SULING EMAS : JILID-03

 Liu Lu Sian tertawa. Suara tawanya merdu sekali, akan tetapi juga penuh dengan ejekan. “Kwee-koko, kau ingatlah. Agaknya kemuraman penyair Tu Fu menularimu. Mari kita lanjutkan....”
Tiba-tiba Kwee Seng mendorong gadis itu, yang segera meloncat bermodal tenaga dorongan Kwee Seng. Pemuda itu sendiri juga sudah meloncat ke belakang dengan gerakan cepat. Sambil mengeluarkan bunyi berciutan menyambarlah lima batang senjata piauw (pisau terbang) dan menancap ke dalam batang pohon. Tidak hanya berhenti di situ saja penyerangan gelap ini karena dari tiga penjuru menyambarlah bermacam-macam senjata rahasia menghujani tubuh Kwee Seng dan Lu Sian.
Akan tetapi kini dua orang muda yang berilmu tinggi itu kini sudah siap sedia dan waspada, dengan mudah mereka menyelamatkan diri. Lu Sian sudah mencabut pedangnya dan dengan putaran pedangnya secara indah dan cepat, semua piauw jarum dan senjata rahasia paku beracun dapat ia pukul runtuh. Ada pun Kwee Seng sendiri hanya dengan menggerak-gerakkan kedua lengannya saja. Ujung lengan bajunya mengeluarkan angin pukulan, cukup membuat semua senjata rahasia menyeleweng dan tidak mengenai dirinya.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda, dan ternyata dua ekor kuda mereka telah dilarikan orang.
”Keparat hina dina!” Lu Sian melompat, pedangnya berkelebat dan dua orang yang menunggang kuda mereka terjungkal, tak bernyawa lagi!
“Ah, Moi-moi, kenapa begitu ganas?” Kwee Seng menegur penuh sesal sambil memegangi kendali kudanya yang terkejut dan akan memberontak.
“Penjahat rendah yang telah menyerang secara pengecut, lalu hendak mencuri kuda, sudah sepatutnya dibunuh,” kata Lu Sian dengan suara dingin sambil menyarungkan kembali pedangnya.
Kwee Seng membungkuk sambil memeriksa dua orang itu. Pakaian mereka tidak menunjukkan orang-orang miskin, juga rapi tidak seperti maling-maling kuda biasa. Akan tetapi, bekas tusukan pedang Lu Sian hebat sekali, mereka itu sudah mati dan tak dapat ditanya lagi.
“Justeru karena mereka mengandalkan banyak orang dan secara menggelap menyerang kita, perlu kita ketahui apa latar belakangnya. Dua ekor kuda kita, biar pun merupakan kuda pilihan, kiranya belum patut menggerakkan hati orang-orang kang-ouw untuk merampasnya. Tentu saja ada apa-apa di belakang semua ini, namun sayang, mereka sudah mati tak dapat ditanya lagi. Mari kita lanjutkan perjalanan. Dua mayat ini tentu akan diurus oleh teman-temannya. Melihat datangnya senjata-senjata rahasia tadi, kurasa mereka tidak kurang dari lima orang banyaknya. Kau hati-hatilah, Moi-moi, kurasa orang-orang yang memusuhi kita takkan berhenti sampai di sini saja.”
Lu Sian mengangkat kedua pundak, memandang rendah sekali kepada ancaman musuh, lalu melompat ke atas punggung kudanya. Dua orang muda itu segera menjalankan kuda ke timur mengikuti sepanjang lembah sungai Wu-kiang.
Melihat Kwee Seng naik kuda dengan wajah muram dan alis berkerut, diam saja tanpa mengeluarkan kata-kata dan sama sekali tak pernah menoleh kepadanya, Lu Sian bertanya, “Koko, apakah kau masih marah kepadaku?”
Tanpa menoleh Kwee Seng berkata lirih, “Kenapa marah? Tidak!”
Diam pula sampai lama. Hanya suara derap kaki kuda mereka yang berjalan congklang. Dari jauh tampak tembok sebuah kota. Itulah kota Kwei-siang yang terletak di tepi sungai.
“Kwee-koko....”
“Hemm, ada apakah...?”
“Kau lihat aku. Tidak enak bicara dengan orang yang tunduk saja. Apa kau tidak sudi memandang mukaku lagi?”
Mau tidak mau Kwee Seng menoleh. Wajahnya seketika menjadi merah ketika ia melihat wajah gadis itu berseri-seri, sepasang matanya mengeluarkan cahaya yang bersinar tajam menembusi jantungnya, yang seakan-akan mengandung penuh pengertian, yang menjenguk isi hatinya sehingga Kwee Seng merasa seperti ditelanjangi, seperti telah terungkapkan semua rahasia perasaan dan hatinya.
“Sian-moi, (adik Sian), kau mau bicara apakah?” Kwee Seng mengeraskan hatinya, menekan perasaan.
“Kwee-koko, kau telah jatuh hati kepadaku, bukan? Kau mencintaiku sepenuh hatimu!”
Sejenak Kwee Seng menjadi pucat wajahnya. Bukan main, pikirnya. Gadis ini benar-benar berwatak siluman! Pertanyaan macam ini benar-benar tak mungkin diajukan oleh gadis mana pun juga. Ia tahu bahwa pertanyaan ini disengaja oleh Lu Sian, dan ia maklum pula bahwa gadis ini, sepeti seekor kucing, hendak mempermainkannya seperti seekor tikus. Ia merasa betapa jantungnya tertusuk, akan tetapi Kwee Seng adalah pemuda gemblengan. Cepat ia dapat memulihkan ketenangannya dan mukanya berubah merah kembali.
“Tak perlu aku menyangkal, Moi-moi. Aku memang jatuh hati kepadamu. Kau terlalu cantik jelita, pribadimu mengeluarkan daya tarik seperti besi sembrani yang tak dapat kulawan. Kini aku balas bertanya, apakah kau tidak mencintaiku?”
Lu Sian kelihatan gembira dan senang sekali. Gadis ini menggerak-gerakkan kepalanya, matanya bersinar-sinar dan ia tertawa sambil menengadahkan muka ke atas. “Aku? Mencintaimu? Ah, aku tidak tahu, Koko. Aku takkan begitu tergesa-gesa seperti engkau mengambil keputusan tentang cinta. Belum cukup lama aku mengenalmu. Kau terlalu lemah lembut, terlalu muram. Biarlah aku mempelajarimu lebih dulu. Bukankah ayah telah memberi kesempatan kepadamu untuk mengawiniku, mengapa kau menolak dan malah berjanji akan menurunkan ilmu kepadaku?”
“Aku memang cinta kepadamu, Sian-moi, akan tetapi tentang kawin... ah, terlalu banyak aku melihat kekejian-kekejian di Beng-kauw, terlalu banyak aku melihat keganjilan-keganjilan yang mengerikan. Dan kau sendiri... ah, kurasa takkan mungkin kau bisa mencinta pria secara lahir batin. Aku cinta pribadimu, tapi mungkin aku tidak menyukai watakmu dan keluargamu!”
Kembali Lu Sian tertawa sambil menutupi mulut dengan tangannya. Kwee Seng makin heran. Benar-benar gadis yang aneh. Aneh dan berbahaya sekali. Ia tadi sengaja berterus terang untuk membalas agar gadis ini merasa terpukul. Akan tetapi kiranya gadis itu malah mentertawakannya!
“Hi-hik, kau lucu, Kwee-koko. Aku pun belum percaya akan cintamu kalau kau belum buktikan dengan berlutut menyembah-nyembah kakiku!” Setelah berkata demikian, gadis itu berseru keras dan menyendal kendali kudanya sehingga binatang itu terkejut dan membalap ke depan.
Kwee Seng terheran-heran, lebih heran dari pada terhina oleh ucapan aneh itu. Akan tetapi ia merasa lega bahwa gadis itu mengakhiri percakapan yang menyakiti hatinya, maka ia pun lalu membedal kudanya mengejar, memasuki kota Kwei-siang.
Hari telah menjelang senja ketika mereka berdua memasuki kota Kwei-siang. Mereka mencari sebuah rumah penginapan yang juga membuka rumah makan di bagian depan. Seorang pelayan penginapan tergopoh-gopoh menyambut mereka, merawat kuda dan memberi dua buah kamar yang mereka minta. Setelah ke dua orang muda ini membersihkan diri dari debu dan keringat, berganti pakaian bersih, mereka lalu mengambil tempat duduk di rumah makan dan memesan makanan. Kwee Seng yang masih belum lenyap rasa tekanan hatinya, lebih dulu memesan seguci arak yang paling baik.
