnya, setelah ia memperkenankan para anak buahnya untuk beristirahat sambil berjaga-jaga.
“Ciangkun, terus terang saja, aku tidak tahu mengapa setelah Ciangkun dan semua saudara mendengar bahwa Hek-giam-lo adalah Bayisan, Ciangkun lalu tiba-tiba menyatakan mendukung aku? Ada rahasia apakah di balik semua ini?”
Pek-bin-ciangkun menarik napas panjang. “Tuan Puteri tidak tahu, memang sepantasnya tidak tahu karena hal itu terjadi sewaktu Paduka masih amat kecil dan ibu Paduka belum meninggal dunia. Bayisan dahulunya adalah seorang Panglima Khitan yang terkenal gagah perkasa. Seperti telah ia akui di depan Paduka, dia tergila-gila kepada Puteri Mahkota Tayami, tetapi ditolaknya dan seperti kenyataannya, ibunda Paduka telah menikah dengan seorang perwira rendahan yang gagah perkasa. Nah, agaknya ia menaruh dendam, apa lagi karena Maha Raja Kulukan sendiri tidak menyetujui niatnya mengawini Puteri Tayami. Diam-diam ia lalu melakukan pengkhianatan dan pada suatu malam, Sri Baginda Kulukan meninggal dunia dalam kamarnya. Oleh puteranya, Sri Baginda Kubakan yang sekarang, ketika itu masih seorang pangeran, dikabarkan bahwa sri baginda tua meninggal karena penyakit. Akan tetapi hamba dan para perwira yang tahu akan ilmu silat tinggi, mengerti bahwa meninggalnya Sri Baginda karena pukulan jarak jauh yang beracun. Kami sudah menduga bahwa hal itu tentu dilakukan oleh Bayisan, akan tetapi ketika kami mencarinya, ia telah lenyap tak meninggalkan jejak. Kiranya pada malam hari itu juga ia berani mati hendak mengganggu Puteri Tayami sehingga disiram racun pada mukanya. Karena itulah kami sekalian mengira bahwa dia pergi takkan kembali lagi, karena malu dan takut akan pembalasan kami.”
Lin Lin mendengarkan dengan penuh perhatian dan merasa tidak sabar ketika panglima itu berhenti sebentar untuk mengingat-ingat
peristiwa yang telah puluhan tahun terjadi itu.
“Sementara itu, bangsa kita selalu mengadakan perang dengan Kerajaan Hou-han, dan yang menjadi calon ratu bukan lain adalah Puteri Mahkota Tayami. Akan tetapi, ibunda Paduka tewas di medan pertempuran secara aneh karena anak panah yang membunuhnya kami kenal sebagai anak panah yang biasa dipergunakan oleh Bayisan yang menghilang! Dan beberapa tahun kemudian, setelah paman tiri Paduka, Kubakan menjadi raja, muncullah Hek-giam-lo yang kami sebut lo-ciangkun, menjadi panglima tertinggi yang amat berkuasa. Karena dia sakti, dan raja amat percaya kepadanya, maka kami tidak berani bertanya-tanya siapa adanya Hek-giam-lo. Siapa kira, dia adalah Bayisan yang berkhianat!” Pek-bin-ciangkun tampak marah sekali.
Akan tetapi lebih hebat adalah kemarahan Lin Lin. Kiranya Hek-giam-lo adalah pembunuh ibunya! Makin besarlah hasrat hatinya hendak membasmi Hek-giam-lo dan merampas tahta Kerajaan Khitan, “Hemmm, bagus sekali! Kalau begitu mari kita serbu kerajaan dan bunuh Hek-giam-lo si pengkhianat!”
“Sabarlah, Tuan Puteri. Hek-giam-lo amat sakti. Bagaimana kita mampu melawannya?”
“Jangan takut, percayalah kepadaku. Aku mampu menandinginya, dan andai­kata aku kalah dan tewas, berarti aku sudah berjasa, mati untuk bangsaku dalam usaha membasmi pengkhianat!” jawab Lin Lin dengan gagah.
Pada saat itu terdengar suara terompet dan gaduh. Ternyata muncul serombongan pasukan yang dipimpin oleh seorang pemuda yang bermuka putih, pemuda yang tampan dan gagah sekali. Begitu dekat, pemuda yang membawa golok besar ini dari atas kudanya berseru, “Hei, kaum pemberontak. Menyerahlah kalian sebelum aku terpaksa menggunakan kekerasan atas nama Sri Baginda!”
