MUTIARA HITAM : JILID-14


Empat orang laki-laki tua itu adalah empat tokoh besar yang hampir dapat dikatakan belum pernah bertemu tanding. Mereka itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amat percaya akan ketangguhan sendiri sehingga mereka menjadi angkuh dan sombong. Mereka belum pernah bertemu dengan wanita ini, bahkan belum pernah mereka mendengar di dunia kang-ouw terdapat tokoh wanita berkerudung seperti ini.
Sebagai orang-orang berilmu mereka dapat menduga bahwa wanita yang dapat muncul seaneh itu dan mengeluarkan lengking seperti tadi tentu memiliki kepandaian yang tak boleh dipandang ringan, akan tetapi mereka sama sekali tidak takut. Terutama sekali Pak-sin-ong yang berwatak angkuh. Ia menjadi marah sekali melihat datangnya orang tak ternama yang berani mengganggu mereka berempat.
“Hemm, biar kubuka kedok perempuan itu, siapa gerangan dia berani bersikap kurang ajar!” Tangan kirinya bergerak dan sinar putih menyambar ke arah kepala wanita yang berkerudung itu.
Pak-sin-ong atau Jin-cam Khoa-ong ini memang mempunyai semacam hobby, yaitu memancing ikan! Hal ini bukan aneh atau lucu karena memang memancing ikan merupakan kesenangan banyak orang sejak jaman dahulu sampai sekarang, terutama sekali orang-orang tua. Akan tetapi bagi Pak-sin-ong, alat pancing dan talinya bukan hanya untuk memancing ikan, melainkan ia manfaatkan menjadi senjata yang amat ampuh. Ia menciptakan ilmu silat yang khas dengan tali dan pancing ini sehingga di samping gergajinya, senjata pancing ini amat berbahaya karena dapat dipergunakan untuk menyerang dari jarak jauh dengan tali yang panjang itu.
Ketika Pak-sin-ong menggerakkan tangan kirinya, pancing itu meluncur merupakan sinar putih, menyambar ke arah muka wanita itu dengan kecepatan yang tak dapat diikuti dengan pandangan mata biasa. Namun wanita itu yang hanya dapat melihat datangnya serangan ini dari lirikan mata karena mukanya hanya menoleh sedikit, agaknya tidak melihat datangnya pancing yang hendak mengait dan merenggut kerudung yang menutupi mukanya. Ia hanya kelihatan mengangkat tangan kanannya ke atas dekat pipinya dan pada saat pancing itu hampir menyentuh kerudung, ia menggerakkan telunjuknya menyentil dengan kuku telunjuk.
“Cringg...!”
Sinar putih itu mencelat kembali dan kini pancing menyerang berbalik ke arah pemiliknya. Pak-sin-ong mengeluarkan suara kaget akan tetapi dengan menarik talinya ia dapat menghindarkan diri dengan mudah.
“Huh, tua-tua bangka sombong yang tak memandang mata lain orang. Kalian lihat, apakah aku tak cukup pantas untuk menghadiri pertemuan di puncak ini!” terdengar suara wanita itu. Suaranya halus merdu, akan tetapi amat dingin.
Kedua tangannya bergerak ke depan mencengkeram daun-daun pohon. Daun-daun kecil memenuhi kedua tangannya dan sekali wanita itu mengeluarkan suara melengking panjang sambil menggerakkan kedua tangan, daun-daun kecil itu melayang turun seperti tawon-tawon kecil menyambar ke arah empat orang itu. Bahkan sebagian terbang lebih jauh lagi, menyambar ke arah beberapa orang pimpinan rombongan pengemis, rombongan Thian-liong-pang serta rombongan orang-orang Khitan yang tadi berani keluar dari tempat persembunyian untuk menonton datuk-datuk mereka yang sedang mengadu ilmu.
Melihat datangnya daun-daun ini, empat orang berilmu itu terkejut. Itulah tenaga sinkang yang sudah tinggi sekali!
Dapat mempergunakan daun-daun sebagai senjata rahasia bukanlah ilmu yang aneh atau patut dipuji karena dapat dilakukan oleh ahli-ahli rendahan. Akan tetapi dapat melontarkannya sehingga daun-daun itu hanya melayang-layang seolah-olah tidak bertenaga padahal mengandung tenaga yang dahsyat, hanya dapat dilakukan oleh ahli-ahli yang sudah amat tinggi ilmunya.
Karena maklum akan bahayanya daun-daun kecil itu, apa lagi mereka sebagai orang-orang pandai melihat sinar hitam pada daun-daun itu, tanda bahwa ada racunnya, keempat orang itu cepat menggerakkan tangan dan mengerahkan tenaga sinkang memukul ke arah daun-daun yang datang menyambar sehingga daun-daun itu menyeleweng ke samping, namun daun-daun itu tidak terpental jauh sehingga empat orang itu makin kagum karena hal ini berarti bahwa daun-daun itu digerakkan dengan tenaga sinkang yang amat kuat.
Jerit-jerit mengerikan membuat empat orang tokoh itu semakin kaget lagi. Ketika mereka berempat memandang, ternyata beberapa orang dari tiga golongan tadi telah roboh berkelojotan dan seluruh tubuh mereka berubah hitam. Beberapa helai daun menempel pada muka dan leher mereka. Empat orang pengemis, tiga orang anggota Thian-liong-pang, dan lima orang Khitan yang roboh terkena sambaran daun-daun terbang dan berkelojotan dalam keadaan sekarat!
Setelah kawan-kawan dari beberapa orang yang menjadi korban sambaran daun itu menarik para korban ke tempat tersembunyi, empat orang itu kembali menghadapi wanita aneh dan kini mereka memandang dengan kagum, tidak lagi memandang rendah seperti tadi.
Thai-lek Kauw-ong yang paling suka bertemu dengan lawan tangguh dan menjadi kagum, segera berkata, “Twanio (Nyonya) siapakah, harap turun!” Sambil berkata demikian, raksasa gundul ini lalu menekuk kedua lututnya, berjongkok sambil mengerahkan ilmunya yang hebat, yaitu tenaga Thai-lek yang membuat namanya terkenal. Makin lama perutnya menjadi makin melembung besar sekali seperti hendak pecah. Untung bahwa ia memakai celana yang longgar, demikian pula bajunya. Kalau tidak tentu sudah pecah-pecah pakaiannya. Tak lama kemudian ia mengeluarkan suara di kerongkongan seperti suara seekor katak jantan dan kedua tangannya mendorong ke arah wanita yang duduk di atas ranting itu.
“Siuuuuutttt... krakkk... !” Ranting itu berikut beberapa cabang besar seketika patah dan roboh ke bawah berikut daun-daunnya, mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Akan tetapi wanita itu sudah melayang turun dengan loncatan melengkung ke atas sehingga tidak tersentuh hawa pukulan dahsyat itu,
Melihat kehebatan ilmu Thai-lek-kang ini, tiga orang tokoh yang lain terkejut dan amat kagum. Tak salah lagi, kalau mereka bertiga maju seorang demi seorang, takkan dapat menandingi raksasa gundul yang hebat ini! Juga wanita berkerudung itu diam-diam amat kaget karena tak disangkanya bahwa si Gundul yang wajahnya buruk seperti monyet ini benar-benar amat lihai.
Jarak antara kakek gundul dan pohon di mana ia duduk cukup jauh, dari tempat ia duduk tadi tidak kurang dari sepuluh meter jauhnya, namun hawa pukulan itu masih mampu merobohkan cabang-cabang pohon, benar-benar seperti angin taufan! Karena maklum bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang sakti, wanita itu lalu mengangguk sedikit dan berkata, suaranya tetap halus dan merdu namun empat orang laki-laki itu yang mendengarnya, bergidik karena suara itu begitu dingin seperti suara setan dari balik kubur saja.
“Namaku Sian dari Istana Bawah Tanah. Baru sekarang keluar dari bumi memasuki dunia ramai, tertarik hendak melihat macam apa adanya orang yang berani mengangkat diri menjadi Bengcu dari kaum kang-ouw. Siapakah di antara kalian yang menjadi Bengcu? Aku ingin sekali mencoba kepandaiannya!”