“Wah, kau mau mabok-mabokan lagi Koko? Benar-benar menjengkelkan! Aku malam ini ingin sekali bercakap-cakap denganmu sampai semalam suntuk!”
Sambil menuangkan arak pada cawannya, Kwee Seng menjawab, memaksa senyum, karena kadang-kadang, seperti sekarang ini sikap Lu Sian yang kekanak-kanakan mengelus dan menghibur hatinya, melenyapkan rasa sakit akibat ucapan-ucapan yang menusuk dari gadis itu pula.
“Biar pun minum arak bukan kebiasaanku dan baru saja hinggap padaku semenjak aku berjumpa denganmu, Moi-moi, akan tetapi aku tak akan begitu mudah mabok. Bercakap-cakap sambil minum kan dapat juga.”
“Ihhh, siapa bilang? Biar kau tidak mabok, akan tetapi kau lebih mencurahkan perhatianmu pada arak, dan... eh, Koko, lihat mereka itu....”
Tiba-tiba Lu Sian menghentikan kata-katanya ketika melihat beberapa orang laki-laki muncul seorang demi seorang dari pintu depan dengan gerak-gerik mencurigakan sekali. Yang pertama masuk adalah seorang laki-laki yang berwajah muram, mukanya licin tidak berjenggot, pakaiannya kumal, di punggungnya terselip sebatang golok telanjang, usianya kurang lebih empat puluh tahun. Orang ini berjalan dengan gerakan kaki ringan seperti seekor kucing, dan ketika memasuki pintu, matanya mengerling ke arah tempat duduk Kwee Seng dan Lu Sian.
Karena Kwee Seng duduk membelakangi pintu, maka Lu Sian yang berhadapan dengannya lebih dulu melihat dan tertarik. Apalagi ketika berturut-turut masuk lima orang laki-laki lain di belakang Si Pembawa Golok. Dua orang berpakaian tosu (pendeta To), seorang laki-laki setengah tua yang tampan dengan rambut digelung ke atas, kemudian seorang pemuda tampan yang pakaiannya seperti pelajar akan tetapi di pinggangnya tergantung pedang, kemudian yang terakhir adalah seorang hwesio (pendeta Buddha) berkepala gundul yang membawa sebatang tongkat besi yang berat. Enam orang ini terang bukanlah orang-orang sembarangan karena gerak-gerik mereka ringan dan gesit.
“Koko, kau lihat mereka…” bisik pula Lu Sian.
“Moi-moi, mari kita minum, hal-hal lain tidak perlu dihiraukan,” kata Kwee Seng yang sikapnya tetap tenang seakan-akan tidak ada apa-apa.
Kemudian pemuda ini minum araknya dari cawan dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya tahu-tahu sudah mengeluarkan kipas yang diletakkannya di atas meja. Liu Lu Sian tersenyum dan kembali memperhatikan makanan yang tersedia di atas meja tanpa menghiraukan orang-orang itu. Ia maklum bahwa tanpa ia peringatkan, Kwee Seng juga sudah tahu akan masuknya enam orang itu dan sudah siap sedia. Ia kagum akan sikap ini dan mendapat pelajaran bahwa menghadapi segala macam ancaman, lebih baik bersikap tenang sehingga dapat menentukan sikap dengan tepat.
Betapa pun juga, Lu Sian tak dapat menahan keinginan hatinya untuk melihat dengan kerling sudut matanya ke arah orang-orang itu. Ternyata mereka sekarang memperlihatkan sikap yang cukup jelas. Orang pertama sudah mencabut golok, Si Hwesio mengangkat tongkatnya sedangkan yang lain juga sudah bersiap seperti orang hendak bertempur. Jelas bahwa enam orang itu hendak mencari perkara karena pandang mata mereka semua kini terarah kepadanya! Dengan gerakan penuh ancaman enam orang itu kini makin mendekat dan akhirnya mereka mengurung meja yang dihadapi Kwee Seng dan Lu Sian.
Namun Kwee Seng tetap tenang sambil minum araknya, melirik pun tidak ke arah mereka. Lu Sian juga bersikap tenang, namun hatinya berdebar. Tidak biasanya ia bersikap seperti yang diambil Kwee Seng ini. Biasanya, begitu ada orang memusuhinya, ia segera menurunkan tangan besi. Baginya, lebih cepat merobohkan lawan, lebih baik.
Para pengurus rumah makan sudah lari ketakutan menyaksikan enam orang itu mengeluarkan senjata. Beberapa orang tamu yang tadinya sedang menikmati hidangan juga cepat-cepat membayar harga makanan dan segera pergi. Semua orang sudah melihat gelagat tidak baik, hanya Kwee Seng yang seakan-akan tidak tahu akan semua kesibukan itu dan masih enak-enak minum.
“Siluman betina! Kau harus mengganti nyawa puteraku!” tiba-tiba Si Pemegang Golok yang berwajah muram itu membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Lu Sian.
Gadis ini mendongkol bukan main, akan tetapi ia tetap duduk dan tersenyum mengejek, kemudian dengan mata berseri-seri memandang kepada pemuda tampan yang membawa pedang. Pandang mata Lu Sian yang tajam, sekali lihat sudah tahu bahwa pemuda tampan itu sejak tadi memandang kepadanya penuh rasa kagum, dan hal inilah yang membuat matanya berseri dan senyumnya mengejek. Sengaja ia mengedip-ngedipkan mata kirinya lebih dulu kepada pemuda tampan itu sebelum menjawab.
“Siapakah puteramu dan siapa engkau? Mengapa pula aku harus mengganti nyawa puteramu?”
“Setan betina! Masih kau hendak berpura-pura tidak tahu sedangkan tadi dengan kejam kau membunuh pula dua orang pembantuku?”
“Aihhh... aihhh... jadi kalian ini golongan pencuri-pencuri kuda? Sungguh sayang...,” gadis ini menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memandang kepada pemuda tampan yang tiba-tiba menjadi merah mukanya karena Lu Sian seakan-akan menunjukkan kata-kata ‘sayang’ itu kepadanya.
“Siluman sombong! Puteraku dengan baik-baik memasuki sayembara karena dia begitu bodoh tergila-gila pada kecantikanmu. Andai kata di dalam pertandingan itu dia kalah, apakah salahnya? Kenapa dia masih harus dibunuh secara penasaran? Apakah tiap laki-laki yang gagal mengalahkanmu harus mati seperti anakku Lauw Kong itu?”
Teringatlah kini Lu Sian akan tiga orang pemuda yang mengeroyoknya di atas panggung. Memang seorang di antara mereka bernama Lauw Kong, yang bermuka hitam dan mengaku datang dari kota Kwi-san yang letaknya tidak jauh dari kota Kwei-siang ini.
“Ah, Si Muka Hitam itukah puteramu? Memang aku sudah mengalahkannya, akan tetapi aku tidak membunuhnya!”
“Kau... setan betina! Siluman cantik! Banyak pemuda terbunuh karena engkau tapi kau masih pura-pura, dasar... perempuan... ren....”
“Cukup, ayah. Dengan maki-makian urusan takkan beres!” pemuda tampan yang membawa pedang itu mencela dan maju ke depan menghadapi Lu Sian. Wajahnya yang tampan itu kurang menarik ketika ia bicara, dan setelah mendekat Lu Sian melihat bahwa mata pemuda itu agak kuning.
“Nona, kami tahu bahwa kau adalah nona Liu Lu Sian puteri Ketua Beng-kauw. Aku adalah Lauw Sun, dan kakakku Lauw Kong telah mencoba memenangkan sayembara beberapa pekan yang lalu. Memang dia kalah oleh nona, dan bukan nona pula yang membunuhnya. Akan tetapi ternyata ia terbunuh dengan pukulan beracun dan hal ini tentu saja sepengetahuan nona. Karena itu, ayah dan kami minta pertanggung- jawabanmu!”
Muak rasa perut Lu Sian, dan ia mendongkol sekali melihat Kwee Seng masih enak-enak minum arak saja, seolah-olah tidak perduli dirinya dimaki-maki orang. Hemm, pikirnya, apakah tanpa kau aku tidak mampu membereskan buaya-buaya ini?
Tiba-tiba kakinya menghentak lantai dan tubuhnya sudah melayang ke belakang, kedua kakinya hinggap di atas sebuah meja yang masih penuh sisa hidangan dan arak bekas para tamu tadi, yang tidak sempat dibersihkan oleh para pelayan yang sudah lari ketakutan. Dengan gerakan indah ringan Lu Sian meloncat ke belakang dan kedua kakinya sama sekali tidak menyentuh mangkok cawan, kini ia berdiri di atas kedua ujung kakinya, pedangnya sudah berada di tangan kanan melintang di depan dada, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum mengejek ketika ia berkata.