Semua orang terkejut, lebih-lebih Pek-bin-ciangkun yang melihat bahwa pemuda itu bukan lain adalah Kayabu, puteranya dan juga anak tunggalnya. Kayabu ini juga memakai nama bangsa Han, dan ia memilih nama Liao yang kelak menjadi nama Kerajaan Khitan. Liao Kayabu ini seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, gagah perkasa dan tampan, ahli main golok dan anak panah, semenjak muda digembleng ayahnya, malah dalam perantauannya ia belajar ilmu silat tinggi dari para pertapa di sepanjang pegunungan utara.
“Kayabu, apa artinya ini? Tak tahukah kau bahwa ayahmu berada di sini?” bentak Pek-bin-ciangkun dengan suara lantang.
Pemuda gagah itu sejenak memandang ayahnya, kemudian ia melompat turun dari atas kudanya, berlari menghampiri Pek-bin-ciangkun dan menjatuhkan diri berlutut. “Ayah, sebagai anakmu, aku menghormat dan menjunjung tinggi padamu. Sebagai anakmu, aku harap hendaknya Ayah suka sadar dan insyaf, bahwa Ayah telah terseret oleh bujukan orang untuk turun berkhianat. Ayah, semenjak kecil aku mendapat didikan Ayah yang terutama menekankan agar supaya aku menjadi seorang gagah yang selalu mencinta bangsa dan setia kepada rajanya. Pelajaran Ayah ini sudah berakar di dalam hatiku. Untuk membela bangsaku dan bersetia kepada bangsaku, aku siap menerima kematian, siap mengorbankan apa pun juga. Akan tetapi hari ini aku mendengar laporan bahwa Ayah berkumpul dengan orang-orang yang hendak memberontak, yang berarti mengkhianati bangsa dan raja. Ayah, sekali lagi, sebagai puteramu aku mohon Ayah suka sadar dan menarik diri keluar dari persekutuan jahat ini!”
Muka Pek-bin-ciangkun sebentar pucat sebentar merah, sedangkan Lin Lin memandang dengan hati tegang.
“Kayabu, kau tidak mengerti. Ayahmu tetap seorang yang selalu setia terhadap bangsa dan kerajaan. Ketahuilah bahwa gerakan yang akan diadakan oleh ayahmu adalah justru gerakan membasmi pengkhianat yang semenjak puluhan tahun merajalela dan baru sekarang diketahui dan akan diberantas. Ketahuilah, bahwa lo-ciangkun sebetulnya adalah si pengkhianat Bayisan, dan Sri Baginda yang sekarang ini malah mempergunakan tenaganya. Karena itu, tak dapat diragukan lagi bahwa kematian Sri Baginda tua mau pun Puteri Tayami adalah hasil pengkhianatannya yang dibantu oleh Bayisan.”
Para prajurit dalam pasukan yang baru datang, menjadi gaduh mendengar ini, pasukan tak dapat diatur lagi dan mereka saling bicara sendiri dengan ramai. Liao Kayabu bangkit berdiri dan suaranya nyaring mengatasi suara gaduh lainnya.
“Pek-bin-ciangkun! Aku sekarang bicara sebagai seorang hamba Kerajaan Khitan yang setia! Aku tidak tahu dan tidak ambil peduli akan dongeng tentang pengkhianatan jaman dahulu. Akan tetapi kenyataannya sekarang, aku bekerja sebagai panglima di dalam Kerajaan Khitan, karena itu aku harus setia kepada raja dan bangsa. Siapa pun juga yang mempunyai niat memberontak, dia adalah musuhku. Pemberontakan berarti pengkhianatan, baik terhadap raja mau pun terhadap bangsa, karena itu sudah menjadi kewajibanku untuk membasminya dengan taruhan nyawa!”
Dengan golok melintang di depan dada, Kayabu berdiri tegak menentang pandang mata ayahnya dan juga Lin Lin. Gadis ini diam-diam kagum sekali. Pemuda ini benar-benar gagah perkasa, pikirnya, dan kesetiaannya terhadap Kubakan bukanlah kesetiaan karena dorongan perasaan pribadi, bukan pula dengan pamrih mencari kemuliaan duniawi, melainkan kesetiaan yang jujur dan bersih dari seorang panglima yang gagah perkasa terhadap negara dan bangsanya. Akan tetapi, Pek-bin-ciangkun marah sekali.
“Anak durhaka! Kau hendak melawan ayahmu sendiri?” Orang tua ini sudah melangkah maju dan mencabut pedangnya yang panjang. “Sejak kau kecil aku mendidik dan membangunmu, biarlah sekarang aku sendiri yang membasmimu!”