Sambil berkata demikian, sepasang mata di balik kerudung hitam itu menyambar ke kanan kiri, mata yang liar dan gerakannya cepat, mata orang yang tidak waras otaknya! Bibir itu tampak tersenyum di balik kerudung, manis bukan main, dan harus diakui bahwa wajah di balik kerudung hitam itu cantik jelita dan sukar ditaksir usianya, karena kecantikannya sudah matang, bukan seperti kecantikan seorang gadis remaja. Akan tetapi, bentuk tubuh yang membayang di balik pakaian sutera putih yang tipis itu benar-benar amat indah, tiada ubahnya bentuk tubuh seorang gadis remaja!
Tentu saja empat orang laki-laki tua itu makin terheran-heran dan sejenak mereka saling bertukar pandang. Memang tidak mengherankan kalau mereka belum pernah bertemu atau mendengar tentang wanita ini. Wanita ini bukan lain adalah Kam Sian Eng. Semenjak dua puluh tahun yang lalu wanita ini tak pernah muncul di dunia ramai sehingga tak seorang pun mengenalnya. Apa lagi karena ilmu silat yang dimiliki Kam Sian Eng amatlah aneh, campur aduk tidak karuan dan caranya mempelajari kitab-kitab peninggalan iblis betina Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian juga seenak perutnya sendiri.
Seperti tadi saja, sambitan menggunakan daun adalah bukti dari penggunaan tenaga sinkang yang amat tinggi, akan tetapi nyatanya, dia tidak berani menerima sambaran hawa pukulan Thai-lek-kang, bahkan ketika meloncat turun ke depan empat orang tokoh itu, oleh mereka yang berpandangan tajam tampak betapa ginkang-nya biar pun cukup tinggi namun tidaklah sehebat yang mereka duga dan setidaknya tidaklah lebih tinggi dari pada tingkat mereka!
“Huah-hah-hah!” Siauw-bin Lo-mo tertawa tanpa menggerakkan bibirnya sehingga Kam Sian Eng memandang dengan hati terheran-heran. “Sian-Toanio (Nyonya Sian) mengapa masih pura-pura bertanya lagi? Bukankah sudah lama berada di sana tadi mendengar semua persoalan kami? Belum ada ketentuan siapa yang bakal menjadi Bengcu!”
Kam Sian Eng mengangguk. “Hemm, kalian berempat memiliki kepandaian yang boleh juga, dan memang tadi aku sudah mendengar semua. Karena kalian bukan orang-orang sembarangan, aku bersedia untuk berkenalan. Aku setuju dengan usul Thai-lek Kauw-ong, bukankah kau yang bernama Thai-lek Kauw-ong?” tanya Sian Eng kepada Si Raja Monyet yang berkepala gundul. Kakek ini mengangguk-angguk, hatinya senang karena wanita ini cocok dengan usulnya.
“Memang tak perlu ada Bengcu, lebih penting lagi mencari pengganti Thian-te Liok-kwi yang dulu menjagoi dunia. Apa salahnya kalau sekarang terdapat Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding)?” Kam Sian Eng tidak suka akan sebutan Kwi atau Setan, maka ia sengaja memilih sebutan Sian (Dewa), yang selain lebih gagah dan baik, juga sama dengan namanya!
Wanita ini di waktu mudanya dahulu sudah banyak melihat lawan yang amat tangguh, oleh karena itu setelah sekarang keluar dari tempat sembunyi, ia merasa lebih aman jika berkawan dengan empat orang yang berkepandaian tinggi, berwatak aneh dan cocok dengan wataknya sendiri ini. Empat orang ini tidak segan-segan membunuh orang, seenaknya saja, dan ini pun cocok dengan pendapatnya. Orang yang tidak menyenangkan hati, orang yang lemah, memang boleh saja dibunuh!
“Kalau begitu tidak bertanding?” Thai-lek Kauw-ong bertanya kecewa.
“Perlu apa bertanding kalau di antara kita bukan musuh?” tanya Kam Sian Eng.
Biar pun wanita ini mengalami gangguan jiwa dan wataknya sudah berubah karena kehancuran hati di waktu mudanya, ditambah dengan latihan-latihan semedhi dan lweekang yang menyeleweng, namun ia tidak kehilangan kecerdikannya, bahkan menjadi makin cerdik. Sian Eng tahu bahwa bertanding menghadapi empat orang ini, biar pun ia tidak takut, namun bukan merupakan hal yang ringan dan tidak akan mudah mencapai kemenangan. Selain itu juga tidak ada gunanya.
“Huah-ha-ha-ha, betul sekali ucapan Sian-toanio. Cocok... cocok!” kata Siauw-bin Lo-mo yang diam-diam merasa jeri terhadap Thai-lek Kauw-ong, apa lagi setelah muncul wanita yang aneh ini dan memiliki kepandaian yang menggiriskan hati.
“Betul! Memang kita segolongan, perlu apa bertempur?” kata pula Pak-sin-ong yang cita-citanya memang ingin mencari teman-teman yang kuat untuk membantunya melanjutkan cita-cita merampas Kerajaan Khitan.
“Segolongan?” Sian Eng bertanya. “Golongan apa?”
“Hi-hik, sahabatku yang manis. Golongan apa lagi? Tentu saja golongan kaum sesat, hi-hik!” kata Bu-tek Siu-lam sambil mesam-mesem genit.
Sian Eng sudah banyak melihat orang aneh, akan tetapi melihat sikap genit laki-laki gagah dan tampan ini, ia menjadi muak dan geli. Ia juga tersenyum dari balik kerudungnya, senyum geli.
Senyum ini oleh Thai-lek Kai-ong dikira senyum karena setuju disebut golongan sesat, maka kakek gundul yang kosen ini lalu menepuk-nepuk dadanya. “Huh, memang benar! Banyak orang menyebut aku seorang sesat. Memang aku sesat! Biarlah mereka menyebutku begitu dan hendak kulihat, bagaimanakah macamnya orang yang tidak sesat?”
“Hemm, mau tahu orang yang tidak sesat? Di antaranya, yang paling menonjol namanya adalah Suling Emas! Dia menganggap jagoan nomor satu di dunia, memandang rendah golongan kita! Aku paling benci kepada Suling Emas dan mengharap bantuan kalian berempat untuk menandinginya karena memang ia memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali.” Berkata demikian, Jin-cam Khoa-ong atau Pak-sin-ong mengepal kedua tinju dan mukanya membayangkan kebencian hebat.
Mengapa Pak-sin-ong membenci Suling Emas? Bukan lain karena Pak-sin-ong masih saudara sepupu Hek-giam-lo, seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang menjadi musuh besar Suling Emas. Bahkan beberapa kali Hek-giam-lo dikalahkan Suling Emas sehingga terjadi permusuhan antara kedua tokoh ini. Selain menaruh dendam karena saudara sepupunya ini, juga pasukan Pak-sin-ong pernah dipukul mundur ketika pasukan ini menyerang Khitan dan pada waktu itu Suling Emas masih berada di Khitan.
Sejenak wajah cantik di balik kerudung itu menjadi merah, sepasang mata yang aneh itu mengeluarkan sinar berapi. Akan tetapi hanya sebentar. Tadinya Sian Eng marah mendengar orang bertopi itu memusuhi Suling Emas. Suling Emas adalah Kam Bu Song, kakak tirinya. Akan tetapi ia sudah tidak merasai lagi cinta kasih antara saudara, apa lagi karena semenjak kecil memang tak pernah bertemu dengan kakak tirinya itu. Maka ia hanya tersenyum dingin dan diam-diam di dalam hatinya ia menertawai Pak-sin-ong karena mana mungkin orang ini dapat melawan kakak tirinya itu!
“Huah-ha-ha-ha, memang sekeluarga itu orang-orang sombong, menganggap diri sendiri bersih dan orang lain kotor! Suling Emas disebut sebagai pendekar sakti, padahal ibunya adalah Tok-siauw-kwi yang jahatnya melebihi Thian-te Liok-kwi! Dari manakah datangnya Toksiauw-kwi? Bukan lain dia adalah seorang gadis puteri pendiri Beng-kauw di selatan. Perkumpulan Agama Beng-kauw juga merupakan perkumpulan yang menamakan dirinya kaum putih atau kaum lurus, lawan kaum sesat. Aku menghormat mendiang Tok-siauw-kwi yang tidak suka berpura-pura seperti tokoh-tokoh Beng-kauw! Kuharap kalian berempat suka membantuku kelak mengobrak-abrik Beng-kauw yang sombong!” kata Siauw-bin Lo-mo yang mendendam sakit hati terhadap Beng-kauw.