“Orang She Lauw, menghadapi orang-orang kasar macam kalian ini aku tidak sudi banyak bicara. Kalau kalian hendak mengeroyokku, inilah aku Liu Lu Sian! Kalau aku tidak berhasil membikin mampus kalian berenam tanpa turun dari meja ini, jangan sebut lagi aku puteri Ketua Beng-kauw!”
Ucapan ini benar-benar membayangkan keangkuhan dan kesombongan. Akan tetapi diam-diam Kwee Seng maklum bahwa ucapan itu sama sekali bukan kesombongan kosong. Ia tahu, kalau enam orang itu nekat mengeroyok, takkan sukar bagi Lu Sian untuk membuktikan ancamannya. Ia dapat menduga mereka bahwa mereka itu adalah jago-jago dari kota Kwi-san. Bahkan agaknya orang she Lauw ini dalam usahanya menuntut balas atas kematian puteranya telah minta bantuan seorang hwesio dan dua orang tosu, agaknya tokoh-tokoh dalam kuil di kota itu.
“Bagus! Kau harus menebus nyawa anakku dan dua orang temanku!” seru si Pemegang Golok dan dengan gerakan cepat ia bersama enam orang temannya menyerbu ke arah meja di mana Lu Sian berdiri.
Gadis itu menyambut kedatangan mereka dengan senyum mengejek. Tiba-tiba sekali gadis itu menggerakkan kakinya tanpa terlihat hingga cawan arak, mangkok dan piring beterbangan ke arah enam orang dibarengi bentakan Lu Sian. “Nih, makanlah sebagai tebusan senjata rahasia kalian tadi!”
Hebat sekali serangan Lu Sian ini. Gadis itu dengan sinkang-nya yang sudah amat kuat hanya menggunakan ujung kakinya menyentil barang-barang di atas meja, dan beterbanganlah mangkok dan cawan berikut isinya, yaitu masakan dan arak, ke arah enam orang lawannya. Demikian cepatnya sambaran benda-benda ini sehinngga enam orang itu sama sekali tidak berhasil menghindarkan diri dan setidaknya pakaian mereka menjadi kotor tersiram kuah sayur dan arak, bahkan muka si Hwesio terkena hantaman mangkok penuh masakan daging! Tentu saja hwesio itu gelagapan karena sebagai seorang yang selamanya pantang makanan berjiwa, kali ini masakan daging menghantam muka dan banyak kuah memasuki mulutnya, membuat ia hampir muntah!
Sebetulnya melihat gerakan ini saja, kalau enam orang itu tahu diri, mereka sudah akan maklum bahwa gadis itu bukan lawan mereka. Akan tetapi agaknya kemarahan meluap-luap membuat mereka mata gelap dan segera menggerakkan senjata masing-masing, mengepung meja itu dan menyerang dari semua jurusan.
Lu Sian tertawa mengejek, tidak bergerak dari atas meja, melainkan pedangnya kadang-kadang menyambar untuk menangkis senjata pengeroyok yang terlalu dekat. Kadang-kadang ia hanya mengangkat sebelah kaki menghindarkan golok yang menyambar atau merendahkan tubuh untuk membiarkan tongkat melayang melalui atas kepalanya. Gadis ini hanya menanti kesempatan baik untuk membuktikan ancamannya, yaitu membunuh mereka tanpa turun dari meja.
Mendadak saja, enam orang itu berturut-turut mengeluarkan teriakan kaget dan senjata mereka semua runtuh ke atas lantai. Tanpa mereka ketahui sebabnya, tahu-tahu tangan mereka yang memegang senjata menjadi kejang yang menyebabkan mereka terpaksa melepaskan senjata masing-masing. Tercium oleh mereka bau arak dan tepat pada jalan darah di siku lengan mereka basah. Dengan kaget dan heran mereka saling pandang dan terdengarlah suara Kwee Seng yang masih saja duduk minum arak.
“Menyerang orang secara menggelap dengan senjata rahasia untuk membunuh sudah termasuk perbuatan pengecut, sekarang mengeroyok seorang gadis mengandalkan tenaga enam orang laki-laki, sungguh amat memalukan. Apakah kalian masih belum mau insyaf dan tidak tahu diri, menantang maut yang sudah membayang di depan mata? Lekas pungut senjata dan pergi, barulah perbuatan orang yang berakal sehat!”
Tahulah enam orang itu sekarang bahwa yang membuat mereka semua terpaksa melepaskan senjata adalah pemuda pelajar yang duduk minum arak dengan tenangnya, sahabat puteri Ketua Beng-kauw itu. Tentu saja hal ini membuat mereka menjadi gentar. Nona itu sendiri sudah cukup berat untuk dikalahkan, apalagi dengan adanya seorang yang demikian saktinya, yang tanpa bergerak dari tempat duduknya, tanpa menghentikan keasyikannya minum arak, sudah mampu mengalahkan mereka dan melucuti senjata mereka!
Orang she Lauw tadi memungut goloknya, diturut oleh teman-temannya, lalu ia menjura ke arah Kwee Seng. “Siauw-enghiong (Pendekar Muda), kepandaianmu membuka mata kami yang bodoh, membuat kami terpaksa menelan hinaan dan menderita kekalahan. Bolehkah kami mengetahui siapa nama dan julukan Siauw-enghiong yang gagah?”
Kwee Seng menarik napas panjang, kemudian ia berdiri dengan cawan penuh arak di tangan kanan, diangkatnya tinggi lalu ia bernyanyi dengan lagak seorang mabok.
Angin kipas mengusir lalat dan menyegarkan diri
Suara suling mengusir harimau dan menentramkan hati
Nama, harta, kepandaian tiada artinya
Yang penting adalah pelaksaan kebenaran dalam hidupnya!

Enam orang itu hanya saling pandang, tidak dapat mengenal pemuda ini karena mereka pun tidak pernah mendengar nyanyian itu.
Lu Sian tertawa dan dari atas meja itu ia berkata nyaring. "Sebangsa cacing macam kalian ini mana mengenalnya? Dia bersama Kwee Seng, para lo-cianpwe mengenalnya sebagai Kim-mo-eng. Hanya dia seoranglah yang mampu menandingi aku. Biar pun begitu, masih belum tentu ia bisa menjadi jodohku! Apalagi orang-orang macam anakmu hendak memperisteri aku. Cih! Bukankah itu lucu sekali?”
Enam orang itu kelihatan kaget. Tanpa bicara apa-apa lagi mereka lalu meninggalkan tempat itu. Pelayan-pelayan mulai muncul kembali, memandang takut-takut ke arah Kwee Seng dan Lu Sian. Setelah Kwee Seng menyatakan kesanggupannya membayar harga barang-barang yang rusak, mereka kelihatan senang dan melayani sepasang orang ini dengan kehormatan berlebihan.
Lu Sian juga kelihatan senang dan gembira sekali. Mulutnya selalu tersenyum, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan tiada hentinya ia menatap wajah Kwee Seng dengan sikap menggoda. Sebaliknya Kwee Seng sama sekali tidak kelihatan gembira. Pemuda ini sudah tidak makan lagi, akan tetapi melihat cara ia berkali-kali memenuhi cawan arak dan meminumnya habis sekali tenggak, terang bahwa perasaan hatinya amat terganggu.
Memang demikianlah. Hati pemuda ini tidak karuan rasanya, hampir ia meloncat bangun untuk lari meninggalkan gadis ini. Ia merasa betapa gadis ini sengaja menggodanya, sengaja hendak mempermainkannya. Ucapan Lu Sian tadi benar-benar menikam jantungnya. Gadis itu di depan orang banyak mengakui bahwa hanya Kwee Seng yang mampu menandinginya, namun betapa pun juga, pemuda itu belum tentu bisa menjadi jodohnya! Ia merasa makin tak senang, muak dan benci menyaksikan sikap Lu Sian, apalagi mengingat betapa tadi gadis itu sudah pasti akan membunuh enam orang lawannya kalau saja ia tidak cepat-cepat turun tangan. Ia makin benci, akan tetapi juga makin cinta! Makin lama ia berdekatan dengan gadis ini, makin besar pula daya tarik gadis itu menguasai hatinya.
“Kwee-koko, dalam nyanyianmu tadi kau menyebut-nyebut tentang kipas dan suling. Tentang kipasmu, aku sudah melihatnya dan sudah tahu kelihaiannya. Akan tetapi tentang suling, adakah kau mempunyai suling? Dan pandaikah kau meniup suling dan mempergunakannya sebagai senjata?”