“Ciangkun, tahan dulu!” tiba-tiba Lin Lin berseru dan sekali tubuhnya berkelebat ia sudah melewati Panglima Muka Putih ini dan berkata, “Puteramu ini seorang panglima sejati yang gagah, harus dihadapi dengan kegagahan pula. Biarlah aku yang menghadapinya. Setujukah kau?”
Pek-bin-ciangkun mengerutkan keningnya, akan tetapi karena ia menganggap Lin Lin sebagai junjungan baru calon ratu di Khitan, tentu saja ia merasa tidak enak kalau membantah. Ia menunduk dan menjawab, “Terserah kepada kebijaksanaan Tuan Puteri. Akan tetapi harap Paduka berhati-hati karena bocah ini kepandaiannya cukup tinggi sehingga hamba sendiri pun belum tentu dapat mengalahkannya.”
Biar pun dalam ucapan ini Pek-bin-ciangkun memberi peringatan agar junjungannya berhati-hati, namun mengandung pula kebanggaan seorang ayah terhadap puteranya.
Lin Lin mengangguk, tersenyum manis. “Aku mengerti.” Kemudian ia membalikkan tubuhnya menghadapi Kayabu yang masih berdiri tegak dengan sikap menantang.
“Kayabu, kau seorang panglima yang dipercaya dan setia kepada Sri Baginda Kubakan agaknya. Apakah ini berarti bahwa kau adalah kaki tangan Hek-giam-lo si iblis busuk?”
“Aku seorang prajurit, seorang ksatria, tidak ada sangkut-pautnya dengan lo-ciangkun, melainkan mengabdi kepada negara dan bangsa!”
“Bagus! Karena kalau kau kaki tangan Hek-giam-lo, biar pun dengan hati menyesal karena kau putera Pek-bin-ciang­kun, tentu kau akan kubunuh. Ketahuilah, aku adalah Puteri Mahkota Yalin, dan Sri Baginda yang sekarang adalah paman tiriku yang merampas tahta kerajaan dengan cara yang curang dan jahat. Akan tetapi kau tentu tidak peduli akan hal itu semua. Sekarang, sebagai musuh, melihat ayahmu berada di pihakku, apakah kau tidak mau menakluk?”
“Aku seorang prajurit sejati. Sebelum kalah atau mati takkan menakluk!”
Lin Lin tersenyum. “Hemmm, bagaimana seandainya aku mengalahkan kau dan golokmu itu?”
Pemuda itu nampak terkejut, lalu menggelengkan kepala. “Tak mungkin!” Lalu ia menyambung. “Di antara kalian semua, kiranya hanya ayahku yang akan mampu menandingi aku. Nona, lebih baik kau pergilah jauh-jauh dari Khitan dan hentikan semua niat memberontak ini agar ayahku jangan terseret-seret.”
“Haiii... Kayabu, kau benar-benar memandang rendah kepadaku! Majulah, kutanggung paling lama tiga belas jurus aku akan mampu mengalahkan kau!”
Terbelalak mata Kayabu dan ributlah semua prajurit mendengar ini. Kayabu terkenal sebagai seorang ahli golok yang pandai. Biar pun kepandaiannya tidak sehebat Hek-giam-lo, namun ia terhitung Panglima Khitan yang pilihan. Mengalahkan panglima ini dalam waktu tiga belas jurus agaknya sama sukarnya dengan merobohkan sebuah gunung.
Diam-diam Pek-bin-ciangkun sendiri mengerutkan keningnya. Ia bersimpati kepada Puteri Yalina dan mau membantu karena ingin pula menumpas Bayisan yang menjadi Hek-giam-lo serta mengakhiri pengkhianatan Kubakan. Akan tetapi kalau yang ia bela adalah seorang puteri muda yang begini sombong, yang bersumbar akan mengalahkan puteranya dalam waktu tiga belas jurus, benar-benar keterlaluan dan kelak gadis ini tentu akan menjadi seorang ratu yang sembrono sekali.
Melihat puteranya sambil tersenyum-senyum melangkah maju menghadapi Lin Lin dengan sikap hendak bersungguh-sungguh, panglima tua ini berseru, “Kayabu, jangan kurang ajar kau terhadap Sang Puteri Yalin!”
“Aku ditantang, dan memang musuhnya. Mengapa kurang ajar? Sudah semestinya musuh saling menantang dan siapa kalah harus tunduk. Nona, agaknya kaulah yang mengepalai pemberontakan ini, dan kau pula yang mempengaruhi ayahku dan teman-teman untuk memberontak. Setelah sekarang menantangku, hendak merobohkan aku dalam waktu tiga belas jurus, marilah kita membuat janji. Kalau betul kau mampu mengalahkan aku dalam waktu tiga belas jurus, aku akan menyerah tanpa syarat! Akan tetapi, bagaimana kalau dalam waktu itu kau tidak mampu mengalahkan aku?”