“Hemm, aku setuju membantumu, Siauw-bin Lo-mo. Aku pun benci kepada Beng-kauw,” kata Sian Eng.
Dia pernah mendengar dahulu betapa antara Bengkauw dan Tok-siauw-kwi terdapat hal-hal yang bertentangan sehingga hidup iblis betina itu menjadi sengsara. Karena ia mendapatkan ilmu-ilmunya dari kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kwi, maka ia mengganggap iblis betina itu sebagai gurunya dan ia pun merasa tidak suka kepada Beng-kauw, sungguh pun kakak kandungnya Kam Bu Sin, menjadi mantu ketua Beng-kauw! Memang pikiran Sian Eng sudah menjadi aneh sekali dan pertimbangannya sudah kacau balau. Ia hanya menurutkan perasaannya saja tanpa memperdulikan hal-hal lain lagi.
“Hemm, kalau semua setuju dengan pendapat Sian-toanio, biarlah kita tidak saling bertanding. Untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih berjasa dan lebih unggul, mari dalam setahun sejak saat ini kita berlomba, berbanyak-banyak membasmi orang-orang yang memusuhi golongan kita. Setahun kemudian kita berkumpul lagi di sini dan dia yang paling banyak membasmi orang-orang yang memusuhi kita, dialah yang berhak menjadi tokoh pertama!” Thai-lek Kauw-ong berkata.
Tiga orang kakek yang lain mengangguk-angguk. Biar pun Sian-Eng tidak ikut mengangguk, ia sudah menjawab cepat-cepat. “Baiklah, dan sekarang aku pergi lebih dulu!” Baru saja habis kata-katanya, tubuhnya sudah berkelebat dan lenyap dari situ dengan cepat sekali. Empat orang kakek itu tidak mencegah, hanya memandang sampai bayangan Sian Eng lenyap dari pandang mata mereka. Sunyi sejenak, kemudian terdengar suara Bu-tek Siu-lam.
“Hi-hik, aku tak begitu percaya kepada perempuan itu. Pandang mata dan sikapnya menunjukkan bahwa dia bukan seorang yang waras otaknya. Akan tetapi dia cantik, dan bentuk tubuhnya... hemm...!” ia terkekeh genit.
“Ilmu kepandaiannya lumayan,” kata Siauw-bin Lo-mo yang dalam hatinya suka pada Sian Eng karena wanita itu tadi menyatakan sanggup membantunya menghadapi Beng-kauw. Mendapat seorang pembantu seperti wanita aneh itu sungguh amat menyenangkan dan berharga.
“Biar pun tidak ada Bengcu, namun kita berempat, berlima dengan Sian-toanio tadi, sudah berjanji untuk saling bantu. Karena itu, kuharap saja kelak apa bila aku membutuhkan bantuan, Sam-wi (Tuan Bertiga) tidak akan segan-segan untuk turun tangan membantuku, termasuk golongan yang mendukung Sam-wi,” kata Pak-sin-ong. “Tentu saja Sam-wi dapat mengandalkan aku dan pasukan-pasukanku di utara apa bila Sam-wi sewaktu-waktu perlu bantuan.”
Berbeda dengan yang lain-lain, Pak-sin-ong ini memiliki cita-cita yang lebih besar, yaitu merampas kerajaan. Oleh karena itu tentu saja yang penting baginya adalah kuatnya pasukan untuk melaksanakan cita-citanya menggempur Kerajaan Khitan. Urusan pribadi baginya adalah urusan kecil.
Pada saat itu, tiba-tiba empat orang sakti ini berdiam dan mengerling ke arah selatan karena pendengaran mereka yang tajam dapat menangkap langkah kaki yang halus dari arah ini. Tak lama kemudian, muncullah seorang wanita yang usianya kira-kira dua puluh tujuh sampai tiga puluh tahun.
Wanita ini memakai pakaian serba merah dari sutera tipis sehingga membayangkan bentuk tubuhnya yang menggairahkan dan wajahnya berbentuk lonjong manis. Apa lagi sepasang matanya amat indah, bentuknya lebar dan sinarnya penuh semangat. Sayang bahwa wajah yang manis ini membayangkan kekerasan hati dan tak pernah tersenyum.
Yang amat menarik perhatian adalah rambutnya, rambut yang amat hitam mengkilap dan panjang tebal dibiarkan terurai begitu saja di belakang punggungnya sampai ke pinggulnya yang besar. Sebatang pedang tampak tersembul gagangnya dari balik rambut di punggung. Wanita itu lebih kelihatan agung dan gagah dari pada cantik, sungguh pun kemanisan wajahnya tidak akan dilewatkan begitu saja oleh setiap orang laki-laki.
“Maaf, saya mewakili guruku untuk menghadiri pertemuan di hari ini dan belajar kenal dengan Bengcu baru!” kata wanita itu sambil berdiri tegak dan mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai tanda penghormatan.
“Hi-hik, kalau gurumu secantik engkau, mengapa tidak kau ajak sekalian datang ke sini, manis?” kata Bu-tek Siu-lam sambil tertawa dan pandang matanya seperti hendak menelan wanita berpakaian merah itu.
Tiga orang kakek yang lain hanya tersenyum mengejek, dan wanita itu mulai merah kedua pipinya yang putih sehingga menyaingi pakaiannya. Sepasang matanya yang lebar itu terbuka makin lebar dan sinar matanya menyambar penuh selidik ke arah Bu-tek Siu-lam, kemudian terdengar suaranya yang nyaring.
“Kalau saya tidak keliru sangka, Locianpwe ini tentulah yang berjuluk Bu-tek Siu-lam, bukan? Terimalah hormat saya Po Leng In mewakili guru saya Siang-mou Sin-ni!” Sambil berkata demikian ia melangkah maju dan kembali mengangkat kedua tangan ke depan dada.
Bu-tek Siu-lam yang memang memandang rendah semua orang tertawa mengejek, lalu berkata, “Ah, kiranya murid Siang-mou Sin-ni. Aku mendengar bahwa Siang-mou Sin-ni orangnya cantik jelita dan rambutnya harum, suka bersahabat dengan laki-laki tampan. Nah, cocok mempunyai murid seperti engkau. Siapa namamu tadi? Po Leng In? Nama yang indah, seindah orangnya dan seperti juga gurumu, engkau tentu suka bersahabat dengan aku, bukan?” Berkata demikian, Bu-tek Siu-lam menggerakkan tangannya menyambar ke depan.
Wanita yang bernama Po Leng In itu terkejut sekali dan berusaha menghindar, namun ia kalah cepat dan tangan kirinya sudah tertangkap. Sejenak wanita itu menyambarkan sinar matanya ke arah muka Bu-tek Siu-lam yang hanya tertawa-tawa mengejek, bahkan kemudian Bu-tek Siu-lam membuka mulut bernyanyi dan... suaranya adalah suara wanita atau suara yang sengaja dikecilkan seperti suara wanita!
Wanita adalah bunga harum,
alangkah sayang kalau tidak dicium!
Wanita adalah intan gemilang,
alangkah sayang kalau tidak ditimang!

Baru saja berhenti suara nyanyiannya, mukanya sudah bergerak ke depan dan....
“Ngokk!” pipi kiri Po Leng In tahu-tahu sudah diciumnya sampai mengeluarkan suara keras.
Po Leng In adalah murid terkasih Siang-mou Sin-ni, murid nomor satu yang paling pandai di antara semua saudara seperguruannya. Karena itu dia memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi di antara murid-murid Siang-mou Sin-ni dan karena kepandaiannya ini, di mana-mana ia disegani dan ditakuti orang. Tak pernah ada orang laki-laki berani mengganggunya setelah banyak di antara mereka dia bunuh secara kejam dan ganas karena berani kurang ajar terhadap dirinya. Sekarang ia mengalami perlakuan seperti ini dari Bu-tek Siu-lam, tentu saja seketika mukanya yang tadinya merah kini berubah pucat dan sepasang matanya seperti mengeluarkan cahaya berkilat.
“Lepas...!” jeritnya dengan suara melengking nyaring dan dari belakang punggungnya menyambar sinar hitam melalui atas kepalanya ke depan.