“Aku seorang bekas pelajar gagal, biasanya hanya berkipas-kipas mendinginkan kepala panas lalu menghibur diri dengan suara suling. Memang tadinya aku memiliki sebuah suling, akan tetapi benda itu hancur ketika aku bertemu dengan Ban-pi Locia (Dewa Locia Berlengan Selaksa) di telaga See-ouw (Telaga Barat).”
Terbelalak sepasang mata yang indah itu, penuh perhatian dan ingin tahu. “Apa? Kau betul-betul bertemu dengan Ok-hengcia (pendeta jahat) itu? Aku pernah mendengar dari ayah bahwa pendeta perkasa itu amat cabul dan keji, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Ayah sendiri pernah bentrok dengan Ban-pi Lo-cia, bertempur sampai dua hari dua malam tidak ada yang kalah atau menang. Hanya karena khawatir kalau pertandingan dilanjutkan keduanya akan tewas, maka mereka menghentikan pertandingan. Dan kau... kau bertemu dengannya? Bertanding? Dan sulingmu hancur olehnya? Ah, Kwee-koko, apakah kau kalah olehnya?”
Kwee Seng mengipas-ngipas lehernya yang terasa panas oleh pengaruh arak. “Dia memang hebat, akan tetapi juga jahat bukan main. Secara kebetulan saja aku bertemu dengannya ketika aku berpesiar di telaga See-ouw.” Pemuda itu lalu menceritakan pengalamannya seperti berikut.
********************
Beberapa bulan yang lalu, dalam perantauannya yang tidak mempunyai tujuan tertentu, tibalah Kwee Seng di telaga See-ouw. Telaga Barat ini amatlah terkenal semenjak dahulu, karena luasnya, karena indahnya, dan karena segar nyaman hawanya.
Air berkeriput biru sehalus beludru
tilam pembaringan berkasur bulu
Bunga teratai aneka warna
penghias indah dicumbu rayu
Ikan-ikan emas berwarna cerah
Berperahu di telaga barat
mandi sinar bulan minum arak
sesudah itu mati pun tak penasaran!

Nyanyian ini banyak dinyanyikan tukang-tukang perahu yang menyewakan perahu mereka untuk para pelancong. Pelancong yang tergolong miskin cukup merasa puas dengan berjalan-jalan di sekitar telaga, yang tergolong cukup beruang merasa puas dengan menyewa perahu kecil menghadapi seguci arak. Akan tetapi bagi para pelancong kaya raya, acaranya bermacam-macam. Yang sudah pasti mereka itu akan menyewa perahu besar yang mempunyai bilik yang terlindung dan tertutup, memesan hidangan arak dan masakan lezat mewah, kemudian memanggil pula pelacur-pelacur untuk melayani mereka makan minum sambil mendengarkan beberapa orang perempuan penyanyi menabuh yang-khim dan bernyanyi. Pesta macam ini hampir diadakan setiap malam di waktu musim tiada hujan, sehingga keadaan Telaga Barat amat meriah.
Ketika Kwee Seng tanpa disengaja tiba di telaga See-ouw, keadaan di situ sedang meriah sekali karena musim panas telah tiba. Di waktu musim panas mengamuk, banyak orang-orang kaya dan pembesar-pembesar merasa tidak betah tinggal di kota dan banyak yang mengungsi untuk beberapa hari atau pekan lamanya ke Telaga See-ouw, di mana mereka dapat menghibur tubuh dan pikiran, dan baru ingat pulang kalau uang sudah habis dihamburkan!
Begitu melihat seorang pemuda tampan dengan pakaian pelajar yang cukup rapi datang seorang diri, segera para tukang perahu merubungnya, menawarkan perahu mereka.
"Mari, Kongcu (Tuan Muda), perahu saya bersih dan kosong!”
“Saya pesankan arak Hang-ciu yang paling baik!”
“Kongcu perlu hidangan yang paling lezat? Restoran Can-lok....“
“Atau rombongan penyanyi? Anak buah Bibi Cong... cantik-cantik, muda dan bersuara emas....”
“Atau Kongcu suka... ehmm... ditemani bidadari jelita? Tinggal pilih menurut selera Kongcu...”
Demikianlah, ribut mereka menawarkan perahu sampai pelacur. Kwee Seng tersenyum dan menggerak-gerakkan tangan menyuruh mereka agar jangan bicara sambung-menyambung membikin bising.
“Dengar baik-baik, jangan ribut sendiri!” katanya tertawa. “Aku hanya membutuhkan sebuah perahu kecil yang dapat dipakai duduk berdua, tanpa pendayung. Perahu kecil yang bersih dan tidak bocor, terbuka tanpa bilik. Kemudian, boleh sediakan arak dan dua cawannya, beberapa macam masakan yang panas-panas dan kemudian boleh panggil seorang pelacur yang pandai bicara, pandai main yang-khim dan meniup suling, pandai bernyanyi dan pandai bermain catur.”
“Wah, mengajak pelesir seorang bidadari, mengapa pakai perahu kecil terbuka, Siangkong (Tuan Muda)? Saya mempunyai yang besar, ada biliknya yang bersih dan enak, tidak terganggu dari luar....”
Kembali Kwee Seng tersenyum dan kedua pipinya agak merah. Pemuda ini tidak pantang bersenang-senang dengan wanita, akan tetapi hanya sampai pada batas mengobrol dan bercakap-cakap gembira, bersenda-gurau dan main catur atau mendengarkan si cantik bernyanyi atau menabuh yang-khim dan meniup suling saja.
“Aku ingin menyewa perahu kecil terbuka tanpa pendayung, ada tidak?”
“Ada! Ada! Jangan khawatir, Kongcu. Perahu saya kecil bersih, dicat biru dan tanggung tidak bocor. Lima belas cin saja untuk semalam suntuk!”
“Dan perempuan yang kukehendaki itu ada tidak? Pandai bicara, pandai main musik, bernyanyi dan pandai main catur, tidak menolak minum arak!”
“Wah, wah... yang sepandai itu agaknya, hanyalah Ang-siauw-hwa (Bunga Kecil Merah) seorang... seorang bidadari yang tercantik dan termahal di sini!”
“Bagus! Kau panggil Ang-siauw-hwa untukku,” kata Kwee Seng, senang hatinya.
“Ah, tidak mungkin, Kongcu. Biarlah saya memanggil si Kim-bwe (Bunga Bwee Emas) yang juga pandai segala biar pun tidak secantik Ang-siauw-hwa....”
“Atau si Kim-lian (Teratai Emas) yang pandai meniup suling dan cantik jelita, akan tetapi tidak pandai main catur dan tidak suka minum arak....”
Hati Kwee Seng sudah kecewa. “Tidak, aku menghendaki Ang-siauw-hwa itu. Mengapa tidak mungkin memanggil dia? Berapa harganya? Aku sanggup bayar!”
Orang-orang itu menggeleng kepala. Seorang yang setengah tua berkata, suaranya perlahan seperti takut terdengar orang lain, “Kongcu, kau tidak tahu. Ang-siauw-hwa amat terkenal di sini. Setiap ada pembesar pesiar, tentu dia dipesan. Aneh memang, biar pun Ang-siauw-hwa merupakan kembangnya semua wanita disini, namun dia bukanlah pelacur sembarangan. Dia hanya mau melayani bicara dan bernyanyi, main catur atau minum arak, bahkan mengarang syair, akan tetapi belum pernah terdengar Ang-siauw-hwa mau diajak yang bukan-bukan....”
“Bagus, dialah pilihanku! Panggil dia!” Kwee Seng tertarik sekali.
Akan tetapi orang-orang itu menggeleng kepala. “Sekarang dia berada di perahu Lim-wangwe (Hartawan Lim) yang perahunya kelihatan di sana itu.” Ia menuding ke arah tengah telaga di mana tampak sebuah perahu. “Lim-wangwe sendiri yang mengadakan pesta bersama lima orang pendekar yang menjadi tamunya. Sejak pagi tadi Ang-siauw-hwa berada di sana, mungkin sampai semalam suntuk mereka berpesta. Nah, dengar, itu suara suling tiupan Ang-siauw-hwa.”
Kebetulan angin bersilir dari arah telaga dan tertangkaplah oleh telinga Kwee Seng tiupan suling yang merdu dan halus.
“Lebih baik jangan panggil dia, Kongcu. Yang lain masih banyak, boleh Kongcu pilih sendiri. Ang-siauw-hwa hanya mendatangkan ribut belaka.”
“Eh, kenapa?” Kwee Seng terheran.