“Kalau kau tidak menipu, akulah yang akan menyerah tanpa syarat dan akan menghentikan niatku membasmi Hek-giam-lo dam Kubakan!”
“Tuan Puteri...!” Pek-bin-ciangkun berseru kaget.
Hebat janji yang keluar dari mulut Lin Lin itu, karena sekali berjanji, kalau betul tidak mampu mengalahkan Kayabu dalam tiga belas jurus, akan hancurlah semua cita-cita tadi.
“Kayabu mundur kau! Kalau kau lanjutkan, aku takkan mengakuimu sebagai anak lagi!” Saking khawatirnya, Pek-bin-ciangkun berkata demikian.
“Ciangkun, biarkanlah. Pula, kalau kau dan teman-teman yang lain tidak menyaksikan kepandaianku, mana kalian bisa percaya atas bimbinganku?”
“Tidak, Tuan Puteri. Biarlah hamba yang menghadapi anak hamba yang durhaka ini! Kalau dia kalah, akan hamba bunuh, dan kalau hamba yang kalah, hamba rela mati dalam tangan anak kandung yang durhaka. Kayabu, hayo lawan bapakmu sendiri!”
Pek-bin-ciangkun sudah meloncat ke depan akan tetapi tiba-tiba, entah bagaimana, tubuhnya itu mundur sendiri seakan-akan ada tenaga tak tampak yang menariknya dari belakang. Ia menoleh dan melihat Lin Lin tersenyum. Kiranya gadis itu yang tadi menariknya dengan penggunaan tenaga jarak jauh yang amat hebat!
“Ciangkun, tak tahukah kau bahwa majuku ini karena aku sayang kalau kalian ayah dan anak saling gempur? Anakmu seorang gagah perkasa, tidak semestinya dimusnahkan. Minggirlah!”
Mendengar kata-kata ini dan melihat bukti betapa lihainya Lin Lin yang mendemonstrasikan tenaga saktinya tadi, terpaksa Pek-bin-ciangkun mengundurkan diri dan menonton dari samping dengan hati cemas.
“Kayabu, kau majulah dan hitunglah jurus-jurus yang kupergunakan. Awas seranganku!”
Lin Lin merasa yakin akan dapat mengalahkan lawannya dalam tiga belas jurus. Tentu saja yang ia maksudkan dengan tiga belas jurus itu adalah jurus-jurus sakti yang ia warisi dari Pat-jiu Sin-ong! Kalau ia mengandalkan ilmu silat biasa, tentu saja tiga belas jurus merupakan waktu yang terlampau sedikit untuk mengalahkan seorang panglima muda yang kelihatannya begitu gagah perkasa.
Namun, ia amat percaya akan keampuhan tiga belas jurus sakti peninggalan Pat-jiu Sin-ong, maka ia sengaja menantang untuk memperlihatkan kelihaiannya sehingga para pengikutnya akan percaya kepadanya. Apa lagi kalau diingat bahwa dia tadi sudah menyatakan sanggup menghancurkan Hek-giam-lo si iblis sakti, kalau ia tidak mendemonstrasikan kepandaian yang sakti, tentu mereka itu takkan mau percaya.
“Aku sudah siap!” jawab Kayabu dengan suara lantang.
Pemuda ini merasa penasaran dan juga marah. Kalau saja ia tidak menghadapi pemberontakan yang serius dan yang harus diberantasnya dengan segera, tentu ia tidak sudi menerima tantangan yang amat menghina ini. Dia, Liao Kayabu, seorang jagoan besar di Khitan, hanya ‘dihargai’ semahal tiga belas jurus saja oleh seorang gadis muda jelita? Benar-benar penghinaan yang amat hebat!
Kali ini baginya juga merupakan ujian. Ia harus memperlihatkan kepandaiannya terhadap gadis yang amat cantik jelita ini, yang agaknya adalah puteri keponakan sri baginda sendiri yang baru muncul sekarang. Bukankah kalau ia sanggup bertahan sampai tiga belas jurus, pemberontakan itu sekaligus dapat dipadamkan tanpa pertumpahan darah lagi? Ia harus dapat bertahan, tidak saja bertahan sampai tiga belas jurus, bahkan ia harus berbalik dapat menangkap gadis cantik ini.....
Lanjut ke jilid 33

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)