“Siuuuuttt... plakkk!” Itulah rambut hitam yang menyambar dan melecut, cepat dan tak terduga-duga datangnya, menyambar ke depan mengenai tangan Bu-tek Siu-lam yang memegang pergelangan tangan kirinya.
Bu-tek Siu-lam adalah seorang yang lihai dan tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi karena ia tadi memandang rendah dan sama sekali tidak menduga akan diserang dengan lecutan rambut, ia tidak sempat menghindar dan kulit punggung tangan kanannya yang putih mulus dan memakai gelang emas itu terkena lecutan ujung rambut sehingga kelihatan jalur-jalur merah biru! Kalau saja ia tidak cepat-cepat mengerahkan kekuatan ke punggung tangannya, tentu kulit punggung tangan itu sudah mengeluarkan darah karena luka. Ia berseru kaget dan menarik tangannya sambil melangkah mundur setindak, kesempatan ini dipergunakan Po Leng In untuk menarik kembali tangan kirinya yang tadi terpegang.
Po Leng In kini sudah menggerakkan kepalanya sehingga rambut panjang yang tadinya tergantung di belakang punggung, kini pecah menjadi dua gumpalan dan tergantung di depan, melengkung pada dadanya, dan begitu tangan kanan bergerak, ia sudah memegang sebatang pedang yang kecil panjang dan amat tajam sehingga mengeluarkan sinar berkilauan. Sikapnya galak, matanya penuh kemarahan, dan biar pun ia maklum bahwa lawannya adalah seorang cianpwe yang ilmunya amat tinggi, namun sinar mata wanita ini menyatakan bahwa ia akan melawan dengan nekat.
Bu-tek Siu-lam hanya terenyum, matanya bersinar-sinar dan ia berkata, “Hi-hi-hik! Kau berani melawan aku? Hi-hik, murid Siang-mou Sin-ni cantik manis dan berhati baja! Hendak kulihat apakah benar-benar hatimu terbuat dari pada baja!”
Tiga orang kakek yang lain hanya menonton tidak mau mencampuri urusan ini. Selain mengingat bahwa baru saja mereka mengaku telah ‘bersaudara’ atau bersahabat dengan Bu-tek Siu-lam, juga mereka bertiga tidak peduli akan Siang-mou Sin-ni yang menjadi seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang sudah ‘jatuh’ itu. Kini yang menguasai dunia kaum sesat adalah Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tak Terlawan), bukan lagi Thian-te Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit)!
Di samping itu, mereka bertiga bukanlah orang-orang yang berwatak lemah dan perasa sehingga melihat kejadian yang bagi orang lain mengerikan, menyeramkan, jahat atau tidak adil, bagi mereka ini adalah biasa saja! Kalau Bu-tek Siu-lam suka kepada wanita dan bisa mendapatkannya, biarlah ia mendapatkannya dan memperlakukannya sesuka hati, apa lagi wanita itu tiada sangkut pautnya dengan mereka bertiga!
Bahkan Pak-sin-ong sudah mencibirkan bibirnya dan meninggalkan tempat itu, turun dari puncak diikuti oleh pasukannya yang terdiri dari orang-orang Khitan dan Mongol. Juga Siauw-bin Lo-mo yang tidak suka lagi bermain perempuan, menjadi jemu dan meninggalkan puncak untuk kembali ke sini setahun kemudian seperti yang telah mereka janjikan.
Thai-lek Kauw-ong seorang yang masih berada di situ, malah kini raksasa gundul ini duduk di atas batu hitam menonton sambil menyeringai lebar. Dia seorang perantau yang tidak mempunyai pengikut, tentu saja ia seenaknya dan tidak tergesa-gesa. Apa lagi, ia pun sudah mendengar akan nama besar Siang-mou Sin-ni sehingga ia ingin menyaksikan sampai di mana kelihaian murid iblis betina itu.
Ada pun para pengemis yang menjadi pengikut Bu-tek Siu-lam masih belum hilang kagetnya karena beberapa orang teman mereka tadi tewas menjadi korban sambaran daun-daun secara mengerikan sehingga mereka masih menggerombol di belakang pohon besar, tidak berani lagi sembrono memperlihatkan diri, hanya menanti sampai datuk mereka muncul.
Po Leng In adalah seorang murid terkasih Siang-mou Sin-ni, selain lihai juga sudah banyak pengalaman. Sebagai ‘orang muda’, ia bersikap tahu diri dan tidak mau turun tangan lebih dulu melakukan penyerangan. Ejekan Bu-tek Siu-lam tadi dijawabnya dengan singkat dan tenang. “Saya yang muda tidak berani terhadap Cianpwe, akan tetapi sebagai wakil Guru, perbuatan Cianpwe terhadap saya seperti terhadap Guru dan saya harus membela kehormatan Guru saya.”
Sebagai murid Siang-mou Sin-ni yang cabul dan genit, tentu saja Po Leng In sedikit banyak mewarisi watak gurunya. Dia bukanlah seorang gadis baik-baik yang menjunjung tinggi serta menghargai kesusilaan. Tidak, Po Leng In yang manis ini sudah banyak mengalami hubungan dengan pria, akan tetapi tentu saja ia selalu memilih pria tampan dan menyenangkan hatinya. Bu-tek Siu-lam memang tampan dan gagah, akan tetapi sikapnya yang genit dan banci itu menjijikkan hati Po Leng In.
Tiba-tiba wajah Bu-tek Siu-lam yang tadinya tertawa-tawa itu berubah beringas. Matanya seperti mata harimau marah, lebih lagi, seperti mata iblis, kulit mukanya yang kini menjadi menyeramkan itu berubah dan suaranya penuh wibawa ketika ia memberi perintah. “Buka bajumu!”
Muka Po Leng In menjadi pucat sekali, matanya terbelalak memandang sejenak. Ia tak bergerak seperti berubah menjadi arca, kemudian ia dapat memaksakan lehernya bergerak, kepalanya menggeleng. Mereka berdiri berhadapan, beradu pandang dan makin lama Po Leng In menjadi makin pucat.
“Buka! Buka bajumu!”
Po Leng In menggeleng kepala keras-keras tanpa dapat mengeluarkan suara. Rasa ketakutan mencekik lehernya.
“Hemm... hemm...!” terdengar suara Thai-lek Kauw-ong yang agaknya merasa tertarik dengan permainan kawannya ini. Ini adalah permainan yang baru, belum pernah dilihatnya. Matanya terbuka lebar-lebar memandang dan hatinya bertanya-tanya maukah wanita itu melakukan perintah Bu-tek Siu-lam atau tidak.
“Perempuan muda, dengar baik-baik. Sebetulnya sudah sejak tadi kau menggeletak tanpa nyawa dengan rongga dada kehilangan hati kalau saja aku tidak tertarik melihat matamu yang indah. Hayo buka bajumu agar kulihat. Kalau tubuhmu seindah matamu, aku suka mengampunimu dan membiarkan hatimu tetap di dalam dada.”
Mungkin karena Bu-tek Siu-lam sudah mulai bicara dan tertawa lagi, berkurang rasa takut di hati Po Leng In, bahkan timbul lagi kemarahan dan kenekatannya. “Bu-tek Siu-lam engkau terlalu menghina orang! Biarlah aku mewakili Guruku memberi hajaran kepadamu!”
Kata-kata itu tertutup dengan gerakan pedang. Cepat sekali gerakan pedangnya, sehingga tak tampak bentuk pedangnya, berubah menjadi sinar kehijauan yang dibarengi hawa dingin meluncur cepat menuju ke leher Bu-tek Siu-lam. Itulah tanda bahwa pedang itu tajam luar biasa dan digerakkan oleh tenaga sinkang yang tak boleh dipandang ringan!
Bu-tek Siu-lam cukup ahli untuk mengenal serangan berbahaya. Ia mengeluarkan suara terkekeh mengejek sambil menggeser langkah menarik tubuh atas mengelak. Akan tetapi sebelum ia sempat turun tangan membalas, tangan kiri Po Leng In yang kecil sudah menyambar dari bawah. Tentu saja gerakan ini amat cepat karena memang merupakan kelanjutan dari pada jurus serangan pertama tadi. Kini tangan kiri itu dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke arah bawah pusar. Sebuah serangan yang keji, dahsyat dan jika berhasil mendatangkan maut!