Beberapa orang memberi isyarat, akan tetapi pembicara itu agaknya sudah terlanjur dan berkata, “Pagi tadi timbul keributan karena dia. Lo Houw (Macan Tua), seorang tukang pukul yang terkenal di daerah ini memaksa hendak mengajak Ang-siauw-hwa biar pun perempuan itu sudah lebih dulu dipanggil Lim-wangwe. Lo Houw tidak mau peduli dan hendak merampas Ang-siauw-hwa, bahkan mengeluarkan kata-kata memaki Lim-wangwe. Kemudian ia mendatangi Lim-wangwe dengan perahunya dan kami semua sudah merasa kuatir. Kami mengenal kekejaman dan kelihaian Lo Houw, dan kami sayang kepada Lim-wangwe yang berbudi halus dan suka menolong kami yang miskin. Akan tetapi, apa yang terjadi? Lo Houw menyerang ke sana dengan perahu, akan tetapi ia kembali ke pantai dengan basah kuyup!”
Orang itu tertawa dan yang lain juga tertawa, biar pun ketawanya sambil menoleh ke kanan kiri, kelihatan takut kalau-kalau mereka terlihat orang.
“Eh, apa yang tejadi?” Kwee Seng makin tertarik.
“Kabarnya menurut tukang perahu yang kebetulan berada di dekat sana, Lo Houw meloncat ke perahu besar dan memaki-maki. Akan tetapi tiba-tiba muncul seorang di antara tamu Lim-wangwe dan dalam beberapa gebrakan saja Lo Houw yang terkenal itu terlempar ke dalam air!”
“Ha-ha, dia harus berenang ke tepi!” kata seorang lain.
Kwee Seng tersenyum. Hal semacam itu tidaklah aneh baginya yang sudah biasa bertemu dengan peristiwa pertempuran yang lebih hebat lagi. “Biarlah, kalau ia sedang melayani hartawan itu, aku pun tidak jadi mengajaknya menemaniku. Beri saja sebuah perahu kecil yang baik, sediakan satu guci arak dan cawannya bersama sedikit daging panggang, tiga macam sayur dan sedikit nasi. Nih uangnya, lebihnya boleh kau miliki.” Kwee Seng mengeluarkan dua potong uang perak yang diterima dengan tubuh membongkok-bongkok oleh tukang perahu setengah tua itu yang merasa kejatuhan rejeki.
“He, tukang perahu jembel! Lekas sediakan perahu terbaik, lima guci arak wangi, lima kati daging, lima macam sayur, mi lima kati dan nona-nona manis lima orang yang cantik-cantik dan muda-muda! Eh, kembang pelacur yang kalian obrolkan tadi, siapa namanya?”
Kwee Seng membalikkan tubuhnya ketika mendengar suara yang besar dan nyaring ini. Ketika melihat orangnya, ia tertegun. Bukan hanya Kwee Seng yang terperanjat, juga semua tukang perahu memandang dengan mata terbelalak tanpa seorang pun yang menjawab.
Pembicara ini adalah seorang laki-laki tinggi besar, sekepala lebih tinggi dari pada orang umum yang berukuran tinggi. Melihat pakaiannya yang sederhana dan longgar, apalagi melihat kepalanya yang gundul, orang tentu mengatakan bahwa ia seorang hwesio (pendeta Buddha). Akan tetapi yang meragukan, kalau benar ia seorang pendeta, mengapa ia memesan daging, arak, bahkan pelacur? Anehnya pula, dia itu seorang diri, mengapa memesan demikian banyaknya makanan dan minuman yang serba lima takar? Mengapa juga memesan lima orang perempuan lacur? Pertanyaan-pertanyaan inilah agaknya yang membanjiri pikiran para tukang perahu sehingga sampai lama mereka terheran-heran tak mampu menjawab.
“Heh! Jembel-jembel busuk, mengapa kalian diam saja? Apakah kalian tuli dan gagu?” Laki-laki tinggi besar gundul yang usianya tentu lima puluh tahun itu membentak.
Seorang tukang perahu yang agak tabah hatinya menjura sambil tertawa-tawa. “Maaf... eh, Lo-suhu... tapi... tapi yang Lo-suhu pesan begitu banyak....”
Hwesio itu menyeringai dan melirik ke arah Kwee Seng yang berdiri dengan tenang sambil menaksir-naksir dan mengasah otak untuk mengenal siapa gerangan hwesio aneh ini.
“Heh-heh, seorang pelajar melarat saja mampu menyewa perahu dan membayar arak, apakah kau kira aku seorang perantau lain tidak mempunyai uang?”
Ia menggulung kedua lengan bajunya yang lebar sehingga tampaklah lengannya kekar kuat penuh bulu. Ia merogoh ke balik jubahnya dan keluarlah sebuah pundi-pundi berisi penuh uang. Dibukanya tali pundi-pundi itu dan... hwesio itu memperlihatkan potongan-potongan uang emas dan perak! Para tukang perahu memandang melotot dan menelan ludah. Belum pernah selama hidup mereka tampak sekian banyaknya uang.
“Ah... maaf, maaf, Lo-suhu. Bukan sekali-kali saya meragukan Lo-suhu takkan dapat membayar. Hanya, Lo-suhu seorang diri, pesanannya begitu banyak, apalagi pakai lima orang bidadari....”
“Heh... heh, goblok! Apa salahnya? Malah kembangnya pelacur itu harus pula melayani aku, berapa pun biayanya akan kubayar.”
“Tapi, Lo-suhu, Ang-siauw-hwa telah disewa Lim-wangwe di perahu mewah yang berada di sana...” tukang perahu itu menunjuk.
Hwesio tinggi besar itu memandang dan mulutnya yang berbibir tebal mengejek. “Biarlah nanti kujemput sendiri dia. Sekarang sediakan pesananku semua. Cepat dan nih uangnya, lebihnya boleh kalian bagi-bagi!” Hwesio itu mengeluarkan belasan potong uang perak dan melemparnya kepada tukang perahu seperti orang melempar sampah saja.
Gegerlah para tukang perahu. Benar-benar hari itu mereka kejatuhan rejeki besar. Seperti berlumba mereka lari kesana-kemari untuk memenuhi pesanan hwesio aneh.
Akan tetapi Kwee Seng sudah merasa muak perutnya. Begitu pesanannya tiba, ia segera naik ke perahu kecil yang sudah terisi makanan dan minuman pesanannya, kemudian ia mendayungnya ke tengah telaga tanpa mempedulikan lagi hwesio tadi. “Hemmm... Menjemukan sekali,” pikirnya. “Kalau para pembesar negeri suka mencuri uang negara dan makan sogokan seperti anjing-anjing kelaparan, kalau para pendetanya melanggar pantangan, minum arak, makan daging dan main perempuan, akan bagaimanakah jadinya bangsa dan negara?” berpikir sampai disini hati Kwee Seng merasa kecewa sekali.
Akan tetapi pemandangan telaga itu benar-benar indah sehingga kekecewaannya terobati. Hari menjelang senja dan matahari di ujung barat tampak tenggelam ke dalam air telaga, kemerah-merahan dan indah sekali. Kwee Seng mulai makan daging dan sayur, dan minum araknya sedikit demi sedikit. Ia memang tidak begitu suka minum arak.
Makin gelap cuaca, tanda malam telah tiba. Telaga See-ouw terlihat makin indah. Bulan muncul dengan cahayanya yang gilang gemilang, langit bersih tak tampak sedikit pun awan. Permukaan air telaga bermandikan cahaya bulan, berkilauan seakan-akan terbakar menjadi emas. Angin bersilir membuat air emas itu berombak sedikit dan bunga-bunga teratai yang berkelompok di sana-sini mulailah menari-nari menggoyang-goyangkan pinggang ke kanan kiri. Perahu-perahu yang berkeliaran di permukaan telaga mulai memasang lampu yang dihias dengan beraneka warna, ada yang merah, hijau, kuning, menambah indahnya pemandangan di telaga itu.
Tiba-tiba telinga Kwee Seng tertarik oleh lengking suara suling yang sayup sampai, suaranya mengalun tinggi rendah sesuai dengan gerak air. Kwee Seng tertarik dan mendayung perahunya ke arah suara. Ternyata suara suling itu keluar dari sebuah perahu besar dan mewah, dan kini Kwee Seng dapat mendengar suara suling dengan jelas sekali.
Akan tetapi ia segera menjadi kecewa. Suara itu tadi indah kedengarannya karena dipermainkan oleh angin. Setelah mendengar dari dekat, ia mendapat kenyataan bahwa biar pun peniupnya menguasai lagu dan irama, namun tiupannya kurang tenaga dan amat lemah, tidak membawakan perasaan hati peniupnya. Akan tetapi di samping kekecewaannya, timbul dugaan yang mendebarkan jantungnya.