Memang hebat dan keji jurus ini karena jurus ini adalah ciptaan Tok-siauw-kwi si Iblis Betina dan yang diajarkan kepada Siang-mou Sin-ni. Siang-mou Sin-ni dahulu memang pernah bersahabat dengan Tok-siuw-kwi dan menerima pelajaran beberapa macam ilmu silat tinggi, di antaranya adalah penggunaan rambut panjang sebagai senjata.
Akibat serangan tangan kiri yang berjari kecil halus itu mengagetkan kedua pihak. Bu-tek Siu-lam terkejut akan tetapi celana di bawah pusar sudah kena dicengkeram dan Po Leng In terkejut karena keadaan lawannya itu tidak seperti laki-laki biasa! Kalau lawannya seorang laki-laki biasa, tentu saat itu sudah tewas oleh cengkeramannya.
Bu-tek Siu-lam kaget dan marah, akan tetapi ia terkekeh dan tahu-tahu tangannya sudah menerkam ke arah leher Po Leng In. Hebat terkaman ini. Po Leng In cepat menarik tangan kirinya yang mencengkeram celana kosong itu, merendahkan tubuh dan menggerakkan kepalanya sehingga dua gumpalan rambut panjang menyambar dari kanan kiri dadanya, gumpalan rambut kiri menotok jalan darah di iga kanan lawan sedangkan gumpalan rambut kanan menyambar ke arah muka Bu-tek Siu-lam!
“Hemm, boleh juga murid Siang-mou Sin-ni!” terdengar Thai-lek Kauw-ong berseru memuji.
Pujian itu memanaskan perut Bu-tek Siu-lam. Dan memang ia sendiri pun sudah marah dan penasaran. Kalau ia sebagai seorang di antara lima ‘dewa’ yang menggantikan kedudukan enam ‘iblis’ kini tak dapat cepat mengalahkan murid dari seorang di antara enam iblis, ke mana ia harus menaruh mukanya?
Kini melihat serangan dua gumpalan rambut disusul dengan sinar hijau pedang lawan membabat kaki, ia mengeluarkan suara ketawa. Ia membiarkan gumpalan rambut kiri menotok iganya yang sudah ia ‘tutup’ jalan darahnya, kemudian secepat elang menyambar kelenci, ia sudah menangkap gumpalan rambut yang menyambar ke arah mukanya lalu mengangkat tangan kiri yang menangkap rambut itu tinggi-tinggi di atas kepalanya. Karena iblis banci ini memang bertubuh tinggi sekali dan Po Leng In hanya setinggi pundaknya, tentu saja Po Leng In terangkat ke atas!
Po Leng In kaget dan mengenali bahaya. “Lepaskan!” Sambil berseru kedua kakinya bergantian menendang, namun didahului jari tangan kanan Bu-tek Siu-lam yang menyambar pinggang menggencet jalan darah pusat sehingga seluruh tubuh wanita itu seketika menjadi lemas! Dengan amat mudah pedangnya yang tajam itu kini sudah pindah ke tangan Bu-tek Siu-lam.
“Hi-hi-hi-hik! Kau lihat, Kauw-ong! Apakah murid Siang-mou Sin-ni ini amat hebat?”
“Hemm, tak ada gunanya!” Thai-kek Kauw-ong menjawab sebal.
“Hi-hik, siapa bilang tidak ada gunanya? Rambutnya harum sekali!” Bu-tek Siu-lam mencium rambut yang panjang itu, menyedot-nyedot dengan lagak genit. “Dan kita lihat apakah jantungnya terbuat dari pada baja!” Pedang di tangan kanannya bergerak dan....
“Brettt!” pedang itu berubah menjadi sinar hijau yang mengitari tubuh atas Po Leng In dan di lain saat baju atas wanita itu sudah robek-robek dan berjatuhan ke bawah, membuat tubuh bagian atas sebatas pinggang tidak berpakaian lagi!
Diam-diam Thai-lek Kauw-ong yang menonton permainan ini memuji. Hebat juga si Banci ini. Menggerakkan pedang sedemikian cepat sehingga merobek semua baju luar dan dalam tanpa sedikit pun menggores kulit orang!
Po Leng In sudah tertotok lemas, akan tetapi ia masih sadar dan tahu bencana hebat yang menimpa dirinya. Sebagai seorang murid kepala Siang-mou Sin-ni yang biasa mempermainkan pria sesuka hatinya, kali ini ia dipermainkan orang, mengalami penghinaan seperti itu, tentu saja hebat penderitaan ini. Mukanya menjadi merah sampai terus ke leher dan dadanya yang tidak tertutup apa-apa, matanya memandang penuh kebencian dan sama sekali tidak membayangkan rasa takut.
Hal ini membikin Bu-tek Siu-lam marah sekali. Biasanya kalau iblis ini mempermainkan orang dan sebelum membunuhnya, ia senang sekali melihat orang itu menggeliat-geliat ketakutan atau karena nyeri. Itulah sebabnya ketika tadi membunuh orang menggunakan guntingnya, ia tidak segera menggunting leher, melainkan menggunting kaki tangan. Iblis ini memang seorang yang kejam sekali dan hatinya senang kalau melihat orang lain menderita. Ketika melihat betapa Po Leng In sama sekali tidak takut dan bahkan memandangnya penuh kemarahan dan kebencian, tentu saja ia menjadi marah dan merasa terhina!”
“Hendak kulihat sampai di mana ketabahanmu!” gumamnya dan sekali pedangnya bergerak, ia telah membabat putus rambut yang panjang itu!
Po Leng In adalah seorang wanita yang seperti gurunya, amat menyayang rambut panjangnya, maka tanpa disadarinya ia menjerit ketika rambutnya terpotong dan tubuhnya terbanting ke atas tanah dalam keadaan telentang!
“Hi-hik! Kauw-ong, mari kita lihat bagaimana macam hati perempuan ini!” Sambil berkata demikian, Bu-tek Siu-lam berjongkok dan mendekatkan ujung pedang ke dada kiri Po Leng In yang berkulit halus putih. Alangkah marahnya tokoh banci ini ketika melihat jeritan tadi hanya dilakukan karena tak sadar, buktinya kini wanita itu masih memandangnya penuh kebencian dan sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut biar pun ujung pedang sudah menempel di kulit dada!
“Hi-hi-hik, akan kuiris perlahan-lahan, kukupas dulu kulit luarnya, baru dagingnya dan kubuat lubang yang cukup untuk tanganku merogoh dan mencabut jantungnya!”
Kembali Thai-lek Kauw-ong kagum. Teman barunya itu benar-benar hebat, mempunyai perasaan dan hati yang dingin membeku sehingga dapat melakukan kekejaman yang tiada batasnya. Hal ini membuktikan bahwa Bu-tek Siu-lam sudah melakukan latihan yang amat tinggi dalam menguasai hati dan perasaannya.
Pada saat maut sudah siap mencabut nyawa Po Leng In, tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring. “Makhluk keji tak berjantung! Kau ini terang bukan manusia karena tidak mempunyai peri-kemanusiaan yang akan mencegah manusia berbuat serendah itu. Juga bukan binatang karena tidak mempunyai peri kebinatangan yang membuat binatang hanya membunuh untuk dimakan. Kau ini tentu iblis! Iblis pengecut yang hanya berani menghina seorang lawan yang lemah dan tak mampu melawan. Ih, si Muka Tebal tak tahu malu! Lebih baik mampus saja dari pada hidup tidak tahu malu!”
Selama hidupnya, baru kali ini Bu-tek Siu-lam dimaki orang, apa lagi makian demikian hebatnya. Saking heran dan kagetnya, ia urung menusuk dada kiri Po Leng In. Tadinya ia mengira bahwa tentu guru wanita ini yang datang, akan tetapi ketika ia memandang ke kanan kiri dari mana suara itu datang, ia melihat bahwa yang datang itu seorang gadis muda remaja yang amat cantik jelita dan yang memandangnya dengan mata berapi-api. Lebih-lebih lagi kagetnya ketika pada saat yang hampir sama, tiba-tiba tangannya yang memegang pedang menjadi tergetar hebat sehingga secara terpaksa ia harus melepaskan pedang itu yang jatuh ke tanah didekat tubuh Po Leng Ini
Kwi Lan, gadis remaja yang baru datang itu, tentu saja tidak tahu bahwa pedang di tangan Bu-tek Siu-lam terlepas dan jatuh karena lengan tangan tokoh itu disambar sebuah batu kerikil, dan mengira bahwa orang aneh itu melepaskan pedang karena gentar akan tegurannya tadi. Ya, gadis yang menegur Bu-tek Siu-lam dengan kata-kata pedas itu bukan lain adalah Kwi Lan.