Perahu besar dan mewah inilah agaknya perahu Lim-wangwe yang sedang menyambut lima orang tamunya dan mungkin sekali suling itu ditiup oleh Ang-siauw-hwa seperti yang diceritakan oleh para tukang perahu tadi! Hemm, kalau benar wanita itu yang meniupnya, lumayan juga! Setidaknya, kalau seorang pelacur saja dapat meniup suling seperti itu, benar-benar dia seorang pelacur yang luar biasa. Ketika suling berhenti ditiup, terdengar tepuk tangan dan tertawa-tawa memuji dari dalam perahu, tanda bahwa orang-orang yang berada di dalam perahu itu gembira dan kagum.
Tak lama kemudian, kembali suling itu berbunyi, kini mainkan lagu yang menjadi kegemaran Kwee Seng, yaitu ‘Bulan Mengembara Cari Kekasih’. Kalau tadi Kwee Seng hanya kecewa mendengar tiupan suling yang dianggapnya kurang baik, kini telinganya terasa sakit mendengar betapa lagu kesayangannya ‘dirusak’ orang. Karena tidak dapat menahan lagi, pemuda yang sudah terpengaruh oleh hawa arak itu mengeluarkan sebatang suling dari dalam bajunya, dan tak lama kemudian melengkinglah suara sulingnya melayang-layang di permukaan telaga, mendesak suara suling pertama yang keluar dari perahu besar. Karena suara suling Kwee Seng luar biasa sekali kuatnya, maka suara pertama tenggelam dan tak terdengar lagi.
“Sahabat, alangkah indah bunyi sulingmu!”
Kwee Seng yang baru saja menghabiskan bait terakhir cepat memandang. Seorang wanita dengan pakaian serba indah berwarna merah muda berdiri di pinggiran perahu dan kelihatan seperti seorang dewi telaga. “Ah, kalau saja aku bersayap, aku akan terbang membebaskan diri dari sini untuk belajar meniup suling darimu sahabat....”
Kwee Seng tercengang. Inikah pelacur yang berjuluk Ang-siauw-hwa? Pantas saja terkenal menjadi kembangnya sekalian pelacur di daerah Telaga Barat ini, pikirnya sambil memandang kagum. Tentang kecantikannya, tak dapat ia menilai teliti karena keadaan yang remang-remang itu tidak cukup menerangi wajah si gadis. Akan tetapi, selain pandai meniup suling juga kata-katanya begitu halus dan teratur, dari ucapannya itu saja mudah diduga bahwa nona ini tentu pandai bersyair.
Dengan hati tertarik Kwee Seng mendayung maju perahu kecilnya untuk mendekati perahu besar dan agar ia dapat memandang lebih jelas. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara memanggil dari bilik perahu besar. Nona berpakaian serba merah muda itu membalikkan tubuh dan lenyap ke dalam perahu besar.
Kwee Seng sadar dari pada kebodohannya. Perempuan itu sudah disewa hartawan pemilk perahu besar, mau apa ia mendekat? Ah, mengapa ia begitu tertarik kepada seorang wanita pelacur? Kwee Seng sadar akan kebodohannya sendiri dan menggerakkan dayung untuk menjauhi perahu besar.
Akan tetapi pada saat itu ia melihat sebuah perahu meluncur cepat ke arah perahu besar dan di dalam perahu ini terdapat seorang hwesio tinggi besar bersama lima orang wanita pelacur yang sedang minum-minum dan tertawa cekikikan seperti segerombolan kuntilanak. Kwee Seng cepat mendayung perahunya menyelinap dan bersembunyi di belakang perahu besar untuk mengintai karena ia merasa curiga menyaksikan gerak-gerik hwesio tinggi besar yang aneh itu.
Dari balik perahu besar itu Kwee Seng melihat jelas betapa hwesio tinggi besar itu sekali menggerakkan kaki telah melayang naik ke atas papan dek tanpa menimbulkan guncangan sedikit pun juga. Kwee Seng kaget dan kagum. Hwesio ini benar-benar memiliki ilmu yang tinggi. Ketika ia memandang ke perahu hwesio tadi, ia merasa muak. Lima orang wanita pelacur yang memakai bedak tebal itu dalam keadaan setengah telanjang dan awut-awutan rambutnya, tertawa cekikikan dan bersenda gurau, agaknya sudah mabok semua! Perahunya yang tidak di kuasai oleh hwesio telah oleng ke kanan kiri tanpa diketahui lima orang pelacur mabok. Karena merasa muak, Kwee Seng tidak mempedulikan mereka dan ia kembali memandang ke arah hwesio yang berdiri kokoh seperti batu karang di atas papan dek perahu besar.
“Heh, hartawan she Lim!” Hwesio itu berseru dan suaranya yang parau keras itu menembus desir angin. “Lekas serahkan Ang-siauw-hwa kepadaku, kutukar dengan lima orang yang berada di perahuku!”
Tiba-tiba dari pintu bilik perahu besar itu meloncat seorang laki-laki tinggi kurus yang mengenakan pakaian ringkas dan punggungnya terhias sebatang golok. Gerakan laki-laki ini ringan dan cepat, tahu-tahu ia sudah berdiri di depan hwesio itu dengan mata berkilat. “Eh, eh, hwesio jahat dari mana berani mengganggu kesenangan kami? Apakah kau sahabat dari si jahanam Lo Houw yang kulempar ke dalam air?”
Hwesio itu memandang sejenak lalu tertawa. “Heh-heh-heh, aku tidak tahu itu Lo Houw, dan tidak kenal pula tikus kecil macammu. Aku hanya datang untuk mengambil Ang-siauw-hwa, kutukar dengan lima pelacur itu. Wanita macam Ang-siauw-hwa yang disebut-sebut kembang pelacur di telaga ini patut mengawaniku bersenang-senang. Lekas suruh dia keluar dan berikan kepadaku sebelum perahu ini kubikin tenggelam berikut semua penumpangnya!”
“Hwesio sesat! Pergilah!” si Jangkung Kurus menerjang maju dengan gerakan kilat. Cepat sekali gerakannya dan Kwee Seng yang menonton tahu bahwa si jangkung itu memiliki ilmu silat tangan kosong yang cukup hebat.
“Hwesio ini mencari penyakit,” pikirnya. “Penghuni perahu besar itu ternyata bukan orang-orang lemah.”
Pukulan si jangkung itu selain cepat, juga jelas mengandung tenaga yang besar, tampak gerakannya begitu mantap dan sekali pukul, kedua tangan si jangkung itu secara berbareng menyerang dada dan lambung. Anehnya, hwesio tinggi besar itu masih tertawa, sama sekali tidak mengelak.
“Celaka,” pikir Kwee Seng. “Betapa pun lihainya, mana hwesio itu akan dapat menahan pukulan yang mengandung tenaga dalam itu?”
“Buk! “Buk!” dua buah pukulan itu tepat mengenai dada dan lambung.
“Ha-ha-ha-ha!” si hwesio malah tertawa bergelak, sedikit pun tidak terpengaruh dua pukulan itu.
Sejenak si jangkung terbelalak kaget, kemudian tampak sinar bergulung ketika ia mencabut goloknya dan membacok dengan cepat ke arah leher si Hwesio.
“Celaka…!” kata Kwee Seng, akan tetapi kali ini ia menyebut celaka bukan untuk si hwesio karena segera ia maklum bahwa hwesio itu benar-benar memiliki sinkang (tenaga sakti) yang amat tinggi dan pencabutan golok oleh si jangkung itu hanya akan berarti celaka bagi si jangkung.
Memang tidak berlebihan penafsiran Kwee Seng ini. Hanya sedikit menggerakkan tubuhnya, si hwesio sudah mampu mengelak. Sebelum si jangkung sempat menyerang lagi, tubuhnya sudah tertangkap dan sekali melontarkan tangkapannya sambil tertawa, hwesio tinggi besar itu sudah melempar lawannya jauh ke luar perahu!
“Byurrrr!” air muncrat tinggi dan si jangkung megap-megap dalam usahanya menyelamatkan diri.
“Hwesio keparat, berani kau memukul Sute-ku (adik seperguruanku)?!”
Kini muncul seorang pendek gemuk dengan sebatang toya (tongkat panjang) melintang di tangan. Tanpa menanti jawaban, si gemuk ini sudah menggerakkan toyanya menghantam leher hwesio itu. Sebagai kakak seperguruan si jangkung tadi, dapat di bayangkan betapa hebat serangan si gemuk pendek ini. Batu karang yang kuat agaknya akan pecah terkena pukulan toya baja itu. Namun, si hwesio sama sekali tidak mengelak, hanya miringkan tubuh dan menerima hantaman toya itu dengan pangkal lengannya.
“Bukkk!”