Sayang ia datang terlambat, kalau lebih pagi sedikit saja ia tentu akan bertemu dengan bibi dan gurunya, si Wanita Berkerudung. Biar pun sejak masih kanak-kanak ia dilatih ilmu silat yang aneh-aneh dan tinggi, namun gadis ini tidak pernah mendapat gemblengan untuk menjadi seorang pendekar sehingga segala sepak terjangnya hanya menurutkan perasaan saja. Akan tetapi oleh karena Kwi Lan adalah keturunan pendekar maka dasar wataknya juga tidak suka melihat si lemah tertindas dan si kuat sewenang-wenang. Di samping ini, ia suka dan kagum melihat kegagahan. Oleh karena inilah, melihat sikap Po Leng In yang sama sekali tidak takut menghadapi ancaman maut itu, ia menjadi kagum dan tanpa mempedulikan bahwa wanita itu adalah murid Siangmou Sin-ni yang ia pernah dengar dari gurunya adalah seorang di antara Thian-te Liok-kwi, ia segera melompat maju dan memaki-maki Bu-tek Siu-lam untuk menolong wanita itu.
Bu-tek Siu-lam tidak memandang kepadanya dan hal ini mengherankan hati Kwi Lan. Laki-laki yang tinggi besar dan tampan itu kini sudah meloncat berdiri dan membelakanginya, sama sekali tidak mempedulikan dia dan caci makinya tadi. Setelah laki-laki tinggi besar itu bangkit berdiri dan melihat gunting besar terselip di ikat pinggangnya, barulah Kwi Lan dapat menduga dengan pasti siapa orang itu.
“Hei, bukankah kau si iblis Bu-tek....” Akan tetapi ia tidak melanjutkan teriakannya karena tiba-tiba sekali Bu-tek Siu-lam sudah meloncat ke depan dan tahu-tahu gunting besar itu sudah berada di tangannya, menyambar ke arah rumpun bunga di bawah pohon.
“Klik-klik!” hanya dua kali guntingan dan tetumbuhan itu terbabat habis!
Akan tetapi Bu-tek Siu-lam terbelalak heran karena di belakang gerombolan itu tidak tampak bayangan manusia. Padahal tadi ia tahu jelas bahwa orang yang menyambit kerikil ke arah lengannya bersembunyi di balik rumpun ini! Ke mana perginya orang itu dan bagaimana dapat pergi tanpa ia ketahui?
Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak, suara ketawa yang nyaring dan terbahak keras. Kwi Lan terkejut dan menengok ke kiri. Suara ketawa itu ia kenal benar dan ternyata dugaannya tidak keliru. Dari balik sebatang pohon besar muncul seorang pemuda tampan dan tertawa-tawa dengan wajah berseri. Siapa lagi kalau bukan Tang Hauw Lam! Golok besar sudah tercabut di tangan kanan dan ia berdiri dengan gagah, kedua kakinya terpentang lebar dan ia menudingkan telunjuknya ke arah Bu-tek Siu-lam.
“Huh, kiranya Bu-tek Siu-lam hanya seorang laki-laki yang suka mengganggu wanita. Alangkah jauh bedanya dengan namanya yang menjulang tinggi!” Hauw Lam mengejek.
“Eh kau Berandal...!” Tiba-tiba Kwi Lan berseru saking gembiranya bertemu dengan pemuda itu yang sama sekali tidak disangka-sangkanya.
Pemuda itu mengerling ke arahnya, bibirnya tersenyum lebar. “Heiii, kau... Mutiara Hitam...?” Kiranya pemuda itu baru saja tiba dan sama sekali tidak tahu bahwa Kwi Lan berada di situ. Sejenak mereka saling pandang.
“Awas...!” tiba-tiba Kwi Lan berseru.
Akan tetapi Hauw Lam bukanlah pemuda yang sembrono, sungguh pun ia suka berkelakar. Sambaran gunting yang hebat itu telah diketahuinya dan ia cepat meloncat ke kiri sambil menyabetkan goloknya dengan kuat ke arah lengan lawan yang memegang gunting. Bu-tek Siu-lam yang tak berhasil menggunting leher pemuda itu, kini melihat betapa orang muda itu malah mengancam lengannya segera menekuk siku dan guntingnya segera membalik menyambut golok.
“Traaanggg...!” Bunga api berpijar menyilaukan mata, akan tetapi alangkah kaget dan heran hati Bu-tek Siu-lam bahwa golok itu tidak patah-patah, juga tidak terlepas dari pegangan tangan pemuda itu. Hal ini benar-benar amat aneh. Jarang ada orang sanggup menahan senjata yang terpukul, apa lagi tergunting oleh senjatanya. Pemuda ini bukan orang sembarangan!
“Bocah, engkau siapa dan murid siapa? Mengapa kau berani main-main dengan aku dan menyerang secara menggelap?” Bu-tek Siu-lam menahan guntingnya dan bertanya marah. Ia merasa penasaran sekali melihat ada seorang pemuda berani menandinginya, akan tetapi karena ia tahu bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang tidak sembarangan, tentu murid orang pandai dan cukup berharga untuk ditanya.
Hauw Lam menyeringai. Padahal di dalam hatinya, pertemuan senjata yang menggetarkan lengan dan membuat bahunya terasa akan patah itu telah mengagetkan hatinya. Namun ia masih tertawa-tawa untuk mengelabui lawan. “Heh-heh, siapa tidak mengenal Bu-tek Siu-lam? Biar pun belum melihat orangnya, namanya sudah dikenal semua orang termasuk aku. Siapa aku? Kau tanyalah kepada Nona itu, namaku Berandal karena aku suka berandalan! Kau tanya guruku? Ada ratusan orang, terlalu panjang kalau disebut satu demi satu!”
“Bocah ingusan! Tak kau sebut juga apa kau kira aku tidak bisa mengenal ilmu silat ceker ayammu? Kau bergeraklah...!” Setelah berkata demikian, sambil terkekeh genit Bu-tek Siu-lam sudah menerjang maju lagi, kini ia menyerang dengan gerakan yang amat lihai. Gerakan guntingnya membentuk lingkaran lebar yang melingkari tubuh Hauw Lam dan menutup semua jalan ke luar!
“Aiihhh, hebat! Eh, Siu-lam, kau memang tampan, biar pun sudah tua bangka! Kau ini laki-laki atau wanita?” Tang Hauw Lam biar pun harus cepat mengelak dengan repot karena gunting itu menyambar-nyambar dari segala jurusan, namun masih sempat berkelakar untuk memanaskan hati lawan.
Di samping ini, memang pemuda ini cerdik luar biasa. Ia kini maklum bahwa ejekan-ejekannya tadi berhasil membuat lawannya panas hati dan penasaran dan tentu tokoh aneh ini akan berusaha sedapat mungkin mengenal ilmu silatnya dengan cara menyerang dan mengurung agar ia mengeluarkan ilmu silat simpanannya untuk dikenal. Ia dapat menduga bahwa kakek tampan itu tentu segan membunuhnya sebelum berhasil mengenal ilmu silatnya.
Karena inilah Hauw Lam lalu menyambut serangan-serangannya dengan ilmu silat yang ia peroleh dari petunjuk-petunjuk gurunya yang terakhir, kakek sakti yang luar biasa, yang muncul dari dalam kuburan, yaitu Bu-tek Lojin! Karena itu, gerakan-gerakannya amat aneh dan betapa pun gunting di tangan Bu-tek Siu-lam menerjang dan mengurungnya, namun pemuda itu dapat membebaskan diri dari pada lingkaran, bahkan membalas dengan sambaran goloknya yang bukan tak berbahaya bagi tokoh barat itu.