Si hwesio masih tertawa-tawa dan kedua lengannya bergerak. Tahu-tahu si gemuk memekik keras dan tubuhnya terlempar ke luar perahu. Kembali terdengar air menjebur dan tubuh gemuk itu tenggelam timbul, agaknya lukanya lebih parah dari pada sute-nya.
“Hebat…!” Diam-diam Kwee Seng terkejut dan kagum.
Perhatiannya kini tertuju pada hwesio itu sambil mengingat siapa gerangan hwesio yang demikian lihainya itu. Terang bahwa kepandaian dua orang yang dikalahkannya secara mudah tadi cukup tinggi dan hanya seorang sakti saja yang dapat mengalahkan mereka dengan sekali gebrakan. Akan tetapi kalau memang hwesio ini seorang tokoh sakti, mengapa sikap dan kelakuannya begitu gila-gilaan? Sama sekali tidak patut dilakukan oleh seorang tokoh sakti yang terkenal. Merampas seorang pelacur! Benar-benar mengherankan sekali!
Sementara itu, dari dalam bilik perahu sudah berloncatan tiga orang laki-laki. Usia mereka rata-rata empat puluh tahun lebih, dan ketiganya memegang pedang. Gerakan-gerakan mereka pun cepat dan ringan, malah agaknya lebih cekatan dari pada dua orang yang sudah kalah oleh si hwesio. Begitu keluar, mereka serentak mengurung dan menyerang hwesio itu dengan pedang mereka.
Kwee Seng melihat hwesio itu tertawa, akan tetapi segera perhatiannya tertarik oleh kejadian lain. Ia melihat seorang wanita berpakaian merah muda berlari-lari ke pinggir perahu besar itu lalu... wanita itu meloncat ke air!
“Byurrr!” air muncrat tinggi dan tubuh wanita itu lenyap!
“Celaka...!” Untuk ketiga kalinya selama beberapa menit itu Kwee Seng menyebut celaka, akan tetapi ia cepat mendayung perahunya ke arah terjunnya si pakaian merah tadi. Selagi ia hendak menyelam, tiba-tiba wanita itu muncul dan legalah hati Kwee Seng melihat bahwa wanita itu ternyata pandai berenang! Ah, benar-benar pelacur yang aneh sampai berenang pun pandai! Pelacur itu memang bukan lain adalah Ang-siauw-hwa yang kini berenang cepat ke arah perahu Kwee Seng.
“Kongcu yang pandai bersuling, kau tolonglah aku yang bernasib malang...,” katanya sambil berusaha mengangkat tubuh memegang pinggir perahu. Akan tetapi beberapa kali usahanya tak berhasil karena pinggiran perahu itu terlampau tinggi dari permukaan air.
Kwee Seng lalu mengulur tangannya dan menarik tubuh wanita itu ke dalam perahunya. Ia memandang kagum. Memang patut dikagumi wanita ini. Pakaiannya basah kuyup, dan karena pakaian ini terbuat dari pada sutera tipis dan halus, maka kini tercetaklah tubuhnya membayangkan bentuk tubuh yang padat ramping, dengan lekuk lengkung sempurna, tubuh seorang wanita muda yang sudah masak.
“Kenapa kau meloncat ke air?” Kwee Seng bertanya, menekan gelora jantungnya yang membuat darah mudanya bergerak lebih cepat dari pada biasanya.
“Ah, hwesio itu demikian hebat. Kalau aku dirampasnya bagaimana nasibku? Lim-wangwe yang sudah tua dan pendekar-pendekar itu semua bersikap sopan kepadaku, akan tetapi belum tentu hwesio itu begitu baik sikapnya. Ah, Kongcu, kau tolonglah aku... biarlah aku akan mengerjakan apa saja yang kau kehendaki untuk membalas budimu ini....” Sambil berkata demikian, Ang-siauw-hwa mendekat dan bau harum menerjang hidung Kwee Seng yang tertegun melihat wanita itu tersenyum manis dan mengerling penuh arti.
“Aku... aku bersedia menolong, tapi... tapi aku tidak menghendaki apa-apa darimu...,” jawabnya gagap sambil menggerakkan dayung.
Wanita di belakangnya menarik napas panjang. “Ahhh... sudah kuduga, kau seorang pelajar yang sopan dan penuh susila, mana mungkin mau berkenalan dengan seorang tuna susila macam Ang-siauw-hwa?” Suaranya mulai terisak. “Beginilah nasibku, Kongcu. Hanya orang-orang rendah budi saja yang suka berkenalan denganku, dengan maksud yang kotor, akan tetapi orang baik-baik selalu menjauhkan diri dariku.”
Kwee Seng menoleh, agak terharu juga. Memang demikianlah nasib wanita yang terperosok ke lumpur kehinaan. “Bukan begitu, Nona. Tadi pun aku hendak memesanmu menemaniku minum arak, menikmati keindahan telaga sambil bersuling dan bernyanyi atau mengarang syair. Akan tetapi karena kau telah disewa hartawan itu, aku berperahu seorang diri. Hanya perlu kau ketahui bahwa aku sekali-kali bukan menolongmu karena hendak minta upah. Nih, kau pakai jubah luarku untuk menahan dingin dan angin. Kita harus pergi cepat-cepat dari sini.” Setelah melemparkan jubah luarnya untuk dipakai berselimut Ang-siauw-hwa, Kwee Seng cepat mendayung perahunya.
Akan tetapi di atas perahu besar terdengar suara berkerontangan, disusul pekik-pekik kesakitan dan berturut turut tubuh tiga orang jago silat itu pun terlempar ke dalam telaga. Bahkan orang ke tiga terlempar ke arah perahu Kwee Seng disusul bentakan hwesio itu yang parau dan nyaring.
“Eh, Ang-siauw-hwa kembang pelacur! Kau hendak lari ke mana? Tak boleh lari sebelum melayaniku sampai puas!”
Melihat menyambarnya tubuh orang ke arah perahunya, Kwee Seng menggerakkan dayung sehingga perahunya menyeleweng mengelak dan tubuh orang itu terbanting ke dalam air, hanya tiga kaki dari kepala perahunya. Air muncrat membasahi bajunya.
“Ah, celaka kita, Kongcu...!” Ang-siauw-hwa berseru ketakutan, tubuhnya yang sudah dingin itu kini ditambah rasa takut mulai menggigil.
“Tak usah takut, kita akan minggir lebih dulu dari pada dia,” jawab Kwee Seng sambil mengerahkan tenaga mendayung sehingga perahunya meluncur seperti anak panah terlepas dari busurnya.
Ang-siauw-hwa menengok dan melihat betapa hwesio yang menakutkan itu sudah meloncat ke dalam perahunya sendiri. Sekali ia menghentakkan perahu, lima orang pelacur yang mabok-mabokan di dalam perahu itu terlempar ke dalam air pula! “Menjemukan! Tinggallah kalian di air!” kata hwesio itu sambil tertawa bergelak dan mulailah ia mendayung perahunya mengejar perahu Kwee Seng.
Sementara itu, para penghuni perahu sibuk menolong lima orang jago silat dan juga lima orang pelacur yang menjerit-jerit dan gelagapan seperti lima ekor anak ayam terlempar ke air.
“Kongcu, dia... dia mengejar....” Ang-siauw-hwa memeluk pinggang Kwee Seng dari belakang.
Bau harum dan kelunakan tubuh yang merapat di punggungnya membuat Kwee Seng meramkan matanya dan menahan napas. Diam-diam hatinya mengeluh. Usianya sudah dua puluh dua dan belum pernah ia berdekatan begini dengan seorang wanita. Getaran yang menggelora di jantungnya melemahkan tenaga sakti sehingga kurang cepat ia mendayung perahu.
“He, orang muda tolol! Apakah kau bosan hidup? Berhenti dan berikan gadis itu kepadaku!” Suara hwesio itu melengking di telinganya.
Akan tetapi Kwee Seng tidak peduli dan cepat ia mengerahkan tenaga mendayung perahunya.
“Kau ingin mampus!” Suara ini disusul oleh desir angin ke arah kepala Kwee Seng.
Maklum bahwa ada benda menyambar, Kwee Seng mengibaskan tangannya dan dari ujung lengan bajunya menyambar angin yang memukul runtuh benda itu yang ternyata adalah sekepal kayu, agaknya gagang dayung yang diremas hancur oleh hwesio hebat itu!
Kwee Seng maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang amat tangguh, mungkin lawan paling tangguh yang pernah ia hadapi selama hidupnya. Dengan adanya Ang-siauw-hwa di dalam perahu, tentu saja hal ini berarti melemahkan kedudukannya sendiri apabila terjadi pertandingan melawan hwesio kosen itu, apalagi kalau diingat bahwa hwesio itu memang bermaksud merampas Ang-siauw-hwa. Selain itu juga, bertanding di atas perahu amatlah berbahaya. Kepandaiannya di atas air hanya terbatas, sekali jatuh ke dalam air, takkan ada gunanya lagi. Inilah sebabnya maka Kwee Seng segera mengerahkan tenaga sekuatnya sehingga perahunya meluncur lebih cepat lagi meninggalkan perahu hwesio yang mengejarnya.
Sesampainya di pinggir telaga, Kwee Seng cepat menarik lengan Ang-siauw-hwa dan diajaknya melompat ke darat, lalu berkata lirih, “Nona, cepatlah, kau lari dari sini!”
“Tapi... tapi kau... bagaimana, Kongcu...?”
“Jangan pikirkan aku, lekas lari!”
Kwee Seng mendorong wanita itu dalam gelap, kemudian ia meloncat lagi ke dalam perahunya dan mendayung ke bagian lain dari tepi telaga itu untuk menyesatkan perhatian si hwesio terhadap Ang-siauw-hwa. Usaha dan akalnya ini berhasil baik, karena perahu hwesio itu terus mengikutinya. Setelah mendekat, kemudian terdengar hwesio itu berseru keras.
“Bocah setan, sekali ini aku tidak akan memberi ampun kepadamu!”
Akan tetapi karena ia sudah terbebas dari pada keselamatan Ang-siauw-hwa kini Kwee Seng tidak melarikan diri lagi. Ia berdiri di kepala perahunya, berkipas-kipas diri sambil menanti dekatnya perahu si hwesio. Setelah dekat ia berkata, “Lo-suhu, seorang beribadat seharusnya mengekang nafsu memupuk kebajikan agar menjadi contoh bagi orang banyak. Mengapa Lo-suhu malah mengejar-ngejar seorang pelacur, hendak merampasnya dengan paksa dan memukul orang mengandalkan kepandaian?” Suara Kwee Seng sopan dan halus akan tetapi di dalamnya mengandung teguran pedas.
“Heh he he he, bocah yang masih bau susu ibu! Macam engkau ini hendak memberi kuliah kepada Ban-pi Lo-cia? Heh he he!” Ucapan diselingi tawa ini lalu diikuti bunyi keras seperti petir menyambar-nyambar di atas kepala Kwee Seng dan tampaklah sinar hitam melecut-lecut di udara.
Kiranya kakek itu sudah mengeluarkan sebatang cambuk hitam yang bermain-main di atas kepala Kwee Seng seperti seekor ular hidup yang ganas. Kwee Seng kaget setengah mati mendengar disebutnya nama Ban-pi Lo-cia (Dewa Locia Berlengan Selaksa)! Nama ini adalah nama seorang tokoh yang tak pernah atau jarang sekali muncul di dunia kang-ouw, namun yang terkenal sebagai tokoh yang amat jahat, keji dan memiliki kesaktian hebat. Kabar tentang tokoh ini yang ia dengar paling akhir adalah bahwa Ban-pi Lo-cia menghilang di utara, di daerah Khitan, karena memang ada berita bahwa dia mempunyai darah bangsa Khitan. Bagaimana tokoh ini dapat muncul secara tiba-tiba di tempat ini?
Kekagetan dan keheranan hati Kwee Seng inilah agaknya yang membuat ia lengah. Ketika ada gulungan sinar hitam menyambar, ia hanya miringkan tubuhnya dan tahu-tahu pinggangnya sudah telibat cambuk yang bergerak seperti ular. Ketika Ban-pi Lo-cia menggerakan tangan kanannya, tubuh Kwee Seng melayang seperti terbang, terbawa oleh ujung cambuk!

Kwee Seng terkejut, namun ia dapat menenangkan hati dan mencari akal. Dengan kipas di depan dada untuk melindungi diri, ia mengerahkan sinkang di tubuhnya untuk menahan tekanan ujung cambuk yang melilit pinggangnya, kemudian ia membiarkan dirinya terlempar melayang ke arah Ban-pi Lo-cia yang berdiri di atas perahu sambil menyeringai!
Orang gendut itu ternyata amat memandang rendah terhadap Kwee Seng yang dianggapnya seorang pelajar yang tahu sedikit akan ilmu silat, maka ia bermaksud mempermainkannya.
Akan tetapi alangkah kaget hati raksasa gundul ini ketika tubuh Kwee Seng sudah sudah melayang ke dekatnya. Tiba-tiba angin pukulan yang hebat bertiup dari kipas disusul totokan kilat yang menuju ke jalan darah di lehernya, dilakukan oleh gagang kipas itu. Begitu cepatnya gerakan ini sehingga hampir saja jalan darah Tiong-cu-hiat di lehernya tertotok! Ketika raksasa itu mengelak ke belakang, tahu-tahu kaki Kwee Seng sudah menotol pundaknya. Dengan menggunakan pundak raksasa ini sebagai batu loncatan, Kwee Seng mengerahkan tenaganya dan melompat sambil mengerahkan tenaga pada pinggang untuk membebaskan diri dari pada libatan ujung cambuk.
Usahanya berhasil. Ban-pi Lo-cia berseru heran dan tubuh Kwee Seng sudah melayang kembali ke atas, tepat tiba di gerombolan pohon kembang di pinggir telaga yang cepat disambarnya. Dengan ayunan indah tubuh pemuda itu sudah berada di darat, berdiri dengan tenang dan dengan kipas di tangan sambil memandang ke arah lawan yang masih berada di atas perahunya!
“He he he, kau boleh juga, bocah!” Ban-pi Lo-cia berseru setengah marah setengah kagum, cambuknya bergerak cepat mengeluarkan ledakan-ledakan keras.
Ternyata cambuk itu memukul air di pinggir perahu dan... bagaikan didorong tenaga gaib, perahunya meluncur cepat sekali ke pinggir telaga, kemudian sekali meloncat raksasa itu sudah melayang dan tiba di depan Kwee Seng! Dua orang ini kini berhadapan dan saling memandang penuh perhatian. Bulan bersinar terang bersih, indah sekali. Akan tetapi di dalam keindahan itu tersembunyi kengerian yang di timbulkan oleh pandang mata kedua orang yang saling bertentangan ini. Pinggir telaga sudah sunyi, karena mereka yang mendengar tentang hwesio tinggi besar yang mengamuk sudah melarikan diri cepat-cepat. Akan tetapi ada pula beberapa orang yang bersembunyi dan melihat dua orang itu berhadapan dari jauh.
“Ban-pi Lo-cia, sudah lama sekali aku mendengar namamu, dan ternyata keadaanmu cocok benar dengan namamu!” kata Kwee Seng yang kini sudah mengeluarkan suling bambu yang tadi ditiupnya. Ia memegang suling itu di tangan kanannya, sedangkan kipasnya ia pegang di tangan kiri. Ia maklum bahwa menghadapi seorang sakti seperti ini ia harus di bantu sulingnya, karena hanya dengan kipas saja kiranya belum tentu ia akan dapat mencapai kemenangan.
“Heh, kau mengenalku? Dan kau bilang cocok seakan-akan kau telah mengenalku baik-baik. Orang muda lancang, keadaanku yang bagaimana kau sebut cocok dengan namaku?”
“Kau terkenal sebagai tokoh sakti yang aneh, kejam keji dan memuja kejahatan mengandalkan kepandaian. Nah, bukankah cocok benar dengan perbuatanmu sekarang?”
“Wah, sombong! Bocah bermulut lancang, siapa namamu?”
“Aku Kwee Seng, datang tidak menonjolkan nama, pergi tidak meninggalkan nama, hanya suling dan kipas ini yang kubawa.”
“Heh-heh, kata-kata muluk! Kau berlagak sopan dan terpelajar, akan tetapi bukankah kau sendiri juga memperebutkan kembang pelacur telaga ini? He-heh, orang muda, tiada bedanya antara engkau dan aku, hanya aku lebih suka secara terbuka dan terang-terangan, sebaliknya engkau suka sembunyi-sembunyi dan berkedok kesopanan. Aku paling jemu melihat segala yang palsu ini, maka kau bersiaplah mampus di tangan Ban-pi Lo-cia!” Berbareng dengan habisnya ucapan itu, sinar hitam bergulung-gulung ke depan dibarengi ledakan-ledakan seperti petir menyambar kepala.
Hebat bukan main kalau Ban-pi Lo-cia mainkan cambuknya, cambuk sakti yang terkenal dengan nama Lui-kong-pian (Cambuk Halilintar). Gerakan cambuk ini mengandung getaran penuh dari sinkang yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Jilid  4>>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)