Sementara itu, melihat munculnya Tang Hauw Lam, Kwi Lan menjadi gembira dan ia cepat-cepat menghampiri Po Leng In. Begitu jari tangan Kwi Lan menggerayang dan menotok atau mengusap, jalan darah di tubuh Po Leng In pulih kembali. Wanita murid Siang-mou Sin-ni ini merasa malu sekali. Rambutnya terbabat separuh, tinggal segumpal lagi. Kini ia menggunakan tangan kiri memegang rambut berusaha menutupi dadanya yang telanjang, tangan kanannya mengambil pedangnya, lalu sejenak ia memandang wajah Kwi Lan. Kemudian ia membungkuk dan berbisik. “Terima kasih banyak, mudah-mudahan aku akan dapat membalas budimu. Kau lihai sekali dengan kerikil kecil sanggup memukul runtuh pedangku dari tangan Bu-tek Siu-lam.”
“Kerikil? Meruntuhkan pedang? Aku tidak... ah, agaknya si Berandal yang melakukannya.”
“Si Berandal?”
“Yang bertempur melawan Bu-tek Siu-lam itu.”
Wanita itu menengok dan mengerutkan keningnya. Biar pun pemuda yang disebut Berandal oleh penolongnya ini cukup lihai, namun jelas terdesak hebat oleh Bu-tek Siu-lam. Tiba-tiba pandang mata Po Leng In yang tajam melihat berkelebatnya bayangan putih, dan seorang pemuda pakaian putih telah berdiri di bawah pohon, tidak berapa jauh dari tempat itu. Ia memandang tajam, dan pada saat itu terdengar suara pemuda yang melawan Bu-tek Siu-lam, yang biar pun terdesak masih tertawa-tawa.
“Eh, eh, aku dengar kau ini bukan pria bukan wanita, kau banci! Heh-heh, lucu sekali! Apa kau sudah mengenal ilmu silatku?”
Bu-tek Siu-lam makin marah. Memang harus ia akui bahwa sampai belasan jurus pemuda itu melawannya, ia sama sekali belum dapat mengenal gerakan lawan, bahkan dasar gerakannya pun belum dapat menduganya dari cabang persilatan mana. Aneh, namun begitu cepat dan bertenaga! Saking panas hatinya, Bu-tek Siu-lam mengeluarkan senjatanya yang ke dua, yang biasanya hanya ia pergunakan kalau menghadapi lawan tangguh. Pemuda ini sebenarnya bukan lawan yang terlalu tangguh baginya, akan tetapi karena ia ingin memaksa si Pemuda mengeluarkan ilmu silat simpanan agar dapat ia kenal asalnya, maka terpaksa ia mengeluarkan senjatanya jarum besar diikat benang. Dengan dua jari tangan kiri ia menjepit jarum itu, siap dipergunakan bila perlu.
“Heh-heh, memang kau bertubuh pria berhati wanita, maka selalu main-main dengan jarum dan gunting. Eh, kau sendiri tukang menggunakan senjata gelap berupa jarum, kenapa kau tuduh aku yang bukan-bukan menyerangmu secara menggelap?”
“Bocah setan! Kau tadi menyambitku dengan kerikil, sekarang tunggulah, setelah mengenal ilmu silatmu, aku akan menggunting-gunting tubuhmu kemudian menjahitnya kembali dengan jarumku ini!”
“Heh-heh, tak mudah, sobat! Katanya kau suka sekali dengan laki-laki muda, apakah kau akan menjahit tubuhku lalu kau jadikan barang mainan? Cih, tidak tahu malu. Jika laki-laki, kau tua bangka dan kakek-kakek, kalau wanita, kau juga sudah nenek-nenek. Siapa sudi... aiiiihhh...!” Hauw Lam berseru terkejut dan cepat ia melemparkan tubuh ke belakang dan berguling sambil memutar golok melindungi diri.
Gerakan memutar golok sambil bergulingan ini berasal dari ilmu golok Bu-tong, akan tetapi gerakannya membabat berlainan, kalau biasanya diputar dari kiri ke kanan, sekarang dari kanan ke kiri. Karena itu sungguh tidak tepat kalau dikatakan ilmu golok itu dari partai Bu-tong-pai! Pemuda itu menyelamatkan diri dari sambaran jarum dan gunting yang amat cepat dan bertubi-tubi.
“Aihhh, bukan berandal yang menyambitkan kerikil!” Kwi Lan berkata.
Akan tetapi Po Leng In sudah melihat pemuda baju putih dan mengangguk-angguk, kemudian sekali lagi ia memberi hormat kepada Kwi Lan lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu. Ia sudah dihina dan mendapat malu, kemudian tertolong oleh orang-orang muda yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari pada ilmu kepandaiannya sendiri, maka Po Leng In merasa tidak ada gunanya berada di situ lebih lama lagi. Ia harus cepat pulang untuk melapor kepada gurunya!
Kwi Lan belum melihat pemuda yang muncul itu, pemuda berpakaian serba putih, karena perhatiannya tertuju kepada Hauw Lam yang mulai payah menghadapi lawan tangguh itu. Ketika ia bergerak hendak mencabut pedangnya dan meloncat membantu Hauw Lam, tiba-tiba berkelebat bayangan putih di depannya dan tahu-tahu seorang pemuda berpakaian putih berkata halus dengan ucapan serius dan telunjuk kanannya menuding ke arah pertempuran.
“Tahan, Nona. Lihat Bu-tek Siu-lam amat lihai. Kalau ia menghendaki, apakah tidak sejak tadi pemuda sembrono itu menjadi korban guntingnya? Bu-tek Siu-lam masih belum dapat mengenal ilmu goloknya yang aneh dan selama pemuda itu tetap dapat merahasiakan ilmu silatnya, ia takkan dirobohkan. Kalau Nona maju membantu, menjadi lain lagi halnya dan engkau bahkan membahayakan keselamatannya dan keselamatanmu sendiri.”
Kwi Lan terkejut dan memandang orang yang tiba-tiba muncul dan mencegahnya membantu Hauw Lam itu. Ia seorang laki-laki muda yang berwajah serius, bahkan wajahnya membayangkan kematangan jiwa sehingga tampak guratan-guratan nyata. Wajah yang tampan dan penuh kesabaran, penuh pengertian, namun sinar matanya amat kuat berwibawa. Pakaiannya sederhana serba putih dari kain yang kasar, pakaian dan topinya seperti seorang pelajar. Usianya tentu sudah dua puluh lima atau dua puluh enam tahun. Ada sesuatu yang amat menarik hati Kwi Lan pada wajah orang ini. Namun hatinya mendongkol karena ia dicegah membantu Hauw Lam.
“Justru karena Si Berandal terdesak maka aku akan membantunya!” bentaknya penasaran karena ia anggap orang ini aneh, sudah tahu Hauw Lam terdesak mengapa malah melarangnya membantu? “Apa kau kira aku tidak mampu menandingi tua bangka genit itu?”
Tanpa menoleh kepadanya laki-laki itu berkata, suaranya tetap halus namun penuh kesungguhan. “Dia itu lihai sekali dan keji, harap Nona jangan mendekat. Akulah lawannya dan biar aku membantu temanmu itu!” Sebelum Kwi Lan sempat membantah laki-laki itu sudah berkelebat ke depan, gerakannya ringan sekali sehingga mau tidak mau Kwi Lan menjadi kagum dan heran. Apa lagi ketika pemuda itu menyerbu ke dalam pertempuran, terdengar Bu-tek Siu-lam berseru kaget dan meloncat mundur, ia makin kagum.
Pemuda itu telah mengeluarkan sepasang senjatanya yang aneh, yaitu sebatang pensil bulu dan pensil kayu di kedua tangannya. Senjata ini amat pendek dan amat kecil, juga lemah, akan tetapi mengapa Bu-tek Siu-lam terkejut dan menghindar sambil meloncat mundur? Ia tidak tahu bahwa tadi dalam segebrakan saja pemuda itu telah menotok tujuh belas jalan darah terpenting dengan sepasang senjatanya, dan kalau mengenai sasarannya akan cukup kuat merobohkan lawan sekuat Bu-tek Siu-lam! Karena inilah Bu-tek Siu-lam terkejut dan terpaksa meloncat mundur menghindarkan diri.
Selagi Kwi Lan menonton dengan wajah tegang karena kini Bu-tek Siu-lam digempur oleh dua orang pemuda itu dan pertandingan berjalan amat cepat dan seru, tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar ke arahnya dari belakang. Kwi Lan terkejut dan cepat membalikkan tubuhnya sambil menangkis, akan tetapi inilah kekeliruannya. Gadis ini tidak menduga dan tidak tahu siapa yang menyerangnya, maka ia yang amat percaya akan kekuatan sendiri lalu menangkis. Ia sama sekali tidak tahu bahwa yang menyerangnya dari belakang adalah Thai-lek Kauw-ong, tokoh yang paling lihai di antara kelima ‘dewa’, jadi lebih lihai dari pada gurunya sendiri!
Tangkisannya tidak ada artinya. Kalau ia mengelak, mungkin ia masih dapat menghindar dari bahaya, akan tetapi karena ia menangkis, lengannya ditangkap dan di lain saat pundaknya sudah dipencet, membuat gadis ini lemas kehilangan semua tenaga, bahkan tak dapat mengeluarkan suara lagi! Dengan mudah saja Thai-lek kauw-ong mengempit tubuh gadis itu di lengan kiri, lalu kedua kakinya berloncatan cepat sekali meninggalkan puncak.
“Heh-heh, biar dirasakan oleh Bu-tek Siu-lam. Dua orang itu akan membuatnya sibuk. Kalau aku membantu keenakan untuk dia!” gerutu kakek gundul tinggi besar ini yang sama sekali tidak mempedulikan kesetia-kawanan.
Sementara itu, Bu-tek Siu-lam yang tadinya merasa penasaran bukan main karena sebegitu lama belum juga dapat membuka rahasia ilmu silat Hauw Lam, tiba-tiba diserang pemuda baju putih dengan dua macam pensilnya. Ia kaget melihat gerakan ini karena mendatangkan dua macam angin pukulan yang berlawanan, juga gerakannya amat halus seperti orang mencorat-coret membuat tulisan, namun di dalam kehalusan gerak ini tersembunyi tenaga yang amat dahsyat. Tahulah ia bahwa pemuda baju putih ini bukan orang sembarangan pula.
Diam-diam ia mengeluh. Pemuda berandalan yang bergolok besar itu sudah memiliki tingkat kepandaian yang jauh melampaui pemuda-pemuda sebayanya, bahkan memiliki ilmu silat aneh yang tak dikenalnya sama sekali. Sekarang muncul pemuda lain yang demikian dahsyat ilmunya. Benar di dunia telah muncul jago-jago muda yang amat hebat!
“Hi-hi-hik, bocah tampan dan halus. Kau siapakah dan mengapa menyerangku? Apakah kau sahabat dia... eh, si Berandal mentah ini?”
Sebelum pemuda baju putih yang pendiam dan berwajah serius itu menjawab, Hauw Lam yang dimaki berandal mentah sudah mendahului dan mengejek. “Ha-ha-ha! Manusia banci yang tak tahu malu! Makin banyak datang pemuda tampan kau makin hendak bergenit! Ataukah engkau hendak menggunakan lagak perempuan lacur untuk merayu dan menyembunyikan rasa takutmu? Tentu saja Enghiong (Pendekar) ini membantuku dan menyerangmu karena semua orang gagah di dunia maklum belaka bahwa Bu-tek Siu-lam adalah seorang manusia iblis yang selain jahat, juga banci cabul tak bermalu dan patut dibasmi...”
“Siuuutt... klik-klik...!” gunting besar itu menyambar hebat dan dua kali menggunting ke arah leher dan pinggang Hauw Lam.
“Haya... sayang tidak kena...!” Hauw Lam berhasil menangkis guntingan pertama ke arah lehernya dengan goloknya, namun goloknya sempat terlepas dari tangannya yang terasa panas. Karena itu, pada saat guntingan ke dua ke arah pinggangnya mengancam, jalan satu-satunya baginya untuk menyelamatkan diri hanya membuang diri ke belakang dan bergulingan, hal yang pada saat seperti itu amat memalukan karena berarti ia kalah. Mendadak pensil bulu di tangan pemuda baju putih itu menolongnya, menangkis gunting sehingga pemuda nakal yang biar pun mukanya pucat dan dahinya mengeluarkan keringat dingin, masih sempat mengejek juga!
Kembali Bu-tek Siu-lam tercengang. Tangkisan Hauw Lam tadi, sungguh pun cukup kuat, akan tetapi tidak mengherankan karena senjata pemuda itu adalah sebatang golok besar yang berat. Akan tetapi, biar pun hanya ditangkis dengan pena bulu, guntingnya terpental dan ia merasa tenaga yang tersalur pada guntingnya membalik sehingga lengannya terasa kesemutan! Inilah hebat! Ia makin kagum dan sinar matanya memandang wajah pemuda itu dengan penuh perhatian.
Perlu diketahui bahwa tokoh aneh ini sebetulnya berasal dari barat. Di negara Nepal, ia pernah menjadi orang kepercayaan Raja di sana, yaitu menjadi kepala thaikam (pembesar kebiri) yang dipercaya untuk mengurus segala urusan rumah tangga dan keluarga raja. Akan tetapi karena sebelum menjadi thaikam, Bu-tek Siu-lam telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka biar pun dikebiri, ia tetap menjadi seorang laki-laki yang kuat. Kalau orang lain dikebiri lalu kehilangan kemampuannya sebagai laki-laki, sebaliknya Bu-tek Siu-lam makin bertambah nafsunya, karena pengebirian yang dilakukan terhadap dirinya sebagai syarat menjadi thaikam itu hanya melenyapkan kemampuannya mendapat keturunan saja.
Biar pun dengan kenyataan ini diam-diam ia dapat merajalela dan merusak kesusilaan yang dijaga keras di dalam istana dengan melakukan hubungan-hubungan gelap dengan para puteri dan selir raja, namun pergaulannya dengan para thaikam lainnya, juga mungkin akibat pengebirian, mendatangkan sifat kewanita-wanitaan kepada dirinya seperti kepada thaikam-thaikam lain. Seperti juga thaikam-thaikam lain, timbullah kesukaan aneh pada diri Bu-tek Siu-lam, yaitu ia suka sekali kepada pemuda-pemuda tampan, hampir sama besarnya dengan rasa suka terhadap gadis-gadis cantik!
Kebiasaan seperti inilah yang membuat makin lama tokoh banci ini menjadi makin tidak normal dan boleh dibilang mendekati gila! Dan akhirnya, karena dia tampan dan telah berhasil melakukan hubungan-hubungan gelap dengan para selir, ia ketahuan dan terpaksa melarikan diri karena akan dihukum gantung oleh raja yang marah! Demikianlah akhirnya bekas thaikam yang sakti ini melarikan diri ke timur dan berhasil mempengaruhi para kaum sesat yang menyelundup dalam dunia pengemis.
Kini bertemu dengan Hauw Lam yang memang tampan, hatinya sudah tertarik, sama dengan tertariknya hati seorang kakek mata keranjang melihat gadis ayu. Akan tetapi sikap Hauw Lam yang mengejek dan menghinanya membuat rasa sukanya berubah kebencian. Kemudian muncul pemuda baju putih yang pendiam dan juga amat tampan wajahnya. Maka ia menjadi tertarik dan suka sekali, apa lagi mendapat kenyataan bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang hebat, lebih lihai dari pada si Pemuda Berandalan, bahkan ia merasa sangsi apakah ia dapat mengalahkan pemuda ini dengan mudah.
“Orang muda, boleh juga kepandaianmu. Siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhi Bu-tek Siu-lam tanpa alasan?”
Pemuda baju putih itu menjawab, suaranya tenang sekali. “Bu-tek Siu-lam, sudah lama aku mendengar tentang namamu yang besar di dunia kang-ouw, juga tentang sepak terjangmu. Aku she Kiang bernama Liong dari kota raja. Memang tak ada permusuhan di antara kita, aku hanya tidak ingin kau mencelakai orang lain. Sobat muda ini benar karena telah menolong seorang Nona yang hendak kau perhina....“
“Hi-hik, jadi engkaukah yang menyambitkan kerikil tadi? Sudah kuduga tentu bukan bocah berandal sombong ini, dan....”
“Ah...!” Tiba-tiba Hauw Lam memotong, memandang pemuda baju putih itu tanpa menghiraukan Bu-tek Siu-lam lagi. “Kiranya Kiang Kongcu...! Namamu amat terkenal sebagai pendekar muda di kota raja Sung, putera Pangeran Kiang dan murid Suling Emas...!”
selanjutnya >>>>>>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)